Pemaknaan Motivasi Kerja Kuat dan Motivasi Kerja Lemah (Studi Kasus Pada Dosen, Manajer dan Staf Laki-laki dan Perempuan)1 Ayu Dwi Nindyati
[email protected] Ath Thariq Utami
[email protected] Atin Yakutin
[email protected] Abstrak Pemahaman motivasi kerja secara umum telah terpatri dalam benak setiap pelaku organisasi tidak hanya bagi para pimpinan namun juga para staf. Pada umumnya para pelaku organisasi memahami motivasi kerja sebagai dorongan untuk melaksanakan pekerjaan minimal memenuhi standar kerja yang ditetapkan. Berangkat dari pemahaman umum ini, peneliti tertarik untuk mengupas lebih dalam terkait dengan makna dari motivasi kerja melalui suatu studi yang menggali karakteristik atau indikator perilaku dari para pelaku organisasi yang tergolong pada motivasi kuat dan motivasi lemah sebagai pemaknaan mendalam atas motivasi kerja. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif deskriptif. Jumlah responden penelitian sebanyak 11 orang yang terdiri dari 3 laki-laki dan 8 perempuan. Responden adalah kelompok dosen, manajer dan staf. Hasil penelitian menegaskan, dari tiga kelompok responden memunculkan berbagai variasi indikator perilaku. Untuk kelompok dosen memandang motivasi kuat adalah tepat waktu dalam menyelesaikan tugas (baik laki-laki dan perempuan), dan motivasi lemah menunda pekerjaan (dosen perempuan) dan mengeluh tentang pekerjaan (dosen laki-laki). Staf perempuan beranggapan bahwa motivasi kuat adalah datang dan pulang kerja tepat waktu, staf laki-laki menyebutkan motivasi kuat rajin dalam menyelesaikan tugas. Sedangkan untuk motivasi lemah untuk staf perempuan menyebutkan tidak menaati peraturan dan staf laki-laki tidak menghindar dari penugasan. Manajer menyatakan indikator perilaku motivasi kuat adalah mau bekerja extra role dan motivasi lemah adalah datang untuk bekerja terlambat pulang kerja lebih awal. Pembahasan dari hasil penelitian tersebut peneliti memandang bahwa indikator perilaku dari motivasi kerja yang dimunculkan lebih diwarnai oleh aspek hygiene (menurut Herzberg sebagai aspek eksternal) yaitu terkait dengan prosedur kerja dan tata kelola seperti peraturan jam kerja, ketepatan menyelesaikan tugas, relasi dengan rekan kerja dan kondisi atau iklim organisasi. Selain itu peneliti menyimpulkan bahwa makna khusus dari motivasi kerja selaras dengan makna umumnya yaitu dorongan untuk menyelesaikan tugas sesuai dengan standar kerjanya,secara spesifik adalah standar waktu. Tidak ada dari responden yang menyebutkan bahwa motivasi kuat ini berkaitan dengan prestasi kerja yang bagus secara eksplisit, namun bila dianalogikan bahwa menyelesaikan tugas tepat waktu sebagai indikator dari prestasi kerja, maka pemaknaan motivasi kerja ini dapat diselaraskan dengan motivasi berprestasi. ata Kunci: Pemaknaan (meaning), Motivasi kerja, Motivasi Kerja Kuat, Motivasi Kerja Lemah
Pendahuluan Istilah motivasi kerja dipahami bagi para pelaku organisasi baik employers (pimpinan) maupun employees (karyawan) sebagai suatu istilah yang memberikan gambaran adanya dorongan atau drive yang melatarbelakangi perilaku kerja muncul. Tidak sedikit motivasi kerja dikaitkan dengan motivasi berprestasi yang berorientasi pada pemahaman atas dorongan untuk mencapai prestasi yang diharapkan. Schultz dan Schultz (2006) menjelaskan adanya 1
Dipresentasikan pada Academic Research Paramadina 2014, 22 Desember 2014
dua alasan utama terkait dengan penelitian atau pengkajian motivasi adalah langkah yang sangat penting sampai saat ini. Pertama, seringkali sebagai konsumen kita sebagai korban dari karyawan yang mengalami ketidakpuasan sehingga menghasilkan kinerja yang kurang bagus atau kurang mampu memenuhi kemauan konsumen dengan tepat. Kedua sebagai karyawan atau pelaku organisasi kita akan menggunakan setengah dari waktu produktif kita di tempat kerja untuk 40-45 tahun. Kondisi ini tentulah suatu tahap atau waktu yang sangat lama untuk kita berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan, frustrasi, tidak puas dan tidak bahagia. Dengan tujuan tersebut maka keberadaan motivasi dalam diri manusia menjadi satu aspek yang harus dijaga agar tidak mengakibatkan perilaku kerja yang kurang bagus. Para ahli Psikologi menjelaskan motivasi sebagai salah satu aspek yang mendorong munculnya perilaku. Pemahaman perilaku manusia dapat dijelasksan oleh motivasi berkembang sejak tahun 1940 sampai dengan 1960 an. Salah satunya adalah Hull pada tahun 1940 an (1943; 1945) menjelaskan bahwa perilaku manusia adalah fungsi perkalian dari drive (dorongan) dan habit (kebiasaan) yang biasa dituliskan B=f(D x H). Tokoh lain yaitu Vroom (dalam Munandar, 2008) menyebutkan bahwa performance (kinerja) merupakan fungsi dari motivation (motivasi) dan ability (kemampuan). Dari kedua tokoh tersebut dipahami bahwa motivasi dan drive merupakan salah satu determinan yang tidak dapat dilepaskan bila memelajari perilaku manusia. Perilaku manusia dapat muncul tergantung dari intensitas dari motivasi atau drive itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Motivation (theory, research and applications; fifth edition), Petri dan Govern menjelaskan bahwa motivasi merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan dorongan pada atau dalam diri organisme yang menginisiasi atau merangsang perilaku organisme itu sendiri (Petri & Govern, 2004). Petri dan Govern (2004) dan
Spector ( 2012) juga menjelaskan bahwa dalam memahami motivasi terlihat pada
intensity dan persistence. Semakin tinggi seseorang memiliki motivasi maka dapat terlihat pada intensitasnya dalam perilaku tertentu. Selain itu orang yang memiliki motivasi tinggi juga menunjukkan adanya persistence yang kuat. Persistence ini dijelaskan sebagai perilaku yang memiliki keterlibatan yang berkelanjutan dalam pencapaian tujuan. Petri dan Govern juga menyampaikan bahwa dari dua hal ini (intensity dan persistence) tidak selamanya beriringan dalam menjelaskan motivasi pada manusia. Sebagai contoh dapat saja ditemui bahwa orang yang memiliki motivasi tinggi biasanya disertai dengan persistensi yang kuat walaupun tidak jarang intensitasnya kurang.
Selain aspek intensity dan persistence tersebut, Petri dan Govern menambahkan bahwa untuk melihat motivasi manusia dapat terlihat juga dari aspek vigor yang dipahami sebagai semangat dalam beraktivitas. Dengan aktivitas yang dilakukan manusia dapat diperoleh gambaran motivasi yang melandasinya. Aspek lain yang harus diperhatikan adalah adanya direction atau arah perilaku kita. Sebagai contoh, bila kita merasa lapar, maka perilaku kita lebih terarah pada lemari es atau ruang makan. Para ahli psikologi masih memperdebatkan soal arah sebagai cerminan dari keberadaan motivasi dalam diri manusia, karena arah seseorang muncul lebih dilandasi adanya kebutuhan yang memerlukan pemenuhan atas kebutuhan tersebut. Dalam ilmu pengetahuan termasuk psikologi, pembahasan motivasi juga mengalami perkembangan dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang psikologi industri dan organisasi. Motivasi dalam konteks psikologi industri dan organisasi lebih sering dikenal sebagai motivasi kerja. dorongan energetic yang
Pinder (1998) menjelaskan motivasi kerja sebagai serangkaian dimiliki karyawan untuk menunjukkan perilaku kerja dan
mendasari perilaku kerja tersebut dengan arah, intensitas dan durasi. Dengan demikian dalam memahami motivasi kerja terlihat selaras dengan pemahaman tentang motivasi secara umum, yang tetap dilandasi oleh adanya tiga aspek yaitu arah, intensitas dan durasi/persistence. Beberapa ahli sepakat bahwa dalam pembahasan tentang motivasi termasuk motivasi kerja dilandasi oleh dua perspective besar yaitu kelompok content theory dan process theory. Dalam kelompok content theory termasuk di dalamnya adalah teori hirarkhi kebutuhan dari Maslow, teori dua faktor dari Herzberg dan teori motivasi berprestasi dari McClelland. Kelompok teori ini menjelaskan bahwa faktor yang membuat individu menunjukkan perilaku yang energic, terarah dan sustain adalah karena adanya aspek kebutuhan khusus yang memotivasinya. Kelompok teori proses terdiri dari teori reinforcement, expectancy, equity dan goal setting. Kelompok teori ini menjelaskan bagaimana perilaku manusia bisa energik, terarah dan sustain adalah karena adanya serangkaian proses yang dilakukan untuk membuat manusis termotivasi
(Munandar, 2008; Spector, 2012; Petri & Govern, 2004, Schultz &
Schultz, 2006). Teori hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Masloww merupakan satu teori motivasi content yang cukup familier. Maslow menjelaskan bahwa dalam berperilaku, manusia terpacu untuk memenuhi kebutuhan secara hirarki. Manusia senantiasa menginginkan kebutuhan yang belum dimiliki, konsekwensinya adalah bila yang kita
inginkan telah terpenuhi, maka kita sudah termotivasi lagi untuk menunjukkan perilaku yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan tersebut dan mulai beranjak kepada kebutuhan lain yang lebih tinggi yang belum terpenuhi. Sekali kita sudah memenuhi kebutuhan yang lebih rendah, maka kita akan terdorong untuk beranjak memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi. Susunan kebutuhan dari yang rendah sampai yang tinggi adalah: 1) Physiological needs; 2) Safety needs; 3) Belonging & Love needs; 4) Esteem needs dan 5) Self-actualization needs (Schultz & Schultz, 2006). Teori lain yang tergolong pada content theory adalah teori motivasi yang dikemukakan oleh McClelland. McClelland mengembangkan konsep teori motivasi dengan menggunakan pedoman pemahaman tentang kebutuhan (needs) yang dikemukakan oleh Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993). Teori motivasi yang dikembangkan oleh McClelland dikenal sebagai teori tiga kebutuhan. Menurut McClelland kebutuhan individu meliputi tiga hal, yaitu need for achievement atau n Achievement (kebutuhan untuk berprestasi), neef for power atau n Power (kebutuhan untuk berkuasa), dan need for affiliation atau n Affiliation (kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain). Ketiga kebutuhan tersebut mempunyai kekuatan yang berbeda untuk mendorong munculnya perilaku pada setiap individu, dan perilaku yang diperlihatkan juga berbeda sesuai dengan dominasi kebutuhan yangada pada setiap individu. Munandar (2008) menjelaskan bahwa penelitian-penelitian yang melibatkan teori McClelland cenderung menggunakan salah satu kebutuhan saja yaitu n Achievement (Schultz & Schultz, 2006). Teori terakhir yang tergolong pada kelompok content theory adalah teori dua faktor dari Herzberg yang menjelaskan adanya faktor motivation dan hygiene yang membuat orang tergerak untuk berperilaku. Herzberg menyebut motivator factors untuk hal-hal yang berkaitan dengan kejadian yang memuaskan karena hampir dari semua cerita tentang kepuasan juga melibatkan adanya produktivitas dan self-direction yang tinggi. Di sisi lain, dari sudut pandang supervisor, karyawan yang menceritakan kejadian-kejadian positif terlihat menunjukkan motivasi kerja pada level yang tingg. Di sisi lain, Herzberg menyebutkan hygiene factors untuk hal-hal yang berkaitan dengan adanya situasi tidak menyenangkan (dissatisfying events). Istilah hygiene digunakan dengan mengambil istilah tersebut dari bidang epidemology yang dipahami sebagai suatu faktor yang tidak membuat individu menjadi sehat namun hanya mencegah individu untuk menjadi sakit. Selaras dengan hal ini, Herzberh dkk sepakat bahwa penghasilan, hubungan kerja yang bagus, kebijakan yang fair
dan kondisi kerja yang nyaman tidak mampu memfasilitasi munculnya kepuasan kerja dalam jangka waktu yang lama, namun lebih kepada mencegah terjadinya dissatisfaction. Herzberg menegaskan dalam teori yang diajukan bahwa ketidakpuasan bukanlah kebalikan dari kepuasan. Ketidakpuasan merupakan kebalikan dari tiadanya ketidakpuasan (dissatisfaction – no dissatisfaction) dan kepuasan merupakan kebalikan dari tiadanya kepuasan (satisfaction – no satisfaction) (Schultz & Schultz, 2006). Kelompok teori proses diawali dengan membahas expectancy theory atau VIE (ValenceInstrumentality-Expectancy) yang disampaikan oleh Vroom pada tahun 1960an (Spector, 2012; Schultz & Schultz, 2006). Teori ini menjelaskan bahwa motivasi yang dimiliki manusia dilandasi dengan adanya keyakinan terhadap tiga hal yaitu 1) usaha yang diperlihatkan seseorang akan mengarahkan kinerja, 2) kinerja akan mengarahkan outcome yang spesifik dan 3) Outcome yang dihasilkan akan memberikan nilai tertentu bagi orang tersebut. Bila seseorang menilai outcome yang dihasilkan adalah sesuatu yang berharga baginya, maka Ia akan cenderung mengulang kembali usaha yang dilakukannya dan begitu seterusnya. Konsep ini menjelaskan motivasi seseorang melalui kemauan dalam mengulang usaha yang telah dilakukan bila menghasilkan outcome yang dinilainya berharga (Spector, 2012; Schultz & Schultz, 2006). Teori kedua dari kelompok proses adalah teori keadilan yang dikemukakan oleh J Stacey Adam
(Schultz & Schultz, 2006). Teori ini menjelaskan bahwa seseorang terdorong
berperilaku karena melihat dan memersepsikan dirinya diperlakukan secara adil dibandingkan orang lain. Teori ini menjelaskan bahwa ketika karyawan atau seseorang diperlakukan dengan adil, maka hal ini akan memberikan dampak yang positif pada kepuasan yang dirasakannya. Karyawan atau seseorang yang mengalami kepuasan ini, maka Ia akan terdorong untuk memperliatkan kinerja yang bagus dan mengulang hal-hal yang membuatnya merasa puas tersebut. Dan sebaliknya bila seseorang atau karyawan memersepsikan dirinya tidak diperlakukan dengan adil di tempat kerjanya atau lingkungannya, maka ia akan cenderung tidak puas dan ketidakpuasan ini akan menghalanginya dalam mengulang usaha yang dilakukan untuk mendapatkan kinerja yang bagus (Spector, 2012). Goal setting theory merupakan konsep ketiga yang termasuk dalam kelompok teori proses. Dalam teori goal setting dijelaskan bahwa apa yang kita lakukan karena dilandasi oleh adanya dorongan untuk mencapai tujuan yang telah dibuat atau diberikan padanya. Tujuan yang mampu meningkatkan dorongan untuk mencapai tujuan biasanya berkaitan
dengan seberapa besar diperlukan tingkat partisipasinya dalam mencapai tujuan tersebut, tingkat kesulitan tujuan, kejelasan tujuan, seberapa penting tujuan tersebut bagi dirinya dan adanya umpan balik yang terkait dengan progress dari pencapaian tujuan (Schultz & Schultz, 2006). Dengan menggunakan landasan konseptual yang telah disampaikan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam terkait dengan pemaknaan akan motivasi kerja. Peneliti berkeinginan untuk melihat gambaran perilaku seperti apa yang diperlihatkan oleh karyawan yang termasuk dalam kategori memiliki motivasi kuat dan motivasi lemah. Apakah konsep tentang motivasi kerja yang dilandasi oleh adanya tiga determinan umum yaitu intensitas, persistence dan dirction juga melandasi pemahaman responden akan motivasi kerja itu sendiri. Selain itu dengan melihat teori-teori motivasi yang ada, maka dalam penelitian ini juga hendak dilihat secara umum pemahaman atau pemaknaan akan motivasi kerja kuat dan motivasi kerja lemah yang dimiliki responden, cenderung menjelaskan konsep yang mana.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, yang menjelaskan suatu rangkaian proses penelitian dengan melibatkan pengumpulan data-data yang tidak berupa angka. Pengolahan data yang dikumpulkan juga tidak menggunakan pendekatan statistik, namun lebih menggunakan content analysis. Dengan menggunakan content analysis maka serangkaian data yang diperoleh dari pertanyaan terbuka pada kuesioner yang digunakan akan dilakukan prosed koding dengan mengelompokkan data-data yang memiliki makna yang sama ke dalam satu kelompok tertentu (Cresswell, 2005). Responden penelitian yang digunakan sebagai sumber data pada penelitian ini adalah individu yang bekerja pada dua jenis perusahaan, yaitu Perguruan tinggi dan Perusahaan advertising. Responden terdiri dari tiga kelompok yaitu dosen, manajer dan staf baik laki-laki maupun perempuan. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling non random convenience sehingga responden yang terlibat dalam penelitian ini telah menyatakan kesanggupannya untuk menjadi responden. Jumlah responden sebanyak 11 orang, dengan 8 perempuan dan 3 laki-laki. Dosen terdapat 5 orang, 2 manajer dan 4 staf/karyawan.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terbuka yaitu ‘berdasarkan pengamatan anda terhadap lingkungan kerja anda, uraikan gambaran perilaku kerja-perilaku kerja seperti apa yang diperlihatkan karyawan yang memiliki motivasi kerja kuat dan motivasi kerja lemah’. Berdasarkan pertanyaan tersebut, peneliti merangkum data yang ada dan melanjutkan dengan melakukan koding untuk melihat kategorisasi pemaknaan akan motivasi kerja kuat dan lemah berdasarkan jenis kelamin dan kelompok responden yang ada.
Hasil Analisis Data Proses analisis data dilakukan dengan melakukan content analysis terhadap data-data yang diperoleh dari responden. Peneliti mengelompokkan respon pertama, kedua dan ketiga dari para responden. Tabel 1 berikut ini akan menjelaskasn hasil koding terhadap kelompok responden dosen. Tabel 1. Hasil koding untuk responden dosen Urutan Respon
Motivasi Kuat Perempuan Laki-laki Respon Tepat waktu dalam Tepat waktu dalam pertama menyelesaikan menyelesaikan tugas tugas Datang tepat waktu Datang tepat waktu
Motivasi Lemah Perempuan Laki-laki Menunda pekerjaan Mengeluh Datang terlambat tentang Mudah mengeluh pekerjaan saat banyak Sering terlambat pekerjaan datang bekerja
Respon ke dua
Aktif dalam kepanitiaan Mengerjakan tugas sebelum deadline
Memiliki tugas yang harus diselesaikan lebih dari satu Menyelesaikan tugas tepat waktu
Sering tidak masuk Menunda pekerjaan
Tidak menyelesaikan tugas tepat waktu Deadliner
Respon ke tiga
Aktif meneliti Mampu bekerja Melebihi job description
Mampu menghasilkan karya lebih dari satu dalam satu tahun Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya
Terlambat mengumpulkan tugas Tidak mau mengembangkan diri/ bekerja sesuai kemampuan saja
Sering tidak masuk bekerja Tidak bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas
Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat adanya variasi pemaknaan motivasi kerja kuat antara dosen laki-laki dan dosen perempuan. Perilaku kerja yang mendominasi terkait dengan motivasi kuat adalah perilaku yang berkaitan dengan ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas, datang bekerja tepat waktu (ketaatan akan prosedur kerja), aktif dalam kepanitiaan dan tugas-tugas di luar tugas utama dosen, aktif dalam meneliti dan menghasilkan karya lebih dari satu dalam satu tahun serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Sedangkan untuk memaknakan motivasi lemah, para dosen menyebutkan bahwa terdapat indikator perilaku yang secara umum berkaitan dengan penyelesaian tugas tidak tepat waktu, menunda penyelesaian tugas, tergolong deadliner, sering tidak masuk kerja tanpa keterangan, tidak bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas, terlambat mengumpulkan tugas dan tidak menunjukkan kesediaan untuk mengembangkan diri (lebih senang bekerja sesuai kemampuannya saja). Peneliti melihat bahwa pemaknaan motivasi kuat oleh dosen laki-laki dan dosen perempuan bila disoroti dari segi konseptual maka terlihat dari teori dua faktor Herzberg (hygiene-motivator factor) bahwa pemahaman responden kelompok dosen tentang motivasi kerja yang kuat dan lemah dikarenakan adanya kemampuan untuk menunjukkan perilaku kerja sesuai dengan prosedur kerja atau tidak. Herzberg menjelaskan dalam teorinya bahwa aspek-aspek yang berkaitan dengan prosedur dan administrasi kerja, sistem insentif dan penggajian, iklim organisasi, kondisi kerja dan supervision, merupakan aspek-aspek yang tergolong pada hygiene factor. Dari pemaknaan yang disampaikan para dosen ini juga terdapat makna yang mencerminkan adanya motivator factor yaitu bertanggung jawab dalam penyelesaian tugas-tugas yang diberikan padanya dan kemauan untuk mengembangkan diri. Hal ini terjadi bisa saja dikarenakan melihat indikator perilaku yang dilandasi oleh aspekaspek eksternal seperti dalam aspek hygiene factor ini lebih mudah dibandingkan dengan indikator perilaku yang dilandasi oleh aspek motivator factor. Herzberg menjelaskan bahwa motivator factor terdiri dari tanggung jawab, pekerjaan itu sendiri, pengakuan dan achievement atau pencapaian. Hasil koding tabel 1 juga menunjukkan adanya indikasi adanya usahan pencapaian hasil kerja yang optimal dengan disertai adanya pengelolaan waktu. Tidak menunda pekerjaan yang dapat dilakukan dalam waktu yang ada. Hal ini menjelaskan adanya indikasi dari perilaku kerja yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk berprestasi. McClelland
menjelaskan bahwa di antara kriteria-kriteria yang ada untuk individu dengan dominasi kebutuhan berprestasi, individu senantiasa berorientasi pada penyelesaian tugas tepat waktu, tidak menunda pekerjaan dan juga berorientasi pada pencapai hasil kerja yang lebih bagus dari sebelumnya. Tabel 2 memaparkan terkait dengan pemaknaan motivasi kuat dan lemah dari kelompok responden manajer. Kelompok ini hanya diisi oleh dua manajer yang dua-duanya perempuan. Tabel 2. Hasil koding untuk responden manajer Urutan Respon Respon pertama Respon ke dua
Motivasi Kuat Mau bekerja extra time Punya visi dan misi yang jelas Tidak menggerutu saat bekerja Rajin datang ke kantor Memberikan pengaruh positif pada lingkungan kerja
Motivasi Lemah Datang telat pulang cepat Jarang datang ke kantor Terlambat masuk sehingga tugas terbengkalai Tidak mau berkembang Menggerutu dalam menyelesaikan tugas Ucapan dan tindakan yang negatif pada perusahaan
Dari hasil koding kelompok responden manajer pada tabel 2 diperoleh informasi, bahwa terlihat keberimbangan makna antara faktor eksternal dan internal. Berdasarkan teori dua faktor yang disampaikan Herzberg dapat terlihat adanya pemaknaan yang berada dalam aspek motivator factor yaitu memiliki kejelasan tujuan dalam visi dan misi saat menyelesaikan tugasnya, mampu memberikan impact positif pada lingkungan kerja, dan menunjukkan kemauan untuk berkembang lebih bagus. Selain itu juga terlihat adanya aspek eksternal (hygiene factor) yang melandasi dipahaminya indikator perilaku tersebut sebagai motivasi kuat dan lemah yaitu ketaatan akan prosedur kerja seperti tidak terlambat masuk kerja, tidak mengeluh saat menyelesaikan tugas, tidak mengumbar hal-hal negatif perusahaan dan bersedia untuk menerima penugasan yang memerlukan extra time. Kebutuhan akan adanya kejelasan visi dan misi dalam melaksanakan tugasnya juga memberikan informasi bahwa dalam hal motivasi kuat dan lemah, dalam perspektif teori motivasi yang disampaikan McClelland bahwa orang dengan di dominasi oleh kebutuhan untuk berprestasi hanya terdorong melakukan tugas dengan cepat bila tujuan dari tugas tersebut jelas. Selain itu individu dengan dominasi kebutuhan afiliasi cenderung menjaga
lingkungannya secar harmony sehingga pemaknaan akan motivasi kuat dan lemah yang berkaitan dengan memberikan impact positif dan mengurangi tindakan-tindakan yang mengumbar hal-hal negatif dari perusahaan tempatnya bekerja merupakan cerminan dari dominasi kebutuhan berafiliasi ini. Hasil analisis untuk kelompok ketiga yaitu kelompok staf atau karyawan dalam memaknakan fenomena motivasi kuat dan lemah dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Hasil koding untuk responden staf/karyawan Urutan Motivasi Kuat Respon Perempuan Laki-laki Respon Datang/pulang kerja Rajin dalam pertama sesuai aturan kerja menyelesaikan Disiplin tugas Kreatif dalam menyelesaikan masalah
Motivasi Lemah Perempuan Laki-laki Tidak menaati peraturan Menghindar Tidak disiplin dari Hanya fokus pada pekerjaan pekerjaan tertentu Tidak mau mencoba atau menambah hal-hal baru
Respon kedua
Berprestasi Manajeman kerja yang baik Mampu memecahkan masalah secara mandiri
Kreatif dalam Kinerja rendah dan suka menyelesaikan menjelekkan organisasi tugas Banyak membuang waktu dengan kegiatan tidak perlu Sering mengeluh bila memiliki masalah kerja
Tidak bersedia lembur
Respon ke tiga
Memberikan dampak positif pada lingkungan kerja Bertindak berdasarkan rencana kerja yang baik Proaktif dalam kegiatan meningkatkan ketrampilan
Tepat waktu dalam menyelesaikan tugas
Tidak bersedia dirotasi
Memengaruhi karyawan lain untuk melakukan hal negative Tidak mau belajar Hanya fokus pada materi/uang sebagai imbalan kerja
Staf atau karyawan lebih menunjukkan respon yang bervariasi dalam memaknai motivasi kuat dan motivasi lemah, seperti yang tertuang dalam tabel 3. Seperti halnya dalam kelompok responden lainnya dapat dijumpai indikator-indikator perilaku yang menjelaskan motivasi kuat dan lemah dari responden laki-laki dan perempuan. Indikator-indikator perilaku tersebut mencerminkan perwujudan dari teori-teori motivasi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Berdasarkan teori dua faktor yang dikemukakan Herzberg terlihat ada dominansi motivator factors yang muncul dari pemaknaan akan motivasi kuat dan lemah tersebut. Diantaranya yaitu kreativitas dan kemandirian dalam memecahkan masalah dan
membuat keputusan, berorientasi pada prestasi kerja, proaktif dalam menyelesaikan tugas dan menunjukkan adanya kemauan untuk berkembang dan memelajari hal-hal baru. Aspek hygiene factors masih terlihat yaitu kemauan untuk bekerja sesuai prosedur kerja seperti tepat waktu penyelesaian tugas, menaati aturan kerja, disiplin dan berorientasi pada uang sebagai imbalan dari hasil kerjanya. Berdasarkan pada teori motivasi berprestasi dari McClelland juga terlihat bahwa pemaknaan motivasi kuat dan lemah berkaitan dengan adanya prestasi atau kinerja yang bagus, kemandirian dan rajin dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Dari kelompok responden staf atau karyawan ini muncul satu indikator perilaku yang mencerminkan teori goal setting yaitu membuat rencana kerja yang akurat dan melaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuatnya.
Simpulan 1. Pada setiap kelompok responden (dosen, manajer dan staf/karyawan) menunjukkan adanya kesamaan dalam memberikan makna motivasi kuat dan lemah yaitu menunjukkan adanya asepk hygiene factors berdasarkan teori dua faktor dari Herzberg yang berorientasi pada pelaksanaan tugas sesuai prosedur kerja seperti tepat waktu, disiplin, tidak sering terlambat atau bolos kerja. 2. Pemaknaan selanjutnya yang juga terlihat ada dalam setiap kelompok responden adalah aspek motivator factors berdasarkan teori dua faktor dari Herzberg yaitu adanya kemandirian, kemauan untuk mengembangkan diri, berorientasi pada prestasi dan proaktifitas dalam menyelesaikan tugasnya 3. Aspek orientasi prestasi dan menjaga harmonya lingkungan kerja juga muncul dalam pemaknaan motivasi kuat dan lemah yang menjelaskan adanya pemaknaan dilandasi oleh teori motivasi berprestasi dari McClelland. 4. Dari kelompok responden staf atau karyawan diperoleh pemaknaan yang dapat dikategorikan dilandasi oleh adanya teori Goal Setting yaitu membuat rencana kerja dalam menyelesaikan tugasnya. 5. Responden laki-laki dan perempuan tidak memperlihatkan pemaknaan yang berbeda terkait dengan motivasi kuat dan lemah, keduanya didominasi oleh adanya aspek hygiene yang bersumber dari teori dua faktor (Herzberg)
Saran 1. Terlihat bahwa dari pemaknaan responden, didominasi oleh adanya pemaknaan yang dilandasi oleh aspek hygiene dari teori dua faktor karena memang aspek ini terlihat nyata dalam perilaku. Sehingga disarankan untuk mengembangkan alat ukur yang mengimbangi kekuan observasi aspek hygiene ini, sehingga dapat diukur dengan akurat dari sisi aspek motivator factors yang tergolong sulit untuk diobservasi langsung, namun lebih mudah bila direfleksikan melalui alat ukur. 2. Penggalian kriteria-kriteria ukur dari motivasi kerja perlu dilakukan agar didapatkan alat ukur yang tepat dan akurat yang dilandasi oleh konsep yang telah ada. Sehingga tidak hanya mengembangkan keilmuan psikologi, namun juga menguatkan implementasi keilmuan psikologi dalam dunia kerja, selain itu implementasi manajerial yang dilakukan juga lebih akurat karena dibingkai oleh penelitian yang berlandaskan konsep yang tepat dan sudah disesuaikan dengan budaya Indonesia.
Daftar Pustaka Cresswell, J. W. (2005). Educational Research: Planing, Conducting and Evaluating: Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Education. Inc. Hull, C. (1943). Principles of Behavior. New York: Appleton-Century-Crofts. Hull, C. (1945). Essentials of Behavior. New York: Yale University Press. Miner, J. B. (1992). Industrial-Organizartional Psychology. Singapore: McGraw Hill Book. Munandar, A. S. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press. Petri, H. L., & Govern, J. M. (2004). Motivation: Theory, Research, and Applications; Fifth Edition. Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning. Pinder, C. C. (1998). Work Motivation in Organizational Behavior. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall. Sachau, D. A. (2007). Resurrecting the Motivation-Hygiene Theory: Herzberg and teh Positive Psychology Movement. Human Resource Development Review, 6(4), 377 393. Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2006). Psychology & Work Today. Ninth Edition. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc. Spector, P. E. (2012). Industrial and Organizational Psychology, Research and Practice. Singapore: John Miley & Sons.