TESIS
PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA DI KABUPATEN BADUNG
NI MADE ANGGIA PARAMESTHI FAJAR
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA DI KABUPATEN BADUNG
NI MADE ANGGIA PARAMESTHI FAJAR NIM : 1290561054
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA DI KABUPATEN BADUNG
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE ANGGIA PARAMESTHI FAJAR NIM : 1290561054
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 14 APRIL 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M.Hum
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum
NIP. 196207311988031003
NIP. 196404021989112001
Mengetahui, Ketua Program Studi
Direktur Program Pascasarjana
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp, S (K)
NIP. 196111011986012001
NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada 13 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor 1056/UN.14.4/KK/2015 Tanggal 9 April 2015
Ketua
: Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H., M.Hum
Sekretaris
: Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.Hum
Anggota
: 1. Dr. I Ketut Westra, S.H.,M.H 2. Dr. I Made Udiana, S.H., M.H. 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: NI MADE ANGGIA PARAMESTHI FAJAR
PROGRAM STUDI
: ILMU HUKUM
JUDUL TESIS
: PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSIBALI NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA DI KABUPATEN BADUNG
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi Peraturan Mendiknas R.I Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
Denpasar, 12 April 2015 Yang Menyatakan
NI MADE ANGGIA PARAMESTHI FAJAR
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis Panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas tuntunan dan rahmat-NYA lah, maka tesisi yang berjudul “PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA DI KABUPATEN BADUNG” ini dapat terselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Hukum pada Program Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam hal ini penulis menyadari bahwa tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, serta arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan yang baik dan terhormat ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,Sh.,M.Hum sebagai Pembimbing I dan Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih,SH.,M.Hum, sebagai Pembimbing II yang senantiasa memberikan motivasi dan bimbingan dengan ketulusan hati serta kecermatan dan kesabaran dalam membimbing penyusunan tesis penulis, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Bapak Prof. Dr.dr.Ketut Suastika, Sp.PD-K.E.M.D, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditunjukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ibu Prof. Dr.dr A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,S.H.,M.H, yang telah memberikan izin untuk menempuh pendidikan hukum ke jenjang yang lebih tinggi, demikian juga telah memotivasi dan memberikan dorongan moril kepada penulis, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM, atas segala arahan dan saran-saran selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih ini juga ditunjukan kepada Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum, atas segala arahan dan saran-saran selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih ini juga ditunjukan kepada Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan menuntun saya sepanjang di Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. I Ketut Westra S.H.,M.H, Dr. I Made Udiana, S.H., M.H dan Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum selaku dosen penguji yang juga telah
vi
memberikan segala arahan, masukan, dan saran-saran demi kesempurnaan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak dan Ibu Dosen Pengajar yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu selama penulis mengikuti perkuliahan, yang telah begitu banyak memberikan dorongan moril dan nasehat untuk dapat segera menyelesaikan penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih ini juga ditunjukan kepada seluruh pegawai administrasi dan perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang selalu memberikan bantuan dan dorongan yang tidak ternilai sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada orang tua tercinta penulis, Bapak Drs I Nyoman Sumertha,Mpd dan Ibu Dra Ni Made Purnami,Mpd yang telah memberikan dorongan moril dan materiil serta kasih sayang yang tiada henti kepada penulis sehingga menjadi semangat untuk menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Hukum dan juga kepada kakak I Wayan Parama Ahimsa Fajar,Spd dan Juga keluarga baru saya Bapak I Made Sumertha dan Ibu Ni Ketut Mahayoni yang selalu memberikan dorongan dan motivasi untuk selalu dapat menyelesaikan studi. Ucapan terima kasih ini juga ditunjukan kepada suami saya I Putu Yudhi Pusdita Sagitatara,ST yang selalu senantiasa mendukung dan memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan studi. Ucapan terima kasih ini juga ditunjukan kepada teman teman seperjuangan dalam menyelesaikan studi Gungmas, Ratih, dan Nonik terimaksih atas semangat, dukungan canda tawa yang selalu diberikan dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada rekan-rekan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat disebutkan satupersatu, terima kasih atas semangat, dukungan, kebersaman dan pengalaman yang telah diberikan selama ini. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Semoga segala bantuan, dukungan, pengorbanan dan petunjuk yang telah diberikan kepada penulis, mendapatkan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Demikian juga penulis menyadari, tesis ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga data bermanfaat di kemudian hari. Denpasar,
April 2015
Penulis
vii
ABSTRAK Pramuwisata memiliki peran penting dalam kegiatan kepariwisataan, pramuwisata bertugas memandu wisatwaan dari wisatawan baru menginjakan kaki di Bali sampai wisatawan kembali ke negara atau daerah asalnya. Maka dari itu pramuwisata harus bisa melaksanakan tugasnya sebaik mungkin untuk menjaga citra pariwisata dan juga bisa meningkatkan kualitas kegiatan kepariwisataan kedepannya. Maka untuk menjaga kualitas pramuwisata tersebut harus ada peraturan yang dapat mengatur bagaimana profesi pramuwisata agar dapat membawa kegiatan kepariwiwsataan ke arah yang lebih baik. Peraturan Daerah Bali no 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata merupakan peraturan yang di buat oleh Pemerintah Provinsi Bali sebagai aturan dasar untuk pramuwisata dalam menjalankan profesinya, namun kenyataanya dalam pelaksanaan Perda tersebut masih banyak penyimpangan dan pelanggaran sehingga pramuwisata menjalankan profsinya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sehingga menimbulkan permasalahan yang di teliti dalam tesis ini, berupa : Faktor-faktor apakah yang menjadi sebab ketentuan tentang lisensi dan sertifikasi seorang pramuwisata berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 tahun 2008 tentang pramuwisata tidak dapat dilaksanakan? Bagaimanakah bentuk pelaksanaan sanksi Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 tahun 2008 tentang pramuwisata terhadap pramuwisata yang tidak memenuhi ketentuan serifikasi ? Penelitian berupa penelitian empiris penggunaan pendekatan empiris yang dimaksud adalah melakukan pendekatan terhadap masalah dengan cara mengkaji permasalahan yang muncul dalam kenyataan dilapangan dan selanjutnya dihubungkan dengan peraturan-peraturan hukum dan teori-teori hukum seperti teori ketaatan hukum, teori kewenangan dan teori kualitas produk untuk menunjukan bagaimana kewenangan pemerintah dalam penegakan hukum dan bagaimana peraturan daerah tersebut bisa menjamin kualitas pramuwisata dan juga ketaatan pramuwisata terhadap hukum yang berlaku.
Kata Kunci : Pramuwisata, pariwisata budaya , pelaksanaan perda Pramuwisata, sanksi hukum
viii
ABSTRACT Tour guide has an important role in tourism business in Bali. They take care the guests since they arrive until they depart from Bali. Therefore a tour guide should be able to give the best quality of service and also improve it if to provide better service in the future. In order to achieve the best quality of service, the government should create a rule which regulate how tour guide can be professiona all in to provide a better quality of service to the guests who visit Bali. Bali Regional Rule no 5 of 2008 about tour guides is a kind of regulation established by Bali Government as a foundation for a tour guide in doing their profession. However, in fact there are so many irrelevant services given by a Tour Guide and it was not based on the regulation and it caused the problems in this thesis. Are there any factors that generate a specific license for a tour guide based on Bali Regional Rule no 5 of 2008 about Tour Guides could not be released? How is the application of punishment ofthose tour guides who did not obey the regulation based on Bali Regional Rule no 5 of 2008 about Tour Guides? This research employes empiric approach which means that we are doing an approach by solving the problem that we face during the research. In relation with the regulations and law and also the law theories which relevant applied in this research e.g. theory of obeying the law, theory of authority and theory of product quality. In order to show the government’s authority to apply the law and how the regulation is able to guarantee the law and also to ensure that the government regulation can guarantee the tour guide quality to provide the best quality of services.
Key words : tour guide, cultural tourism, Tourism Perda application, law punishment
ix
RINGKASAN TESIS Tesis ini membahas tentang bagimana pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali no 5 tentang Pramuwisata dalam kegiatan pariwisata di daerah Bali khususnya kabupaten Badung. Terdiri dari 5 (lima) bab yang masing-masing membahas tentang latar belakangpentingnya tesis ini di buat dan metode penelitian yang di pergunakan dalam tesisi ini tinjauan umum tentang dari konsepkonsep dan teori-teori yang di pergunakan untuk meneliti permasalahan dalam tesisi ini, kajian atau pembahasan terhadap rumusan maslaah serta keismpulan dan saran yang dapat di berikan. Bab I Pendahuluan di awali dengan menguraikan latar belakangan penilitian yang di lakukan yaitu karena tidak sesuainya pelaksanaan perda dengan pelaksanaan profesi pramuwisata dalam kegiatan kepariwiwsataan yang kemudian di ikuti dengan menguraikan 2 (dua) buah rumusan masalah yang di teliti dalam tesis. Tujuan dan manfaat penilitian, orisinalitas, landasan teoritis dan metode penilitian yang dilakukan. Adapun permasalah yang di teliti bermula dari banyaknya pelanggaran yang penulis dapatkan dari pelaksanaan profesi pramuwisata dalam kegiatan pariwisata yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, hal ini dapat merusak citra pariwiwsata sebagai salah satu sektor devisa terbesar, pramuwisata adalah ujung tombak dari kegiatan pariwisata maka dari itu di harusnya dapat membawa citra pariwisata dan perkembangan kegiatan kegiatan kepariwisataan ke arah yang lebih baik sesuai dengan tujuan pariwisata bali yaitu pariwisata budaya. Bab II mengenai tinjauan umum tentang perdagangan jasa pariwiwsata dalam bab ini menjelaskan tentang pokok-pokok bahasan yang berkaitan dengan perdagangan jasa pariwisata meliputi : konsep perdagangan wisata, bagaimana peran pramuwisata sebagai unsur dalam perdagangan jasa pariwisata, sertifikasi sebagai standar kualitas pramuwisata , dan bagaimana pengaturan kualitas pariwisata. Bab III mengenai Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan perda no 5 tahun 2008 tentang pramwisata ada 2 faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan perda yaitu faktor hukum dan faktor non hukum. Faktor hukum tidak jelasnya pengaturan mengenai lisensi pada undang-undang no 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagai dasar terbentunya Perda no 5 tahun 2008 tentang pramuwisata. Kemuadian faktor non hukum mencakup faktor ekonomi, pendidikan , waktu recruitmen dan juga peraturan yang ada dalam perda yang tdk bisa di penuhi oleh pramuwisata. Bab IV mengenai Bentuk Pelaksanaan sanksi Perda no 5 Tahun 2008 Tentang Pramuwisata dalam bab ini di bahas ada 2 (dua) pelaksanaan sanksi bagi pramuwisata yang melanggar peraturan yang berlaku ada sanksi adminidtrasi yang berupa pemangilan dan pembinaan juga pemberhentian sementara pramuwisata dalam melakukan profesi dan pengenaan denda administratif, kemudian adan sanksi pidanan ini di erikan pada pramuwisata yang sudah melakukan pelanggaran lebih dari 3(tiga) kali atau sudah pernah di berikan pembinaan namun tetap melakukan pelanggaran. Dan juga pramuwisata melakukan pelanggaran yang menyangkut keselamatan wisatawan.
x
Bab V merupakan bab penutup tesis ini yang menguraikan tentang simpulan dan saran yang mana penulis menyarankan agar Pemerintah di harapakan bisa memformulasikan peraturan lebih tegas dan jelas lagi membuat peraturan perundang undangan mengenai pengaturan tentang lisensi pramuwisata dan juga standart sebagai pramuwisata dalam menjalankan profesi kepariwisataan dan dalam pelaksanaan sweeping dan penjatuhan sanksi di harapakan lebih di majukan lagi kedepannya, dengan menambah frekuensi pelaksanana sweeping atau razia bagi pramuwisata yang sering kali melakukan pelanggaran atau berprofesi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ....................................ii LEMBAR PENGESAHAN TESIS ...................................................................iii HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI............................................iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...................................................v UCAPAN TERIMA KASIH ..............................................................................vi ABSTRAK ...........................................................................................................viii ABSTRACT ..........................................................................................................ix RINGKASAN TESIS ..........................................................................................x DAFTAR ISI........................................................................................................xii BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................1 1.1. Latar Belakang ............................................................................1 1.2. Rumusan Masalah .......................................................................11 1.3. Ruang Lingkup Masalah .............................................................11 1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................11 1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................12 1.6
Orisinalitas Penelitian .................................................................13
1.7
Landasan Teoritis Dan Kerangka Berfikir .................................15
1.8
Metode Penelitian........................................................................28
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPARIWISATAAN DAN PRAMUWISATA .....................................................................33 2.1 Konsep dan Perkembangan Pariwisata .........................................33 2.2 Pramuwisata Sebagai Unsur Perdagangan Pariwisata ...................46 2.3 Sertifikasi Sebagai Unsur Perdagangan Pariwisata .......................64 2.4 Pengaturan Kualitas pramuwista ....................................................71
xii
BAB III FAKTOR FAKTOR YANG MENGHAMBAT PELAKSANAAN PERDA NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA ...............................................................................74 3.1 Faktor Hukum ................................................................................74 3.2 Faktor Non Hukum ........................................................................83 BAB IV BENTUK PELAKSANAAN SANKSI PERDA NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA .................................................97 4.I Sanksi Administrasi ........................................................................97 4.2 Penjatuhan Sanksi...........................................................................109 BAB V PENUTUP ...........................................................................................125 5.1 Kesimpulan ....................................................................................125 5. 2 Saran ..............................................................................................126 DATA INFORMAN DAFTAR PUSTAKA
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.6. Latar Belakang Gejala pariwisata telah ada sejak adanya perjalanan manusia dari suatu tempat ke tempat lain dan perkembangannya sesuai dengan sosial budaya masyarakat itu sendiri.1 Pulau Bali telah dikunjungi wisatawan asing sejak tahun dua puluhan, tetapi kegiatan pariwisata di pulau Bali ini baru menonjol lebih kurang dalam tujuh belas tahun terakhir, hal ini terlihat baik dari pengembangan fasilitasfasilitas pariwisata seperti hotel, restoran, biro perjalanan, artshop, pertunjukan kesenian, dan lain-lain, maupun dari meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali. Pariwisata merupakan satu fenomena modernisasi yang menyentuh secara intensif segi-segi kehidupan masyarakat dan kebudayaan umat manusia yang berdimensi lokal, nasional maupun global dengan melibatkan negara-negara berkembang maupun negara-negara maju. Pariwisata berkembang sebagai realitas yang beraspek majemuk sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, teknologi, ekologi dan karena itu dapat didekati, baik secara monodisipliner maupun multidisipliner. Secara empiris dalam rangka perkembangan pariwisata, keseluruhan aspek secara intensif dan bergerak sangat dinamik.2 Ruang lingkup kegiatan kepariwisataan mencakup semua kegiatan yang berhubungan dengan segala fasilitas-fasilitas yang diperlukan, akomodasi,
1
I Ketut Suwena dan I Gusti Ngr Widyatmaja, 2010, Ilmu Pariwisata, Udayana University Press, h.1. 2 Wayan Geriya, 1995, Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global, Penerbit PT.Upada Sastra, h.3.
1
2
rekreasi, pelayanan-pelayanan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang diperlukan oleh para wisatawan. Pariwisata ada dan dapat berkembang dengan pesat juga karena adanya wisatawan yang banyak berkunjung dan menjadikan sebuah kegiatan pariwisata tersebut hidup dan tumbuh dengan subur. Bersamaan dengan itu meningkat pula kunjungan wisata di desa-desa di Bali,yang berdampak meningkat juga jumlah penduduk lokal Bali yang memperoleh pekerjaan dibidang pariwisata dan bahkan pada desa-desa yang merupakan tourism area seperti desa Sanur, Kuta, Ubud, Nusa dua, tampak makin tingginya frekuensi interaksi penduduk setempat dengan wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut. Perkembangan pariwisata dipulau Bali ini, sekurang-kurangnya sampai pada masa sekarang ini belum menyentuh keseluruh bagian daerah pulau Bali. Penduduk di Bali banyak berhubungan dengan wisatawan dan dengan kegiatan kepariwisatan terutama terpusat pada dua kabupaten (Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung). Di daerah Badung, kunjungan para wisatawan yang paling tinggi adalah daerah Kuta dan daerah Nusa Dua. Kawasan pantai Kuta, Jimbaran dan Unggasan pun kini menjadi kawasan hunian wisata yang ada didaerah Badung. Padatnya kegiatan yang berkembang diberbagai daerah di bali ini khususnya untuk didaerah kabupaten Badung yang memiliki frekuensi kunjungan wisata terbesar di bandingkan dengan daerah-daerah lainya di Bali, tentunya membawa keuntungan besar bagi daerah Badung sendiri, meningkamya kehidupan masyarakat diberbagai bidang terutama ekonomi, dan teknologi. Peningkatan yang signifikan kita lihat dalam kehidupan ekonomi masyarakat
3
disekitar daerah wisata itu sendiri, karena dengan adanya kunjungan para wisatawan tersebut, masyarakat didaerah tersebut dapat membuka lahan untuk meraup rezeki, membuka lahan pekerjaan bagi masyarakat yang berhubungan langsung dengan para wisatawan yang ada membuat kehidupan ekonomi yang dulunya dibawah rata-rata sekarang menjadi lebih makmur bahkan harga tanah didaerah wisata tersebut meningkat drastis harganya yang secara tidak langsung juga memberikan keuntungan pada daerah itu sendiri dan masyarakat daerah tersebut khusunya Kabupaten Badung seperti daerah Kuta, Nusa Dua dan Jimbaran yang memiliki objek wisata paling banyak dan kunjungan wisata dengan angka yang paling tinggi di Bali. Pariwisata didaerah Bali merupakan sektor paling maju dan berkembang, dan masih tetap berpeluang ke depannya untuk dikembangkan menjadi lebih modern lagi. Daerah Bali memiliki obyek wisata yang beragam, baik wisata alam, wisata sejarah maupun wisata budaya. Wisata alam, misalnya meliputi 47 obyek wisata, seperti panorama di Kintamani, Pantai Kuta, Legian, Sanur, Tanah Lot, Nusa Panida, Nusa Dua, Karang Asem, Danau Batur, Danau Bedugul, Cagar Alam Sangieh, Taman Nasional Bali Barat, dan Taman Laut Pulau Menjangan. Wisata budaya meliputi 83 obyek wisata, seperti misalnya wisata seni di Ubud, situs keramat Tanah Lot, upacara barong di Jimbaran dan berbagai tempat seni dan galeri yang sekarang banyak bermunculan di beberapa tempat di Bali. Obyek wisata budaya ini sangat berkembang pesat, apalagi banyak karya seni yang dihasilkan oleh pelukis dan pematung dari Bali. Harga lukisan dan patung buatan Bali, harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan,
4
ada beberapa pelukis asing yang sudah lama menetap di Bali, seperti Mario Blanco, Arie Smith, Rudolf Bonner dan sebagainya. Bali dengan citranya sebagai wisata Budaya sangat menarik minat bagi wisatawan yang akan berkunjung. Wisata budaya sangat penting untuk di pertahankan keberadaanya karen merupakan bagian penting dalan dunia pariwisata hal ini juga di ungkapkan dalam Report WTO yang berjudul Cultural Tourism and Local Communities : “Cultural tourism is particular of the tourism sector, wich is not simple to define , since culture itself is a complex and many-faceted concept. One common understanding of cultural tourism is when the visit tangiblle heritage sites represent the main componet of journey. Moved by esthetical , emotional, family and truly historical reasons, tourist have always travelled for the specific purpose of visiting the great monuments, sites and cultural landscape of the world”3 Begitu pula dengan wisata sejarah, dapat dilihat berbagai peninggalan sejarah beberapa kerajaan seperti Karangasem, Klungkung, dan Buleleng. Potensi obyek wisata di Bali yang telah menyumbang devisa negara dan pendapatan asli daerah Bali, sebenarnya masih potensial untuk dikembangkan lebih maju lagi. Kota Denpasar yang strategis dan memiliki fasilitas cukup baik dalam hal jasa perdagangan, serta memiliki bandar udara internasional, harus dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pelayanan pariwisata dan perdagangan internasional. Data wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali pada 2012, menurut BPS, mencapai 1.230.316 orang. Pada 2013 jumlah wisatawan asing agak menurun, yakni hanya 1.187.153 orang atau turun 3,51% dibandingkan 2012. Sedangkan jumlah wisatawan domestik pada 2013 diperkirakan mencapai 300.000 orang. Para wisatawan itu berasal dari beberapa negara, seperti Amerika Serikat, 3
WTO, 2006, International Confrence on Cultural Tourism and Local Community, Calle Capitan Haya, Madrid Spain, h.47
5
Kanada, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, Thailand, dan sebagainya. Jumlah hotel di seluruh Bali sampai 2013 ada sekitar 204 unit, dengan kapasitas kamar sebanyak 14.626 buah. Selain keindahan panoramanya, daya tarik pariwisata Bali antara lain juga dipengaruhi oleh kekhasan kesenian dan kebudayaannya, termasuk ritual agama Hindu yang dianut mayoritas orang Bali, serta keramahan masyarakat di Bali.4 Survey World Economic Forum yang berkedudukan di Swiss, yang diberi nama Travel and Tourism Competitiveness Report (2013) menempatkan Indonesia di peringkat nomor 81 dunia, naik satu tingkat dari tahun sebelum. Tiga besar topranking pariwisata dunia adalah Swiss, Austria dan Jerman. Singapura berada pada peringkat 10, sementara Malaysia nomor 32, Thailand nomor 39 dan Brunei pada nomor 69. Negara-negara Asean yang berada dibawah peringkat Indonesia adalah Filipina nomor 86, Vietnam nomor 89 dan Kamboja nomor 108. Kegiatan pariwisata tahun 2007 hingga tahun 2013 sungguh memberi peranan berarti terhadap keseluruhan kinerja perekonomian Indonesia. Tahun 2007 menunjukkan dampaknya berupa nilai produksi total Rp 362,10 triliun, yang berarti 4,62 % dari total produksi nasional Rp 7.840,57 trilliun. Menghasilkan nilai tambah sektoral Rp 169,67 triliun atau 4,29 % dari PDB Indonesia yang bernilai Rp 3.957,40 trilliun. Mempekerjakan 5,22 juta orang sama dengan 5,22 % dari lapangan kerja nasional yang 99,93 juta orang.5 Dunia kepariwisataan menyangkut kegiatan wisatawan dari mulai kedatangan
4
Info Provinsi Bali ,2013, "Data Wisatawan yang Berkunjung ke Bali", diambil dari situs: http://www.disparda.baliprov.go.id/, diakses pada hari Jumat tanggal 2 oktober 2013. 5 DPD HPI Bali, 2012, "Banyak Pemandu Liar di Bali", di ambil dari situs: http://www.hpibali.org/. diakses pada hari Minggu, tanggal 12 februari 2014.
6
di pintu masuk (bandara, terminal, atau stasiun), di obyek wisata, di hotel, di restoran, di toko cindera mata dan sebagainya6. Selain itu pariwisata berhubungan erat dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah.7 Kedatangan mereka ke Indonesia atau ke suatu kota itu salah satunya atas peran sebuah biro perjalanan sebagai pihak yang menjual program atau pihak yang punya tamu. Selanjumya kegiatan wisatawan selama dalam masa liburannya banyak berhubungan dengan seorang pramuwisata. Disinilah peran utama seorang pramuwisata, baik buruknya kesan wisatawan banyak ditentukan oleh peran seorang pramuwisata. Pramuwisata atau juga bisa disebut pemandu wisata (guide) sangat dibutuhkan dan berperan penting dalam bisnis pariwisata.8 Dimana, para turis yang tengah berwisata tak cuma ingin menikmati pemandangan. Mereka juga ingin mengerti sejarah dan perkembangan lokasi yang dikunjunginya. Seorang pramuwisata profesional akan bisa membantu wisatawan untuk memenuhi kebutuhan
dan
keinginan
wisatawan.
Dengan
pengalamannya
seorang
pramuwisata juga mampu untuk memberikan pelayanan, petunjuk, informasi dan hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang wisatawan. Dengan pengalamannya juga merupakan sumber informasi penting tentang diri wisatawan, menyangkut kebutuhan keinginan dan standar pelayanan wisatawan yang akan sangat bermanfaat untuk pengembangan kepariwisataan di daerah maupun nasional. 6
Mauladi A.J, 2014, Kepariwisataan dan Perjalanan, Penerbit Rajawali Press, Jakarta,
h.24. 7
Gamal Suwantoro, 2004, Dasar Dasar Pariwisata, Penerbit ANDI, Yogyakarta, h.3 . Bambang Udoyono, 2011, English For Tourism : Panduan Berfrofesi Dalam Dalam Dunia Pariwisata, Penerbit ANDI, Yogyakarta, h.48. 8
7
Pramuwisata (tour guide) adalah seseorang yang bertugas memberikam bimbingan, penerangan, petunjuk dan berbagai pelayanan kepada para wisatawan.9 Pemandu wisata atau disebut juga pramuwisata adalah orang atau badan usaha yang bergerak di bidang kepariwisataaan. Pramuwisata atau sering di sebut dengan tour guide dalam bahasa Inggris di Indonesia, secara nasional telah dibentuk organisasi yang mewadahi profesi ini yaitu Himpunan Pramuwisata Indonesia atau HPI organisasi ini telah memiliki jaringan ke seluruh indonesia. Dibeberapa daerah terbentuk sejumlah organisasi serupa yang bersifat lokal. Dalam Perda Nomer 5 Tahun 2008 Tentang Pramuwisata (selanjutnya di sebut Perda No. 5/2008), seseorang hendak menjadi pramuwisata di Indonesia disyaratkan memiliki lisensi yang dalam Perda No. 5/2008 tersebut disebutkan sebagai Kartu Tanda Pengenal Pramuwisata atau KTPP (selanjutanya dalam tesis ini di sebutkan KTPP) Pramuwisata yang diterbitkan oleh Gubernur melalui Dinas Pariwisata provinsi (pasal 4) dan juga dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Usaha Jasa Pariwisata (senjutnya dalam tesis ini disebut dengan Perda No1/2009) menyatakan bahwa pengusaha Usaha Jasa Perjalanan Wisata (selanjutnya disebut dengan UJPW) wajib menggunakan pramuwisata yang memiliki sertifikat memiliki kartu tanda pengenal pramuwisata (Pasal 11). Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata di Bali sangat berkembang pesat. Tidak menutup kemungkinan menimbulkan adanya Pramuwisata yang tidak berlisensi atau sering disebut dengan Guide Illegal. 9
I Ketut Ardana, 2013, Menjadi Pramuwisata Profesinal , Tabur Kata Publishing , Denpasar, h.7.
8
Salah satu bukti nyata yang sempat menjadi pembicaraan hangat dimasyarakat, bahwa pekerja hotel sekarang ikut-ikutan menjadi pramuwisata. Meskipun sudah sesuai aturan jika orang yang boleh menjadi pramuwisata di Bali adalah orang lokal Bali sendiri, namun mereka yang secara sembunyi-sembunyi melakukan praktik guiding tanpa lisensi jelas-jelas merugikan pramuwisata yang berlisensi. Hal tersebut sempat dilaporkan kepada Disparda setempat, namun hingga kini belum ada tindakan. Untuk mendapatkan sebuah lisensi memang tidak mudah. Para guide harus mengikuti beberapa tahapan seperti diwajibkan mengikuti pelatihan pramuwisata dari Disparda Bali dan HPI Bali. Sementara, mereka yang tidak pernah mengikuti sertifikasi ikut berebut dengan pramuwisata berlisensi dilapangan, jika tidak segera ditangani dengan cepat, kemungkinan pramuwisata berlisensi tidak akan mau mecari lisensi lagi. Keberadaan pramuwisata yang tidak mengantongi lisensi guiding berpotensi merusak citra Bali dimata wisatawan dan berakibat pada kunjungan wisata selanjutnya, karena dalam kenyataanya, mereka tidak menguasai budaya Bali, jika menjelaskan soal budaya kepada turis kemungkinan terjadi kesalahan. Ketentuan tersebut berlaku terutama bagi pramuwisata atau pemandu wisata yang melayani wisatawan asing agar kualitas pribadi pramuwisata selalu mencerminkan ke-indonesia-an serta menjaga validitas berbagai informasi yang disampaikan kepada wisatawan. Termasuk pula kinerja pramuwisata dalam kaitannya dengan pihak pemakai yaitu biro perjalanan wisata yang membawa wisatawan. Dalam menjalankan profesinyanya guide atau pramuwisata ini
9
harusnya memiliki lisensi atau izin, sesuai dengan ketentuan yang telah ada, yang dimaksudkan dengan izin disini adalah izin yang merupakan suatu persetujuan dari penguasa (pemerintah atau departement terkait) berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan (dalam arti sempit).10 Banyak ahli mengemukakan arti yang berbeda mengenai pengertian izin tersebut, Spelt Dab Ten Berge mengemukakan bahwa pengertian dari "izin tersebut adalah keputusan untuk memperkenankan dilakukann ya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan".11 Menurut Adrian Sutedi pada dasarnya izin merupakan keputusan pejabat atau badan tata usaha negara yang berwenanang yang isi atau substansinya memiliki sifat sifat tersendiri. 12 Dalam kamus hukum, izin (vergunning) di jelaskan sebagai berikut : “overheidstoetsemming door wet of verordening vereist gesteld voor tal van handeling waarop het algemeen belong spesiaal toezicht vereist is maar die, in het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd”13. “perkenaan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang di syaratkan untuk perbuatan yang pada umunya tidaklah di anggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak di kehendaki”, terkait dengan peraturan seperti diatas khusunya di bidang perizinan yang sudah di jelaskan di atas bahwa izin atau lisensi yang dimaksudakan tersebut di terbitkan oleh Badan 10
Mr. N.M. Spelt dan Mr. J.B.J.M ten Berge, disunting dari Philipus M. Hadjson, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Penerbit Yuridika, Surabaya, h.2-3. 11 Van der Pot dalam Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1985, Pengantar Ilmu Administrasi Negara Indonesia, Cetakan kedelapan, Penerbit dan Balai Buku Icthiar, Jakarta, h.143. 12 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h.173 13 S.J Fockema Andreae, 1991, Rechtsgeleer Handwoordenhoek, Tweede Druk, J.B wolter, Uitgeversmaatschappij N.V, Groningen, h.311.
10
yang berwenang, yaitu Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Bali. Persyaratan untuk mendapatkan lisensi dari Disparda pemandu wisata wajib mengikuti seminar dan pendidikan selama 1 (satu) minggu atau minimal 110 jam untuk dapat menerima sertifikat yang secara langsung menjadi lisensi atau izin untuk pramuwisata dalam melaksanakan profesi sebagai pramuwista yang memiliki dedikasi dan profesinalisme dalam menjalankan pekerjaannya, memberi informasi yang valid dan bimbingan yang berkualitas kepada wisatawan yang berkunjung. Kebanyakan pramuwisata yang melakukan profesinya secara illegal atau tidak memiliki lisensi mungkin dikarenakan malasnya para pramuwisata tersebut mengurus lisensi ke Dinas Pariwisata yang dalam hal ini memiliki wewenang untuk mengeluarkan sertifikat sebagai syarat legalnya profesi pramuwisata dengan persetujuan dari Gubernur. Dalam dunia kepariwisataan terutama dalam pelayanan jasa pariwisata yang ditawarkan kepada wisatan ternyata masih banyak terjadi penyimpangan, seperti yang sudah di paparkan diatas yaitu para pelaku profesi kepariwisataan yang disini kita sebut dengan pramuwisata ada yang menjalankan tugasnya sudah memiliki lisensi dari pemerintah ada juga yang masih nakal dengan melakukan profesi tanpa lisensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun dalam hal ini sudah sangat jelas melanggar apa yang menjadi keharusan seorang pramuwisata dalam menjalankan profesinya, kemudian pramuwisata yang mempunyai lisensi ada juga yang tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam Perda No. 5/2008 jadi tidak tersertifikasi dan diragukan juga kualitasnya, karena pada dasarnya tidak mengikuti pendidikan atau pelatihan sebagai bekal dan tidak sesuai
11
dengan kode etiknya sebagai pramuwisata yang baik sesuai dengan peraturan yang berlaku, hal ini tidak hanya menurunkan kualitas seorang pramuwisata namun juga dapat membuat lisensi sebagai pramuwisata di ragukan fungsinya sebagai tolak ukur kualitas seorang pramuwisata. Berdasarkan praktek tersebut perlu diteliti sebab-sebab yang mengakibatkan pramuwisata tidak mentaati peraturan yang berlaku dan penegakan yang diperluan untuk
mengekfektifkan
pelaksanaan
ketentuan
sertifikasi
dalam
rangka
pemeliharaan kualitas dari pramuwisata. Bertitik tolak dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat suatu tema yang akan penulis bahas dengan judul; “PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA DI KABUPATEN BADUNG” 1.7. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apakah yang menjadi sebab ketentuan tentang lisensi dan sertifikasi seorang pramuwisata berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 tahun 2008 tentang pramuwisata tidak dapat dilaksanakan ? 2. Bagaimanakah bentuk pelaksanaan sanksi Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 tahun 2008 tentang pramuwisata terhadap pramuwisata yang tidak memenuhi ketentuan serifikasi ? 1.8. Ruang Lingkup Masalah Untuk membatasi suatu permasalahan yang akan diteliti maka ruang
12
lingkup dari permasalahan ini hanya membatasi mengenai bagaimanakah pelaksanaan Perda No. 5/2008 di Kabupaaten Badung. 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan Umum a. Untuk melatih dan mengasah kemampuan mahasiswa dalam menyatakan pemikiran dan pemahamannya di bidang pemerintahan daerah dan pariwisata. b. Untuk dapat melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada bidang penelitian yang dilaksanakan oleh mahasiswanya. c. Sebagai karya ilmiah yang diperuntukan guna memenuhi kewajiban yang sifatnya akademis, dalam rangka mengajukan usulan penelitian. 2. Tujuan Khusus a. Agar dapat menganalisa Faktor-faktor apakah yang menjadi sebab ketentuan tentang lisensi dan sertifikasi seorang pramuwisata berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 tahun 2008 tentang pramuwisata tidak dapat dilaksanakan. b. Agar dapat menganalisa bentuk pelaksanaan sanksi Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 tahun 2008 tentang pramuwisata terhadap pramuwisata yang tidak memenuh ketentuan serifikasi. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari penelitiian terdapat dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis yang dapat di jabarkan sebagai berikut;
13
1.5.1 Manfaat teoritis Hasil penelitiaan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan manfaat teoritis bagi pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan bidang pemerintahan daerah dan pariwisata. 1.5.2 Manfaat praktis a. Sebagai suatu bahan tinjauan bagi suatu badan atau biro pariwisata yang sebagai suatu badan usaha jasa yang menjalankan usahanya dalam kegiatan kepariwisataan didalam bidang pemandu wisata dan izinnya dalam melakukan profesinya tersebut. b. Dapat mengetahui bagimana pelaksanaan Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2008 Tentang Pramuwisata di daerah wisata di kabupaten Badung. c. Dapat mengetahui pengaturan sanksi terhadap pramuwisata yang menjalankan profesinya tidak sesuai dengan perda. d. Dapat memberikan suatu informasi yang bermanfaat, baik berupa masukan maupun berupa sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan kegiatan pariwisata maupun profesi pemandu wisata itu sendiri. 1.6 Orisinalitas Penelitian Sepengetahuan penulis, penulis menemukan tesis yang judulnya hampir mirip dengan judul tesis yang penulis ajukan;
14
1. I Ketut Supartha, tesis tahun 2011, Universitas Udayana, Bali, Dengan Judul: Pengawasan Terhadap Pramuwisata Di Provinsi Bali, Dalam Tesis ini masalah yang dikaji mengenai : a. Bagaimanakah
kewenangan
pemerintah
provinsi
bali
dalam
pengaturan usaha pramuwisata ? b. Bagaimanakah pengawasan terhadap usaha pramuwisata di provinsi bali? 2. Isma Novita Yanis, Tesis Tahun 2012, Universitas Udayana, Bali, dengan judul : Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah Bali No 5 tahun 2008 tentang Pramuwisata yang bertujuan untuk mengurangi pramuwisata ilegal di provinsi Bali , dalam tesis ini membahas tentang : a. Bagaimankah efektivitas pelaksanaan Perda Provinsi Bali No.5 tahun 2008 di provinsi Bali? b. Apa sajakah kendala yang dialami dalam pelaksanaan perda No 5 tahun 2008 di provinsi Bali? Meskipun judul tersebut bermiripan tetapi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian penelitaian tersebut, Permaslahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada refrensi buku buku dan informasi. Maka bedasarkan pada alasan alasan tersebut maka dapat di simpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena penekanan pada penelitian ini belum memperoleh kajian oleh peneliti peneliti lainnya, oleh karena itu peneliatian yang penulis lakukan dapat dikemukakan
15
bersifat orisinal dan layak untuk dijadikan sebagai objek penulisan dalam bentuk tesis 1.7 Landasan Teoritis Dan Kerangka Berfikir 1.7.1 Landasan Teoritis Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsep-konsep, maupun pandangan-pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian. Pandangan-pandangan teoritis dimaksud dijastifikasi dengan peraturan perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum kepariwisataan. 1) Teori Efektivitas Kata efektivitas berasal dari kata “efektif” yang artinya berhasil atau sesuatu yang di lakukan berhasil dengan baik. Pada umunya, efektivitas sering di hubungkan dengan efisiensi dalam pencapaian tujuan organisasi, padahal suatu tujuan atau saran yang telah tercapai sesuai dengan rencana dapat di katakan efektif, tetapi belum tentu efisien. Efektivitas merupakan gambaran tingkat keberhasilan atau keunggulan dalam mencapai sasaran yang telah di tetapkan dan adanya keterkaitan antara nilai-nilai yang bervariasi. Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-pertama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu di taati atau tidak di taati tentu saja, jika aturan hukum di taati oleh sebagian target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan hukum yang bersangkutan adalah efektif, namun demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati efektif, tetapi kita masih tetap dapat mempertanyakan
16
lebih jauh derajat efektivitasnya.14 Paul dan Dias Sebagaimana di kutip dalam Derita Prapti Rahayu mengemukakan bahwa ada lima syarat yang harus di penuhi untuk mengefektifkan hukum yaitu : 1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu di tangkap dan di pahami 2. Luas tidaknya kalangan di dalama masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan hukum. 3. Efesien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum. 4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah di jangkau dan di masuki oleh setiap warga masyarakat melainkan juga cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa.. 5. Adanya anggapan dan juga pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan hukum itu berdaya kemampuan yang efektif.15 Derita Prapti Rahayu juga mengemukakan bahwa agar suatu hukum dapat efektif mencapai tujuan dan sasarannya, beberapa elemen dasar ;dalam hukum haruslah berjalan atau berfungsi dengan baik yaitu sebagai berikut: 1. Aturan hukum harus lengkap dan up to date. 2. Penegakan hukum harus berjalan dengan baik dan fair. 3. Penegakan hukum harus berjalan dengan sungguh-sungguh imajinatif, dan tidak memihak. 4. Budaya hukum dan kesadaran masyarakat harus mendukung pelaksanaan hukum.16 Berbicara mengenai efektivitas hukum, Soerjono Soekanto sebagaimana di kutip dalam Siswanto Sunarso berpendapat tentang pengaruh hukum, yaitu sebagai berikut : Salah satu fungsi hukum baik sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusi. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan hukum, tetapi mencakup
14
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori peradilan (jurisprudence) Termasuk interprestasi Undang-Undang (legisprudence), Kencana Prrenada Media Group, Jakarta, h.375. 15 Derita Prapti Rahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafa Media, Yogyakarta, h.37. 16 Ibid, h.39.
17
efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif. 17 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Friedman sebagaimana dikutip dalam Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa : “Pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance), dan pengelakan (evasion). Konsep-konsep ketaatan, ketidaktatan atau penyimpangan, dan pengelakan sebenarnya berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Bilamana hukum tersebut berisikan kebolehan, perlu dipergunakan konsep-konsep lain, yakni penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse), dan penyalahgunaan (misuse), hal tersebut adalah lazim di bidang hukum perikatan.”18 Efektivitas hukum menurut Scholars sebagaimana dikutip oleh Friedman dalam Siswanto Sunarso diakui bahwa “pada umumnya dapat dikelompokkan dalam teori tentang perilaku hukum ialah aktualisasi kegiatan hukum”.19 Selanjutnya Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa “efektivitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektivitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif”.20 2) Teori Kewenangan Teori kewenangan ini di pakai untuk menganalisa kewenangan pemerintah dalam mengatur urusan yang menjadi kewenangannya, baik merupakan 17
Soerjano Soekanto, 1988, Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi, Ramadja Karya Bandung, duktip dari Siswanto Sunarso, 2011, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Cet.IV, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.88 18 Ibid, h. 89. 19 Ibid. 20 Ibid.
18
urusan wajib atau urusan pilihan. Dalam kaitannya dengan kewenangan, F.A.M. Stroink dan J.G Steenbeek di kutip dari Ridwan HR menyatakan bahwa kewenangan itu merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan Hukum administrasi21 sebab di dalam wewenang tersebut mengandung hak dan kewajiban, bahkan di dalam hukum tata negara wewenang di deskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechskracht) artinya hanya tindakan yang sah (berdasarkan wewenang) yang mendapatkan kekuasaan hukum (rechskracht).22 Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi negara, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat di jalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintah atas dasar yang diatur dalam peraturan perundang undangan (legaliteit beginselen).23 Istilah teori kewenangan di sejajarkan dengan bevoegdheid dalam istilah hukum belanda, menurut Philipus M Hadjon mengatakan bahwa “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum“.24 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang di maksud untuk mengendalikan prilaku subjek hukum, dasar hukum di maksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan komponen konformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang haruslah mempunyai standar.
21
Ridwan H.R, 2008 , Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.101. ibid 23 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi , LaksBAng PRESindo, Yogyakarta, h.49. 24 Philipus M Hadjon , 1998, Tentang wewenang , Bahan Penataran Hukum Addministrasi , Fakultas Hukum Universitas Airlangga , Surabaya , h.67. 22
19
Kewenangan secara teori dapat di peroleh melalui 3 cara yaitu, atribusi, delegasi dan mandate.25 Atribut (atribute) adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ26 pemerintah; delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintah yang lain, sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintah mengizinkan kewenangannya di jalankan oleh organ lain atas namanya. Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Didalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten), dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara keseluruhan.27 Didalam kepustakaan hukum publik terutama dalam hukm administrasi, wewenang pemerintah berdasarkan sifatnya dapat di golongkan sebagai berikut:28 1. Wewenang yang bersifat terikat, yakni; wewenang yang harus sesuai dengan aturan dasar yang menentukan waktu dan keadaan wewenang 25
Ibid , h.2 . Ibid. 27 Bagir Manan, Wewenang Provinsi, kabupaten dan Kota, Dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 Mei 2000, h.1-2. 28 op.cit, h.52-44. 26
20
tersebut dapat dilaksanakan, termasuk rumusan dasar isi dan keputusan yang harus diambil. Disini ada atuan dasar yang mengatur secara rinci syarat-syarat di gunakannya wewenang. Syarat-syarat tersebut mengikat bagi organ pemerintah ketika akan menjalankan wewenangnya dan mewajibkan sesuai dengan aturan dasar yang dimaksud ketika wewenang di jalankan. Dilihat dari segi teknis yuridis wewenang terikat ini diklasifikasikan
sebagau
wewenang
umum
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan yang mengatur bagaimana cara badan atau pejabat administrasi bertindak menjalani wewenangnya. Sifat mengikat dari wewenang di maksud ialah adanya aturan (norma atau kaidah) yang harus di taati ketika wewenang tersebut akan di jalankan. 2. Wewenang bersifat fakulatif, yakni: wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat adminitrasi, namun demikian tidak ada kewajiban atau keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut dan sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal dan keadaan tertentu berdasarkan aturan dasarnya. 3. Wewenang bersifat bebas, yakni: wewenang badan atau pejabat pemerintahan (administrasi) dapat menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan di keluarkan, karena peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenangnya. Sementara menurut Philipus M Hadjon bahwa cara memperoleh wewenang yaitu melalui atribusi dan delegasi kadang-kadang juga mandat di tempat sebagi
21
cara tersendiri untuk memperoleh wewenang. Ruang lingkup wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang dalam rangka melaksanakan tugas nya dan distribusi wewenang utamanya di tetapkan dalam konstitusi: pembentukan wewenang pemeritah di dasarkan pada wewenang yang di tetapkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Dengan kata lain,
bahwa
“setiap
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintah harus memiliki legitimasi, yaitu wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian substansi dan legalitas ialah wewenang yaitu kemampuan untuk melaksanakan tindakan tindakan hukum tertentu. Dalam hukum, wewenang sekaligus berati hak dan kewajiban. Kemudian dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan unruk mengatur sendiri (zelfregelan) dan mengelola sendiri (zelfsubstein): sedangkan kewajiban secara horizontal berati kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagai mana mestinya29. Dalam negara hukum, wewenang pemerintah berasal dari undang-undang yang berlaku, dengan kata lain, organ pemerintah tidak dapat menganggap bahwa ia memliliki sendiri wewenang pemerintah. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang, pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya pada organ pemerintahan, tetapi juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam konstitusi Indonesia yaitu undang undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di temukan beberapa pasal yang melahirkan kewenangan, baik dii berikan kepada eksekutif, legislatif maupun yudisial dalam pasal pasal tersebut. Kewenangan ditafsirkan
29
Ridawan HR , 2002 , Hukum Administrasi Negara , UI Press ,Yogyakarta, h.72 .
22
dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat, tidak dapat, menyatakan, mengangkat memberi, mengatur, menyatakan, menetapkan, fungsi, dapat melakukan, kekuasaan berwenang dan lain lain dengan berbagai istilah, akan tetapi substitusi dan maksudnya sama yaitu kewenangan atau mempunyai authority di nyatakan bahwa berwenang bukanlah power belaka tetapi authority mencakup hak dan kekuasaan sekaligus. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di jumpai beberapa istilah tersebut seperti pasal 18 mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan didaerah dan kewenangan untuk memebuat peraturan daerah dan pasal 33 mengenai kewenangan pemerintah untuk menguasai bumi, air dan kekayaan alam. Dengan demikian pemerintah merupakan kerangka dasar kewenangan dan kekuasaan hukum sebagai dasar untuk brtindak dalam penyelenggaraan penetapan (beschikking), pengaturan (regulasi) izin-izin mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Istilah tindakan pemerintah dipergunakan oleh Kunjtoro Purbopranoto30, sedangkan E Utrecht mempergunakan istilah tersebut dengan pembuatan pemerintah.31 Kemudian menurut Van Poslje tindakan pemerintah itu adalah tindakan tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Dalam menjalankan tugas Administrasi negara menurut E Utrech dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Admonistrasi Negara Indonesia pemerintah melakakukan tindakan yang dapat di golongkan
30
Kuntjoro purbopranoto, 1991 . Beberapa Catatan Hukum Tata cara Pemerntahan dan Peradilan Administrasi Negara , Alumni Bandung , h.40. 31 E Utrecht , 1990 , Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia , Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyrakat Universitas Negeri Pajajaran, h.86 .
23
dalam dua golongan besar yakni golongan perbuatan hukum (rechtshandeligen) dan golongan perbuatan yang bukan hukum (feitelijkehandlelingen). Kemudian berdasarkan kelaziman sistematik perbuatan hukum di bagi dalam dua golongan, yakni hukum privat (sipil) dan hukum publik. Tentang perbuatan hukum publik ada dua macam yaitu perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweezijdige publick handleingen) dan perbatan hukum publik persegi satu (Eenzijdige publick handleingen). Dalam perbuatan pemerintah yang bersegi satu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti sempit.32 Dalam kaitannya dengan pembahasan tesis ini adalah kewenangan dalam hal menerbitkan izin bagi pramuwisata dan juga bagaimana kewenangan pemerintah dalam memberikan sanksi bagi pramuwisata yang melanggar ketentuan Perda No 5/2008. 3. Teori Ketaatan Hukum Pendapat Weber sebagaimana di kutip oleh Hari Chand dalam tesis Dewi Bunga yang sudah di terjemahkan, menyatakan bahwa motif dari ketaatan mungkin banyak perbedaan jenisnya. Mereka sebagian besar adalah kemanfaatan, etis atau subjektif konvesional, yaitu, terdiri dari rasa takut di tolak oleh lingkungan. Menilik kebiasaan untuk mentaati, weber menemukan bahwa itu adalah fakta psikologis primer meskipun tidak mungkin untuk mengetahui pengalaman homo sapiens (manusia) pertama.33
32
Ibid. h. 62-69. Dewi Bunga, 2011, “Penegakan Hukum Terhadap Prostitusi Cyber (Suatu Kajian Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional)” (tesis) Program Studi (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h.29 33
24
Ketaatan hukum tidaklah lepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran hukum yang tidak baik adalah ketidaktaatan hukum. Pernyataan ketaatan hukum harus disandingkan sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan ketaatan hukum. Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia, hukum berbeda dengan seni, ilmu dan profesionalis lainya, struktur hukum pada dasarnya berbasis kepada kewajiban dan tidak diatas komitmen. Kewajiban moral untuk mentaati dan peranan peraturan membentuk karakteristik masyarakat. Didalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah sama dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah demikian dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial jika tidak dilaksanakan atau dilakukan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat inilah yang menjadi penghakim. Tidaklah berlebihan bila ketaatan didalam hukum cenderung dipaksakan. Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis, mengutip H. C Kelman dan L. Pospisil ,yaitu: 1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.34 2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak. 3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intristik yang dianutnya.
34
Ali Achmad,2009 , Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence), Penerbit Kencana, , h.342.
25
Teori ketaatan hukum dalam kaitannya dengan kegiatan pramuwisata dalam usaha jasa pariwisata adalah bila mana seorang pramuwisata dapat taat dan patuh terhadap peraturan yang mengatur tentang bagaimana seorang pramuwisata bisa dikatakan menjadi pramuwisata yang legal dan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pramuwisata terhadadap ketaatnya terhadap hukum yang berlaku dan mengatur tentang bagaiamana profesi pramuwisata itu sendiri. 4. Teori Kualitas Produk Menurut Kotler, “Kualitas produk adalah keseluruhan ciri serta dari suatu produk atau pelayanan pada kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat”35, kualitas produk merupakan hal yang harus di perhatikan dalam sebuah usaha atau industri. Kepuasan konsumen merupakan hal yang paling utama yang harus di perhatikan dalam sebuah industri baik industri yang menghasilkan barang maupun jasa. Sedangkan menurut Lupiyoadi menyatakan bahwa “kualitas produk akan terpenuhi apabila konsumen akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.“36 Menurut Kotler produk memiliki arti penting bagi perusahaan karena tanpa adanya produk, perusahaan tidak akan dapat melakukan apapun dari usahanya. Pembeli akan membeli produk kalau merasa cocok, karena itu produk harus disesuaikan dengan keinginan ataupun kebutuhan pembeli agar pemasaran produk berhasil
dengan kata lain, pembuatan produk lebih baik diorientasikan pada
35
Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran. Jilid II. Edisi Kesebelas. Alih Bahasa Benyamin Molan. Jakarta. : Indeks 36
h.158.
Lupiyoadi, Rambat, 2001, Manajemen Pemasaran Jasa, Salemba Empat, Jakarta,
26
keinginan pasar atau selera konsumen. Menurut Kotler dan Amstrong37 adalah; “Segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan”. Mc Charty dan Perreault mengemukakan bahwa, “Produk merupakan hasil dari produksi yang akan dilempar kepada konsumen untuk didistribusikan dan dimanfaatkan konsumen untuk memenuhi kebutuhannya”. Sedangkan menurut Saladin38 ”Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke suatu pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan”. Pembahasan dalam tesis ini menyatakan bahwa kualitas produk meliputi bagaimana Dinas Pariwisata bisa menjamin produk dalam bentuk profesi jasa pramuwisata yang dibuktikan dengan kepemilikan lisensi yang menjadi jaminan bahwa pramuwisata tersebut profesional dan dapat membawa kualitas pariwisata di Bali khusunya daerah Badung menjadi lebih baik. Produk tidak hanya terbatas pada produksi barang saja namun dalam hal pelayanan jasa pariwisata, pramuwisata merupakan salah satu bentuk produk jasa yang wajib di jamin kualitasnya karna pramuwisata adalah profesi yang bersinggungan langsung dengan wisatawan dimana hal ini sangat mempengaruhi penilaian wisatawan terhadap kualitas wisata yang kita miliki.
37
Kotler, Phillip dan Gary Amstrong, 2001, Prinsip-Prinsip Pemasaran, jilid 2, edisi ke8, Penerbit Erlangga, Jakarta , h.346. 38
H. Djaslim Saladin dan Yevis Marty Oesman, 2002, Intisari Pemasaran dan Unsur-unsur Pemasaran, Cetakan Ke Dua, Linda Karya Bandung, h.121.
27
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka berfikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Pramuwisata di Kabupaten Badung
Berkempanganya kegiatan kepariwissataan dengan sangata pesata membuat banyak masyarakat memilih profesi di bidang kepariwisataan salah satunya adalah pramuwisata. Pramuwisata diatur sebagai mana mestinya dalam Peraturan Daerah No 5 tahun 2008 Tentang Pramuwisata. Namun Banyaknya penyimpangan mengenai Pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali no 5 tahun 2008 Tentang Pramuwisata di lapangan, hal ini bisa mempengaruhi atau berdampak pada kualitas dan juga citra pariwisata ke depannya.
Faktor-faktor yang menjadi sebab ketentuan tentang lisensi dan sertifikasi seorang pramuwisata berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 tahun 2008 tentang pramuwisata tidak dapat dilaksanakan
teori ketaatan hukum, teori kualitas produk.
bentuk pelaksanaan sanksi Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 tahun 2008 tentang pramuwisata terhadap pramuwisata yang tidak memenuhi ketentuan serifikasi
Teori kewenangan, teori kualitas produk, teori efektifitas hukum.
28
1.8 Metode Penelitian Untuk memperoleh data dan bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitan hukum dengan menggunakan metode yang lazim digunakan dalam metode penelitian hukum yang dimaksud untuk dapat mendekati kebenaran yang berlaku umum dengan suatu teknik penelitian sebagai berikut: 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, suatu pendekatan terhadap masalah dengan cara mengkaji permasalahan yang muncul dalam kenyataan dilapangan dan selanjutnya dihubungkan dengan peraturan-peraturan hukum dan teori-teori hukum yang ada. Penelitian beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu adanya kesenjangan antara peraturan-peraturan dengan realita atau dengan fakta hukum, dan adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik39, dengan demikian tidak hanya mempelajari fakta hukum tetapi juga bahan-bahan yang sifatnya normatif dalam rangka mengolah dan menganalisa data dari lapangan yang disajikan dalam pembahasan. 1.8.2 Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Dikatakan deskriptif dikarenakan oleh penelitian ini memiliki tujuan untuk memperoleh gambaran secara rinci, sitematis, dan menyeluruh mengenai bagaimana peranan pemerintah dalam mengatasi pertumbuhan pramuwisata tanpa 39
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Dalam Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h.125.
29
lisensi dan juga pelaksanaan Perda No. 5/2008 yang masih banyak ditemui penyimpangan dalam kegiatan kepariwisataan, Bersifat analitis karena dengan menggunakan cara menganalisa data yang di peroleh oleh perundang-undangan yang berlaku, dari pendapat para ahli, dan teori-teori ilmu hukum yang berkaitan dengan peranan pemerintah daerah dalam mengatasi pertumbuhan pramuwisata tanpa lisensi dalam kegiatan kepariwisataan. 1.8.3 Data dan Sumber Data Menurut Peter Mahmud Marzuki40 mengatakan data penelitian hukum dapat di bedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah “data yang bersal dari data lapangan, dimana data itu di peroleh baik dari responden maupun informan, sedangkan data sekunder adalah data yang tingkatannya kedua bukan utama” 41 Jenis bahan bahan hukum dalam penulisan ini, terdiri dari bahan sekunder yang mencakup; a. Bahan Hukum Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama42. Data primer dalam penulisan tesis ini bersumber dari penelitian dilapangan yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas. b. Bahan Hukum sekunder merupakan suatu data yang bersumber dari
40
Marzuki. Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.141. 41 H. Salim HS dan Eirlies Septiani Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Desertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.25. 42 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h.30.
30
penelitian kepustakaan. Sumber data sekunder di dalam penelitian ini di ambil dari dokumen-dokumen yang berbentuk bahan-bahan hukum. c. Bahan Hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupuan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan sebagainya. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Di dalam penelitian hukum empiris, dikenal teknik-teknik untuk mengumpulkan data yaitu dengan cara studi dokumen dan wawancara; 1. Teknik Studi Dokumen Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan di dalam setiap penelitian ilmu hukum,studi dokumen ini dilakukan dengan berdasarkan bahan-bahan hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian yang mempergunakan undang-undang dan peraturan pemerintah. 2. Teknik Wawancara Teknik wawancara merupakan teknik mengumpulkan data dengan cara mewawancarai para informan ataupun responden di daerah
wisata
di
kabupaten
badung
dengan
mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di bahas. Menurut Sanapiah Faisal43, Studi Pustaka adalah sumber data 43
Sanapiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi,Penerbit YA3 Malang, h.23.
31
bukan manusia. Dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau peraturan atau kebijakan-kebijakan yang berlaku dan berhubungan erat dengan pokok permasalahan laporan ini. 1.8.5 Teknik penentuan Sampel Penelitian Teknik sampel (teknik sampling) adalah prosedur yang di gunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan karakteristik dari suatu populasi, meskipun hanya beberapa orang yang di wawancarainya.44 Adapun teknik penentuan sample yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teknik non probability sampling, dimana dalam teknik pengambilan sampel ini, tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Bentuk teknik non probability sampling yang di gunakan adalah: 1. Judgemental atau purposive sampling, adalah penarikan di lakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu dimana sampel dipilih dan di tentukan sendiri oleh penelitian berdasarkan pertimbangan kriteria dan sifat tertentu.45 Teknik ini di guankan dalam hal menentukan lokasi penelitian yang relevan dengan permasalahan yang di teliti, seperti beberapa Instansi pemerintah yaitu; Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Dinas Satuan Polisi Pamong Praja, DPD HPI Bali, dan beberapa tempat wisata yang tersebar di Kabupaten Badung. 44
H Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.98 Soerjano Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Universitas Indonesia, jakarta (UI-Press), h.196 45
32
2. Snowball sampling adalah teknik penarikan sampel yang didasarkan pada rekomendasi dari sampel sebelumnya. Sampel pertama yang di teliti di tentukan sendiri oleh peneliti dengan mencari key informan (informan kunci) ataupun responden kunci yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang dilakukan oleh peneliti. 1.8.6 Teknik Pengolahan dan Anlisis Data Setelah data semua dikumpulkan, maka data akan dianalisa secara kuantitatif, yang dimaksudkan dengan cara kualitatif yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari beberapa sumber dikumpulkan dan bertujuan untuk mendapatkan data yang relefan dengan masalah yang diangkat dan kemudian akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan penyajian yang menggambarkan secara lengkap berkaitan dengan permasalahan dalam pembahasan tesis ini.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPARIWISATAAN DAN PRAMUWISATA
Dalam bab ini akan di jelaskan pokok-pokok bahasan yang berkaitan dengan Kepariwisataan dan pramuwisata meliputi; konsep perdagangan wisata, bagaimana peran pramuwisata sebagai unsur dalam perdagangan jasa pariwisata, sertifikasi sebagai standar kualitas pramuwisata, dan bagaimana pengaturan kualitas pariwisata. 2.1 Konsep dan Perkembangan Pariwisata Dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan disebut dengan wisata adalah kegiatan perjalanan yang di lakukan oleh sesorang atau kelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang di kunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan Pasal 1 angka 3 menyebutkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan di dukung berbagai fasilitas serta layanan yang di sediakan oleh masyarakat, pengusah, pemeritah dan Pemerintah Daerah. Sedangkan Pasal 1 angka 4 menyebutkan kepariwisataan dalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebgai wujud kebutuha setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatwan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha.
33
34
I Gede Pitana dan I Ketut Surya Diarta46 mengatakan bahwa “konsep pariwisata mengandung kunci ‘perjalanan’ (tour) yang di lakukan seseorang, yang melancong demi kesenangan untuk sementara waktu, bukan untuk mentap atau bekerja“. Sementara itu berkaitan dengan batasan yang di berikan Undang-Undang Kepariwisatan menarik untuk di kemukakan definisi yang di berikan oleh Fennel seperti yang di kutip oleh I Gede Pitana dan I Ketut Surya Diarta yang mengatakan; “Tourism is definrd as interrelated system that includes tourist and the associated services that are provided and utilised (facilities , attractions , transportation, and accomodation) to aid their movement”. 47 Menurut Gamal Suwantoro mengataan bahwa “istilah pariwisata berhubugan erat dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu suatu perubahan tempat tinggal sementara sesorang diluar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah”.48 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan wisata merupakan suatau perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan kesenangan dan memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu. Dapat juga karena kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan olahraga untuk kesehatan, konvesi, keagamaan. Menurut Chuck Y, Gee, James C. Makeens Dexter J.L Choy dalam bukunya The Travel Industry menyebutkan “since the 1970s , the term tourism has been commonly used the desribe the field of travel reflected to some etend the increasing growth in
46
Pitana, I Gede dan I ketut Surya Diarta , 2009 , Pengantar Ilmu Pariwisata, CV Andi Offset , Yogyakarta, h .12. 47 Ibid. 48 Gamal Suwantoro , 2004 , Dasar-Dasar Pariwisata, Penerbit Andi , Yogyakarta , h.3.
35
pleasure travelers, who usuallywere called tourist”49. Selanjutnya dikatakan sesuai dengan rekomendasi international Confrence om Travel and Tourism Static yang di selenggarakan di Ottawa Kanada selama bulan juni tahun 1991 maka pengertian baru tentang pariwisat disebutkan; “Tourism comprises the activities of person trave6ling to staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes”50 “Pariwisata terdiri dari kegiatan orang yang berpergian ke dan tingal di tempattempat di luar lingkungan biasa mereka selama tidak lebih dari satu tahun berturut-turt untuk liburan, bisnis dan keperluan lainnya”. Menurut Robert Christie Mill dan Alastair M. Morrison dalam bukunya The Tourism System : An Introductory Text mengatakan No definition of toursm are universally accepted. There is a link between tourism, travel, recreation, and leisure yet the link is fuzzy. All tourism involves travel. Yet not a limits travel is tourisn. All tourism occurs during leisure time, but no all leisure time is given tourist pursuit. The definition of tourism as an industry with clearly defined would aid both those within and outside of tourism in getting a clear picture of what tourism is all about. With a clear image would come better understanding.51 “Tidak ada definisi pariwiwsata yang di terima secaa universal. Ada hubungan antara pariwisata, perjalanan, rekreasi dan liburan namun hubungan tersebut kabur. Pariwiwsata melibatkan perjalanan. Namun tidak semua perjalanan adalah pariwista. Pariwisata melibatkan rekreasi, namun tidak semua rekreasi adalh pariwisata.
49
Gee.Chuck Y.,James C Maken , Dexter J.L.Choy , 1996 ,The travel Industry , Jhon Wiley& Son , Inc ., United State of America ,h.10. 50 .Ibid. h.12 51 Mill, Robert Cristie and Alastair M. Morrison, 1985 , The Tourism System;An Introduction Text , Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffts , New Jersey 07632 , h.xvii.
36
Pariwisata terjadi selam liburan, tetapi tidak semua liburan diberikan kegiatan wisata. Definisi pariwisata sebagai industri dengan bats-bats yang jelas akan membantu orang orang baik di dalam maupun luar pariwiwtsa dalam mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud edengan pariwisata. Dengan gambaran yang jelas akan muncu pemahaman yang baik.” Dari definisi-definisi pariwisata diatas menurut Richardson and Flicker seperti dikutip oleh I Gede Pitana dan I Ketut Surya Diarta52 mengatakan bahwa dalam pariwisata terkandung beberapa unsur pokok , yaitu : 1. Adanya unsur travel (perjalanan), yaitu penggerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain. 2. Adanya unsur “tinggal sementara” di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal biasnya: dan. 3. Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut bukan untuk mencari penghidupan/pekerjaan di tempat yang di tuju. Selanjutnya Mathieson dan Wall seperti di kutip I gede Pitana dan I ketut Surya Diarta53 menyebutkan bahwa pariwisata mencakup 3 elemen utama, yaitu : 1. A dynamic element, yaitu travel ke suatu destinasi wisata 2. A static elemen , yaitu singgah di daerah tujuan; dan 3. A consequential element, atau akibat dari dua hal di atas (khususnya terhadap masyarakat lokal), yang meliputi dampak ekonomi, sosial dam fisik dari adanya kontak wisatawan. Dari batasan tersebut diatas kita bisa melihat beberapa unsur dalam aktivitas 52 53
Pitana, I Gede dan I Ketut Surya Diarta, 2009, op.cit, h.46 ibid
37
pariwisata yaitu : 1. Adanya orang-orang yang melakuakan perjalanan baik secara perorangan maupun berkelompok. 2. Memiliki tujuan tertentu seperti rekreasi, pengembangan pribadi, kesehatan, ekonomi dan sebagainya. 3. Perjalanan tersebut dilakukan untuk jangka waktu sementara, tidak untuk menetap dan bekerja. 4. Adanya fasilitas serta pelayanan yang di sedikan untuk aktivitas tersebut. Pasal 1 angka 2 UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwsataan menyatakan orang yang melakukan kegiatan wisata disebut dengan wisatawan namun pengertian ini sangatlah luas sehingga sulit untuk mencari indikator yang di gunakan untukmembedakan wisatwan dengan pendatang di suatu wilayah. UN Convention Concerning customs facilities for touring mendefinisikan wisatwan sebagai orang yang mengunjungi suatu negara seecra sah dan tidak untuk keperluan berimigrasi dengan waktu tinggal setidak-tidaknya 24 jam dan selama-lamanya 6 (enam) bulan di tahun yang sama.54 Berbeda demgan UN Convention Concerning customs facilities for touring, Matheienson dan Wall memilih untuk mencoba menjelskan tentang pengertian dari kegiatan wisata sebagai : “tourism activity relates to themporary movement to destination outside the normal home and work place, the activities undertaken during the stsay the facilities created to carter for the neeeds of the tourist”55 Menurut Mathieson dan wall kegiatan wisata berkaitan dengan pengerakan sementara 54
Bambang Sunaryo, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata (konsep dan aplikasinya di Indonesia), Gava Media, Yogyakarta, h.2 55 Chris Cooper, Rebecca Sheperd, 1996, Educating The Educator in tourism : a Manual of Tourism and Hospitaly Education, World Tourism Organization with University of Surrey, Madrid, Page.16.
38
ke suatu tempat tujuan di luar ruah dan tempat kerja sehari-hari, kegiatan yang dilakuakan selama masa tinggal di tempat tersebut fasilitas yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Berdasarkan uraian mengenai pengertian istilah-istilah dan batasan dari pengertian istilah tersebut dapat di pahami bahwa kegiatan kepariwisataan merupakan rangkaian dari segala kegiatan dan segala aspek kehidupan yang berkaitan dengan pariwisat yang melibatkan wisatawan, masyarakat setempat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah baik dari segi interaksi maupun penyediaan fasilitas demi kebutuhan setiap orang di negara. Dengan kata lain kegiatan kepariwisataa merupakan kegiatan yang terselenggara bukan hanya karena kebutuhan setiap orang akna tetapi juga terselenggara karena kebutuhan negara. Perkembangan pariwisata di Indonesia sudah sedemikian pesatnya sehingga banyak hal yang harus mendapat perhatian terutama hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan dan profesi kepariwisataan. Pengaturan pariwisata di Indonesia dari awal perkembangannya diatur dalam berbagai bentuk pengaturan perundang-undangan. Ida bagus Wyasa Putra dkk.,56 menyatakan bahwa “Kebijakan Kepariwisataan Indonesia, berdasarkan perkembangan pengambilan kebijakan, dapat di klasifikasikan atas tiga tahap, yaitu tahap pertama (1961-1969), Tahap Kedua (1969-1998), Tahap Ketiga (1999-hingga kini), Selanjutanya dikatakan perkembangan Tahap Pertama (19611969). Pengaturan pariwisata diatur dalam Garis-Garis Besar Pembangunan Nasional Semesta berencana tahap pertama menempatkan kebijakan kepariwisataan di bawah bidang Distribusi dan perhubungan dengan tiltle tourisme. Kebijakan ini mencakup 56
Wyasa Putra , Ida Bagus, dkk., 2003 , Hukum Bisnis Pariwisata ,PT Refika Aditama, Bandung, h.3.
39
tiga hal : a. Gagasan mempertinggi mutu kebudayaan; b. Peningkatan perhatian terhadap kesenian di daerah-daeah pusat tourisme; dan c. Pemeliharaan kepribadian dan keaslian kebudayaan sesuai kepribadian daerah masing-masing. Tahap ini ditandai dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 tahun1969 tentang pengembangan Kepariwisataan nasional. Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1969 menyebutkan bahwa “kebijakan umum dibidang pengembangan kepariwisataan Nasional di tetapkan oleh Presiden”. Selanjutnya Pasal 2 nya menentukan “Dalam menetapkan kebijaksanaan umum tersebut dalam Pasal 1 Keputusan ini, Presiden dibantu oleh sebuah Dewan Pertimbangan Kepariwisataan Nasional”. Sebagai Tindak lanjut dari ditetapkannya Keppres Nomor 30 Tahun 1969, Presiden kemudian mengeluarkan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor Tahun 1969 yang mengintruksikan kepada Mentri perhubungan untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam intruksi ini sebagai pedoman dalam melaksanakan dan membina pengembangan kepariwisataan nasional. Bab III dari intruksi presiden Nomor 9 Tahun 1969 mengatur tentang Ruang Lingkup Tugas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Peranan Pihak Swasta. Pasal 6 Intruksi Presiden Nomor 9 tahun 1969 menentukan “Tugas Pokok Pemerintah Pusat dalam rangka usaha pengembangan pariwisata adalah mengadakan peraturanperaturan, menciptakan iklim dan kondisi yang sehat serta mengadakan prasaranaprasarana yang dapat memperlancar perkembangan pariwisata pada umumnya dan pariwisata Internasional pada khusunya”. Sedangkan pasal 7 menetukan “tugas pokok
40
Pemerintah Daerah dalam rangka usaha pengembangan pariwisata adalah membantu pelaksanaan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, menciptakan iklim dan kondisi yang sehat didaerahnya serta mengadakan prasaran-prasarana yang termasuk kewajibannya, yang kesemuanya dapat memperlancar perkembangan pariwisata pada umunya dan pariwisata dalam negeri pada khusunya”. Dari ketentuan pasal 6 dan pasal 7 Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1969 terlihat bahwa pemerintah daerah hanya membantu pemrintah pusat dalam pelaksanaa peraturan-peraturan pariwisata, ini berarti bahwa urusan pariwisata menjadi kewenangan pemerintah pusat. Perkembangan tahap kedua (1969-1998), ciri utama kebijakan kepariwistaan tahap kedua adalah penekanan kepariwisatan sebagai sumber devisa. Kkebijakan kepariwisataan di rumuskan dalam frase memperbesar penerima devisa dari sektor pariwisata dengan segala daya upaya. Dalam PELITA III (19691984) kebijakan pariwisata diarahkan pada : a. Peningkatan penerimaan devisa, perluasan kesempatan dan lapangan kerja; b. Pengaturan yang lebih terarah; dan c. Pengembagan pariwisata domestik untuk pengenalan budaya; Dalam PELITA IV (1983-1989) kebijakan sebelumnya di lengkapi dengan tiga aspek penting, yaitu: a. Kepariwisataan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup; b. Kebijakan kepariwisataan terpadu; dan c. Peningkatan promosi, pendidikan, penyediaan sarana dan prasarana.57 Pada Tahap Kedua ini pemerintah menetatapkan Undang-Undang Nomor 9
57
ibid, h.4.
41
Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan. Undang-Undang ini sejalan dengan amanat GBHN yang menempatkan pariwisata sebagai sumber penerimaan devisa Negara. Undang-undang nomor 9 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, lebih menekankan pada pengaturan usaha pariwisata, dimana usaha pariwisatadikelompokan menjadi tiga jenis usaha, yaitu; 1. Usaha jasa pariwisata; 2. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata; 3. Usaha sarana pariwisata; Perkembangan Tahap Ketiga (2000-sekarang) sebagaimana diatur dalam program pembangunan nasional tahun 2000-2004 menempatkan pariwista dalam bidang pembangunan Sosial Budaya dengan judul kebudayaan, kesenian dan pariwisata. Kebijakan kepariwisataan diletakan pada dua gagasan kunci: a. Kepariwisataan berpijak pada kebudayaan tradisional; dan b. Kepariwisataan sebagai wahana persahabatan antar bangsa.58 Pariwisata adalah suatu gejala sosial yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek; sosiologis, psikologis, ekonomis, ekologis, dan sebagainya.59 Gejala pariwisata telah ada semenjak adanya perjalan manusia dari satu tempat ke tempat yang lan dan perkembanganya sesuai dengan sosial budaya masyarakat itu sendiri. Semenjak itu pula kebutuhan kebutuhan manusia yang harus di penuhi selama perjalannya, di samping juga adanya motivasi yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan meningkatnya peradaban manusia dorongan untuk melakukan perjalanan semakin kuat dan 58
ibid.h,5. I Ketut Suwena , 2010 , Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata , Penerbit Udayana University pers , Denpasar , h.viii 59
42
kebutuhan yang harus di penuhi semakin kompleks. Motivasi dan motif perjalanan dari zaman ke zaman berbeda-beda tingakatannya, sesuai dengan perkembangan dan tingkat sosial budayanya, juga pengaruh dari kegiatan ekonomi,
masyarakat sekitarnya sendiri. Motivasi dan motif perjalanan
masyarakat pada zaman itu tentunya berbeda dengan motivasi dan motif dari masyarakat pada jaman modern. Cara perjalanan dan fasilitas yang digunakan masyarakat masih sederhana kalau dibadingkan dengan masyarakat yang lebih maju. Pariwisata adalah kegiatan yang memiliki dampak ekonomi, budaya, dan lingkungan. Di satu sisi peran pariwisata juga sangat besar dalam pembangunan ekonomi namun tidak berarti ada pembenaran jika suatu saat pariwisata menjadi alasan eksploitasi dari lingkungan itu sendiri,60 pariwisata diharapakan dapat memberikan dampak yang sistemik bagi kehidupan masyarakat disekitarnya, tidak hanya untuk ekonomi juga modernisasi yang bisa mempermudah kegiatan kepariwistaaan berjalan lebih baik dan bisa meningkatan taraf hidup masyarakat. Pulau Bali sangat kecil, akan tetapi menyimpan segudang daerah wisata yang sangat menarik minat wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Pariwisata atau tourism adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan, dan juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas
ini.
Seorang wisatawan atau turis adalah
seseorang
yang
melakukan
perjalanan paling tidak sejauh 80 km (50 mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi, merupakan definisi oleh Organisasi Pariwisata Dunia.61 Definisi yang lebih lengkap, tourism adalah industri jasa. Mereka menangani jasa mulai dari transportasi, jasa
60
Sedarmayanti, 2014, Membangun & Mengembangkan Kebudayaan & Industri Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, h.43. 61 I Putu GelGel, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi Perdagangan Jasa ( GATS-WTO), penerbit Refika Aditama, Denpasar, h.7.
43
keramahan, tempat tinggal, makanan, minuman, dan jasa bersangkutan lainnya seperti bank, asuransi, keamanan, dan lain-lain, dan juga menawarkan tempat istirahat, budaya, pelarian, petualangan, dan pengalaman baru dan berbeda lainnya. Banyak negara, bergantung banyak dari industri pariwisata ini sebagai sumber pajak dan pendapatan untuk perusahaan yang menjual jasa kepada wisatawan, Oleh karena itu pengembangan industri pariwisata ini adalah salah satu strategi yang dipakai oleh Organisasi Non-Pemerintah untuk mempromosikan wilayah tertentu sebagai daerah wisata untuk meningkatkan perdagangan melalui penjualan barang dan jasa kepada wisatawan non-lokal. Dizaman yang serba modern dan canggih seperti sekarang ini kegiatan kepariwisataaan khusunya didaerah Bali mengalami perkembangan yang sangat pesat hal itu berpengaruh terhadap konsep pariwisata yang berkembang dan berlaku dewasa ini. Memang dibanyak negara bergantung dari industri pariwisata dan ini merupakan sumber pajak dan pendapatan untuk perusahaan yang menjual jasa pariwisata. Oleh karena itu pengenbangan industri jasa pariwisata adalah salah satu strategi yang dipakai oleh organisasi non-pemerintah (Usaha jasa Perjalanan
Wisata)
maupun
organisasi
pemerintah
setempat
untuk
mempromosikan wilayah tertentu sebagai daerah wisata untuk meningkatkan perdagangan melalui penjualan barang atau jasa kepada wisatawan yang berwisata lokal maupun non lokal.
44
Pada dasawarsa terakhir, negara-negara berkembang menaruh perhatian lebih pada sektor pariwisata.62 kita dapat melihat semakin semaraknya program pengembangan kepariwisataan dibeberapa negara tersebut termasuk apa yang terjadi pada negara kita, antara negara satu dan negara lainnya seperti hendak bersaing dan ingin lebih unggul dari negara lainnya, dan negara yang satu seolah olah hendak melebihi negara yang lain untuk menarik kadatangan lebih banyak wisatawan.63 Indonesia sejak 5 tahun trakhir tidak pernah luput mencanangkan program kunjungan wisatawan seperti yang terjadi pada tahun 2009 (visit indonesia 2009). Tentu kita harus bersaing pula dengan negara-negara lainnya semisal India denganincredibel India, Thailand dengan Amazing Thailand, atau bahkan kamboja dengan Kingdom of wonder nya. Dari berbagai survei empiris dan pengamatan intensif, pariwisata telah menjadi lingkaran konsentrasi utama diberbagai negara yang ada dibelahan dunia, industri yang dibangun tanpa cerobong asap dan dan alat berat tersebut telah berhasil menjadi industri terbesar dan dikembangakan diberbagai negara, industri ini juga telah dijadikan industri terbesar yang berkembang sekarang ini. Banyak organisai dunia turut serta menjadi bagian dari industri pariwasata ini seperti; PBB, Bank Dunia dan WTO juga menjadi salah satu bagian dari berkembangnya kegiatan yang dulunya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang kaya namun pada masa kini kegiatan kepariwistaaan merupakan hak asasi manusia, setiap manusia membutuhkan rekreasi untuk menyegarkan kehidupan dan menjadi
62
IGN Parikesit Widiatedja ,2010, Liberalisai Jasa Dan Masa depan Pariwisata Kita, Denpasar, Udayana University Press , h.9. 63 Jusuf pangiaykim, 1985, Bisnis Internasional Dalam Lingkungan Ynag Berubah , Jakarta , sinar Harapan , h.116.
45
hibuaran dengan warna berbeda.64 Sehingga hal ini lah menjadi awal berkembangnya pariwisata banyak aspek yang dapat berkecimpung di dalamnya dan menjadikan industri ini besar dan berkembang dengan sangat pesat. Pariwisata sebagai industri jasa, memiliki kekuatan integratif terhadap berbagai aspek lainnya seperti budaya, ekonomi, teknologi, dan sebagainya.65 Kondisi yang pada gilirannya akan melahirkan suatu kesatuan yang mampu merangkul segenap potensi terpendam untuk meningkatkan kapasitas dan memobilisasi sumber daya pariwisata yang tersedia. Beberapa kalangan meyakini ia mampu berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Penciptaan lapangan kerja, pengurangan angka kemiskinan karena bisa membuka lapangan kerja yang bisa berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar dan meningkatkan daya jual maupun daya beli dari masyarakat itu sendiri, dengan berkembangnya pariwisata banyak hal positif dalam berbagai bidang akan berkembang khusunya dalam bidang ekonomi jasa dan perdagangan, pariwisata menjadi lahan subur untuk tumbuh berkembangnya kegiatan perekomian bangsa, maupun lokal. Mengutip pendapat Rogers yang di kemukakan oleh I Ketut Gede Dharma Putra alam bukunya yang berjudul Pencemaran Lingkungan Ancaman Pariwisata Bali yaitu terdapat 3 (tiga) pilar utama yang berperan dalam pembangunan wilayah yaitu Negara atau Pemerintah, sektor Indutri atau bisnis dan masyarakat. Negara berperan
64
dalam
mengatur
dan
mengembangkan
kebijakan,
penyediaan,
Indriaswati Dyah Saptaningrum, Supriyadi Widodo Edyono,et.,al., 2011, Hak Asasi Manusia Dalam Pusara Politik, Elsan, Jakarta, h.78 65 Inu kencana Syafiie, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h.34
46
peruntukan, penggunaan dan pengelolaan serta pemanfaatan smber daya alam66, sehingga dikatakan bahwa negaralah yang memegang kendali pada pembangunan kepariwisataan di Indonesia khususnya di Bali, karena negara yang akan mengarahkan seperti apa tujuan pembangunan kepariwisataan di Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar didunia, harusnya menyimpan potensi alam dan budaya yang luar biasa dan bisa digunakan sebagai modal utama untuk menarik minat wisatawaan untuk datang berkunjung dan sekaligus bisa dijadikan keunggulan komparatif dalam kaitannya pengembangan kegiatan pariwisata. Potensi yang dimiliki dapat dikonversi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi dengan nilai yang tinggi. Selain itu, kita mengetahui bahwa bahan baku usaha dalam bidang pariwisata sesungguhnya tidak akan pernah habis, sedangkan bahan baku usaha-usaha lainnya sangatlah terbatas.67 2.2 Pramuwisata Sebagai Unsur Perdagangan Pariwisata Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lebih mengenal istilah guide daripada pemandu wisata maupun pramuwisata. Guide selalu dikaitkan dengan “orang asing, turis” (wisatawan). Setiap orang yang menemani wisatawan makan di restoran, mengantar wisatawan mengunjungi objek wisata, menonton pertunjukan, belanja di souvenir shop, dan lain-lain selalu dikonotasikan sebagai guide. Untuk itulah, pertama-tama perlu kita pahami apa dan siapa sebenarnya pramuwisata itu. Pramuwisata (guide) pada hakekatnya adalah seseorang yang menemani, memberikan informasi dan bimbingan serta saran kepada wisatawan 66
Ketut Gede Dharma Putra, 2010, Pencemaran Lingkungan Ancaman Pariwisata Bali, Manikgeni, Denpasar, h.114. 67 James J spilane , 1991 , Ekonomi Pariwisata , yogyakarta , Kanisius , h.46
47
dalam melakukan aktivitas wisatanya.68 Aktivitas tersebut, antara lain mengunjungi objek dan atraksi wisata, berbelanja, makan di restoran, dan aktivitas wisata lainnya dan untuk itu pramuwisata mendapatkan imbalan tertentu. Penting pula untuk diketahui bahwa tidak semua orang yang menemani wisatawan itu disebut sebagai pramuwisata, karena masih ada profesi lain yang kegiatannya berhubungan dengan wisatawan, antara lain sebagai berikut; a. Penterjemah (Interpreter) Penerjemah adalah seseorang yang bertugas menerjemahkan bahasa tertentu ke dalam bahasa yang dikehendaki oleh wisatawan. Ia hanya menyampaikan apa yang disampaikan oleh orang lain atau menjelaskan percakapan dalam suatu bahasa tertentu. b. Penerima Tamu (Hostess) Penerima tamu adalah seseorang yang bertugas menjemput tamu di bandara, pelabuhan laut, stasiun atau terminal serta hotel atau memberikan ucapan selamat jalan kepada tamu yang akan kembali ke tempat asal atau melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Kegiatannya, antara lain memberi ucapan selamat datang dengan mengalungkan rangkaian bunga, membantu tamu pada saat pemeriksaan keimigrasian dan bea cukai, menghubungkan atau memperkenalkan tamu dengan orang-orang tertentu. c. Pengawal atau Pendamping (Escortist) Pengawal adalah seseorang yang bertugas mendampingi wisatawan dalam berbagai aktivitas, seperti tour, belanja, pertemuan, termasuk kegiatan-kegiatan 68
M Kesrul, 2004, Panduan Praktis Menjadi Pramuwista Profesional, Penerbit Graha Ilmu, Tanggerang Banten, h.31
48
yang sifatnya pribadi. Ruang lingkup kegiatan Escortist lebih luas dibandingkan dengan pramuwisata atau profesi sejenis lainnya. 2.2.1 Penggolongan Pramuwisata Dapat dikelompokan sesuai dengan sudut pandang sebagai berikut: Berdasarkan: A. Ruang Lingkup Pekerjaanya 1. Transfer Guide: Transfer guide adalah pramuwisata yang kegiatannya menjemput wisatawan di bandara, pelabuhan laut, stasiun atau terminal menuju ke hotel atau sebaliknya atau mengantar wisatawan dari satu hotel ke hotel lainnya 2. Walking Guide/Tour Guide: Walking guide adalah pramuwisata yang kegiatannya memandu wisatawan dalam suatu tour 3. Local/Expert Guide: Local guide adalah pramuwisata yang kegiatannya khusus memandu wisatawan pada suatu objek atau transaksi wisata tertentu, misalnya museum, wisata agro, river rafting, goa, gedung bersejarah, dan lain-lain 4. Common Guide: Common guide adalah pramuwisata yang dapat melakukan kegiatan baik transfer maupun tour 5. Driver Guide: Driver guide adalah pengemudi yang sekaligus berperan sebagai Pramuwisata. Ia bertugas mengantarkan wisatawan ke objek atau atraksi wisata yang dikehendaki sekaligus memberikan informasi yang diperlukan, tidak jarang pula seseorang pramuwisata pengemudi ikut turun ke objek untuk memberikan penjelasan tentang objek tersebut jika tidak
49
ada local guide, terkadang dia juga menemani wisatawan saat berbelanja atau makan. Jadi, pada dasarnya driver guide menjalankan dua fungsi, yakni sebagai pengemudi dan pramuwisata B. Berdasarkan Status Pramuwisata 1. Payroll Guide: Payroll Guide adalah pramuwisata yang berstatus sebagai pagawai tetap perusahaan perjalanan dengan mendapat gaji tetap di samping komisi dan tip yang diterima dari wisatawan 2. Part Timer atau Freelance Guide: Part Timer atau Freelance guide adalah pramuwisata yang bekerja pada suatu perusahaan perjalanan untuk kegiatan tertentu dan dibayar untuk tiap pekerjaan yang dilakukan, serta tidak terikat oleh suatu perusahaan perjalanan tertentu dan bebas melakukan kegiatannya sesuai permintaan wisatawan atau perusahaan perjalanan lain yang membutuhkannya 3. Member of Guide Association: Member of guide association adalah pramuwisata yang berstatus sebagai peserta dari suatu asosiasi pramuwisata dan melakukan kegiatannya sesuai dengan tugas yang diberikan oleh asosiasi tersebut 4. Government Officials: Government officials adalah pegawai pemerintah yang bertugas untuk memberikan informasi kepada tamu tentang suatu aktivitas ,objek, gedung, atau suatu wilayah tertentu 5. Company Guide: Company guide adalah karyawan sebuah perusahaan yang bertugas memberikan penjelasan kepada tamu tentang aktivitas atau objek perusahaan.
50
C. Berdasarkan Karakteristik Wisatawan Yang Dipandu 1. Individual Tourist Guide: Individual tourist guide adalah pramuwisata yang khusus memandu wisatawan individu 2. Group Tour Guide: Group tour guide adalah pramuwisata yang memandu wisatawan rombongan 3. Domestic Tourist Guide: Domestic tourist guide adalah pramuwisata yang memandu wisatawan nusantara/ domestik 4. Foreign Tourist Guide: Foreign tourist guide adalah pramuwisata yang memandu wisatawan mancanegara Pramuwisata adalah orang yang pertama kali dijumpai oleh wisatawan dalam rangka mewujudkan harapan dan impian atas tour yang telah dibayarnya. Wisatawan bagaikan seorang bocah kecil di tengah hiruk pikuknya pasar. Ia tidak tahu harus melangkah kemana, ia membutuhkan bimbingan untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya. Adalah tugas Pramuwisata untuk menemani,
mengarahkan,
membimbing,
menyarankan
wisatawan
di
tengah-tengah
ketidaktahuannya itu. Wajarlah jika wisatawan mempercayakan aktivitasnya kepada Pramuwisata, karena ia yang lebih tahu dan berpengalaman. Maka jadilah Pramuwisata itu sebagai teman perjalan bagi wisatawan. Sebagai teman yang baik maka akan sangat ironi jika seorang pramuwisata memanfaatkan ketidaktahuan wisatawan untuk mengail keuntungan untuk diri sendiri, misalnya dengan menaikan harga barang yang dibeli wisatawan, memaksa untuk memberikan imbalan lebih, dan sebagainya.
51
Dalam skala yang lebih luas pramuwisata adalah duta bangsa atau setidaknya duta daerah tempat ia melakukan tugasnya. Apa yang diekspresikan oleh pramuwisata dianggap oleh wisatawan sebagai cerminan karakter masyarakat setempat, demikian pula apa yang disampaikan oleh pramuwisata akan dipercaya oleh wisatawan sebagai pengetahuan yang akan selalu diingat hingga kembali ke tempat asal. Mengingat hal tersebut, maka seorang pramuwisata hendaknya dapat memberikan informasi dengan benar dan baik menyangkut negara, kota, maupun suatu desa, objek wisata, budaya, dan lain sebagainya. 2.2.2 Persyaratan Untuk Menjadi Pramuwisata Pramuwisata adalah seseorang yang memegang peranan penting dalam kegiatan tur maupun transfer. Ia menjadi tumpuan harapan wisatawan, perusahaan yang mempekerjakannya, bahkan daerah atau negara tempat ia bekerja. Untuk itulah, ia harus memenuhi persyaratan tertentu agar dapat mengemban amanat yang demikian berat secara profesional. Persyaratan tersebut menyangkut hal-hal yang bersifat fisik maupun psikis : 1. Syarat fisik/Penampilan Pramuwisata: Pakaian dalam pengertian ini mengandung makna yang luas, tidak sekedar baju, celana, rok, sendal, dan sebagainya akan tetapi keseluruhan yang tampak dari luar diri seseorang itu. Secara manusiawi kesan seseorang terhadap orang lain pertama-tama biasanya dipengaruhi oleh penampilan orang yang dihadapi tersebut. Sebagai petugas yang pertama kali berhubungan dengan wisatawan saat penyelenggaraan tur, maka pramuwisata harus dapat berpenampilan secara
52
maksimal, karena apa yang ditampilkan pertama kali itu akan berdampak terhadap kesan wisatawan selanjutnya. 2. Syarat Psikis/Kepribadian Pramuwisata: Secara teori yang dimaksud dengan kepribadian adalah integritas psikofisik sebagai resultan dari hereditas, lingkungan dan kematangan yang bersifat unik dan dinamis serta berbeda satu dengan yang lainnya. Jelasnya, kepribadian lahir karena perpaduan tiga faktor, yakni keturunan, lingkungan atau pergaulan, dan waktu atau kematangan. Ketiga unsur ini saling berkaitan dalam membentuk satu wujud kepribadian. Karena sifatnya yang spesifik, maka setiap orang memiliki kepribadiannya masing-masing. Menurut ilmu jiwa, kepribadian seseorang dapat berkembang karena dua hal, yaitu bakat dan pendidikan. Kepribadian karena faktor bakat sulit untuk diubah atau diciptakan, akan tetapi kepribadian itu dapat pula dikembangkan melalui proses pendidikan. Agar dapat mengembangkan kepribadian yang menarik maka seseorang pramuwisata hendaknya menampilkan sifat-sifat: (penuh perhatian, ketajaman daya ingatan, pandai bergaul, periang, jujur dan dapat dipercaya, penuh inisiatif, humoris, suka menolong, empati, pemimpin yang baik). 2.2.3 Pengaturan Kode Etik Pramuwisata Kode etik Pramuwisata Indonesia ditetapkan melalui Keputusan Musyawarah Nasional I Himpunan Pramuwisata Indonesia dengan Keputusan Nomor 07/MUNAS.I/X/1988, meliputi hal-hal sebagai berikut:
53
1. Pramuwisata harus mampu menciptakan kesan penilaian yang baik atas daerah, negara bangsa, dan kebudayaan. 2. Pramuwisata dalam menjalankan tugasnya harus mampu menguasai diri, senang,
segar,
rapi,
bersih
serta
berpenampilan
yang
simpatik
(menghindari bau badan, perhiasan, dan parfum yang berlebihan). 3. Pramuwisata harus mampu menciptakan suasana gembira dan sopan menurut kepribadian Indonesia. 4. Pramuwisata harus mampu memberikan pelayanan dan perlakuan yang sama kepada wisatawan dengan tidak meminta tip, tidak menjajakan barang dan tidak meminta komisi. 5. Pramuwisata mampu memahami latar belakang asal usul wisatawan serta mengupayakan untuk meyakinkan wisatawan agar mematuhi hukum, peraturan, adat kebiasaan yang berlaku dan ikut melestarikan objek. 6. Pramuwisata mampu menghindari timbulnya pembicaraan serta pendapat yang mengundang perdepatan mengenai kepercayaan, adat istiadat, agama, ras dan sistem politik sosial negara asal wisatawan. 7. Pramuwisata berusaha memberikan keterangan yang baik dan benar. Apabila ada hal-hal yang belum dapat dijelaskan maka pramuwisata harus berusaha mencari keterangan mengenai hal tersebut dan selanjutnya menyampaikan kepada wisatawan dalam kesempatan berikutnya. 8. Pramuwisata tidak dibenarkan mencemarkan nama baik perusahaan, teman seprofesi dan unsur-unsur pariwisata lainnya.
54
9. Pramuwisata tidak dibenarkan untuk menceritakan masalah pribadinya yang bertujuan untuk menimbulkan rasa belas kasihan dari wisatawan. 10. Pramuwisata saat perpisahan mampu memberikan kesan yang baik agar wisatawan ingin berkunjung kembali. 2.2.4 Hubungan Pramuwisata dengan Perusahaan dan Organisasi Terkait Pramuwisata dapat dikatakan sebagai jantung dari sebuah tour karena pramuwisata adalah seseorang yang harus dapat memompa dan menghidupkan suasana sehingga wisatawan dapat memperolah pengalaman menarik sebagimana diharapkan, oleh karenanya Pramuwisata harus memahami organ atau komponen lain yang dapat membentuk pengalaman itu, untuk itulah penting baginya menjalin hubungan yang baik dengan perusahaan serta organisasi terkait dengan tujuan, antara lain sebagai berikut; 1. Mendapatkan informasi yang akurat dari sumber yang kompeten; 2. Mengetahui perkembangan terkini atas informasi yang disampaikan; 3. Menjalin komunikasi yang lebih baik dengan perusahaan dan organisasi terkait; Hubungan yang baik tersebut pada akhirnya akan bermuara pada efektifitas dan efisiensi rencana pemanduan yang dibuat serta tercapainya pemanduan yang berkualiatas. Adapun perusahaan dan organisasi yang erat kaitannya dengan kegiatan Pramuwisata antara lain adalah; (perusahaan perjalanan, Himpunan Pramuwisata Indonesia/HPI, Association of Indonesian Travel Agencies/ASITA, objek dan atarksi wisata, toko cinderamata, Hotel dan Restaurant, Perusahaan transportasi, Pemerintah).
55
2.2.5 Pengetahuan yang perlu dimiliki oleh Pramuwisata Agar dapat melaksanakan kegiatannya dengan baik, maka seorang pramuwisata harus membekali dirinya dengan pengetahuan yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas dalam kegiatan tersebut. Secara umum pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang pramuwisata meliputi pengetahuan tentang diri sendiri, pengetahuan tentang wisatawan dan pengetahuan tentang kegiatan yang dilakukan. a. Sumber Informasi: Informasi yang dibutuhkan oleh pramuwisata haruslah digali dari sumber-sumber yang benar-benar relevan dan dapat dipercaya sehingga informasi yang didapat benar-benar berkualitas dan memberikan manfaata sebagaimana diharapkan, sumber informasi bagi pramuwisata antara lain adalah: (pengalaman pribadi, penyedia fasilitas, kantor pemerintah, organisasi/asosiasi, perpustakaan, media massa). Salah satu ciri informasi yang berkualitas adalah Up to date atau terkini yang mengandung makna bahwa informasi tersebut merupakan kondisi yang paling akhir dari apa yang diinformasikan. Untuk mendapatkan informasi terkini pramuwisata harus senantiasa memperbaharuinya dengan selalu mengikuti perkembangannya melalui sarana-sarana yang tersedia. Beberapa informasi yang sering mengalami perubahan dan perlu mendapat perhatian utama untuk dilakukan pembaharuan antara lain kurs mata uang, tanggal, waktu, data, statistik, temperatur udara, kondisi politik, dan lain-lain.
56
Sarana yang dapat dipergunakan untuk memperbaharui informasi, antara lain sebagai berikut: 1. Mengikuti seminar, kursus singkat, pelatihan-pelatihan, talk show. 2. Membaca, baik dalam bentuk buku panduan, artikel, majalah dan surat kabar, brosur, maupun media cetak yang lain. 3. Mengunjungi situs internet. 4. Melibatkan diri dalam kegiatan organisasi profesi. 5. Mengunjungi pameran-pameran. 6. Mengunjungi dan mendengarkan informasi dari personel perusahaan perjalanan, hotel, restoran, transportasi, objek dan atraksi wisata maupun juga wisatawan. b.
Teknik Berbicara: Berbicara bagi seorang pramuwisata adalah suatu seni penyampaian
informasi yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi yang mendengarkannya. Dilihat dari cara penyampaiannya maka bahasa yang digunakan dalam berbicara dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Bahasa Lisan: Yaitu berbicara dengan menggunakan lisan sebagai sarananya. Informasi disampaikan melalui simbol-simbol suara saja, akan tetapi berbicara juga merupakan seni, yang menarik dan dapat membangkitkan minat wisatawan untuk menikmati informasi yang disampaikan. Unsur-unsur yang harus dikuasai agar dapat berbicara dengan bahasa lisan secara baik adalah: (kosa kata, tata bahasa dan teknik suara)
57
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan bahasa lisan antara lain: a.
Berbicara pada waktu yang tepat
b.
Tunjukan kesan ramah selama berbicara
c.
Hindari penggunaan bahasa dan logat daerah, kecuali jika bahasa tersebut dijadikan sebagai materi pemanduan
d.
Bersikap dengan baik selama berbicara
e.
Padukan bahasa lisan dengan bahasa tubuh secara harmonis
2. Bahasa Tubuh: Menurut keterangan para ahli bahwa dalam ketrampilan berkomunikasi apa yang kita katakan pentingnya hanyalah 7%, bagaimana kita mengatakan 38% dan bahasa tubuh pentingnya adalah 55%, hal ini dapat dipahami karena pada umumnya pendengar lebih percaya terhadap apa yang mereka lihat dari pada apa yang mereka dengar, dan bahasa tubuh adalah kenyataan yang mereka lihat pada saat informasi diterima. Unsur-unsur bahasa tubuh meliputi : (penampilan, gerakan tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata) c. Pelayanan Transfer Transfer adalah kegiatan perpindahan wisatawan dari satu tempat ke tempat lain. Tempat-tempat yang dimaksud dapat berupa airport, pelabuhan, terminal maupun hotel. Dilihat dari asal dan tujuan perpindahan tersebut maka transfer dapat dibedakan menjadi: 1. Transfer in atau Arrival Transfer: Adalah kegiatan penjemputan tamu dari tempat kedatangan (airport, pelabuhan atau terminal) untuk dibawa dan melakukan check in di suatu hotel.
58
2. Transfer out atau Departure Transfer: Adalah kegiatan pengantaran tamu dari hotel ke tempat keberangkatan (airport, pelabuhan atau terminal) untuk kembali ke tempat asal atau melanjutkan perjalanan ketempat lain. 3. Transfer Hotel: Adalah kegiatan pengantaran kepindahan tamu dari hotel yang satu ke hotel yang lain karena sebab-sebab tertentu baik atas permintaan tamu sendiri atau keinginan pihak hotel. 4. Intercity Transfer: Adalah kegiatan pengantaran tamu dari satu kota ke kota lain. Adakalanya dalam perjalanan selama transfer tersebut diselingi dengan kegiatan tur. d. Pelayanan Tour Tour atau wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatant tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Tur yang dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam disebut ekskursi, sedangkan yang lebih dari 24 jam diistilahkan dengan wisata paket. Wisata paket pada dasarnya adalah rangkaian dari beberapa eksekursi. Rincian tugas yang harus dilakukan pramuwisata sebelum tur dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1. Teliti guide order, terutama tentang nama wisatawan atau rombongan, jumlah, nama hotel dan nomor kamar, pesawat dan nomer penerbangan, perkiraan waktu keberangkatan. 2. Hubungi pengemudi dan cek kesiapan kendaraan. 3. Siapkan uang yang diperlukan untuk keperluan tour. 4. Pastikan segala perlengkapan telah siap sebelum berangkat.
59
5. Perkirakan waktu berangkat yang sesuai dengan EDT sehingga tidak terjadi keterlambatan. e. Pelaporan Setelah semua rangkaian kegiatan tour dilaksanakan maka pramuwisata harus melaporkan seluruh kegiatannya kepada perusahaan perjalanan yang memberinya tugas pemanduan. Laporan ini akan bermanfaat baik bagi pramuwisata sendiri maupun bagi perusahaan perjalanan yang mempekerjakannya. Bagi pramuwisata laporan dapat dipakai sebagai dasar untuk menuntut hak atas pekerjaan yang telah dilakukan serta alat evaluasi bagi pelaksanaan tugas berikutnya. Sedangkan bagi perusahaan, laporan ini bermanfaat sebagai alat kontrol penyelenggaraan wisata serta untuk mengindikasi hal-hal penting sebagai masukan untuk penyelenggaraan tur yang lebih baik di masa yang akan datang. Ada dua hal yang perlu dilaporkan oleh pramuwisata yaitu laporan kegiatan dan laporan keuangan. f. Penanganan masalah Itinerary yang telah disusun sebelum tur dilaksanakan adalah sebuah rencana yang diharapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang disebutkan didalamnya, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan atas program tersebut. Penyimpanan dapat terjadi karena kondisi yang berada di luar jangkauan
manusia
seperti
banjir,
kerusuhan
massa.
Kondisi
tersebut
mengakibatkan kegiatan tur tidak dapat dilaksanakan sebagaimana direncanakan. Penyimpangan dapat pula terjadi karena unsur kesengajaan baik oleh wisatawan sendiri maupun oleh pramuwisata. Adapun cara menangani masalah tersebut adalah sebagai berikut:
60
1. Apabila penyimpangan terjadi karena kondisi di luar jangkauan manusia maka pramuwisata harus merundingkan kondisi yang terjadi dengan wisatawan atau tour leader serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. 2. Apabila penyimpangan terjadi karena unsur kesengajaan maka harus dijelaskan alasannya serta kompensasi atas penyimpangan. Jika hal tersebut atas permintaan wisatawan maka tidak merupakan keharusan bagi pramuwisata untuk memberikan kompensasi atas penyimpangan yang dilakukan. Hal penting yang perlu diingat oleh pramuwisata bahwa untuk setiap keputusan alternatif yang diambil dalam menyelesaikan penyimpangan pelayanan harus didukung dengan bukti tertulis yang disetujui oleh bersama antara pramuwisata dan wisatawan 1. Kehilangan: Kehilangan dapat berupa kehilangan barang maupun kehilangan peserta wisatawan. Kehilangan barang dapat berupa barang bawaan, paspor, uang, tiket perjalanan. Kehilangan dapat terjadi di airport, terminal atau pelabuhan, hotel, atau di tempat-tempat lain. Bentuk bantuan yang diberikan oleh pramuwisata tergantung dari tempat kejadian kehilangan. Kehilangan yang terjadi di airport menuntut pramuwisata lebih aktif memberikan bantuan pencarian dibandingkan dengan kehilangandi hotel karena hotel telah memiliki prosedur sendiri atas kasus kehilangan.
61
2. Kecelakaan: Apabila dalam perjalanan terjadi kecelakaan maka hal-hal yang perlu dilakukan oleh pramuwisata, antara lain: 1. Memberikan pertolongan pertama kepada wisatawan yang mengalami luka ringan. 2. Mengantarkan wisatawan ke puskesmas atau ke rumah sakit terdekat untuk mendapat penanganan. 3. Memberikan keterangan yang diperlukan oleh pihak kepolisian atas kejadian kecalakaan tersebut. Dalam hal ini sudah barang tentu diperlukan biaya untuk penyelesaikan pengobatan di puskesmas atau ke rumah sakit, sehingga pramuwisata harus mengkomunikasikannya kepada perusahaan yang mempekerjakannya untuk penyelesaian lebih lanjut g. Sakit atau Meninggal Bagi wisatawan yang menderita penyakit tertentu maka sebelum tour berlangsung diinformasikan untuk membawa obat pribadi yang diperlukan selama tour. Akan tetapi pramuwisata harus menyiapkan obat-obat tertentu untuk memberikan pertolongan sementara jika wisatawan mengalami sakit di perjalanan. Obat-obatan yang dapat dibawa antara lain: paracetamol, aspirin, anti alergi dan lain-lain. Seandainya wisatawan sakit di perjalanan maka: 1. Tanyakan apakah yang bersangkutan membawa atau harus minim obat tertentu untuk meredakan sakitnya.
62
2. Berikan pertolongan pertama semampunya. 3. Jika perlu berikan obat-obatan yang dapat dikonsumsi secara umum untuk sakit tertentu misalnya influensa, panas, alergi. 4. Apabila sakitnya tidak dapat ditangani maka rujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. 5. Laporkan ke perusahaan. Apabila sakitnya terjadi di hotel, maka pihak hotel akan menanganinya dengan memberikan pertolongan pertama, memanggil dokter atau apabila parah maka hotel akan merujuknya ke rumah sakit. Jika wisatawan meninggal maka: 1. Buat peserta lain agar tidak panik. 2. Panggil ambulance dan kirim ke rumah sakit. Jika memanggil ambulance tidak mungkin maka gunakan kendaraan tur. 3. Rundingkan dengan wisatawan atau tur leader untuk kegiatan berikutnya, dilanjutkan atau tidak. 4. Laporkan ke perusahaan. h. Keluhan Wisatawan Keluhan wisatawan tidak terbatas pada pelaksanaan panduan seorang pramuwisata, akan tetapi menyangkut kesuluruhan fasilitas dan pelayanan yang didapat selama melakukan tur dan pramuwisata harus dapat menanganinya secara profesional. Untuk dapat menangani keluhan secara profesional, maka harus diketahui terlebih dahulu jenis keluhan tersebut. Pada dasarnya keluhan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
63
1. Keluhan Sejati: Adalah keluhan yang timbul karena kondisi fasilitas dan pelayanan berdasarkan standar umum tidak memuaskan atau tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya. 2. Keluhan biasa: Adalah keluhan yang timbul karena pengaruh cara pandang wisatawan terhadap fasilitas atau pelayanan yang diterima. Dalam hal ini antara wisatawan yang satu dengan yang lain mungkin saja berbeda penilaiannya terhadap fasilitas atau pelayanan yang sama. Apapun jenis keluhannya, pramuwisata harus dapat menangani secara arif dan bijaksana dengan menggunakan prinsip-prinsip: mendengarkan, memahami, meneliti, menangani, minta maaf. Setiap keluhan yang terjadi seharusnya dilaporkan secara tertulis kepada perusahaan yang akan bermanfaat bagi perbaikan pelayanan dan mengantisipasi munculnya keluhan yang sama di masa yang akan datang. Secara sedarhana laporan tersebut dapat dibuat dengan menggunakan blanko. Menjadi seorang pramuwisata yang profesional bukanlah hal yang mudah, namun tidaklah mustahil untuk dilakukan. Profesionalisme itu merupakan akumulasi dari semua unsur yang seharusnya dimiliki oleh seorang pramuwisata. Unsur itu berupa modal dasar yang ada dalam dirinya sendiri yang dapat membangkitkan semangat untuk tangap terhadap lingkungan di luar dirinya, yaitu wisatawan dan kegiatan yang dilakukan. Pramuwisata
yang
berada
pada
barisan
terdepan
dalam
sistem
kepariwisataan nasional, karena berhadapan langsung dengan wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Sangat dituntut peranannya sebagai pelayan dalam
64
memberikan informasi mengenai objek wisata kepada wisatawan. Informasi yang sangat
menarik sebagai
bentuk perwujudan
pelayanan
yang diberikan
pramuwisata yang pada akhirnya dapat merangsang arus kunjungan wisatawan mancanegara lebih besar untuk datang ke Indonesia Pramuwisata adalah salah satu
unsur
penunjang
dalam
kegiatan
kepariwisataan,
dalam
kegiatan
kepariwisataan pramuwisata sangat di butuhkan, bahakan tidak jarang pramuwisata di istilahkan sebagai ujung tombak pariwisata karena pramuwisata berperan dari pertama wisatawan menginjakan kaki di bandara kemudian menuju ke hotel dan berkunjung menjelajahi seluruh penjuru daerah pariwisata yang ada di Bali. Dimana dalam kunjungan wisatawan ke Provinsi Bali banyak yang memakai jasa dari pramuwisata yang sudah lebih mengenal akan obyek-obyek wisata yang ada di Bali. Pramuwisata artinya seseorang yang bertugas memberikan petunjuk tentang obyek wisata.69 Banyak negara yang bergabtung pada industri pariwisata tidak lain dengan negara Indonesia khususnya provinsi Bali sendiri. oleh karena itu kualitas dari pariwissata sendiri harus di jaga demi menjaga kestabilan angka wisatawan yang datang berkunjung ke daerah Bali, salah satu unsur penunjangnya adalah pramuwisata sendiri. Pramuwisata atau istilah lainnya pemandu wisata atau dalam bahasa asing kita sering dengar dengan sebutan Guide memiliki pengertian seorang atau badan usaha yang berrgerak dalam bidang pariwisata yang bertugas sebagai pengantar wisatawan dan bertugas melayani kebutuhan wisatanan dalam kaitannnya dengan kegiatan kepariwisataan. Di Indonesia secara nasional telah di bentuk organisasi 69
h.118.
Ismayanti, 2010, Pengantar Pariwisata, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,
65
yang mewadahi profesi pramuiwsata, organisasi ini yaitu Himpunan Pramuwisata Indonesia atau seringen di singkat dengan HPI organisasi ini telah memiliki jaringan ke seluruh indonsia. Di beberapa daerah di bentuk sejumlah organisasi serupa namun yang baersifatb lokal. secara umum seorang yang hendak menjalankan profesinya sebgai pramuwisat di wajibkan memiliki lisensi yang di keluarkan oleh dinas pariwisata provinsi dan juga HPI . 2.3 Sertifikasi Sebagai Unsur Perdagangan Pariwisata Pramuwisata adalah merupakan salah satu unsur penunjang dalam kegiatan kepariwisataan. I Putu Anom, dkk mengemukakan bahwa “ pramuwisata adalah seorang yang bertugas memberikan bimbingan, penerangan dan petunjuk tentang objek wisata kepada wistan, serta memberikan pertolongan kepada wisatawan yang sakit, kecelakaan, menderita musibah lainnya selama melakukan perjalanan”.70 Dalam menjalankan profesi nya seorang pramuwisata harus memilikki lisensi yang bersertifikasi dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagai syarat Legal dalam menjalankan profesi kepariwisataan, profesi pramuwisata harus dapat di pertanggungjawabkan dari adanya sertifikat dan bukti sertifikasi yaitu mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Provisnsi dan di nyatakan lulus dalam ujian pramuwisata juga sesuai dengan kriteria yang telah di tentukan dalam peraturan yang mengatur tentang pramuwisata itu sendiri. Pramuwisata adalah salah satau unsur penunjang palin penting dalam kemajuan dunia kepariwisataan dan dapat membawa pariwisata ke arah lebih baik sesuai dengan tujuan dari 70
I Putu Anom, dkk , 2010 , Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global, Udayana University Press ,Denpasar, h.221
66
diadakannya kegiatan pariwisata di Bali yatu pariwisata budaya. Banyak negara tidak hanya Indonesia khususnya Bali, bergantung dari industri pariwisata, pariwisata di klaim sebagai sumber pajak dan pendapatan untuk perusahaan jasa pariwisata yang menjual jasa pariwisata itu sendiri. Sehingga, untuk menjaga agar kegiatan pariwisata dapat memberikan kontribusi terus menerus bagi devisa negara maka segala unsur dalam kegiatan kepariwisataan harus di jaga kualitasnya salah satunya adalah kualitas pramuwisata. Dalam menjalankan profesinya seorang pramuwisata di wajibkan memiliki lisensi atau izin yang di dapat dari mengikuti pelatihan dan sertifikasi guna menguji kemampuan calon pramuwisata dalam kaitannya bisa membawa pariwisata ke arah yang lebih baik lagi. lisensi sendiri memiliki pengertian pemberian izin71, atau dengan kata lain lisensi bisa di sederhanakan pengertiannya menjadi menjadi izin yang diberikan oleh pihak yang berwenang misalnya pemberian izin yang mengunakan lama. Pengertian lain mengenai lisensi juga diberikan oleh Ridwan HR yang mengemeukakan bahwa “ Lisensi adalah sebagai suatu izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan, lisensi digunakan untuk menyatakan izin yang memperkenakan seorang untuk menjalankan suatu perusahaan dengan izin khusus.72 Tidak Hanya Ridwan HR , Prajudi Atmo Sudirjo juga memeberikan pengertian lisensi, yaitu; “ Lisensi adalah suatu pengertian khas indonesia yang yang di negeri Belanda tidak ada. Istilah tersebut berasal dari istilah Hukum
71
Adrian Sutedi , 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Penerbit Sinar Grafika , Cetakan Pertama , h.176. 72 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Hak Penerbit Pada PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.205-206.
67
administrasi Amerika serikat, Lisence yang dalam bahasa Belanda Vergunning”.73 Istilah lisensi kerap digunakan pada tahun 1950-an ketika perdagangan masih terikat kepada sistem devisa ketat sehingga setiap importir memerlukan lisensi dari kantor pusat urusan import yang bekerjasama dengan kantor urusan devisa, yakni lembaga alat-alat pembayaran luar negeri untuk dapat mengimport barang dan jasa. Jadi lisensi adalah izin melakukan sesuatu yang bersifat komersial serta mendatangkan keuntungan atau laba. Berdasarkan beberapa pendapat para sarjana dan ahli tersebut mengenai lisensi maka dapat di tarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan izin atau lisensi tersebut adalah keputusan administrasi negara (pemerintah) yang memperkenakan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya perbuatan atau tindakan itu dilarang, akan tetapi boleh dilakukan asalkan dilaksanakan dengan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan. Dengan kata lain dengen memberi izin, penguasa atau pemerintah memperkenakan orang yang memohonnya untuk emlakuakan tindakan tertentu yang sebenarnya di larang. Lisensi pramuwisata itu sendiri jika dilihat pengertiannya adala syarat legal atau syarat sah nya seorang pramuwisata menjalankan profesionalitasnya yang didapatkan dengan mengikuti persyaratan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan bekerja sama dengan DPD HPI daerah dimana seorang pramuwisata tersebut menjalankan profesinya. Lisensi pramuwisata di terbitkan oleh Gubernur melalui Dinas Pariwisata. HPI dalam hal ini berperan sebagai tenaga pengejar dalam memberikan pelatihan dan menjadi standar sertifikasi bagi 73
Y. Sri Pudyatmoko , 2009 , Perizinan Problem Upaya Pembenahan, PT Gramesia Widiasarana, Jakarta , h.9.
68
menentukan kelulusan dan juga penilaian dalam ujian untuk mendapatkan lisensi. Pramuwisata di Indonesia secara nasional telah di bentuk organisasi resmi yang mewadahi profesi itu yaitu Himpunan Pramuwisata Indonesia atau HPI, organisasi yang telah memiliki jaringan keseluruh indonesia. Di beberapa daerah terbentuk beberapa organisasi serupa yang berbentuk lokal terutama daerah yang memiliki kunjungan wisata yang cukup tinggi seperti, Daerah Istimewa Yogjakarta, Bali, Lombok, dan lain lain. Secara umum dapat dikatakan seseorang yang hendak menjadi pramuwisata di Indoesia syarat utamanya adalah memiliki lisensi yang di terbitkan oleh Gubernur melalui Dinas Pariwisata Provinsi. Ketentuan tersebut berlaku terutama bagi pramuwisata yang melayani wisatawan asing agar kualitas pribadi pramuwisata dapat selalu mencerminkan ke-Indonesiaan serta menjaga validitas berbagai informasi yang disampaikan kepada wisatawan, termasuk pula kinerja pramuwista dalam kaitanya sebagai pihak pemakai yaitu biro perjalanan wisata yang membawa wisatawan. Himpunan Pramuwisata Indonesia merupakan wadah berhimpunnya individuindividu yang berprofesi sebagai pramuwisata yang memiliki lisensi di Indonesia dan HPI (singkatan dari Himpunan Pramuwista Indonesia) akan slalu membantu dan memfasilitasi pramuwisata indonesia mendapatkan pengetahuan dan motivasi dalam melaksanakan tugas profesi secrea profesional. HPI akan selalu menfasilitasi serta mengupayakan upaya dalam bidang penelitian, survey terhadap segala pengetahuan dalam rangka peningkatan kualitas pramuwisata. Hal pertama yang menjadi Syarat sebagai pramuwisata profesional adalah memiliki lisensi, lisensi resmi dapat diterima oleh pramuwista apabila mengikuti
69
pelatihan atau sertifikasi yang dilakukan oleh dinas pariwisata, pelatihan atau sertifikasi dilakukan selama 121 jam yang dibagi dalam waktu 7 hari atau 1 minggu, pelatihan dilakukan di provinsi masing masing dmna pramuwisata berdomisili, yang setelah akhir dari sertifikasi diadakan ujian yang mana dapat menegtahui kemampuan pramuwisata dan menguji kelayakan nya untuk memperoleh lisensi. Syarat kedua, adalah menguasai satidaknya 1 (satu) bahasa asing dan berbahasa indonesia yang baik dan benar. Untuk pramuwisata di provinsi Bali sendiri, pramuwisata setidaknya harus telah mengenyam pendidikan D3. Tidak hanya harus fasih dalam bahasa asing pramuwisata juga dituntut mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan seluruh objek wisata yang ada di Bali yang itu didapatkan jika pramuwisata mengikuti pelatihan atau sertifikasi untuk memperoleh lisensi. Seorang paramuwisata harus bisa bekerjasama dengan pelaku industri wisata yang lain hingga masalah memberikan perolongan pertama pada kecelakaan (p3K) bila wisatawan mengalami kecelakaan ringan atau sakit ringan dalam aktifitas berwisata yang dilakukannya. Anggaran Rumah Tangga HPI bab II pasal 2 menyatakan bahwa, anggota HPI adalah warga Negara Indonesia yang telah memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1. Umur serendah-rendahnya 18 tahun; 2. Menguasai bahasa Indonesia dan salah satu bahasa asing dengan baik dan lancar; 3. Memiliki pengetahuan tentang objek wisata dan ketentuan tentang perjalanan wisata;
70
4. Sehat jasmani dan rohani; 5. Berkelakuan baik; 6. Memiliki sertifikat pramuwisata, guiding licensi ( KTTP); 7. Sanggup aktif mengikuti kegiatan yang di tentukan oleh organisasi; 8. Menerima anggaran dasar dan anggran rumah tangga; 9. Menyatakan
diri
secara
tertulis
menjadi
anggota
Himpunan
Pramuwisata Indonesia sebagai wadah Tunggal; 10. Anggota kehormatan, tatacara penerimaanya akan di tentukan dalam peraturan organisasi.74 Pasal 3 angaran rumah tangga juga menyebutkan bahwa, penerimaan anggota ditentukan dan disahkan oleh DPP, DPD, DPC atau sebutan sesuai dengan kondisi daerahnya. Rekrutmen pramuwisata merupakan kewenangan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata Provinsi. Rekrutmen pariwisata dilakukan secara reguler setiap tahun, tetapi tergantung dari kebutuhan pramuwista itu sendiri. Peraturan Gubernur Bali Nomer 41 tahun 2009 Tentang Tatacara Mendapatkan Sertifikat Pramuwisata, Kartu Tanda Pengenal Pramuwisata (KTPP) Dan Penggunaan Pakaian Adat Oleh Pramuwisata Pasal 2 menyebutkan bahwa persyaratan untuk memperoleh sertifikat atau lisensi pramuwisata dan KTTP (Kartu Tanda Pengenal Pramuwista ) adalah sebagai berikut : 1. Mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikasi pramuwisata dan KTTP umum kepada gubernur melalui Kepala Dinas Pariwisata dengan melampirkan persyaratab secara lengkap dan benar. 74
DPD HPI BALI , 2011, Anggran Rumah Tangga Himpunan Pramuwisata Bali , www.dpdhpibali.org , diakses 17 juli 2014 .
71
2. Persyaratan sebaaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sebgai berikut : a. Fotocopy KTP menunjukan bertempat tinggal di kabupaten/ kota Provinsi Bali paling singkat 2 (dua) tahun yang masih berlaku memperlihatkan aslinya dan umur sekurang-kurangnya 22 tahun; b. Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian setempat; c. Fotocopy sertifikat kursus pramuwisata dari lembaga pendidikan tinggi; d. Fotocopy ijazah/STTB paling rendah diploma 3 (D3) atau sederajat yang telah di syahkan; e. Asli surat keterangan Magang
atau on the Job training sebagai
pramuwisata dari Biro perjalanan wisata di daerah Bali; f. Surat keterangan sehat dari dokter pemerintah; g. Phas photo berwarna dengan berpakaian lengkap (memakai Jas dan dasi); h. Identitas pemohon . 2.4 Pengaturan Kualitas pramuwista Pramuwisata adalah kompunen penting dalam dunia perdagangan jasa pariwisata yang sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan dan citra perdagangan praiwisata secara menyeluruh maka untuk menertibkan dan meningkatkan kualitas pramuwisata perlu adanya pengaturan yang jelas sebagai standar sebagai seorang pramuwisata dalam memberikan pelayanan guna memperkuat citra pariwisata ke arah yang lebih baik. Pengaturan tentang kualitas
72
pramuwisata sudah jelas terttulis dalam peraturan Perundang-undangan dan peraturan daerah itu sendiri, pengaturan jelas tentang bagaimana kualitas pramuwisata adalah dalam Perda No. 5/2008, dalam perda dibahas jelas mengenai bagaimana menjadi pramuwisata yang berkualitas dan memiliki kode etik yang baik, seorang pramuwisata disebutkan tidak hanya harus mahir dalam berbahasa asing tapi juga harus memenuhi beberapa persyaratan sehingga bisa dikaterogikan layak untuk menjadi pramuwisata yang secara langsung akan bersingungan dengan dunia kepariwisataan dan juga menjadi citra pariwisata di Bali, pertama yang harus dilakukan untuk memenuhi kualitas pramuwisata adalah mengikuti pendidikan menjadi pramuwisata. Seorang
pramuwisata
profesional
harus
memiliki nasionalisme, jiwa
kesemestaan, berdikari, non-partisan, mau berkomitmen memberi service exelent atau pelayanan yang memuaskan kepada wisatawan sebab dialah penghubung turis dengan destinasi juga sejarah peradaban lokal dan konteks zaman. Pramuwisata menghubungkan wisatawan dengan seluruh pemangku kepentingan bisnis, mulai urusan imigrasi, perhubungan, jasa perjalanan, perhotelan dan seterusnya. Pramuwisata bukan pakar ilmuan, tapi informasi pramuwisata sangat dibutuhkan wisatawan untuk memahami keutuhan rangkaian seni dan budaya serta menikmati obyek Daerah Tujuan Wisata. Multiperan Pramuwisata memudahkan urusan investasi dan rangkaian pelayanan jasa pariwisata, hingga logika munculnya data-data ekonomi nasional juga bergantung pada kompetensi serta kinerja para pramuwisata. Jika mereka dibekali kemampuan, sikap dan pengetahuan memadai dengan mekanisme uji
73
kompetensi yang baik tentu akan mengangkat citra destinasi. Sebaliknya jika urusan lisensi Pramuwisata terabaikan tanpa kordinasi akan merusak citra bangunan pelayanan industrial. Ada hubungan menarik tak langsung soal koordinasi pemberdayaan, standarisasi usaha pramuwisata, promosi, asosiasi kepariwisataan dan kompetensi Tour Guide dengan pertumbuhan ekonomi wilayah.
BAB III FAKTOR FAKTOR YANG MENGHAMBAT PELAKSANAAN PERDA NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA
3.1 Faktor Hukum Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukungnya oleh adanya suatu tatanan atau aturan.75 Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak memungkinkan penegakan hukum atau peraturan bisa berlangsung dengan lancar.76 Istilah pariwisata modern seperti yang dikenal saaat ini seperti telah diungkapkan pada bab sebelumnya pada awalnya dahulu adalah kegiatan wisata yang di pelopori oleh Thomas Cook.77 Selama abad ke-17 dan ke-18 bentuk pelancongan baru menjadi semakin diminati dan pada abad ke-20 pariwisata kemudian menjadi kegiatan populer terutama di Negaranegara yang ekonominya telah maju.78 Perkembangan pesat pariwisata telah terjadi dari abad ke-20, hal ini berdampak meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung juga fasilitas pariwisata yang kian menjamur, ini merupakan dampak positif bagi perekonomian Indonesia khusunya provinsi Bali sendiri melihat Usaha Jasa pariwisata mendatangkan devisa yang sangat besar. Banyak mata pencaharian dari sektor pariwisata dibutuhkan dalam jumlah besar salah satunya adalah pramuwisata yang memiliki peran penting bagi kegiatan kepariwisataan, 75
Satjipto Raharjo , 1986 , Ilmu Hukum, Penerbit Alumni , Bandung , h.14. Soerjono Soekanto , 2004, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegekan Hukum, PT RajaGrafindo Persada , Jakarta , h.37. 77 Violetta Simatupang , 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia , Penerbit PT Alumni Banding, h.24. 78 James J Spillane , 1991, Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospektifnya, Kanisus,Yogjakarta, h.84. 76
74
75
sebagai tenaga kerja profesional tentunya pramuwista dituntut memiliki keahlian khusus dan hal itu juga diatur dalam sebuah peraturan agar memiliki standar dalam menjalankan profesi salah satunya adalah Perda No. 5/2008 namun masih saja ada masyrakat yang tidak mematuhi aturan sehingga peraturan tersebut tidak berjalan sebagai mana mestinya, masih banyak pelanggaran yang dilakukan sehingga ini bisa menjadi dampak buruk bagi dunia kepariwisataan. Dalam dunia kepariwisataan pramuwisata merupakan hal penting yang dapat menunjang jalannya kegiatan pariwistaa dibidang jasa, seorang pramuwisata bertanggung jawab atas wisatawan dari wisatawan sampai di bandara kedatangan sampai wisatawan berangkat kembali ke negara asalnya, maka dari itu seorang pramuwisata di tuntut memiliki pengetahuan dan tutur bahasa yang baik dimana sebagai citra dari pariwisata daerah Bali sendiri. Urusan Pariwisata merupakan salah satu urusan pilihan pemerintah provinsi yang tentunya didasarkan kondisi, kekhasan, potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Untuk memberikan dasar hukum pengaturan pariwista di Daerah maka pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1990 tentang Kepariwisataan yang di anggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepariwisataan. Pasal 18 Undang Undang No. 10 Tahun 2009 menentukan pemerintah dan /atau pemerintah daerah mengatur dan mengelola urusan kepariwisataannya sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Selanjutnya dalam pasal 29 Undang Undang Nomor 10 tahun 2009 di tentukan bahwa pemerintah provinsi berwenang:
76
a. Menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwistaan provinsi; b. Mengkordinasikan penyelenggranaan kepariwisataan wilayahnya; c. Melaksanakan pendaftaran, pencatatatn, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata; d. Menetapkan destinasi pariwisata provinsi; e. Menetapkan daya tarik wisata provinsi; f. Memfasilitasi promosi destinasi pariwisatandan produk pariwisatanyang berada di wilayahnya; g. Memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik wisata provinsi; dan h. Mengalokasikan anggaran kepariwisataan. Dari ketentuan pasal 29 huruf c tersebut diatas terlihat bahwa salah satu kewenangan pemerintah provinsi adalah melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftrana usaha pariwisata. Sementara itu pasal 14 ayat (1) Undang Undang nomor 10 tahun 2009 menentukan bahwa usaha pariwisata itu meliputi antara : a. Daya tarik wisata; b. Kawasan pariwisata; c. Jasa tranportasi wisata; d. Jasa perjalanan wisata; e. Jasa makana dan minuman; f. Penyediaan akomodasi; g. Penyelenggaran kegiatan hiburan dan rekreasi;
77
h. Penyelanggaran pertemuan, perjalan insentif, konfrensi dan pameran; i. Jasa informasi pariwisata; j. Jasa konsultan pariwisata; k. Jasa pramuwisata; l. Wisata tirta; dan m. Spa. Pengaturan pramuwisata tidak hanya dari Perda No. 5/2008 itu sendiri, namum
Himpunan
Pramuwisata
Indonesia
(Indonesian
Tourist
Guide
Associations), telah memformulasikan prinsip-prinsip dan standar etika yang akan mengikat pramuwisata Indonesia mengenai tanggung jawab profesi, sikap tingkah laku dalam melaksanakan profesi pramuwisata, seperti: 1. Bahwa didalam melaksanakan profesi pramuwisata wajib menjauhkan diri dari segala perbuatan yang dapat merugikan dan merendahkan martabat Negara, Bangsa dan Masyarakat serta sesama pramuwisata yang tergabung dalam satu wadah asosiasi Pramuwisata Indonesia. 2. Bahwa guna menjaga dan mertabat “Himpunan Pramuwisata Indonesia” (HPI) sebagai wadah berkumpulnya profesi pramuwisata di seluruh Indonesia, maka memohon anugrah Tuhan Yang Maha Esa, para pramuwisata sebagai salah satu ratai dalam jajaran industri pariwisata Indonesia sepakat untuk membuat Kode Etik Pramuwisata Indonesia sebagai upaya menciptakan citra bagus pramuwisata Indonesia dalam menjalankan tugasnya, sekaligus yang wajib ditaati, dilaksanakan dan mengikat anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia.
78
3. Bahwa menghadapi persaingan Global profesi pramuwisata, agar tidak berdampak buruk terhadap budaya, adat istiadat, lingkungan serta masyarakat setempat, oleh para pengurus dan anggota HPI baik ditingkat nasional maupun didaerah perlu membentuk Dewan Kode Etik Himpunan Pramuwisata Indonesia (Dewan Kode Etik HPI) baik di tingkat Pusat, Daerah dan Cabang. Terhambatnya pelaksanaan Perda No. 5/2008 berkaitan dengan bagaimana penegakan Hukum itu sendiri, Soejono Soekanto79 menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu; 1. Faktor Hukum sendiri, yang dalam hal ini di batasi pada undang-undang saja. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undangundang mungkin disebabkan, karena: a. Tidak di ikutinya asas-asas berlakunya undang-undang; b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat di butuhkan untuk menerapkan Undang-Undang;dan c. Ketidakjelasan arti kata dalam undang undang yang mengakibatkan kesimpang siuran di dalam penafsiran serta penerapan. 2. Faktor Penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Hambatan yang mungkin di jumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum mungkin berasal dari dirinya sendiri atau lingungan, seperti :
79
Soejono Soekanto , 1979 , Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum , PT Rajagrafindo, Jakarta, h.5
79
a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; b. Tingkat aspirasi yang relative tinggi; c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; d. Belum adanya kemampuan umtuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiil; e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme; 3. Fakor sarana dan fasiltas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain; mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. 4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau di terapkan. Faktor ini mungkin terjadi karena masyarakat: a. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka di langgar atau terganggu; b. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; c. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keungan, psikis, sosial atau politik;
80
d. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya; e. Mempunyai pengalaman-pengalaman yang kurang baik dalam proses interaksi dengan berbagai unsur kalangan hukum formal; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan ras yang di dasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang meruoakan konsepsikonsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga di hindari). F.C.M.A Michiels seperti di kutip Ridwan80 menyatakan kepatuhan terhadap norma hukum itu di tempuh melalui penegakan hukum. Baik itu Hukum Pidana, Hukum Administrasi, maupun Hukum Perdata memuat sarana-sarana yuridis yang dapat di paksakan agar ada keputusan dalam peristiwa konkret atau memberikan hukuman ketika terjadi ketidakpatuhan atau pelanggaran. Semua peraturan tertulis, baik itu peraturan perundang-undangan maupun perizinan, yang akan di terapkan terhadap warga negara hanya kan bermakna jika dapat di tegakkan. Selanjutnya di katakan kepatuhan dalam waktu yang lama terhadapnorma hukum tidak akan terjadi sendirinya.81 Kebijaksanaan pembangunan kepariwisataan di Indonesia tercermin dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan banyak mengadopsi nilai-nilai yang sarat akan pembangunan yang berwawasan 80
Ridwan, 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Fh UII Press, Yogyakarta, h.104 81 ibid .
81
lingkungan dan penghargaan terhadap masyarakat hukum adat yang masih memanfaatkan kearifan-kearifan lokal dalam konteks kepariwisataan. Bentuk kearifan lokal yang di tuangkan dalam bentuk peraturan daerah adalah Perda No.5/2008 dalam perda tersebut telah diatur juga bagaimana dan apa yang harus dilakukan seseorang yang berprofesi sebagai pramuwisata, namun dalam pelaksanaan profesinya Pramuwisata sebagai pelaku kegiatan kepariwisataan tidak serta merta mentaati peraturan yang sudah diberlakukan oleh pemerintah, masih banyak pramuwisata yang melanggar ketentuan dari peraturan khususnya peraturan daerah tentang pramuwisata itu sendiri, banyak faktor yang menjadi penyebab perilaku menyimpang dari pramuwisata, salah satunya adalah faktor hukum. Dari hasil wawancara dengan ketua HPI Bali Bapak Made Sukadana yang dilakukan di kantornya di jalan tunjung sekar no 5 Denpasar Bali beliau menyatakan Undang-Undang
No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
membawa konsekuensi tidak menguntungkan bagi profesi Pramuwisata, karena tanpa adanya visi yang sama tentang pengembangan kepariwisataan secara umum termasuk pramuwisata. Menurunnya kualitas pelayanan pemanduan wisata oleh sebab pola recruitment yang tidak jelas dan pendidikan yang dipersingkat, terselenggara hanya selama 3 hari. Standard minimal diklat pramuwisata 110 jam tidak pernah terpenuhi dalam pelaksanaanya, meski hal ini bisa merujuk Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, masih muncul keluhan wisatawan bahwa pramuwisata kurang menguasai budaya lokal. dalam Undang-Udang no 10 tahun 2009 tentang Pariwisata sebagai dasar di Perda No. 5/2008 tidak disebutkan secara jelas pengaturan tentang profesi pramuwisata itu sendiri, dalam peraturan
82
perundang Undangan tersebut hanya dikatakan dalam Pasal 26 huruf h “meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan” tidak jelas dikatakan seorang pramuwisata harus memiliki lisensi dan juga mengenai standar untuk pelatihan sebagai dasra untuk menjalankan profesi kepariwisatan ini hal yang membuat masyarakat meremehkan dan acuh tak acuh atau tidak perduli pada aturan yang berlaku, oleh karena tidak adanya kejelasan dari peraturan perundang-undangan sebagai dasar terbentuknya peraturan daerah. HPI tidak mampu menjawab tantangan profesionalitas, yakni regenerasi pramuwisata, kualitas kompetensi, apatisme anggota, standart etik pemanduan dan kebutuhan struktur kelembagaan ditingkat operasional. Secara internal apakah HPI telah menjalankan Garis-garis Besar Haluan Organisasi, termasuk fakta bahwa syarat2 keanggotaan hubungan
diisyaratkan struktural
peran Pramuwisata
Anggaran Rumah
sebuah
organisasi
sebagai eksekutor
Tangga
menjadi
profesi
yang
layanan
wisata,
penghalang
modern. Multi duta
nasional,
sosok penghubung destinasi, juru penerang fakta masyarakat plural ‘bhinneka’ dengan satu idealita das Sollen Nusantara yang tunggal ika, namun bermasalah pada pemberdayaan diri dan keberpihakan pemerintah serta stakeholder pada profesi ini. Multi peran itu amat mulia ditinggikan, namun nilai profesi pramuwisata tak lebih baik dari Tukang Bangunan. Bicaralah pada Anggota HPI di pelosok negeri, bagaimana HPI dan Pemerintah era Otonomi Daerah tak mampu menaungi mereka, mulai soal pendidikan pramuwisata, pola kesejahteraan atau pembinaan yang mereka peroleh tanpa jaminan keselamatan kerja. Sehingga hal inilah yang membuat penurunan kualitas pramuwisata.
83
3.2 Faktor Non Hukum Pembangunan pariwisata di Provinsi Bali telah berkembang pesat dengan mendayagunakan sumber alam dari Provinsi Bali sendiri, sangat banyak daerah wisata yang menjadi tujuan wisata bagi pramuwisata yang datang ke Bali khusunya daerah yang paling padat pengunjung yaitu Kabupaten Badung, banyaknya daerah di Kabupaten Badung yang menjadi tempat tujuan wisata bagi wisatawan adalah seperti daerah Kuta, Jimbaran dan Nusadua. Tiga daerah tersebut merupakan pemusatan daerah kunjungan wisata dengan kunjungan wisata paling tinggi.82 Dengan adanya kenyaatan yang seperti itu banyak menyebabkan usaha pariwisata yang ada di daerah tersebut juga berkembang pesat terutama usaha di bidang perjalana wisata yang menawarkan perjalana wisata dengan menggunakan jasa pemandu wisata atau pramuwisata yang diharapakan dapat memberikan pelayanan dibidang informasi, sejarah, adat istiadat dari tempat tempat yang akan dikunjungi oleh wisatawan dapat dilihat dan disimpulkan bahwa dalam hal ini pramuwisata berperan penting dalam menjaga citra pariwisata. Pramuwisata merupakan salah satu komponen utama dalam usaha perdagangan jasa pariwista di samping jasa akomodasi lainnya yang memiliki korelasi langsung dan berpengaruh terhadap kulaitas layanan jasa yang berdampak pada perdagangan jasa pariwisata Bali secara keseluruhan yang sampai saat ini masih sangat banyak diminati oleh para wisatawan lokal maupun mancanegara. Jasa yang tidak hanya dinikmati oleh wisatawan lokal ini harus banyak memperhatikan unsur-unsur penting dalam memberikan pelayanan, salah satu hal yang penting 82
I Nyoman Sukma Arida , 2010 , Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global, Udayana Uniiversity Press , h.208.
84
untuk diperhatikan adalah dalam pembinaan kepada pramuwisata agar dapat memberikan pelayanan yang menarik dan juga dengan penuh keramah tamahan sebagai citra khas Bali yang masih dipertahankan sampai saai ini dan yang lebih penting adalah memberikan pembinaan-pembinaan agar dapat melanjutkan dan meningkatkan pembangunan pariwisata budaya dengan mengembangkan dan mendayagunakan sumber dan potensi utama daerah yaitu kebudayaan dan adat istiadat juga kearifan lokal yang menjadi daya tarik utama kunjungan wistawan datang ke Bali. Untuk menjalakan profesi kepariwistaaanya seorang pramuwistaa diharuskan mempunyai lisensi pramuwisata dan juga Kartu Tanda Pengenal Pramuwisata ( KTTP) yang di keluarkan langsung oleh Gubernur Bali. Tindakan ini merupakan Usaha Preventif dalam melindungi kegiatan mereka dari tindakantindakan atau kegiatan pramuwisata yang tidak sah. Di Bali khusunya kabupaten Badung sudah mulai banyak ditemukan pramuwisata yang menjalankan profesinya tanpa mengantongi lisensi, berdasarkan wawancara yang di lakukan pada tanggal 24 desember 2014 kepada bapak Made Sukadana selaku ketua DPD Himpunan Pramuwisata bali bertempat di kantornya jl. tunjung sekar No. 5 denpasar menyatakan bahwa, belakangan ini Bali marak terjadi praktik pramuwisata liar, kebanyakan pramuwisata tanpa izin tersebut mahir berbahasa mandarin, menjelang imlek ,turis asal china dan taiwan membajiri pulau dewata. Jumlah dari Pramuwisata liar yang ada itu lebih dari 250 orang, dikatakan oleh bapak made Sukadana juga bahwa memang jumlah pramuwisata berlisensi yang sudah tergabung di DPD HPI Bali yang mahir dalam menggunakan bahas mandarin jumlahnya masih sangat minim namun kunjungan wisata dari daerah
85
China, jepang, taiwan sangat meningkat. Sebagian besar dari pramuwisata liar yang mahir berbahasa mandarin itu datangngya dari luar Bali. Namun untuk sementara ini Bapak Made tidak bisa memastikan, apakah pemandu wisata asing itu warga negara China, Korea, atau orang Taiwan yang sudah menjadi WNI, karena mereka ada juga berasal dari Indonesia terutama Jakarta dan Bali yang bisa berbahasa mandarin. Tak hanya Pramuwista tanpa lisensi yang berbahasa Mandarin, banyak pramuwisata asal rusia, Belanda dan Prancis yang bekerja secara ilegal bahkan mereka belum berkewarganegaraan Indonesia. Selain pramuwisata tanpa lisensi ini ada istilah fee pramuwisata yang banyak di praktekan oleh Biro Perjalanan Wisata (BPW). Keberadaan fee pramuwista atau bisa juga disebut freelance ada yang mengantongi atau pun tanpa izin. Mereka rata-rata tidak mengantongi izin yang dipekerjanan oleh Biro perjalanan wisata sebagai tenaga kerja lepas jika kebutuhan akan pramuwisata sedang tinggi, baru lah mereka dipanggil dan dibayar harian untuk memandu wisatawan, hal ini juga tidak dibenarkan menurut aturan yang berlaku. Mereka tenaga liar yang di bayar oleh BPW, berperilkau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dan sangat jauh dari kode etik pramuwisata yang seharusnya. Mereka rata-rata melakukan pelanggaran seperti, menggunakan sandal jepit, menggunakan celana pendek dan kaos oblong serta kadang mereka dalam menjelaskan tentang suatau objek wisata pada wisatawan sambil merokok, hal-hal seperti inilah yang merusak citra pariwisata menjadi tidak baik dan mencermikan memiliki adat yang tidak berbudaya bahkan ketika penulis mengadakan penelitian ke daerah wisata religi di daerah Kabupaten Gianyar tepatnya di daerah Tampak Siring penulis mendapati
86
banyak pramuwisata yang tidak menggunakan pakaian adat sedangkan untuk memasuki tempat itu diwajibkan menggunakan pakaian adat Bali minimal menggunakan kamen Bali dan juga selendang, sedangkan hal itu diwajibkan kepada wisatawan yang dimana pramuwisata yang memandu meraka tidak mentaati peraturan yang ada di objek wisata itu sendiri, hal ini tidak hanya mencoreng sakralnya tempat suci juga memperlihatkan dengan jelas kepada wisatawan bagaimana kualitas dari jasa pramuwisata yang mereka gunakan dan hal ini bisa berdampak pada penilaian wisatawan pada tempat wisata itu sendiri dan menjadi acuh tak acuh pada aturan dan adat yang ada. Dari hasil penjaringan pramuwisata yang tidak memiliki lisensi yang dilakukan dinas parwisata bersama dengan DPD HPI Bali banyak ditemui pramuwista freelance yang sama sekali tidak mengerti bagaimana sejarah, budaya dan adat isitiadat objek-objek wisata di Bali, sehingga dikhawatirkan wisatawan tidak mendapatkan haknya dalam berwisata dengan menggunakan jasa wistawan yaitu mendapatkan pelayanan yang sopan dan juga informasi yang sesuai mengenai objek wisata yang di kunjungi. Berbagai faktor mendominasi terhambatnya pelaksanaan Perda No. 5/2008, dari hasil wawancara dengan Nyoman Wirga seorang pramuwisata yang menjalankan profesinya tanpa lisensi pada
tanggal 4 januari 2015 di daerah
wisata di Nusa dua, menyatakan bahwa apakah seorang pramuwisata dalam menjalankan profesinya harus mempunyai lisensi ? Nyoman Wirga menyatakan lisensi bukanlah hal utama dalam menjalan kan profesi pramuwisata namun pengalaman menghadapi wisatawan adalah hal yang lebih penting dan mendominasi dalam memberikan pelayanan kepada pramuwisata, dia juga
87
menambahkan bahwa tidak semua pramuwisata tanpa lisensi memiliki etika yang buruk mereka hanya ingin mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang dijaman sekarang harganya makin melonjak, ia juga menambahkan merasa kurang efisien bila pendidikan tinggi dan memimiliki sertifikat namun minim pengalaman, apalagi hal-hal yang menyangkut dunia kepariwisataan, karena pada dasarnya para tamu asing tidak terlalu perduli dengan hal hal diluar pelayanan yang di berikan, seperti pendidikan dan lisensi karena rata-rata dari para wisatawan sudah percaya pada BPW yang dipilihnya. Namun jika yang di pekerjakan adalah pramuwistaa yang kurang berpengalaman atau masih dalam masa coba-coba atau training, tentunya para wisatawan juga akan komplain dan kecewa dengan pelayanan yang di berikan. Penyelenggaraan pariwisata menurutnya harus lebih mengedepankan pelayanan yang berdasarkan pengalaman dan wawasan bukann ijazah maupun seritifat. Sertifikat diperlukan namun hanya untuk formalitas namun tidak menjamin kualitas. Dari banyaknya laporan yang diterima oleh Dinas Pariwisata banyaknya pertumbuhan Pramuwisata yang tidak memiliki lisensi menyebakan kegitan kepariwisataan menjadi ternodai, banyak pramuwisata yang bekerjasama dengan pemilik toko oleh-oleh khas bali atau barang-barang khas bali juga menimbulkan kekecewaan bagi wisatawan, karena wisatawan yang sebenarnya lebih cenderung ingin menikmati daerah wisata namun ternyata harus “terpaksa” mampir ke toko oleh dan artshop yang kini banyak tersebar di sepanjang jalan dan membuat efisiensi waktu wisata menjadi terganggu. Ketua DPD HPI Bali Made Sukadana menyatakan juga perlu diadakannya rapat online pramuwisata agar informasi-
88
informasi semacam itu cepat tersampaikan dan juga ditindak lanjuti, agar nantinya tidak terus terjadi dan menghambat perkembangan kegiatan kepaiwisataan. Terhadap hasil wawancara dengan pramuwisata bapak Nyoman wirga penulis setuju apabila seorrang pramuwisata harus memiliki pengalaman yang baik dalam melayani para wisatawan namun penulis juga tidak setuju apabila dalam menjalaknan profesi tidak mempunyai liseni. Lisensi adalah awal dari standar kualitas seorang pramuwisata, seorang pramuwisata yang hendak memiliki lisensi harus mengikuti pelatihan dan pendidikan yang dilakukan oleh dinas pariwisata kemudian dilakukan ujian untuk menentukan hasilnya apakah seorang pramuwisata itu lulus atau tidak dan layak menerima lisensi. Sebagai negara yang berdasarkan hukum tentunya segala sesusatu harus sesuai dengan peraturan yang berlaku,83 dan mengenai lisensi bagi pramuwisata sudah diatur dalam Perda No. 5/2008 pasal 4 angka (1) menyebutkan bahwa: “Untuk menjadi Pramuwisata wajib memiliki sertifikat pramuwisata dan KTTP” Seperti yang sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya mengenai faktorfaktor apa sajakah yang menghambat penegakan hukum dengan kata lain menghambat pelaksanaan perda tersebut ada banyak faktor lain di lapangan yang ternyata juga membuat terhambatnya pelaksanaan Perda No. 5/2008 tidak hanya dibidang hukum saja namun dari sisi lain juga banyak menjadi penghambat pelaksanaan perda yang menjadi bagian dari fator penghambat dari pelaksanaan perda adalah :
83
L.J. Van Apeldoorn, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,h.67
89
1. Faktor Ekonomi Ekonomi menjadi salah satu fator yang sangat berpengaruh menjadi penghambat pelaksanaan perda tentenga pramuwisata, mengapa demikian? semua masyarakat dalam berbagai lapisan membutuhkan pekerjaan untuk menghasilkan uang demi memeuni kebutuhan hidupnya, dimana lingkungan kitamerupakan daerah yang memiliki kegiatan ke pariwisataan yang sangat tinggi, hampir 60% masyarakat di Bali memiliki profesi di bidang pariwisata salah satunya pekerjaan yang mudah di lakukan adalah menjadi pramuwisata, dengan memiliki pengetahuan tentang pariwisata di Bali dan juga bisa berbahasa Asing seseorang bisa melakukan pekerjaan ini dengan mudah, karna banyak wisatawan yang tidak mengerti bahkan mungkin tidak mengetahui bahwa pramuwisataitu sendiri pun harus memeiliki izin untuk menjalankan profesi, banyak pramuwisata yang tidak memiliki izin atau ilegal menawarkan harga jauh di bawah rata-rata untuk mendapatkan wisatawan, sehingga hal inilah yang membuat banyak pramuwisata tanpa izin masih mbisa beroperasi dan malah semakin menjamur. Tidak hanya pramuwisata yang nakal namun juga Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Bali, berdasarkan hasil wawan cara pada tanggal 21 Desember 2014 di kantor Dinas kepariwisataan provinsi Bali, Anak Agung Gede Yuniartha Putra mengatakan, akan segera memberikan surat peringatan (SP) kepada biro perjalanan wisata (BPW) yang mempekerjakan pramuwisata atau guide ilegal dan dinas pariwisata pun akan segera menerbitkan SP (Surat Peringatan) kepada BPW
90
menggunakan pramuwisata ilegal, langkah itu sebagai upaya menjaga citra Bali dalam memberikan pelayanan terbaik kepada wisatawan, beliau mengatakan, pihaknya kini sedang melakukan pengecekan dan razia pramuwisata, karena ditengarai masih banyak BPW yang mempekerjakan pemandu wisata tanpa memiliki surat izin, dan juga Dinas Pramuwisata akan segera menerbitkan SP kepada BPW yang nakal. Karena dalam Perda No 10 tahun 2009 Tentang Usaha Perjalan Pariwisata, sudah ada aturan jelas mengenai pemandu wisata, dalam perda tersebut dinyatakan semua BPW harus menggunakan pramuwisata yang berlisensi atau berizin. Jika ada BPW yang mempekerjakan guide ilegal berarti BPW tersebut melanggar kebijakan dan akan diberikan SP hingga beberapa kali sebelum diberikan tindakan tegas berupa pencabutan izinnya. 2. Faktor Pendidikan Jumlah wisatawan yang terus meningkat tiap tahunnya membuat kebutuhan akan jumlah pramuwisata juga sangat besar namun dalam pemenuhan kuota prramuwisata masih banyak kendala yang harus di hadapi Dalam Peraturan Daerah no 5 tahun 2008 tentang pramuwisata bagian kesatu tetang sertifikasi pramuwisata pasal 5 ayat (1) dan (2) huruf a, telah di sebutkan salah satu syarat untuk mendapatkan izin atau serifikat pramuwisata adalah memiliki pendidikan mimimal Diploma 3 (D3) atau yang sederajat, namum dalam kenyataanya di masyarakat masih banyak masyarakat kita khusunya di bali belum mampu untu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, namun karena lingkungan
91
yang mengajarkan mereka menjadi mahir berbahasa asing, hal ini menjadi modal utama mreka untuk masuk ke profesi di dunia pariwisata. Bagi mereka dengan memilki kemampuan berbahasa asing dan pengetahuan seadanya tentang dunia kepariwisataan di Bali sudah menjadi modal cukup untuk emnjalankan profesi, pendidikan adalah hal yang tidak menjadi halangan untuk mendapatkan pekerjaan. Skill atau kempampuan adalah hal yang harus paling di utamakan untuk melakukan sebuah pekerjaan. Dengan perkembangan pariwisata yang sangat pesat seperti sekarang ini membuat masyarakat sendiri harus bida melihat peluang dalam mencari pekerjaan salah satunya yang paling mudah adalah menjadi pramuwisata tanpa memerlukan modal untuk membuka usaha mereka dapat menghasilkan uang. Hal inilah yang mendorong banyak masyarakat melakukan profesi pramuwistaa namun tidak sesuai dengan Peraturann yang berlaku 3. Waktu perekrutan pramuwisata Pelaksanaan perekrutan pramuwisata yang tidak di laksanakan terus menerus
membuat
kesempatan
bagi
calon
pramuwisata
tidak
memungkinkan untuk mendapatkan izin atau sertifak pramuwisata dengan segera membuat beberapa pramuwisata nekat menjalankan profesinya tanpa mengantongi izin, perekrutan pramuwista memang dilakukan dengan jangka waktu tertentu tidak reguler dilakukan tiap bulan ataupun tahun namun dilaksanakan sesuai dengan laporan dari DPD HPI jika mengalami kekurangan pramuwisata. Jika di lihat dari perkembangan
92
pariwista di masa sekarang tentunya sangat banyak di perlukan jasa pramuwista membludaknya wisatawan yang datang memungkinkan di butuhkannya lebih banyak pramuwisata, namun kurangnya informasi dari para pelaku jasa praiwisata lain seperti agen wisata dan hotel yang menaungi para pramuwisata mengakibatkan informasi kebutuhan terhadap jasa pramuwisata menjadi terhambat ini mengakibatkan tidak adanya kecocokan data pramuwisata yang di butuhkan dan jumlah pramuwisata yang sudah melakukan profesi dengan tidak atau sudah mengantongi lisensi, banyak agen wisata atau hotel lebih suka mempekerjakan pramuwisata tanpa lisensi atau freelance untuk mendapatkan tenaga kerja dengan harga yang lebih murah. 4. Syarat Syarat yang Ada dalam Perda No 5 tahun 2008 tentang Pramuwisata Banyak syarat yang sudah ditentukan dalam perda no 5 tahunn 2008 tentang pramuwisata untuk menjadi seorang pramuwisata yang bersertifikasi, namun jika di telaah banyak syarat yang sepertinya susah untuk di penuhi oleh para calon pramuwisata, salah satunya hal yang menjadi penyebab yang cukup signifikan untuk pelanggaran yang di lakukan oleh pramuwisata adalah seperti yang di sebutkan di pasal 5 ayat (2) huruf a nomor 2, di sebutkan bahwa : “bertempat tinggal di kabupaten atau kota paling singkat 2 (dua) tahun yang di buktikan dengan kepemilikan kartu tanda penduduk “
93
Dengan adanya ketentuan seperti apa yang tertulis dalam Perda banyak masyarakat pendatang yang ingin memeperoleh pekerjaan di bidang pariwisata khusunya pramuwisata di daerah Bali dengan melihat peluang yang lebih besar denga kondisi pariwisata yang baik membuat banyak masyarakat pendatang nekat untuk tetap mengadu nasib dengan bekerja sebagai pramuwisata dengan tanpa mengantongi lisensi. Banyak masyarakat melanggar peraturan karena terdesak keadaan yang harus memiliki pekerjaan segera. Dari uraian tersebut diatas dan dikaitkan dengan permasalahan yang diangkat dalam tesis ini maka faktor yang menjadi penyebab terhambatnya pelaksanaan Perda No 5/2008 ada 2 faktor yaitu faktor Hukum dan Non Hukum ini meliputi bagaimana ketaatan masyarakat dengan peraturan yang berlaku. Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia, hukum berbeda dengan seni, ilmu dan profesionalis lainya, struktur hukum pada dasarnya berbasis kepada kewajiban dan tidak diatas komitmen. Kewajiban moral untuk mentaati dan peranan peraturan membentuk karakteristik masyarakat. Didalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah sama dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah demikian dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan atau dilakukan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat inilah yang menjadi penghakim. Tidaklah berlebihan bila ketaatan didalam hukum cenderung dipaksakan. Teori ketaatan hukum dalam kaitannya dengan kegiatan pramuwisata
94
dalam usaha jasa pariwisata adalah bila mana seorang pramuwisata dapat taat terhadap peraturan yang mengatur tentang bagaimana seorang pramuwisata bisa dikatakan menjadi pramuwisata yang legal dan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pramuwisata terhadap ketaatnya terhadap hukum yang berlaku dan mengatur tentang bagaiamana profesi pramuwisata itu sendiri, ketaatan hukum pada dasarnya sangat penting dalam mengefekktifkan hukum itu sendiri. Bali yang dikatakan kaya akan potensi kepariwistaanya tidaklah salah untuk mengembangkan sektor priwisata untuk nantinya bisa menjadi bekal ubtuk kehidupan sekarang juga investasi usaha untuk dimasa depan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun tidak dengan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Berkaitan telah ada dan ditetapkan peraturan tentang pramuwisata. Peraturan dibuat oleh pemerintah guna untuk mengatur kehidupan masyarakat agar terjadi keseimbangan antara satu dan lainnya, dengan terhambatnya pelaksanaan Perda No. 5/2008 ini akan membuat kualitas pramuwisata dimata wisatawan menjadi buruk, jika dilihat kembali untuk menetukan baik atau buruknya sebuah pelayana usaha jasa harus dipastikan para pelaku kegiatan industri jasa tersebut sudah memiliki standar jasa pelayanan, dalam industri jasa kualitas dari jasa pelayanan yang diberikan kepada konsumen merupakan produk dari industri itu sendiri jadi jika peraturan daerah terhambat pelaksanaannya dimana peraturan itu sendiri merupakan dasar untuk para pramuwisata melakuakan profesinya bisa dipastikan kualitas dari jasa pelayanan tidak memenuhi standar. faktor dalam hal ini tidak hanya pramuwisata yang tidak mentaati peraturan, disini juga aparat yang berwenang dalam penegakan peraturan
95
yang berlaku. Pelayanan kepada wisatawan tidak hanya ditentukan oleh bagaimana pramuwisata mampu memberikan pelayanan terhadap wisatawan dalam hal pelayanan jasa Usaha Jasa Perjalanan Wisata atau Biro Perjalanan Wisata juga merupakan hal yang sangat penting dalam peningkatan kualitas pelayanan pariwisata. Biro perjalanan wisata juga memiliki peran penting dalam kegiatan kepariwisatan sebagai tempat bernaungnya para pramuwista, bagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 tahun 2010 Provinsi Bali Tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Keberadaan pramuwisata merupakan hal terpenting dalam kegiatan kepariwisataan, maka untuk menjaga hal itu diperlukan adanya pramuwisata yang berdedikasi dan mampu menjamin kualitas diri dalam menjalankan profesinya, hal ini berkaitan dengan kualitas produk dimana kepuasaan konsumen merupakan hal yang terpenting dalam urusan jasa pelayanan, yang dalam hal ini adalah jasa pelayanan yang diberikan oleh pramuwisata. Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa, seorang tenaga ahli dalam bidang pariwisata harus memenuhi standar kompetensi, yang salah satu adalah memiliki lisensi. Hal-hal yang selama ini menjadi penghambat untuk para pelaku kegiatan pariwisata yang dalam hal ini adalah pramuwisata harusnya bisa lebih difikirkan lagi oleh pemerintah agar bisa meminimalisasi pelanggaran yang dilakukan, agar kualitas dari pelayanan jasa bisa tetap dipertahankan dan mengalami peningkatan setiap tahunnya, yang seperti kita ketahui adalah kebutuhan dunia pariwisata akan pramuwista sangatlah tinggi, namun jumlah sumber daya manusia yang memenuhi kopetensi untuk menjadi pramuwisata
96
jumlahnya sangat minim, hal ini yang menyebabkan banyak pelanggaran dilakukan oleh pramuwisata terhadap peraturan yang berlaku.
BAB IV BENTUK PELAKSANAAN SANKSI PERDA NO 5 TAHUN 2008 TENTANG PRAMUWISATA
4.1 Sanksi Administrasi Dalam Hukum administrasi sarana penegakan hukum disamping pengawasan adalah sanksi. Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-undangan. J.B.J.M. Ten Berge di kutip dari Ridwan HR84 menyatakan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan hukum aadministrasi, bahkan dikatakan sebagai tanden van het recht atau taringnya hukum sebab pada umumnya norma-norma yang terdapat dalam suatu peraturan perundangundangan tidak akan memiliki ketentuan dan wibawa jika tidak disertai dengan sanksi. Sanksi adalah suatu nestapa yang dijatuhkan kepada siapapun yang di nyatakan tidak mematuhi apa yang telah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku85. Sanksi biasanya diletakan pada bagian akhir setiap peraturan, seperti ungkapan latin yang berbunyi in cauda veneum yang secara bahasa berarti diujung terdapat racun. Menurut Philipus M Hadjon86, sanksi sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, juga didalam hukum administrasi. Pada umunya tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan bagi para warga didalam peraturan perundang-undangan tata usaha negara. Manakala
84
Ridwan H R, op.cit, h..313 Soetandyo Wignyoesoebroto, 2008, Hukum dala Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Bayumedia publising, Malang, h.135. 86 Philipus M. Hadjon op.cit.h.245 85
97
98
aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara. Sanksi merupakan sarana agar warga negara memiliki kepatuhan terhadap norma norma hukum. Sanksi itu merupakan sarana agar warga negara memiliki kepatuhan terhadap norma-norma hukum. Menurut H.D. Va Wijk/Wollem Konijnenbelt dalam bukunya
Ridwan
HR,
sanksi
adalah
hukum
administrasi
adalah
“de
publiekrecjtelijke machtsmiddelen die de overhead kan aanwenden als reactie op niet-naleving van verplichtingen die voorvloeien uit administratiefrechtlijke ormen” yaitu alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidak patuhan terhadap kewajiban ynag terdapat dalam norma hukum administrasi Negara.87 Sedangkan menurut J.J Ostembrink seperti dikutip Ridwan, Sanksi administratif adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah dengan warga negara, yang dilaksanakan tanpa kekuatan peradilan (hakim), tetapi secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri.88 Sanksi dalam hukum administrasi adalah semua sanksi yang tidak hanya diterapkan oleh pemerintah sendiri, tetapi juga sanksi yang dibebankan oleh hakim administrasi atau instasi banding administrasi. Pengertian dari sanksi tampak ada lima unsur sanksi dalam hukum adminitrasi yaitu;
alat
kekuasaan
(matchmiddelen),
bersifat
hukum
publik
(publiekrechtelijke), digunakan oleh pemeritah (overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactie op niet-naleving), dan pada dasarnya dapat digunakan langsung oleh pemerintah tanpa perantara hakim (zonder rechterlijke machtiging 87 88
Ridwan HR, Op.cit. h.315. Ridwan, Op. Cit, H.112 .
99
rechstreeks door de administratie zelf kunnen worden opgelegd).89 P.M.B. Schrijevrs en H.C.M Smeets menyatakan ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi dikenal dua jenis sanksi, yaitu sanksi reparatoir (reparatooire sancties) dan sanksi punitif (punitieve sancties). Sanksi reparatoir, disebut juga istilah sanksi situatif (situatieve sanctie), diterapkan atas pelanggaran norma dan dimaksudkan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran90. Sedangkan menurut J.B.J.M Ten Berge dalam bukunya Ridwan, Sanksi ini juga disebut juga dengan sanksi regresif (regressieve sancties), yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada keputusan yang diterbitkan dan ditunjukan pada keadaan hukum semula, sebelum diterbitkannya keputusan yang dapat berupa penarikan, perubahan, dan penundaan suatu keputusan (de intrekking, de wijziging, of de schorshing van een beschikking)91. Menurut Ridwan, sanksi puinitif, atau dalam istilah lain sanksi retributive (rectributive sanctie), adalah sanksi yang semata-mata ditunjukan untuk memberi hukuman (straffen) pada pelanggar.92 Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum adminidtrasi, macam dan jenis sanksi itu umunya dicantumkan dan ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang administrasi tertentu. Adapun macam dan jenis sanksi tersebut;
89
Ibid. Ibid h.113 91 Ibid. 92 Ibid. 90
100
1. Paksaan pemerintah (bestuursdwang); dalam afdeling 5.2 artikel 5.2.1, aglement wet bestuursrecht seperti dikutip dalam bukunya Ridwan dijelaskan paksaan pemerintah (bestuursdwang) merupakan tindakan nyata yang dilakuakan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalangi-menghalangi, memperbaiki pada keadaan semula yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.93
Pelaksanaan
bestuursdwang
ini
menjadi
kewenangan pemerintah (bestuursdwangbevoegheid) dalam arti organ pemerintahan berwenang untuk melakuakn tindakan nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma hukum administrasi, karena kewajiban yang muncul dari norma itu dijalankan atau sebagai reaksi dari pemerintah atas pelanggaran norma hukum yang dilakukan oleh warga negara. Paksaan pemerintah ini merupakan kewenangan paling penting dalam penegakan hukum administrasi. Organ pemerintah memiliki kewenangan untuk merealisasikan secara nyata kepatuhan warga, jika perlu dengan paksaan, terhadap peraturan perundang-undangan tertentu atau kewajiban tertentu. Untuk pelanggaran yang bersifat substansial umumnya langsung diterapkan paksaan pemerintah, sedangkan yang tidak substansial umumnya langsung diterapkan paksaan pemerintah, sedangkan yang tidak substantial akan diterapkan sanksi lain. Setiap menerapkan bestuursdwang,
93
ibid
101
pemerintah wajib memberikan surat peringatan uang langsung di tunjukan pada pelaku pelanggaran. 2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran, dan sebagainya) J.P.Wind seperti yang dikutip Ridwan mengatakan penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran, dan sebagainya) merupakan sanksi dalam hukum admnistrasiyang ditetapkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap syaratsyarat yang ditentukan atau dilekatkan pada keputusan yang diberikan, atau sebagai sanksi terhadap tindakan yang tidak sesuai dengan norma.94 Menurut J.B.J.M Ten Berge dalam bukunya Ridwan menyebutkan sesuai asas contrarius actus similiter fit, penarikan kembali keputusan yang menguntungkan ini dilakuakn oleh organ yang mengeluarkan keputusan tersebut. Penarikan kembali keputusan ini berarti meniadakan hak-hak yang terdapat dalam keputusan tersebut, sehingga dikenal dengan sanksi regresif (regresieve sancties), yaitu sanksi untuk mengembalikan pada situasi sebelum keputusan itu di buat95, dengan kata lain, hak-hak dan kewajibankewajiban yang timbul setelah terbitnya keputusan tersebut menjadi hapus atau tidak ada sebagaimana sebelum terbitnya keputusan itu. 3. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom); dalam hukum administrasi dikenakan kepada seseorang yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, dengan membayar sejumlah uang. Sanksi ini merupakan alternatif yang diterapkan ketika 94 95
Ibid, h.115. Ibid, h.116
102
sanksi paksaan pemerintah sulit untuk dilakukan, sehingga sanksi ini tidak boleh diterapkan secara bersamaan dengan sanksi paksaan pemerintah atau dijadikan sanksi komulatif. Didalam pasal 5.3.1.ayat (1) AWB disebutkan “Suatu
organ
pemerintah
yang
berwenang
menerapkan
paksaan
pemerintah, dapat sebagai gantinya memberikan suatu perintah kepada pelanggar dengan uang paksa. Tidak pilih untuk memberikan suatu perinyah dengan uang paksa, jika kepentingan yang dimaksud dengan peraturan yang dilanggar untuk dilindungi itu tidak menghendakinya. 4. Pengenaan denda adminidtratif (administratieve boete); atau disebut juga dengan istilah adalah kewajiban membayar sejumlah uang yang ditetapkan oleh organ pemerintah fiscale boetes sebagai hukuman atas pelanggaran suatu peraturan. Dendan administrasi sebagaimana paksaan pemerintah dan uang paksa ditetapkan dengan keputusan (beschikking). Denda administrasi ini berbeda dengan paksaan pemerintah dan uang paksa, dimana sanksi administrasi ini bukan merupakan sanksi reparatoir, tetapi sanksi punitif. P.de Haan dan kawan-kawan seperti dikutip Ridwan menyatakan ada perbedaan antara pengenaan uang paksa dengan denda administratif. Pengenaan uang paksa ditujukan untuk mendapatkan situasi konkrit yang sesuai dengan norma, sedangkan denda admnistratif itu sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang di tunjukan untuk menambah hukum yang pasti.96 Sanksi tersebut diatas tidak selalu bisa diterapkan secara keseluruhan pada 96
ibid, h.117.
103
suatu bidang administratif tertentu. Tetapi bisa juga terjadi dalam suatu bidang administratif tertentu. Tetapi juga bisa terjadi dalam suatu bidang administratif tertentu di terapkan lebih dari ke empat macam sanksi tersebut seperti di bidang lingkungan. Dalam kaitannya dengan pembahasan permasalahan dalam tesis ini maka sanksi yang diatur dalam Perda No. 5/2008, maka diperlukan penegakan hukum dan paksaaan pemeliharaan hukum atas pelaksanaan Peratuan Daerah tersebut. Paksaan penegakan hukum itu pada dasarnya berwujud mengambil mencegah, melakukan atau memperbaiki, segala sesuatu yang telah di buat oleh masyarakat yang bertentangan dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Paksaan tersebut harus didahului dengan perintah tertulis dari pemerintah atau penjabat yang berwenang kepada pelanggar. Apabila pelanggar tidak mengindahkan maka diambil tindakan paksaan. Tujuan paling Hakiki dari keberadaan peraturan adalah untuk menciptakan sebuah kepastian hukum.97 Jadi dengan adanya peraturan yang sudah diberlakukan diharapakan dapat mengurangu pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Terhadap pelanggar Perda No. 5/2008 sanksi administrasi dikenakan pembebanan berupa biaya keseluruhan atau sebagaian yang telah dilakukan oleh dinas pariwisata untuk melakukan penegakan hukum tersebut. Paksaan penegakan hukum tersebut hanya dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan seimbang sesuai dengan berat pelangaran yang dilakukan, karena paksaan tersebut pada umunya dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan. 97
Titon Slamet Kurnia, 2009 , Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Penerbit PT Alumni Bandung , h.49.
104
Pemerintah Provinsi Bali akan menidak tegas keberadaan pramuwisata yang tidak memiliki liseni berkaitan juga dengan di tetapkannya Peraturan Daerah no 1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata (UJPW). Biro Perjalanan Wisata (BPW) di Bali sesuai Perda No. 1 tahun 2010 diwajibkan menggunakan pramuwisata yang berlisensi. Oleh karena itu, pemerintah Propinsi Bali melalui Dinas Pariwisata (Disparda) Bali wajib memberikan sanksi tegas kepada BPW di Bali yang terbukti menggunakan Pramuwisata yang tidak memiliki izin. Sementara itu sudah ada kesepakatan diantara ASITA dan HPI di mana BPW di Bali wajib menggunakan pramuwisata berlisensi di bawah naungan HPI Bali, jika masih ada pramuwisata di Bali yang belum mengantongi lisensi atau izin wajib mengurus perizinan di Dinas Pariwisata Bali. Selanjutnya setelah mengantongi lisensi pramuwisata wajib menjadi anggota HPI Bali. Apabila ada pramuwisata yang terbukti menjalankan profesi tanpa meiliki lisensi saat melakukan tour wisata maka sudah dapat dikategorikan sebagai pramuwisata ilegal. Dalam Perda No 1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa Perjalana Wisata secara tegas mewajibkan BPW menyediakan layanan pramuwisata yang mengantongi lisensi. Jika BPW sudah jelas-jelas mengetahi pramuwisata yang akan digunakan tidak mengantongi lisensi dan tetap menggunakan pramuwisata ilegal tersebut merupakan sebuah perbuatan yang melanggar peraturan yang berlaku, BPW yang terbukti menggunakan pramuwisata yang tidak memiliki lisensi ini wajib mendapatkan sanksi dari dinas pariwisata daerah Provinsi Bali yang mengacu pada perda tersebut. Jika terbukti menggunakan jasa pramuwisata yang tidak mengantongi izin tidak hanya pramuwisata yang akan diberikan sanksi namun BPW juga akan
105
diberikan sanksi tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Termasuk juga dengan penggunaan jasa pramuwisata yang tidak berkewarganegaraan Indonesia atau asing juga harus ditindak dengan tegas. Dalam Perda No. 5/2008 menyatakan dengan jelas pramuwisata di Bali merupakan warga negara Indonesia, ini menunjukan bahwa orang asing tidak boleh menjalankan profesi pramuwisata di daerah Bali. Dengan diberlakukannya peraturan daerah ini, ke depannya seluruh biro perjalanan wisata (BPW) yang ada di Bali harus menggunakan pramuwisata yang berlisensi. Ketentuan mengenai lisensi pramuwisata di atur dalam Perda No. 5/2008 yang mewajibkan seorang pramuwisata memiliki lisensi agar dapat dianggap sah dalam menjalankan profesinya. Sanksi administrasi dijatuhkan pada pramuwisata dengan jenis pelangaran yang masih dianggap ringan. Pramuwisata yang telah berlisensi, telah di uji kemapuannya untuk dapet memberikan penjelasan yang benar mengenai apa dan bagaimana pariwisata di Bali yang berdasarkan pada tujuan pariwisata budaya. Keberadaan pramuwisata tanpa lisensi sangat meresahkan semakin tahun jumlahnya semakin meningkat maka dari itu peraturan dan sanksi bagi pelanggarnya harus lebih di peketat. Pramuwisata liar tidak hanya meresahkan namun juga dapat merugikan pariwisata ke depannya karena sangat mempengaruhi bagaimana citra pariwisata Bali di mata masyarakat luar. Untuk itu, dengan diberlakukannya Perda No.5/2008 pemerintah provinsi Bali akan menindak tegas keberadaan pramuwisata tidak mengantongi izin atau lisensi yang diindikasi semakin banyak pertumbuhannya di daerah Bali, khusunya kabupaten Badung sendiri karena dilapangan sendiri banyak ditemukan pramuwisata yang bukan WNI menjalankan profesi tanpa mengantongi izin.
106
Sanksi adminidtrasi diberikan kepada pramuwisata melalui Dinas pariwisata yang rutin melakukan razia atau sweeping ke tempat-tempat objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan untuk menjaring pramuwista yang tidak memiliki izin maupun pramuwisata yang memiliki izin tapi masih melanggar beberapa peraturan dalam Perda No. 5/2008. Dinas pariwisata rajin melakukan razia atau sweeping di 33 objek wisata yang tersebar di seluruh Kabupaten Badung. Namun terkendala dengan anggaran dana yang terbatas membuat pelaksanaan razia dan sweeping maupun pengawasan menjadi terhambat, dengan adanya banyak objek wisata yang makin padat di kunjungi oleh wisatawan mengharuskan dinas pariwisata menyiapkan lebih banyak tenaga khusus di setiap objek wisata untuk mengawasi perkembangan kegiatan kepariwisataan. Menurut hasil wawancara yang dilakukan pada kepala dinas kepariwisataan provinsi bali pada 24 desember 2014 Bapak Anak Agung Gede Yuniartha Putra, SH.MH, beliau menyatakan bahwa jika kalangan pelaksana pariwisata meminta Disparda Bali menempatkan satu penjaga disetiap objek wisata untuk mengawasi pramuwisata yang tidak berslisensi maupun yang menjalankan profesi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, hal itu dirasa juga oleh bapak Ketut Suastika sulit terlaksana oleh karena untuk pengendalian terhadap pramuwisata hanya dilaksanakan oleh dinas pariwisata provinsi Bali saja. Sementara itu untuk menempatkan tenaga penjaga khusus di masing-masing objek wisata di butuhkan dana yang besar. Sementara itu, Disparda Bali masih menghadapi kendala dana sehingga upaya untuk menempatkan tenaga penjaga objek wisata untuk mengawasi kinerja dan jalannya kegiatan pariwisata terutama untuk mengurangi angka pelanggaran yang di
107
lakukan oleh pramuwisata masih sulit terwujud. Namun dinas pariwisata masih tetap berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menegakan peraturan dan mengurangi angka pelanggaran, pada tahap awal disparda Bali mengupayakan untuk membuat papan peringatan bagi wisatawan yang ingin memasuki daerah objek wisata di Bali, papan peringatan itu akan di tempatkan dibeberapa tempat di objek wisata, untuk memastikan dan memperingatkan kepada wisatawan apakah sudah mmenggunakan jasa pramuwisata yang sudah memilki lisensi.
Meski
belum bisa menyediakan petugas penjaga pramuwisata tanpa lisensi dan menjalankan profesi tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, disparda Bali akan tetap melakukanan razia atau sweeping rutin sebagai upaya untuk menjaring para pramuwisata nakal tersebut. Tim sweeping dari disparda Bali akan tetap melakukan sweeping secara rutin dan berkelanjutan guna menjaga ke stabilan kegiatan pariwisata dan mengurangi pelanggaran yang dilakukan oleh para pramuwisata juga mengurangi pertumbuhan pramuwisata liar yang sudah semakin meresahkan belakangan ini. Tim sweepping yang ditugaskan oleh Disparda Bali merupakan tim yang solid, sehingga bisa digerakan kapan saja yang menyasar objek wisata yang banyak di kunjungi oleh wisatwan. Pemerintah melalui disparda Bali hanya meminta inforasi yang lengkap jika pramuwisata di bawah HPI Bali menemukan keberadaan pramuwisata tak berlisensi atau BPW yang memperkerjakan pramuwisata freelance dan pramuwisata yang sering melakukan pelanggaran. Laporan yang masuk ke disparda Bali terkait dengan adanya Biro perjalanan wisata (BPW) yang menggunakan jasa pramuwisata asing sebelumnya sudah
108
ditindak lanjuti tim sweeping disparda Bali, Tim sweeping ini juga sudah melakukan pengawasan ke BPW yang dicurigai dan telah dilaporkan menggunakan jasa pramuwisata asing. Kenyataan dilapangan, tim sweeping belum menemukan BPW yang tebukti menggunakan jasa pramuwisata orang asing. Penyelidikan pramuwisata tak berlisensi ini juga dilakukan oleh tim sweeping disparda Bali ke kantor DPD HPI Bali, Ini untuk memastikan pramuwisata yang di miliki oleh BPW terdaftar menjadi anggota dari HPI Bali. Disparda Bali masih tetap berupaya menangani keberadaan pramuwisata tanpa lisensi juga pramuwisata yang melakukan pelanggaran terhadap Perda yang selama ini berprofesi di Bali. Tim sweeping disparda Bali akan tetap mengawasi secara rutin pramuwisata yang menjalankan profesinya di objek objek wisata di provinsi Bali. Penjatuhan sanksi administrasi kepada para pramuwisata yang di identifikasi melakukan pelanggaran, yaitu dilakukan melalui sweeping rutin dari disparda di tempat-tempat wisata yang tersebar di kabupaten Badung, pramuwisata yang dijaring pada saat sweeping akan diminta lisensi dan juga KTTP sebagai syarat dalam menjalankan profesinya, jika pada saat diadakannya sweeping pramuwisata terbukti tidak memiliki lisensi maka Disparda akan memberikan surat peringatan dan juga pemanggilan dan pembinaan kepada pramuwisata tersebut, dan juga akan dikenakan denda administrasi. Hal yang sama juga dilakukan pada pramuwisata yang sudah memiliki lisensi tapi tidak menggunakan pakaian adat Bali sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam perda.
109
4.2 Penjatuhan Sanksi Pemerintah Provinsi Bali akan menindak tegas keberadaan pramuwisata liar berkaitan dengan ditetapkanya Peraturan Daerah No 1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa Pariwisata (UJPW). Dengan diberlakukanya peraturan daerah ini, ke depannya seluruh biro perjalanan wisata (BPW) yang ada di Bali harus menggunakan pramuwisata berlisensi. Ketentuan mengenai lisensi pramuwisata ini juga diatur dalam Perda No. 5/2008 yang mewajibkan seorang pramuwisata untuk menjalankan profesinya dengan memiliki lisensi. Pramuwisata dalam menjalankan profesinya harus dipastikan dengan kepemilikan lisensi dan kartu tanda pengenal pramuwisata (KTTP). Dengan kepemilikan lisensi bisa dipastikan bahwa pramuwisata tersebut sudah mengikuti pelatihan dan juga ujian untuk mendapatkan
lisensi
sebagai
pramuwisata,
dengan
kepemilikan
lisensi
pramuwisata, pramuwisata lebih terjamin kemampuannya dalam melaksanaan profesi dan juga memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memberikan penjelasan dan pengenalan tentang pariwisata di Bali. Keberadaan pramuwista tanpa memiliki lisensi dan juga KTTP dapat merusak citra pariwisata, pramuwisata yang tak memiliki lisensi bekerja paruh waktu tanpa sebelumnya menjalani pendidikan untuk dapat menjadi pramuwisata yang baik, hal ini sangat memungkinkan mempengaruhi perkembangan pariwisata karena dapat merusak citra pariwisata di mata dunia. Sering kali ada pengaduan mengenai pramuwisata tanpa lisensi ini dari para wisatawan yang berkunjung terkait dengan penjelasan yang diberikan oleh para pramuwisata yang menjalankan profesinya tanpa lisensi dengan memberikan ppenjelasan yang menyimpang dari ketentuan dan maksud
110
sebenarnya. Untuk itu, dengan diberlakukanya Perda No. 5/2008 diharapakan segala sesuatunya berjalan lebih baik dan juga dapat memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan pariwisata. Dengan adanya Perda Bali No. 5/2008, pemerintah bisa menindak lebih tegas keberadaan pramuwisata yang tidak memiliki lisensi dan juga pramuwisata yang berprofesi tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pramuwisata yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, akan di kenakan sanksi-sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ni Ketut Riani selaku Kasi Pngendalian Usaha Jasa Pariwisata di kantornya pada tanggal 20 januari 2015, beliau menyatakan hukuman kurungan atau pidana akan dikenakan pada pramuwisata yang kedapatkan melakukan pelanggaran lebih dari 3 (tiga) kali dan sudah pernah dikenakan snksi administrasi. Jika pelanggaran yang dilakukan oleh pramuwisata tersebut lebih dari 3 (tiga) kali pada saat melakukan pelanggran dan tertangkap oleh tim sweeping Dinas Pariwisata maka kasus tersebut akan langsung diajukan oleh Dinas Pariwisata ke Dinas Satuan Polisi Pamong Praja atau satpol PP yang dalam hal ini berfungsi sebagai penyidik bagi kasus-kasus tindak pidana (pelanggaran) dalam bidang kepariwisataan yang diajukan oleh Dinas Pariwisata, satpol PP berhak melakukan pemanggilan terhadap si pelaku pelanggaran dan melakukan penyidikan sehingga dapat memutuskan sanksi apa yang akan dijatuhkan, apakah berbentuk peringatan kembali, denda atau pencabutan lisensi bagi pramuwisata yang melakukan pelanggaran. Dalam Perda No. 5/2008 telah diatur mengenai ketentuan penyidikan
111
yang dilakukan oleh pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan yang sebagaimana diatur dalam Peratutan Daerah ini dapat juga dilakukan penyidik Pegawai negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali. Yang mana diatur dalam pasal 13 ayat (2) Perda No. 5/2008 menyebutkan bahwa: Penyidikan pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk : a. Menerima laporan atau pengaduan berkenaan tindak pidana bidang kepramuwisatan; b. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau pengaduan berkenaan tindak pidana di bidang kepramuwisatan; c. Melakukan pemanggilan terhadap perseorangan atau badan hukum untuk di dngar dan di periksa sebagai tersangka atau sebgaia sanksi dalam tindak pidana bidang kepramuwisataan; d. Melakukan pemeriksaan terhadap perseorangan atau badan usaha yang di duga tindak pidana di bidang ke pramuwisataan; e. Memeriksa tanda pengenal seorang yang berada di tempat terjadinya tindak pidana kepramuwistaan; f. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang kepramuwisataan; g. Meminta keterangan atau bahan bukti dari perseorangan atau badan usaha sehubungan dengan tindak pidana di bidang ke pramuwisataan; h. Memeinta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan;
112
i. Membuat dan menandatangani berita acara;dan j. Menghentikan penyidikan apabila tidak tedapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana. Beberapa waktu yang lalu telah ditangkap pramuwisata mandarin dan China yang langsung diajukan oleh dinas kepariwisataan ke Dinas Satuan Polisi Pamong Praja sebgai Penyidik Pegawai Negeri di bidang sipil, karena tertangkap tangan sudah 3 kali melakukan tour wisata dengan tanpa mengantongi lisensi dan juga melanggar peraturan yang berlaku, dari hasil pemeriksaan dan penyelidikan pramuwisata tersebut juga tidak sepenuhnya menguasai kebudayaan Bali, pramuwisata tersebut hanya mengetahui letak objek wisata yang ada di Bali dengan cara mengakses semua tempat wisata dari web resmi milik Dinas Pariwisata. Pramuwisata tersebut juga tidak menguasai bahasa indonesia dengan baik. Pramuwisata tersebut hanya bersifat sebagai pengantar saja dengan mengabaikan kriteria menjadi pramwuisata yang baik, yaitu harus bisa memeberikan informasi yang benar mengenai tempat wisata dan juga mengetahui dengan benar kebudayaan di daerah wisata itu sendiri sesuai dengan tujuan wisata Bali yaitu wisata budaya. Hal ini tentu saja sangat merugikan wisatwan yang hendak berlibur yang ingin mengetahui informasi mengenai bagaimana perkembangan dan sejarah juga budaya lokal dari tempat wisata yang dikunjungi Adapun data dari Dinas Pariwisata mengenai hasil sweeping atau razia yang dilakukan di daerah pariwisata kabupaten Badung pada tahun 2014 yaitu sebagai berikut:
113
TABEL 1 : Hasil Sweeping Disparda Bali tahun 2014 No
Bulan
Jumlah
Pramuwi Pramuwi
Pramu Pramuwisata
Pramuwisata
Terpantau
sata
sata tidak wisata tidak
tidak
Seluruhnya
Lengkap
memiliki
KTTP
membawa
berpakaian
KTTP
Mati
KTTP
adat Bali
1
Januari
-
-
-
-
-
-
2
Februari
-
-
-
-
-
-
3
Maret
32
24
6
-
-
2
4
April
68
55
9
3
-
1
5
Mei
60
52
3
1
1
3
6
Juni
51
48
1
-
1
-
7
Juli
74
67
2
-
5
-
8
Agustus
59
46
11
-
2
-
9
September
53
43
8
-
1
1
10
Oktober
90
62
25
-
3
-
11
November
54
50
2
-
2
-
12
Desember
62
56
3
-
3
-
Jumlah
603
503
70
4
18
7
Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Catatan : -
Januari dan Februari (Menyikapi Permen)
114
-
Pramuwisata yang tidak memiliki KTTP atau sudah habis masa berlakunya diproses oleh PPNS Provinsi Bali Untuk disidangkan
-
Pramuwisata yang tidak berpakaian adat Bali dan juga tidak membawa KTTP di berikan surat peringatan dan juga di berikan sanksi administrasi berupa pencabutan sementara izin dan juga pembayaran denda.
-
Pramuwista yang sudah menjalani proses di SATPOL PP pada bulan januari sampai dengan September 2011 yaitu berjumlah 29 orang.
Berdasarkan data tabel diatas hasil dari sweeping atau razia yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali tersebut di atas, membuktikan sudah cukup banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisasi pelanggaran yang dilakukan oleh pramuwisata guna memajukan kegiatan kepariwisataan. Tidak hanya dinas Pariwisata perwakilan dari DPD HPI Bali juga ikut serta dalam upaya meminimalisasi pelanggaran yang dilakukan oleh pramuwisata. Beberapa waktu yang lalu Puluhan pramuwisata tanpa lisensi terjaring razia tim gabungan. Tim yang terdiri dari Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali, Satpol PP, Dinas Pariwisata dan Kepolisian ini menggelar sweeping di Ubud tepatnya di area Puri Saren. Sweeping kali ini menemukan banyak pelanggaran. Ternyata, dari sekitar 25 pelanggar sebagian besar adalah pramuwisata tanpa memiliki lisensi Mereka banyak yang memakai celana pendek dan sandal jepit, Menurut bapak Made Sukadana, dalam Perda No. 5/2008 telah diatur tata tertib berbusana untuk para Pramuwisata dalam menjalankan profesinya yaitu menggunakan pakaian adat Bali tidak hanya dalam Perd No.5/2008, Gubernur Bali juga mengeluarkan Pergub Bali Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Tata Cara
115
Mendapatkan sertifikat Pramuwisata, Kartu Tanda Pengenal Pramuwisata (KTTP) dan Penggunaan Pakaian Adat Bali oleh Pramuwisata. Yang menarik juga, ketidak patuhan hukum para pemilik usaha jasa pariwisata dalam hal ini BPW atau travel agent yang mempekerjakan pramuwisata yang tidak berlisensi, sehingga tidak tahu rambu-rambu dan kode etik pemanduan. Ketua Tim Sweeping Bapak Arnawa menyebutkan dari Satpol PP, ke depan akan lebih intens melakukan penegakan Perda mengingat makin banyaknya pelanggaran dalam tata niaga pariwisata. Mereka yang terjaring tidak memiliki lisensi dan melanggar etika sebagaimana diatur dalam perda. Untuk itu, para pihak terkait wajib menertibkan keberadaan mereka. Di HPI sendiri ada sekitar 6.500 anggota yang dapat dikatakan memiliki jam terbang yang lebih tinggi. Namun, itu masih 10 persen dari jumlah keseluruhan guide di Bali. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 24 januari 2015 dengan bapak I Komang Arnawa, SH selaku Kasi Keberadaan pramuwisata yang tidak mengantongi izin kerja sebagaimana telah diatur dalam berbagai regulasi Provinsi Bali (Peraturan Daerah), selama ini meresahkan masyarakat. Praktek liar mereka dalam beberapa kesempatan justru merusak citra pramuwisata Bali secara umum. Menyikapi kondisi itu, beberapa waktu yang lalu, Satpol PP provinsi Bali menggelar operasi gabungan penegakkan Peraturan Daerah (Perda) provinsi Bali terkait Pramuwisata di Bali dengan menggelar operasi penertiban pramuwisata liar tanpa lisensi di Bali. Operasi gabungan dengan melakukan Inspeksi Mendadak (Sidak) itu dilakukan di jalan Mengwi-Denpasar, tepatnya di depan pasar Sembung. Menurut Kabid Tramtib Satpol PP Provinsi Bali Drs. I Ketut Gede Arnawa, MAP., Operasi
116
gabungan ini melibatkan Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polda Bali,
Binmas
Polda
Bali,
Polsek
Mengwi,
Imigrasi
Denpasar,
PM
Kodam/Udayana, Dinas Pariwisata provinsi Bali, dan Himpunan Pramuwisata Indonesia. Tim sweeping menggelar Operasi gabungan penegakam Perda No. 5/2008 dan Perda No.1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata, Bapak Arnawa mengungkapkan operasi gabungan itu berhasil menemukan 10 pelanggaran yang diduga melanggar Perda provinsi Bali dari sweeping didapatkan sebanyak 10 pelanggar, diantaranya satu orang sopir merangkap sebagai guide, dan sembilan kendaraan mengangkut wisatawan tidak memiliki izin. Pelanggar perda itu, selanjunya akan dipanggil oleh PPNS Satpol PP Provinsi Bali untuk pendalaman lebih lanjut dan apabila dari hasil penyidikan tersebut ada yang melanggar Perda maka akan ditindak lanjuti sampai pada penuntutan
di
Pengadilan.
Pelanggaran
oleh
pramuwisata
yang
tidak
memngantongi lisensi atau berprofei tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku tidak hanya di lakukan oleh masyarakat berkewarganegaraan indonesia saja, dilapangan sangat banyak ditemukan juga pramuwisata yang berkewarganegaraan asing, hal ini jelas saja sudah menyimpang dari aturan yang berlaku.
Dalam mengatasi warga negara asing dan juga ditujukan kepada siapa saja yang melanggar peraturan yang ada pada perda yang menjadi pramuwisata, sanksi hukum yang dapat diterapkan kepada Warga Negara Asing dan juga para pelanggarar yang bekerja sebagai Pramuwisata di provinsi Bali sebagaimana telah diatur pada BAB VII mengenai ketentuan pidana dalam Pasal 14 Peraturan Perda N0.5/2008 dimana disebutkan:
117
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Sedangkan Untuk pengusaha jasa pariwisata yang menggunakan jasa pramuwisata asing, maka dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan tanda daftar usaha sesuai dengan bunyi Pasal 17 huruf e Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2010 Tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dikaitkan dengan permasalahan dalam tesis ini maka wewenang yang dimiliki pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam mengatur pariwisata kususnya pramuwisata merupakan wewenang yang bersifat fakultattif hal ini bisa di lihat dari ketentuan pasal 13 ayat (2) Undang-Undang no 32 Tahun 2004 yang menentukan “Urusan pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintah yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan ksesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah bersangkutan” yang dalam hal ini potensi unggulan daerah bali adalah tempat wisata dan budayanya
yang selanjutnya dalam
penjelasan pasal 13 ayat (2) di tentukan yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan yang secara nyata ada” dalam ketentuan ini sesuai dengan kondisi, kekhasan yang dimiliki perkebunan,
kehutanan,
antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, pariwiwsata”.
Bali
yang
kaya
akan
potensi
kepariwistaanya tidaklah salah untuk mengembangkan sektor pariwisata untuk
118
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Walaupun wewenang bersifat fakultatif pengaturan pariwisata di Bali merupakan pelaksanaan dari otonomi daerah. Untuk mendukung pengembangan kepariwisataan maka salah satu usaha pariwisata yaitu usaha perjalanan wisata, sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) huruf d Undang Undang no 10 Tahun 2009 perlu diatur sedemikian rupa sehingga tujuan pengembangan pariwisata bisa mendapatkan hasil yang optimal.
Dari pembahasan tesis ini implementasi kewenangan pemerintah dalam penegakan peraturan daerah dan juga meproses sampai pemberian sanksi pada para pramuwisata yang telah dinyatakan berprofesi menyimpang dari peraturan daerah yang berlaku hal ini di sebabkan oleh perilaku masyarakat yang memang pada dasarnya lebih cenderung pada pelanggaran norma yang berlaku, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, maka dalam hal ini bagi masyarakat yang dalam hal ini adalah pelaku kegiatan kepariwisataan harus menaati peraturan yang berlaku, jika melakukan pelanggaran tentu saja akan ada konsekuensi yang harus diterima yaitu sanksi dari pihak yang berwenang sesuai dengan perturan yang sedang berlaku. Kaitannya dengan kewenangan pemerintah dalam menegakan peraturan yang berlaku adalah ruang lingkup wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang dalam rangka melaksanakan tugas nya dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam konstitusi: pembentukan wewenang pemeritah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan, dengan kata lain, bahwa “setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintah harus memiliki legitimasi, yaitu wewenang yang diberikan oleh
119
undang-undang, dengan demikian substansi dan legalitas ialah wewenang yaitu kemampuan untuk melaksanakan tindakan-tindakan hukum tertentu. Didalam hukum, wewenang sekaligus berati hak dan kewajiban. Kemudian dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan unruk mengatur sendiri (zelfregelan) dan mengelola sendiri (zelfsubstein): sedangkan kewajiban secara horizontal berati kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebgai mana mestinya. Dalam kaitannya dengan tesis ini kewenangan pemerintah dalam penegakan hukum adalah sudah di atur dalam peraturan yang berlaku, Pemerintah berhak dalam penegakan hukum, pemberian sanksi juga memberikan pembinaan pada masyarakat yang belum mentaati peraturan yang berlaku. Untuk mengukur sejauh mana efektivitas hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak di taati, dalam kaitannya dengan pelaksanaan sanksi terhadap pramuwisata yang melakukan profesi tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku bisa dikatakan dari tabel yang sudah di dapatkan dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali bahwa masih banyak pramuwisata yang berprofesi tidak sesuai dengan peraturan, jadi pelaksanaan peraturan bisa di katakan belum efektif. Didalam negara hukum, wewenang pemerintah berasal dari undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintah tidak dapat menganggap bahwa dia memliliki sendiri wewenang pemerintah. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang, pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya pada organ pemerintahan, tetapi juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam kaitannya dengan tesis
120
ini bagaimana pemerintah berwenang melakukan penegakan hukum berdasarkan bagaiman peraturan yang sudah di berlakukan dalam kaitannya dengan Perda No. 5/2008. Sesuai dengan isi Perda pemerintah berkewenangan memberikan pelatihan, pendidikan, pembinaan dan juga penertiban dengan memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran. Dalam kaitannya dengan kualitas produk Menurut Kotler, “Kualitas produk adalah keseluruhan ciri serta dari suatu produk atau pelayanan pada kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat”.98 Sedangkan menurut Lupiyoadi99 menyatakan bahwa “Konsumen akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas“. Bagaimana pemerintah memberikan sanksi sanksi kepada pramuwisata yang melakukan pelanggaran terhadap perda itu terkait dengan bagaimana kualitas dari jasa pelayanan pramuwisata tersebut, karna hal ini adalah masalah kepuasan para konsumen yang dalam hal ini adalah wisatawan dengan jasa yang diberikan. Kualitas dari jasa pramuwisata sangat mempengaruhi perkembangan kegiatan kepariwisataan maka dari itu perlu dijaga dengan adanya peraturan dan juga sanksi sanksi yang berlaku tentunya akan menjadi bahan pemikiran dalam melanggar peraturan. Kualitas produk dalam kaitannya dengan pembahasan tesis ini adalah bagaimana dinas pariwisata bisa menghasilkan pramuwisata yang baik dan memiliki kualitas yang sesuai dengan kualitas standar pelayanan dan sesuai dengan peraturan yang sudah diberlakukan. Bagaimana organ organ pemerintah yang berwenang untuk menciptakan dan juga menjaga agar kualitas dari jasa 98 99
Op.cit. Op.cit.
121
pelayanan wisata bisa terus dijaga dan di tingkatkan salah satunya dengan menjaga kualitas pramuwisata dari perekrutan sampai dengan pramuwisata itu menjalankan profesinya. Tidak hanya mengenai kualitas dari produk jasa yang berikan oleh pihak-pihak dalam dunia pariwisata Bali namun dalam bab ini juga dibahas bagaimana kewenangan pemerintah dalam menjatuhkan sanksi juga melakukan penyidikan bagi pramuwisata yang dianggap melakukan pelanggaran berat, sehingga tidak cukup hanya diberikan sanksi administratif namun perlu sanksi hukuman. Kewenangan pada umunnya diartikan sebagai hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu, sedangkan wewenang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak yang dalam hal ini adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak pemerintah dalam penjatuhan sanksi kepada pramuwisata yang melakukan pelanggaran. Menurut kamus Bahasa Indonesia Kotemporer, pengertian kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu.100 Dalam bahasa inggris istilah wewenang atau keewenangan disejajarkan dengan “authority”. Authority dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai legal power; a right to command or to act ; te right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.101(kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum; hak untuk memerintah dan bertindak; hak atau kekuasaan pejabat politik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik).
100
Peter Salim dan Yeni Salim, 2001, Kamus Bahasa Indonesia Kotemporer, Modern English Press, Jakarta, h.1719 101 Bryan A Garner, 1999, Black’s Law Dictounary, Seventh Edition, West Group, StPaul MINN, h.133
122
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum hukum tata negara dan hukum administrasi.102 Dalam Hukum Tata Negara, wewenang atau kewenangan (bovoegdheid dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum atau rechtmacht. Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan,103 oleh karenanya wewenang adalah kekuasaan, wewenang apapun tidak dijalankan sebagimana mestinya tanpa kekuasaan. Kekuasaan mutlak di butuhkan dalam kelangsungan pergaulan hidup antar manusia, atau juga untuk mencapai tujuan-tujuan pendirian dari suatu negara.104 Indroharto menyatakan bahwa “dalam arti yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan
yang
diberikan
oleh
peraturan
perundang-undangan
untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum”.105 Kewenangan adalah apa yang disebut dengan kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari atau diberikan undang-undang yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif atau administratif. kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat sedangkan wewenang hanya mengenai suatu onderdil tertentu saja. “Kewenangan” dibidang kehakiman atau kekuasaan mengadili sebaiknya kita sebut kompetensi atau yuridiksi saja. 106
102
Philipus M hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegheid) dalam pro justisia, Tahun XVI Nomor 1, Januari, h.90 103 Philipus M Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, Dalam Yuridiksi no 5 dan Nomor 6, Thun XII, September- Desember, h.1 104 Parlim M Mangunsong, 2002, Pembatasan Kekuasaan Melalui Hukum Administrasi Negara Dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h.37. 105 Indroharto, 1996, Usaha Memenuhi Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.86 106 Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.29.
123
Menurut S.F Marbun,107 menyatakan wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatau tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Dalam kaitanya dengan tesis ini adalah bagaimana kewenangan dari pemerintah dalam memberikan sanksi kepada para pramuwisata yang melakukan pelanggaran. Pemerintah dalah hal ini adalah dinas pariwisata yang berwenang dalam memberikan pendidikan, pelatihan dan pembinaan, juga sanksi administratif sesuai dengan berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh pramuwisata, kemudian mengajukan kepada Dinas satpol PP yang dalam hal ini berkewenangan sebagai penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan pemanggilan serta penyidikan bagi pramuwisata yang sudah melakukan pelanggaran berat dan sudah mendapat pembinaan dari dinas pariwisata provinsi Bali lebih dari 3 (tiga) kali dan telah dikenakan sanksi administrasi sebelumnya. Selama ini memang belum pernah dijatuhkan sanksi Pidana kepada Pramuwisata yang tidak memiliki lisensi seperti ketentuan yang sudah berlaku, hal ini juga sebagai penyebab masih banyaknya pramuwisata yang melakukan pelanggaran dengan melaksanakan profesi tanpa adanya lisensi, jika merujuk dari pendapat Derita Prapti Rahayu mengemukakan ada 4 elemen dasar agar hukum berjalan atau berfungsi dengan baik salah satunya adalah “Penegakan hukum harus berjalan dengan baik atau fair” namun kenyataan dilapangan penegakan hukum dalam hal penjatuhan sanksi belum berjalan dengan baik sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan berulang-ulang 107
S.F Marbun, 1997, Peradilan Tata Usaha Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.154-155
124
tanpa mengakibatkan efek jera pada pelaku pelanggaran. Seharusnya pelaksanaan penjatuhan sanksi terhadap pelaku pelanggaran harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan sebagaimana yang telah di paparkan dalam Bab-Bab sebelumnya dapatlah di tarik kesimpulan bahwa pelaksanaan Perda No.5/2008 masih belum efektif, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menghambat dalam pelaksanaanya, yaitu: 5.1.1
faktor yang menghambat pelaksanaan perda mencakup faktor hukum dan faktor non hukum. Faktor hukum tidak jelasnya pengaturan mengenai standar sertifikasi bagi pramuwisata, dan faktor di luar faktor hukum yang menghambatanya pelaksanaan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata mencakup Faktor Non Hukum; faktor ekonomi, pendidikan, waktu perekrutan pramuwisata, dan juga beberapa persyaratan yang ada dalam Perda itu sendiri yang ada beberapa tidak bisa di penuhi oleh calon pramuwisata dalam menjalnkan profesinya sehingga menjalankan profesi dengan ilegal atau tanpa lisensi.
5.1.2 Jenis sanksi yang di jatuhkan oleh pemerintah kepada para pramuwisata yang melanggar peraturan mencakup: Pertama, sanksi admnistrasi; dan kedua; adalah penjaatuhan sanksi pidana. Sanksi administrasi di berikan kepada pramuwisata yang tertangkap tangan kurang dari tiga kali melakukan pelanggran ringan, seperti: tidak membawa KTTP ata lisensi, tidak menggunakan pakaian adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
125
126
sanksi yang di berikan terhadap pelanggar Peraturan Daerah No. 5 tahun 2005 Tentang Pramuwisata dengan sanksi administrasi dikenakan pembebanan berupa biaya administrasi. Kemudian penjatuhan sanksi pidana berupa hukuman kurungan atau denda dikenakan terhadap pramuwisata yang melakukan pelanggaran lebih dari 3 (tiga) kali dan sudah pernah di kenakan sanksi administrasi penjatuhan berupa peringatan kembali, denda atau pencabutan lisensi bagi pramuwisata yang melakukan pelanggaran. Dalam Perda Nomor 5 tahun 2008 telah diatur mengenai ketentuan Penyidikan yang dilakukan oleh Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas menyidik tindak pidana, Penyidikan sebagaimana diatur dalam Peratutan Daerah ini
dilakukan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Provinsi Bali. 5.2 Saran Berdasarkan uraian pada bab pembahasan dan kesimpulan diatas, maka dapat di ajukan beberapa saran sebagai berikut : 5.1.1
Pemerintah diharapakan bisa memformulasikan peraturan lebih tegas dan jelas lagi membuat peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan tentang lisensi pramuwisata dan juga standart sebagai pramuwisata dalam menjalankan profesi kepariwisataan. Perlu disediakan badan yang bertanggung jawab penuh dalam menjamin kualitas pramuwisata sebagi aspek penting dalam kegiatan kepariwistaan. Atau, menyediakan tempat pendidikan gratis bagi calon pramuwisata, sehingga dapat menghasilkan
127
pramuwisata yang bisa membawa citra kepariwisataan di Bali ke tingkat yang lebih baik. 5.2.2
Dalam pelaksanaan sweeping dan penjatuhan sanksi diharapakan lebih ditingkatkan lagi kedepannya, dengan menambah frekuensi pelaksanana sweeping atau razia bagi pramuwisata yang sering kali melakukan pelanggaran atau berprofesi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan seringnya diadakan razia sweeping maka kemungkinan untuk terjadi pelanggaran bisa berkurang. Dan juga pemberian sanksi yang lebih tegas lagi pada pramuwisata yang kerap kali melakukan pelanggaran. Penjatuhan sanksi pidana pada pelaku pelanggaran di rasakan perlu agar bisa memberikan efek jera pada pramuwisata yang melanggar peraturan yang berlaku.
DATA INFORMAN
1.
2.
3.
Nama
: Anak Agung Gede Yuniartha Putra, SH.MH
Umur
: 54th
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: PNS ( Kepala Dinas Parwisata Provinsi Bali)
Nama
: Drs. I Ketut Gede Arnawa, Map
Umur
: 49th
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: PNS ( Kabid TRAMTIB Provinsi Bali)
Nama
: I Komang Arnawa,SH
Umur
: 50th
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: PNS ( Kasi Keberadaan Pramuwisata Yang Tidak Mengantongi Izin Kerja)
4.
Nama
: Dra, Ni Ketut Riani
Umur
: 51th
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: PNS (Kasi Bidang Pengendaliah Usaha Jasa Pariwisata kota Denpasar)
5.
6.
Nama
: I Made Sukadana
Umur
: 46th
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: Pramuwisata ( Ketua DPD HPI Bali)
Nama
: I Nyoman Wirga
Umur
: 47th
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: Pramuwisata freelance
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Adrian Sutedi , 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Penerbit Sinar Grafika, Cetakan Pertama Ali Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence)
Termasuk
Interprestasi
Undang-undang
(legisprudence), Penerbit Kencana. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Dalam Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung. Bambang Sunaryo, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata (konsep dan aplikasinya di Indonesia), Gava Media, Yogyakarta Bambang Udoyono, 2011, English For Tourism : Panduan Berfrofesi Dalam Dalam Dunia Pariwisata, Penerbit ANDI, Yogyakarta Bryan A Garner, 2001, Black’s Law Dictounary, Seventh Edition, West Group, St Paul MINN. Chris Cooper, Rebecca Sheperd, 1996, Educating The Educator in tourism : a Manual of Tourism and Hospitaly Education, World Tourism Organization with University of Surrey, Madrid Derita Prapti Rahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafa Media, Yogyakarta Dewi Bunga, 2011, “Penegakan Hukum Terhadap Prostitusi Cyber
(Suatu
Kajian Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional)” (tesis) Program Studi (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar E Utrecht , 1990, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia , Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyrakat Universitas Negeri Pajajaran Gamal Suwantoro, 2004, Dasar Dasar Pariwisata, Penerbit ANDI, Yogyakarta Gee.Chuck Y.,James C Maken, Dexter J.L.Choy , 1996 ,The travel Industry , Jhon Wiley& Son , Inc ., United State of America H Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
H. Djaslim Saladin dan Yevis Marty Oesman, 2002, Intisari Pemasaran dan Unsur-unsur Pemasaran, Cetakan Ke Dua, Linda Karya Bandung H. Salim HS dan Eirlies Septiani Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Desertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta I Ketut Ardana, 2013, Menjadi Pramuwisata Profesinal , Tabur Kata Publishing , Denpasar I Ketut Suwena dan I Gusti Ngr Widyatmaja, 2010, Ilmu Pariwisata, Udayana University Press, Denpasar. _______, 2010, Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata , Penerbit Udayana University pers, Denpasar I Putu Anom, dkk , 2010, Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global, Udayana University Press I Putu GelGel, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi Perdagangan Jasa (GATS-WTO) , penerbit Refika Aditama, Denpasar IGN Parikesit Widiatedja ,2010, Liberalisai Jasa Dan Masa depan Pariwisata Kita, Denpasar, Udayana University Press, Denpasar. Indriaswati Dyah Saptaningrum, Supriyadi Widodo Edyono,et.,al., 2011, Hak Asasi Manusia Dalam Pusara Politik, Elsan, Jakarta Indroharto, 1996, Usaha Memenuhi Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Inu kencana Syafiie, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Mandar Maju, Bandung Ismayanti, 2010, Pengantar Pariwisata, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. James J spilane, 1991, Ekonomi Pariwisata, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. _________, 2001, Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospektifnya, Penerbit Kanisus,Yogjakarta Jusuf pangiaykim, 1985, Bisnis Internasional Dalam Lingkungan yang Berubah, sinar Harapan, Jakarta.
Ketut Gede Dharma Putra, 2010, Pencemaran Lingkungan Ancaman Pariwisata Bali, Manikgeni, Denpasa Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran. Jilid II. Edisi Kesebelas. Alih Bahasa Benyamin Molan. Jakarta Kotler, Phillip dan Gary Amstrong, 2001, Prinsip-Prinsip Pemasaran, jilid 2, edisi ke-8, Penerbit Erlangga, Jakarta Kuntjoro purbopranoto, 1991 . Beberapa Catatan Hukum Tata cara Pemerntahan dan Peradilan Administrasi Negara , Alumni Bandung L.J. Van Apeldoorn, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta Lupiyoadi, Rambat, 2001, Manajemen Pemasaran Jasa, Salemba Empat, Jakarta M. Kesrul, 2004, Panduan Praktis Menjadi Pramuwista Profesional, Penerbit Graha Ilmu, Tanggerang Banten. Marzuki. PeterMahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Mill, Robert Cristie and Alastair M. Morrison, 1985, The Tourism System;An Introduction Text , Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffts, New Jersey 07632 Mr. N.M. Spelt dan Mr. J.B.J.M ten Berge, disunting dari Philipus M. Hadjson, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Penerbit Yuridika, Surabaya, Parlim M. Mangunsong, 2002, Pembatasan Kekuasaan Melalui Hukum Administrasi Negara Dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta Peter Salim dan Yeni Salim, 2001, Kamus Bahasa Indonesia Kotemporer, Modern English Press, Jakarta Philipus M Hadjon , 1998, Tentang wewenang , Bahan Penataran Hukum Addministrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga , Surabaya Pitana, I Gede dan I ketut Surya Diarta , 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, CV Andi Offset, Yogyakarta Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta Ridawan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UI Press,Yogyakarta
_________, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta _________, 2006, Hukum Administrasi Negara, Hak Penerbit Pada PT Raja Grafindo Persada, Jakarta _________, 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Fh UII Press, Yogyakarta S.F Marbun, 1997, Peradilan Tata Usaha Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta S.J Fockema Andreae, 1951, Rechtsgeleer Handwoordenhoek, Tweede Druk, J.B wolter, Uitgeversmaatschappij N.V, Groningen Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Baba Pokok Hukum Administrasi , LaksBAng PRESindo, Yogyakarta Sanapiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi,Penerbit YA3 Malang Sedarmayanti, 2014, Membangun & Mengembangkan Kebudayaan & Industri Pariwisata, Refika Aditama, Bandung Soejono Soekanto, 1979, Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum , PT Rajagrafindo, Jakarta _________________, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Universitas Indonesia, jakarta (UI-Press) Soetandyo Wignyoesoebroto, 2008, Hukum dala Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Bayumedia publising, Malang Titon Slamet Kurnia, 2009, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Penerbit PT Alumni Bandung Van der Pot dalam Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1985, Pengantar Ilmu Administrasi Negara Indonesia, Cetakan kedelapan;, Penerbit dan Balai Buku Icthiar, Jakarta Violetta Simatupang , 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, Penerbit PT Alumni Bandung Wayan Geriya, 1995, Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global, Penerbit PT.Upada Sastra.
Wyasa Putra, Ida Bagus, dkk., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Aditama, Bandung Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan Problem Upaya Pembenahan, PT Gramesia Widiasarana, Jakarta
JURNAL/ MAJALAH ILMIAH PhilipusM hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegheid) dalam pro justisia, Tahun XVI Nomor 1, Januari Philipus M Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, Dalam Yuridiksi no 5 dan Nomor 6, Thun XII, September- Desember
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN -
Undang-undang no 10 tahun 2009 tentang Kepariwiwsataan , lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 11
-
Peraturan Daerah Provinsi Bali no 5 Tahun 2008 Tentang Pramuwisata, Lembaran Daerah Provinsi Bali tahun 2008 nomor 1
-
Peraturan Daerah Provinsi Bali no 1 tahun 2010 Tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata , Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2010 Nomor 1
INTERNET Info Provinsi Bali ,2013, "Data Wisatawan yang Berkunjung ke Bali", diambil dari situs: http://www.disparda.baliprov.go.id/, diakses pada hari Jumat tanggal 2 oktober 2013. DPD HPI Bali, 2012, "Banyak Pemandu Liar di Bali", di ambil dari situs: http://www.hpibali.org/. diakses pada hari Minggu, tanggal 12 februari 2014