PELEPASAN PIRAZINAMID DALAM OBAT ANTI TBC (OAT) MENGGUNAKAN MEMBRAN KITOSAN-PEKTIN SEBAGAI SLOW RELEASE AGENT
Diajukan sebagai Syarat Pendaftaran Seleksi Mahasiswa Berprestasi UGM 2016
Diusulkan Oleh: Fitri Astuti
(13/347154/PA/15167)
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah dengan judul Pelepasan Pirazinamid dalam Obat Anti TBC (OAT) Menggunakan Membran Kitosan-Pektin sebagai Slow Release Agent. Karya tulis ini diajukan sebagai syarat pendaftaran Mahasiswa Berprestasi Universitas Gadjah Mada Tahun 2015. Pada penyelesaian karya tulis ilmiah ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak. Penulis mendapat inspirasi dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, saat mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa serta beberapa karya ilmiah yang menjadi referensi penulis dalam merefleksikan keterkaitan permasalahan dan solusi yang diusulkan. Penulisan berbasis studi pustaka dan pengkajian pada penelitian sebelumnya. Semoga keberadaan karya penulis ini mampu menambah wawasan dan membangkitkan
kesadaran
civitas
akademika
dan
kepedulian
terhadap
permasalahan di Indoneisa. Ilmu pengetahuan akan semakin bermanfaat bagi masyarakat, jika dapat dijadikan sebagai modal untuk memaksimalkan potensi alam yang diterapkan dalam teknologi, sehingga mampu membuka titik penyelesaian masalah bangsa ini. Tidak ada karya manusia yang tanpa celah kesalahan. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan karya tulis ini, karena kemajuan penerapan ilmu pengetahuan tidak akan berjalan hanya karena sekelompok orang.
Yogyakarta, November 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
............................................................................................. i
Halaman Pengesahan .................................................................................... ii Kata Pengantar ................................................................................................ iii Daftar Isi
....................................................................................................... iv
Summary ....................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2 1.3. Tujuan .................................................................................................... 2 1.4. Manfaat .................................................................................................... 2 BAB II TELAAH PUSTAKA ......................................................................... 3 BAB III ANALISIS DAN SINTESIS ............................................................. 5 BAB IV SIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................... 10 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 11
iv
SUMMARY Indonesia still has problem of public health linked to cases of Tuberculosis (TBC). Currently, medical treatment of Tuberculosis is conducted by giving AntiTuberculosis Drugs (ATD) such as isoniazid, riphampisin and pyrazinamide (the highest dosage is pyrazinamide). The problem of this treatment is undisciplined patient that delay to consume the drugs, so Tuberculosis case become drug resistance. In this case, slow releasing agent will extend the half-life of pyrazinamide, that affect the consistency of drug compounds releasing. The application of slow release agent through the utilization of natural materials found in Indonesia, namely chitosan and pectin, is expected to provide solutions through a slowdown in the half-life of drug release in the metabolic system. The existence of this technology is expected to overcome patient non-compliance in drug consumption, thus lowering the risk of drug resistance and can improve public health. Of course this will greatly affect the improvement of public welfare that led to the independence of the nation of Indonesia. Chitosan has ability to open some part of the intestine cells, so it is potential to be developed as main material of nanoparticles for oral application. Chitosan membrane-pectin can be made from the basic material of chitosan and pectin with a composition of 0.5% (w / v) with distilled water solvent. In this process is necessary to add 1% acetic acid for reacting the two reactants. Composition 0.5% is selected, because solubility of the two reactants was going well in that conditions, so the production of membrane can result a homogeneous membrane with a fairly good texture. Pyrazinamide may be added in a homogeneous solution has a ratio of 1: 2 (pyrazinamide: chitosan-pectin). In accordance with a study on pyrazinamide encapsulation in chitosan-alginate, additions can be made on the composition of 1: 2. This analogy is based on the similarity of alginate with pectin, which has the same active group in terms of their interaction with chitosan. The addition of lauric acid can be done to increase the solubility and stability of pyrazinamide in solution, or as an emulsifier. Properties that resulted from the interaction of chitosan-pectin is similar to the interaction of chitosan-alginate, because the two interact on the basis of polycationic and polyanionic interaction. Emulsifier that proposed in this idea is lauric acid, which is an organic material and has a high HLB, not too different from the existence of tween-80 used in coating pyrazinamide in the previous studies. Alginate replacement material with pectin, is expected to facilitate the acquisition of raw materials for the coating pyrazinamide, since pectin is a polysaccharide booster texture in plant cells which are among the cellulose and hemicellulose. So that pectin can be isolated from various plant species, which would increase the potential for utilization of natural resources in Indonesia. In the previous study, researcher found that encapsulation by chitosan-alginate, dissolution test of ATD was conducted by in vitro method at gastric physiological (pH 1.2) and intestinal condition (pH 7,4) for 45 minutes to know the releasing ADT. Disoluted pyrazinamide at pH 1.2 is 34.7183% and at pH 7.4 is 78.0433%. The weakness of chitosan, mechanic strength as membrane for capsulation is very low. Polyelectrolyte Chitosan-Pectin membrane is one of the alternative solution to cover the weakness. On the previous experiment, chitosan-pectin is four times v
stronger than pure chitosan. PEC membrane coating with chitosan-pectin can give the effect of a higher viscosity than when pyrazinamide loose by powder preparation in the body system. Thus, preparations by using a slow release agent can be happened. It will cause the concentration of pyrazinamide in the body is more constant. In addition, lauric acid with high HLB pyrazinamide capable to support stability in the solution. Pyrazinamide diffusion rate will be slower which causes a longer half-life. So, combination of chitosan-pectin can strengthen mechanic function that optimize ADT half-time in the body. ATD can be consumed with a longer frequency intervals.
vi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi ukuran kesejahteraan masyarakat suatu negara. Produktivitas masyarakat akan mencapai titik optimal apabila didukung dengan kondisi yang baik, misalkan dalam hal ketersediaan pekerjaan, tingkat keamanan lingkungan, serta kesehatan. Namun, tidak dipungkiri, masih terdapat banyak kasus penanganan penyakit “massal” yang saat ini belum terlaksana secara optimal dan tentu masih berpengaruh terhadap tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. Indonesia masih memiliki problematika kesehatan masyarakat terkait dengan kasus Tuberculosis (TBC). Setiap tahun muncul sebanyak 460.000 kasus TBC baru di negara ini. Hinga tahun 2013, terdapat 297 kasus per 100.000 jumlah penduduk, sehingga total kasus mencapai 800.000-900.000 kasus. Walaupun prevalensinya menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penderita TBC di Indonesia masih terbilang tinggi. Menurut skala dunia saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-4 negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia, setelah Cina, India, dan Afrika Selatan (Kartika, 2014). Penanganan
kasus
TBC
dipersulit
ketika
terdapat
kendala
ketidakdisiplinan pasien yang harus mengonsumsi Obat Anti TBC (OAT) secara berkala. Hal ini dapat menyebabkan Drug Resistance pada pasien, yang akan memperpanjang proses penyembuhan. Teknologi pengembangan obat masih diperlukan untuk mengatasi problematika ini. Aplikasi Slow Relesae Agent yang dibuat melalui pemanfaatan potensi bahan alam yang terdapat di Indonesia, yakni kitosan dan pektin, diharapkan dapat membantu memberikan solusi melalui perlambatan waktu paruh pelepasan obat di dalam sistem metabolisme. Keberadaan teknologi ini diharapkan mampu mengatasi ketidakpatuhan pasien dalam konsumsi obat, sehingga menurunkan resiko drug resistance dan dapat meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Tentu hal ini akan sangat berpengaruh
1
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berujung pada kemandirian bangsa Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah Bagaimana perancangan sistem obat yang dapat memperpanjang waktu paruh biologis Obat Anti TBC (OAT), dengan penggunaan Slow Release Agent, sehingga efektivitas konsumsi obat dapat ditingkatkan?
1.3 Tujuan Memberikan
rancangan
sistem
obat
yang
dapat
memperpanjang
keberadaan OAT untuk meningkatkan efektivitas konsumsi obat.
1.4 Manfaat Gagasan dapat dijadikan sebagai salah satu upaya peningkatan kesehatan untuk kesejahteraan Indonesia melalui penanganan kasus TBC.
3
BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1 Pirazinamid Saat ini terdapat tiga jenis obat TBC yang umumnya beredar di masyarakat, yakni rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Obat Anti Tuberculosis (OAT) memiliki waktu paruh biologis yang pendek (Nofitasari, 2015). 2.2 Membran Kitosan-Pektin Kitosan adalah biopolimer alami yang merupakan produk turunan dari kitin melaui proses deasetilasi terhadap gugus asetamida pada kitin menjadi gugus amina. Aplikasi kitosan dapat dilakukan pada penanganan limbah, industry kimia, biomedis, farmasi, pertanian, serta bioteknologi (Wibowo, 2006). Kitosan merupakan salah satu polimer alam yang dapat digunakan sebagai matriks penyalut obat karena matriks penyalut yang baik harus bersifat non toksik, dapat terbiodegradasi dan non-alergenik biokompatibel. Penggunaan kitosan sebagai matriks penyalut juga telah banyak dikaji, salah satunya sebagai bahan hantar propanolol hidroklorida. Hasilnya, matriks kitosan dapat memperlambat laju pelepasan propanolol hidroklorida (Sutriyo dkk., 2005). Kekurangan dari penggunaan matriks kitosan saja adalah kekuatan mekanik kitosan yang digunakan sebagai membran penyalut sangat rendah sehingga membran bersifat rapuh. Modifikasi kitosan secara fisika dan kimia diperlukan untuk memperbaiki sifat mekaniknya. Salah satunya adalah dengan penambahan pektin. Pektin merupakan family kompleks polisakarida yang mengandung α-D-galaktosiluronat (GalpA) dengan pKa 3,55. Tiga bentuk pektin polisakarida yaitu homo-galakturonan, ramnogalakturonan-I, dan galakturonans tersubtistusi telah berhasil diisolasi dari dinding sel dan telah dikarakterisasi. Homogalakturonan adalah rantai linear dari asam GalpA ddengan beberapa gugus karboksil mengalami metil esterifikasi (Sriamornsak, 1999). Pektin merupakan salah satu polisakarida yang dapat memperbaiki sifat mekanik kitosan., Sintesis membran polielektrolit (PEC) pektin-kitosan telah berhasil dilakukan. Dasar 3
pembentukan membrane PEC adalah interaksi ionik antara muatan positif dan muatan negatif dari molekul yang diinteraksikan. Hasilnya uji tarik membran pektinkitosan empat kali lebih besar daripada membran kitosan murni (Chen dkk., 2010). 2.3 Slow Release Agent Slow Release Agent merupakan teknologi yang memanfaatkan keberadaan matriks atau senyawa tertentu yang dapat mengakibatkan pelepasan lambat. Pada dunia farmasi, dikenal istilah sediaan lepas lambat. Formulasi sediaan lepas lambat diharapkan dapat menghasilkan konsentrasi obat dalam darah yang lebih seragam, kadar puncak yang tidak fluktuatif. Salah satu sistem dalam formulasi sedia lepas lambat adalah sistem monolitik atau matrik yang diklarifikasikan menjadi dua tiep, yaitu matrik koloid hidrofilik dan matrik lipid atau polimer tidak larut. Polimer hidrofilik secara luas digunakan dalam formulasi bentuk sediaan lepas lambat. Kitosan merupakan salah satu polimer sintetik turunan selulosa yang telah digunakan dalam banyak penelitian (Haitami, 2010).
5
BAB III ANALISIS DAN SINTESIS
3.1 Metode Metode penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan dengan studi pustaka mengenai masalah kesehatan yang masih melanda Indonesia, mengkaji beberapa metode terkait dengan sistem pelepasan obat, serta beberapa bahan yang dapat dimanfaatkan untuk media slow release agent. Kajian dilakukan pada penelitian yang telah dilakukan penulis saat pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiwa berkaitan dengan membran kitosan-pektin, ulasan dari beberapa paper mengenai sediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan penggunaan kitosan-pektin dalam sediaan lain (sediaan kurkumin). Hasil kajian diproyeksikan dengan masalah penanganan TBC, sehingga menghasilkan gagasan terkait sistem obat TBC. 3.2 Pembuatan Pirazinamid dalam Membran Kitosan-Pektin Membran kitosan-pektin dapat dibuat dari bahan dasar kitosan dan pectin dengan komposisi 0,5% (b/v) dengan pelarut akuades. Pada proses ini perlu ditambahkan asam asetat 1% untuk mereaksikan kedua reaktan. Kitosan yang dilarutkan dalam asam akan menyebabkan gugus –NH2 pada kitosan terprotonasi menjadi –NH3+, sehingga dapat bereaksi dengan gugus –COOH dari pectin dan membentuk interaksi ionik. Interaksi ionic yang terjadi antara polikation dan polianion dari kitosan dan pectin merupakan dasar pembentukan PEC (Chen dkk., 2010). Komposisi 0,5% dipilih karena kelarutan kedua reaktan akan baik pada kondisi ini, sehingga pembuatan membrane dapat menghasilkan membran yang homogen dengan tekstur yang cukup baik. Konsentrasi di bawah 0,5% menghasilkan membrane dengan tekstur yang mudah hancur, sedangkan pada konsentrasi diatas 0,5% menghasilkan membran yang tidak cukup homogeny (Tuny, 2013). Pirazinamid dapat ditambahkan dalam larutan yang telah homogen dengan perbandingan 1:2 (pirazinamid:kitosan-pektin). Sesuai dengan kajian pada enkapsulasi pirazinamid dalam kitosan-alginat, penambahan dapat dilakukan pada komposisi 1:2. Analogi ini didasarkan pada kesamaan alginate dengan pectin, 5
yang memiliki gugus aktif yang sama dalam hal interaksinya dengan kitosan (Nofitasari, 2015). Penambahan asam laurat dapat dilakukan untuk meningkatkan kelarutan dan kestabilan pirazinamid dalam larutan, atau sebagai emulsifier. Emulsifier bertujuan membentuk misel yang dapat meningkatkan kelarutan dan kestabilan suatu zat dalam larutan. Studi sebelumnya mengemukakan bahwa asam laurat memiliki HLB tinggi, seperti emulsifier span-8 atau tween-80. Penggunaan ketiga senyawa ini memiliki fungsi yang sama. Tween-80 telah digunakan dalam penyalutan pirazinamid dengan kitosan-alginat (Nofitasari, 2015). Sehingga, fungsi asam laurat diharapkan dapat menggantikan fungsi tween-80. Karakterisasi pembentukan membrane kitosan-pektin dapat diketahui dengan analisis FTIR. Pada penelitian yang telah dilakukan penulis, indicator terbentuknya interaksi pada PEC adalah analisis FTIR yang menunjukkan bilangan gelombang kisaran 1600 cm-1.
Gambar 1. Analisis FTIR pada PEC (Ariyanti, dkk., 2015) Pada hasil analisis ini, indicator keberhasilan terbentuknya PEC kitosanpektin adalah adanya bilangan gelombang 1627,92 cm-1. Namun, apabila terdapat penambahan pirazinamid, tentu akan berbeda kenampakan FTIR nya. Walaupun
tidak akan menggeser keberadaan bilangan gelombang tersebut, karena tetap terjadi interaksi kitosan-pektin. 3.3 Disolusi Pirazinamid Pada pengkajian yang telah dilakukan sebelumnya, media kitosan-alginat yang menyalut pirazinamid pada perbandingan 1:2, menyatakan uji disolusi OAT dilakukan secara in vitro pada larutan fisiologis lambung (pH 1,2) dan usus (pH 7,4) selama 45 menit untuk mengetahui profil pelepasan OAT. Jumlah pirazinamid terdisolusi pada pH 1,2 sebesar 34,72% dan pada pH 7,4 sebesar 78,04%. Pola pelepasan OAT pada pH 1,2 mengikuti persamaan KorsmeyerPeppas dengan mekanisme pelepasan secara erosi dan pada pH 7,4 mengikuti persamaan orde satu dengan mekanisme pelepasan difusi. Pengujian disolusi dapat dilakukan dengan Spektrofotometer UV-Vis. Larutan sampel dengan kondisi pH tertentu dapat diberi sediaan pirazinamid dalam membrane kitosan-pektin. Uji disolusi dilakukan dengan pengukuran kadar pirazinamid dalam larutan pada interval waktu tertentu, sehingga dapat diketahui jumlah presentasi pirazinamid yang terdisolusi pada sistem larutan (pengkondisian sistem larutan dilakukan menyerupai kondisi lambung dan usus). Larutan sampel uji disolusi diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang maksimum sehingga diperoleh absorbansi sampel. Hasil absorbansi yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam persamaan regresi linier untuk memperoleh konsentrasi dan massa pirazinamid yang terlarut. Persamaan regresi linier diperoleh dari kurva standar pirazinamid, yang merupakan hasil pengukuran larutan pirazinamid dalam konsentrasi 2, 5, 8, 10, dan 15 ppm (Nofitasari, 2015). Pengukuran dapat dilakukan pada panjang gelombang maksimum pirazinamid, yakni 268 nm.
Gambar 2. Kurva Standar pirazinamid (Nofitasari, 2015) Penulis berhipotesis bahwa penggantian kitosan-alginat dengan kitosanpektin, akan menghasilkan disolusi yang tidak jauh berbeda, karena sifat interaksi antara keduanya memiliki kesamaan, yakni kekuatan interaksi antara gugus -NH3+ dan gugus –COOH.
3.4 Kebaharuan Gagasan Penelitian yang telah ada adalah penyalutan pirazinamid menggunakan kitosan-alginat dengan penambahan emulsifier tween-80 (Nofitasari, 2015). Namun, juga telah dilakukan pengkajian terhadap penyalutan kurkumin dalam media membrane kitosan-pektin dengan penambahan emulsifier asam laurat (Herdianti, 2014). Sifat yang dimiliki oleh interaksi kitosan-pektin hampir sama dengan interaksi kitosan-alginat, karena keduanya berinteraksi atas dasar polikation dan polianion. Emulsifier yang diusulkan pada gagasan ini adalah asam laurat, yang merupakan bahan organic dan memiliki HLB tinggi, tidak jauh berbeda dengan keberadaan tween-80 yang digunakan dalam penyalutan pirazinamid pada penelitian sebelumnya. Penggantian bahan alginate dengan pektin, diharapkan dapat mempermudah perolehan bahan baku untuk penyalutan pirazinamid, karena pektin merupakan polisakarida penguat tekstur dalam sel
tanaman yang terdapat diantara selulosa dan hemiselulosa. Sehingga pektin dapat diisolasi dari berbagai jenis tanaman, yang tentu akan meningkatkan potensi pemanfaatan SDA di Indonesia. 3.5 Alur dan Analisis Gagasan Penyalutan dengan membran PEC kitosan-pektin dapat memberikan efek viskositas yang lebih tinggi daripada sediaan serbuk lepas saat pirazinamid berada dalam sistem tubuh. Sehingga, sediaan dengan memanfaatkan slow release agent dapat terjadi. Hal ini akan menyebabkan konsentrasi pirazinamid dalam tubuh lebih konstan. Selain itu, asam laurat dengan HLB tinggi mampu mendukung kestabilan pirazinamid dalam larutan. Laju difusi pirazinamid akan lebih lambat yang menyebabkan waktu paruhnya lebih lama. OAT dapat dikonsumsi dengan frekuensi yang lebih panjang intervalnya. Kondisi ini diharapkan dapat mengurangi tingkat risiko drug resitance pada kasus penderita TBC. Namun tentunya masih diperlukan kajian lebih lanjut tentang obat-obat TBC lainnya seperti isoniazid dan riphampisin untuk membawa kemajuan bagi teknologi sediaan OAT. Sehingga penanganan kasus TBC di Indonesia dapat ditingkatkan dengan gagasan teknologi sediaan obat ini. Upaya ini tetap perlu diikuti dengan penyuluhan yang bersifat preventif TBC ataupun pendampingan kuratif TBC. Edukasi masyarakat terhadap bahaya penyakit TBC serta proses penanganan TBC tetap harus dilakukan, agar kasus TBC yang ada di masyarakat dapat ditanggulangi sebelum mencapai kondisi yang parah. Peningkatan kualitas penanganan
kasus
TBC
diharapkan
mampu
memperbaiki
produktivitas
masyarakat Indonesia yang tentunya akan menggiring bangsa ini menuju kesejahteraan.
Tidak
dipungkiri,
menimbulkan
efek
yang
bahwa
signifikan
kesejahteraan pada
masyarakat
kemandirian
akan
Indonesia.
10
BAB IV SIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Simpulan Pelepasan pirazinamid dapat diperlambat dengan adanya viskositas yang lebih besar pada membran kitosan-pektin, sehingga memperpanjang waktu paruh OAT untuk peningkatan efektivitas konsumsi OAT dan berimplikasi pada pencegahan TBC Drug Resistance. 4.2 Rekomendasi Pemerintah dapat mendukung riset mengenai penerapan obat sediaan lepas lambat (pemanfaatan slow release agent) untuk menangani beberapa kasus penyakit yang memerlukan frekuensi konsumsi obat yang tinggi ataupun obat yang harus dikonsumsi habis hingga selesai walaupun keluhan penyakit sudah mereda. Sehingga kasus drug resistance dapat diminimalisir dan penanganan terhadap penyakit dapat dilakukan dalam tempo yang lebih singkat, khususnya penanganan TBC, karena kasus drug resistance membutuhkan penanganan ekstra yang tentunya semakin menguras upaya dari pihak pelayan kesehatan.
10
11
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, D., Astuti, F., Radean, H., Ilham, M., Hanna, M.Y., Adsorbsi Metilen Biru Home Industry Batik Laweyan Dengan Membran Kompleks Polielektrolit Kitosan-Pektin, Program Kreativitas Mahasiswa DIKTI, 2015. Chen, P.H., Kuo, T.Y., Kuo, J.Y., Tseng, Y.P., Wang, D.M., Lai, J.Y., and Hsieh, H.J., 2010, Novel Chitosan-Pectin Composite Membranes with Enhanced Strength, Hydrophilicity and Controllable Disintegration, Carbohydr. Polym., 82, 1236-1242. Haitami, L.M., 2010, Optimasi Tablet Sustained Release Teofilin dengan Kombinasi Matrik Etilselulosa 20 cP dan Metilselulosa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Herdianti, N., 2014, Studi Pelepasan Kurkumin Menggunakan Membran KitosanPektin dengan Penambahan Asam Laurat sebagai Emulsifier, Skripsi, Departemen Kimia FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kartika, U., 2014, Indonesia Peringkat 4 Pasien TB Terbanyak di Dunia, http://health.kompas.com/read/2014/03/03/1415171/Indonesia.Peringkat.4.P asien.TB.Terbanyak.di.Dunia, diakses pada tanggal 9 November 2015. Nofitasari, A. F. dan Cahyaningrum, S.E., 2015, Uji Disolusi Pirazinamid Terenkapsulasi Pada Alginat-Kitosan-Tween 80, UNESA Journal of Chemistry Vol.4 No.3. Sriamornsak, P., 1999, Effect of calcium concentration, hardening agent and drying condition on release characteristic of oral proteins from calcium pectinate gel beads, J. Pharma Sci., 82, 221-227. Sutriyo, Joshita, D., dan Indah, R., 2005, Perbandingan Pelepasan Propranolol Hidroklorida dari Matriks Kitosan, Etil Selulosa (EC) dan Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC), Majalah Ilmu Kefarmasian, 2 (3), 145-153. Tuny, M.T., 2013, Adsorpsi Desorpsi Metilen Biru Pada Membran Kompleks Polielektrolit (PEC) Kitosan-Pektin, Tesis, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wibowo, S., Velazquez. G., Savant, V., Torres, A.J., 2006, Effect of chitosan type on protein and water treated with chitosan-alginate complexes, Biores Technol., 98, 45-539.
11