2
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kesadaran masyarakat akan kesehatan juga semakin meningkat sehingga rumah sakit sebagai lembaga yang bergerak dalam pelayanan kesehatan dituntut untuk selalu meningkatkan pelayanannya. Dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan, rumah sakit tergantung pada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana dan prasarana dalam jumlah dan mutu yang memadai. Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan dengan proporsi terbesar sebesar 40% (Depkes, 2011). Dengan proporsi yang begitu besar perawat menjalankan salah satu peran penting dalam menjalankan pelayanan kesehatan (Burke, Koyuncu & Fiksenbaum, 2011). Departemen kesehatan
mendefinisikan perawat
sebagai
seseorang
yang
memberikan bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan karena bentuk pelayanan yang diberikan meliputi pelayanan biologis, psikologis, sosial, spiritual yang komprehensif ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat. Selain itu bentuk pelayanan berupa bantuan karena adanya kelemahan secara fisik, mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemampuan untuk melaksanakan fungsi sehari-hari. Tuntutan kerja yang demikian, membuat perawat harus memiliki kompetensi yang profesional dan memadai. Dengan kata lain, perawat merupakan ujung tombak rumah sakit yang memiliki peran penting dalam menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit (Aditama, 2002). Sebagai ujung tombak dalam menjaga pelayanan kesehatan, perawat sering dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada pasien. Pekerjaan sebagai perawat merupakan pekerjaan yang penuh tekanan. Perawat sering terlibat
3
dengan keharusan berbagi tentang hal-hal yang traumatis seperti penyakit, luka dan kematian terhadap pasien maupun keluarganya (McNeely, 1995). Selain itu tuntutan kerja perawat dan perbedaan karakteristik pasien juga menciptakan tekanan tersendiri bagi para perawat, sehingga pekerjaan perawat sering dikaitkan dengan stres kerja yang berasal dari rendahnya autonomi, perasaan tidak aman dengan jumlah pasien, dan tuntutan pekerjaan yang terus-menerus membutuhkan solusi pemecahan masalah (Ulrich, Lavandero, Hart, Woods, Leggett, & Taylor, 2006)
sehingga
mampu
mengakibatkan
burnout,
depresi,
psikosomatis,
absenteism, dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan tersebut (Burke, Koyuncu & Fiksenbaum, 2011). Untuk mengatasi keadaan tersebut maka dibutuhkan engagement untuk menimbulkan emosi positif termasuk didalamnya kebahagiaan dan antusiasme, (Bakker & Demerouti, 2008) karena untuk mempertahankan kualitas layanan bagi organisasi yang terus-menerus berkembang seperti rumah sakit membutuhkan karyawan yang memiliki sikap kerja yang proaktif, inisiatif, bertanggung jawab untuk terus berkembang, berkomitmen, penuh energi dan engaged terhadap pekerjaannya (Leiter & Bakker, 2010). Sehingga dalam bekerja diharapkan perawat yang engaged tidak merasa tertekan, stres, yang dapat memicu burnout (Vinje & Mittelmark, 2007). Dengan perawat yang engaged juga akan berdampak pada efisiensi dan produktivitas dalam bekerja (Markos & Sridevi, 2010) sehingga akan meningkatkan pelayan (Attridge, 2009) yang kemudian berdampak pada kinerja rumah sakit. Begat, Ellefsen, & Saverinson (2005) mengidentifikasi bahwa, perawat yang sejahtera memiliki empat karakteristik, yaitu : tidak adanya
4
gangguan tidur, tidak adanya rasa cemas, perasaan tidak terkontrol, memiliki motivasi dan engagement yang tinggi terhadap pekerjaannya. Konsep engagement didunia kerja pertama kali diperkenalkan oleh Khan. Khan mendefinisikan engagement sebagai usaha yang digunakan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaan dengan cara menggunakan ekspresi diri, kognitif dan emosi mereka, sehingga dengan kata lain karyawan yang engaged memiliki usaha ekstra dalam bekerja. Sedangkan personal disengagement sama dengan melepaskan diri dari tugas dan tanggung jawabnya, tidak merasa terikat baik secara fisik, kognitif atau emosi selama bekerja (Khan, 1990). Saks (2006), mendefinisikan engagement sebagai konstruk yang mengunakan komponen kognitif, emosi dan perilaku yang diasosiasikan dengan tanggung jawab pekerjaannya. Engagement merupakan kosep yang berlawanan dengan burnout (Schaufeli dan Bakker 2004). Engagement merupakan perasaan positif, fulfilling, yang melibatkan pikiran yang terdiri dari vigor, dedication dan absorpsion (Schaufeli, Salanova, Roma & Bakker, 2002). Vigor merupakan level energi, dan ketahanan mental ketika bekerja, kesediaan untuk menginvestasikan usaha. Dedication merupakan keterlibatan penuh terhadap pekerjaan sehingga mereka merasa antusias, penuh inspirasi, bangga, tertantang terhadap pekerjaanya. Absorption adalah keadaan dimana bekerja penuh konsentrasi dan bahagia sehingga merasa bahwa waktu cepat berlalu (Schaufeli & Bakker, 2004 ; Schaufeli & Salanova, 2006). Dan dalam penelitian kali ini, peneliti mendefinisikan engagement sebagai work engagement yang merupakan energi
5
dan kemampuan untuk mengidentifikasi pekerjaan yang dimiliki oleh setiap karyawan (Schaufeli & Bakker, 2010). Konsep engagement tidak terlepas dari konsep sebelumnya seperti komitmen organisasi, Organization Citizenship Behavior (OCB) maupun job involvment (Markos & Sridevi, 2010). Dalam penelitian Saks (2006), komitmen organisasi berbeda dengan engagement, dimana komitmen organisasi lebih kepada sikap dan kedekatan sesorang terhadap organisasi. Sedangkan engagemant bukanlah sikap namun merupakn tingkatan perhatian yang lebih dalam menjalankan pekerjaanya. OCB melibatkan perilaku sukarela untuk membantu pekerjaan temannya maupun organisasi, sedangkan engagement lebih fokus pada kinerja formal seseorang, dan bagaimana usaha untuk melakukan sesuatu yang berbeda dalam pekerjaannya. Engagement juga berbeda dengan job involvement. Job involvement merupakan hasil dari pemikiran kognitif tentang seberapa jauh pekerjaan dapat memenuhi kebutuhannya dan berkaitan dengan proses pencitraan diri.
Sedangkan
engagement
merupakan
penilaian
individu
mengenai
keterlibatannya secara aktif dalam bekerja yang meliputi pemikiran dan antusiasme. Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui engagement perawat membuktikan
bahwa
dengan
adanya
engagement
maka
perawat
akan
menunjukkan kedekatan emosi dengan organisasi dan tingginya keterlibatan dalam bekerja (Markos & Sridevi, 2010) sehingga perawat akan bekerja dengan penuh antusias dan berdampak pada meningkatnya produktivitas dan kinerja (Laschinger, dkk, 2009). Dalam hal ini adanya engagement akan menguntungkan
6
perusahaan atau organiasi, karena perusahaan akan mendapatkan kontribusi lebih dari karyawannya dan karyawan cenderung setia dan sedikit memiliki keinginan untuk meninggalkan organiasi (Macey & Schneider, 2008). Pentingnya
bagi
perusahaan
untuk
memperhatikan
engagement
karyawannya dan mempertahankannya agar tetap stabil karena secara umum perusahaan atau organisasi akan diuntungkan dalam hal : 1) Dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas karyawan karena merasa bahagia berada diperusahaan tersebut, 2) Membantu mempertahankan karyawan terbaik, karena karyawan loyal terhadap perusahaan atau organisasi, 3) Membantu pencapaian target perusahaan (Attridge, 2009). Engagement
merupakan
proses
yang
dialami
perawat
selama
melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya, sehingga ketika bekerja perawat melibatkan fungsi-fungsi kognitif, emosi dan komponen perilaku untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki yang berdampak pada kinerja (Saks, 2006). Untuk itu pengelolaan emosi merupakan salah satu hal yang penting dalam engagement. Salah satu cara untuk mengelola emosi adalah dengan emotional labour. Grandey (2002) mendefinisikan emotional labour sebagai proses regulasi emosi dan ekspresi yang dilakukan oleh individu pada saat bekerja yang sesuai dengan aturan perusahaan. Emotional labour dikembangkan karena semakin kompetitifnya dunia jasa pelayanan. Kompetisi dalam dunia pelayanan telah mendorong organisasi untuk menentukan bagaimana dan kapan karyawan harus mengekspresikan emosinya (Duke, dkk, 2009).
7
Berdasarkan penelitian Gray (2009), perawat mengelola emosi mereka dan emosi pasien, itu menjadi proses yang sulit karena mereka seringnya tidak mampu menghindar dalam merawat pasien dengan karekteristik berbeda dan tetap harus mengontrol emosi. Beberapa penelitian secara eksplisit menjelaskan tentang ketidaknyamanan dan terkadang konflik emosi dengan pasien yang harus dihadapi. Penelitian Wharton (dalam Pugliesi, 1999) yang menemukan bahwa pekerja yang bekerja dengan menggunakan emotional labour maka karyawan tersebut akan memiliki tingkat kepuasan kerja yang cukup tinggi sehingga membuat karyawan akan merasa semakin engaged dengan pekerjaannya. Beberapa peneliti juga meneliti tentang emotional labour dan engagement dan menyebutkan bahwa emotional labour merupakan prediktor dari engagement (Liu, 2010). Emotional labour pertama kali dicetuskan oleh Hochschild pada tahun 1983, dan didefinisikan sebagai ekspresi emosi yang diharapkan organisasi oleh karyawan selama proses interaksi dengan customer (Hwa, 2009). Pekerja yang bekerja di garda depan diharapkan untuk menunjukkan emosi yang sesuai dengan yang diharapkan perusahaan seperti bahagia dan menyembunyikan emosi marah dalam pekerjaan mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan pelanggan untuk menyesuaikan dengan job requirement dan harapan organisasi (Groth, 2009). Salah satu komponen yang fundamental pada pekerjaan di bidang pelayanan merupakan kontrol emosi untuk mengelola hubungan positif dengan customer (Brotheridge & Grandey, 2002). Tujuan yang fundamental dari pelayanan karyawan terhadap customer adalah untuk membuat interaksi dengan customer
8
lebih hangat dan bersahabat selain itu mencegah kebosanan dan frustasi (Kinman, 2008). Grandey (2000) mendefinisikan emotional labour sebagai proses regulasi perasaan dan ekspresi yang dilakukan oleh individu pada saat bekerja yang sesuai dengan aturan perusahaan. Emotional labour merupakan aspek yang kritis pada beberapa pekerjaan di mana para pekerjanya berinteraksi secara langsung dengan customer, teman sekerja dan public (Diefendorf, Levy, Dahling, & Chau, 2009) Berdasarkan penelitian, emotional labour dapat meningkatkan kualitas pelayanan, loyalitas konsumen, meningkatkan keuntungan finansial, kepuasan karyawan, well being pada karyawan, kepuasan kerja maupun kelelahan secara emosional, komitmen organisasi, dan turn over (Hwa, 2009). Dimensi dalam emotional labour menurut Grandey (2000) terdiri dari dua model yaitu deep acting dan surface acting. Surface acting merupakan kebutuhan individu untuk menekan perasaan mereka yang sebenarnya untuk berkompromi dengan emosi organisasi yang dibutuhkan untuk ditampilkan (Dai & Huang, 2010). Surface acting membutuhkan upaya yang cukup besar karena menekan emosi yang sebenarnya
sesuai
dengan
aturan
perusahaan
sehingga
menimbulkan
stres(Grandey, 2000). Sedangkan deep acting adalah proses menginternalisasi emosi sesuai dengan emosi yang diharapkan perusahaan (Dai & Huang, 2010). Seseorang yang mengelola emosinya melalui deep acting mudah untuk memodifikasi perasaan internalnya menjadi lebih alamiah kepada pelanggan (Brotheridge & Grandey, 2002). Dampak deep acting bagi pasien yaitu pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan perawat.
9
Meskipun emotional labour dapat mengakibatkan burnout, rendahnya kepuasan kerja (Pugliesi, 1999) beberapa penelitian juga menemukan bahwa emotional labour dapat memberikan efek yang positif (Duke, dkk, 2009). Dengan pernyataan itu maka ada efek variabel moderating yang dapat mengurangi efek negatif dari emotional labour dan meningkatkan efek positif emotional labour. Salah satu yang dapat mengurangi efek negatif dari emotional labour adalah Persepsi dukungan organisasi. Menurut Baron dan Kenny (1986) variabel dikatakan mampu menjadi moderator ketika variabel tersebut merupakan variabel luar yang mampu mempengaruhi pengaruh antara independen variabel dan dependen variabel, variabel moderator tidak berkorelasi dengan independen (predictor), atau dengan kata lain kedudukan kedua variabel tersebut setara. Kondisi dunia medis yang terus-menerus berkembang membuat kerja perawat dituntut untuk selalu memegang kualitas mutu pelayanan dan tanggap terhadap perubahan, sehingga perawat membutuhkan dukungan atasan yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi engagement perawat, karena lemahnya dukungan atasan ternyata dapat menyebabkan burnout pada karyawan (Papalexandris & Galanaki, 2008; Schaufeli, Leiter & Maslach, 2008). Dukungan atasan merupakan salah satu faktor dari persepsi dukungan organisasi. Persepsi
dukungan
organisasi
merupakan
sebuah
usaha
untuk
meningkatkan penghargaan, kepedulian dan apresiasi terhadap kontribusi yang diberikan karyawan. Persepsi dukungan organisasi adalah bentuk kepercayaan karyawan mengenai bagaimana organisasi menilai kontribusi karyawan dan peduli terhadap karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002). Dukungan organisasi dapat
10
mengenali kontribusi yang diberikan oleh karyawannya. Sebaliknya dengan dukungan ini organisasi dapat melihat kemungkinan dan mengenali value dari karyawan dan kontribusinya terhadap organisasi di masa yang akan datang, apalagi organisasi yang memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan karyawannya akan memunculkan keterikatan secara pikologis terhadap organisasinya (Lee,2004). Eisenberger dkk (1986) juga menyatakan bahwa individu akan menilai persepsi dukungan organisasi, bergantung pada proses attribusional yang digunakan individu untuk menunjukkan komitmen yang dilakukan oleh pihak lain dalam suatu hubungan sosial. Dukungan ini dapat ditentukan oleh frekuensi, keekstriman dan usaha pemberian pujian dan penghargaan serta reward lainnya seperti gaji, penilaian dan job enrichment. Persepsi dukungan organisasi sebagai sistem sosial, meliputi individuindividu kelompok informal dan hubungan antara kelompok. Di dalamnya melibatkan komunikasi dan kemungkinan besar dapat berubah menjadi dukungan yang bersifat emosional. Johnson dan Johnson (1991), berpendapat bahwa dukungan organisasi mampu memberikan dukungan nyata pada diri individu dan memberikan keyakinan kepada sebuah sistem dan menciptakan kedekatan pada organisasinya. Eisenberger, Stingelhamle & Rhoades (2002) beberapa bentuk dukungan yang dapat diberikan organisasi terhadap karyawannya meliputi : a. Keadilan prosedural Keadilan prosedural menyangkut keadilan atau kesesuian dari organisasi tentang cara yang digunakan organisasi, dimana dimensi prosedural ini
11
meliputi kebijakan-kebijakan dan peraturan formal tentang keputusankepuusan
organissai
yang
mempengaruhi
karyawan,
misalnya
pemberitahuan atau pengumuman yang wajar sebelum keputusan diimplementasikan, informasi yan diterima secara akurat dan suara-suara karyawan (misalnya masukan yang diberikan karyawan tentang proses pengambilan keputusan) b. Dukungan supervisor Karena tindakan yang dilakukan oleh supervisor mencerminkan tindakan yang dilakukan oleh organisasi dan mempunyai tanggung jawab dalam mengarahkan dan mengevaluasi performansi anggota, maka anggota memandang orientasi supervisor sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap mereka sebagai indikator persepsi dukungan organisasi c. Penghargaan dari organisasi (Pengakuan, insentif, promosi) Menurut teori persepsi dukungan organisasi, kesempatan-kesempatan positif dan penghargaan yang diberikan oleh organisasi terhadap karyawan menunjukkan penilaian yang positif terhadap kontribusi yang dilakukan oleh karyawan terhadap organisasi d. Kondisi kerja 1) Kenyamanan Kerja Jaminan bahwa organisasi akan menjaga masa depan karyawan berupa jaminan sosial yang diharapakan akaan memperkuat
12
dukungan yang dirasakan organisasi terutama ketika karyawan masih kerja 2) Otonomi Melalui otonomi, karyawan merasakan adanya kendali yang lebih besar tentang cara menyelesaikan pekerjaan mereka. Kepercayaan yang diberikan organisasi terhadap karyawan akan menimbulkan dukungan organissai 3) Pelatihan Pelatihan
kerja
merupakan
sarana
bagi
organisasi
untuk
mengkomunikasikan investasi bagi karyawan. 4) Ukuran organissai Individu dalam organisasi merasa dinilai rendah pada organissai yang berukuran besar, karena tingginya kebijakan-kebijakan yang bersifat formal dan prosedur-prosedur yang akhirnya dapat mengurangi fleksibilitas karyawan. Berkurangnya fleksibilitas tersebut dapat menurunkan dukungan yang dirasakan dari organisasi. Karena perhatian organisasi terhadap kebutuhankebutuhan individu berkurang. Persepsi dukungan organisasi merupakan pertukaran sosial, pertukaran karyawan dengan organisasi. Karyawan menilai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi, memperhatikan kesejahteraan, mendengar keluhan dari karyawan sebab dalam teori pertukaran sosial sesuatu yang diterima dari pihak lain akan lebih dihargai apabila dikarenakan kerelaan hati, bukan karena
13
kewajiban, tuntutan situasi atau kondisi. Oleh karena itu persepsi dukungan organisasi mampu menciptakan sebuah kedekatan secara pskologis bagi karyawan yang berdampak positif bagi kedua belah pihak (Kraimer, dkk, 2001). Perlakuanperlakuan yang diterima karyawan dari organisasi akan ditangkap sebagai stimulus yang diorganisir dan diinterpretasikan menjadi persepsi atas dukungan organisasi. Menurut Eisenberger dan Rhoades (2002), persepsi atas dukungan organisasi terdiri atas dua aspek : 1. Penghargaan yang diberikan organisasi terhadap kontribusi karyawan 2. Perhatian organisasi terhadap kesejahteraan karyawan
Dinamika Psikologis Salah satu komponen yang fundamental
pada pekerjaan di bidang
pelayanan merupakan kontrol emosi untuk mengelola hubungan positif dengan customer (Brotheridge & Grandey, 2002). Perawat merupakan sumber daya dengan proporsi terbesar dari tenaga kesehatan lain (Depkes, 2011), erat kaitannya dengan proses pelayanan kepada pasien. Perawat diharapkan untuk menunjukkan emosi yang sesuai dengan yang diharapkan perusahaan seperti bahagia dan menyembunyikan emosi marah dalam pekerjaan mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan pasien untuk menyesuaikan dengan job requirement dan harapan organisasi (Groth, 2009). Pengelolan emosi yang tepat sesuai dengan harapan organisasi dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi, maka dari itu dibutuhkan emotional labour yang merupakan proses regulasi perasaan dan
14
ekspresi yang dilakukan oleh individu pada saat bekerja yang sesuai dengan aturan perusahaan. Penelitian Wharton (dalam Pugliesi, 1999) yang menemukan bahwa pekerja yang bekerja dengan menggunakan emotional labour maka karyawan tersebut akan memiliki tingkat kepuasan kerja yang cukup tinggi sehingga membuat karyawan akan merasa semakin engaged dengan pekerjaannya. Penelitian Pugliesi, 1999 menyebutkan bahwa emotional labour dapat mengakibatkan burnout dan rendahnya kepuasan kerja beberapa penelitian juga menemukan bahwa emotional labour dapat memberikan efek yang positif seperti kepuasan kerja (Duke, dkk, 2009) dan engagement pada karyawan (Liu, dkk, 2010). Dengan pernyataan itu maka ada efek variabel moderating yang dapat mengurangi efek negatif dari emotional labour dan meningkatkan efek positif emotional labour. Menurut Baron dan Kenny (1986) variabel dikatakan mampu menjadi moderator ketika variabel tersebut merupakan variabel luar yang mampu mempengaruhi pengaruh antara independen variabel dan dependen variabel, variabel moderator tidak berkorelasi dengan independen (predictor), atau dengan kata lain kedudukan kedua variabel tersebut setara. Variabel moderator dapat menentukan hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung semakin kuat atau lemah (Widhiarso, 2011). Salah satu variabel yang mampu menjadi variabel moderating adalah dukungan organisasi. Dukungan organisasi mampu menjadi variabel moderator dibuktikan dengan beberapa penelitian antara lain penelitian duke, dkk (2009) mengenai peran moderator dukungan organisasi dalam hubungan antara emotional
15
labour dan kepuasan kerja. Penelitian lainnya membuktikan efek moderator dukungan organisasi terhadap hubungan emotional labour terhadap performance relationship. Berdasarkan penelitian Webster & Adam (2009) juga membuktikan peran moderator dukungan organisasi terhadap hubungan antara preferred work status dan extra role performance. Dengan menjadi variabel moderator, dukungan organisasi mampu mengurangi efek negatif dari emotional labour dan meningkatkan efek positif dari emotional labour. Dukungan organisasi termasuk didalamnya kondisi pekerjaan autonomy dan mekanisme coping terhadap stres yang berefek positif terhadap emotional labour. Autonomy dapat didefinisikan sebagai persepsi karyawan atas bagaimana karyawan mengontrol pekerjaannya (Rhoades & Eisenberger, 2002). Stres dalam emotional labour, memungkinkan karyawan menunjukkan emosi yang tidak sesuai dengan harapan organisasi (Wharton dalam Pugliesi, 1999). Dengan dukungan organisasi yang menyediakan kondisi kerja autonomy, suportif dan mekanisme coping yang baik terhadap stres kerja, dapat mengurangi efek negatif dari emotional labour (Duke, dkk, 2009) sehingga karyawan dalam bekerja akan merasa lebih bahagia dan merasa bahwa waktu cepat berlalu. Dan karyawan dengan dukungan organisasi yang tinggi bisa menjadi lebih engaged dengan pekerjaan dan organisasinya (Saks, 2006). Sehingga dengan emotional labour dan ditambah dengan persepsi dukungan organisasi, diharapkan karyawan akan lebih engagged terhadap pekerjaannya. Untuk memperoleh tujuan dan manfaat penelitian tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
16
Hipotesis : Ada pengaruh variabel moderator dukungan organisasi terhadap dukungan antara emotional labour dengan work engagement Dukungan Organisasi
Emotional Labour
Work Engagement
Gambar 1. Kerangka penelitian
RANCANGAN PENELITIAN Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah perawat. Sekitar 150 perawat dilibatkan dalam penelitian ini dan mereka dipilih karena memiliki kriteria telah bekerja selama dua tahun. Laschinger, dkk (2009) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, perawat telah mengenal dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan kondisi, peraturan dan kebijakan rumah sakit. Metode Pengambilan Data Penelitian ini menggunakan metode Kuesioner. Kuesioner dirancang untuk mengumpulkan informasi dari orang dengan cara yang memungkinkan agar peneliti dapat membuat generalisasi tentang topik tersebut (Hayes,2000). Dalam penelitian ini menggunakan tiga kuesioner, antara lain : 1. Kuesioner Work Engagement Alat ukur yang digunakan untuk mengukur engagement adalah Utrech Work Engagement Scale (UWES) yang didasari pada teori Scaufeli dan Bakker
17
(dalam Baker & Leiter, 2010), terdapat tiga dimensi dari work engagement yaitu: Vigor, Dedication, Absorption. Kuesioner terdiri dari tujuh belas item yang bergerak dari nol (tidak pernah) sampai dengan enam (selalu). Skala ini terdiri dari tujuh belas item dan memiliki reliabilitas sebesar 0.80. Adapun blueprint lengkap dari alat ukur ini, dapat dilihat pada lampiran di tabel 4. Tabel 1. Ringkasan Blue Print Work Engagement Indikator
Pengertian
Item Favourable Vigor level energi, dan ketahanan mental 1,4,8,12,15,17 ketika bekerja, kesediaan untuk menginvestasikan usaha Dedication keterlibatan penuh terhadap pekerjaan 2,5,7,10,13 sehingga mereka merasa antusias, penuh inspirasi, bangga, tertantang terhadap pekerjaanya. Absorption keadaan dimana bekerja penuh 3,6,9,14,11,16 konsentrasi dan bahagia sehingga merasa bahwa waktu cepat berlalu Jumlah 17
Jumlah 6
5
6
17
2. Kuesioner Emotional Labour Alat ukur yang digunakan untuk mengukur emotional labour adalah emotional labour scale yang diadaptasi dari skala Gosserand (2003). Terdiri dari dua dimensi yaitu surface acting dan deep acting. Kuesioner ini menggunakan skala likert. Skala likert adalah lima poin skala yang digunakan untuk mengekspresikan setuju atau ketidaksetujuan dengan pernyataan (Hayes, 2000). Kuesioner terdiri dari sebelas aitem dengan lima poin likert yang bergerak dari tidak pernah sampai dengan selalu. Blue print alat ukur emotional
18
labour yang lengkap dapat dilihat di lampiran pada tabel 5. Tabel dibawah merupakan ringkasan blue print. Tabel 2. Ringkasan Blue Print Emotional Labour Indikator Pengertian
Jumlah
Surface Acting
7
Deep Acting Jumlah
Aitem Favourable kebutuhan individu untuk merepres 1,2,3,4,5,6,7 perasaan mereka yang sebenarnya untuk berkompromi dengan emosi organissai yang dibutuhkan untuk ditampilkan Proses menginternalisasi emosi 8,9,10,11 sesuai dengan emosi yang diharapkan perusahaan 11
4
11
3. Kuesioner persepsi dukungan organisasi Kuesioner persepsi dukungan organisasi disusun berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Eisenberger & Rhoades (2002), berdasarkan aspek penghargaan yang diberikan organisasi terhadap kontribusi mereka dan perhatian organisasi pada kehidupan karyawan. Reliabilitas dari alat ukur ini 0,90. Kuesioner ini menggunakan skala likert. Skala likert adalah lima poin skala yang digunakan untuk mengekspresikan setuju atau ketidaksetujuan dengan pernyataan (Hayes, 2000). Kuesioner terdiri dari delapan aitem dengan lima poin likert yang bergerak dari sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju. Blue print alat ukur dukungan organisasi yang lengkap dapat dilihat di lampiran pada tabel 6. Tabel dibawah merupakan ringkasan blue print.
19
Tabel 3. Ringkasan Blue Print Dukungan Organisasi No
Aspek
Favourable Unfavourable Jumlah
1
Penghargaan organisasi 1,3,5 terhadap kontribusi karyawan 2 Perhatian organisasi 2,4,8 terhadap kesejahteraan karyawan Jumlah 3
6
4
7
4
2
8
Prosedur penelitian 1. Tahap persiapan Penelitian ini akan dilaksanakan pada RS. X ditahap awal peneliti melakukan studi literatur dan melaksanakan perijinan. Sealain itu, peneliti juga melakukan penyusunan skala yang diadaptasi dari skala work engagement, emotional labour dan persepsi dukungan organisasi. Setelah penyusunan skala peneliti uji coba terhadap skala yang digunakan. Uji coba (try out) ini dilakukan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas alat ukur. Pada tahap ini juga dilakukan informed consent. 2.
Tahap Pengumpulan Data Skala yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya disusun kemudian disebarkan kepada responden penelitian.
3. Tahap Analisis Data Peneliti melakukan skoring dari skala yang telah diisi oleh responden penelitian, dan diuji secara statistik untuk dianalisis.
20
Reliabilitas dan Validitas Reliabilitas Menurut Kerlinger & Lee, (2000), reliabilitas merupakan kemantapan, konsistensi, keteramalan dan ketepatan instrumen pengukur. Merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji ulang dengan tes yang sama pada kesempatan berbeda, dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda atau dalam kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1997). Pendekatan yang digunakan untuk menguji reliabilitas aitemn skala pada penelitian ini adalah dengan menggunakan konsistensi internal dengan teknik analisis alpha cronbach, dimana prosedurnya hanya memerlukan asatu kali pengenaan suatu tes pada sekelompok individu sebagai subjek (single trial administraction), jadi memiliki nilai praktis dan efisien yang tinggi (Anastasi & Urbina, 1997). Suatu instrumen dikatakn reliabel jika hasil koefisien alpha cronbach menunjukan nilai koefisien ≥ 0.70 (Hair dkk, 2006). Validitas Validitas adalah pengukuran yang mengukur apa yang hendak diukur (Kerlinger & Lee, 2000) dan seberapa baik alat ukur itu dapat mengukur (Anastasi & Urbina, 1997). Validitas alat ukur yang digunakan dalam penlitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi merupakan langkah sistematis untuk memastikan bahwa isi alat ukur tersebut representatif mewakili ranah perilaku yang hendak diukur (Anastasi & Urbina, 1997). Validitas isi dianalisis melalui analisi aitem dengan mencari daya diskriminasi aitem. Analisi aitem dilakukan untuk membedakan antara subjek
21
yang memiliki atribut yang diukur dengan yang tidak (Azwar, 2007). Aitem yang dikatakan dapat memberikan kontribusi yang baik apabila memiliki koefisien korelasi ≥ 0,30 (Azwar, 2007). Menggunakan batasan ini aitem yang memiliki nilai rix kurang dari 0.3 diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah. Analisis Data Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh moderator dari persepsi dukungan organisasi terhadap hubungan emotional labour dan work engagement. Maka dari analisis data yang sesuai untuk mengukur efek moderator adalah dengan analisis regresi (Zumbo & Wu, 2008), yaitu regresi linear berganda yang merupakan suatu metode untuk mengkaji pengauh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat, dengan menggunakan prinsip-prinsip korelasi dan regresi (Kerlinger & Lee, 2000). Persamaan regresi yang menunjukkan efek moderator (Zumbo & Wu, 2008) adalah sebagai berikut : Y = i + aX + bMo + c(X*Mo) Keterangan: Y
: Variabel terikat
X
: Variabel bebas
Mo
: Variabel Moderator
X*Mo : Interaksi antara variabel bebas dengan variabel moderator
Analisis regresi dapat dilakukan setelah memenuhi uji prasyarat berupa uji normalitas dan uji linieritas hubungan antar variabel (Baron & Kenny, 1986).