PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PEMAKNAAN CARA FRANKL SEBAGAI STRATEGI COPING TERHADAP PENGALAMAN PENOLAKAN SOSIAL OLEH TEMAN SEBAYA DI KALANGAN REMAJA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Silvester Kalpika Narantaka 119114035
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN MOTTO
Kehidupan memiliki momen bahagia yang memadai, jadi janganlah takut menghadapi penderitaan (Viktor Frankl)
Modal dasar meneliti adalah “teliti” (A. Supratiknya)
Menghayati pengalaman adalah salah satu cara memperoleh pemaknaan (Viktor Frankl)
If you wanna be the best, you have to learn from the best (Agnes Monica)
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini secara khusus dipersembahkan untuk : Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan kesabaran, mendampingi, dan menginspirasi penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir, yang juga telah memberikan hikmat, pengertian, dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Ayah dan Ibu yang selalu mengerti, memahami, dan yang terpenting menerima semua hal yang terjadi selama penulisan skripsi.
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PEMAKNAAN CARA FRANKL SEBAGAI STRATEGI COPING TERHADAP PENGALAMAN PENOLAKAN SOSIAL OLEH TEMAN SEBAYA DI KALANGAN REMAJA Silvester Kalpika Narantaka ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan memahami nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan sosial teman sebaya ala Frankl. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “bagaimana cara remaja mengatasi stress/tekanan akibat penolakan oleh teman sebaya dengan menggunakan konsep pemaknaan pengalaman ala Victor Frankl?” Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan AIK sebagai metode analisis data. Partisipan dalam penelitian ini ialah remaja berusia 12-18 tahun yang mempunyai pengalaman ditolak oleh teman sebayanya. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan metode focus group discussion. Reliabilitas hasil penelitian didapatkan dengan melakukan intercoder agreement dengan 2 orang coder. Validitas hasil penelitian dilakukan dengan strategi validasi thick description dimana peneliti memberikan deskripsi yang sangat rinci tentang lingkungan penelitian dan mengkaji tema-tema dengan berbagai macam perspektif dan sudut pandang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para partisipan mampu memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan sosial teman sebaya dengan mewujudkan nilai-nilai yang ditawarkan Frankl, yaitu nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap. Nilai sikap muncul paling banyak, dilanjutkan dengan nilai pengalaman, dan nilai daya cipta muncul paling sedikit. Di sisi lain, muncul juga sindroma ketidakbermaknaan berbentuk frustrasi eksistensial dalam diri partisipan. Kata kunci : nilai daya cipta, nilai pengalaman, nilai sikap, frustrasi eksistensial, neurosis noogenik, penolakan sosial teman sebaya.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
COPING STRATEGIES TOWARD SOCIAL REJECTION EXPERIENCES BY PEERS AMONG ADOLESCENTS BASED ON FRANKL’S THEORY OF MEANING Silvester Kalpika Narantaka ABSTRACT This research aims to uncover and understand the value of creativity, the value of experience, and attitudes value as a Frankl way to overcome the pressure due to social rejection by peers. As for the question of the purposed research is “how adolescents cope with stress/pressure due to rejection by peers using the concept of the meaning as a Frankl way?” This type of research used is qualitative content analysis method as a method of data analysis. Participants in this study is that adolescents aged 12-18 years who have experience rejected by peers. Data retrieval research was conducted using focus group discussion. The reliability of the results obtained by performing intercoder agreement with 2 coder. The validity of the results of research conducted with thick description validation strategy where researchers provide a very detailed description of the research environment and examine themes with various perspectives and viewpoints. The result showed that participants were able to interpret the experience as a way to overcome the pressure due to social rejection by peers embody the values offered Frankl, which is the value of creativity, the value of experience, and attitude value. Attitude value appear at most, followed by the value of experience, and the value of creativity appeared the least. On the other hand, also appears the syndrome of meaninglessness in the form of existential frustration within participants. Keywords : the value of creativity, the value of experience, attitudes value, existential frustration, noogenic neuroses, social rejection by peers.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karuniaNya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca. Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan motivasi selama penulisan skripsi ini. 2. P. Eddy Suhartanto, M. Si, selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 3. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar membimbing dan memotivasi penulis menyusun skripsi dari tahap ke tahap. 4. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, selaku dosen pembimbing akademik yang telah mendampingi proses kuliah dari awal hingga akhir, memberikan nasihat-nasihat, dan motivasi untuk mengembangkan diri. 5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah berbagi ilmu, pengalaman, dan memberikan inspirasi untuk berkarya di dunia psikologi. 6. Veronika Dwi H., yang mampu membantu memahami dan meringankan hambatan-hambatan dalam mengerjakan skripsi ini. x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ....................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... vi ABSTRAK ............................................................................................................ vii ABSTRACT ........................................................................................................... viii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .. ix KATA PENGANTAR ............................................................................................ x DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................ 12 C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 12 D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 13 1. Manfaat Praktis ................................................................................ 13 2. Manfaat Teoritis ............................................................................... 13 xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14 A. Remaja dan Teman Sebaya ................................................................... 14 B. Teman Sebaya : Penerimaan vs Penolakan Sosial ................................ 16 C. Cara Remaja Menghadapi Penolakan Sosial ........................................ 20 1. Nilai Daya Cipta……………………………………………………22 2. Nilai Pengalaman…………………………………………………...23 3. Nilai Sikap ........................................................................................ 25 4. Sindroma Ketidakbermaknaan ......................................................... 26 D. Kerangka Teoretis ................................................................................. 28 E. Hasil yang Diharapkan ......................................................................... 29 BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 30 A. Jenis dan Desain Penelitian .................................................................. 30 B. Partisipan .............................................................................................. 31 C. Peran Peneliti ........................................................................................ 35 D. Prosedur Pengumpulan Data dan Perekaman Data .............................. 36 1. Protokol Observasi………………………………………………….39 2. Protokol Wawancara………………………………………………..39 3. Perekaman Data…………………………………………………….41 E. Reliabilitas dan Validitas ...................................................................... 41 1. Reliabilitas………………………………………………………….41 2. Validitas…………………………………………………………….43 F.
Analisis dan Interpretasi Data .............................................................. 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 47 xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A. Pelaksanaan Penelitian dan Observasi .................................................. 47 B. Hasil Penelitian ..................................................................................... 48 1. Bentuk Penolakan Teman Sebaya .................................................... 43 2. Memaknai Pengalaman sebagai Cara Mengatasi Tekanan/Coping . 51 a. Nilai Daya Cipta........................................................................... 51 b. Nilai Pengalaman ......................................................................... 53 c. Nilai Sikap.................................................................................... 55 3. Sindroma Ketidakbermaknaan sebagai Cara Mengatasi Tekanan .... 59 a. Frustrasi Eksistensial.................................................................... 59 b. Neurosis Noogenik ...................................................................... 60 C. Pembahasan .......................................................................................... 62 1. Bentuk Penolakan Teman Sebaya .................................................... 62 2. Pemaknaan Cara Frankl sebagai Strategi Coping dari Pengalaman Penolakan Sosial Teman Sebaya .......................................................... 63 3. Kegagalan Pemaknaan sebagai Cara Mengatasi Tekanan Akibat Penolakan Sosial Teman Sebaya .......................................................... 68 BAB V PENUTUP ................................................................................................ 69 A. Kesimpulan ........................................................................................... 69 B. Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 71 C. Saran ..................................................................................................... 72 1. Bagi Penelitian Selanjutnya .............................................................. 72 2. Bagi Praktisi Psikologi ..................................................................... 72 3. Bagi Orang Tua ................................................................................ 73 xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Bagi Sekolah ..................................................................................... 73 DAFTAR ACUAN ................................................................................................ 74
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Sindroma Penerimaan VS Sindroma Penolakan Teman Sebaya .............17 Tabel 2 Data Umum Partisipan ............................................................................33 Tabel 3 Ringkasan Hasil Intercoder Agreement ..................................................42 Tabel 4 Kategori Koding ......................................................................................46 Tabel 5 Ringkasan Hasil FGD ..............................................................................61
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Coping ala Frankl ..................................................................................28
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Fenomena penolakan sosial di kalangan remaja banyak terjadi di Indonesia. Fenomena itu dapat dijumpai dalam berbagai macam bentuk, misalnya pengucilan, kekerasan verbal dan fisik, serta pelecehan. Kekerasan adalah bentuk penolakan sosial yang paling umum terjadi pada remaja di Indonesia. Beberapa lembaga terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS), UNICEF Indonesia, dan Child Protection Program Manager Plan Indonesia (CPPMPI) memberikan perhatian khusus terhadap fenomena ini. Pada tahun 2006, BPS mencatat kasus penolakan sosial yang berujung kekerasan pada anak dan remaja mencapai 25 juta kasus, dengan berbagai macam bentuk, dari yang ringan sampai yang berat (Kurniasari et al., 2013). Pada tahun 2007, Global Schoolbased Student Health Survey (GSHS), BPS dan kepolisian mencatat dari seluruh laporan kasus penolakan, 40% dilakukan oleh anak dan remaja (usia 13-15 tahun) dan terjadi di lingkungan sekolah (Takariawan, 2015). Pada tahun 2011, CPPMPI melakukan survei tentang perilaku kekerasan di sekolah. Survei ini dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor, dengan melibatkan 1.500 siswa SMA dan 75 guru. Hasilnya adalah 67,9% responden menganggap terjadi penolakan sosial di lingkungan sekolah, yang berupa kekerasan verbal, psikologis, dan fisik, serta dilakukan oleh teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2
preman di sekitar sekolah. Dalam penelitian tersebut, sebanyak 27,9% siswa mengaku ikut melakukan kekerasan, sedangkan 25,4% siswa mengambil sikap apatis terhadap korban maupun pelaku kekerasan yang mereka jumpai di sekolah (Kurniasari et al., 2013). Pada tahun 2013, Kemsos, BPS, UNICEF Indonesia, dan beberapa lembaga terkait melakukan Survei Kekerasan Terhadap Anak (SKTA). Survei ini dilakukan di 25 provinsi, 108 kabupaten, dan 125 kecamatan. Responden dalam survei ini dibagi menjadi 2, yaitu kelompok usia 18-24 tahun yang mengalami penolakan berupa kekerasan sebelum usia 18 tahun dan kelompok usia 13-17 tahun yang mengalami penolakan berupa kekerasan dalam 12 bulan terakhir. Hasilnya adalah 14.123.892 atau sekitar 47,74% responden laki-laki dan 5.207.540 atau sekitar 17,98% responden perempuan (hasil penjumlahan 2 kelompok usia) mengaku mengalami penolakan berupa kekerasan fisik, seksual, maupun emosional (Kurniasari et al., 2013). Survei penolakan sosial dari tahun 2006 sampai dengan 2013 tersebut menunjukkan banyaknya kasus penolakan sosial di kalangan remaja. Salah satu pihak yang sering melakukan penolakan sosial pada remaja adalah teman sebaya mereka sendiri. Baru-baru ini, NF (14 tahun), siswi kelas IX SMP mengalami penolakan berbentuk pengucilan oleh teman sebayanya yang membuatnya kabur dari rumah selama 6 hari (Putera & Afriyanti, 2015). Sementara itu, JCS (10 tahun), siswa kelas IV SD Pringsurat 1, Temanggung, Jawa Tengah mengalami penolakan berbentuk kekerasan oleh teman sebayanya. JCS mengaku bahwa dirinya dipukul, dijambak, kepalanya dibentur-benturkan di tembok, dan kakinya diseret oleh beberapa kakak kelasnya (Widrianto, 2014). Fenomena penolakan sosial berbentuk kekerasan juga dialami DNA, siswa SD Trisula Perwari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3
Bukittinggi. Menurut O, salah satu teman korban, beberapa siswa SD tersebut memukuli DNA di sudut ruangan kelas. O juga menjelaskan bahwa saat itu DNA terlihat menangis, tetapi tidak ada satu pun teman yang berusaha menolongnya. Sebaliknya, teman-teman lain tampak tersenyum lebar (Amfelzer, 2014). Fenomena penolakan sosial berbentuk kekerasan juga dialami ACI, siswa kelas X SMA Negeri 3 Setiabudi Jakarta Selatan hingga ia meninggal dunia (Irwanto, 2014). Kelima pelaku, DW, PM, AM, KR, dan PU, mengaku memukuli dan mengintimidasi ACI pada saat kegiatan pembekalan anggota baru pecinta alam SMAN 3 di Tangkuban Perahu, Jawa Barat, 12-19 Juni 2014. Beberapa contoh di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus penolakan sosial oleh teman sebaya di kalangan remaja di Indonesia. Menurut tahap perkembangannya, remaja menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok. Di dalam kelompok mereka mulai merasa aman, memiliki rasa kebersamaan, saling belajar dan mengarahkan, serta terus menerus menggali dirinya (Brooks, 2011). Kegiatan kelompok inilah yang mampu mendukung pembentukan identitas diri remaja secara stabil. Akan tetapi, tidak semua remaja menerima dan diterima kelompoknya, tidak sedikit dari mereka yang ditolak oleh kelompok teman sebayanya. Pada beberapa contoh kasus di atas, penolakan sosial teman sebaya termasuk ke dalam bentuk perilaku agresif. Perilaku agresif adalah perilaku fisik dan atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Myers, Turner, & Helms dalam Nisfiannoor, 2005). Di sisi lain, ternyata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4
penolakan sosial teman sebaya tidak selalu ditunjukkan dengan perilaku agresif. Penolakan sosial teman sebaya tetap dapat terjadi tanpa adanya kesengajaan dan keinginan untuk menyakiti orang lain. Secara psikologis, penolakan sosial teman sebaya didefinisikan sebagai keadaan di mana seorang individu secara aktif tidak disukai dan sengaja dikeluarkan dari hubungan sosial oleh satu atau sekelompok teman sebaya yang menolak keberadaannya (Hurlock, 1980; Thomas, 1997). Bentuk-bentuk penolakan sosial yang umum terjadi antara lain pengucilan, pelecehan, kekerasan verbal (mengejek, menyindir, memfitnah, mengintimidasi, dan lain-lain), kekerasan fisik (menonjok, menendang, mencambuk, menjegal, memukul dengan benda, dan lainlain), dan kekerasan seksual (Kurniasari et al., 2013). Di kalangan remaja, ada berbagai macam faktor yang membuat seorang remaja ditolak teman sebayanya (Mappiare, 1982; Hurlock, 1980), yaitu : (1) kurangnya kematangan dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri, dan kebijaksanaan; (2) kemampuan berfikir yang rendah; (3) sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti egoisme, keras kepala, gelisah, dan mudah marah; (4) sikap seseorang seperti suka melanggar norma dan nilai-nilai kelompok, suka menguasai anak lain, curiga, dan suka melaksanakan kemauan sendiri; (5) terkenal sebagai pribadi yang tidak sportif; dan (6) perilaku seperti suka menonjolkan diri, mengganggu, menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama, dan kurang bijaksana. Selain itu, Astuti (2008, dalam Umasugi, in press) juga menemukan bahwa etnis dan budaya juga merupakan faktor yang membuat seorang remaja ditolak oleh lingkungan sosialnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5
Penolakan sosial teman sebaya memiliki konsekuensi yang cukup signifikan bagi individu yang mengalaminya (Garris et al., 2011). Garris et al. (2011) membagi konsekuensi tersebut menjadi 3, yaitu : (1) konsekuensi yang berupa afek. Penolakan sosial membuat korban merasa buruk. Korban merasa mengalami penurunan afek positif dan peningkatan afek negatif; (2) konsekuensi yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Penolakan sosial membuat korban tidak bisa memenuhi 4 kebutuhan dasarnya, yaitu : kebersamaan (belonging), penghargaan diri (self-esteem), kontrol, dan juga keberadaan yang berarti (meaningful existence); (3) konsekuensi yang berkaitan dengan perilaku antisosial dan prososial. Penolakan sosial mampu meningkatkan agresi dalam diri korban, baik fisik maupun non-fisik. Hal ini mereduksi kemampuan korban dalam meregulasi dirinya, sehingga korban lebih berperilaku berdasarkan insting dan lebih agresif (Baumeister et al., 2005 dalam Garris, 2011). Berdasarkan konsekuensi di atas, peneliti meyakini bahwa pengalaman penolakan sosial teman sebaya merupakan peristiwa traumatis bagi korban. Peristiwa traumatis tersebut dapat diatasi dengan strategi coping atau disebut juga strategi mengatasi stress. Beberapa strategi coping yang umum digunakan adalah active coping yang meliputi problem focused coping, positive cognitive coping, preventive coping, dan passive coping yang meliputi emotion focused coping, support seeking coping, reactive coping (Kim, J., Park, S. H., Youn, Y. S., Han, A., & Kim, M., 2016; Valiente, C., Eisenberg, N., Fabes, R. A., Spinrad, T. L., & Sulik, M. J., 2015; Hudson, C. C., Lambe, L., Pepler, D. J., & Craig, W. M., 2016). Strategi coping
yang kurang tepat dapat berdampak buruk pada kehidupan individu. Dalam contoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6
kasus di atas, strategi coping yang dipilih NF (14 tahun) adalah kabur dari rumah. Perilaku NF tersebut merupakan reactive coping. Contoh lainnya adalah DNA yang menangis setelah ditolak oleh teman-temannya. Strategi coping yang dipilih adalah emotion focused coping. Dalam penelitian ini, strategi coping yang digunakan adalah pemaknaan secara personal ala Frankl (1962) yang diturunkan dari teorinya tentang kebermaknaan dalam hidup (Logotherapy). Victor Frankl (1962) mengemukakan bahwa pengalaman yang bahkan sangat traumatis sekalipun, tidak akan menghambat perkembangan diri individu, ketika individu tersebut memiliki kemauan untuk menemukan makna atau the will to meaning darinya (Schultz, 1991). Bagi Frankl bukan makna hidup itu sendiri yang menjadi tujuan akhir tetapi yang lebih penting adalah kemauan individu untuk selalu menemukan makna dalam hidupnya. Makna hidup menurut Frankl adalah hasil samping yang akan diperoleh individu, ketika dirinya memiliki kemauan untuk menemukan makna dalam hidupnya. Selain itu, Frankl juga memandang kehidupan sebagai kesempatan yang sangat berharga. Menurut Frankl kemauan untuk terus menemukan makna adalah alasan manusia untuk hidup. Tanpa hal itu tidak ada alasan untuk tetap hidup. Frankl menjelaskan 3 cara bagaimana individu memberi makna pada kehidupan: (1) nilai daya cipta, yaitu dengan memberi pada dunia lewat suatu ciptaan, makna diberikan kepada kehidupan melalui aktivitas yang kreatif dan produktif, seperti: bekerja, bersekolah, merencanakan kegiatan, penuh perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan, menyumbangkan gagasan, dan tindakan lain yang menciptakan hasil; (2) nilai pengalaman, yaitu dengan mengalami situasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7
kehidupan yang konkret melalui pertemuan dengan sebuah momen yang khas, pertemuan dengan kebaikan atau kebenaran, dan pertemuan dengan sesama. Makna kehidupan dapat ditemukan tidak hanya melalui aktivitas yang kita lakukan saja, tetapi juga melalui pertemuan kita dengan cinta. Menurut Edith Weisskopf-Joelson (dalam Frankl, 1972), mengalami, memberi, dan menerima cinta sama pentingnya dengan pekerjaan, sebab pekerjaan menyumbangkan sesuatu kepada dunia eksternal, sedangkan cinta menyumbangkan sesuatu kepada dunia internal kita; dan (3) nilai sikap, yaitu dengan sikap yang kita ambil terhadap penderitaan, hal ini berarti individu mampu menerima situasi-situasi yang sama sekali tidak dapat diubah, memiliki keberanian dalam menahan penderitaan, dan memiliki keagungan ketika berhadapan dengan bencana. Menurut Frankl (1972) dalam menghadapi situasi yang tidak dapat diubah, individu mampu bangkit atas dirinya sendiri. Individu juga mampu tumbuh melampaui dirinya sendiri. Pada akhirnya individu bergerak ke arah perubahan dirinya. Frankl (1972) menambahkan bahwa ketika individu memiliki nilai sikap, individu mampu untuk membalikkan tragedi personal menjadi kemenangan atas dirinya sendiri. Sementara itu, keadaan di mana individu tidak mampu untuk mengembangkan
ketiga
nilai
itu,
Frankl
sebut
sebagai
sindroma
ketidakbermaknaan (syndrome of meaninglessness). Frankl (1972) menandai bahwa sindroma ketidakbermaknaan memiliki dua jenis, yaitu frustrasi eksistensial (existential frustration) dan neurosis noogenik (noogenic neuroses). Frustrasi eksistensial adalah satu fenomena umum yang berkaitan dengan hambatan dan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna. Frustrasi eksistensial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8
ditandai dengan hilangnya minat, kurangnya inisiatif, dan munculnya perasaanperasaan absurd dan hampa. Sedangkan neurosis noogenik adalah suatu bentuk hambatan dan atau kegagalan individu memenuhi makna yang ditandai dengan simptom neurotik klinis yang tampak, seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, maupun kejahatan. Menurut Frankl makna kehidupan bersifat khas (istimewa) atau unik bagi setiap individu. Oleh karena itu, setiap individu memiliki tugas untuk menemukan sendiri makna dalam kehidupannya masing-masing. Ketika individu sudah mampu untuk selalu menemukan makna dari setiap pengalaman hidupnya, baik pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang sangat traumatis sekalipun, maka individu tersebut telah mencapai keadaan transendensi diri. Keadaan ini Frankl jelaskan sebagai keadaan terakhir untuk kepribadian yang sehat. Dalam penelitian ini, pemaknaan cara Frankl inilah yang digunakan sebagai coping dari pengalaman penolakan sosial teman sebaya di kalangan remaja. Pemaknaan cara Frankl memang melibatkan proses kognitif yang cukup kompleks. Akan tetapi peneliti meyakini bahwa pemaknaan cara Frankl sudah bisa diterapkan pada subjek remaja. Hal ini terkait dengan perkembangan kognitif seorang remaja. Pada usia 11 hingga 15 tahun, seorang remaja sudah mampu mengembangkan pemikiran operasional formal (Piaget dalam Santrock, 2002). Pemikiran operasional formal ditandai dengan pemikiran yang semakin abstrak, logis, dan idealistis. Selain itu, remaja juga sudah mampu untuk menguji pemikiran mereka sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka. Remaja juga cenderung untuk menginterpretasikan sendiri dunia sosialnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9
Beberapa penelitian tentang penolakan sosial oleh teman sebaya di kalangan remaja yang pernah dilakukan di Indonesia umumnya mengaitkan penolakan sosial dengan variabel psikologis yang lain, misalnya regulasi emosi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri (social adjustment), dan prestasi akademik (Nisfianoor & Kartika, 2014; Rohayati, 2011; Ary, Andayani, & Sawitri, in press; Sumiati & Chairunnissa, 2010). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu penerimaan sosial pada remaja berkorelasi positif terhadap regulasi emosi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, dan prestasi akademik. Artinya, semakin tinggi penerimaan sosial remaja, semakin tinggi pula regulasi emosi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, dan prestasi akademik seorang remaja. Sebaliknya, semakin rendah penerimaan yang dialami remaja atau semakin remaja ditolak semakin rendah pula regulasi emosi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, dan prestasi akademik seorang remaja. Meski demikian, ada juga penelitian yang tidak mengaitkan penolakan sosial dengan aspek lain. Penelitian yang dilakukan oleh Wasito, Sarwindah, & Sulistiani (2010) mencoba menggali pengalaman remaja tuna rungu yang bersekolah di sekolah reguler dengan metode wawancara mendalam. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa bukan keterbatasan secara fisik (tidak bisa mendengar) yang menyebabkan remaja tersebut diterima atau ditolak, tetapi kemauan untuk menyesuaikan diri (social adjustment). Namun di sisi lain, tema tentang penolakan sosial masih sangat sedikit muncul dalam cerita para partisipan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Wartini, Ilyas, & Zikra (2013) secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10
khusus lebih berfokus pada penolakan sosial remaja. Melalui metode studi kasus, penelitian ini menjelaskan aspek-aspek yang berisiko membuat partisipan (remaja SMP) ditolak. Meskipun demikian, pendekatan dalam penelitian ini masih terbatas pada kurangnya keterlibatan partisipan dalam pembentukan kesimpulan dari peristiwa penolakan sosial yang dialaminya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lim, J. T. & Gan, L. (2012) di salah satu kelompok bermain di Singapura, cukup memberi gambaran umum terhadap pengalaman penolakan sosial yang cukup kompleks. Partisipan dalam penelitian Lim juga terlibat dalam pembentukan tema karena menggunakan metode wawancara
dan
inquiry
(pertanyaan
penjelas).
Penelitian
ini
mampu
mengidentifikasi atribusi, mekanisme coping, dan dampak dari penolakan sosial, akan tetapi penelitian ini tidak secara khusus melihat mekanisme coping dari partisipannya. Defisiensi atau celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai topik penolakan sosial di kalangan remaja adalah sebagai berikut. Dari segi variabel yang diteliti, sebagian besar penelitian sebelumnya menghubungkan penolakan sosial dengan variabel atau aspek psikologis lain. Penelitian sebelumnya juga kurang berfokus pada pemaknaan dari pengalaman penolakan sosial teman sebaya sebagai coping. Dari segi subjeknya, penelitian sebelumnya memilih subjek secara random (acak), padahal belum tentu subjek yang bersangkutan pernah mengalami penolakan sosial oleh teman sebayanya. Dari segi metodenya, penelitian sebelumnya menggunakan skala, wawancara mendalam, eksperimen, dan studi kasus sebagai alat pengumpulan datanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11
Berdasarkan defisiensi tersebut, maka penelitian ini secara khusus akan mengungkap dan memahami bagaimana pemaknaan model Frankl digunakan remaja sebagai strategi coping terhadap pengalaman penolakan teman sebaya. Pandangan yang sangat personal dan mendalam dari Victor Frankl tentang makna kehidupan digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar untuk memperoleh dan menganalisis data. Semua variabel atau aspek psikologis yang muncul dalam pengalaman partisipan akan dilibatkan dalam penelitian ini, bukan hanya variabel atau aspek tertentu saja. Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang mengalami penolakan sosial berusia 12-18 tahun. Prosedur pengambilan data akan dilakukan dengan metode focus group discussion (FGD). Peneliti meyakini melalui metode FGD, partisipan mendapatkan dukungan untuk menemukan makna dari pengalaman penolakan sosial yang dialaminya. Di sisi lain, FGD juga dapat mendorong pengungkapan diri di kalangan para partisipan (Supratiknya, 2015). FGD juga mampu merangsang partisipan untuk mendalami jawaban, saling meminta penjelasan, mengklarifikasi maksud yang mungkin masih samar-samar, dan yang terpenting adalah mendorong dan memudahkan partisipan yang merasa kesulitan mengungkapkan diri untuk tetap berpartisipasi (Supratiknya, 2015). Dengan demikian, partisipan penelitian dapat memperoleh pemahaman baru dari partisipan lain terkait dengan pengalaman penolakan sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian adalah sebagaimana dipaparkan berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12
B. Rumusan Masalah Pertanyaan pokok : 1. Bagaimana cara remaja mengatasi stress/tekanan akibat penolakan oleh teman sebaya dengan menggunakan konsep pemaknaan pengalaman ala Victor Frankl? Pertanyaan turunan : 2. Bagaimana pengalaman stress/tekanan yang dialami remaja akibat penolakan oleh teman sebaya? 3. Bagaimana cara remaja mewujudkan nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap sebagai cara mengatasi stress/tekanan akibat penolakan oleh teman sebaya? 4. Bagaimana kegagalan pemaknaan yang dialami remaja sebagai cara mengatasi stress/tekanan akibat penolakan oleh teman sebaya?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap dan memahami nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap sebagai cara mengatasi tekanan (coping) akibat penolakan sosial oleh teman sebaya ala Victor Frankl. Melalui focus group discussion (FGD), diharapkan para subjek dapat menceritakan secara bebas pandangannya tentang fenomena penolakan sosial teman sebaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13
D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoretis
: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan baru khususnya yang berkaitan dengan pemaknaan pengalaman penolakan sosial teman sebaya.
2. Manfaat praktis
: Penelitian ini berupa proses menemukan pemaknaan ala Frankl, sehingga dapat digunakan untuk membantu korban penolakan sosial untuk menemukan nilai dan makna
dibalik
dialaminya.
pengalaman
penolakan
yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini, penulis pertama-tama akan menjelaskan tentang remaja dan hubungannya dengan teman sebayanya. Kemudian penulis akan menjelaskan tentang hubungan remaja dengan teman sebaya berupa penerimaan dan penolakan beserta konsekuensinya masing-masing. Selanjutnya penulis akan menjelaskan cara remaja yang khas dalam menghadapi penolakan sosial. Pada bagian akhir, penulis akan menyajikan kerangka berpikir dan hasil-hasil yang diharapkan dari penelitian ini.
A. Remaja dan Teman Sebaya Usia remaja dimulai dari usia 12 tahun sampai dengan usia matang secara hukum yaitu 18 tahun (Hurlock, 1980). Seorang remaja lebih banyak meluangkan waktunya bersama dengan teman-teman sebayanya. Menurut Santrock (2002) yang disebut teman sebaya (peers) ialah mereka yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama. Seorang remaja memilih teman yang memiliki minat sama dengan mereka, dan mereka mendapat manfaat dari hubungan tersebut melalui sikap saling berbagi pengalaman dan perasaan satu sama lain (Brooks, 2011). Remaja yang bergaul dengan banyak teman terbukti lebih percaya diri, mampu secara sosial, dan berhasil secara akademik dibandingkan dengan remaja yang kekurangan teman (Brooks, 2011). Oleh karena itu, tidak sedikit remaja ingin
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15
populer, disukai, dan diterima oleh teman sebayanya. Hal ini bahkan menjadi motivasi utama bagi sebagian remaja. Hurlock (1980) membagi kelompok teman sebaya menjadi 6 jenis, yaitu : teman dekat, kelompok kecil (cliques), kelompok besar (crowd), kelompok yang terorganisir, dan kelompok geng. Teman dekat dijelaskan Hurlock (1980) sebagai dua atau tiga orang teman dekat atau sahabat karib yang dimiliki oleh seorang remaja. Mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Biasanya mereka memiliki persamaan minat, seks, dan kemampuan. Kemudian kelompok kecil atau klik. Kelompok kecil biasanya terdiri dari kelompok teman dekat. Pada awalnya terdiri dari seks yang sama, tetapi kemudian meliputi kedua jenis seks. Selanjutnya kelompok besar. Kelompok ini terdiri dari beberapa kelompok kecil dan teman dekat. Karena jumlah anggotanya yang banyak, maka terdapat jarak sosial yang lebih besar di antara mereka. Kemudian kelompok yang terorganisir. Kelompok ini dibina oleh orang dewasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial remaja yang tidak mempunyai klik maupun kelompok besar. Terakhir adalah kelompok geng. Kelompok ini terbentuk karena perasaan tidak puas dengan klik, kelompok besar, maupun kelompok terorganisasi. Anggota geng biasanya terdiri dari remaja sejenis dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan teman-teman melalui perilaku antisosial (Hurlock, 1980). Hubungan teman sebaya memang memiliki dua sisi yang saling berhubungan. Di satu sisi hubungan tersebut menjadi kebutuhan pokok bagi banyak remaja, tetapi di sisi lain teman sebaya bisa menarik remaja melakukan kenakalan. Brooks (2011) menjelaskan bahwa kelompok sebaya mampu memberikan rasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16
kebersamaan, meningkatkan penggalian diri dan pencapaian, dan memberi kesempatan untuk belajar dan mengarahkan. Kegiatan dalam kelompok tersebut akan memberikan mereka pengalaman yang mereka butuhkan untuk membentuk pemahaman identitas yang stabil. Permasalahannya adalah kegiatan kelompok sebaya juga mampu melibatkan remaja dalam perilaku konformitas yang negatif, seperti : menggunakan bahasa yang jorok, mencuri, merusak, mengolok-olok orang tua dan guru, dan masih banyak lagi perilaku lain (Santrock, 2002). Berndt et al., (1979, dalam Santrock, 2002) menjelaskan bahwa pada masa remaja, khususnya pada awal remaja (usia 12 atau 13 tahun), mereka cenderung untuk mengikuti standar-standar dari teman-teman sebayanya. Kemudian standar-standar tersebut digunakan untuk menilai anggota kelompok (Hurlock, 1980).
B. Teman Sebaya : Penerimaan vs Penolakan Sosial Seorang remaja memiliki nilai yang baru dalam menerima anggota-anggota berbagai kelompok sebaya seperti klik, kelompok besar, atau geng. Tidak ada satu sifat atau pola perilaku khas yang akan menjamin penerimaan sosial selama masa remaja (Hurlock, 1980). Penerimaan bergantung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku yang disenangi remaja dan dapat menambah gengsi dari klik atau kelompok besar yang diidentifikasikannya (sindroma penerimaan). Begitu pula tidak ada satu sifat atau pola perilaku yang menjauhkan remaja dari teman-teman sebayanya. Namun ada pengelompokkan sifat yang membuat orang lain tidak menyukai atau bahkan menolaknya (sindroma penolakan).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17
Berikut ini adalah sekumpulan sifat dan pola perilaku yang beresiko menyebabkan remaja diterima atau ditolak (Hurlock, 1980) : Tabel 1 Sindroma Penerimaan vs Sindroma Penolakan Teman Sebaya Sindroma Penerimaan Sindroma Penolakan Kesan pertama yang Kesan pertama yang kurang menyenangkan sebagai akibat dari baik karena penampilan diri yang penampilan menarik perhatian, sikap kurang menarik atau sikap menjauhkan yang tenang, dan gembira. diri, yang mementingkan diri sendiri. Reputasi sebagai seorang yang Terkenal sebagai seorang yang sportif menyenangkan. tidak sportif. Penampilan diri yang sesuai Penampilan yang tidak sesuai dengan penampilan teman-teman dengan standar kelompok dalam hal sebaya. daya tarik fisik atau tentang kerapian. Perilaku sosial yang ditandai Perilaku sosial yang ditandai oleh kerjasama, tanggungjawab, dengan menonjolkan diri, mengganggu panjang akal, kesenangan bersama dan menggertak orang lain, senang orang-orang lain, bijaksana dan sopan. memerintah, tidak dapat bekerjasama dan kurang bijaksana. Matang, terutama dalam hal Kurangnya kematangan, pengendalian serta kemauan untuk terutama terlihat dalam hal mengikuti peraturan-peraturan. pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri dan kebijaksanaan. Memiliki kepribadian yang Sifat-sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang mengganggu orang lain seperti baik seperti jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri, keras mementingkan diri sendiri, dan kepala, gelisah, dan mudah marah. ekstraversi. Status sosial ekonomi yang Status sosial ekonomi berada di sama atau sedikit di atas anggota- bawah status anggota lain dalam anggota lain dalam kelompoknya dan kelompok dan hubungan yang buruk hubungan yang baik dengan anggota- dengan anggota keluarga. anggota keluarganya. Tempat tinggal yang dekat Tempat tinggal yang terpencil dengan kelompok sehingga dari kelompok atau ketidakmampuan mempermudah hubungan dan untuk berpartisipasi dalam kegiatan partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok karena tanggungjawab kelompok. keluarga atau karena bekerja sambilan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18
Hartup (1983, dalam Santrock 2002) juga menambahkan ciri-ciri yang membantu seorang remaja populer di mata teman-teman sebayanya yaitu kemampuan remaja untuk memberikan banyak bantuan kepada teman sebayanya, kemauan untuk mendengarkan dengan baik temannya dan memelihara jalur-jalur komunikasi yang terbuka, mampu menjadi diri sendiri, gembira, memperlihatkan antusiasme (semangat) dan perhatian kepada orang lain, percaya diri, dan tidak sombong. Selain itu, dalam studi lain dijelaskan bahwa remaja yang populer juga memiliki kecenderungan untuk berkomunikasi secara lebih jelas, menarik perhatian, dan lebih memelihara percakapan dibandingkan dengan anak-anak yang tidak populer (Kennedy dalam Santrock, 2002). Menurut beberapa pakar psikologi perkembangan anak-anak yang tidak populer memiliki dua tipe, yaitu : anak-anak yang diabaikan dan anak-anak yang ditolak. Anak-anak yang diabaikan (neglected children) adalah anak-anak yang menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tetapi tidak berarti mereka tidak disukai oleh teman-teman sebaya mereka. Brooks (2011) mengatakan bahwa anak-anak yang diabaikan bisa saja memperoleh kepuasan dan kesuksesan sosial dalam hubungan dengan teman sebayanya, walaupun dirinya tidak populer. Menurut Brooks (2011) perasaan pribadi atas penerimaan sosial-lah yang membantu anak memperoleh kepuasan dan kesuksesan sosial di lingkungan sosialnya kemudian hari. Sedangkan anak-anak yang ditolak (rejected children) adalah anak-anak yang tidak disukai oleh teman-teman sebaya mereka. Mereka cenderung bersifat mengganggu dan agresif dibandingkan dengan anak-anak yang diabaikan (Albrecht et al., dalam Santrock, 2002). Kupersmidh & Petterson (1993,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19
dalam Santrock, 2002) juga menemukan bahwa anak-anak yang ditolak seringkali mengalami masalah penyesuaian diri yang lebih serius di kemudian hari dalam hidupnya dibandingkan dengan dengan anak-anak yang diabaikan. Brooks (2011) menambahkan bahwa anak-anak yang ditolak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri, karena mereka merasa tidak diterima dan kurang berhubungan dengan orang lain. Selain itu, mereka juga cenderung merasa marah dan tercabut dari kontak sosial sehingga masalah mereka berlanjut dan semakin meningkat. Kebutuhan untuk mendapatkan penerimaan yang aman dan menghindari penolakan telah dianggap sebagai motivasi yang mendasar dari manusia (Baumeister & Leary, dalam Ayduk et al., 2009). Maner et al., (2010) mengatakan bahwa penolakan sosial mengarahkan individu yang ditolak ke dalam permasalahan sosial yang lebih serius. Permasalahan sosial ini dapat dilihat dari tingginya kecemasan sosial setelah mengalami penolakan. Individu yang mengalami penolakan lebih memandang relasi baru sebagai sumber penolakan selanjutnya daripada sebagai hubungan yang potensial (Maner et al., 2010). Fenomena penolakan sosial memang cukup berpengaruh pada perkembangan sosial remaja, oleh karena itu beberapa penelitian secara khusus mendalami isu ini. Pada bagian pendahuluan dijelaskan bahwa fenomena penolakan sosial merupakan keadaan di mana seorang individu sengaja dikeluarkan dari hubungan atau interaksi sosial karena secara aktif tidak disukai oleh satu atau sekelompok orang yang menolak keberadaannya (Hurlock, 1980; Bierman dalam Thomas, 1997). Kurniasari et al, (2013) menemukan bentuk-bentuk penolakan sosial yang umum terjadi di Indonesia, yaitu pengucilan, pelecehan, kekerasan verbal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20
(mengejek, menyindir, memfitnah, mengintimidasi, dan lain-lain), kekerasan fisik (menonjok, menendang, mencambuk, menjegal, memukul dengan benda, dan lainlain), dan kekerasan seksual. Penolakan sosial tersebut, memiliki konsekuensi yang cukup signifikan bagi individu yang mengalaminya yaitu dalam hal afek, pemenuhan kebutuhan dasar, dan tumbuhnya perilaku antisosial (Garris et al., 2011). Ketiga konsekuensi tersebut mengarahkan individu kepada keberadaan yang kurang berarti. Individu merasa hampa dan tidak memiliki tujuan dalam hidupnya. Oleh karena itu, pengalaman penolakan sosial perlu disikapi dengan tepat sehingga konsekuensi dari penolakan tersebut dapat dikelola, khususnya oleh seorang remaja.
C. Cara Remaja Menghadapi Penolakan Sosial Geldard (2012) mengemukakan bahwa setiap remaja memiliki sikap, keyakinan, perilaku, dan respons yang unik (berbeda satu dengan yang lain) dalam menghadapi tantangan dalam hidupnya. Penolakan sosial adalah salah satu tantangan atau bahkan krisis yang menimbulkan stress di dalam diri remaja. Stress ini dapat diatasi dengan strategi coping atau disebut juga strategi mengatasi stress. Salah satu strategi coping yang peneliti anggap paling relevan dengan pengalaman penolakan sosial pada remaja adalah Logotherapy (Frankl, 1970). Pendekatan logotherapy secara umum berfokus pada motivasi individu untuk menemukan makna dalam hidupnya. Logotherapy Frankl memang melibatkan proses kognitif yang kompleks, akan tetapi seorang remaja dianggap mampu menggunakan logotherapy seiring
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21
dengan berkembangnya pemikiran operasional formal dalam dirinya. Pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11-15 tahun (Piaget dalam Santrock, 2002). Pada tahap ini seorang remaja mulai mampu berfikir abstrak dan logis. Mereka mulai mampu memantau dunia sosial mereka sendiri. Mereka juga cukup memberi perhatian kepada diri mereka sendiri. Selain itu, mereka juga semakin mampu mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Melalui keputusankeputusan inilah seorang remaja bergerak dari stress akibat penolakan sosial. Frankl mengemukakan bahwa pengalaman yang bahkan sangat traumatis sekalipun, seperti pengalaman penolakan sosial, tidak akan menghambat perkembangan diri individu, ketika individu tersebut memiliki kemauan untuk menemukan makna atau will to meaning (Frankl dalam Schultz, 1991). Pengalaman penolakan sosial perlu diyakini sebagai tugas hidup (Frankl, 1972). Individu akan berkonfrontasi dengan pengalaman penolakannya itu, membuat orientasi baru terhadap tujuan hidupnya, dan pada akhirnya menemukan arti atau makna baru dalam hidupnya (Frankl, 1970). Menurut Frankl (1972), makna kehidupan adalah segi-segi pengalaman yang saling berhubungan, yang memungkinkan individu untuk selalu memiliki arah dan tujuan. Makna kehidupan ini bersifat khas, berbeda satu dengan yang lain. Tugas-tugas dan cara meresponnya pun berbeda satu dengan yang lain. Menurut Frankl (1972) setiap situasi pengalaman adalah baru dan membutuhkan respons tersendiri (termasuk penolakan sosial). Individu yang sehat selalu mampu untuk meningkatkan tegangan dan bukan mereduksi tegangan batinnya. Individu ini selalu memperjuangkan tujuan yang memberikan makna dari kehidupannya. Frankl menambahkan bahwa perjuangan dalam meningkatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22
tegangan ini, secara terus-menurus akan menghasilkan kehidupan yang penuh semangat dan bahagia. Frankl menjelaskan 3 cara bagaimana individu memberi makna pada kehidupannya, yaitu malalui nilai daya cipta, melalui nilai pengalaman, dan melalui nilai sikap. 1.
Nilai Daya Cipta Nilai daya cipta adalah cara pemberian makna pada kehidupan dengan
melakukan kegiatan atau aktivitas yang kreatif dan produktif. Menurut Frankl untuk merealisasi nilai daya cipta ini, individu tidak bisa hanya menggunakan proses akal atau intelektualitasnya saja. Untuk mencapai makna, individu perlu bertindak secara konkret untuk menjawab tantangan hidupnya. Frankl menambahkan bahwa wujud konkret dari nilai daya cipta ini yaitu berupa pelaksanaan kegiatan atau aktivitas kerja yang menciptakan hasil baik tampak maupun tidak tampak (berupa ide). Individu secara bebas memilih dan terlibat dalam kegiatan atau aktivitas kerja itu. Individu juga bertanggungjawab dan mengambil kontrol penuh atas dirinya dalam kegiatan itu. Menurut Frankl, yang terpenting bukanlah bentuk pekerjaan atau lingkup pekerjaannya, melainkan bagaimana individu bekerja dan mengisi penuh lingkaran aktivitasnya. Frankl juga menambahkan bahwa sejauh nilai-nilai daya cipta sejalan dengan tugas hidup, maka realisasinya secara umum bersamaan dengan pekerjaannya itu. Kerja biasanya merepresentasikan wilayah di mana keunikan individu tampil dalam hubungannya dengan masyarakat, dan individu pun menemukan makna. Menurut keyakinan Frankl, setiap bentuk pekerjaan bisa mengantarkan individu kepada makna asalkan pekerjaan itu merupakan usaha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23
memberikan hasil kepada hidup (kehidupan diri dan sesama) yang dilakukan secara kreatif, unik, dan dijalankan sebagai komitmen atau tanggungjawab pribadi atas keberadaannya di dunia. Dalam konteks pengalaman penolakan sosial teman sebaya di kalangan remaja, aktivitas kerja seperti bersekolah, berorganisasi, mengikuti pelajaran tambahan, dan menyumbangkan gagasan adalah beberapa contoh aktivitas kerja yang bisa dilakukan oleh individu dalam rangka mengatasi tekanan akibat penolakan oleh teman sebaya. Masih banyak aktivitas kerja unik lain yang bisa dilakukan individu dalam upaya memenuhi nilai daya cipta ini.
2.
Nilai Pengalaman Menurut Frankl, di samping melalui realisasi nilai-nilai daya cipta, individu
bisa menemukan makna dalam hidupnya melalui realisasi nilai yang kedua yaitu nilai pengalaman atau nilai penghayatan. Nilai pengalaman atau nilai penghayatan adalah cara pemberian makna pada kehidupan dengan mengalami, merasakan, dan menghayati situasi kehidupan yang konkret. Nilai pengalaman atau penghayatan dapat dilihat ketika individu menemui kekhasan sebuah momen, menemui kebaikan atau kebenaran, dan menemui sesama. Frankl (1972) mengingatkan untuk tidak memandang remeh makna yang bisa dihasilkan melalui realisasi nilai-nilai pengalaman atau penghayatan ini. Makna yang tinggi dari suatu momen tertentu di dalam kehidupan manusia bisa muncul dan dialami terlepas dari tindakan konkret. Untuk menjelaskan hal ini, Frankl memberikan contoh seorang penikmat musik dan seorang pendaki gunung. Mereka bisa sungguh menemukan hidup yang penuh makna dengan menikmati alunan musik yang indah dan menikmati keindahan alam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24
pegunungan sebagai momen yang tunggal (tidak tergantikan). Frankl juga menambahkan bahwa nilai-nilai pengalaman juga dapat direalisasi melalui pertemuan dengan kebaikan atau kebenaran. Frankl percaya bahwa melalui pemenuhan nilai-nilai yang berasal dari agama maupun filsafat hidup, individu mampu menemukan makna dalam hidupnya. Selain kedua hal itu, Frankl juga menjelaskan bahwa nilai pengalaman juga dapat direalisasi dengan menemui sesama. Menurut Frankl, ketika individu mau menemui sesama dengan segenap keunikannya berarti individu tersebut mencintainya. Hanya melalui cinta, seseorang dapat menyentuh inti dari kepribadian individu. Ketika menyadari keberadaan cinta, individu mampu untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya. Pendek kata, menurut Frankl (1972), cinta (seharusnya) tidak membuat buta, tetapi membuat melek, menjadikan orang yang mengalaminya mampu melihat nilai-nilai. Kemampuan melihat nilai inilah yang membuat batin individu menjadi kaya. Pemerkayaan batin itu sendiri adalah salah satu unsur pembentuk makna hidup. Dalam konteks pengalaman penolakan sosial teman sebaya pada remaja, individu yang memiliki nilai pengalaman atau penghayatan paling tidak telah memenuhi satu dari tiga hal yang disebutkan di atas, yaitu menemui kekhasan sebuah momen (momen ditolak teman sebaya sebagai momen yang khas), menemui kebaikan atau kebenaran (berasal dari nilai agama atau filsafat hidup), dan menemui sesama (merasakan cinta) sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan sosial teman sebaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25
3.
Nilai Sikap Menurut Frankl (1972), bahkan dalam keadaan kehilangan (deprivation)
pun, baik kehilangan daya cipta maupun kehilangan penerimaan, individu tetap bisa menemukan makna. Hal ini tepatnya ketika individu menghadapi nasib buruk atau situasi
yang menghambat,
individu
tetap
bisa
merealisasi
nilai
yang
mengantarkannya kepada makna. Frankl menyebut nilai ketiga ini dengan nilai sikap. Nilai sikap adalah kemauan dan sikap yang dimiliki individu untuk merubah situasi kehidupannya (life changing encounter). Menurut Frankl (1972) dalam menghadapi situasi yang tidak dapat diubah, individu tersebut mampu bangkit atas dirinya sendiri. Individu juga mampu tumbuh melampaui dirinya sendiri. Pada akhirnya individu bergerak ke arah perubahan dirinya. Frankl (1972) menambahkan bahwa ketika individu memiliki nilai sikap, individu mampu untuk membalikkan tragedi personal menjadi kemenangan atas dirinya sendiri. Selain itu, nilai sikap juga meliputi kemampuan individu untuk merasakan keberadaan secara umum (sense of existance), dan secara khusus kemampuan untuk merasakan penderitaan (sense of suffering). Frankl (1972) meyakini bahwa makna sudah berada dalam penderitaan tersebut, tugas individu adalah bergerak menemukannya. Frankl mengatakan bahwa individu tidak harus bahagia sepanjang waktu, tetapi kesedihan, penderitaan, dan situasi kehidupan yang lain perlu disadari sebagai pengalaman dari keberadaan individu di dunia. Frankl juga menambahkan bahwa kehidupan di dunia memiliki momen bahagia yang memadai. Individu tidak perlu khawatir terhadap penderitaannya. Dalam konteks pengalaman penolakan sosial teman sebaya pada remaja, individu yang memiliki nilai sikap mampu mengatasi tekanan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26
mengandalkan proses analitisnya (misalnya berpikir positif) setelah ditolak oleh teman sebayanya. Individu tersebut memusatkan perhatian kepada penderitaannya (menyadari kekurangannya), membuat keputusan atas dirinya sendiri (misalnya memperbaiki kekurangannya), dan pada akhirnya bergerak melanjutkan kehidupannya.
4. Sindroma Ketidakbermaknaan Sebaliknya, jika seseorang gagal menggunakan tiga cara pemberian makna sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya, maka orang itu bisa mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrome of meaninglessness). Seperti dijelaskan pada bab pendahuluan, sindroma ketidakbermaknaan ditandai dengan munculnya dua hal, yang Frankl (1972) sebut sebagai frustrasi eksistensial (existential frustration) dan neurosis noogenik (noogenic neuroses). Frustrasi eksistensial adalah hambatan dan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna, yang ditandai dengan hilangnya minat, kurangnya inisiatif, munculnya perasaan absurd dan hampa, tidak memiliki kepastian tentang apa yang harus diperbuatnya, serta merasa kehilangan dukungan dan bimbingan moral. Sedangkan neurosis noogenik adalah suatu bentuk hambatan dan atau kegagalan individu memenuhi makna yang ditandai dengan munculnya simptom neurotik yang tampak, seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, kejahatan, dan simptom lainnya. Menurut Frankl baik frustrasi eksistensial maupun neurosis noogenik bukan merupakan sebuah penyakit, melainkan suatu penderitaan batin. Frankl menekankan bahwa tidak semua penderitaan sama dengan neurosis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27
penderitaan itu normal dan sehat. Frankl juga menambahkan bahwa frustrasi eksistensial dan juga neurosis noogenik merupakan fenomena yang umum terjadi pada masyarakat modern. Oleh karena itu Frankl mengingatkan bahwa individu semestinya tidak melawan pergulatan batin, melainkan menerima dan berjuang, sebab perjuangan inilah yang mengarahkan individu kepada makna. Pada
konteks
pengalaman
penolakan
sosial,
konsep
sindroma
ketidakbermaknaan sangat dekat dengan konsep inferioritas Adler. Menurut Adler inferioritas adalah perasaan-perasaan yang muncul akibat kekurangan psikologis atau sosial yang dirasakan secara subjektif maupun perasaan-perasaan yang muncul dari kelemahan atau cacat tubuh nyata (Hall & Lindzey, 1993). Penolakan sosial teman sebaya adalah fenomena yang sangat mungkin menyebabkan inferioritas. Oleh karena itu disinilah muncul dorongan untuk menjadi superior. Bagi Frankl maupun Adler, baik sindroma ketidakbermaknaan maupun inferioritas bukan merupakan suatu hambatan. Sebaliknya, sindroma ketidakbermaknaan maupun inferioritas mengarahkan individu kepada taraf perkembangan yang lebih tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28
D.
Kerangka Teoretis Memaknai Pengalaman
sebagai coping (Model Frankl) melalui :
Remaja menghadapi penolakan sosial dan mengalami stress
Gagal memaknai pengalaman atau mengalami Sindroma Ketidakbermaknaan
Nilai Daya Cipta Nilai Pengalaman Nilai Sikap Frustrasi Eksistensial Neurosis Noogenik
Gambar 1. Coping ala Frankl
Ditolak oleh teman sebaya menimbulkan stress dalam diri seorang remaja. Untuk dapat menghadapi stress tersebut diperlukan strategi coping atau strategi mengatasi stress yang tepat. Strategi coping yang kurang tepat dapat berakibat buruk bagi kehidupan individu. Strategi coping yang dianggap relevan dan digunakan dalam penelitian ini adalah pemaknaan personal ala Frankl yang diturunkan dari teorinya Logotherapy. Dalam Logotherapy dijelaskan bahwa ada 3 cara bagaimana individu dapat memaknai kehidupannya, yaitu melalui nilai daya cipta, melalui nilai pengalaman, dan melalui nilai sikap. Dengan kata lain, penelitian ini ingin menjelaskan dan memahami cara subjek memberikan makna pada pengalaman penolakan teman sebayanya melalui ketiga nilai itu. Memaknai pengalaman penolakan sosial teman sebaya tidaklah selalu berhasil. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam mengembangkan
ketiga
nilai
itu
Frankl
sebut
sebagai
sindroma
ketidakbermaknaan. Sindroma ketidakbermaknaan dibedakan menjadi 2, yaitu : frustrasi eksistensial dan neurosis noogenik. Dalam penelitian ini, sindroma ketidakbermaknaan juga akan dijelaskan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29
E.
Hasil yang Diharapkan
Berikut ini adalah hasil yang diharapkan dari penelitian ini : 1. menjelaskan pengalaman stress/tekanan akibat penolakan oleh teman sebaya. 2. menjelaskan proses pemaknaan sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan oleh teman sebaya dalam bentuk perwujudan nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap. 3. menjelaskan proses kegagalan pemaknaan sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan oleh teman sebaya dalam bentuk frustasi eksistensial dan atau neurosis noogenik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal dan dunia sosialnya. Ciri-ciri pentingnya adalah peneliti melakukan pemeriksaan secara rinci terhadap lingkungan atau suasana alamiah partisipan. Peneliti juga mengumpulkan jenis data yang beragam, yaitu wawancara dan observasi. Selain itu, peneliti juga berusaha menangkap makna dari fenomena penolakan sosial sebagaimana diyakini atau dihayati oleh para partisipan (Creswell dalam Supratiknya, 2015). Desain penelitian ini analisis isi kualitatif (AIK), yaitu metode penelitian untuk menafsirkan secara subjektif isi data berupa teks melalui proses klasifikasi sistematik berupa coding atau pengkodean dan pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shannon dalam Supratiknya, 2015). Desain penelitian AIK dipandang peneliti sesuai diterapkan untuk penelitian ini karena AIK mampu untuk untuk mengungkap isi atau makna sesuai dengan konteksnya (Supratiknya, 2015). Tujuan dari penelian ini adalah untuk mengungkap dan memahami nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap sebagai cara mengatasi tekanan (coping) akibat penolakan sosial oleh teman sebaya ala Victor Frankl. Metode pengambilan data dalam penelitian ini adalah focus group discussion (FGD). Alasan peneliti memilih FGD karena FGD mampu mendorong partisipan untuk
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31
saling
mengungkapkan
diri,
mendalami
jawaban,
meminta
penjelasan,
mengklarifikasi maksud (Supratiknya, 2015). Jenis pertanyaan dalam penelitian ini berupa pertanyaan-pertanyaan terbuka dan beberapa pertanyaan tertutup. Analisis data diawali dengan mentranskripsikan data lisan atau rekaman elektronik ke dalam sebuah teks tertulis atau dokumen (verbatim). Kemudian dengan menggunakan analisis isi kualitatif (AIK), teks tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa kategori. Tujuannya adalah untuk mendapatkan deskripsi yang padat tentang fenomena yang diteliti (Supratiknya, 2015).
B. Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah 15 orang remaja kelas IX SMP Negeri 3 Godean yang terdiri dari 4 remaja laki-laki dan 11 perempuan, berada dalam rentang usia 12-18 tahun, dan mempunyai pengalaman ditolak oleh teman sebayanya. Pemilihan partisipan dilakukan atas rekomendasi dari guru. Kriteria yang digunakan untuk memilih para partisipan adalah kesediaan dan keterbukaan siswa untuk menceritakan pengalamannya kepada peneliti. Proses pemilihan partisipan dilakukan dengan melakukan pra-FGD (FGD pendahuluan) pada kelompok yang sudah direkomendasikan guru. Pada saat praFGD dilakukan, partisipan yang hadir berjumlah 15 orang. Beberapa partisipan meminta izin untuk tidak mengikuti FGD lanjutan karena harus mengikuti serangkaian kegiatan lain. Partisipan lain juga mengaku tidak nyaman ketika membahas topik penolakan sosial dalam kelompok. Pada saat FGD 1, partisipan yang hadir berkurang menjadi 10 orang. Dua orang partisipan menghindar dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32
pertemuan FGD 1 tanpa alasan yang jelas. Beberapa partisipan juga mengaku tidak nyaman dan menangis pada saat FGD 1 berlangsung. Partisipan lain juga ada yang menangis sampai tidak dapat melanjutkan ceritanya. Tidak ada informasi yang memadai tentang ketidaknyamanan partisipan, apakah karena penolakan sosial atau karena hal lain. Pada saat FGD 2, partisipan yang hadir berkurang lagi menjadi 7 orang. Ketujuh orang partisipan ini mampu melanjutkan ceritanya sampai selesai. Beberapa data tentang para partisipan dapat dilihat pada Tabel 2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33
Tabel 2 Data Umum Partisipan Kode Usia Jenis Kelamin
P1
16 th
Perempuan
P2
15 th
Perempuan
P3
15 th
Perempuan
P4
14 th
P5
Sindroma Penolakan yang Dimiliki
Bentuk Penolakan Teman Sebaya
Tempat Terjadinya Penolakan Teman Sebaya Status sosial ekonomi Difitnah secara diam-diam, Sekolah berada di bawah status diejek, dan dibocorkan rahasia anggota lain pribadinya
Perempuan
Memiliki perilaku sosial menonjolkan diri dan tidak dapat bekerjasama Kurang matang dalam hal ketenangan dan pengendalian emosi Sulit bekerjasama
Disindir, dijauhin, dan Sekolah dimusuhin karena dianggap merebut pacar teman Dimusuhin, dijauhi, tidak diajak Sekolah bicara, dan disindir melalui media sosial Tidak bercerita Sekolah
15 th
Perempuan
Suka menonjolkan diri
Dijauhi dan diabaikan
Rumah
P6
18 th
Laki-laki
Tidak sportif
Tidak bercerita
Sekolah
P7
15 th
Perempuan
Penampilan tidak sesuai Dijauhin dan diabaikan teman Sekolah dengan standar kelompok satu kelas dalam hal daya tarik fisik dan atau kerapian
Kontribusi dalam Proses FGD
Datang 2x, menangis sampai tidak bisa bercerita banyak di FGD 1 Datang semua, menangis di FGD 1 Datang semua, sangat sedikit berbicara Datang 1x, tidak banyak bicara Datang semua, bercerita dengan baik Datang 1x, banyak bicara hal lain Datang 2x, menangis di FGD 1 sampai berhenti bercerita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34
Kode
Usia
Jenis Kelamin
Sindroma Penolakan yang Dimiliki
Bentuk Penolakan Teman Sebaya
P8
15 th
Laki-laki
Suka menyendiri dan Tidak mau bercerita mengikuti geng sekolah
P9
16 th
Perempuan
Memiliki kepribadian acuh Dijauhi dan diabaikan karena Rumah tak acuh atau sangat cuek berbeda agamanya
P10
15th
Perempuan
Kurang percaya diri
P11
12th
Perempuan
Sangat cuek
P12
15th
Perempuan
P13
16th
Laki-laki
P14
15th
Perempuan
P15
16th
Laki-laki
Tidak mau bercerita
Tempat Terjadinya Penolakan Teman Sebaya Sekolah
Sekolah
Difitnah, dijauhi, dan dimusuhi Sekolah karena dianggap merebut pacar teman Memiliki perilaku sosial Diejek tidak punya teman Sekolah suka menonjolkan diri dan memiliki hubungan buruk dengan keluarga Memiliki kepribadian yang Tidak bercerita Sekolah menganggu orang lain yaitu suka mengejek Mudah marah Tidak bercerita Sekolah Kurang matang dalam Tidak bercerita pengendalian emosi
Sekolah
Kontribusi dalam Proses FGD
Datang 1x, diajak geng untuk kabur dari diskusi dan mau Datang semua, bercerita dengan baik Datang semua, pelaku penolakan P11 Datang semua, menangis di FGD 1 Datang 2x, bercerita banyak tentang keluarga dan bukan tentang penolakan Datang 2x, sedikit bercerita Datang 1x, tidak bercerita banyak Datang 1x, tidak bercerita banyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Peran Peneliti Peneliti berperan sebagai instrumen penelitian. Artinya peneliti berperan untuk menangkap suara subjek dan mengolahnya. Pada saat FGD berlangsung, peneliti berperan sebagai fasilitator. Peneliti memfasilitasi interaksi antar partisipan (Supratiknya, 2015). Peneliti pernah mengalami penolakan sosial oleh teman sebaya pada saat duduk di kelas IX di salah satu SMP Negeri di kota Yogyakarta. Beberapa bentuk perilaku seperti mengejek, menyindir, menjauhi, mendorong, menatap sinis, maupun menjegal pernah dialami peneliti hampir setiap hari selama 1 bulan (1 Maret 2007-30 Maret 2007). Peneliti tidak memahami penyebab terjadinya penolakan tersebut. Peneliti hanya mampu mengingat bahwa pada saat itu peneliti merupakan minoritas di antara teman-teman sebayanya. Selain memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda, peneliti juga satu-satunya siswa yang sudah diterima di salah satu SMA Swasta di Yogyakarta sebelum diselenggarakannya Ujian Nasional. Oleh karena itu, peneliti menginterpretasikan penolakan sosial sebagai kesempatan untuk menghadapi ketidakberdayaan. Peneliti belum mengenal partisipan dalam penelitian ini. Peneliti baru akan mengenal partisipan ketika pihak sekolah menyetujui dan merekomendasikan siswa atau siswinya (10-12 orang) sesuai dengan proposal ijin. Peneliti memilih lokasi penelitian di salah satu ruang kelas di SMP N 3 Godean. Peneliti juga bisa memodifikasi lokasi penelitian ini sewaktu-waktu. Sesuai dengan Peraturan Bupati Nomor 45 Tahun 2013 tentang ijin penelitian di kabupaten Sleman, maka peneliti akan melengkapi persyaratan ijin
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36
penelitian yang sekurang-kurangnya terdiri dari 3 hal : (1) membawa surat permohoman ijin penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma; (2) membawa proposal ijin penelitian dan daftar pertanyaan yang telah disetujui oleh dosen pembimbing; (3) membawa fotokopi KTP. Kemudian ketiga berkas tersebut dibawa ke Kantor Kesatuan Bangsa Kabupaten Sleman untuk mendapatkan surat rekomendasi penelitian. Surat rekomendasi kemudian dibawa ke Bappeda untuk mendapatkan surat ijin penelitian. Berikut ini adalah isu-isu sensitif terkait etika yang kemungkinan muncul pada saat dilakukannya penelitian : (1) menimbulkan ketidaknyamanan secara fisik; (2) menimbulkan ketidaknyamanan secara psikis; dan (3) kerahasiaan informasi atau data penelitian (confidentiality). Cara peneliti dalam mengatasi isu tersebut adalah : (1) mengkondisikan ruangan yang nyaman dan menyediakan konsumsi; (2) partisipan dapat mengajukan keberatan untuk menunda atau menghentikan tindakan asesmen jika merasa ada yang tidak sesuai dengan harapan. Selain itu, pada awal sesi FGD akan diadakan ice breaking dan di akhir sesi FGD akan dilakukan relaksasi nafas; (3) informasi yang diperoleh dari penelitian hanya akan peneliti diskusikan dengan dosen pembimbing. Selain itu, peneliti juga membuat kesepakatan dengan coder dan partisipan untuk menjaga kerahasiaan informasi dalam FGD.
D. Prosedur Pengumpulan Data dan Perekaman Data Peneliti memilih setting atau lingkungan tempat penelitian berlangsung di salah satu ruangan di SMP N 3 Godean. Peneliti meyakini bahwa di lingkungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37
sekolahnya sendiri, partisipan lebih merasa aman dan bebas dibandingkan dengan lingkungan yang lain. Aktor-aktor atau orang-orang yang akan diobservasi maupun diwawancarai peneliti adalah partisipan penelitian (15 orang), Kepala Sekolah SMP N 3 Godean (1 orang), dan wali kelas (1 orang). Partisipan penelitian akan dipilih berdasarkan rekomendasi, observasi, maupun wawancara pendahuluan dari Kepala Sekolah, dan wali kelas. Peneliti juga akan meminta ijin kepada Kepala Sekolah SMP N 3 Godean untuk memakai sarana dan prasarana sekolah pada saat melaksanakan serangkaian kegiatan penelitian. Peneliti juga akan menjelaskan bahwa penelitian ini bersifat meluas, artinya peneliti menerima dan mengharapkan informasi tambahan dari para aktor berkaitan dengan penelitian. Peneliti akan mengumpulkan data dalam tiga jenis prosedur, yaitu : (1) observasi kualitatif, yaitu catatan lapangan tentang tingkah laku dan aktivitas orangorang di lokasi penelitian; (2) focus group discussion; (3) bahan audio-visual kualitatif, yaitu berupa video dan rekaman suara dari focus group discussion (Creswell dalam Supratiknya, 2015). Peneliti akan menggunakan focus group discussion sebagai prosedur utama pengumpulan data. Focus group discussion atau disingkat FGD adalah diskusi kelompok di antara sejumlah kecil partisipan yang dipandu oleh seorang fasilitator, di mana para anggota kelompok diharapkan berbicara secara bebas dan spontan sebuah topik tertentu (Supratiknya, 2015). Topik dalam penelitian ini adalah pemaknaan pengalaman penolakan sosial oleh teman sebaya. Penulis menggunakan jenis FGD fenomenologis di dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk mengungkap pengalaman, pemahaman, pendapat, sikap, pengetahuan, dan keyakinan para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38
partisipan terkait dengan isu-isu penolakan sosial oleh teman sebaya. Peneliti menggunakan convenience sampling dalam merekrut partisipan untuk dilibatkan dalam FGD. Peneliti juga menentukan besar kelompok atau jumlah partisipan FGD sebanyak 8-15 orang. Durasi atau panjang setiap sesi diskusi yang peneliti tentukan yaitu satu jam. Peneliti menentukan 1 sesi sama dengan 1 kali pertemuan FGD dengan 1 kelompok subjek, dan sesi lain berupa 1 kali pertemuan FGD dengan kelompok subjek lain. Peneliti tetap akan melihat titik saturnasi atau exhaustiveness, yaitu titik di mana tidak akan diperoleh informasi baru jika dibuka atau dilanjutkan dengan sesi atau sesi-sesi diskusi fokus tambahan (Supratiknya, 2015). Pada akhir setiap sesi peneliti juga akan melakukan evaluasi apakah titik saturnasi sudah tercapai (Shart-Hopko, dalam Supratiknya, 2015). Peneliti menggunakan kelompok yang heterogen dalam FGD ini. Hal ini karena hasil FGD akan lebih kaya dan lebih natural ketika anggota-anggota kelompok FGD sangat heterogen atau memiliki karakteristik yang sangat berlainan (Freeman, dalam Supratiknya, 2015). Peneliti akan berinteraksi dengan partisipan sampai data penelitian berhasil terkumpul. Melalui heterogenitas anggota FGD dan pemilihan anggota sampel secara convenience, peneliti akan mendapatkan memandang interaksi antar anggota FGD sebagai sumber bahan analisis utama. Peneliti akan memberikan perhatian secara khusus pada interaksi dan pengungkapan pendapat dan perasaan anggota FGD tentang isu penolakan sosial. Dengan demikian, isu tentang penolakan sosial dapat disajikan secara lebih rinci dan tuntas. Berikut ini adalah jenis data yang akan direkam peneliti dan prosedur perekamannya :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39
1. Protokol Observasi Instrumen ini berisi tentang informasi demografik, catatan deskriptif, dan juga catatan reflektif peneliti (Supratiknya, 2015). Instrumen ini berupa deskripsi keadaan ruang FGD, deskripsi perilaku partisipan saat FGD, sebelum FGD, dan sesudah FGD, deskripsi mood/perasaan partisipan melalui moodmeter yang diisi oleh partisipan, serta deskripsi tentang temuan yang menarik. Instrumen ini berfungsi sebagai pendukung sumber data primer, yaitu FGD.
2. Protokol Wawancara Berikut ini adalah daftar pertanyaan wawancara yang akan diberikan kepada partisipan. Pertanyaan pembuka : 1. Mari kita saling berkenalan! Silahkan teman-teman sebut nama, usia, dan daerah asal masing-masing secara bergantian! Pertanyaan pendahuluan : 1. Menurut kamu, teman itu apa? Kalau sahabat itu apa? 2. Apakah kamu punya teman dan sahabat? Coba sebutkan di mana saja kamu memiliki teman dan sahabat itu? 3. Apakah ada di antara teman-teman dan sahabatmu itu, memiliki rentang usia atau umur yang hampir sama denganmu? Kira-kira berapakah usia mereka? 4. Coba ceritakan tentang mereka!
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40
Pertanyaan transisi : 1. Bagaimana hubunganmu dengan teman-teman sebaya atau teman seumuranmu itu? 2. Apakah mereka semua menerimamu, ataukah justru ada yang menolakmu? Pertanyaan kunci : 1. Kapan kamu merasa ditolak oleh teman sebayamu itu? 2. Coba ceritakan bagaimana peristiwa penolakan teman sebayamu itu terjadi? 3. Coba ceritakan apa yang kamu rasakan ketika ditolak oleh teman sebayamu itu? 4. Coba ceritakan apa yang kamu pikirkan ketika ditolak oleh teman sebayamu itu? 5. Kegiatan atau aktivitas apa yang kamu lakukan atau tetap kamu lakukan setelah mengalami penolakan teman sebayamu itu? (nilai daya cipta) 6. Hal-hal apakah yang kamu dapatkan setelah mengalami penolakan teman sebaya? (nilai pengalaman) 7. Bagaimana caramu menghadapi penolakan teman sebayamu itu? (nilai sikap) Pertanyaan penutup : 1. Apakah ada yang masih ingin untuk diceritakan tentang pengalaman penolakannya?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41
3. Perekaman Data Data utama dalam penelitian ini adalah verbatim dari hasil FGD. Sedangkan data tambahan berupa hasil observasi. Hasil observasi berisi tentang deskripsi kualitatif tentang perilaku partisipan (Creswell dalam Supratiknya, 2015). Hasil observasi bermanfaat sebagai alat validasi, yaitu sebagai bukti bahwa ucapan partisipan benar-benar keluar dari diri mereka. Selain itu, hasil observasi juga digunakan untuk mengidentifikasi reaksi partisipan selama FGD. Peneliti juga menggunakan perekam audio dan video sebagai materi primer dari FGD.
E. Reliabilitas dan Validitas Prosedur reliabilitas dan validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara berikut : 1. Reliabilitas Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan intercoder agreement atau kesesuain antar pengode untuk menguji reliabilitas hasil penelitian. Coder dalam penelitian ini berjumlah 2 orang, yaitu peneliti sendiri dan rekan peneliti yang berinisial V. Intercoder agreement adalah prosedur pengujian reliabilitas hasil penelitian kualitatif dengan cara melakukan pemeriksaan secara mendalam bersama dengan tim peneliti terhadap transkrip-transkrip data wawancara ataupun observasi untuk memastikan tidak ada kesalahan serius selama proses transkripsi. Setelah memperoleh kode-kode dalam proses pengkodean, data kembali dibandingkan dengan kode-kode yang berhasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42
dirumuskan tersebut untuk memastikan kembali tidak ada perubahan makna (Creswell dalam Supratiknya, 2015). Peneliti juga mendokumentasikan semua data dalam penelitian ini, sehingga pengambilan keputusan dalam penelitian ini bisa diperiksa sewaktu-waktu. Berikut ini adalah hasil dari intercoder agreement yang disajikan dalam tabel 3. Tabel 3 Ringkasan Hasil Intercoder Agreement Pemaknaan sebagai Cara Mengatasi Tekanan akibat Penolakan Teman Sebaya (Coping ala Frankl) Bentuk Memaknai sebagai Cara Mengatasi Tekanan Sindroma Penolakan Ketidakbermaknaan Teman sebagai Cara Mengatasi Sebaya Tekanan Nilai Nilai Nilai Sikap Frustrasi Neurosis Daya Cipta Pengalaman Eksistensial Noogenik Jumlah Jumlah Jumlah temuan: Jumlah Jumlah Jumlah temuan: 6 temuan: 5 8 temuan temuan: 11 temuan: 3 temuan: 1 temuan temuan temuan temuan temuan Disetujui oleh Disetujui Disetujui coder: 6 temuan Disetujui Disetujui Disetujui oleh oleh oleh coder: oleh oleh coder: 4 coder: 5 8 temuan coder: 2 coder: 1 temuan temuan temuan temuan
Secara umum, skor reliabilitas hasil intercoder agreement dalam penelitian ini sebesar 76,47% dengan rincian sebagai berikut: dari total 34 temuan, yang disetujui oleh coder yaitu 26 temuan. Selain itu, temuan nilai daya cipta dan neurosis noogenik memiliki skor reliabilitas paling tinggi yaitu sebesar 100%. Kemudian dilanjutkan dengan skor reliabilitas nilai pengalaman 75% dan nilai sikap 72%. Skor reliabilitas terendah terdapat pada temuan sindroma ketidakbermaknaan yang berbentuk frustrasi eksistensial dan bentuk penolakan teman sebaya dengan skor reliabilitas sebesar 67%.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43
2. Validitas Validitas dalam penelitian ini akan diuji dengan strategi validasi thick description. Thick description adalah deskripsi yang sangat rinci tentang lingkungan penelitian dan mengkaji tema-tema dengan berbagai macam perspektif dan sudut pandang dengan (Creswell dalam Supratiknya, 2015). Dalam penelitian ini thick description dilakukan dengan observasi selama proses FGD dan menjelaskan proses penemuan makna sesuai logotherapy.
F. Analisis dan Interpretasi Data Peneliti menggunakan analisis isi kualitatif (AIK) sebagai metode analisis dan interpretasi data. Menurut Hsieh dan Shannon (2005, dalam Supratiknya, 2015) AIK adalah metode penelitian untuk menafsirkan secara subjektif isi data berupa teks melalui proses klasifikasi sistematik berupa coding atau pengkodean dan pengidentifikasian aneka tema atau pola. Tujuan dari AIK adalah untuk mengungkap isi atau makna dari sebuah teks sesuai dengan konteksnya untuk memperoleh pengetahuan baru tentang fenomena yang diteliti. Peneliti memilih metode ini karena dianggap paling sesuai untuk mengungkap makna dari pengalaman penolakan sosial teman sebaya yang dialami partisipan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif atau analisis isi terarah. Hasil transkrip FGD akan diuji dan divalidasi dengan menggunakan teori Frankl tentang pemaknaan personal. Data yang didapat akan dikoding berdasarkan 6 kriteria, yaitu 1 kriteria bentuk penolakan teman sebaya, 3 kriteria memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan : nilai daya cipta, nilai pengalaman,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44
nilai sikap; dan 2 kriteria sindroma ketidakbermaknaan sebagai cara mengatasi tekanan : frustrasi eksistensial dan neurosis noogenik. Jika ada data yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kelima kriteria tersebut, maka peneliti akan menandai data tersebut. Sesudah selesai dengan pengodean, data yang sudah ditandai tersebut akan dianalisis apakah merupakan kategori baru atau hanya subkategori dari keenam kriteria tersebut (Hsieh & Shanon dalam Supratiknya, 2015). Kriteria pemaknaan sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya yang dipakai untuk koding : a.
Bentuk Penolakan Teman Sebaya : bentuk-bentuk penolakan teman sebaya yang dialami individu.
b.
Nilai daya cipta : cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya dengan melakukan aktivitas konkret yang kreatif dan produktif.
c.
Nilai pengalaman : cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya dengan mengalami, merasakan, dan menghayati pengalaman penolakannya itu melalui pertemuan dengan kebaikan atau kebenaran.
d.
Nilai sikap : cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya yang ditunjukkan dengan kemauan dan sikap untuk merubah situasi kehidupan (life changing encounter).
e.
Frustasi Eksistensial : kegagalan individu memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya yang ditandai dengan hilangnya minat, kurang inisiatif, mucul perasaan absurd dan hampa, tidak memiliki kepastian tentang apa yang harus diperbuat, serta merasa kehilangan dukungan dan bimbingan moral.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45
f.
Neurosis Noogenik : kegagalan individu memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya yang ditunjukkan dengan munculnya simptom neurotik yang tampak, seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, kejahatan, dan simptom lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46
Tabel 4 Kategori Koding Pemaknaan sebagai Cara Mengatasi Tekanan akibat Penolakan Teman Sebaya (Coping ala Frankl) Bentuk Memaknai sebagai Cara Mengatasi Sindroma Penolakan Tekanan Ketidakbermaknaan Teman sebagai Cara Mengatasi Sebaya Tekanan Nilai Nilai Nilai Sikap Frustrasi Neurosis Daya Cipta Pengalaman Eksistensial Noogenik BentukCara Cara remaja Cara remaja Remaja Muncul bentuk remaja mengatasi mengatasi kehilangan simptom penolakan mengatasi tekanan akibat tekanan minat, neurotik teman sebaya tekanan penolakan akibat kurang yang yang dialami akibat teman sebaya penolakan inisiatif, tampak individu. penolakan dengan teman merasa dalam diri Contoh : teman mengalami, sebaya yang absurd dan remaja. “Temansebaya merasakan, dan ditunjukkan hampa, tidak Contoh : temanku saat dengan menghayati dengan memiliki “Mending itu melakukan pengalaman kemauan tujuan, dan mabok aja mengejekku aktivitas penolakannya dan sikap kehilangan daripada dan konkret melalui untuk dukungan mikirin menyindirku yang kreatif pertemuan merubah moral. temandari dan dengan situasi Contoh : teman” belakang”. produktif. kebaikan atau kehidupann “Aku gapapa Contoh : kebenaran. ya (life lah seperti “Aku tetap Contoh: “Aku changing ini, sudah mengikuti merasa sedih encounter). menjadi OSIS di karena ditolak Contoh : nasibku sekolah”. teman-temanku, “Aku seperti ini. ada yang memaafkan Mau menghindariku, temanmelakukan ada juga yang temanku apapun tidak mengabaikanku lebih akan . Tapi di sisi lain dahulu, merubah aku belajar kemudian nasibku” untuk tabah” aku baru minta maaf kepada temanku”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian dan Observasi Penelitian ini diadakan selama bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2016. Pertemuan pertama dengan para partisipan diadakan pada hari Sabtu, 13 Januari 2016 di ruang laboratorium biologi SMP Negeri 3 Godean. Sedangkan proses pengambilan data melalui focus group discussion (FGD) diadakan dua kali, yaitu pada hari Sabtu, 20 Februari 2016 dan Sabtu, 27 Februari 2016 di ruang kelas 9E dan laboratorium biologi SMP Negeri 3 Godean. Secara umum, proses FGD pertama berjalan dengan lancar, walaupun ada 5 partisipan yang tidak hadir. Tiga dari 5 partisipan yang tidak hadir tersebut, sengaja kabur dari kelompok FGD. Ketika peneliti tanyakan lebih lanjut, partisipan yang lain menjawab,”Sensitif paling mas”. Pada awal FGD dimulai, 6 orang partisipan mengaku merasa sedih dan kecewa, 2 orang partisipan merasa biasa saja, dan 2 orang partisipan merasa senang. Hal ini terlihat dari mood-meter awal yang diisi partisipan. Pada saat FGD berlangsung, beberapa partisipan sempat ada yang menangis. Diduga partisipan merasa tertekan dan sungkan karena pelaku penolakan ada di antara mereka sendiri. Akan tetapi, secara keseluruhan para partisipan dapat memahami pertanyaan yang diajukan, saling berdiskusi, dan menyelesaikan ceritanya. Pada akhir FGD, sebagian besar partisipan mengaku merasa senang (6 orang), lega (2 orang), dan tanpa beban (1 orang). Satu orang partisipan juga mengaku masih memiliki beban. Hal ini terlihat dari mood-meter akhir.
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48
FGD kedua di hari Sabtu, 27 Februari 2016 berlangsung dengan cukup baik, meski ada 8 partisipan yang tidak hadir. Dua dari 8 orang partisipan yang tidak hadir tersebut, mengaku tidak sanggup lagi untuk melanjutkan proses FGD. Total akhir partisipan menjadi 7 orang. Walaupun sudah dibujuk peneliti dan beberapa partisipan lain mereka tetap menolak untuk melanjutkan FGD. Satu orang partisipan juga memilih untuk kabur. Ketika peneliti tanya lebih lanjut, partisipan tersebut menjawab,”Ra ana lanange eee mas”. Pada awal FGD, para partisipan meminta untuk membatasi waktu diskusi karena memiliki kegiatan lain. Moodmeter awal menunjukkan 4 orang partisipan merasa senang, 2 orang merasa biasa saja, dan 1 orang merasa sedih. Pada saat FGD berlangsung, para partisipan mampu lebih terfokus dan lebih jelas dalam memberikan pendapat dibandingkan dengan FGD pertama. Selain itu, selama proses FGD kedua, para partisipan mampu memberikan perhatian penuh kepada partisipan lain yang sedang berbicara. Pada akhir FGD, sebagian besar partisipan mengaku merasa senang (6 orang) dan hanya ada 1 orang yang merasa kelelahan karena FGD. Hal ini terlihat dari mood-meter akhir para partisipan.
B. Hasil Penelitian 1. Bentuk Penolakan Teman Sebaya Penolakan sosial teman sebaya memiliki berbagai macam bentuk. Bentuk penolakan sosial yang umum terjadi yaitu pengucilan, pelecehan, kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual (Kurniasari et al., 2013). Dalam penelitian ini bentuk penolakan yang dialami para partisipan seperti berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49
Dari hasil FGD, bentuk penolakan teman sebaya yang dialami partisipan yaitu diabaikan. Diabaikan adalah bentuk penolakan sosial dimana seorang individu tidak dianggap keberadaannya. Hal ini dapat dilihat dari pendapat seorang partisipan (P7),”Saya pernah didiemin gitu mas sama satu kelas, kalo main aja aku sama kelas lain”. Selain itu, partisipan lain (P9) juga berpendapat,”Waktu itu kejadiannya di rumah mas, pas ada hajatan, aku sama temenku tu cuma didiemin, ga dianggep gitu mas dari awal acara sampai akhir acara”. Partisipan lain (P5) juga menambahkan,”Pas itu temen-temenku tu pada ndiemin aku gitu waktu jajan”. Bentuk penolakan lain yang dialami partisipan yaitu dijauhi. Dijauhi adalah bentuk penolakan sosial dimana satu atau beberapa orang secara aktif membuat jarak (menjauhi) dengan individu. Hal ini dapat dilihat dari pendapat seorang partisipan (P2),”Saya pernah dijauhin satu kelas, tapi saya ga tahu salah saya apa”. Partisipan lain (P5) juga berpendapat,”Ya itu mas, temenku pada ngehindarin aku gitu waktu itu”. Partisipan lain (P7) juga menambahkan,”Saya pernah dijauhin gitu sama temen-temen, ya ga tahu kenapa gitu”. Partisipan lain (P3) juga menambahkan,”Saya pernah ga ditemenin gitu, dijauhin, dan ga diajak bicara sama temen-temen”. Selain itu, partisipan lain (P9) juga menambahkan,”Ya mereka (teman-teman yang menolak) pada nggerombol, njauhin aku, aku cuma sendiri disitu”. Bentuk penolakan lain yang juga dialami partisipan yaitu disindir. Disindir adalah bentuk penolakan sosial dimana pelaku melakukan agresi verbal kepada korbannya secara tidak langsung. Seorang partisipan (P3) berkata,”Saya pernah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50
disindir lewat PM Whatsapp”. Partisipan lain (P2) menambahkan,”Waktu itu aku merasa mereka (teman-teman yang menolak) bilang sesuatu apa gitu, kaya nyindir-nyindir, tapi aku ga ngerasa karna aku ga tahu aku salah apa”. Selain itu, partisipan juga pernah diejek. Diejek adalah bentuk penolakan sosial dimana pelaku melakukan agresi verbal kepada korbannya secara langsung. Seorang partisipan (P1) berpendapat,”Mereka tu (teman-teman yang menolak) ngejekin aku di depanku kak, itu aku denger lho”. Partisipan lain (P3) berpendapat,”Waktu itu aku diejek lewat PM katanya aku temen musiman gitu”. Bentuk penolakan lain yang dialami partisipan yaitu difitnah. Difitnah adalah bentuk penolakan sosial dimana pelaku melakukan agresi verbal kepada korbannya dengan menyebarkan kesaksian yang tidak benar (rumor). Hal ini dapat dilihat dari pendapat seorang partisipan (P1),”Tapi gini lho mas, ada sahabat yang diem-diem ngebocorin rahasia dan jelek-jelekin aku”. Partisipan lain (P11) juga berpendapat,”saya dulu pernah difitnah ngrebut pacarnya este lah, nikungan lah, gitu-gitu”. Partisipan lain (P3) juga berpendapat,”Pertama yang jelek-jelekin aku 1 orang, terus cerita sama yang lain, terus kayak jadi memprovokasi gitu mas”. Selain itu, partisipan juga pernah dimusuhi atau dikucilkan. Dimusuhi atau dikucilkan adalah bentuk penolakan sosial dimana seorang korban dijadikan musuh bersama oleh sekelompok orang yang menolak keberadaannya. Seorang partisipan (P2) berkata,”Dia (teman yang menolak) merasa kalo aku tu ndeketin cowonya, terus waktu itu aku dimusuhin sama satu kelas”. Partisipan lain (P3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51
menambahkan,”Pas kelas 8 saya pernah ditolak teman, ga tahu kenapa tiba-tiba dimusuhin”.
2. Memaknai Pengalaman sebagai Cara Mengatasi Tekanan/Coping Memaknai pengalaman dapat digunakan sebagai cara mengatasi tekanan/coping dalam menghadapi penolakan sosial teman sebaya. Hal ini dapat dilakukan dengan memenuhi 3 nilai dasar, yaitu nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap. a. Nilai Daya Cipta Nilai daya cipta adalah cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya dengan melakukan aktivitas konkret yang kreatif dan produktif. Dari hasil FGD, para partisipan menyampaikan bahwa pada saat ditolak, mereka mengatasinya dengan keputusan sadar untuk mengikuti kegiatan di sekolah seperti kegiatan belajar mengajar. Seorang partisipan (P5) berkata,”Banyak hal mas yang waktu itu (saat terjadi penolakan sosial) jadi ga bisa dilakukan. Tapi kalo aku tetep sekolah mas, soale nek dipikir sekolah tu tujuane bukan ketemu sama mereka (pelaku) aja, hahahahaha”. Partisipan lain (P2) juga berkata,”Aku juga tetep sekolah mas, sekalian nunjukin ke mereka (pelaku) kalo aku gapapa”. Partisipan lain (P11) juga menambahkan,”Biasa sih mas, sekolah biasa. Aku cuek aja soalnya aku yang butuh sekolah”. Partisipan lain (P10) menambahkan,”Ya kalo kegiatan seperti umumnya di kelas mas. Saya tetep sekolah biasa karena saya lebih kuat dari mereka. Hahahaha”. Partisipan lain (P3) juga berkata,”Mmm biasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52
aja, sama-sama di sekolah. Di sekolah itu temennya kan ga cuma dia (pelaku)”. Aktivitas lain yang dilakukan partisipan adalah pramuka. Seorang partisipan (P12) berkata,”Ya persami (jenis kegiatan dalam pramuka) mas, aku sebagai ketua regu. Aku milih sendiri mas kegiatanku, daripada ga ngapa-ngapain malah keinget lagi sedih-sedih lagi”. Aktivitas lain yang dilakukan partisipan adalah les. Seorang partisipan (P5) berkata,”Kalo aku les-lesan. Di tempat les-lesan juga ada temennya tu lho. Jadi aku tetep ga kesepian. hahahaha”. Partisipan lain (P9) juga sependapat dengan P5,”Aku juga di les-lesan, banyak temennya soale. Kalo diem aja itu malah kepikiran terus eeee mas”. Selain itu, ada juga partisipan yang melakukan aktivitas olahraga. Seorang partisipan (P12) berkata,”Aku tetep ikut pertandingan, walau tetep wae dirasani. Hahahaha. Soalnya kaya bangga banget tu lho mas. Ga semua orang bisa ikut pertandingan mewakili sekolah”. Partisipan lain (P13) menambahkan,”Aku pergi ke tempat main sama tempat olahraga. Di sana juga banyak temennya”. Ada juga partisipan yang melakukan aktivitas berorganisasi. Salah seorang parisipan (P11) berkata,”Aku main biasa tapi ga sama temen kelas, aku sama anak-anak OSIS. Aku sendiri mas yang milih jadi OSIS. Soalnya aku ga mau sedih-sedihan terus”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53
b. Nilai Pengalaman Nilai pengalaman adalah cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya dengan mengalami, merasakan, dan menghayati pengalaman penolakannya melalui pertemuan dengan kebaikan atau kebenaran. Semua partisipan belum bisa menemukan nilai pengalaman karena penolakan teman sebaya masih mereka maknai negatif. Berikut ini contoh-contohnya. Berdasarkan pengalaman partisipan, penolakan sosial teman sebaya dihayati partisipan sebagai peristiwa yang menyakitkan. Hal ini dapat dilihat dari pendapat seorang partisipan (P1),”Tapi gini tu lho mas, ada juga sahabat itu yang diem-diem menyakitkan gitu”. Ketika ditanya lebih lanjut, P1 menjelaskan,”Dia malah ngebocorin rahasia kita, dan dia juga di belakang tu diem-diem tu jelek-jelekin kita”. Pendapat partisipan 1 tersebut didukung oleh pendapat partisipan lain (P12),”Kita kalau kita salah, kan lebih baik sakit di depan, diberitahu, kita bisa memperbaiki, daripada dia di belakang nyakitin kita, kita ga tahu salah kita dan ga bisa memperbaiki”. Partisipan lain (P12) juga berkata,”Aku pernah ke kantin to mas diejekin,“Azizah karo sopo, Azizah dewe”. Saya tu sebenernya sakit. Udah ngadepin masalah yang lebih besar dari itu, dan saya harus ngadepin masalah itu, sebenernya saya lebih sakit”. Dua orang partisipan (P3&P9) pada akhir ceritanya juga mengatakan,”Yang dirasain pastinya sakit, yang sakit hatinya”. Penolakan sosial teman sebaya juga dihayati sebagai peristiwa yang mengecewakan. Seorang partisipan (P2) berkata,”Hahaha kecewa lah”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54
Pendapat partisipan 2 didukung dengan pendapat partisipan lain (P9),”Kecewa pasti ada”. Penolakan sosial teman sebaya juga dihayati sebagai peristiwa yang menimbulkan kegelisahan. Seorang partisipan (P3) mengaku,”Aku ngerasa gelisah mas, waktu ditolak sama temanku”. Ketika ditanya lebih lanjut, P3 menjelaskan,”Ya kenapa kok temenku gak nemenin aku, habis itu gak ngajak main, gak ngajak bicara”. Selain itu, penolakan sosial teman sebaya juga dihayati sebagai peristiwa pengkhianatan dari teman. Seorang partisipan (P2) berkata,”Saya zaina, kalo menurut saya sahabat itu kadang mengkhianati kita”. Ketika ditanya lebih lanjut P2 menjelaskan,”Kadang tu seakan-akan mereka nglakuin itu (mengkhianati) tu biasa aja, tapi kitanya aja sudah terlanjur sayang sama dia, maksudte sayang sama sahabat”. Penolakan sosial teman sebaya juga dihayati sebagai konflik karena kesalahpahaman. Seorang partisipan (P5) berkata,”Tadi saya ada konflik sedikit sama sahabat-sahabat saya. Karena aku capek to mas, aku diemin sahabat-sahabatku. Sahabatku tu ngerasa aku nyuekin sahabatku. Terus di jalan itu aku ga ada yang nyapa. Aku tuh ga ada niat untuk jauhin, nyuekin temen-temenku tadi. Cuma salah paham tu lho”. Di sisi lain, beberapa partisipan menghayati penolakan sosial teman sebaya sebagai konflik karena hubungan lawan jenis. Seorang partisipan (P2) berkata,”Saya pernah punya sahabat. Sekarang mungkin ga sahabatan lagi. Itu gara-gara masalah cowok”. Partisipan lain (P11) juga berkata,”Saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55
pernah berbulan-bulan dijauhi teman-teman karena pacarnya Este (P10) itu jadi pacarku setelah mereka putus. Waktu itu temen-temen bilang kalo aku nikungan”. Penolakan sosial teman sebaya juga dihayati sebagai konflik karena perbedaan agama. Seorang partisipan (P9) bercerita,”Lima bulan lalu saya ditolak di rumah mas waktu ada hajatan di deket rumah. Waktu itu saya nyinom mas. Ga tahu kenapa hari itu aku sama temenku 1 orang, cuma didiemin sama temenku yang lain. Ternyata karena kami minoritas mas, yang lainnya tu Islam”. Ketika ditanya lebih lanjut P9 menjelaskan,”Mereka tu pada nggerombol dan aku cuman sendiri. Tiga hari berturut-turut kaya gitu mas. Aku tanya to mas ke mereka kenapa kok aku didiemin. Terus mereka njawab gapapa, ga ada apa apa”. Selain itu, penolakan sosial teman sebaya juga dihayati sebagai konflik personal yang berubah menjadi konflik kelompok. Hal ini dapat dilihat dari pendapat seorang partisipan (P9),”Gini mas gini, ga tahu kenapa ada satu orang itu kaya nge-ching tu lho mas, terus ngomporin temen-temen yang lain”. c. Nilai Sikap Nilai sikap adalah cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya yang ditunjukkan dengan kemauan dan sikap untuk merubah situasi kehidupan (life changing encounter). Selain itu, perjuangan untuk mengatasi inferioritas (dorongan untuk superior) juga dikategorikan ke dalam bagian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56
Berdasarkan pengalaman partisipan, kemauan dan sikap yang pertama kali muncul setelah mengalami penolakan sosial teman sebaya adalah memberi maaf dan meminta maaf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat seorang partisipan (P2),”Aku minta maaf banget sama kalian buat yang lalulalu itu. Aku tu masih nganggep kamu sahabat karena aku masih sayang sama kamu”. Partisipan lain (P11) juga berpendapat,”Kalau terus bermusuhan aku yakin semuanya ga bakal berjalan baik. Makanya aku selalu mulai dengan meminta maaf. Saya bersyukur kelas IX ini saya sudah maafan, sudah baikan sama este (P10), dan este sudah ga mempermasalahin masalah itu lagi. Este itu orangnya baik, ga pendendam. Masalah itu sudah selesai mas”. Partipisan lain (P9) juga berkata,”Aku pernah minta maaf, tanya kenapa kok didiemin. Aku udah memaafkan dulu sebelum bertanya”. Partisipan lain (P3) juga menambahkan,”Aku juga minta maaf”. Selain itu, kemauan dan sikap yang muncul dalam diri partisipan adalah berpikir positif (positive thinking). Seorang partisipan (P5) berkata,”Kalo sekarang lho mas, saya lebih positif thinking aja gitu. Saya pikir ketika terus-menerus berpikir buruk ga baik juga buat akunya. Makanya saya pilih untuk positif thinking aja gitu”. Kemauan dan sikap lain yang muncul dalam diri partisipan adalah menyadari kelemahan dan kekurangan diri atau berintrospeksi. Berikut ini adalah beberapa kutipan percakapan partisipan, “Iya itu kan terus bisa jadi buat introspeksi” (P5). “Introspeksi, ya introspeksi gitu” (P10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57
“Iya kaya Introspeksi diri, lebih introspeksi diri” (P2). “Dulu pertama ada masalah itu to mas, aku introspeksi dulu” (P11). “Ya introspeksi” (P3). Di sisi lain, kemauan dan sikap dalam diri partisipan yang muncul setelah mengalami penolakan sosial teman sebaya adalah tetap bersikap baik terhadap teman yang menolak. Hal ini dapat dilihat dari jawaban seorang partisipan (P5),”Ya aku baik-baikin, biar ga kemana-mana mas masalahnya”. Partisipan lain (P2) juga sependapat dengan P5,”Ya menjadi diri yang baik”. Selain itu, seorang partisipan (P9) juga mengaku,”Waktu ketemu sama dia (orang yang menolak), aku tetep nyapa, tetep baik, tapi dia diem”. Partisipan 3 juga menambahkan,”Kalo aku baik-baikin”. Selain itu, kemauan dan sikap yang muncul dalam diri partisipan adalah datang konseling. Seorang partisipan (P10) mengaku,”Kalo aku konseling sama Pak Nyamik”. Setelah ditanya lebih lanjut P10 menjelaskan,”Aku dikasih motivasi, masukan, terus aku disuruh memutuskan sesuatu gitu”. Partisipan 2 juga menambahkan,”Kalo sama Pak Nyamik bisa 4 mata tu lho mas”. Partisipan 5 juga ikut berpendapat,”Biasanya kemauan sendiri mas, kalo ada yang bilang enak konseling sama Pak Nyamik, terus pada dateng”. Kemauan dan sikap lain yang muncul dalam diri partisipan adalah menjadi mandiri. Seorang partisipan (P2) berkata,”Sekarang aku sudah bisa sendiri, gitu”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58
Selain itu, ada juga partisipan yang memiliki kemauan dan sikap untuk memperbaiki kekurangan diri. Seorang partisipan (P11) berkata,”Hmm ya bisa berubah jadi lebih baik, jadi lebih akrab, bareng-bareng”. Di sisi lain, ada partisipan yang memiliki kemauan dan sikap untuk lebih menyadari keberadaan teman lain yang tidak menolak keberadaannya. Seorang partisipan (P2) berkata,”Kadang tu gara-gara ada masalah ini (penolakan sosial teman sebaya), kita tu malah jadi tahu kalo kita juga punya sahabat lain, bukan cuma dia tu lho”. Kemauan dan sikap lain yang muncul adalah berhati-hati dalam bertindak. Hal ini dapat dilihat dari jawaban seorang partisipan (P11),”Hmm gimana ya mas, jadi lebih berhati-hati dalam bertindak, takut salah”. Partisipan lain (P12) juga menambahkan,”Iya mas, jadi lebih berhati-hati kalo bersikap, terutama sama orang yang nolak, takut terjadi lagi”. Partisipan lain (P10) juga berkata,”Ya lebih hati-hati mas”. Partisipan 9 juga menambahkan,”Sama sih lebih berhati-hati, lebih bersikap”. Selain itu, ada juga partisipan yang memiliki kemauan dan sikap untuk mengontrol emosinya. Seorang partisipan (P10) berkata,”Aku lebih mateng dalam mengontrol emosi, lebih dewasa”. Kemauan dan sikap lain yang terakhir muncul adalah keputusan untuk mengalah. Seorang partisipan (P12) mengatakan,”Kalo aku salah sama temenku, sama-sama salah, aku mengalah”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59
3. Sindroma Ketidakbermaknaan sebagai Cara Mengatasi Tekanan/Coping Sindroma ketidakbermaknaan adalah ketidakmampuan atau kegagalan individu dalam mengembangkan nilai daya cipta, nilai pengalaman, dan nilai sikap. Sindroma ketidakbermaknaan memiliki 2 jenis, yaitu frustrasi eksistensial dan neurosis noogenik. a. Frustrasi Eksistensial Frustasi eksistensial adalah kegagalan individu memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya yang ditandai dengan hilangnya minat, kurang inisiatif, muncul perasaan absurd dan hampa, tidak memiliki kepastian tentang apa yang harus diperbuat, serta merasa kehilangan dukungan dan bimbingan moral. Dari hasil FGD, kegagalan partisipan memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya ditandai dengan hilangnya dukungan dan bimbingan moral. Hal ini dapat dilihat dari pendapat seorang partisipan (P7),”Soalnya gini mas kalo aku di kelas, sama aja aku ga ada temennya, makanya aku main aja saya sama kelas lain”. Partisipan lain (P10) menambahkan,”Kalo aku biasanya tak simpen sih mas, tak pendem, ga aku cerita-ceritain. Karena gini mas, kan waktu itu ga ada temen sama sekali yang bisa diajak cerita-cerita”. Partisipan lain (P12) juga berpendapat,”Habis masalah itu aku sukanya menyendiri, atau main sama kelas lain, karena temen-temen kelas tu pada ngejauhin ga nemenin”. Partisipan 3 juga menambahkan,”Aktivitas lain? Ya mainan sendiri lah, main hape atau apalah”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60
Partisipan juga tidak memiliki kepastian tentang apa yang harus diperbuat. Seorang partisipan (P11) mengatakan,”Kalo mau berbuat tu aku takut salah lagi, taku dijauhin lagi, takut ga punya temen lagi”. Selain itu, partisipan merasa absurd dan hampa dalam menjalani kehidupannya. Hal ini dapat dilihat dari pendapat seorang partisipan (P3),”Rasane hambar mas pokokke”. b. Neurosis Noogenik Neurosis noogenik adalah kegagalan individu memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya yang ditunjukkan dengan munculnya simptom neurotik yang tampak, seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, kejahatan, dan simptom lainnya. Berdasarkan hasil FGD, kegagalan partisipan memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya ditandai dengan simptom neurotik alkoholisme. Hal ini dapat dilihat dari pendapat salah seorang partisipan (P13),”Nek aku mabuk”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61
Tabel 5 Ringkasan Hasil FGD Pemaknaan sebagai Cara Mengatasi Tekanan akibat Penolakan Teman Sebaya (Coping ala Frankl) Bentuk Memaknai sebagai Cara Mengatasi Tekanan Sindroma Penolakan Ketidakbermaknaan Teman sebagai Cara Mengatasi Sebaya Tekanan Nilai Nilai Nilai Sikap Frustrasi Neurosis Daya Cipta Pengalaman Eksistensial Noogenik Diabaikan Kegiatan Peristiwa Memberi Kehilangan Mabuk belajar menyakitkan maaf dan dukungan Dijauhi mengajar meminta dan Peristiwa Disindir maaf bimbingan Pramuka mengecewakan Diejek moral Berpikir Les Menimbulkan Difitnah positif Tidak kegelisahan Olahraga Dimusuhi memiliki Menyadari Organisa Pengkhianatan atau kepastian kekurangan teman si dikucilkan tentang apa /introspeksi Konflik karena yang harus kesalahpahaman Tetap diperbuat bersikap Konflik karena Merasa baik kepada hubungan lawan absurd dan teman yang jenis hampa menolak Konflik karena dalam Datang perbedaan menjalani konseling agama kehidupan Mandiri Konflik Memperbai personal yang ki berubah menjadi kekurangan konflik diri kelompok Lebih menyadari keberadaan teman yang tidak menolak Berhati-hati dalam bertindak Mengontrol emosi Keputusan untuk mengalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62
C. Pembahasan Bagian pembahasan ini dimulai dengan membahas temuan terkait bentukbentuk penolakan teman sebaya. Kemudian dilanjutkan dengan membahas temuan terkait pemaknaan cara Frankl sebagai strategi coping dari pengalaman penolakan sosial teman sebaya, baik melalui perwujudan nilai daya cipta, nilai pengalaman atau penghayatan, maupun nilai sikap. Pada bagian ini, akan ada pembahasan secara khusus tentang 2 temuan. Pertama, terkait nilai pengalaman yang tidak mampu dipenuhi oleh semua partisipan. Kedua, terkait nilai sikap yang justru muncul paling banyak. Pada bagian akhir akan ada pembahasan tentang temuan lain berupa kegagalan dalam memaknai pengalaman sebagai cara mengatasi tekanan, baik dalam bentuk frustrasi eksistensial maupun dalam bentuk neurosis noogenik. 1. Bentuk Penolakan Teman Sebaya Bentuk penolakan teman sebaya yang muncul dan dialami partisipan dalam penelitian ini yaitu diabaikan, dijauhi, disindir, diejek, difitnah, dan dimusuhi atau dikucilkan. Disindir, diejek, dan difitnah dikategorikan sebagai bentuk agresi verbal, sedangkan diabaikan, dijauhi, dan dimusuhi/dikucilkan dikategorikan sebagai bentuk perilaku pengucilan. Temuan ini sejalan dengan temuan Kurniasari et al. (2013) yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk penolakan sosial teman sebaya yang umum terjadi di masyarakat Indonesia yaitu pengucilan, pelecehan, kekerasan verbal (mengejek, menyindir, memfitnah, mengintimidasi, dan lain-lain), kekerasan fisik (menonjok, menendang, mencambuk, menjegal, memukul dengan benda, dan lain-lain), dan kekerasan seksual.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63
2. Pemaknaan Cara Frankl sebagai Strategi Coping dari Pengalaman Penolakan Sosial Teman Sebaya Secara umum, dua dari tiga nilai yang ditawarkan Frankl sebagai coping dari penolakan teman sebaya, muncul dalam hasil penelitian ini. Temuan pertama yaitu nilai daya cipta. Nilai daya cipta muncul dalam aktivitas positif partisipan seperti kegiatan belajar mengajar, pramuka, les, olahraga, dan berorganisasi. Sebagian besar aktivitas tersebut (kegiatan belajar mengajar, pramuka, dan berorganisasi) mereka lakukan di sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Brooks (2011) bahwa seorang remaja akan menghabiskan waktunya untuk berkumpul bersama sebayanya dan membentuk kelompok salah satunya di lingkungan sekolah. Temuan ini juga didukung oleh pendapat Frankl (1972) bahwa individu yang bertanggungjawab dan memiliki kontrol penuh atas dirinya dalam pekerjaannya adalah individu yang memenuhi nilai daya cipta. Pekerjaan atau tugas utama bagi partisipan adalah sekolah, oleh karena itu aktivitas-aktivitas di sekolah merupakan perwujudan dari nilai daya cipta. Di sisi lain, ada juga aktivitas positif yang partisipan lakukan di luar lingkungan sekolah, seperti les dan olahraga. Hal ini sesuai dengan pendapat Brooks (2011) bahwa seorang remaja akan memilih teman yang memiliki minat sama dengan mereka, dan mereka mendapat manfaat dari hubungan tersebut melalui sikap saling berbagi pengalaman dan perasaan. Frankl (1972) juga berpendapat bahwa aktivitas merepresentasikan wilayah di mana keunikan individu tampil dalam hubungannya dengan masyarakat. Hal ini menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64
bahwa beberapa partisipan memiliki minat pada aktivitas olahraga dan les dan di sini lah keunikan mereka tampil. Nilai yang kedua adalah nilai pengalaman. Semua partisipan dalam penelitian ini ternyata belum mampu untuk menemukan makna di dalam pengalaman penolakan teman sebaya yang mereka alami. Secara umum, para partisipan memang sudah mengalami, merasakan sendiri, dan juga menghayati pengalaman penolakannya. Akan tetapi, mereka belum sampai kepada penemuan kebaikan atau kebenaran dibalik pengalamannya. Berikut ini adalah penghayatan partisipan terhadap pengalaman penolakan teman sebaya yang muncul dalam koding. Pertama, penolakan sosial teman sebaya dihayati sebagai peristiwa yang negatif dan traumatis, antara lain: penolakan sosial teman sebaya itu peristiwa yang menyakitkan, peristiwa yang mengecewakan, menimbulkan kegelisahan, peristiwa pengkhianatan teman, konflik karena kesalahpahaman, konflik karena hubungan lawan jenis, konflik karena perbedaan agama, dan konflik personal yang berubah menjadi konflik kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Frankl (1972) bahwa mengalami, merasakan, dan menghayati penderitaan mampu mengantarkan individu kepada makna ketika individu mampu menemukan kebaikan atau kebenaran di dalamnya. Para partisipan dalam penelitian ini ternyata baru mampu untuk menghayati penderitaannya, tetapi belum mampu untuk menemukan kebaikan di dalamnya. Pengalaman penolakan sosial teman sebaya dihayati partisipan sebagai peristiwa yang menyakitkan, mengecewakan, dan menimbulkan kegelisahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Lim & Gan (2012) yang menemukan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65
seseorang yang mengalami penolakan sosial mengalami stress emosional (emotional distress) yang cukup tinggi. Temuan tersebut juga didukung dengan temuan penelitian Moor et al., (2010) bahwa penolakan sosial mampu menimbulkan perasaan sakit (feeling of hurts). Pengalaman penolakan sosial teman sebaya juga dihayati partisipan sebagai peristiwa pengkhianatan dari teman dan konflik personal yang meluas menjadi konflik kelompok. Hasil temuan ini sejalan dengan temuan Garris et al., (2011) dan pendapat Berndt et al., (1979, dalam Santrock, 2002). Garris, et al., (2011) menemukan bahwa penolakan sosial teman sebaya merupakan pengkhianatan yang tidak dapat diprediksi (unexpected betrayal). Sedangkan Berndt et al., (1979, dalam Santrock, 2002) berpendapat bahwa pada masa remaja, khususnya remaja awal (12-13th), mereka cenderung mengikuti standar-standar dari teman sebayanya, kemudian standar itu digunakan untuk menilai anggota kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa konflik individual antar teman sebaya mungkin menjadi meluas ketika ada satu pihak yang mengkomunikasikan konfliknya ke dalam kelompoknya. Selain itu, pengalaman penolakan sosial teman sebaya juga dihayati partisipan sebagai konflik karena kesalahpahaman. Menurut Ayduk et al., (2009) kesalahpahaman (misunderstanding) adalah salah satu indikator dari banyaknya indikator dari penolakan sosial teman sebaya (global indicators of peer rejection). Pengalaman penolakan sosial teman sebaya juga dihayati partisipan sebagai konflik karena hubungan lawan jenis. Peneliti belum menemukan cukup bukti dari penelitian terdahulu mengenai hal ini. Oleh karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66
itu, peneliti mengkategorikan temuan ini sebagai temuan baru. Pengalaman penolakan sosial teman sebaya juga dihayati partisipan sebagai konflik karena perbedaan agama. Hasil temuan ini sejalan dengan temuan Astuti (2008, dalam Umasugi, in press) bahwa perbedaan kelas: ekonomi, agama, gender, etnisitas atau ras merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penolakan sosial teman sebaya. Nilai yang ketiga adalah nilai sikap. Nilai sikap yang muncul dalam penelitian ini cukup positif, yaitu sikap untuk memberi maaf dan meminta maaf, tetap berpikir positif, menyadari kekurangan/introspeksi, tetap bersikap baik kepada teman yang menolak, datang konseling, mandiri, memperbaiki kekurangan diri, lebih menyadari keberadaan teman yang tidak menolak, berhati-hati dalam bertindak, mengontrol emosi, dan mengambil keputusan untuk mengalah. Di luar dugaan peneliti, ternyata nilai sikap muncul lebih banyak dibandingkan dengan nilai daya cipta dan nilai pengalaman. Sebagian besar nilai sikap yang muncul dalam penelitian ini berasal dari dalam diri partisipan, yaitu sikap untuk memberi dan meminta maaf, berpikir positif, menyadari kekurangan/introspeksi, mandiri, memperbaiki kekurangan diri, berhati-hati dalam bertindak, mengontrol emosi, serta keputusan untuk mengalah. Hal ini sesuai dengan pendapat Frankl (1972) bahwa individu yang memenuhi nilai sikap adalah mereka yang memiliki keikhlasan dalam menghadapi penderitaannya dan bergerak ke arah perubahan dirinya. Memberi maaf, berpikir positif, introspeksi, mengontrol emosi, dan mengalah merupakan bentuk keikhlasan yang ditunjukkan partisipan, sedangkan meminta maaf,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67
mandiri, memperbaiki kekurangan diri, dan berhati-hati dalam bertindak merupakan bentuk usaha partisipan ke arah perubahan dirinya. Frankl (1972, dalam Koeswara, 1992) juga memiliki semboyan bahwa,”Sesuatu yang tidak dapat membunuhku membuat aku lebih kuat”. Jadi, dalam pandangan Frankl, penderitaan memiliki makna ganda yaitu mampu membentuk karakter dan membentuk kekuatan atau ketahanan diri. Sikap-sikap yang muncul dari dalam diri partisipan seperti memberi dan meminta maaf, berhati-hati dalam bertindak, mengontrol emosi, dan mengalah merupakan bentuk ketahanan diri yang ditunjukkan
partisipan,
kekurangan/introspeksi,
sedangkan mandiri,
serta
berpikir
positif,
memperbaiki
menyadari
kekurangan
diri
merupakan sikap yang mengarahkan partisipan kepada pembentukan karakter. Di sisi lain ada juga nilai sikap yang muncul dalam hubungan partisipan dengan orang lain, yaitu sikap untuk lebih menyadari keberadaan teman yang tidak menolak, sikap untuk mencari bantuan kepada guru BK melalui konseling, dan tetap bersikap baik kepada teman yang menolak. Temuan ini sejalan dengan penelitian Lim & Gan (2012) yang menemukan bahwa strategi coping yang umum digunakan partisipan penelitiannya (anak-anak anggota kelompok bermain di Singapura) pada saat ditolak teman sebaya adalah mencari teman lain (seek alternative playmates) dan mencari bantuan orang dewasa (seek adults help). Sedangkan temuan tentang sikap baik terhadap teman yang menolak, peneliti kategorikan sebagai temuan baru dalam penelitian ini. Hal ini karena tidak ditemukan cukup bukti dalam penelitian terdahulu mengenai temuan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68
3. Kegagalan Pemaknaan sebagai Cara Mengatasi Tekanan Akibat Penolakan Sosial Teman Sebaya Meskipun secara keseluruhan nilai-nilai yang ditawarkan Frankl muncul lebih banyak, tetapi masih ada partisipan yang mengalami kegagalan dalam memaknai pengalaman penolakan sosial teman sebaya sebagai cara mengatasi tekanan, baik dalam bentuk frustasi eksistensial maupun neurosis noogenik. Temuan tentang frustasi eksistensial yang dialami partisipan berupa hilangnya dukungan dan bimbingan moral, tidak memiliki kepastian tentang apa yang harus diperbuat, serta merasa absurd dan hampa dalam menjalani hidup. Temuan ini memiliki kesesuaian dengan temuan beberapa penelitian terdahulu: penolakan sosial meningkatkan penilaian negatif terhadap orang lain, meningkatkan perilaku menghindari orang lain, merasa bersalah dan mudah terluka, kekurangan afek positif, depresif, merasa sendiri, dan menganggap keberadaannya tidak berharga (Garris et al., 2011; Sommer, K. L. & Barnieri, F., 2015; Lim, J. T. & Gan, L., 2012). Sedangkan temuan tentang neurosis noogenik yang dialami partisipan berupa keputusan untuk mabuk. Temuan tentang ini tidak memiliki cukup bukti yang menunjukkan bahwa partisipan mengalami neurosis noogenik. Hanya ada 1 partisipan yang mengatasi tekanan akibat penolakan teman sebaya dengan mabuk (alkoholisme). Meski demikian, Frankl meyakini bahwa baik frustasi eksistensial maupun neurosis noogenik bukan merupakan patologis, melainkan suatu kendala yang wajar ketika individu memiliki kemauan untuk menemukan makna dalam hidupnya (will to meaning).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan dari penelitian yang bertujuan untuk mengungkap dan memahami cara remaja memaknai pengalaman penolakan sosial teman sebaya. Beberapa kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Secara umum, para partisipan mampu memaknai pengalaman sebagai cara
mengatasi tekanan akibat penolakan sosial teman sebaya dengan mewujudkan 2 nilai yang ditawarkan Frankl, yaitu nilai daya cipta dan nilai sikap. Nilai sikap muncul paling banyak, dilanjutkan dengan nilai daya cipta. Sedangkan nilai pengalaman tidak muncul dalam penelitian ini karena para partisipan belum mampu menemukan kebaikan atau kebenaran dari peristiwa penolakan yang mereka alami. Semua partisipan masih melihat penolakan sosial sebagai peristiwa yang negatif. Di sisi lain, muncul juga sindroma ketidakbermaknaan berbentuk frustrasi eksistensial dalam diri partisipan. 2.
Pengalaman stress yang dialami partisipan bersumber dari penolakan teman
sebaya yang berbentuk pengucilan atau dimusuhi teman, diabaikan, dijauhi, disindir, diejek, dan difitnah. 3.
Dilihat dari nilai daya cipta, para partisipan mampu mewujudkan nilai daya
cipta melalui aktivitas positif yang mereka lakukan di lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah. Aktivitas yang mereka lakukan di sekolah yaitu kegiatan
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70
belajar mengajar, pramuka, dan berorganisasi. Sedangkan aktivitas yang mereka lakukan di luar lingkungan sekolah yaitu les dan olahraga. Dilihat dari nilai pengalaman, para partisipan masih menghayati pengalaman penolakan teman sebayanya sebagai peristiwa yang negatif bahkan traumatis. Pendapat partisipan yang muncul yaitu: penolakan sosial teman sebaya sebagai peristiwa yang menyakitkan, mengecewakan, menimbulkan kegelisahan, pengkhianatan teman, konflik karena kesalahpahaman, konflik karena hubungan lawan jenis, konflik karena perbedaan agama, dan konflik personal yang berubah menjadi konflik kelompok. Dilihat dari nilai sikap, para partisipan memiliki sikap yang cukup positif dalam menghadapi penolakan sosial teman sebayanya. Sikap yang muncul antara lain: sikap untuk memberi maaf dan meminta maaf, tetap berpikir positif, menyadari kekurangan/introspeksi, tetap bersikap baik kepada teman yang menolak, datang konseling, mandiri, memperbaiki kekurangan diri, lebih menyadari keberadaan teman yang tidak menolak, berhati-hati dalam bertindak, mengontrol emosi, dan mengambil keputusan untuk mengalah. 4.
Kegagalan pemaknaan yang dialami partisipan sebagai cara mengatasi
tekanan akibat penolakan teman sebaya yaitu berbentuk frustasi eksistensial, berupa hilangnya dukungan dan bimbingan moral, tidak memiliki kepastian tentang apa yang harus diperbuat, serta merasa absurd dan hampa dalam menjalani hidup.
B. Keterbatasan Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, khususnya pada saat pemilihan partisipan dan pengambilan data. 1.
Pemilihan partisipan dilakukan oleh guru dengan indikator yang kurang
detail dari peneliti. Peneliti tidak menduga bahwa indikator yang kurang detail ini membuat FGD kurang tepat sasaran. Tidak semua partisipan ternyata merupakan korban penolakan sosial teman sebaya. Beberapa dari mereka ternyata adalah pelaku penolakan sosial teman sebaya. 2.
Peneliti kurang melakukan rapport pendahuluan pada para partisipan.
Rapport pendahuluan hanya dilakukan satu kali sebelum dilaksanakan FGD. Hal ini membuat partisipan kesulitan menyamakan jadwal. Akibatnya pada saat FGD pertama dilaksanakan, partisipan yang hadir tidak lengkap, dan pada saat FGD kedua dilaksanakan, partisipan yang hadir semakin berkurang. 3.
Peneliti tidak melibatkan supervisi psikolog, sehingga ketika ada gejala
psikis pasca FGD, peneliti kurang dapat mengantisipasi. Dalam penelitian ini, ketidaknyamanan secara psikis diminimalisir dengan melakukan relaksasi nafas setelah sesi FGD. C. Saran 1.
Bagi Penelitian Selanjutnya Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika akan melakukan penelitian
sejenis. Pertama, peneliti perlu melakukan rapport lebih banyak. Hal ini akan meminimalisir terjadinya kesalahan kriteria dalam pemilihan partisipan. Selain itu, rapport dalam jumlah yang memadai dapat meningkatkan kedekatan antara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72
partisipan dan peneliti. Rapport yang memadai juga mampu meningkatkan komitmen partisipan pada kelompok FGD. Kedua, peneliti perlu melakukan probing pada nilai daya cipta yang dimiliki partisipan. Hal ini karena nilai daya cipta yang muncul dalam penelitian ini masih sedikit. Ketiga, peneliti perlu lebih memahami kondisi partisipan pada saat FGD berlangsung. Pengalaman penolakan sosial teman sebaya bisa jadi merupakan persoalan yang sensitif. Oleh karena itu, peneliti perlu menyiapkan rencana cadangan jika FGD terpaksa untuk ditunda atau dihentikan. Keempat, coping model Frankl bisa diuji cobakan pada subjek lain atau pada pengalaman lain selain pengalaman penolakan sosial teman sebaya. Temuan dalam penelitian tersebut akan memperkaya hasil penelitian ini.
2.
Bagi Praktisi Psikologi Upaya pendampingan pada remaja khususnya remaja yang mengalami
penolakan sosial teman sebaya perlu untuk ditingkatkan. Selain itu, edukasi mengenai dampak yang cukup signifikan dari peristiwa penolakan sosial teman sebaya juga perlu dijelaskan kepada significant others atau orang-orang terdekat dari seorang remaja. Lebih jauh lagi, edukasi tentang coping model Frankl juga perlu dilakukan sebagai langkah alternatif remaja dalam menghadapi penolakan sosial teman sebayanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73
3.
Bagi Orang Tua Orang tua memiliki peran yang penting bagi remaja yang mengalami
penolakan sosial oleh teman sebayanya. Ketika ditolak oleh teman sebayanya, seorang remaja akan merasa kehilangan dukungan dan penerimaan. Hal ini terlihat dari hasil temuan tentang frustrasi eksistensial yang berupa hilangnya dukungan dan bimbingan moral. Oleh karena itu, orang tua diharapkan mampu menjadi “sahabat” bagi seorang remaja. Selain itu, orang tua juga diharapkan mampu mengarahkan remaja pada aktivitas yang positif (nilai daya cipta), menerima pengalamannya (nilai pengalaman), dan bergerak mengatasi permasalahannya (nilai sikap).
4.
Bagi Sekolah Sekolah juga memiliki peran dalam membantu remaja menghadapi penolakan
sosial teman sebaya. Selain dengan melakukan upaya pendampingan melalui guru BK dan wali kelas (nilai pengalaman), sekolah juga bisa menambahkan aktivitas dalam bentuk ekstra kurikuler maupun aktivitas positif lain (nilai daya cipta).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ACUAN Adiratna, R. (in press). Peran penolakan sosial dan kecenderungan neurotik dalam memprediksikan ketidakberdayaan yang dipelajari pada narapidana. Jakarta: Binus University. Amfelzer. (Ed.). (2014). Pelaku bullying SD Trisula Perwari beraksi tiap hari. (2014, Oktober
13).
Diunduh
30
April,
2015,
dari
http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/13/304394/pelaku-bullying-sd-trisulaperwari-beraksi-tiap-hari Artemis, G. & Touloumakos, A. K. (2014). “They Accept Me, They Accept Me Not”: Psychometric Properties of the Greek Version of the Child Parental AcceptanceRejection Questionnaire-Short Form. Journal of Family Issues, 1-18. Ary, W. B., Andayani, T. R., & Sawitri, D. R. (in press). Hubungan konsep diri dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi di SMP Negeri 2 dan SMP PL Dominico Savio Semarang. Semarang : Universitas Diponegoro. Ayduk, O., Gyurak, A., & Luerssen, A. (2009). Rejection sensitivity moderates the impact of rejection on self-concept clarity. Society for personality and Social Psychology, 35(11), 1467-1478. Brooks, J. (2011). The process of parenting (ed. ke-1). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Frankl, V. E. (1988). The will to meaning. New York: Meridian. Frankl, V. E. (1972). Man’s search for meaning. New York: Pocket Books. Garris, C.P., Ohbuchi, K., Oikawa, H., & Harris, M. J. (2011). Consequences of interpersonal rejection: A cross-cultural experimental study. Journal of CrossCultural Psychology, 42(6), 1066-1083. Geldard, K. (2012). Intervensi praktis bagi remaja berisiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Greenman, P. S., Schneider, B. H., & Tomada, G. (2009). Stability and change in patterns of peer rejection implication for children’s academic performance over time. School Psychology International, 30(2), 163-183. Hall, C. S. & Lindzey, G. (1993). Teori-teori psikodinamik (klinis). Supratiknya, A. (Ed.). Yogyakarta: Kanisius.
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75
Hudson, C. C., Lambe, L., Pepler, D. J., & Craig, W. M. (2016). Coping while connected: The association among cybervictimization, privacy setting, and reporting tools in youth. Canadian Journal of School Psychology, 31(1), 3-16. Hurlock, E. B. (1980). Development psychology : A life-span approach (ed. ke-5). Dalam Sijabat, R. M. (Ed.), Masa Remaja (hh. 205-240). Jakarta : Erlangga. Irwanto, D. (Ed.) (2014). Kasus bullying pencinta alam SMA 3 divonis hari ini. (2014, Agustus
26).
Diunduh
30
April,
2015,
dari
http://news.metrotvnews.com/read/2014/08/26/282734/kasus-bullying-pencintaalam-sma-3-divonis-hari-ini Kang, S. K. & Inzlicht, M. (2012). Stigma Building Blocks: How instruction and experience teach children about rejection by outgroups. Personality and Social Psychology Bulletin, 38(3), 357-369. Kim, J., Park, S. H., Youn, Y. S., Han, A., & Kim, M. (2016). Stress and coping associated with acculturation among North Korean defectors. Journal of Humanistic Psychology, 1(1), 1-21. Knowles, M. G., Green, A., & Weidel, A. (2014). Social rejection biases estimates interpersonal distance. Social Psychological and Personality Science, 5(2), 158-167. Koeswara, E. (1992). Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta : Kanisius. Kurniasari, A., Wismaayanti, Y. F., Irmayani., Husmiati., Widodo, N., Susantyo, B. (2013). Ringkasan Hasil Survei Kekerasan Terhadap Anak. Naskah yang tidak diterbitkan. Lim, J.T., & Gan, L. (2012). Peer rejection in preschool: Foregrounding children’s voices. Journal of Early Childhood Research, 11(1), 45-62. Maner, J. K., Miller, S. L., Schmidt, N. B., & Eckel, L. A. (2010). The endocrinology of exclusion: Rejection elicits Motivationally tuned changes in progesterone. Association for Psychological Science, 21(4), 581-588. Moor, B. G., Crone, E. A., & Molen, M. W. (2010). The heartbrake of social rejection: Heart rate deceleration in response to unexpected peer rejection. Psychological Science, 21(9), 1326-1333.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76
Nisfiannoor, M. & Kartika, Y. (2004). Hubungan antara regulasi emosi dan penerimaan kelompok teman sebaya pada remaja. Jurnal Psikologi, 2(2), 160-178. Nisfiannoor, M. & Yulianti, E. (2005). Perbandingan perilaku agresif antara remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan keluarga utuh. Jurnal Psikologi, 3(1), 1-18. Putera, A. D. & Afrianti, D. (Ed.). (2015). SMP Al-Jannah bantah nadhira mengalami “Bullying” di sekolah. (2015, Maret 16). Diunduh 30 April, 2015, dari http://megapolitan.kompas.com/ read/2015/03/16/21290921/SMP.Al.Jannah.Bantah.Nadhira.Mengalami.Bullying.d i.Sekolah Rene, J. T. & Berenbeum, H. (2009). The association between rejection and depression in the context of women’s relationsips with their parents. Journal of Social and Personal Relationships, 26(2-3), 327-339. Rohayati, I. (2011). Program bimbingan teman sebaya untuk meningkatkan percaya diri siswa. ISSN, 1412-565X(1), 368-376. Santrock, J. W. (2002). Life-span development. Dalam W. C. Kristiaji & Y. Sumiharti (Ed.), Masa Pertengahan dan Akhir Anak-anak (hh. 295-378). Jakarta : Erlangga. Santrock, J. W. (2002). Life-span development. Dalam W. C. Kristiaji & Y. Sumiharti (Ed.), Masa Remaja (hh. 6-66). Jakarta : Erlangga. Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan: Model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius. Sommer, K. L. & Barnieri, F. (2015). Minimizing the pain and probability of rejection: Evidence for relational distancing and proximity seeking within face to face interaction. Social Psychological and Personality Science, 6(2), 131-139. Sumiati, A. & Chairunnissa (2010). Hubungan antara penerimaan kelompok teman sebaya dengan prestasi akademik mahasiswa pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, 2(2), 105-118. Supratiknya, A. (2007). Kiat merujuk sumber acuan dalam penulisan karya ilmiah. Yogyakarta: Sanata Dharma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77
Supratiknya, A. (2015). Metodologi penelitian kuantitatif & kualitatif dalam psikologi. Yogyakarta: Sanata Dharma. Takariawan, C. (2015). Anak kita rentan mengalami kekerasan. (2015, Maret 8). Diunduh 18
April,
2016,
dari
http://www.kompasiana.com/pakcah/anak-kita-rentan-
mengalami-kekerasan_54fd1a80a333118e2050f84d Thomas, S.C. (1997). On understanding the processes of peer rejection: The potential contributions of labelling theory. The School Community Journal, 7(2), 77-86. Umasugi, S. C. (in press). The relationship between emotion regulation and religiosity with bullying behavior tendencies in teens. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. Valiente, C., Eisenberg, N., Fabes, R. A., Spinrad, T. L., & Sulik, M. J. (2015). Coping across the transition to adolescence: Evidence of interindividual consistency and mean-level change. Journal of Early Adolescence, 35(7), 947-965. Wartini, Ilyas, A., & Zikra. (2013). Karakteristik belajar siswa terisolir. Jurnal Ilmiah Konseling, 2(1), 131-135. Wasito, D. R., Sarwindah, D., & Sulistiani, W. (2010). Penyesuaian sosial remaja tuna rungu yang bersekolah di sekolah umum. INSAN, 12(3), 138-152. Widrianto, G. K. (Ed.). (2014). Video pengeroyokan siswa SD beredar di Temanggung. (2014,
Oktober
15).
Diunduh
30
April,
http://regional.kompas.com/read/2014/10/15/ 15531011/Video.Pengeroyokan.Siswa.SD.Beredar.di.Temanggung
2015,
dari