Pelembagaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan): Studi Kasus Kandidasi Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Malang Tahun 2013 Stefany Debora Abstrak Penelitian ini mengkaji pelembagaan PDI Perjuangan dalam proses kandidasi Pilkada Kota Malang 2013. Pada Pilkada Kota Malang 2013 muncul konflik yang melibatkan elit di internal partai. Kasus yang dijadikan fokus kajian adalah proses kandidasi dalam Pilkada Kota Malang 2013. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana pelembagaan partai PDI Perjuangan mengatur proses kandidasi, serta bagaimana penyelesaian konflik yang ditawarkan oleh mekanisme partai dan upaya konsolidasi internal partai pasca konflik. Teori pelembagaan partai politik oleh Vicky Randall mengukur kualitas partai politik dengan dimensi kesisteman, identitas nilai, otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan, dan pengetahuan atau citra publik. Serta teori konflik Duverger menjelaskan bahwa konflik terjadi akibat sebab individual. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan analisis data deskriptif. Informan penelitian ini dipilih menggunakan teknik purposive sesuai kriteria yang ditetapkan peneliti. Penelitian ini menghasilkan jawaban bahwa PDI Perjuangan dalam proses kandidasi mengacu pada mekanisme yang disepakati bersama yaitu AD/ART partai serta aturan yang ditetapkan oleh pusat. Konflik yang terjadi muncul akibat ketidakpuasan salah satu pihak atas hasil rekomendasi dari pusat. Sedangkan upaya konsolidasinya memperhatikan partai pada akar rumput, partai pada level pusat, dan partai pada level pemerintahan. Kata Kunci: Partai Politik, PDI Perjuangan, Pemilihan Kepala Daerah, Pelembagaan Partai Politik, Konflik Internal
Pendahuluan Partai telah menjadi sebuah fenomena umum dalam kehidupan politik, salah satu fungsi partai adalah fungsi rekrutmen politik. Dimana terjadi sebuah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. PDI Perjuangan juga merupakan sebuah partai politik parlemen yang tidak pernah absen untuk turut aktif dan berpartisipasi dalam setiap pemilihan umum presiden maupun di tingkat pemilihan gubernur, dan kepala daerah. Studi ini membahas mengenai pelembagaan politik partai PDI Perjuangan pada masa pemilihan walikota dan wakil walikota Malang pada tahun 2013. Pada pemiihan walikota dan wakil walikota Malang 2013, PDI Perjuangan kembali mencalonkan kadernya untuk menjadi calon walikota Malang. Pada masa pemilihan walikota dan wakil walikota Malang tahun 2013, wacana yang muncul dari partai yang bersimbolkan kepala banteng ini sangat menarik untuk
dibahas dan kemudian untuk diteliti lebih dalam. Sebab PDI Perjuangan merupakan salah satu partai yang besar dan memiliki basis masa yang cukup kuat di Kota Malang sendiri. Hal ini terbukti dengan menangnya calon walikota Malang yang berasal dari PDI Perjuangan dalam pemilihan walikota Malang selama dua periode berturut-turut. Wacana menarik tersebut adalah adanya fenomena munculnya dua kader PDI Perjuangan yang akan bersaing untuk memperoleh rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, untuk mewakili PDI Perjuangan dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Malang tahun 2013. Konflik partai politik pada masa pemilu ataupun pemilukada memang pada umumnya merupakan hal yang biasa karena biasa terjadi. Namun yang menjadikan konflik ini lebih menarik lagi adalah adanya persaingan yang dialami oleh dua srikandi PDI Perjuangan yang ternyata juga merupakan istri dari para elit partai PDI Perjuangan ini sendiri, yaitu Sri Rahayu, seorang anggota DPR RI yang juga mantan Ketua DPRD Kota Malang, dan istri dari Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, Sirmadji. Sementara calon walikota lainnya adalah Heri Puji Utami, yang merupakan Bendahara DPC PDI Perjuangan kota Malang, sekaligus istri dari Peni Suparto yang merupakan Ketua DPC PDI Perjuangan Malang saat itu sekaligus walikota Malang selama dua periode hingga sebelum pemilihan walikota dan wakil walikota Malang pada tahun 2013. Dua srikandi PDI Perjuangan inilah yang bersaing ketat untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP PDI Perjuangan. PDI Perjuangan dalam proses pemilihan calon walikota Malang menggunakan aturan partai dalam menjalankan proses-proses pemilihan. Dalam kandidasi yang dialami oleh PDI Perjuangan menjelang pemilihan walikota Malang 2013, setelah melalui proses yang digunakan, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, yaitu Megawati Soekarno Putri akhirnya menetapkan Sri Rahayu yang mendapatkan rekomendasi untuk mewakili PDI Perjuangan maju dalam pemilihan walikota Malang 2013. Dari hasil rekomendasi yang dimunculkan dan ditetapkan oleh DPP PDI Perjuangan ternyata memunculkan ketidakpuasan dari pihak lain, dalam hal ini adalah pihak Peni Suparto yang mencalonkan istrinya, Heri Puji Utami. Ketidakpuasan inilah yang akhirnya berujung pada konflik yang terjadi dalam tubuh internal PDI Perjuangan, khususnya di kota Malang. PDI Perjuangan Kota Malang dilihat seperti terpecah menjadi dua kubu, dimana ada kubu Sri Rahayu yang bersuami Sirmadji selaku ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur dengan kubu Heri Puji Utami yang bersuami Peni Suparto yang pada saat itu menjabat sebagai ketua DPC PDI Perjuangan Kota Malang, yang sekaligus merupakan walikota Malang selama dua periode hingga saat sebelum pemilihan walikota dan wakil walikota Malang pada tahun 2013. Dari fenomena-fenomena yang terjadi di tubuh internal PDI Perjuangan akibat kandidasi dalam rangka pemilihan walikota dan wakil walikota Malang tahun 2013, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah proses proses kandidasi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) diatur di dalam PDI Perjuangan? Kemudian mengapa muncul konflik terbuka yang artinya konflik tidak dapat diakomodasi dengan baik oleh internal partai dalam proses kandidasi dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Malang tahun 2013? Serta bagaimana upaya PDI Perjuangan untuk mengkonsolidasikan kembali internalnya pasca konflik yang terjadi? Teori Teori Pelembagaan Partai Politik Dalam menganalisis hasil temuan data yang diperoleh, penulis menggunakan teori pelembagaan partai politik oleh Vicky Randall dan Lars Svasand (2002) dan teori konflik
oleh Duverger. Dalam tulisannya Vicky Randall dan Lars Svasand mengatakan bahwa Pelembagaan politik adalah proses pemantapan partai politik baik dalam wujud perilaku yang memola maupun dalam sikap atau budaya (the process by which the party becomes established in terms of both of integrated patterns of behaviour and of attitude or culture) (Randall, 2002). Bagaimana model dan ciri khas masing-masing sebuah partai dapat dilihat dan dianalisis dari bagaimana model pelembagaan politik partai tersebut. Di dalam teori pelembagaan politik menurut Vicky Randall dan Lars Svasand, terdapat empat (4) aspek yang menentukan bagaimana sebuah partai politik dapat dilihat dan dianalisis pelembagaan politiknya, yaitu: 1) dimensi kesisteman (systemness), 2) dimensi identitas nilai (value infusion), 3) dimensi otonomi dalam pengambilan keputusan (decisional autonomy), 4) dimensi pengetahuan atau citra publik (reifacation) (Randall dan Svasand : 2002). Dapat dilihat bahwa PDI Perjuangan dalam melaksanakan proses kandidasi mengacu pada mekanisme yang telah disepakati bersama yaitu AD/ART serta peraturan-peraturan yang mengatur persoalan pilkada yang telah disepakati dalam rapat-rapatnya. Selain mengacu pada mekanisme yang disepakati bersama (systemness), PDI Perjuangan dalam menentukan hasil dari proses kandidasi juga melihat dimensi lain dalam teori pelembagaan partai politik yaitu dimensi pengetahuan atau citra publik (reification ) (Randall dan Svasand, 2002). Apa yang diimajinasikan publik dalam hal ini masyarakat Kota Malang tentang seperti apakah sosok pemimpin yang diharapkan masyarakat Kota Malang di masa mendatang, menjadi penting untuk dikaji oleh PDI Perjuangan dalam proses kandidasi yang dilakukan agar nantinya PDI Perjuangan tidak melakukan kesalahan dalam menurunkan rekomendasinya pada kadernya. Teori Konflik Duverger Dalam teori konflik milik Duverger, Duverger menjelaskan bahwa konflik dapat ditimbulkan oleh sifat-sifat pribadi dan karakteristik kejiwaan yang dimiliki oleh individu. Faktor-faktor penyebab konflik oleh Duverger dibagai ke dalam 2 jenis, yaitu sebab-sebab individual yaitu bakat-bakat individual dan sebab-sebab psikologis. Teori Duverger menunjukkan bahwa konflik kelompok dapat ditimbulkan oleh bakat-bakat individual. Kecenderungan berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain dapat menyebabkan orang yang mempunyai ciri-ciri seperti selalu terlibat konflik dimanapun dia berada. Ketidakpuasan inilah yang menurut teori konflik dari Duverger yang menyebabkan terjadinya konflik di dalam internal PDI Perjuangan Jawa Timur khususnya untuk PDI Perjuangan Kota Malang. Terjadinya konflik ini ditimbulkan dari sifat-sifat pribadi atau bakat individual. Konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu ada dalam setiap lapisan masyarakat, yang berarti konflik tidak dapat dihilangkan. Namun, jika konflik dibiarkan berkembang tanpa kendali justru dapat merusak masyarakat dan negara, sehingga harus diambil tindakan nyata yang mampu menyelesaikan konflik sehingga tidak timbul dampak negatif dari konflik (Surbakti : 2010). Sebuah partai politik sudah seharusnya mampu mengelola setiap konflik yang terjadi di dalamnya. Setiap konflik yang terjadi di dalam partai sudah seharusnya hanya menjadi konsumsi partai dan diselesaikan dengan konsensus di dalam partai menurut aturan yang berlaku. Konsensus adalah substansi penyelesaian konflik. Konsensus dapat terbentuk bila berhasil mencari titik temu. Duverger menyebut hal ini sebagai kompromi. Prinsip dasar dalam konsensus adalah dibukanya kemungkinan di dalam diri setiap pihak yang
berkonflik untuk mengadakan perubahan-perubahan terhadap pendapat yang dianutnya dengan bersedia menerima bagian-bagian dari pihak lain yang menjadi lawan dalam konflik. Hal ini disebut dalam tawar-menawar atau bargaining. Ada beberapa model konsensus. Pertama adalah konsensus yang merupakan gabungan dari butir-butir pendapat dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Model ini ini disebut sebagai konsensus pendapat internal karena konsensus yang dicapai terdiri dari gabungan pendapat dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Model kedua adalah mirip dengan model pertama, bedanya terletak pada disepakatinya pendapat dari salah satu pihak yang terlibat konflik sebagai konsensus. Model ini terjadi bila pihak yang terlibat lebih dari dua. Model yang ketiga adalah konsensus yang dibentuk dari pendapat pihak lain, bukan dari pendapat yang berkonflik. Hal ini dilakukan karena sulitnya pihak-pihak yang berkonflik menerima pendapat masingmasing. Dan model keempat adalah konsensus gabungan yang merupakan gabungan dari beberapa model konsensus yang telah dibahas. Selain keempat model tersebut, cara lain untuk mencapai konsensus yang tidak didasarkan atas perubahan pendapat di kalangan yang terlibat konflik adalah dengan cara pemungutan suara (votting). Metode Penelitian Jenis penelititan yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Dalam penelitian ini diperlukan adanya subjek penelitian. Subjek penelitian ini adalah para informan. Penulis menggunakan teknik purposive dalam memilih informan. Yang menjadi kriteria dalam menentukan informan adalah informan harus merupakan pengurus PDI Perjuangan baik di tingkat pusat dan cabang Kota Malang dengan harapan informan paham akan aturan-aturan dan mekanisme partai. Selain itu informan haruslah yang terjun langsung dalam pilkada Kota Malang tahun 2013 agar peneliti mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Informan yang peneliti wawancara dalam penelitian ini adalah Bapak Suluh selaku pengurus DPP PDI Perjuangan, Bapak Priatmoko Oetomo selaku Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Malang, dan Ibu Sri Untari selaku Wakil Ketua Industri dan Perdagangan, Pengusaha Kecil-Menengah, Koperasi, Tenaga Kerja dan Pertanian DPC PDI Perjuangan Kota Malang. Penelitian dilaksanakan pada akhir bulan September hingga akhir bulan November tahun 2013. Dalam penelian ini penulis menggunakan dua macam tekhnik pengumpulan data, yaitu in depth interview (wawancara mendalam) dan penelaahan terhadap dokumen tertulis. Teknik analisis data yang dilakukan untuk kepentingan penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Di dalam jenis data ini, terdapat dua jenis data yang diperoleh dan dapat digunakan oleh peneliti, yang pertama adalah data primer serta data sekunder sebagai data sampingan untuk lebih melengkapi data primer dalam penelitian ini. Proses Kandidasi PDI Perjuangan dalam PemilihanUmum Kepala Daerah PDI Perjuangan sebagai salah satu partai tertua tentunya tidak pernah absen untuk turut berpartisipasi dalam Pemilukada di daerah-daerah di Indonesia. Sebagaimana yang dijelaskan oleh teori pelembagaan politik dalam dimensi kesisteman menjelaskan, bahwa akan selalu ada proses-proses dari pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik. Dalam dimensi kesisteman, fungsi-fungsi partai politik haruslah dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dan ditetapkan secara bersama. Dalam hal ini mekanisme tersebut telah diatur
dalam AD/ART partai secara jelas. PDI Perjuangan pun turut berpartisipasi dengan mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti pemilihan walikota dan wakil walikota Malang pada tahun 2013. PDI Perjuangan tentunya mempunyai strateginya untuk memenangkan pemilihan walikota ini, apalagi dalam dua periode kepengurusan pemerintah Kota Malang, telah dipimpin oleh walikota yang merupakan kader dari PDI Perjuangan sendiri. Ini mengartikan bahwa PDI Perjuangan memiliki nama yang cukup menarik simpati masyarakat di Kota Malang. Sebelum pada akhirnya rekomendasi jatuh kepada Sri Rahayu, ternyata pada awalnya telah muncul kesepakatan bersama di dalam kepengurusan DPC PDI Perjuangan Malang untuk mengusung Herry Puji Utami yang pada saat itu merupakan bendahara DPC PDI Perjuangan Malang. Namun kembali ke dalam AD (anggaran dasar) pasal 14 yang menyatakan bahwa setiap kader berhak mendapatkan perlakuan yang sama, meskipun seluruh elemen PDI Perjuangan Kota Malang telah bertekad mengusung satu nama, kader lain pun tetap diperbolehkan mencalonkan dirinya untuk maju dalam pilwali melalui rekomendasi PDI Perjuangan. Dalam PDI Perjuangan rekomendasi secara penuh diberikan oleh DPP. Oleh karena itu DPP tentunya perlu melakukan penilaian setelah muncul dua nama yang diusung oleh DPC Kota Malang. Dan pada akhirnya proses kandidasi yang terjadi di dalam PDI Perjuangan pada pilwali Malang 2013 menjadi terkesan seperti kompetisi internal partai yang merebak keluar. Kedua calon yaitu Sri Rahayu dan Herry Puji Utami melakukan kompetisi dengan mengadakan sosialisasi kepada masyarakat Kota Malang. Sosialisasi ini bertujuan untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan visi misinya. Hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan simpati publik sebagai bahan pertimbangan penilaian yang akan dilakukan oleh pusat. Sebagaimana dalam salah satu dimensi dalam teori pelembagaan politik yaitu dimensi pengetahuan atau citra publik (reification) (Randall : 2002), apa yang diimajinasikan publik dalam hal ini masyarakat Kota Malang tentang seperti apakah sosok pemimpin yang diharapkan masyarakat Kota Malang di masa mendatang, menjadi penting untuk dikaji oleh PDI Perjuangan dalam proses kandidasi yang dilakukan agar nantinya PDI Perjuangan tidak melakukan kesalahan dalam menurunkan rekomendasinya pada kadernya Penilaian yang dilakukan oleh pusat tidak hanya melalui respon masyarakat melalui sosialisasi yang dilakukan oleh kedua calon tersebut. Namun kedua calon tersebut juga harus melalui tahapan fit and proper test yang dilakukan oleh DPP. Hal ini bertujuan untuk menguji kedua calon, siapakah yang memiliki kualitas lebih unggul. Selain sosialisasi dan fit and proper test, DPC Kota Malang juga mengadakan Rakercabus kembali. Di dalam rapat tersebut, pada akhirnya dilakukan votting kepada seluruh PAC di Kota Malang untuk menentukan nama siapa yang akan diusung. Dan dari hasil votting tersebut dihasilkan nama Sri Rahayu yang akan diusulkan DPC PDI Perjuangan ke pusat yaitu DPP PDI Perjuangan. Pada tingkatan DPP, hasil rakercabus akan digabungkan dengan hasil penilaian yang dilakukan oleh DPP PDI Perjuangan. Hingga pada akhirnya DPP PDI Perjuangan menjatuhkan rekomendasinya kepada Sri Rahayu. Di dalam derajat kesisteman yang menjadi tolak ukur kesisteman suatu partai sangatlah bervariasi menurut asal-usul partai politik, siapakah yang lebih dominan di dalam internal partai: pemimpin partai yang disegani atau pelaksanaan kedaulatan anggota menurut prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh organisasi sebagai suatu kesatuan, siapakah yang menentukan dalam pembuatan keputusan: faksi-faksi dalam
partai atau partai secara keseluruhan, dan bagaimana partai mampu memelihara hubungan dengan anggota dan simpatisan: klientelisme (pertukaran dukungan dengan pemberian materi) atau menurut konstitusi partai yaitu AD/ART. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka dapat dikatakan bahwa untuk menurunkan sebuah keputusan mengenai siapa yang mendapatkan rekomendasi ini memang sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh organisasi sebagai suatu kesatuan, yaitu dengan beberapa agenda penilaian yang harus dijalankan oleh kedua calon tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi di dalam internal partai juga menentukan keputusan yang akan diambil. Di dalam PDI Perjuangan secara umum terlihat jelas bahwa sosok Ketua Umum yang menentukan segala keputusan yang terjadi di dalam PDI Perjuangan. Dengan turunnya rekomendasi yang diberikan oleh pusat menunjukkan bahwa dalam PDI Perjuangan, dimensi otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan adalah terpusat atau berbentuk sentralisasi. Dimana di setiap keputusan yang diambil oleh PDI Perjuangan baik dalam keputusan penurunan rekomendasi kandidasi ataupun keputusan lain selalu terpacu dan mematuhi keputusan dari pusat. Konflik Internal PDI Perjuangan dalam Proses Kandidasi Pilwali Malang 2013 Dari hasil proses kandidasi yang menghasilkan nama Sri Rahayu, ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari pihak Peni Suparto yang istrinya yaitu Herry Puji Utami gagal mendapatkan rekomendasi dari DPP PDI Perjuangan. Ketidakpuasan inilah yang menyebabkan akhirnya terjadi konflik yang terjadi di internal PDI Perjuangan di Kota Malang. Bentuk protes dari Peni Suparto pada saat itu atas hasil dari rekomendasi yang jatuh kepada Sri Rahayu adalah dengan tidak bersedia mendaftarkan dan menandatangani rekomendasi yang seharusnya ditandangani oleh Peni Suparto selaku Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Malang dan Wijianto selaku sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Malang. Selain itu, pelanggaran partai yang juga dilakukan oleh Peni Suparto sebagai bentuk protesnya adalah dengan menggunakan atribut partai lain. Hal ini jelas melanggar disiplin partai yang telah tercantum dalam AD/ART. Akibat dari protes yang dilakukan oleh Peni Suparto adalah pemecatan yang diberikan oleh DPP PDI Perjuangan dari jabatannya sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan. Menurut Ramlan Surbakti, konflik politik dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu konflik positif dan konflik negatif (Surbakti : 2010). Konflik positif ialah konflik yang mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud adalah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan forum-forum terbuka lainnya. Sebaliknya, konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme, terorisme, dan revolusi. Dalam konflik yang terjadi di internal PDI Perjuangan ini, tipe konflik yang terjadi adalah konflik negatif, dimana akibat dari konflik ini adalah eksistensi PDI Perjuangan di Kota Malang yang mengalami ancaman. Dipecatnya Peni Suparto dari jabatan Ketua DPC PDI Perjuangan yang akhirnya berujung pada keluarnya penguruspengurus yang lain, sehingga kepengurusan yang ada di DPC Kota Malang saat ini hanya tersisa segelintir. Selain itu, di dalam kantor DPC PDI Perjuangan Kota Malang pun segala
arsip atau dokumen yang dimiliki oleh DPC pun telah hilang akibat dibawa atau dihilangkan oleh pengurus lama yang akhirnya keluar. Penyebab dari terjadinya konflik yang terjadi di internal PDI Perjuangan adalah ketidakpuasan salah satu pihak. Dalam teori konflik milik Duverger, Duverger menjelaskan bahwa konflik dapat ditimbulkan oleh sifat-sifat pribadi dan karakteristik kejiwaan yang dimiliki oleh individu. Faktor-faktor penyebab konflik oleh Duverger dibagai ke dalam 2 jenis, yaitu sebab-sebab individual yaitu bakat-bakat individual dan sebab-sebab psikologis. Teori Duverger menunjukkan bahwa konflik kelompok dapat ditimbulkan oleh bakat-bakat individual. Kecenderungan berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain dapat menyebabkan orang yang mempunyai ciri-ciri seperti selalu terlibat konflik dimanapun dia berada. Ketidakpuasan inilah yang menurut teori konflik dari Duverger yang menyebabkan terjadinya konflik di dalam internal PDI Perjuangan Jawa Timur khususnya untuk PDI Perjuangan Kota Malang. Terjadinya konflik ini ditimbulkan dari sifat-sifat pribadi atau bakat individual. Konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu ada dalam setiap lapisan masyarakat, yang berarti konflik tidak dapat dihilangkan. Namun, jika konflik dibiarkan berkembang tanpa kendali justru dapat merusak masyarakat dan negara, sehingga harus diambil tindakan nyata yang mampu menyelesaikan konflik sehingga tidak timbul dampak negatif dari konflik. Sebuah partai politik sudah seharusnya mampu mengelola setiap konflik yang terjadi di dalamnya. Setiap konflik yang terjadi di dalam partai sudah seharusnya hanya menjadi konsumsi partai dan diselesaikan di dalam partai menurut aturan yang berlaku. Namun dalam konflik yang terjadi di internal PDI Perjuangan, pada kenyataannya konflik yang muncul menjadi konflik terbuka. Yang artinya konflik yang seharusnya dikelola dan diselesaikan di dalam internal partai akhirnya mencuat ke luar. Mencuatnya konflik internal PDI Perjuangan ke publik adalah karena konflik ini terjadi akibat kompetisi para elite PDI Perjuangan. Konflik yang dialami oleh internal PDI Perjuangan ini melibatkan tingkat DPC Kota Malang dan tingkat DPD Jawa Timur. Dari fakta-fakta yang ditemukan di lapangan, baik dari hasil wawancara narasumber terpilih dan bersangkutam, serta dari data-data yang didapat dari media cetak maupun online dapat dikatakan bahwa konflik ini merupakan konflik yang terjadi antara 2 kubu, yaitu kubu Sri Rahayu dan kubu Herry Puji Utami. Namun demikian sebenarnya sebelum konflik internal yang terjadi ini semakin mencuat keluar, PDI Perjuangan telah melakukan upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, yaitu melalui konsensus. Konsensus adalah substansi penyelesaian konflik. Konsensus dapat terbentuk bila berhasil mencari titik temu. Duverger menyebut hal ini sebagai kompromi. Prinsip dasar dalam konsensus adalah dibukanya kemungkinan di dalam diri setiap pihak yang berkonflik untuk mengadakan perubahan-perubahan terhadap pendapat yang dianutnya dengan bersedia menerima bagian-bagian dari pihak lain yang menjadi lawan dalam konflik. Hal ini disebut dalam tawar-menawar atau bargaining. Ada beberapa model konsensus. Pertama adalah konsensus yang merupakan gabungan dari butir-butir pendapat dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Model ini ini disebut sebagai konsensus pendapat internal karena konsensus yang dicapai terdiri dari gabungan pendapat dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Model kedua adalah mirip dengan model pertama, bedanya terletak pada disepakatinya pendapat dari salah satu pihak yang terlibat konflik sebagai konsensus. Model ini terjadi bila pihak yang terlibat lebih dari dua. Model yang
ketiga adalah konsensus yang dibentuk dari pendapat pihak lain, bukan dari pendapat yang berkonflik. Hal ini dilakukan karena sulitnya pihak-pihak yang berkonflik menerima pendapat masing-masing. Dan model keempat adalah konsensus gabungan yang merupakan gabungan dari beberapa model konsensus yang telah dibahas. Selain keempat model tersebut, cara lain untuk mencapai konsensus yang tidak didasarkan atas perubahan pendapat di kalangan yang terlibat konflik adalah dengan cara pemungutan suara (votting). Dari konflik permasalahan kandidasi ini sebenarnya telah ditempuh upaya konsensus dengan cara pemungutan suara atau votting. Votting dilakukan untuk memberikan suara kepada kandidat yang akan maju dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Malang 2013. Hal ini dikarenakan meskipun keputusan bersifat terpusat namun hasil pemungutan suara yang dilakukan PAC-PAC di Kota Malang dianggap sebagai salah satu pertimbangan sebelum keputusan dijatuhkan. Upaya Konsolidasi PDI Perjuangan Pasca Konflik InternalAkibat Proses Kandidasi dalam Pilwali Malang tahun 2013 Setelah mengalami kekalahan pada pilwali Malang tahun 2013 tentu menjadi evaluasi yang serius bagi internal PDI Perjuangan. Namun demikian, pembenahan internal partai menjadi fokus yang utama bagi PDI Perjuangan di Jawa Timur khususnya di tataran DPC PDI Perjuangan Kota Malang. Sebab dari fakta yang ditemukan oleh peneliti di lapangan, selain kekalahan dalam pilwali Kota Malang tahun 2013, dampak terbesar yang dialami oleh PDI Perjuangan adalah pecahnya internal mereka, khususnya di tingkat DPC Kota Malang. Langkah DPP PDI Perjuangan yaitu Megawati Soekarno Putri untuk melakukan pemecatan terhadap Peni Suparto dari jabatannya sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Malang dianggap sebagai langkah yang tepat untuk menyelamatkan partai. PDI Perjuangan yang mempunyai tugas untuk menjadikan kadernya menduduki posisi jabatan politik dan publik sesuai yang tertera pada AD/ART partai, merasa perlu menyelamatkan partai dengan memecat Peni Suparto dan menggantinya dengan Eddy Rumpoko yang juga memiliki jabatan sebagai walikota Batu saat ini, agar PDI Perjuangan dapat mendaftarkan kadernya dalam pilwali Kota Malang tahun 2013 ke KPUD Kota Malang. Sebab seperti pembahasan sebelumnya, Peni Suparto disebutkan tidak mau menandatangani surat rekomendasi kepada DPP PDI Perjuangan. Namun ternyata pemecatan yang dilakukan kepada Peni Suparto tidak cukup berdampak baik bagi kepengurusan PDI Perjuangan di tingkat DPC Kota Malang. Bargaining yang masih dimiliki oleh Peni Suparto di DPC justru membuat sebagian besar dari pengurus yang ada memilih untuk mundur dari kepengurusan. Meskipun sebagian juga ada yang terpaksa dipecat karena secara terang-terangan bertindak melenceng dari aturan partai sebagai bentuk dari protesnya. Konflik yang disebabkan oleh proses kandidasi tersebut ternyata tidak hanya berdampak pada kekalahan pada pilwali dan perpecahan di internal kepengurusan DPC PDI Perjuangan. Konflik akibat ketidakpuasan juga berdampak pada melemahnya suara PDI Perjuangan di Kota Malang pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur tahun 2013. Pada awalnya moment Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur tahun 2013 diharapkan mampu menyolidkan kembali internal PDI Perjuangan di Jawa Timur khususnya di lingkup Malang kota. Namun pada kenyataannya moment ini belum mampu
mencapai target mengkonsolidasikan kembali internal partai. Terbukti dengan struktur kepengurusan DPC PDI Perjuangan yang belum juga tersusun kembali. Sehingga susunan pengurus DPC PDI Perjuangan Kota Malang hanya terisi beberapa posisi yang masih ada. Dalam upaya konsolidasi kembali internal sebuah partai yang mengalami konflik. Katz dan Mair menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan menjadi fokus yaitu partai pada akar rumput, partai pada level pusat, dan partai pada level pemerintahan (Katz dan Mair). Partai pada akar rumput pada dasarnya merupakan hubungan partai politik dengan masyarakat sangat sederhana, partai politik membutuhkan suara pemilih dalam pemilihan umum, artinya partai politik harus lebih responsif serta mempunyai kemampuan mendengar dan menjawab berbagai persoalan yang ada di masyarakat sebelum partai politik tersebut mengeluarkan program-program dan kebijakan partai. Ruang ini merupakan ruang yang penting bagi tumbuh kembangnya suatu partai politik karena pada akar rumput inilah seharusnya pengkaderan anggota partai dimulai sehingga partai tidak kewalahan dalam memilih kader untuk saling berkontestasi pada pemilihan umum. Dalam hal ini PDI Perjuangan telah melakukan upaya pembenahan internal partai dengan memanfaatkan moment Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur tahun 2013 sebagai tolak ukur apakah suara PDI Perjuangan di kota Malang masih kuat setelah konflik pada saat pilwali kemarin. Namun pada kenyataannya kekalahan yang dialami oleh PDI Perjuangan pada moment pemilihan gubernur dapat diidentifikasikan salah satu penyebabnya adalah konflik yang terjadi. Dari kekalahan ini tentunya tidak membuat PDI Perjuangan di Kota Malang berdiam diri, konsolidasi di antara kader kembali dilakukan secara intensif. Konsolidasi dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan kembali luka yang terjadi di internal partai. Selain itu konsolidasi ini diharapkan akan membawa kemenangan PDI Perjuangan khususnya kota Malang dalam pemilihan legislatif tahun 2014. Seperti yang dijelaskan dalam dimensi pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik, bahwa apa yang dibayangkan dan dipahami oleh masyarakat tentang sebuah partai merupakan hal yang penting. Kemudian partai politik pada level pusat harus berkoordinasi pada partai pada level akar rumput, dalam hal ini ditataran DPC PDI Perjuangan Kota Malang, dalam membuat rencana kerja ataupun kebijakan karena partai pusat merupakan payung pendukung aktifitas dan koordinator berbagai kepentingan. Dengan DPP PDI Perjuangan memperhatikan DPC PDI Perjuangan Kota Malang dalam menentukan suatu keputusan, maka DPC PDI Perjuangan Kota Malang akan merasa memiliki tanggung jawab untuk segera membenahi segala urusannya terutama dalam menyelesaikan masalah kepengurusan di tingkat DPC yang sampai saat ini masih kosong. Dan yang terakhir partai politik pada level pemerintahan menjadi harapan bagi DPC PDI Perjuangan Kota Malang dalam rangka pembenahan internal partai. Manuvermanuver politik yang dilakukan partai politik pada level ini dimaksudkan agar DPC PDI Perjuangan Kota Malang lebih mempunyai bargaining power terhadap pemerintah pusat guna mengedepankan kepentingan daerah. Artinya di sini para kader PDI Perjuangan yang menduduki jabatan di pemerintah diharapkan mampu memberikan motivasi kepada DPC PDI Perjuangan yang sedang mengupayakan konsolidasi guna pembenahan di internal partai. Langkah nyata yang dilakukan PDI Perjuangan adalah dengan menunjuk Eddy
Rumpoko yang juga sedang menjabat sebagai walikota Batu untuk menggantikan posisi dari Peni Suparto dalam struktur kepengurusan DPC PDI Perjuangan. Kesimpulan Kualitas sebuah partai politik ditentukan oleh kualitas dari pelembagaannya. Di dalam pelembagaan partai politik dimensi kesisteman, identitas nilai, otonomi dalam pengambilan keputusan, serta dimensi pengetahuan atau citra publik menjadi penentu dari kualitas partai politik. Dalam dimensi kesisteman PDI Perjuangan dalam menentukan calonnya yang akan maju dalam Pilwali Kota Malang tahun 2013, mengacu pada AD/ART partai serta peraturan-peraturan yang telah ditetapkan bersama. Dalam dimensi otonomi dalam pengambilan keputusan, sifat pengambilan keputusan pada PDI Perjuangan cenderung bersifat terpusat (sentralisasi). Setiap keputusan termasuk keputusan rekomendasi kandidasi selalu berasal dari pusat. Sedangkan dalam dimensi pengetahuan atau citra publik, PDI Perjuangan mempunyai basis masa yang kuat, sehingga pandangan masyarakat terhadap para kandidat menjadi bahan pertimbangan dalam keputusan yang dijatuhkan oleh pusat. Sehingga langkah PDI Perjuangan dalam mengatur proses kandidasi menunjukkan bagaimana pelembagaan dari partai tersebut. Partai politik sebagai sebuah organisasi untuk kekuasaan di dalamnya berhimpun orang-orang yang berambisi terhadap kekuasaan. Sehingga pengelolaan konflik menjadi hal yang penting dalam suatu partai politik. Kualitas partai politik ditentukan oleh kualitas pelembagaan partai, salah satunya dalam dimensi kesisteman yaitu bagaimana partai mengelola konflik yang terjadi. Keputusan pusat terhadap hasil rekomendasi dalam proses kandidasi memunculkan ketidakpuasan oleh salah satu pihak. Duverger dalam teori konfliknya mengatakan bahwa konflik dapat terjadi diakibatkan oleh sebab-sebab individual yaitu kecenderungan untuk selalu berkompetisi dan selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain. Sehingga menurut Duverger, untuk mengelola konflik yang terjadi ini dilakukan upaya konsensus dengan cara pemungutan suara atau votting yang dilakukan di tingkat DPC Kota Malang untuk memberikan suaranya kepada kandidat yang ada. Berbagai upaya konsolidasi dilakukan oleh PDI Perjuangan untuk membenahi internal partainya. Pembenahan berfokus pada partai pada akar rumput, partai pada level pusat, dan partai pada level pemerintahan. Partai pada akar rumput berarti pembenahan hubungan partai politik kepada masyarakat sebagai lumbung suara dalam pemilihan umum. Ini berarti dalam pelembagaannya partai politik harus mampu mengembalikan citranya di hadapan publik. PDI Perjuangan telah melakukan konsolidasi dengan memanfaatkan moment Pemilihan Gubernur 2013 untuk menarik kembali suaranya. Kemudian partai pada level pusat berarti bahwa perlu adanya koordinasi antara DPC Kota Malang dengan DPP yang lebih baik. Sebab pelembagaan yang ada dalam PDI Perjuangan mengatur bahwa setiap keputusan selalu datangnya dari pusat. Sehingga koordinasi yang baik antara DPC Kota Malang dan pusat akan mengurangi konflik yang tidak mampu dikelola oleh partai. Dan yang terakhir partai pada level pemerintahan berarti bahwa kader partai yang menduduki jabatan di pemerintahan diharapkan mampu memberikan motivasi kepada DPC Kota Malang yang berkonflik.
Daftar Pustaka Erawan, I Ketut Putra, Mission Possible : Reformasi Kepartaian di Indonesia, Draft Materi Pengantar Diklat Penguatan Kapasitas Partai Politik Firmanzah. (2011). Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Anggota IKAPI DI Jakarta Rauf, Maswadi. (2001). Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Suyanto, Bagong dan Sutinah. (2006). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Surbakti, Ramlan. (2010). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization In New Democracies,” Party Politics 2002 8:5 Vol. 8 No.1 pp.5-29 via SAGE Publication, diakses September 2013