Pedodontic treatment triangle berperan dalam proses keberhasilan perawatan gigi anak Soesilo Soeparmin Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK Dalam melakukan perawatan gigi dan mulut pada pasien anak-anak diperlukan konsep ”Pedodontic Treatment Triangle”, kerjasama antar komponennya mutlak diperlukan. Dalam konsep tersebut dokter gigi diharapkan dapat memahami dan menerapkan konsep tersebut sebagai faktor yang menentukan keberhasilan pada perawatan gigi anak. Tujuan dari penulisan ini ialah untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep “Pedodontic Treatment Triangle” sebagai faktor penentu keberhasilan perawatan gigi anak. Metode yang digunakan adalah dengan menciptakan komunikasi efektif antar komponen pasien anak, orangtuanya dan dokter gigi. Perawatan gigi dan mulut sejak dini pada anak penting untuk pertumbuhan anak secara umum, usia anak dan faktor kepribadian orangtua juga berperan dalam membangun komunikasi efektif dengan dokter gigi. Pada bermacam kondisi psikologis anak konsep “Pedodontic Treatment Triangle” mutlak diperlukan agar perawatan yang dilakukan berhasil.
Kata Kunci : Pedodontic Treatment Triangle, Keberhasilan Perawatan. Korespondensi : Drg. Soesilo Soeparmin, SU. Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl.Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN Perawatan kesehatan gigi anak secara dini sangat berguna bagi anak yang masih dalam taraf tumbuh kembang. Kerusakan gigi merupakan masalah yang paling umum terjadi pada anak-anak dibandingkan penyakit lainnya. Keberhasilan suatu perawatan dibidang kesehatan gigi anak ditentukan oleh banyak hal antara lain adanya bimbingan orang tua terhadap anak yang dipengaruhi oleh motivasi orang tua dalam berperilaku sehat, kerjasama antara dokter gigi pasien anak dan orang tua juga berperan penting dalam keberhasilan perawatan gigi anak oleh karena masih banyak para orang tua yang beranggapan bahwa masalah penanganan kesehatan gigi dan mulut anak merupakan tanggung jawab dokter gigi sehingga dianggap peran orang tua hanya sebatas pengantar ketempat praktik atau rumah sakit tanpa ingin terlibat lebih jauh dalam edukasi kesehatan gigi anak. Peran serta orang tua sangat diperlukan di dalam membimbing, memberikan perhatian, mengingatkan, dan menyediakan fasilitas kepada anak agar dapat memelihara kebersihan gigi dan mulut. Pengetahuan orang tua merupakan modal penting dalam membentuk prilaku yang mendukung atau tidak mendukung perawatan gigi dan mulut pada anak. Dokter gigi juga sebaiknya memahami betul bahwa pasien anak merupakan keseluruhan pribadi manusia yang ingin diperlakukan seharusnya seperti ingin didengarkan, diperhatikan dan diperdulikan dalam porsinya sebagai anak-anak yang berbeda dengan orang dewasa. 1,2 Prilaku merupakan suatu aktifitas manusia yang sangat mempengaruhi pola hidup yang akan dijalaninya. Proses pembentukan perilaku yang diharapkan memerlukan waktu serta kemampuan dari orangtua dalam mengajarkan anak. Rasa takut merupakan penyebab 1
utama perilaku nonkooperatif anak terhadap perawatan gigi, faktor penyebabnya bisa berasal atau ditimbulkan dari anak itu sendiri, keluarga, maupun dokter gigi.1 Untuk dicapai keberhasilan dalam perawatan gigi maka hendaknya dokter gigi terutama memahami konsep “Pedodontic Treatment Triangle”. Dengan latar belakang tersebut maka tulisan ini bertujuan agar dokter gigi dapat memahami dan menerapkan konsep tersebut sebagai faktor yang menentukan keberhasilan pada perawatan gigi anak. Maka yang menjadi masalah bagaimanakah penerapan konsep “Pedodontic Treatment Triangle” sebagai faktor penentu keberhasilan perawatan gigi anak dan mulai dari kapan dan sampai kapan konsep tersebut dilakukan. Kajian pustaka ini bertujuan untuk menelaah bagaimana penerapan konsep “Pedodontic Treatment Triangle” sebagai faktor penentu keberhasilan perawatan gigi anak. PEDODONTIC TREATMENT TRIANGLE Komunikasi dokter gigi dengan pasien anak merupakan hubungan yang berlangsung antara dokter gigi , pasien anak dan orang tua pasien selama proses pemeriksaan atau pengobatan. Komunikasi sangatlah diperlukan terutama saat menangani pasien anak. Dalam hal ini seorang dokter gigi harus terus meningkatkan profesionalismenya dengan terus menganut konsep belajar sepanjang hayat.3 Kesehatan gigi dan mulut pada anak mempunyai peranan yang sangat penting karena merupakan bagian integral dari seluruh kesehatan dan pertumbuhan. Karena itu komunikasi yang efektif antara dokter gigi, anak dan orang tua pasien merupakan komponen yang penting agar dapat menumbuhkan kepercayaan pasien. Hubungan yang efektif antar ketiganya dapat mengurangi keraguan akan perawatan gigi pada anak. Bila dokter gigi tanggap pada respon anak dan orang tua atas informasi yang disampaikannya maka anak dan orang tua akan lebih terbuka dalam mendengar dan belajar. Pedodontic Treatment Triangle adalah gambaran hubungan antar komponen dalam segitiga perawatan pedodontik dimana setiap komponen saling berhubungan erat, posisi anak pada puncak segitiga dan posisi orang tua serta dokter gigi pada masing-masing sudut kaki segitiga. Garis menunjukan komunikasi berjalan dua arah antar masing komponen dan merupakan hubungan timbal balik.4,5, Anak `
Dokter gigi Orangtua (The Pedodontic Treatment Triangle given by Wright 1975) Textbook of Community Dentistry, Fig.1.6 Pedodontic Treatment Triangle terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1) Anak, perbedaan umum antara perawatan pasien dewasa dan anak terletak pada teknik komunikasi. Teknik komunikasi antara pasien anak dan dokter gigi dalam kasusnya merupakan hubungan satu untuk dua, yang berarti anak menjadi fokus perhatian dokter gigi dan orang tua. Ini digambarkan pada penempatan anak pada segitiga dimana anak menempati puncak dari segitiga dan menjadi fokus dari perhatian dokter gigi dan orangtua. 6 Efek dari kematangan emosional pada tingkah laku anak dalam perawatan gigi adalah semua anak melewati masa tingkatan tertentu dari perkembangan mental dan emosi. Berdasarkan tingkatan usia ini tingkah laku anak dan psikologis anak yang terpola secara terus-menerus menjadi berubah. Penting untuk mengidentifikasi tingkatan usia psikologis 2
sebagai panduan untuk mensukseskan perawatan gigi pada anak. skema tingkatan usia membantu untuk menghubungkan level dari kematangan emosional dengan rentang usia anak dalam perawatan gigi. Kematangan anak bisa dikelompokan mengikuti kronologis tingkatan usia sebagai berikut ini: 1) Usia dua tahun : dalam usia ini kosakata dari anak bervariasi dari 15 sampai 1000 kata. Anak pada periode ini takut pada gerakan mendadak yang tidak terduga. Pergerakan mendadak pada kursi gigi (dental chair) tanpa peringatan akan menimbulkan rasa takut, cahaya yang terang juga terasa menakutkan bagi anak. Memisahkan anak pada usia ini dari orang tuanya sangat sulit. Sebisa mungkin anak pada periode usia dua tahun ditemani oleh orang tua atau pendamping selama berada di ruang perawatan. 2) Usia tiga tahun : anak memiliki keinginan untuk berbicara dan mendengarkan, pada usia ini, sikap kooperatif muncul dan dokter gigi bisa mulai menggunakan pendekatan positif dengan anak tersebut . 3) Usia empat tahun : seorang anak usia empat tahun umumnya mendengarkan dan tertarik untuk menjelaskan, jika tidak diatur dengan baik pada beberapa situasi anak usia empat tahun bisa menjadi tidak patuh dan menentang. 4)Usia lima tahun : ini merupakan periode dari penggabungan, dimana anak pada usia lima tahun senang melakukan aktifitas berkelompok dan siap berpartisipasi didalamnya dan mereka juga memiliki sedikit rasa khawatir bila terpisah dari orangtuanya saat melakukan perawatan gigi. 5) Usia enam sampai duabelas tahun : biasanya anak pada usia ini bisa menangani ketakutan terhadap prosedur perawatan gigi karena dokter gigi bisa menjelaskan apa yang akan dilakukan dan alasan kenapa perawatan tersebut dilakukan.4,6 Posisi dokter gigi pada Pedodontic Treatment Triangle berada di sudut kiri bawah. Agar dapat tercipta komunikasi antar personal oleh dokter gigi dengan pasien anak dan orangtuanya, terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1. Positiveness (sikap positif) dokter gigi diharapkan mau menunjukan sikap positif pada pesan yang disampaikan oleh pasien anak atau orangtuanya seperti keluhan, usulan, pendapat, pertanyaan. 2) Supportiveness ( sikap mendukung) ketika pasien atau orang tua pasien anak nampak ragu untuk memutuskan sebuah pilihan tindakan, maka dokter gigi diharapkan memberikan dukungan agar keraguan tersebut berkurang atau bahkan hilang. 3) Equality (keseimbangan antar pelaku komunikasi) yang dimaksud dengan kesamaan atau kesetaraan adalah bahwa diantara dokter gigi , pasien, dan orang tua pasien tidak boleh ada kedudukan yang sangat berbeda misalnya dokter yang menguasai semua keadaan dan pasien yang tidak berdaya. 4) Openess (sikap dan keinginan untuk terbuka) dokter gigi bila perlu juga mengatakan kesulitan yang dihadapinya saat menangani masalah pasien. Dengan keterbukaan komunikasi ini maka akan terbangun kepercayaan dari pasien anak dan orang tuanya.2,5 Anak-anak memiliki cara pendekatan tersendiri yang berbeda dengan orang dewasa dan memiliki cara berkomunikasi yang berbeda juga.4 Kerjasama antar komponen Pedodontic Treatment Triangle yaitu: pasien anak, dokter gigi dan orangtua mutlak diperlukan. Tingkah laku orangtua merupakan hal yang penting antara hubungan interpersonal anak yang mempengaruhi respon tingkah laku anak tersebut terhadap perawatan gigi. Pada berbagai motif dan situasi, orangtua mengambil sikap ekstrim yang berbeda-beda terhadap anaknya, sikap itu antara lain : 1) Terlalu melindungi ( overprotection), sikap terlalu melindungi ditunjukan dengan terlalu mencampuri dan mendominasi anak oleh orangtuanya. 2) Penolakan ( rejection), anak yang sedikit terabaikan oleh orang tuanya merasa rendah diri, dilupakan, pesimis dan memiliki rasa percaya diri yang rendah. Pada perawatan gigi anak seperti ini bisa menjadi tidak kooperatif, menyulitkan, dan susah diatur. 3) Terlalu Cemas (overanxiety) sikap dari orangtua dengan perhatian yang berlebihan dan tidak semestinya pada anak, hal ini selalu diiringi dengan sikap terlalu memanjakan anak, terlalu melindungi, atau terlalu ikut campur. 4) Terlalu Mengidentifikasi (overidentification), jika si anak tidak mau mengikuti keinginannya, orangtua anak tersebut
3
merasa dikecewakan. Umumnya tingkah laku anak tercermin dalam perasaan malu-malu, mengucilkan diri sendiri, pesimis dan tidak percaya diri.7 Relasi antar tiga komponen Pedodontic Treatment Triangle dalam penanganan pasien anak sangat berhubungan dengan interaksi ketiganya. Karena masing-masing komponen saling berinteraksi dan memiliki posisi tertentu dalam Pedodontic Treatment Triangle . Anak menjadi fokus dari dokter gigi dan dibantu oleh orang tua. Perawatan gigi anak akan dipusatkan pada orientasi anak sebagai pasien dan orangtuanya, dokter gigi akan bertindak untuk mengarahkan orangtua pada perawatan yang diindikasikan kepada anaknya.7,8 Kunjungan pertama untuk anak dan orangtuanya pergi kedokter gigi sering kali hanyalah merupakan kunjungan perkenalan, yaitu memperkenalkan anak kepada dokter giginya dan lingkungan klinik. Hal ini penting agar anak merasa familiar dengan suasana praktek dokter gigi. Apabila anak merasa takut, tidak nyaman, atau tidak kooperatif, maka mungkin perlu dilakukan penjadwalan ulang. Kesabaran dan ketenangan orang tua dan komunikasi yang baik dengan anak sangatlah penting pada kunjungan ini. Kunjungan yang singkat dan berkelanjutan ditujukan untuk membangun kepercayaan anak pada dokter gigi dan lingkungan klinik, dan hal ini terbukti sangat berharga apabila anak nantinya membutuhkan perawatan.7 PARAMETER KEBERHASILAN PERAWATAN GIGI ANAK Perawatan kesehatan gigi anak secara dini sangat berguna bagi anak yang masih dalam taraf tumbuh kembang. Penerapan instruksi pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut anak sebaiknya telah dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Untuk membantu pasienpasien seperti di atas, dokter gigi harus melibatkan orang tua (atau pengasuh) yang harus didorong untuk lebih kooperatif memerhatikan kesehatan gigi dan mulut anak.5 Keberhasilan dalam melakukan komunikasi efektif dengan konsep Pedodontic Treatment Triangle dalam menentukan keberhasilan melakukan perawatan pada gigi anak juga ditentukan oleh perubahan persepsi rasa takut anak yang berkembang seiring pertumbuhannya. Persepsi rasa takut berubah seiring usia anak, ungkapan dan intensitas dari ketakutan anak bervariasi oleh perasaan, keadaan fisik anak dan usia. Perkembangan rasa takut anak pada perawatan gigi dan mulut yang dijabarkan sesuai tingkatan usia ialah sebagai berikut :1) Pada usia 2-3 tahun adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan anak pada perawatan gigi dan mulut. 2)Pada usia 3-4 tahun anak merasa bahwa pergi ke dokter gigi merupakan ancaman dari orangtua. Ini membuat peran orangtua menjadi lebih dominan dalam mendampingi anak selama ada di ruang perawatan. 3) Pada usia 4-6 usia empat sampai enam tahun rasa takut tersebut secara berangsur-angsur berkurang bila perawatan gigi tidak menumbulkan rasa sakit atau kegaduhan yang ditimbulkan alat-alat kedokteran gigi. 3)Pada usia 7 tahun anak bisa mempertimbangkan dan menyampaikan pada dokter gigi saat muncul rasa sakit dengan gerak isyarat atau bahasa non verbal.4) Pada usia 8-14 tahun anak belajar untuk mentoleransi situasi tidak menyenangkan dan memiliki keinginan untuk menjadi pasien yang patuh. 5) Pada anak remaja dorongan dari dokter gigi dan orangtua menambah motivasi anak untuk merawat giginya. Anak akan merasa tidak percaya diri bila estetika giginya kurang baik.4,5,6 Parameter bahwa perawatan gigi dan mulut pada anak telah berhasil dilakukan antara lain: anak tidak mengalami keluhan fisik setelah perawatan, perawatan yang diberikan efektif dan tepat, anak memahami cara merawat gigi dan pencegahan dari penyakit serta kerusakan pada gigi, anak tidak merasa takut pada perawatan gigi, menjadi pasien yang kooperatif dan dapat diajak bekerjasama, secara umum keadaan gigi geligi anak menjadi sehat, gigi terawat, jaringan lunak sehat. PEMBAHASAN 4
Perawatan gigi dan mulut pada anak tidak mungkin dapat dilakukan bila anak tidak dapat berperilaku kooperatif. Karena dalam perawatan gigi diperlukan kerjasama dari anak dalam mencapai keberhasilan perawatan. Pendekatan dilakukan melalui tindakan mendengarkan dan berkomunikasi secara empatik dan efektif dengan anak dan orangtuanya dalam penerapan Pedodontic Treatment Triangle.2 Pasien anak dan orangtuanya datang dengan keluhan dan berbagai macam alasan sehingga menjalin komunikasi antara dokter gigi, anak dan orangtua mutlak diperlukan. Penerapan konsep Pedodontic Treatment Triangle saat menangani pasien anak-anak sangat menentukan keberhasilan perawatan. Karena melalui konsep tersebut akan tercipta komunikasi efektif antar komponennya dalam mencapai tujuan dari perawatan gigi pada anak. Komunikasi antar komponen Pedodontic Treatment Triangle dapat dikatakan efektif apabila dapat menghasilkan pemahaman anak dan orangtua terhadap kesehatan giginya.2 Pengetahuan dokter gigi tentang rasa takut anak pada kelompok usia tertentu akan sangat berguna saat pengaplikasian dalam perawatan gigi anak. Pada usia bayi sampai dengan 18 tahun diperlukan komunikasi dan kerjasama dari dokter gigi dengan anak dan orang tua dalam perawatan gigi anak. Konsep Pedodontik Treatment Triangle diaplikasikan dalam tingkat usia ini, karena anak masih tergantung dengan orangtuanya dan belum sepenuhnya mengerti tentang perawatan gigi.5 SIMPULAN Perawatan gigi dan mulut sejak dini pada anak penting untuk pertumbuhan anak secara umum, usia anak dan faktor kepribadian orangtua juga berperan dalam membangun komunikasi efektif dengan dokter gigi. Pada bermacam kondisi psikologis anak konsep Pedodontic Treatment Triangle mutlak diperlukan agar perawatan yang dilakukan berhasil. Pelaksaan konsep Pedodontic Treatment Triangle akan berhasil dengan baik bila masingmasing komponen dapat saling bekerjasama. DAFTAR PUSTAKA 1. Riyanti E. Pengenalan dan perawatan gigi anak sejak dini. Jakarta: Seminar Sehari Kesehatan-Psikologi Anak; Mei 29, 2005. 2. Rusmana A. Komunikasi. April 3, 2006. Available from: http//www.dentalcare.com. Accessed Agustus 20, 2009. 3. Erawati S. Polemik pelayanan dokter gigi. Juni 2, 2008. Available from: http//www.waspada.co.id/index.php?options=com_content&task=view&id=20516&It emid=44. Accessed Agustus 19, 2009. 4. Chandra S. Textbook of community dentistry. 2 nd ed. Delhi: Lordson Publisher (P) Ltd.; 2007. p. 78-95. 5. Muthu MS, Sivakumar N. Pediatric dentistry principles & practice. 1st ed. Elsevier India Pvt. Limited; 2009. p. 2-6. 6. Rao A. Principles and practice of pedodontics. 2nd. New Delhi: Jaypee Brother (P) Ltd.; 2008. p. 5-11. 7. Freemeta N. Januari 8, 2009. Edukasi gigi sejak dini. Homepage of Jurnal Bogor. Available from: http//www.jurnalbogor.com/?p=8217. Accessed Agustus 19, 2009. 8. Tilakraj TN. Essentials of pedodontics. 1 st ed New Delhi: Jaypee Brother (P) Ltd.; 2003. p. 12-37.
5
Mini-screw implant sebagai penjangkar dalam perawatan ortodontik Wiwekowati Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT Orthodontic treatment is always associated with control anchorage. Choosing right anchorage device and maximum anchorage control will be the key of success in orthodontic treatment. Mini-screw implant based anchorage was introduced as an alternative device to replace intra-oral and extra-oral based anchorage. Mini-screw implant has small titanium-made body and capable of producing maximum anchorage. Mini-screw implant can be placed at various of mouth chamber sites, such as median hard palate and buccal labial alveolar bone site and also can be used as an anchorage for various type of orthodontics problems. Keywords : mini-screw implant, anchorage, orthodontic treatment Korespondensi : Drg. Wiwekowati, M.Kes. Bagian Orthodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl.Kamboja 11A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN Saat melakukan perawatan ortodontik, kehilangan penjangkaran saat menarik gigi sering terjadi. Apabila kehilangan penjangkaran yang terjadi tidak terdeteksi, maka dapat mengakibatkan perpanjangan masa perawatan atau terjadinya masalah maloklusi yang baru. Kehilangan penjangkaran biasanya terjadi saat perawatan dengan menggunakan penjangkar intraoral 1,2. Penjangkaran ekstraoral sering digunakan untuk mendukung penjangkaran intraoral untuk mendapatkan penjangkaran yang maksimum. Tetapi, penjangkaran ekstraoral memiliki kelemahan seperti penggunaan yang lama, mengganggu penampilan dan menimbulkan luka pada sudut mulut menyebabkan alat ekstraoral kurang diminati oleh pasien 2,3,4. Penjangkaran berbasis mini-screw implant diperkenalkan pertama kali oleh Kanomi pada tahun 1997. Penjangkaran berbasis mini-screw implant diperkenalkan sebagai alternatif penjangkaran intraoral dan ekstraoral. Penjangkaran berbasis mini-screw implant mampu menghasilkan kekuatan penjangkaran maksimal lebih baik dibandingkan penjangkaran ekstraoral dan tidak mengganggu penampilan 5. MINI-SCREW IMPLANT Mini-screw implant adalah implan yang khusus digunakan untuk kepentingan penjangkaran ortodontik. Mini-screw implant berbentuk seperti sekerup, dengan ukuran panjang antara 4 – 11 mm dan diameter kurang dari 2.5
1
mm 5. Mini-screw implant berbahan dasar titanium atau titanium campuran. Dengan ukuran yang kecil, kemudahan pemasangan dan pelepasan serta dapat dipasang diberbagai tempat di dalam rongga mulut menjadi keuntungan utama. Mini-screw implant mempunyai 3 bagian utama yaitu kepala, pasak dan ulir. Kepala mini-screw implant memiliki berbagai variasi bentuk seperti bentuk braket, memiliki lubang atau berbentuk bola 5. Ulir yang mengelilingi pasak berguna untuk memperluas permukaan yang bersentuhan dengan tulang alveolar sehingga meningkatkan stabilitas implan.
A B
C
D
E
Gambar 1. Bagian mini-screw implant. A) bagian kepala; B) diameter luar implan; C) pasak; D) diameter dalam implan; E) bagian ulir 5
Gambar 2. Berbagai jenis mini-screw implant dengan variasi ukuran dan bentuk kepala 5 INDIKASI PEMASANGAN Indikasi pemasangan mini-screw implant yaitu 6,7 :
2
1. Pasien yang kehilangan banyak gigi, terutama gigi posterior
2. Kasus saat kekuatan komponen aktif yang akan menghasilkan efek samping ketika menarik atau mendorong gigi
3. Pasien yang memerlukan pergerakan gigi yang tidak simetris pada semua bidang
4. Alternatif operasi ortognatik bagi pasien tertentu
3
DAERAH PENANAMAN MINISCREW IMPLANT Mini-screw implant dapat ditanam di berbagai tempat dalam rongga mulut, dengan beberapa faktor yang menjadi syarat yaitu 5 : 1) Struktur anatomi daerah yang ditanam; 2) kualitas tulang alveolar yang menjadi tempat penanaman; 3) ketebalan ginggiva; 4) faktor kenyamanan pasien. Ketebalan tulang dan struktur anatomi dapat dilihat dengan foto panoramik. Mini-screw implant dapat ditanam di rahang atas maupun rahang bawah tergantung keperluan dan kasus yang ditangani. Daerah penanaman di rahang atas biasanya di daerah bukal, labial rahang atas, daerah palatal dan tuber maksila. Daerah penanaman yang paling disarankan untuk penanaman di rahang atas yaitu daerah palatal bagian median karena ketebalan tulang yang mencukupi dan tidak banyak pembuluih darah dan saraf. Akan tetapi, daerah palatal kurang disarankan untuk anak-anak maupun dewasa muda dibawah 20 tahun karena garis tengah palatal belum menutup sempurna 5.
Gambar 3. Pemasangan mini-screw implant pada daerah palatal 6,7 Daerah rahang bawah merupakan daerah yang aman untuk menanam miniscrew implant. Selain tidak memiliki pembuluh darah yang banyak, ketebalan tulang alveolar juga medukung. Dearah yang menjadi penanaman mini-screw implant yaitu bagian bukal, labial rahang bawah dan retromolar pad 5.
Gambar 4. Penanaman mini-screw implant pada daerah retromolar pad 5
4
INSTRUMEN PENANAMAN Instrumen penanaman dibagi dua jenis yaitu instrumen manual dan instrumen bermotor. Instrumen manual biasa disebut instrumen tangan merupakan alat dasar penanaman. Berbentuk menyerupai obeng dan hanya bisa menjangkau daerah yang terlihat seperti bukal dan labial. Instrumen bermotor berbentuk menyerupai hand-piece. Instrumen ini memiliki sudut sehingga memudahkan pemasangan di daerah yang sulit seperti retromolar pad dan palatal. Penggunaan instrumen bermotor harus berhati-hati dengan kecepatan yang rendah dan tanpa tekanan yang berlebihan untuk mencegah kerusakan tulang alveolar 5.
Gambar 5. Instrumen manual dan instrumen bermotor 5
Gambar 6. Instrumen penanaman lengkap 5
5
PROSEDUR PENANAMAN Prosedur penanaman mini-screw implant secara umum yaitu 5: 1) Menentukan daerah penanaman; 2) Foto panoramik; 3) Memasuki daerah insersi; 4) Sterilisasi daerah insersi; 5) Anastesi lokal; 6) Pemberian tanda pada daerah yang akan dibur; 7) Penentuan sudut penanaman; 8) Pembuatan jalur insersi; 9) Menembus jaringan lunak; 10) menembus tulang alveolar. Sterilisasi daerah insersi dilakukan dengan berkumur menggunakan chlorheksidin. Anastesi lokal menggunakan lidocaine 2 % dengan ephineprine 1 : 50000 dan diinjeksikan seperempat bagian ampul ke setiap daerah insersi. Pengeburan dilakukan dengan sudut 450 ke arah oklusal dan kecepatan perputaran bur tidak boleh melebihi 30 rpm 6,7.
Gambar 7. Langkah penanaman mini-screw implant. a) Anastesi lokal b) dan c) Penandaan daerah vertikal d) Hasil penandaan daerah insersi e) Memulai insersi f) Mini-screw implant menembus ginggiva g) Mini-screw implant menembus tulang alveolar h) Hasil penanaman 5
6
PENYEBAB KEGAGALAN PENANAMAN MINI-SCREW IMPLANT Ada beberapa jenis kegagalan yang dikemukakan berdasarkan pengalaman dari berbagai dokter gigi. Kegagalan itu berupa kegagalan yang terkait dengan implan dan kegagalan terkait dengan dokter gigi 3. Kegagalan yang disebabkan oleh masalah implan berupa fraktur atau patahnya implan. Pemilihan implan yang tidak sesuai dengan kekuatan yang akan diaplikasikan akan menyebabkan terjadinya patahan atau kualitas implan yang dipilih kurang baik. Patahan ditemukan pada daerah leher dan juga ujung implan. Pemecahan dari masalah ini adalah dengan menggunakan implan yang memiliki leher yang kuat dengan diameter yang sesuai dengan kualitas tulang 5.
Gambar 8. Fraktur pada ujung mini-screw implant Masalah yang disebabkan oleh kesalahan dokter gigi berupa terlepasnya implan setelah dipasang karena kesalahan pemasangan atau ketidaktelitian dokter gigi dalam melihat hasil foto radiografis dan adanya fraktur pada ujung implan yang disebabkan terlalu kerasnya pemutaran. Masalah terlepasnya implan dapat terjadi secara langsung dan biasanya terjadi saat fase penyembuhan jaringan lunak 5 . Keseriusan, kehati-hatian dan bekerja sesuai prosedur akan mengurangi resiko yang akan terjadi.
Gambar 9. Keadaan tulang alveolar yang tidak baik yang digunakan sebagai tempat menanam mini-screw implant
7
DISKUSI Kebutuhan akan penjangkaran maksimal telah mendorong para ahli dalam bidang kedokteran gigi untuk menemukan penjangkar terbaik untuk perawatan ortodontik. Mini-screw implant merupakan jenis implan yang penggunaannya secara khusus adalah sebagai penjangkar ortodontik. Mini-screw implant pertama kali dibuat sebagai penjangkaran alternatif pengganti penjangkaran intra dan ekstraoral. Hal ini disebabkan penjangkaran yang ada belum mampu menghasilkan kekuatan penjangkaran yang maksimal, terjadi kehilangan penjangkaran serta menimbulkan ketidaknyamanan 4,7. Dalam pemasangan implan, struktur anatomi, ketebalan tulang alveolar dan jaringan penyangga sekitarnya sangat penting diperhatikan. Semua ini akan menentukan ukuran implan yang akan digunakan dan kedalaman penanaman 5. Selain itu letak pembuluh darah, saraf, kanalis mandibula dan sinus harus diperhatikan agar tidak terjadi perforasi atau terjadi luka akibat tertembus implan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Poggio et al (2006) dapat ditentukan daerah yang aman untuk dilakukan pemasangan miniscrew implan di daerah maksila dan mandibula, sebagai berikut : daerah penanaman yang aman di maksila yaitu, 1) Pada sisi palatal, daerah inter-radikular antara molar satu dengan premolar kedua maksila, 2 sampai 8 mm dari alveolar crest dan antara molar satu dengan molar kedua maksila, 2 sampai 5 mm dari alveolar crest; 2) Pada sisi bukal dan palatal antara premolar satu dengan premolar dua dan antara premolar satu dengan kaninus; 3) Pada sisi bukal, daerah inter-radikular antara molar satu dan premolar kedua; 4) Pada maksila, semakin anterior dan semakin apikal, semakin aman untuk lokasi penanaman. Sedangkan daerah penanaman yang aman di mandibula yaitu daerah inter-radikular antara molar pertama dengan molar kedua, premolar pertama dengan premolar kedua, molar pertama dengan premolar kedua pada 11 mm dari alveolar crest dan premolar pertama dengan kaninus pada pada 11 mm dari alveolar crest Dari data-data yang dikumpulkan oleh Melsen (2005) dan Fortini (2004) dapat disimpulkan beberapa indikasi dari penggunaan miniscrew implan yaitu : (1) digunakan untuk pasien yang kehilangan banyak gigi posterior sehingga tidak bisa memasang alat intraoral, (2) kasus dimana kekuatan dari komponen aktif akan menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan, (3) pasien yang memerlukan pergerakan gigi yang tidak simetris pada semua bidang, (4) alternatif operasi ortognatik bagi beberapa pasien tertentu. Selain pasien dengan kelainan diatas, miniscrew implan juga digunakan untuk semua kasus yang memerlukan penjangkaran maksimal.
KESIMPULAN Dari data yang telah dikumpulkan maka didapatkan sebuah kesimpulan yaitu, mini-screw implant mampu menghasilkan kekuatan penjangkaran yang maksimal dan dapat digunakan untuk berbagai macam kasus. Tetapi, penanaman mini-screw implant memerlukan persetujuan dari pasien dan tidak perlu menggunakan mini-screw implant untuk menangani semua kasus apabila kasus
8
tersebut masih mampu ditangani dengan alat ekstraoral sebagai penjangkar. Hal ini dilakukan karena tidak semua pasien mau melakukan penanaman mini-screw implant dan untuk memangkas harga.
DAFTAR PUSTAKA 1. Jankauskas G, Labanauskaite B, Vasiliauskas A, Haffar N. Implants for orthodontic anchorage. Meta-analysis, Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journa 2005; 7(4):128-132. 2. Terada K, Chen F, Hanada K, Saito I. Anchorage effect of osseointegrated vs nonosseointegrated palatal implants. Angle Orthodontist 2006; 76(4): 660-665. 3. Morais L, Serra GG, Muller CA, Andrade LR, Palermo EFA, Elias CN, Meyers Marc. Titanium alloy mini-implants for orthodontic anchorage: immediate loading and metal ion release. [Homepage of Elsevier] 2007. Available from: http://sciencedirect.com/locate/3/331-339. 4. Tinsley D, O’Dwyer JJ, Benson PE, Doyle PT dan Sandler J. Orhodontics palatal implants: clinical technique. Journal of Orthodontics 2004;31: 3-8. 5. Park In-Kwon, Paik Cheol-Ho, Woo Youngjoo, Kim Tae-Woo. Orthodontics miniscrew implants: clinical applications. United Kingdom: Mosby; 2009. p.8-10, 22-32, 34-57. 6. Fortini A, Cacciafesta V, Sfondrini MF, Cambi S, Lipoli M. Clinical applications and efficiency of miniscrews for extradental anchorage. Orthodontics 2004; 1(2):1-12. 7. Melsen B. Mini-implant: where are we ?. JCO [Homepage of JCO, Inc.] 2005. Available from: http://www.jco-online.com/journal/XXXIX/9/539547.
9
Pemakaian pelindung mulut jenis Custom Made menimbulkan keluhan subjektif lebih rendah daripada jenis Boil and Bite Ria Koesoemawati Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT Function of mouthguard will be optimal if that comfort and not cause subjective complaints on arch for the used. Although in using the boil and bite mouthguard it is unstable and uncomfortable one, but it was still commonly used by athletes. Meanwhile the custom made mouthguard actually more fit to the mouth. The aim of this study is to find out the different of the subjective complaints between custom made and boil and bite mouthguards. Treatment by subject in two periods of cross overly design was applied in this experimental study. Twelve of volunteers of boxers were involved in this study and they were divided into two groups. In the first period (2 days) the group I used custom made and the group II used boil and bite. The second two days were a washing out period. In the second period (2 days) the use of mouthguard were cross overly. Wilcoxon signed rank test (α = 0,05) was used in analyzing the mean different of data early and after using mouthguard. The result show that the use of custom made and boil and bite mouthguard have comparison mean value are 15.33 ± 0.65 and 22.25 ± 1.85 respectively and significantly different (p<0,05). It is concluded that the use of custom made mouthguard lesser subjective complaints than boil and bite. Keyword : custom made mouthguard, boil and bite mouthguard, subjective complaints. Korespondensi : Drg. Ria Koesoemawati, M.FOr. Bagian Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasarawati Denpasar, Jl Kamboja 11A Denpasar, Telp (0361) 7424079, 7462701, Fax 261278.
PENDAHULUAN Alat-alat pelindung dibuat untuk menghindari atau mengurangi risiko terjadinya cedera. Pelindung mulut merupakan salah satu alat pelindung terhadap cedera orofasial.21 Alat ini telah teruji efektif mengurangi insiden terjadinya cedera orofasial, telah dilaporkan bahwa sejak tahun 1962 ketika pelindung mulut menjadi syarat mutlak harus digunakan selama pelatihan dan kompetisi sepakbola di Akademi dan Sekolah tinggi, hasilnya cedera orofasial turun dari 50% menjadi 5%.15 Terdapat tiga jenis pelindung mulut. Stock mouthguard adalah jenis yang sudah tidak direkomendasikan lagi oleh para dokter gigi olahraga. Alat ini langsung digunakan begitu dibuka dari kemasannya tanpa ada penyesuaian terlebih dahulu. Mouth-formed mouthguard merupakan jenis kedua. Ada dua jenis dari pelindung ini yaitu shell-liner dan boil and bite. Retensi dari jenis ini didapatkan dari penyesuaian langsung pada geligi dan rahang pemakainya. Sedangkan jenis ketiga adalah Custom made mouthguard, yang dibuat oleh dokter gigi dengan cara mencetak rahang atas (umumnya) dari pemakainya. Hasilnya sesuai dengan ukuran geligi dan rahang pemakainya, sehingga retensi menjadi optimal.7,13,15,18,21
Pelindung mulut boil and bite paling umum digunakan oleh atlet, tersedia dan mudah didapat di toko-toko alat olahraga serta harganyapun relatif murah. Penyesuaian terhadap geligi dan rahang dapat dilakukan sendiri oleh sipemakai akibatnya menjadi tidak maksimal dan menyebabkan mudah lepas. Hal ini yang menimbulkan banyak keluhan apabila dipakai sehingga menyebabkan tidak nyaman dipakai dan akibatnya menjadi tidak dipakai. Sedangkan pelindung mulut custom made belum banyak dipakai atlet. Hanya sekitar 10% atlet menggunakan pelindung mulut custom made, 90% lebih menggunakan boil and bite.15 Pelindung mulut boil and bite banyak memberikan keluhan dan tidak nyaman dipakai sedangkan custom made secara teoritis lebih nyaman karena sesuai ukuran tetapi mengapa tidak banyak digunakan para atlet ? Hal ini harus dicari penyebabnya sehingga perlu diteliti, untuk mengetahui perbedaan keluhan subjektif akibat pemakaian pelindung mulut boil and bite maupun custom made. Penelitian ini juga dimaksudkan sebagai informasi kepada pemakai pelindung mulut agar bisa memilih jenis yang lebih sedikit atau rendah memberikan keluhan subjektif agar fungsi proteksi alat pelindung menjadi optimal. Pelindung Mulut Pelindung mulut merupakan alat pelindung yang digunakan di dalam rongga mulut dengan tujuan mengurangi kemungkinan dan keparahan dari cedera orofasial yang diakibatkan oleh aktivitas olahraga.21 Fungsi pelindung mulut bekerja sebagai peredam terhadap hantaman atau benturan.4,9,11,20 Sedangkan manfaatnya dapat mencegah cedera seperti terjadinya laserasi pada pipi dan bibir dari bentuk tepi gigi-gigi rahang atas, fraktur tulang wajah terutama rahang bawah, cedera permanen pada sendi rahang, fraktur gigi terutama geligi anterior, lepasnya gigi dari soketnya, gegar otak akibat kekuatan hantaman kuat pada rahang bawah, perdarahan cerebral dan terjadinya laserasi pada bibir dan pipi dikarenakan memakai alat meratakan gigi saat kena hantaman.15,18,21 Ada tiga jenis pelindung mulut, yang pertama jenis stock. Tersedia dalam tiga ukuran (small, medium dan large). Cara penggunaan langsung dipakai tanpa ada tindakan apapun sebelumnya. Kerugiannya adalah ukurannya tertentu, ketepatannya kurang, bicara dan pernafasan terhambat, rahang perlu ditutup untuk memegang alat pelindung, tidak nyaman sehingga atlet tidak mau memakai.15 Jenis kedua adalah mouth-formed dimana terdapat dua tipe yaitu shell-liner dan boil and bite. Shell diisi akrilik atau rubber, kemudian ditempatkan di dalam mulut agar mengikuti bentuk gigi dan dibiarkan sampai mengeras.15 Sedangkan Boil and bite yang bahannya dari termoplastik direndam dalam air panas, kemudian dibentuk di dalam mulut dengan menggunakan jari, lidah dan tekanan gigit. Tersedia dalam ukuran tertentu, sering tidak pas, kurang memberikan perluasan yang tepat sehingga atlet sering memotong bagian belakang. Akibatnya dapat mengurangi fungsi perlindungan yang tepat, kesempatan timbulnya cedera meningkat terutama gegar otak. Cedera seperti ini dapat menyebabkan efek yang abadi.13,15 Pelindung mulut mouthformed yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe boil and bite, karena jenis ini yang banyak digunakan atlet tinju dan karate di denpasar. Jenis ketiga adalah custom made, dibuat oleh dokter gigi dan merupakan jenis yang paling memuaskan karena memberikan proteksi maksimal.4,13 Dibuat dengan cara mencetak rahang atas (umumnya) oleh dokter gigi, menjadi model gips. Di atas model gips diletakkan bahan termoplastik selanjutnya di pres/tekan dengan alat. Proses pembuatan ada dua cara yaitu vacuum dan pressure-laminated. Prinsip pembuatan sama hanya bila dengan pressure-laminated bisa dibuat lebih dari satu lapis bahan termoplastik, proses penyatuan bahan secara kimia, di
bawah panas dan tekanan yang tinggi.13 Pelindung mulut custom-made yang digunakan pada penelitian ini jenis pressure-laminated dengan dua lapis bahan dengan mesin Biostar buatan Jerman. Keluhan Subjektif Masukan ke dalam sistem saraf dapat timbul karena adanya reseptor sensorik yang akan mengenali bermacam-macam rangsangan sensorik misalnya raba, tekan, getar, suhu, nyeri dan cahaya. Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit hampir tidak pernah terangsang oleh perabaan yang biasa atau rangsang tekan, namun akan sangat aktif terhadap rangsang rasa hebat yang dapat merusak jaringan.5,8 Kehadiran benda asing (pelindung mulut) dalam rongga mulut akan menimbulkan rangsangan yang berlebihan pada sistem sensorimotor. Baik pada propioreseptor maupun ekteroseptor, yang dapat dipengaruhi oleh besar, bentuk, posisi dan tekanan yang berasal dari pelindung mulut.21 Pelindung mulut rahang atas dipasang dan dibiarkan beberapa waktu, untuk menentukan apakah ada keluhan. Penggunaan pelindung mulut dapat menimbulkan tekanan-tekanan pada bagian tertentu, yaitu jaringan di rongga mulut yang kontak dengan pelindung mulut. Tekanan yang terus-menerus dapat menyebabkan iritasi dan rasa sakit pada jaringan lunak.6 Respon jaringan terhadap penggunaan pelindung mulut sifatnya individual. Bila toleransi jaringan mukosa dilampaui, kerusakan dan perdangan akan terjadi, akibatnya pelindung mulut tidak dapat dipakai. Pada rahang atas yang sering mengalami iritasi adalah daerah tuberositas maxillaris, vestibulum buccalis dan labialis akibat sayap yang terlalu panjang dari pelindung mulut.2,6,21 Oleh karena itu, pada penelitian ini, keluhan subjektif yang diukur adalah timbulnya derajat rasa tekan, mulai dari yang ringan yaitu tidak menekan, agak menekan, menekan dan sangat menekan. WAKTU Keluhan yang sifatnya subjektif dapat timbul segera atau setelah beberapa waktu sejak adanya rangsang sensoris. Waktu atau lamanya pemakaian pelindung mulut, selain frekuensi dan intensitas merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan derajat/degradasi perasaan, dalam hal ini adalah degradasi rasa tekan. Pada penelitian ini, pelindung mulut digunakan subjek pada rahang atas, dalam posisi oklusi sentrik dan mulut tertutup selama dua jam. Dilakukan untuk mengetahui adanya keluhan yang timbul yaitu rasa tekan pada daerah tuberositas, vestibulum buccalis dan labialis, gusi bukal, labial serta palatal, mukosa pipi juga bibir kemudian gigi. Pengukuran dilakukan dengan pengisian kuesioner, saat pertama dipakai dan sesudah perlakuan tentang adanya rasa tekan yang dirasakan. Penilaian terhadap keluhan subjektif pada rahang atas, dilakukan dengan semakin rendah nilai keluhan subjektif pada rahang atas, dilakukan dengan semakin rendah nilai keluhan subjektif berarti semakin sedikit keluhan subjektif yang dirasakan subjek. Replikasi perlakuan pemakaian pelindung mulut dilakukan satu hari berikutnya. Ini karena pelindung mulut yang dipakai selama dua jam dalam sehari diperkirakan tidak sampai menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan, hanya adanya rasa sentuh dan rasa tekan pada jaringan. Washing out dilakukan selama dua hari, karena untuk menghilangkan efek residu. BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di sasana tinju Mirah Silver dan Setiabudi Denpasar selama satu minggu. Penentuan sampel dengan metode Acak Sederhana (Simple Random Sampling). Jumlah sampel didasarkan atas hasil penelitian pendahuluan dan dengan rumus Colton3 didapat 12. Kriteria inklusi adalah petinju laki-laki, umur 20-25 tahun,tinggi badan 150-170 cm, kebugaran fisik minimal baik dan pengalaman memakai pelindung mulut 2-6 tahun. Rancangan penelitian adalah penelitian eksperimental dengan rancangan silang (TwoPeriod Cross Over Design ) 1,6,17,. Sampel yang terpilih langsung dikelompokkan (random alokasi) menjadi dua kelompok. Kelompok I mendapat perlakuan memakai pelindung mulut Boil and Bite terlebih dahulu lalu perlakuan memakai Custom Made (kelompok kontrol). Sedang kelompok II mendapat perlakuan memakai pelindung mulut Custom Made terlebih dahulu lalu perlakuan memakai Boil and Bite (kelompok perlakuan). Dilakukan selama dua kali dalam dua hari berturut-turut dan dilakukan washing out selama dua hari sebelum dilakukan perlakuan berikutnya. Pengukuran dengan menggunakan kuesioner (rasa tekan), rahang atas kiri dan kanan yang dimodifikasi dari Nordic Body Map dengan skala Likert 1-4. Prosedur penelitian adalah sehari sebelum penelitian, pelindung boil and bite disesuaikan pada mulut subjek dan diukur antropometriknya, sedangkan pelindung custom made dicobakan dan diukur juga antropometriknya. Pada hari saat penelitian, sebelum dimulai dilakukan pemeriksaan fisik rongga mulut selanjutnya subjek diminta memakai pelindung mulutnya pada rahang atas dalam keadaan oklusi sentrik dan mulut tertutup selama dua jam. Segera setelah itu, kuesioner keluhan subjektif diisi. Lima menit menjelang dua jam berakhir, subjek mengisi kuesioner keluhan subjektif lagi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik rongga mulut kembali. HASIL PENELITIAN Karakteristik subjek diuji dengan Uji One-Sample K-S menunjukkan data berdistribusi normal. Homogenitas diuji dengan Levene’ test, data tidak berbeda bermakna (p>0,05) sehingga homogen baik pada umur, jenis kelamin, kebugaran fisik dan pengalaman memakai. Analisis kemaknaan pada penelitian ini dilakukan secara bertahap yang meliputi analisis efek periode, efek residu, uji komparabilitas berupa uji awal dan uji beda perlakuan. Analisis efek periode diuji dengan U Mann-Whitney, (tabel 1). Tabel 1. Efek Periode Keluhan Subjekti Pemakaian Pelindung Mulut
Kelompok Subjek
Rerata Selisih Beda Keluhan Subjektif
SB
Z
P
-1,696
0,090
n=6 Klp I (BB-CM) Klp II (CM-BB)
14,25
1,54
12,50
1,38
SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel
Hasil menunjukkan tidak berbeda bermakna (p>0,05), berarti bahwa periode dalam penelitian tidak berpengaruh terhadap keluhan subjektif subjek, baik pada periode pertama dan kedua. Analisis efek residu diuji dengan U Mann-Whitney, (tabel 2). Tabel 2. Efek Residu Keluhan Subjektif Pemakaian Kelompok Subjek
Rerata Jumlah Beda Keluhan
SB
Z
p
Pelindung Mulut
Subjektif n=6 Klp I (BB – CM) Klp II (CM – BB)
0,9 5
-1,71
0,4 2
-2,25
0,969
0,332
SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel
Hasil menunjukkan tidak berbeda bermakna (p>0,05), berarti bahwa tidak ada pengaruh sisa perlakuan periode pertama terhadap perlakuan di periode berikutnya. Analisis statistik uji komparabilitas Uji Awal dengan Wilcoxon Signed Rank Test, (tabel 3). Tabel 3. Uji Awal Keluhan Subjektif Pemakaian Pelindung Mulut antar Perlakuan Kelompok
Rerata
SB
Z
p
-3,071
0,002
n = 12 Klp kontrol (Boil and Bite) Klp perlakuan (Custom Made)
17,54
1,34
24,00
0,00
SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel
Hasil menunjukkan signifikan berbeda (p<0,05), berarti pada saat awal perlakuan dengan perlakuan berbeda nilai keluhan subjektifnya juga berbeda. Terlihat bahwa pemakaian pelindung mulut custom made memberikan keluhan subjektif lebih tinggi di awal perlakuan. Sedangkan analisis statistik uji komparabilitas Uji Beda dengan Wilcoxon Signed Rank Test, (tabel 4). Tabel 4. Keluhan Subjektif Pemakaian Pelindung Mulut antar Perlakuan Kelompok
Rerata
SB
Z
p
-3,065
0,002
n = 12 Klp kontrol (Boil and Bite) Klp perlakuan (Custom Made)
22,25
1,85
15,33
0,65
SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel
Hasil menunjukkan signifikan berbeda (p<0,05), berarti terdapat perbedaan keluhan subjektif antara pemakaian pelindung mulut custom made dengan boil and bite. Tampak rerata keluhan subjektif pemakaian custom made lebih rendah berarti memberikan keluhan subjektif lebih sedikit dari boil and bite. PEMBAHASAN Dari hasil analisis karakteristik subjek yang berdistribusi normal dan bersifat homogen, juga karena rancangan desain penelitian ini adalah rancangan silang sama subjek, berarti faktor internal subjek dapat diminimalisir. Dengan demikian hasil akhir dari penelitian ini tidak
dipengaruhi oleh faktor karakteristik subjek, tetapi akibat adanya perbedaan perlakuan yang diberikan. Hasil analisis efek periode yang tidak berbeda bermakna membuktikan bahwa kemungkinan untuk terjadinya efek periode tidak terjadi. Ini berarti respon sampel terhadap perlakuan yaitu timbulnya keluhan subjektif, tetap tidak berubah baik pada periode I dan II. Analisis kemaknaan efek residu yang tidak berbeda bermakna membuktikan tidak terjadi efek residu. Ini berarti bahwa tidak ada pengaruh dari perlakuan pemakaian boil and bite pada periode satu terhadap perlakuan pemakaian custom made pada periode dua, begitu juga sebaliknya. Analisis kemaknaan hasil uji awal menunjukkan signifikan berbeda (p<0,05). Terlihat bahwa pemakaian pelindung mulut custom made memberikan keluhan subjektif yang lebih tinggi di awal perlakuan. Kehadiran pelindung mulut akan menimbulkan rangsangan berlebihan pada sistem sensorimotor. Hal ini dapat dipengaruhi oleh besar, bentuk, posisi dan tekanan yang berasal dari pelindung mulut.21 Sesuai dengan pendapat tersebut, karena proses pembuatan pelindung mulut custom made menggunakan teknis panas dan tekanan tinggi, maka hasilnya akan menempel tepat di seluruh permukaan jaringan yang ditutupinya. Subjek merasakannya seperti agak ketekan pada daerah tersebut. Jadi pada awal memakai pelindung mulut custom made ini, wajar bila subjek merasakan seperti itu. Hal ini menyebabkan skor lebih tinggi terhadap rasa tekan di awal perlakuan, dibanding pemakaian pelindung mulut boil and bite. Pemakaian pelindung mulut boil and bite, pada awal perlakuan menimbulkan respon yang sebaliknya. Ini juga disebabkan karena proses penyesuaiannya yang tidak bisa menghasilkan pelindung mulut tepat sesuai dengan bentuk anatomi dari jaringan gigi dan rahang pemakainya. Akibatnya akan terjadi penekanan-penekanan pada jaringan di sekitarnya, tetapi tidak merata. Analisis kemaknaan uji beda perlakuan menunjukkan hasil berbeda bermakna (p>0.05) pada kedua perlakuan dengan rerata keluhan subjektif pemakaian custom made lebih rendah atau lebih sedikit dari boil and bite. Pada akhir pemakaian pelindung mulut custom made, nilai keluhan subjektif berkurang. Adaptasi merupakan sifat khusus dari semua reseptor sensoris.8 Badan pacini merupakan reseptor kulit yang mendeteksi adanya tekanan dan getaran. Reseptor ini termasuk reseptor yang cepat beradaptasi.19 Ketika tekanan pertama kali datang, reseptor mula-mula akan berespon terhadap kecepatan impuls yang tinggi, tetapi ketika rangsangan berlanjut secara progresif respon akan berkurang sampai tidak berespon sama sekali.8 Penjelasan ini juga dapat menggambarkan keadaan yang sama dari pemakaian pelindung mulut custom made. Hal ini hanya dapat terjadi bila pelindung tersebut tidak memberikan intensitas rangsang tekan terus menerus yang tinggi. Pelindung mulut ini karena bentuknya sesuai dengan jaringan yang ditutupinya, maka intensitas rangsang tekannya ringan. Berbeda dengan pemakaian pelindung mulut boil and bite, yang di awal memberikan keluhan tidak tinggi tetapi di akhir pemakaian keluhan yang terjadi meningkat. Akibat proses dari penyesuaian pelindung boil and bite, menyebabkan timbul tekanan-tekanan pada bagianbagian tertentu terhadap jaringan di rongga mulut yang kontak dengannya. Karena intensitas rangsang tekan tinggi, tekanan yang terus menerus dapat menyebabkan gradasi rasa tekan meningkat. Ini didukung pendapat yang mengatakan bahwa tekanan yang terus menerus dapat menyebabkan iritasi dan rasa sakit pada jaringan lunak.6
Hal di atas dapat dilihat pada gambar berikut ini yang menggambarkan bagaimana perbandingan pemakaian kedua pelindung pada saat awal dan akhir perlakuan. Tampak pemakaian pelindung mulut custom made di awal perlakuan lebih tinggi, tetapi kemudian menurun di akhir perlakuan. Sebaliknya pemakaian pelindung mulut boil and bite di awal perlakuan lebih rendah, tetapi kemudian meningkat di akhir perlakuan.
Gambar 1. Perubahan Nilai Keluhan Subjektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Indah10 diketahui bahwa pemakaian helm AT lebih banyak memberikan keluhan dibanding helm BH, karena ukuran helm AT lebih besar dari ukuran kepala pemakainya. Sedangkan penelitian yang dilakukan Mulyati12 diketahui bahwa pemakaian sepatu voli DF lebih banyak memberikan keluhan dibanding sepatu KDC, karena desain sepatu DF dimensinya kurang sesuai dengan antropometrik kaki pemakainya. Penelitian lain yaitu oleh Partha14 tentang pemakaian betel yang dimensinya kurang sesuai dengan antropometrik tangan menimbulkan keluhan pada tangan pemakainya. Hasil-hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa pemakaian alat bila ukuran tidak sesuai dengan antropometrik pemakainya akan banyak menimbulkan keluhan. Demikian halnya seperti yang terjadi dengan pemakaian pelindung mulut boil and bite. Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian pelindung mulut jenis custom made menimbulkan keluhan subjektif lebih rendah daripada pelindung mulut boil and bite. DAFTAR PUSTAKA 1. Bakta M. Uji klinik. Majalah Penyakit Dalam Mei 2000; 1(2):99-107. 2. Basker RM.,Davenport JC, Tomlin HR. Perawatan prostodontik bagi pasien tak bergigi. Soebekti TS, Asril H (penterjemah). Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1996. p. 9,23,24,54,240,245. 3. Colton T. Inference on means. In : Statistic in medicine. 1st ed. Boston: Little Brown and Company;1974. p.142-5. 4. Epstein PD. Response to mouthguards are a must on local hardwood.1998. Available from: http://www.miaa.net/mouthguardresponse.htm. Accessed April 7, 2004. 5. Ganong WF. Sensasi somatovisera. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran. Wijayakusuma D, Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU (penterjemah). Edisi 20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003. p.135-8.
6. Gunadi AG, Burhan LK, Suryatenggara G, Margo A, Setiabudi I. Pemasangan dan pemeliharaan geligi tiruan sebagian lepasan. Dalam : Buku ajar ilmu geligi tiruan sebagian lepasan. Jilid II. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 1995. p. 405-6. 7. Gunner R. Do mouthguard prevent concussions?. 2004. Available from: http://www.canadian sportstherapy.com/Do_mouth_guard_prevent.concussions.htm. Accessed July 30, 2004. 8. Guyton AC, Hall JE. Sensasi somatik : II. Sensasi nyeri, nyeri kepala dan sensasi suhu. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A (penterjemah). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1997. p.761-6. 9. Hiller. Mouthguards. 1999. Available from: http//www.drhiller.com./Mouthguards.html. Accessed Januari 23, 2004. 10. Indah LM. Pemakaian helm BH memberikan kenyamanan yang lebih tinggi dan keluhan subjektif yang lebih rendah dibandingkan dengan helm AT (tesis). Denpasar: Universitas Udayana; 2003. 11. Lanzi G. Sports injuries. 2000. Available from: http://espn.go.com./s/2000/0105/271531.html. Accessed Juni 26, 2004. 12. Mulyati MI. Desain sepatu mempengaruhi keluhan subjektif pada kaki dan kemampuan loncat tegak. (tesis). Denpasar: Universitas Udayana; 2002. 13. Padilla R. Overcoming objections : providing professionally made custom mouthguards. 2000. Available from: http//www. informed.es/seod/mouthguard.htm. Accessed Februari 16, 2004. 14. Partha CGI. Penggunaan betel modifikasi menurunkan beban kerja dan keluhan subjektif serta meningkatkan produktivitas pembobok tembok pemasang pipa instalasi listrik. (tesis). Denpasar: Universitas Udayana; 2002. 15. Peterson D. Mouthguards. 2004 Available from: http://www.dentalgentecare.com/ mouthguards1.htm. Accessed Juni 29, 2004. 16. Procock SJ. Crossover trials. In: Clinical trial : a practical approach. Brisbane: John Willey & Sons; 1986. p.110-122. 17. Sastroasmoro S, Ismael S. Uji Klinis. Dalam : Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2002. h. 147-9. 18. Scott J, Burke FJT, Watts DC. A review of dental injuries and the use of mouthguards in contact team sports. Br. Dent. J. 1994;176:310-314. 19. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Pendit BU (penterjemah). Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. p. 96, 128-133. 20. Strazds P. Mouthguards. 1999. Available from: http//www.smasa.asn.au/fact_sheets/ fact_mouthguards.html. Accessed Juni 15, 2004. 21. Tala HML. Sport-related dental injuries. 1999. Available from: http://www.rxpinoy.com/ assets/rxFUM/012hazelt/. Accessed April 7, 2004. 22. Zarb GA, Bolender CL, Hickey JC, Carlsson GE. Buku ajar prostodonti untuk pasien tak bergigi menurut Boucher. Mardjono D, Koesmaningati H (penterjemah). Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2002. p. 7,16,38,146.
Penggunaan teknik PCR pada deteksi gen gtf B/C karies gigi anak Yetty Herdiyati Nonong*, Mieke Hemiawati Satari** *Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak, **Bagian Oral Biologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
ABCTRACT The gtf B/C are recognized as important factor of dental caries, but not all cariogenic bacteria contained the gtf B/C gen.The aim of the research is to determined the easy, cheap, accurate and up to date the etiology of caries, the gtf B/C gen.The research was done by laboratory experimental, samples consist 7 samples collected from children dental caries.The result showed many caries bacteria contained gtf B/C gen : Lactobacillus Fermentum, Lactobacillus Salivarius, Klebsiela Oxcytoca, Streptococcus Mutans, Streptoccocus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus.The conckusion is the PCR technic can detected of gtf B/C gen more easy in cariogenic bacteria. Key Words: PCR, Gen gtf B/C, Caries. Korespondensi: DR. Drg. Yetty Herdiyati, SpKGA (K). Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung.
PENDAHULUAN PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini merupakan teknik perbanyakan DNA secara in vitro yang memungkinkan adanya amplikasi antara dua region DNA yang diketahui, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vitro). PCR merupakan suatu teknik yang memiliki beberapa keunggulan. Yaitu sangat sensitif, karena dapat mengamplifikasi DNA yang jumlahnya tidak banyak. Selin itu, memiliki spesifitas yang tinggi dan waktu yang diperlukan untuk melakukannya juga cukup singkat (kurang dari 24 jam), serta sangat ideal untuk mengidentifikasi pathogen dengan cepat dan akurat. Dalam system kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA. Dalam keadaan nativenya, DNA merupakan double helix, yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan antiparalel satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Thymine (T) dan Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa ini terikat dengan molekul gula, deosiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfat. Ada 3 tahap utama di dalam setiap siklusnya, yaitu : 1. Denaturasi. Selama proses denaturasi, double stranded DNA akan membuka menjadi single stranded DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya. 2. Annealing. Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hydrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerasisasi selanjutnya, misalnya pada 720C. 1
3. Reaksi Polimerasisasi (Extention). Umumnya, reaksi polimerasisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 720C. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan dengan dNTP yang komplemen pada sisi 3’nya. Jadi, seandainya ada 1 copy gen sebelum siklus berlangsung, setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 copy dan seterusnya. Sehingga diperoleh amplifikasi DNA atara 106-109 kali (Wostorn et al, 1992, Retroningrum, 1997). Pada penelitian ini telah dipilih bakteri yang berasal dari karies gigi anak untuk di deteksi menggunakan PCR. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen gtf B/C pada bakteri penyebab karies, dengan mengisolasi kromosom bakteri-bakteri yang berasal dari karies gigi anak. Amplifikasi gen target dengan teknik PCR menggunakan kromosom sebagai templat, dan produk PCR dideteksi dengan metode elektroforesis aganosa. BAHAN DAN METODE Bakteri Identifikasi S. Mutans Sampel berupa bakteri dari 7 karies gigi anak terlebih dahulu dimurnikan untuk mengetahui keberadaan S. mutans. Analisis dilakukan melalui uji pada media perbenihan lempeng agar TYCSB, dan pewarnaan Gram. S. mutans akan tampak mempunyai karakteristik yang khas baik pada media perbenihan maupun pada pengamatan morfologinya di bawah mikroskop. Selain itu, analisis terhadap S. mutans juga dilakukan melalui uji biokimia, dengan mengamati kepekaannya terhadap manitol, sorbitol, eskulin, arginin, melibiose, dan rafinose. Serta identifikasi 16 srDNA. Untuk mengetahui apakah yang diperoleh itu benar bakteri sekaligus meneliti ulang S. mutans yang telah di isolasi, setelah amplifikasi gen 16s rDNA dilakukan sekuensing selanjutnya dilakukan homologi dengan bakteri yang terdapat di gen Bank menggunakan program DNA Star. Media dan Bahan Kimia Blood agar plate, media cair TYCSB, buffer Tris-HC1 10 mM pH 7,6 EDTA 1 mM, SDS 10%; larutan fenol: kloroform (1:1); natrium asetat 3 M; agarosa (Promega Corporation, Madison, USA); TAE 50x (242 gr Tris base, 57,1 ml asam asetat glacial, 100 ml 0,5 M EDTA pH 8 dalam 1 liter aquades); etidium bromida (10 mg/ml); loading buffer (0,25% bromofenol biru 0,25% xylene cyanol F.F, 15% ficol). Mutans primer gen rRNA 16 sr DNA Reverse 5’GGTTC(G/C)TTGTTACGACTT3’ Forward 5’AGAGTTTGATC(A/C)TGGCTAC3’ Mutans primer gen gtf B/C Reverse 5’ATCATATTGTCGCCATCATC3’ Forward 5’AGAGTTTCCGTCCCTTACTG3’. Taq DNA polymerase (Pharmacia, Biotech, USA) 5 U/μl; buffer PCR 1x yang diencerkan dari buffer PCR 10x (KCI 500 mM, Tris HCI 100 mM pH 8,3 pada temperature kamar, MgC12 15 mM, gelatin 0,1% (b/v)); dNTP 200μM; aquabides steril dan minyak mineral. Isolasi kromosom Streptococcus mutans. Bakteri dari kultur beku digoreskan pada permukaan plat agar darah steril, dan diinkubasi pada suhu 370C selama satu malam. Koloni Streptococus mutans diinokulasi dalam 1,5 ml media cair TYCSB dan diinkubasi selama 6 jam pada suhu 370 C tanpa pengocokan. Kultur kemudian dipindahkan ke dalam 15 ml media cair TSB dan diinkubasi semalam pada supernatan, dan etanol absolut, lalu diinkubasi pada suhu –200 C selama satu malam. Campuran disentrifugasi 6.000 rpm selama 10 menit. Endapan dicuci dengan 1 ml etanol 70%, disentrifugasi 6.000 rpm selama 10 menit, endapan dikeringkan pada temperatur ruang, kemudian tambahkan 25 µl aquabides. Larutan DNA 5 µl dielektroforesis pada agarosa 1% yang mengandung larutan etidium bromida 2
dan marker standar λ Hind III. Persiapan gel agarosa. Agarosa 1% dan 1,5% dibuat dalam bufer 1x TAE, didinginkan 0 sampai suhu 60 C, kemudian ditambahkan 1 µl larutan etidium bromida (10 mg/ml), lalu diaduk. Larutan agar dituangkan kedalam plat. Kemudian ditambahkan 10 µl sample DNA dicampur dengan 2 µl loading buffer dimasukkan kedalam sumur. Marker DNA yang ukurannya diketahui λ n film kecepatan tinggi. Amplifikasi ge n 1 6 s r DN A dilakukan dengan kondisi larutan PCR sebaga i berikut: denaturasi awal 940C selama 2 menit, denaturasi 940 C 1 menit, annealing 48 0C selama 1 menit, Elongation 720C selama 1 menit, Pasca Elongation 720C selama 10 menit, siklus amplikasi 30 siklus. Amplifikasi gen gtf B/C dilakukan dengan kondisi larutan PCR primer sebagai berikut : denaturasi awal 940C selama 2 menit, denaturasi 940 C 1 menit, annealing 500C selama 1 menit, Elongation 720C selama 1 menit, Pasca Elongation 720C selama 10 menit, siklus amplikasi 35 siklus. Produk PCR yang didapat dideteksi dengan elektroforesis agarosa. Pita-pita yang terbentuk pada gel agarosa dideteksi menggunakan transiluminator ultra violet dan selanjutnya difoto dengan film 3300 ASA. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Bakteri dengan Pendekatan 16s rDNA Dalam menentukan ukuran produk PCR 16s rDNA digunakan marker DNA yaitu pUC19 yang direstriksi dengan enzim restriksi HinfI (pUC19/HinfI). Hasil restriksi memberikan pita DNA dengan ukuran 1419 pb. Produk amplifikasi fragmen 16s rDNA berukuran 1400 sampai 1500an pb (Gambar 1). 1
2
3
4
5
6
7
8
1400-an pb
1419 pb
Gambar 1. Hasil amplifikasi gen 16s rDNA dengan Panjang Pita 1400-an pb. Keterangan Produk PCR: 1. Penanda berat molekul pUCHinf I; 2.Isolat K1; 3. Isolat K2; 4. Isolat K3; 5. Isolat K4; 6. Isolat K5; 7. Isolat K6; 8. Isolat K7.
Hasil sekuensing menunjukkan bahwa bakteri yang berhasil diidentifikasi dari karies gigi anak adalah Lactobacilus Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca, Streptococcus Mutans, Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus. Tabel 1. Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pendekatan 16s rDNA Kategori No Sampel Nama Bakteri sampel 1 K1 Karies Lactobacillus fermentum 3
Homologi (%) 93%
2 3 4 5 6 7
K2 K3 K4 K5 K6 K7
Gigi
Lactobacillus Salivarius Klebsiella oxytoca Streptococcus mutans Streptococcus constellatus Streptococcus Bovis Streptococcus anginosus
94 % 96% 97% 85% 96% 85%
Keterangan: Bakteri-bakteri yang teridentifikasi dihomologikan dengan data bakteri yang ada pada Gen Bank, persentasi (%) menunjukkan tingkat homologinya. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 di atas, teridentifikasi ke 7 sampel bakteri yang tingkat homologinya antara 85% sampai 97%, berarti yang ditemukan benar-benar bakteri. Identifikasi Bakteri Kariogenik melalui Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C Gen gtf S. mutans secara konstitutif akan mengekspresikan GTF yang dikode oleh gen gtf. Gen gtf ini membentuk suatu operon yang terdiri dari gtf B/C yang masing-masing operon S. mutans memiliki daerah yang conserve dan variabel dimana masing-masing enzim GTF dikode oleh gen gtf B/C. Adanya daerah yang variabel tersebut mengharuskan adanya kesesuaian primer yang dirancang dan digunakan. Gen yang berperan pada proses pembentukan karies hanyalah gen gtf B/C. Sifat gen B adalah mengekspresikan glukan yang tidak larut sedangkan gen gtf C mengekspresikan glukan larut dan tidak larut. Panjang gen gtf B/C secara total berukuran sekitar 600 pb (Gambar 2). 1 7
2
3
4
5
6
8
1419 pb 517 pb
450-500 pb
Gambar 2. Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C dengan Panjang Pita Kurang dari 600 pb
Tabel 2. Hasil Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C Panjang Pita Kategori Teramplifikasi sampel 1 K1 Streptococcus mutans 600 pb 2 K2 Lactobacillus fermentum 700 pb Rampan 3 K3 Klebsiella oxytoca 600 pb karies 4 K4 Streptococcus anginosus 500 pb 5 K5 Streptococcus constellatus 700 pb 6 K6 Streptococcus Bovis 500 pb 7 K7 Streptococcus bovis 600 pb Keterangan: Panjang pita yang teridentifikasi menunjuikkan gen gtf B/C teramplifikasi. No
Sampel
16s rDNA
Keberhasilan untuk menentukan bahwa sampel tersebut adalah suatu bakteri ditunjukkan dengan teramplifikasinya gen pengkode 16s rDNA menggunakan primer universal yang akan mengenali semua bakteri. Dalam menentukan ukuran produk PCR 16s 4
rDNA digunakan marker DNA yaitu pUC 19 yang direstriksi dengan enzim restriksi Hinfl (pUC 19/Hinfl). Hasil restriksi memberikan pita DNA dengan ukuran 1419 pb. Produk amplifikasi fragmen 16s rDNA berukuran sekitar 1400 pb. Produk PCR 16srDNA ini kemudian diambil untuk dilakukan sekuensing, pembacaan hasil sekuensing digunakan DNA STAR ,dengan primer 16s rDNA . Setelah itu dilakukan analisis homologi dengan data bakteri yang ada di Gen Bank hasil homologi ternyata didapatkan bukan hanya S. mutans saja tetapi juga bakteri lain, yaitu Lactobacilus Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca, Streptococcus Mutans, Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus, Streptococcus Constelatus. Hal ini diduga karena banyak bakteri rongga mulut yang telah resisten terhadap basitrasin, hal ini sesuai dengan pendapat Ruoff4 yang juga menyatakan bahwa terdapat beberapa bakteri rongga mulut telah menjadi resisten terhadap basitrasin sehingga sulit untuk mengisolasi S. mutans, dengan demikian didapatkan tidak hanya koloni S. mutans saja, tetapi juga koloni bakteri lain. Meskipun demikian, yang penting dikemukakan adalah bahwa toleransi terhadap asam merupakan ciri bakteri kariogenik pada gigi. Berdasarkan hasil penelitian, Lactobacilus Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca, Streptococcus Mutans, Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus adalah bakteri yang ditemukan dari gigi karies yang sudah tentu merupakan lingkungan cukup asam, maka diduga bakteri-bakteri tersebut tahan terhadap asam. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa keberadaan karies tidak identik dengan keberadaan S. mutans. Pada penelitian ini didapat fragmen gen gtf B/C dengan panjang yang berbeda-beda bagi setiap spesies bakteri, hal ini disebabkan karena gen gtf B/C ini memiliki selain daerah yang ”conserve”. Gen ini pula memiliki daerah yang sangat bervariasi sehingga menurut Yamashita5 bahwa untuk isolasi gen ini tidak memiliki primer yang spsesifik karena banyak ditemukan daerah yang bervariasi yang disebabkan karena adanya penyisipan asam amino pada daerah aktif gen gtf B/C. Bakteri yang memilki gen gtf B/C adalah bakteri yang memiliki salah satu sifat kariogenik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bakteri yang mampu mengekspresikan enzim glukosiltransferase dengan teramplifikasinya gen gtf B/C pada beberapa bakteri hasil isolasi yang berasal dari karies gigi. SIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik PCR memudahkan terdeteksinya gen gft B/C dibuktikan dengan amplifikasi gen 16s rDNA diperoleh produk PCR dengan panjang pita 1400-an pb. Sedangkan, produk PCR dengan gen gtf B/C diperoleh panjang pita kurang dari 600 pb. Ukuran panjang ini mendekati dengan data yang ada pada gen Bank. DAFTAR PUSTAKA 1. Retnoningrum DS. Penerapan polymerase chain reaction (pcr) untuk diagnosa penyakit infeksi. Bandung: ITB Jurusan Farmasi FMIPA; 1997. 2. Watson JD, Gilman M, Witkowski J, Zaller M. Recombinant DNA. New York: WH Freeman; 1992. 3. Satari MH. Fenomena molekuler hiperproduksi enzim betalaktamase pada staphilococcus aureus resisten terhadap Ampisilin-Sulbaktam. (Disertasi). Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2002. 4. Ruoff KL. Streptococcus anginosus (“Streptococcus milleri”): the unrecognized pathogen. J Clin Microbiol 1988; 1(1):102-10. 5
5. Yamashita Y, Bowen WH, Kuramitsu HK. Molecular analysis of a streptococcus mutans strain exhibitmg polymorphism in the tandem gtf bang gtf BC genes. Infect Immun 1992; 60(4):1618-16. 6. Munson MA, Banerjee A, Watson TF, Wade WG. Molecular analysis of the microflora associated with dental caries. J Clin Microbiol 2004: 3023-30. 7. Byun R, Nadkarni MA, Chhour KL, Martin FE. Quantitative analysis of diverse lactobacillus species present in advanced dental caries. J Clin Microbiol 2004; 42(7):312831.
6
Perawatan dental pada anak dengan kelainan jantung Willyanti Soewondo Syarif, Syarief Hidayat Bagian Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
ABSTRACT The aim of this this article is to recognize alternative treatment for Heart Diseases in children.This patient is one of medically compromised patient oftenly become dentist patient. Heart diseases consist of congenital Heart Diseases and Acquired heart diseases. Dental Treatment Planning of this patient depend on mild and severity of diseases, the treatment might be conventional in dental practice and hospital setting; interdisciplinary approach with cardiolog, dental anesthetist and pediatric dentist, using farmacological approach. The treatment suggestion to this patient are preventive dental diseases, due to the diseases; giving antibiotic prophylactic, and technic avoiding endocarditis bacterialis due to bacteriaemia. Conclusion: treatment suggestios in managing patient with heart diseases is preventive procedures, and interdicipllinary approach with other specialistic related due to pharmacological approach. Key Words: Congenital heart Diseases, acquired heart diseases, prophylactic antibiotic, pharmacological approach. Korespondensi: DR. Drg. Willyanti Soewondo Syarif, SpKGA (K). Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung. PENDAHULUAN Kelainan jantung pada anak yang umumnya terjadi adalah penyakit jantung bawaan atau Congenital Heart Diseases /CHD. Congenital Heart Diseases adalah kelainan jantung bawaan yang terjadi pada anak dan merupakan salah satu jenis medically compromised patient yang sering datang ke praktek dokter gigi.1,2 .Salah satu peran dari dokter gigi anak mengkoordinir penanganan anak dengan medically compromised. Sering digunakan istilah medically compromised untuk mengingatkan klinisi bahwa anak-anak ini mempunyai kondisi medis juga dapat mempengaruhi perawatan dental atau dapat juga disertai dengan tanda dental/ oral yang spesifik1. Tujuan dari makalah ini adalah agar dokter gigi mengetahui/ mengenal cara penanganan anak dengan kelainan jantung bawaan. TINJAUAN UMUM KELAINAN JANTUNG PADA ANAK Penyakit kelainan jantung dibagi 2 kelompok besar yaitu penyakit jantung kongenital (Congenital Heart Diseases/CHD) yang ada sebelum kelahiran dan penyakit jantung dapatan yang terjadi setelah lahir. 1,2,3 Keparahannya bervariasi luas, 2/3 penderita menunjukkan gejala pada tiga tahun pertama kehidupan.2,3 Congenital Heart Deseases (Chd) CHD berhubungan dengan abnormalitas struktur jantung dan dapat menjadi salah satu gejala dari sindrom atau abnormalitas kromosom. 70% pasien dengan sindrom down mengalami CHD. CHD mengenai 8-10 kasus per 1000 anak lahir hidup dengan gender yang seimbang. Mayoritas kasus menunjukkan bahwa tidak ada faktor genetik tertentu sebagai penyebab, tetapi faktor yang berisiko tinggi untuk terjadinya penyakit jantung bawaan ini diantaranya maternal rubela diabetes, alcoholism, konsumsi obat-obatan selama hamil seperti 1
phenitoin dan warfain. Keparahan penyakit tergantung dari hemodinamik lesi. Gangguan aliran darah disebabkan oleh abnormalitas struktur atau defek obstruktif yang mengakibatkan shunting aliran darah.1 Yang termasuk CHD adalah Ventricular septal defect, (VSD), Atrial septal defect (ASD), Patent Ducus Arteriosus (PDA) dan tetralogy of fallot (TOF). VSD adalah defek septum dalam dinding ventrikel yang paling banyak terjadi. Defek kecil biasanya tanpa gejala dan diketahui saat pemeriksaan rutin. Defek besar dapat menyebabkan sesak nafas, kesulitan makan dan buruknya pertmbuhan. 30%-50% defek kecil dapat menutup sendiri dan terjadi di tahun pertama, sedangkan defek besar biasanya ditutup dengan pembedahan. ASD adalah defek septum dekat foramen ovale, lebih sering pada orang dewasa. PDA merupakan kegagalan penutupan duktus yang menghubungkan areteri pulmonalis dengan aorta, hal ini sering terjadi pada bayi lahir dengan prematur. Tetralogy of fallot (TOF) meliputi kelainan jantung bawaan tipe sianotik yang paling banyak terjadi dengan persentase 7 – 10% dari seluruh Congenital Heart Defect (CHD), merupakan kasus yang cukup berat, karena terdiri dari 4 defek yaitu Ventricular) septal defect, pulmonarhy stenosis, dextroposition aorta, right ventricular hypertrophy. 1,2,3,4 TOF ini merupakan kelainan pertumbuhan jantung dimana terjadi defek atau lubang dari infundibulum septum intraventrikular dan umumnya TOF menyebabkan sianosis saat lahir dan saat bayi. Berdasarkan manifestasi klinis, CHD terdiri dari 2 tipe yaitu tipe sianosis dan asianosis. Tipe sianosis seperti pulmonary stenosis, tetralogy of fallot (TOF).3 Manifestasi klinis tipe sianosis;sianosis sistemik, clubbing finger, dyspnea dan heart murmur. Adapun prognosisnya tergantung dari berat ringannya malformasi. Pada tipe sianosis aliran adalah right to leftt shunt. Tidak ada tanda oral spesifik pada pasien dengan CHD, manifestasi klinis tergantung dari anomaly struktur yang diderita.4,5 Manifestasi oral dari CHD adalah sianosis gusi dan stomatitis, glositis, defek email terutama pada gigi sulung, meningkatnya risiko karies dan penyakit periodontal.1,2,5
Gambar 1. Sianosis Gusi pada CHD
Gb 2a. Sianosis Bibir pada pasien CHD2
Gb 2b. Clubbing finger2
Sianosis pada gusi dan Clubbing finger pada pasien dengan CHD tipe sianosis.2 Termasuk tipe asianosis adalah ASD, VSD, PDA, Aortic Stenosis, Pulmonary Stenosis. Tipe asianosis aliran adalah left to right shunt dan mempunyai prognosis lebih baik dari tipe 2
sianosis. Manifestasi klinis tipe asianosis adalah dapat terjadi gagal jantung, respiratory distress, heart murmur dan cardiomegaly. ETIOLOGI Etiologi belum diketahui jelas, diduga multifaktorial sebagai interaksi faktor genetic dan lingkungan termasuk infeksi yang terjadi, dan adanya faktor teratogen saat trimester 1 kehamilan.1,2,3,4,5 CHD banyak berhubungan dengan sindrom seperti, atau menjadi salah satu gejala sindrom seperti pada Sindrom Down, Hurler, Marfan, Turner, gangguan enzyme dan osteogenesis imperfekta. Defek dapat ringan dan dapat juga berat seperti pada TOF dan defek vascular.3,4 Tabel 1. menunjukkan prevalensi macam-macam penyakit CHD.2, Ventricular Septal Defect 28 Atrial Septal Defect 10 Pulmonary stenosis 10 Patient Ductus Arteriosus(PDA) 10 Tetralogy of fallot 10 Aortic Stenosis 7 Coartated of thearto 5 Transposition of great arteriol 5 Diverse 15 Penyakit jantung dapatan antara lain, miokarditis, endokarditis bakterialis, dan rheumatic fever/demam rematik. Penyakit jantung dapatanpun dapat berprognosis buruk.2,4 Demam Rematik Demam rematik merupakan penyakit jantung dapatan yang dapat disebabkan infeksi pernafasan oleh streptokokus hemolitikus grup A dan adanya faktor predisposisi untuk terjadinya demam rematik. 3 Manifestasi klinis; dapat bersifat mayor dan minor. Mayor yaitu meliputi adanya carditis, poliartritis, eritema marginatum, chorea. Minor yaitu fever, poliarthralgia. Diagnosis ditentukan berdasarkan kultur Sterptokokus hemolitikus A Beta dan adanya peningkatan jumlah antistreptolisisn O. Penyakit ini dapat merusak endokardium dan mengenai bagian jantung lainnya bahkan organ lainnya. Pencegahan meliputi pemberian antibiotic profilaksis pada saat awal fase akut.3 Endokarditis Bekterialis Endokarditis bakterialis merupakan adanya infeksi dari dinding permukaan endokardial, dapat terjadi karena adanya defek dari endokardial atau dapat juga disebabkan oleh septicaemia.2,3,4,5 Mekanisme terjadinya endokarditis bakterialis tidak jelas tetapi diduga berhubungan dengan endothelium, bakteri dan respon inang. Infeksi bermula dari kerusakan permukaan endotel yang menyebabkan kerusakan local yang mengakibatkan terjadinya lesi pada kardiak. Tanda Endokarditis bakterialis adalah demam,murmur jantung,kultur darah positif .Komplikasi yang paling buruk adalah terjadinya gagal jantung. Terdapat 2 tipe yaitu Acute Bacterial Endocarditis (ABE), Sub Acute Bacrerial Endocarditis (SBE).Acute Bacterial Endocarditis ditandai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh stafilokokus aureus dan organism lainnya dengan patogenitas tinggi. Terapi adalah dengan pemberian antibiotic secara intravena. Sub Acute bacterial endocarditis juga ditandai dengan anorexi, penurunan berat badan malaise, demam tinggi. Penyebabnya adalah streptokokus viridans dan organism lainnya dengan patogenitas rendah. Terapi adalah dengan 3
pemberian antibiotik secara intravena. Dekade sekarang klasifikasi akut dan sub akut bukan hanya berdasarkan cepat tidaknya serangan tetapi berdasarkan mikroorganisme kausatif dan katup yang terkena.4 Heart Murmur Heart Murmur adalah suatu suara yang ada pada saat sistol atau diastol dapat bersifat ringan ataupun berat dan patologis tergantung menurut saat durasi, dan intensitas.1,4 HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN SELAMA PERAWATAN DENTAL2,3 1. Pencegahan endokarditis bakterialis di rumah. Pertimbangan penting dalam merencanakan perawatan gigi adalah mencegah penyakit gigi dan mulut. Pasien dengan CHD termasuk ke dalam kelompok yang berisiko terkena karies terutama pada periode gigi sulung. Drg harus membuat intruksi home care yang baik pada orang tua dan pasien agar memelihara kesehatan gigi dan mulutnya dengan baik karena bakteriaemia dapat terjadi/ diperberat oleh kebersihan mulut yang buruk. Demikian juga pada pemakaian dental floss dan alat bantu kebersihan gigi harus hati-hati karena pemakaian dental floss, semprot air bertekanan tinggi dapat berisiko bakteriemia. 2. Prosedur preventif. Yang penting dalam perawatan anak dengan CHD adalah pencegahan penyakit gigi dan mulut yang meliputi pemberian fluor baik sistemik ataupun lokal, penutupan fisur yang dalam, yang dilanjutkan dengan melibatkan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut di rumah (home care). Prosedur ini dapat mencegah terjadinya endokarditis bakterialis. 3. Pencegahan Endokarditis bakterialis pada perawatan dental. Pencegahan Endokarditis bakterialis meliputi pemberian profilaksis antibiotic pada prosedur dental yang dapat mengakibatkan perdarahan mukosa, gusi/pulpa seperti ekstraksi, perawatan pulpa. Sebaiknya perawatan gigi invasiv seperti ekstraksi, perawatan endodontik dihindari karena dapat menyebabkan bakteriaemia bila tidak dilakukan dengan hati-hati. Bila diperlukan sekali perawatan ekstraksi ataupun perawatan endodontic maka harus dilakukan pemberian profilaksis antibiotik dan pasien sebaiknya kumur dengan mouth wash. 4. Mouth Preparation. Mouth preparation penting dilakukan apabila akan dilakukan pembedahan pada anak dengan CHD. PENANGANAN DENTAL PASIEN DENGAN KELAINAN JANTUNG.1,2,3,4 Penanganan pasien dengan kelainan jantung harus dilakukan secara interdiciplinary approach dengan dokter spesialis jantung anak/cardiologist anak dan spesialis lainnya seperti anesthesis. Pemeriksaan dan konsultasi yang harus dilakukan adalah : 1. Riwayat medis meliputi riwayat kesehatan lampau dan saat sekarang, obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat opname. 2. Pemeriksaan oral dengan terapi komprehensif. 3. Profilaksis antibiotik. Hal ini dilakukan bila defek belum menutup dan pasien akan dilakukan perawatan saluran akar gigi, ekstraksi dengan pendekatan konvensional.Hal ini dapat dilakukan bila defek sudah ditutup atau menutup spontan, dengan sebelumnya selalu berkonsultasi dengan cardiologist anak. Amoxicillin merupakan drug of choice antibiotik untuk profilaksis antibiotic dalam pencegahan endokarditis bakterialis.4 4. Pada kasus rampan karies dengan kasus kelainan jantung berat (TOF) maka harus dilakukan koordinasi perawatan dengan dokter spesialis lain yang terkait (cardiolog anak, anesthetist, dokter gigi anak ) dan perawatan dental dilakukan dengan pendekatan farmakologi taitu di bawah anestesi umum, karena perawatan dapat selesei dalam satu sesi. Dalam hal ini dirujuk ke bagian Special Care Dentistry dan dirawat secara 4
5. 6. 7. 8.
interdisiplin. Selalu berkonsultasi dengan dokter jantung yang merawat, harus diingat bahwa tipe sianosis merupakan kelompok yang berisiko saat akan dilakukan anestesi umum. Rencana perawatan pada pasien dengan kelainan jantung dibawah anestesi umum adalah: premedikasi, profilaksis antibiotic, anesthesia, dan pertimbangan bedah. CHD tipe sianosis tertentu berisiko untuk mengalami hipoksia, polisitemia, koagulasi intravascular, disfungsi hati, oleh karena itu harus hati-hati agar meminimalisir bahaya.3 Merupakan kontra indikasi prosedur dental elektif pada pasien gangguan jantung tertentu seperti infark myocardial, aritmia yang tidak terkontrol, dan congesti heart failure . Perawatan dental dapat dilakukan baik dengan pendekatan konvensional/non farmakologi maupun dengan pendekatan farmakologi tergantung berat ringannya kasus.
SIMPULAN Perawatan dental pada anak dengan penyakit jantung diutamakan prosedur preventif, penanganan bervariasi dari pendekatan konvensional sampai pendekatan farmakologi dan dilakukan secara interdisiplin dengan dokter spesialis terkait lainnya.
DAFTAR PUSTAKA 1. Cameron AC, Widmer RP. Handbook of pediatric dentistry. 2 nd ed. Sydney: Cv. Mosby; 2003. p. 234-84. 2. Welbury RP. Paediatric dentistry. 2 nd ed. New York: Oxford University Press; 2001. p. 369-90. 3. Sanger, Roger G, Casammassimo, Belanger, Stewart. Oral manifesstations of systemic diseases. In: Stewart RE, Barber TK, Troutman KC, Wei SHY. Editors. Pediatric dentistry, scientific foundation and clinical practice. ST.Louis: The C.V. Mosby Co.; 1982. p. 303-6. 4. Little James W, Falace Donald A, Miler Craig S, Rhodus Nelson L. Dental management of medically compromised patient. 5nd. St.Louis, Boston, Sydney, Tokyo: Mosby; 1997. p. 103, 146-9. 5. Moller Palmi. Treatment of the handicapped child. In: Finn Sidney B. Clinical pedodontics 4th ed. Philadelphia: WB. Saunders Company; 2003. p. 581-2.
5
Mekanisme produksi enzim betalaktamase bakteri gram positif dan gram negatif Mieke Hemiawati Satari Bagian Oral Biologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
ABSTRACT Both Gram positive and negative bacteria produce betalactamase enzyme extracellularly. This betalactamase enzyme production is different between Gram positive bacteria which is inductive in nature and Gram negative bacteria which is constitutive. The production of betalactamase enzyme in Gram positive bacteria is very slow with the synthesis peak reached after 2-2.5 hours of the induction process. The product is then maintained in a certain phase, i.e. stationary phase, for 1-3 hours. The production of betalactamase enzyme in these bacteria is four time higher than the betalactamase enzyme produced by Gram negative bacteria that use constitutive way of production. The betalactamase enzyme production through constitutive way only reaches basal production. Genetically, this betalactamase enzyme production is mediated by the the betalactamase enzyme forming genes that form an operon. These genes are coded both in chromosomes and plasmids of Gram positive and negative bacteria. The betalactamase enzyme forming genes in Gram positive bacteria include three genes, i.e. blaZ (structural gene),blaI (repressor gene) and blaRI (regulator gene). These three genes have two promoters. In Gram negative bacteria, ampG (transmitter gene), ampC (structural gene), amp R, ampD and ampE (regulator protein). These genes form an operon with one promotor. These genes are the ones that play a role in betalactamase enzyme formation. Keywords: betalactamase enzyme, Gram positive bacteria, Gram negative bacteria . Korespondensi: DR. Drg. Mieke Hemiawati Satari, MS. Bagian Oral Biologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung. PENDAHULUAN Enzim betalaktamase adalah suatu enzim yang dihasilkan secara ektraseluluer bakteri oleh beberapa bakteri baik Gram positif maupun Gram negative. Enzim ini akan berdifusi disekitar sel bakteri, sehingga akan menghambat kerja antibiotic yang jauh dari tempat infeksi. Enzim ini memiliki kemampuan untuk menginaktivasi golongan antibiotik betalaktam yaitu dengan memecahkan cincin betalaktam sehingga bakteri ini tidak dapat berikatan dengan reseptor pada membrane bakteri sehingga bakteri ini akan tetap hidup.1 Secara genetik enzim ini dikode oleh gen yang terletak baik di kromosom maupun di plasmid. Pada bakteri Gram positif enzim betalaktamase ini dihasilkan secara induksi, proses ini berlangsung sangat lambat, sintesis betalaktamase mencapai puncaknya setelah 2-2,5jam setelah induksi dan bertahan pada suatu fase tertentu yaitu stationer selam 1-3jam. Produksi enzim ini mencapai empat kali lebih banyak dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh bakteri Gram negatif yang bersifat konstitutif. Produksi enzim betalaktamase yang bersifat konstitutif hanya menghasilkan produknya secara basal.2,3
Produksi enzim betalaktamase diatur oleh gen yang terdiri dari gen struktur yang mengkode enzim betalakamase,gen regulator yang mengkode protein yang meregulasi produksi enzim betalaktamase dan gen repressor yang menghentikan produksi enzim betalaktamase. 4,5 Pada beberapa bakteri seperti S.aureus, enzim betalaktamase yang dihasilkan tergantung dari galur, kondisi dan kultur pertumbuhan. Ada kalanya enzim yang dihasilkan hanya 10%-60% yang di sekresikan ke media sedang sebagian produk terikat pada membran luar dari bakteri tersebut hingga sukar dipurifikasi, sedangkan enzim betalaktamase yang ada pada media akan menghambat kerja antibiotik yang terdapat jauh dari tempat infeksi. Dalam kondisi optimal satu molekul enzim ini akan menginaktifasi 100.000 molekul cincin betalaktam setiap menitnya.6,7,8 Enzim betalaktamase mempunyai kemampuan menghidrolisis penisilin G, aminopenisilin seperti ampisilin,amoksilin dan karboksi penisilin, sedangkan untuk golongan isoksazolil seperti oksasilin,kloksasilin dan nafsilin menjadi tidak efektif demikian pula terhadap cephalosporin.1,9
Peranan Gen Struktur, Gen Regulator dan Gen Represor pada Produksi Enzim Betalaktamase Secara genetik, enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif dikode oleh gen yang berlokasi baik di kromosom maupun di plasmid. Gen yang berperan pada sintesis enzim betalaktamase terdiri dari blaZ yang mengekspresikan enzim betalaktamase yang sebagian besar disekresikan ke media ekstrasmeskipun sepertiganya melekat pada membran bakteri . Produksi enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif terjadi karena adanya proses induksi dari antibiotik betalaktam sedangkan pada bakteri Gram negatif enzim betalaktamase yang dihasilkan secara terus menerus tanpa adanya induksi dari antibiotik betalaktam.10 Selain blaZ ada beberapa gen yang akan meregulasi sintesis betalaktamase pada bakteri Gram positif yang diwakili oleh S. aureus dalam hal ini setidaknya ada tiga gen yang terlibat dalam pengaturan sintesis betalaktamase pada S. aureus yaitu 1) blaI - gen yang berfungsi sebagai regulator yang mengatur transkripsi; 2) blaRI - gen yang diperlukan pada proses induksi yang bertanggung jawab pada penghantaran sinyal; dan 3) bla R2: yang dapat mengatur penekanan ekspresi gen betalaktamase dan berfungsi meningkatkan fungsi represor. Namun menurut beberapa peneliti lokasi blaR2 di kromosom belum diketahui dengan pasti dan tidak berkait dengan blaZ, blaRI dan blaI.11,12,13,14 Rowland dan Dyke15 telah berhasil melakukan sekuensing gen gen yang berperan pada pembentukan enzim betalaktamase pada Tn 552 S. aureus yang mengandung tiga gen yaitu bla Z , bla RI dan blaI. Ketiga gen ini memiliki dua promotor yaitu promotor yang dimiliki oleh blaZ dan satu promotor bagi blaRI dan blaI. Ketiga gen ini memiliki spesifitas ekspresi enzim betalaktamase yang bersifat induksi. Secara skematis gen represor blaI terletak pada ujung 5’ dari bla RI dan saling tumpang tindih.4 Data genetik menunjukan bahwa blaI memiliki fungsi kontrol negatif yang mengatur proses transkripsi dari blaZ. BIaI ini merupakan suatu represor
yang berikatan dengan suatu operator yang terletak antara blaI dan blaZ, sedangkan blaRI berfungsi untuk mentransmisikan sinyal tentang keberadaan suatu molekul betalaktam pada permukaan membran luar ke komponen gen yang mengatur ekpresi betalaktamase. 5 Proses sintesis enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif bersifat induktif, pertama kali diketahui pada Bacillus licheniformis yang kemudian diasumsikan mempunyai persamaan dengan yang terjadi pada S. aureus. Bennet dan Chopra5 menyatakan bahwa proses induksi antibiotik betalaktam pada S. aureus diperkirakan sama dengan proses induksi antibiotik betalaktam pada B. licheniformis dan E. coli Pada bakteri Gram negatif mekanisme proses induksi enzim betalaktamase pada E. coli terjadi bila senyawa betalaktam sebagai penginduksi berinteraksi dengan protein pengikat penisilin (PBP) hingga mengakibatkan gangguan tahap akhir sintesis peptidoglikan. Induksi menstimulasi AmpG (protein penghantar sinyal) sehingga terjadi peningkatan konsentrasi prazat dinding sel dalam ruang periplasma. Akumulasi pra zat tersebut merupakan sinyal bagi terjadinya proses transkripsi dari ampC (gen sruktur). Keadaan ini menimbulkan interaksi AmpG dengan AmpR (protein regulator), sehingga AmpR berfungsi sebagai aktivator yang menstimulasi ekspresi gen ampC yang mengkode betalaktamase. Dalam keadaan tidak terjadi induksi, maka AmpD (protein regulator) berikatan dengan AmpE (protein regulator) dan mempertahankan AmpR sebagai represor yang menghambat ekspresi AmpC, sehingga tidak menghasikan betalaktamase. Bila fungsi AmpD terganggu karena mutasi pada gennya, maka akan mengganggu keseimbangan AmpG dan AmpD yang mengakibatkan AmpR tetap sebagai aktivator yang sifatnya permanen sehingga terjadi ekpresi kontitutif yang tinggi dari ampC. Dengan demikian maka didapat suatu model yang sederhana sistim pengatur sintesis betalaktamase pada S. aureus yang bersifat induksi yaitu antibiotik betalaktam berikatan dengan BlaRI dan suatu sinyal akan ditransmisikan ke BIaI sehingga tidak lagi berikatan dengan operator, maka terjadilah proses transkripsi dari bla Z.16 Mekanisme proses induksi pada umumnya bakteri Gram negatif dapat digambarkan pada skema (gambar 1) dengan menganalisa proses induksi pada E. coli.
Gambar 1. Mekanisme 1: mekanisme induksi betalaktamase pada E. coli.5 BL (Betalaktamase), PBP(Protein Pengikat Penisilin), ampC (Gen struktur betalaktamase), ampR (Gen yang berperan sebagai regulator), ampG (Gen yang bertanggung jawab terhadap transmisi sinyal 0), ampD (Gen yang meregulasi ekspresi betalaktamase pada proses transkripsi), ampE (Gen yang berfungsi untuk meningkatkan repressor).
Tentang perbedaan antara proses induksi yang terjadi pada E. coli dengan S. aureus dinyatakan oleh Smith dan Murray17 bahwa pada E. coli sinyal induksi baru ditransmisikan karena adanya prazat yang terkumpul dalam ruang periplasmik, sedangkan yang terjadi pada S. aureus yaitu rangsangan induksi senyawa betalaktam yang diterima reseptor pada membran luar akan langsung ditranmisikan. Pada S. aureus terdapat beberapa protein pengatur sistim induksi, yaitu: BlaI mempunyai fungsi sama dengan AmpR yaitu sebagai regulator yang mengatur transkripsi. BlaRI mempunyai fungsi sama dengan AmpG, protein ini diperlukan pada proses induksi, bertanggung jawab sebagai penghantar signal. BlaR2 berfungsi sebagai AmpD yang menjebabkan penekanan ekspresi gen betalaktamase dan juga berfungsi sebagai AmpE untuk meningkatkan represor. 18 Seorang peneliti, Kernodle13 memberikan suatu ilustrasi proses induksi betalaktam pada S. aureus terhadap produksi enzim betalaktamase yang dikode oleh gen blaZ dan produksi PBP2a hingga menyebabkan terjadinya metisilin resisten S.aureus (MRSA) yang dikode oleh gen mecA. Pengaturan proses induksi betalaktamase diawali dengan pengikatan betalaktam terhadap domain pada membran dari suatu PBP, kemudian ditransduksikan sebagai sinyal dikode oleh blaRI yang mengarah pada degradasi represor blaI sehingga blaZ dapat ditranskripsi. Mekanisme BlaRI dapat memberikan sinyal sehingga menimbulkan penurunan stimulasi terhadap represor belum jelas. Namun ada beberapa pendapat bahwa degradasi terjadi pada represor disebabkan adanya perubahan konformasi dari BlaRI sebagai akibat pengikatan oleh betalaktam yang mengaktivasi suatu protease dalam domain yang diduga sebagai suatu ruang periplasma (mekanisme 1). Alternatif lainya, gen bla R2 akan mengkode suatu protein yang dapat menyebabkan terjadinya inaktivasi represor dimana kompleks BlaRI dapat mengaktivasi hingga terjadi induksi (mekanisme 2). PBP2a dengan afinitas rendah terhadap antibiotik betalaktam yang dikode oleh mecA diproduksi sesuai dengan mekanisme produksi enzim betalaktamase. Hal ini dapat terjadi karena terdapat homologi antara mecI dan blaI, mecRI dan blaRI, dan promotor dari blaZ dan mec A. Homologi ini cukup kuat sehingga blaI dapat berfungsi sebagai represor dalam keadaan induksi normal maupun menghasilkan sejumlah PBP 2a secara konstitutif karena kerusakan mecI. Mutasi pada gen regulator (blaI dan mecI) dapat menimbulkan beberapa mutan yang nantinya akan mempengaruhi sistim regulasi dari yang bersifat indukif menjadi konstitutif. Mekanisme regulasi induksi betalaktam dapat dilukiskan dengan diagram sebagai berikut:
Gambar 2. Mekanisme 2: ekanisme regulasi induksi betalaktam S.aureus.13 blaZ (gen struktur enzim betalaktamse), blaRI (gen yang mengatur transmisi sinyal), blaR2 (gen yang menginaktivasi repressor), blaI (gen yang menekan proses transkripsi blaZ), mecA (gen struktur PBP2a), mecRl (gen anti repressor), mecl (gen repressor)
SIMPULAN Enzim betalaktamase adalah suatu enzim yang diproduksi secara ekstraselluler baik oleh bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Enzim ini berfungsi untuk menginaktivasi antibiotic betalaktam dengan memecah cincin betalaktam, sehingga antibiotic ini tidak dapat berikatan dengan reseptor paoada bakteri. Produksi enzim betalaktamase pada Gram positif bersifat induksi yaitu bakteri tersebut akan menghasilkan enzim betalaktamase bila adanya induksi dari antibiotik betalaktam , sedangkan pada Gram negatif produksinya bersifat konstitutif yaitu enzim ini terus menerus diproduksi pada kadar basal. Produksi enzim ini diregulasi oleh gen yang berperan sebagai regulator, repressor dan gen struktur. Mekanisme produksi enzim betalaktamase ini memiliki kemiripan dengan mekanisme produksi gen mecA yang menyebabkan terjadinya MRSA
DAFTAR PUSTAKA 1. Lamont JR, Burne RA, Lantz MS, Leblanc DJ. Oral microbiology and immunology. Washington DC: ASM Press; 2006. p. 380-5. 2. Koboyashi M, Zhu Y, Nichols N, Lampen O. A second regulatory encoding a penicillin binding protein reguired for induction of betalactamase. J of Bacteriology Sep, 1987;169(9): 3873-76. 3. Dyke KGH. Betalactamase of Staphylococcus aureus. In: Hamilton JMT, Miller eds. Betalactamses. Oxford University Press; 1986. p. 291-307.
4. Smith MC, Murray BE. Sequence analysis of betalactamase repressor fro S aureus and hybridization studies with two beta-lactamase producing of Enterococcus faecalis. J.Antimcrobial Agents and Chemotherapy. Oct, 1992; 12(9): 2265-9. 5. Bennet PN, Chopra J. Moleculer basis of betalactamase induction in bacteria. J. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Sept, 1993; 13(6) :153-8. 6. Istiantoro YH. Farmakokinetik inhibitor betalaktamase. Simposium perkembangan baru dalam menanggulangi resistensi bakteri; 1998. p. 1-4. 7. James CE, Mahendran KR, Molitor A, Bolla JM,Besonov AN, Winterhalter M, Pagges JM. How betalactam enter bacteria. Fatourou (editor). Porthmouth United Kindom; May, 2009. 8. Tenover FC. Mechanisms of antibacterial resistance in bacteria . The American Journal of Medicine 2006; 119(6A): S3-S10. 9. Brook I. The role of betalactamase producing bacteria in mixed infections. BMC infectious diseases. Washington DC: BioMed Central Georgetown University School of Medicine; October, 2009. 10. Leung SFF, Rives JT, Jorgensen. Modeling back bone with Ala-Ala and Ala-Ala-peptides . Bio Med Chem Lett; Feb, 2009;19(4):1236-9 11. Murray BE . Betalactamase producing Gram positif. J. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, April 2002 ; 873-9. 13. Kernodle DJ. Mechanism of resistance to betalactam antibiotic in gram positive. American Society for Microbiology; 2002. p. 609-23. 14. Dyke KGH,Cole M. Inhibition of betalactamase. J Antimicobial Agent and Chemotherapy March, 2000; 9(5): 289-99. 15. Rowland SJ, Dyke KGH. In 552 a novel transposable element from S. aureus. J Molecul Microbiologi 1999;4:961-75. 16. Gregory PD, Lewis RA, Dyke KGH, Curnock SP. Studies of represor betalactamase synthesis of S. aureus. Moleculer Microbiology 1997; 24(5):1025-37. 17. Smith MC, Murray BE. Sequence analysis of betalactamase repressor from S aureus and hybridization studies with two betalactamase producing E. faecalis. J. Antimicrobial Agent and Chemotherapy 2000;12(9):2265-9. 18. Hamilton JMT. Betalactamase. Oxford: Published by Oxford University Press. p. 1-23.