PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI RE-VALUESASI PANCASILA: TANTANGAN DAN HARAPAN ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Puspita Dayanti1 (
[email protected]) Ayu Ari Hardini2 (
[email protected])
Abstrak Pendidikan karakter merupakan sistem dan sub-sistem dalam penanaman nilainilai keperibadian dan jati diri terhadap setiap warga negara dan meliputi segala bentuk komponen-komponen transformasi ilmu pengetahuan (transfers of knowledge); kesadaran dan kemauan nilai sikap dan segala tindakan manusia (awareness and will value the attitude and actions for human). Pancasila menunjukkan sebuah pendidikan karakter yang bernilai dalam suatu rumusan pembentukan tata urutan yang sistematis dan hirearkhis dalam setiap isi dan butir Pancasila. Tantangan yang dihadapi dalam pembentukan pedidikan karakter dalam era ASEAN Economic Community (AEC) adalah berjalannya dinamika pendidikan yang beraspek pada kognitif, afektif dan psikomotor, di mana mengajarkan pada peningkatan kemampuan dan keterampilan pembangunan ilmu pengetahuan, yang apabila dalam kerangka proses pembentukannya akan bermuara pada nurture and nature. Harapannya, pendidikan karakter akan diarahkan pada terhubungnya potensi Intellegence Quotient, Emotional Quentient, Religiousitas Quotient, dan Adverse Quotient. Pada akhirnya AEC bisa dikendalikan dan terkontrol dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya yang berkarakter kebangsaan dan atau menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dengan segala karakter dan keunikan pribadi yang baik bagi setiap warga negara. Kata Kunci: Pendidikan Karakter; Tantangan dan Harapan AEC; Re-Valuesasi Pancasila
1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan STKIP PGRI Jombang 2 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan STKIP PGRI Jombang
1
A. Pendahuluan. Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN harus mampu memanfaatkan pembangunan infrastruktur dan konektivitas dengan negara mitra, dengan cara melakukan kerjasama investasi, industri dan manufaktur, serta berpeluang dalam eksistensi dinamika religiousitas terhadap pemberlakuan perekonomian yang didasarkan atas asas kekeluargaan sebagaimana diamanahkan konstitusi negara Indonesia. Hubungan religiousitas dengan ketiga kutub pilihan tersebut pada sistem perekonomian Indonesia akan mendorong tumbuh berkembangnya perilaku ekonomi dalam kondisi sosial dan berkembang dinamis dalam tataran regional dan global. Sudah seharusnya Indonesia bersiap menghadapi ketatnya persaingan di tahun ini. Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi. ASEAN Economic Community atau yang disebut AEC merupakan perwujudan realitas integrasi ekonomi di Kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Terdapat empat aspek yang menjadi fokus perbincangan AEC antara lain:. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi, maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, permodalan, dalam jumlah besar akan menjadi tidak ada semacam hambatan dari satu negara ke negara lain di kawasan Asia Tenggara. Kedua, AEC sebagai kawasan yang dikontruksikan dengan tingkat kompetisi yang tinggi, memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights, taxation and E-Commerce. Dengan demikian akan menciptakan iklim dan kondisi competitive of justice dalam aspek perlindungan sistem jaringan dari agen-agen konsumen; mencegah terjadinya pelanggran hak cipta; terbangunnya jaringan transportasi yang lebih baik, aman dan nyaman, serta terintegrasi; menghilangkan sistem manajemen keuangan pajak yang Double Taxation dan meningkatnya arus perdagangan melalui media elektronik berbasis digital atau online. Ketiga, AEC akan dijadikan sebagai kawasan yang mempunyai perkembangan ekonomi yang merata dan berkesejahteraan dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Capabelities daya saing dan harmonisasi UKM akan ditingkatkan seiring dengan fasilitas akses terhadap kondisi terkini pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan keuangan dan teknologi. Keempat, AEC diintegrasikan secara penuh terhadap perokonomian regional dan atau tataran global yang lebih luas. Membangun suatu sistem untuk meningkatkan sub-ordinasi antara negara-negara di kawasan. Menciptakan stabilitas nasional dan atau kawasan Asia Tenggara; pemberantasan terorisme sebagai suatu kejahatan yang extra-ordinary crime yang internasional; serta partisipasi dalam bantuan industri dalam peningkatan tenaga kerja yang terampil dan aspek permodalan. Keuntungan Indonesia dalam AEC adalah dalam hal peningkatan komoditas barang dan atau jasa yang mengandung profit and investment yang baik dalam ekspor ke luar negeri dan diakui secara de facto dalam jalur perekonomian dan pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan. (Santoso; 2008). Era baru terkait perekonomian setiap negara di Asia Tenggara, bersatu guna meningkatkan daya tawarnya terhadap sistem perekonomian dunia, namun jangan sampai Indonesia sebagai negara Pancasila untuk kehilangan jati diri Pancasila di tengah percaturan panas AEC ini. Mau tidak mau, perlu mempersiapkan dua hal dalam menghadapi AEC. Pertama, mempersiapkan mentalitas bangsa Indonesia dengan karakter Pancasila. Pancasila sebagai identitas negara harus direfleksikan dalam diri dan perilaku setiap warga negara. Maka itu, pendidikan yang mengedepankan
2
penanaman, pemahaman, dan perefleksian Pancasila dalam kehidupan sehari-hari perlu direvitalisasi sesegera mungkin. Kian lama bangsa ini semakin kehilangan jati diri ke-Pancasila-annya. Ini ditandai dengan maraknya gejala kriminal di tengah masyarakat. Kedua, membangun infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam membangun sebuah sistem perekonomian maju dan kompetitif, infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan syarat yang harus diwujudkan pertama kali. Tanpa ada dua hal ini, niscaya sebuah negara hanya akan menuju kemunduran dan keterpurukan. Apalagi dalam era AEC ini, jika Indonesia tidak mampu membangun infrastruktur dan SDM yang berkualitas, akan terseok-seok dalam pergulatan ekonomi AEC ini. Sebab itu, dua hal ini harus diwujudkan dalam menyongsong AEC. Indonesia sebagai negara berlandaskan Pancasila harus mampu bersaing di bidang ekonomi serta menunjukkan nilai moral Pancasila dalam pergaulan AEC ini. Jangan sampai sebagai negara Pancasila kehilangan karakter dan jati dirinya. Maka itu, karakter generasi harus dipersiapkan sebaik-baiknya. Dengan begitu, akan menatap AEC dengan keberhasilan dan kegemilangan.(Mohammad Sholihul Wafi; Koran SINDO; Sabtu, 20 Desember 2014-11:03 WIB) B.
Pembahasan. 1. Landasan Teori Pendidikan. Pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia, di mana ada kehidupan manusia, bagaimanapun juga disitu pasti ada pendidikan (Driyarkara, 1980: 32). Pendidikan selalu berkaitan dengan dinamika kehidupan suatu masyarakat dan bangsa. Ilmu merupakan obyek utama dari pendidikan. Tanpa ilmu, segala sesuatu tidak dapat berjalan dengan baik. Suatu bangsa dikatakan semakin maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, ber-akhlak mulia, dan memiliki kualitas pendidikan yang tinggi. Tingginya kualitas pendidikan penduduknya ditandai oleh makin menurunnya tingkat pendidikan terendah serta meningkatnya partisipasi pendidikan dan jumlah tenaga ahli profesional yang dihasilkan melalui sistem pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam usaha menyelenggarakan pencapaian pada sasaran pembangunan nasional, antara lain meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, serta disiplin nasional sebagai perwujudan kepatutan dalam masyarakat. Dalam menyambut pelaksanaan AEC yang tidak lama lagi akan berlangsung, maka Indonesia sebagai salah satu negara tergabung dalam AEC harus siap menghadapi pasar ekonomi ASEAN tersebut. Kesepakatan ini tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga sektor-sektor lainnya tak terkecuali “pendidikan” sebagai modal membangun sumber daya manusia yang kompetitif. Era perdagangan bebas ASEAN, harus disambut oleh dunia pendidikan dengan cepat, agar sumber daya manusia Indonesia siap menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan negara-negara lain. Oleh karenanya pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas, mutu sekolah dan perguruan tinggi melalui sertifikasi, akreditasi, standarisasi, peningkatan gaji dan kesejahteraan pendidik dan rekrutmen pendidik yang profesional. Pendidikan bukan hanya sebuah kewajiban, lebih dari itu pendidikan merupakan sebuah kebutuhan, di mana manusia akan lebih berkembang dengan adanya pendidikan. Tujuan pendidikan itu sendiri beragam, tergantung pribadi 3
tiap individu memandang pendidikan itu sendiri, ada yang memandang pendidikan yang baik dapat memperbaiki status kerjanya, sehingga mendapatakan pekerjaan yang nyaman, ada pula yang memandang pendidikan adalah sebuah alat transportasi untuk membawanya menuju jenjang itu semua. Terlepas dari pandangan itu semua, sebenarnya pendidikan adalah sesuatu hal yang luhur.di mana suatu pendidikan tak hanya sebatas dalam lembaga formal saja, tetapi pendidikan juga ada dilingkungan informal, karena hakikatnya lahir sampai akhir hayat. Belajar adalah bagaimana Indonesia berkembang untuk terus menjadi baik menjadi pemimpin di bumi ini. 2. Pendidikan yang Berkarakter. a. Peningkatan SDM sebagai Agent of Social Change; Suatu keadaan yang sangat menyedihkan bagi keterpurukan pendidikan di negara Indonesia, hendaklah mendapat perhatian dari mahasiswa, terlebih lagi mahasiswa selaku konsumen pendidikan yang sedang menempuh pendidikan tinggi, artinya, segala kebijakan pemerintah mengenai sistem pendidikan nasional hendaklah mengarah pada peningkatan mutu bukan sekedar peningkatan biaya yang selama ini yang dirasakan. Fungsi agent of social change yang melekat pada jati diri mahasiswa saat ini hendaklah bukan sebatas slogan-slogan demonstrasi saja, namun suatu pemikiran yang rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan seputar pendidikan di bangsa ini dapat disumbangkan oleh mahasiswa terhadap pihak terkait, dan melakukan kontrol terhadap kebijakankebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan, sehingga suatu komunikasi antar mahasiswa, masyarakat dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dengan menghasilkan suatu argumen dan saran sebagai solusi bagi kebuntuan permasalahan pendidikan. Mahasiswa sebagai generasi intelektual hanya bisa dihargai eksistensinya dengan kualitas intelektualnya pula, bukan dengan yang lainnya. Apabila mahasiswa sudah tidak lagi bisa mengandalkan kecemerlangan intelektualnya kemampuan apa lagi yang bisa dipertaruhkan mahasiswa bagi negara ini. Oleh karena itu mahasiswa memiliki kontribusi yang besar terhadap peningkatan mutu pendidikan bangsa yaitu melalui : Pengembangan potensi diri sebagai kesadaran akan hakikat pendidikan yang mendasar. Melakukan kontrol kebijakan pemerintah terhadap penentuan arah dan karakteristik pendidikan bangsa. Berupaya untuk senantiasa memenuhi kebutuhan akan perbaikan dari sebuah sistem pendidikan nasional di Indonesia b. Pendidikan Kebudayaan adalah Karakter Indonesia Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan bangsa. Pada penerapan nilai-nilai kultural,pada prinsipnya pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilainilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus dan Rencana Program
4
Pembelajaran (RPP) dan K-13 yang sudah ada. Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa Continuitas: Mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun. Sentral Mata Pelajaran; Pengembangan Diri dan Culture of School:
Mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.
Activities and Happiness: Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Educate for conservation of values: Pendidikan merupakan pilar atau sentral utama berdirinya suatu negara atau bangsa yang mana kualitas sumber daya manusia suatu negara akan lebih maju dan lebih eksis di mata dunia. Keberhasilan pembangunan suatu negara ditentukan oleh keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, yang dihasilkan antara lain juga melewati pendidikan yang berkualitas. Belum seimbangnya peranan pendidikan Indonesia dalam proses pembangunan bangsa adalah karena penentu kebijakan dalam hal ini pemerintah masih belum menyatu dalam hal ini pemerintah masih belum menyatu dalam mewujudkan peranan pendidikan yang dapat mendongkrak kemajuan pembangunan ekonomi bangsa. Problemproblem pendidikan Indonesia semakin kompleks dan semakin sarat dengan tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solusi terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang. Dibutuhkan reformasi pendidikan untuk dapat membaharui semua sistem pendidikan dan peranannya terhadap pembangunan bangsa ini. Waktu yang diperlukan tidaklah singkat. Perlu pengorbanan dan kesediaan dari semua pihak yang terkait, seperti pemerintah, instasi pendidikan, kementrian pendidikan dan pelaksana pendidikan Indonesia. Reformasi pendidikan juga harus memberikan peluang bagi siapapun untuk mengembangkan langkah-langkah atau cara baru dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Reformasi pendidikan pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efesien untuk mencapai tujuan pendidikan nasional Indonesia dengan mengembalikanideologi pancasila dan nilai-nilai kultural dalam dunia pendidikan. Dalam pendidikan karakter berbasis budaya, kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang diwariskan atau dipelajari, kemudian meneruskan apa yang dipelajari serta mengubahnya menjadi sesuatu yang baru, itulah inti dari proses pendidikan. Apabila demikian adanya, maka tugas pendidikan sebagai misi kebudayaan harus mampu melakukan proses; pertama pewarisan kebudayaan, kedua membantu individu memilih peran sosial dan mengajari untuk melakukan peran tersebut, ketiga memadukan beragam identitas individu ke dalam lingkup kebudayaan yang lebih luas, keempat harus menjadi sumber inovasi sosial. Tahapan tersebut di atas, mencerminkan
5
jalinan hubungan fungsional antara pendidikan dan kebudayaan yang mengandung dua hal utama, yaitu : Pertama, bersifat reflektif, pendidikan merupakan gambaran kebudayaan yang sedang berlangsung. Kedua, bersifat progresif, pendidikan berusaha melakukan pembaharuan, inovasi agar kebudayaan yang ada dapat mencapai kamajuan. Kedua hal ini, sejalan dengan tugas dan fungsi pendidikan adalah meneruskan atau mewariskan kebudayaan serta mengubah dan mengembangkan kebudayaan tersebut untuk mencapai kemajuan kehidupan manusia. Disinilah letak pendidikan karakter itu dimana proses pendidikan merupakan ikhtiar pewarisan nilai-nilai yang ada kepada setiap individu sekaligus upaya inovatif dan dinamik dalam rangka memperbaharui nilai tersebut ke arah yang lebih maju lagi. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan goal ending dari sebuah proses pendidikan. Karakter adalah buah dari budi nurani. Budi nurani bersumber pada moral. Moral bersumber pada kesadaran hidup yang berpusat pada alam pikiran. Moral memberikan petunjuk, pertimbangan, dan tuntunan untuk berbuat dengan tanggung jawab sesuai dengan nilai, norma yang dipilih. Dengan demikian, mempelajari karakter tidak lepas dari mempelajari nilai, norma, dan moral. 3. Gagasan Revolusi Mental dalam Harapan Re-Valuesasi Pancasila. Gagasan mengenai Revolusi Mental dilandasi kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul dan berkarakter. Sejumlah kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial hingga pasca-kolonial masih berlangsung hingga kini, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat tamak, ingin menang sendiri, cenderung menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, melecehkan hukum, dan sifat oportunis. Ihwal mentalitas bangsa ini pernah didedah oleh Mochtar Lubis dan Koentjaraningrat. Mochtar Lubis (cet. 2012) sampai pada kesimpulan bahwa manusia Indonesia umumnya bermental munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah, boros, bukan pekerja keras, suka mengeluh, mudah dengki, suka sombong, dan tukang tiru. Koentjaraningrat (1974) cenderung melihat manusia Indonesia memiliki sifat yang meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Munculnya kembali gagasan mengenai Revolusi Mental ini memperlihatkan bahwa persoalan mentalitas bangsa belum juga selesai, atau boleh jadi semakin akut. Hal ini menunjukkan pentingnya kita menyusun kembali strategi kebudayaan tidak hanya dalam ruang diskursus, melainkan sebagai praksis nyata sehari-hari. Di era Orde Baru, topik mengenai kebudayaan dan pembangunan menjadi salah satu diskursus penting. Kebudayaan, dalam diskursus saat itu, terutama dinilai dari sumbangannya terhadap proses pembangunan. Kebudayaan dikelola dan diarahkan untuk membentuk manusia dengan “mentalitas pembangunan”. Pasca-Reformasi, konsep mengenai kearifan lokal menjadi tema yang kerap kali disinggung sebagai jawaban atas berbagai persoalan yang timbul dari proses pembangunan, modernisasi, maupun globalisasi yang datang “dari luar”. Khazanah lokal dan tradisional kembali dilirik dan dianggap sebagai obat mujarab untuk berbagai persoalan tersebut, lagi-lagi kebudayaan “hanya” dipandang sebagai “pendukung” atau “penangkal” terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan itu sendiri. Jika di masa Orde Baru kebudayaan diposisikan sebagai pendukung pembangunan, maka pasca-Orde Baru kebudayaan, dalam hal ini kearifan lokal misalnya, diyakini mampu memperbaiki dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan. 6
Akhir-akhir ini, kebudayaan kembali diperbincangkan sekurangkurangnya dalam dua tema besar, yaitu ketahanan budaya dan pembentukan karakter bangsa. Sebagaimana kekhawatiran pada masa-masa sebelumnya, globalisasi dan modernisasi dianggap telah merontokkan sendi-sendi kehidupan bangsa yang khas, yang dapat mengancam karakter kita sebagai bangsa Indonesia yang, antara lain misalnya, dianggap memiliki karakter yang agamis, toleran, santun, jujur, cinta tanah air, suka bekerja keras, dan memiliki sifat gotong royong. Apa yang dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo tentang Revolusi Mental, juga berbicara hal serupa, yaitu tentang pembentukan karakter dan identitas nasional yang kuat yang tak lain harus disokong melalui kebudayaan dan pendidikan. Tepat di titik inilah kebudayaan kembali menemukan momentumnya untuk dapat menjadi arus utama dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, posisi kebudayaan yang selama ini baru sebatas sebagai “pelengkap penderita”, belum menjadi arus utama dalam paradigma pembangunan, memerlukan tinjauan kritis dan komprehensif dari semua kalangan. Mempertimbangkan latar dan kondisi itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melaksanakan kegiatan Seminar Nasional Kebudayaan untuk mempertemukan para akademisi dan cendekiawan guna merumuskan strategi kebudayaan Indonesia sebagai masukan bagi gagasan Revolusi Mental tersebut. Penyelenggaraan seminar dengan tema “Paradigma Baru Strategi Kebudayaan” ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, untuk menghimpun pemikiran para akademisi, budayawan, dan cendekiawan tentang Revolusi Mental dan strategi kebudayaan; Kedua, memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan konsep Revolusi Mental sebagai strategi kebudayaan; Ketiga, memberikan rekomendasi tentang kebijakan dan program dalam pendidikan dan kebudayaan; dan Keempat, menerbitkan buku hasil seminar sebagai dokumentasi dan publikasi guna meluaskan wacana kebudayaan sebagai arus utama paradigma pembangunan. 4. Tantangan ASEAN Economic Community Terhadap Re-Valuesasi Pancasila a. Pendidikan Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu hal yang paling penting untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompetitif dalam mencapai kesuksesan di era globalisasi. Pendidikan merupakan pilar utama bagi kemajuan suatu bangsa (Soutworth, 2002; Shockley, 2008; Briggss, et al, 2012; Menzies & Baron, 2014). Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan harus menjadi prioritas bagi pembangunan, dengan tidak mengesampingkan sektor lain. Untuk memajukan pendidikan tidak hanya pula dengan merubah kurikulum dan melengkapi sarana dan prasarana saja, melainkan juga memperhatikan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan mengemban pendidikan tersebut. Oleh karena itu, untuk mencapai pendidikan yang lebih baik dimasa datang, yang menjadi prioritas utama untuk hal ini adalah pembenahan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan yang berkualitas serta merata ke seluruh lapisan masyarakat, dan yang paling utama adalah menumbuhkan kesadaran bagi setiap elemen masyarakat serta pemerintah maupun pihak-pihak yang bersangkutan untuk berbenah diri (Hermino, 2015). Pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai resmi diberlakukan. Pelaksanaan ini tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga sektor-sektor lainnya, khususnya yang perlu dicermati pula adalah sektor pendidikan sebagai modal membangun sumber daya manusia yang kompetitif. 7
Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini perlu disambut oleh dunia pendidikan di Indonesia dengan cepat, agar sumber daya manusia Indonesia siap menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan negara-negara lain. Berkenaan dengan hal tersebut maka arah pendidikan di Indonesia di era globalisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini perlu memperhatikan empat hal, yaitu penguasaan inovasi (mastery of inovation), penguasaan jaringan/ networking, penguasaan teknologi (mastery of technology), serta pengoptimalan kekayaan sumber daya alam hanya (control of natural resources). Terhadap hal tersebut, maka pendidikan di Indonesia harus lebih menekankan pada keempat kemampuan tersebut untuk meningkatkan kemajuan di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sistem pendidikan di Indonesia harus benar-benar mampu membekali kompetensi para peserta didiknya untuk berinovasi dan untuk membangun jaringan/networking. Kompetensi berinovasi dapat dilakukan dengan peningkatan berbagai sistem pembelajaran yang ada. Sistem pembelajaran tersebut bisa diupayakan dengan tepat bila terdapat tiga hal, yaitu: 1) pemimpin pendidikannya yang inovatif dan berwawasan luas, serta mempunyai konsep kepemimpinan yang jelas dan terarah; 2) adanya budaya sekolah yang mendukung keberlangsungan sistem pendidikan yang ada; dan 3) kualitas pembelajaran yang memadahi yang dapat mendukung proses kegiatan pembelajaran yang ada karena siswa akan diajarkan bagaimana cara bekerja yang kreatif dan inovatif. Kompetensi membangun jaringan dilakukan dengan pengembangan sikap dan mengelola sumber daya manusia seperti, kepemimpinan, kerjasama serta komunikasi (Stromquist, 2002; Loomis, et al, 2008; Mason, 2013; Wagner, 2013). b. Makna Nilai dalam Pendidikan Karakter.
Rokeach dalam Danandjaja sebagaimana dikutip oleh Ndraha (1997: 20) menyatakan “A value system is a learned organization of principles and rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.” Artinya suatu sistem nilai merupakan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dapat dipelajari dalam suatu organisasi untuk membantu seseorang memilih di antara berbagai alternatif, menyelesaikan konflik dan membuat keputusan. Lebih lanjut diungkapkan oleh Fraenkel (1973) dalam Welton & Mallan (1981: 155) “No one has ever seen a value. Like concepts and ideas, values exist only in our minds. Values are standards of conduct, beauty, efficiency, or worth that individuals believe in and try to live up to or maintain.” Peryataan tersebut dapat dimaknai bahwa konsep nilai muncul berdasarkan hakekat dalam diri seseorang, dan hal ini tentunya masing-masing orang akan mempunyai pandangan yang berbeda, namun demikian yang utama dari konsep nilai adalah bagaiman individu menempatkan diri pada normanorma yang berlaku di lingkungan sekitarnya. pendidikan karakter akan diarahkan pada terhubungnya potensi Intellegence Quotient, Emotional Quentient, Religiousitas Quotient, dan Adverse Quotient. Pada akhirnya AEC bisa dikendalikan dan terkontrol dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya yang berkarakter kebangsaan dan atau menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dengan segala karakter dan keunikan pribadi yang baik bagi setiap warga negara.
8
Dari berbagai pendapat di atas, dapat dimengerti bahwa nilai merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai sesuatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupannya. Sistem nilai adalah suatu peringkat yang didasarkan pada suatu peringkat nilai-nilai seorang individu dalam hal intensitasnya. Dengan demikian untuk mengetahui atau melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan terhadap kenyataan-kenyataan lain berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap seseorang atau sekelompok orang. Pemaknaan tersebut merupakan bentuk dari kematangan spiritual dan kematangan fungsi mental. Untuk kematangan spiritual, hal ini sejalan dengan yang dikemukakan dalam Soedjatmoko (2010: 179) yaitu bahwa menghadapi masa depan yang serba tidak pasti ini, langkah dasar lain yang timbul di berbagai masyarakat ialah usaha untuk mengembangkan dan menyebarluaskan suatu sikap mental baru, yang mampu memberikan kemantapan spiritual. Sehubungan dengan kematangan fungi mental, maka Vygotsky dalam Adisusilo (2012: 169) menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain. C. Penutup. Pendidikan karakter harus berjalan sebagaimana harapan dan tantangan ASEAN Economic Community (AEC) mengenai karakter pendidikan dan membudayakan re-valuesasi dalam kerangka pembangunan revolusi mental dan menanamkan nilai-nilai karakter Pancasila sebagaimana : pendidikan karakter akan diarahkan pada terhubungnya potensi Intellegence Quotient, Emotional Quentient, Religiousitas Quotient, dan Adverse Quotient. Pada akhirnya AEC bisa dikendalikan dan terkontrol dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya yang berkarakter kebangsaan dan atau menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dengan segala karakter dan keunikan pribadi yang baik bagi setiap warga negara.
D. Daftar Pustaka. Adisusilo, S.J.R. 2012. Pembelajaran Nilai Karakter. Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Pers. Briggss, A. R., Clark, J. & Hall, I. 2012. Building Bridges: Understanding Student
Transition to University. Quality in Higher Education, 18(1), 3-21. Hermino, A. 2015. Menggagas Diversifikasi Kurikulum Pendidikan Nasional. Makalah dipresentasikan pada Simposium Kurikulum Nasional, Hotel Mercure Ancol, Jakarta 7-9 Desember 2015. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia (Tidak dipublikasikan). Loomis, S., Rodriguez, J., & Tillman, R. 2008. Developing Into Similarity: Global Teacher Education in The Twenty-First Century. European Journal of Teacher Education, 31(3), 233-245. Mason, M. 2013. Educational Inequality and Educational Quality. International Journal of Educational Development. www.elsevier.com/locate/ijedudev. (Online). (34) 1-2. Diakses, 14 Desember 2015. Menzies, J. L. & Baron, K. (2014). International Postgradutae Student Transition Experiences: The Importance of Student Societies and Friends. Innovations in Education and Teaching International, 51(1), 84-94. 9
Mohammad Sholihul Wafi., Karakter Bangsa Tentang MEA., Koran SINDO; Sabtu, 20 Desember 2014-11:03 WIB., Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi, Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ndraha, T. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta. Santoso W. et.al (2008)., Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional., Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter., Jakarta. Shockley, K.G. 2008. Africentric Education Leadership: Theory and Practice. International Journal of Education Policy and Leadership. Vol. 3, No. 3. http://www.ijepl.org. (Online). Diakses, 16 Desember 2015. Soedjatmoko. 2010. Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Soutworth, G. 2002. Instructional Leadership in School: Reflection and Empirical Evidence. School Leadership and Management, 22(1), 73-92. Stromquist, N. 2002. Education in a Globalized World: The Connectivity of Economic Power, Technology, and Knowledge. New York: Rouledge. Wagner, D.A. 2013. Improving Learning Assessments for Developing Countries. International Journal of Educational Development. www.elsevier.com/locate/ijedudev. (Online). (34) 110-111. Diakses, 14 Desember 2015 Welton, D.A. & Mallan, J.T. 1981. Children and Their World: Strategies for Teaching Social Studies. 2nd Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.
10