LAMPIRAN 1 SURAT EDARAN BANK INDONESIA NOMOR 15/21/DPNP TANGGAL 14 Juni 2013 PERIHAL PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM
PEDOMAN STANDAR PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM
BANK INDONESIA 2013
73
BAB I PENDAHULUAN Lembaga keuangan, khususnya perbankan, sangat rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme, karena pada perbankan tersedia banyak pilihan transaksi bagi pelaku
pencucian
uang
dan
pendanaan
terorisme
dalam
upaya
melancarkan tindak kejahatannya. Melalui berbagai pilihan transaksi tersebut, seperti transaksi pengiriman uang, perbankan menjadi pintu masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana atau merupakan pendanaan kegiatan terorisme ke dalam sistem keuangan yang
selanjutnya
dapat
dimanfaatkan
untuk
kepentingan
pelaku
kejahatan. Misalnya untuk pelaku pencucian uang, harta kekayaan tersebut dapat ditarik kembali sebagai harta kekayaan yang seolah-olah sah dan tidak lagi dapat dilacak asal usulnya. Sedangkan untuk pelaku pendanaan terorisme, harta kekayaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme. A.
Pengertian, Tahap-tahap, dan Modus Pencucian Uang 1.
Pencucian uang atau secara internasional dikenal dengan istilah money
laundering
adalah
perbuatan
menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan,
membawa
ke
luar
negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. 2.
Pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan yang meliputi: a.
Penempatan (Placement), adalah upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem
keuangan
(financial
system),
atau
upaya 1
74
menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. b.
Transfer (Layering), adalah upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang lain. Sebagai contoh adalah dengan melakukan beberapa kali transaksi atau transfer dana.
c.
Penggunaan harta kekayaan (Integration), adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Sebagai contoh adalah dengan pembelian aset dan membuka atau melakukan kegiatan usaha.
3.
Beberapa modus pencucian uang yang banyak digunakan oleh pelaku pencucian uang adalah: a.
Smurfing, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku.
b.
Structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan
memecah-mecah
transaksi
sehingga
jumlah
transaksi menjadi lebih kecil. c.
U Turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal usul hasil kejahatan
dengan
memutarbalikkan
transaksi
untuk
kemudian dikembalikan ke rekening asalnya. d.
Cuckoo Smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal usul sumber dana dengan mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya
melalui
rekening
pihak
ketiga
yang 2
75
menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari
bahwa
dana
yang
diterimanya
tersebut
merupakan “proceed of crime”. e.
Pembelian
asset
atau
barang-barang
mewah,
yaitu
menyembunyikan status kepemilikan dari aset/barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa terdeteksi oleh sistem keuangan. f.
Pertukaran
barang
(barter),
yaitu
menghindari
penggunaan dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan. g.
Underground Banking Services,
yaitu
atau Alternative
kegiatan
pengiriman
Remittance
uang
melalui
mekanisme jalur informal yang dilakukan atas dasar kepercayaan. h.
Penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari
terdeteksinya
identitas
dari
pihak
yang
sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana. i.
Mingling, yaitu mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana dari hasil kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal dananya.
j.
Penggunaan
identitas
palsu,
yaitu
transaksi
yang
dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya
untuk
mempersulit
terlacaknya
identitas
dan
pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang. B.
Pendanaan Terorisme 1.
Pendanaan terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung
atau
tidak
langsung
untuk
kegiatan
terorisme,
organisasi teroris atau teroris. Pendanaan terorisme pada dasarnya merupakan jenis tindak pidana yang berbeda dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun demikian, keduanya mengandung kesamaan, yaitu menggunakan jasa 3
76
keuangan sebagai sarana untuk melakukan suatu tindak pidana. 2.
Berbeda dengan TPPU yang tujuannya untuk menyamarkan asal-usul
harta
kekayaan,
maka
tujuan
tindak
pidana
pendanaan terorisme adalah membantu kegiatan terorisme, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah. 3.
Untuk mencegah Bank digunakan sebagai sarana tindak pidana pendanaan terorisme, maka Bank perlu menerapkan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme secara memadai.
C.
Pelaporan Kepada PPATK Berdasarkan
Undang-undang
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, laporan yang disampaikan oleh Bank kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meliputi: 1.
Laporan
Transaksi
Keuangan
Mencurigakan
(LTKM)
atau
atau
Cash
Suspicious Transaction Report (STR); 2.
Laporan
Transaksi
Keuangan
Tunai
(LTKT)
Transaction Report (CTR); dan 3.
Laporan lainnya, yaitu antara lain Laporan Transaksi Keuangan Transfer Dana dari dan ke luar negeri .
Tata cara pelaporan mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh PPATK. D.
Kebijakan
Penerapan
Program
Anti
Pencucian
Uang
dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (Program APU dan PPT) 1.
Program
APU
dan
PPT
merupakan
program
yang
wajib
diterapkan Bank dalam melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa Bank (Nasabah atau Walk In Customer). Program tersebut antara lain mencakup hal-hal yang diwajibkan dalam Financial Action Task Force (FATF) Recommendation dan The 4
77
Basel Committee on Banking Supervision sebagai upaya untuk melindungi Bank agar tidak dijadikan sebagai sarana atau sasaran
kejahatan
baik
yang
dilakukan
secara
langsung
maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan. 2.
Customer Due Dilligence (CDD) merupakan salah satu instrumen utama dalam Program APU dan PPT. CDD tidak saja penting untuk mendukung upaya pemberantasan pencucian uang dan pendanaan teroris, melainkan juga dalam rangka penerapan prinsip
kehatian-hatian
perbankan
(prudential
banking).
Penerapan CDD membantu melindungi Bank dari berbagai risiko dalam kegiatan usaha Bank, seperti risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi serta mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran tindak pidana, khususnya pencucian uang dan pendanaan terorisme. 3.
Sebagai upaya meminimalisasi penggunaan Bank sebagai media pencucian
uang
dan
pendanaan
terorisme,
Bank
wajib
menerapkan Program APU dan PPT, yang merupakan bagian dari penerapan manajemen risiko Bank yang paling kurang mencakup:
4.
a.
pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b.
kebijakan dan prosedur;
c.
pengendalian intern;
d.
sistem manajemen informasi; dan
e.
sumber daya manusia dan pelatihan.
Program APU dan PPT memuat kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup: a.
permintaan informasi dan dokumen;
b.
Beneficial Owner;
c.
verifikasi dokumen;
d.
CDD yang lebih sederhana;
e.
penutupan hubungan dan penolakan transaksi;
f.
ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP;
g.
pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga; 5
78
5.
h.
pengkinian dan pemantauan;
i.
Cross Border Correspondent Banking;
j.
transfer dana;
k.
penatausahaan dokumen; dan
l.
pelaporan kepada PPATK.
Kebijakan dan prosedur di atas wajib mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang dan pendanaan terorisme, termasuk jika Bank mengeluarkan produk dan aktivitas baru. Dalam hal Bank akan mengeluarkan melakukan
produk
dan
identifikasi,
aktivitas
baru,
pengukuran,
Bank
pemantauan
wajib dan
pengendalian terhadap risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme dari: a.
pengembangan
produk
dan
aktivitas
baru
termasuk
pelaksanaannya; b.
penggunaan atau pengembangan teknologi baru baik untuk produk dan aktivitas baru maupun untuk produk dan aktivitas yang sudah berjalan.
Dalam melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengendalian perlu: a.
memperhatikan risiko yang timbul, antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko
konsentrasi, dan risiko
reputasi, atas penerbitan produk, pelaksanaan aktivitas baru, penggunaan atau pengembangan teknologi baru, serta
mengupayakan
tindakan
yang
memadai
untuk
mengelola dan memitigasi risiko yang timbul. b.
berpedoman
pada
ketentuan
Bank
Indonesia
yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko dan ketentuan
Bank
Indonesia
yang
mengatur
mengenai
pelaporan produk dan aktivitas baru. 6.
Agar tercapai penerapan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan
PPT
yang
efektif
maka
pedoman
dikomunikasikan kepada seluruh pegawai
tersebut
wajib
dan diterapkan 6
79
secara konsisten serta berkesinambungan.
7
80
BAB II MANAJEMEN Dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT), selain dibutuhkan
kepedulian
dari
Direksi
dan
Komisaris,
Bank
wajib
membentuk Unit Kerja Khusus atau menunjuk pejabat Bank yang bertanggung jawab atas penerapan Program APU dan PPT. Peran aktif dari Direksi dan Dewan Komisaris sangat diperlukan dalam menciptakan efektifitas penerapan Program APU dan PPT, mengingat peranan Direksi dan Dewan Komisaris akan mempengaruhi tingkat pencapaian tujuan organisasi dalam penerapan Program APU dan PPT. Selain itu, peranan Direksi dan Dewan Komisaris juga dapat memotivasi karyawan dan unit kerja dalam mendorong terbentuknya budaya kepatuhan di seluruh jajaran organisasi. Terbentuknya kerangka kerja tata kelola perusahaan (corporate governance) yang kuat dalam organisasi akan mendukung pengawasan terhadap pelaksanaan Pedoman Penerapan Program APU dan PPT yang dimiliki. A.
Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris 1.
Pengawasan aktif Direksi Bank Pengawasan aktif Direksi Bank paling kurang mencakup: a.
memastikan
Bank
memiliki
kebijakan
dan
prosedur
Program APU dan PPT; b.
mengusulkan kebijakan tertulis Program APU dan PPT kepada Dewan Komisaris;
c.
memastikan
penerapan
dilaksanakan
sesuai
Program
dengan
APU
kebijakan
dan
dan
PPT
prosedur
tertulis yang telah ditetapkan; d.
membentuk
Unit
Kerja
Khusus
yang
melaksanakan
Program APU dan PPT dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab terhadap Program APU dan PPT di Kantor Pusat;
8
81
e.
melakukan pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam menerapkan Program APU dan PPT;
f.
memastikan bahwa kantor cabang wajib memiliki pegawai atau pejabat yang menjalankan fungsi Unit Kerja Khusus. Untuk kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri, ketentuan ini berlaku juga untuk kantor cabang pembantu;
g.
memastikan bahwa kantor cabang dengan kompleksitas usaha yang tinggi memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf f dan terpisah dari satuan kerja yang melaksanakan kebijakan dan prosedur Program APU dan PPT;
h.
memastikan
bahwa
kebijakan
dan
prosedur
tertulis
mengenai Program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, aktivitas, dan teknologi Bank serta sesuai dengan perkembangan modus pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan i.
memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan Program APU dan PPT secara berkala.
Dalam melaksanakan pengawasan aktif Direksi, Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan paling kurang mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a.
menetapkan
langkah-langkah
memastikan
Bank
telah
yang
memenuhi
diperlukan ketentuan
untuk Bank
Indonesia mengenai Program APU dan PPT dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait; b.
memantau pelaksanaan tugas unit kerja khusus dan/atau pejabat Bank yang bertanggung jawab atas penerapan Program APU dan PPT;
c.
memberikan
rekomendasi
kepada
Direktur
Utama
mengenai pejabat yang akan memimpin Unit Kerja Khusus 9
82
atau pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan Program APU dan PPT; d.
memberikan
persetujuan
terhadap
Laporan
Transaksi
Keuangan Mencurigakan (LTKM); dan e.
mengevaluasi transaksi yang memerlukan persetujuan pejabat senior.
2.
Pengawasan aktif Dewan Komisaris Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup: a.
memberikan persetujuan atas kebijakan Program APU dan PPT;
b.
mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan Program APU dan PPT, termasuk komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia.
B.
Unit Kerja Khusus (UKK) 1.
UKK di Kantor Pusat a.
UKK merupakan unit kerja yang bertanggung jawab terhadap penerapan Program APU dan PPT, dengan jumlah karyawan
yang
memadai.
Penyediaan
sumber
daya
manusia yang memadai mencerminkan komitmen Bank terhadap penerapan Program APU dan PPT. b.
Berdasarkan pertimbangan beban tugas operasional dan kompleksitas usaha, Bank dapat menunjuk paling kurang seorang pejabat Bank yang bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi UKK.
c.
Dalam
menjalankan
tugasnya,
UKK
melapor
dan
bertanggung jawab kepada Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan. d.
Agar arahan dan ketentuan dari UKK dapat dilaksanakan dengan baik, Bank harus memiliki mekanisme kerja yang memadai, serta didokumentasikan oleh setiap unit kerja terkait dengan memperhatikan anti tipping off dan menjaga kerahasiaan informasi. 10
83
e.
Pejabat UKK atau pejabat Bank yang bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi UKK paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) memiliki pengetahuan
yang memadai mengenai APU
dan PPT dan peraturan lainnya yang terkait dengan produk dan aktivitas perbankan; 2) memiliki
pengalaman
yang
memadai
di
bidang
perbankan; dan 3) memiliki pengetahuan yang memadai mengenai risk assessment dan risk mitigation yang terkait dengan penerapan Program APU dan PPT. f.
Pejabat UKK atau pejabat Bank yang bertanggung jawab menjalankan fungsi UKK memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait dalam rangka pelaksanaan tugas.
g.
Tugas dan tanggung jawab UKK atau pejabat Bank yang bertanggung jawab terhadap penerapan Program APU dan PPT adalah: 1)
menyusun dan mengusulkan pedoman penerapan Program
APU
dan
PPT
kepada
Direktur
yang
membawahkan fungsi Kepatuhan; 2)
memastikan adanya sistem yang mendukung Program APU dan PPT, yaitu sistem yang antara lain dapat mengidentifikasi
Nasabah,
Transaksi
Keuangan
Mencurigakan, dan transaksi keuangan lainnya yang diwajibkan dalam Undang-undang; 3)
memantau
pengkinian
profil
Nasabah
dan
profil
transaksi Nasabah; 4)
melakukan
koordinasi
dan
pemantauan
terhadap
pelaksanaan kebijakan Program APU dan PPT dengan unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah; 5)
memastikan kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan perkembangan Program APU dan PPT yang 11
84
terkini,
risiko
produk
Bank,
kegiatan
dan
kompleksitas usaha Bank, dan volume transaksi Bank; 6)
memantau kesesuaian transaksi keuangan dengan profil Nasabah khususnya Nasabah dan transaksi yang berisiko tinggi;
7)
menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan (red flag) dari unit kerja terkait dan melakukan analisis atas laporan tersebut;
8)
mengidentifikasikan transaksi yang memenuhi kriteria mencurigakan
berdasarkan
laporan
hasil
analisa
transaksi keuangan dari unit kerja terkait dan/atau hasil pemantauan yang dilakukan; 9)
menyusun LTKM dan laporan lainnya sebagaimana diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme,
untuk
berdasarkan
disampaikan
persetujuan
kepada Direktur
PPATK yang
membawahkan fungsi Kepatuhan; 10) memastikan bahwa: a) terdapat mekanisme kerja yang memadai dari setiap satuan kerja terkait kepada UKK atau kepada pejabat
yang
bertanggung
jawab
terhadap
penerapan Program APU dan PPT dengan menjaga kerahasiaan informasi; dan b) satuan kerja terkait melakukan fungsi dan tugas dalam rangka mempersiapkan laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan sebelum menyampaikannya kepada UKK atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap penerapan Program APU dan PPT. 11) memantau,
menganalisis,
dan
merekomendasi 12
85
kebutuhan pelatihan Program APU dan PPT bagi pegawai Bank; dan 12) berperan sebagai contact person bagi Bank Indonesia serta Penegak Hukum. 2.
UKK di Kantor Cabang a.
Pelaksanaan fungsi UKK di kantor cabang dilakukan oleh pejabat atau pegawai paling kurang setingkat dengan penyelia.
b.
Terhadap kantor cabang dengan kompleksitas usaha tinggi, pejabat atau pegawai yang menjalankan fungsi UKK tidak berasal dari unit kerja yang melaksanakan kebijakan dan prosedur Program APU dan PPT atau yang berhubungan dengan Nasabah.
c.
Terhadap kantor cabang dengan kompleksitas usaha tinggi dan
di
dalamnya
hanya
terdapat
unit
kerja
yang
berhubungan dengan Nasabah maka pejabat atau pegawai yang menjalankan fungsi UKK dapat: 1)
berasal dari kantor pusat atau kantor wilayah dengan tugas
dan
tanggung
jawab
khusus
mengawasi
pelaksanaan Program APU dan PPT di beberapa kantor cabang tertentu; atau 2)
dirangkap oleh pegawai dari unit kerja yang tidak berhubungan dengan Nasabah (non operasional) pada kantor cabang lainnya seperti unit kerja manajemen risiko.
Rangkap
jabatan
mempertimbangkan
diperkenankan
bahwa
satuan
kerja
dengan yang
melaksanakan kebijakan dan prosedur Program APU dan PPT terpisah dari satuan kerja yang mengawasi penerapannya. d.
Terhadap
kantor
cabang
dengan
kompleksitas
usaha
rendah maka pegawai yang menjalankan fungsi UKK dapat dirangkap oleh pegawai yang berasal dari unit kerja yang 13
86
berhubungan dengan Nasabah (operasional), sepanjang tugas
operasional
tersebut
tidak
mempengaruhi
independensi dan profesionalisme pegawai tersebut dalam menjalankan fungsi UKK. e.
Dalam menetapkan kompleksitas usaha kantor cabang, Bank menggunakan pendekatan berdasarkan risiko (risk based approach) dengan memperhatikan paling kurang halhal sebagai berikut: 1)
produk dan jasa Bank yang memerlukan persetujuan Bank Indonesia;
2)
jumlah Nasabah berisiko tinggi yang dimiliki;
3)
volume usaha kantor cabang;
4)
aktivitas transaksi dengan luar negeri; dan/atau
5)
lokasi kantor cabang berada pada wilayah yang masyarakatnya dikenal sebagai cash society.
Hal-hal yang mempengaruhi kompleksitas usaha kantor cabang sebagaimana contoh dalam angka 1) sampai 5) di atas, dituangkan dalam kebijakan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach). f.
Pejabat atau pegawai yang menjalankan fungsi UKK di kantor cabang memiliki paling kurang sebagai berikut: 1)
pengetahuan yang memadai mengenai APU dan PPT dan peraturan lainnya yang terkait dengan produk dan aktivitas perbankan;
2)
pengalaman yang memadai di bidang perbankan; dan
3)
kewenangan untuk mengakses data Nasabah dan informasi
lainnya
yang
terkait
dalam
rangka
pelaksanaan tugas menjalankan fungsi UKK di kantor cabang. g.
Tugas dan tanggung jawab pejabat atau pegawai yang menjalankan fungsi UKK di kantor cabang adalah sebagai berikut: 1)
memastikan
bahwa
kebijakan,
prosedur,
dan 14
87
peraturan lainnya yang terkait penerapan Program APU dan PPT di kantor cabang telah dilaksanakan secara efektif. 2)
memastikan bahwa persetujuan penerimaan dan/atau penolakan permohonan pembukaan rekening atau transaksi oleh calon Nasabah atau WIC yang tergolong berisiko tinggi diberikan oleh pejabat senior di kantor cabang setempat.
3)
memantau setiap validitas proses, checklist atau daftar periksa
dan
pelaksanaan
verifikasi
dokumen
pendukung pada saat pembukaan rekening dan/atau terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme; 4)
mengkoordinasikan dan memantau proses pengkinian data Nasabah dan memastikan bahwa pengkinian data tersebut sejalan dengan laporan rencana kegiatan pengkinian data yang dikoordinir oleh UKK di kantor pusat.
5)
menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan dari unit kerja terkait di kantor cabang, mengidentifikasikan, dan melakukan analisis atas laporan tersebut.
6)
menyusun
laporan
transaksi
keuangan
yang
berpotensi mencurigakan untuk disampaikan kepada UKK di kantor pusat. 7)
memberikan masukan yang terkait dengan penerapan Program APU dan PPT kepada pegawai di kantor cabang dan/atau UKK di kantor pusat.
8)
memantau,
menganalisis,
dan
merekomendasikan
kebutuhan
pelatihan Program APU dan PPT
para
pegawai di kantor cabang kepada UKK di kantor pusat.
15
88
BAB III KEBIJAKAN CUSTOMER DUE DILLIGENCE Customer
Due
Dilligence
(CDD)
merupakan
kegiatan
berupa
identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Calon Nasabah, Walk in Customer (WIC), atau Nasabah. A.
Bank wajib melakukan prosedur CDD pada saat: 1.
melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah. Hubungan usaha yang dimaksudkan dalam hal ini adalah antara lain pembukaan rekening, pemilikan kartu kredit, atau penyewaan safe deposit box. Apabila rekening merupakan rekening
joint
account atau rekening bersama maka CDD dilakukan terhadap seluruh pemegang rekening joint account tersebut; 2.
melakukan hubungan usaha dengan WIC. Dalam hal ini termasuk Nasabah Bank lain dimana Bank tidak memiliki akses untuk mendapatkan informasi mengenai Nasabah tersebut (WIC). Contoh: A adalah Nasabah Bank asing “X” cabang Singapura dan ingin melakukan transaksi di Bank asing “X” cabang Indonesia. A tidak memiliki rekening di Bank asing “X” cabang
Indonesia
dan
Bank
asing
“X”
tidak
memiliki
kemampuan untuk mendapatkan informasi mengenai profil A yang ada dalam sistem Bank asing “X” cabang Singapura. Pada saat melakukan transaksi di Bank asing “X” cabang Indonesia, A tergolong sebagai WIC. Dalam hal Bank asing “X” di Indonesia memiliki kemampuan untuk mendapatkan informasi mengenai profil A yang ada dalam sistem Bank asing “X” cabang Singapura, maka A tergolong sebagai Nasabah. 3.
Bank meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner.
4.
terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme, yaitu transaksi yang memenuhi salah satu kriteria dari transaksi 16
89
keuangan
mencurigakan
namun
masih
perlu
dilakukan
penelitian lebih lanjut (CDD ulang) untuk memastikan apakah transaksi
tersebut
tergolong
sebagai
Transaksi
Keuangan
Mencurigakan yang wajib dilaporkan kepada PPATK, dengan tetap memperhatikan ketentuan anti tipping off. B.
CDD ulang yang dimaksudkan pada huruf A angka 4 di atas ditujukan untuk mendapatkan informasi yang terkini mengenai profil Nasabah sehingga dapat dipastikan kesesuaian antara profil Nasabah dengan transaksi yang dilakukan. CDD ulang dapat dilakukan baik terhadap seluruh informasi maupun hanya terhadap sebagian
informasi,
sesuai
dengan
kebutuhan
Bank
dalam
memastikan kesesuaian antara profil Nasabah dengan transaksi yang dilakukan. C.
Perlakuan CDD ulang juga berlaku terhadap WIC yang melakukan transaksi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara baik yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
D.
Apabila CDD ulang dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya tipping off, Bank dapat melaporkan transaksi yang diindikasikan mencurigakan dalam LTKM tanpa didahului dengan proses CDD ulang.
E.
Untuk Nasabah dan/atau Bank koresponden di luar negeri (Bank Penerima atau Bank Penerus) yang telah melakukan hubungan usaha dengan Bank sebelum tanggal 28 Desember 2012, CDD ulang dilakukan sesuai dengan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) yaitu apabila: Nasabah Perorangan dan
Bank Penerima atau Bank
Nasabah Perusahaan
Penerus
a. terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan b. terdapat perubahan profil Nasabah yang bersifat signifikan
a. terdapat perubahan profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang bersifat substansial b. informasi pada profil Bank 17
90
Nasabah Perorangan dan
Bank Penerima atau Bank
Nasabah Perusahaan
Penerus
c. informasi pada profil Nasabah
Penerima dan/atau Bank
yang tersedia dalam Customer
Penerus yang tersedia belum
Identification File belum
dilengkapi dengan informasi
dilengkapi dengan dokumen
sebagaimana dimaksud
sebagaimana dimaksud dalam
dalam bab IX butir A.2.
Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 pada bab V. d. menggunakan rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif
F.
Bank dapat meminta pihak lain (outsourcing atau agen) untuk melakukan
CDD
berupa
permintaan informasi dan
pertemuan
langsung
(face
to
dokumen pendukung, serta
face), proses
verifikasi terhadap dokumen pendukung. G.
Dalam hal Bank menggunakan pihak lain dalam melakukan prosedur CDD, Bank harus: 1. memberikan informasi mengenai prosedur CDD kepada pihak lain; 2. memberikan pelatihan mengenai pelaksanaan CDD kepada pihak lain tersebut; dan 3. membuat perjanjian atau kontrak sebagai dasar kerja sama antara Bank dengan pihak lain dengan salah satu materi perjanjiannya adalah mewajibkan pihak lain untuk menerapkan prosedur CDD sesuai dengan prosedur Bank.
H.
Bank bertanggung jawab atas hasil CDD yang dilakukan oleh pihak lain mengingat pihak lain tersebut merupakan perpanjangan tangan dari Bank.
18
91
BAB IV KEBIJAKAN PENDEKATAN BERDASARKAN RISIKO (RISK BASED APPROACH)
A.
Pendekatan Berdasarkan Risiko Pelaksanaan Program APU dan PPT harus dilakukan dengan pendekatan berdasarkan risiko yang dituangkan dalam kebijakan secara tertulis dan komprehensif yang paling kurang mencakup: 1.
proses risk assesment yang meliputi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko terhadap seluruh faktor risiko yang bersifat material, dengan melakukan analisis terhadap hal-hal sebagai berikut: a.
seluruh karakteristik risiko yang melekat pada Bank dan upaya mitigasi risiko yang dilakukan; dan
b.
produk, jasa, dan aktivitas yang berisiko tinggi, termasuk Politically Exposed Person (PEP);
2.
pengukuran risiko yang paling kurang mencakup: a.
evaluasi secara berkala untuk memastikan ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan tingkat risiko dari produk, jasa, dan aktivitas yang berisiko tinggi, termasuk PEP; dan
b. 3.
penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko.
pendokumentasian hasil risk assessment terhadap ancaman, kerentanan (vulnerability), dan konsekuensi yang mungkin timbul dari aktivitas perbankan;
4.
pengkinian risk assessment secara berkala;
5.
penyediaan informasi mengenai risk assessment kepada otoritas yang berwenang atau Bank Indonesia;
6.
pengendalian dan prosedur mitigasi risiko;
7.
pemantauan terhadap penerapan fungsi pengendalian termasuk pengembangannya, apabila diperlukan; dan
8.
penetapan tindak lanjut yang diperlukan untuk mengelola dan memitigasi risiko yang berindikasi meningkat. 19
92
B.
Pengelompokan Nasabah dan WIC 1.
Kebijakan pendekatan berdasarkan risiko juga dilakukan dalam rangka pengelompokan: a.
Nasabah; dan
b.
WIC yang melakukan transaksi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara baik yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
2.
Pengelompokan Nasabah dan WIC sebagaimana dimaksud pada angka 1 paling kurang terdiri dari 3 (tiga) klasifikasi risiko, yaitu: a.
rendah, sehingga terhadap yang bersangkutan diterapkan prosedur
CDD
sederhana
sebagaimana
dimaksudkan
dalam Bab V huruf F. b.
menengah,
sehingga
terhadap
yang
bersangkutan
diterapkan prosedur CDD sebagaimana diatur dalam Bab V. c.
tinggi, sehingga terhadap yang bersangkutan diterapkan prosedur Enhanced Due Dilligence (EDD) sebagaimana dimaksud dalam Bab VII.
3.
Penetapan klasifikasi tingkat risiko tidak berlaku bagi Nasabah atau WIC yang tergolong PEP atau pihak yang terafiliasi dengan PEP,
sehingga
yang
bersangkutan
secara
otomatis
diklasifikasikan sebagai Nasabah atau WIC berisiko tinggi. 4.
Untuk efektivitas pengelompokan Nasabah diperlukan informasi baik dari Nasabah itu sendiri maupun dari informasi lainnya yang tersedia di masyarakat, seperti media cetak, media elektronik, dan internet. Semakin banyak informasi yang diperoleh akan mempermudah proses pengelompokan Nasabah. Selain itu, tingkat kesalahan dalam pengelompokan Nasabah relatif dapat diminimalkan.
5.
Pengelompokan Nasabah dan WIC sebagaimana dimaksud pada angka
2
harus
didokumentasikan
dan
dipantau
secara 20
93
berkesinambungan untuk memastikan kesesuaian tingkat risiko yang telah ditetapkan. 6.
Penilaian
risiko
(risk
assessment)
secara
memadai
perlu
dilakukan terhadap Nasabah yang telah menjalani hubungan usaha
dalam
jangka
mempertimbangkan
waktu
informasi
tertentu,
serta
profil
dengan
cara
Nasabah
serta
kebutuhan Nasabah terhadap produk dan jasa yang ditawarkan Bank. 7.
Apabila terdapat ketidaksesuaian antara transaksi dan/atau profil Nasabah dengan tingkat risiko yang telah ditetapkan, Bank harus menyesuaikan tingkat risiko dengan cara: a.
menerapkan prosedur CDD bagi Nasabah yang semula tergolong
berisiko
rendah
berubah
menjadi
berisiko
menengah sesuai dengan penetapan tingkat risiko yang baru; dan/atau b.
menerapkan prosedur EDD bagi Nasabah yang semula tergolong berisiko rendah atau menengah berubah menjadi berisiko tinggi.
C.
Penilaian Profil Risiko Menggunakan Pendekatan Berdasarkan Risiko 1.
Profil risiko menggambarkan tingkat risiko dari Nasabah, produk maupun jasa yang memiliki potensi pencucian uang atau pendanaan teroris.
2.
Bank wajib memiliki prosedur pendekatan berdasarkan risiko sesuai dengan tingkat kompleksitas usaha Bank dan dikelola secara memadai.
3.
Profil risiko merupakan nilai akhir dari seluruh komponen penilaian yang ditetapkan berdasarkan rating yang paling dominan dari seluruh komponen. Klasifikasi profil risiko terdiri dari risiko rendah, menengah, atau tinggi.
4.
Dalam hal tidak terdapat rating yang paling dominan namun terdapat komposisi yang seimbang atau sama dari komponen 21
94
penilaian, maka profil risiko yang digunakan adalah profil risiko yang lebih ketat. 5.
Dalam hal nilai akhir dari seluruh komponen penilaian adalah rendah, maka terhadap yang bersangkutan perlu diuji terlebih dahulu apakah Nasabah tersebut memenuhi kriteria memperoleh
penerapan
CDD
sederhana
untuk
sebagaimana
dimaksudkan dalam Bab V huruf F. Apabila memenuhi, maka terhadap Nasabah tersebut diberikan pengecualian beberapa persyaratan, namun apabila tidak memenuhi maka Nasabah tersebut ditetapkan sebagai Nasabah yang berisiko menengah. 6.
Untuk
memudahkan
pelaksanaan
pemantauan
terhadap
Nasabah PEP yang tergolong berisiko tinggi, Bank dapat mengelompokkan
kembali
sesuai
tingkat
risiko
dengan
mempertimbangkan antara lain masa jabatan PEP. Contoh: Frekuensi pemantauan terhadap Nasabah berisiko tinggi sesuai dengan kebijakan Bank adalah misal setiap 1 (satu) tahun. Berdasarkan
kebijakan
tersebut
terhadap
Nasabah
PEP
dikelompokkan sebagai berikut: Masa Jabatan
7.
Frekuensi Pemantauan
Masih aktif menjabat
Setiap 3 bulan
Sudah tidak aktif atau pensiun < 1 tahun
Setiap 6 bulan
Sudah tidak aktif atau pensiun 1-3 tahun
Setiap 9 bulan
Sudah tidak aktif atau pensiun > 3 tahun
Setiap 12 bulan
Penetapan profil risiko WIC antara lain dengan melakukan analisis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan faktor risiko, sebagai berikut: a.
Identitas Sebagai contoh: Kondisi identitas Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko tinggi sehingga memerlukan analisis antara lain apabila: 1)
Nasabah
tidak
memiliki
dokumen
identitas
dan
dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas 22
95
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ketentuan yang berlaku. 2)
Data
atau
informasi
identitas
yang
disampaikan
Nasabah tidak sesuai dengan profil Nasabah. 3)
Dokumen
identitas
calon
Nasabah
palsu
atau
dokumen identitas asli tapi data atau informasi palsu. 4)
Dokumen pendukung identitas Nasabah khususnya dokumen perusahaan tidak lengkap, misalnya ijin-ijin perusahaan, Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga, Pemegang Kuasa atau Kewenangan bertindak mewakili perusahaan.
Kondisi identitas Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko menengah antara lain apabila: 1) Jangka waktu berlakunya dokumen identitas Nasabah sudah
kadaluarsa,
namun
tidak
ada
perubahan
terhadap alamat tempat tinggal Nasabah dimaksud yang telah diyakini kebenarannya oleh Bank. 2) Informasi pekerjaan dalam dokumen identitas sudah tidak
sesuai
Ketidaksesuaian
dengan
profil
tersebut
Nasabah
bukan
karena
terkini. faktor
kesengajaan dari Nasabah, misal dalam dokumen identitas
pekerjaan
sedangkan
menurut
tertulis
sebagai
pengakuan
mahasiswa,
Nasabah
yang
bersangkutan telah bekerja dan pengakuan Nasabah dimaksud diyakini kebenarannya oleh Bank. Kondisi identitas Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko rendah antara lain apabila Nasabah memberikan dokumen identitas lebih dari 1 (satu) yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan paspor dengan informasi yang sama dan diyakini kebenarannya oleh Bank. b.
Lokasi Usaha bagi Nasabah perusahaan Sebagai contoh: Kondisi lokasi usaha Nasabah dapat digolongkan sebagai 23
96
risiko tinggi sehingga memerlukan analisis antara lain apabila: 1)
Lokasi usaha calon Nasabah berada di yurisdiksi yang ditetapkan berisiko tinggi oleh lembaga atau badan internasional terhadap kondisi suatu yurisdiksi.
2)
Lokasi usaha Nasabah berada dalam wilayah rawan tingkat kejahatan atau kriminal seperti kejahatan terhadap penyelundupan atau produk ilegal, dan kejahatan teroris.
3)
Lokasi usaha Nasabah berada di zona perdagangan bebas.
4)
Perusahaan yang berlokasi di negara atau wilayah yang tergolong tax haven.
Kondisi lokasi usaha Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko menengah antara lain apabila: 1)
Nasabah Warga Negara Asing (WNA) yang bertempat tinggal
di
negara
yang
merupakan
salah
satu
yurisdiksi yang ditetapkan berisiko tinggi oleh FATF, namun berdasarkan hasil penilaian FATF diketahui bahwa kelemahan regim APU dan PPT di negara tersebut tidak terkait dengan rekomendasi yang wajib dipenuhi oleh sektor keuangan di negara tersebut. 2)
Nasabah dengan pekerjaan sebagai pedagang batu mulia
dan
bertempat
tinggal
di
wilayah
yang
merupakan penghasil batu mulia. Kondisi
lokasi
usaha
Nasabah
perusahaan
dapat
digolongkan sebagai risiko rendah antara lain apabila lokasi usaha Nasabah perusahaan berdekatan dengan lokasi Bank. c.
Profil Nasabah Sebagai contoh: Kondisi profil Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko tinggi sehingga memerlukan analisis antara lain apabila: 24
97
1)
Nasabah yang tidak memiliki penghasilan secara regular;
2)
Tergolong
sebagai
PEP
atau
memiliki
hubungan
dengan PEP; 3)
Aparat penegak hukum;
4)
Orang-orang yang melakukan jenis-jenis kegiatan atau sektor usaha yang rentan terhadap pencucian uang;
5)
Pihak-pihak
yang
dicantumkan
dalam
daftar
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau daftar lainnya yang dikeluarkan oleh organisasi internasional sebagai teroris, organisasi teroris ataupun organisasi yang melakukan
pendanaan
atau
melakukan
penghimpunan dana untuk kegiatan terorisme; 6)
Pegawai dari instansi atau lembaga yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.
Kondisi profil Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko menengah antara lain apabila: 1)
Ibu rumah tangga atau pelajar atau mahasiswa dengan Beneficial Owner (suami atau orang tua) tidak tergolong sebagai PEP.
2)
Pegawai instansi pemerintah, khususnya yang terkait dengan
pelayanan
publik,
seperti
pegawai
yang
bertanggung jawab melayani kesehatan masyarakat. Kondisi profil Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko rendah antara lain apabila profil Nasabah adalah pegawai suatu
perusahaan
yang
telah
memiliki
kerja
sama
pembayaran gaji pegawai (payroll) dengan Bank dimana Nasabah tersebut tercatat. d.
Jumlah Transaksi Sebagai contoh: Kondisi jumlah transaksi Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko tinggi sehingga memerlukan analisis antara lain apabila: 25
98
1)
Pada saat pembukaan rekening, Nasabah melakukan transaksi dengan nilai besar atau signifikan namun informasi mengenai sumber dana dan tujuan transaksi tidak sesuai dengan profil ataupun tujuan pembukaan rekening.
2)
Nasabah melakukan sejumlah transaksi dalam nilai kecil namun secara akumulasi merupakan transaksi bernilai besar atau signifikan.
3)
Transaksi tunai dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan profil Nasabah.
Kondisi jumlah transaksi Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko menengah antara lain apabila: 1)
Pada saat pembukaan rekening, Nasabah melakukan transaksi dalam nilai besar atau signifikan dengan informasi mengenai sumber dana dan tujuan transaksi mendukung transaksi tersebut dan sesuai dengan tujuan
pembukaan
rekening,
misalnya
untuk
menampung hasil kegiatan usaha. 2)
Transaksi
tunai
dalam
underlying
transaction
jumlah
yang
sesuai
besar
dengan
dengan
profil
Nasabah. Kondisi jumlah transaksi Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko rendah antara lain apabila jumlah transaksi relatif kecil dan sesuai dengan profil Nasabah. e.
Kegiatan Usaha Nasabah Sebagai contoh: Kondisi kegiatan usaha Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko tinggi sehingga memerlukan analisis antara lain apabila: 1)
Kegiatan usaha yang berbasis uang tunai seperti mini market,
jasa
pengelolaan
Stasiun
Pengisian
Bahan
parkir,
rumah
makan,
Bakar
Umum
(SPBU),
pedagang isi pulsa. 26
99
2)
Kegiatan usaha yang memberikan jasa pengurusan dokumen hukum.
3)
Kegiatan usaha yang melakukan perdagangan rumah, saham, perhiasan, mobil atau aset lainnya.
4)
Kegiatan usaha yang memasarkan produknya melalui internet.
5)
Perusahaan perdagangan ekspor atau impor.
6)
Advokat, akuntan atau konsultan keuangan.
7)
Kegiatan usaha multi level marketing.
8)
Kegiatan usaha nirlaba.
Kondisi kegiatan usaha Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko menengah antara lain apabila kegiatan usaha yang menyediakan jasa penukaran atau pengiriman uang dan memiliki izin dari otoritas yang berwenang. Kondisi kegiatan usaha Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko rendah antara lain apabila kegiatan usaha yang dikelola oleh individual dan tergolong usaha kegiatan mikro,
seperti
pedagang
di
pasar
tradisional,
usaha
kerajinan. f.
Struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan Sebagai contoh: Kondisi struktur kepemilikan Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko tinggi sehingga memerlukan analisis antara lain apabila: 1)
struktur sehingga
kepemilikan akses
perusahaan
untuk
yang
kompleks
mendapatkan
informasi
terbatas; 2)
komposisi
pemilik
perusahaan
berbadan
hukum
Indonesia mayoritas adalah WNA dan tidak memiliki dokumen
pendukung
identitas
yang
memadai,
misalnya tidak memiliki KIMS/KITAS; 3)
terdapat
Beneficial
Owner
yang
mengendalikan
perusahaan; 27
100
4)
terdapat pemberitaan negatif dalam media massa mengenai Beneficial Owner perusahaan dimaksud, sehingga mengakibatkan tingkat risiko perusahaan menjadi tinggi;
5)
perusahaan yang didirikan dan/atau dimiliki oleh badan hukum berdasarkan hukum di negara-negara tax
haven
yang
sulit
menyediakan
informasi
kepemilikan Ultimate Beneficial Owner atau apabila kepemilikan perusahaan tersebut didasarkan pada saham dalam bentuk atas unjuk sehingga perubahan pemegang saham sangat mudah terjadi; atau 6)
perusahaan yang didirikan dan/atau dimiliki oleh PEP atau pihak yang terafiliasi dengan PEP.
Kondisi struktur kepemilikan Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko menengah antara lain apabila: 1)
komposisi
pemilik
perusahaan
berbadan
hukum
Indonesia mayoritas adalah WNA dilengkapi dengan dokumen pendukung identitas yang memadai, misal memiliki KIMS/KITAS; 2)
terdapat
Beneficial
Owner
yang
mengendalikan
perusahaan dengan informasi yang memadai; Kondisi struktur kepemilikan Nasabah dapat digolongkan sebagai risiko rendah antara lain apabila perusahaan dimiliki
atau
dikendalikan
oleh
Pemerintah
Republik
Indonesia (“Pemerintah”). g.
Informasi lainnya Kondisi informasi Nasabah lainnya dapat digolongkan sebagai risiko tinggi sehingga memerlukan analisis antara lain
apabila
kebenarannya
dari
informasi
diketahui
yang
bahwa
dapat
Nasabah
diyakini memiliki
hubungan kedekatan atau bisnis dengan PEP. Kondisi informasi Nasabah lainnya dapat digolongkan sebagai risiko menengah antara lain apabila pada saat 28
101
Nasabah melakukan transaksi yang signifikan yang tidak sesuai dengan profilnya, diperoleh informasi yang dapat diyakini
kebenarannya
oleh
Bank
bahwa
Nasabah
dimaksud mendapatkan warisan dari orang tuanya dalam jumlah yang besar atau memperoleh aset lain dari sumber yang sah secara hukum. Kondisi informasi Nasabah lainnya dapat digolongkan sebagai
risiko
rendah
antara
lain
apabila
Nasabah
merupakan peserta program Pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 8.
Penetapan profil risiko WIC antara lain dengan melakukan analisis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan faktor risiko, sebagai berikut: a. Identitas Rendah
Menengah
Tinggi
WIC memberikan Jangka waktu WIC tidak memiliki dokumen identitas berlakunya dokumen lebih dari 1 (satu). dokumen identitas identitas. WIC sudah kadaluarsa namun tidak ada perubahan alamat tempat tinggal WIC dimaksud yang telah diyakini kebenarannya oleh Bank. b. Lokasi usaha bagi WIC perusahaan Rendah
Menengah
Tinggi
Berdekatan Berada di sentra Berada dalam dengan lokasi industri kegiatan wilayah rawan Bank usaha WIC tingkat kejahatan
29
102
c. Profil Rendah
Menengah
Tergolong sebagai Pengusaha PJK yang memiliki ijin dari otoritas
Tinggi Tergolong PEP
sebagai
d. Nilai transaksi Rendah Rp100 juta
Menengah
Tinggi
Rp200 juta < nilai di atas Rp500 juta transaksi < Rp500 juta
e. Kegiatan usaha Rendah
Menengah
Tinggi
PJK yang memiliki Perusahaan yang PJK yang tidak ijin dari otoritas kegiatan usahanya memiliki ijin dari berbasis uang otoritas tunai f. Struktur kepemilikan bagi WIC perusahaan Rendah
Menengah
Dimiliki atau Mayoritas dimiliki dikendalikan oleh oleh WNA yang Pemerintah dilengkapi dengan dokumen pendukung identitas yang memadai
Tinggi Struktur kompleks, sehingga akses untuk mendapatkan informasi terbatas
g. Informasi lainnya, seperti frekuensi transaksi Rendah
Menengah
Transaksi Transaksi dilakukan hanya 1 dilakukan (satu) kali insidental
Tinggi
Transaksi secara dilakukan rutin
secara
30
103
9.
Selain hal sebagaimana dimaksud pada angka 7 dan 8, Bank dapat mengembangkan sendiri metode untuk memperoleh profil risiko Nasabah sesuai dengan kebutuhan dan profil risiko dari masing-masing Bank.
31
104
BAB V PROSEDUR PENERIMAAN, IDENTIFIKASI DAN VERIFIKASI (CUSTOMER DUE DILLIGENCE) A.
Kebijakan Penerimaan dan Identifikasi Nasabah 1.
Bank wajib memiliki kebijakan tentang penerimaan Nasabah dan identifikasi calon Nasabah, termasuk dalam berhubungan dengan
WIC
yang sekurang-kurangnya
mencakup
hal-hal
sebagai berikut: a.
permintaan informasi mengenai calon Nasabah;
b.
permintaan bukti-bukti identitas dan dokumen pendukung informasi dari calon Nasabah;
c.
penelitian atas kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah;
d.
permintaan
kartu
identitas
lebih
dari
satu
yang
dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, apabila terdapat keraguan terhadap kartu identitas yang ada; e.
apabila diperlukan dapat dilakukan wawancara dengan calon
Nasabah
untuk
memperoleh
keyakinan
atas
kebenaran informasi, bukti-bukti identitas dan dokumen pendukung Calon Nasabah; f.
larangan
untuk membuka atau
memelihara
rekening
anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif; g.
pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas Calon Nasabah;
h.
kewaspadaan terhadap transaksi atau hubungan usaha dengan Calon Nasabah yang berasal atau terkait dengan negara
yang
belum
memadai
dalam
melaksanakan
rekomendasi FATF; dan i.
penyelesaian proses verifikasi identitas calon Nasabah dan Beneficial Owner atau WIC dilakukan sebelum membina hubungan usaha dengan Calon Nasabah atau sebelum 32
105
melakukan transaksi dengan WIC. 2.
Calon Nasabah wajib diidentifikasikan dan diklasifikasikan ke dalam kelompok perorangan dan perusahaan. Dalam hal Calon Nasabah adalah Nasabah perusahaan maka dalam kelompok Nasabah perusahaan tersebut mencakup pula Beneficial Owner.
3.
Bank wajib menolak untuk membuka rekening Calon Nasabah dan atau menolak melaksanakan transaksi yang dilakukan oleh WIC yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a sampai dengan huruf i;
b.
diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu;
c.
menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya; dan/atau
d.
berbentuk Shell Bank atau dengan Bank yang mengizinkan rekeningnya digunakan oleh Shell Bank.
4.
Bank wajib mendokumentasikan Calon Nasabah atau WIC yang memenuhi kriteria pada angka 3 di atas dalam suatu daftar tersendiri
dan
melaporkannya
dalam
LTKM
apabila
transaksinya tidak wajar atau mencurigakan. 5.
Bank wajib memberitahukan kewenangan Bank untuk menolak transaksi,
membatalkan
transaksi,
dan/atau
menutup
hubungan usaha dengan Nasabah sebagaimana tercantum dalam perjanjian pembukaan rekening, apabila setelah menjadi Nasabah,
yang
bersangkutan
melakukan
transaksi
yang
memenuhi kriteria: a.
sebagaimana dimaksud pada angka 3; dan/atau
b.
memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
B.
Permintaan Informasi 1.
Dalam rangka melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, Bank wajib meminta informasi untuk mengetahui profil Calon Nasabah. 33
106
2.
Informasi yang harus diminta Bank dari Calon Nasabah paling kurang sebagai berikut: Tabel 1 Informasi Calon Nasabah
Perusahaan Perorangan (a)
(termasuk Bank) (b)
Yayasan/ Perkumpulan (c)
Lembaga Pemerintahan, Instansi Pemerintah, Lembaga Internasional, Perwakilan Negara Asing (d)
a. Nama yayasan/perk umpulan
a. Nama lengkap termasuk alias
a. Nama perusahaan
b. Nomor dokumen identitas
b. Nomor izin b. Nomor izin usaha dari bidang instansi yang kegiatan/ berwenang usaha c. Bidang (termasuk usaha bidang d. Alamat kegiatan/ kedudukan usaha) atau tujuan e. Tempat dan yayasan atau tanggal nomor bukti pendirian pendaftaran f. Bentuk pada instansi badan yang hukum berwenang g. Identitas c. Alamat Beneficial kedudukan Owner d. Tempat dan apabila tanggal memiliki pendirian h. Sumber e. Bentuk badan dana
c. Alamat tempat tinggal yang sesuai dengan dokumen identitas d. Alamat tempat tinggal lain apabila ada e. Tempat dan tanggal lahir f. Kewarganegaraan g. Sumber dana h. Jenis kelamin i. Status perkawinan j. Identitas Beneficial Owner apabila ada
a. Nama b. Alamat kedudukan
34
107
Perusahaan Perorangan (a)
(termasuk Bank) (b)
Yayasan/ Perkumpulan (c)
Lembaga Pemerintahan, Instansi Pemerintah, Lembaga Internasional, Perwakilan Negara Asing (d)
k. Pekerjaan (nama i. Maksud dan perusahaan/ tujuan institusi, alamat hubungan perusahaan usaha /institusi, dan j. Informasi jabatan/golongan) lain l. Perkiraan nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun m. Rata-rata penghasilan
hukum f. Identitas Beneficial Owner apabila memiliki g. Sumber dana h. Maksud dan tujuan hubungan usaha i. Informasi lain
n. Maksud dan tujuan hubungan usaha o. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) *) p. Informasi lain *) bagi NPWP Calon Nasabah yang berdasarkan undang-undang yang berlaku wajib memiliki NPWP dan telah memiliki NPWP. 3.
Informasi yang harus diminta Bank dari Calon Nasabah perorangan berupa: a. Alamat tempat tinggal, termasuk alamat tempat tinggal lain apabila Calon Nasabah yang memiliki alamat tempat tinggal berbeda dengan alamat tercatat pada dokumen identitas; 35
108
b. perkiraan nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun, paling kurang menggambarkan rata-rata transaksi dalam 1 (satu) tahun; dan c.
informasi lainnya, apabila diperlukan untuk mengetahui profil
calon
Nasabah
lebih
dalam
seperti
rata-rata
penghasilan dalam 1 (satu) tahun, nomor telepon dan alamat
penagihan
telepon/listrik/kartu
kredit,
dan
termasuk informasi yang diperintahkan oleh ketentuan dan peraturan
perundang-undangan
yang
terkait,
misal
ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia atau otoritas lainnya; 4.
Dalam hal yang akan melakukan transaksi dengan Bank adalah WIC, maka informasi yang wajib diminta oleh Bank paling kurang sebagai berikut: Tabel 2 Informasi WIC
Transaksi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara Perorangan
Perusahaan
a. Nama lengkap termasuk alias.
a. Nama perusahaan
b. Nomor dokumen identitas c. Alamat tempat tinggal sesuai dengan dokumen identitas d. Alamat tempat tinggal lain apabila ada
Transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara Perorangan
Perusahaan
a. Nama lengkap a. Nama termasuk perusahaan alias b. Nomor izin b. Alamat usaha dari b. Nomor kedudukan instansi yang dokumen berwenang identitas c. Bidang usaha d. Alamat kedudukan
e. Tempat dan tanggal lahir
e. Tempat dan tanggal pendirian
f. Kewarganegaraan
f. Bentuk
c. Alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas
36
109
Transaksi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara Perorangan
Perusahaan
h. Jenis kelamin
j. Identitas Beneficial Owner apabila ada
Perorangan
Perusahaan
badan hukum
g. Pekerjaan
i. Status perkawinan
Transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara
g. Identitas Beneficial Owner apabila ada h. Sumber dana
i. Maksud dan tujuan l. Perkiraan nilai hubungan transaksi dalam 1 usaha (satu) tahun j. Informasi m. Rata-rata lain penghasilan k. Sumber dana
n. Maksud dan tujuan hubungan usaha o. NPWP p. Informasi lain 5.
Transaksi dengan WIC dengan nilai sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja sebagaimana dimaksud pada Tabel 2 adalah transaksi yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
dilakukan pada kantor Bank yang sama; dan
b.
jenis transaksi yang dilakukan adalah transaksi yang sama, misal transaksi penyetoran, transaksi penarikan, transaksi
pengiriman
atau
transfer
uang,
transaksi
pencairan cek, dan bukan merupakan gabungan dari beberapa transaksi yang berbeda jenis transaksinya. 37
110
C.
Permintaan Dokumen Pendukung 1.
Calon Nasabah Perorangan a.
Untuk informasi pada Tabel 1 kolom (a) wajib didukung dengan dokumen identitas yang masih berlaku berupa KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor yang masih berlaku, mencantumkan foto diri, dan diterbitkan oleh pihak yang berwenang. Ketentuan ini juga berlaku bagi WIC sebagaimana dimaksud di Tabel 2.
b.
Khusus
untuk
Calon
Nasabah
perorangan,
dokumen
pendukung identitas juga disertai dengan spesimen tanda tangan atau cap jempol atau sidik jari. c.
Dokumen pendukung bagi NPWP berupa salinan kartu NPWP, Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), atau dokumen lainnya yang mencantumkan NPWP dan nama pemilik NPWP. Dalam hal Calon Nasabah atau Nasabah merupakan pihak
yang
berdasarkan
undang-undang
tidak
wajib
memiliki NPWP seperti ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan, pelajar atau mahasiswa, maka NPWP yang digunakan adalah NPWP dari Beneficial Owner Calon Nasabah atau Nasabah tersebut
antara lain suami dan
orangtua dari Calon Nasabah atau Nasabah. d.
Dalam
hal
Calon
Nasabah
perorangan
berdasarkan
undang-undang diwajibkan memiliki NPWP namun belum memilikinya, maka Bank meminta surat pernyataan dari Calon
Nasabah
yang
menjelaskan
bahwa
yang
bersangkutan belum memiliki NPWP dan berkomitmen akan segera menyampaikan setelah memiliki NPWP. e.
Untuk
Calon
Nasabah
perorangan
WNA,
termasuk
perorangan yang ditunjuk bertindak untuk dan atas nama perusahaan, maka dokumen identitas adalah paspor yang disertai dengan Kartu Izin Tinggal sesuai dengan ketentuan keimigrasian. Dalam hal Calon Nasabah perorangan WNA tidak menetap di Indonesia, maka dokumen Kartu Izin 38
111
Tinggal dapat digantikan oleh dokumen lainnya yang dapat memberikan keyakinan kepada Bank tentang profil Calon Nasabah WNA tersebut antara lain surat referensi dari: 1)
seorang
berkewarganegaraan
Indonesia
atau
perusahaan atau instansi atau Pemerintah mengenai profil Calon Nasabah WNA tersebut; atau 2)
PJK di negara atau yurisdiksi tempat kedudukan Calon Nasabah yang tidak tergolong berisiko tinggi.
2.
Calon Nasabah Perusahaan a.
Untuk informasi pada Tabel 1 kolom (b) wajib didukung dengan dokumen identitas perusahaan yaitu berupa: 1)
Akta pendirian dan/atau anggaran dasar perusahaan. Untuk perusahaan yang berbadan hukum asing, maka dokumen
identitas
yang
dimaksudkan
adalah
dokumen lainnya yang sejenis dengan akta pendirian dan/atau anggaran dasar sesuai dengan peraturan otoritas di negara tempat kedudukan perusahaan tersebut; dan 2)
Izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang. Contoh: izin usaha dari Bank Indonesia bagi Pedagang Valuta Asing dan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, atau izin usaha dari Kementerian Kehutanan bagi kegiatan usaha di bidang perkayuan atau kehutanan (Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Izin Pemanfaatan Kayu, Rencana Kerja Umum, dan Rencana Kerja Tahunan).
b.
Terhadap Calon Nasabah perusahaan yang didirikan di luar wilayah Indonesia, maka nama dan/atau jenis dokumen identitas perusahaan yang diminta disesuaikan dengan ketentuan hukum setempat yang memiliki fungsi setara.
c.
Di samping dokumen identitas perusahaan, Bank wajib memperoleh dokumen lainnya berupa:
39
112
Tabel 3 Dokumen Pendukung Calon Nasabah Perusahaan Perusahaan (selain Bank) Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Bukan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Perusahaan Berupa Bank
a. Spesimen a. Spesimen tanda a. Spesimen tanda tandatangan tangan anggota tangan anggota Pengurus atau pihak Direksi yang Direksi yang yang diberi kuasa berwenang mewakili berwenang melakukan perusahaan atau mewakili hubungan usaha pihak yang diberi perusahaan dengan Bank kuasa untuk atau pihak melakukan hubungan yang diberi b. Kartu NPWP bagi usaha dengan Bank kuasa untuk Nasabah yang melakukan diwajibkan untuk b. Kartu NPWP bagi hubungan memiliki NPWP Nasabah yang usaha dengan sesuai dengan diwajibkan untuk Bank ketentuan yang memiliki NPWP sesuai berlaku dengan ketentuan yang berlaku c. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dokumen lain dipersyaratkan instansi berwenang
atau c. Surat Izin Tempat yang Usaha (SITU) atau oleh dokumen lain yang yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang d. Laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan e. Struktur manajemen perusahaan f. Struktur kepemilikan perusahaan g. Dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili 40
113
Perusahaan (selain Bank) Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Bukan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Perusahaan Berupa Bank
perusahaan atau pihak yang diberi kuasa untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank 3.
Calon
Nasabah
Lembaga
berupa
Yayasan
Pemerintahan,
atau
Instansi
Perkumpulan
Pemerintah,
dan
Lembaga
Internasional dan Perwakilan Negara Asing a.
Untuk informasi pada Tabel 1 kolom (c) wajib didukung dengan dokumen identitas
yayasan atau perkumpulan
berupa akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang dan/atau berupa izin bidang kegiatan atau tujuan
yayasan
atau
bukti
pendaftaran
sebagai
perkumpulan pada instansi berwenang. b.
Untuk informasi pada Tabel 1 kolom (d) wajib didukung dengan dokumen surat penunjukan bagi pihak yang berwenang yang mewakili Lembaga Pemerintahan, Instansi Pemerintah,
lembaga
internasional,
perwakilan
negara
asing atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank. c.
Disamping dokumen pada huruf a dan huruf b, Bank wajib memperoleh dokumen lainnya berupa:
41
114
Tabel 4 Dokumen pendukung Nasabah selain Perorangan dan Perusahaan
Perkumpulan yang Berbadan Hukum
Yayasan
a. Deskripsi yayasan
Lembaga Pemerintahan, Instansi Pemerintah, Lembaga Internasional, dan Perwakilan Negara Asing
kegiatan a. Identitas penyelenggara
a. Spesimen tangan
tanda
b. Struktur dan nama b. Pihak yang pengurus yayasan berwenang mewakili perkumpulan dalam c. Dokumen identitas melakukan anggota pengurus hubungan usaha yang berwenang dengan Bank mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank D.
Beneficial Owner 1.
Bank wajib memastikan apakah calon Nasabah atau WIC yang membuka
hubungan
usaha
atau
melakukan
transaksi
bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan Beneficial Owner. 2.
Beneficial Owner adalah setiap orang yang: a.
merupakan
pemilik
sebenarnya
dari
dana
yang
ditempatkan pada Bank (ultimately own account). Pemilik sebenarnya dari dana yang dimaksud di sini termasuk sumber dana yang ditempatkan, contoh Nasabah dengan profil ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan, maka suami menjadi Beneficial Owner dari Nasabah tersebut;
42
115
b.
mengendalikan transaksi Nasabah, contoh Nasabah dengan profil pelajar Sekolah Dasar dan tidak memiliki penghasilan maka orang tua menjadi Beneficial Owner dari Nasabah tersebut;
c.
memberikan kuasa untuk melakukan transaksi, contoh seorang lanjut usia memberikan kuasa kepada anaknya untuk
melakukan
transaksi
dengan
Bank,
termasuk
pembukaan rekening atas nama anaknya, maka seorang lanjut usia tersebut menjadi Beneficial Owner dari rekening yang dibuka oleh anaknya; d.
mengendalikan badan hukum, contoh Nasabah perusahaan A dikendalikan oleh seseorang yang bernama B yang namanya
tidak
tercantum
dalam
anggaran
dasar
perusahaan A tersebut namun terdapat bukti bahwa B mengendalikan perusahaan A, maka B menjadi Beneficial Owner dari perusahaan A; dan/atau e.
merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian, contoh Nasabah perusahaan X dikendalikan oleh seseorang yang bernama Y yang namanya tidak tercantum dalam anggaran dasar. Selanjutnya berdasarkan sumber yang diyakini oleh Bank, Y dikendalikan lagi oleh seseorang bernama Z dan menetap di tax haven country. Dalam hal ini Z menjadi pengendali akhir (Ultimate Beneficial Owner) dari Nasabah perusahaan X.
3.
Apabila calon Nasabah atau WIC mewakili Beneficial Owner untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, Bank wajib melakukan prosedur CDD terhadap Beneficial Owner yang sama ketatnya dengan prosedur CDD bagi calon Nasabah atau WIC.
4.
Dalam hal Beneficial Owner tergolong sebagai PEP, maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur EDD, contoh calon Nasabah ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan 43
116
dengan sumber dana berasal dari suaminya yang tergolong PEP maka terhadap calon Nasabah tersebut dilakukan prosedur EDD. 5.
Terhadap Beneficial Owner, Bank wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya yang sama dengan calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4, ditambah dengan: Tabel 5 Bukti/Informasi Lainnya Terkait Beneficial Owner (BO)
BO dari Nasabah Perorangan
BO dari Nasabah Perusahaan/ Yayasan /Perkumpulan
BO dari Nasabah Berupa Bank Bank Lain di Dalam Negeri
Bank Lain di Luar Negeri*)
a. hubungan hukum a. dokumen pernyataan pernyataan antara calon dan/atau tertulis dari tertulis dari Nasabah atau WIC informasi Bank di dalam Bank di luar dengan Beneficial identitas pemilik negeri bahwa negeri Owner yang atau pengendali identitas bahwa ditunjukkan akhir identitas Beneficial dengan surat perusahaan, Owner telah Beneficial penugasan, surat yayasan, atau dilakukan Owner telah perjanjian, surat perkumpulan verifikasi oleh dilakukan kuasa atau bentuk b. pernyataan dari Bank lain di verifikasi Bank lainnya calon Nasabah dalam negeri oleh di luar b. pernyataan dari atau WIC tersebut negeri calon Nasabah mengenai tersebut atau WIC kebenaran mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner
identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner
44
117
*)
Bank lain di luar negeri yang dimaksudkan adalah bank lain di luar negeri yang menerapkan Program APU dan PPT yang paling kurang setara dengan ketentuan Bank Indonesia 6.
Termasuk Beneficial
sebagai Owner
Beneficial perorangan
Owner dari
perorangan
calon
adalah
Nasabah
yang
merupakan Lembaga Pemerintahan atau Instansi Pemerintah, contoh rekening Instansi Pemerintah yang fungsinya hanya untuk menampung setoran dana dari masyarakat untuk kegiatan tertentu, misal
rekening Instansi Pemerintah yang
menampung setoran untuk kegiatan haji, dengan sumber dana berasal dari para calon jemaah haji maka calon jemaah haji menjadi Beneficial Owner perorangan dari rekening Nasabah Instansi Pemerintah. 7.
Dalam
melakukan
identifikasi
terhadap
Calon
Nasabah
perusahaan, Bank wajib menetapkan Beneficial Owner. Dasar pertimbangan Bank dalam menetapkan Beneficial Owner adalah dengan tahapan sebagai berikut: a.
perorangan yang memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih;
b.
perorangan yang memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh
lima
persen)
namun
dapat
dibuktikan
yang
bersangkutan melakukan pengendalian; atau c.
perorangan dalam perusahaan tersebut yang menjabat sebagai anggota
direksi yang paling berperan dalam
pengendalian perusahaan. Sedangkan yang termasuk sebagai pengendali akhir adalah perorangan atau badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham perusahaan dan merupakan pengendali terakhir dari perusahaan dan/atau keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan perusahaan. 8.
Nasabah perorangan termasuk sebagai pengendali apabila memiliki kepentingan atas suatu transaksi yang dilakukan.
45
118
9.
Dokumen identitas pemilik atau pengendali akhir dapat berupa surat pernyataan atau dokumen lainnya yang memuat informasi mengenai identitas pemilik atau pengendali akhir.
10. Bagi Beneficial Owner berupa Lembaga Pemerintahan, Instansi Pemerintah, atau perusahaan yang terdaftar di bursa efek (listing), dokumen
tidak
memiliki
dan/atau
kewajiban
identitas
untuk
pengendali
menyampaikan
akhir.
Termasuk
pengertian perusahaan yang terdaftar di bursa efek adalah: a.
Nasabah perusahaan yang merupakan anak perusahaan (subsidiary) dari perusahaan yang terdaftar di bursa efek, dimana kepemilikan perusahaan induk adalah mayoritas.
b.
Nasabah perusahaan yang bukan merupakan perusahaan yang terdaftar di bursa efek namun kebijakan internal perusahaan tersebut mewajibkan adanya public expose yang memaparkan kepada publik untuk menjelaskan mengenai kinerja perusahaan tersebut sebagaimana yang berlaku pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek.
11. Pengecualian
terhadap
kewajiban
penyampaian
dokumen
dan/atau identitas pengendali akhir Beneficial Owner wajib didokumentasikan. 12. Apabila Bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas Beneficial Owner, Bank harus menolak untuk melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan Calon Nasabah atau WIC. E.
Verifikasi 1.
Bank wajib meneliti kebenaran informasi yang disampaikan oleh Calon Nasabah, Nasabah atau WIC dengan melakukan verifikasi terhadap dokumen pendukung berdasarkan dokumen dan/atau sumber
independen
lainnya
serta
memastikan
kekinian
informasi tersebut. 2.
Dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon Nasabah, verifikasi dilakukan dengan: 46
119
a.
pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha;
b.
melakukan wawancara dengan calon Nasabah apabila diperlukan;
c.
mencocokkan kesesuaian profil calon Nasabah dengan foto diri yang tercantum dalam kartu identitas;
d.
mencocokkan kesesuaian tanda tangan, cap jempol, atau sidik jari dengan dokumen identitas atau dokumen lainnya yang mencantumkan tanda tangan, cap jempol, atau sidik jari. Dokumen lainnya
antara
lain surat pernyataan
Nasabah, Kartu Keluarga, atau kartu kredit; e.
meminta kepada calon Nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, apabila timbul keraguan terhadap kartu identitas yang ada;
f.
menatausahakan salinan dokumen kartu identitas setelah dilakukan pencocokan dengan dokumen asli yang sah;
g.
melakukan pengecekan silang untuk memastikan adanya konsistensi dari berbagai informasi yang disampaikan oleh Calon Nasabah, antara lain seperti: 1)
menghubungi Nasabah melalui telepon (rumah atau kantor);
2)
menghubungi pejabat Sumber Daya Manusia tempat Nasabah bekerja apabila pekerjaan Nasabah adalah karyawan suatu perusahaan atau instansi;
3)
melakukan
konfirmasi
atas
penghasilan
Nasabah
dengan mensyaratkan rekening koran dari Bank lainnya; atau 4)
melakukan analisis informasi geografis untuk melihat kondisi
hutan
melalui
teknologi
remote
sensing
terhadap calon Nasabah perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan. h.
memastikan bahwa Calon Nasabah tidak memiliki rekam 47
120
jejak negatif dengan melakukan verifikasi identitas Calon Nasabah menggunakan sumber independen lainnya antara lain sebagai berikut: 1)
Daftar Teroris dan/atau Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris yang diterbitkan oleh Kepolisian Republik Indonesia;
2)
Daftar Hitam Nasional (DHN);
3)
Data lainnya yang dimiliki Bank, seperti major credit card, identitas pemberi kerja dari Calon Nasabah, rekening telepon dan rekening listrik.
i.
memastikan adanya kemungkinan hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan.
3.
Proses verifikasi identitas calon Nasabah dan Beneficial Owner wajib diselesaikan sebelum membina hubungan usaha dengan Calon Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan WIC.
4.
Untuk
kepentingan
Mencurigakan
kepada
pelaporan PPATK,
Transaksi
Bank
harus
Keuangan memperoleh
informasi paling kurang adalah nama, nomor identitas, alamat dan tempat tanggal lahir sesuai dengan salinan dokumen identitas yang diperoleh Bank terhadap Calon Nasabah, WIC, atau Beneficial Owner yang hubungan usaha atau transaksinya ditolak apabila transaksinya mencurigakan. 5.
Dalam kondisi tertentu, proses verifikasi dapat diselesaikan kemudian, yaitu paling lambat: a.
untuk Nasabah perorangan, 14 (empat belas) hari kerja setelah dilakukannya hubungan usaha.
b.
untuk Nasabah perusahaan yang masih dalam proses pendirian,
90
(sembilan
puluh)
hari
kerja
setelah
dilakukannya hubungan usaha. 6.
Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 5 yaitu: a.
kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat hubungan
usaha
akan
dilakukan
misalnya
karena
dokumen masih dalam proses pengurusan. Contoh: 48
121
1)
Dokumen identitas Calon Nasabah S sedang dalam proses perpanjangan, maka S dapat menyampaikan dokumen identitas kepada Bank 14 (empat belas) hari kerja kemudian setelah S menjadi Nasabah Bank;
2)
Perusahaan P yang dalam proses pendirian belum memiliki anggaran dasar yang telah disahkan oleh otoritas
yang
berwenang,
dengan
demikian
perusahaan P dapat menyampaikan anggaran dasar yang
telah
disahkan
sebagai
dokumen
identitas
kepada Bank 90 (sembilan puluh) hari kerja kemudian setelah perusahaan P menjadi Nasabah Bank; b.
apabila tingkat risiko calon Nasabah perorangan tergolong rendah.
7.
Bank wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah
dan/atau
melaksanakan
transaksi
dengan
WIC
apabila: a.
tidak memenuhi ketentuan permintaan informasi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9;
b.
diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu yaitu dokumen identitas (KTP, SIM, paspor) dan/atau dokumen lainnya, yang tidak terdaftar pada instansi yang berwenang atau tidak dapat diverifikasi kebenarannya;
c.
menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya; dan/atau
d.
berbentuk
Shell
Bank
atau
Bank
yang
mengijinkan
rekeningnya digunakan oleh Shell Bank. F.
CDD yang lebih sederhana (CDD sederhana) 1.
Bank dapat menerapkan prosedur CDD sederhana terhadap Calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria sebagai berikut: 49
122
a.
tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran atau penerimaan gaji, misalnya rekening milik perusahaan yang digunakan untuk pembayaran gaji karyawan perusahaan tersebut secara periodik dan/atau rekening karyawan yang digunakan hanya untuk menerima gaji dari pemberi kerja;
b.
Calon Nasabah berupa perusahaan publik (perusahaan yang
terdaftar
peraturan
pada
tentang
bursa
efek)
kewajiban
yang
untuk
tunduk
pada
mengungkapkan
kinerjanya sehinga informasi tentang identitas perusahaan dan Beneficial Owner dari Nasabah perusahaan tersebut dapat diakses oleh masyarakat; c.
Calon Nasabah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah;
d.
Calon
Nasabah
berupa
Lembaga
Pemerintahan
atau
Instansi Pemerintah; e.
transaksi
pencairan
cek
yang
dilakukan
oleh
WIC
perusahaan; f.
tujuan
pembukaan
Pemerintah
dalam
rekening rangka
terkait
dengan
peningkatan
program
kesejahteraan
masyarakat dan pengentasan kemiskinan, misal program Pemerintah untuk tujuan sosial seperti program keluarga harapan yang diselenggarakan Departemen Sosial, bantuan layanan tunai dan gerakan Indonesia menabung. Syarat setoran awal dan jumlah penggunaan rekening mengacu pada ketentuan yang ditetapkan oleh Lembaga/Instansi Pemerintah yang menyelenggarakan program terkait; atau g.
jumlah setoran awal paling besar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), maksimum saldo pada akhir bulan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan maksimum
transaksi
dalam
1
(satu)
bulan
sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
50
123
2.
Informasi
dan
dokumen
pendukung
yang
wajib
diminta
terhadap Calon Nasabah perorangan dengan tujuan pembukaan rekening untuk penerimaan gaji paling kurang sebagai berikut: Tabel 6 Informasi dan Dokumen Pendukung Calon Nasabah Perorangan
Informasi
Dokumen Pendukung
a. Nama lengkap termasuk nama a. KTP/SIM/paspor alias apabila ada b. Spesimen tanda tangan/cap b. Nomor dokumen identitas jempol/sidik jari c. Alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas d. Alamat tempat apabila ada
tinggal
lain
e. Tempat dan tanggal lahir
3.
Informasi
dan
dokumen
pendukung
yang
wajib
diminta
terhadap Calon Nasabah perusahaan, Lembaga Pemerintah, atau Instansi Pemerintah: a.
dengan tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran gaji; atau
b.
merupakan mayoritas
perusahaan sahamnya
publik,
dimiliki
oleh
perusahaan Pemerintah,
yang atau
merupakan Lembaga Pemerintahan/Instansi Pemerintah, paling kurang sebagai berikut:
51
124
Tabel 7 Informasi dan Dokumen Pendukung untuk Calon Nasabah Perusahaan, Lembaga Pemerintah, atau Instansi Pemerintah
Dokumen Pendukung
Informasi
Calon Nasabah Perusahaan (selain Bank) Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Bukan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Lembaga Pemerintahan /Instansi Pemerintah
a. Nama a. Dokumen a. Dokumen a. Surat perusahaan identitas identitas penunjukan perusahaan perusahaan bagi pihak b. Alamat berwenang kedudukan b. Spesimen b. Dokumen mewakili tanda identitas dalam tangan anggota melakukan Direksi hubungan yang usaha berwenang dengan mewakili Bank perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank
4.
Informasi
dan
dokumen
pendukung
yang
b. Spesimen tanda tangan
wajib
diminta
terhadap WIC perusahaan yang akan melakukan transaksi pencairan cek paling kurang sebagai berikut:
52
125
Tabel 8 Informasi dan Dokumen Pendukung untuk WIC Perusahaan Dokumen Pendukung WIC Perusahaan Informasi
5.
Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Bukan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
a. Nama perusahaan
a. Dokumen identitas a. Dokumen identitas perusahaan perusahaan
b. Alamat kedudukan
b. Spesimen tangan
Informasi
dan
dokumen
tanda b. Dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank
pendukung
yang
wajib
diminta
terhadap: a. Calon Nasabah perorangan dengan tujuan pembukaan rekening terkait dengan program Pemerintah; atau b. Calon Nasabah dengan jumlah setoran awal paling besar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), maksimum saldo pada akhir bulan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan maksimum transaksi dalam 1 (satu) bulan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) paling kurang sebagai berikut: Tabel 9 Informasi dan Dokumen Pendukung untuk Calon Nasabah Informasi
Dokumen pendukung
a. Nama lengkap termasuk nama alias apabila ada
a. Dokumen lainnya dokumen pengganti antara lain:
sebagai identitas
b. Alamat tempat tinggal
b. Kartu pengenal yang dikeluarkan 53
126
Informasi
Dokumen pendukung
sesuai dengan dokumen lain yang digunakan sebagai pengganti dokumen identitas
oleh pemerintah mencantumkan foto diri;
yang
c. dokumen identitas dan surat referensi dari Nasabah lain yang mengenal profil Calon Nasabah;
c. Tempat dan tanggal lahir
d. surat referensi dari Kelurahan atau Kepala Desa dimana Calon Nasabah berdomisili yang mencantumkan foto diri; atau
d. Pekerjaan
e. kartu tanda pelajar bagi Calon Nasabah Perorangan yang belum memenuhi syarat untuk memiliki KTP yang disertai dengan dokumen identitas dan surat persetujuan dari orangtua atau pihak lain yang bertanggung jawab terhadap Calon Nasabah tersebut. f. Spesimen tanda jempol/sidik jari 6.
tangan/cap
Terhadap Nasabah yang mendapat perlakuan CDD sederhana, Bank wajib mendokumentasikannya dalam daftar yang memuat antara
lain
informasi
mengenai
alasan
penetapan
risiko
sehingga digolongkan sebagai risiko rendah. 7.
Nasabah yang telah mendapatkan perlakuan CDD sederhana harus dikeluarkan dari daftar Nasabah CDD sederhana apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
diindikasikan
terkait
dengan
pencucian
uang
atau
pendanaan terorisme; b.
tidak sesuai dengan tujuan awal pembukaan rekening, antara lain untuk pembayaran atau penerimaan gaji; atau
c.
saldo pada akhir bulan melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan transaksi dalam 1 (satu) bulan melebihi 54
127
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). 8.
Terhadap Nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka 7, berlaku ketentuan sebagai berikut: a.
dikeluarkan dari daftar Nasabah yang mendapat perlakuan CDD sederhana sehingga prosedur CDD sederhana yang telah diterapkan menjadi tidak berlaku;
b.
dilakukan CDD atau EDD sesuai dengan tingkat risiko Nasabah terkini; dan
c.
dilaporkan dalam LTKM apabila transaksi diindikasikan terkait dengan pencucian uang atau pendanaan terorisme.
55
128
BAB VI PENUTUPAN HUBUNGAN USAHA DENGAN NASABAH A.
Kewajiban Menolak Transaksi, Membatalkan Transaksi, dan/atau Menutup Hubungan Usaha 1.
Bank
wajib
menolak
transaksi,
membatalkan
transaksi,
dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah apabila Nasabah: a.
tidak memenuhi ketentuan permintaan informasi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Bab V Tabel 1, Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9;
b.
diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu yaitu dokumen identitas (KTP, SIM, paspor) dan/atau dokumen lainnya, yang tidak terdaftar pada instansi yang berwenang atau tidak dapat diverifikasi kebenarannya;
c.
menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya;
d.
berbentuk
Shell
Bank
atau
Bank
yang
mengijinkan
rekeningnya digunakan oleh Shell Bank; dan/atau e.
memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana.
2.
Bank wajib melaporkan Nasabah atau WIC sebagaimana dimaksud pada angka 1 dalam Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila transaksinya mencurigakan.
3.
Kewajiban Bank untuk menolak atau membatalkan transaksi berlaku apabila sebagai contoh terdapat: a.
Nasabah yang ingin melakukan transaksi transfer dana, namun karena Nasabah tersebut tidak bersedia melengkapi aplikasi transfer dana maka Bank wajib menolak transaksi Nasabah yang bersangkutan.
b.
Incoming transfer pada rekening Nasabah, namun setelah Bank Penerima melakukan CDD ulang dan berdasarkan informasi dari Bank Pengirim diketahui bahwa rekening 56
129
Nasabah penerima merupakan rekening penampungan hasil penipuan maka Bank wajib membatalkan transaksi incoming transfer dengan mengembalikan dana kepada Bank Pengirim sepanjang dana masih tersimpan di dalam rekening Nasabah penerima. 4.
Bank wajib mendokumentasikan Nasabah yang memenuhi kriteria pada angka 1 di atas dalam daftar tersendiri dan melaporkannya dalam LTKM apabila transaksinya tidak wajar dan mencurigakan.
5.
Terhadap Nasabah yang ditutup hubungan usahanya, Bank wajib
memberitahukan
secara
tertulis
kepada
Nasabah
mengenai penutupan hubungan usaha tersebut. 6.
Pemberitahuan tertulis dapat dilakukan dengan penyampaian surat yang ditujukan kepada Nasabah sesuai dengan alamat yang tercantum dalam database Bank atau diumumkan melalui media cetak, media elektronik maupun media lainnya.
7.
Apabila setelah dilakukan pemberitahuan tertulis Nasabah tidak mengambil
sisa
dana
yang
tersimpan
di
Bank
maka
penyelesaian terhadap sisa dana Nasabah tersebut dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain dengan menyerahkan sisa dana ke Balai Harta Peninggalan. 8.
Dalam hal penutupan hubungan usaha terkait dengan transaksi transfer dana, maka prosedur penutupan hubungan usaha dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transfer dana.
B.
Penolakan Hubungan Usaha atau Penolakan Transaksi 1.
Penolakan
atau
pembatalan
transaksi
terhadap
rekening
Nasabah penerima yang digunakan untuk menampung hasil kejahatan dapat disertai dengan pengembalian dana kepada Nasabah pengirim apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
57
130
a.
terdapat Laporan dari Nasabah pengirim kepada Bank Pengirim dengan dilengkapi dokumen pendukung laporan tersebut seperti laporan kepada Kepolisian RI;
b.
identitas Nasabah penerima dana diketahui dan/atau patut diduga palsu;
c.
masih terdapat sisa dana di rekening Nasabah penerima;
d.
transaksi
dari
rekening
Nasabah
pengirim
dilakukan
melalui transfer dana; e.
dana yang tersimpan pada rekening Nasabah penerima baik sebagian maupun seluruhnya adalah berasal dari rekening Nasabah pengirim;
f.
rekening
atau
saldo
dana
dalam
rekening
Nasabah
penerima tidak sedang dalam status diblokir atau disita oleh instansi yang berwenang; g.
terdapat klausula dalam perjanjian pembukaan rekening mengenai
kewajiban
Bank
untuk
menolak
transaksi,
membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah; dan/atau h.
pengembalian dana melalui proses pendebetan dana dari rekening Nasabah penerima untuk dikreditkan kembali ke rekening Nasabah pengirim.
2.
Prosedur pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah apabila: a.
hanya
terdapat
1
(satu)
Nasabah
pengirim
yang
mengajukan permohonan pengembalian dana, maka dana yang
dikembalikan
kepada
Nasabah
pengirim
adalah
sebesar dana milik Nasabah pengirim yang masih ada pada rekening penerima. b.
terdapat lebih dari 1 (satu) laporan Nasabah pengirim yang mengajukan permohonan pengembalian dana, maka dalam hal dana yang terdapat pada rekening penerima diyakini oleh Bank: 1)
berasal dari beberapa Nasabah pengirim dan jumlah 58
131
dananya
mencukupi
untuk
pengembalian
dana
kepada semua Nasabah pengirim maka Bank dapat mengembalikan dana tersebut; 2)
hanya berasal dari sebagian Nasabah pengirim maka Bank
hanya
sebagian
akan
Nasabah
mengembalikan pengirim
yang
dana
kepada
diyakini
Bank
sebagai sumber atas dana pada rekening Nasabah penerima; 3)
berasal dari semua Nasabah pengirim dan jumlah dananya tidak mencukupi untuk pengembalian dana kepada semua Nasabah pengirim maka pengembalian dana hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan para Nasabah pengirim. Apabila tidak tercapai kesepakatan, pengembalian
dana
dilakukan
berdasarkan
pada
Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap
yang
memerintahkan
Bank
untuk
mengembalikan dana kepada pihak yang berhak; atau 4)
berasal dari sebagian Nasabah pengirim dan jumlah dananya tidak mencukupi untuk pengembalian dana kepada
sebagian
Nasabah
pengirim
maka
pengembalian dana hanya dilakukan kepada masingmasing Nasabah pengirim yang diyakini Bank dananya masih
ada
pada
rekening
berdasarkan kesepakatan tersebut.
Apabila
pengembalian
dana
tidak
Nasabah
penerima
para Nasabah pengirim tercapai
dilakukan
kesepakatan,
berdasarkan
pada
Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap
yang
memerintahkan
Bank
untuk
mengembalikan dana kepada pihak yang berhak. Pada saat telah terjadi pengembalian dana kepada Nasabah pengirim,
Bank
Pengirim
membuat
Berita
Acara
Pengembalian Dana yang ditandatangani oleh pejabat Bank Pengirim dan Nasabah pengirim. 59
132
3
Prosedur pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak berlaku terhadap Nasabah penerima dan/atau Nasabah pengirim yang namanya tercantum dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris.
60
133
BAB VII AREA BERISIKO TINGGI DAN POLITICALLY EXPOSED PERSON A.
Penetapan Kriteria Area Berisiko Tinggi dan Politically Exposed Person (PEP) Dalam menetapkan tingkat risiko Nasabah, jasa, dan produk Bank, Bank berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai pedoman identifikasi produk, Nasabah, usaha, dan negara Berisiko Tinggi Bagi Penyedia Jasa Keuangan (selanjutnya disebut dengan Pedoman Identifikasi PPATK) dan referensi lainnya yang dikeluarkan oleh otoritas berwenang atau yang telah menjadi international best practice. 1.
Produk dan Jasa Berisiko Tinggi Karakteristik dari high risk product dan high risk services adalah produk atau jasa yang ditawarkan kepada Nasabah yang mudah dikonversikan menjadi kas atau setara kas, atau yang dananya mudah dipindah-pindahkan dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lainnya dengan maksud mengaburkan asal usul dana tersebut. Sebagai contoh: a.
Electronic banking (internet banking, mobile banking, phone banking, dan SMS banking);
b.
Transfer dana;
c.
Pemberian
kredit
atau
pembiayaan
dan
pendanaan
(termasuk credit card); d.
Travellers’ cheque dan bank draft;
e.
Private banking;
f.
Custodian;
g.
Safe deposit box;
h.
Reksadana;
i.
Jual beli valuta asing (Bank notes);
j.
Penitipan dengan pengelolaan (trust); atau
k.
Letter of credit (LC).
61
134
Dalam hal terdapat Nasabah atau WIC yang menggunakan produk dan/atau jasa yang berisiko tinggi maka transaksi yang dilakukan akan memenuhi kriteria sebagai risiko tinggi apabila jumlah transaksi yang dilakukan tidak sesuai dengan profil Nasabah atau WIC. 2.
Nasabah Berisiko Tinggi Salah satu Nasabah yang berisiko tinggi adalah Penyelenggara Negara
atau
PEP.
Peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur tentang Penyelenggara Negara adalah: Tabel 10 Ketentuan mengenai PEP Ketentuan
Definisi
UU No.28 Pejabat Negara yang Tahun 1999 menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keterangan a. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c. Menteri; d. Gubernur; e. Hakim; f. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, yaitu: 1) Direksi, dan
Komisaris, pejabat 62
135
Ketentuan
Definisi
Keterangan struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; 2) Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional; 3) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; 4) Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 5) Jaksa; 6) Penyidik; 7) Panitera Pengadilan; 8) Pemimpin bendaharawan proyek;
SE/03/M.PAN Penyelenggara Negara /01/2005 tanggal 20 Januari 2005
dan
a. Pejabat eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan Instansi Pemerintah dan/atau lembaga negara. b. Semua kepala kantor di lingkungan Departemen Keuangan c. Pengawas
Bea
dan 63
136
Ketentuan
Definisi
Keterangan Cukai; d. Auditor; e. Pejabat yang mengeluarkan perijinan; f. Pejabat/Kepala Masyarakat; dan
Unit
g. Pejabat pembuat regulasi 3.
Usaha Berisiko Tinggi Contoh usaha yang berisiko tinggi antara lain: a.
Penyedia jasa keuangan yang belum memiliki ijin dari otoritas berwenang;
b.
Bank dan perusahaan yang berlokasi di negara penghasil narkoba atau tax haven countries;
c.
Kasino, tempat hiburan dan executive club;
d.
Jasa akuntan, pengacara dan notaris (Perusahaan atau Perorangan);
e.
Jasa surveyor dan agen real estat (perusahaan);
f.
Pedagang logam mulia (perusahaan atau perorangan);
g.
Usaha barang-barang antik, dealer mobil, kapal serta penjual barang atau barang mewah;
h.
Agen perjalanan;
i.
Pegawai Bank;
j.
Pelajar atau mahasiswa yang memiliki Beneficial Owner berisiko tinggi; atau
k.
Ibu rumah tangga yang memiliki Beneficial Owner berisiko tinggi.
4.
Transaksi yang Terkait dengan Negara Lain yang Berisiko Tinggi Contoh negara yang berisiko tinggi antara lain: a.
negara
yang
pelaksanaan
rekomendasi
FATF
diidentifikasikan belum memadai; b.
termasuk dalam daftar yang dipublikasikan oleh FATF; 64
137
c.
diketahui secara luas sebagai tempat penghasil dan pusat perdagangan narkoba;
d.
dikenal secara luas menerapkan banking secrecy law yang ketat;
e.
dikenal sebagai tax haven antara lain berdasarkan data terkini dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Posisi Mei 2012 terdapat 2 (dua) negara/wilayah yang tergolong tax haven yaitu: Nauru dan Niue.
f.
dikenal memiliki tingkat korupsi yang tinggi;
g.
dianggap merupakan sumber kegiatan terorisme, seperti yang diidentifikasikan oleh Office of Foreign Asset Control (OFAC); atau
h.
terkena sanksi PBB.
Sehubungan dengan area berisiko tinggi di atas, Bank wajib meneliti adanya Nasabah dan/atau Beneficial Owner yang memenuhi
kriteria
berisiko
tinggi
tersebut
dan
mendokumentasikannya dalam daftar tersendiri. B.
Prosedur Terhadap Area Berisiko Tinggi dan PEP 1.
Apabila terdapat transaksi atau hubungan usaha dengan Nasabah yang berasal atau terkait dengan negara yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi FATF, maka Bank wajib mewaspadainya dan menetapkan mitigasi risiko yang mungkin terjadi.
2.
Dalam hal Bank akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang tergolong PEP, Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan calon Nasabah tersebut dan berwenang untuk: a.
memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon Nasabah yang tergolong berisiko tinggi atau PEP; dan
65
138
b.
membuat
keputusan
untuk
meneruskan
atau
menghentikan hubungan usaha dengan Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong PEP. 3.
Pejabat senior harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kemungkinan risiko yang timbul, seperti risiko reputasi, risiko operasional dan risiko hukum, dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil risiko Nasabah dan transaksi.
C.
Enhanced Due Dilligence (EDD) 1.
Dalam hal Bank berhubungan dengan Calon Nasabah atau WIC atau
Nasabah
yang
tergolong
berisiko
tinggi
terhadap
kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme, Bank wajib melakukan prosedur CDD yang lebih mendalam yang disebut dengan Enhanced Due Diligence (EDD). 2.
EDD atau kegiatan CDD yang lebih mendalam harus dilakukan terhadap area yang berisiko tinggi dan Nasabah yang tergolong PEP.
3.
Apabila
Calon
Nasabah,
Nasabah
atau
WIC
memenuhi
ketentuan sebagai berikut: a.
tergolong berisiko tinggi atau PEP;
b.
menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan terorisme;
c.
melakukan transaksi dengan pihak yang berasal dari negara berisiko tinggi;
d.
melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil; atau
e.
merupakan pihak yang terkait dengan PEP, yaitu: 1)
perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP;
2)
anggota keluarga PEP sampai dengan derajat kedua; dan/atau
3)
pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP. 66
139
maka terhadap Calon Nasabah, Nasabah atau WIC tersebut, Bank wajib melakukan EDD. 4.
Apabila dari hasil EDD yang dilakukan terhadap Nasabah yang melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf d diperoleh underlying atau alasan yang jelas, maka terhadap transaksi tersebut dilakukan pemantauan sebagaimana biasanya. Sedangkan apabila dari hasil EDD tidak diperoleh underlying atau alasan yang jelas maka terhadap transaksi tersebut wajib dilaporkan dalam LTKM dan dilakukan pemantauan yang lebih ketat.
5.
Sifat, kualitas, dan kuantitas informasi Nasabah yang perlu diperoleh harus memberikan gambaran mengenai tingkat risiko yang timbul dari hubungan usaha yang terjadi.
6.
Informasi
yang
diperoleh
harus
dapat
diverifikasi
dan
memberikan keyakinan terhadap profil Nasabah sesungguhnya. 7.
Bagi Bank yang menyediakan produk kartu kredit melalui program member get member, maka proses EDD yang dilakukan termasuk: a.
memastikan bahwa dokumen pendukung yang memuat identitas Calon Nasabah telah dilegalisir oleh lembaga yang berwenang;
b.
transaksi pembayaran dengan Bank untuk pertama kalinya secara
tunai
di
Bank
penerbit
kartu
kredit
yang
berkedudukan di Indonesia. D.
EDD terhadap Jasa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank yang melakukan trust wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1.
Bank melakukan EDD terhadap: a.
pemilik
harta
yang
menitipkan
pengelolaan
hartanya
(settlor); dan b.
penerima manfaat dari harta yang dititipkan (beneficiary).
67
140
Dalam hal settlor juga bertindak sebagai beneficiary maka EDD yang dilakukan hanya pada settlor atau beneficiary dengan menjelaskan bahwa settlor dan beneficiary adalah pihak yang sama. 2.
Bank
meminta
informasi
kepada
calon
settlor
dengan
berpedoman kepada ketentuan yang berlaku kepada Calon Nasabah perusahaan sebagaimana dimaksud di Tabel 1 pada Bab V huruf B. 3.
Bank meminta informasi kepada beneficiary paling kurang mencakup: a.
jenis informasi dengan berpedoman kepada ketentuan yang berlaku kepada Calon Nasabah perorangan dan Calon Nasabah perusahaan sebagaimana dimaksud di Tabel 1 pada Bab V huruf B;
b.
nomor rekening beneficiary; dan
c.
nama bank yang menerima pemindahan dana dari rekening settlor.
4.
Dalam hal bank yang menerima pemindahan dana dari rekening settlor pada Bank yang berada di luar negeri, maka harus memenuhi persyaratan: a.
memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
b.
berkedudukan di negara yang tidak tergolong berisiko tinggi. Informasi mengenai tingkat risiko suatu negara antara lain dapat dilihat dalam website www.fatf-gafi.org atau www.apgml.org.
5.
Dalam hal bank yang menerima pemindahan dana dari rekening settlor pada Bank yang berkedudukan di negara yang tergolong berisiko tinggi maka harus memenuhi persyaratan: a.
berada dalam kelompok usaha yang sama dengan Bank tempat
settlor
tercatat,
dimana
pemegang
saham
pengendali antara bank dimana settlor tercatat dengan bank yang menerima pemindahan dana dari rekening 68
141
settlor adalah sama; dan b.
kelompok
usaha
tersebut
telah
menjalankan
CDD,
penatausahaan dokumen, dan Program APU dan PPT secara efektif sesuai dengan Rekomendasi FATF.
69
142
BAB VIII PROSEDUR PELAKSANAAN CUSTOMER DUE DILLIGENCE (CDD) OLEH PIHAK KETIGA A.
Kriteria Pihak Ketiga dan Prosedur 1.
Bank dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap Calon Nasabahnya yang telah menjadi Nasabah pada pihak ketiga tersebut. Dalam hal ini Bank tetap wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga.
2.
Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus merupakan lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.
memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b.
memiliki
kerja
sama
dengan
Bank
dalam
bentuk
kesepakatan tertulis; c.
tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang (antara lain
Lembaga
Pengawas
dan
Pengatur
seperti
Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan) sesuai dengan ketentuan yang berlaku; d.
bersedia memenuhi permintaan informasi yang paling kurang berupa informasi mengenai: 1)
nama lengkap sesuai dengan yang tercantum pada kartu identitas;
e.
2)
alamat, tempat dan tanggal lahir;
3)
nomor kartu identitas; dan
4)
kewarganegaraan dari calon Nasabah.
bersedia
memenuhi
permintaan
salinan
dokumen
pendukung segera apabila dibutuhkan oleh Bank dalam rangka pelaksanaan Program APU dan PPT; dan f.
berkedudukan di negara yang tidak tergolong berisiko tinggi. Informasi mengenai tingkat risiko suatu negara 70
143
antara lain dapat dilihat dalam website www.fatf-gafi.org atau www.apgml.org. 3.
Kesediaan pihak ketiga untuk memenuhi permintaan informasi dan permintaan salinan dokumen pendukung dituangkan dalam kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b;
4.
Dalam hal pihak ketiga berkedudukan di negara yang tergolong berisiko tinggi maka pihak ketiga tersebut wajib memenuhi kriteria: a.
berada dalam kelompok usaha yang sama dengan Bank, dalam hal ini pemegang saham pengendali antara Bank pengguna hasil CDD dengan pihak ketiga pemilik hasil CDD adalah sama; dan
b.
kelompok
usaha
tersebut
telah
menjalankan
CDD,
penatausahaan dokumen, dan Program APU dan PPT secara efektif sesuai dengan rekomendasi FATF. 5.
Tanggung jawab akhir atas hasil identifikasi dan verifikasi calon Nasabah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bank.
6.
Bank bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan dokumen hasil CDD yang dilakukan pihak ketiga serta data hasil identifikasi dan verifikasi yang dilakukan oleh Bank.
B.
Bank sebagai Agen Penjual Produk Lembaga Keuangan Non Bank 1.
Apabila Bank bertindak sebagai agen penjual produk lembaga keuangan non Bank (misal reksadana, asuransi), maka Bank wajib memenuhi permintaan informasi hasil CDD dan salinan dokumen
pendukung
apabila
dibutuhkan
oleh
lembaga
keuangan lainnya (misal manajer investasi) dalam rangka pelaksanaan Program APU dan PPT. 2.
Tata cara pemenuhan permintaan informasi hasil CDD dan salinan dokumen pendukung dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Bank dengan lembaga keuangan non Bank tersebut yang antara lain memuat kesediaan Bank untuk 71
144
memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada butir A.2.d) dan butir A.2.e). 3.
Pada saat Bank bertindak sebagai penjual produk keuangan non Bank, maka penjualan produk lembaga keuangan non Bank kepada Nasabah Bank berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko pada Bank yang melakukan aktivitas berkaitan dengan reksadana, dan pada Bank yang melakukan aktivitas kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi (bancassurance) yaitu sebagai berikut: a.
dilakukan dalam perjanjian tersendiri yang terpisah dari perjanjian pembukaan hubungan usaha atau rekening yang terkait dengan produk dan usaha Bank.
b.
mencantumkan
logo lembaga keuangan lainnya
yang
mengeluarkan produk terkait dalam perjanjian tersendiri tersebut. c.
mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan kepada Nasabah mengenai produk lembaga keuangan kejelasan
non
Bank
cakupan
termasuk
program
informasi
penjaminan
mengenai
atas
produk
lembaga keuangan non Bank. d.
memastikan: 1)
pemberian informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh dengan risiko yang mungkin timbul bagi Nasabah dari produk lembaga keuangan non Bank.
2)
informasi
yang
disampaikan
tidak menyamarkan,
mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait dengan risiko-risiko yang mungkin timbul dari produk lembaga keuangan non Bank.
72
145
BAB IX CROSS BORDER CORRESPONDENT BANKING A.
Prosedur Cross Border Correspondent Banking 1.
Sebelum
menyediakan
jasa
Cross
Border
Correspondent
Banking, Bank wajib melakukan proses CDD terhadap calon Bank responden baik yang bertindak sebagai Bank Penerus maupun sebagai Bank Penerima. Untuk transaksi L/C, yang dimaksud dengan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus termasuk issuing bank, advising bank, confirming bank, dan negotiating bank. 2.
Proses
CDD
yang
dilakukan
dengan
meminta
informasi
mengenai: a.
profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus, antara lain mencakup susunan anggota Direksi dan Dewan Komisaris, dimiliki,
kegiatan
target
usaha,
pemasaran,
produk dan
perbankan
tujuan
yang
pembukaan
rekening. Sumber informasi untuk memastikan informasi dimaksud berdasarkan informasi publik yang memadai yang
dikeluarkan
dan
ditetapkan
oleh
otoritas
yang
berwenang, antara lain Banker’s Almanac; b.
reputasi
Bank
Penerima
dan/atau
Bank
Penerus
berdasarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, termasuk reputasi yang bersifat negatif, misalnya: 1)
sanksi yang pernah dikenakan oleh otoritas kepada Bank Penerima dan/atau Bank Penerus terkait dengan pelanggaran ketentuan otoritas dan/atau rekomendasi FATF; atau
2)
Bank Penerima dan/atau Bank Penerus sedang dalam proses penyidikan dan/atau pembinaan oleh otoritas yang berwenang terkait dengan pencucian uang atau pendanaan terorisme.
73
146
c.
tingkat penerapan Program APU dan PPT di negara tempat kedudukan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang dapat dilihat antara lain dari tingkat risiko negara tempat kedudukan bank tersebut yang dikeluarkan oleh FATF atau The
Asia/Pacific
terhadap
Group
on
kemungkinan
Money
Laundering
(APG)
terjadinya
pencucian
uang
dan/atau pendanaan terorisme; dan d.
informasi
relevan
lain
yang
diperlukan
Bank
untuk
mengetahui profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus antara lain informasi mengenai: 1)
seperti
kepemilikan,
pengendalian,
dan
struktur
manajemen, untuk memastikan apakah terdapat PEP dalam susunan kepemilikan atau sebagai pengendali; 2)
posisi
keuangan
Bank
Penerima
dan/atau
Bank
Penerus; dan 3) 3.
Bank
profil perusahaan induk dan anak perusahaan. Pengirim
yang
menyediakan
jasa
Cross
Border
Cross
Border
Correspondent Banking wajib melakukan : a.
mendokumentasikan
seluruh
transaksi
Correspondent Banking; b.
menolak
untuk
berhubungan
dan/atau
meneruskan
hubungan Cross Border Correspondent Banking dengan Shell Bank; dan c.
memastikan
bahwa
Bank
Penerima
dan/atau
Bank
Penerus tidak mengijinkan rekeningnya digunakan oleh Shell Bank pada saat mengadakan hubungan usaha terkait dengan Cross Border Correspondent Banking 4.
Persetujuan untuk pembukaan hubungan usaha pada calon Bank Penerima dan/atau Bank penerus dalam rangka Cross Border Correspondent Banking
maupun
untuk
penutupan
hubungan usaha dengan Bank Penerima dan/atau Bank penerus dalam rangka Cross Border Correspondent Banking diberikan oleh pejabat senior. 74
147
B.
Payable Through Account 1.
Terhadap Nasabah yang mempunyai akses terhadap Payable Through Account (PTA), Bank Pengirim wajib memastikan hal-hal sebagai berikut: a.
Bank
Penerima
dan/atau
Bank
Penerus
telah
melaksanakan proses CDD dan pemantauan yang memadai yang paling kurang sama dengan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan b.
Bank Penerima dan/atau Bank Penerus bersedia untuk menyediakan
data
identifikasi
Nasabah
yang
terkait,
apabila diminta oleh Bank Pengirim. 2.
Akses terhadap PTA yang wajib dipastikan oleh Bank Pengirim dituangkan dalam kerjasama antara Bank Pengirim dengan Bank
Penerima
dan/atau
Bank
Penerus
dalam
bentuk
kesepakatan tertulis. 3.
Contoh dari transaksi PTA adalah sebagai berikut: Bank A (didirikan dan berada dibawah pengawasan Otoritas South Pacific Island Vanuatu) membuka PTA di American Express Bank International (AMEX) di Miami, US. Tujuan pembukaan PTA tersebut adalah agar Bank A di Vanuatu dapat memberikan jasa
perbankan
AMEX
secara
virtual
kepada
Nasabah
berkewarganegaraan Amerika yang tinggal di wilayah Vanuatu namun bukan merupakan Nasabah AMEX. Nasabah diberikan buku cek serta aplikasi yang memungkinkan mereka untuk melakukan deposit atau penarikan dana melalui PTA Bank A. Transaksi PTA ini memungkinkan penyalahgunaan rekening maupun transaksi yang dilakukan yang pada akhirnya menimbulkan risiko reputasi bagi AMEX.
75
148
BAB X PROSEDUR TRANSFER DANA A.
Prosedur Transfer Dana 1.
Ketentuan yang berlaku bagi Bank Pengirim adalah sebagai berikut: a.
Bank Pengirim wajib memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah atau WIC pengirim dan/atau Nasabah atau WIC penerima, paling kurang meliputi: 1)
nama Nasabah atau WIC pengirim;
2)
nomor rekening Nasabah pengirim;
3)
alamat Nasabah atau WIC pengirim;
4)
nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim.
Nomor
identifikasi adalah
nomor
yang
secara unik mengidentifikasikan Nasabah atau WIC pengirim dari Bank Pengirim dengan data informasi yang dikelola oleh Bank Pengirim. Dengan demikian nomor identifikasi berbeda dengan nomor transaksi; 5)
sumber dana Nasabah atau WIC pengirim;
6)
nama Nasabah atau WIC penerima;
7)
nomor rekening Nasabah penerima;
8)
alamat WIC penerima;
9)
jumlah uang dan jenis mata uang; dan
10) tanggal transaksi. b.
Apabila pengirim asal telah menjadi Nasabah pada Bank Pengirim maka Bank pengirim wajib memperoleh informasi: 1)
nama Nasabah pengirim;
2)
nomor rekening Nasabah pengirim;
3)
sumber dana Nasabah pengirim;
4)
nama Nasabah atau WIC penerima;
5)
nomor rekening Nasabah penerima atau alamat WIC 76
149
penerima;
c.
6)
jumlah uang dan jenis mata uang; dan
7)
tanggal transaksi.
Dalam hal kegiatan transfer dana memenuhi kriteria sebagai berikut: 1)
Tujuan
transfer
dana
di
luar
wilayah
Republik
Indonesia; dan 2)
Terdapat transaksi transfer dana yang dilakukan oleh beberapa Nasabah atau WIC pengirim dari pengirim yang sama dalam bentuk batch file transmission;
maka Bank Pengirim wajib memperoleh informasi mengenai masing-masing Nasabah atau WIC penerima sebagaimana dimaksud pada butir a.6) sampai dengan a.8). d.
Informasi mengenai Nasabah atau WIC pengirim dan/atau Nasabah atau WIC penerima pada huruf a dan b wajib disampaikan Bank Pengirim kepada Bank Penerus atau Bank Penerima.
e.
Dalam hal Nasabah atau WIC Pengirim menolak untuk memenuhi permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada
huruf
a,
maka
Bank Pengirim
wajib menolak
melaksanakan perintah transfer. f.
Seluruh kegiatan transfer dana wajib didokumentasikan dengan
ketentuan mengacu
pada Bab
XV
mengenai
Penatausahaan Dokumen dalam Pedoman ini. 2.
Ketentuan yang berlaku bagi Bank Penerus adalah sebagai berikut: a.
Memastikan kelengkapan informasi mengenai Nasabah atau WIC pengirim dan Nasabah atau WIC penerima sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a.
b.
Meneruskan pesan dan perintah transfer dana yang diterima dari Bank Pengirim.
c.
Seluruh informasi yang diterima dari Bank Pengirim, sebagai pihak yang pertama kali mengeluarkan perintah 77
150
transfer dana, wajib didokumentasikan sesuai dengan ketentuan mengacu pada Bab XV mengenai Penatausahaan Dokumen dalam Pedoman ini. d.
Memastikan kelengkapan informasi mengenai Nasabah atau WIC pengirim dan Nasabah atau WIC penerima terhadap transaksi transfer dana ke luar wilayah Indonesia dengan pola straight-through processing.
e.
Dalam hal Bank Penerus menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a, maka Bank Penerus dapat:
f.
1)
melaksanakan transfer dana;
2)
menolak untuk melaksanakan transfer dana; atau
3)
menunda transaksi transfer dana.
Tindakan
yang
akan
diambil
oleh
Bank
Penerus
sebagaimana pilihan tindakan pada huruf e di atas disertai dengan tindak lanjut yang memadai yaitu antara lain melakukan
pemantauan
melaporkan
sebagai
yang
lebih
Transaksi
ketat,
dan/atau
Keuangan
yang
Mencurigakan. 3.
Ketentuan yang berlaku bagi Bank Penerima adalah sebagai berikut: a.
Memastikan kelengkapan informasi Nasabah atau WIC pengirim dan Nasabah atau WIC penerima dalam transaksi transfer dana dari luar wilayah Indonesia baik pada saat transaksi dilakukan (real-time monitoring) maupun setelah transaksi dilakukan (post-event monitoring).
b.
Seluruh informasi yang diterima wajib didokumentasikan sesuai dengan ketentuan mengacu pada Bab XV mengenai Penatausahaan Dokumen dalam Pedoman ini.
c.
Dalam hal Bank Penerima menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a, 78
151
maka Bank Penerima dapat:
d.
1)
melaksanakan transfer dana;
2)
menolak untuk melaksanakan transfer dana; atau
3)
menunda transaksi transfer dana.
Tindakan
yang
akan
diambil
oleh
Bank
Penerima
sebagaimana pilihan tindakan pada huruf cdisertai dengan tindak lanjut yang memadai yaitu antara lain melakukan pemantauan
yang
lebih
ketat,
dan/atau
melaporkan
sebagai Transaksi Keuangan yang Mencurigakan. e.
Dalam hal Bank Penerima menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di dalam wilayah Indonesia yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a namun hanya dilengkapi dengan informasi nomor rekening Nasabah Pengirim atau nomor referensi transaksi
Nasabah
atau
WIC
Pengirim,
maka
Bank
Penerima dapat meminta secara tertulis informasi yang dibutuhkan kepada Bank Pengirim. 4.
Ketentuan mengenai prosedur transfer dana tidak berlaku bagi: a.
transfer dana yang menggunakan kartu debet, kartu ATM maupun kartu kredit.
b.
transfer
dana yang dilakukan
antar
penyedia
jasa
keuangan dan untuk kepentingan penyedia jasa keuangan dimaksud, seperti transfer dana yang dilakukan oleh Nasabah perusahaan berupa perusahaan sekuritas untuk tujuan kegiatan sekuritas Nasabah dimaksud. B.
Permintaan Informasi 1.
Terhadap permintaan informasi yang disampaikan oleh Bank Penerima sebagaimana dimaksud dalam butir A.3.e, Bank Pengirim wajib menyampaikan secara tertulis informasi yang dibutuhkan tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari kerja.
2.
Kewajiban penyampaian informasi oleh Bank Pengirim, juga berlaku apabila permintaan serupa dilakukan oleh otoritas yang 79
152
berwenang seperti Bank Indonesia, dan Penegak Hukum. 3.
Permintaan informasi harus diajukan secara tertulis dari pejabat yang berwenang baik melalui surat maupun melalui media elektronik.
4.
Pemenuhan
permintaan
informasi
dari
Bank
Penerima
dilakukan dalam rangka tukar menukar informasi antar Bank, sehingga dikecualikan dari ketentuan tentang rahasia Bank. 5.
Permintaan informasi bersifat sangat rahasia sehingga hanya boleh
digunakan
untuk
kepentingan
analisis
transaksi,
penyidikan, dan kebutuhan otoritas yang berwenang. 6.
Permintaan
dan
penyampaian
informasi
wajib
didokumentasikan. C.
Pelaporan 1.
Apabila terdapat transfer dana, baik yang merupakan incoming atau outgoing, berasal dari dalam negeri atau lintas negara yang memenuhi kriteria mencurigakan, maka transfer dana tersebut wajib dilaporkan sebagai LTKM kepada PPATK. Dalam hal ini termasuk
transfer
dana
yang
terkait
dengan
transaksi
pendanaan terorisme. 2.
Untuk kegiatan transfer dana dari dan ke luar negeri, maka tata cara pelaporan transfer dana tersebut wajib dilaporkan kepada PPATK dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK.
80
153
BAB XI SISTEM PENGENDALIAN INTERN 1.
Bank wajib melakukan pemisahan fungsi yang jelas antara satuan kerja operasional dengan satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian.
2.
Dalam penerapan Program APU dan PPT, Bank harus memiliki kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang memadai, serta melakukan pemisahan tugas dan tanggung jawab antara: a.
pelaksana kebijakan dengan pengawas penerapan kebijakan, dan
b. 3.
pelaksana transaksi dengan pemutus transaksi.
Bank harus mempunyai sistem pengendalian intern, baik yang bersifat fungsional maupun melekat yang dapat memastikan bahwa penerapan Program APU dan PPT oleh satuan kerja terkait telah sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan dengan memastikan satuan kerja telah: a.
menerapkan pengawasan internal dengan baik, tepat dan efektif; dan
b.
memberikan pelatihan yang memadai bagi seluruh pegawai di unit kerja operasional.
4.
Pengendalian intern dalam rangka penerapan Program APU dan PPT dilaksanakan
oleh
Satuan
Kerja
Audit
Intern
(SKAI)
dengan
kewenangan paling kurang mencakup: a.
melakukan uji kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur melalui penggunaan sample testing dari beberapa jasa, produk, dan Nasabah dengan pendekatan berdasarkan risiko untuk mendapatkan gambaran efektifitas penerapan kebijakan dan prosedur;
b.
menyusun program dan prosedur audit berbasis risiko dengan prioritas audit pada satuan kerja atau kantor cabang yang tergolong memiliki kompleksitas usaha yang tinggi; dan
c.
melakukan penilaian atas kecukupan proses yang berlaku di 81
154
Bank dalam mengidentifikasi dan melaporkan transaksi yang mencurigakan dengan memperhatikan ketentuan anti tipping off. 5.
Sistem pengendalian intern harus mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi dalam penerapan Program APU dan PPT.
82
155
BAB XII SISTEM INFORMASI MANAJEMEN A.
Sistem Informasi Manajemen 1.
Kebijakan dan prosedur tertulis yang dimiliki Bank wajib mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang atau pendanaan terorisme, misal pembukaan rekening melalui internet banking, perintah transfer dana melalui fax atau telepon, dan transaksi melalui ATM.
2.
Untuk keperluan pemantauan profil dan transaksi Nasabah atau WIC, Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah atau WIC Bank.
3.
Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan Bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction), baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan.
4.
Tingkat kecanggihan sistem informasi untuk mengidentifikasi transaksi keuangan yang mencurigakan disesuaikan dengan kompleksitas usaha, volume transaksi, dan risiko yang dimiliki Bank.
5.
Bank wajib melakukan penyesuaian secara berkala terhadap parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi transaksi keuangan yang mencurigakan.
6.
Untuk memudahkan pemantauan dalam rangka menganalisis transaksi keuangan yang mencurigakan, Bank wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara terpadu (Single Customer Identification
File/CIF),
paling
kurang
meliputi
informasi
sebagaimana dimaksud dalam Tabel 1 pada Bab V. 7.
Informasi yang terdapat dalam single CIF mencakup seluruh produk dan jasa yang digunakan oleh Nasabah pada suatu 83
156
Bank yaitu tabungan, deposito, giro, kredit/pembiayaan, safe deposit box, structured product, dan trustee. 8.
Untuk rekening joint account maka CIF dibuat atas masingmasing pihak pemilik joint account, misal: a.
Rekening joint account atas nama A dan B, maka CIF yang dibuat adalah 2 (dua) CIF yaitu CIF atas nama A dan B dengan menginformasikan bahwa baik A maupun B memiliki rekening joint account.
b.
Rekening joint account atas nama A atau B, maka CIF yang dibuat adalah 2 (dua) CIF yaitu CIF atas nama A dan B dengan menginformasikan bahwa baik A maupun B memiliki rekening joint account.
9.
Untuk
keperluan
menetapkan
pemeliharaan
kebijakan
bahwa
single untuk
CIF, setiap
Bank
harus
penambahan
rekening dan/atau jasa atau produk Bank oleh Nasabah yang sudah ada, Bank wajib mengkaitkan rekening, jasa atau produk tambahan tersebut dengan nomor informasi Nasabah dari Nasabah yang bersangkutan. 10. Dalam hal terdapat Nasabah yang selain tercatat sebagai Nasabah pada Bank Umum Konvensional juga tercatat sebagai Nasabah pada Unit Usaha Syariah dari Bank yang sama, maka Nasabah tersebut memiliki 2 (dua) CIF yang berbeda. B.
Pemantauan 1.
Bank wajib melakukan kegiatan pemantauan yang sekurangkurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut: a.
Dilakukan
secara
berkesinambungan
untuk
mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi Nasabah dengan profil Nasabah dan menatausahakan dokumen tersebut,
terutama
terhadap
hubungan
usaha
atau
transaksi dengan Nasabah dan/atau Bank dari negara dengan Program APU dan PPT kurang memadai.
84
157
b.
Melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah. Contoh transaksi, aktivitas, dan perilaku yang tidak sesuai dengan profil Nasabah adalah sebagaimana terlampir dalam Lampiran II.
c.
Apabila
diperlukan,
meminta
informasi
tentang
latar
belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak
sesuai
dengan
profil
Nasabah,
dengan
memperhatikan ketentuan anti tipping off sebagaimana diatur
dalam
Undang-Undang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 2.
Kegiatan pemantauan profil dan transaksi Nasabah yang dilakukan secara berkesinambungan meliputi kegiatan: a.
memastikan
kelengkapan
informasi
dan
dokumen
Nasabah; b.
meneliti kesesuaian antara profil transaksi dengan profil Nasabah;
c.
meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama yang tercantum dalam: 1)
database daftar teroris;
2)
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris;
3)
nama tersangka atau terdakwa yang dipublikasikan dalam
media
massa
atau
oleh
otoritas
yang
berwenang; dan 4) 3.
Daftar Hitam Nasional (DHN).
Sumber informasi yang dapat digunakan untuk memantau Nasabah Bank yang ditetapkan sebagai status tersangka atau terdakwa dapat diperoleh antara lain melalui: a.
database yang dikeluarkan oleh pihak berwenang seperti PPATK; atau
b. 4.
media massa, seperti koran, majalah, televisi, dan internet.
Pemantauan terhadap profil dan transaksi Nasabah harus dilakukan secara berkala dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko. 85
158
5.
Apabila berdasarkan hasil pemantauan terdapat kemiripan atau kesamaan nama sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c, maka Bank harus melakukan klarifikasi untuk memastikan kemiripan tersebut.
6.
Dalam hal nama dan identitas Nasabah sesuai dengan nama tersangka atau terdakwa yang diinformasikan dalam media massa dan/atau sesuai dengan daftar teroris sebagaimana dimaksud pada butir 2.c.1) dan butir 2.c.3), maka Bank wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam LTKM.
7.
Dalam hal nama dan identitas Nasabah sesuai dengan nama Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris sebagaimana dimaksud pada butir 2.c.2), maka Bank wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam LTKM dan melakukan pemblokiran setelah menerima surat permintaan atau perintah pemblokiran dari lembaga yang berwenang sebagaimana diatur
dalam
peraturan perundang-undangan mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Tata cara pemblokiran berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8.
Dalam hal nama dan identitas Nasabah sesuai dengan nama yang tercantum dalam DHN sebagaimana dimaksud pada butir 2.c.4) maka Bank wajib meneliti proses rehabilitasi yang dilakukan
Nasabah
tersebut.
Dalam
hal
terdapat
ketidakwajaran dalam proses rehabilitasi maka Bank wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam LTKM. 9.
Pemantauan terhadap rekening Nasabah harus dipantau lebih ketat apabila terdapat antara lain: a.
Nasabah tergolong berisiko tinggi;
b.
penggunaan produk atau jasa perbankan yang berisiko tinggi sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan teroris, contoh: 1)
kartu kredit dengan over payment dengan nilai yang signifikan; 86
159
2)
debitur berbadan hukum asing menggunakan jaminan seperti back to back LC dan/atau standby L/C;
c.
transaksi dengan pihak yang berasal dari negara berisiko tinggi, contoh transaksi pengiriman uang yang terkait dengan Nasabah yang tinggal di negara yang berisiko tinggi;
d.
transaksi tidak sesuai dengan profil; atau
e.
Nasabah merupakan PEP dan/atau pihak yang terkait dengan PEP, yaitu: 1)
perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP;
2)
anggota keluarga PEP sampai dengan derajat kedua; dan/atau
3)
pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP.
10. Seluruh kegiatan pemantauan didokumentasikan dengan tertib dan dalam bentuk tertulis baik melalui dokumen formal seperti memo, nota, atau catatan maupun melalui dokumen informal seperti korespondensi melalui email. C.
Database
Daftar
Teroris
dan
Daftar
Terduga
Teroris
dan
Organisasi Teroris 1.
Bank wajib memelihara: a.
database Daftar Teroris yang diterima dari Bank Indonesia setiap
6
(enam)
bulan
berdasarkan
data
yang
Organisasi
Teroris
yang
dipublikasikan oleh PBB; b.
Daftar
Terduga
Teroris
dan
dipublikasikan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan diterima melalui Bank Indonesia. 2.
Informasi mengenai Daftar Teroris antara lain dapat diperoleh melalui: a.
website PBB: http://www.un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml; atau
87
160
b.
sumber lainnya yang lazim digunakan oleh perbankan dan merupakan data publik antara lain The Office of Foreign Assets Controls List (OFAC List) dengan alamat situs internet: http://www.treas.gov/offices/enforcement/ofac/index.sht ml.
3.
Kegiatan pemantauan yang wajib dilakukan Bank terkait dengan database daftar teroris yang dimiliki adalah: a.
Memastikan secara berkala terdapat atau tidaknya namanama
Nasabah
Bank
yang
memiliki
kesamaan
atau
kemiripan dengan nama yang tercantum dalam database tersebut. b.
Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris, Bank wajib memastikan kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang terkait. Dalam
hal
terdapat
kesamaan
nama
Nasabah
dan
kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris, Bank wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam LTKM. D.
Pengkinian Data sebagai Tindak Lanjut dari Pemantauan 1.
Bank wajib melakukan pengkinian data terhadap informasi dan dokumen
sebagaimana
dimaksud
dalam
Peraturan
Bank
Indonesia mengenai APU dan PPT serta menatausahakannya. 2.
Bank wajib mengkinikan data Nasabah yang dimiliki agar identifikasi
dan
pemantauan
transaksi
keuangan
yang
mencurigakan dapat berjalan efektif. 3.
Pengkinian data Nasabah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko yang mencakup pengkinian profil Nasabah dan transaksinya. Dalam hal sumber daya yang dimiliki Bank terbatas, kegiatan pengkinian data dilakukan dengan skala prioritas. Contoh: pemenuhan informasi NPWP 88
161
bagi
Nasabah
yang
belum
memiliki
NPWP
diprioritaskan
terhadap Nasabah layanan prima atau Nasabah dengan jumlah saldo outstanding tertentu. 4.
Parameter untuk menetapkan skala prioritas sebagaimana dimaksud pada angka 2 antara lain: a.
tingkat risiko Nasabah tinggi;
b.
transaksi
dengan
jumlah
yang
signifikan
dan/atau
menyimpang dari profil transaksi atau profil Nasabah (red flag); c.
saldo yang nilainya signifikan; atau
d.
informasi yang ada
pada CIF belum sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia mengenai APU dan PPT. 5.
Pengkinian data dilakukan secara berkala berdasarkan tingkat risiko Nasabah atau transaksi. Sebagai contoh, untuk Nasabah risiko tinggi pengkinian data dilakukan setiap 6 bulan, untuk Nasabah risiko rendah pengkinian data dilakukan setiap 2 tahun, dan untuk Nasabah risiko menengah pengkinian data dilakukan setiap 1 tahun.
6.
Pelaksanaan pengkinian data terhadap Nasabah yang tercantum dalam laporan rencana pengkinian data dapat dilakukan antara lain pada saat: a.
pembukaan rekening tambahan;
b.
perpanjangan fasilitas pinjaman;
c.
penggantian buku tabungan, ATM, atau dokumen produk perbankan lainnya;
d.
kunjungan untuk keperluan safe deposit box;
e.
pelunasan pinjaman; atau
f.
lain-lain.
Tata cara penyampaian laporan rencana pengkinian data sebagaimana diatur dalam Bab XV butir B.1.b. 7.
Pencatatan ke dalam CIF atas informasi Nasabah yang dikinikan tanpa didukung dengan dokumen, harus dengan persetujuan dari Pejabat Bank yang berwenang. Contoh Nasabah mengisi 89
162
jumlah penghasilan dalam perjanjian rekening sebesar Rp5 juta per bulan, namun dari transfer gaji yang rutin setiap bulan dilakukan oleh perusahaan tempat Nasabah tersebut bekerja, jumlah penghasilan diketahui sebesar Rp15 juta per bulan. Dalam hal ini jumlah penghasilan yang diisikan dalam CIF adalah sebesar Rp15 juta. Untuk keperluan pengisian data CIF tersebut diperlukan catatan, nota, atau memo yang menjelaskan alasan atau pertimbangan pemilihan angka Rp15 juta dan persetujuan pejabat Bank yang berwenang terhadap catatan, nota, atau memo tersebut. Dokumen catatan, nota, atau memo tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pembukaan rekening Nasabah. 8.
Seluruh kegiatan pengkinian data harus diadministrasikan.
9.
Dalam hal Nasabah yang akan dilakukan pengkinian data telah menjadi
Nasabah
sebelum
Peraturan
Bank Indonesia
ini
berlaku, Bank wajib memberitahukan secara tertulis kepada Nasabah dimaksud mengenai kewajiban Bank untuk menolak transaksi,
membatalkan
transaksi
dan/atau
menutup
hubungan usaha apabila Nasabah memenuhi kriteria: a.
Nasabah tidak memenuhi ketentuan permintaan informasi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Tabel 1, Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10;
b.
diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu;
c.
menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya;
d.
berbentuk
Shell
Bank
atau
Bank
yang
mengijinkan
rekeningnya digunakan oleh Shell Bank; dan/atau e.
memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana.
10. Bank wajib melaporkan realisasi rencana pengkinian data 1 (satu)
tahun
sebelumnya
dengan
tata
cara
penyampaian
sebagaimana diatur dalam Bab XV butir B.1.c. 90
163
E.
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Hasil Pemantauan Berdasarkan hasil pemantauan atas profil dan transaksi Nasabah, Bank wajib melaporkan dalam LTKM apabila: 1.
Nasabah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 6 dan angka 7;
2.
Nasabah yang ditutup hubungan usahanya karena tidak bersedia melengkapi informasi dan dokumen pendukung, dan berdasarkan penilaian Bank, transaksi yang dilakukan tidak wajar atau mencurigakan;
3.
Nasabah atau WIC yang ditolak atau dibatalkan transaksinya karena tidak bersedia melengkapi informasi yang diminta oleh Bank dan berdasarkan penilaian Bank transaksi yang dilakukan tidak wajar atau mencurigakan; atau
4.
Transaksi yang memenuhi kriteria mencurigakan sebagaimana dimaksud
dalam
Undang-Undang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
91
164
BAB XIII SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN KARYAWAN A.
Sumber Daya Manusia 1.
Dalam rangka pencegahan penggunaan Bank sebagai media atau tujuan pencucian uang dan pendanaan terorisme, Bank wajib melakukan: a.
prosedur penyaringan (pre-employee screening) pada saat penerimaan pegawai baru sebagai bagian dari penerapan Know Your Employee (KYE), dengan ketentuan sebagai berikut: 1)
Metode screening disesuaikan dengan kebutuhan, kompleksitas usaha Bank, dan profil risiko Bank.
2)
Metode screening paling kurang memastikan profil calon karyawan tidak memiliki catatan kejahatan, seperti: a)
mewajibkan
calon
karyawan
pernyataan
dan/atau
membuat
menyerahkan
surat Surat
Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). b)
melakukan verifikasi ID dan pendidikan yang telah diperoleh calon karyawan.
c)
memastikan apakah calon karyawan memiliki kredit macet.
d)
memastikan track record calon karyawan dalam kurun waktu tertentu, misal 5 tahun terakhir.
e)
melakukan penelitian melalui media informasi lainnya.
b.
pengenalan dan pemantauan profil karyawan antara lain mencakup perilaku dan gaya hidup karyawan, seperti: 1)
memastikan karyawan tidak memiliki kredit macet;
2)
melakukan penelitian melalui media internet;
92
165
3)
melakukan
verifikasi
terhadap
mengalami
perubahan
gaya
karyawan
hidup
yang
yang cukup
signifikan; 4)
memantau rekening karyawan;
5)
memastikan bahwa karyawan telah memahami dan mentaati kode etik karyawan (staff code of conduct);
6)
mengevaluasi karyawan yang bertanggung jawab pada aktivitas yang tergolong berisiko tinggi antara lain memiliki akses ke data Bank, berhadapan dengan Calon Nasabah atau Nasabah, dan terlibat
dalam
pengadaan barang dan jasa bagi Bank. 2.
Prosedur penyaringan (pre-employee screening), pengenalan dan pemantauan kebijakan
terhadap
Know
ketentuan yang
Your
profil
karyawan
Employee
yang
dituangkan berpedoman
dalam pada
mengatur mengenai penerapan strategi anti
fraud. B.
Pelatihan 1.
Peserta Pelatihan a.
Bank harus memberikan pelatihan mengenai penerapan Program APU dan PPT kepada seluruh karyawan.
b.
Dalam
menentukan
mengutamakan
karyawan
peserta yang
pelatihan, tugas
Bank
sehari-harinya
memenuhi kriteria sebagai berikut: 1)
berhadapan langsung dengan Nasabah (pelayanan Nasabah);
2)
melakukan
pengawasan
pelaksanaan
penerapan
Program APU dan PPT; atau 3)
terkait dengan penyusunan pelaporan kepada PPATK dan Bank Indonesia.
c.
Karyawan yang mendapatkan prioritas harus mendapatkan pelatihan secara berkala, sedangkan karyawan lainnya
93
166
harus mendapatkan pelatihan paling kurang 1 (satu) kali dalam masa kerjanya. d.
Karyawan yang berhadapan langsung dengan Nasabah (front
liner)
harus
mendapatkan
pelatihan
sebelum
penempatan. 2.
Metode Pelatihan a.
Pelatihan dapat dilakukan secara elekronik (online base) maupun melalui tatap muka.
b.
Pelatihan
secara
elektronik
(online
base)
dapat
menggunakan media e-learning baik yang disediakan oleh otoritas berwenang seperti PPATK atau yang disediakan secara mandiri oleh Bank. c.
Pelatihan
melalui
tatap
muka
dilakukan
dengan
menggunakan pendekatan antara lain: 1)
Tatap muka secara interaktif (misal workshop) dengan topik
pelatihan
disesuaikan
dengan
kebutuhan
peserta. Pendekatan ini digunakan untuk karyawan yang mendapatkan prioritas dan dilakukan secara berkala, misal setiap tahun. Tatap muka satu arah (misal seminar) dengan topik pelatihan
adalah
berupa
gambaran
umum
dari
penerapan Program APU dan PPT. Pendekatan ini diberikan kepada karyawan yang tidak mendapatkan prioritas dan dilakukan apabila terdapat perubahan ketentuan yang signifikan. 3.
Topik dan Evaluasi Pelatihan a.
Topik pelatihan paling kurang mengenai: 1)
implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Program APU dan PPT;
2)
teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan
terorisme
termasuk
trend
dan
perkembangan profil risiko produk perbankan; dan
94
167
3)
kebijakan dan prosedur penerapan Program APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan memberantas pencucian uang atau pendanaan terorisme, termasuk konsekuensi apabila karyawan melakukan tipping off.
Kedalaman topik pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan karyawan dan kesesuaian dengan tugas dan tanggung jawab karyawan. b.
Untuk mengetahui tingkat pemahaman karyawan dan kesesuaian materi pelatihan,
Bank harus melakukan
evaluasi
pelatihan
terhadap
setiap
yang
telah
diselenggarakan. c.
Evaluasi
dapat
dilakukan
secara
langsung
melalui
wawancara atau secara tidak langsung melalui tes. d.
Bank harus melakukan upaya tindak lanjut dari hasil evaluasi pelatihan melalui penyempurnaan materi dan metode pelatihan.
95
168
BAB XIV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENERAPAN APU DAN PPT BAGI KANTOR BANK DAN ANAK PERUSAHAAN DI LUAR NEGERI 1.
Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib meneruskan kebijakan dan prosedur Program APU dan PPT, termasuk kebijakan dan prosedur pertukaran informasi untuk tujuan CDD dan manajemen risiko terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme, ke seluruh jaringan kantor dan anak perusahaannya di luar negeri.
2.
Kebijakan dan prosedur Program APU dan PPT di seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri wajib dipantau pelaksanaannya secara berkala.
3.
Dalam
melaksanakan
pertukaran
informasi
sebagaimana
dimaksud pada angka 1, Bank harus memperhatikan tingkat keamanan informasi dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 4.
Terhadap jaringan kantor dan anak perusahaan Bank di luar negeri berlaku ketentuan sebagai berikut: a.
Apabila di negara tempat kedudukan jaringan kantor atau anak perusahaan memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari peraturan di Indonesia, jaringan kantor atau anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud.
b.
Apabila di negara tempat kedudukan jaringan kantor atau anak perusahaan belum mematuhi rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar Program APU dan PPT yang dimiliki lebih longgar dari yang peraturan yang berlaku
di
Indonesia,
jaringan
kantor
atau
anak
perusahaan wajib menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. c.
Dalam hal peraturan di Indonesia mengenai penerapan Program
APU
dan
PPT
mengakibatkan
pelanggaran 96
169
terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan jaringan kantor atau anak perusahaan berada maka pejabat kantor Bank atau anak perusahaan di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada Bank dan Bank Indonesia bahwa tidak dapat menerapkan Program APU dan PPT yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya
Bank
harus
menerapkan
tindakan
yang
memadai terhadap jaringan kantor atau anak perusahaan di luar negeri untuk memitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta melaporkannya kepada Bank Indonesia. 5.
Penetapan
ketat
atau
longgarnya
peraturan
di
tempat
kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri harus
didukung
dengan
analis
terhadap
masing-masing
peraturan yang berlaku. 6.
Dalam rangka pemantauan pelaksanaan Program APU dan PPT pada jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri maka jaringan kantor dan anak perusahaan harus melaporkan pelaksanaan Program APU dan PPT kepada Bank secara berkala, termasuk statistik LTKM yang telah dilaporkan kepada otoritas setempat.
97
170
BAB XV PENATAUSAHAAN DOKUMEN DAN PELAPORAN A.
Penatausahaan Dokumen 1.
Bank wajib menatausahakan data atau dokumen dengan baik sebagai upaya untuk membantu pihak yang berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap dana-dana yang diindikasikan berasal dari hasil kejahatan atau membantu pelaksanaan tugas dari otoritas berwenang. Dengan demikian, dokumen yang dimiliki atau disimpan Bank harus akurat dan lengkap, sehingga mudah pencariannya jika diperlukan.
2.
Jangka waktu penatausahaan dokumen adalah sebagai berikut: a.
dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak: 1)
berakhirnya hubungan usaha dengan Nasabah;
2)
transaksi dilakukan dengan WIC; atau
3)
ditemukannya
ketidaksesuaian
transaksi
dengan
tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha. b.
dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan Nasabah atau WIC dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan.
3.
Dokumen yang ditatausahakan paling kurang mencakup: a.
identitas Nasabah atau WIC; dan
b.
informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi.
4.
Bank wajib memastikan bahwa seluruh dokumen baik yang terkait dengan data Nasabah atau WIC maupun dokumen yang terkait dengan transaksi Nasabah atau WIC dapat disediakan setiap saat untuk kebutuhan otoritas yang berwenang.
98
171
B.
Pelaporan 1.
Pelaporan kepada Bank Indonesia a.
Action Plan Pelaksanaan Program APU dan PPT 1)
Laporan disampaikan dalam Laporan Pelaksanaan Tugas
Direktur
yang
membawahkan
fungsi
Kepatuhan. 2)
Penyesuaian action plan pelaksanaan Program APU dan PPT terhadap Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kalinya dilakukan pada bulan Juni 2013.
3)
Laporan action plan paling kurang memuat langkahlangkah pelaksanaan Program APU dan PPT dalam rangka kepatuhan terhadap Peraturan Bank Indonesia mengenai APU dan PPT yang wajib dilaksanakan oleh Bank sesuai dengan target waktu selama periode tertentu sebagaimana ditetapkan dalam action plan, yaitu memuat antara lain: a)
penyesuaian
sistem,
perjanjian
pembukaan
hubungan usaha, dan mitigasi risiko terkait penerapan CDD sederhana; b)
pengelompokan Nasabah berdasarkan RBA;
c)
penyempurnaan
infrastruktur
terkait
dengan
teknologi informasi; d)
persiapan dalam pembangunan single Customer Identification File (CIF);
e)
penunjukkan pegawai yang menjalankan fungsi UKK
di
kantor
cabang
yang
kompleksitas
usahanya tinggi; f)
penyiapan sumber daya manusia yang memadai; dan/atau
g)
penyesuaian
teknologi
informasi
untuk
pelaksanaan program pengkinian data Nasabah. 4)
Action plan mendapatkan persetujuan dari 2 (dua)
99
172
anggota Direksi yaitu Direktur Utama dan Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan. 5)
Perubahan atas action plan dapat dilakukan sepanjang terdapat perubahan-perubahan yang terjadi di luar kendali
Bank
dan
disampaikan
kepada
Bank
Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan. b.
Laporan Rencana Kegiatan Pengkinian Data 1)
Laporan disampaikan setiap tahun dalam Laporan Pelaksanaan
Tugas
Direktur
yang
membawahkan
fungsi Kepatuhan semester II. 2)
Penyampaian
laporan
rencana
pengkinian
data
terhadap Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kalinya
dilakukan
Pelaksanaan
Tugas
pada
pelaporan
Direktur
yang
Laporan
membawahkan
fungsi Kepatuhan semester II bulan Desember 2013. 3)
Laporan
rencana
kegiatan
pengkinian
data
mendapatkan persetujuan dari 2 (dua) anggota Direksi yaitu
Direktur
Utama
dan
Direktur
yang
pengkinian
data
membawahkan fungsi Kepatuhan. 4)
Laporan
rencana
berpedoman
pada
kegiatan format
sebagaimana
terlampir
dalam Lampiran I. 5)
Perubahan atas laporan rencana kegiatan pengkinian data dapat dilakukan sepanjang terdapat perubahanperubahan yang terjadi di luar kendali Bank dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan.
c.
Laporan Realisasi Kegiatan Pengkinian Data 1)
Laporan disampaikan dalam Laporan Pelaksanaan Tugas Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan semester II. 100
173
2)
Penyampaian
laporan
realisasi
pengkinian
data
terhadap Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kalinya
dilakukan
Pelaksanaan
Tugas
pada
pelaporan
Direktur
yang
Laporan
membawahkan
fungsi Kepatuhan semester II bulan Desember 2014. 3)
Laporan
realisasi kegiatan pengkinian
data
yang
disampaikan wajib mendapatkan persetujuan dari Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan. 4)
Laporan
realisasi
berpedoman
pada
kegiatan format
pengkinian
laporan
data
sebagaimana
terlampir dalam Lampiran I. 2.
Pelaporan kepada PPATK a.
Pelaporan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai dengan ketentuan dan tata cara pelaporan mengacu kepada Keputusan Kepala PPATK.
b.
Pelaporan transaksi keuangan mencurigakan termasuk untuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan terorisme.
c.
Pelaporan transaksi transfer dana dari dan ke luar negeri, dengan ketentuan dan tata cara pelaporan mengacu kepada Keputusan Kepala PPATK.
101
174
LAMPIRAN I
LAPORAN RENCANA PENGKINIAN DATA PT. BANK … Posisi …..
NO
JENIS NASABAH DAN TINGKAT RISIKO
1.
JUMLAH CIF CIF yg akan Dikinikan
% terhadap jml seluruh CIF
INFORMASI YG AKAN DIKINIKAN **)
TIME FRAME (%) *) METODE/ STRATEGI **)
6
9
12
bulan
bulan
bulan
***)
***)
***)
Nasabah Perorangan: a. High Risk b. Medium Risk c. Low Risk
2.
Nasabah Perusahaan: 102
175
NO
JENIS NASABAH DAN TINGKAT RISIKO
JUMLAH CIF CIF yg akan Dikinikan
% terhadap jml seluruh CIF
INFORMASI YG AKAN DIKINIKAN **)
TIME FRAME (%) *) METODE/ STRATEGI **)
6
9
12
bulan
bulan
bulan
***)
***)
***)
a. Perusahaan usaha mikro dan usaha kecil: 1) High Risk 2) Medium Risk 3) Low Risk b. Perusahaan non usaha mikro dan usaha kecil 1) High Risk 2) Medium Risk 3) Low Risk 3.
Perkumpulan
4.
Yayasan
103
176
NO
JENIS NASABAH DAN TINGKAT RISIKO
5.
JUMLAH CIF CIF yg akan Dikinikan
% terhadap jml seluruh CIF
TIME FRAME (%) *)
INFORMASI YG AKAN DIKINIKAN
METODE/ STRATEGI
**)
**)
6
9
12
bulan
bulan
bulan
***)
***)
***)
Cross Border Correspondent Banking
*) Penetapan waktu terhitung sejak tanggal penyampaian laporan kepada Bank Indonesia **) Dapat diisi lebih dari satu ***) target waktu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masing-masing Bank.
104
177
LAPORAN REALISASI RENCANA PENGKINIAN DATA PT. BANK … PERIODE: … PROGRESS NO. 1.
JENIS NASABAH
Target
Realisasi
Deviasi (%)
KENDALA
UPAYA YANG AKAN DILAKUKAN
Nasabah Perorangan : a. High Risk b. Medium Risk c. Low Risk
2.
Nasabah Perusahaan : a. Perusahaan usaha mikro & usaha kecil: 1) High Risk 2) Medium Risk 3) Low Risk b. Perusahaan Non Usaha mikro dan usaha kecil Selain Bank : 105
178
PROGRESS NO.
JENIS NASABAH
Target
Realisasi
Deviasi (%)
KENDALA
UPAYA YANG AKAN DILAKUKAN
1) High Risk 2) Medium Risk 3) Low Risk 3.
Perkumpulan
4.
Yayasan
5.
Cross Border Correspondent Banking
106
179
LAMPIRAN II
CONTOH-CONTOH TRANSAKSI, AKTIVITAS, DAN PERILAKU YANG TIDAK WAJAR (RED FLAG) 1.
Transaksi yang tidak Bernilai Ekonomis a.
Hubungan Nasabah dengan Bank dimana Nasabah memiliki banyak rekening pada Bank yang sama, dan sering melakukan transfer kepada beberapa rekening yang dimiliki tersebut atau melakukan transfer dalam jumlah yang signifikan.
b.
Transaksi di mana dana yang baru saja disetorkan kemudian diambil kembali secara tiba-tiba, kecuali apabila terdapat alasan yang jelas atas penarikan secara tiba-tiba tersebut.
c.
Transaksi yang tidak dapat direkonsiliasi dengan aktivitas yang biasa dilakukan oleh Nasabah, contohnya, penggunaan Letter of Credits
dan
metode
pendanaan
perdagangan
lainnya
yang
memindahkan uang dari Negara satu ke Negara lainnya dimana perdagangan dimaksud tidak konsisten dengan bisnis yang biasa dilakukan oleh Nasabah. d.
Penarikan atau penyetoran dalam jumlah besar dari rekening Nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening Nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri tanpa didukung dengan alasan yang memadai dan tidak terdapat adanya keterkaitan antara Nasabah dengan kegiatan usaha Nasabah.
e.
Ketentuan Bank garansi atau ganti rugi sebagai jaminan untuk pinjaman antara pihak ketiga yang tidak sesuai dengan kondisi pasar.
f.
Back to back loans tanpa ada tujuan yang dapat diidentifikasi dan dapat diterima secara hukum.
g.
Terdapat transaksi penyetoran uang tunai pada suatu Bank yang 107
180
pada saat yang sama langsung dilakukan penarikan pada Bank yang lokasinya berbeda. 2.
Transaksi dengan Menggunakan Uang Tunai dalam Jumlah Besar a.
Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar.
b.
Pembelian atau pembayaran atas mata uang asing dalam jumlah yang besar dengan menggunakan cash settlement walaupun Nasabah memiliki rekening di Bank.
c.
Penarikan sejumlah besar uang yang sering dilakukan, dengan menggunakan cek, termasuk traveller cheques.
d.
Penarikan sejumlah besar uang tunai yang sering dilakukan yang tidak sesuai dengan aktivitas bisnis Nasabah.
e.
Sejumlah uang tunai ditarik dari rekening yang semula tidak aktif (dormant account) atau dari sebuah rekening yang baru saja menerima kredit yang tak terduga dalam jumlah besar dari luar negeri.
f.
Transaksi perusahaan, baik setoran maupun penarikan dengan jumlah yang sangat besar dan di luar kewajaran, yang biasanya dilakukan
dengan
operasi
komersial
yang
normal
dari
perusahaan, misalnya cek, LC, bill of exchange namun dilakukan dengan uang tunai. g.
Penyetoran uang tunai dengan cara menggunakan banyak slip penyetoran dalam jumlah kecil, yang bila digabungkan maka jumlahnya menjadi sangat besar.
h.
Penyetoran dalam bentuk tunai untuk penyelesaian tagihan wesel, transfer atau instrumen pasar uang lainnya.
i.
Nasabah yang depositnya terdiri dari mata uang palsu dan instrumen tiruan.
j.
Penyetoran uang tunai dalam jumlah besar dengan menggunakan ATM di malam hari, untuk menghindari hubungan langsung dengan Bank.
k.
Nasabah membuat penyetoran uang tunai dalam jumlah besar 108
181
dan frekuensi yang tinggi, tetapi penarikan cek atas rekening lebih banyak ditujukan untuk rekening pihak ketiga yang tidak terkait dengan bisnisnya. l.
Beberapa Nasabah datang ke Bank secara bersamaan dan menggunakan teller yang berbeda untuk melakukan penarikan atau penyetoran dalam jumlah besar atau melakukan transaksi penukaran uang asing.
m.
Terdapat penarikan secara tunai dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang sama langsung disetorkan ke rekening yang lain.
3.
Transaksi dengan Menggunakan Rekening Bank a.
Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain yang tidak sesuai dengan jenis kegiatan usaha Nasabah.
b.
Terdapat pemecahan transaksi melalui penyetoran secara tunai dalam jumlah kecil ke dalam beberapa rekening sehingga jumlah total penyetoran tersebut menjadi sangat besar.
c.
Penyetoran dan/atau penarikan dalam jumlah besar dari rekening perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan usaha Nasabah.
d.
Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya
yang
sangat
besar
bagi
Bank
untuk
melakukan
pembuktian. e.
Pembayaran dari rekening Nasabah yang dilakukan setelah adanya penyetoran tunai kepada rekening dimaksud pada hari yang sama atau pada hari yang berdekatan.
f.
Penarikan dalam jumlah besar dari rekening Nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening Nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri.
g.
Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk berhubungan dengan petugas Bank.
h.
Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai atau negotiable instruments
oleh
suatu
perusahaan
dengan
menggunakan 109
182
rekening Nasabah perusahaan, khususnya apabila penyetoran tersebut langsung ditransfer di antara rekening Nasabah lainnya. i.
Penolakan oleh Nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau informasi penting, yang apabila diberikan memungkinkan Nasabah menjadi layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kredit atau jasa perbankan lainnya.
j.
Penolakan Nasabah terhadap fasilitas perbankan yang lazim diberikan, seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinggi terhadap jumlah saldo tertentu.
k.
Pembayaran dengan cek kepada pihak ketiga dalam jumlah besar yang dilakukan oleh Nasabah besar.
l.
Sebuah rekening dibuka atas nama pedagang valuta asing yang menerima structured deposits.
m.
Rekening
atas
nama
sebuah
perusahaan
offshore
dengan
structured movement of funds. n.
Penyetoran dana dengan menggunakan cek perusahaan ke rekening pegawai yang dilakukan secara berkala.
o.
Transfer dana dari rekening perusahaan kepada rekening pegawai atau sebaliknya.
4.
Transaksi dengan Melakukan Transfer ke Luar Negeri a.
Pengenalan
Nasabah
oleh
kantor
cabang
di
luar
negeri,
perusahaan afiliasi atau Bank lain yang berada di negara yang diketahui sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika. b.
Penggunaan Letter of Credits (L/C) dan instrumen perdagangan internasional lain untuk memindahkan dana antar negara dimana transaksi perdagangan tersebut tidak sejalan dengan kegiatan usaha Nasabah.
c.
Penerimaan atau pengiriman transfer oleh Nasabah dalam jumlah besar ke atau dari negara yang diketahui merupakan negara yang terkait dengan produksi, proses, dan atau pemasaran obat terlarang atau kegiatan terorisme.
d.
Penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai 110
183
dengan karakteristik perputaran usaha Nasabah yang kemudian ditransfer ke negara lain. e.
Transfer secara elektronis oleh Nasabah tanpa disertai penjelasan yang memadai atau tidak dengan menggunakan rekening.
f.
Permintaan travellers cheques, wesel dalam mata uang asing, atau negotiable instrument lainnya dengan frekuensi tinggi.
g.
Pembayaran dengan menggunakan travellers cheques atau wesel dalam mata uang asing khususnya yang diterbitkan oleh negara lain dengan frekuensi tinggi.
h.
Seseorang yang tidak memiliki rekening di Bank dan tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai atas kegiatan transfer yang dilakukannya dalam jumlah besar ke luar negeri.
i.
Seorang
Nasabah
yang
kelihatannya
memiliki
rekening
di
beberapa Bank yang berlokasi di tempat yang sama, terutama ketika Bank waspada akan proses konsolidasi yang teratur dari rekening-rekening
dimaksud
sebelumnya
untuk
meminta
transmisi seterusnya dari dana di mana saja. j.
Transfer yang dilakukan secara berulang atas sejumlah uang ke luar negeri yang diikuti dengan penyetoran tunai.
k.
Peningkatan yang besar dalam penyetoran uang tunai oleh Nasabah tanpa penjelasan yang memadai, terutama apabila dana tersebut ditransfer kembali dalam waktu yang singkat dengan tujuan transfer tidak terkait dengan Nasabah.
l.
Laporan keuangan yang disediakan tidak konsisten dengan turn over bisnis Nasabah, dan selanjutnya ditransfer ke rekening di luar negeri.
m.
Penyetoran secara tunai kepada suatu rekening yang dilakukan oleh beberapa orang tanpa penjelasan yang memadai.
n.
Transaksi pengiriman uang yang dilakukan dari satu rekening ke rekening lainnya di luar negeri dan sebagai penerima akhir adalah pengirim
yang
pertama
kali
melakukan
transaksi
baik
keseluruhan maupun sebagian (“U Turn” transaction).
111
184
5.
Transaksi yang Berkaitan dengan Investasi a.
Pembelian surat berharga untuk disimpan di Bank sebagai kustodian yang seharusnya tidak layak apabila memperhatikan reputasi atau kemampuan finansial Nasabah.
b.
Transaksi pinjaman dengan jaminan dana yang diblokir (back-toback
deposit/loan
transactions)
antara
Bank
dengan
anak
perusahaan, perusahaan afiliasi, atau institusi perbankan di negara lain yang dikenal sebagai negara tempat lalu-lintas perdagangan narkotika. c.
Permintaan Nasabah untuk jasa pengelolaan investasi dengan sumber dana investasi yang tidak jelas sumbernya atau tidak konsisten dengan reputasi atas kemampuan finansial Nasabah.
d.
Transaksi surat berharga dalam bentuk uang tunai dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan profil transaksi atas.
e.
Pembelian dan penjualan surat berharga tanpa tujuan yang jelas.
f.
Transfer jumlah besar atas surat berharga ke rekening yang tidak memiliki keterkaitan.
g.
Transaksi dengan pihak lawan (counterparty) yang tidak dikenal atau sifat, jumlah dan frekuensi transaksi yang tidak lazim.
h.
Investor yang diperkenalkan oleh pihak ketiga (Bank
atau
perusahaan afiliasi, atau investor lain) dari negara yang dikenal sebagai sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika. 6.
Transaksi yang Berhubungan dengan Pihak-pihak yang Tidak Dapat Diidentifikasi a.
Pihak ketiga yang tidak dikenali Bank dan tidak memiliki hubungan dengan Nasabah menjanjikan atau menjaminkan tanpa adanya penjelasan yang memadai.
b.
Permintaan pembayaran dengan informasi yang tidak akurat tentang pihak yang meminta informasi tersebut.
c.
Kepemilikan saham di sebuah perusahaan yang unlisted yang aktivitasnya tidak dapat dipastikan sebagai Bank.
112
185
7.
Transaksi yang Terkait dengan Perilaku Nasabah atau Pelaku Transaksi a.
Menggunakan banyak nama untuk melakukan transaksi yang serupa.
b.
Transfer dana ke organisasi amal yang terletak di luar negeri.
c.
Banyak transaksi yang serupa yang dilakukan pada hari yang sama di lokasi yang berbeda.
d.
Pihak ketiga hadir dalam keseluruhan transaksi namun tidak berpartisipasi dalam transaksi aktual.
e.
Nasabah bersikeras agar transaksi dilakukan dengan cepat.
f.
Transaksi dilakukan melalui telepon atau faksimili atau internet (non face to face).
g.
Transfer dana dalam jumlah yang banyak ke atau dari luar negeri dengan instruksi untuk pembayaran dalam bentuk tunai
h.
Nasabah berbentuk grup tiba di Bank tetapi bertindak seolah-olah tidak
saling
mengenal
satu
sama
lain,
kemudian
mereka
melakukan transaksi yang bersamaan secara terpisah. i.
Uang dalam jumlah besar namun sumber dana tidak jelas atau tidak konsisten dengan situasi keuangan Nasabah.
j.
Nasabah memiliki pengetahuan tentang kewajiban pelaporan atau pengendalian internal Bank, Pengawasan dan proses operasional secara tidak wajar.
k.
Nasabah memberikan informasi yang tidak konsisten kepada pegawai yang berbeda pada Bank yang sama.
l.
Informasi detail mengenai Nasabah tidak jelas atau sulit untuk diverifikasi.
m.
Nasabah memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap sesuatu yang terkait dengan prosedur pengecualian.
n.
Nasabah tertutup dan menghindari pertemuan secara personal.
o.
Nasabah menjelaskan transaksi secara berlebihan.
p.
Nasabah bersikeras terhadap pertanyaan yang diajukan oleh staf Bank.
q.
Pertanyaan yang diajukan kepada pegawai Bank tidak sesuai atau 113
186
tidak wajar. r.
Nasabah terburu-buru, panik atau gugup.
s.
Informasi yang diberikan oleh Nasabah berlawanan dengan informasi yang didapat dari sumber lain.
t.
Nasabah menggunakan banyak alamat yang mirip/sama.
u.
Informasi mengenai nama, alamat atau tanggal lahir tidak konsisten.
v.
Nasabah
menolak
menutup-nutupi
memberikan
dengan
penjelasan
mengalihkan
atau
berusaha
pembicaraan
kepada
masalah lain yang tidak terkait dengan transaksi yang ditanyakan (transaksi besar yang dilakukan Nasabah dalam periode tertentu). w.
Nasabah menjawap pertanyaan dengan nada menantang, dengan mengatakan bahwa Nasabah adalah orang terpandang atau dekat dengan pejabat di daerah tertentu pada saat petugas Bank mengklarifikasi data Nasabah.
x.
Pola transaksi Nasabah di luar kebiasaan, misalnya Nasabah terbiasa bertransaksi melalui kurir kemudian berubah menjadi perintah tertulis.
y.
Pola transaksi Nasabah yang biasanya tidak pernah dilakukan tunai atau jarang, berubah menjadi tunai dalam jumlah yang sangat signifikan.
z.
Nasabah diberitakan terlibat tindakan kriminal (korupsi, illegal logging, dll), maka terindikasi simpanannya berasal dari tindakan dimaksud.
aa. Nasabah memberikan penjelasan yang tidak masuk akal atas penyetoran uang tunai yang dilakukan dengan jumlah sangat besar.
Misalnya
dimaksud
Nasabah
berasal
dari
mengatakan hasil
bahwa
penjualan
uang
tanah
tunai untuk
pengembangan jalan tol. Selazimnya transaksi tersebut melalui transfer yang dilakukan oleh instansi yang jelas, dan tidak melalui setoran tunai. 8.
Aktivitas yang Dapat Dikategorikan Ilegal a.
Nasabah diberitakan oleh media massa sebagai seseorang yang 114
187
diduga terlibat aktivitas illegal atau tindak pidana. b.
Instruksi transfer dana masuk dari Negara tax haven atau Negara yang terkenal dengan pendanaan terorisme
9.
Transaksi Mencurigakan yang Melibatkan Karyawan Bank dan/atau Agen a.
Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar tanpa disertai penjelasan yang memadai;
b.
Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai mengenai penerima akhir (ultimate beneficiary).
10. Transaksi Mencurigakan Melalui Transaksi Pinjam Meminjam a.
Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga;
b.
Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal usulnya dari aset yang diagunkan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan kemampuan finansial Nasabah;
c.
Permintaan Nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas pendanaan dimana porsi dana sendiri Nasabah dalam fasilitas dimaksud tidak jelas asal usulnya, khususnya apabila terkait dengan properti.
11. Transaksi
yang
Terkait
dengan
Hasil
Kejahatan
di
Bidang
Kehutanan a.
Penyetoran dengan sumber dana berasal dari hasil penjualan kayu yang diperoleh secara ilegal melalui upaya penipuan dan penyuapan.
b.
Pemindahan dana baik melalui transfer atau pemindahbukuan dengan sumber dana berasal dari hasil penjualan kayu yang diperoleh secara ilegal melalui upaya penipuan dan penyuapan.
c.
Pembangunan kebun kelapa sawit dengan sumber dana berasal dari hasil penjualan kayu yang diperoleh secara ilegal melalui upaya penipuan dan penyuapan. 115
188
d.
Penjualan hasil kebun kelapa sawit dari lahan yang diperoleh melalui penipuan dan penyuapan.
12. Tipe-tipe Transaksi Lainnya a.
Pembelian atau penjualan sejumlah besar logam berharga oleh interim customer.
b.
Pembelian cek Bank dalam skala besar oleh interim customer.
c.
Perluasan
atau
peningkatan
penggunaaan
fasilitas
penyetoran/tabungan yang tidak diikuti dengan aktivitas bisnis atau personal Nasabah yang meningkat. d.
Aktivitas rekening tidak setara dengan profile Nasabah (misal: umur, pekerjaan, pendapatan)
e.
Nasabah sering mengubah alamat dan tanda tangan.
f.
Sejumlah besar dana diterima, dan tiba-tiba digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh fasilitas perbankan.
g.
Seseorang yang baru berusia sekitar 17-26 tahun membuka rekening dan melakukan penarikan atau transfer dana dalam waktu yang singkat, yang dapat diindikasikan sebagai pendanaan teroris.
h.
Nasabah menerima dana dari organisasi keagamaan atau amal dan
memanfaatkan
dananya
untuk
pembelian
aset
atau
mentransfer dana dimaksud keluar dalam waktu yang relatif pendek. i.
Nasabah atau WIC yang bersikeras tidak mau memberikan informasi dan dokumen yang dipersyaratkan atau hanya mau memberikan
informasi
yang
minim,
dan
atau
memberikan
informasi yang tidak sesuai dengan dokumen pendukung. 13. Transaksi
yang
Dilakukan
oleh
Nasabah
yang
Mendapatkan
Perlakuan CDD Sederhana a.
Sikap Nasabah yang kurang kooperatif ketika petugas Bank mengajukan pertanyaan lebih lanjut dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih lengkap atau Bank mengidentifikasikan 116
189
adanya perilaku Nasabah yang mencurigakan. b.
Terdapat pola transaksi yang tidak konsisten dengan profil Nasabah yang pada awal melakukan hubungan usaha dengan Bank memenuhi kriteria mendapat perlakuan CDD sederhana.
c.
Nasabah
diindikasikan
terlibat
dalam
kegiatan
pendanaan
terorisme. d.
Nasabah diindikasikan melakukan percobaan penyuapan untuk mempengaruhi Pejabat atau pegawai Bank.
e.
Nasabah dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar
sebagai
upaya
untuk
mendapatkan
perlakuan
CDD
sederhana. 14. Transaksi yang Dilakukan Terkait dengan Proses Rehabilitasi Pencatuman Nama dalam Daftar Hitam Nasional Dalam proses rehabilitasi, Nasabah melakukan penyelesaian transaksi yang sebelumnya ditolak karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam
ketentuan
yang
mengatur
mengenai
sistem
pembayaran. Penyelesaian dilakukan dengan melakukan beberapa transaksi secara tunai pada hari yang sama dalam jumlah yang signifikan tanpa disertai dengan underlying yang jelas.
117
190
LAMPIRAN III GLOSSARY Anti Tipping-Off : larangan memberikan keterangan pada pihak yang tidak berhak dengan tujuan untuk mencegah pihak yang dilaporkan (Nasabah) mengalihkan dananya dan/atau melarikan diri untuk menjaga efektifitas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Bank Draft : warkat pembayaran yang diterbitkan dalam valas oleh Bank di Indonesia yang dapat diuangkan pada Bank di luar negeri. Bank Notes : layanan ini rentan terhadap aksi pencucian uang karena Bank notes diterima di hampir semua jenis usaha dan lokasi. Beneficial Owner : setiap orang yang merupakan pemilik sebenarnya dari dana yang ditempatkan pada Bank (ultimately own account); mengendalikan transaksi Nasabah; melakukan transaksi;
memberikan kuasa untuk
mengendalikan badan hukum; dan/atau
merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian. Correspondent Banking : kegiatan suatu bank (correspondent) dalam menyediakan
layanan
jasa
bagi
bank
lainnya
(respondent)
berdasarkan suatu kesepakatan tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan jasa perbankan lainnya. Credit : penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutang setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan/bagi hasil. Credit Card : lihat penjelasan dalam credit. Cross Border Correspondent Banking : Correspondent Banking di mana salah satu kedudukan bank corespondent atau bank respondent berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia. Cuckoo Smurfing : adalah upaya mengaburkan asal usul sumber dana dengan mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya melalui rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri 118
191
dan tidak menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut merupakan “proceed of crime”. Istilah ini pertama kali muncul di Eropa karena adanya kesamaan antara modus operandi TPPU ini dengan aktivitas dari “Cuckoo Bird”. Custodian : jasa penitipan dan penatausahaan surat berharga yang telah diperdagangkan di pasar modal yang dimiliki oleh perorangan atau perusahaan baik lokal maupun asing. Bank Custodian bertindak untuk dan atas nama Nasabah melakukan pengurusan kepentingan Nasabahnya, seperti penerimaan dividen, pembelian saham baru yang ditawarkan oleh suatu perusahaan secara terbatas (right issue), penerimaan saham bonus, pendaftaran saham atas nama pembeli
untuk
perubahan
dicatat
akibat
sebagai
pemecahan
pemegang saham,
dan
saham,
mencatat
pengiriman
dan
penerimaan obligasi baik dari/ke broker maupun custodian lainnya. Customer Due Diligence : adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah. Electronic Banking : meliputi antara lain jasa ATM, jasa transaksi on line, mobile banking, phone Banking dan SMS banking. Enhance Due Dilligence (EDD) : tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Bank pada saat berhubungan dengan Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah yang tergolong berisiko tinggi, termasuk Politically Exposed Person, terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Financial Action Task Force (FATF) : Didirikan tahun1989 oleh G-7 dengan mandate menilai hasil kerjasama antar negara yang telah ada untuk mencegah dipergunakannya sistem perbankan sebagai media pencucian uang antara lain dengan mengeluarkan standar mengenai anti-pencucian uang yang komprehensif (40 Rekomendasi FATF yang telah direvisi pada tahun 1996 dan 2003). Oktober 2001 dikeluarkan 8 Rekomendasi Khusus mengenai Pendanaan Teroris dan Oktober 2004 dikeluarkan 9 Rekomendasi Khusus yang terkait dengan pembawaan uang tunai. Front Liner/Officer : petugas Bank yang langsung berhubungan dengan 119
192
Nasabah yang membutuhkan pelayanan perbankan, antara lain teller dan customer service. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) : izin konsesi kehutanan dengan daur 20-25 tahun [tergantung jenis topologi hutannya]. Pada dasarnya pemegang HPH diberikan izin untuk mengelola kawasan yang sudah ada hutannya untuk ditebang kayunya berdasarkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia. Dengan sistem ini hutan yang dikelola HPH akan tetep utuh sepanjang siklus 25 tahun tersebut. Nama HPH sekarang berubah menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam atau disingkat IUPHHK-HA. High Risk Countries : negara-negara yang diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme,
antara
lain
karena
tidak/belum
menerapkan
rekomendasi FATF. High Risk Customer : Nasabah yang diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi sebagai pelaku/ikut serta dalam kegiatan pencucian uang baik karena pekerjaan, jabatan, jasa perbankan yang digunakan maupun kegiatan usahanya. High Risk Product : Produk perbankan yang banyak diminati oleh pelaku pencucian uang. High Risk Service : Jasa perbankan yang banyak diminati oleh pelaku pencucian uang. Hutan Tanaman Industri (HTI), izin ini hampir sama dengan HPH, namun berlokasi pada kawasan hutan yang sudah tidak memiliki hutan lagi (kawasan hutan yang gundul). Pemegang HTI diwajibkan untuk melakukan penanaman kebun kayu daur cepat 7-10 tahun. Kemudian kayu tersebut dapat dipanen oleh perusahaan. Sehingga hutan dari HTI adalah hutan yang memang dibudidayakan oleh perusahaan. Saat ini, nama HTI sekarang adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman disingkat IUPHHK-HT. Internet Banking : layanan yang diberikan kepada Nasabahnya untuk 120
193
melakukan transaksi perbankan melalui komputer dalam jaringan internet. Izin
Pemanfaatan
Kayu
:
izin
ini
diperoleh
untuk
melakukan
pembukaan lahan (land clearing) pada kawasan hutan yang telah dilepaskan menjadi kawasan bukan hutan. Joint Account : rekening yang dimiliki secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih Nasabah yang memiliki hak dan kewajiban yang sama atas rekening tersebut. Legal Risk : risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat
sahnya
kontrak
dan
pengikatan
agunan
yang
tidak
sempurna. Letter of Credit : dokumen yang diterbitkan bagi pihak ketiga atas permintaan Nasabah Bank penerbit. Dalam transaksi tersebut Bank penerbit berjanji untuk melakukan pembayaran atas instruksi pihak ketiga tersebut sebagai pembayaran hutang Nasabah Bank penerbit. Major Credit Card : kartu kredit yang secara aktif digunakan oleh Nasabah untuk bertransaksi. Money Laundering (Pencucian Uang) : perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan,
menyumbangkan,
menitipkan,
membelanjakan, membawa
ke
menghibahkan, luar
negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asalusul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Operational Risk : risiko Bank tidak dapat melakukan kegiatan operasionalnya secara normal, yang antara lain disebabkan adanya ketidak-cukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, 121
194
kesalahan manusia, gangguan dan kegagalan sistem informasi manajemen dan komunikasi, ketidakpastian ketentuan, kelemahan struktur pengendalian, adanya problem eksternal, atau adanya halhal yang bersifat force majeur, seperti bencana alam, kebakaran, dll. Payable Through Account : memberikan peluang bagi pelaku transaksi untuk
menyembunyikan
identitas
dirinya
mengingat
pelaku
transaksi mendapatkan ijin dari Bank dimana dia tercatat sebagai Nasabah untuk menarik cek dari rekening Bank yang tersimpan pada Bank koresponden. Karena rekening koresponden digunakan secara langsung oleh Nasabah sehingga dalam transaksi ini hanya melibatkan
Bank
responden
dan
Bank
koresponden,
tanpa
melibatkan keberadaan pelaku transaksi yang merupakan Nasabah Bank responden. Oleh karena itulah, Payable Through Account sangat rentan terhadap terjadinya pencucian uang. Politically Exposed Person : orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing. Private Banking : jasa pelayanan khusus yang diberikan Bank kepada Nasabah tertentu (prime customer), berupa pemberian keistimewaan jasa
pelayanan
dan
jasa
bunga/bagi
hasil
dan
pelayanan
multiproduk guna memberikan keuntungan yang lebih kepada Nasabah dan pemahaman atas risiko berinvestasi yang mungkin timbul.
Jasa
atau
produk
Private
Banking
selain
produk
konvensional perbankan juga meliputi penasihat keuangan pribadi yang melibatkan officer Bank sebagai financial analyst, economist, treasury dan product specialist untuk memberikan advise yang optimum juga melakukan pengelolaan dana di luar negeri yang 122
195
tidak bisa diakomodasi oleh Bank di dalam negeri seperti trust fund. Selain itu ditawarkan juga rangkaian produk keuangan yang "tailor made" sesuai kebutuhan Nasabahnya seperti asuransi, forex trading, derivative, equity trading, bond trading, dsb. Pengawasan terhadap private Banking perlu mendapat perhatian khusus, mengingat
besarnya
potensi
Nasabah
untuk
mempengaruhi
keputusan Bank, sehingga memungkinkan masuknya dana ilegal ke dalam Bank. Reksadana : Reksadana merupakan produk penghimpunan dana dari masyarakat pemodal (investor) yang ditanamkan oleh Manajer Investasi dalam portofolio surat berharga pasar modal dan pasar uang. Rencana
Kerja
Tahunan
kehutanan:
(RKT)
merupakan
untuk
dasar
perusahaan
penebangan
bagi
di
bidang
perusahaan
konsesi, antara lain penetapan produksi yang harus dilakukan oleh perusahaan dan lokasi tempat produksi tersebut dilakukan. Berdasarkan tata urutan administrasi kayu, RKT dikeluarkan setelah pengesahan RKU. Rencana Kerja Umum (RKU) : Pemegang IUPHHK diwajibkan untuk menyusun rencana kerja yang berlaku untuk sepanjang 20 tahun masa konsesinya. Terdapat dua jenis RKU yaitu RKUPHHK-HA untuk HPH dan RKUPHHK-HT untuk HTI. Reputational Risk : risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank. Risk assessment : Proses identifikasi, evaluasi, dan perkiraan tingkat risiko, serta membandingkan tingkat risiko tersebut terhadap tolok ukur atau standar yang telah ditetapkan. Save Deposit Box : Safe Deposit Box adalah jasa yang ditawarkan oleh Bank dengan menyediakan tempat penyimpanan barang atau dokumen berharga. Shell Banks : Bank yang tidak memiliki kehadiran secara fisik (physical presence)
di
Negara
tempat
Bank
tersebut
didirikan
dan 123
196
memperoleh izin, dan tidak berafiliasi dengan kelompok usaha jasa keuangan yang menjadi subyek pengawasan terkonsolodasi yang efektif. Single Customer Identification File : data profil Nasabah yang mencakup seluruh rekening yang dimiliki oleh satu Nasabah pada suatu Bank antara lain tabungan, deposito, giro dan kredit Smurfing
:
adalah
upaya
untuk
menghindari
pelaporan
dengan
memecah-mecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku. Straight-through Processing : transaksi pembayaran yang dilakukan secara elektronik tanpa memerlukan intervensi manual. Tax Haven Country/Territory : negara atau wilayah yang undangundang dan kebijakannya dapat dipergunakan untuk menghindari atau mengelabui ketentuan pajak dari negara lain. Kriteria pada umumnya memenuhi 1) tidak ada pajak atau pajak hanya nominal saja, 2) tidak adanya pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain, 3) tidak ada transparansi dalam pelaksanaan undangundang dan peraturan pelaksanaannya, 4) tidak ada kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada negara itu, 5) mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial center, 6) negara atau wilayah kecil yang keadaan politik dan ekonominya stabil serta didukung oleh prasarana yang baik. Terrorist List : daftar nama-nama teroris yang tercatat pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267 Trust : adalah kegiatan penitipan dengan pengelolaan atas harta milik settlor berdasarkan perjanjian tertulis antara Bank sebagai trustee dengan settlor untuk kepentingan beneficiary. U Turn : adalah upaya untuk mengaburkan asal usul hasil kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya
124
197
Walk in Customer : pihak yang menggunakan jasa Bank namun tidak memiliki rekening pada Bank tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah.
BANK INDONESIA,
JONI SWASTANTO KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
125
198
Lampiran Edaran Bank Indonesia Nomor 6/37/DPNP tanggal 1010 September 2004 LampiranSurat 2 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/37/DPNP tanggal September 2004 KRITERIA PENILAIAN PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT UU PP TPPU KRITERIAATAS PENILAIAN ATAS PENERAPAN KYC DAN UUDAN TPPU CAKUPAN Pengawasan aktif oleh Pengurus
Kebijakan dan Prosedur
1
2
HASIL PENILAIAN 3
4
5
Penetapan kebijakan dan prosedur tertulis oleh Pengurus serta kebijakan pengorganisasian sangat memadai.
Penetapan kebijakan dan prosedur tertulis oleh Pengurus serta kebijakan pengorganisasian memadai.
Penetapan kebijakan dan prosedur tertulis oleh Pengurus serta kebijakan pengorganisasian cukup memadai.
Penetapan kebijakan dan prosedur tertulis oleh Pengurus serta kebijakan pengorganisasian kurang memadai.
Tidak terdapat pengawasan Pengurus melalui penetapan kebijakan dan prosedur tertulis serta kebijakan pengorganisasian.
Pelaksanaan pengawasan Pengurus sangat efektif.
Pelaksanaan pengawasan Pengurus efektif.
Pelaksanaan pengawasan Pengurus cukup efektif.
Pelaksanaan pengawasan Pengurus kurang efektif.
Pelaksanaan pengawasan Pengurus tidak efektif.
Kebijakan dan prosedur komprehensif (sangat memadai), termasuk penanganan high risk customer, high risk business, high risk products/ services.
Kebijakan dan prosedur memadai, termasuk penanganan high risk customer, high risk business, high risk products/ services, namun masih terdapat kelemahan yang tidak signifikan.
Kebijakan dan prosedur cukup memadai namun masih terdapat beberapa kelemahan yang masih harus diperbaiki.
Kebijakan dan prosedur kurang memadai dan masih terdapat kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki.
Tidak memiliki kebijakan dan prosedur, atau memiliki kebijakan dan prosedur namun sangat tidak memadai.
199
1
Lampiran 2 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/37/DPNP tanggal September 2004 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/37/DPNP tanggal 1010 September 2004
CAKUPAN
1
2
HASIL PENILAIAN 3
Pelaksanaan kebijakan dan prosedur sangat konsisten dan sangat efektif, termasuk namun tidak terbatas pada :
Pelaksanaan kebijakan dan prosedur konsisten dan efektif, termasuk namun tidak terbatas pada :
Pelaksanaan kebijakan dan prosedur cukup konsisten dan mencakup sekurangkurangnya:
- penerimaan nasabah
- penerimaan nasabah
- pengkinian data nasabah
- pengkinian data nasabah
- monitoring dan pelaporan STR
- monitoring dan pelaporan STR,
- penanganan high risk customer, high risk business, high risk product/ services.
walaupun masih kurang efektif.
Sistem dan prosedur pengendalian intern dan fungsi audit intern komprehensif.
Sistem dan prosedur pengendalian intern dan fungsi audit intern memadai.
Pelaksanaan pengendalian intern dan fungsi audit intern sangat efektif.
Pelaksanaan pengendalian intern dan fungsi audit intern efektif.
- penerimaan nasabah - pengkinian data nasabah - monitoring dan pelaporan STR - penanganan high risk customer, high risk business, high risk product/ services. Pengendalian Intern
4
5
Pelaksanaan kebijakan dan prosedur kurang konsisten dan dan kurang efektif.
Pelaksanaan kebijakan dan prosedur tidak memadai.
Sistem dan prosedur pengendalian intern dan fungsi audit intern cukup memadai.
Sistem dan prosedur pengendalian intern dan fungsi audit intern kurang memadai.
Tidak terdapat sistem dan prosedur pengendalian intern dan fungsi audit intern.
Pelaksanaan pengendalian intern dan fungsi audit intern cukup efektif.
Pelaksanaan pengendalian intern dan fungsi audit intern kurang efektif.
Tidak dilakukan pengendalian intern dan audit intern.
200
2
Lampiran 2 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/37/DPNP tanggal September 2004 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/37/DPNP tanggal 1010 September 2004
CAKUPAN Sistem Informasi Manajemen (SIM)
Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelatihan
1
2
HASIL PENILAIAN 3
4
5
Memiliki SIM yang komprehensif dan dapat diandalkan.
Memiliki SIM yang memadai walaupun masih terdapat kelemahan yang tidak signifikan dan tidak mempengaruhi keakuratan informasi.
Memiliki SIM yang cukup memadai dan kelemahan yang ada mudah diperbaiki.
Memiliki SIM, namun kurang memadai dan terdapat kelemahan yang signifikan.
SIM sangat efektif untuk mengidentifikasi terjadinya transaksi keuangan mencurigakan.
SIM efektif untuk mengidentifikasi terjadinya transaksi keuangan mencurigakan.
SIM cukup efektif untuk mengidentifikasi terjadinya transaksi keuangan mencurigakan.
SIM kurang efektif untuk mengidentifikasi terjadinya transaksi keuangan mencurigakan.
Memiliki SDM yang sangat kompeten dan terlatih dengan jumlah yang memadai.
Memiliki SDM yang kompeten dan terlatih dengan jumlah yang memadai.
Memiliki SDM yang kompeten dan terlatih namun jumlahnya tidak memadai.
Memiliki SDM yang kurang kompeten dan kurang terlatih.
Memiliki SDM yang tidak kompeten dan tidak terlatih.
Memiliki program pelatihan yang komprehensif dan sangat efektif.
Memiliki program pelatihan yang komprehensif dan efektif.
Memiliki program pelatihan sederhana namun cukup efektif.
Memiliki program pelatihan sederhana dan kurang efektif.
Tidak memiliki program pelatihan.
Tidak memiliki SIM atau memiliki SIM namun sama sekali tidak memadai dan tidak dapat mengidentifikasi terjadinya transaksi keuangan mencurigakan.
201
3
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
Lampiran 13 Surat Edaran Bank Indonesia No.13/14 /DKBU Tanggal 12 Mei 2011
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (DKBU) Direktorat Perbankan Syariah (DPbS)
DKBU dan DPbS
1
202
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB I PENDAHULUAN
Lembaga keuangan, khususnya perbankan (termasuk BPR dan BPRS), sangat rentan untuk digunakan sebagai media pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Perbankan menyediakan banyak pilihan transaksi bagi pelaku pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme dalam upaya melancarkan tindak kejahatannya. Melalui berbagai pilihan transaksi tersebut seperti transaksi penyimpanan dan pengiriman uang, perbankan menjadi pintu masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana atau merupakan pendanaan kegiatan terorisme ke dalam sistem keuangan. Bagi pelaku pencucian uang, harta kekayaan tersebut dapat ditarik kembali sebagai harta kekayaan yang seolah-olah sah dan tidak lagi dapat dilacak asal usulnya. Sedangkan untuk pelaku pendanaan teroris, harta kekayaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme.
A.
Pencucian Uang 1.
Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU), a. b.
DKBU dan DPbS
Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU PPTPPU. Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: 1) korupsi 2) penyuapan 3) narkotika 4) psikotropika 5) penyelundupan tenaga kerja 6) penyelundupan migran 7) di bidang perbankan 8) di bidang pasar modal 9) di bidang perasuransian 10) kepabeanan 11) cukai 12) perdagangan orang 13) perdagangan senjata gelap 14) terorisme 15) penculikan 16) pencurian 17) penggelapan 18) penipuan 19) pemalsuan uang 20) perjudian 4
203
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
21) 22) 23) 24) 25) 26)
prostitusi di bidang perpajakan di bidang kehutanan di bidang lingkungan hidup di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,
yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. c.
2.
Tindak pidana pencucian uang 1)
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b diatas dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.
2)
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. sebagaimana dimaksud dalam huruf b diatas.
3)
Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas.
Berdasarkan Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang dikeluarkan oleh PPATK, a.
DKBU dan DPbS
metode pencucian uang mencakup : 1)
Buy and sell conversion yaitu pencucian uang melalui jual beli barang dan jasa antara lain dengan membayar kelebihan harga dengan menggunakan uang ilegal dan kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Dengan cara ini setiap aset, barang atau jasa dapat diubah seolah-olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank.
2)
Off-shore conversions yaitu pengalihan dana ilegal ke wilayah yang merupakan tax haven money laundering centers dan
5
204
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
kemudian disimpan di bank atau lembaga keuangan yang ada di wilayah tersebut untuk digunakan membeli aset dan investasi (fund investment). Di wilayah atau negara yang merupakan tax haven terdapat kecenderungan hukum perpajakan yang lebih longgar, ketentuan rahasia bank yang cukup ketat dan prosedur bisnis yang sangat mudah sehingga memungkinkan adanya perlindungan bagi kerahasiaan suatu transaksi bisnis, pembentukan dan kegiatan usaha trust fund maupun badan usaha lainnya. Kerahasiaan inilah yang memberikan ruang gerak yang leluasa bagi pergerakan “dana kotor” melalui berbagai pusat keuangan di dunia. Dalam hal ini, para pengacara, akuntan, dan pengelola dana biasanya sangat berperan dalam metode offshore conversion ini dengan memanfaatkan celah yang ditawarkan oleh ketentuan rahasia bank dan rahasia perusahaan. 3)
b.
Pada dasarnya proses pencucian uang yang sering terjadi di sektor keuangan dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan yang meliputi : 1)
DKBU dan DPbS
Legitimate business conversions yaitu menggunakan bisnis atau kegiatan usaha yang sah sebagai sarana untuk memindahkan dan memanfaatkan hasil kejahatan dengan cara mengkonversikan melalui transfer, cek, atau instrumen pembayaran lainnya yang kemudian di simpan di rekening bank atau ditarik atau di transfer kembali ke rekening bank lainnya. Metode ini memungkinkan pelaku kejahatan menjalankan usaha atau bekerjasama dengan mitra bisnisnya dan menggunakan rekening perusahaan yang bersangkutan sebagai tempat penampungan untuk hasil kejahatan yang dilakukan.
Penempatan (Placement), adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain: a)
Menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan.
b)
Menyetorkan uang pada penyedia jasa keuangan sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan rekam jejak kredit.
c)
Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
d)
Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha.
6
205
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
2)
3)
3.
Transfer (Layering), adalah upaya memisahkan hasil tindak pidana transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain: a)
Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.
b)
Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.
c)
Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.
Penggunaan harta kekayaan (Integration), adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Beberapa modus pencucian uang yang banyak dilakukan oleh pelaku pencucian uang adalah: a.
Smurfing, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku.
b.
Structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil.
c.
U Turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal usul hasil kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya.
d.
Cuckoo Smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal usul sumber dana dengan mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya melalui rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut merupakan hasil kejahatan.
e.
Pembelian aset/barang-barang mewah, yaitu menyembunyikan status kepemilikan dari aset/barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa terdeteksi oleh sistem keuangan.
f.
Pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan.
DKBU dan DPbS
7
206
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
B.
C.
g.
Alternative Remittance Services menggunakan Underground Banking, yaitu kegiatan pengiriman uang melalui mekanisme jalur informal yang dilakukan atas dasar kepercayaan.
h.
Penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari terdeteksinya identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana.
i.
Mingling, yaitu mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana dari hasil kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal dananya.
j.
Penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang.
Pendanaan Terorisme 1.
Pendanaan terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme. Pendanaan terorisme pada dasarnya merupakan jenis tindak pidana yang berbeda dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun demikian, keduanya mengandung kesamaan, yaitu menggunakan jasa keuangan sebagai sarana untuk melakukan suatu tindak pidana.
2.
Berbeda dengan TPPU yang tujuannya untuk menyamarkan asal-usul harta kekayaan, maka tujuan tindak pidana pendanaan terorisme adalah membantu kegiatan terorisme, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah.
3.
Untuk mencegah BPR dan BPRS digunakan sebagai sarana tindak pidana pendanaan terorisme, maka BPR dan BPRS perlu menerapkan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme secara memadai.
Pelaporan Kepada PPATK BPR dan BPRS wajib menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sesuai dengan UU PPTPPU. Adapun mengenai tata cara pelaporan dari kedua laporan tersebut mengacu kepada pedoman yang dikeluarkan oleh PPATK. Termasuk dalam unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan sesuai dengan UU PPTPPU adalah:
DKBU dan DPbS
8
207
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
1) Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan; 2) Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan UU PPTPPU; 3) Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana; dan 4) Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
D.
Kebijakan Pelaksanaan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (Program APU dan PPT) 1.
Program APU dan PPT merupakan program yang wajib diterapkan oleh BPR dan BPRS dalam melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa BPR/BPRS (baik Nasabah maupun Walk In Customer). Program tersebut antara lain mencakup hal-hal yang diwajibkan dalam Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF), yang dikenal dengan Rekomendasi 40 + 9 FATF sebagai upaya untuk melindungi BPR dan BPRS agar tidak dijadikan sebagai sarana atau sasaran kejahatan baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan.
2.
Customer Due Dilligence (CDD) merupakan salah satu instrumen utama dalam Program APU dan PPT. CDD tidak saja penting untuk mendukung upaya pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme, melainkan juga dalam rangka penerapan prinsip kehatian-hatian perbankan (prudential banking). Pelaksanaan CDD membantu melindungi BPR dan BPRS dari berbagai risiko dalam kegiatan usaha BPR dan BPRS, seperti risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi serta mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran tindak pidana, khususnya pencucian uang dan pendanaan terorisme.
3.
Sebagai upaya meminimalisasi penggunaan BPR dan media pencucian uang atau pendanaan terorisme, maka wajib menerapkan Program APU dan PPT. Program merupakan bagian dari penerapan prinsip kehati-hatian paling kurang mencakup:
4.
a.
pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b.
kebijakan dan prosedur;
c.
pengendalian intern; dan
d.
sumber daya manusia dan pelatihan.
BPRS sebagai BPR dan BPRS APU dan PPT BPR/BPRS dan
Dalam menerapkan Program APU dan PPT, BPR dan BPRS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup:
DKBU dan DPbS
9
208
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
a.
5.
pelaksanaan CDD, yang terdiri dari: 1)
permintaan informasi dan dokumen;
2)
verifikasi dokumen; dan
3)
pengkinian dan pemantauan.
b.
penatausahaan dokumen;
c.
pemindahan dana;
d.
penutupan hubungan dan penolakan transaksi;
e.
ketentuan mengenai Beneficial Owner;
f.
ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP;
g.
pelaksanaan CDD yang lebih sederhana; dan
h.
pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga.
Kebijakan dan prosedur diatas dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan harus mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang atau pendanaan terorisme, termasuk jika BPR/BPRS mengeluarkan produk dan jasa baru. Agar tercapai pelaksanaan program APU dan PPT yang efektif, maka pedoman tersebut wajib dikomunikasikan kepada seluruh pegawai serta diterapkan secara konsisten dan berkesinambungan.
DKBU dan DPbS
10
209
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB II MANAJEMEN
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT), selain dibutuhkan pengawasan aktif dari Direksi dan Dewan Komisaris, BPR dan BPRS wajib membentuk Unit Kerja Khusus atau menunjuk pegawai yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Program APU dan PPT. Peran aktif Direksi dan Dewan Komisaris sangat diperlukan dalam menciptakan efektifitas pelaksanaan Program APU dan PPT, mengingat peran Direksi dan Dewan Komisaris akan mempengaruhi tingkat pencapaian tujuan organisasi dalam pelaksanaan Program APU dan PPT. Selain itu, peran Direksi dan Dewan Komisaris juga dapat memotivasi karyawan dan unit kerja dalam mendorong terbentuknya budaya kepatuhan di seluruh jajaran organisasi. Terbentuknya kerangka kerja tata kelola perusahaan (corporate governance) yang kuat dalam organisasi akan mendukung pelaksanaan Program APU dan PPT yang dimiliki.
A.
Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris 1.
Pengawasan Aktif Direksi Pengawasan aktif Direksi paling kurang mencakup: a.
memastikan bahwa BPR dan BPRS memiliki kebijakan dan prosedur program APU dan PPT;
b.
mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis Program APU dan PPT kepada Dewan Komisaris;
c.
memastikan Program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan;
d.
membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pegawai yang bertanggungjawab terhadap Program APU dan PPT di Kantor Pusat;
e.
memastikan bahwa unit kerja/pegawai yang melaksanakan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT terpisah dari unit kerja/pegawai yang mengawasi pelaksanaannya;
f.
pengawasan atas kepatuhan unit kerja/pegawai dalam menerapkan program APU dan PPT;
g.
memastikan bahwa kantor cabang BPR dan BPRS memiliki pegawai yang bertanggungjawab terhadap Program APU dan PPT;
h.
memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi BPR dan BPRS serta sesuai dengan perkembangan modus pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan
DKBU dan DPbS
11
210
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
i.
2.
memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai terkait dan pegawai baru, telah mendapatkan pengetahuan yang berkaitan dengan program APU dan PPT secara berkala.
Kewenangan dan Tanggung Jawab Direktur Direktur yang ditunjuk menangani Program APU dan PPT bertugas dan bertanggung jawab paling kurang :
3.
a.
menetapkan dan mengevaluasi persetujuan pejabat eksekutif;
transaksi
yang
memerlukan
b.
mengevaluasi secara berkala untuk memastikan ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan tingkat risiko dari area yang berisiko tinggi dan Politically Exposed Person (PEP);
c.
menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan BPR dan BPRS telah memenuhi ketentuan Bank Indonesia tentang APU dan PPT dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait;
d.
memastikan cakupan pengawasan aktif Direksi telah terpenuhi secara memadai;
e.
memantau dan menjaga kepatuhan BPR dan BPRS terhadap seluruh komitmen yang dibuat oleh BPR/BPRS kepada Bank Indonesia antara lain komitmen dalam Action Plan, dan hasil Pengawasan Bank Indonesia yang terkait dengan pelaksanaan Program APU dan PPT;
f.
memantau pelaksanaan tugas Unit Kerja Khusus dan/atau pegawai BPR/BPRS yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Program APU dan PPT;
g.
memberikan rekomendasi kepada Direktur Utama mengenai pejabat yang akan memimpin Unit Kerja Khusus atau pegawai yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Program APU dan PPT; dan
h.
memberikan persetujuan terhadap LTKM.
Pengawasan aktif Dewan Komisaris Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup:
B.
a.
persetujuan atas kebijakan dan prosedur pelaksanaan program APU dan PPT; dan
b.
pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap pelaksanaan program APU dan PPT.
Unit Kerja Khusus 1.
Pembentukan Unit Kerja Khusus. a.
DKBU dan DPbS
Unit Kerja Khusus (UKK) wajib dibentuk dalam rangka melaksanakan Program APU dan PPT. 12
211
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
2.
3.
b.
Dalam hal berdasarkan pertimbangan beban tugas dan kompleksitas usahanya tidak dapat memenuhi kewajiban pembentukan UKK, maka BPR dan BPRS wajib menunjuk sekurang-kurangnya seorang pegawai yang bertanggungjawab dalam melaksanakan Program APU dan PPT.
c.
Tugas tersebut dapat dirangkap oleh pegawai yang mempunyai tugas lain, dengan mempertimbangkan bahwa unit kerja yang melaksanakan Program APU dan PPT terpisah dari unit kerja yang mengawasi pelaksanaannya, sehingga rangkap jabatan diperkenankan sepanjang tugas lain tersebut tidak merupakan bagian dari tugas operasional. Yang dimaksud dengan tugas operasional antara lain seperti unit kerja kasir (teller) atau Customer Service yang menangani penerimaaan calon Nasabah.
d.
Dalam hal BPR dan BPRS tidak dapat membentuk Unit Kerja Khusus atau menunjuk pegawai yang bertanggungjawab atas pelaksanaan program APU dan PPT, maka fungsi dimaksud dilaksanakan oleh salah satu anggota Direksi.
Struktur Organisasi. a.
Dalam menjalankan tugasnya, UKK atau pegawai yang ditunjuk melapor dan bertanggung jawab kepada Direktur yang berwenang.
b.
Seluruh unit kerja operasional, termasuk Kantor Cabang wajib menerapkan Program APU dan PPT dibawah koordinasi UKK atau pegawai yang ditunjuk di Kantor Pusat. Hal ini mengingat unit kerja operasional yang berhadapan langsung dengan Nasabah sebagai lini terdepan yang memagari BPR/BPRS dari upaya pencucian uang dan pendanaan terorisme.
c.
Unit kerja operasional memastikan bahwa pengawasan internal berfungsi dengan baik, tepat dan beroperasi secara efektif serta memastikan bahwa seluruh pegawai operasional telah diberi pelatihan yang memadai.
d.
Agar arahan dan ketentuan dari UKK dapat dilaksanakan dengan baik, BPR dan BPRS harus memiliki mekanisme kerja yang memadai, dan mekanisme kerja dimaksud didokumentasikan oleh setiap unit kerja. Mekanisme kerja tersebut juga dengan memperhatikan ketentuan anti tipping off dan menjaga kerahasiaan informasi.
Tugas dan Tanggung Jawab UKK. Tugas pokok UKK atau pegawai BPR dan BPRS yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program APU dan PPT adalah: a.
memantau adanya sistem yang mendukung program APU dan PPT;
b.
memantau pengkinian profil Nasabah dan profil transaksi Nasabah;
DKBU dan DPbS
13
212
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
c.
melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan Program APU dan PPT dengan unit kerja/pegawai terkait yang berhubungan dengan Nasabah;
d.
memastikan bahwa kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan perkembangan Program APU dan PPT yang terkini, risiko produk BPR dan BPRS, kegiatan dan kompleksitas usaha BPR dan BPRS, dan volume transaksi BPR dan BPRS;
e.
menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan dari unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah dan melakukan analisis atas laporan tersebut;
f.
menyusun LTKM dan laporan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU PPTPPU untuk disampaikan kepada PPATK berdasarkan persetujuan Direktur;
g.
memantau bahwa:
h.
4.
1)
terdapat mekanisme komunikasi yang baik dari setiap unit kerja atau pegawai terkait kepada UKK atau pegawai yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program APU dan PPT dengan menjaga kerahasiaan informasi;
2)
Unit kerja atau pegawai terkait mempersiapkan LTKM dan LTKT sebelum menyampaikannya kepada UKK atau pegawai yang ditunjuk yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program APU dan PPT; dan
3)
area yang berisiko tinggi, terkait dengan APU dan PPT dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku dan sumber informasi yang memadai.
berperan sebagai petugas penghubung (contact person) bagi otoritas yang berwenang terkait dengan pelaksanaan program APU dan PPT, antara lain Bank Indonesia, PPATK, dan Penegak Hukum.
Persyaratan Pegawai UKK atau Pegawai yang Menjalankan Fungsi UKK. Pegawai yang bertanggung jawab dalam menerapkan program APU dan PPT wajib memenuhi ketentuan:
5.
a.
memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai mengenai APU dan PPT dan peraturan lainnya yang terkait dengan pendanaan dan produk perbankan; dan
b.
memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait dalam rangka pelaksanaan tugas.
Pegawai yang Bertanggungjawab terhadap Program APU dan PPT di Kantor Cabang. a.
DKBU dan DPbS
Setiap kantor cabang BPR dan BPRS wajib memiliki pegawai yang bertanggungjawab terhadap program APU dan PPT. 14
213
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
b.
Pegawai yang bertanggungjawab terhadap program APU dan PPT tersebut bukan merupakan pegawai dari satuan kerja operasional. Namun dalam hal kondisi tidak memungkinkan maka pegawai di kantor cabang yang menjalankan fungsi UKK dapat berasal dari satuan kerja operasional sepanjang tidak memiliki benturan kepentingan dengan nasabah secara langsung.
c.
Tugas dan tanggung jawab pegawai yang bertanggungjawab terhadap program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah sebagai berikut:
DKBU dan DPbS
1)
Memastikan bahwa kebijakan, prosedur, dan peraturan lainnya yang terkait pelaksanaan program APU dan PPT telah dilaksanakan secara efektif.
2)
Memantau dan meninjau setiap validitas proses, checklist/daftar periksa dan dokumen pendukung pada saat pembukaan rekening.
3)
Memastikan bahwa persetujuan penerimaan dan/atau penolakan permohonan pembukaan rekening atau transaksi oleh calon Nasabah/WIC yang tergolong berisiko tinggi diberikan oleh pejabat eksekutif di unit kerja terkait atau Kantor Cabang setempat.
4)
Mengkoordinasikan dan memantau proses pengkinian data Nasabah.
5)
Menerima laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dari unit kerja terkait dan melakukan analisa terhadap laporan tersebut untuk dilaporkan kepada UKK atau pegawai yang ditunjuk untuk menangani program APU dan PPT di Kantor Pusat.
6)
Memberikan masukan yang terkait dengan pelaksanaan APU dan PPT kepada pegawai unit kerja terkait atau Kantor Cabang yang memerlukan.
7)
Memantau, menganalisis, dan merekomendasikan kebutuhan pelatihan APU dan PPT para pegawai di unit kerja terkait atau Kantor Cabang kepada UKK di Kantor Pusat.
15
214
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB III KEBIJAKAN CDD DAN EDD
Costumer Due Dilligence (CDD) merupakan kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. Dalam hal BPR dan BPRS berhubungan dengan Nasabah yang tergolong berisiko tinggi terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme, BPR dan BPRS melakukan prosedur CDD yang lebih mendalam yang disebut dengan Enhanced Due Diligence (EDD). 1.
2.
3.
BPR dan BPRS wajib melakukan prosedur CDD pada saat: a.
melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah. Apabila rekening merupakan rekening joint account atau rekening bersama maka CDD dilakukan terhadap seluruh pemegang rekening joint account tersebut;
b.
melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan WIC atau Nasabah yang tidak memiliki rekening di BPR dan BPRS;
c.
meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner; atau
d.
terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Hal ini antara lain dapat dicermati dari jumlah nominal transaksi tertentu dan adanya peningkatan nilai transaksi yang signifikan.
Untuk Nasabah yang telah ada sebelum peraturan ini berlaku, BPR dan BPRS wajib melakukan CDD sesuai dengan pendekatan berdasarkan materialitas dan risiko apabila: a.
terdapat transaksi dalam jumlah yang signifikan;
b.
terdapat perubahan standar dokumentasi yang mendasar;
c.
terdapat perubahan pola transaksi yang signifikan;
d.
informasi pada profil Nasabah yang tersedia dalam Customer Identification File (CIF) belum dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada Bab V huruf C; dan/atau
e.
menggunakan rekening anonim menggunakan nama fiktif.
atau
rekening
yang
diindikasikan
Apabila calon Nasabah/Nasabah/WIC memenuhi ketentuan sebagai berikut: a.
tergolong berisiko tinggi atau PEP;
b.
melakukan transaksi yang terkait dengan negara berisiko tinggi; atau
c.
melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil.
DKBU dan DPbS
16
215
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
maka terhadap calon Nasabah/Nasabah/WIC tersebut, BPR dan BPRS wajib melakukan EDD. Apabila dari hasil EDD diperoleh dasar transaksi/alasan yang jelas, maka pemantauan terhadap transaksi tersebut dilakukan sebagaimana biasanya, sedangkan apabila tidak diperoleh alasan yang jelas maka terhadap transaksi tersebut wajib dilakukan pemantauan yang lebih ketat. 4.
Penetapan penggolongan berisiko tinggi dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan negara berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan dan pedoman mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme bagi penyedia jasa keuangan.
5.
BPR dan BPRS wajib melakukan EDD sebagaimana dimaksud angka 3 di atas dengan cara melakukan CDD sebagaimana dimaksud dalam Bab V serta melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a.
b.
Bagi calon Nasabah: 1)
meminta informasi tambahan yang diperlukan untuk memastikan kebenaran profil calon Nasabah; dan/atau
2)
meminta dokumen pendukung tambahan untuk meyakini kebenaran informasi mengenai identitas dan sumber dana.
Bagi Nasabah atau Beneficial Owner: 1)
melakukan kegiatan seperti yang dilakukan terhadap calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2)
melakukan analisa secara berkala paling kurang terhadap informasi mengenai sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait; dan
3)
memantau lebih ketat pola transaksi nasabah untuk kepentingan pengkinian profil Nasabah atau Beneficial Owner.
DKBU dan DPbS
17
216
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB IV PENGELOMPOKAN NASABAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN BERDASARKAN RISIKO (RISK BASED APPROACH) A.
Pengelompokkan Nasabah 1.
Untuk mendukung kebijakan dan pelaksanaan CDD yang efektif, BPR dan BPRS wajib mengelompokkan Nasabah berdasarkan tingkat risiko terhadap kemungkinan terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme.
2.
Mempertimbangkan peluang untuk dijadikan media pencucian uang atau media pendanaan terorisme, tingkat risiko Nasabah dapat dikategorikan menjadi tingkat risiko rendah, menengah, dan tinggi. a.
Dalam hal Nasabah memiliki tingkat risiko yang rendah dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi BPR dan BPRS, maka terhadap Nasabah tersebut dapat dilakukan CDD yang lebih sederhana sebagaimana diatur pada BAB XI.
b.
Dalam hal Nasabah memiliki tingkat risiko menengah maka terhadap yang bersangkutan dilakukan CDD sebagaimana diatur pada BAB V.
c.
Dalam hal Nasabah memiliki tingkat risiko tinggi maka terhadap yang bersangkutan dilakukan EDD sebagaimana diatur pada Bab X huruf C.
3.
Pengelompokkan Nasabah harus didokumentasikan dan dipantau secara berkesinambungan.
4.
Penilaian risiko (risk assessment) secara memadai dan pemantauan perlu dilakukan terhadap Nasabah yang telah menjalani hubungan usaha dengan mempertimbangkan informasi yang diperoleh BPR/BPRS, profil Nasabah dan kebutuhan Nasabah terhadap produk dan jasa yang ditawarkan BPR/BPRS.
5.
Apabila terdapat ketidak sesuaian antara transaksi/profil Nasabah dengan tingkat risiko yang telah ditetapkan, maka BPR dan BPRS harus menyesuaikan tingkat risiko dengan cara: a. Menerapkan prosedur CDD bagi Nasabah yang semula tergolong berisiko rendah berubah menjadi berisiko menengah yang sesuai dengan penetapan tingkat risiko yang baru. b. Menerapkan prosedur EDD bagi Nasabah yang semula tergolong berisiko rendah atau menengah berubah menjadi berisiko tinggi atau PEP.
DKBU dan DPbS
18
217
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
B.
Penetapan Profil Risiko Menggunakan Pendekatan Berdasarkan Risiko 1.
Profil risiko menggambarkan tingkat risiko dari Nasabah, produk maupun jasa yang memiliki potensi pencucian uang atau pendanaan teroris, antara lain jasa pengiriman uang atau produk bank menggunakan jasa elektronik.
2.
Profil risiko merupakan nilai akhir dari seluruh komponen penilaian yang ditetapkan berdasarkan rating yang paling dominan dari seluruh komponen.
3.
Dalam hal tidak terdapat rating yang paling dominan namun terdapat komposisi yang seimbang atau sama dari komponen penilaian, maka profil risiko yang digunakan adalah profil risiko yang lebih ketat.
4.
Penetapan klasifikasi tingkat risiko tidak berlaku bagi Nasabah yang tergolong sebagai PEP. Dengan demikian apabila terdapat calon Nasabah atau Nasabah yang karena pekerjaannya atau jabatannya tergolong sebagai PEP, maka yang bersangkutan secara otomatis diklasifikasikan sebagai risiko tinggi.
5.
Pengelompokan profil risiko nasabah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a.
dapat
dilakukan
dengan
Identitas Nasabah Contoh identitas Nasabah yang perlu dilakukan analisis antara lain sebagai berikut: 1)
b.
Nasabah tidak memiliki dokumen identitas namun memiliki surat keterangan dari aparat pemerintah setempat yang menerangkan bahwa yang bersangkutan: a)
adalah warga setempat dan beralamat sesuai dengan informasi yang diberikan kepada BPR/BPRS; dan/atau
b)
telah menetap dalam jangka waktu yang cukup lama.
2)
Data/informasi identitas Nasabah sudah tidak sesuai.
3)
Jangka waktu berlakunya dokumen identitas Nasabah sudah kadaluarsa, namun tidak ada perubahan terhadap alamat tempat tinggal Nasabah dimaksud yang telah diyakini kebenarannya oleh BPR/BPRS.
4)
Dokumen pendukung identitas Nasabah khususnya dokumen perusahaan tidak lengkap, misalnya ijin-ijin perusahaan, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Pemegang Kuasa atau Kewenangan bertindak mewakili perusahaan.
Lokasi Usaha Contoh lokasi usaha Nasabah yang perlu dilakukan analisis antara lain sebagai berikut: 1)
DKBU dan DPbS
Lokasi usaha calon Nasabah berada di yurisdiksi yang ditetapkan berisiko tinggi oleh lembaga atau badan internasional terhadap kondisi suatu yurisdiksi. 19
218
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
c.
2)
Lokasi usaha Nasabah berada dalam wilayah rawan tingkat kejahatan (kriminal) seperti kejahatan terhadap penyelundupan atau produk ilegal.
3)
Lokasi usaha Nasabah berada di zona perdagangan bebas.
Profil Nasabah Contoh profil Nasabah yang perlu dilakukan analisis antara lain sebagai berikut:
d.
1)
Nasabah yang tidak memiliki penghasilan secara regular.
2)
Tergolong sebagai PEP atau memiliki hubungan dengan PEP.
3)
Pegawai instansi pemerintah, khususnya yang terkait dengan pelayanan publik.
4)
Aparat penegak hukum.
5)
Orang-orang yang melakukan jenis-jenis kegiatan atau sektor usaha yang rentan terhadap pencucian uang.
6)
Pihak-pihak yang dicantumkan dalam daftar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau daftar lainnya yang dikeluarkan oleh organisasi internasional sebagai teroris, organisasi teroris ataupun organisasi yang melakukan pendanaan atau melakukan penghimpunan dana untuk kegiatan terorisme.
Nilai Transaksi Contoh nilai transaksi Nasabah yang perlu dilakukan analisis antara lain sebagai berikut:
e.
1)
Pada saat pembukaan rekening, Nasabah melakukan transaksi dengan nilai besar atau signifikan namun informasi mengenai sumber dana dan tujuan transaksi tidak sesuai dengan profil ataupun tujuan pembukaan rekening.
2)
Nasabah melakukan sejumlah transaksi dalam nilai kecil namun secara akumulasi merupakan transaksi bernilai besar atau signifikan.
3)
Transaksi tunai dalam jumlah besar.
Kegiatan Usaha Nasabah Contoh kegiatan usaha Nasabah yang perlu dilakukan analisis antara lain sebagai berikut:
DKBU dan DPbS
1)
Kegiatan usaha yang menyediakan jasa penukaran uang;
2)
Kegiatan usaha yang menyediakan jasa pengiriman uang;
3)
Kegiatan usaha yang berbasis uang tunai dan tidak sesuai dengan profil nasabah seperti mini market, jasa pengelolaan
20
219
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
parkir, rumah makan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), pedagang isi pulsa;
f.
4)
Kegiatan usaha yang memberikan jasa pengurusan dokumen hukum;
5)
Kegiatan usaha yang melakukan perdagangan rumah, saham, perhiasan, mobil atau aset lainnya;
6)
Kegiatan usaha yang memasarkan produknya melalui internet;
7)
Perusahaan perdagangan ekspor/impor;
8)
Advokat, akuntan atau konsultan keuangan; atau
9)
Kegiatan usaha multi level marketing.
Struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan Contoh struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan yang perlu dilakukan analisis antara lain sebagai berikut:
g.
1)
struktur kepemilikan perusahaan yang kompleks sehingga akses untuk mendapatkan informasi terbatas;
2)
terdapat Beneficial Owner yang mengendalikan perusahaan; atau
3)
terdapat pemberitaan negatif dalam media massa mengenai Beneficial Owner perusahaan dimaksud, sehingga mengakibatkan tingkat risiko perusahaan menjadi tinggi.
Informasi lainnya Contoh informasi lainnya : nasabah BPR/BPRS menerima kiriman dana yang berasal dari negara-negara yang belum menerapkan rekomendasi FATF secara memadai.
6.
Selain hal sebagaimana dimaksud pada angka 5, BPR/BPRS dapat mengembangkan sendiri metode untuk memperoleh profil risiko Nasabah sesuai dengan kebutuhan dan profil risiko dari masing-masing BPR/BPRS.
Tabel 1. Contoh matriks klasifikasi profil risiko.
Identitas Nasabah
Rendah
Menengah
Menyerahkan lebih dari satu identitas yang masih berlaku dan berdomisili sesuai dengan alamat dalam kartu ID.
Data/informasi identitas calon Nasabah kadaluarsa, namun Nasabah tetap kooperatif melakukan updating
DKBU dan DPbS
Tinggi Nasabah tidak memiliki ID yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, Data/informasi identitas calon Nasabah diragukan, misalnya kartu ID tidak dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, data tidak benar, dll 21
220
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS Rendah
Lokasi Usaha
Bidang usaha/ pekerjaan
Menengah
Lokasi usaha di dalam kabupaten/ kota yang sama atau berbatasan dengan lokasi kabupaten/kota berada. Buruh tani.
Nilai Transaksi
Nilai transaksi rendah, misal dibawah Rp 1.000.000 (satu juta Rupiah) dan sesuai dengan profil nasabah.
Kegiatan Usaha
Pedagang tradisional
DKBU dan DPbS
di
Lokasi usaha di luar kabupaten/ kota dimana lokasi kabupaten/kota BPR/BPRS berada. Pegawai Perusahaan
Tinggi Data/informasi identitas tidak sesuai dengan domisili atau Nasabah selalu berpindah tempat atau tidak dapat dihubungi (misal nomor telpon) Nasabah WNI yang pada saat pembukaan rekening menggunakan alamat yang wilayahnya berada di luar wilayah Indonesia. Lokasi usaha Nasabah berada di zona perdagangan bebas.
Pekerjaan ybs tidak tergolong berisiko tinggi, namun ybs tergolong sebagai PEP atau orang yang digolongkan berisiko tinggi dengan berpedoman pada ketentuan PPATK. Pegawai dari perusahaan yang tergolong berisiko tinggi. Transaksi tunai dalam jumlah besar, misal diatas Rp100.000.000,- (seratus juta) dan/atau tidak sesuai dengan profil nasabah.
Peningkatan jumlah transaksi tidak signifikan atau signifikan namun didukung dengan dokumen yang memadai atau masih tergolong wajar atau masih sesuai dengan profil nasabah. pasar Pedagang valuta asing Kegiatan usaha yang atau pengiriman uang berbasis uang tunai seperti mini market, jasa pengelolaan parkir, rumah makan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU), pedagang isi pulsa.
22
221
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS Rendah Struktur Kepemilikan
Informasi Lainnya
Tidak memiliki pengendali dan komposisi pemegang saham tersedia dalam data publik Tidak terdapat informasi negatif lain
DKBU dan DPbS
Menengah
Tinggi
Informasi mengenai Perusahaan dengan pemegang saham pemegang saham atas tidak tersedia dalam unjuk data publik Memiliki usaha lainnya disamping sebagai karyawan perusahaan
Nasabah kredit yang barang jaminannya atas nama pihak lain (baik jaminan tunai/jaminan dalam bentuk barang) yang tidak memiliki hubungan yang jelas Nasabah yang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan penarikan pada rekening Nasabah setelah permohonan rekening disetujui
23
222
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB V PROSEDUR IDENTIFIKASI, VERIFIKASI DAN PEMANTAUAN NASABAH (CUSTOMER DUE DILLIGENCE) A.
Kebijakan dan Prosedur Penerimaan dan Identifikasi Nasabah Kebijakan dan prosedur tertulis tentang penerimaan Nasabah dan identifikasi calon Nasabah, termasuk dalam berhubungan dengan WIC sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut: 1.
Penggunaan pendekatan berdasarkan risiko dengan mengelompokkan Nasabah berdasarkan tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme.
2.
Permintaan informasi mengenai calon Nasabah mencakup: a. identitas calon Nasabah; b. identitas Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili Beneficial Owner; c. sumber dana; d. rata-rata penghasilan; e. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan calon Nasabah dengan BPR/BPRS; dan f.
informasi lain yang diperlukan, yang memungkinkan BPR/BPRS mengetahui profil calon Nasabah.
3.
Permintaan bukti-bukti identitas dan dokumen pendukung informasi dari calon Nasabah.
4.
Penelitian atas kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah.
5.
Permintaan kartu identitas lebih dari satu yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, apabila terdapat keraguan terhadap kartu identitas yang ada.
6.
Apabila diperlukan dapat dilakukan wawancara dengan calon Nasabah untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran informasi, bukti-bukti identitas dan dokumen pendukung calon Nasabah.
7.
Larangan untuk membuka atau memelihara rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif.
8.
Pertemuan langsung/tatap muka dengan calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon Nasabah.
9.
Kewaspadaan terhadap transaksi atau hubungan usaha dengan calon Nasabah yang terkait dengan negara yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi FATF, misalnya Calon Nasabah mempunyai mitra usaha dari negara yang memenuhi kriteria berisiko tinggi.
10.
Penyelesaian proses verifikasi identitas calon Nasabah sebelum membina hubungan usaha dengan calon Nasabah.
DKBU dan DPbS
24
223
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
11.
12.
B.
Penolakan pembukaan rekening calon Nasabah dan atau penolakan pelaksanaan transaksi dengan WIC yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi BPR dan BPRS; atau
b.
diketahui menggunakan identitas dan atau memberikan informasi yang tidak benar.
Pendokumentasian calon Nasabah atau WIC yang memenuhi kriteria sebagaimana angka 11 diatas dalam suatu daftar tersendiri dan melaporkannya dalam LTKM apabila transaksinya tidak wajar atau mencurigakan.
Permintaan Informasi 1.
Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, BPR dan BPRS wajib meminta informasi yang memungkinkan BPR/BPRS untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah.
2.
Calon Nasabah wajib diidentifikasikan dan diklasifikasikan ke dalam kelompok perseorangan dan perusahaan. Dalam hal calon Nasabah adalah Nasabah perusahaan maka dalam kelompok Nasabah perusahaan tersebut mencakup pula Beneficial Owner.
3.
Informasi yang wajib diminta terhadap calon Nasabah yang telah dikelompokan, paling kurang sebagai berikut:
Tabel 2. Informasi calon Nasabah. No.
Perorangan
Perusahaan (termasuk Bank)
Yayasan/ Perkumpulan Nama yayasan/ perkumpulan termasuk bentuk badan hukum (apabila berbadan hukum) Nomor izin bidang kegiatan/ usaha (termasuk bidang kegiatan/ usaha) atau tujuan yayasan atau nomor bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang.
1.
Nama lengkap termasuk alias
Nama perusahaan termasuk bentuk badan hukum
2.
Nomor identitas
Nomor izin usaha dari instansi yang berwenang
DKBU dan DPbS
dokumen
Lembaga Negara/ Pemerintah Nama lembaga Negara/ pemerintah
25
224
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
No.
Perorangan
3.
Alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas
4.
Alamat tempat tinggal terkini termasuk no. telepon apabila ada Tempat dan tanggal lahir Kewarganegaraan Pekerjaan (nama perusahaan/ institusi, alamat perusahaan /institusi, dan jabatan) Jenis kelamin
5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Status perkawinan Identitas Beneficial Owner apabila ada Sumber dana Rata-rata penghasilan Maksud dan tujuan hubungan usaha Informasi lain yang memungkinkan BPR/BPRS untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah
4.
Perusahaan (termasuk Bank)
Yayasan/ Perkumpulan
Alamat kedudukan
Alamat kedudukan termasuk no. telepon
Tempat dan tanggal pendirian
Tempat dan tanggal pendirian
Maksud dan tujuan hubungan usaha
Maksud dan tujuan hubungan usaha
Identitas Beneficial Owner apabila ada Sumber dana
Identitas Beneficial Owner apabila ada Sumber dana
Maksud dan tujuan hubungan usaha Informasi lain yang diperlukan
Maksud dan tujuan hubungan usaha Informasi lain yang diperlukan mis. laporan keuangan calon Nasabah atau keterangan mengenai pelanggan utamanya
Lembaga Negara/ Pemerintah Alamat kedudukan termasuk no. telepon
Dalam hal yang akan melakukan transaksi dengan BPR/BPRS adalah WIC, maka informasi yang wajib diminta oleh BPR dan BPRS paling kurang sebagai berikut:
Tabel 3. Informasi WIC
No.
WIC yang melakukan transaksi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara Perorangan
1.
Nama lengkap termasuk alias
DKBU dan DPbS
Perusahaan Nama perusahaan
WIC yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara Perorangan Nama lengkap termasuk alias
Perusahaan Nama perusahaan
26
225
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
No.
WIC yang melakukan transaksi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara
WIC yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara
Perorangan
Perusahaan
Perorangan
2.
Nomor dokumen identitas
Nomor izin usaha dari instansi yang berwenang
Nomor dokumen identitas
3.
Alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas
Alamat kedudukan
Alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas
4.
Alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon apa bila ada
5.
Tempat dan tanggal lahir
Tempat dan tanggal pendirian
6.
Kewarganegara an
Bentuk badan hukum
7.
Pekerjaan
8.
Jenis kelamin
9.
Status perkawinan
10.
Identitas Beneficial Owner apabila ada
Identitas Beneficial Owner apabila ada
11.
Sumber dana
Sumber dana
12.
Rata-rata penghasilan
13.
Maksud dan tujuan hubungan usaha
Maksud dan tujuan hubungan usaha
14.
Informasi lain yg memungkinkan BPR/BPRS mengetahui
Informasi lain diperlukan
DKBU dan DPbS
Perusahaan
Alamat kedudukan
yang
27
226
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
No.
WIC yang melakukan transaksi sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara Perorangan profil Nasabah
5.
C.
Perusahaan
WIC yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara Perorangan
Perusahaan
calon
Transaksi dengan WIC dengan nilai sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja sebagaimana dimaksud pada tabel 2 adalah transaksi yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
Dilakukan pada kantor BPR/BPRS yang sama; dan
b.
Jenis transaksi yang dilakukan adalah transaksi yang sama, misal transaksi pengiriman/transfer uang, transaksi pembayaran dan bukan merupakan gabungan dari beberapa transaksi yang berbeda jenis transaksinya.
Permintaan Dokumen 1.
Untuk Nasabah perorangan, informasi pada tabel 1 dan tabel 2 di atas wajib didukung dengan dokumen identitas yang masih berlaku mencantumkan foto diri dan diterbitkan oleh pihak yang berwenang.
2.
Dokumen pendukung utama bagi identitas Nasabah perorangan yang berkewarganegaraan Indonesia adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor yang masih berlaku. Sedangkan untuk dokumen pendukung tambahan antara lain adalah kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atau Kartu Keluarga (KK).
3.
Untuk calon Nasabah perusahaan, dokumen identitas yang wajib diminta adalah:
4.
a.
akte pendirian dan/atau anggaran dasar perusahaan, dan
b.
izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang. Contoh: izin usaha dari Bank Indonesia bagi Pedagang Valuta Asing Bukan Bank dan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, atau izin usaha dari Departemen Kehutanan bagi kegiatan usaha di bidang perkayuan/kehutanan (Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Izin Pemanfaatan Kayu).
Untuk calon Nasabah berupa yayasan atau perkumpulan, dokumen identitas yang wajib diminta adalah akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang dan/atau berupa izin bidang kegiatan/ tujuan yayasan atau surat telah terdaftar sebagai perkumpulan.
DKBU dan DPbS
28
227
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
5.
Disamping dokumen identitas, BPR/BPRS wajib memperoleh dokumen lainnya berupa:
Tabel 4. Dokumen Pendukung Calon Nasabah Perorangan dan Perusahaan No.
Perorangan
1.
Spesimen tanda tangan
2.
3.
4.
5. 6. 7.
DKBU dan DPbS
Perusahaan (selain Bank) Usaha Mikro dan Bukan usaha Mikro Usaha Kecil dan Usaha Kecil Spesimen tandatangan Spesimen tanda tangan Pengurus atau pihak anggota Direksi yang yang diberi kuasa berwenang mewakili melakukan hubungan perusahaan atau pihak usaha dengan yang diberi kuasa untuk BPR/BPRS melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS
kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang
kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan struktur manajemen perusahaan struktur kepemilikan perusahaan dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan atau pihak yang diberi kuasa untuk melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS
Perusahaan berupa Bank Spesimen tanda tangan anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan atau pihak yang diberi kuasa untuk melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS
Izin usaha dari Bank Indonesia.
29
228
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
6.
Untuk calon Nasabah selain yang tercantum dalam Tabel 3 di atas, maka BPR/BPRS wajib memperoleh dokumen lainnya selain dokumen identitas, yaitu:
Tabel 5. Dokumen pendukung Nasabah selain Perorangan dan Perusahaan
No.
Yayasan
Perkumpulan
1.
izin bidang kegiatan/ tujuan yayasan
bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang
2.
deskripsi yayasan
kegiatan
nama penyelenggara
3.
struktur yayasan
pengurus
4.
dokumen identitas anggota pengurus yang berwenang mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS
D.
identitas pihak yang berwenang mewakili perkumpulan dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS
Lembaga Negara/ Pemerintah, lembaga internasional, perwakilan asing
surat penunjukan bagi pihakpihak yang berwenang mewakili lembaga atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS spesimen tanda tangan
Verifikasi Dokumen 1.
Informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah/Nasabah/WIC beserta dokumen pendukungnya wajib diteliti kebenarannya dengan melakukan verifikasi terhadap dokumen pendukung untuk memastikan bahwa data tersebut adalah data yang benar dan terkini. Dalam hal terdapat keraguan, verifikasi dilakukan berdasarkan dokumen dan/atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya dan independen.
2.
Dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon Nasabah, verifikasi dilakukan dengan: a.
DKBU dan DPbS
Pertemuan langsung/tatap muka dengan calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha. Dalam hal ini, BPR/BPRS dapat diwakili oleh pihak lain yang mengetahui prinsip dasar APU dan PPT, termasuk prosedur CDD yang diterapkan BPR/BPRS. Dalam hal pertemuan langsung dengan calon Nasabah tidak dapat dilaksanakan pada awal pertama membuka hubungan usaha dengan BPR/BPRS, maka kewajiban pertemuan langsung dapat dilakukan 30
229
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
kemudian sepanjang memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut: calon Nasabah tergolong berisiko rendah; atau
2)
mensyaratkan dokumen pendukung yang memuat identitas calon Nasabah yang telah dilegalisir oleh lembaga yang berwenang.
b.
Melakukan wawancara dengan calon Nasabah apabila diperlukan.
c.
Mencocokan kesesuaian profil calon Nasabah dengan foto diri yang tercantum dalam kartu identitas.
d.
Meminta kepada calon Nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, apabila timbul keraguan terhadap kartu identitas yang ada.
e.
Menatausahakan salinan dokumen kartu identitas setelah dilakukan pencocokan dengan dokumen asli yang sah.
f.
Melakukan pengecekan silang untuk memastikan adanya konsistensi dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah, antara lain seperti:
g.
h. 3.
1)
1)
menghubungi Nasabah melalui telepon (rumah atau kantor);
2)
menghubungi pejabat Sumber Daya Manusia tempat dimana Nasabah bekerja apabila pekerjaan Nasabah adalah karyawan suatu perusahaan atau instansi; atau
3)
melakukan konfirmasi atas penghasilan Nasabah dengan mensyaratkan rekening Koran dari Bank lainnya yang berkedudukan di Indonesia.
Pengecekan dimaksud juga mencakup pemeriksaan nama calon Nasabah terhadap: 1)
Daftar Teroris.
2)
Daftar lainnya yang dimiliki oleh BPR/BPRS (apabila ada), seperti daftar calon nasabah/ nasabah/ WIC sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi BPR dan BPRS.
3)
Dokumen lainnya seperti identitas pemberi kerja dari calon Nasabah, rekening telepon dan rekening listrik.
Memastikan adanya kemungkinan hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan.
Proses verifikasi identitas calon Nasabah dan Beneficial Owner wajib diselesaikan sebelum membina hubungan usaha dengan calon Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan WIC.
DKBU dan DPbS
31
230
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
4.
Dalam kondisi tertentu, proses verifikasi dapat diselesaikan kemudian, yaitu paling lambat: a.
untuk Nasabah perorangan, 14 (empat belas) hari kerja setelah dilakukannya hubungan usaha.
b.
untuk Nasabah perusahaan, 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dilakukannya hubungan usaha
Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud di atas yaitu:
E.
a.
kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat hubungan usaha akan dilakukan misalnya karena dokumen masih dalam proses pengurusan yang dibuktikan dengan dokumen pendukung; dan
b.
apabila tingkat risiko calon Nasabah tergolong rendah.
Pemantauan 1.
BPR dan BPRS wajib melakukan kegiatan pemantauan yang paling kurang mencakup hal-hal sebagai berikut: a.
Dilakukan secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi Nasabah dengan profil Nasabah dan menatausahakan dokumen tersebut, terutama terhadap hubungan usaha/transaksi dengan Nasabah WNI yang berdomisili di Negara lain.
b.
Melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah. Contoh transaksi, aktivitas dan perilaku yang tidak sesuai dengan profil Nasabah adalah sebagaimana terlampir dalam Lampiran A pada Pedoman Standar ini.
2.
BPR dan BPRS dapat meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah, dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off sebagaimana dimaksud dalam UU PPTPPU .
3.
Kegiatan pemantauan profil dan transaksi Nasabah yang dilakukan secara berkesinambungan meliputi kegiatan: a.
memastikan kelengkapan informasi dan dokumen Nasabah;
b.
meneliti kesesuaian antara profil transaksi dengan profil Nasabah;
c.
meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama yang tercantum dalam database daftar teroris; dan
d.
meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama tersangka atau terdakwa yang dipublikasikan dalam media massa atau oleh otoritas yang berwenang.
DKBU dan DPbS
32
231
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
4.
a.
media massa, seperti koran dan majalah; dan/atau
b.
sumber informasi lainnya.
5.
Pemantauan terhadap profil dan transaksi Nasabah harus dilakukan secara berkala dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko.
6.
Apabila berdasarkan hasil pemantauan terdapat kemiripan atau kesamaan nama sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c dan huruf d diatas, maka BPR dan BPRS harus melakukan klarifikasi kepada nasabah untuk memastikan kemiripan tersebut.
7.
Dalam hal nama dan identitas Nasabah sesuai dengan nama tersangka atau terdakwa yang diinformasikan dalam media massa dan/atau sesuai dengan daftar teroris sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c dan huruf d diatas, maka BPR dan BPRS wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam LTKM .
8.
Pemantauan terhadap rekening Nasabah harus dipantau lebih ketat apabila terdapat antara lain:
9.
F.
Sumber informasi yang dapat digunakan untuk memantau Nasabah BPR dan BPRS yang ditetapkan sebagai status tersangka atau terdakwa dapat diperoleh antara lain melalui :
a.
transaksi pengiriman uang (incoming transfer) yang terkait dengan Negara yang berisiko tinggi;
b.
pembayaran pinjaman/kredit/pembiayaan yang dipercepat dan/atau nilainya lebih dari yang seharusnya dan dilakukan secara tunai dengan nilai yang signifikan ;
c.
belum dilakukan tatap muka dengan nasabah pada awal melakukan hubungan usaha.
Seluruh kegiatan pemantauan didokumentasikan dengan tertib.
Pengkinian 1.
BPR dan BPRS wajib melakukan pengkinian data terhadap informasi dan dokumen serta menatausahakannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi BPR dan BPRS.
2.
BPR dan BPRS wajib melakukan pengkinian data Nasabah yang dimiliki agar identifikasi dan pemantauan transaksi keuangan yang mencurigakan dapat berjalan efektif.
3.
Pengkinian data Nasabah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko yang mencakup pengkinian profil Nasabah dan transaksinya. Dalam hal sumber daya yang dimiliki BPR dan BPRS terbatas, kegiatan pengkinian data dilakukan dengan skala prioritas.
DKBU dan DPbS
33
232
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
4.
5.
G.
Parameter untuk menetapkan skala prioritas sebagaimana dimaksud pada angka 3 antara lain : a.
tingkat risiko Nasabah tinggi;
b.
transaksi dengan jumlah yang signifikan dan/atau menyimpang dari profil transaksi atau profil Nasabah;
c.
saldo yang nilainya signifikan; atau
d.
informasi yang ada pada CIF belum sesuai dengan PBI APU dan PPT.
BPR dan BPRS harus melakukan pengkinian data antara lain pada saat: a.
pembukaan rekening tambahan;
b.
perpanjangan fasilitas pinjaman;
c.
penggantian buku tabungan, ATM, atau dokumen produk perbankan lainnya; atau
d.
terdapat transaksi keuangan yang signifikan dan/atau tidak sesuai dengan profil Nasabah.
6.
Selain melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada angka 5, pengkinian data dilakukan secara berkala berdasarkan tingkat risiko Nasabah/transaksi.
7.
Pencatatan pada CIF atas informasi Nasabah yang dikinikan tanpa didukung dengan dokumen, harus dengan persetujuan dari Pejabat BPR/BPRS yang berwenang.
8.
Seluruh kegiatan pengkinian data harus diadministrasikan.
9.
Dalam melakukan pengkinian data tersebut, BPR dan BPRS wajib melakukan pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah.
Daftar Teroris 1.
BPR dan BPRS wajib memelihara Daftar Teroris yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 (enam) bulan berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
2.
Informasi mengenai Daftar Teroris antara lain dapat diperoleh melalui: a.
website PBB : http://www.un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml;
b.
sumber lainnya yang lazim digunakan oleh perbankan dan merupakan data publik antara lain The Office of Foreign Assets Control List (OFAC List) dengan alamat situs internet : http://www.treas.gov/offices/enforcement/ofac/index.shtml; atau
c. DKBU dan DPbS
pihak berwenang, seperti informasi dari PPATK atau Kepolisian. 34
233
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
3.
Kegiatan pemantauan yang wajib dilakukan BPR dan BPRS terkait dengan Daftar Teroris adalah : a.
Memastikan secara berkala nama-nama Nasabah yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama yang tercantum dalam Daftar Teroris.
b.
Memastikan kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang terkait dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam Daftar Teroris.
c.
Melaporkan Nasabah tersebut dalam LTKM dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam Daftar Teroris.
DKBU dan DPbS
35
234
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB VI PENATAUSAHAAN DOKUMEN DAN PELAPORAN
A.
Penatausahaan Dokumen 1.
BPR dan BPRS wajib menatausahakan data atau dokumen dengan baik sebagai upaya untuk membantu pihak yang berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap dana-dana yang diindikasikan berasal dari hasil tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, dokumen yang dimiliki/disimpan BPR dan BPRS harus akurat dan lengkap, sehingga mudah pencariannya jika diperlukan.
2.
Jangka waktu penatausahaan dokumen adalah sebagai berikut: a.
b.
1)
berakhirnya hubungan usaha dengan Nasabah;
2)
transaksi yang dilakukan dengan WIC; atau
3)
ditemukannya ketidak sesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha.
dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan transaksi keuangan dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Dokumen Perusahaan.
3.
Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan, electronic form, microfilm, atau dokumen yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku dapat digunakan sebagai alat bukti.
4.
Dokumen yang ditatausahakan paling kurang mencakup:
5.
B.
dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak:
a.
identitas Nasabah atau WIC; dan
b.
informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis mata uang dan jumlah uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi.
BPR dan BPRS wajib memberikan informasi dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 4 diatas kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas lain yang berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaporan 1.
BPR dan BPRS wajib menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam UU PPTPPU .
DKBU dan DPbS
36
235
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
2.
Berdasarkan hasil pemantauan atas profil dan transaksi Nasabah, BPR dan BPRS wajib melaporkan dalam LTKM apabila: a.
b.
c.
d.
Nasabah memiliki kemiripan atau kesamaan nama dan identitas dengan nama tersangka atau terdakwa yang diinformasikan dalam media massa dan/atau sesuai dengan daftar teroris; Nasabah yang ditutup hubungan usahanya karena tidak bersedia melengkapi informasi dan dokumen pendukung dan berdasarkan penilaian BPR/BPRS transaksi yang dilakukan tidak wajar atau mencurigakan; Nasabah/WIC yang ditolak atau dibatalkan transaksinya karena tidak bersedia melengkapi informasi yang diminta oleh BPR/BPRS dan berdasarkan penilaian BPR/BPRS transaksi yang dilakukan tidak wajar atau mencurigakan; atau Transaksi keuangan yang memenuhi kriteria mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam UU PPTPPU.
3.
BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah BPR dan BPRS mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.
4.
BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Tunai kepada PPATK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.
5.
Tatacara pelaporan transaksi keuangan mencurigakan (termasuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan terorisme), transaksi keuangan tunai dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam Pedoman PPATK yang mengatur mengenai Pedoman Identifikasi dan Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan.
DKBU dan DPbS
37
236
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB VII PEMINDAHAN DANA
A.
Prosedur Pemindahan Dana 1.
Dalam melakukan kegiatan pemindahan dana, BPR dan BPRS Pengirim wajib memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah pengirim atau WIC pengirim, paling kurang meliputi: a. b.
B.
Nomor rekening dan identitas Nasabah pengirim atau identitas WIC pengirim. Tanggal transaksi dan nominal.
2.
BPR dan BPRS Pengirim wajib mendokumentasikan seluruh kegiatan pemindahan dana.
3.
BPR dan BPRS Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi Nasabah pengirim dan WIC pengirim sebagaimana dimaksud pada angka 1.
4.
Apabila Nasabah/WIC tidak memenuhi permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka BPR/BPRS Pengirim dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dapat: a.
menolak untuk melaksanakan pemindahan dana;
b.
membatalkan transaksi pemindahan dana; dan/atau
c.
mengakhiri hubungan usaha dengan Nasabah.
Permintaan Informasi Dalam rangka memastikan kelengkapan informasi Nasabah Pengirim diberikan penjelasan mengenai mekanisme tukar-menukar informasi sebagai berikut: 1.
Apabila diperlukan, BPR/BPRS Penerima dapat meminta informasi pengirim sebagaimana yang tercantum dalam huruf A.1 diatas kepada Bank Pengirim.
2.
Permintaan informasi harus diajukan secara tertulis dari pejabat yang berwenang baik melalui surat maupun melalui media elektronik.
3.
Tukar menukar informasi antar Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas bersifat sangat rahasia dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan analisis transaksi, penyidikan, dan kebutuhan otoritas yang berwenang.
4.
Pemenuhan permintaan informasi dari BPR/BPRS Penerima dilakukan dalam rangka tukar menukar informasi antar Bank, sehingga dikecualikan dari ketentuan tentang rahasia Bank.
5.
Permintaan dan penyampaian informasi wajib didokumentasikan.
DKBU dan DPbS
38
237
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
C.
Pelaporan Apabila terdapat pemindahan dana, yang memenuhi kriteria mencurigakan, maka pemindahan dana tersebut wajib dilaporkan sebagai LTKM kepada PPATK. Dalam hal ini termasuk pemindahan dana yang terkait dengan transaksi pendanaan terorisme.
DKBU dan DPbS
39
238
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB VIII PENUTUPAN HUBUNGAN DAN PENOLAKAN TRANSAKSI
A.
Penolakan calon Nasabah atau WIC 1.
2.
3.
B.
BPR dan BPRS wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam hal calon Nasabah atau WIC: a.
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi BPR dan BPRS; atau
b.
diketahui menggunakan identitas dan/atau memberikan informasi yang tidak benar.
BPR dan BPRS dapat menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah dalam hal: a.
kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 1 terpenuhi;
b.
BPR dan BPRS ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah; atau
c.
penggunaan rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah.
BPR dan BPRS wajib: a.
mendokumentasikan data calon Nasabah, WIC, atau Nasabah yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 diatas.
b.
melaporkan calon Nasabah, WIC, atau Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK apabila transaksinya tidak wajar atau mencurigakan.
Penutupan hubungan usaha dengan Nasabah 1.
2.
BPR/BPRS dapat menutup hubungan usaha dengan Nasabah apabila: a.
Nasabah tidak memenuhi ketentuan permintaan informasi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Tabel 1, Tabel, 3, dan Tabel 4;
b.
BPR/BPRS ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah; atau
c.
penggunaan rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah.
melaporkan Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 dalam LTKM.
DKBU dan DPbS
40
239
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB IX BENEFICIAL OWNER
1.
BPR dan BPRS wajib memastikan apakah calon Nasabah atau WIC mewakili Beneficial Owner (termasuk Beneficial Owner lainnya apabila terdapat lebih dari satu Beneficial Owner) untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi dengan BPR/BPRS.
2.
Dalam hal calon Nasabah atau WIC mewakili Beneficial Owner untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, BPR dan BPRS wajib melakukan prosedur CDD terhadap Beneficial Owner yang sama ketatnya dengan prosedur CDD bagi calon Nasabah atau WIC.
3.
Dalam hal Beneficial Owner digolongkan sebagai PEP, maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur EDD.
4.
Terhadap Beneficial Owner, BPR dan BPRS wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya yang sama dengan calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada Tabel 1, Tabel 3, dan Tabel 4, ditambah dengan :
Tabel 6. Bukti dan informasi lainnya terkait Beneficial Owner (BO) BO dari Nasabah Perorangan
No. 1.
2.
5.
hubungan hukum antara calon Nasabah atau WIC dengan Beneficial Owner yang ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya pernyataan dari calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner
BO dari Nasabah Perusahaan/ Yayasan /Perkumpulan
BO dari Nasabah berupa Bank lain di dalam negeri
dokumen dan informasi identitas pemilik atau pengendali akhir perusahaan, yayasan, atau perkumpulan
pernyataan tertulis dari Bank dimaksud bahwa identitas Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi oleh Bank lain di dalam negeri tersebut
pernyataan dari calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner
Terhadap Nasabah perusahaan, yang termasuk sebagai pengendali apabila memenuhi hal-hal sebagai berikut: a.
memiliki saham perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
b.
saham perusahaan kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan Pengendalian perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
DKBU dan DPbS
41
240
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
Sedangkan yang termasuk sebagai pengendali terakhir adalah apabila perorangan atau badan hukum yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham perusahaan dan merupakan pengendali terakhir dari perusahaan dan/atau keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan perusahaan. 6.
Terhadap Nasabah perorangan yang termasuk sebagai pengendali adalah apabila memiliki kepentingan atas suatu transaksi yang dilakukan.
7.
Dokumen identitas pemilik atau pengendali akhir dapat berupa surat pernyataan atau dokumen lainnya yang memuat informasi mengenai identitas pemilik atau pengendali akhir.
8.
Apabila Beneficial Owner berupa lembaga pemerintah atau perusahaan yang terdaftar di bursa efek (listing), maka kewajiban penyampaian dokumen dan/atau identitas pengendali akhir dikecualikan atau tidak berlaku. Dalam hal ini termasuk terhadap Nasabah perusahaan yang merupakan anak perusahaan (subsidiary) dari perusahaan yang terdaftar di bursa efek (listing), dimana kepemilikan perusahaan induk adalah mayoritas.
9.
Apabila BPR/BPRS meragukan atau tidak dapat meyakini identitas Beneficial Owner, BPR dan BPRS wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah atau WIC.
10.
Beneficial Owner yang mendapatkan pengecualian wajib didokumentasikan.
DKBU dan DPbS
42
241
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB X POLITICALLY EXPOSED PERSON (PEP) DAN AREA BERISIKO TINGGI
A.
Prosedur terhadap PEP dan Area Berisiko Tinggi 1.
BPR dan BPRS wajib meneliti adanya calon Nasabah, Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP.
2.
Dalam hal calon Nasabah diketahui tergolong PEP maka BPR dan BPRS wajib melakukan EDD pada awal melakukan hubungan usaha dengan BPR dan BPRS.
3.
Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP dibuat dalam daftar tersendiri.
4.
Kewajiban BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud pada angka 3 diberlakukan pula terhadap Nasabah atau WIC yang menerima kiriman uang dari dan/atau melakukan transaksi lainnya dengan pihak yang berasal dari negara berisiko tinggi melalui rekening BPR/BPRS yang ada di Bank Umum dan/atau Unit Usaha Syariah dalam negeri.
5.
Dalam hal BPR dan BPRS akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang tergolong PEP, Direksi BPR/BPRS atau Pejabat Eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaan hubungan usaha dengan calon Nasabah tersebut.
6.
Apabila terdapat transaksi atau hubungan usaha dengan Nasabah yang terkait dengan negara yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi FATF, maka BPR dan BPRS wajib mewaspadainya dan menetapkan mitigasi risiko yang mungkin terjadi.
7.
Direksi atau Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada angka 5 berwenang untuk: a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon Nasabah yang tergolong berisiko tinggi atau PEP; dan b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha dengan Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong PEP.
B.
Penetapan PEP dan Kriteria Area Berisiko Tinggi Dalam mengelompokkan Nasabah berdasarkan tingkat risikonya, BPR dan BPRS antara lain dapat berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai Pedoman Identifikasi Produk, Nasabah, Usaha, dan Negara Berisiko Tinggi Bagi Penyedia Jasa Keuangan (selanjutnya disebut dengan Pedoman Identifikasi PPATK). Area berisiko tinggi dalam pedoman ini, selain mendasarkan pada Pedoman Identifikasi PPATK juga referensi lainnya yang dikeluarkan oleh otoritas
DKBU dan DPbS
43
242
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
berwenang atau yang telah menjadi kelaziman internasional (international best practice). 1.
Produk dan Jasa Berisiko Tinggi Karakteristik dari high risk product dan high risk services adalah produk/jasa yang ditawarkan kepada Nasabah yang mudah dikonversikan menjadi kas atau setara kas, atau yang dananya mudah dipindahpindahkan dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lainnya dengan maksud mengaburkan asal usul dana tersebut. Sebagai contoh:
2.
a.
Electronic Banking;
b.
Internet Banking;
c.
Pemindahan Dana;
d.
Pemberian Kredit/ Pembiayaan dan Pendanaan; atau
e.
Jual Beli Valuta Asing (Bank notes).
Nasabah Berisiko Tinggi Salah satu Nasabah yang berisiko tinggi adalah PEP yaitu orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggara Negara adalah:
Tabel 7. Ketentuan mengenai PEP Ketentuan UU No.28 Tahun 1999
Definisi Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keterangan
DKBU dan DPbS
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; Menteri; Gubernur; Hakim; Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan 44
243
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
Ketentuan
Definisi
Keterangan peraturan perundangundangan yang berlaku
SE/03/M.PAN/01/2005 tanggal 20 Januari 2005
Penyelenggara Negara
3.
Pejabat eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan Instansi Pemerintah dan/atau lembaga negara. Semua kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan Pengawas Bea dan Cukai; Auditor; Pejabat yang mengeluarkan perijinan; Pejabat/Kepala Unit Masyarakat; dan Pejabat pembuat regulasi
Usaha Berisiko Tinggi Contoh usaha yang berisiko tinggi antara lain:
4.
a.
Pedagang Efek yang melakukan fungsi sebagai Perantara Efek (Nasabah perusahaan);
b.
Perusahaan Asuransi dan Broker Asuransi (Perusahaan);
c.
Money Changer (Perusahaan);
d.
Dana Pensiun dan Usaha Pendanaan (Perusahaan);
e.
Tempat hiburan dan executive club;
f.
Jasa pengiriman uang;
g.
Jasa akuntan, pengacara dan notaris (Perusahaan/ Perorangan);
h.
Jasa surveyor dan agen real estat (Perusahaan);
i.
Pedagang logam mulia (Perusahaan/perorangan);
j.
Usaha barang-barang antik, dealer mobil, kapal serta penjual barang/barang mewah;
k.
Agen perjalanan; atau
l.
Milik pegawai BPR/BPRS sendiri.
Transaksi Nasabah yang Terkait dengan Negara Lain yang Berisiko Tinggi. Contoh negara yang berisiko tinggi antara lain:
DKBU dan DPbS
45
244
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
a.
negara yang pelaksanaan rekomendasi FATF diidentifikasikan belum memadai;
b.
termasuk dalam daftar FATF statement;
c.
diketahui secara luas sebagai perdagangan narkoba;
d.
dikenal secara luas menerapkan banking secrecy laws yang ketat;
e.
dikenal sebagai tax haven antara lain berdasarkan data terkini dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Posisi Mei 2009 terdapat 35 negara/wilayah yang tergolong tax haven yaitu:
Aruba Anguilla Antigua and Barbuda Bermuda Bahamas Bahrain Belize British Virgin Islands Cook Islands Cyprus Dominica Gibraltar
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
tempat
Grenada Guernsey Isle of Man Jersey Liberia Malta Marshall Islands Mauritius Montserrat Niue Nauru Netherlands Antilles
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
penghasil
dan
pusat
Samoa Panama San Marino Seychelles St. Lucia St. Kitts & Nevis St. Vincent and the Grenadines Turks & Caicos Islands US Virgin Islands Vanuatu Cayman Islands
f.
dikenal memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Informasi tersebut dapat diperoleh antara lain dari publikasi Transparency International;
g.
dianggap merupakan sumber kegiatan terorisme, seperti yang diidentifikasikan oleh Office of Foreign Asset Control (OFAC); atau
h.
terkena sanksi PBB.
Sehubungan dengan area berisiko tinggi di atas, BPR dan BPRS wajib meneliti adanya Nasabah dan/atau Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi tersebut dan mendokumentasikannya dalam daftar tersendiri.
C.
Enhanced Due Dilligence (EDD) 1.
EDD atau kegiatan CDD yang lebih mendalam harus dilakukan terhadap Nasabah berisiko tinggi dan yang tergolong PEP.
2.
Sifat, kualitas, dan kuantitas informasi Nasabah yang perlu diperoleh harus memberikan gambaran mengenai tingkat risiko yang timbul dari hubungan usaha yang terjadi.
DKBU dan DPbS
46
245
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
3.
Informasi yang diperoleh harus dapat diverifikasi dan memberikan keyakinan terhadap profil Nasabah sesungguhnya.
4.
Bagi calon Nasabah : a. meminta informasi tambahan yang diperlukan untuk memastikan kebenaran profil calon Nasabah; dan/atau b. meminta dokumen pendukung tambahan untuk meyakini kebenaran informasi mengenai identitas dan sumber dana.
5.
Bagi Nasabah atau Beneficial Owner : a. melakukan kegiatan seperti yang dilakukan terhadap calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada angka 4; b. melakukan analisa secara berkala paling kurang terhadap informasi mengenai sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait, yaitu: 1) 2) 3)
perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP; keluarga PEP sampai dengan derajat kedua; dan/atau pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP; dan
c. memantau lebih ketat pola transaksi nasabah untuk kepentingan pengkinian profil Nasabah atau Beneficial Owner.
DKBU dan DPbS
47
246
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB XI CDD YANG LEBIH SEDERHANA
1.
2.
BPR dan BPRS dapat menerapkan prosedur CDD yang lebih sederhana terhadap calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran gaji karyawan. Dalam hal ini rekening tersebut adalah rekening milik perusahaan yang digunakan untuk pembayaran gaji karyawan perusahaan tersebut atau rekening Nasabah perorangan yang tujuan pembukaan rekening adalah untuk menampung gaji yang diberikan oleh perusahaannya secara periodik;
b.
rekening berupa tabungan wajib terkait kredit/pembiayaan dari BPR/BPRS yang sama;
c.
calon Nasabah berupa perusahaan publik (perusahaan yang terdaftar pada bursa efek) yang tunduk pada peraturan tentang kewajiban untuk mengungkapkan kinerjanya sehinga informasi tentang identitas perusahaan dan Beneficial Owner dari Nasabah perusahaan tersebut dapat diakses oleh masyarakat;
d.
nilai transaksi awal pembukaan rekening dibawah Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
dengan
pemberian
Informasi dan dokumen yang dibutuhkan oleh calon Nasabah yang mendapat perlakukan CDD yang lebih sederhana adalah:
Tabel 8. CDD yang lebih sederhana Perusahaan (selain Bank) No.
1.
2.
3.
Perorangan
Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Bukan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
WIC Perusahaan
Nama lengkap termasuk alias apabila ada Nomor dokumen identitas
Nama perusahaan
Nama perusahaan
Nama perusahaan
Alamat kedudukan
Alamat kedudukan
Alamat kedudukan
Alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas
Spesimen tanda tangan anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan atau pihak yang diberi kuasa untuk melakukan
Dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan atau pihak yang diberi kuasa untuk melakukan hubungan usaha dengan BPR/BPRS
DKBU dan DPbS
48
247
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS Perusahaan (selain Bank) No.
Perorangan
Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Bukan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
WIC Perusahaan
hubungan usaha dengan BPR/BPRS 4.
5. 6. 7.
Alamat tempat tinggal terkini termasuk no. telepon apabila ada Tempat dan tanggal lahir Dokumen identitas Spesimen tanda tangan
3.
Terhadap Nasabah yang mendapat perlakukan CDD yang lebih sederhana, BPR dan BPRS wajib mendokumentasikannya dalam suatu daftar yang antara lain memuat informasi mengenai alasan penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko rendah.
4.
Apabila Nasabah yang mendapat perlakuan CDD yang lebih sederhana melakukan transaksi yang diindikasikan adanya pencucian uang atau pendanaan terorisme, maka prosedur CDD yang lebih sederhana yang telah diterapkan menjadi tidak berlaku namun sebaliknya terhadap Nasabah tersebut wajib dilakukan CDD dan dikeluarkan dari daftar CDD sederhana.
DKBU dan DPbS
49
248
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB XII CDD OLEH PIHAK KETIGA
1.
BPR dan BPRS dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon Nasabahnya yang telah menjadi Nasabah pada pihak ketiga tersebut. Dalam hal ini BPR dan BPRS tetap wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga.
2.
Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah lembaga keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.
Pihak ketiga berupa perusahaan non keuangan yang melakukan CDD atas dasar perjanjian kontrak (outsourcing atau agen), tidak termasuk sebagai pihak ketiga yang dimaksudkan dalam ketentuan ini. Mengingat outsourcing atau agen merupakan perpanjangan tangan BPR/BPRS dimana proses CDD masih tetap mengacu kepada BPR/BPRS tersebut, bukan pada pihak ketiga.
4.
Hasil CDD yang dapat digunakan oleh BPR dan BPRS adalah hasil CDD dari pihak ketiga yang memenuhi kriteria paling kurang sebagai berikut: a.
memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b.
memiliki kerja sama dengan BPR/BPRS dalam bentuk kesepakatan tertulis;
c.
tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang (antara lain Bank Indonesia atau Bapepam-LK) sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
d.
bersedia memenuhi permintaan informasi yang paling kurang berupa informasi mengenai: 1)
nama lengkap sesuai dengan yang tercantum pada kartu identitas;
2)
alamat, tempat dan tanggal lahir;
3)
nomor kartu identitas; dan
4)
kewarganegaraan dari calon Nasabah,
serta salinan dokumen pendukung apabila dibutuhkan oleh BPR/BPRS dalam rangka pelaksanaan Program APU dan PPT. Kesediaan dimaksud dituangkan dalam kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf b. 5.
BPR dan BPRS wajib memastikan kecukupan identifikasi dan verifikasi atas hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga. Tanggung jawab akhir atas hasil identifikasi dan verifikasi calon Nasabah sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPR/BPRS.
6.
BPR dan BPRS bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan dokumen hasil CDD yang dilakukan pihak ketiga serta data hasil identifikasi dan verifikasi yang dilakukan oleh BPR dan BPRS.
DKBU dan DPbS
50
249
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB XIII PENGENDALIAN INTERN
1.
BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif dan melakukan pemisahan fungsi yang jelas antara unit kerja operasional dengan unit kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian.
2.
Dalam pelaksanaan Program APU dan PPT, BPR dan BPRS harus melakukan pemisahan tugas dan tanggung jawab antara: a.
pelaksana kebijakan dengan pengawas pelaksanaan kebijakan; dan
b.
pelaksana transaksi dengan pemutus transaksi.
3.
Termasuk dalam sistem pengendalian intern yang efektif adalah yang bersifat fungsional maupun melekat yang dapat memastikan bahwa pelaksanaan Program APU dan PPT oleh satuan kerja terkait atau Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) telah sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan.
4.
Dalam hal BPR dan BPRS tidak memiliki Satuan Kerja Audit Internal (SKAI), BPR dan BPRS menunjuk pejabat (pegawai/direksi/komisaris) yang melaksanakan fungsi pengendalian intern dalam rangka memastikan efektivitas pelaksanaan program APU dan PPT.
5.
Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) atau pegawai yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengendalian intern harus memiliki kewenangan dan sarana yang memadai paling kurang mencakup:
6.
a.
program dan prosedur audit yang mencakup uji kepatuhan dengan fokus pada CDD, operasional, produk dan jasa yang berisiko tinggi. Dalam memastikan efektivitas pelaksanaan program APU dan PPT, BPR dan BPRS mengoptimalkan satuan kerja Audit Intern yang telah ada antara lain untuk melakukan uji kepatuhan (termasuk penggunaan sample testing) terhadap kebijakan dan prosedur yang terkait dengan program APU dan PPT;
b.
penilaian kecukupan proses yang berlaku di BPR/BPRS mengidentifikasi dan melaporkan transaksi yang mencurigakan;
c.
pelaporan temuan pemeriksaan kepada Direksi dan/atau manajemen dengan tepat waktu; dan
d.
rekomendasi upaya-upaya perbaikan terhadap temuan yang ada.
dalam
Sistem pengendalian intern harus mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan Program APU dan PPT dengan tujuan untuk meminimalkan potensi risiko yang dihadapi BPR/BPRS.
DKBU dan DPbS
51
250
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB XIV SISTEM PENCATATAN
1.
Untuk keperluan pemantauan profil dan transaksi Nasabah, BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pencatatan yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
2.
Sistem pencatatan yang dimiliki harus dapat memungkinkan BPR dan BPRS untuk menelusuri setiap transaksi individual, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan.
3.
Tingkat kecanggihan sistem pencatatan untuk mengidentifikasi transaksi keuangan yang mencurigakan disesuaikan dengan kompleksitas, volume transaksi, dan risiko yang dimiliki BPR/BPRS.
4.
BPR dan BPRS yang tergolong besar didorong untuk memiliki pencatatan profil Nasabah secara terpadu (Single Customer Identification File/CIF) yang ditujukan untuk memudahkan pemantauan dalam rangka menganalisis transaksi keuangan yang mencurigakan dan paling kurang meliputi informasi sebagaimana dimaksud dalam Tabel 1 pada Bab V.
5.
Profil nasabah paling kurang meliputi: a.
Pekerjaan/bidang usaha
b.
Jumlah penghasilan
c.
Rekening lain yang dimiliki (apabila ada)
d.
Aktivitas transaksi normal
e.
Tujuan pembukaan rekening.
6.
Pencatatan yang terdapat dalam single CIF mencakup seluruh rekening yang dimiliki oleh Nasabah pada suatu BPR/BPRS yaitu tabungan, deposito, dan kredit.
7.
Untuk rekening joint account terdapat dua pendekatan, yaitu: a.
Apabila pemilik dari joint account (Rek A dan B) juga memiliki rekening lainnya atas nama masing-masing (Rek. A dan Rek. B), maka CIF yang dibuat adalah 2 (dua) CIF yaitu CIF atas nama A dan CIF atas nama B. Dalam setiap CIF harus menginformasikan bahwa baik A maupun B memiliki rekening joint account.
b.
Apabila pemilik dari joint account (Rek A dan B) tidak memiliki rekening lainnya, maka CIF yang dibuat mencakup pencatatan A dan B.
Untuk keperluan pemeliharaan single CIF, BPR dan BPRS harus menetapkan kebijakan bahwa untuk setiap penambahan rekening oleh Nasabah yang sudah ada, BPR dan BPRS wajib mengkaitkan rekening tambahan tersebut dengan nomor informasi Nasabah dari Nasabah yang bersangkutan. DKBU dan DPbS
52
251
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
BAB XV SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN KARYAWAN
A.
B.
Sumber Daya Manusia 1.
BPR dan BPRS wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru, untuk mencegah digunakannya BPR dan BPRS sebagai media atau tujuan pencucian uang atau pendanaan terorisme yang melibatkan pihak intern BPR/BPRS.
2.
Pemanfaatan jasa perbankan sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme dimungkinkan juga melibatkan pegawai BPR itu sendiri. Dengan demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui lembaga perbankan perlu diterapkan Know Your Employee (KYE) yang diantaranya adalah melalui prosedur screening.
3.
Metode screening disesuaikan dengan kebutuhan, kompleksitas kegiatan BPR/BPRS, dan profil risiko BPR/BPRS.
4.
Metode screening paling kurang memastikan profil calon pegawai tidak memiliki catatan kejahatan.
5.
Melakukan pemantauan terhadap profil karyawan.
Pelatihan 1.
Peserta Pelatihan a.
Seluruh karyawan harus mendapatkan pengetahuan mengenai kebijakan, prosedur, dan pelaksanaan Program APU dan PPT.
b.
Karyawan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1)
berhadapan langsung dengan Nasabah (pelayanan Nasabah);
2)
pelaksanaan tugas sehari-hari terkait dengan pengawasan pelaksanaan Program APU dan PPT; atau
3)
pelaksanaan tugas sehari-hari terkait dengan pelaporan kepada PPATK dan Bank Indonesia,
mendapatkan prioritas untuk memperoleh pelatihan. c.
Karyawan yang mendapatkan prioritas harus mendapatkan pelatihan secara berkala, sedangkan karyawan lainnya yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf b, harus mendapatkan pelatihan paling kurang 1 (satu) kali dalam masa kerjanya.
d.
Karyawan yang berhadapan langsung dengan Nasabah (front liner) harus mendapatkan pelatihan sebelum penempatan.
DKBU dan DPbS
53
252
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
2.
Metode Pelatihan Pelatihan dapat dilakukan dengan cara: a. b. c. d. e.
f.
3.
menyelenggarakan in house training; mengikutsertakan pegawai dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak lain; menyelenggarakan forum tukar-menukar informasi (knowledge sharing); melakukan pembelajaran dengan menggunakan sarana elektronik (elearning) maupun melalui pertemuan. Tatap muka secara interaktif (misal workshop) dengan topik pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan peserta. Pendekatan ini digunakan untuk karyawan yang mendapatkan prioritas dan dilakukan secara berkala, misal setiap tahun; dan/atau Tatap muka satu arah (misal seminar) dengan topik pelatihan adalah berupa gambaran umum dari pelaksanaan Program APU dan PPT. Pendekatan ini diberikan kepada karyawan yang tidak mendapatkan prioritas dan dilakukan apabila terdapat perubahan ketentuan yang signifikan.
Topik dan Evaluasi Pelatihan a.
Topik pelatihan paling kurang mengenai: 1)
implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT;
2)
Teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan terorisme termasuk trend dan perkembangan profil risiko produk perbankan; dan
3)
Kebijakan dan prosedur pelaksanaan Program APU dan PPT serta peran dan tanggungjawab pegawai dalam memberantas pencucian uang atau pendanaan terorisme, termasuk konsekuensi apabila karyawan melakukan tipping off.
b.
BPR dan BPRS harus melakukan evaluasi terhadap setiap pelatihan yang telah diselenggarakan untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta pelatihan dan kesesuaian materi yang diberikan.
c.
Evaluasi dapat dilakukan secara langsung melalui wawancara atau tidak secara langsung melalui penyediaan soal.
d.
BPR dan BPRS harus melakukan upaya tindak lanjut dari hasil evaluasi pelatihan melalui penyempurnaan materi dan metode pelatihan.
DKBU dan DPbS
54
253
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS Lampiran A
CONTOH-CONTOH TRANSAKSI, AKTIVITAS, DAN PERILAKU YANG TIDAK WAJAR DAN/ATAU TIDAK SESUAI DENGAN PROFIL NASABAH
1.
2.
Transaksi yang Tidak Bernilai Ekonomis a.
Dana yang baru saja disetorkan kemudian diambil kembali secara tiba-tiba, kecuali apabila terdapat alasan yang jelas atas penarikan secara tiba-tiba tersebut.
b.
Penarikan atau penyetoran dalam jumlah besar dari rekening Nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening Nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri (melalui jalur kerjasama BPR dengan Bank Umum dan lembaga pengirim uang, e.g Western Union) tanpa didukung dengan alasan yang memadai dan tidak terdapat keterkaitan antara Nasabah dengan kegiatan usaha Nasabah
c.
Pinjaman back to back tanpa ada tujuan yang dapat diidentifikasi dan dapat diterima secara hukum
d.
Terdapat transaksi penyetoran uang tunai oleh seseorang untuk rekening Nasabah BPR dan pada saat yang berdekatan langsung dilakukan penarikan oleh nasabah.
Transaksi dengan Menggunakan Uang Tunai dalam Jumlah Besar a.
Penyetoran uang tunai dengan cara menggunakan banyak slip penyetoran dalam jumlah kecil, yang bila digabungkan maka jumlahnya menjadi sangat besar.
b.
Penyetoran dalam bentuk tunai untuk penyelesaian tagihan kepada BPR/BPRS termasuk tagihan kredit
c.
Nasabah yang depositnya terbukti terdiri dari mata uang palsu dan instrumen tiruan.
d.
Penyetoran secara tunai dalam jumlah besar ke rekening Nasabah yang tidak sesuai dengan profil Nasabah
e.
Penyetoran uang tunai dalam jumlah besar dengan menggunakan ATM dimalam hari untuk menghindari hubungan langsung dengan Bank.
f.
Beberapa Nasabah datang ke Bank secara bersamaan dan menggunakan teller yang berbeda untuk melakukan penarikan atau penyetoran dalam jumlah besar atau melakukan transaksi penukaran uang asing di BPR/BPRS yang mempunyai izin sebagai pedagang valuta asing.
g.
Terdapat penarikan secara tunai dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang sama langsung disetorkan ke rekening yang lain.
DKBU dan DPbS
55
254
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
3.
h.
Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar
i.
Pembelian atau pembayaran atas mata uang asing dalam jumlah besar dengan menggunakan uang tunai walaupun Nasabah memiliki rekening di BPR/BPRS
j.
Penyetoran sejumlah besar uang tunai yang sering dilakukan yang tidak sesuai dengan aktivitas bisnis atau profil Nasabah
k.
Terdapat penarikan secara tunai dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang sama langsung disetorkan ke rekening yang lain
Transaksi dengan menggunakan Rekening Bank a.
Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain (Nasabah sebagai Beneficial Owner) yang tidak sesuai dengan jenis kegiatan usaha Nasabah;
b.
Terdapat pemecahan transaksi melalui penyetoran secara tunai dalam jumlah kecil ke dalam beberapa rekening sehingga jumlah total penyetoran tersebut menjadi sangat besar;
c.
Penyetoran dalam jumlah besar dari rekening perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan usaha Nasabah;
d.
Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya yang sangat besar bagi BPR/BPRS untuk melakukan pembuktian;
e.
Pembayaran dari rekening Nasabah yang dilakukan setelah adanya penyetoran tunai kepada rekening dimaksud pada hari yang sama atau pada hari yang berdekatan;
f.
Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk berhubungan dengan petugas Bank;
g.
Penolakan oleh Nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau informasi penting, yang apabila diberikan memungkinkan Nasabah menjadi layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kredit atau jasa perbankan lainnya;
h.
Penolakan Nasabah terhadap fasilitas perbankan yang lazim diberikan, seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinggi terhadap jumlah saldo tertentu;
i.
Pembukaan rekening atas nama pedagang valuta asing yang menerima structured deposits.
j.
Pemindahanbukuan dana dari rekening perusahaan kepada rekening pegawai atau sebaliknya.
k.
Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai oleh suatu perusahaan dengan menggunakan rekening Nasabah perusahaan
DKBU dan DPbS
56
255
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
4.
5.
Transaksi yang Berhubungan dengan Pihak-pihak yang Tidak dapat Diidentifikasi a.
Pihak ketiga yang tidak dikenali Bank dan tidak memiliki hubungan dengan Nasabah menjanjikan atau memberikan jaminan tanpa adanya penjelasan yang memadai.
b.
Permintaan pembayaran dengan informasi yang tidak akurat tentang pihak yang meminta informasi tersebut.
c.
Kepemilikan saham di sebuah perusahaan yang unlisted yang aktivitasnya tidak dapat dipastikan sebagai Bank.
Transaksi yang Terkait dengan Perilaku Nasabah atau Pelaku Transaksi a.
Menggunakan banyak nama untuk melakukan transaksi yang serupa.
b.
Transfer dana ke organisasi amal yang terletak di luar negeri.
c.
Banyak transaksi yang serupa yang dilakukan pada hari yang sama di lokasi yang berbeda.
d.
Pihak ketiga hadir dalam keseluruhan transaksi namun tidak berpartisipasi dalam transaksi aktual.
e.
Nasabah bersikeras agar transaksi dilakukan dengan cepat.
f.
Transaksi dilakukan melalui telepon atau faksimili atau internet (non face to face).
g.
Transfer dana dalam jumlah yang banyak ke atau dari luar negeri dengan instruksi untuk pembayaran dalam bentuk tunai
h.
Nasabah berbentuk grup tiba di Bank tetapi bertindak seolah-olah tidak saling mengenal satu sama lain, kemudian mereka melakukan transaksi yang bersamaan secara terpisah.
i.
Uang dalam jumlah besar namun sumber dana tidak jelas atau tidak konsisten dengan situasi keuangan Nasabah.
j.
Nasabah memiliki pengetahuan tentang kewajiban pelaporan atau pengendalian internal Bank, Pengawasan dan proses operasional secara tidak wajar.
k.
Nasabah memberikan informasi yang tidak konsisten kepada pegawai yang berbeda pada Bank yang sama.
l.
Informasi detail mengenai Nasabah tidak jelas atau sulit untuk diverifikasi.
m.
Nasabah memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap sesuatu yang terkait dengan prosedur pengecualian.
n.
Nasabah tertutup dan menghindari pertemuan secara personal.
o.
Nasabah menjelaskan transaksi secara berlebihan.
p.
Pertanyaan yang diajukan kepada pegawai Bank tidak sesuai atau tidak wajar.
DKBU dan DPbS
57
256
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
6.
7.
8.
q.
Nasabah terburu-buru, panik atau gugup.
r.
Informasi yang diberikan oleh Nasabah berlawanan dengan informasi yang didapat dari sumber lain.
s.
Nasabah menggunakan banyak alamat yang mirip/sama.
t.
Informasi mengenai nama, alamat atau tanggal lahir tidak konsisten.
u.
Nasabah menolak memberikan penjelasan atau berusaha menutup-nutupi dengan mengalihkan pembicaraan kepada masalah lain yang tidak terkait dengan transaksi yang ditanyakan (transaksi besar yang dilakukan Nasabah dalam periode tertentu).
v.
Nasabah menolak menjawab pertanyaan dengan mengatakan bahwa Nasabah adalah orang terpandang/penting atau dekat dengan pejabat di daerah tertentu pada saat petugas Bank mengklarifikasi data Nasabah.
w.
Pola transaksi Nasabah di luar kebiasaan, misalnya Nasabah terbiasa bertransaksi melalui kurir kemudian berubah menjadi perintah tertulis.
x.
Pola transaksi Nasabah yang biasanya tidak pernah dilakukan tunai atau jarang, berubah menjadi tunai dalam jumlah yang sangat signifikan.
y.
Nasabah diberitakan terlibat tindakan kriminal (korupsi, illegal logging, dll), maka terindikasi simpanannya berasal dari tindakan dimaksud.
z.
Nasabah memberikan penjelasan yang tidak masuk akal atas penyetoran uang tunai yang dilakukan dengan jumlah sangat besar. Misalnya Nasabah mengatakan bahwa uang tunai dimaksud berasal dari hasil penjualan tanah untuk pengembangan jalan tol. Selazimnya transaksi tersebut melalui transfer yang dilakukan oleh instansi yang jelas, dan tidak melalui setoran tunai.
Aktivitas yang Dapat Dikategorikan Ilegal
a.
Nasabah diberitakan oleh media massa sebagai seseorang yang diduga terlibat aktivitas illegal atau tindak pidana.
b.
Instruksi transfer dana masuk dari Negara tax haven atau Negara yang terkenal dengan pendanaan terorisme
Transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan Bank dan atau agen
a.
Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar tanpa disertai penjelasan yang memadai;
b.
Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai mengenai penerima akhir (ultimate beneficiary).
Transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam meminjam
a.
Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga;
DKBU dan DPbS
58
257
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
9.
10.
b.
Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal usulnya dari aset yang diagunkan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan kemampuan finansial Nasabah;
c.
Permintaan Nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas pendanaan dimana porsi dana sendiri Nasabah dalam fasilitas dimaksud tidak jelas asal usulnya, khususnya apabila terkait dengan properti.
d.
Percepatan pelunasan kredit jauh sebelum jatuh tempo jangka waktu kredit dengan pembayaran secara tunai/kas tanpa informasi yang jelas mengenai asal usul dana.
Transaksi yang terkait dengan hasil Kejahatan dibidang Kehutanan a.
Penyetoran dengan sumber dana berasal dari hasil penjualan kayu yang diperoleh secara ilegal melalui upaya penipuan dan penyuapan.
b.
Pemindahan dana baik melalui transfer atau pemindahbukuan dengan sumber dana berasal dari hasil penjualan kayu yang diperoleh secara ilegal melalui upaya penipuan dan penyuapan.
c.
Pembangunan kebun kelapa sawit dengan sumber dana berasal dari hasil penjualan kayu yang diperoleh secara ilegal melalui upaya penipuan dan penyuapan.
d.
Penjualan hasil kebun kelapa sawit dari lahan yang diperoleh melalui penipuan dan penyuapan.
Tipe-tipe Transaksi Lainnya
a.
Perluasan atau peningkatan penggunaaan fasilitas penyetoran/tabungan yang tidak diikuti dengan aktivitas bisnis atau personal Nasabah yang meningkat.
b.
Aktivitas rekening tidak setara dengan profile Nasabah (misal: umur, pekerjaan, pendapatan)
c.
Nasabah sering mengubah alamat dan tanda tangan.
d.
Sejumlah besar dana diterima, dan tiba-tiba digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh fasilitas perBankan.
e.
Seseorang yang baru berusia sekita 17-26 tahun membuka rekening dan melakukan penarikan atau transfer dana dalam waktu yang singkat, yang dapat diindikasikan sebagai pendanaan teroris.
f.
Nasabah menerima dana dari organisasi keagamaan atau amal dan memanfaatkan dananya untuk pembelian aset atau mentransfer dana dimaksud keluar dalam waktu yang relatif pendek.
g.
Nasabah atau WIC yang bersikeras tidak mau memberikan informasi dan dokumen yang dipersyaratkan atau hanya mau memberikan informasi yang
DKBU dan DPbS
59
258
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
minim, dan atau memberikan informasi yang tidak sesuai dengan dokumen pendukung.
DKBU dan DPbS
60
259
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS Lampiran B
GLOSSARY
Beneficial Owner : setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah atau WIC, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian. Buy and sell conversion : pencucian uang melalui jual beli barang dan jasa antara lain dengan membayar kelebihan harga dengan menggunakan uang ilegal dan kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Dengan cara ini setiap aset, barang atau jasa dapat diubah seolah-olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank. Cuckoo Smurfing : upaya mengaburkan asal usul sumber dana dengan mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya melalui rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut merupakan “proceed of crime”. Customer Due Diligence : kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. Electronic Banking : meliputi antara lain jasa ATM, jasa transaksi on line, phone Banking dan cash management. Enhanced Due Dilligence (EDD) : CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR dan BPRS untuk mendalami profil calon Nasabah, Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk PEP terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Financial Action Task Force (FATF) : didirikan tahun1989 oleh negara-negara kelompok G-7, dengan tugas untuk menilai hasil kerjasama antar negara yang telah ada untuk mencegah dipergunakannya sistem perbankan sebagai media pencucian uang antara lain dengan mengeluarkan standar mengenai antipencucian uang yang komprehensif. Front Liner/Officer : petugas Bank yang langsung berhubungan dengan Nasabah yang membutuhkan pelayanan perbankan, antara lain teller dan customer service. High Risk Countries : negara-negara yang diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme, antara lain karena tidak/belum menerapkan rekomendasi FATF.
DKBU dan DPbS
61
260
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
High Risk Customer : Nasabah yang diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi sebagai pelaku/ikut serta dalam kegiatan pencucian uang baik karena pekerjaan, jabatan, jasa perBankan yang digunakan maupun kegiatan usahanya. High Risk Product : produk perbankan yang banyak diminati oleh pelaku pencucian uang. High Risk Service : jasa perbankan yang banyak diminati oleh pelaku pencucian uang. Internet Banking : layanan yang diberikan kepada Nasabahnya untuk melakukan transaksi perbankan melalui komputer dalam jaringan internet. Integration : upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Joint Account : rekening yang dimiliki secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih Nasabah yang memiliki hak dan kewajiban yang sama atas rekening tersebut. Kredit : penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutang setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan/bagi hasil. Legal Risk : risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek hukum (yuridis). Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. Legitimate Business Conversions : menggunakan bisnis atau kegiatan usaha yang sah sebagai sarana untuk memindahkan dan memanfaatkan hasil kejahatan dengan cara mengkonversikan melalui transfer, cek, atau instrumen pembayaran lainnya yang kemudian di simpan di rekening bank atau ditarik atau ditransfer kembali ke rekening bank lainnya. Metode ini memungkinkan pelaku kejahtan menjalankan usaha atau bekerjasama dengan mitra bisnisnya dan menggunakan rekening perusahaan yang bersangkutan sebagai tempat penampungan untuk hasil kejahatan yang dilakukan. Mingling : mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana dari hasil kegiatan
DKBU dan DPbS
62
261
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal dananya. Money Laundering (Pencucian Uang) : perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan,
menghibahkan,
menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Off-shore conversions : pengalihan dana ilegal ke wilayah yang merupakan tax haven money laundering centers dan kemudian disimpan di bank atau lembaga keuangan yang ada di wilayah tersebut untuk digunakan membeli aset dan investasi (fund investment). Di wilayah atau negara yang merupakan tax haven terdapat kecenderungan hukum perpajakan yang lebih longgar, ketentuan rahasia bank yang cukup ketat dan prosedur bisnis yang sangat mudah sehingga memungkinkan adanya perlindungan bagi kerahasiaan suatu transaksi bisnis, pembentukan dan kegiatan usaha trust fund maupun badan usaha lainnya. Penempatan (Placement)
: upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu
kegiatan tindak pidana dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Politically Exposed Person : orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan sebagaimana
publik
diantaranya
adalah
Penyelenggara
Negara
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik. Reputational Risk : risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank. Safe Deposit Box : jasa yang ditawarkan oleh Bank dengan menyediakan tempat penyimpanan barang atau dokumen berharga. Shell Banks : Bank yang tidak memiliki kehadiran secara fisik (physical presence) di Negara tempat Bank tersebut didirikan dan memperoleh izin, dan tidak berafiliasi dengan kelompok usaha jasa keuangan yang menjadi subyek pengawasan terkonsolodasi yang efektif. Single Customer Identification File : data profil Nasabah yang mencakup seluruh
DKBU dan DPbS
63
262
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
rekening yang dimiliki oleh satu Nasabah pada suatu Bank antara lain tabungan, deposito, giro dan kredit Smurfing : upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku. Structuring : upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil. Suspicious Transaction : transaksi keuangan yang mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. Tax Haven Country : negara atau wilayah yang undang-undang dan kebijakannya dapat digunakan untuk menghindari atau mengelabui ketentuan pajak dari negara lain. Kriteria pada umumnya memenuhi 1) tidak ada pajak atau pajak hanya nominal saja, 2) tidak adanya pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain, 3) tidak ada transparansi dalam pelaksanaan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, 4) tidak ada kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada negara itu, 5) mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial center, 6) negara atau wilayah kecil yang keadaan politik dan ekonominya stabil serta didukung oleh prasarana yang baik. Terrorist List : daftar nama-nama teroris yang tercatat pada Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1267. Transfer (Layering) : upaya memisahkan hasil tindak pidana transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Ultimate owner/ultimate controller : perorangan yang menurut penilaian Bank memiliki dan/atau yang melakukan pengendalian akhir untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan perusahaan. U
Turn
:
upaya
untuk
mengaburkan
asal
usul
hasil
kejahatan
dengan
memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya
DKBU dan DPbS
64
263
Pedoman Standar Pelaksanaan Program APU dan PPT bagi BPR dan BPRS
Walk in Customer (WIC) : pengguna jasa BPR/BPRS yang tidak memiliki rekening pada BPR/BPRS tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut.
DKBU dan DPbS
65
264
Lampiran 42 Surat Edaran Bank Indonesia No.13/14/DKBU Tanggal 12 Mei 2011
KRITERIA PENILAIAN PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT SERTA UU PP TPPU OLEH BPR DAN BPRS
HASIL PENILAIAN CAKUPAN
Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris.
1,0 - 1,9
2,0 - 2,9
3,0 - 3,9
4,0 - 4,9
5,0
Penetapan kebijakan dan prosedur tertulis oleh Direksi dan Dewan Komisaris serta kebijakan pengorganisasian dan SDM sangat memadai.
Penetapan kebijakan dan prosedur tertulis oleh Direksi dan Dewan Komisaris serta kebijakan pengorganisasian dan SDM memadai.
Penetapan kebijakan dan prosedur tertulis oleh Direksi dan Dewan Komisaris serta kebijakan pengorganisasian dan SDM cukup memadai.
Penetapan kebijakan dan prosedur tertulis oleh Direksi dan Dewan Komisaris serta kebijakan pengorganisasian dan SDM kurang memadai.
Tidak terdapat pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris melalui penetapan kebijakan dan prosedur tertulis serta kebijakan organisasi.
Pelaksanaan pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris sangat efektif.
Pelaksanaan pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris efektif.
Pelaksanaan pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris cukup efektif.
Pelaksanaan pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris kurang efektif.
Pelaksanaan pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris tidak efektif.
1 of 3
265
Lampiran 42 Surat Edaran Bank Indonesia No.13/14/DKBU Tanggal 12 Mei 2011 HASIL PENILAIAN CAKUPAN
Kebijakan dan prosedur
Pengendalian intern
1,0 - 1,9
2,0 - 2,9
3,0 - 3,9
4,0 - 4,9
5,0
Kebijakan dan prosedur telah dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT secara komprehensif dan sangat memadai serta telah disetujui oleh Dewan Komisaris.
Kebijakan dan prosedur telah dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT secara memadai dan telah disetujui oleh Dewan Komisaris.
Kebijakan dan prosedur telah dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT dan telah disetujui oleh Dewan Komisaris namun masih terdapat beberapa kekurangan yang harus diperbaiki.
Kebijakan dan prosedur telah dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT namun masih kurang memadai dan belum disetujui oleh Dewan Komisaris
Kebijakan dan prosedur belum dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT.
Kebijakan dan prosedur program APU dan PPT telah dilaksanakan sepenuhnya secara konsisten sesuai pedoman yang telah disusun.
Kebijakan dan prosedur program APU dan PPT telah dilaksanakan sepenuhnya, namun belum konsisten.
Kebijakan dan prosedur program APU dan PPT telah dilaksanakan, namun belum konsisten, dan masih terdapat kekurangan.
Kebijakan dan prosedur program APU dan PPT belum dilaksanakan sepenuhnya.
Kebijakan dan prosedur program APU dan PPT tidak dilaksanakan.
Sistem dan prosedur pengendalian intern komprehensif.
Sistem dan prosedur pengendalian intern memadai.
Sistem dan prosedur pengendalian intern cukup memadai.
Sistem dan prosedur pengendalian intern kurang memadai.
Tidak terdapat sistem dan prosedur pengendalian Intern.
Pelaksanaan pengendalian intern sangat efektif.
Pelaksanaan pengendalian intern efektif.
Pelaksanaan pengendalian intern cukup efektif.
Pelaksanaan pengendalian intern kurang efektif.
Tidak dilakukan pengendalian intern.
2 of 3
266
Lampiran 42 Surat Edaran Bank Indonesia No.13/14/DKBU Tanggal 12 Mei 2011 HASIL PENILAIAN CAKUPAN 1,0 - 1,9 Sumber daya manusia dan pelatihan
2,0 - 2,9
3,0 - 3,9
4,0 - 4,9
5,0
Memiliki SDM yang sangat kompeten dan terlatih dengan jumlah yang memadai.
Memiliki SDM yang kompeten dan terlatih dengan jumlah yang memadai.
Memiliki SDM yang kompeten dan terlatih namun jumlahnya tidak memadai.
Memiliki SDM yang kurang kompeten dan kurang terlatih.
Memiliki SDM yang tidak kompeten dan tidak terlatih dengan jumlah yang tidak memadai.
Memiliki program pelatihan yang komprehensif dan sangat efektif.
Memiliki program pelatihan yang komprehensif dan efektif.
Memiliki program pelatihan sederhana namun cukup efektif.
Memiliki program pelatihan sederhana dan kurang efektif.
Tidak memiliki program pelatihan.
Lampiran 1 dan Lampiran 2 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
BANK INDONESIA,
S. BUDI ROCHADI DEPUTI GUBERNUR
3 of 3
267