PEMAHAMAN PEGAWAI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (DJP) DAN KONSULTAN PAJAK TENTANG PERILAKU WAJIB PAJAK: SEBUAH STUDI FENOMENOLOGI Oleh : Kharisma Eki Saputra 105020300111062 Dosen Pembimbing : Helmy Adam SE., MSA., Ak., CPMA. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara. Wawancara ditujukan kepada tiga informan yang terdiri dari dua orang pegawai Direktorat Jendral Pajak (DJP), dan satu orang konsultan pajak. Alasan pemilihan pegawai DJP dan konsultan pajak sebagai informan adalah peran keduanya yang besar dalam penerapan self assessment system di Indonesia. Selain itu, peluang untuk mengisi kedua profesi ini sangat besar di masa yang akan datang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya wajib pajak merasa enggan untuk membayar pajak, sebisa mungkin mereka membayar pajak sekecil mungkin. Menyikapi hal tersebut, pegawai DJP dan konsultan pajak berperan besar untuk memberi edukasi kepada wajib pajak agar menyadari kewajibannya. Karakteristik daerah, budaya dan industri wajib pajak mempengaruhi sikap dan perilaku wajib pajak. Dengan mengetahui hal tersebut, seorang pegawai DJP dan konsultan pajak bisa memposisikan diri dengan tepat dalam menghadapi wajib pajak. Secara spesifik wajib pajak akan patuh melaksanakan kewajiban perpajakan yang memberikan manfaat langsung pada dirinya. Kepatuhan wajib pajak juga dipengaruhi oleh sanksi yang dikenakan pada wajib pajak. Namun demikian, usaha penghindaran pajak tetap tidak bisa dipisahkan dalam perilaku patuh wajib pajak. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran perilaku wajib pajak kepada semua masyarakat, khususnya kepada calon pengisi profesi pegawai DJP dan konsultan pajak. Kata Kunci: wajib pajak, pegawai DJP, konsultan pajak, perilaku wajib pajak, fenomenologi
FISCUSS AND TAX CONSULTANT’S UNDERSTANDING OF TAXPAYERS BEHAVIOUR: A PHENOMENOLOGICAL STUDY Arranged by : Kharisma Eki Saputra Advisory Lecturer : Helmy Adam SE., MSA., Ak., CPMA Abstract This study aims to know in depth the taxpayers behavior in fulfilling their tax obligations. This study used a phenomenological approach. Data collection techniques used were interviews. Interviews addressed to three informants consisting of two fiscuss, and a tax consultant. Researcher used fiscuss and tax consultant as informants because thay have big role in implementing self assessment system in Indonesia. In addition, the opportunity to fill that professions is very big in the future. The results of this study indicate that the taxpayer basically feel reluctant to pay taxes, they try to pay taxes as small as possible. In response to this, fiscuss and tax consultants play a major role to educate taxpayers to aware of their obligations. Regional, cultural and industrial characteristics of taxpayers influence attitudes and behavior of taxpayers. By knowing this, fiscuss and tax consultants can position themselves when handling taxpayers. Specifically, taxpayers will comply and fulfill their tax obligations that give them direct benefit. Tax compliance is also affected by the sanctions imposed on the taxpayer. However, tax avoidance can’t be separated with taxpayer compliance behavior. This study is expected to provide an overview of taxpayer behavior to all people, especially to the next fiscuss and tax consultants.
Keywords: taxpayers, fiscus, tax consultant, taxpayer behaviour, phenomenology
1. Latar Belakang
Peran Wajib Pajak sangat besar dalam menunjang penerimaan negara. Wajib Pajak menyumbang kurang lebih 78% penerimaan negara melalui pajak. Penerapan self assessment system menuntut kemandirian Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dengan sifat alami manusia yang lebih memprioritaskan kebutuhan pribadi, Wajib Pajak masih memerlukan bimbingan dari beberapa pihak seperti pegawai pajak dan konsultan pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Jumlah pegawai pajak dan konsultan pajak yang sangat kurang memberikan peluang yang besar pada semua masyarakat. Mengingat perannya yang sangat besar dalam membantu Wajib Pajak, calon pegawai pajak dan konsultan pajak harus mempersiapkan diri dengan baik, mulai dari peningkatan kompetensi pengetahuan tentang perpajakan, hingga memahami perilaku Wajib Pajak yang akan dihadapi. Mengetahui perilaku Wajib Pajak secara mendalam akan membuka wawasan calon pengisi profesi pegawai pajak dan konsultan pajak agar siap membimbing Wajib Pajak ketika mereka bekerja nantinya. Pajak berperan penting dalam menyumbang penerimaan negara. Dalam APBN tahun 2013, anggaran penerimaan pajak sebesar Rp 1193,0 Trilyun. Jumlah tersebut menyumbang 77,98% total penerimaan negara tahun 2013. Penerimaan pajak dalam RAPBN 2014 akan meningkat jumlahnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2013 mengungkapkan bahwa jumlah penerimaan pajak direncanakan akan meningkat menjadi Rp 1.310,2 Trilyun dari total penerimaan negara sebesar Rp 1.662,5 Trilyun. Sumbangsih pajak dari total pendapatan negara meningkat menjadi 78,8%. Peningkatan porsi penerimaan pajak tersebut menunjukkan betapa pentingnya pajak dalam menyumbang pendapatan negara. Besarnya porsi penerimaan pajak tidak diimbangi dengan terserapnya potensi pajak yang ada. Direktur Jenderal Pajak, Ahmad Fuad Rahmany, dalam seminar perpajakan di Gedung F FEB UB, menyatakan bahwa potensi pajak untuk tahun 2012 masih belum terserap semuanya. Dijelaskan bahwa untuk Wajib Pajak orang pribadi, baru ada kurang lebih 25 juta masyarakat yang membayar pajak dari seharusnya 60 juta Wajib Pajak. Dari jumlah tersebut, hanya 8,8 juta Wajib Pajak yang menyampaikan SPT. Untuk Wajib Pajak badan, hanya 1,9 juta Wajib Pajak yang mendaftar menjadi Wajib Pajak dari total badan yang terdaftar sebanyak 5 juta. Dari jumlah tersebut, hanya 520 ribu Wajib Pajak yang telah menyampaikan SPT-nya. Meskipun demikian, dengan jumlah penyerapan teresebut, Direktorat Jenderal Pajak merealisasi penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp 976 Trilyun (www.pajak.go.id Diakses pada 10 Januari 2013). Bisa dibayangkan jumlah penerimaan pajak yang masuk apabila potensi pajak di Indonesia terserap semuanya. Penyerapan potensi yang masih rendah, menunjukkan bahwa terdapat permasalahan terkait dengan penerimaan pajak negara. Dapat dilihat dari data pada paragraf sebelumnya, diketahui bahwa rasio SPT untuk Wajib Pajak orang pribadi hanya 14,7 % dan 10,4 % untuk rasio SPT Wajib Pajak badan. Masih banyak Wajib Pajak yang tidak membayar pajak. Dapat disimpulkan bahwa terdapat masalah dengan perilaku Wajib Pajak yang cenderung tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kepatuhan adalah sebagai sikap rela individu untuk menjalankan kewajibannya dalam memberikan kontribusi pada pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan yang mengaturnya, baik didasari oleh kesadaran, ataupun paksaan [Mc Mahon, dalam Albari (2009)]. Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya (Nurmantu, 2005). Pada prinsipnya orang yang patuh, memutuskan untuk berperilaku taat membayar pajak dan terhadap hukum [Goldman, dalam Albari (2009)]. Indonesia telah menetapkan indikator kepatuhan Wajib Pajak, sebagaimana telah diatur Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007. Menurut peraturan tersebut, Wajib Pajak dimasukkan dalam kategori Wajib Pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak; c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Terlepas dari kriteria kepatuhan tersebut, secara individu Wajib Pajak memang cenderung tidak patuh. Menurut Hofstede (1980), seorang individu cenderung lebih mementingkan hak dibandingkan kewajiban, pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga. Disisi lain, pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Soemitro, 1990 dalam Waluyo (2010:3)). Banyaknya kebutuhan diri yang harus dipenuhi membuat seorang Wajib Pajak tidak akan sempat berpikir tentang pajak, terlebih lagi untuk membayarkannya. Sebagai seorang individu memang Wajib Pajak cenderung tidak patuh. Oleh karena itu, beberapa penelitian di Indonesia berusaha mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan Wajib Pajak menjadi patuh. Budi (2007) menyatakan bahwa faktor kejelasan peraturan perundang-undangan berpengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak. Kebanyakan Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya karena tidak jelas dengan isi undang-undang. Kejelasan undang-undang ditunjukkan dengan isi undang-undang yang sederhana, dan sistem prosedurnya yang tidak rumit. Najib (2013) membuktikan bahwa pelaksanaan sanksi berpengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak. Rendahnya sanksi yang diberikan akan berimplikasi pada perilaku Wajib Pajak yang tidak mau membayar pajak, atau mau membayar pajak, akan tetapi apa yang dilaporkannya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (Allingham dan Sandmo, 1972). Perlu diterapkan sanksi yang tegas agar Wajib Pajak menjadi patuh. Penelitian Albari (2009) membuktikan bahwa faktor pelayanan sangat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak. Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya perlu mendapat pelayanan dari pihak otoritas pajak. Apabila Wajib Pajak merasa puas dengan pelayanan pegawai pajak, maka kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya akan menjadi baik. Tidak hanya pegawai pajak yang mempengaruhi kepatuhan, konsultan pajak juga meningkatkan kesadaran Wajib Pajak dalam memahami kewajibannya. Penelitian Ernawati (2008) membuktikan bahwa bantuan konsultan pajak juga berperan dalam peningkatan kesadaran Wajib Pajak dalam memahami kewajiban perpajakannya. Konsultan pajak yang membantu Wajib Pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya, secara tidak langsung memberikan edukasi yang membuat Wajib Pajak sadar akan kewajibannya. Dari beberapa penelitian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa Wajib Pajak adalah pihak yang harus diedukasi, dilayani, dan ditegakkan kedisiplinannya. Terlebih lagi, pada penerapan self assessment system, peran Wajib Pajak sangat dominan dalam penerimaan pajak. Sistem ini membebaskan Wajib Pajak untuk melakukan sendiri proses perhitungan, pembayaran, serta pelaporan pajak terutangnya (Resmi, 2011). Bisa dibayangkan, bagaimana bisa Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya tanpa mengetahui peraturan yang harus dilaksanakan. Peran SDM di bidang perpajakan sangat dibutuhkan untuk membantu Wajib Pajak. Sumber daya manusia menurut Nawawi (2001) diartikan sebagai potensi manusiawi yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan bertugas sebagai penggerak organisasi. Soemitro dalam Resmi (2011:1) menyatakan bahwa salah satu komponen pengertian pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara . Jadi, apabila digabung dengan kata pajak, SDM pajak dapat kita artikan sebagai pihak yang berperan dalam menunjang penerimaan pajak dari masyarakat kepada negara. Menyikapi masalah kepatuhan Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak, sebagai otoritas yang mengatur pajak di Indonesia, membuat kebijakan ekstensifikasi Wajib Pajak. Menurut
SE 06/PJ 9/2001, ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Mengingat pentingnya peran sumber daya manusia di bidang perpajakan, salah satu kebijakan ekstensifikasi Wajib Pajak di tahun 2013 adalah perbaikan kualitas dan penambahan kuantitas SDM pajak (APBN 2013). SDM pajak yang dimaksudkan dalam kebijakan tersebut adalah pegawai pajak. Sumber daya pajak tidak hanya pegawai pajak. Dalam artikel yang ditulis oleh Taslim (2007), selain pegawai pajak ada beberapa profesi di bidang perpajakan, yaitu konsultan pajak dan tax specialist. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 485/KMK.03/2003, konsultan pajak adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa profesional kepada Wajib Pajak dalam menyelesaikan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tax Specialist adalah profesional yang bukan pegawai pajak, dan bukan konsultan pajak yang memiliki kemampuan dan latar belakang perpajakan yang memadai serta memiliki kualifikasi teknis tertentu untuk melaksanakan seluruh kewajiban dan kepatuhan perpajakan, memberikan analisis atas setiap permasalahan perpajakan yang terjadi, serta menginformasikan dampak dari setiap perubahan tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa contoh bagian dari profesi tax specialist adalah tax manager, pengajar di bidang perpajakan, dan analis pajak. Dalam penelitian ini, SDM pajak yang dijadikan objek penelitian adalah praktisi pajak, yakni pegawai pajak dan konsultan pajak. Alasan pertama peneliti memilih kedua profesi tersebut adalah karena dalam penerapan self assessment system, peran kedua profesi tersebut sangat besar. Direktorat Jenderal Pajak, melalui pegawainya, akan melakukan beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan. Konsultan pajak berperan membantu Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara tidak langsung konsultan pajak akan membimbing Wajib Pajak untuk mematuhi undang-undang, karena dalam melaksanakan pekerjaannya, seorang konsultan pajak wajib untuk mematuhi undang-undang (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.03/2005). Berdasarkan penjelasan tersebut, titik berat alasan pemilihan pegawai pajak dan konsultan pajak adalah perannya yang sangat penting dalam mengedukasi dan membimbing Wajib Pajak secara langsung untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Alasan kedua pemilihan pegawai pajak dan konsultan pajak adalah peluang yang besar untuk mengisi profesi tersebut. Untuk saat ini, jumlah pegawai pajak di Indonesia sebanyak 32.000 orang (www.beritasatu.com diakses pada 11 Januari 2014). Bahkan, pada tahun 2012 Direktorat Jenderal Pajak sempat mengalami penurunan jumlah sumber daya dari 31.733 menjadi 31.408 di tahun 2012 (finance.detik.com diakses pada 11 Januari 2014). Jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah Wajib Pajak di Indonesia sebanyak 40 juta. Jika dibuat perbandingan, akan diperoleh angka 1:1400. Itu artinya, satu orang pegawai pajak akan menangani sebanyak 1400 Wajib Pajak. Setidaknya diperlukan 50.000-60.000 pegawai pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak (www.kemenkeu.go.id diakses pada 11 Januari 2014). Untuk profesi konsultan pajak, saat ini hanya terdapat 2220 konsultan pajak yang resmi terdaftar. Jumlah tersebut sangat minim jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang berjumlah hampir 250 juta jiwa. Perlu peningkatan sumber daya manusia sebagai konsultan pajak di Indonesia, setidaknya 100.000 konsultan pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak di Indonesia (www.analisadaily.com diakses pada 11 Januari 2014). Kurangnya sumber daya manusia yang berkecimpung sebagai pegawai pajak dan konsultan pajak, memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengisi profesi tersebut. Namun, besarnya peran pegawai pajak dan konsultan pajak, mengharuskan semua pihak yang menginginkan profesi tersebut untuk mempersiapkan diri dengan baik agar menjadi pegawai pajak atau konsultan pajak yang baik dan berkualitas. Kemampuan menguasai peraturan pajak mutlak diperlukan agar tidak membuat bingung Wajib Pajak. Dalam sebuah artikel yang diakses di www.bppk.depkeu.go.id pada 11 Januari 2014, dijelaskan bahwa salah satu Wajib Pajak yang mengalami kebingungan saat berkonsultasi
kepada 2 Account Representative yang berbeda. Perbedaan juga terjadi ketika pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak, dimana hasil dari tim 1 dan tim lainnya bisa terjadi perbedaan yang sangat signifikan. Perbedaan tersebut sebaiknya tidak terjadi, karena landasan hukum maupun prosedur yang harus dilakukan menggunakan sistem yang sama. Selain membutuhkan kompetensi yang tinggi, seorang calon pegawai pajak dan konsultan pajak harus bisa memahami Wajib Pajak. Penerapan self assessment system di Indonesia mengharuskan Wajib Pajak untuk pro aktif dalam melaksanakan kewajibannya. Masalahnya adalah bagaimana Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya apabila tidak mengerti aturan, dan tidak ada sanksi yang mengikatnya. Peran pegawai pajak dan konsultan pajak sangat penting dalam hal ini untuk mengedukasi, melayani dan menegakkan kedisiplinan Wajib Pajak. Tantangan yang dihadapi ke depan adalah bagaimana cara mengedukasi Wajib Pajak yang sebagai seorang individu cenderung tidak akan patuh dengan pajak. Sinergi antara kompetensi yang tinggi dan ilmu menghadapi Wajib Pajak akan menjadikan seseorang menjadi pegawai pajak atau konsultan pajak yang siap. Peneliti termotivasi untuk mengetahui perilaku Wajib Pajak secara mendalam. Dengan menggunakan metode fenomenologi, peneliti mencoba untuk mengungkap perilaku Wajib Pajak berdasarkan pengalaman informan yang telah dipilih. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dan apa yang ada di lapangan tidak seluas pengetahuan yang ada di buku. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat membuka wawasan bagi seluruh calon pengisi profesi pegawai pajak dan konsultan pajak terkait dengan perilaku Wajib Pajak. Selain itu, penelitian ini juga bermaksud untuk memahami berbagai macam karakteristik sifat Wajib Pajak yang ada di lapangan. Selain motivasi tersebut, peneliti mencoba melakukan terobosan baru dengan melakukan penelitian tentang perilaku Wajib Pajak dengan metode fenomenologi. Penelitian dengan topik perilaku Wajib Pajak dengan menggunakan pendekatan fenomenologi masih jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian tentang perilaku Wajib Pajak dengan pendekatan fenomenologi dilakukan oleh Thalib (2013). Thalib (2013) meneliti tentang faktor yang mempengaruhi kepatuhan subjek pajak dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Timur Gorontalo. Penelitian fenomenologi tentang perilaku Wajib Pajak juga dilakukan oleh Hamzah dan Izza (2009). Hamzah dan Izza (2009) meneliti tentang etika penggelapan pajak dari perspektif agama islam dan Kristen. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik mengangkat fenomena perilaku Wajib Pajak sebagai topik penelitian, dengan judul “Pemahaman Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Konsultan Pajak Tentang Perilaku Wajib Pajak: Sebuah Studi Fenomenologi”. Peneliti berfokus pada pemahaman informan, dalam hal ini pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan konsultan pajak tentang perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya bedasarkan pemahaman yang dimiliki oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan konsultan pajak. 2. Telaah Teori 2.1 Sumber Daya Manusia (SDM) Pajak Pengertian Sumber Daya Manusia Menurut Nawawi (2001), sumber daya manusia dapat diartikan menjadi 3 definisi, yaitu: a. Sumber daya manusia adalah manusia yang bekerja dilingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan). b. Sumber daya manusia adalah potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya. c. Sumber daya manusia adalah potensi yang merupakan aset dan berfungsi sebagai modal (non material/non finansial) di dalam organisasi bisnis, yang dapat mewujudkan menjadi potensi nyata (real) secara fisik dan non-fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi.
Jika disimpulkan, dapat diperoleh pengertian bahwa sumber daya manusia adalah potensi manusiawi yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan bertugas sebagai penggerak organisasi. 2.2 Profesi di Bidang Perpajakan Secara umum ada 3 (tiga) macam profesi yang bergerak di bidang perpajakan. Ketiga profesi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut (www.ortax.org Diakses pada 12 Januari 2014): Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Pegawai Direktorat Jenderal Pajak adalah pegawai yang bekerja di instansi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Direktorat Jenderal Pajak adalah direktorat yang berada di bawah Kementrian Keuangan Indonesia yang bertugas untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan maupun standardisasi teknis di bidang perpajakan (id.wikipedia.org Diakses pada 12 Januari 2014). Direktorat Jenderal Pajak mempunyai visi untuk menjadi institusi pemerintah penghimpun pajak negara yang terbaik di wilayah Asia Tenggara. Misinya adalah dengan menyelenggarakan fungsi administrasi perpajakan dengan menerapkan undangundang perpajakan secara adil dalam rangka membiayai penyelenggaraan negara demi kemakmuran rakyat (www.pajak.go.id. Diakses pada 12 Januari 2014). Tugas Direktorat Jenderal Pajak menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/ PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Dalam mengemban tugas tersebut, DJP menyelenggarakan fungsi: perumusan kebijakan di bidang perpajakan; pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan; penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan; pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; pelaksanaan administrasi DJP. Konsultan Pajak Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 485/KMK.03/2003, konsultan pajak adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa profesional kepada Wajib Pajak dalam menyelesaikan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun jasa yang dapat diberikan oleh konsultan pajak antara lain: a. Tax Management / Tax Planning b. Tax Review c. Tax Compliance d. Tax Litigation / Tax Objection e. Tax Research f. Tax Administration Tax Specialist Tax Specialist adalah profesional yang bukan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dan bukan konsultan pajak yang memiliki kemampuan dan latar belakang perpajakan yang memadai serta memiliki kualifikasi teknis tertentu untuk melaksanakan seluruh kewajiban dan kepatuhan perpajakan, memberikan analisis atas setiap permasalahan perpajakan yang terjadi, serta menginformasikan dampak dari setiap perubahan tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pada prakteknya, profesi Tax Specialist dapat berfungsi sebagai pengelola pajak (Tax Manager) di dalam perusahaan, pengajar atau akademisi ilmu bidang perpajakan, maupun pengamat serta analis perpajakan.
2.3. Wajib Pajak Pengertian Wajib Pajak berdasarkan Peraturan Pemeintah Nomor 74 Tahun 2011 adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang perpajakan. Salah satu yang menjadi Wajib Pajak adalah badan. Badan sendiri didefinisikan menurut UU KUP, adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Kewajiban Wajib Pajak Berikut ini merupakan kewajiban Wajib Pajak menurut UU Nomor 28 Tahun 2007: 1. Mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggap atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak, apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. 2. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. 3. Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, serta menandatangani dan menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. 4. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan menggunakan mata uang selain rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 5. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas Negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 6. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. 7. Menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, dan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. 8. a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaaan; dan atau c. memberikan keterangan lain yang diperlukan apabila diperiksa. 2.4 Perilaku Wajib Pajak Menurut Arini dalam Astuti (2011) keperilakuan merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Tanggapan atau reaksi individu dapat bersifat mendukung atau menentang rangsangan tersebut. Apabila keperilakuan digabung dengan Wajib Pajak, maka keperilakuan Wajib Pajak dapat diartikan sebagai tanggapan atau reaksi Wajib Pajak terhadap apa yang dialaminya. Lebih spesifik lagi, keperilakuan Wajib Pajak
berkaitan dengan apa yang dialami Wajib Pajak di bidang perpajakan, baik pada saat melapor, membayar, dan sebagainya. Keperilakuan dapat bersifat mendukung dan menentang. Dalam hal ini akan peneliti perjelas dengan sifat Wajib Pajak yang mendukung selanjutnya akan disebut sikap yang patuh terhadap pajak, sedangkan sikap Wajib Pajak yang menentang selanjutnya akan disebut dengan sikap yang melawan pajak. Pengertian Kepatuhan Menurut Mc Mahon dalam Albari (2009), kepatuhan didefinisikan sebagai: sikap rela untuk melakukan segala sesuatu, yang di dalamnya didasari kesadaran maupun adanya paksaan, yang membuat perilaku seseorang dapat sesuai dengan yang diharapkan. kegiatan individu untuk berkontribusi pada pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan yang mengaturnya. Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya[Nurmantu dalam Najib (2013)]. Pada prinsipnya orang yang patuh, yaitu orang yang memiliki keputusan untuk memilih taat membayar pajak dan terhadap hukum [Goldman, 2006 dalam Albari (2009)]. Terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan material dan kepatuhan formal (Nurmantu 2003: 86). Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Kewajiban perpajakan formal diatur dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Budi (2007) menyatakan bahwa faktor kejelasan peraturan perundang-undangan berpengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak. Kebanyakan Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya karena tidak jelas dengan isi undang-undang. Kejelasan undang-undang ditunjukkan dengan isi undang-undang yang sederhana, dan sistem prosedurnya yang tidak rumit. Maka dari itu, peran pegawai DJP sangat penting untuk memberikan edukasi pada masyarakat agar Wajib Pajak mampu melaksanakan kewajibannya berdasarkan peraturan. Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007, Wajib Pajak dimasukkan dalam kategori Wajib Pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak; c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
2.4.Perlawanan Terhadap Pajak Perlawanan pajak secara sederhana dapat kita artikan sebagai perilaku Wajib Pajak yang tidak patuh. Menurut Waluyo (2010) ada dua perlawanan terhadap Wajib Pajak. Berikut ini adalah penjelasan untuk keduanya: a. Perlawanan pasif, adalah hambatan yang mempersulit pemungutan pajak yang disebabkan oleh struktur ekonomi negara, perkembangan intelektual dan moral penduduk, teknik pemungutan pajak yang kurang tepat, atau sistem control yang tidak berjalan dengan efektif. b. Perlawanan aktif, adalah perlawanan yang secara nyata dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menghindari pajak terutangnya. Perlawanan aktif diklasifikasikan menjadi 3, antara lain: Pajak dapat dengan mudah dihindari dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat dikenakan pajak atau tax avoidance. Pengelakan/penyelundupan pajak, adalah penghindaran pajak dengan cara pengelakan dilakukan dengan cara melanggar hukum (illegal) atau tax evcasion. Melalaikan pajak, adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi ketentuan formal yang harus dipenuhi, misalnya menghalangi proses penyitaan. 3. Metodologi Penelitian 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2005:5) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah untuk menafsirkan fenomena yang terjadi dengan menggunakan metode yang ada. Penelitian kualitatif mengutamakan latar ilmiah, metode alamiah, dan dilakukan oleh orang yang mempunyai perhatian ilmiah. Dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif memiliki maksud untuk memahami fenomena sosial dengan cara mendalami latar ilmiah yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi menurut Husserl dalam Moleong (2005:14) diartikan sebagai pengalaman subjektif, serta studi tentang kesadaran dari perspektif pokok seseorang. Fenomenologi mengacu pada kesadaran dari perspektif pertama seseorang. Peneliti dengan pandangan fenomenologis akan berusahan memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berbeda dalam situasisituasi tertentu. Penelitian ini menggunakan fenomenologi transedental Husserl. Fenomenologi transdental Husserl menekankan pada subjektifitas dan mengungkap inti dari pengalaman melalui penggabungan antara fakta dan ideal (Kuswarno, 2009:40). Fenomenologi transdental Husserl sangat sesuai dengan penelitian ini, karena penelitian ini berusaha memahami inti dari pengalaman informan dalam memahami perilaku Wajib Pajak yang selama ini mereka hadapi. Adapun komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl adalah sebagai berikut: 1. Kesengajaan (Intentionality) Kesengajaan adalah sesuatu yang diawali dari kesadaran yang menuntun manusia dalam berhubungan dengan objek tertentu, baik itu berwujud, maupun tidak. Kesengajaan menurut Husserl dipengaruhi oleh kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan pada objek. Contoh konsep kesengajaan adalah Mr. X melakukan pendekatan pada Mrs. Y karena Mr. X memiliki harapan untuk dapat menjadikan Mrs. Y sebagai istrinya. Dalam penelitian ini, kesengajaan ditunjukkan dengan bagaimana informan menjalani profesinya sebagai praktisi di bidang perpajakan sehingga dapat memahami perilaku Wajib Pajak berdasarkan pendapat mereka masing-masing. Proses menjalani profesi sebagai praktisi di bidang perpajakan merupakan suatu kesengajaan (intentionality). 2. Noema dan Noesis Kesengajaan dibentuk oleh dua konsep utama, yakni noema dan noesis. Noema dan noesis memiliki prinsip yang berbeda. Noema adalah sisi objektif dari fenomena yang dapat
kita lihat, dengar, rasa, pikir, dan cium, sedangkan noesis adalah sisi subjektif dari fenomena yang menjadi bahan dasar pemikiran manusia dalam mempersepsi, mengingat, menilai, merasa, dan berpikir. Meskipun pada prinsipnya noema dan noesis berbeda, akan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang sangat tinggi. Noesis tidak akan ada sebelum ada noema. Pengidentifikasian noesis yang menjadi inti dari penelitian ini. Inti dari fenomena tidak ditekankan pada ciri fisik yang melekat padanya, akan tetapi terletak pada esensi dari fenomena tersebut. Dapat disimpulkan bahwa dalam proses pemahaman esensi dari suatu fenomena, kita harus melihat noema dan noesis dari setiap informan. 3. Intuisi Menurut Descrates, intuisi diartikan sebagai kemampuan manusia untuk membedakan yang murni dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisi membimbing manusia memperoleh pengetahuan. Dengan intuisi, noema dan noesis dapat terhubung, sehingga esensi dari suatu noema akan tercermin dalam noesis. Dalam penelitian ini, yang dimaksud intuisi adalah kemampuan peneliti dalam memahami setiap pernyataan yang diberikan oleh informan tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Intuisi diperoleh dari memahami setiap jawaban dari informan saat proses wawancara (Mulia, 2013). 4. Intersubjektivitas Fenomenologi transdental memperbolehkan adanya keterlibatan intersubjektif dalam proses pembentukan makna. Intersubjektif dipengaruhi oleh empati yang seseorang miliki pada orang lain. Hal ini wajar karena manusia memiliki kecenderungan untuk membandingkan pengalamannya dengan pengalaman orang lain. Intersubjektif muncul ketika terdapat kesamaan pemahaman antara peneliti dan informan terhadap suatu fenomena yang ditelaah. 3.2 Sumber Data Sumber data adalah faktor penting yang menentukan keberhasilan penelitian. Tanpa sumber, penelitian tidak akan berjalan, karena tidak memiliki dasar yang jelas. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2005:157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan data statistik. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 sumber data, yaitu kata-kata dan tindakan, dan sumber data tertulis. Kata-kata dan tindakan peneliti peroleh dari proses wawancara dengan informan dan perolehan informasi dari pembicara seminar yang diikuti oleh peneliti. Sumber data tertulis diperoleh peneliti dari jurnal, buku, artikel, dan peraturan perundangundangan. 3.3 Pemilihan Informan Teknik pemilihan informan dilakukan dengan cara purposive sampling. Teknik ini dipilih karena memberikan kefleksibelan pada peneliti untuk mencari informan yang dianggap kompeten dan mengetahui permasalahan secara mendalam. Menurut [Sanders, 1982 dalam Mulia (2013)] dalam penelitian fenomenologi, banyak informan belum tentu akan menghasilkan informasi yang berkualitas. Peneliti fenomenologis harus sedapat mungkin mendalami informan yang sedikit untuk mendapatkan informasi yang berkualitas. Informasi yang berkualitas idealnya dapat diperoleh melalui tiga sampai dengan enam informan. Berdasarkan pendapat dari Sanders tersebut, dalam penelitian ini saya melakukan wawancara terhadap tiga orang informan. Peneliti mengambil informan dari profesi pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dan konsultan pajak. Selanjutnya akan diambil 2 informan berprofesi sebagai pegawai DJP, dan satu orang berprofesi sebagai konsultan pajak.
4. Analisis Data 4.1 Keperilakuan Wajib Pajak Seperti yang dijelaskan di bab 2, keperilakuan merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan [Arini dalam Astuti (2011)]. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku adalah sikap. Sikap adalah evaluasi atau reaksi perasaan terhadap suatu objek. Sikap seseorang bisa ditunjukkan dengan perasaan mendukung atau tidak mendukung pada suatu objek (Mustikasari, 2007). Pada sub bab ini, peneliti akan menggali perilaku Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya berdasarkan pengalaman informan. Masing-masing informan menghadapi Wajib Pajak yang berbeda satu sama lain. Perilaku tidak dapat digeneralisasi ke arah yang lebih umum, karena apa yang dijelaskan oleh informan adalah apa yang dia alami. Kecenderungan perilaku Wajib Pajak akan terlihat dalam proses wawancara yang didukung dengan pemahaman yang mendalam berdasarkan pengalaman informan. Sub bab ini akan menjelaskan perilaku Wajib Pajak yang dihadapi oleh masing-masing informan, dan disambung dengan perilaku Wajib Pajak dalam melaksanakan setiap kewajiban perpajakan sesuai dengan Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Berikut ini adalah perilaku Wajib Pajak yang dihadapi oleh masing-masing informan. Keperilakuan Wajib Pajak Menurut Informan Satu Menurut informan pertama, perilaku Wajib Pajak yang enggan membayar pajak ada dimana-mana, tidak hanya di Indonesia saja. “Ya sebetulnya orang enggan bayar pajak itu ada dimana-mana, ga hanya di Indonesia. Mereka masih menganggap pajak sebagai beban. Tapi kan kita aturan ada ya?” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Berdasarkan pernyataan awal (noema) informan satu, terungkap bahwa kecenderungan perilaku Wajib Pajak adalah enggan membayar pajak. Dijelaskan lebih lanjut oleh informan satu (noesis), maksud dari kata “enggan” adalah berusaha membayar pajak dengan jumlah sekecil mungkin. Permasalahan ini tidak hanya di Indonesia, akan tetapi juga di negara manapun di dunia ini. Kebanyakan Wajib Pajak masih menganggap pajak sebagai beban. Berkaitan dengan kecenderungan Wajib Pajak yang diungkapkan oleh informan satu, peneliti mengambil esensi bahwa seseorang, dalam hal ini Wajib Pajak, akan berusaha membayar pajak sekecil mungkin. Namun, sebagai otoritas yang mengurusi pajak di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak melalui pegawainya dibekali peraturan yang harus ditegakkan untuk menyadarkan Wajib Pajak. Peraturan tersebut berlaku sama untuk semua Wajib Pajak. “Karena peraturannya sama, itu biasanya gak akan berbeda jauh juga dalam menanggapi masalah perpajakan.” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Terkait dengan permasalahan yang sering dihadapi oleh Wajib Pajak, informan satu memberikan pernyataan (noema) bahwa peraturan yang sama berdampak pada masalah perpajakan yang sama bagi Wajib Pajak. Aturan pajak yang berlaku di Indonesia harus dipatuhi oleh Wajib Pajak di seluruh Indonesia. Tidak mungkin peraturan pajak di Jawa berbeda dengan daerah di luar Jawa. Permasalahan pajak yang dihadapi Wajib Pajak tidak akan jauh dari peraturan pajak. Peneliti kemudian bertanya lebih spesifik terkait dengan permasalahan Wajib Pajak terkait dengan peraturan pajak. “Sama saja, kurang paham teknisnya bagaimana sih. Kalau dikasih aturan mereka tambah puyeng. Jadi mereka pengennya saya kalau bayar, bayar berapa, bagaimana
bayar, bayar dimana. Kalau kita bicara peraturannya, UU nya mungkin mereka malah tambah bingung. Mereka sendiri kan punya usaha, waktunya terbatas. Kami menyadari itu. …” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Dari penjelasan lebih lanjut (noesis) oleh informan satu, terlihat bahwa permasalahan yang sering dihadapi oleh Wajib Pajak adalah kurang mengerti teknis pelaksanaan peraturan pajak. Wajib Pajak mempunyai waktu yang terbatas untuk memahami peraturan secara menyeluruh. Wajib Pajak menginginkan sesuatu yang praktis mulai dari bagaimana membayar pajak, membayar berapa, dan membayar dimana. Menjelaskan peraturan secara keseluruhan akan membuat Wajib Pajak bingung. Pegawai pajak harus bisa menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, lebih lanjut peneliti mulai bertanya kepada informan satu tentang cara yang digunakan informan satu agar langsung menyasar ke teknis peraturan. “Jadi, settingnya kita itu bukan maunya kita ke WP, tapi apa maunya WP itu apa sih gitu toh nanti kita lihat baru kita arahkan sesuai dengan peraturan, itupun kita ya berbicara tentang peraturan pasal ini UU ini, kita jadinya langsung ke ee.. intisari dari peraturan itu apa, seperti itu.” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Untuk menyampaikan teknis aturan, informan satu mencoba untuk memahami apa yang Wajib Pajak mau. Setelah mengetahui apa yang Wajib Pajak mau, langkah selanjutnya adalah mengarahkan Wajib Pajak untuk melakukan sesuai dengan peraturan. Informan satu menekankan pada penyampaian intisari peraturan yang sesuai dengan teknis peraturan pajak yang tidak dimengerti oleh Wajib Pajak. Peneliti mencoba menegaskan bahwa penjelasan peraturan tidak akan efektif untuk dipahami oleh Wajib Pajak, informan membantah sambil kembali menegaskan pernyataan informan sebelumnya. “Bukan, peraturan kita tetap sampekan. Misal peraturan sekian tahun sekian mulai dari sekian sampe sekian. Katakanlah dari tahun ini sampe tahun ini aturannya ini. Ini sampe ini … ini. Bedanya peraturan ini sama ini. Nah itu yang nanti kita akan tekankan, bedanya peraturan ini apa. Terus peraturan ini kenapa diganti, bedanya gimana, terus apa yang jadi penyebab terus bagaimana, apa yang harus diambil WP untuk melaksanakan atruran ini gitu loh. Jadi kita tidak bisa bacakan pasal ini, pasal ini. Kelamaan nanti.” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Informan satu kembali menegaskan bahwa meskipun untuk mencapai pemahaman Wajib Pajak informan satu lebih menekankan pada intisari peraturan yang lebih mengarah teknis, penyampaian peraturan tetap disampaikan. Caranya adalah dengan menyampaikan nomor peraturan, tahun peraturan, dan perbedaan peraturan lama dengan peraturan baru apabila terdapat pergantian peraturan. Setelah menyampaikan hal tersebut, informan satu mulai menyampaikan teknis peraturan, sehingga Wajib Pajak akan mengetahui peraturan nomor berapa dan tahun berapa yang dijelasan teknisnya oleh informan satu. Berdasarkan penjelasan informan satu tentang permasalahan yang dihadapi oleh Wajib Pajak, peneliti mendapatkan esensi bahwa akar masalah dari Wajib Pajak yang tidak membayar pajak adalah masalah peraturan. Wajib Pajak yang tidak paham tentang teknis pelaksanaan peraturan mengharuskan pegawai pajak harus mengetahui apa yang Wajib Pajak mau untuk menyampaikan intisari peraturan yang mengarah ke teknis. Informan satu telah bertugas di beberapa tempat di Indonesia. Untuk memperdalam pemahaman informan tentang Wajib Pajak, peneliti mencoba bertanya tentang sejauh mana karakteristik tempat mempengaruhi sikap Wajib Pajak.
“Jangan lupa, saya dulu itu di luar Jawa di daerah tengah agak ke timur. Disana itu karakter masyarakatnya sangat disiplin, karena pengaruh Belanda kali ya? Jadi kalau ada aturan seperti itu, yaudah kita ikuti aja. Kita arahkan ke teknis-teknis aja.” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Dari pernyataan (noema) informan satu tentang pengaruh budaya terhadap perilaku Wajib Pajak, masyarakat yang dihadapi ketika informan bertugas di luar Jawa sangat disiplin. Informan menjelaskan (noesis) bahwa sikap patuh masyarakat dipengaruhi oleh budaya Belanda. Masyarakat cenderung mengikuti peraturan yang ada, sehingga informan satu hanya mengarahkan ke teknis saja. Perbedaan budaya mempengaruhi sikap Wajib Pajak di daerah tertentu, sehingga cara memperlakukan Wajib Pajak akan berbeda di setiap daerah. Peneliti menanyakan cara informan menyikapi perbedaan budaya tersebut. “Mungkin yang berbeda adalah cara berbicara karena logat berbeda. Jadi soal substansinya tetap sama, cuma cara menyampaikan karena logat karena budaya yang beda…. Ya dari segi bicara, karena aturannya sama. Aturan disini dengan aturan sana itu gak berbeda. Cuma orang sini dengan karakteristiknya sini, dengan latar belakang orang sini. Katakanlah sekarang saya di luar Jawa itu budayanya banyak budaya dan laut ya? Kalau di sini lebih banyak budaya pertanian dan perkebunan. Nah, itu mungkin karakter masyarakatnya yang berbeda dari situ.” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Perbedaan budaya membawa dampak pada penyampaian yang berbeda. Karena berbeda logat, maka informan harus menyesuaikan diri dengan menyesuaikan cara berbicara pada Wajib Pajak. Dari penjelasan tersebut, diperoleh esensi bahwa karakter dan budaya mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Informan satu melakukan penyesuaian diri dengan cara menyesuaikan logat bicara masyarakat setempat. Peneliti kemudian penasaran, apakah Wajib Pajak di daerah Malang Raya yang dihadapi oleh informan memiliki kecenderungan yang sama atau tidak, informan kemudian menjawab. “Kalo di Malang 2 kebanyakan hotel kecenderungannya disiplin disana dibantu sama asosiasi pengusaha. Jadi lebih gampang ngomong lewat asosiasi nanti asosiasi itu yang ngomong ke WP nya.” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Wajib Pajak yang ditangani informan satu di daerah Malang 2 lebih banyak Wajib Pajak dengan segmen usaha perhotelan. Dalam pernyataannya (noema) informan satu, terlihat bahwa Wajib Pajak yang ditangani oleh informan cenderung disiplin. Dijelaskan lebih lanjut (noesis) bahwa tugas informan sedikit terbantu dengan adanya asosiasi pengusaha. Informan menyampaikan hal terkait pajak kepada asosiasi, kemudian asosiasi pengusaha tersebut menyampaikan kepada masing-masing Wajib Pajak. Namun demikian, informan juga merasakan bahwa ada beberapa Wajib Pajak yang perlu didatangi langsung oleh informan. Kondisi ini biasa disebut dengan visit. Wajib Pajak juga banyak yang konsultasi langsung ke informan dengan datang langsung ke kantor. Dari beberapa penjelasan di atas, diperoleh esensi bahwa bantuan asosiasi yang membawahi Wajib Pajak mempermudah informan dalam menyampaikan informasi perpajakan dan menuntun Wajib Pajak yang dibawahinya cenderung berperilaku patuh dalam melaksanakan kewajibannya perpajakannya. Sebagai seorang Account Representative (AR), informan sering menerima kunjungan dari Wajib Pajak di kantor. Karakteristik sifat yang ditemui informan satu bermacam-macam. Peneliti kemudian menanyakan hal tersebut.
“Ya ada orang yang senyum dulu baru tanya, ada orang yang Tanya dulu baru senyum, ada orang yang Tanya sambil malu-malu kayak gitu, tergantung kita nempatin diri kita. Kita harus tau WP kesulitannya dimana sih. ….” (Wawancara Tanggal 30 Januari 2014) Pada intinya, tantangan yang dialami informan adalah bagaimana harus mengetahui keinginan Wajib Pajak dan berusaha tidak mempersulit Wajib Pajak. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan satu, peneliti menemukan beberapa esensi yang menunjukkan kecenderungan perilaku Wajib Pajak secara umum. Hasil temuan tersebut antara lain:
Wajib Pajak di manapun berada cenderung enggan membayar pajak. Faktor kesamaan aturan akan berdampak pada masalah yang dihadapi oleh Wajib Pajak hampir sama. Karakteristik budaya mempengaruhi sikap Wajib Pajak. Asosiasi pengusaha yang membawahi Wajib Pajak dengan jenis industri yang sama mempengaruhi perilaku patuh Wajib Pajak yang dibawahinya.
Perilaku Wajib Pajak Menurut Informan Dua Menurut informan dua, karakteristik dasar Wajib Pajak adalah tidak mau membayar pajak. “Yo macem-macem, kalau karakteristik dasarnya sih orang gak ada yang mau bayar pajak, jadi gimana bisa bayar pajak sekecil-kecilnya….” Berdasarkan pernyataan awal (noema) informan dua, dapat dilihat bahwa pada dasarnya seseorang tidak mau membayar pajak. Dijelaskan lebih lanjut (noesis) oleh informan dua, bahwa Wajib Pajak akan berusaha mencari cara agar bisa membayar pajak sekecil mungkin. Informan dua kemudian melanjutkan penjelasannya. “….. nah tapi kalau dari kita, kita bisa sekalian beri edukasi, jadi bukan sekedar gimana sekecil-kecilnya tapi gimana kita ga sampai melanggar ketentuannya. Jadi kita ajari pendekatan tax planning bukan ke arah tax evasion, tapi ke arah tax avoidance. Walaupun ya banyak juga yang pengennya sih ke arah tax evasion, mesti kurang gede penghematannya kalau dari sisi tax avoidance, yang ga usah melanggar undangundang…” Menyikapi kecenderungan perilaku Wajib Pajak yang berusaha membayar pajak sekecilkecilnya, informan dua sebagai konsultan pajak memberikan edukasi dengan mengajarkan klien menggunakan pendekatan tax planning. Pendekatan tax planning yang diajarkan adalah tax avoidance, penghematan pajak tanpa melanggar undang-undang. Meskipun sudah diarahkan ke arah tax avoidance, banyak klien yang masih kurang puas dengan penghematan yang diperoleh melalui jalan tax avoidance. Kebanyakan klien menginginkan penghematan yang lebih besar dengan melakukan tax evasion. Namun, lama kelamaan Wajib Pajak akan menyadari bahwa penghematan pajak dengan cara tax evasion adalah pilihan yang salah. “…… Tapi lama-lama begitu mereka berjalan ke depan, ada yang temennya di periksa, atau dia yang diperiksa baru mereka mau merasakan konsekuensinya, kalau ndak sesuai ketentuan tuh gimana, baru mereka mau diarahkan, ya awalnya sih ga mau, apalagi kalau ada temennya, wong gapapa i, temen saya begitu, Cuma bayar segini aman-aman saja, tapi begitu dia mengalami sendiri, diperiksa, ternyata lebih besar dari yang dia pikir bisa hemat ya baru mulai” (Wawancara Tanggal 3 Februari 2014)”
Wajib Pajak mulai menyadari bahwa tax evasion adalah cara menghemat pajak yang salah ketika mereka mengetahui Wajib Pajak yang lain diperiksa, atau Wajib Pajak tersebut mengalami pemeriksaan. Pemeriksaan yang dialami Wajib Pajak berdampak pada pembayaran pajak yang lebih besar dari penghematan yang mereka pikirkan. Adanya sanksi tersebut menyadarkan Wajib Pajak bahwa menghemat pajak dengan cara tax evasion adalah cara yang salah. Konsultan pajak pada dasarnya memberikan edukasi melalui pemberian alternatifalternatif yang akan dipilih Wajib Pajak beserta konsekuensinya. Keputusan terakhir berada pada Wajib Pajak. “Yang pertama kita tidak memilihkan buat mereka. Mereka sendiri yang memilih. Jadi kita sampaikan alternatif ini yang benar, terus ini yang kamu minta itu sebenarnya gak benar, ada konsekuensinya. Itu diberi semua. Jadi mereka yang milih, bukan kita yang memilihkan “pakai ini aja lho”. Lebih ke arah sana. Jadi mereka yang menentukan. Kalau mereka pinter ya seharusnya mereka memilih yang gak sampai melanggar, tapi bisa penghematan. Tapi kadang ada yang mencoba lebih besar penghematannya, tapi belakang hari ketika mereka diperiksa ya, baru sadar. “jadi samen bener itu, persis apa yang dikatakan kenaknya disini, sini, ya emang udah jelas aturannya.” (Wawancara Tanggal 3 Februari 2014). Wajib Pajak yang pintar adalah Wajib Pajak yang memilih alternatif yang benar. Wajib Pajak yang memilih pilihan yang salah akan menanggung konsekuensi dari pilihan yang dipilihnya. Pemberian edukasi dengan cara tersebut lebih condong pada penyadaran kepada Wajib Pajak terkait sanksi yang akan diberikan jika Wajib Pajak memilih pilihan yang melanggar undangundang. Tidak hanya dengan cara tersebut, konsultan pajak memberikan edukasi dengan cara membenahi internal Wajib Pajak agar memperbaiki diri kedepannya. “… Ya mau gak mau memang kita mengarahkan mereka ke yang gak bener, tapi gak benernya ke arah yang supaya mereka siap dulu, jadi ketika mereka dicek pembukuannya kita anggap klien ini belum siap diperiksa masih banyak bolongnya. Jadi lebih mending kamu jangan lapor rugi misal itu mengundang pemeriksa, lapor aja laba yang kecil, sambil kita membenahi di dalam untuk mereka melengkapi keterangan dokumen yang diminta, ya unsur edukasinya yang tetep dijalankan. Jadi mereka tetep bisa jalan sendiri….” (Wawancara Tanggal 3 Februari 2014) Informan dua mencontohkan saat memberikan jasa tax review, langkah awal yang ditempuh adalah mengarahkan Wajib Pajak ke arah yang kurang benar dengan melaporkan laba yang kecil. Tujuannya adalah mempersiapkan Wajib Pajak menghadapi pemeriksaan. Disaat bersamaan, informan dua memberikan edukasi dengan membenahi internal klien. Cara yang dilakukan adalah berusaha melengkapi dokumen yang diminta. Menyiapkan Wajib Pajak agar siap diperiksa bertujuan untuk menumbuhkan kemandirian bagi Wajib Pajak agar mereka bisa berjalan sendiri meskipun tanpa bantuan konsultan pajak. Edukasi yang diberikan kepada Wajib Pajak akan menumbuhkan sikap patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. “Setelah diedukasi iya, kalau belum ya cenderung sama. Kayak gini, kalo orang belum punya penyakit, ya cenderung ngawur, makannya ngawur, tapi begitu kena penyakit, dikasih tau jangan makan sembarangan. Nah itu baru mereka nurut. Sama Wajib Pajak ya kayak gitu.” (Wawancara Tanggal 3 Februari 2014)
Dari penjelasan diatas, diperoleh esensi bahwa Wajib Pajak menjadi patuh setelah mendapat edukasi. Sebelum diedukasi, perilaku Wajib Pajak cenderung tidak patuh dalam melaksanakan kewajibannya. Selain itu, adanya sanksi juga membuat Wajib Pajak berperilaku patuh. Diskusi dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan terkait dengan perilaku Wajib Pajak terhadap kinerja yang diberikan oleh konsultan. Konsultan pajak merupakan salah satu pekerjaan memberi jasa kepada pelanggannya. Kepuasan adalah indikator keberhasilan dari pekerjaan pemberi jasa. Disisi lain, konsultan dengan fungsi edukasinya berusaha mengarahkan Wajib Pajak agar mengerti kewajibannya dan melaksanakan kewajibannya secara mandiri. Namun, yang dialami informan dua sedikit berbeda. “Kalau kita disini sih lebih seneng kalau bisa mengajari mereka terus jalan sendiri, tapi mereka kalau udah percaya ya terus aja bergantung sama konsultannya.” (Wawancara Tanggal 3 Februari 2014) Dalam pernyataannya (noema) informan dua, dinyatakan bahwa konsultan pajak sebenarnya memiliki harapan kepada Wajib Pajak agar bisa mandiri dalam melaksanakan kewajibannya. Namun dalam penjelasannya (noesis), informan dua menjelaskan bahwa kepuasan Wajib Pajak terhadap kinerja konsultan terkadang tidak membuatnya menjadi mandiri. Sebaliknya, jika Wajib Pajak tersebut sudah terlanjur percaya kepada konsultan pajak, mereka akan terus menerus bergantung pada konsultan pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kepuasan Wajib Pajak terhadap kinerja konsultan juga berdampak pada kemajuan karir konsultan pajak tersebut. “Kebanyakan gitu, kita dapat klien dari yang sudah puas sama kerja kita.” (Wawancara Tanggal 3 Februari 2014) Klien yang puas dengan kinerja konsultan akan mempromosikan konsultan pajak tersebut kepada Wajib Pajak lain agar menggunakan jasanya. Dari penjelasan tersebut dapat diperoleh esensi bahwa konsultan pajak yang memberikan kinerja maksimal, dengan tetap memberikan edukasi yang baik, akan memperoleh dampak positif dari hasil kinerjanya tersebut. Informan dua lebih banyak menangani Wajib Pajak badan. Peneliti kemudian bertanya tentang perbedaan karakteristik Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan. “Mirip-mirip sebetulnya. Badan di Indonesia itu sebetulnya kepanjangan dari orang pribadi. Nah mirip-mirip karakteristiknya, yang membedakan ketentuannya. Ketentuan yang mengatur yang melingkupi orang pribadi dan badan beda. Tapi kalau karakteristik orang pribadi dan badan ya sama-sama Wajib Pajak, jadi sama karakteristiknya.” (Wawancara Tanggal 3 Februari 2014) Informan dua menyatakan (neoma) bahwa baik orang pribadi maupun badan, keduanya statusnya sama sebagai Wajib Pajak. Dijelaskan lebih lanjut (noesis) bahwa hal yang membedakan antara keduanya adalah ketentuan yang mengatur. Karena sama-sama Wajib Pajak, karakteristik keduanya tidak akan jauh berbeda. Dapat diperoleh esensi bahwa karakteristik Wajib Pajak orang pribadi dan badan tidak berbeda. Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut oleh informan dua bahwa karakteristik bisnis juga mempengaruhi perilaku Wajib Pajak badan. Ada pengaruh dalam kita memberi contoh, menurut bench mark itu dia sekian marginnya, kalau kamu dibawah dia, itu akan menimbulkan kecurigaan, misal seperti
itu…. Rokok misal. Dia di level yang sama marginnya cuma sekian. Padahal di level lain itu lebih tinggi dari itu, nah itu kan bisa di jadikan contoh. Nah itu kalau kita ga sama, pasti dapat masukan paling gak kita susah menjelaskan kenapa kok bisa beda dengan yang lain, padahal skalanya mirip-mirip kalau rokok kita seperti itu. Ya sampai kemudian kita bisa membuat semacam paguyuban di bidang pokok yang kita tangani, untuk menyamakan, sambil diarahkan yang bener seperti ini, jangan sampe kita bisa bermain di wilayah-wilayah yang di luar batas pagar undang-undangnya, tapi kalau cari penghematan ya di dalam pagar undang-undang, dan sampai sekarang masih bisa malah untuk klien kita yang di Jatim malah jadi bench mark untuk yang di Jateng, karena ternyata yang di Jateng marginnya ternyata lebih kecil dibandingkan yang di Jatim. Ya gitu kalau pengaruhnya ya seperti itu, kalau industri itu akan mempengaruhi. Ya dari sisi itu pengaruhnya. Informan satu menyatakan (noema) bahwa pengaruh jenis industri terletak pada pemberian edukasi pada beberapa Wajib Pajak dengan industri yang sejenis. Lebih lanjut informan dua menjelaskan (noesis) bahwa beberapa Wajib Pajak dengan industri sejenis yang ditangani oleh informan dua akan membentuk paguyuban pengusaha. Tujuannya adalah untuk mempermudah pengarahan, kepada masing-masing Wajib Pajak. Selain itu, paguyuban juga berfungsi untuk menyamakan cara penghematan pajak, jangan sampai timbul kecurigaan bagi pegawai pajak kepada salah satu Wajib Pajak karena perbedaan cara penghindaran pajak. Dari penjelasan tersebut diperoleh esensi bahwa karakteristik industri mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Berdasarkan wawancara dengan informan dua, peneliti menemukan beberapa esensi yang menujukkan perilaku Wajib Pajak secara umum. Hasil temuan tersebut antara lain:
Wajib Pajak sebagai seorang individu memiliki kecenderungan untuk tidak mau membayar pajak, kalaupun membayar, mereka berusaha mencari cara untuk membayar pajak sekecil mungkin. Berdasarkan pemahaman yang didapat oleh peneliti, edukasi yang diberikan konsultan pajak ada dua, antara lain: 1. Mengarahkan Wajib Pajak untuk melakukan perencanaan pajak yang tidak melanggar undang-undang (tax avoidance). 2. Menyiapkan Wajib Pajak agar bisa mandiri. Kepuasan Wajib Pajak terhadap kinerja konsultan pajak akan berdampak positif bagi konsultan pajak. Karakteristik Wajib Pajak orang pribadi mirip dengan Wajib Pajak badan, karena keduanya sama-sama Wajib Pajak. Karakteristik industri dari Wajib Pajak mempengaruhi perilaku patuh Wajib Pajak.
Perilaku Wajib Pajak Menurut Informan Tiga Menurut informan tiga, Wajib Pajak di manapun cenderung menghindar dari pajak. “Ya yang namanya pajak, gak di Indonesia, di dunia manapun, orang pasti akan kalau bisa ya menghindar, dan kalo bisa lagi ya jangan membayar. Jadi sudah kodrat manusia ya, kalau disuruh bayar pajak pasti menghilang. Jadi pada dasarnya ya naluri manusia, fitrahnya kalau mau bayar pajak, ya pasti menghindar, atau kalau bisa ya gak bayar sama sekali.” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Berdasarkan pernyataan awal (noema) informan tiga, dapat dilihat bahwa pada dasarnya manusia akan berusaha menghindar dari pajak. Informan tiga menjelaskan lebih lanjut (noesis) bahwa hal tersebut sangat wajar karena kenginginan untuk tidak membayar pajak secara naluri adalah kodrat manusia. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara manapun di dunia ini. Dari analisis tersebut, dapat diperoleh esensi bahwa pada
dasarnya manusia akan menghindarkan diri dari pajak. Peneliti lantas bertanya langkah apa yang diambil dalam menghadapi Wajib Pajak agar mau membayar pajak. “Ya karena kita institusi yang bernaung di pelaksanaan undang-undang, ya mau gak mau setiap fiskus ya perlu dibekali kemampuan pemahaman peraturan perpajakan yang harus disampaikan, disosialisasikan secara persuasif ke Wajib Pajak. Kalau Wajib Pajaknya tidak tahu peraturan, dan gak tau dasar hukumnya. Ya karena semua fiskus bekerja sesuai peraturan perpajakan tidak boleh melenceng dari peraturan itu. Mau ga mau, kalau berjalan di lapangan harus berpegang pada aturan itu sendiri. SOP nya apa, cara memahamkan ke Wajib Pajaknya apa, kalau sudah ada sinergi itu ya mau gak mau Wajib Pajak harus taat karena itu otoritas negara untuk memaksa, karena pajak itu sifatnya memaksa mau gak mau harus ada paksaan, suka atau tidak yaa…” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Pegangan utama yang dibawa seorang pegawai DJP adalah peraturan. Peraturan yang ada harus disampaikan oleh pegawai pajak kepada Wajib Pajak agar mereka paham. Cara memahamkan adalah dengan sosialisasi yang bersifat persuasif kepada Wajib Pajak. Ketika sudah mengerti tentang peraturan, tidak Wajib Pajak untuk harus patuh terhadap pajak. Informan tiga menjelaskan lebih lanjut tentang tahapan untuk memahamkan Wajib Pajak. “Iya, pada dasarnya kalau sistem sekarang itu sosialisasi pertama diperlukan, habis sosialisasi ada edukasi. Jadi sosialisasi itu kan gebyah uyah, menyasar kemana aja. Edukasi kita mulai nyasar ke segmen-segmen atau sektor-sektor tertentu karena mungkin yang bisa menjadi multiplier effect untuk membagikan informasi ke pihak lain. Setelah sosialisasi edukasi, akan terjalin tingkat kepatuhan Wajib Pajak, karena tanpa itu Wajib Pajak gak akan pernah tau. Gimana mereka tau, wong gak pernah diberi tahu. Makanya harus ada sosialisasi, edukasi, dan tindakan persuasif fiskus ke masyarakat.”(Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Tahapan yang dilalui adalah sosialisasi, dan edukasi yang dibarengi dengan tindakan persuasi. Sosialisasi dilakukan dengan cara pemberitahuan secara besar-besaran tentang penerapan sebuah aturan, biasanya peraturan yang baru. Sosialisasi bersifat menyeluruh. Setelah proses sosialisasi yang bersifat umum, DJP mulai menyasar kepada Wajib Pajak dengan segmen tertentu sesuai dengan peraturan yang baru. Proses edukasi mulai menyasar langsung kepada Wajib Pajak yang terkait langsung dengan suatu peraturan. Edukasi yang diberikan oleh pegawai DJP diharapkan mampu memahamkan Wajib Pajak tentang peraturan, sekaligus secara persuasif agar Wajib Pajak mau membayar pajak sesuai peraturan. Peneliti kemudian bertanya tentang tindakan persuasif yang ditempuh oleh pegawai DJP. Ya macem-macem, konteksnya ya kalo itu ranahnya dalam ranah pengawasan konsultasi, bisa dengan cara himbauan, kalo emang ada ketetapan pajak yang dilanggar tolong dipenuhi, supaya tidak melanggar lagi, atau dengan teguran lisan atau dengan konsultasi. Tapi kalau ranahnya pemeriksaan, bisa jadi dengan tata cara pemeriksaan sesuai SOP, Wajib Pajak dikasih tau hak dan kewajibannya apa yang menjadi tanggung jawabnya untuk memenuhi ketentuan perpajakan terkait dengan pemeriksaan, begitu juga kalau ranah persuasi di penagihan pajak. Mau gak mau fiskus, khususnya juru sita seharusnya mau mengadakan pendekatan secara personal, karena ini masalah tunggakan yang tentunya sifatnya memaksa dibanding tahapan yang sebelumnya. Pengenalan diri ke Wajib Pajak sangat diperlukan, supaya tahu karakter Wajib Pajak seperti apa, sehingga kedepannya salah paham tidak terjadi.(Wawancara Tanggal 4 Februari 2014)
Ada bermacam-macam tindakan persuasif yang dilakukan oleh fiskus. Tindakan persuasif tersebut berbeda-beda untuk setiap ranah yang dijalani oleh Wajib Pajak. Jika Wajib Pajak masih dalam ranah pengawasan konsultasi, pegawai pajak akan melakukan himbauan, teguran lisan atau konsultasi. Jika Wajib Pajak berada di ranah pemeriksaan, pegawai pajak mulai melaksanakan SOP pemeriksaan, dan menekankan pada hak dan kewajiban Wajib Pajak saat terjadi pemeriksaan. Di ranah penagihan, pegawai pajak sudah harus mulai berhati-hati, dalam hal ini juru sita pajak, mereka harus melakukan pendekatan personal dengan Wajib Pajak agar mengetahui karakter Wajib Pajaknya. Pendekatan personal perlu dilakukan agar tidak menimbulkan salah paham, karena bagaimanapun juga dalam ranah penagihan pegawai pajak sudah mulai mengurus tunggakan pajak Wajib Pajak yang dihadapi. Dari penjelasan informan tiga, peneliti memperoleh esensi bahwa pegawai pajak dibekali peraturan untuk disampaikan ke Wajib Pajak melalui sosialisasi dan edukasi yang dibarengi dengan tindakan persuasif. Setelah mengetahui alur proses perlakuan Wajib Pajak mulai dari sosialisasi hingga tindakan persuasif, peneliti mulai bertanya tentang karakteristik dari Wajib Pajak orang pribadi dan badan, yang selama ini dihadapi oleh informan tiga. “Kalau di KPP lokasi di luar madya pasti lebih banyak orang pribadi, dan cenderungnya yang namanya juru sita di Tulungagung, itu dia tidak mengejar badan usahanya, tapi mengejar penanggung pajaknya. Penanggung pajaknya itu adalah orang atau pihak yang menjadi penanggung jawab suatu organisasi yang dijalankan, Jadi cenderung ke orang pribadinya, Kalau itu juru sita, yang dikejar. Entah itu direktur, pengurus, entah komisaris, yang penting dalam klausul akte pendirian perusahaan mengatakan bahwa yang bersangkutan adalah pihak yang mendirikan perusahaan. Jadi cenderung ke orang pribadi yang di kejar.” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Selama bertugas di KPP lokasi, informan tiga lebih banyak menangani Wajib Pajak orang pribadi. Pada prinsipnya, yang dikejar oleh juru sita adalah penanggung pajak. Jika itu Wajib Pajak orang pribadi maka akan dicari siapa pemilik dari suatu usaha. Jika menangani Wajib Pajak badan, maka juru sita akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas pendirian organisasi, entah sebagai direktur, komisaris, atau lainnya dengan nama apapun. Kesimpulan yang didapat adalah terdapat perbedaan perlakuan untuk menghadapi Wajib Pajak orang pribadi dengan badan. Lebih jauh dijelaskan oleh informan tiga bahwa status hukum yang berbeda bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan juga dapat mempengaruhi sikap Wajib Pajak dalam mengelak pajak. “Ya beda, kadang kalau orang pribadi karena status administrasi hukumnya adalah orang pribadi, dia tidak akan bisa mengelak dari ketentuan pajak, karena langsung menuju ke orang yang bersangkutan. Beda perlakuannya nanti kalau badan. Badan pun itu ada macam-macam. Ada yang statusnya CV, ada yang PT. Kalau statusnya CV, ibaratnya status orang pribadinya di badan hukumkan secara legal. Itu bisa dikejar orang pribadinya, mau gak mau CV dengan orang pribadi berkaitan. Walaupun CV, pemiliknya tetep satu, Itu bisa dikejar. Tapi kalau PT, karena pemiliknya saham-saham itu kita harus ati-ati siapa pemilik saham mayoritas, siapa yang jadi key personnya, manajemen kuncinya. Lha itu lah yang menjadi penanggung pajaknya. Jadi beda perlakuan orang pribadi dengan badan. Kalo badan, orang yang bertanggung jawab bisa ngeles dengan adanya pemegang saham yang banyak orang. Nah itu, seorang juru sita atau fiskus harus hati-hati dan memahami akte awal pendirian suatu perusahaan itu sama struktur kepemilikan itu sebenarnya milik siapa.” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014)
Setelah menjelaskan panjang lebar berkaitan tentang Wajib Pajak orang pribadi dan badan, terungkap pernyataan (noema) informan tiga yakni Wajib Pajak orang pribadi dan badan pada dasarnya berbeda. Wajib Pajak orang pribadi tidak akan bisa mengelak dari ketentuan pajak. Berbeda dengan badan, status badan yang dimiliki oleh banyak pihak seringkali bisa digunakan untuk mengelak dari pajak. Pegawai pajak dalam hal ini harus paham, dan mengetahui siapa pemilik dari badan tersebut berdasarkan akta pendirian. Jika menelisik dari pemilik saham, pegawai pajak harus tahu siapa pemegang saham mayoritas. Setelah menemukan siapa yang benar-benar menjadi penanggung pajak, pegawai pajak baru bisa bergerak. Penelusuran penanggung pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi relatif lebih mudah dibanding dengan penelusuran penanggung pajak bagi Wajib Pajak badan. Dari penjelasan informan tiga dan berdasarkan analisis yang dilakukan peneliti terkait dengan perbedaan Wajib Pajak orang pribadi dan badan, peneliti memperoleh esensi bahwa terdapat perbedaan cara untuk memperlakukan Wajib Pajak orang pribadi dan badan, utamanya di ranah penagihan pajak. Wajib Pajak badan sedikit lebih rumit dalam penelusuran siapa yang menjadi penanggung pajak. Informan tiga bertugas di KPP Madya yang lebih banyak menaungi Wajib Pajak besar dengan kepatuhan yang tinggi. Peneliti mencoba bertanya sejauh mana kepatuhan Wajib Pajak tersebut, dan apakah karakteristik bisnis dari perusahaan mempengaruhi kepatuhan tersebut. “Oh sangat mempengaruhi. Jadi gini kalau di madya itu levelnya sudah complicated ya? Jadi disini macem-macem. Untuk skala menengah ke bawah, mungkin permainannya, tax avoidancenya, cara-cara menghindar atau mengemplang pajaknya sangat kasar, bisa dengan mudah ditebak oleh fiskus. Walaupun kadang susah dibuktikan. Namun ada kalanya perusahaan yang levelnya menengah ke atas, yang levelnya skalanya sudah MNC, atau berskala nasional, itu permainannya udah cantik. Cantik itu dalam mengemplang pajak itu sudah bagus, ya sangat sulit dibuktikan oleh orang pajak. Mungkin dengan cara income smoothingnya, atau earning management akuntansi atau dengan transfer pricingnya. Dan disini ada semua. Itulah yang menjadi PR bagi orang pajak sekarang, karena sampe saat ini belum bisa dibuktikan.” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014). Dalam pernyataan (noema) informan tiga terkait dengan karakteristik bisnis Wajib Pajak, diungkapkan bahwa karakteristik bisnis mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Informan tiga menjelaskan lebih lanjut (noesis) bahwa Wajib Pajak dengan skala kecil melakukan tax avoidance dengan kasar, dalam artian permainan penghindaran pajak bisa dengan mudah ditebak oleh pegawai pajak. Perusahaan yang berada di level atas, dalam hal ini perusahaan MNC atau berskala nasional sudah melakukan penghindaran pajak dengan “cantik”, yang sulit dibuktikan oleh pegawai pajak. Penghindaran tersebut sudah mencakup aspek akuntansi, seperti dengan manajemen laba atau dengan perataan laba. Semua penghindaran pajak, baik yang kasar maupun sudah cantik, yang di lakukan oleh Wajib Pajak badan sampai sekarang sulit dibuktikan oleh pegawai pajak. Peneliti kemudian menanyakan penyebab mengapa hal tersebut sangat sulit dibuktikan. “Bukan ga bisa ngapa-ngapain ya? Sebenarnya bisa. Pada dasarnya kita bisa. Yang jadi masalah di kita itu adalah instrumen peraturan kita tidak memadai. Jadi fiskus bekerja itu harus punya pijakan peraturan perpajakan. Kalo kita tidak punya pijakan peraturan perpajakan, dia tidak akan bisa apa-apa. Begitu saja kalo terkait kita mengalami skala perusahaan yang levelnya complicated, sudah bagus. Kita ndak bisa memasuki permainannya kayak apa kalau ga punya peraturan. Sebagai contoh kasus transfer pricing ya? Kita tau semua perusahaan main semua. Hampir semua perusahaan Pasuruan di kita itu hampir semua transfer pricing. Semua perusahaan yang PMA ya mayoritas di Indonesia dijamin 99 persen dia akan melakukan transfer pricing.
Masalahnya instrumen terkait transfer pricing di pajak kan tidak ada, hanya satu kan ya pasal 18 ayat 4 Undang-Undang PPh, dan peraturan dibawahnya tidak ada. Selama ini untuk emmbongkar perusahaan transfer pricing, kita hanya mengandalkan mutual agreement dunia yang diwakili oleh OECD, dan itu tidak bisa dijadikan pijakan di Indonesia. Itu loh selama pijakan peraturan tentang transfer pricing itu tidak dibuat, minimal sekelas peraturan pemerintah, kita tidak ada. Yang ada hanya undang-undang dan sifatnya global. Yang dimaksud transfer pricing itu kayak apa, modelnya kayak apa, ketentuannya kayak apa terus contohnya apa, karakternya apa terus pengklasifikasiannya, itu gak ada di bahas di instrument perpajakan. Itulah yang menjadi ruang gerak bebas permainan transfer pricing di Indonesia. Jikalau instrumen sudah ada, mau gak mau kita bisa membongkar itu, karena kita tinggal menganalisanya. Selama ini kita kelemahannya instrumen peraturannya tidak ada, kita bergerak hanya berdasar indikator aja, o, ini ada indikasi, tanpa bisa membuktikan hitam diatas putih.” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Penyebab utama seorang pegawai pajak sulit membuktikan penghindaran pajak adalah karena kurangnya instrumen peraturan. Instrumen peraturan yang ada di Indonesia masih sangat kurang, sebagai contoh adalah kasus transfer pricing. Dalam menangani kasus ini, pegawai pajak hanya berbekal pada undang-undang yang bersifat sangat global. Tidak adanya peraturan detail tentang transfer pricing, membuat kasus ini sulit dibuktikan. Peraturan yang membahas detail adalah perjanjian internasional yang diwakili oleh OECD, dan peraturan tersebut tidak bisa diterapkan di Indonesia. Selama ini informan tiga dan pegawai pajak lainnya hanya bisa mengetahui indikasinya saja, tanpa bisa mengidentifikasi lebih lanjut. Informan tiga mengusulkan supaya ada peraturan minimal setara PP yang mengatur tentang kasus transfer pricing secara detail agar pegawai pajak dapat menganalisis lebih lanjut tentang kasus ini, dan bisa membongkarnya. Dari penjelasan informan tiga, diperoleh esensi bahwa karakteristik bisnis mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Perusahaan besar di Indonesia hampir dapat dipastikan melakukan penghindaran pajak. Penghindaran pajak yang dilakukan dimungkinkan dapat dilaksanakan dengan bantuan konsultan. Peneliti bertanya tentang keterkaitan konsultan dalam kasus penghindaran pajak. “Secara harfiah kita anggap baik. Tapi kan konsultan itu kategorinya beda-beda ya? Ada yang konsultan yang kelasnya sudah menengah ke atas, tatarannya mereka sudah bermain di level permainan akuntansi. Permainan akuntansi itu ya dia laporan di depan orang pajak itu laporan akuntansi auditnya, Cuma semua itu penuh manipulasi, penuh widow dressing gitu loh. Semua bisa dirugikan. Nah itulah yang tidak kita … Kalo misal semacam yang konsultan biasa? ya itu kami takutkan kalau konsultan itu mengadu domba kita, karena fakta di lapangan banyak konsultan pajak semacam itu, yang mencatut nama AR, nama kepala kantor, nama kantor pajak untuk meminta bayaran/fee dari Wajib Pajak itu. Ya intinya filternya ada di Wajib Pajak. Kalo saran saya mending langsung ke kantor pajak, Tanya ke AR nya, konsultasi, nanti kalo kedepennya diperlukan konsultan pajak, nanti biar ada petunjuk-petunjuk khusus semacam apa konsultan yang bagus buat Wajib Pajak itu.” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Dalam pernyataannya (noema), terungkap bahwa pada dasarnya keberadaan konsultan pajak merupakan sesuatu yang baik. Namun, dalam penjelasannya secara lebih mendalam (noesis), kategori konsultan pajak menentukan sejauh mana kepatuhan yang dilakukan oleh pengguna jasanya. Wajib Pajak yang ditangani oleh konsultan pajak yang kelasnya sudah menengah keatas, mereka sudah mulai memainkan perencanaan pajak hingga dengan permainan angka akuntansi. Semua laporan yang diberikan kepada pihak fiskus terlihat bagus, meskipun semuanya dimungkinkan ada manipulasi. Di sisi lain, konsultan pajak yang biasa saja dapat memperburuk perilaku Wajib Pajak utamanya dengan kantor pajak. Konsultan pajak biasa
ada yang dikhawatirkan mengadu informasi antara pegawai pajak dengan Wajib Pajak. Pengaduan informasi akan memperburuk hubungan Wajib Pajak dengan pegawai pajak. Hubungan yang buruk secara tidak langsung berimplikasi pada ketidakpatuhan. Dari penjelasan tersebut, diperoleh esensi bahwa keberadaan konsultan pajak mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Sifat alami manusia yang tidak mau membayar pajak secara implisit tercermin dari perilaku Wajib Pajak terhadap pegawai pajak yang sebenarnya melakukan kegiatan persuasif terhadap Wajib Pajak. Sebelum memperjelas lebih lanjut, informan tiga mengungkapkan (noema) bahwa karakteristik daerah mempengaruhi karakteristik Wajib Pajak. “..Kalau saya di Tulungagung itu gak ada. Rata-rata tergantung karakteristik penduduk, karena mungkin orang Jatim bagian selatan agak ke Jawa Tengah itu matraman agak alus, jadi tidak perlu tindak kekerasan fisik, maksudnya ga berantem ya? Dengan surat aja sudah takut, terus bayar. Beda lagi kalau kasusnya di ranah pesisir utara daerah Probolinggo, sampe Banyuwangi itu karakternya sudah beda, bahkan bisa dengan fisik, kalau memungkinkan, atau mungkin dengan ancaman atau bantuan polisi baru mereka mau membayar tunggakan pajaknya. Jadi tetep ada suatu karakter wilayah penduduk itu beda lah. Itu yang harus dipahami oleh juru sita. Jadi tidak serta merta uda aturan gini ya… Mereka harus tau situasi kondisi kalau menghadapi Wajib Pajak….” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Infroman tiga menjelaskan lebih lanjut (noesis) bahwa karakteristik daerah mempengaruhi sikap penduduk. Selama menangani daerah Tulungagung, masyarakat yang dihadapi cenderung halus. Untuk penagihan pajak, hanya dengan surat saja penduduk yang kena tagihan sidah merasa takut dan langsung membayar. Sikap ini berbeda kala informan tiga menghadapi Wajib Pajak di daerah pesisir utara. Karakter masyarakat cenderung keras, sehingga kadang penanganan kasus harus dengan kontak fisik, ancaman, atau dengan bantuan polisi. Menjadi seorang pegawai pajak, baik menjadi juru sita pajak ataupun AR memang memberikan pengalaman menarik lebih bagi informan tiga. Ketika ditanya apakah informan tiga benar-benar mengalami kontak fisik, informan tiga pun menjelaskan kenyataannya. “Ya, secara jujur pernah, hampir sering saya mengalami. Mulai saya jadi juru sita, saya dikeroyok tujuh orang dipukulin pernah, saya dilempar martil pernah, saya ditodong pistol pernah, secara kontak fisik mungkin teman-teman juru sita karena dia ujung tombak tunggakan, pasti kontak fisik akan sering. ya ancam mengancam pasti sering, ee apa? Intimidasi sangat banyak kalau temen-temen juru sita. Cuman untuk ranah kami di AR macem-macem. Intimidasi ada, ancaman banyak, iming-iming uang pun juga banyak. Ditakut-takuti juga banyak dengan embel-embel dimutasi ke daerah Indonesia bagian timur.banyak kasus pribadi, saya sampai dengan ancaman pembunuhan, pernah kita alami, Cuma kita mediasi kita diskusikan apa yang jadi pikiran kita, kita maunya apa, kita carikan solusi akhirnya kita jadi baik komunikasinya sampai sekarang kerja samanya baik Wajib Pajak yang bersangkutan. Terkait dengan intimidasi di mata-matai sering, saya. Mulai dari kantor sampe rumah diikuti orang sampe dua minggu saya alami sendiri waktu menghadapi suatu kasus sampai iming-iming uang ratusan juta pernah, gatau itu jebakan atau,….” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Kontak fisik pernah berkali-kali dialami oleh informan tiga, mulai dikeroyok, dilempar martil, ditodong pistol, hingga saling ancam dengan Wajib Pajak. Informan memaklumi hal tersebut, karena sebagai juru sita tantangannya sangat besar untuk berhadapan dengan Wajib Pajak yang menunggak pajak. Tanpa ditanya, informan tiga juga menjelaskan tantangan sewaktu menjadi AR. Mulai dari intimidasi dengan diikuti orang sewaktu pulang kerja, diiming-imingi
uang ratusan juta, hingga ancaman pembunuhan. Risiko besar dihadapi oleh pegawai pajak dalam bekerja, semua hal tersebut dapat dilalui oleh informan tiga. Dari penjelasan tersebut, diperoleh esensi bahwa karakteristik daerah mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Berdasarkan wawancara dengan informan tiga, peneliti menemukan beberapa esensi yang menujukkan perilaku Wajib Pajak secara umum. Hasil temuan tersebut antara lain:
Pada dasarnya manusia akan berusaha menghindar dari pajak. Pegawai pajak dibekali peraturan untuk disampaikan kepada Wajib Pajak melalui sosialisasi dan edukasi yang dibarengi dengan tindakan persuasif. Terdapat perbedaan cara untuk memperlakukan Wajib Pajak orang pribadi dan badan. Karakteristik bisnis mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Konsultan pajak mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Karakteristik daerah mempengaruhi perilaku Wajib Pajak.
4.2 Perilaku Wajib Pajak dalam Memenuhi Kewajiban Perpajakan Seperti yang telah disebutkan dalam bab 2, bahwa kewajiban yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak antara lain: 1. Mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggap atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak, apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. 2. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. 3. Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, serta menandatangani dan menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. 4. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan menggunakan mata uang selain rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 5. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 6. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. 7. Menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, dan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. 8. a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaaan; dan atau c. memberikan keterangan lain yang diperlukan apabila diperiksa. Sub bab ini secara khusus akan mendalami perilaku Wajib Pajak secara spesifik dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Informan memiliki pekerjaan dan bagian berbeda, sehingga sistematika bab ini disusun berdasarkan urutan kewajiban, karena tidak semua informan mempunyai pengalaman menghadapi Wajib Pajak dengan kewajiban tertentu.
Perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Wajib Pajak dalam sub bab akan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu perilaku Wajib Pajak dalam mendaftar nomor pokok Wajib Pajak dan pengusaha kena pajak, perilaku Wajib Pajak dalam melaksanakan administrasi pelaporan dan pembayaran, perilaku Wajib Pajak dalam menyelenggarakan pencatatan dan pembukuan, dan perilaku Wajib Pajak pada saat menghadapi pemeriksaan. Perilaku Wajib Pajak dalam Mendaftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Menurut informan satu, Wajib Pajak sudah aktif mendaftarkan diri untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak atau pengusaha kena pajak. “Pada dasarnya mereka sudah aktif mendafarkan diri. Kadang-kadang mereka mendaftar setelah adanya sosialisasi, atau bahkan mereka datang sendiri ke kantor pajak…” (Wawancara Tanggal 21 Februari 2014) Berdasarkan pernyataan awal (noema) informan satu, dapat dilihat bahwa pada dasarnya Wajib Pajak sudah dengan baik melaksanakan kewajibannya dalam mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak atau pengusaha kena pajak. Kewajiban tersebut dilaksanakan setelah mendapat sosialisasi atau dengan kesadaran sendiri. “….. jalan sosialisasi yang dilakukan pihak fiskus adalah melalui surat himbauan dan sosialisasi melalui media masa baik itu televisi atau radio. Banyak juga yang mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak atau pengusaha kena pajak karena manfaatnya yang banyak, mulai dari pengurusan kredit, pengurusan ijin usaha, hingga tuntutan profesi” (Wawancara Tanggal 21 Februari 2014) Dalam penjelasan lebih lanjut (noesis), Wajib Pajak mendaftarkan dirinya setelah mendapat surat himbauan dari kantor pajak. Surat himbauan tersebut dikirim berdasarkan data masyarakat yang belum terdaftar jadi Wajib Pajak. Selain itu, calon Wajib Pajak mendaftar setelah menerima sosialisasi dari media masa seperti televisi atau radio. Banyak juga calon Wajib Pajak dan pengusaha kena pajak yang telah memiliki kesadaran untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau NPKP. Mereka yang mendaftar dengan kesadaran telah menyadari manfaat dari kepemilikan NPWP dan NPKP. Manfaat yang diperoleh antara lain terkait dengan kemudahan pengajuan kredit, ijin usaha, hingga tuntutan profesi untuk memiliki NPWP. Pengusaha yang mendaftar untuk memperoleh NPKP akan memperoleh manfaat terkait dengan administrasi PPN, atau syarat pengajuan proyek kepada pemerintah. Dari penjelasan tersebut diperoleh esensi bahwa dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang secara langsung memberikan keuntungan bagi Wajib Pajak, maka secara sukarela Wajib Pajak tersebut akan memenuhinya. Perilaku Wajib Pajak dalam Melaksanakan Administrasi Pelaporan dan Administrasi Pembayaran Menurut informan satu, inti dari kewajiban perpajakan adalah keharusan Wajib Pajak untuk melapor. “Intinya Wajib Pajak harus lapor SPT, sebagai sarana administrasi, sehingga fiskus bisa tahu kondisi Wajib Pajak…” (Wawancara Tanggal 21 Februari 2014) Berdasarkan pernyataan awal (noema) informan satu, dapat dilihat bahwa inti dari semua administrasi pajak terletak pada Surat Pemberitahuan (SPT). Dari SPT, seorang fiskus bisa mengetahui kondisi Wajib Pajak. Informan satu secara lebih lanjut menjelaskan tentang SPT.
“..... dalam mengisi SPT, Wajib Pajak akan menghitung dan memperhitungkan pajak terutangnya.Hasil dari perhitungan tersebut menentukan langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh Wajib Pajak. Jika perhitungannya kurang bayar, maka dia wajib menyetor pajak menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan melaporkan SPT. Jika lebih bayar, maka Wajib Pajak berhak memilih salah satu antara kompensasi dan restitusi serta melapor SPT. Jika nihil, maka Wajib Pajak cukup melaporkan SPT saja. Di sini kan jelas berapapun hasil perhitungannya,Wajib Pajak tetap harus melaporkan SPT.” (Wawancara Tanggal 21 Februari 2014) Lebih lanjut dijelaskan (noesis) oleh informan satu bahwa Wajib Pajak tetap harus melapor SPT apapun hasil perhitungannya, baik kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika kurang bayar Wajib Pajak diharuskan untuk menyetor pajak. Jika lebih bayar, Wajib Pajak diperbolehkan meminta haknya sebagai Wajib Pajak, yakni mengajukan restitusi atau kompensasi. Jika nihil, maka Wajib Pajak cukup melapor SPT saja. Peneliti kemudian bertanya tentang perlakuan pegawai pajak tentang kebenaran isi SPT tersebut. “Karena kita menganut self assessment, selama fiskus tidak mempunyai data yang valid, dan dapat dipertanggungjawabkan, maka semua yang disampaikan oleh Wajib Pajak kita anggap benar. Sebaliknya, jika fiskus mempunyai data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, maka fiskus dapat memberikan himbauan kepada Wajib Pajak untuk menyetor kekurangan atau membetulkan SPT nya. Dalam menanggapi himbauan fiskus, Wajib Pajak dapat menerima atau menolak himbauan fiskus….” (Wawancara Tanggal 21 Februari 2014) Intinya, kunci sukses penerapan self assessment system adalah keaktifan dari Wajib Pajak dalam melapor SPT. Semua data yang diberikan Wajib Pajak dianggap benar selama fiskus tidak memiliki data yang valid untuk menyalahkan. Informan satu kemudian melanjutkan penjelasannya. “….. Tanggapan Wajib Pajak bisa dikomunikasikan via surat, telepon, atau konsultasi langsung ke kantor. Dalam proses ini, baik fiskus dan Wajib Pajak harus menandatangani berita acara konseling. Jika Wajib Pajak menerima, maka hasil berita acara adalah case closed. Kasus ditutup jika Wajib Pajak menerima pembenaran dari fiskus, untuk kemudian akan disetor kekurangan pembayaran serta pembetulan SPT Wajib Pajak, atau Wajib Pajak memiliki data yang lebih akurat dari yang dimiliki fiskus, sehingga fiskus tidak akan meneruskan ke tahap selanjutnya. Jika Wajib Pajak menolak, dan terjadi adu argumen antara Wajib Pajak dengan fiskus yang tidak menemukan solusi, maka fiskus dalam hal ini AR bisa meneruskan kasus ke ranah pemeriksaan.” (Wawancara Tanggal 21 Februari 2014) Jika Wajib Pajak menolak himbauan, Account Representative akan menindaklanjuti kasus ke ranah pemeriksaan. Intinya adalah sinergi antara Wajib Pajak dengan fiskus sangat diperlukan. Terlebih lagi, Wajib Pajak memiliki banyak hal untuk dipikirkan. Informan satu menambahkan bahwa forum konsultasi bisa dimanfaatkan Wajib Pajak untuk menunaikan kewajibannya secara benar. “Jadi tekniknya kita menjelaskan teknis peraturan, kemudian aturan pajak dilaksanakan, jika tidak mengerti ada forum konsultasi. Kita selaku AR melakukan sosialisasi dalam tahap ini. Sosialisasi disini lebih ke arah mengingatkan Wajib Pajak” (Wawancara Tanggal 21 Februari 2014)
Dari penjelasan tersebut terlihat fungsi kontrol yang dilakukan oleh AR. Tidak ada alasan bagi Wajib Pajak untuk tidak bisa melaksanakan kewajibannya karena tidak mengerti aturan. Sejauh pengalaman informan satu sebagai AR, menurut informan satu selama komunikasi dengan Wajib Pajak terjalin dengan baik, dan fungsi kontrol dilakukan dengan baik, Wajib Pajak akan melaksanakan kewajibannya dengan benar. Dari penjelasan informan satu, diperoleh esensi bahwa usaha penghindaran pajak tidak bisa dipisahkan dengan perilaku patuh Wajib Pajak. Berdasarkan wawancara dengan informan dua, dinyatakan (noema) bahwa Wajib Pajak badan sudah mengerti akan kewajibannya terkait dengan administrasi pajak. “Terkait dengan administrasi, secara umum Wajib Pajak sudah bagus dan paham apa yang dibutuhkan untuk mendukung angka yang dilaporkan, terutama untuk Wajib Pajak badan… Hanya saja, untuk Wajib Pajak orang pribadi masih banyak yang belum mengerti, sehingga memerlukan edukasi lebih lanjut.” (Wawancara Tanggal 24 Februari 2014) Secara umum Wajib Pajak badan sudah mengetahui kewajiban administrasi pajak. Dalam penjelasan lebih lanjut (noesis), dijelaskan bahwa untuk Wajib Pajak orang pribadi, kebanyakan masih belum mengerti tentang kewajiban terkait dengan administrasi pajak. Wajib Pajak orang pribadi perlu diberikan edukasi lagi agar mengerti kewajiban administrasi pajak. Meskipun begitu, informan dua juga memberikan contoh situasi dimana Wajib Pajak masih kurang dalam kewajiban administrasi. “.. Kalaupun ada yang kurang itu ketika apa yang dibutuhkan fiskus berbeda dengan apa yang diminta dari akuntan dari KAP. Kalau auditor bisa menerima bukti internal sepanjang otorisasinya memadai… Kalau pajak, jika bentuk formal menghasilkan pajak yang lebih besar, maka yang dikejar adalah formalnya, meskipun substansinya sudah terpenuhi.” (Wawancara Tanggal 24 Februari 2014) Informan dua menambahkan bahwa kekurangan Wajib Pajak dalam administrasi terjadi ketika apa yang diminta oleh fiskus berbeda dengan apa yang diminta auditor. Auditor bisa menerima bukti internal sepanjang otorisasinya memadai. Pajak akan lebih mengejar formalnya meskipun kadang substansinya sudah dipenuhi oleh Wajib Pajak. Hal ini mengakibatkan Wajib Pajak harus memenuhi kekurangan administrasi yang dibutuhkan oleh pihak pajak. Dari penjelasan informan dua, diperoleh esensi bahwa pada dasarnya Wajib Pajak masih memerlukan edukasi. Berdasarkan wawancara dengan informan tiga, Wajib Pajak badan sudah cenderung patuh dalam melaksanakan kewajiban administrasi lapor. “…. Kebanyakan, Wajib Pajak secara administrasi lapor mungkin sudah patuh. Namun, secara pembayaran masih banyak yang tidak patuh…..” (Wawancara Tanggal 28 Februari 2014) Dalam pernyataannya (noema), informan tiga menyatakan bahwa kebanyakan Wajib Pajak sudah mematuhi kewajiban administrasi lapor. Dijelaskan lebih lanjut (noesis) bahwa untuk kewajiban administrasi pembayaran masih banyak yang tidak patuh. Ketidakpatuhan administrasi pembayaran terkait dengan kebenaran materi yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. Dalam penerapan self assessment system, kebenaran data adalah ranah Wajib Pajak. Kebenaran data tersebut harus diteliti lebih lanjut oleh pihak pegawai pajak. Pembuktian kebenaran data Wajib Pajak ini yang masih menjadi masalah bagi otoritas pajak di Indonesia.
“Pengujian di Indonesia masih belum terkelola dengan baik. Sampai saat ini, masih belum ada sinkronisasi dengan pihak perbankan…” (Wawancara Tanggal 28 Februari 2014) Dalam wawancara sebelumnya dengan informan satu, dijelaskan bahwa temuan data dapat diperoleh dari media dan temuan di lapangan. Informasi tambahan tentang kevalidan data diperoleh dari informan tiga. Pihak pajak bisa mendapatkan kebenaran data yang diberikan Wajib Pajak dari akses data perbankan yang dimiliki Wajib Pajak. Namun, pengujian tersebut masih belum terkelola karena masih belum ada sinkronisasi dengan pihak bank. Hal ini yang menjadikan salah satu kesulitan pihak pajak untuk mendapatkan data yang benar dari Wajib Pajak. Dari penjelasan informan tiga, peneliti memperoleh esensi yang sama dengan yang peneliti peroleh dari informan satu, yakni usaha penghindaran pajak tidak bisa dipisahkan dengan perilaku patuh Wajib Pajak. Perilaku Wajib Pajak dalam Menyelenggarakan Pencatatan dan Pembukuan Informan satu selama bertugas di daerah Malang 3, banyak menangani toko kelontong. Toko kelontong dimiliki oleh orang pribadi yang memiliki usaha bebas. Pemilik toko diwajibkan untuk membuat pencatatan mengenai usahanya. Peneliti kemudian bertanya tentang pemenuhan kewajiban pencatatan oleh Wajib Pajak yang ditanganinya. “Semuanya ada. Tidak hanya pencatatan, mereka juga harus tertib admistrasi, dalam artian mereka harus mengarsip semua dokumen perpajakannya seperti SPT, SSP, atau dokumen yang lainnya. Itu semua manfaatnya balik ke mereka sendiri, mereka bisa mengetahui perkembangan usahanya setiap saat.” (Wawancara Tanggal 21 Februari 2014) Berkaitan dengan kewajiban menyelenggarakan pencatatan, informan satu menyatakan (noema) bahwa Wajib Pajak orang pribadi sudah melaksanakan dengan baik. Dijelaskan lebih lanjut (noesis), tidak hanya menyelenggarakan pencatatan saja, mereka juga mengarsipkan semua dokumen perpajakannya dengan baik. Dari penjelasan tersebut diperoleh esensi bahwa Wajib Pajak, secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakan yang memberikan keuntungan secara langsung kepada mereka. Terkait dengan kewajiban membuat pencatatan dan pembukuan, informan dua menyatakan (noema) bahwa kebanyakan Wajib Pajak masih menyelenggarakan pembukuan dengan seadanya. Perilaku ini disebabkan karena kebanyakan Wajib Pajak dibiarkan oleh fiskus karena pembukuan yang seadanya. “Kebanyakan sih seadanya, tapi begitu mereka diperiksa fiskus, mereka baru mulai mematuhi peraturan pembukuan.Mereka membuat pembukuan seadanya karena mengikuti Wajib Pajak lain yang dibiarin oleh fiskus meskipun seadanya saja dalam membuat pembukuan….” (Wawancara Tanggal 24 Februari 2014) Dalam penjelasan lebih lanjut (noesis), informan dua menjelaskan bahwa setelah mengalami pemeriksaan, Wajib Pajak langsung menyadari bahwa kalau hanya membuat pembukuan yang seadanya, mereka akan mengalami masalah besar, karena semua pembukuan yang telah dilakukan tidak diterima fiskus. Di sisi lain dengan adanya pemeriksaaan itu mereka akan dikenakan pajak yang besar jumlahnya. Dari sini Wajib Pajak akan mulai mematuhi kewajiban pembukuannya dengan baik. Peneliti kemudian menanyakan kepada informan dua tentang perusahaan yang secara khusus melakukan double reporting untuk keperluan akuntansi dan pajak. Informan dua menjawab.
“Satu dua ada sih, tapi sebisa mungkin kita mengarahkan untuk membuat pembukuan dengan satu pelaporan saja….” (Wawancara Tanggal 24 Februari 2014) Beberapa perusahaan melakukan pelaporan ganda yang khusus dibuat untuk kepentingan pajak. Namun, konsultan pajak menyarankan untuk lebih baik membuat satu laporan saja, karena lebih mudah untuk menentukan penghematan pajaknya. Kebanyakan untuk perusahaan yang sudah diaudit melaporkan satu laporan keuangan saja. Dari penjelasan informan dua, diperoleh esensi bahwa sanksi sangat mempengaruhi perilaku patuh Wajib Pajak. Peneliti juga menemukan esensi lain yaitu Wajib Pajak masih memerlukan edukasi lagi tekait dengan kewajiban menyelenggarakan pembukuan. Berdasarkan pengungkapan informan tiga terkait dengan kewajiban pembukuan, perusahaan dengan skala besar juga memanfaatkan aspek akuntansi dalam melakukan penghematan pajak. “….. Namun ada kalanya perusahaan yang levelnya menengah ke atas, yang levelnya skalanya sudah MNC, atau berskala nasional, itu permainannya udah cantik. Cantik itu dalam mengemplang pajak itu sudah bagus, ya sangat sulit dibuktikan oleh orang pajak. Mungkin dengan cara income smoothingnya, atau earning management akuntansi atau dengan transfer pricingnya….” (Wawancara Tanggal 4 Februari 2014) Dalam pernyataan awal (noema), informan satu menyatakan bahwa pada dasarnya Wajib Pajak badan dengan skala yang besar sudah menerapkan kewajiban pembukuannya dengan baik. Namun dalam penjelasan lebih lanjut (noesis), informan tiga menjelaskan bahwa kebanyakan dari mereka memanfaatkan aspek pembukuan ini sebagai cara untuk menghemat pajak. Mulai dari perataan laba, manajemen laba, dan pemanfaatan transfer pricing. Pada wawancara tambahan yang dilakukan oleh peneliti kepada informan tiga terkait dengan kewajiban pembukuan, informan tiga menjelaskan lebih lanjut tentang perilaku Wajib Pajak yang mencoba menghindar pajak. “Mulai 2014, kewajiban pembukuan ditujukan kepada Wajib Pajak orang pribadi atau badan dengan omzet di atas 4,8 Milyar…..Kewajiban pembukuan secara otomatis ada kewajiban lain yang dipenuhi yaitu wajib PKP. Mungkin dalam pembukuan it’s okay, tapi karena ada ranah control yang lebih kredibel, dalam hal ini PKP, selain arus barang dan uang, ada arus faktur. Kebanyakan mereka menghindar jangan sampai omzetnya 4,8 Milyar, atau minimal pas 4,8 Milyar supaya tidak ketahuan arus uang, barang, dan fakturnya. Menghindar dari pembukuan juga bisa dilakukan dengan pemecahan badan usaha.” (Wawancara Tanggal 28 Februari 2014) Ditambahkan oleh informan tiga, untuk saat ini ada kecenderungan Wajib Pajak untuk menghindari kewajiban pembukuan agar arus barang, faktur, dan uang tidak terlihat. Salah satu cara yang digunakan adalah memecah badan usaha. Dari penjelasan informan tiga, diperoleh esensi bahwa penyelenggaraan pembukuan Wajib Pajak juga dimanfaatkan sebagai celah untuk memperoleh penghematan pajak. Perilaku Wajib Pajak dalam Menghadapi Pemeriksaan Terkait dengan perilaku Wajib Pajak saat diperiksa, informan dua menyatakan (noema) bahwa secara umum Wajib Pajak sudah kooperatif. “Secara umum sudah kooperatif, hanya saja mereka ya menunjukkan dokumen yang seadanya…” (Wawancara Tanggal 24 Februari 2014)
Dijelaskan lebih lanjut (noesis) bahwa Wajib Pajak sudah kooperatif saat dilakukan pemeriksaan, hanya saja mereka menyerahkan dokumen seadanya yang berdampak pada pengenaan pajak yang besar. Peneliti kemudian bertanya tentang perbedaan perilaku setelah ada bantuan konsultan. “Pelan-pelan kita arahkan agar menyelenggarakan (Wawancara Tanggal 24 Februari 2014)
pembukuan
yang
baik…”
Konsultan akan mengarahkan Wajib Pajak agar menyelenggarakan pembukuan dengan baik. Informan dua juga menambahkan bahwa masalah Wajib Pajak terkait pemeriksaan adalah ketidaktahuan Wajib Pajak. Terlebih lagi, dalam penerapan self assessment system, undangundang tidak mentolerir ketidaktahuan. Dari penjelasan informan dua, diperoleh esensi bahwa Wajib Pajak masih memerlukan edukasi terkait dengan pemeriksaan agar mereka siap menghadapi pemeriksaan. Informan tiga menyatakan (noema) bahwa dahulu dan sekarang perilaku Wajib Pajak ketika diperiksa sudah berbeda. “Kalau dulu ada kecenderungan WP itu ‘takut’. Kalau sekarang cenderung nyaman, bahkan bisa cenderung melawan.” (Wawancara Tanggal 28 Februari 2014) Dijelaskan lebih lanjut (noesis) oleh informan tiga bahwa sebelum reformasi perpajakan diterapkan, proses pemeriksaan dilakukan dengan penunjukan langsung petugas fungsional yang bertugas untuk memeriksa. Pada saat itu, Wajib Pajak cenderung “takut” kepada pegawai pajak karena mereka mempunyai persepsi bahwa pegawai pajak cenderung mencari kesalahan Wajib Pajak, sehingga mereka akan terkena pajak yang besar. Pada proses reformasi perpajakan, proses pemeriksaan dilakukan sesuai dengan SOP yang ada dan direncanakan dengan matang. Kecenderungan perilaku Wajib Pajak sekarang menjadi lebih nyaman, atau bahkan mungkin cenderung melawan. Terkadang, pegawai pajak yang bertugas takut melakukan hal-hal yang ekstrim seperti menyegel, mendobrak, dan aktivitas ekstrim lainnya karena takut dimunculkan ke media atau dikriminalisasi. Informan tiga kemudian menjelaskan beberapa hal yang dilakukan Wajib Pajak untuk menghindari pemeriksaan. “Dalam pemeriksaan Wajib Pajak harus menunjukkan dokumen yang diarsipkan selama 5 tahun itu tadi. Namun, psikologis Wajib Pajak terkadang menghindari pemeriksaan dengan berbagai alasan, seperti merekronstuksi ulang pembukuan yang kurang lengkap, tidak melakukan pembukuan, atau bukti pemeriksaan yang belum ketemu.” (Wawancara Tanggal 28 Februari 2014) Meskipun sikap koperatif pada saat pemeriksaan sudah dimiliki Wajib Pajak, di sisi lain praktik penghindaran pemeriksaan masih ada di lapangan. Alasan yang dipakai oleh Wajib Pajak antara lain pembukuannya yang kurang lengkap, pembukuan yang tidak dibuat, atau bukti pemeriksaan yang belum ditemukan. Dari penjelasan informan tiga, diperoleh esensi bahwa penghindaran pajak tetap tidak bisa dihilangkan dari perilaku patuh Wajib Pajak. Dalam sub bab ini, peneliti menemukan beberapa esensi yang sama dari ketiga informan terkait dengan perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Temuantemuan tersebut antara lain:
Wajib Pajak akan secara sadar mematuhi kewajiban perpajakan yang secara langsung memberikan keuntungan bagi mereka.
Wajib Pajak akan taat pada peraturan ketika mereka dikenai sanksi, seperti mengalami pemeriksaan. Usaha penghindaran pajak tetap tidak bisa dipisahkan dalam perilaku patuh Wajib Pajak
4.3 Analisis Hasil Penelitian secara Menyeluruh Berdasarkan hasi wawancara dengan ketiga informan, peneliti menemukan beberapa kesamaan hasil temuan antara ketiga informan, antara lain: 1. Wajib Pajak memiliki kecenderungan untuk membayar pajak sekecil mungkin. Ketiga informan mengatakan hal yang sama, bahwa kecenderungan Wajib Pajak adalah berusaha membayar pajak sekecil mungkin. Jika dikaitkan dengan perilaku Wajib Pajak sebagai seorang individu, kecenderungan perilaku seorang individu adalah lebih mementingkan hak dibandingkan kewajiban, pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga (Hoftstede, 1980). Disisi lain, pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum [Soemitro, 1990 dalam Waluyo (2010:3)]. Banyaknya kebutuhan diri yang harus dipenuhi membuat seorang Wajib Pajak tidak akan sempat berpikir tentang pajak, terlebih lagi untuk membayarkannya. 2. Menyikapi sifat dasar Wajib Pajak sebagai seorang individu, pemberian edukasi kepada Wajib Pajak dilakukan untuk menyadarkan Wajib Pajak tentang kewajiban perpajakannya. Dalam proses pemberian edukasi kepada Wajib Pajak, informan satu lebih mencoba mengerti keinginan dan kesulitan Wajib Pajak. Menurut informan satu, masalah perpajakan yang dialami oleh Wajib Pajak tidak akan jauh dari masalah peraturan. Setelah mengetahui kesulitan Wajib Pajak, informan satu mulai menjawab kesulitan Wajib Pajak dengan menjelaskan intisari peraturan yang terkait. Temuan ini serupa dengan temuan Budi (2007) yang menyebutkan bahwa salah satu faktor Wajib Pajak tidak patuh adalah kejelasan undang-undang. Proses edukasi yang dilakukan oleh informan dua lebih kepada memberikan alternatif penerapan peraturan beserta konsekuensinya untuk kemudian dipilih oleh Wajib Pajak. Dengan menjelaskan konsekuensi dari penerapan suatu alternatif keputusan pajak, Wajib Pajak akan memperoleh gambaran agar memilih cara yang tidak melanggar undang-undang. Bagi Wajib Pajak yang masih menggunakan cara menghemat pajak yang melanggar undang-undang, kebanyakan Wajib Pajak baru menyadari konsekuensinya ketika ada Wajib Pajak lain yang diperiksa oleh pihak fiskus karena melakukan hal yang sama. Temuan ini menunjukkan bahwa ketegasan sanksi akan mempengaruhi perilaku Wajib Pajak untuk patuh melaksanakan kewajibannya, serupa dengan temuan Najib (2013). Pemberian edukasi juga diberikan dengan cara menyiapkan Wajib Pajak agar bisa mandiri dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Informan tiga menekankan pada proses persuasif yang coba dirancang agar Wajib Pajak mau melaksanakan kewajiban perpajakannya. Proses ini bebarengan dengan proses edukasi. Proses edukasi terkait dengan aturan mulai menyasar pada objek tertentu. Langkah persuasif akan berbeda sesuai dengan ranah perpajakan yang dihadapi Wajib Pajak. Proses persuasif ini sebagai bentuk pengawasan dari pihak fiskus kepada Wajib Pajak. Pengawasan ini bertujuan untuk mengajak, membimbing, atau memaksa masyarakat untuk mematuhi kaidah yang berlaku (Ahmadi, 1985).
Dalam kaitannya dengan masalah pajak, pegawai pajak akan berusaha membuat Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakannya. 3. Karakteristik daerah dan budaya mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Menurut Ralph Linton, kebudayaan merupakan warisan sosial dari anggota suatu masyarakat. Kebudayaan masyarakat akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Sesuai dengan teori tersebut, temuan penelitian juga menunjukkan indikasi hal yang serupa. Informan satu menghadapi Wajib Pajak yang disiplin pada aturan ketika bertugas di daerah Indonesia bagian tengah agak ke timur. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh budaya Belanda yang pernah menjajah daerah tersebut. Informan tiga menyebutkan karakter masyarakat Jawa Timur bagian selatan yang berbeda dengan karakter masyarakat daerah pantai utara. 4. Industri dan bisnis Wajib Pajak mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Beberapa pengusaha dengan industri sejenis terkadang membentuk paguyuban atau asosiasi. Berdasarkan hasil wawancara, penyampaian edukasi bagi informan satu dan dua menjadi lebih mudah karena adanya perkumpulan tersebut. Kemudahan juga diperoleh secara langsung oleh Wajib Pajak yang bernaung. Wajib Pajak menjadi lebih mudah melaksanakan kewajiban perpajakannya. Proses tersebut menunjukkan adanya kerjasama yang menguntungkan. Menurut Charles H. Cooley, kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama, pada saat yang bersamaan dan mereka mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam hal ini, pegawai pajak dan konsultan pajak memiliki kepentingan untuk menyampaikan informasi dan mengedukasi Wajib Pajak, di lain sisi, Wajib Pajak memiliki kepentingan untuk menunaikan kewajiban perpajakannya. Kedua pihak sama-sama dimudahkan dengan adanya hubungan kerja sama ini. Informan tiga memiliki penjelasan yang berbeda terkait dengan pengaruh jenis industri terhadap perilaku Wajib Pajak. Informan tiga yang bertugas di KPP Madya, banyak menangani Wajib Pajak badan di berbagai tingkatan, mulai dari yang sederhana hingga sangat kompleks. Untuk perusahaan dengan skala menengah ke bawah, penghindaran pajaknya mudah ditebak oleh pegawai pajak. Sebaliknya, perusahaan yang berskala nasional dan multi nasional, penghindaran pajaknya sudah bagus, dalam hal ini mereka juga menggunakan aspek-aspek pelaporan akuntansi untuk melakukan penghindaran pajak, seperti perataan laba, manajemen laba, dan transfer pricing. 5. Karakteristik Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan cenderung sama. Menurut informan satu dan dua, pada dasarnya karakteristik Wajib Pajak orang pribadi dan badan cenderung sama, karena keduanya sama-sama berposisi sebagai Wajib Pajak. Hal yang membedakan keduanya adalah ketentuan yang mengikatnya. Informan tiga juga berpendapat demikian. Lebih lanjut dijelaskan oleh informan tiga, terkait dengan ranah pemaksaan, perlakuan keduanya sudah mulai berbeda. Wajib Pajak orang pribadi relatif lebih mudah dilacak penanggung pajaknya, sedangkan Wajib Pajak badan lebih sulit untuk melacak penanggung pajaknya, mengingat pemiliknya yang sangat banyak. Pegawai pajak harus memahami isi akta pendirian badan. 6. Wajib Pajak akan secara sadar mematuhi kewajiban perpajakan yang secara langsung memberikan keuntungan bagi mereka. Seperti yang dikaji sebelumnya pada bab 2, salah satu penyebab orang tidak tertarik membayar pajak adalah karena tidak adanya manfaat secara langsung yang mereka
dapatkan (Field dan Frey, 2007). Namun, khusus untuk kewajiban ber-NPWP dan berNPKP, Wajib Pajak sudah sadar untuk memenuhinya. Berdasarkan pengungkapan informan satu terkait dengan kewajiban memiliki NPWP dan NPKP, kebanyakan Wajib Pajak sudah memiliki kesadaran untuk memenuhinya. Hal ini disebabkan karena keharusan masyarakat memiliki NPWP untuk emngurus keperluan tertentu, seperti mengurus perijinan usaha, pengajuan kredit usaha, hingga kewajiban formal sebagai seorang pegawai untuk memiliki NPWP. 7. Wajib Pajak akan taat pada peraturan ketika mereka dikenai sanksi, seperti mengalami pemeriksaan. Beberapa hasil temuan dari pengungkapan informan adalah terkait dengan perilaku Wajib Pajak dipengaruhi oleh sanksi. Wajib Pajak yang cenderung melaksanakan kewajiban pajaknya dengan ala kadarnya akan mulai menumbuhkan kesadarannya ketika sudah ada sanksi yang diterimanya, atau Wajib Pajak lain yang melakukan pelanggaran sama telah memperoleh sanksi terlebih dahulu. Hal ini membuktikan bahwa sanksi yang tegas sangat mempengaruhi perilaku patuh Wajib Pajak (Najib, 2013). 8. Usaha penghindaran pajak tetap tidak bisa dipisahkan dalam perilaku patuh Wajib Pajak. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 telah menetapkan kriteria kepatuhan Wajib Pajak. Menurut peraturan tersebut, Wajib Pajak dimasukkan dalam kategori Wajib Pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak; c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Secara kepatuhan administrasi, kebanyakan Wajib Pajak sudah melaksanakan kewajibannya secara patuh. Namun kembali lagi ke penerapan self assessment system di Indonesia, bahwa kebenaran data dan tanggung jawab pelaksanaan kewajiban perpajakan sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Berdaasarkan hasil penemuan tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik perilaku patuh Wajib Pajak, terdapat upaya penghindaran pajak, khususnya bagi Wajib Pajak badan. Informan dua sebagai konsultan pajak mengajarkan upaya perencanaan pajak dengan pendekatan tax avoidance untuk menghemat pajak. Meskipun penghematan yang dilakukan dengan cara ini tidak terlalu signifikan, akan tetapi upaya penghindaran pajak tetap saja dilakukan. Lebih luas lagi, di ranah Kantor Direktorat Jenderal Pajak, khususnya KPP Madya yang menangani Wajib Pajak badan, informan tiga mengungkapkan bahwa penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan skala besar sudah melibatkan aspek akuntansi, seperti earning management, dan transfer pricing. Hal ini juga membuktikan bahwa penerapan metode akuntansi tertentu yang tercermin dari perilaku manajemen laba dilakukan dengan tujuan meminimalkan pajak (Scott, 2003). Selain penemuan tersebut, peneliti juga menemukan perilaku Wajib Pajak sebagai konsumen. Hal ini berkaitan dengan hubungan Wajib Pajak dengan konsultan pajak. Konsultan pajak adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa profesional kepada Wajib Pajak dalam menyelesaikan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
hubungan tersebut, konsultan pajak adalah pihak yang memberikan jasa dan Wajib Pajak adalah konsumen. Ditemukan bahwa kepuasan Wajib Pajak terhadap kinerja konsultan pajak menyebabkan ketergantungan kepada konsultan pajak. Ketergantungan yang dimaksud adalah Wajib Pajak akan menggunakan jasa konsultan pajak terus menerus dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini sesuai dengan teori perilaku konsumen dari sisi ekonomi mikro, yang menyebutkan bahwa konsumen akan meneruskan pembeliannya apabila merasa puas dengan produk yang dibelinya. Selain menimbulkan ketergantungan, kepuasan yang didapat oleh Wajib Pajak juga berdampak pada bertambahnya jumlah klien yang ditangani oleh konsultan pajak. Wajib Pajak yang puas dengan kinerja konsultan secara sadar akan mengajak Wajib Pajak lain untuk menggunakan konsultan yang menanganinya. Penelitian ini menyadarkan kita tentang peran pegawai DJP dan konsultan pajak dalam menyadarkan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan aturan yang ada. Wajib Pajak dengan sifat alaminya yang enggan membayar pajak, tentu harus diberikan edukasi sebanyak mungkin agar mereka mau menunaikan kewajiban perpajakannya. Terlebih lagi, dalam penerapan self assessment system, undang-undang tidak mentolerir ketidaktahuan Wajib Pajak. Bisa dibayangkan apabila Wajib Pajak yang tidak tahu kewajiban pajaknya tiba-tiba diharuskan membayar pajak dalam jumlah besar, maka akan langsung mati sumber kelangsungan usahanya karena pajak tersebut. Ketidaktahuan bukanlah alasan bagi Wajib Pajak untuk tidak patuh. Ketidaktahuan Wajib Pajak adalah tantangan besar bagi pegawai DJP maupun konsultan pajak untuk memberikan edukasi kepada Wajib Pajak agar mengerti akan kewajiban perpajakannya. 5. Kesimpulan, dan Keterbatasan 5.1 Perilaku Wajib Pajak Menurut ketiga informan, pada dasarnya di tempat manapun di dunia ini, orang tidak akan suka membayar pajak. Hal tersebut sudah merupakan kodrat manusia. Hanya saja, ketiga informan menekankan pada proses edukasi kepada Wajib Pajak agar Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Menurut informan satu, karena peraturannya sama kita hanya menyampaikan aturannya saja. Lebih lanjut dijelaskan oleh informan tiga, setelah mengedukasi langkah persuasif perlu dilakukan. Pada akhirnya, menurut informan dua, setelah di edukasi, Wajib Pajak akan melaksanakan kewajibannya dan cenderung patuh mematuhi peraturan. Baik Wajib Pajak orang pribadi maupun badan, keduanya memiliki karakteristik yang mirip, karena pada dasarnya mereka adalah sama-sama Wajib Pajak. Ketentuan dan status administrasi yang berbeda, membuat perlakuan yang agak sedikit berbeda pula. Setidaknya ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh pegawai pajak dan konsultan pajak dalam memposisikan dirinya menghadapi Wajib Pajak. Budaya dan Karakter Suatu Daerah Mempengaruhi Perilaku Wajib Pajak Informan satu dan tiga merupakan seorang pegawai pajak yang telah ditempatkan di beberapa daerah. Perbedaan daerah membuat perilaku Wajib Pajak berbeda pula. Kebudayaan dan karakteristik suatu daerah mempengaruhi perilaku masyarakatnya. Hal ini yang harus dipahami oleh pegawai pajak dan konsultan pajak dalam memahami karakteristik suatu daerah agar dapat menempatkan diri dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga bisa memperlakukan Wajib Pajak dengan tepat. Karakteristik Industri Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Beberapa pengusaha dengan industri sejenis terkadang membentuk paguyuban atau asosiasi. Penyampaian edukasi bagi informan satu dan dua menjadi lebih mudah karena adanya perkumpulan tersebut. Melalui asosisasi atau paguyuban pengusaha, pegawai DJP
dan konsultan pajak akan lebih mudah menyampaikan informasi perpajakan, dan disisi lain juga akan membuat Wajib Pajak lebih patuh, meskipun tetap, perencanaan dan penghindaran pajak tidak dapat dipisahkan dalam proses pemenuhan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak. Semakin besar perusahaan, semakin bagus pula cara penghindaran pajaknya. Informan tiga yang bertugas di KPP Madya, banyak menangani Wajib Pajak badan di berbagai tingkatan, mulai dari yang sederhana hingga sangat kompleks. Untuk perusahaan dengan skala menengah ke bawah, penghindaran pajaknya mudah ditebak oleh pegawai pajak. Sebaliknya, perusahaan yang berskala nasional dan multi nasional, penghindaran pajaknya sudah bagus, dalam hal ini mereka juga menggunakan aspek-aspek pelaporan akuntansi untuk melakukan penghindaran pajak, seperti perataan laba, manajemen laba, dan transfer pricing. Perilaku Wajib Pajak dalam Melaksanakan Kewajiban Perpajakannya Wajib Pajak dengan sukarela melaksanakan kewajiban perpajakannya karena manfaat yang diterimanya secara langsung. Hal ini terlihat dalam pemenuhan kewajiban perpajakan terkait dengan perolehan NPWP atau NPKP. Wajib Pajak yang memiliki NPWP atau NPKP akan memperoleh manfaat secara langsung. Dengan manfaat secara langsung yang di dapatkan Wajib Pajak, kebanyakan dari mereka akan secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan NPKP. Berkaitan dengan pemenuhan kewajiban dalam hal administrasi pajak, kebanyakan Wajib Pajak orang pribadi masih belum sepenuhnya memahami. Mereka harus diberikan edukasi secara terus menerus oleh pegawai DJP dan konsultan pajak agar mengetahui peraturan sehingga mereka tertib dalam hal administrasi pajak. Untuk Wajib Pajak badan, saat ini mereka sudah memahami kewajiban untuk tertib administrasi. Berkaitan dengan kewajiban dalam hal pencatatan dan pembukuan, untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan usaha bebas sudah melaksanakan pencatatan sesuai dengan arahan pegawai pajak. Untuk Wajib Pajak badan, penyelenggaraan pembukuan cenderung dilakukan seadanya. Namun, ketika mereka diperiksa pegawai pajak, mereka mulai menyelenggarakan pembukuan dengan benar. Berkaitan dengan perilaku Wajib Pajak pada saat pemeriksaan, Wajib Pajak sudah cukup kooperatif dalam menghadapi pemeriksaan. Hanya saja, karena ketidaktahuan, mereka menyerahkan apa adanya dokumen yang diminta, sehingga setelah pemeriksaan, Wajib Pajak langsung mendapat tunggakan yang sangat besar. 5.3 Keterbatasan Penelitian Penelitian sedikit dibatasi dengan kerahasiaan yang tidak boleh diungkap oleh para informan. Informasi yang didapat adalah hal-hal yang dapat diungkapkan secara umum, informasi secara mendetail menyangkut keperilakuan Wajib Pajak tertentu secara spesifik tidak dapat dipublikasikan. Selain itu, perolehan data hanya didapat dengan wawancara. Agar penelitian serupa dapat berjalan maksimal dan optimal, penelitian dapat dilakukan dengan jangka waktu lebih lama, bisa dengan cara magang di kantor pajak atau konsultan pajak. Dengan demikian perolehan data juga didapat dari pengamatan peneliti.
DAFTAR PUSTAKA Albari. 2009. Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepatuhan Membayar Pajak. Jurnal Siasat Bisnis 13(1): 1-13 Allingham, Michael G. dan Agnar Sandmo. 1972. Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis. Journal of Public Economics 1: 323-38. Anonim. 2013. Pengamat: Jumlah Pegawai Pajak Belum Ideal. http://www.kemenkeu.go.id/Berita/pengamat-jumlah-pegawai-pajak-belum-ideal. 11 Januari 2014 (07.05) Anonim. 2013. Tantangan Serius yang Dihadapi Direktorat Jendral Pajak. http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/index.php/layanan-diklat/seputar-diklat/1399tantangan-serius-yang-dihadapi-direktorat-jenderal-pajak. 11 Januari 2014 (06.15) Anonim. 2013. Konsultan Bantu Masyarakat Penuhi Kewajiban Pajak. http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/49484/konsultan-bantu-masyarakatpenuhi-kewajiban-pajak. 11 Januari 2014 (06.45) Anonim. 2013. Jumlah Ideal Pegawai Pajak di Indonesia Sekitar 60.000 Orang. http://www.beritasatu.com/makro/143854-jumlah-ideal-pegawai-pajak-di-indonesiasekitar-60000-orang.html. 11 Januari 2014 (08.15) Ariesta, Emilio Feryawan. 2013. Studi Fenomenologi Tentang Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi (Studi Kasus di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Brawijaya Malang). Skripsi. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Astuti, Melawati Dwi. 2011. Prediksi Minat Terhadap Penggunaan Sistem E-Commerce: Studi Empiris Decomposed Theory of Planned Behavior (DTPB). Skripsi. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Deegan, Craig dan Jeffrey Unerman. 2006. Financial Accounting Theory. Berkshire: McGrawHill Education Direktorat Jendral Pajak. Visi dan Misi. http://www.pajak.go.id/visi_dan_misi. 12 Januari 2014 (06.15). _____. Selayang Pandang. http://www.pajak.go.id/content/selayang-pandang. 12 Januari 2014 (06.20). _____. Struktur Organisasi. http://www.pajak.go.id/struktur_organisasi. 12 Januari 2014 (06.25). _____. Evaluasi Penerimaan Pajak Tahun 2013 Direktorat Jendral Pajak .http://www.pajak.go.id/sites/default/files/Penerimaan%20Agustus%20dan%20Pertumbu hannya.pdf. 10 Januari 2014 (04.10) Feld, L P dan Frey, B S. 2007. Tax Compliance As The Result Of A Psychological Tax Contract: The Role of Incentives and Responsive Regulation. Law and Policy, 29(1):102-120. Hofstede, Geert.1980. Culture Consequences. Beverly Hills. CA:Sage Izza, Ika Alfi Nur dan Ardi Hamzah. 2009. Etika Penggelapan Pajak Perspektif Agama: Sebuah Studi Interpretif. Jurnal Ilmiah. Simposium Nasonal Akuntansi 12 Palembang Ikatan Konsultan Pajak Indonesia. 2009. AD ART & Kode Etik Keputusan Mentri Keuangan Nomor 485/KMK.03/2003 Konsultan Pajak Indonesia.30 Oktober 2003. Jakarta
Keputusan Pengurus Pusat IKPI Nomor. 002/SK.PP.IKPI/I/2005 Badan Penyelanggara Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (BP USKP). 19 Januari 2005. Jakarta Keputusan Menteri Keuangan No.98/PMK.03/2005 Perubahan Keputusan Mentri Keuangan Nomor 485/KMK.03/2003 Tentang Konsultan Pajak Indonesia. 13 Oktober 2005. Jakarta Kusdiantono, Y. 2013. Wawancara Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Sukiatto Oyong - Jumlah Konsultan Pajak di Tanah Air Masih Kurang. http://koransindo.com/node/342606. 12 Januari 2014 (04.35) Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : ROSDA Mulia, Annisa Sekar. 2013. Mengungkap Pemahaman tentang Akuntansi serta Kecerdasan Emosional, Spiritual dan Sosial Mahasiswa: Sebuah Studi Fenomenologi. Skripsi. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Mustikasari, Elia, 2007, Kajian Empiris tentang Kepatuhan Wajib Pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya, Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar. Najib, Debby Farihun. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Membayar Pajak Penghasilan. Skripsi. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Nawawi, H. Hadari. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis yang Kompetitif. Yogyakarta: UGM Press Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/ PMK.01/2010 Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. 11 Oktober 2010. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 498. Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. 29 Desember 2011. Jakarta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 Tata Cara Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. 28 Desember 2007. Jakarta Resmi, Siti. 2011. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Sambodo, A. Konsultan Pajak: Peluang dan Tantangan. https://docs.google.com/presentation/d/12n2roVjPVle4U3cK8wVLAL6MySmJIP8d7TR4w5z wyuM/preview#slide=id.i0. 10 Januari 2014 (21.30). Scott, William Robert. 2003.Financial Ccounting Theory.United States of America: Prentice Hall Sosiologi, Tim. 2006. Sosiologi 2 Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Yudhistira Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Suhendra. 2013. Ini Alasan Dirjen Pajak Minta Tambah Pegawai. http://finance.detik.com/read/2013/06/18/112146/2276594/4/ini-alasan-dirjen-pajakminta-tambah-pegawai. 11 Januari 2014 (06.40) Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE 06/PJ 9/2001 Pelaksanaan Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak. Taslim, D. 2007. Tax Specialist Sebagai Suatu Profesi?. http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=9. 12 Januari 2014 (04.30). Thalib, Gustin. 2013. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Subjek Pajak Dalam Melakukan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Kota Timur. Skripsi. Gorontalo: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. 16 November 2012. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 228. Jakarta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 17 Juli 2007. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85. Jakarta Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Empat