MEMBANGUN BUDAYA LITERASI Oleh Januarisdi Pustakwan Madya Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang
Pendahuluan Walaupun Indonesia telah dianugrahi penghargaan King Sejong Literacy Prizes pada tahun 2012 oleh UNESCO sebagai penghargaan atas prestasi istimewa dalam hal pendidikan literasi, ternyata indeks pembangunan manusia Indonesia masih jauh berada dibawah negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Pada tahun 2012 HDI Indonesi adalah 0,629, berada pada urutan ke‐121, biwah Filipina (0,654) urutan ke‐114, Thailand (0,690) urutan ke‐103, Malaysia (0,769) urutan ke‐106, dan Singapura (0,895) urutan ke‐18. Keadaan ini dilaporkan oleh UNDP meningkat pada tahun 2013; namun, kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan terakhir di dunia pada tahun 2013, menurut
laporan
Firma
Pendidikan
Pearson
(http://internasional.kompas.com/,
http://www.bbc.co.uk/). Selain itu, berdasarkan laporan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pendidikan Indonesia berada pada urutan ke‐57 dari 65 negara anggota; skala skor membaca Indonesia adalah 402, dibawah rata‐rata OECD 493, dibahwa Thailand (421), dan Singapura (526). Ringkasnya, kualitas bangsa Indonesia, khsusnya dalam bidang pendidikan masih jauh tertinggal, walaupun telah memperlihatkan tanda‐tanda perkembangan. Rendahnya peringkat HDI, dan mutu pendidikan kita sering dikaitkan dengan rendahnya “minat baca” bangsa Indonesia. Berbagai program mulai dari seminar minat baca, pelatihan minat baca, penelitian dan pengkajian minat baca, sampai ke lomba minat baca telah dilakukan. Setiap kali pidato didepan pustakawan, guru, dan kalangan pendidik, pejabat birokrasi tidak lupa menyinggung persoalan rendahnya minat baca dan usaha untuk meningkatkan minat baca. Seperti tidak mau ketinggalan, organisasi profesi dan organisasi mayarakat yang bergerak dalam bidang membaca, perbukuan dan kepustakawanan ikut 1
meneriakkan program peningkatan minat baca. Namun, sampai sekarang, hasilnya hampir tidak kelihatan; masyarakat kita masih belum melakukan membaca sebagai aktivitas rutin hariannya; siswa dan mahasiswa masih belum kelihatan melakukan kegiatan membaca yang diharapkan; perpustakaan masih menjadi tempat yang bukan favorit untuk dikunjungi. Ringkasnya, budaya baca bangsa Indoensia masih jauh dari harapan dan tuntutan zaman sekarang ini. Oleh karena itu, kita perlu betanya apakah benar persoalan yang kita hadapi adalah rendahnya “minat baca”?. Bukankah setiap orang berminat melakukan perbutan yang dinilai tbaik, seperti membaca? Bukankah semua orang tahu bahwa membaca dapat meningkatkan kualitas diri dan bangsanya? Bukankan setiap muslim tahu bahwa membaca adalah perintah Allah yang pertama? Bukankah setiap orang tahu bahwa cara yang paling efektif untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang membuat seseorang lebih berkualitas dari yang lainnya adalah membaca? Jawaban pertanyaa‐pertanyaan tersebut akan menggiring kita pada sebuah keraguan bahwa akar persoalan yang sesungguhnya bukan “minat baca”. Kalau kita selidiki lebih jauh dengan pandangan yang lebih kritis, kita akan menemukan bahwa persoalan yang sesungguhnya bukan “minat baca”, tapi “kemampuan baca”, baik secara akademik maupun secara finansial. Secara akademik, walapun telah dinyatakan bebas buta aksara, bangsa Indonesi masih memiliki kemampuan memhami teks yang sangat rendah, kecepatan membaca yang masih dibawah rata‐rata, dan kemampuan membaca kritis yang lemah. Dari pengalaman penulis memberikankan berbagai teks yang terdiridari beberapa paragraf kepada mahasiswa, hampir tidak ada mahasiswa yang mempu melakukan pemahaman yang sempurna, apa lagi membaca kritis dengan kecepatan yang tinggi. Secara finansial, tingkat penghasilan bangsa Indonesia secara umum masih terlau rendah untuk membeli buku dan bahan bacaan lainnya secara rutin. Jarang sekali kita menemukan rumah tangga yang memiliki rak buku yang dipenuhi oleh bahan bacaan yang dibeli seacara rutin. Rendahnya kemampuan membaca sangat terkait dengan rendahnya kegemaran membaca yang tentunya mempengaruhi budaya baca. Seseorang tidak gemar membaca bukan disebabkan oleh tidak adanya minat membaca, tapi karena tidak mampu membaca, dan ketidakmampuan ini meningkatkan ketidakmampuannya. Keadaan ini dikenal dengan 2
(Matiew Effect)—ketidakmampuan membaca pada masa anak‐anak akan melahirkan ketidakmampuan yang lebih parah yang kemudian melahirkan ketidakmampuan yang semakin parah lagi, "The rich get richer, and the poor get poorer." Diungkapkan oleh beberapa peneliti bahwa intervensi dini terhadap membaca akan menghasilkan dampak efektif terhadap perkembangan membaca anak berikutnya. Anak‐anak yang memilki fondasi ketrampilan membaca lebih baik cendereung akan meningkat lebih cepat cepat dan semakin cepat dari pada anak‐anak yang tidak memiliki foundasi ketrampilan membaca, seperti tegambar pada grafik diatas. Tulisan ini memuat wacana tentang usaha mebangun budaya literasi yang selama ini tidak mendapatkan perhatian serius. Sebelum lebih jauh membahas wacana pembangunan budaya literasi, perlu diluruskan pemahan kita tentang literasi. Bagian berikutnya membahas tentang hakikat dan proses membaca. Pentingnya literasi emergent bagi pembangunan budaya literasi merupakan topik sentral yang dibahas dalam tulisan ini. Selain itu, tulisan ini juga membahas tentang perenan orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam membangun budaya literasi.
Mendifinisikan Literasi
Literasi (literacy) adalah sebuah terminologi yang sangat rancu, sehingga tidak
mudah difahami. Secara leksikal, sebagian besar kamus memang mendefinisikan kata literasi sebagai “kemampuan membaca dan menulis”; namun, setelah dikaji lebih jauh ternyata liteasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis. Literasi adalah kajian mutidispliner dan multidimensional yang mencakup berbagai bidang kajian seperti psikologi, sosiologi antropologi, linguistik, ilmu pendidikan, ilmu informasi dan perpustakaan, ilmu politk, ilmu budaya dan tekhnologi. Masing bidang ilmu tersebut memandang literasi dari perspektif masing‐masing sehingga memuculkan berbagai definisi literasi. Selama rentang tahun 1940an sampai 1950an, ditemukan ratusan defnisi literasi (Roberts, 1995) yang tidak saling menemukan kesepakatan. Akibatnya adalah bahwa kita mengalami kusilitan mendikotomikan warga negara yang “literate” (berkemampaun literasi) dan warga negara yang “illiterate” (tidak berkemampuan literasi). 3
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh pakar berbagai bidang ilmu. Tuinman (1978), umpamanya, mendefinisikan literacy sebagai kemampuan untuk berhubungan secara cerdas dengan informasi simbolik terekam secara mandiri. Sementara itu, Tilley (1984) mendefinisikan literacy sebagai kompentensi yang digunakan oleh setiap orang dalam usaha memahami dan menggunakan apa yang ia baca, dan mengungkapkan apa yang dia maksud dalam tulisannya, sehingga ia bsa terlibat secara efektif dalam aktivitas yang harus ia lakukan. Harman (1987) mendefinikan literacy sebagai sebuah gabungan ketrampilan teknis yang memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan tertentu dimana dia hudup dan berperan. Wells (1990) mendefinisikan literacy sebagai memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis teks secara tepat untuk memperkuat tindakan, rasa dan pikiran dalam kontek aktivitas yang jelas. Ranema (1976) mendefinisikan literacy bukan sebagai memiliki ketrampilan tekhnis membaca dan menulis, tapi memulai jurney (petualangan) dari kesadaran primer sampai ke kesadaran kritis. Karena bukan sekadar kemampuan memabaca dan menulis, istilah “keaksaraan” dan “keberaksaraan” bukan terminologi yang tepat sebagai padanan istilah literasi. Istilah keaksaran memiliki makna yang terbatas pada kemapuan membaca dan menulis, pada hal literasi mengandungan makna yang jauh lebih luas mencakup proses kognitif, cara berfikir, dan cara berkehidupan yang lebih luas. Kamus Besar Bahasa Indoensia mendefinisikan kata “aksara” sebagai “sistem tanda‐tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi…”. Sementara kata ‘keberaksaraan’ didefinisikan sebagai kemampuan membaca dan menulis, yang seperti berpadanan denga kata ‘literate’. Instilah literacy, literate, dan illiterate, walaupun berkaitan dengan persoalan membaca dan menulis, bukan bermakna kemampuan membaca dan menulis. Langer (1987) bahkan melihat literasi bukan sebagai serangkain ketrampilan (skills); ia menandaskan bahwa literasi adalah sebuah aktivitas— sebuah cara berfikir; literasi adalah aktivitas yang dilakukan dengan sengaja, sadar dan bertujuan. Untuk meluruskan berbagai pemahaman yang saling tidak mendukung tentang literasi, literasi bisa dilihat dari dua perspektif: 1) literasi dilihat dari perpektif kajian kognisi, 2) literasi dilihat dari kajian sosial dan budaya. Dari perpektif pertama (dari kajian psikologi koglogi kognitif), literasi dipandang sebagai sebuah aktivitas kognitif yang bersifat otonum. 4
Stanovich (1986) dan Bryant (1990), seperti dikutip oleh Rasool (2002) mengungkapkan bahwa litersi adalah “proses kognitif yang melandasi membaca dan menulis tentang bagaimana membaca”. Bagi mereka, mengajar literasi adalah mengajarkan ketrampilan membaca dan menulis yang hasilnya diukur dalam bentuk pemerolehan ketrampilan dan keuntungan sosial dan personal yang didapatkan dari kondisi seseorang yang literate. Kemampuan membaca dan menulis dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam meningkatkan dan mengembangkan ‘penluang hidup’ seseorang. Rasool (2002) mendefinisikan literasi dalam artian tingkat kedalaman makna yang dihasilkan dari hubungan antara orang dengan teks, strategi linguistik, dan pengetahuan budaya yang digunakan sebagai kunci untuk masuk kedalam makna yang melengket pada teks tersebut. Dari perpektif kajian sosial, litersi dipandang sebagai sebuah praktik sosial yang disebut juga dengan “The New Literacy Studies”. Para pendukung pandangan ini (seperti Allan Luke, Scribener, Cole, Burton, D, Hamilton, M, Collin, Street, dan Ivanic, R) melihat bahwa
literasi memiliki dampak kekuasaan ekonomi dan politik yang melahirkan konsep “literacy as power” (literasi sebagai kekuasaan). Mereka melihat literasi sebagai sebuah kerangka analisis konseptual yang tidak terlepas dari kajian‐kajian sosial termasuk kajian antropologi sosial, sosiologi, dan sosioloinguistik. Mereka memasukkan kajaian tentang organisasi, sistem konseptual, struktur politik, dan proses ekonomi kedalam kajian literasi. Mereka menekankan bahwa kajian literasi adalah sebuah proses yang berlansung dalam konteks sosial dan budaya. The New Literacy Studies berdasarkan pada pemikiran bahwa membaca dan menulis berlangsung didalam konteks dan wacanan sosial. Dengan demikian literasi didefinisikan sebagai aktivitas dan tradisi sosial yang memiliki dampak terhadap status sosial.
Terlepas dari kesulitan mendefinisikan dan keragaman definsi literasi seperti
digambarkan diatas, kita perlu menarik suatu pandangan bersama bahwa literasi adalah sebuah aspek psikologi kognitif yang tidak terlepas dari aspek buadaya sosial. Walaupun proses membaca dan menulis belansung secara psikologis didalam diri individua, praktik literasi sangat dipenaruhi oleh dan mempengaruhi konteks sosial dan budaya. Walaupun, pengikut new literacy studies berpandangan bahwa literacy tidak mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang, kita dapat memahami bahwa kehidupan masyarakat 5
literate lebih berkualitas dari kehiduapan masyarakat illerate. Dengan demikian, pembangunan kualitas kehiduapan masyarat harus dimulai dari pengembangan budaya literasi.
Memahami Hakikat dan Proses Membaca
Walaupun membaca merupakan aktivitas yang tidak asing lagi bagi umat manusia di
seluruh dunia saat ini, tidak banyak yang menyadari hakikat membaca dan bagaimana proses membaca itu berlangsung. Ketidaktahuan ini tidak hanya berdampak rendahnya perhatian dan penghargaan kita terhadap membaca, tapi juga kualitas baca. Banyak peneliti telah mengungkapkan hubungan positif antara metacognitif skills (pengetahuan tentang proses kognitif membaca dan ketrampilan mengedalikannya) dengan prestasi membaca. Carrel, (1989) mengungkapkan pentingnya kesiagaan metakognitif (metacognitve awereness) dalam membaca bahasa kedua. Dhieb‐Henia (2006) memperkenalkan metode penerapan ketrampilan metakognitif dalam membaca skimming. Kolić‐Vehovec and BajšanskiSource (2006) mengungkapkan hubungan positf antara kemampuan metakognitif dengan membaca pemahaman anak‐anak sekolah dasar. Ringkasnya, pemahaman tentang hakikat dan proses membaca perlu dijadikan perhatian bagi pemerhati dan praktisi membaca.
Pada dasarnya membaca adalah proses kognitif yang melibatkan kegiatan rekognisi
atau pendektisian, interpretasi, dan persepsi bahasa tertulis/ tecetak (He Ji Sheng 2008:1). Proses ini tidak belangsung satu arah (dari teks ke pembaca), tapi dua arah, dari teks ke pembaca‐dari pembacake teks. Proses rekognisi melibatkan pengetahuan yang telah pernah ada dalam sistem memory pembaca yang disebut dengan prior knowledege atau backround knowledge, yang mencakup pengatahuan dan penglaman kebahasaan (sperti kosa kata, gramatika, dan semantik) dan non‐kebahasaan seperti budaya, emosional, spritual. Proses interpretsi merupakan proses pemberian makna terhadap simbol tertulis berdasarkan apa yang ditemukan pada proses rekognisi. Terkhir, melalui proses persepsi, hasil interpretasi tersebut disimpulkan menjadi sebuah manka baru dan disimpan ke “file” baru dalam sistem memory.
6
Walapun He Ji Sheng (2008:1) menyatakan bahwa pembaca adalah menerima
informasi dari penulis melalui kata‐kata, kalimat, paragraf dan seterusnya, kemudian mencoba memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis, pembaca sebenar tidak memperoleh informasi dari teks/ bacaan. Pada dasarnya informasi tetap tinggal didalam sistem kognisi penulis; dan tidak pernah keluar dari otaknya. Seperti yang dijelaskan oleh Steinberg (2001:321‐323) bahwa menurut teori Wernick tentang membaca, pada saat melihat kata atau simbol tulisan, sinyal masuk dari mata menuju kawasan visual cortex di occipital lobe, terus ke angular gyrus, menuju area Wernick’s dan lansung menemukan makna. Sayangnya, teori Wernick tidak tegas menjelaskan bagaimana makna tersebut ditemui. Sebernya, pembaca tidak menerima informasi dari bacaan, tapi ia memproduksi, atau menciptakan informasi baru; yang diterima oleh pembaca hanya sinyal, kode atau simbol. Benar, bahwa informasi baru tersbut tidak muncul atau tercipta begitu saja, tapi tercipta berdasakan proses yang melibatkan informasi dan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. a) Proses pengucapan sebuah kata setelah mendengar kata tersebut b) Prose pengucapan sebuah kata setelah membaca kata tersebut. Temuan baru mengungkapkan bahwa pada saat seseorang membaca tanpa mengucapkan kata tersebut, area Broca tidak aktif. Artinya Pemberian makna berlangsung di Wernick’s area (Steinberg, Ngata, and ALine,.2001)
7
Memang, anatara pembaca dan penulis terjadi suatu “negosiasi ghoib” melaui perentaraan simbol atau teks. Pembaca berusaha seoptimal mungkin mendekatkan informasi baru yang diciptakannya dengan informasi yang ada didalam pikiran penulis. Proses negosiasi ini disebut oleh He Ji Sheng (2008:1) sebagai proses pemahaman (comprehension process) yang berbeda dari proses membaca. Proses membaca merupakan proses komunikasi antara pembaca dengan penulis yang melbatkan rekognisi huruf, kata, klausa, dan kalimat, interprestasi dan persepsi; sedangkan pemahaman adalah proses negosiasi makna antara pembaca dan penulis yang melibatkan proses psikologis yang lebih kompleks yang tidak hanya melibatkan faktor linguistik, tapi juga aspek kognitif dan emosional. Dengan cara berbeda, prose memabaca dapat difahami dari dua pendekatan: 1) pendekatan bottom‐up, dan penedekatan top‐down. Pendekatan bottom‐up (berbasis pendekatan psikologi behaviorisme) adalah sebuah model serial dimana pembaca memulai proses dengan kata tercetak (printed word), mengenal stimulus grafis, mendekodekan (decode) stimulus tersebut menjadi bunyi, mengenal kata dan mendekodekan kata tersebut menjadi makna. Setiap komponen tersebut melibatkan proses yang tidak saling tergantung satu sama lain, dan membangun diatas sub‐proses sebelumnya; sub‐proses yang lebih tinggi tidak dapat mundur ke sub‐proses yang lebih rendah. Sementara pendektanan top‐down menekankan pentingnya informasi atau pengetahuan yang telah ada dalam sitem memori pembaca yang diaktifkan pada saat membaca. Pendekatan yang berbasis model teori skema (schema‐theoritic models) ini melihat bahwa pada saat membaca, pembaca mengaktif jaringan informasi atau pengetahuan yang telah ada dalam sistem otaknya (shema) untuk menyaring informasi yang baru masuk melalui simbol tertulis (Alderson, 2005:16‐17).
Membangun Budaya Literasi Persoalaan sentral bangsa Indonesia dari dulu sampai sekarang adalah budaya literasi yang didalamnya terdapat budaya baca yang sering salah difahami sebagai minat baca. Kita terlalu lama menghabiskan waktu energi dan dana untuk membangun minat baca yang 8
sepertinya selalu gagal (lihat bagian Pendahuluan tulisan ini). Sebaimana diungkapkan diatas, bahwa pesoalan yang sesungguhnya bukan minat baca tapi rendah kemampuan baca yang berdampak pada ketidakgemaran membaca, yang pada gilirannya tidak berkembangnya budaya baca (Mattew Effect). Oleh karena itu, kenapa tidak kita belajar dari bangsa tentangga yang telah berhasil membangun budaya literasi, seperti Malaysia, Thailand, Finilipina dan Songapura yang budaya literaasi sudah lebih baik dari kita. Pentingnya Emergent Literacy Salah satu faktor penting yang mempengaruhi budaya literasi yang terabaikan adalah pentingnya kemunculan dan perkembangan kemampuan literasi pada masa usia dini. Seperti diungkapkan oleh banyak ilmuan bahwa foktor yang dikenal dengan istilah emergent litercy ini sangat menentukan perkebangan literasi seseorang pada masa sekolah sampai masa dewasa. Whitehurst dan Lonigan (1998), umpamanya, mengungkapkan bahwa emegergent literacy merupakan sebuah kontinum perkembangan literasi yang bermula pada masa dini kehidupan anak‐anak, bukan fenomena yang mulai pada saat anak diajar membaca secara formal di sekolah. Penelitian lain mengungkapkan bahwa sensitivitas fonologis, pengetahuan tenang huruf (bentuk dan bunyi) dan perkembangan bahasa lisan pada masa prasekolah 72% mempengaruhi kemampuan membaca pada masa sekolah awal (Lonigan, 2000).
Pada dasarnya, emergent literacy bukan aktivitas membaca aktual seperti yang kita
lihat pada anak‐anak usia sekolah dan orang dewasa. Seperti diungkapkan oleh Saint‐Laurent dan Giasson, 1999) bahwa istilah “emergent literacy” dideskripsikan sebagai prestasi anak‐anak dalam hal pengetahuan, kemampuan, dan sikap terkait memabaca tanpa pengajaran formal sebelum anak‐anak mulai membca secara konvensional. Pada usia praksekolah (dibawah 7) tahun, anak‐anak memang belum diajarkan membaca, tapi pada mereka hendaknya sudah diperkenalkan segala sesuatu terkait membaca. Mereka sudah diperkenalkan tentang buku, tentang huruf, fungsi bahan bacaan (cerita, isnstruksi, pengtahuan dan sebagainya). Sehingga pada usia ini mereka
telah membangun sikap yang konstruktif terhadapa literasi.
Peranan orang tua dan orang terdekat dalam lingkungan anak tidak dapat dipungkiri sangat menentukan dalam hal menumbuhkan emergent literacy. Wells, (1986) dan Vygotsky (1962) seperti dikutip oleh Elster (1994) mengungkapkan bahwa pada anak usia dini, belajar menggunakan bahasa dan literasi tidak terpisah dari penciptaan dan berbagi makna dan 9
aktivitas yang penuh makna bersama orang lain. Pada saat anak‐anak mulai belajar tentang membaca dan menulis di rumah dan dalam masyarakat, penguasaan mereka terhadap simbol‐simbol alfabetis terbentuk bersamaan dengan pemahaman yang dalam konteks yang luas tentang literasi (Goodman, 1984; Purcell‐Gates, 1986 didalam Elster, 1994). DeCusati dan Johnson (2204) (banyak lagi yang lain) mengungkapkan pentingnya keterlibatan orang tua dalam menumbuhkan emergent readng. Ringkasnya, penumbuhan dan pengembangan emergent literacy, yang merupakan basis utama budaya literasi, membutuhkan perhatian serius mulai dari orang tua, lingkugan keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Budaya literasi tidak hanya mengacu ke aktivitas membaca masyarakat saja, tapi juga dari penghargaan, sikap dan prilaku masyarakat tersebut terhadap literasi itu sendiri. Penghargaan terhadap literasi mencerminkan keyakinan yang dimilki oleh sebuah masyarakat bahwa literasi memiliki nilai khusus yang harus dijunjung bersama. Pada masa lalau, orang yang memilki kemampuan membaca dan memiliki koleksi bahan bacaan lebih dihormati dari yang lain dan memilki kebanggaan tersendiri. Masyarakat yang memilki budaya literasi biasanya memiliki sikap positif dan konstruktif terhadap segala sesuatu terkait literasi, seperti bahan bacaan. Sikap tersebut tercermin dari prilaku mereka terhadap aktivitas literasi dan material terkait literasi. Umpanya, kita belum bisa menyebutkan sebuah masyarakat sudah berbudaya literasi jika masyarakat tersebut belum memiliki perpustakaan yang dikembangkan dan dikelola oleh mereka sendiri; kita belum bisa menyebutkan bahwa sebuah masyarakat telah berbudaya literasi, jika kita belum menemukan aktivitas membaca secara terus menerus dalam masyarakat tersebut tanpa tekanan tertentu. Semua ini adalah cerminan sikap dan prilaku masyarakat tersebut terhadap aktivitas terkait literasi.
Selain orang tua dan masyarakat, pemerintah sebagai lembagai formal yang
mengurus, memfasilitasi, dan mengayomi masyarakat, memiliki peranan yang sangat sentral dalam membangun budaya literasi. Secara umum, peran pemerintah dalam hal ini dapat dikelompokkan atas dua: 1) peran regulasi, 2) dan peran fasilitasi. Dalam hal regulasi, pemerintah tidak hanya berperan mengadakan regulasi (seperti Undang‐undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan), tapi juga mendorong dan mengawasi implementasinya. Dalam hal peran fasilitasi, pemerintah sebagai mana diatur oleh peraturan perundang‐
10
undangan, harus menyediakan fasilitas terkait literasi seperti perpustakaan, bahan bacaan, subsidisi penerbitan, dan sebagainya.
Simpulan Dari uraian dan diskusi diatas kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan medasar bangsa Indonesia dalam hal pendidikan dan literasi bukan adalah kemampuan membaca, bukan minat baca seperti yang selama ini kita wacanakan. Akibat dari kesalahan memahami persoalan ini, kita tidak menghiraukan persoalan kemampuan membaca, baik dari perpektif akademis maupun dari perspektif finansial. Dari perspektif akademis, kita tidak begitu peduli dengan tigkat pemahaman, kecepatan dan kemampuan membaca kritis masyrakat kita. Dari perspektif finansial, kita belum melihat adanya minat pemerintah dalam mengalokasikan anggaran negara untuk subsidi penerbitan secara signifikan sehingga masyarakat dapat memperoleh bahan bacaan dengan harga terjangkau.
Ketertinggalan dalam hal budaya literasi bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh
kegagalan kita dalam menangani emergent literasi yang langsung berdapak pada kegagalan berikutnya. Seperti mendirikan bangunan, bangsa Indonesia tidak memilki fondasi bangunan literasi yang kokoh, sehingga seluruh konstruksi bangun literasi menjadi berantakan dan rentan roboh. Ketidakgemaran bangsa Indonesia dalam hal membaca yang kita hadapi sekarang ini bukan hanya dipengaruhi oleh latar belakang budaya orality (lisan) bangsa Indonesia, tapi lebih banyak disebabkan oleh kegagalan kita mengkondidikan budaya literasi pada usia dini.
Usaha mmbangun budaya literasi harus dimulai dari pengkondisian masyarakat usia
dini dengan melibatkan orang tua dan orang terdekat lainya. Keterlibatan masyarakat secara lebih luas mulai dirasa perlu pada saat anak‐anak mualai memasuki lingkungan yang lebih luas, seperti sekolah dan mayarakat tempat tinggal. Keterlibatan pemerintah dalam hal pengadaan regulasi dan fasilitas sangat mendukung tumbuhnya budaya literasi. Peran, pemerintah (pusat dan daerah), dalam hal ini, tidak hanya sebatas menyediakan regulasi; keterlibatan pemeriintah dalam mendorong dan mengawasi implementasi regulasi tersebut lebih penting disamping penyediaan fasilitas seperti perpustakaan, bahan bacaan dan falitas terkait literasi lainnya. 11
Reference Alderson, J. Charles (2005). Assessing Reading. New York: Cambridge Universty Press. Carrell, P. L., B. G. Pharis, and J. C. Liberto. 1989. Metacognitive strategy training for ESL reading. TESOL Quarterly 23 (4): 647‐78. Carrel, Patricia L. (1989). Metacognitive Awareness and Second Language Reading. The Modern Language Journal, Vol. 73, No. 2. http://www.jstor.org/stable/326568 DeCusati, Cheryl L. Porter dan Johnson, James E. (2004) Parents as Classroom Volunteers and Kindergarten Students' Emergent Reading Skills. The Journal of Educational Research, Vol. 97, No. 5 (May ‐ Jun., 2004), pp. 235‐246 http://www.jstor.org/stable/27548036 Dhieb‐Henia, Nebila (2006). Applying Metacognitive Strategies to Skimming Research Articles in an ESP Context. English Teaching Forum. Volume 44 Number 1 Elster, Charles (1994). Patterns within Preschoolers' Emergent Readings. Reading Research Quarterly, Vol. 29, No. 4 (Oct. ‐ Nov. ‐ Dec., 1994), http://www.jstor.org/stable/747787 Gee, James. The New Literacy Studies and the "Social Turn". http://www.schools.ash.org.au/litweb/page300.html. Harman, D. (1987) Illiteracy: a National Dilemma (New York, Cambridge). He Ji Sheng (2008). A Cognitive Model for Teaching Reading Comprehension. English Teaching Forum. Volume 38, Number 4 Kolić‐Vehovec, Svjetlana dan Igor Bajšanski. Metacognitive strategies and reading comprehension in elementary‐school students. European Journal of Psychology of Education, Vol. 21, No. 4 (December 2006), http://www.jstor.org/stable/23421392. Langer, J. A. (1987) A sociocognitive perspective on literacy. In J. A. LANGER (ed) Language, Literacy and Culture: Issues of Society and Schooling. New Jersey, Norwood. Saint‐Laurent, Lise dan Giasson, Jocelyne (1999). Four Canadian Kindergarten Teachers' Reports about the Implementation of an EmergentReading Program. The Elementary School Journal, Vol. 100, No. 2 (Nov., 1999), http://www.jstor.org/stable/1002210 Steinberg, D.D, Ngata, H. and ALine, D. (2001). Psicholinguistics: Language, Mind and World. Harlow: Pearson Education Limited. Tilley, C. M. (1984) Australian public libraries, the library association of Australia, and literacy, Australian. Journal of Adult Education, 24 (2), 13‐20. Tuinman, J. J. (1978) From the editor. Journal of Reading Behaviour, 10 (3), 229‐ 231. Wells, G. (1990) Creating the conditions to encourage literate thinking, Educational Leadership, March, 13‐17. Whitehurst, Grover J. dan Lonigan, Christopher J. (1998). Child Development and Emergent Literacy . Child Development, Vol. 69, No. 3 (Jun., 1998), http://www.jstor.org/stable/1132208 12