Pemanfaatan “Komakas” dan “Diary Speech” untuk Membangun Budaya Literasi di Sekolah Dasar dengan Perpustakaan Minim Fasiltas
PENGANTAR Pendidikan merupakan eskalator untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Suatu bangsa yang dihuni oleh masyarakat terdidik mampu menjadi bangsa besar, seperti Jepang, Singapura, Korea selatan, Finlandia dan lain-lain. Keberhasilan mereka dalam dunia pendidikan nyatanya mampu merubah tatanan negara tersebut sehingga menjadi bangsa yang maju, dan disegani dalam berbagai bidang. Walaupun mereka tidak memiliki sumber daya alam yang besar seperti Indonesia, pembangunan sumber daya manusia mampu merubah bangsa tersebut ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu dunia pendidikan harus mendapat perhatian paling besar oleh semua pihak. Keberhasilan pendidikan suatu bangsa tidak lepas dari kebiasaan masyarakat dalam membaca. Kenyataanya minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain, padahal membaca merupakan jalan menuju perubahan sosial. Apabila masalah ini tidak segera diatasi bagaimana mungkin bangsa Indonesia beranjak dari titik buntu tersebut. Membangun budaya literasi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membutuhkan kesadaran semua pihak, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Sekolah sebagai tonggak pendidikan formal memiliki peranan penting dan vital dalam membangun budaya literasi. Gerakan Literasi Sekolah sudah disahkan oleh Menteri Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam membangun budaya literasi. Namun kenyataannya hal tersebut masih terkendala oleh banyak hal. Perpustakaan sekolah yang seharusnya menjadi wadah untuk menyalurkan hasrat membaca anak-anak, nyatanya tidak mampu menampung rasa ingin tahu mereka akan informasi. Di daerah banyak sekali perpustakaan yang minim fasilitas buku sehingga bahan bacaan yang menarik sulit didapat oleh siswa. Oleh sebab itu, penulis memberikan gagasan untuk membangun budaya literasi di Sekolah Dasar dengan “KOMAKAS” dan “DIARY SPEECH”. “KOMAKAS” sendiri merupakan singkatan dari koran dan majalah bekas. Mengingat banyak sekali koran dan majalah bekas yang hanya tertumpuk di loakan, padahal koran dan majalah bekas bisa dimanfaatkan. Sedangkan “DIARY SPEECH” adalah langkah lanjutan dalam membangun budaya literasi, karena literasi tidak hanya sebatas membaca, namun lebih kompleks yang mana di dalamnya memuat menulis, menyimak dan berbicara.
Penulis berharap semoga gagasan ini dapat digunakan oleh banyak pihak, baik sekolah, tenaga pendidik ataupun masyarakat luas, khususnya Sekolah Dasar dengan perpusatakaan minim fasilitas sehingga budaya literasi disekolah bisa berjalan optimal.
Kebumen, 10 November 2016
Penulis
MASALAH Pendidikan merupakan cikal bakal lahirnya peradaban yang maju dari suatu bangsa. Bagaimana sebuah negara akan berjalan tergantung pada keberhasilan pendidikan. Namun banyak orang salah mengartikan pendidikan, masyarakat masih menganggap bahwa pendidikan hanya sebatas gelar sehingga banyak orang mengejar gelar tapi tidak memahami hakikat pendidikan itu sendiri. Tidak heran jika banyak sekali sarjana yang menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Padahal pendidikan bukan hanya tentang gelar namun lebih kepada pengalaman dan pengamalan yang didapat. Permasalahan kompeks seperti kemiskinan, kriminalitas, dan pengangguran sudah mengakar sejak dahulu. Masalah tersebut belum mampu diselesaikan dengan tepat. Bahkan menurut Prasetyo (dalam Suherman, 2009: 3) menjelaskan bahwa selain menghasilkan pengangguran terbanyak, ternyata sekolah juga adalah lembaga yang paling produktif dalam memproduksi kekerasan dan kejahatan. Kenyatannya sekolah tidak mampu menjadi tempat pemupukkan karakter yang efektif. Perlu adanya komitmen yang tinggi bagi segenap unsur sekolah untuk mewujudkan sekolah menyenangkan dan aman. Kebanyakan sekolah di Indonesia belum mampu menjadi wadah yang efektif sebagai spot for social changing atau tempat perubahan sosial sebab sekolah belum mampu menyentuh ranah pemikiran siswa. Seperti sebuah ungkapan bahwa anda adalah apa yang anda pikirkan. Pola pikir yang terbentuk di kepala berasal dari segala sesuatu yang dilihat, didengar dan dibaca. Seseorang akan memiliki ide atau gagasan yang cemerlang jika mampu menyerap informasi yang banyak dan tepat. Guna mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan instrumen utama yaitu membaca. Indonesia memiliki sejarah yang panjang tentang budaya baca. Berdasarkan penelitian, pada saat abad ke-21 dimulai, 9 dari 10 orang Indonesia sudah melek huruf. Namun, dijelaskan lebih lanjut bahwa “The challenge for Indonesia now is to maintain and expand these basic skills through the increased publication and distribution of textbook, newspaper, and other reading materials, and through improved training and working condition for Indonesians responsible for postliteracy instruction” (Lowenberg, 2000). Pernyataan tersebut menjelaskan bawah tantangan Indonesia yakni bagaimana mempertahankan dan memperluas kemampuan baca tulis melalui peningkatan publikasi dan distribusi buku teks, koran, dan bahan bacaan lainnnya serta melalui pelatihan dan kondisi pekerjaan sebagai tanggung jawab orang Indonesia terhadap petunjuk literasi. Sekarang ini Indonesia bukanlah bangsa yang terbelakang karena sebagian besar penduduknya sudah bisa baca tulis. Namun budaya membaca di Indonesia masih sangat rendah, hal tersebut disebabkan oleh faktor kultural masyarakat yang lebih suka mendengarkan dan menonton dari pada membaca.
Menurut penelitian PIRLS tahun 2011, minat baca di Indonesia berada di level rendah meksi pada rentang tahun 2006 hingga 2011 mengalami peningkatan, tapi tidaklah signifikan (Suryaman, 2012). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada bulan Maret 2016 yang lalu tentang “Most Littered Nation in The World”, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara terkait minat membaca. Namun dari segi komponen infrastruktur, Indonesia menempati peringkat ke-34 (Kompas.com, 29 Agustus 2016). Rendahnya minat baca di Indonesia juga diperkuat oleh temuan dari IEA (International Association for The Evaluation of Educational Achievement), Indonesia menduduki peringkat ke 31 dari 32 negara yang berpartisipasti tentang minat baca (Elley, 1992). Tidak hanya itu, studi yang dilakukan oleh PISA (Programme For International Student Assesment), menujukkan pada tahun 2009 Indonesia menduduki peringkat ke-57 dari 65 negara peserta (http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa, 06 November 2016). Begitu banyak studi atau penelitian yang menunjukkan minat baca di Indonesia begitu rendah. Bahkan dari tahun ke tahun tidak ada perubahan yang signifikan. Tentunya hal tersebut sangat memprihatinkan. Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia disebabkan oleh berbagai hal, tak terkecuali mahalnya bahan bacaan. Oleh sebab itu keberadaan perpustakaan seharusnya bisa menjadi solusi, baik perpustakaan umum ataupun perpustakaan sekolah. Terkait dengan perpustakaan yang seharusnya menjadi jantung sekolah, fakta di lapangan justru memprihatinkan. Begitu banyak perpustakaan sekolah yang tidak terkelola dengan baik, entah dari segi buku-buku yang tidak lengkap, tidak adanya ruang baca yang nyaman, perpustakaan sekolah tidak memiliki pustakawan/pustakawati tersendiri sehingga peletakan buku pun asal. Bahkan buku-buku di sekolah, khususnya Sekolah Dasar jarang diperbaharui. Dikutip dari Kompas, sebagian besar koleksi buku di perpustakaan Sekolah Dasar merupakan buku-buku lama yang terbit sebelum tahun 2004. Jarang sekali ditemukan buku cerita, buku tentang teknologi yang mudah dipahami siswa. Terlebih sejak dijalankannya program BOS dan BOP, sekolah-sekolah tidak lagi memperoleh sumbangan buku dari pemerintah pusat. Sedangkan dana BOS lebih banyak dialokasikan untuk pembelian sarana prasarana sekolah, alat bantu kegiatan belajar mengajar dan lain-lain (dalam Suherman, 2009) . Keberadaan perpustakaan sekolah yang menyenangkan masih jauh dari impian, terutama Sekolah Dasar negeri yang hanya mengandalkan dana dari pemerintah. Berbeda dengan sekolah swasta yang boleh memungut dana dalam jumlah besar dari wali siswa. Apabila kondisi perpustakaan dan bahan bacaan yang minim masih saja terpelihara maka menumbuhkan minat baca di sekolah akan menjadi hal yang sulit dan panjang penyelesaiannya.
Memperbaiki kondisi perpustakaan sekolah yang sudah carut marut dan menumbuhkan minat baca siswa memang tidak bisa instan. Membeli buku baru dalam jumlah besar pun tidak bisa seketika. Oleh sebab itu dibutuhkan langkah signifikan dan konsisten yaitu dengan menyediakan bahan bacaan yang menarik, di luar buku-buku yang ada di perpustakaan.
PEMBAHASAN DAN SOLUSI Kualitas sumber daya manusia akan menentukan kemajuan suatu bangsa Sudah banyak negara seperti Jepang, Korea Selatan, Finlandia yang berhasil membangun manusia berkarakter melalui budaya literasi. Terwujudnya masyarakat lliterat sangat menentukan perubahan kesejahteraan masyarakat suatu bangsa. Oleh sebab itu, Indonesia terus berkomitmen membangun masyarakat literat, sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 (5) menyebutkan bahwa untuk mencerdaskan bangsa dilakukan melalui pengembangan budaya baca, tulis, dan hitung bagi segenap warga masyarakat (UU Sisdiknas No. 20, 2003:4). Membangun masyarakat yang berbudaya membaca merupakan tanggung jawab semua pihak. Budaya tumbuh dari akal pikiran manusia dan menjadi sesuatu yang mengakar dalam kehidupan manusia. Budaya sendiri tidak bersifat tetap, artinya ia dapat berubah seiring perubahan peradaban suatu masyarakat. Menurut Jenks (2013:11), kebudayaan adalah sebuah kategori sosial; kebudayaan dipahami sebagai seluruh cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Membaca dapat menjadi budaya masyarakat jika kita menyadari pentingnya membaca. Budaya membaca lahir dari pola pikir manusia yang kemudian menjadi cara hidup masyarakat. Kemampuan membaca begitu penting karena mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku serta sangat berpengaruh terhadap masa depan. Sukirno (2014:4) menyatakan bahwa jika membaca menjadi mudah dan cepat, kemungkinan besar siswa akan menyelesaikan tugas mereka. Jika pemahaman mereka meningkat, mereka mendapat nilai lebih baik dan belajar lebih cepat. Menurut Fransk Smith (dalam Suparno, 2010:1.7), kualitas pengalaman membaca ini akan sangat mempengaruhi kesuksesannya dalam menulis. Menurut Kagan (2015) menyebutkan “the students were less likely to be good comprehenders when they viewed themselves unsuccessful in writing”. Siswa memiliki kemungkinan kecil bisa menjadi pemaham yang baik ketika mereka melihat diri mereka sendiri tidak berhasil dalam menulis. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, kemampuan membaca sangatlah penting dan harus mendapat perhatian utama sebab memberikan pengaruh besar terhadap kemampuan berbahasa lainnya dan bahkan kehidupan sosial. Perhatian pemerintah terhadap minat baca sebenarnya sudah berjalan sejak pemerintahan Presiden Soekarno. Namun, barulah pada tahun 2015 lalu Pemerintah mencanangkan Gerakal Literasi Sekolah (GLS) yang mana sekolah harus mampu menumbuhkan minat baca siswa sehingga terwujud budaya literasi di sekolah. Pengertian literasi dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui
berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara (Kemendikbud, 2016:2). Definisi yang serupa juga diberikan oleh National Institute for Literacy, literasi merupakan kemampuan individu membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecakan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat (http://wikipendidikan.blogspot.co.id, 06 November 2016). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi tidak hanya sebatas kemampuan baca-tulis namun lebih kompleks. Kemampuan literasi mencangkup ranah kontekstual dimana seseorang mampu menggunakan segenap kemampuan untuk memecahkan masalah dalam hidupnya. Namun, kemampuan dasar untuk membangun literasi yang harus dimiliki adalah kemampuan membaca. Tingkat pemahaman membaca yang baik akan mempengaruhi kemampuan menulis, menyimak, dan berbicara sehingga dapat mempengaruhi pola pikir. Membangun budaya literasi tidaklah mudah, lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan budaya literasi. Dalam forum tanya jawab tentang “Perlukah Membaca Nyaring”, Neni mengatakan bahwa kegiatan literasi seharusnya dimulai di rumah, terutama oleh orang tua (dalam Sukirno, 2013:5). Keluarga merupakan madrasah pertama dan utama seorang anak, menanamkan suatu budaya akan lebih mudah jika karakter yang baik sudah terbentuk di dalam keluarga. Menurut penggagas gerakan “Indonesia Mengajar”, Anies Baswedan budaya membaca hadir jika ada kebiasaan membaca, kebiasaan itu ada jika ada rencana membaca secara rutin. Selain itu untuk menjadikan membaca sebagai budaya memerlukan beberapa tahapan yaitu mengajarkan anak membaca, lalu membiasakan anak membaca hingga menjadi karakter, setelah itu barulah menjadi budaya (Kompas.com, 29 Agustus 2016). Membangun budaya membaca dibutuhkan komitmen, terutama di lingkungan sekolah. Selain sarana dan prasarana, guru sebagai ujung tombak pendidikan harus kreatif dalam mewujudkan budaya literasi di sekolah. Lingkungan sekolah yang mampu melahirkan budaya literasi harus dibangun, bukan serta merta jadi dan hanya mengandalkan satu orang ataupun pasrah terhadap keadaan. Kendala utama yang banyak dialami oleh Sekolah Dasar adalah kondisi perpustakaan yang jauh dari layak sebagai taman baca, tak hanya masalah buku yang minim juga kurangnya perhatian terhadap keidealan sebuah perpustakaan. Kebanyakan perputakaan Sekolah Dasar tidak memiliki pustakawan/pustakawati sendiri sehingga tidak terurus. Namun sebenarnya masalah perpustakaan minim fasiltas ini bisa diatasi dengan melihat paradigma lain untuk membangun budaya literasi di Sekolah Dasar. Hal utama untuk membangun budaya literasi adalah pembiasaan membaca, dalam hal ini membaca bisa dari berbagai sumber, baik majalah, koran, media elektronik, internet dan lain-lain. Selama ini banyak sekali koran-koran dan majalah bekas yang hanya diloakan begitu saja. Padahal koran dan majalah
bekas bisa dimanfaatkan sebagai sumber bacaan anak-anak. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, literasi bukan sebatas kemampuan membaca tapi juga menulis, menyimak dan berbicara. Guna mengotimalkan program budaya literasi di Sekolah Dasar, selain membaca rutin juga perlu digalakkan “Diary Speech”. Oleh sebab itu “Komakas” dan “Diary Speech” merupakan dua program berkesinambungan yang perlu dilakukan untuk membangun budaya literasi di Sekolah Dasar. Komakas “Komakas” merupakan singkatan dari koran dan majalah bekas. Koran dan majalah bekas di Indonesia seringkali hanya dibuang begitu saja, bahkan koran bekas lebih banyak dimanfaatkan oleh penjual makanan untuk membungkus makanan. Majalah pun hanya ditumpuk dan dibeli oleh tukang rongsok atau diloakan. Padahal, di beberapa negara yang sudah mengakar budaya literasinya seperti Jepang, koran bekas pun sangat berharga untuk dibaca. Inilah satu hal kecil yang menjadi perbedaan mencolok masyarakat Indonesia. Terdapat begitu banyak surat kabar nasional maupun lokal, seharusnya ketersediaan sumber bacaan bisa dimanfaatkan. Namun konten atau isi surat kabar harus tetap diawasi dan disortir oleh guru karena lingkup sasaran adalah siswa Sekolah Dasar. Jangan sampai siswa menemukan bacaan yang belum layak mereka baca. Media koran bisa dimanfaatkan oleh siswa kelas tinggi. Lain halnya dengan kelas rendah. Siswa kelas rendah memiliki kecenderungan kemampuan membaca lebih rendah dibanding siswa kelas tinggi. Mereka juga lebih menyukai sesuatu yang bergambar dan berwarna. Oleh sebab itu, guna mengatasi ketersediaan buku menarik yang terbatas, memanfaatkan majalah bekas adalah cara yang tepat. Namun majalah yang boleh dibaca hanyalah majalah anak-anak, seperti majalah Bobo, Junior, Mombi dan lain-lain. Konten majalah anak sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan taraf berpikir siswa Sekolah Dasar. Oleh sebab itu majalah merupakan media yan tepat, bahkan siswa kelas tinggi pun suka membaca majalah anak. Jadi majalah bekas bisa digunakan oleh siswa kelas rendah maupun tinggi. Dalam hal in siswa diberikan bahan bacaan berupa koran dan majalah bekas, mereka diberi kebebasan untuk memilih bacaan. Sesuai dengan ketentuan Gerakan Literasi Sekolah, waktu minimal membaca lima belas menit sebelum pembelajaran dimulai. Asalkan rutin kegiatan membaca beberapa menit ini dapat berpengaruh besar terhadap kemampuan membaca. Berdasarkan penelitian Anderson dkk, membaca bebas dapat meningkatkan kemampuan membaca pada siswa (dalam Santoso, 2011:2.9).
Kegiatan pembiasaan membaca buku harus ditindak lanjuti dengan melakukan self control. Self control atau kontrol diri ialah kegiatan mandiri siswa untuk memastikan bahwa mereka membaca buku setiap hari selama 15 menit sebelum pembelajaran. Siswa diajarkan untuk mandiri dan jujur dengan mencatat buku yang sudah mereka baca. Catatan tersebut disebut jurnal baca. Adapun format jurnal baca bisa mengikuti buku Panduan Gerakan Literasi di Sekolah Dasar sebagai berikut, ataupun membuat format lain yang serupa. No.
Hari/tanggal
Jam
Judul Buku/sumber
Nama Pengarang
Nomor Halaman
*sumber: Panduan Gerakan Literasi di SD halaman 15 Berdasarkan buku Panduan Gerakan Literasi di Sekolah Dasar, pada tahap pembiasaan sebelum siswa membaca, guru membaca nyaring suatu bacaan yang menarik. Hal tersebut bertujuan untukmemotivasi siswa membaca, membuat peserta didik dapat membaca dan gemar membaca, memberikan pengalaman baca yang menyenangkan, membangun komunikasi antara guru dan peserta didik, guru/pustakawan/kepala sekolah menjadi teladan membaca (kemendikbud, 2016:10). Tidak hanya siswa yang membuat jurnal baca, guru pun demikian. Adapaun formatnya bisa mengikuti panduan atau membuat format sendiri yang serupa. No
Hari/tanggal
Judul Buku
Nama Pengarang/Ilustrator
*Sumber: Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SD halaman 13 Baik siswa maupun guru sama-sama membuat jurnal baca. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru juga agent of literacy (agen literasi) yang bersedia membaca. Kalau gurunya saja tidak bersedia membaca, bagaimana mungkin guru bisa meminta siswannya membaca. Siswa Sekolah Dasar adalah peniru yang baik dan handal, sebaiknya mereka melihat guru sebagai figur yang mampu memberi tauladan. Jika guru meminta siswa untuk membaca sebelum pembelajaran maka guru harus memberikan contoh. Apabila masih ada waktu beri kesempatan untuk berdiskusi tentang buku yang sudah mereka baca.
Diary Speech Diary Speech berasal dari bahasa Inggris yang berarti buku harian berbicara. Kemampuan literasi juga berkaitan dengan kemampuan berbahasa lainnya. Kemampuan menulis sangat ditentukan oleh kemampuan membaca. Namun jika menulis tidak dibiasakan maka harapan memiliki tulisan yang baik tidak bisa terwujud. Salah satu pendekatan dalam pembelajaran menulis adalah pendekatan frekuensi, yakni banyaknya latihan mengarang, sekalipun tidak dikoreksi (seperti buku harian atau surat), akan membantu meningkatkan kerampilan menulis seseorang (Suparno, 2010: 1.14). Oleh sebab itu melatih siswa menulis buku harian secara rutin sangatlah penting dan mampu meningkatkan kemampuan menulis mereka secara perlahan. Setelah mereka belajar menulis buku harian secara rutin, untuk mengembangkan kemampuan menyimak dan bebicara siswa, saatnya “Diary Speech” atau buku harian berbicara. Setelah siswa menulis buku harian selama satu minggu, ada satu hari dimana mereka diberikan kesempatan untuk menceritakan satu hari atau satu cerita paling berkesan dalam satu minggu yang telah mereka tulis, entah itu cerita menyenangkan ataupun kesedihan. Kegiatan bercerita tentang apa yang mereka alami sendiri lebih mudah dan dapat melatih keterampilan berbicara. Selain itu mereka juga berlajar mendengarkan orang lain berbicara, kemampuan menyimak pun terasah. Kegiatan tersebut juga melatih siswa untuk menghargai orang lain yang sedang berbicara sehingga rasa empati di dalam diri tumbuh. Kegiatan “Diary Speech” bisa dilakukan dimana saja, misal di halaman sekolah, tidak harus di dalam kelas karena ruang belajar tak terbatas pada ruangan yang tersekat. Belajar di luar kelas jauh lebih menyenangkan karena lebih leluasa berekspresi. Siswa dan guru bisa duduk membentuk lingkaran. Sebelum siswa bercerita sebaiknya guru bercerita terlebih dahulu untuk membangkitkan minat bercerita mereka, karena guru adalah contoh (teacher as model). Dalam penunjukkan siswa yang bercerita bisa menggunakan permainan sehingga terkesan tidak monoton dan menyenangkan, lebih santai sehingga siswa tidak ada beban. Misalnya, guru bisa menggunakan permainan “do mi ka do”, tebak kata dengan ketentuan alfabet tertentu ataupun permainan lainnya. Setelah beberapa anak bercerita, guru mengajak diskusi tentang apa yang sudah siswa ceritakan, misal hikmah dari peristiwa yang sudah ia alami. Hal tersebut berguna untuk membangun daya berpikir kritis dan memahami manfaat menulis dan bercerita. Penulis biasanya menggunakan permainan “Heaven-Hell” atau “SurgaNeraka”. Siswa duduk melingkar kemudian mereka diurutkan sesuai dengan alfabet. Siswa pertama mengucapkan “surga” (tangan kanan dibunyikan) kemudian “neraka” (tangan kiri dibunyikan). Selanjutnya ia menyebutkan satu huruf (misal B) berarti siswa yang berhuruf B harus menyebutkan kata berawalan
huruf B dengan tema tertentu (misal profesi). Permainan dilanjutkan dengan si B melakukan gerakan “surga-neraka” lagi dan menyebutkan satu huruf lain, kemudian kegiatan pun berlangsung sama. Siswa yang tidak dapat menebak kata harus maju ke depan untuk bercerita. Kelebihan permainan ini selain menyenangkan juga melatih konsentrasi dan kreatifitas siswa serta melatih mereka berpikir kritis. Program “Komakas” dan “Diary Speech” merupakan program berkesinambungan, dimana keduanya harus berjalan beriringan. Keberhasilan program tersebut sangat bergantung pada guru sebagai fasilitator sebab kelengkapan dan kemenarikan bahan bacaan sangat tergantung pada kepedulian guru. Guru sebaiknya mengganti atau menambah bahan bacaan minimal dua minggu sekali supaya siswa tidak jenuh. Selain itu dalam kegiatan diary speech guru harus mampu bercerita dengan menarik sehingga tumbuh keinginan siswa untuk bercerita secara begantian. Tentunya komitmen guru begitu dibutuhkan. Besarnya komitmen guru untuk membangun budaya literasi sangat menentukan keberhasilan budaya literasi di Sekolah Dasar.
KESIMPULAN DAN HARAPAN Berdasarkan uraian artikel di atas, untuk mengoptimalkan budaya literasi di Sekolah Dasar dengan Perpustakaan minim fasilitas, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Guru harus bisa berpikir out of the box untuk mengatasi masalah minimnya buku-buku di perpustakaan sekolah. 2. Memanfaatkan koran bekas dan majalah bekas adalah hal yang sangat berguna untuk menambah referensi bacaan siswa. 3. Konten atau isi koran bekas dan majalah anak bekas harus tetap diawasi, harus sesuai dengan kebutuhan dan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis. 4. Budaya literasi bisa hadir apabila ada pembiasaan. 5. Menulis buku harian secara rutin dapat melatih kemampuan menulis siswa. 6. Berlatih bercerita pengalaman yang mereka alami sangat memudahkan pengembangan kemamuan berbicara siswa. 7. Komitmen guru sangat berperan besar dalam membangun budaya literasi di sekolah Dasar. 8. Dibutuhkan peran serta aktif semua stakeholder sekolah dan masyarakat. Adapun harapan penulis sebagai berikut. 1. Penulis berharap semua stakeholder sekolah memiliki komitmen yang kuat untuk membangun budaya literasi di Sekolah Dasar sebab sebaik apapun suatu program, tanpa adanya komitmen dari pihak yang bertanggungjawab maka segalanya tidak akan berjalan baik. 2. Budaya literasi lebih optimal jika Tri Pusat Pendidikan yang meliputi keluarga, lingkungan dan sekolah bisa bekerjasama untuk membangun budaya literasi. Oleh karena itu penulis berharap, semua pihak memiliki kesadaran untuk bertanggungjawab terwujudnya budaya literasi. 3. Penulis berharap sekolah lebih memperhatikan ketersediaan buku-buku yang menarik dan menyediakan perpstakaan sebagai taman baca yang menyenangkan. 4. Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi bagi banyak pihak, entah golongan akademisi, tenaga pendidik ataupun masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA Elley, Warwick B. 1992. How in The World Do Student Read? IEA Study of Reading Literacy. United State: US Departmet of Education. Jenks, Chris. 2013. Culture Study Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kagan, Hasan Keskin. 2015. The Relationship Between Dimentions of Writing Motivation and Reading Comprehension. Turkey: Duzce University. Retrieved from http://www.academicjournals.org/journal/ERR/article-fulltext-pdf/937DEDC51916. Lowenberg, Peter. 2000. Writing and Literacy in Indonesia. San Jose University: Studie in Linguistic Science Vo. 30 Number 1. Retrieved from http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.178.8175&rep=r ep1&type=pdf. Santoso, Puji dkk. 2011. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka Press. Sukirno. 2014. Terampil Membaca Nyaring. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Suherman. 2009. Perpustakaan sebagai Jantung Sekolah. Bandung: MQS Publisher. Suparno, Mohamad Yunus. 2010. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka Press. Staidi, Hari, Mahdiansyah, Mamam Suryaman, Erika Afiani, Rahmawati. 2012. Analisis Hasil Belajar Peserta Didik dalam Literasi Membaca melalui Studi Internasional PIRLS 2011. Jakarta: Pusat Penelitian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Undang-Undang Republik Indonesia. 2003. UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Diambil dari http://sindikker.dikti.go.id/dok/UU/UU20-2003Sisdiknas.pdf. Utama, Dewi Faizah dkk. 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Dikdasmen Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada. di.urutan.ke-60.dunia (diunduh pada 6 November 2016 pukup 20.00).
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa (diunduh pada 6 November 2016). http://wikipendidikan.blogspot.co.id/2016/03/pengertian-definisi-makna-literasi.html (diunduh pada 6 November 2016 pukul 20.25).