Iman Santoso, Industri Perbankan dalam Era ASEAN...
103
INDUSTRI PERBANKAN DALAM ERA ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Iman Santosa Praktisi Perbankan ABSTRAK Keinginan bangsa di Asia Tenggara (Association of South East Asian Nation ) untuk membangun kesejahteraan bersama kini sampai pada tahap mewujudkan masyarakat ekonomi bersama atau Asean Economic Community (AEC) tahun 2015. Di dalam AEC terdapat kerjasama perdagangan bebas yang didisain dalam Common Effective Preferential Tariff - ASEAN Free Trade Area (CEFT-AFTA), tahun 2003. Diupayakan akan segera tertata rapih seperti contoh nya, yaitu European Economic Community dengan Common Market; kesamaan regulasi, pajak, standar kualitas produk, sumber daya, teknologi, dan derivatif. Setelah itu, maka bekerjasama dengan negara-negara lain di luar ASEAN, seperti ACFTA, AKFTA, akan berjalan baik, paling tidak tanpa hambatan masalah internal. Sektor perbankan merupakan pendukung utama terwujudnya free trade, dengan fungsi transmisinya. Menurut pemerintah, sektor perbankan saat ini cukup solid, dengan CAR di atas batas minimum 8%, kredit bermasalah (NPL) dibawah batas maksimum (5%), dan pertumbuhan kredit diatas 25% pertahun. Tapi wajib selalu diingat berbagai pekerjaan rumah yang belum tertuntaskan, antara lain pengembalian BLBI yang jumlahnya ratusan trilyun rupiah, pembobolan rekening nasabah, kredit fiktif, LC fiktif, yang melibatkan pejabat bank. Ini mengingatkan kita pada pelanggaran yang dilakukan pejabat bank akhir Abad lalu, yang kemudian berakibat pada krisis perbankan tahun 1998. Kredibilitas bankir nasional merosot hampir mencapai titik nadir. Fit and proper test tahun 1999 terhadap pengurus bank menghasilkan 400 pengurus bank masuk dalam Daftar Orang Tercela (DOT), black list. Otonomi Daerah membawa konsekuensi berupa peningkatan aliran dana dari pusat pemerintahan (APBN) ke daerah (APBD) menjadikan pasar perbankan daerah semakin atraktif. Sementara itu globalisasi terus bergulir, perbankan manca negara menerapkan strategi ofensif sekaligus defensif. Menyadari fenomena ini maka BPD-BPD mengikrarkan “Be a regional champion”. Bukan suatu yang mudah, mengingat inferior position dibidang teknologi, dan permasalahan internal yang masih pending. Namun dengan distinctive competency yang dimiliki, ditambah strategi yang tepat, diyakini dapat dicapai positional advantage dan superior business performance. Terpenting dari semua yang penting adalah kualitas SDM untuk mewujudkan sistem perbankan sehat, dan mencegah praktek merugikan masyarakat. (UU no.7/1992; UU no.10/1998). Kata kunci: unique resource, strategy cooperative, sustainable competitive advantage
ABSTRACT The desire of the nation in Southeast Asia (the Association of Southeast Asian Nations) to build the common good has now reached the stage of realizing joint economic community or the Asean Economic Community (AEC) by 2015. At the AEC there are free trade agreements designed in the Common Effective Preferential Tariff - ASEAN Free Trade Area (CFET-AFTA), 2003. Attempts will be arranged neatly as his example, the European Economic Community and the Common Market; similarity of regulation, taxation, product quality standards, resources, technology, and derivatives. After that, the cooperation with other countries outside ASEAN, such as ACFTA, AKFTA, will go well, at least not without a hitch internal problems. The banking sector is a major supporter of the establishment of free trade, the transmission function. According to the government, the banking sector is currently quite
104
Coopetition, Volume VI, Nomor 2, November 2015, 103 - 110
solid, with a limit above the minimum CAR of 8%, non-performing loans (NPL) below the maximum limit (5%), and credit growth above 25% per year. But shall always bear in mind various homework has not been done yet, among other BLBI return of the hundreds of trillions of rupiah, burglary customer accounts, the credit fictitious, LC fictitious, involving officials of the bank. This reminds us of violations committed by bank officials late last century, which later resulted in a banking crisis in 1998. The credibility of the national bankers declined almost reached its nadir. Fit and proper test in 1999 against bank officials generate 400 entered in the bank management Disgraced Persons List (DOT), black list. Otda consequences in the form of an increase in the flow of funds from the central government (state budget) to the area (budget) make the area more attractive banking market. Meanwhile globalization continues to roll, foreign banks once a defensive offensive strategy. Aware of this phenomenon, the BPD-BPD pledged "Be a regional champion". Not an easy, considering the inferior position in the field of technology, and internal issues that are still pending. But with the distinctive competency owned, plus the right strategy, is believed to be achievable positional advantage and superior business performance. Most important of all that is important is the quality of human resources to achieve a healthy banking system, and prevent practices detrimental to society. (Law No.7 / 1992, Law no.10 / 1998). Keywords: unique resource, cooperative strategy, sustainable competitive advantage
1.PENDAHULUAN Deklarasi Bangkok, 8 Agustus 1967, tentang kerjasama ekonomi negara-negara Asia Tenggara, sekaligus menandai berdirinya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Association of South East Asian Nation (ASEAN), beranggotakan 5 (lima) negara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand; kemudian 5 (lima) negara tetangga menggabungkan diri, yaitu Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). Tahun 1997, diikrarkan ASEAN Vision 2020: “Mewujudkan kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata, ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi”. Tahun 2003, disepakati untuk mempercepat ASEAN Vision-2020, menjadi ASEAN Vision2015, dengan 3 (tiga) pilar: (1) ASEAN Economic Community (AEC); (2) ASEAN PoliticalSecurity Community; (3) ASEAN Socio-Cultural Community.
keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasaran dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan serta meningkatkan standar hidup rakyat ASEAN. Direncanakan akan direalisasikan tahun 2015, pada saat itu kawasan ASEAN akan menjadi pasar tunggal, berbasis produksi tunggal, dimana terjadi arus bebas barang, jasa, investasi, tenaga terampil di antara negara ASEAN (Depdag RI). Nampak ada kemiripan dengan tujuan pendirian Masyarakat Ekonomi Eropa atau European Economic Community (EEC, tahun 1958) yaitu membangun European Common Market (a fully integrated market), dimana berlaku kebebasan kegiatan ekonomi diantara dan di dalam negara-negara anggota European Economic Community, meliputi antara lain modal, pajak, tenaga kerja, pengakuan kesamaan profesi dan kualifikasi teknis, perlakuan bagi ekspatriat (pekerja asing) sama dengan pekerja setempat, dan sistem perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential banking and other financial regulation). Kemiripan itu disebabkan salah satu referensi pembentukan AEC adalah EEC (Indonesia Fact Finding Mission, Kedutaan Besar RI di Belgrade, Februari, 1983).
2. ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Asean Economic Community (AEC), atau Masyarakat Ekonomi ASEAN, adalah suatu integrasi ekonomi negara-negara ASEAN, bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan
104
Iman Santoso, Industri Perbankan dalam Era ASEAN...
Dalam perkembangannya pada tahun 1967, Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) telah meningkat menjadi Masyarakat Eropa atau European Community (EC), dan di tahun 1993 kerjasama negara-negara Eropa ini ditingkatkan menjadi European Union (EU). Mirip dengan sebagian cita-cita ASEAN untuk membangun ASEAN Community dan ASEAN Union. Berbagai kesepakatan bidang ekonomi dibangun dalam tubuh ASEAN, dalam upaya menuju realisasi pasar tunggal yang bersifat perdagangan bebas diantara anggotanya, diawali kesepakatan pertukaran barang, yaitu kesepakatan tarip atau Preferential Tariff Arrangement (PTA) di tahun 1977, kemudian ditingkatkan menjadi Common Effective Preferential Tariff - ASEAN Free Trade Area (CEFTAFTA), di tahun 1992, dan direalisasikan tahun 2003. Berikutnya kesepakatan bidang jasa, ASEAN Framework Agreement on Services, tahun 1995 (AFAS), bidang investasi, ASEAN Investment Area (1998). Inilah merupakan awal idea pembentukan ASEAN Economic Community (AEC). Tahun 2002, telah ditandatangani bersama sebuah Roadmap for Integration of ASEAN (RIA), yang merinci tentang perdagangan jasa. Untuk memudahkan terwujudnya AEC tentunya diperlukan panduan langkah, untuk itu ditandatangani AEC Blueprint, tahun 2007. Bersamaan dengan naskah komitmen bersama dalam bentuk ASEAN Charter atau Piagam ASEAN, yang diberlakukan efektif sejak 15 Desember 2008. Indonesia telah meratifikasi RIA pada tanggal 6 Nopember 2008, dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2008, tentang Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Sektor perbankan sebagai pendukung utama realisasi perdagangan bebas, kemudian mempersiapkan diri dengan mengacu pada kesepakatan-kesepakatan tersebut diatas, khususnya AEC Blueprint, ASEAN Charter dan Roadmap for Integration of ASEAN. 3. ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA) Sebelum membicarakan Kerjasama Perdagangan Bebas ASEAN-China atau ASEANChina Free Trade Agreement (ACFTA), alangkah baiknya terlebih dahulu mengingat kesepakatan perdagangan bebas diantara
105
internal anggota ASEAN, yang dikemas dalam Common Effective Preferential Tariff - ASEAN Free Trade Area (CEFT-AFTA), tahun 1992. Berangkat dari sini kemudian ASEAN melakukan kerjasama ekonomi dengan negara diluar ASEAN, yang pertama di sektor barang dengan China yaitu ACFTA, ditanda tangani tahun 2004, kemudian penandatanganan ACFTA di bidang jasa (services), tahun 2007. Kerjasama dengan negara diluar ASEAN berikutnya adalah dengan Korea (AKFTA) di sektor barang (tahun 2006), dan di sektor jasa (tahun 2007). Dalam rangka mewujudkan ACFTA, telah ditanda tangani nota kesepakatan bilateral Indonesia-China pada Joint Commission Meeting ke-10 (Yogyakarta, 3 April 2010). Dalam kesepakatan tersebut terdapat dua hal yang terkait dengan sektor perbankan, yaitu: 1. Pembukaan kantor cabang Bank Mandiri di China dengan tujuan utama guna memperkuat dan melancarkan hubungan langsung transaksi perbankan kedua negara; 2. Pemberian kredit dari China Exim Bank dan the Commercial Bank of China, kepada Lembaga Pengembangan Ekspor Indonesia (LPEI). Telah disepakati Pemberian kredit dari China Exim Bank sebesar US$ 100juta kepada Lembaga Pengembangan Ekspor Indonesia (LPEI), dan rencana pemberian pinjaman dari Commercial Bank of China sebesar US$.250 juta kepada LPEI. Dana pinjaman dari China tersebut direncanakan untuk mendukung operasional perusahaan–perusahaan yang terkait dengan proyek-proyek investasi dan perdagangan dalam berbagai sektor-sektor prioritas yang disetujui oleh kedua belah pihak termasuk perdagangan dan investasi barang modal, proyek-proyek sektor infrastruktur, energi dan konstruksi. Kemudian dibentuk Kelompok Kerja Resolusi Perdagangan atau Working Group on Trade Resolution (WGTR), yang berkewajiban mengajukan usulan-usulan untuk memfasilitasi perdagangan di antara kedua negara, termasuk memfasilitasi pembukaan Cabang Bank Mandiri di China tersebut di atas. 4. PERBANKAN MENYAMBUT ACFTA DAN AEC Dalam rangka mendukung terlaksananya pasar bebas ASEAN, maka sektor perbankan
106
Copetition, Volume VI, Nomor 2, November 2015, 103 - 110
uang (Euro) berlaku untuk semua negara anggota dan juga membangun bank sentral Eropa.
dipersiapkan dengan mengacu pada kesepakatan-kesepakatan seperti telah dikemukakan sebelumnya, yaitu: 1. Kesepakatan internal negara anggota ASEAN; 2. Kesepakatan antara ASEAN dengan China, dan juga negara lainnya. Salah satu langkah konkrit negara-negara ASEAN telah membentuk ASEAN Banking Integration Framework (ABIF), dimana membuka peluang dan kesempatan bagi perbankan negara-negara ASEAN untuk memperluas wilayah operasionalnya atau memperluas pasarnya. Dalam ABIF di agendakan hal-hal penting diantaranya: (1) terciptanya harmonisasi regulasi prudensial; (2) kesiapan infrastruktur untuk mendukung stabilitas sistem keuangan;(3) capacity building bagi negara ASEAN yang relatif tertinggal; (4) kesepakatan tentang kriteria Qualified ASEAN Banks (QAB). Apabila diperhatikan ada perbedaan proses antara European Economic Community yang pernah ada di Eropa dengan ASEAN Economic Community, khususnya mempersiapkan peran perbankan, nampak perbedaannya:
4.1. Perbankan Nasional Menyongsong ACFTA dan AEC di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah Kebijakan otonomi daerah (Otda) telah berjalan lebih dari satu dasa warsa, terhitung sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, tentang pemerintah daerah. Pada intinya kebijakan otonomi daerah (Otda) adalah pelimpahan kewenangan secara luas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Pemda) tentang pembangunan daerahnya sendiri. Meningkatnya kewenangan Pemda dalam kebijakan otonomi daerah juga termasuk penggunaan sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah (Undang-Undang Nomor 22/1999, disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 /2004, pasal 15, ayat 1, huruf a.). Implikasi dari kebijakan Otda ini adalah peningkatan aliran dana dari APBN ke APBD dari tahun ke tahun. Dalam tahun 2000, transfer dana dari APBN ke APBD sebesar Rp.33,5 trilyun, dalam tahun 2001 menjadi Rp.81,7 trilyun, tahun 2006 (lima tahun kemudian) jumlah tersebut meningkat menjadi Rp.226,2 trilyun, dan dalam tahun 2011 (lima tahun berikutnya) mencapai Rp.412,5 trilyun. Dalam tahun 2012, transfer dana tersebut naik lagi menjadi Rp.464 trilyun (Depkeu RI, 2013). Selengkapnya dapat disajikan dalam Tabel 4.1.1. Tabel 4.1.1. Transfer Dana Dari APBN ke APBD (dalam milyar rupiah) Keterangan Dana Perimbangan: Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Dana tonomi Khusus dan Penyesuaian Dana Otonomi Khusus Dana Penyesuaian
Keterlibatan perbankan dalam EEC, bukan hanya memfasilitasi transaksi keuangan antar lembaga antar negara (seperti pada AEC), tetapi sampai dengan mewujudkan satu mata
Jumlah
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
222,2
243,9
278,7
287,3
316,7
347,6
394,3
64,9
62,9
78,4
76,1
92,2
96,8
98,5
145,7
164,8
179,5
186,4
203,6
225,5
260,6
11,6
16,2
20,8
24,7
20,9
25,3
35,2
4,0
9,4
13,7
21,3
28,0
64,9
70,2
3,5
4,1
7,5
9,5
9,1
10,4
11,8
0,6
5,3
6,2
11,8
18,9
54,5
58,4
226.2
253,3
292,4
308,6
344,7
412,5
464,4
Sumber: APBN
106
Iman Santoso, Industri Perbankan dalam Era ASEAN...
Pergeseran konsentrasi uang yang semula ada di pusat pemerintahan, saat ini ada di daerah. Hal ini merubah strategi bank-bank , yang semula pendekatan kepada pusat pemerintahan dilakukan oleh kantor pusatnya, kini gilirannya kantor cabang melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah sebagai sumber dana dan juga penentu kebijakan di daerah (regulator). Secara akuntansi tidak terjadi pergeseran posting dana, melainkan pergeseran surplus pos dana antar kantor, yang semula mengalir dari kantor pusat ke kantor cabang, sekarang sebaliknya dari cabang ke kantor pusat bank. Dampak lainnya adalah peningkatan kompetensi cabang berkaitan dengan peningkatan volume dana yang dikelola. Disatu sisi proses pelaksanaan Otonomi Daerah terus berjalan, di sisi lain globalisasi ekonomi dunia terus bergulir. Dari sudut pandang bisnis, globalisasi adalah sebuah kondisi dimana perusahaan menerapkan strategi penguasaan pasar secara ofensif, dan pada saat yang sama strategi defensif juga dilakukan untuk melindungi pangsa pasar yang telah dikuasai sebelumnya (Thompson – Strickland, 2001:199). Dari sudut pandang yang lain, globalisasi ekonomi dunia didukung oleh kemajuan teknologi mendorong persaingan menjadi semakin ketat dan seolah tidak mengenal batas wilayah (John Black, 2005:197; European Commission, 1997, p.65).
Gambar 4.1.1. Perbankan Nasional di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah
107
Dalam kondisi demikian maka bank-bank nasional dituntut untuk meningkatkan daya saingnya (competitive advantage), agar mampu menghadapi pesaing yang datang dari dalam negeri maupun manca negara. Sementara peningkatan volume uang di daerah menjadikan pasar perbankan daerah semakin atraktif. Dengan demikian ada dua langkah strategi yang penting dilakukan oleh perbankan nasional: (1) meningkatkan kompetensi agar mampu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dan (2) meningkatkan daya saing agar mampu menghadapi kompetitor dari segala penjuru dunia. (Gambar 4.1.1). Sementara proses Otonomi Daerah dan globalisasi terus bergulir, proses mewujudkan ASEAN Economic Community pun terus berjalan pula menuju garis finish tahun 2015, dimana sudah harus berdiri satu sistem pasar tunggal, berbasis produksi tunggal, dimana terjadi arus bebas barang, jasa, investasi, tenaga terampil diantara negara ASEAN. Pada waktu yang bersamaan komitmen terhadap perjanjian yang telah ditanda tangani dengan China, maka pada tahun 2015 juga harus ada realisasinya. Perbankan sebagai pendukung transaksi antar negara mengikuti perkembangan ini dengan sikapnya yang tercermin dalam tema “Penguatan struktur perbankan nasional untuk meningkatkan daya saing menghadapi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” (IBEX 2013). Pernyataan ini nampak ada benang merahnya dengan sikap perbankan nasional di era globalisasi dan otonomi daerah (Gambar 4.4.1.), yang intinya adalah meningkatkan daya saing (competitive advantage), menghadapi sikap bisnis global yang menerapkan strategi pemasaran ofensif dan sekaligus defensif.
Gambar 4.1.2. Building Sustainable Competitive Advantage (Gordon Walker, 2003:19)
108
Copetition, Volume VI, Nomor 2, November 2015, 103 - 110
dicermati oleh negara-nagara anggota ASEAN, bahkan oleh negara-negara di benua lainnya yang menjadi partner dagang. Hal ini dapat dimaklumi mengingat latar belakang pada masa krisis multidimensi tahun 1998, dimana terjadi krisis kepercayaan terhadap perbankan Indonesia. Salah satu contohnya hampir semua Letter of Credit yang diterbitkan bank-bank di Indonesia harus di bubuhkan konfirmasi bank asing yang terpercaya (confirming bank), agar diterima oleh bank-bank di luar negeri; atau dengan kata lain LC dari bank di Indonesia tidak laku diluar negeri. Dikatakan hampir semua, atau tidak semua LC tidak laku, karena pada saat itu masih ada bank yang LC-nya tetap diterima atau tetap dipercaya oleh beberapa bank di Korea (the Busan Bank, the Commercial Bank of Seoul) sehingga transaksi perdagangan tetap berjalan. Salah satu alasannya adalah karena bank penerbit LC (issuing bank) tersebut tidak pernah terlambat dalam memenuhi kewajibannya terhadap bank partner (negotiating bank) di Korea. Pada dasarnya adalah tentang kepercayaan kepada bankir Indonesia. Krisis yang dialami Indonesia ini mendapat perhatian besar masyarakat ekonomi dunia disebabkan, seolah-olah tidak disangka (unpredictable), nampak pada rekaman peristiwa berikut ini (Richard Mann, 1998; Allan Greenspand, 2004): 1. Tiga bulan sebelumnya, Nopember 1997, diprediksikan oleh: a. IMF, bahwa pertumbuhan GDP Indonesia sampai dengan akhir dekade ini akan mencapai rata-rata diatas 3%; b. Konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Vancouver, Canada, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 6%; c. Pernyataan President Bank Dunia, James Wolfensohn; “I believe the worst of the crisis is over”. 2. Februari 1998, realita: a. Krisis ekonomi global; b. Memporak-porandakan sistem perbankan Indonesia; c. James Wolfensohn, President Bank Dunia membuat pernyataan lagi: “I am not alone in thinking that 12 months ago Indonesia was on a very good path, here was no prediction then of an 80% drop in the currency”.
Dalam upaya mempertahankan (defensif) segmen pasar yang telah dikuasai (defendable market), dilakukan upaya peningkatan pelayanan untuk mempertahankan pelanggan (retaining customers) dan pemutakhiran produk dan jasa layanan melalui inovasi tiada henti agar tidak ditiru oleh pesaing (preventing imitation) sehingga tetap memiliki spesifikasi (distinctive). Penyempurnaan produk dan layanan sesuai dengan perkembangan kebutuhan konsumen sehingga memiliki nilai tersendiri (value driver), akan mampu menarik pelanggan baru, demikian pula efisien yang dilakukan akan menguatkan daya saing produk dan jasa. Dengan langkah-langkah strategis yang dilakukan bank-bank selama ini diharapkan dapat memiliki daya saing dalam jangka panjang (sustainable competitive advantage). Namun semua itu perlu dukungan sumber daya yang mencukupi (Gambar 4.1.2.). 4.2. Komitmen pada perbankan yang sehat Beberapa waktu yang lalu Dewan Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa industri perbankan nasional saat ini semakin solid, tercermin pada rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio = CAR) di atas batas minimum sebesar 8%, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan = NPL) di bawah batas maksimum 5%, dan fungsi intermediasi perbankan semakin membaik, tercermin pada pertumbuhan kredit diatas 25% / tahun. Namun mengingat Undang-Undang No.10/ 1998 pasal 2, tentang prinsip kehati-hatian yang menyebutkan bahwa: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential principal)”; kiranya perlu diingat tentang fenomenafenomena masa krisis 1998 dan juga berbagai permasalahan perbankan yang belum terselesaikan (pending matters), bahkan tidak menentu perkembangannya, seperti Bank Century, BLBI, dan berbagai tindakan bankir yang merugikan masyarakat dan negara seperti pembobolan rekening, pinjaman fiktif, LC fiktif, dan lain-lain bentuk pelanggaran norma kepatuhan. Hal-hal tersebut akan berpengaruh pada kredibilitas perbankan secara nasional. 4.2.1. Pengalaman Berharga Dari Krisis 1998 Perkembangan perbankan Indonesia masih menjadi isue yang sangat menarik untuk
108
Iman Santoso, Industri Perbankan dalam Era ASEAN...
4.2.2. Bank Recovery, Suatu Upaya Memutihkan Lembaran Hitam. Berkat semangat kebersamaan Pemerintah, bankir dan masyarakat yang berkepentingan (stake holder), maka sebagian besar bank memenuhi target menjadi bank sehat di tahun ketiga business plan-nya.
Tabel 4.3.1. Kondisi Bank Umum Satu Dasa Warsa Setelah Krisis (Dikelompokkan Berdasarkan Ratio Keuangan)
Ratio Keuangan
CAR
8% (Sehat)
CAR < 8% (Tidak Sehat) Bank Umum seluruhnya NPL
%
Tahun 2008 Jumlah Bank
Tahun 2003 Jumlah Bank
Prediksi yang keliru tentang perekonomian Indonesia, disebabkan data dan informasi yang diberikan kepada lembaga-lembaga tingkat dunia tersebut tidak terjamin kebenarannya. Maka meskipun metode analisis yang digunakan sudah benar, tetap saja hasilnya tidak benar, karena data yang diolah tidak benar (garbage in – garbage out). Seiring dengan gerakan reformasi maka berbagai tindakan dilakukan Pemerintah untuk menyehatkan kembali perbankan nasional, fokus pada tujuannya berdasarkan Undangundang perbankan Nomor 7 tahun 1992 (penjelasan umum pasal 1): “Guna memperbaiki sistem perbankan Indonesia, diperlukan peningkatan profesionalismesumber daya manusia perbankan untuk menciptakan bisnis perbankan yang sehat, dan mencegah terjadinya praktek perbankan yang merugikan masyarakat”. Kalimat terakhir tersebut memberikan informasi bahwa sebenarnya Pemerintah tidaklah sama sekali awam terhadap gejala tidak sehat di lingkungan perbankan. Bank Indonesia dengan didampingi oleh International Monetary Fund melakukan penilaian ulang kinerja bank-bank. Hal ini mengandung makna ganda: 1. Empati kepada kesulitan perbankan Indonesia; 2. Rasa tidak percaya kepada kinerja bankir Indonesia, baik pembina, pengawas maupun bank pelaksana. Fit and proper test dilakukan terhadap pengurus bank, berdasarkan regulasi Bank Indonesia SK No.7/118/KEP/DIR/1998, menghasilkan 400 pengurus bank dinyatakan melanggar peraturan dan masuk dalam “Daftar Orang Tercela” (DOT). Yang tidak kalah mengejutkan bahwa sebuah bank umum yang sebelumnya dinilai oleh Bank Indonesia sebagai “Bank Umum Tersehat”, ternyata menyimpan kredit bermasalah diatas 50%, dan kemudian menyandang predikat bank umum dengan kinerja terburuk.
109
%
135
97,83
118
3
2,27
6
95,16 4,84
138
100
124
100,00 73,39
5% (Sehat)
90
65,22
91
NPL > 5% (Tidak Sehat)
48
34,78
33
26,61
Bank Umum seluruhnya
138
100,00
124
100,00
21 11
15,22 7,97
21 13
16,94 10,48
LDR 85-115% (Sehat) LDR < 85% (Kurang Sehat) LDR > 115%(Tidak Sehat)
106
76,81
90
72,58
Bank Umum seluruhnya
138
100,00
124
100,00
86 39
62,32 28,26
90 34
72,58 27,42
ROA 1,5% (Sehat) ROA < 1,5% (Kurang Sehat) ROA minus (Tidak Sehat) Bank Umum seluruhnya ROE 13% (Sehat) ROE < 13%(Kurang Sehat) ROE minus (Tidak Sehat) Bank Umum seluruhnya NIM > 6% (Sehat) NIM 6%(Kurang Sehat) NIM MINUS (Tidak Sehat) Bank Umum seluruhnya OC/OI 92% (Sehat) OC/OI > 92%(Tidak Sehat) Bank Umum seluruhnya
13
9,42
-
-
138
100,00
124
100,00
82 44
59,42 31,88
90 34
72,58 27,42
12
8,70
-
-
138
100,00
124
100,00
62 72
44,93 52,17
50 66
40,32 53,23
4
2,90
8
6,45
138
100,00
124
100,00
89 49
64,49 35,51
90 34
72,58 27,42
138
100,00
124
100,00
(Sumber : Laporan Tahunan Bank-Bank, diolah)
4.2.3. Pending Matters Telah dikemukakan sebelumnya bahwa Bank Indonesias menilai bahwa perbankan Indonesia saat ini semakin solid. Sementara itu masih terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh bankir senior bahkan pemimpin bank, seperti pembobolan rekening nasabah, kredit fiktif, L/C fiktif, dan penyelewengan dana bantuan likuiditas dari Bank Indonesia (BLBI) , mencapai nilai trilyunan rupiah. Belum lagi BLBI dari krisis
110
Copetition, Volume VI, Nomor 2, November 2015, 103 - 110
5. PENUTUP Sebagai penutup tulisan ini, disampaikan beberapa hal: 1. Globalisasi ekonomi terus bergulir, dan AEC, ACFTA, demikian juga European Economic Community, European Unity, European Free Trade, adalah bagian dari globalisasi tersebut; sementara itu aneka ragam bisnis ada di dalamnya. 2. Oleh karena itu AEC dan ACFTA adalah sesuatu tantangan yang harus disongsong atau dijemput dengan berbagai tindakan (action) integrasi, dan bukan sekedar ditunggu kedatangannya. 3. Perbankan Indonesia dituntut untuk meningkatkan komitmennya tentang membangun sistem perbankan yang sehat untuk memperoleh kepercayaan dunia. 4. Perbankan yang sehat mampu menjadi kekuatan pendukung yang handal bagi sektor usaha lain untuk meraih peluang dan mengatasi ancaman yang muncul dalam pasar bebas AEC dan ACFTA 2015. 5. Keunggulan daya saing dalam jangka panjang (sustainable competitive advantage) dapat dimiliki melalui keputusan strategis perbankan yang tepat dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien. 6. Selesaikan segera permasalahan internal, tingkatkan kompetensi dan integritas, ciptakan bank sehat.
perbankan 1998 yang bernilai Rp. 650 trilyun lebih, belum pernah jelas bagi masyarakat tentang proses pengembaliannya. Fit and proper test atau uji kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap pengurus bank berdasarkan regulasi Bank Indonesia SK No.7/118/KEP/DIR/1998, untuk memperoleh pengurus bank dengan kualitas kompetensi dan integritas tinggi berdasarkan standar internasional (Bank for International Settlement). Yang pertama dilakukan tahun 1999/2000, menghasilkan 400 pengurus bank dinyatakan melanggar peraturan dan masuk dalam “Daftar Orang Tercela” (DOT). Kemudian regulasi tersebut diganti dengan Peraturan Bank Indonesia No.5/25/PBI/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test), yang pada intinya : 1. Menyederhanakan proses uji kompetensi dan integritas dari 10 tahap menjadi hanya 5 tahap; 2. Mengganti istilah Daftar Orang Tercela (DOT) menjadi Daftar Tidak Lulus (DTL). Hal ini memberikan kesan tentang melemahnya komitmen terhadap standard kompetensi dan integritas, yang justru dipersyaratkan dalam kepakatan ASEAN, agar disamakan standard di semua negara ASEAN. Apabila hal ini dikaitkan dengan krisis perbankan akhir Abad lalu, kemudian hasil fit and proper test dengan regulasi yang lama, maka akan berpengaruh bagi tingkat kepercayaan terhadap bankir Indonesia.
110