127
BAB VII PERANAN OTM DAN BP DALAM PENGANGGARAN SEKTOR PERTANIAN / PEDESAAN Dalam Bab ini, masalah yang hendak dijelaskan adalah bagaimana peran dari OTM dan BP dalam perencanaan dan pengangggaran APBD. Menurut Crouch (1985), Webber (2006) BP Indonesia memiliki karakterisitik patrimonial. Ketika patron kehilangan kekuasaannya, pada era reformasi, unsur-unsur BP yang menjadi client seperti partai-partai politik membentuk kartel dalam rangka mempertahankan dan merebut kekuasaan (Ambardi, 2009). Bandul kekuasaan kemudian bergerak dari sistem presidensial ke parlementer (Thoha, 2004). Sehingga, jabatan-jabatan puncak BP seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, bahkan kini jabatan Kepala Dinas di pengaruhi (ditentukan) oleh Partai Politik. Pada tataran praksis, berjalannya mesin Birokrasi Pemerintahan, yang digerakkan oleh eksekutif, harus menyesuaikan diri dengan peranan dan kepentingan partai-partai politik yang berada di lembaga Legislatif (DPR dan DPRD). Di antara penyesuaian yang harus dilakukan oleh Eksekutif terhadap kepentingan Legislatif adalah dalam praktik perencanaan dan penganggaran APBN, pada BP Pusat, serta APBD pada BP daerah. APBN dan APBD memiliki arti penting dan sangat strategis bagi Legislatif, karena merupakan sumber kehidupan, kebertahanan serta menjadi alat pencapaian kekuasaan partai politik dan anggota Legislatif. Sekali lagi menurut Ambardi (2009), pembentukan kartel oleh partai-partai politik, pasca Pemilu berlangsung, bertujuan untuk mencari sumber-sumber keuangan partai yang berasal dari sumberdaya Negara. Salah satu sumber keuangan tersebut adalah APBN dan APBD. Di samping dapat menjadi sumber keuangan, APBN dan APBD juga bertali temali dengan konstituen partai politik dan anggota Legislatif. Pengalokasian belanja langsung APBN-APBD akan mempengaruhi jumlah perolehan jumlah kursi di DPR dan DPRD. Terkait dengan perolehan suara partai politik dan Legislatif, di Kab.Agam (Minangkabau) semenjak era reformasi, peran adat Minangkabau (unsur OTM) menguat. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, penguatan peran OTM ini berhubungan dengan politik batas-batas dan reinterpretasi identitas
128
Minangkabau. Sehingga, penguatan OTM mempengaruhi dinamika kepartaian lokal dan Pemilu di Kab.Agam. Salah satu pengaruh tersebut, OTM mempergunakan Pemilu Langsung untuk “menanamkan” unsur-unsurnya menjadi anggota DPRD untuk berperan sebagai “si penjaga anggaran” yang berperan memperjuangkan alokasi anggaran APBD bagi Nagari. Oleh karena itu, dalam rangka merangkum bukti empiris tersebut, kajian dalam bab ini akan dimulai dari parlemen atau Lembaga Legislatif. Pertanyaan analitisnya, apa peran-peran yang diberikan kepada Lembaga Legislatif (DPRD) tersebut berkaitan dengan Pemilu, di mana pemilih ketika memilih Caleg untuk menjadi anggota Lembaga Legislatif diberi peran agar setelah terpilih membuat kebijakan-kebijakan belanja anggaran yang dialokasikan pada mereka (von Hagen, 2003)? Dengan memenuhi peran tersebut, setelah menjadi anggota Legislatif, berharap nantinya akan terpilih kembali (Johnson, 1994)? Apakah proses pemilihan dewan Legislatif dan peran-peran yang diberikannya berhubungan dengan OTM (Navis, 1984; Naim, 1984; Pelly, 1984)? Pertanyaan yang bersamaan dapat ditujukan pada lembaga Eksekutif (Kepala Daerah). Apa peran yang sama juga diberikan pemilih (OTM) kepada Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung? Bagaimana dinamika interaksi peran-peran yang diberikan OTM Minangkabau, tersebut pada DPRD dan Lembaga Eksekutif, dalam perencanaan dan penganggaran, ketika anggaran terbatas (Rubbin, 1994). 7.1. Pileg dan Pilkada, Asal-usul Peran Kepentingan Khusus Dalam Birokrasi 7.1.1. Pemilu Legislatif dan Peran OTM Dalam Bab II telah dijelaskan, bahwa birokrat-birokrat (eksekutf dan legislatif) BP dalam penganggaran publik tidak bebas nilai, tetapi memiliki beragam kepentingan. Salah satu kepentingan tersebut bersumber dari relasi pemilih dengan anggota Legislatif yang dipilihnya. Menurut Von Hagen (2003) relasi agen dan prinsipal di antara lembaga Legislatif dengan pemilih terlihat pada tujuannya. Pemilih memilih anggota Legislatif bertujuan agar setelah terpilih mau membuat kebijakan-kebijakan belanja anggaran yang dialokasikan pada merek. Sedangkan bagi anggota Legislatif, setelah terpilih mengalokasikan anggaran pada konstituennya, bertujuan dapat terpilih kembali (Johnson, 1994) hal ini dapat
129
menjadi kunci pembuka kepentingan khusus anggota Legislatif dalam BP dalam perencanaan dan penganggaran APBD, sehingga birokrasi Weberian ke luar dari fungsinya (out of function). Di Kabupaten Agam indikator kepentingan khusus birokrat yang berasal dari partai sebagaimana menurut Thoha (2004), tidak begitu mengena, namun kepentingan yang berasal dari konsekuensi relasi pemilih (konstituen) dengan anggota Legislatif dalam Pemilihan Umum dianggap cukup relevan (von Hagen, 2003 dan Johnson, 1994). Hal ini terlihat, selama dilaksanakannya Otonomi Daerah dan Pemilihan Umum Langsung, telah memberi kesempatan mobilitas sosial bagi unsur OTM (urang nan ampek jinih) seperti Mamak, kemanakan, anak, bundo kandung serta ulama dan cendikia, menjadi pengurus dan calon Legislatif partai politik, selanjutnya didukung dan dipilih secara kolektif menjadi anggota DPRD (Haris, 2005; Benda-Beckman, 2007). Bagi mereka yang terpilih, diberi peran untuk memperjuangkan alokasi dana APBD prasarana Pertanian dan Nagari untuk ditempatkan pada kampung/Nagari asal mereka. Unsur-Unsur OTM yang didukung dan dipilih secara bersama untuk menjadi anggota DPRD, mencerminkan awal dari masuknya kepentingan partikular dalam Birokrasi Pemerintahan (BP) sehingga birokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengusung unsur OTM untuk dipilih menjadi anggota DPRD bukan satusatunya
cara
untuk
mendapatkan
alokasi
anggaran
APBD
sektor
pertanian/pedesaan. Terdapat cara lainnya, yakni mengikat perjanjian politik dengan Calon Legislatif (Caleg) yang datang dari unsur OTM Nagari lain dengan tujuan meminta dukungan suara. Cara kedua ini terjadi dengan jalan, Caleg atau tim sukses (untuk pemilihan Bupati) datang menemui unsur OTM Nagari, yang umumnya
adalah
tokoh-tokoh
Kerapatan
Adat
Nagari
atau
Badan
Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN). Untuk menjamu kedatangan Caleg atau Tim Sukses, KAN atau BPRN akan mengumpulkan unsur OTM yakni Urang nan ampek jinih. Bersama Caleg dan Tim Sukses, unsur-unsur OTM Nagari melakukan musyawarah. Dalam Musyawarah tersebut, dibicarakan tujuan dan kepentingan (kebutuhan) masing-masing pihak. Setelah kata pembuka (sambutan), pihak Caleg akan memulai pembicaraan bahwa tujuan kedatangannya adalah untuk meminta
130
dukungan suara Nagari agar terpilih menjadi anggota DPRD. Pihak OTM, akan menyambut maksud dan tujuan Caleg dan tim Sukses tersebut dengan menawarkan pertukaran sejumlah alokasi anggaran APBD untuk rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan prasarana pertanian dan Nagari, seperti jalan Nagari/Jorong, irigasi, prasarana Pendidikan. Varian program dan jumlah alokasi anggaran, tergantung hasil kesepakatan. Termasuk, berapa lama Caleg jika terpilih mampu memenuhi hasil perjanjian yang diperoleh dengan mekanisme musyawarah tersebut. Jika kesepakatan telah dicapai, maka kedua belah pihak mengucapkan janjinya.1 Dari penjelasan di atas, studi ini menemukan dua pola terpilihnya DPRD dan Kepala Daerah, yakni berasal dari unsur OTM dan berasal luar OTM. keduanya, memberikan peranan (perjanjian) jika terpilih akan memperjuang anggaran bagi Nagari bersangkutan.Untuk lebih jelasnya mengenai kedua pola tersebut, dapat dilihat dalam gambar berikut;
PERTAUTAN PERANAN OTM DAN BP BERMULA DARI PEMILU LEGISLATIF DAN KEPALA DAERAH Rumah Kaum Suk u Jor ong
OTORITAS TRADISIONAL Ninik Mamak Kaum/Kampung
Transaksional, Imbalan suara Infrastruktur nagari
Rumah Kaum Suku Jorong
Ulama
Pola II BALON DPRD-BUPATI
Walinagari KAN BAMUS/BPRN BALON DPRD-BUPATI
PEM ILUKADA
DPRD BUPATI
PEMUDA
Pola I Bundo Kanduang
NAGARI
SUPRA NAGARI
Gambar 7.1. Pertautan Peranan OTM dan BP Dalam Pemilu Dalam Pemilu, baik Legislatif maupun Kepala Daerah, partai politik tidak menjadi perhatian pemilih di Nagari, yang menjadi pilihan adalah orang (calon), seperti ungkapan informan berikut;
1
Tidak terdapat bukti, bahwa perjanjian dilakukan secara tertulis.
131
“o kalau disiko partai hanya kedaraan sajo. Inyo nan dipiliah, dusanaknyo, mamaknyo, urang kampuangnyo, sukunyo. Mode tu kalau disiko2 (Nirman). Terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara partai politik dan Caleg, karena
keberhasilan Caleg, juga merupakan keberhasilan partai.
Sebagaimana akan dijelaskan pada bab IX, sistem kepartaian Nasional masih menganut sistem kepartaian patrimonial dan oligarkhis (Castles, 1983; Crouch, 1985; Hadiz, 2004; Haris, 2005; Boudreau, 2009). Ketika reformasi terjadi, partaipartai patrimonial tersebut kehilangan patronnya (bapak, penguasa, pengawas, pengayom dan pemberi makannya). Sehingga, seiring euphoria kebebasan, jumlah pertumbuhan partai meningkat. Namun, untuk dapat bertahan dan memenuhi kelangsungan hidupnya, partai tidak memiliki sumber dana yang tetap. Sehingga, untuk dapat hidup dan bertahan, partai-partai membentuk kartel (Ambardi,2009) yang memiliki tujuan untuk memburu rente dari sumber-sumber keuangan Negara dan sumber-sumber daya alam yang dikuasai Negara, baik melalui jabatan-jabatan Negara, seperti jabatan Kementerian dan Lembaga, Gubernur/Bupat/Walikota, Kepala-Kepala Dinas, dan jabatan “basah” lainnya, maupun melalui penyusunan, pembahasan dan penetapan Legislasi (Indrayana, 2008). Partai-partai patrimonial-oligarkis Nasional yang membentuk kartel tersebut tidak memberikan pengaruhnya pada sistem kepartaian di Kab.Agam, dan Sumatera Barat pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa kondisi, yaitu pertama, kondisi Agam Minus. Tidak terdapat kekayaan alam yang berlimpah di Kab.Agam. Di samping itu, Kab.Agam hanya daerah agraris. Pendapatan Asli Daerah Kab.Agam juga kecil, pada tahun 2011 hanya berjumlah ± Rp.37 milyar,-. Kedua, OTM, seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, masih kuat mengakar di Sumatera Barat hingga kini. Penguatan OTM justru terjadi ketika era reformasi berlangsung dengan munculnya politik batas-batas dan reinterpretasi identitas Minangkabau yang telah lama dikungkung oleh rezim Orde Baru. Sehinggga, seiring penguatan tersebut, seluruh perubahan sosial, budaya dan struktural yang masuk ke dalam OTM selalu melalui proses dialogis, yang menghasilkan sintesa
2
Kalau disini partai hanya kendaraan saja. Masyarakat pemilih, hanya memilih saudaranya, ke luarga dari ibunya (paman), orang kampungnya, calon dari suku. Itu yang berlaku disini.
132
baru. Pada perang Paderi, misalnya, agama yang berkaitan dengan permasalah surga-neraka saja di tentang apalagi hanya sistem kepartaian. Kedua hal tersebut, Agam yang Minus dan Pekatnya OTM, membuat partai-partai pusat memiliki kebijakan berbeda terhadap Ranah Minangkabau ini.3 Kebijakan tersebut terlihat pada pemberian otonomi yang luas pada cabangcabang dan ranting-ranting partai di Kab.Agam, serta menjadikan unsur OTM seperti Datuk Suku, Mamak Suku, Tungganai, Bundo Kanduang sebagai pengurus partai pada berbagai level tersebut. Ketika Pemilu Legislatif berlangsung, pengurus partai yang merupakan tiang soko guru OTM ini kemudian menjadi Caleg (Haris, 2005)4 yang kemudian di tempatkan pada daerah pilihan (dapil) di mana Nagari/Jorongnya menjadi bagian dari dapil tersebut. Kecenderungan unsur OTM yang menjadi pengurus partai, kemudian menjadi Caleg serta di tempatkan pada daerah pilihan (dapil) di mana Nagari/Jorongnya berasal, terlihat pada profil Anggota DPRD Kabupaten Agam periode 2004-2009 dan 2009-2014. Pada periode 2004-2009, dari 40 anggota DPRD terpilih, dua orang di antaranya bukan merupakan unsur OTM di mana Nagari/Jorongnya menjadi bagian dari daerah pilihan. Selebihnya, yakni 38 orang yang terpilih menjadi anggota DPRD, berasal dari Nagari/Jorong yang menjadi daerah pilihan tersebut. Demikian pula yang terjadi pada Pemilu Legislatif tahun 2009, Anggota DPRD periode 2009-2014, justru menurun di mana hanya satu anggota DPRD terpilih yang bukan berasal (memiliki kampung halaman) dari Naga/Jorong yang menjadi daerah pilihannya. Hal ini sebagaimana yang terlihat pada Tabel 7.1 di bawah; 5
3
Hal yang sama juga dilakukan Kolonial Belanda, di mana memberi perlakuan yang berbeda antara Minangkabau dengan daerah lainnya. 4 Untuk lebih lanjut bagaimana sistem kepartaian ini kemudian mempengaruhi pembentukan birokrasi lokal, lihat Bab IX. 5 Berdasarkan hasi wawancara dengan informan, dan melihat Profil data Anggota DPRD terpilih, hasil perhitungan suara per Daerah Pilihan dan Kecamatan, KPU Kabupaten Agam, 2004 dan 2009
133
Tabel 7.1. Jumlah Anggota DPRD Berdasarkan Daerah Pilihan Periode 20042009 dan 2009-2014 Daerah Pilihan
Kecamatan
Jumlah Anggota DPRD (Orang) 2004-2009
2009-2014
10
10
7 (2 orang Bukan Merupakan Anak Nagari Daerah Pilihan II)
7 (1 orang Bukan Merupakan Anak Nagari Daerah Pilihan II)
I
IV Nagari Lubuk Basung Tanjung Mutiara
II
Matur Palembayan Tanjung Raya
III
Kamang Magek Palupuh Tilatang Kamang
6
6
IV
Baso Candung IV Angkek
9
9
V
Banuhampu IV Koto Malalak Sungai Pua
8
8
Jumlah 16 40 Sumber: diolah dari KPU Kabupaten Agam, 2004 dan 2009
40
Keterkaitan yang erat di antara anggota DPRD terpilih dengan OTM juga terlihat dalam perolehan suara. Berdasarkan jumlah perolehan suara, dari 40 orang terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Agam periode 2009-2014, hampir seluruhnya memiliki perolehan suara terbanyak (basis suara pendukung utama) berasal dari Kecamatan di mana mereka berasal dan bertempat tinggal. Hal ini terlihat dalam Tabel 7.2. yang menunjukkan varian selisih jumlah perolehan suara di antara kecamatan asal dengan yang di luar dari kecamatan asal. Selisih pengumpulan suara paling menyolok, terlihat dari Drs.Suharman Dt.Kayo di mana basis utama suaranya berasal dari kecamatan tempat beliau dilahirkan dan bertempat tinggal, yakni sebanyak 1280 suara, sisanya 33 suara berasal dari kecamatan yang berbeda dengan asalnya. Dt.Kayo yang berasal dari partai PPRN, bersama dengan partai Hanura dan FBR, merupakan satu-satunya perwakilan partai tersebut. Partai ini tidak popular di Kab.Agam, dan hanya menjadi kendaraan saja bagi yang bersangkutan
134
agar terpilih menjadi anggota DPRD. Selain itu, Dt Kayo bersama Zul Arifin Dt.Parpatiah (partai PBB), Ali Warman Dt.P.Reno (PBB), Bakhtiar St.Nagari (FBR) dan Z.Dt.Pamuncak Majolelo (Demokrat) juga merupakan penyandang OTM dengan gelar Datuk dan Sutan. Sehingga, temuan lapangan ini masih relevan dengan temuan Haris (2005), bahwa yang menjadi pengurus partai dan kemudian mencalonkan diri menjadi calon Legislatif adalah Tokokh Adat, seperti Datuk Suku, Kaum, Ulama (Urang Nan Ampek Jinih). Perolehan suaranya yang bersamaan jumlahnya di antara suara dari Kecamatan asal dengan suara yang berasal dari luar kecamatan asal adalah Zulfaidar (partai Golkar) dengan perolehan suara 321 dari kecamatan asal, dari 321 suara pula dari dua kecamatan lain yang masuk dalam wilayah Daerah Pilihan I. Data jumlah perolehan suara anggota DPRD berdasarkan kecamatan, periode 2009-2014 memperlihatkan bagaimana pengaruh OTM yang disandang Caleg terhadap perolehan suara dari masyarakat jorong, Nagari dan kecamatan mereka berasal, ketimbang pengaruh Partai. Lebih lanjut lihat Tabel 7.2. berikut ini; Tabel 7.2 Jumlah Perolehan Suara Anggota DPRD Dari Kecamatan Asal dan Luar Kecamatan Asal, Kabupaten Agam. Periode 2009-2014 No
Nama
Partai
1
Helmon
Hanura
2 3
Masrizal Syahmendra Putara
PKS PAN
4
Risma Hasni Lazuardi Erman SH
PAN
Golkar PPP Demokrat Demokrat
11
Zulfaidar Drs.Novia Erwandi Marga Indra Putra Fauzi Ir. Novi Endri M.Sc Drs. Suharman Dt.Kayo
12 13 14 15
M.Abrar Zulpardi S.A.g Asrinaldi Syafrizal, SH
PKS PAN PPP Golkar
16 17
Fitriwati Mastoti Surya
PBB Demokrat
18
Syafrudin
PKS
5 6 7 8 9 10
Golkar
Demokrat PPRN
Surabayo, Lubuk Basung Jawi-Jawi, Pasar Tiku, Tj.Mutiara Balai Ahad, Lbk.Basung Kampung Tangah, Lbk.sung
1
Suara Dari Kec.Asal 172
1 1
343 444
122 226
465 670
1
804
50
854
Tanjung Mutiara, Nagari Tiku Selatan, Tj.Mutiara Surabayo, Lbk.Basung Muara Putus, Tiku Pasar Baru, Lbk. Basung Jorong Parit Panjang, Lbk Basung
1
1495
564
2059
1 1 1 1
321 533 1760 1272
321 230 581 407
642 763 2341 1679
1
1108
117
1225
Selareh Air, Palembayan Nagari Lawang, Kec.Matur Salareh Aie, Palembayan Bayua, Tanjung Raya Salareh Aie, Palembayan Tanjung Sani, Tanjung Raya Padang Baru, Padang Ambacang Magek, Kamang Magek
2
1280
33
1313
2 2 2 2
1216 1106 625 979
222 112 212 141
1438 1218 837 1120
2 2
728 475
277 502
1005 977
3
761
408
1169
Nagari dan Kecamatan Asal
Daerah Pilihan
Suara Dari Luar Kec.Asal 160
Jumlah Suara
Daerah Pilihan I
332
IV Nagari Lbk.Basung Tj. Mutiara
Daerah Pilihan II Matur Palembayan Tj.Mutiara
Daerah Pilihan III
135
No
Nama
Partai
19
Ali Fuadi
PAN
20
Golkar
21
Efendi RM Zul Arfin, Dt. Parpatiah
22
Amril Anwar
Demokrat
23
Chairunnas, SH
24 25 26 27
Nagari dan Kecamatan Asal Kamang Mudiak, Kamang Magek Koto Tangah, Tilatang Kamang
Daerah Pilihan
Suara Dari Kec.Asal
Suara Dari Luar Kec.Asal
Jumlah Suara
3
765
196
961
Kamek
3
799
203
1002
Palupuh
3
981
47
1028
Tilkam
3
1987
501
2488
Demokrat
Pasie Laweh, Palupuh Nagari Batagak, Tilatang Kamang Koto Tangah, Tilatang Kamang
3
1173
269
1442
Yandril S.Sos Asrar Arifin Arman J.Pilian Fauzan SE, MM Ali Warman, Dt. P.Reno
PKS PAN Golkar PPP
Balai Gurah, IV Angkek Panampuang, IV Angkek CKL, Canduang CKL, Canduang
4 4 4 4
1123 1512 782 569
332 160 402 261
1455 1672 1184 830
PBB
4
565
90
655
PBR
4
793
107
900
30
Bakhtiar St..Nagari Z.Dt.Pamuncak Majolelo
Simarasok, Baso Bukik Batabuah, Canduang
4
1561
860
2421
31 32
Ilsaputra, ST Indra Zahir ST
Demokrat Demokrat
4 4
709 699
755 204
1464 903
34
Guswardi
PKS
Padang Tarok, Baso Bukik Batabuah, Canduang Koto Tinggi, Baso Padang Lua, Banu Hampu
5
1652
373
2025
35 36 37 38 39
Armen Taslim S.Ag Zulfahmi Yosiano Moechtar Mardianis
PKS PAN Golkar PPP PBB
5 5 5 5 5
1082 647 1014 929 1134
283 494 254 35 166
1365 1141 1268 964 1300
40
Amri Nizar Jumllah
Demokrat 9 partai
Balingka, IVKoto Sungai Landia, IV Koto Malalak Barat Limo Suku, Sungai Pua Koto Tuo, IV Koto Kubang Putih, Banuhampu
5
1285 37183
1427 12104
2712 49287
28 29
PBB
Demokrat
Sumber : diolah dari Data KPU, Tahun 20096 Jika dibandingkan dengan jumlah perolehan suara masing-masing anggota DPRD dengan jumlah seluruh suara sah, maka akan terlihat bahwa anggota DPRD yang terpilih saat ini, hanya mewakili ± 30 persen masyarakat Kabupaten Agam. Sebagaimana yang terlihat pada hasil perolehan keseluruhan suara anggota DPRD tahun 2009 (Tabel 7.2) berjumlah 49.287 suara. Sedangkan jumlah suara sah keseluruhan yang berhasil di kumpulkan dalam Pemilu adalah 189.143 suara (tabel7.3.). Dibanding dengan DPT (Daftar Pemilih Tetap), maka keterwakilannya hanya ± 25 persen, yakni dari 204.025 suara yang menggunakan hak pilih dibanding dengan 49.287 suara yang mewakili anggota DPRD. 6
Daerah Pilihan I
Sebenarnya untuk lebih valid, terdapat hasil peroleh Suara Anggota DPRD per Jorong dan Nagari. Namun, KPU Kabupaten Agam tidak memberi izin untuk dicuplik dan dianalisis. Kabupaten Agam hanya memperlihatkan saja data tersebut.
Daerah Pilihan IV Baso Canduang IV Angkek
Daerah Pilihan V Banu Hampu IV Koto Malalak Sungai Pua
16 Kec.
136
Dalam Pemilu tersebut, terdapat pula masyarakat yang tidak menggunakan hak suaranya, yakni sejumlah 93.184 orang. Angka ini hampir mencapai ± 30 persen dari 295.697 orang yang tertera dalam DPT. Jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan jumlah DPT, maka jumlah keseluruhan perolehan suara anggota DPRD hanya mewakili ±17 persen suara masyarakat Kabupaten Agam, yakni 49.287 dibanding 295.697. Lihat tabel berikut; Tabel 7.3. Jumlah Perbandingan DPT dengan Menggunakan Hak Pilih Dan Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah PEMILU Kabupaten Agam 2009 Daerah Pemilihan No
Partai
Daerah Pilihan 1
Daerah Pilihan 2
Daerah Pilihan 3
Daerah Pilihan 4
Daerah Pilihan 5
Agam
1
Jumlah Suara Sah
43,435
35,177
31,598
40,286
38,647
189,143
2
Jumlah Suara Tidak Sah
3,320
4,142
1,971
2,889
2,851
15,173
3
Menggunakan Hak Pilih
46,718
39,246
33,528
43,066
41,467
204,025
4
Tidak Menggunakan Hak Pilih
25,601
14,249
14,061
21,738
17,535
93,184
5
Jumlah Dpt
72,219
53,039
47,261
64,384
58,794
295,697
6
Jumlah Alokasi Kursi
10
7
6
9
8
40
7
Jumlah Caleg
143
78
68
84
70
443
Sumber: diolah dari Data KPU, Tahun 2009 Rendahnya tingkat keterwakilan DPRD terhadap masyarakat pemilih di Kabupaten Agam karena banyaknya jumlah Caleg. Sehingga, suara “terpecah” dan tidak memenuhi kuota capaian sebuah kursi. Seperti yang terlihat dalam Tabel 7.3 di atas, di mana Dapil I dengan jumlah caleg 143 orang hanya mengumpulkan suara sah 43.435 suara. Artinya, rata-rata jumlah suara per orang sebesar 304 (0,33 persen), bandingkan dengan Daerah Pilihan 3 yang memiliki Caleg terendah sebanyak 68 orang, dengan jumlah perolehan suara sah 31.598, maka rata-rata per orang 465 suara (0,22 persen). Jika dilihat dari perbandingan jumlah keseluruhan Kabupaten Agam, terlihat bahwa jumlah perolehan suara sah 189.143 suara, maka rata - rata suara dari 443 Caleg adalah 427 suara (0,23 persen). Jika dibandingkan dengan jumlah ketersedian kursi, maka rata-rata suara
137
yang harus dikumpulkan untuk 40 kursi DPRD adalah 40 orang/kursi dibagi dengan 189.143 suara sah yang berhasil dikumpulkan, maka hasilnya semestinya adalah 4.729 suara per orang/kursi. Banyaknya jumlah Caleg, baik per daerah pilihan, maupun di tingkat Kabupaten, memperlihatkan tingginya minat masyarakat Agam untuk menjadi anggota DPRD. Bagi masyarakat Kab.Agam, menjadi anggota DPRD memiliki ragam makna. Pertama, dengan menjadi anggota DPRD dapat membangun kampung mereka dengan alokasi anggaran APBD, seperti terkutip ungkapan informan berikut; “Ambo lah lamo bercita-cita menjadi politisi hinggo no dapek duduak menjadi anggota dewan. Tujuan ambo menjadi anggota dewan agar dapek membangun kampung ko. Si Bob tahu, sabalum ambo indak ado urang kampuang ko nan menjadi anggota Dewan. Kampuang ambo ko, walau talatak di pinggir jalan lintas Sumatera, antar kota dan antar propinsi, belum pernah ado pembangunan di kampuang ambo ko7” (Informan Nirman) Ungkapan informan di atas, dapat ditafsirkan bahwa jika tidak ada anggota masyarakat Nagari atau Jorong yang menjadi anggota DPRD, maka pembangunan infrastruktur tidak akan pernah dialokasikan di dalam daerah tersebut. Hal ini juga sesuai dengan pemaknaan yang diberikan pemilih, bahwa salah satu tujuan memilih anggota DPRD, agar dapat mewakili kepentingan mereka, khususnya untuk membuat kebijakan-kebijakan anggaran belanja yang dialokasikan untuk mereka (pemilih), atau mewakili kepentingan mereka. Seperti yang terjadi di Nagari Canduang Koto Laweh, salah satu Nagari tetangga dari Nagari Tabek Panjang, ketika masa kampanye dan Pemilu berlangsung, OTM (urang nan ampek jinih) mengingatkan masyarakat Jorong dan Nagarinya untuk memilih Caleg yang berasal dari Nagari mereka yakni Nagari Canduang Koto Laweh. Narasi yang dibangun dan disebar luaskan ke penjuru Nagari adalah : “ jika ingin api tungku tetap menyala, maka harus ada yang menjaga apinya”. Tafsiran terhadap Narasi ini adalah, bahwa salah satu 7
Saya telah lama bercita-cita menjadi politisi hingga akhirnya dapat duduk menjadi anggota DPRD. Tujuan saya menjadi anggota Dewan (DPRD) ini agar dapat membangun kampung saya ini. Bob kan tahu, sebelum saya belum pernah ada orang kampung saya ini menjadi anggota DPRD. (pada hal) kampung saya ini terletak di pinggir jalan lintas Sumatera, antar kota antar provinsi, belum ada pembangunan di kampung saya ini.
138
kebutuhan utama manusia untuk dapat bertahan hidup adalah makanan. Makanan, untuk dapat disantap harus melalui proses dimasak dan memasak makanan dilakukan dengan api. Oleh karenanya, agar dapat makan harus ada yang menjaga api untuk tetap terus menyala sebagai pemasak makanannya. Tafsir lain, dapat pula diterjemahkan bahwa budaya (adat) Minangkabau dalam Nagari dapat bertahan dan berkembang karena peran dari Tiga Tungku Sajarangan.8 Tiga Tungku Sajarangan ini personifikasi dari Ninik-Mamak, Ulama dan Cendikia. Hanya saja, menurut narasi di atas, peran ketiga tungku itu masih kurang berfungsi jika tungku tidak memiliki api (anggaran, dana atau uang). Oleh karenanya, harus ada yang menjaga agar api (uang) tetap terus menyala (ada). Anggota DPRD, dalam narasi yang digambarkan sebagai “si penjaga api” tersebut, diberi peran oleh pemilih yang berasal dari kampungnya sebagai ujung tombak memperjuangkan alokasi anggaran APBD bagi mereka, sesuai dengan ungkapan informan berikut; “jadi wakatu pemilu tu lah rami kami di kampuang membahas siasia nan calon jadi (no urut satu) dalam partainyo urang siko. Kudian, Ninik-Mamak sibuk mempengaruhi masyarakat jorong dan Nagari nan masuak dalam DPT agar memilih calon urang kampuang surang. Keceknyo, kalo ingin api tungko awak ingin tatap manyalo, mako harus ado nan manjago apinyo. Jan sampai pacah suaro, jika pacah suaro awak nan rugi. Indak ado wakil awak nan di DPRD”.9 (NN) Sebagai sebuah konstruksi, narasi ini kemudian dapat menyatukan pemilih untuk memilih calon dari kampung/Nagarinya. Hasilnya, dari satu Nagari ini saja, yakni Nagari Canduang Koto Laweh, telah terpilih 2 (dua) orang anggota DPRD periode 2011-2014. Bahkan, pada periode 2004-2011, Nagari ini mampu mengusung /mendudukkan 3 (tiga) orang unsur OTMnya menjadi anggota DPRD. Menjadi atau memilih anggota DPRD bukan hanya memiliki makna pragmatis, seperti pejuang anggaran atau berperan (diberi peran) menjadi “si
8
Terjemahan ini telah lazim di Sumatera Barat, kata kuncinya adalah Tiga Tungku Sajarang, Tigo Tali Sapilin,. 9 Sewaktu pemilu kami telah membahas siapa saja orang kampung yang menjadi Caleg nomor urut jadi dalam partai. Kemudian ninik-mamak sibuk mempengaruhi masyarakat agar memilih Caleg yang nomor jadi tersebut, agar suara tidak pecah yang mengakibatkan tidak adanya orang kampung dan Nagari nantinya tidak menjadi anggota DPRD.
139
penjaga api” saja. Terdapat ragam makna lainnya, seperti berkenaan dengan mobilitas sosial individu dan kelompok genealogis matrilinealnya. Bagi masyarakat Agam, menjadi anggota DPRD juga berarti membawa nama paruik, kaum dan suku, serta menjadi kebanggaan bagi mereka di mata kelompok genealogis matrilineal lainnya, baik pada tingkat jorong antar sesama paruik, kaum, maupun antar suku pada tingkat Nagari. Gelar Anggota DPRD laksana gelar tradisional, di mana perlakuan masyarakat jorong dan Nagari terhadapnya kemudian berbeda, seperti, memiliki tempat yang berbeda pada acara perayaan adat, di mana tempatnya10 disejajarkan dengan OTM (urang nan ampek jinih). Di bawa “sato” (diikutkan) dalam musyawarah adat, serta diminta pendapatnya dalam musyawarah tersebut. Anggota DPRD yang terpilih kemudian memiliki tempat tersendiri pada lingkungan OTM Minangkabau di dalam Nagari, maupun Supra Nagari. Kenyataan ini memperlihatkan kelemahan pendapat Johnson (1994) dan von Hagen (2003), bahwa makna memilih dan dipilih menjadi anggota lembaga Legislatif tidaklah tunggal. Bagi masyarakat Minangkabau, memilih anggota DPRD tidak saja bermakna agar dapat mewakili kepentingan mereka untuk mendapat alokasi anggaran. Sedangkan bagi Legislatif, mengalokasikan anggaran pada konstituen agar terpilih kembali. Maknanya, tidak hanya karena alasan pragmatis dan dangkal tersebut, namun terdapat alasan budaya seperti representasi (membanggakan) kelompok genealogis matrilineal, melakukan fungsi “mamaga kampuang” (melindungi kampung)11 rumah, kaum, suku, kampung dan Nagari. Selain dapat membanggakan paruik, kampuang dan suku, makna menjadi anggota DPRD, memiliki konotasi negatif laksana pisau bermata dua yang memiliki konsekuensi pertikaian sehingga mempengaruhi relasi antara kelompok genealogi matrilineal. Persaingan yang berbuah pertikaian ini terjadi ketika unsur beragam kelompok genealogis tersebut mencalonkan diri menjadi Caleg, sehingga jumlah Caleg yang mencalonkan diri dalam Nagari tidak proporsional antara jumlah Caleg dengan jumlah DPT Nagari. Akibatnya terjadi perebutan dukungan suara dalam Nagari, yang tidak sehat.
10 11
Tempat duduk, maupun perlakuan terhadap anggota DPRD dalam acara adat tersebut Lihat nilai ideal Minangkabau pada Bab II.
140
Dalam masa kampanye, terdapat proses di mana Caleg “dituahi dicilakoi.”12 Proses ini biasanya juga “membongkar” sejarah keluarga. Dalam proses pembongkaran” sejarah
Caleg dan keluarga inilah kemudian timbul
pertikaian, karena dapat menjadi kampanye menyudutkan Caleg tertentu dengan kampanye yang menjatuhkan (black campaign). Sehingga, Caleg hanya dipilih oleh kelompok genealogisnya. Akhirnya, karena tidak mencapai jumlah suara tertentu, tidak satupun Caleg dalam Nagari tersebut terpilih. Seperti Nagari Sungai Janiah misalnya, pada periode 2004-2009, memiliki dua anggota DPRD yang berasal dari jorong Sungai Cubadak dan jorong Tabek Panjang. Namun, pada Pemilu 2009, kedua calon kalah hingga tidak terpilih kembali. Penyebabnya basis suara Caleg, terutama yang berasal dari jorong (kampuang) dan Nagari, terpecah pada banyaknya Caleg yang mencalonkan diri antar sesama anak Nagari. Dari hasil wawancara bersama 5 orang anggota DPRD yang menjadi informan penelitian ini, mengungkapkan bahwa kurang lebih 90 persen perolehan suara mereka, berasal dari jorong dan Nagari tempat mereka berdomisili dan berasal. Sedangkan 10 persen sisanya, di dapat dari Nagari dan dua kecamatan lain dalam Daerah Pilihan yang sama. Begitupun, dua anggota DPRD di Sungai Janiah pada tahun 2004, 90 persen suara berasal dari Jorong masing-masing dan suara dari tingkat Nagari, tetapi, pada Pemilu 2009 di tingkat kaum dan kampuang terjadi euforia ingin menjadi Caleg. Ketua KAN Nagari telah mengingatkan Urang nan ampek Jinih agar jumlah Caleg dari Nagari Tabek Panjang jangan lebih dari tiga orang, karena akan menyebabkan pecahnya suara. Menurut data DPT berdasar TPS tahun 2009, empat Jorong yang berada dalam Nagari Tabek Panjang terdiri dari 21 TPS dengan jumlah DPT 6.564 orang. Maka, dengan perhitungan Caleg yang berjumlah 3 orang, paling tidak 2 orang, akan berhasil menjadi anggota legislatif seperti periode sebelumnya. Namun, euforia ingin menjadi Caleg tersebut justru didukung (unsur OTM) oleh “urang nan ampek jinih” pada tingkat paruik dan kaum, hal inilah yang menyebabkan jumlah Caleg kemudian meningkat menjadi 12 orang. Sehingga, suara Nagari Tabek Panjang kemudian terpecah. Akibatnya, pada periode 2009-2014 tidak satu 12
di kaji sejarah hidupnya (dikaji track record nya)
141
pun unsur OTM Nagari yang terpilih menjadi anggota DPRD, sedang suara dari luar Nagari tidak menambah perolehan suara yang signifikan, seperti ungkapan tokoh adat berikut ini; “inyo lah dikecekan jan basigigiah-bakareh-kareh. Tapi nan ciek kok anak, kamanakan surang, nan ciek kok urang kampuang surang. Pacah suaro jadinyo. Tahun 2010 ko, awak indak dapek ciek alah juo, biasonyo selalu dapek, kok tidak sekolah, kok jalan kampuang, kok irigasi.13 (Tokoh Adat Nagari). Makna lain menjadi anggota DPRD, disamping nilai kultural di atas, juga meningkatkan pendapatan di atas rata-rata penduduk Nagari di Kabupaten Agam. Hal ini terlihat dari Perbup Agam No.63 Tahun 2008 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Agam tahun anggaran 2009 bahwa belanja pegawai DPRD, secara keseluruhan, mencapai Rp.4.758.984.282. Jika dibagi pendapatan dan tunjangan lain, untuk 40 orang, maka “take home pay” anggota DPRD per bulan mencapai ± Rp.9.000.000,-. Jumlah ini masih di atas gaji dosen dan guru yang telah bersertifikasi, di atas rata-rata gaji PNS yang hanya berkisar pada angka Rp.2.000.000, s/d Rp.5.000.000,- plus tunjangan lain-lain.14 Jika dibandingkan dengan alokasi anggaran Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Agam, maka pendapatan anggota DPRD tersebut meski berfluktuatif, masih lebih tinggi seperti terlihat dalam grafik dibawah ini;
13
Udah diperingatkan jangan saling berkeras. Tapi sulit untuk di halangi, yang satu anaknya, yang lain kemanakannya, dan satu lagi orang kampung. Pecah suara jadinya.Pada tahun 2010 depan, (sesuai dengan penjabaran APBD, red) kita tidak mendapat apa-apa. Biasanya (sewaktu ada anggota DPRD dari Nagari ini) selalu dapat setiap tahun. 14 Hasil wawancara dengan kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah)
Billions
142
18
Grafik Perbandingan Belanja Anggaran DPRD-Set.DPRD Dengan Dinas Pertanian Kabupaten Agam 2004-2009
16 14 12
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan
10 8
DPRD dan Set.DPRD
6 4 2 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: Penjabaran APBD Kabupaten Agam 2004-2009 (diolah)
Gambar 7.2. Grafik Trend Perbandingan Alokasi Anggaran Dinas Pertanian dan DPRD Kabupaten Agam, Tahun 2004-2009 Menurut grafik tersebut, trend
alokasi anggaran DPRD (berikut
Set.DPRD) pada tahun 2004 hingga 2006 masih dibawah Dinas Pertanian, berkisar di antara Rp.5.000.000.000,- hingga Rp.8.000.000.000,-. Namun, pada tahun 2007, alokasi anggaran DPRD naik tajam melebihi Dinas Pertanian yang mencapai angka Rp.14.777.000.000,- sementara Dinas Pertanian sebesar Rp.12.532.000.000,-. Kemudian keduanya meningkat tajam, dengan alokasi anggaran Rp.16.408.000.000, namun DPRD mendapat lebih tinggi sedikit dari Dinas Pertanian yang mencapai angka belanja dan Rp. 16.349.000.000,-. Pada tahun 2009, keduanya turun tajam, namun alokasi anggaran DPRD masih lebih tinggi dari Dinas Pertanian mencapai selisih Rp.2.500.000.000,-. Fakta ini sesuai dengan studi Halim dan Syukry (2011)15 bahwa ketika lembaga membahas anggaran milik mereka sendiri, lembaga
Legislatif
Legislatif cenderung
memaksimalkan jumlah anggaran untuk meningkatkan penghasilannya, serta kepentingan jangka pendek lainnya. Makna lain, pada tataran individu, agar menjadi anggota DPRD adalah menjadi “pahlawan”, “orang terpandang” Nagari. Jika anggota DPRD berhasil memperjuangkan anggaran untuk kampung halamannya, maka namanya menjadi disebut-sebut (“harum”). Anggota DPRD laksana “orang budiman” yang baik hati 15
Lihat Bab II
143
serta suka membagi-bagi hadiah (anggaran bantuan sosial dan alokasi pembangunan infrastruktur). Beragam makna seperti tersebut di atas, yang kemudian sebagai penyebab euforia Caleg di Nagari-Nagari. Signifikansi pengaruh OTM dalam Pemilu Legislatif dapat di lihat dari informasi yang diungkap berdasarkan pengalaman anggota DPRD Nirman dan Danof. Danof dan Nirman16 menjadi anggota DPRD Kab.Agam periode tahun 2004-2009, dan 2009-2011. Untuk terpilih, Nirman mendatangi KAN Nagari P. Nirman mendatangi Nagari P, karena di samping memiliki suara, Nagari ini tidak memiliki Caleg. Nirman berasal dari Nagari C. Di Nagarinya, suara telah terpecah akibat banyak jumlah caleg yang mencalonkan diri. Di Nagari P, Ketua KAN, menanggapi maksud dan tujuan Nirman, kemudian mengumpulkan seluruh “urang nan ampek jinih” Nagari untuk kumpul bermusyawarah di balai pertemuan adat. Dalam musyawarah tersebut, Nirman diundang untuk ikut serta. Dalam musyawarah tersebut, Nirman meminta urang nan ampek jinih agar mendukungnya dengan memberi suara mereka pada diri dan partainya dalam Pemilu Legislatif mendatang. “Urang nan ampek jinih” bersama KAN menyatakan sanggup untuk memenuhi keinginan Nirman, namun jika terpilih, Nirman harus memperjuangkan alokasi anggaran buat jorong dan Nagari P. Lantas, mirip Musrenbang Nagari, seluruh peserta mengemukan usulnya, hasilnya adalah daftar panjang usulan. Nirman tidak dapat menyanggupi seluruh usulan tersebut. Maka, tawar menawar pun dilakukan. Hasil akhirnya, kesepakatan dicapai bahwa yang harus diperjuangkan Nirman selama masa jabatannya, jika terpilih, adalah bebera usulan yang membutuhkan dana besar, seperti jalan Nagari P, Irigasi, sarana dan prasarana Sekolah. Dengan catatan, untuk jalan, dan irigasi cukup sekali di aspal dan diperbaiki selama masa lima tahun jabatan Nirman. Sedangkan usulan lainnya, seperti sarana dan prasarana sekolah serta kesehatan, paling tidak, ada satu usulan yang diperolah Nagari P. Akhirnya, musyawarah mencapai mufakat. Diputuskan suara Nagari P, akan dialirkan untuk mendukung Nirman dan partainya. 16
Danof dan Nirman, bukan nama sebenarnya. Informasi ini disarikan dari informan Danof yang pada tahun 2004 -2009 merupakan anggota DPRD Kabupaten Agam (kini Danof tidak menjadi anggota DPRD), dan untuk Nirman disarikan dari wawancara dengan beberapa anggota Nagari P, Jorong L. Berada dalam wilayah Daerah Pilihan IV. Nirman, telah dua priode menjadi anggota DPRD, mulai dari 2004-2009,hinga periode 2009-2014.
144
Selanjtutnya, KAN beserta “urang nan ampek jinih”, kemudian menyebarluaskan hasil kesepakatan tersebut secara berjenjang, kepada masyarakat Nagari-Jorong P melalui mamak rumah dan mamak kaum, dan selanjutnya menyampaikannya pada anggota kelompok genealogis yang masuk dalam DPT. Hasilnya, hampir seluruh suara jorong di berikan kepada Nirman. Sampai saat diwawancarai, Nirman telah masuk periode kedua menjabat sebagai anggota DPRD Kab.Agam, dengan dukungan dari Nagari P. Ketika wawancara dilakukan terhadap Nirman, sambil Tanya-jawab berlangsung beliau mengajak untuk mengelilingi Nagari P. Saat berkeliling, Nirman menunjukkan hasil usulannya yang kemudian masuk APBD dan telah pula dialokasikan pada Nagari P, yakni seperti Jalan Nagari, Irigasi, Jembatan, sarana dan prasarana sekolah, jalan usaha tani. Manuver Nirman, juga dilakukan oleh Danof. Hanya saja, pada Nagari yang berbeda, Danof mengunjungi “urang nan ampek jinih” di Nagari PT. Nagari ini mempunya lokasi yang berbeda dengan Nagari P, tempat Nirman meminta suara dukunga. Di Nagari PT ini juga, tidak terdapat Caleg yang akan didukung oleh unsur OTM. Dibantu oleh istrinya, yang sedang bertugas menjadi Dokter Puskesmas, Danof mendatangi tokoh adat, kemudian meminta dukungan suara dari nagari PT. Sebagai tindak lanjut, Danof kemudian diundang oleh KAN untuk bermusyawarah. Dari hasil musyawarah kemudian menghasilkan mufakat, di mana isinya hampir sama dengan perjanjian Nirman di Nagari P. Hasil dari musyawarah kedua informan dengan unsur OTM tersebut, terbukti perolehan suara dari Nagari P untuk Nirman dan Nagari PT untuk Danof kemudian meningkat. Hampir sepertiga penduduk jorong dan Nagari memilih Nirman dan Danof, sehingga terpilih menjadi anggota DPRD. Lebih lanjut seperti ungkapan informan berikut ini; “Kalau wakatu dulu ambo maminta suaro ka Ninik-Mamak di Nagari PT tu. Kebetulan, istri ambo bertugas manjadi dokter Puskesmas di sinan. Caronyo mode tu, awak basuo jo NinikMamak, bamusyawarah tibonyo. Dek inyo a nan katuju, mampu
145
awak memperjuangkan basapakek kami jadinyo. Hasilnyo, hampir separuh suara dari Nagari tu ambo dapek17” (Danof) “Wakatu ka pemilu tu, urang partai tu (Caleg) datang ka jorong kami, maminta suaro tibonyo. A dek KAN, inyo cadiak. Ketua KAN kami tuh bekas Rektor “IB”. diundangnyo Ninik-Mamak disiko, tamasuk ulama dan cadiak pandailah. Bamusyawarah mereka di Balai Pertemuan Nagari. Katiko tu disabuiklah, kami butuah ikoiko. Kami butuh jalan diaspal, irigasi, ado barapolah saat itu. Inyo berjanji memenuhi salamo wakatu 5 tahun. Hasilnya jalan L telah di aspal, irigasi pun alah rancak.18” (Informan MA) Menurut Manan (1995), signifikansi pengaruh OTM dalam Pemilu Lembaga Legislatif dapat dipahami dengan tiga karakteristik, pertama, NagariNagari dapat dianggap laksana Negara-negara kecil (republik mini yang otonom). Di dalamnya terdapat kepemimpinan yang beragam, yang ditandai oleh adanya pejabat resmi, para spesialis (adat, agama, dan cendikia), terdapat dewan-dewan, mulai dari tingkat paruik (Tungganai), kaum (Datuk Kaum), suku (Datuk Suku) dan Nagari (Wali Nagari). Rakyatnya mendelegasikan sebahagian kebebasan dan kekuasaannya untuk rela di atur oleh dewan-dewan dan pemimpin tersebut. Segala permasalahan dimusyawarahkan secara bertingkat menurut tingkatan dewan, dengan dewan Nagari sebagai kekuasaan tertinggi (KAN). Pada pemimpin dan dewan-dewan tersebut memiliki masa kadaluarsa (rotasi pemimpin dan dewan) tidak berlangsung seumur hidup. Karakterisitik kedua, sistem OTM berlaku azas demokrasi. Semua masalah dirundingkan dengan musyawarah mencapai mufakat. Kawasan otoritas mencakup tiga ranah, yakni adat, agama dan ranah pengetahuan lainnya. Maka, kemudian dikenal dengan istilah tiga tungku sajarangan. Karakterisitik ketiga, berbagai otoritas yang jamak tersebut terdesentralisasi, baik antara Kaum, Paruik, Suku, maupun di antara ranah Agama
17
Waktu dulu (masa kampanye) saya meminta (dukungan) suara dari ninik-mamak di Nagari PT. Kebetulan istri saya waktu itu bertugas di Puskesma PT. Caranya ya kami bertemu dengan ninikmamak PT itu, kemudian dia menyampaikan permintaannya. Kalau mampu kita memperjuangkan kesepakatan bisa dicapai. Hasilnya, hampir separuh dari Nagari itu yang saya dapatkan. 18 Waktu Pemilu itu, orang partai datang ke jorong kami, meminta suara lah maksudnya. Olek ketua KAN kami, dia cerdas orangnya mantan Rektor IB, diundangnya seluruh ninik-mamak, ulama dan cerdik pandai. Bermusyawarahlah mereka di balai pertemuan. Dalam Musywarah itu disebutlah kebutuhan kami. Kami butuh ini-ini. Jalan jorong diaspal, irigasi dan ada beberapalah saat itu. Dalam pertemuan itu dia berjanji akan memperjuangkannya selama 5 tahun. Hasilnya, jalan ke jorong L sudah diaspal dan irigasi sudah bagus.
146
(Alim Ulama), Adat (Ninik-Mamak) dan ranah pengetahuan lainnya, selain ranah pengetahuan adat dan agama (Cendekiawan). Pada ciri khas pertama, bahwa Nagari-Nagari laksana Nagari mini, sesuai dengan fakta empiris penelitian ini. Caleg yang berasal dari Nagari IV angkek, misalnya, akan sulit mendapat dukungan suara dari Nagari CKL, kecuali dengan melakukan musyawarah bersama “urang nan ampek jinih” seperti contoh kasus Danof dan Nirman. Nirman dari IV Angkek, meminta suara ke Nagari P, sedangkan Danof dari IV angkek juga, meminta suara ke Nagari PT, keduanya terlibat dalam perjanjian politik bersama OTM. Hanya saja, keberhasilan mereka ditopang oleh ketiadaan Caleg dari kedua jorong tersebut. Pada jorong dan Nagari yang memiliki Calegnya sendiri, upaya yang dilakukan Danof dan Nirman akan sulit berhasil. Nirman, dapat duduk menjadi anggota DPRD selama dua periode (2004-2009 dan 2009-2014) Karena dukungan suara utama Nagari P yang berjumlah lebih dari 2000 suara. Nagari P, selama dua Pemilu Lembaga Legislatif tersebut tidak memiliki Caleg. Berbeda dengan yang dialami Danof, yang mana pada Pemilu Legislatif yang berlangsung pada tahun 2009, tidak terpilih kembali. Hal ini disebabkan, Nagari PT tidak lagi memberikan suaranya kepada Danof, karena pada Pemilu Lembaga Legislatif tahun 2009 ini mereka memiliki beberapa calon dari anak Nagari yang hendak di dukung untuk menjadi anggota DPRD. Di samping itu, istri Danof yang semula banyak membantu, tidak lagi bertugas di Nagari PT. Indikasi kuatnya pengaruh OTM juga terlihat pada ciri khas ketiga dari OTM Minangkabau, yakni terdesentralisasinya masing-masing ranah adat, agama dan pengetahuan. Pada ranah adat, kekuasaan terdesentralisasi pada tingkatan kelompok genealogis matrilineal seperti rumah, kaum, suku dan Nagari. Desentralisasi kekuasaan ini mengakibatkan munculnya Caleg dengan dukungan masing-masing tingkatan kelompok genealogis matrilineal tersebut. Inilah yang menyebabkan “euforia Caleg” karena merupakan konsekuensi logis dari adanya desentralisasi kekuasaan berbagai ranah dan kelompok genealogis matrilineal. Faktor penentunya kemudian adalah ciri khas kedua dari OTM tersebut yakni kemampuan mewujudkan musyawarah mufakat. Pada Nagari Tabek Panjang, hal ini terbukti gagal, karena ketidakmampuan WaliNagari, KAN dan kelompok
147
genealogis
matrilineal
(Ninik-Mamak
rumah,
kaum
dan
suku)
untuk
bermusyawarah mencapai mufakat dalam menentukan bakal calon Legislatif yang akan didukung dan dipilih bersama. Mekanisme adat dalam memilih pemimpin seperti proses “dicilakoi”, “raso pareso” itu gagal dalam praktek, sehingga, muncul 12 Caleg dan perolehan suara kemudian terpilah-pilah berdasarkan kelompok genealogis matrilineal, sehingga tidak satu pun dari Caleg tersebut mendapatkan kursi di DPRD. Berlainan dengan jorong dan Nagari lain, seperti yang terlihat dalam kasus Liryanda di Nagari AP,19 Nirman di Nagari P dan DTH, PR di Nagari CKL. Karateristik OTM kedua, yakni musyawarah untuk mencapai mufakat masih terpelihara dengan cukup baik. Dengan mekanisme musyawarah itu mereka kemudian mencari kata sepakat, kepada siapa suara dukungan akan disalurkan. Sehingga, mereka dapat menempatkan unsur OTMnya duduk menjadi anggota DPRD, menjadi bagian dari BP, serta pada akhirnya, kepentingan mereka dapat terwakili dalam pemerintahan.
7.1.2. Pemilu Kepala Daerah Dan Peran OTM Gejala yang terjadi pada pemilu lembaga Legislatif, dengan varian yang hampir sama, berlaku pula pada Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) di Kabupaten Agam. Hanya bedanya, dalam Pemilukada para Calon Bupati (selanjutnya disebut Cabup) bukan saja representasi OTM dalam Nagari saja, tetapi juga representasi wilayah supra Nagari, seperti Baso, Lubuk Basung, bahkan wilayah Agam Timur dan Agam Barat. Dalam mengkampanyekan dirinya, para Cabup sangat bergantung pada keaktifan OTM dalam Nagari dan Supranagari, terutama untuk membangun narasi dan musyawarah. Relasi di antara keduanya, Cabup dan OTM, dalam Pilkada bukan saja relasi pragmatis di mana prinsipal yang mendelegasikan kekuasaannya pada agen agar bertindak mewakili kepentingan prinsipal (Lupia & McCubbins, 2000;20 Abdullah, 2006),21 dengan membuat kebijakan-kebijakan belanja
19
Lihat kasus peran Liryanda, Arthur Lupia & Mathew McCubbins, 2000. Representation or Abdication? How Citizens Use Institution Help Delegation Succed. dalam European Journal of Political Research 37:291-307. 20
148
anggaran yang dialokasikan pada mereka sebagai pemilih (von Hagen, 2004). Namun, lebih dari itu, mereka adalah representasi dari paruik, kaum, kampung, suku, Nagari, terutama sekali representasi “darek” (wilayah Agam Timur) dan “rantau” (wilayah Agam Barat). Dua periode Pilkada, 2005 dan 2010 menunjukkan bahwa Bupati yang terpilih berasal dari Agam Timur (Agam Tuo) dan Wakil Bupati berasal dari Agam Barat. Terdapat hukum tidak tertulis, bahwa Bupati “harus” berasal dari Agam Timur, dan Wakil Bupati “bolehlah” dari Agam Barat. Nilai kultural ini berkenaan dengan sejarah adat Minangkabau, bahwa tempat asalnya orang Minangkabau adalah “darek” (darat) yakni luhak nan tigo (Luhak Agam, Luhak 50 Kota dan Luhak Tanah Datar). Seiring dengan pertambahan penduduk, serta daya tampung Nagari-Nagari di darek terbatas, maka sebahagian penduduk Nagari pergi merantau. Proses merantau ini, semula dilakukan pada daerah-daerah terdekat, diluar dari luhak nan tigo, seperti Solok, Padang, Sawahlunto dan seterusnya. Dari perantauan “dekat” dengan darek, kemudian berubah menjadi merantau “jauh”, seiring perubahan teknologi transportasi. Anak Nagari kemudian merantau ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, bahkan ke mancanegara. Dalam pepatah Minangkabau, kemudian muncul nilai baru, bahwa Alam Minangkabau itu terdiri dari darek dan rantau. Darek adalah luhak nan tigo, daerah asal etnis Minangkabau, sedangkan rantau merupakan daerah tanah (negeri) tempat mencari penghidupan (Naim, 1979; Pelly, 1984). Dengan pemahaman tersebut, sesungguhnya alam Minangkabau luasnya hampir seluas Dunia, mengikuti sejauh orang Minangkabau berada di rantau (Naim, 1984; Kato, 1984; Pelly, 1994). Meskipun Alam Minangkabau terdiri dari darek dan rantau, darek menganggap dirinya lebih tinggi, karena merupakan tempat Orang Minangkabau berasal. Pada tahun 1993, Ibukota Kab.Agam pindah dari Bukittinggi ke Lubuk Basung. Sebabnya, Bukittinggi mekar memisahkan diri dari Kab.Agam menjadi wilayah Kota sendiri. Sedangkan Agam Tuo, mekar menjadi Kab.Agam yang kini wilayahnya mencakup Agam Barat (lihat Bab V). Agam Barat terletak di pesisir, 21
Syukri Abdullah dan Jhon Andra Asmara, 2006. Perilaku Oportunistik Lembaga Legislatif Dalam Penganggaran Daerah, Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik, Simposium Akutansi Nasional, di Padang, 23-26 Agustus, 2006.
149
dan merupakan bagian dari Alam Rantau, dengan pengertian tersebut di atas. Karena menganggap wilayahnya (kebudayaan) lebih tinggi, rakyat wilayah Agam Timur tidak menginginkan di pimpin oleh “orang rantau”. Inilah yang menjadi penyebab, semenjak Pemilukada langsung, Bupati selalu berasal dari Agam Timur (AgamTuo). Bukti lain yang menunjukkan bahwa politik Kewilayahan, Wilayah Agam Timur dan Agam Barat, sangat berperan dalam Pemilukada dapat dilihat dalam kasus Liryanda22 ketika ikut mencalonkan diri dalam Pemilu menjadi Calon Kepala Daerah. Liryanda adalah unsur OTM, berkedudukan sebagai cendekia, ninik-mamak dalam Nagari di tempat beliau berasal. Nagari asalnya berada dalam wilayah Agam Timur (Agam Tuo). Di samping menjadi unsur OTM, beliau merupakan Pemimpin Cabang salah satu partai Islam terbesar di Indonesia untuk Kabupaten Agam. Dalam Pemilu Legislatif tahun 2009, partai yang dipimpinnya ini menduduki peringkat ketiga dalam perolehan suara (KPU, 2009). Beliau juga telah menjadi anggota DPRD selama dua periode, dari 2004-2009 hingga periode 2009-2014. Dalam masa jabatan dua periode tersebut, Liryanda menduduki jabatan puncak di DPRD. Dengan potensi tersebut, dan perhitungan analisis dari tim pakar partainya bahwa Liryanda dapat dikategorikan sebagai “calon jadi”.23 Maka, pada Pemilu Kepala Daerah yang dilangsungkan pada tahun 2010 beliau mencalonkan diri menjadi Calon Bupati. Untuk memenangkan Pemilukada tersebut, beliau memilih calon wakil bupati yang berasal dari Agam Barat, dengan pertimbangan representasi wilayah tersebut di atas. Calon Wakil Bupati yang “digandengnya” ini, adalah incumbent (sedang menjabat wakil Bupati) di Kabupaten Agam. Harapannya tentu, dapat memakai sumber keuangan Daerah dan fasilitas kedudukan beliau. Untuk mencapai maksud tersebut, pinangan disampaikan pada calon wakil Bupati incumbent. Negosiasi dilakukan terhadap calon Wakil Bupati. Namun, sang calon incumbent menginginkan beliaulah yang menjadi menjadi calon Agam I (calon Bupati). Tawaran ini diterima oleh tim Liryanda, sehingga kemudian
22 23
Informasn kunci dalam penelitian ini, bukan nama sebenarnya. hasil wawancara dengan Liryanda
150
Liryanda menjadi calon wakil Bupati. Ketika Pemilu berlangsung, dalam putaran pertama, Liryanda dan pasangannya langsung kalah.24 Kekalahan Liryanda, seperti telah dijelaskan di atas, terkait dengan peran OTM. Pertama, Secara kultural aneksasi antara Agam Timur khususnya Agam Tuo dengan wilayah Agam Barat, sampai saat ini masih belum terintegrasi, secara budaya. Secara historis kedua wilayah memiliki lingkungan alam dan konteks sosial yang berbeda. Agam Barat, secara kutural adalah Rantau serta berada di pesisir, sedangkan Agam Timur (Agam Tuo) adalah darek, yang dipercaya tempat asalnya orang Minangkabau. Rantau memiliki makna subkultur, sedangkan Luhak atau darek lebih tinggi derajatnya.25 Menurut Navis (1984), darek lebih tinggi peradabannya dari daerah pesisir. Oleh karenanya, secara kultur masyarakat darek di Agam Tuo dan masyarakat rantau di belahan Barat tidak dapat disamakan dan dipersamakan. Kedua, berdasarkan data DPT Kabupaten Agam, jumlah suara Agam Timur (Agam Tuo) lebih unggul dari Agam Barat. Data DPT Agam Timur menunjukkan jumlah 170.439 suara, sedangkan Agam Barat memiliki DPT sebanyak 125.254 suara. Jika membandingkan jumlah suara sah dan yang memakai hak suaranya, maka diperoleh jumlah 118.061 untuk Agam Timur dan 85.914 untuk Agam Barat. Jika Liryanda menang dalam pemilukada, maka Agam Timur (Agam Tuo) akan dipimpin oleh Bupati dari Agam Barat. Hal ini sama sekali tidak diinginkan oleh masyarakat Agam Tuo. Seperti ungkapan informan berikut ini; “Awak ko rang Agam, salah satu luhak asal urang Minang. Jan sampai awak ba mamak ka mamak urang. Bantuak indak ado calon pamimpin se awak ko. Indak namuah bantuak tu …26” (Informan Tokoh adat) Pengaruh OTM pada pemilukada bukan hanya ciri khas dua wilayah tersebut (AgamTimur dan Barat) saja, namun, juga antar Kecamatan dan Nagari. 24
Disarikan dari wawancara dan observasi terlbat bersama beliau. Dan wawancara beberapa sumber yang dekat dengan beliau dan partainya. 25 Hadler (2010) memiliki pendapat berbeda. Menurut nya, justru darek atau daerah asal orang Minangkabau sebagai tempat para “kerbau”, karena mereka yang sebagai pemenang yang pergi dan menetap di Rantau. Mereka yang tinggal adalah kerbau. 26 Kita ini orang Agam (tuo), salah satu luhak yang menjadi asal orang Minangkabau. Jangan sampai kita ber mamak (memiliki pemimpin) pada mamak orang lain (pemimpin yang bukan berasal dari Agam Tuo,red). Seperti tidak ada calon pemimpin koita ini. Tidak bisa seperti itu
151
Gejala ini terlihat dalam Pemilukada 2010 pada Kec. Canduang yakni Nagari Canduang Koto Lawas, Nagari Lasi, Nagari Panampuang, Nagari Bukik Batabuah. Kemudian juga terlihat pada Kec.Baso yakni Nagari Tabek Panjang, Nagari Koto Tinggi, Nagari Salo, Nagari Padang Tarok, Nagari Simarasok dan Nagari Koto Baru (wilayah Kec. Baso). Kedua Kecamatan ini, masuk dalam wilayah Agam Timur dan masing-masingnya memiliki calon Bupati yang ikut dalam Pemilukada 2010. Hasil perolehan suara Kecamatan, menunjukkan seluruh suara Nagari-Nagari (90 persen) disalurkan pada Cabup yang berasal dari Nagari dan Kecamatan mereka. Namun, pada putaran pertama, calon dari Nagari CKL kalah. Karena suara tidak kuorum (50 persen + 1), maka Pemilukada dilanjutkan pada putaran kedua, dari 5 pasangan calon menjadi 2 pasangan calon bupati. Calon pertama, berasal dari Nagari Koto Tinggi (Agam Timur), Calon Pasangan Kedua berasal dari Lubuk Basung, Agam Barat. Di Nagari CKL, dan Sungai Janiah, penyandang OTM seperti “urang nan ampek jinih” membangun beragam narasi; seperti ungkapan informan dari Nagari CKL berikut ini: “Waktu Pilkada putaran pertama kami semua memilih calon X, karena dia dari kampung kami. Tapi waktu putaran kedua, NinikMamak menganjurkan memilih calon yang dari Koto Tinggi….mereka bilang: Bialah awak pilih mamak nan dari Nagari sabalah (Koto Tinggi). Kok inyo bangun kampuangnyo, inyo aspal jalannyo, tantu awak tarikuik juo. Kareno inyo lalu tantu melalui jalan awak ko juo. Indak mungkin aspal rancak disinan, tapi jalan manuju kasinan buruak aspalnyo. Kok inyo pulang kampuang, kan lewaik Nagari awak, tantu tacaliak juo ba a kampuang awak ko…” (informan CKL). Indikasi pengaruh OTM dalam Pemilukada juga dapat dilihat keterlibatan Walinagari. Dari hasil wawancara dengan tim sukses Bupati, WaliNagari menjadi kunci utama yang diharapkan dapat berperan menjangkau mulai dari paruik, Kaum, serta suku. Di Kabupaten Agam, khsusnya serta Sumatera Barat pada umumnya,
terdapat
perkumpulan
walinagari
yang disebut
PERWANA.
PERWANA inilah yang kemudian direkrut untuk menjadi bagian tim sukses. Seperti ungkapan informan berikut ini;
152
“Pacik lu Perwana. Awak undangnyo, awak hetong, kantongkantong suaronyo. Ma nan kantong suaronyo gadang waliNagari nyo awak pacik. Awak agiah nyo tanggung jawab yang bertugas memacik Ninik-Mamak dalam Nagari nyo tu. Jan 82 Nagari tu lo nan awak rekrut. Cukup urang-urang PERWANA, kemudian awak petakan lo. Ma WaliNagari nan senior dan berpengaruh, inyo bisa mempengaruhi waliNagari lain. Kalau zaman kami tu, 10 wali Nagari jadi tim sukses “27 (informan) Dari kutipan di atas, menjelaskan bahwa tidak seluruh Walinagari yang akan di rekrut menjadi tim sukses. Nagari-Nagari tua serta memiliki jumlah DPT besar saja yang menjadi incaran tim sukses. Terhadap dukungan ini, jika Cabup yang didukungnya berhasil terpilih, maka Nagari selalu mendapat alokasi pembangunan yang di danai oleh APBD setiap tahunnya. Menjadi anggota Legislatif dan Kepala Daerah bagi masyarakat Agam bukan hanya bermakna untuk memperebutkan kekuasaan, mendapat jabatan, meningkatkan pendapatan, serta mendapatkan keuntungan pribadi lainnya. Lebih dari itu, ia merupakan representasi dari kepentingan OTM (paruik, kaum, kampuang, Nagari) serta mendapat alokasi anggaran APBD bagi Nagari. Jika peran tersebut tidak dapat mereka mainkan, maka mereka akan di ceme’eh (diejek), dikucilkan, dan tidak akan dipilih untuk periode selanjutnya. Mereka akan dianggap orang gagal menjalankan peran mereka. Jika alokasi anggaran APBD berhasil diupayakan anggota Legislatif dan Kepala Daerah untuk Nagari, maka upaya tersebut sangat dihargai oleh penduduk Nagari 7.2. Peranan OTM Dan BP Dalam Perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, dihasilkan melalui dua ranah yang berbeda. Kedua ranah tersebut adalah ranah perencanaan dan ranah penganggaran. Ranah-ranah ini dibangun di atas landasan normatif UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional, serta UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang ini lantas diikuti oleh peraturan yang menjelaskan petunjuk
27
Pegang dulu Perwana itu, kita undang dia, kita hitung kantong suara yang dia punya. Mana yang memiliki kantong suara yang banyak kita rekrut Walinagarinya.Kita kasih dia tanggung jawab untuk bertugas mempengaruhi Ninik-Mamak dalam Nagarinya. Tidak semua (82) walinagari kita rekrut. Cukup Perwana saja. Kemudian kita petakan, mana walinagari yang senior, mana yang memiliki pengaruh. Kalau zaman kami, cukup 10 Walinagari direkrut menjadi bagian tim sukses.
153
pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis), seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Menteri Keuangan dan turunannya. Dalam ranah perencanaan, dipergunakan pendekatan partisipatif yang kemudian disebut dengan istilah Musrenbang RKPD (Musyawarah Perencanaan Pembangunan, Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Musrenbang dilaksanakan secara berjenjang, dimulai dari jenjang terbawah pemerintahan yakni Musrenbang Desa, Musrenbang Kecamatan dan Musrenbang Kabupaten. Di Kab.Agam, Musrenbang RKPD dimulai dari tingkat pemerintahan terendah yakni Jorong. Dari Jorong kemudian selanjutnya secara berurutan, Musrenbang Nagari, Musrenbang Kecamatan dan Musrenbang Kabupaten. Ranah perencanaan ini, hasil akhirnya adalah RKPD untuk selanjutnya menjadi panduan dalam ranah Penganggaran APBD. Dalam pelaksanaan ranah perencanaan ini, banyak pihak yang terlibat dan memiliki peran yang berbeda-beda. Secara umum, terdapat dua pihak yang memiliki peran utama, yakni pihak OTM dan pihak BP. Pihak-pihak yang berasal dari OTM adalah urang nan ampek jinih yang mewakili kampung (jorong), mencakup mamak rumah, mamak kaum, ninik, bundo kanduang dan Pemuda.Pada level Nagari, terlibat elite Nagari, seperti Walinagari, KAN dan BPRN. Sedangkan dari pihak BP yang terlibat adalah Tim Bappeda sebagai penanggung jawab pelaksanaan Musrenbang, Camat dan perangkat Kecamatan, DPRD, SKPD, UPT Dinas di mana kantornya berada dalam wilayah Kecamatan. Setiap pihak memiliki peran dan porsi masing-masing, setiap pihak juga memiliki ragam peran tersendiri dalam mewujudkan kepentingannya. Berikut adalah tabel peran masingmasing pihak yang terlibat dalam Perencanaan RKPD.
154
Tabel 7.4. Tabel Peran OTM dan BP dalam Perencanaan No
Tokoh/ Aktor
Peran
1
Penanggung jawab menyusun RKPD Memfasiltasi Musrenbang Kecamatan Menjelaskan RPJM, Draft RKPD pada Musrenbang Kecamatn Bersama SKPD, pada forum SKPD, bersepakat hanya mengambil satu usulan dari setiap hasil Musrenbang Kecamatan
BAPPEDA
2
Partisipan Musrenbang Kecamatan dan forum SKPD Pada forum SKPD, membahas bersama Bappeda untuk menetapkan satu usulan Kecamatan yang akan masuk dalam Renja SKPD untuk menjadi RKPD
SKPD (Berikut UPT Dinas)
3
Merekayasa prioritas Hasil Musrenbang Kecamatan Untuk Kosntituennya Sebahagian, tidak hadir dalam Musrenbang Kecamatan, karena tidak ingin berkomitmen bahwa usulan Kecamatan juga usulannya Membawa hasilMusrenbang kampung mereka langsung pada ranah penganggaran. (perannya lihat dalam ranah anggaran)
DPRD
4
Tim Musrenbang Kecamatan
Tim perumus Prioritasisasi Usulan Kecamatan Merubah hasil rumusan prioritas, sesuai dengan kepentingan kampung tim perumus, Terindikasi anggota DPRD bekerjasama dengan Tim Perumus Kecamatan merubah hasil rumusan prioritas sesuai dengan kepentingan Kampung anggota DPRD
(Camat dan Perangkat Kecamatan 5
Elite Nagari
Mengakomodir hanya sebahagian kecil (5 persen) usulan petani pada tingkat Jorong Usulan progam berasal dari kepentingan Elite Nagari (WaliNagari)
(Walinagari, Bamus dan BPRN) 6
Memfasilitasi musyawarah jorong untuk mencari kata sepakat usulan jorong dari kebutuhan paruik, kaum dan jorong. Menitipkan hasil Musrenbang jorong pada salah seorang anggota DPRD yang merupakan anak-kemanakannya dikampung mereka. Menitipkan hasilmusyarah pada elite SKPD yang merupakan orang kampung Menitipkan hasil Musrenbang jorong pada Anggota DPRD yang telah mereka dukung perolehan suaranya Menitipkan hasilMusrenbang mereka pada Bupati,di mana ketika pemilihan, mereka menjad tim sukses untuk wilah Daerah Pilihan mereka. Menjadi partisipan pada seluruh jenjang Musrenbang, namun hanya sebagai aksesioris
Urang Nan Ampek Jinih
Sumber: Data Empiris 2010. Secara normatif, penanggung jawab utama Musrenbang adalah Bappeda Kabupaten. Bekerjasama dengan Kaur Pembangunan Kecamatan, mereka melaksanakan Musrenbang mulai dari tingkat Jorong hingga Kecamatan. Pada tingkat Kabupaten, tanggung jawab penyelenggaraan akan diambil alih kembali oleh Bappeda. SKPD terlibat dalam Musrenbang dalam rangka singkronisasi usulan hasil Musrenbang, diharapkan dengan mengikuti Musrenbang, khususnya pada tingkat Kecamatan dan Forum SKPD, mereka dapat mengakomodir mana usulan yang dapat disingkronkan dalam Rencana Kerja SKPD, dan mana pula yang tidak dapat diakomodir. Sedangkan DPRD, pada Musrenbang Kecamatan, bertindak sebagai wakil dari daerah pilhannya, agar mengetahui usulan yang menjadi
prioritas
Kecamatan
penganggaran APBD.
untuk
dapat
diperjuangkan
dalam
ranah
155
Pada pihak OTM, Musrenbang merupakan arena tempat di mana mereka dapat membicarakan dan membahas kebutuhan mereka. Oleh karenanya, Musrenbang merupakan arena mengungkap kebutuhan dalam bentuk usulan dan sangat mengharapkan untuk mendapatkannya (harok ka dapek). Dari tabel di atas, terlihat bahwa BP (seperti Bappeda dan SKPD) memiliki peran dominan. BP secara otoriter, menetapkan hanya masing-masing satu usulan hasil Musrenbang Kecamatan yang akan diakomodir dalam RKPD dan diperjuangkan untuk masuk dalam APBD. Sehingga, usulan petani yang berasal dari Musrenbang Jorong terpinggirkan. Kesepakatan SKPD yang hanya mengambil atau menetapkan satu usulan prioritas pertama dalam hasil Musrenbang Kecamatan, hanya strategi BP agar mereka tidak melanggar UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengharuskan penganggaran APBD mengakomodir kepentingan Rakyat melalui perencanaan partisipatif. Kesepakatan BP dalam forum SKPD untuk memberi “Alokasi” satu usulan untuk setiap hasil Musrenbang Kecamatan, berakibat pada kecilnya kesempatan untuk mendapatkan “kue” APBD, sehingga ranah perencanaan menjadi dinamis dan pertarungan (persaingan) tidak terhindarkan. Dinamika ranah perencanaan, pada sisi OTM, juga ditandai dengan persaingan antara sesama OTM dengan nuansa filsafat alam (mengenai filsafat alam lihat Bab II). Dalam filsafat alam ini, wajib bagi individu yang menjadi anggota kelompok (secara berjenjang dunsanak saparuik/ satu rumah, sekaum, sekampung, dan satu Nagari) dipertahankan (dilindungi, dipagar, dibangun) agar kadar kedudukannya tidak menjadi rendah dari yang kelompok genealogi matilineal yang lain. Usaha mempertahankan paruik, kaum/kampung, suku dan Nagari (sesuai bilik ketek, bilik gadang) harus diusahakan bagaimana pun caranya. Jika gagal dengan jalan “biasa”, dibolehkan mengambil jalan yang “tidak biasa”.28 Ketika
jalan
“tidak
biasa”
diambil,
maka
diharuskan
untuk
pandai
menyembunyikan agar kerabat tidak mendapat malu29 (Navis, 1984). 28
Pepatah menyebutkan Tak lalu dandang di aia, di gurun ditanjakkan juo (Tak lalu biduk di air, di gurun tanjakkan juga) 29 Papatahnya menyebutkan, “ Jiko mamakan habih-habih, jiko manyuruak ilang-ilang” (Kalau makan harus betul-betul habis, jika bersembunyi betul-betul hilang) Karena kalau tidak sampai habis atau sampai hilang akan ketahuan “jalan tidak biasa” tersebut.
156
Pendapat Navis (1984; 82-83) tersebut masih cukup relevan dengan pelaksanaan Musrenbang di KabAgam. Seperti akan dijelaskan pada bab selanjutnya, bahwa pelaksanaan Musrenbang Nagari berjalan secara normatif. Hasil Musrenbang yang tercantum dalam dokumen Musrenbang Nagari, bukanlah merupakan hasil Musrenbang Nagari, tetapi hasil manipulasi elite Nagari. Elite Nagari tersebut adalah Walinagari, KAN dan BAMUS/BPRN. Indikasinya, banyaknya usulan program yang tercantum dalam dokumen musrenbang Nagari dialokasikan untuk Nagari dan jorong di mana para elite tersebut berasal. “Jalan tidak biasa” yang dilakukan para elite pada Musrenbang Nagari, melalui falsafah alam, hasilnya tidak mudah disembunyikan. Salah satu upaya dengan tidak menyebar luaskan dokumen hasil Musrenbang, dan memperlakukan hasil Musrenbang layaknya “rahasia” pada masyarakat Nagari, untuk tujuan menghilangkan jejak manipulasi elite dalam dokumen Musrenbang, tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini dikarenakan, pada Musrenbang tingkat Kecamatan, “jalan tidak biasa” elite Nagari ini diketahui oleh masyarakat jorong dari anggota masyarakat yang bekerja di Kantor Camat, atau dari anggota DPRD yang berasal dari jorong (kampung) usulannya di singkirkan. Kemungkinan lain diketahuinya “jalan tidak biasa” elite Nagari adalah, berasal dari partisipan Musrenbang Kecamatan, yang kemudian tidak melihat usulan yang berasal dari Nagarinya. “Musrenbang Nagari tu kalau dijadikan patokan, kalau dikecekkan demokratis indak demokratis bana do. Usulannya ba a ka lamak dek WaliNagari senyo. Tantu awak pandai juo mambaca, dari dokumen Musrenbang tu. Awak sandiangkan dokumen Musrenbang Jorong, jo Nagari lah tabaco disinan karajo no. Atau bantuak kawan, kan kami hadir tu di Musrenbang Kecamatan, nyo caliak dokumen murenbang Nagari inyo bahas jo urang kampuangnyo30” (Informan DPRD) Pada Musrenbang Kecamatan, menggunakan “jalan lain” itu, dengan cara yang berbeda terjadi juga. Seperti cara-cara yang dilakukan Nirman31, yakni dengan melakukan manipulasi hasil Musrenbang Kecamatan. Nirman adalah salah 30
Musrenbang Nagari itu kalau dijadikan patokan, tidak demokratis juga. Usulan hasil Musrenbang Nagari itu “sesukanya” WaliNagari aja. Tentu kita pandai juga membaca, dari dokumen Musrenbang itu. Kita bandingkan dengan hasil Musrenbang jorong-jorong udah terbaca kerjaan dia tu. atau seperti kawan yang menemukan hasil Musrenbang Nagarinya, yang kemudian dia bahas bersama orang kampungnya. 31 Nama sengaja disamarkan (bukan nama sebenarnya).
157
seorang anggota DPRD32. Terpilih menjadi anggota DPRD, dengan jumlah suara 977, dari 6.388 jumlah perolehan suara parpolnya di seluruh Kabupaten Agam. Basis utama suara sehingga beliau terpilih, berasal dari Jorong di mana beliau berasal yang menurut data DPT KPU Agam berjumlah 2.247 suara sedangkan data DPT Nagari tempat asalnya berjumlah lebih dari 9000 suara. Dari Nagarinya ini, terdapat satu anggota DPRD yang lain, berasal dari partai politik yang berbeda. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, Nirman dipilih oleh masyarakat pemilih jorongnya dengan harapan dapat menarik sebanyak mungkin alokasi anggaran APBD untuk dialokasikan pada Jorongnya. Untuk memenuhi harapan dari peran yang diberikan pemilih tersebut, Nirman di antaranya melakukan dengan cara memanipulasi hasil Musrenbang kecamatan di mana kampungnya menjadi bagian wilayah dari kecamatan tersebut. Pemanipulasian hasil Musrenbang Kecamatan dilakukan Nirman bekerja sama dengan perangkat Kecamatan yang berasal dari Jorong yang sama dengannya. Sebagai anggota DPRD yang dekat dan berkantor di pusat Kabupaten dan terlibat dalam penganggaran, Nirman paham bahwa prioritas satu hasil Musrenbang Kecamatan sangat strategis, atau memiliki peluang besar untuk di akomodir dalam APBD, sebagaimana ungkapannya berikut ini; “…yang penting, prioritas 1,2,3, hasil Musrenbang Kecamatan sudah dipastikan dapek (dapat)…kalau tidak nomor 1, mungkin nomor 2 kalau tidak nomor 3. Biasanya untuk APBD Kabupaten Agam lah jaleh (sudah jelas)” (Nirman) Informasi ini, telah menjadi pengetahuan bersama lembaga Eksekutif dan lembaga Legislatif bahwa karena keterbatasan dana, TAPD/Bappeda hanya mampu mengakomodir satu usulan hasil Musrenbang Kecamatan pada prioritas satu hingga tiga untuk dianggarkan dalam APBD. Jumlahnya tergantung kemampuan keuangan Daerah. Jika jumlah keuangan memungkinkan, maka seluruh prioritas satu sampai dengan tiga dimasukkan dalam RAPBD. Namun, jika keuangan tidak memungkinkan, maka satu dari salah satu prioritas hasil
32
Periode 2004-2009. Penelitian ini mulai dilakukan dari awal 2009 hingga awal tahun 2010
158
Musrenbang Kecamatan saja yang akan diambil, seperti ungkapan informan berikut ini; “…saya sudah berusaha untuk menerapkan perencanaan partisipatif, saya pernah ikut program yang perencanaan partisipatif oleh USAID itu, tahun 2007. Jadi saya, sudah usahakan, namun tekanan politik ini besar, dan keuangan kita juga tidak besar. Sehingga, kita usahakan 1 s/d 3 prioritas hasil Musrenbang Kecamatan tersebut diakomodir dalam APBD. Paling tidak satu. Seperti tahun ini, kita hanya mampu mengakomodir satu usulan perkecamatan….Namun, saya juga udah beri syarat bahwa seluruh program harus terakuntabilitas…mengapa programnya diterima dan apa alasannya dia ditolak” (Tim Bappeda dan TAPD).
Memanipulasi hasil Musrenbang Kecamatan memungkinkan untuk dilakukan karena Nirman menjadi salah satu Tim Perumus hasil Musrenbang Kecamatan. Jabatan itu sengaja diberikan pada masyarakat agar sebagai anggota DPRD
yang
terlibat
pembahasan
APBD
nantinya
diharapkan
ikut
memperjuangkan hasil yang telah dirumuskan bersama pada ranah penganggaran APBD, namun, justru kedudukan ini menjadi peluang bagi beliau untuk mendahulukan kepentingan jorong (kampung) dan Nagarinya, sebagai mana ungkapannya berikut ini; “…a.. kami yang anggota Dewan dari Kec.Baso tu kadang di satokan dalam tim tu (tim perumus hasil Musrenbang)”…”bagi Anggota Dewan, nan ma nan untuak jorong atau Nagarinyo di masuakkannyo , ha ha ha. a di situlah persaingan (Musrenbang) di tingkat Kecamatan, belum lagi di tingkat Kabupaten tu banyak ditentukan panggar Dewan lai33 (Panitia Anggaran DPRD, red) (Nirman) Dengan peran istimewa sebagai tim perumus, Nirman memiliki kesempatan bermanuver. Manuver tersebut dilakukan dengan beragam cara, mulai dari mengarahkan diskusi, mengatur siasat sebelum dilakukannya Musrenbang, sampai pada akhirnya, jika kedua proses tersebut terkendala, manuver pamungkas
33
Kami anggoat DPRD ini sering dijadikan tim perumus hasil musrenbang Kecamatan. Bagi anggota DPRD, mana usulan yang berasal dari Jorong dan Nagarinya itu dahulu yang letakkannya dalam prioritas. Belum yang Musrenbang ditingkat Kabupaten, itu sudah banya ditentukan oleh badan angggaran DPRD lagi.
159
adalah menukar usulan yang dalam Musrenbang telah disetujui menjadi perioritas ketika di ketik dan hendak dikirim ke Bappeda untuk dibahas pada Musrenbang tingkat Kabupaten Agam. Beliau mengungkapkannya sebagai berikut; “ Tapi bisa di masukkan di belakang ketika akan di ketik di Kantor Camat. Kan Tim perumus dan peserta Musrenbang tu, ketika mengetik hasilnyo, indak satonyo do. Beko bisa di tukarkan program dan prioritas ketika di ketik di Kantor Camat…..ya, bisalah tu. Kami pernah mengalami model itu. Kami nggak ada mengusulkan dari situ. Tapi kalau kami minta model itu bisa. Orang siko minta tuka beko baliak bisa tu”.34 (Nirman) Setelah hasil usulan Musrenbang Kecamatan yang sesuai dengan keiginannya tercapai, langkah selanjutnya adalah memperjuangkannya dalam proses Penganggaran. Dalam proses penganggaran, dokumen manipulatif hasil Musrenbang Kecamatan tersebut kemudian dititipkan pada anggota Panitia Anggaran (Panggar)35, baik dengan teman satu partai, maupun dengan teman berbeda partai Anggota Panggar ini biasanya hanya teman dekat karena sering pergi dan pulang bersama dengan memakai Bus antar jemput khusus anggota DPRD. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Kabupaten Agam terbagi dalam dua wilayah yang berbeda secara ekstrim, Agam Timur dan Agam Barat.
Ketika terjadi
pemekaran wilayah, di mana semula Bukittinggi menjadi ibukota kabupaten Agam dan kemudian mekar menjadi Kotamadya sendiri, maka ibukota Kabupaten Agam dipindahkan ke Lubuk Basung yang terletak di Agam Barat. Praktis seluruh kegiatan dan kantor pemerintahan dan DPRD berada di Lubuk Basung. Karena letak kedua wilayah, Agam Timur dan Barat, berjauhan maka dibuat kebijakan bagi anggota dewan diberikan tunjangan sewa rumah dan Bus antar jemput yang berangkat dari kota Bukittinggi setiap pagi ke Lubuk Basung pada pagi hari, sekitar jam 8.00 WIB dan kembali pada sore hari ke kota Bukittingi jam 16.00. WIB. Hampir seluruhnya anggota DPRD berasal dari Agam Timur memilih angkutan pulang-pergi ketimbang menyewa rumah di Lubuk Basung.36
34
Tapi bisa dimasukkan di belakang ketika akan di ketik di kantor Camat saat ini namanya Badan Anggaran atau Banggar 36 Pada periode 2009-2014, mobil angkutan ini ditiadakan. 35
160
Perjalanan dari Bukittinggi menuju Lubuk Basung ini memakan waktu sekitar 1 s/d 2 jam diperjalanan. Perjalanan rutin ini menjadi ajang sosialisasi bagi anggota DPRD sehingga dekat satu sama lainnya. Sering pula, perjalanan di dalam bus ini menjadi “rapat parlemen berjalan”, karena banyak agenda rapat dibicarakan dan dibahas di dalam bus tersebut, sehingga ketika sampai di ruang sidang agenda telah matang. Bagi Nirman, “rapat parlemen berjalan” ini menjadi salah satu tempat beliau menitipkan “bawaan”nya yakni hasil Musrenbang Kecamatan yang ingin ia perjuangkan agar diakomodir dalam APBD. Beliau memiliki manuver tersendiri, pada siapa anggota DPRD yang dapat beliau pengaruhi. seperti ungkapannya berikut ini: “…kita tahu, angota dewan itu kita maklum tingkat SMA. SMA nya swasta anu lagi. Tapi kalau kita pandai-pandai mmpengaruhinya, contohnya Bob Panggar, kita satu partai, saya titip. Besok harus itu masukkan salah satu ….contohnya Pak PSB di Canduang, ambo di Baso kan. Misalnya pak PSB Panggar. ambo minta satu. Alokasi Baso iko nan ambo suruh (alokasi Baso ini yang saya suruh). Ambo ambiak (ambil) hasil Musrenbang Kecamatan, ambo paragaan ka (saya tunjukkan kepadanya) Panggar tu. Ko ha (ini dia), hasil Musrenbang Kecamatan. Iko (ini) lokasi nan ambo mintak. Sasuai dengan hasil no 1,2,3. Disitu ambo pentingnyo mencaliak (melihat) tadi. Kalau lah menetapi 1,2,3 lah dapek (dapat) peluang”. (Nirman) Manuver lain dalam rangka
memperjuangkan hasil Musrenbang
Kecamatan di mana kampungnya berada, dapat dilakukan dengan “barter” program antar sesama anggota DPRD yang berbeda fraksi dan komisi. Salah satu yang pernah dilakukan Nirman adalah dengan melakukannya bersama Danof37 yang merupakan anggota Banggar38 dan juga duduk di Komisi A39. Partai Danof memiliki program melahirkan 100 mubaligh yang ingin di titipkan pada SKPD (Dinas) Pendidikan. Danof telah membahasnya dengan Kepala Dinas Pendidikan, dan beliau setuju. Namun, ketika membahas program tersebut, Dinas Pendidikan akan berhadapan dengan Nirman yang duduk di komisi C sebagai mitra kerjanya. Nirman dapat saja tidak setuju dengan program tersebut, dengan memaakai berbagai alasan, yang berakhir gagalnya program partai tersebut. Oleh karena itu, 37
Lihat manuver Danof. Danof merupakan nama samaran. Badan anggaran, organisasi kerja DPRD yang terlibat langsung membahas anggaran APBD. 39 Komisi yang memiliki mitra kerja dinas-dinas yang memiliki program peningkatan. rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, gedung, irigasi dan sejenisnya. 38
161
untuk mengamankan program partai tersebut, terjadilah tawar menawar, Nirman tidak akan mengganggu program Partai Danof, namun Danof harus memasukkan dan mempejuangkan usulan program Nirman agar masuk dalam APBD. dengan demikian kesepakatan pun terjadi.40 Setelah keberhasilan upaya Nirman dalam memperjuangkan kepentingan Kampung, Daerah Pilihan berhasil di akomodir dalam APBD, program tersebut harus tetap dikawal. Sebab, ketika program telah berhasil masuk dalam APBD, masih besar kemungkinan pelaksanaannya bergeser ke kampung atau Daerah Pilihan lain. Seperti yang di ungkapkan Nirman berikut. “Kalau di Kecamatan Baso ambo nan paling gadang. Dari tigo urang, ambo mandapek 560 juta. Tapi yang terealisasi, memang di anggarkan tapi dalam tendernyo ado nan dipindahkan ciek. Iko memang ado lucunyo . Ambo mengusulkan 5 buah kebetulan untuk jalan di siko ambo usulkan ciek, kebetulan jalan usaha tani jorong Kampeh...kemudian SD 02 Koto Baru. itu nan berhasil ambo dapek. Kalau nan ambo minta dulu, Jalan di siko 300 juta, ternyata di kabulkan 200 juta. Jalan di siko di kecamatan (Musrenbang kecamatan, red) udah masuk dua jo tigo juo tu. kebetulan jalan usaha tani di jorong Kampeh. ini nan lucu kami anukan. Jalan usaha Tani, Sawah Tangah, Jorong Kampeh ternyata di latakkan jo urang ka situ. Ka Jorong lain. iko setelah ambo indak duduak, tentu tambah main wali Nagari. Papan namonyo judulnyo jalan usaha Tani Jorong Kampeh. tapi lokasinyo indak di jorong Kampeh. a tu SD 01 di Rehab dengan dana, urang tu memintak untuk pagar dulu nyo, tapi ditambah hingga dapeknyo 150 juta.” (Nirman) Hal yang telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu peran yang di mainkan Nirman sebagai anggota DPRD. Peran yang hampir sama juga dimainkan oleh anggota DPRD dari daerah pilihan atau Nagari lain, terutama pada Nagari, Kecamatan di mana Musrenbangnya tidak berjalan. Sehingga, hasil Musrenbang daerah ini menjadi ajang manipulasi para elite BP, baik pihak Kecamatan, Bappeda, SKPD maupun DPRD. Tidak terlaksananya Musrenbang berjenjang, di beberapa tempat di Kabupaten Agam, disebabkan OTM enggan melaksanakannya. Keengganan ini 40
Upaya lain, yang dilakukan Nirman adalah memperjuangkan sendiri, dengan alokasi yang diberikan kepada DPRD oleh TAPD. Hal ini seperti yang telah dijelaskan pada manuver agen secara kolektif selanjutnya.
162
bersumber dari kekecewaan karena usulan mereka tidak pernah diakomodir dalam APBD. Pada hal, telah bersusah payah mengumpulkan masyarakat kemudian melaksanakan Musrenbang. Masyarakat Nagari serta Kecamatan kemudian mengecam elitenya yang kemudian berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang. Bagi masyarakat kampung (jorong) serta urang nan ampek jinih, mengambil bagian peran dari Musrenbang Nagari dan Kecamatan merupakan upaya dari “harok ka dapek”. Selain manuver peran individual anggota DPRD di atas, terdapat ragam peran lain, yang secara umum terdiri dari dua cara. Cara pertama, hasil Musrenbang kampung di titipkan kepada anggota DPRD yang telah mereka pilih secara bersama. Anggota DPRD kemudian memperjuangkannya pada tahap-tahap dalam ranah penganggaran (lihat bab selanjutnya). Cara kedua, anggota DPRD mendapat “alokasi alokasi anggaran” dari TAPD atau Bupati, yang diperolehnya melalui cara kompromi atau pemaksaan. Kemudian, alokasi tersebut dibahas bersama unsur OTM (urang nan ampek jinih) untuk apa saja alokasi anggaran tersebut dialokasikan. Dari penjelasan di atas, relasi peran OTM dan birokrasi (pemerintah) modern dalam ranah perencanaan memperlihatkan dominasi peran otoritarian BP terhadap OTM. Hal ini ditandai dengan keputusan otoriter untuk memberi “alokasi” satu usulan untuk setiap hasil Musrenbang Kecamatan, sesuatu yang tidak terdapat aturan normatifnya. Akibat terbatasnya sumberdaya, persaingan Musrenbang ditandai dengan dinamika peran-peran saling memarjinalkan usulan program di antara mereka, sehingga kebutuhan petani yang umumnya muncul dari Musrenbang Jorong hilang di jalan. Ironisnya, dalam kasus Tabek Panjang, hilangnya justru pada Musrenbang Nagari (lihat bab selanjutnya). Fakta ini menjadi jawaban bagi pertanyaan pertama penelitian ini, bahwa kecilnya anggaran pertanian, karena kebutuhan petani telah disingkirkan mulai dari ranah perencanaan, khususnya mulai dari Musrenbang Nagari. Minimalnya kesempatan (sumberdaya) usulan program hasil Musrenbang partisipatif dapat di anggarkan oleh APBD, mengakibatkan Musrenbang menjadi dinamis dan persaingan tidak terhindarkan. Peta persaingan dapat dilihat dari gambaran singkat dari tabel berikut ini
163
Tabel 7.5. Peta Persaingan Aktor-Aktor Dalam Ranah Perencanaan Hubungan Aktor Ranah
PERENCANAAN
Kerjasama
Bersaing
Konflik
Musrenban g Jorong
Urang Nan Ampek Jinih
Kaum, Suku dan Urang Nan Ampek Jinih
Antar kaum, urang nan ampek jinih Jika mengorbankan harta pusaka
Musrenban g Nagari
Elite Nagari, Kampung dan Daerah Pilihan
Antar Jorong
Jorong Vs Jorong Jorong Vs Elite Nagari
Musrenban g Kec.
Tim PerumusDPRD Suku yang Sama (Forum Lobi)
Antar Nagari
Antar Nagari
Forum SKPD-Kab
Bappeda-SKPD meminimalisir hasil Musrenbang partisipatif
SKPD Vs SKPD
SKPD Vs Bappeda
Sumber: Data Primer, 2010
Dari tabel di atas terlihat bahwa persaingan OTM telah muncul pada ranah Musrenbang jorong hingga Musrenbang Kecamatan. Peran OTM tersebut adalah “urang nan ampek jinih” (Ninik-Mamak, Alim Ulama, cendikia, bundo kanduang) dan elite Nagari. Terjadinya persaingan karena merupakan bagian dari peran yang harus mereka mainkan sesuai dengan filsafat alam.
Terjadinya persaingan
tersebut, dalam rangka memagar (membangun)41 paruik, kampung (Jorong), suku dan Nagari. Persaingan yang terjadi tersebut memperlihatkan bahwa otoritas tradisional masih berlanjut hingga saat ini. Tabel di atas bukan saja menunjukkan persaingan telah terjadi antar sesama OTM, namun juga di antara BP. Hal ini terjadi disebabkan karena prinsip maksimalisasi anggaran, untuk mendapat keuntungan dari program yang dianut SKPD. Untuk itu, SKPD berupaya memasukkan sebanyak mungkin rencana kerja (Renja-SKPD) untuk menjadi bagian RKPD. Karena anggaran terbatas, persaingan bahkan konflik antar SKPD dan SKPD dengan Bappeda tidak terhindarkan. Seperti ungkapan informan berikut ini,
41
Kata memagar dan mempertahankan paruik, kampuang, suku dan Nagari, juga memiliki konotasi membagun keempat level organisasi genealogis tersebut.
164
“Nanti pada penyusunan dan pembahasan RKPD, kita melakukan asistensi dengan SKPD. Mereka diminta untuk menjelaskan seluruh Renja yang akan menjadi bagian RKPD. Karena anggaran terbatas, kemudian ada rambu-rambu seperti RPJMD, Renstra mereka, maka dalam asistensi itu mana yang tidak sesuai kita coret. Marah dia tu. Ada yang sampai nggak cakapan dengan kita lagi hingga menjadi konflikpersonal. Yang keras orangnya, biasanya kerjasama dengan anggota Dewan” (Informan HDH) Kutipan wawancara dari salah seorang anggota Tim Bappeda tersebut memperlihatkan persaingan sesama SKPD dan Bappeda sudah mulai terlihat pada penyusunan Renja SKPD. Persaingan berujung konflik ini, kemudian melibatkan anggota DPRD yang kemudian muncul dalam ranah penganggaran. 7.3. Peranan OTM Dan BP Dalam Penganggaran Berdasarkan kajian di atas, dapat dikatakan bahwa kepentingan khusus telah melekat dalam anggota Lembaga
Legislatif dan Kepala Daerah yang
bersumber dari ikatan OTM, yang kemudian dipertegas dalam Pemilu Lembaga Legislatif dan Pemilu Kepada daerah, dalam bentuk pemberian peran-peran. Terkait dengan perencanaan dan penganggaran, peran tersebut adalah membawa (mengalokasikan) anggaran APBD pada kampung dan Nagari. Namun, pelaksanaan harapan dari peran tersebut tidaklah mudah karena sumberdaya keuangannya terbatas, sedangkan kebutuhannya tidak pernah tercukupi. Sumberdaya keuangan Kabupaten Agam dapat dilihat dari trend APBDnya yang memuat informasi pendapatan, berikut sumber-sumbernya, dan juga anggaran yang di belanjakan. Trend belanja APBD Kabupaten Agam 20072011, memperlihatkan jumlah APBD terus meningkat, belanja langsung, belanja pegawai, bahkan belanja hibah juga meningkat. Namun, peningkatan tersebut tidak diikuti dengan belanja yang langsung bermanfaat
bagi rakyat (Belanja
Langsung). Pada tahun 2008, jumlah APBD dialokasi dengan nominal ± 600.000.000.000,- terus meningkat konsisten hingga pada tahun 2011 mencapai angka Rp. 717.151.685.687,-. Begitupun belanja pegawai meningkat secara konsisten dari Rp.294.650.984.000,- pada tahun 2007, empat tahun kemudian, yakni tahun 2011 meningkat menjadi Rp.538.197.753.886,-. Bahkan belanja hibah pun meningkat konsisten dari Rp. 100.000.000,- pada tahun 2007, kemudian meningkat tajam menjadi Rp. 23.399.296.000 pada tahun 2009 kemudian
165
menurun sedikit menjadi Rp. 19.697.269.031,- dan turun tajam menjadi Rp.750.000.000,- pada tahun 2011. Ironisnya, ketika seluruh mata anggaran belanja tidak langsung terus kecenderungannya meningkat, belanja langsung yang di dalamnya terdapat belanja program-program untuk rakyat, justru trend-nya menurun (lih.grafik 7.2.). Seperti terlihat pada grafik 7.2, pada tahun 2007, belanja langsung untuk rakyat di alokasi dengan angka nominal Rp. 254.235.874.851,- namun pada tahun 2009, jumlah itu menurun menjadi Rp. 197.482.335.047,-. Pada tahun 2011 sekarang belanja
langsung
tersebut
kembali
menurun
dengan
alokasi
anggaran
Rp.178.953.931.801,-. Alokasi anggaran belanja langsung ini, belum nilai bersih yang langsung dapat dinikmati rakyat. Masih terdapat komponen biaya untuk Honor, Belanja Modal dan Jasa serta keuntungan pihak ketiga. Minimal, alokasi tersebut berkurang sebesar 30 persen dari anggaran. Seperti ungkapan informan berikut: “ Belanja langsung itu yang membiayai program yang langsung buat rakyat, di dalamnya ada komponen honor, pajak, dan keuntungan pihak ketiga, sekitar 30 persen dari anggaranlah” (informan NR) Untuk melihat perbandingan trend belanja langsung, pegawai, belanja tidak langsung, dan jumlah APBD Kabupaten Agam 2007-2011, lihat grafik 7.2. berikut ini;
Billions
166
800 700 600 500 400 300 200 100 -
2007 2008 2009 2010 2011
Sumber : Penjabaran APBD Kabupaten Agam, 2007-2011
Gambar 7.3. Grafik Trend Belanja APBD Kabupaten Agam, 2007-2011 Rata-rata jumlah belanja anggaran langsung selama periode 2007-2011 adalah Rp.148.983.132.121,- angka ini telah dipotong 30 persen yang terdiri dari pajak, honor dan keuntungan pihak ketiga. Sedangkan rata-rata jumlah APBD Kabupaten Agam selama periode tersebut, berkisar Rp.600.000.000.000,- artinya, 75 persen anggaran dipakai untuk belanja tidak langsung seperti pegawai, hibah, bansos. Sedang belanja langsung untuk rakyat hanya di alokasi 25 persen dari APBD. Jumlah ini jelas tidak memadai untuk dibagi pada seluruh kebutuhan sektor-sektor yang dinikmati rakyat Kabupaten Agam. Jauh hari, Key (1940) telah mengingatkan, bahwa permasalahan paling mendasar dalam penganggaran adalah keterbatasan sumberdaya, sedangkan kebutuhan selalu melebihinya. Ketika banyak pihak, dengan beragam kepentingan terlibat, maka penganggaran menjadi dinamis.42 Sesuai dengan pendapat Key (1940) tersebut, peran-peran, baik yang berasal dari OTM maupun BP, menjadi sangat dinamis dan beragam. Beragamnya peran dan dinamisnya ranah penganggaran dari kepentingan-kepentingan yang berbeda di antara elite kedua otoritas tersebut, seperti terlihat dalam tabel berikut ini; 42
Dalam Irene S.Rubin, 1993. The Politic of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing, 2th Edition. Chatam House Publisher, Inc. New York.
167
Tabel 7.6. Kepentingan Khusus Aktor Dalam Perencanaan Dan Penganggaran NO 1
2
AKTOR Urang nan Ampek Jinih
Elite Nagari
KEPENTINGAN Mendapatkan alokasi program APBD, terutama infrastruktur Jorong, Nagari yang berkenaan dengan Pertanian, Perternakan, Pendidikan dan Sarana Ibadah ) Mendapat alokasi Program APBD, seluruh bidang, untuk dialokasikan pada Kampung, Daerah Pilihan (suara terbanyak) tujuan mempertahankan kekuasaan dan balas budi. Mendapat alokasi program dan dana untuk Nagari dari APBD I dan APBD II.
3
DPRD
Mendapatkan alokasi dana dan program sebesar-besarnya dari APBD untuk Kampung (basis suara utama), basis suara partai serta program Partai untuk tujuan mempertahan kedudukan dan memenuhi janji politik
4
SKPD
Maksimalisasi Utiliti (Mendapat anggaran sebesar-besarnya). Mendapatkan keuntungan dari alokasi RKA yang diakomodir dalam APBD.
5
TAPD
Menyeimbangkan distribusi Anggaran Mendapatkan keuntungan dari alokasi anggaran pada SKPD.
6
Bupati
Mendapatkan alokasi program dan anggaran sebesarnya untuk di alokasikan pada Kampung, Urang Nan Ampek jinih, Elite Nagari (tim sukses), basid suara dan mendapat keuntungan dari proyek.
Sumber: Data Primer, 2010 Dari tabel di atas, terlihat bahwa setiap aktor yang berperan dalam penganggaran, memiliki kepentingannya masing-masing. Meskipun memiliki perbedaan, terdapat persamaan bahwa alokasi anggaran APBD, pada akhirnya, ditujukan untuk OTM. OTM yang dimaksud berkenaan dengan kampung halaman para aktor, basis suara para aktor atau partai, atau yang menjadi tim sukses para aktor pelaku anggaran. Ketika Nagari-Nagari tidak memiliki prasyarat tersebut, maka “kue” APBD sulit untuk didapatkan.43 Seperti ungkapan masyarakat sei.Cubadak berikut ini;
43
Dalam bahasa lokal “kok lai” kalimat yang dimulai dengan kata ini adalah kalimat tidak pasti, “ejekan”, menghayal. Seperti “kok lai kayo”, “kok lai dapek”, kok lai iyo” dan seterusnya. Terjemahan katanya adalah “kalau iya”
168
“Sajak indak ado anggota Dewan dari siko, alun ado lai kami mandapek pembangunan dari pamarentah. Mode tu lo di Tabek Panjang. Saroman zaman dulu. Masyarakek disiko mamiliah Ka’bah sadonyo, berang urang pamarentah, indak parnah ado pambangunan disiko44” (informan Masyarakat) Dalam tabel kepentingan di atas, terlihat bahwa alokasi yang ditujukan pada OTM tersebut juga terkait dengan kepentingan SKPD dan TAPD. Hal ini disebabkan karena SKPD merupakan lembaga yang menjadi pelaksana program serta pengguna anggaran yang berkaitan dengan kepentingan khusus birokrat dan DPRD tersebut. Untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan DPRD, Kepala Daerah, TAPD dan SKPD, terlibat persaingan, konflik atau bekerjasama dalam ranah Penganggaran. Di dalam mewujudkan kepentingan tersebut, setiap pihak yang terlibat dalam penganggaran, memiliki peranannya sendiri serta bersifat dinamis. Berikut ini adalah tabel peran dari masing-masing pihak yang ikut di dalam ranah penganggaran (pembahasan APBD); Tabel 7.7. Tabel Peran OTM dan BP dalam Penganggaran AKTOR
Urang Nan Ampek Jinih
Elite Nagari (WaliNagari, KAN, BPRN/ BAMUS)
DPRD
44
PERANAN PARA AKTOR PADA PEMBAHASAN APBD Mengidentifikasi kebutuhan dan membuat usulan program berdasarkan hasil musyawarah Menitipkan program pada penduduk kampung/Nagari yang di pilih secara bersama menjadi anggota DPRD/Bupati Menitipkan dan menagih janji anggota DPRD yang suaranya diperoleh dari kaum/kampung/Nagari Melobi Elite SKPD, yang merupakan rakyat Nagari, untuk dapat menitipkan usulan program Menitip program dan melobi Bupati, karena telah menjadi tim sukses pemilihan bupati Melobi Anggota DPRD yang berasal dari Penduduk Nagari Peran Legislasi, budgeting dan pengawasan memungkinkan DPRD melakukan dinamisasi peran : Melakukan hubungan transaksional dengan SKPD untuk menitipkan program bawaannya yang bersumber dari OTM pada Renja dan RKA SKPD Melobi SKPD yang memiliki DAK besar agar di alokasikan pada Kampung Halaman dan Daerah Pilihannya Transaksional dengan TAPD untuk menyetujui porsi anggaran SKPD yang diusulkan Melobi Bupati untuk memberi DPRD “alokasi” program APBD
Sejak tidak ada anggota masyarakat kampung ini yang menjadi anggota DPRD, belum pernah ada lagi pembangunan di sini. Mirip dulu, masyarakat disini memilih ka’bah, marah pemerintah akibatnya tidak ada pembangunan disini.
169
SKPD
TAPD
Bupati
Transaksional dengan Bupati untuk meningkatkan anggaran Bansos dan selanjutnya saling bagi alokasi dana Bansos Kerjasama transaksional intra dan antar partai untuk menitipkan dan memperjuangkan program usulan Merekayasa hasil Musrenbang Kecamatan kemudian memasukkan dan memperjuangkan pada pembahasan APBD Membuat program yang ditempatkan pada Kampung/Daerah Pilihan elite DPRD Melobi DPRD agar memperjuangkan program untuk Kampung, Nagari dan Daerah Pilihannya Melobi TAPD agar menyetujui alokasi dana yang diusulkan Melobi Bupati agar menitipkan/menyetujui usulan program dan alokasi dana yang di usulkan Melakukan “kerja kreatif” terhadap laporan pertanggung anggaran APBD Menitipkan program-program pada SKPD untuk tujuan mendapatkan benefit yang dialokasikan untuk beragam kepentingan Bekerjasama dengan SKPD menitipkan program buat kampungnya Memberi “alokasi” Banggar DPRD, Komisi dan Fraksi untuk mempermudah pembahasan dan pengesahan RAPBD Menyetutujui dan bersepakat terhadap usulan program DPRD, namun menghapus beberapa di antaranya ketika APBD di cetak Politisasi program yang telah disepakati bersama DPRD menjadi SILPA Menitipkan programnya pada SKPD untuk kepentingan terkait OTM, baik kampungnya maupun Nagari lain yang telah menjadi tim suskses pengumpulan suara pda pemilihan Bupati Menitipkan program kerja pada SKPD untuk kepentingan Bupati “pribadi” Bekerjasama dengan DPRD, urang nan ampek jinih, Rakyat Nagari yang mendapat program untuk mempertahankan dan mengamankan program Bupati pada APBD
Sumber: Data Primer, 2010 Berdasarkan tabel di atas terlihat, bahwa masing-masing aktor memiliki peran yang dinamis. Dapat disimpulkan, bahwa terdapat kaitan yang erat peran OTM Minangkabau dan BP dalam ranah penganggaran. BP memiliki program kerja, baik untuk kepentingan pemerintah daerah maupun kepentingan khusus. Untuk mewujudkan hal tersebut, anggaran belanja yang mereka susun harus disetujui oleh DPRD sebagai salah satu peran sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang . DPRD, di sisi lain, memiliki kepentingan khusus yang berasal dari OTM. Untuk itu, DPRD terlibat hubungan transaksional dengan BP (SKPD) ketika melaksanakan peran membahas anggaran dan undang-undang RAPBD. Pada tingkat pelaksanaannya, peran-peran yang dimainkan para aktor, lebih dinamis, tidak hanya menggambarkan peran hubungan berdua di antara DPRD-Lembaga Eksekutif, dan bersifat transaksional saja, namun juga termasuk persaingan dan konflik. Seperti tergambar dalam Tabel 7.4 dan Tabel 7.6, pihak lembaga Eksekutif yang terlibat dalam penganggaran terdiri dari TAPD, SKPD
170
dan Kepala Daerah. Hubungan SKPD-TAPD tidak selalu harmonis. Begitupun hubungan di antara sesama SKPD, dalam ranah penganggaran, juga syarat dengan nuansa persaingan, konflik. Hal ini berpangkal dari, pertama,
keterbatasan
anggaran atau jumlah anggaran yang relatif tetap. Ketika satu pihak, SKPD tertentu, mendapat alokasi anggaran berlebih, maka konsekuensinya anggaran SKPD lain akan dikurangi. Kedua, alokasi dan pelaksanaan anggaran program kerja pada SKPD tertentu dan program Bupati, kental dengan kepentingan yang bersifat transaksional. Salah satu bukti yang menarik, ketika sedang berdiskusi bersama wakil DPRD45 dan salah satu tokoh senior mantan anggota DPRD Kab. Agam, di rumah beliau. Ketika pembicaran membahas Musrenbang, tiba-tiba telpon selular Wk.DPRD berdering dan dengan suara sedikit meninggi, beliau menjawab percakapan lawan bicaranya bahwa dia tidak ingin ambil bagian dalam rencana membentuk Panja Plaza Bukittinggi. Selesai mematikan telpon selulernya, beliau bercerita, terutama kepada tokoh Senior PSB, bahwa DPRD sedang menggagas Panja Plaza Bukittinggi, yang dapat berujung pada rencana memakzulkan Bupati. Permasalahan Plaza Bukittinggi ini bermula dari peralihan lahan bekas kantor Bupati Agam. Seperti telah di jelaskan di atas, sebelumnya ibukota Kabupaten Agam adalah Bukittinggi, namun, Bukittinggi kemudian memisahkan diri mekar menjadi Kotamadya sendiri. Sehingga, ibukota Kabupaten Agam di pindahkan ke Lubuk Basung. Namun, bekas kantor Bupati tersebut, telah digusur dan berubah menjadi lahan tempat berdirinya plaza Bukittinggi tanpa persetujuan DPRD. Anggota DPRD mempunyai bukti kuat bahwa Bupati (periode 2006-2010) hadir dalam penandatanganan kontrak peralihan lahan tersebut, dan menduga terlibat didalamnya. Ketidak setujuan Wk.DPRD untuk ambil bagian pada pembentukan Panja Plaza Bukittinggi ini, disebabkan beberapa hal, pertama, beliau pernah mendapat telpon dari Bupati untuk tidak meneruskan membentuk Panja tersebut, “ bantuak indak ado komunikasi se lai di antara awak”,46 begitu katanya. Kedua, motif dari anggota DPRD membentuk Panja karena tidak puas usulan pengadaan bis Antar 45
Salah satu metode pengumpulan data ini dilakukan dengan mengikuti aktivitas wakil DPRD, dari pagi hingga malam hari, dengan beberapa kali kesempatan. 46 Seperti tidak ada saja komunikasi di antara kita
171
jemput DPRD ditiadakan anggarannya, karena telah mendapat tunjangan rumah dinas. Ketiga, menurut beliau, mereka memiliki forum komunikasi (bilik ketek) di antara Bupati, Ketua dan Wk.Ketua yang tersangkut kepentingan banyak hal.47 Jika dipetakan persaingan permainan para aktor dalam penganggaran akan terlihat dalam tabel berikut; Tabel 7.8. Peta Persaingan Aktor-Aktor dalam Penganggaran RANAH KUA-PPAS
PENGANGGARAN
Pembahasan RAPBD
HUBUNGAN AKTOR KERJASAMA PERSAINGAN DPRD dan SKPD SKPD-SKPD TAPD-DPRD SKPD-TAPD TAPD-SKPD ANTAR ANGGOTA DPRD Antar SKPD (Melibatkan DPRD-TAPD Komisi dan Antar DPRD Fraksi) TAPD-DPRD DPRD-BUPATI
KONFLIK SKPD Vs TAPD SKPDTAPD DPRDTAPD DPRDBUPATI
Sumber : Data Primer 2010
Dari tabel di atas, terlihat bahwa penyusunan dan pembahasan RAPBD tidak saja ditandai dengan relasi kerjasama, namun juga persaingan dan konflik. Pada penyusunan dan pembahasan KUA-PPAS, kerjasama di antara DPRDSKPD bermula dari kekhawatiran SKPD anggarannya akan “terkunci” pada plafon anggaran yang akan ditetapkan dalam KUA-PPAS. Kekhawatiran ini mengundang DPRD untuk ikut campur dengan imbalan titipan program, atau SKPD kemudian mengambil jalan bernegosiasi dengan TAPD terhadap anggarannya dengan imbalan titipan program pula. Namun, SKPD yang memiliki elasitas untuk bekerjasama, baik dengan TAPD maupun dengan DPRD adalah SKPD yang biasanya termasuk memiliki belanja terbesar dan memiliki program pembangunan, peningkatan infrastruktur seperti Dinas Kesehatan, Pekerjaan Umum, Pendidikan. Sedangkan SKPD lain, cenderung diabaikan oleh TAPD sehinga potensi konflik lebih tinggi kemungkinan terjadi. Adapun SKPD Pertanian (Dinas Pertanian), tidak mendapat perhatian dari DPRD serta lembaga Eksekutif. Hal ini disebabkan, semenjak tahun 2007, sektor Pertanian yang termasuk dalam Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan 47
Lihat penjelasan permainan peran Liryanda selanjutnya
172
(sampai tahun 2007) kemudian berganti nama menjadi Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura (sejak 2009), masuk dalam urusan pilihan (lihat Penjabaran APBD tahun 2008; 838-870, 2009; 397-404). Sektor pertanian lebih banyak menjadi urusan Provinsi dan Kementerian Lembaga melalui pendanaan dari Dekon (Dekosentrasi) dan TP (Tugas Pembantuan). Besarnya alokasi dana Dekon dan TP inilah yang menyebabkan TAPD
memberikan dana yang minimal pada
Dinas Pertanian, seperti ungkapan informan berikut ini; “Mereka kan anggarannya udah cukup besar dari TP dan Dekon. Sekarang aja mereka dapat 5 milyar lebih. Kalau mereka dapat juga alokasi anggaran APBD, mana untuk yang lain. Kita kan anggarannya terbatas. Pegawai di Agam ini aja ada sekitar 13 ribuan. Sehingga, yang disediakan dari APBD adalah belanja tidak langsung mereka pada umumnya. Seperti, belanja Pegawai, perjalanan Dinas dan pengadaan barang rutin” (Informan NR) Pembahasan di atas adalah pembahasan KUA-PPAS,
sedangkan
pembahasan yang cukup alot adalah pembahasan RAPBD. Relasi, serta peran yang dimainkan sangat dinamis. Hal ini disebabkan, ibaratnya memasak makanan, pembahasan RAPBD ini sudah hampir matang. Sehingga relasi bisa kerjasama, persaingan, konflik di antara semua lawan semua. Terutama persaingan dan konflik, bukan saja terjadi di antara Lembaga Eksekutif dan lembaga Legislatif, namun bisa terjadi di antara sesama fraksi (partai), antar komisi, antar sesama SKPD, antar anggota Banggar (Badan Anggaran). Persaingan penganggaran tersebut, tidak berhenti hanya pada berhasil dicapai kesepakatan di antara lembaga Legislatif dan lembaga Eksekutif. Persaingan masih berlanjut pasca kesepakatan tersebut, ditandai dengan banyaknya hasil kesepakatan ternyata tidak tercatat dan tertulis pada buku penjabaran APBD, seperti ungkapan informan berikut ; “Lah sepakat awak ko, masih bisa juo inyo ingkar janji. Hasil pembahasan dan kesepatan itu kan dicetak lu, nan sataba-taba banta tu mah. Mencetakkan memakan waktu sebulan labiah lah. Lah salasai cetak, kan awak dapek bukunyo. Awak caliak lah, banyak nan hilang dari kesepakatan samulo”48 (Liryanda) 48
Sudah sepakat kita, bisa juga TAPD ingkar janji. Ketika hasil kesepakatan tersebut di cetak yang memakan waktu kuarang lebih sebulan, setelah selesai dicetak ketika lihat banyak dari kesepakatan tersebut tidak tercetak dalam penjabaran APBD tersebut.
173
Kutipan wawancaran di atas menunjukkan bahwa, persaingan di antara sesama aktor tidak berhenti pada penyusunan dan penetapan APBD, namun, berlangsung hingga pasca kesepakatan penandatanganani APBD. Ungkapan Liryanda di atas mengindikasikan, kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam pembahasan RAPBD, kemudian banyak dintaranya yang hilang ketika penjabaran APBD telah dicetak. Gejala lain yang menunjukkan persaingan penganggaran APBD ini terlihat dalam ranah pelaksanaannya belanja anggaran di mana alokasi dapat berubah. Hal ini terlihat dalam ungkapan Nirman di atas, merupakan salah satu bukti dapat berpindahnya lokasi belanja anggaran, di mana dalam penjabaran APBD, dalam kolom penjelasan tertulis dengan jelas lokasi tempat dilaksanakannya belanja anggaran, namun, pada tingkat lapangan pelaksanaannya justru tidak sesuai dengan lokasi penjelasan sebagaimana yang tertera dalam penjabaran APBD. Masih terdapat gejala lain, yang mengindikasikan kuatnya aroma persaingan pasca penetapan APBD, yakni tidak terbelanjakannya anggaran yang telah di sepakati bersama. Gejala ini terlihat dari data historis jumlah SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) Kabupaten Agam sebagaimana yang terlihat pada grafik 7.2. yang jumlah mencapai ratusan Milyar. Pada tahun 2007, SILPA Kabupaten Agam mencapai Rp. 97.376.000.0000,- kemudian meningkat tajam mencapai angka Rp.122.647.000.000,- pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2009 menurun menjadi Rp.94.902.000.000,-. Pada hal, pada tahun 2008, untuk belanja tahun 2009, terdapat kesepakatan di antara Lembaga Eksekutif dan lembaga Legislatif untuk mengalokasikan dana bagi anggota DPRD masingmasing
Rp.500.000.000,-
untuk
dialokasikan
pada
daerah
pilihannya.
Kesepakatan ini, dalam rangka menyambut Pemilu Legislatif pada tahun 2009 di Kabupaten Agam.49 Prakteknya, banyak dari kesepakatan tersebut tidak dijalankan dengan alasan keterbatasan anggaran. Namun, pada tahun tersebut SILPA mencapai 100 Milyar rupiah. Ini menunjukkan bukti dinamika persaingan penganggaran di Kabupaten Agam. Untuk melihat dinamika pengangaran, selanjutnya akan dibahas beberapa ragam permainan peran yang disarikan dari informasi pelaku langsung, dengan 49
(lihat penjelasan selanjutnya mengenai Manuver Peran Kolektif Anggota DPRD).
174
membandingkan informasi yang diperoleh dari informan lainnya. Tujuannya, untuk melihat konsistensi narasinya.
Empat kasus sengaja dipilih untuk
menunjukkan dinamisnya ranah penganggaran. 7.4. Kasus Ragam Permainan Peran Dalam Penganggaran 7.4.1. Kasus Ragam permainan Peran Danof50 Salah satu ragam permainan peran Anggota DPRD dalam ranah penganggaran yang dinamis, seperti apa yang dialami Danof. Sebagai anggota DPRD yang duduk di Komisi D dan Banggar, salah satu mitra kerja komisinya adalah SKPD (Dinas) Pekerjaan Umum. SKPD ini merupakan salah satu dari tiga dinas yang memiliki anggaran belanja terbesar di Kabupaten Agam. Programprogram dinas PU ini paling menjadi perhatian Anggota DPRD bukan saja dikarenakan RAB (Rencana Belanja Anggaran) setiap programnya, tapi juga di mana program dilaksanakan telah menjadi perhatian dan perebutan, yang berujung pada persaingan antar anggota Lembaga Legislatif, seperti ungkapannya berikut ini: .”… kitakan dari daerah pemilihan ini, …berarti membangun daerah ini untuk kita maju pada pemilu berikutnya itu udah tidak susah lagi. saya yang membagunkan jalan ini, mengaspal gitu kan, tinggal ngomong aja lagi kan. a biasanya itu ributnya di panitia anggaran ini.” (Danof) Ungkapan di atas menunjukkan, bahwa di badan anggaran DPRD sendiri, terjadi persaingan memperebutkan di mana RAB51 akan di tempatkan. Masingmasing anggota Banggar menginginkan pembangunan infrastruktur itu dilakukan di kampung serta pada
basis suara atau daerah pilihannya. Ttarik menarik
kepentingan di antara Banggar dan Partai, tidak terhindarkan. Seorang informan DPRD yang dituakan mengungkap suasana di pembahasan RAPBD, khusus di Badan Anggaran sebagai berikut; “Inyo iriak ka sinan, beko inyo iriak lo kasiko, orang siko iriak lo ka siko lai. Itulah karajo anggota Dewan tu. Indak dipakainyo do hasil Musrenbang tu. Inyo dahulukan kapantingan kampuang nyo, 50
Bukan nama sebenarnya. Menimbang etika penulisan karya ilmiah, Nama dan identitas informan dilindungi oleh peneliti. 51 Rencana Belanja Anggaran
175
apo istilahnyo tu konstituen yo. Ambo lah mengecek, kalau indak dipakai hasil Musrenbang tu, bia lah ambo indak ikuik sato. Pakai se lah namo ambo di sinan52” (PSB). Untuk melancarkan pembahasan RAPBD, lembaga Eksekutif telah menyiapkan strategi khusus. Strategi pertama, pembahasan anggaran belanja DPRD biasanya langsung di pimpin Sekda, yang bertindak sebagai ketua TAPD, bersama Sekwan. Dalam pembahasan ini, biasanya Sekda “melonggarkan” pembahasan alokasi anggaran belanja DPRD dan Setda DPRD. “Longgar” disini bermakna, selagi usulan (Sekwan) DPRD masih memiliki aturan jelas, dan kemampuan keuangan mencukupi, maka beragam usulan DPRD akan disetujui, paling tidak berubah dari tahun kemarin.53 Strategi ini dimulai ketika menyusun KUA-PPAS alokasi anggaran DPRD dan Set-DPRD ditekan rendah. Kemudian, pada pembahasan RAPBD dinaikkan dengan harapan imbalannya, pembahasan RAPBD di permudah, lihat tabel di bawah ini; Tabel 7.9. Perbandingan Antara Alokasi Anggaran PPAS dan APBD DPRD Kabupaten Agam Tahun 2007-2009 NO
TAHUN
PPAS (Rp)
APBD (Rp)
JUMLAH KENAIKAN (Rp)
1
2007
9.788.832.282
14.777.723.023
4.988.890.741
2
2008
12.873.204.000
16.349.030.282
3.475.826.282
3
2009
8.590.000.000
14.874.008.667
6.284.008.667
Sumber: PPAS dan Penjabaran APBD 2007 s/d 2009 (diolah) Tabel di atas memperlihatkan pagu indikatif Set.DPRD dan DPRD yang telah ditetapkan pada PPAS, kemudian berubah signifikan pada APBD. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa Sekretariat DPRD dan DPRD mampu menekan TAPD untuk menaikkan anggarannya dan juga merupakan bagian dari strategi TAPD dalam “menjinakkan” DPRD. Strategi kedua, adalah mengalokasikan belanja anggaran pada daerah pilihan anggota Lembaga Legislatif secara merata. Belanja infrastruktur 52
Di geser ke situ, nanti orang situ menggesr pula ke sini. Orang Sini geser pula ke sini. Itulah kerja anggota dewan itu. Tidak dipakainya hasil Musrenbang. Dia dahulukan kepentingan kampuangnya. Apa istilahnya, konstituen ya. Saya udah tidak mau ikut campur membahas anggaran lagi selama hasil Musrenbang tidak dipakai menjadi acuan. Biarlah nama saya tercantum disana. 53 Hasil wawancara bersama anggota tim TAPD
176
dialokasikan pada seluruh kampung atau konstituen anggota DPRD. RAB DinasDinas yang memiliki program pembangunan, rehabilitasi infrastruktur seperti jalan, irigasi, jalan usaha tani, sarana pendidikan di upayakan pendistribusiannya merata di kampung atau Daerah Pilihan anggota DPRD. Meskipun dilakukan dengan cara memecah mata anggaran dan membagi rata anggaran dengan hanya memberi masing-masingnya 1 Km untuk peningkatan jalan. Padahal, panjang jalan masing-masing jalan beragam. Strategi ketiga, memberi “alokasi” alokasi dana pada anggota DPRD yang memiliki posisi yang berhubungan langsung dengan pembahasan dan pengesahan RAPBD untuk ditempatkan pada daerah yang dikehendaki anggota DPRD (Banggar), seperti ungkapan Danof berikut ini: “…contohkan begini, kita udah deal nih dengan PEMDA-TAPD kita dikasih, ada 100 juta, silahkan panitia anggaran mengalokasikan proyek 100 juta per orang, nih kita ada dua orang dari Partai, kita biasanya mengasih tahu yang lain, kasih tahu fraksi, nih 200 juta mau kita bangun apa, karena 200 juta mungkin yang penting di DAERAH PILIHAN itu. Nah kawan-kawan yang lain itu saya lihat mereka nggak ngasih tahu yang lain. ada tiga orang dia disitu dapat alokasi 300 juta dia aja yang nulis usulannya… sampai mereka (anggota Panggar dari Partai tersebut) sepakat di antara, jangan sampai diketahui (anggota sesama partai, red) yang lain”. (Danof) Kutipan wawancara di atas, mengindikasikan bukan saja terdapat hubungan transaksional di antara TAPD dan anggota DPRD, tetapi juga mengindikasikan persaingan antar sesama anggota DPRD dalam fraksi (partai) yang sama. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa partai hanya sebagai kendaraan politik saja, anggota dewan sendiri yang membiayai mulai dari proses pencalonan hingga pemilihan dirinya menjadi anggota DPRD. Di samping itu, fenomena mengalokasikan sendiri “alokasi” alokasi anggaran, tanpa berkoordinasi dengan fraksi, dalam rangka memenuhi janji-janji politik pada konstiutennya ketika masa pemilu lembaga Legislatif. Ragam peran lain yang dilakukan Danof dalam penganggaran adalah menjalin kerjasama dengan SKPD untuk menitipkan usulan program kerja pada SKPD dengan prinsip transaksional dan saling menguntungkan kedua belah pihak.
177
Perwujudannya seperti dengan cara. SKPD membuat program kerja yang di tempatkan pada kampung atau konstituen Danof, atau sebaliknya, Danof menitip kepentingan khususnya pada SKPD ketika Renja SKPD atau RKA-SKPD disusun.
Hubungan
transaksional
tersebut,
pada
prinsipnya
saling
menguntungkan. Bagi SKPD titipan atau program yang penempatannya pada konstituen anggota DPRD, menjadi jaminan bagi mereka agar programnya tidak digugurkan oleh TAPD dan mendapat dukungan dari DPRD untuk diperjuangkan dalam penganggaran. Indikasi lain dari fenomena titipan berbasis hubungan transaksional ini adalah titipan Danof dari partai untuk meningkatkan kualitas Da’i. Partai Danof, memiliki banyak program yang muaranya adalah memperbesar partai dengan memperbanyak jumlah populasi konstituen. Sasaran utama yang ingin dijadikan konstituen loyal adalah umat Islam, maka banyak program dibuat untuk menarik masa Islam tersebut. Salah satunya, melalui program peningkatan kualitas Dai. Teknisnya, membuat pelatihan untuk Imam dan khatib di Kabupaten Agam. Program ini jelas membutuhkan dana yang sulit dibebankan pada partai dan konstituen. Maka program itu “dititipkan” kepada SKPD (Dinas) Agama dan Pendidikan. SKPD tentu dengan antusias menyambut program tersebut, karena jelas akan menambah alokasi anggaran buat SKPD dan besar kemungkinan program tersebut dapat dibiayai oleh APBD, sebab, Pertama, program tersebut masih dapat diterjemahkan dari RPJMD Kabupaten Agam poin kelima, yakni peningkatan Pemahaman, Pengamalan Norma dan Adat.
Kedua, akan
diperjuangkan oleh Danof dan fraksinya dalam penganggaran yang kemudian menjadi salah satu program APBD 2008. Seperti ungkapan Danof berikut: “…partai ya biasanya tentu ada kebijakan begitu. kepentingan partai tentu ada. diusulkan ke panitia anggaran. contoh kita misalnya pak, saya nggak tahu ya partai lain kan, tentu kawankawan di partai tentu punya usulan program juga. walaupun, tujuannya seperti inilah, kita ingin mengadakan pelatihan imam khatib. kita kan Partai Islam seperti itu, kalau itu di bebankan ke masyarakat atau ke Partaikan kan berat jadinya. maka program ini kita usulkan ke PEMDA menjadi program dia. nah, itukan salah satu kepentingan partai. ndak tahu saya kalau partai lain itu gimana. saya rasa pasti adalah kepentingannya.” (Danof)
178
Dari penjelasan kutipan di atas, bisa dilihat bahwa program partai dengan cara kreatif dapat di biayai oleh APBD. Program peningkatan pengetahuan Imam dan Khatib, dapat saja merupakan pelatihan untuk ujung tombak pemasaran Partai atau bagian dari pencitraan partai terhadap masyarakat Minangkabau di Agam yang beragama Islam. Ragam permainan peran lain Danof adalah dengan menitipkan kepentingan khususnya pada SKPD dengan mengandung unsur “paksaan”. Seperti telah dijelaskan di atas, usulan program kerja baru sering muncul pada ranah Penganggaran, baik melalui RKA-SKPD yang dikompilasi kemudian menjadi RAPBD, atau penambahan baru ketika proses pembahasan RAPBD yang syarat dengan suana “tawar menawar”, seperti ungkapan Danof berikut: “..jadi di dewan yang paling favorit itu komisi D itu yang menangani pembangunan itu. Karena dia mengatur proyek“…proyek gitukan, jalan dibangun di mana. disi ni ni. Walaupun kekuasaannya sedikit sekali, komisi D ini. Kecuali kita bermain di belakang, main bagak. ada juga beberapa kawan saya komisi D seperti itu. dia memang seperti itu pak, atau memang itulah politik, kita aja yang nggak ngerti politik. Sebelum diajukan ke komisi D, misalnya rencana pembangunan prasarana jalan di Agam, sebelum masuk itu si anggota dewan ini udah langsung ke kepala Dinas PU, Pak tolong masukan ciek itu. awak pak masuakan, a kan bahasanya kan model tu macam-macam. akhirnya dimasukkan juga walaupun itu nggak sesuai dengan MUSREMBANG, nggak inilah segala macam, depan rumahnya misalnya begitukan, depan rumahnya anggota dewan, seperti itu. tapi kalau rapat-rapat formal itu nggak terlalu kelihatan, tidak kentara. a kita ingin merubah sistem sepertri itu.(Danof) Dari penjelasan kutipan di atas, usulan program yang di titipkan pada Renja-SKPD atau RKA-SKPD yang bersumber dari kepentingan khusus (untuk kampung, basis suara) terkandung pula substansi filsafat alam, babiliak ketekbabiliak gadang. Hal ini terlihat pada usulan untuk pembangunan dan peningkatan jalan di kampung anggota DPRD, tetapi jalan yang diusulkan tersebut melalui rumahnya. Sedangkan rumah beliau, biasanya, berada dalam areal tanah yang terdiri dari kumpulan rumah satu kaum. Namun, penitipan kepentingan khusus ini tidak selalu berjalan lancar dan langsung dapat direalisasikan. Perlu upaya lain untuk mendapatkannya, seperti paksaan. Danof pernah melakukannya, seperti ungkapan Danof berikut ini;
179
“ ada jalan ke Nagari Batu Kambing, sepanjang 5 Km. Untuk melalui jalan sepanjang 5 Km itu dibutuhkan waktu 45 menit untuk memempuhnya. Karena jalan tersebut dalamkondisi rusak parah. Jika hujan jalan itu sangat sukar dilalui. Nagari-Nagari yang melalui jalan itu terisolir, banyak ibu hamil ketika akan melahirkan bidan tidak mampu menangani kemudian harus di bawa ke RS, meninggal di sana, karena sukar ditempuh. Maka saya usulkan pengaspalannya.Baru dikabulkan pada tahun ketiga. Itu pun hanya 1 Km. Tahun kesatu nggak dapat, tahun kedua nggak dapat. Tahun kedua ini katanya mau masuk tapi ternyata nggak masuk. tahun ketiga saya udah nggak mau lagi. Terakhir mau disyahkan itu saya ngomong sama PU, orang lain sampai berapa kilo bisa masukan, saya sampai 2 tahun nunggu nggak bisa-bisa, jadi tolong saya dikasih tahu apa alasannya, saya hari ini tolong jawab sebelum yang lain bicara, atau saya mau seperti yang lain, ngancam-ngancam PU baru bisa, harus seperti itu, dia jawab, ini anggarannya udah habis pak, nggak mau tahu saya. saya tunggu jawabannya. akhirnya dapat 1 km. (Danof) Dari penjelasan kutipan di atas, pembahasan RAPBD memperlihatkan dinamikanya sendiri. Peran DPRD untuk mempengaruhi alokasi anggaran sangat kuat, sehingga lembaga Eksekutif kemudian mengabulkan permintaan DPRD tersebut. Fakta empiris ini konsekuen dengan pendapat Samuels (2000, dalam Abdullah, 2006), bahwa terhadap usulan anggaran yang diajukan pemerintah, lembaga Legislatif dapat melakukan perubahan, terutama dalam dua hal,54 pertama, merubah jumlah anggaran. Kedua, merubah distribusi belanja atau pengeluaraan dalam rancangan rencana anggaran tersebut. Namun, fakta ini dapat juga ditafsirkan DPRD juga menjalankan sebahagian peran lembaga Eksekutif (Pemda) yakni membuat program kerja dan menentukan alokasi RAB nya. Usulan program pembangunan dan peningkatan jalan yang diberikan Danof pada Dinas PU tersebut, sesungguhnya berasal dari kepentingan khusus partainya. Usulan tersebut merupakan program titipan dari partai karena Nagari BK yang tempatnya terisolir tersebut merupakan basis suara partai Danof.
54
Mengikuti kekuasaan lembaga Legislatif yang umum, terdapat empat kemungkinan perubahan yang dilakukan legialatif terhadap rencana rancangan anggaran, pertama, mengurangi atau menaikkan pendapatan. Kedua, meminta pengesahan lembaga Eksekutif sebelum keputusan akhir untk menaikkan pengeluaran. Ketiga, dapat menaikkan pengeluaran, jika pendapatan nya juga naik. Keempat, lembaga Legislatif dapat menaikkan, menurunkan pengeluaran atau pendapatan tanpa ada pembatasan.
180
Dengan pola seperti tersebut di atas, Danof juga dapat membangun kampungnya seperti, jalan, jembatan, irigasi dan pembangunan lapangan Sepak Bola untuk pemuda di kampungnya. (lihat penjelasan permainan peran kolektif DPRD selanjutnya). Dari ungkapan Danof di atas, dengan beragam peran yang dimainkan, jika disimpulkan maka akan didapat penjelasan sebagaimana Tabel 7.10 sebagai berikut; Tabel 7.10. Ragam Peran Danof Dan Relasi Kekuasaan Aktor Dalam Penganggaran Klasifikasi Aktor
Danof
Komisi
Relasi Bersaing
Fraksi
saling dukung
Panggar
Saling dukung
Bupati
Konflik atau berseberangan
TAPD
Konflik atau berseberangan
SKPD
Bersaing dan transaksional
Jorong
Saling dukung
Nagari Kecamatan
saling dukung Saling dukung
DPRD
Birokrasi
Tradisional
Keterangan Karena “alokasi” alokasi terbatas yang dapat disetujui elite birokrasi, maka persaingan, baik intra dan antar komisi tidak terhindarkan Di “tua” kan oleh fraksi. Memperjuangkan program partai melalui fraksi. Namun, tidak memperjuangkan “bawaan” nya pada fraksi Bagian dari Tim Panggar. Bersama memperjuangkan memperbanyak belanja langsung (untuk rakyat dan Daerah Pilihan) bersama tim yang lain Terutama dengan proyek mercusuar bupati (sport centre) yang mengurangi jumlah belanja untuk basis suara (konstituen) Karena TAPD selalu memangkas anggaran dan mencederai kesepakatan yang telah disetujui oleh TAPD dan Panggar karena alasan keterbatasan keuangan. Hal terlihat pada, hal-hal yg telah disepakati ketika RAPBD di bahas, ternyata tidak tercantum ketika APBD di cetak. “bawaan” Danof Sering ditolak Akibat dana dan program telah dimenangkan oleh elite puncak. Sering hanya kebagian alokasi program senilai 100 juta yang kemudian dialokasikan kebanyakan pada Daerah Pilihan Namun, terdapat program partai yang diterima SKPD usulan program “bawaan” berasal dari Ninik Mamak, Cadiak Pandai, Alim Ulama, dan pemuda yang merupakan kebutuhan Jorong Usulan berasal dari “urang nan ampek jinih”. Banyak usulan “bawaan” juga berasal dari Kecamatan, namun tidak signifikan
Sumber: Diolah dari Data Primer 2010 Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dalam rangka mendapat alokasi anggaran APBD, ragam peran Danof menyebabkannya terlibat dengan beragam hubungan yakni lembaga Eksekutif (TAPD, SKPD, Bupati), Lembaga Legislatif
181
(Fraksi, Komisi, Elite Lembaga Legislatif) serta OTM (mulai dari tingkat Jorong, Nagari dan Kecamatan). Lembaga Eksekutif, dalam kajian ini yang diwakili oleh SKPD, TAPD dan Bupati bukan suatu kelompok yang padu. Beberapa SKPD, terutama SKPD “kurus” dengan belanja minimal, melakukan “perlawanan” terhadap TAPD dengan melibatkan Lembaga Legislatif untuk memaksimalkan anggaranya. Hal yang sama juga terlihat pada Lembaga Legislatif, kelompok ini terdiri dari fraksi-fraksi, komisi-komisi yang berbeda dengan kepentingan yang berbeda pula. Bahkan, Lembaga
Legislatif terdiri dari individu-individu yang tidak
memiliki visi dan misi yang sama dengan partainya. Pertarungan di antara sesama anggota Lembaga Legislatif tidak terhindarkan, ketika memperebutkan alokasi belanja Anggaran dari SKPD dengan belanja terbesar (PU, Pendidikan, Kesehatan) yang hendak dialokasikan pada kampuang dan Nagari yang merupakan basis suaranya. Begitu pula dengan pemilih, seperti telah dijelaskan di atas, yang merupakan representasi OTM tidak pula kelompok yang padu. Mereka terdiri dari Nagari-Nagari yang otonom, kaum-kaum (urang nan ampek jinih) bahkan jorong dan kaum yang relatif kekuasaanya terdesentralisasi dengan kepentingan yang berbeda pula. Keseluruhannya memperlihatkan ranah penganggaran APBD sangat dinamis. Lebih lanjut lihat bagan alir berikut ini,
182
RELASI AKTOR DALAM RAGAM PERAN DANOF RANAH PENGANGGARAN
RKA-SKPD TRANSAKSIONAL SKPD-DANOF
RAPBD
APBD
TRANSAKSIONAL TAPD-DANOF
DANOF
PARTAI OTORITAS TRADISONAL KAMPUANG DAN NAGARI
NAGARI Basis Suara Partai
OTORITAS TRADISONAL
Kampung Dan Nagari
BASIS SUARA PARTAI
Sumber: Data Empiris 2010
Gambar 7.4 Relasi Aktor dalam Ragam Peran Danof 7.4.2. Kasus Ragam Permainan Peran Liryanda Ragam peran lain adalah seperti yang dilakukan oleh Liryanda, salah seorang anggota DPRD dari partai Islam, yang telah duduk menjadi anggota Dewan selama tiga periode berjalan. Mulai terpilih menjadi anggota DPRD sejak tahun 2000, dalam beberapa periode, beliau menjadi bagian dari kelompok elite Lembaga Legislatif, memiliki ruang “bilik ketek”
55
bersama kelompok elite
Lembaga Eksekutif, serta menjadi salah satu pemeran penting arsitek penganggaran. Di antara hasil dari “buah karyanya” adalah, Alokasi Rp. 500 Juta masing Anggota Tim Panggar pada tahun anggran 2008 (berjumlah 10 orang, plus Ketua dan dua orang wakil Ketua), serta Alokasi Rp.500 Juta untuk 40 orang anggota DPRD (lihat penjelasan permainan peran kolektif DPRD selanjutnya) tahun anggaran 2009 yang merupakan hasil dari forum “bilik ketek”, seperti ungkapannya berikut ini;
55
“Bilik Ketek” ini sebuah istilah politik lokal yang menunjukkan suatu pertemuan yang membahas hal penting dan rahasia, oleh elite. Basanya, dalam politik lokal, di tingkat Nagari, banyak hal penting di dapat diselesaikan dan diputuskan melalui media ini. Jika diterjemahkan “bilik Ketek” padanannya adalak bilik kecil.
183
“ Itu Bupati tahu, tapi teknisnya dengan Tim anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Dan itu alokasi Cuma Panitia Anggaran yang punya Hak, gitu kan. Dan Terakhir ini, APBD 2009, memang semuanya yang dapat.” (Liryanda) Dari penjelasan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa pembahasan penganggaran di Kabupaten Agam, tidak selalu apa yang terlihat dalam ruangruang formal, namun, terdapat pula ruang-ruang informal yang justru substansi penganggaran di bahas disana dan memiliki faktor penentu. Fakta ini konsekuen dengan pendapat von Benda-Beckman (1984/2000; 21), bahwa istilah musyawarah di Minangkabau mempunyai makna lebih dalam daripada yang terkandung dalam perundingan formal selama persidangan resmi. Berbagai perundingan di dalam kelompok-kelompok kecil orang yang berlangsung di luar persidangan juga merupakan bagian integral dari proses tersebut yang pada akhirnya mempengaruhi kesepakatan di dalam sidang resmi. Bagi anggota DPRD, tidak ada yang salah dengan ragam peran yang mereka mainkan dalam proses Penganggaran. Bahkan, tak jarang dari mereka, ketika usulan mereka berhasil dan program tersebut dilaksanakan, mereka akan mengumumkan kepada orang kampung, atau masyarakat di mana program tersebut ada, bahwa proyek yang sedang berjalan adalah hasil kerja, jerih payah mereka sebagai anggota DPRD, seperti ungkapan berikut ini; “..nan bedonyo, ado pulo inyo tagak di proyek tu, a mangecek ka tukang-tukang nan sadang bakarajo tu, ini kerja ambo ko, ini hasil usulan ambo ko,56 (informan P.S.B) “..kadang-kadang anggota dewan ini dapat anggaran segitu ngomongnya bukan main lo ke masyarakat.” (Liryanda) Pada alokasi dana, yang diperoleh secara kolektif bersama anggota DPRD, tahun 2009 dari 500 juta yang dijanjikan Lembaga Eksekutif,
dalam
kenyataannya Liryanda hanya mendapat 250 juta. Alokasi tersebut seluruhnya dialokasikan pada kampung halamannya dalam bentuk program pengecoran jalan Sekolah Dasar, Rehabiltasi Irigasi. Seperti ungkapannya berikut;
56
yang lucunya, sampai dia tegak di proyek yang sedang berjalan itu, dan berbicara dengan tukang-tukang yang sedang bekerja, “ini kerja saya nih, hasil usulan saya
184
“Ada pembangunan jalan SD. SD nya jalan tanah, jadi kalau hujan berlumpurlah sekolahnya. Kita anggarkan kesana Rp.50 juta untuk menyecoran jalan. Kemudian ada lagi irigasi. di kampung saya itu ada irigasi, jadi irigasi itu karena air sudah susah, tali bandanya suka runtuh gitu. Memang itu usulan masyarakat, kalau dikuatkan irigasinya pak, akan bisa mengairi sawah-sawah di bawahnya, kalau selama ini nggak sampai.(Liryanda) Dari penjelasan kutipan di atas, dapat menjadi bukti bahwa peran OTM yang berasal dari kampung memiliki peran penting bagi Liryanda. Basis utama perolehan suara terbesar yang diperoleh selama 3 periode Pemilu, yakni ± 90 persen perolehan suara, berasal dari kampung halamannya ini.57 Sehingga, prioritas alokasi usulan anggaran yang diperolehnya adalah kampung halamannya. Ragam peran lain yang dimainkan Liryanda, dalam ranah penganggaran, diluar usulan Musrenbang adalah menitipkan program untuk Sekolah Dasar Islam Terpadu pada APBD tahun 2008 hingga periode 2009. Program ini merupakan program pengadaan guru Agama untuk mengajar di sekolah-sekolah dasar yang ada di Kabupaten Agam. Justifikasi dari program ini adalah poin kelima RPJMD 2005-2010, yakni tentang pembangunan Norma Agama dan Adat. Disamping itu, pelajaran agama dianggap kurang pada sekolah-sekolah dasar Negeri yang ada di Kabupaten Agam, sebagaimana ungkapannya berikut ini; “..ya memang kita yang mengidekannya, Pola SD IT. Bupati pun oke juo. Karena memang, daerah-daerah seperti Tiku itu indak ada MDA nya. Anak-anak disitu belajar agama, belajar formal saja. .. a SD plus itu kita anggarkan tamatan IAIN untuk mengajar tambahan pelajaran agama disekolah itu. a itu jumlahnya sekitar 100 oranglah.” (Liryanda) Pada pelaksanaannya, dikontrak guru sebanyak 96 orang, dengan kualifikasi tamatan strata satu (S1) Institut Agama Islam Negeri (IAIN), masingmasing mendapat honor Rp.750.000,- per bulannya dengan kewajiban mengajarkan pelajaran Agama Islam pada Sekolah Dasar Negeri yang ada di Kabupaten Agam. dan satu SMP. Masing-masing kecamatan mendapat alokasi 3 sekolah, dengan perincian dua SD dan satu SMP. Masing-masing sekolah mendapat dua orang guru. Jadi, masing-masing kecamatan mendapat enam orang 57
Hasil wawancara bersama Liryanda dan komisioner KPU
185
guru agama honorer untuk ditempatkan di 2 SD dan 1 SMP. Jika jumlah kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Agam adalah 16 Kecamatan, maka jumlah keseluruhan guru Agam Islam honorer ini adalah 96 orang. Total anggaran hampir mencapai per tahunnya Rp.750.000.000,Pada pembahasan RAPBD tahun anggaran 2009, program ini tidak tercantum dalam RAPBD untuk dibahas. Liryanda kemudian memanggil Kepala Dinas Pendidikan untuk minta klarifikasi tidak berlanjutnya program SD IT dan SMP plus tersebut pada tahun 2009. Seperti ungkapannya berikut ini; “…guru-guru itu lapor ke kita, pak ba a nasib kami ko. Katonyo indak ado lai, mau dihabiskan program ko…kami tanyo ka Dinas, ba a ko indak dianggarkan itu, kan alah menjadi program Bupati, ba a kok dinas indak menganggarkan. alasan Dinas (pendidikan, red) kita enggak ada lagi anggaran pak. Plafond anggaran alah habis. Sementara iko yang wajib-wajib se lai nan dilaksanakan, a kalau dimasuakkan ko dima diambiak lai dananyo? Udah, kemudian kita bicarakan lagi dengan TAPD, kok ba a caronyo, program ko harus masuakan lo baliak! Keceknyo (TAPD), iyo pak, iyo pak .a itu” (Liryanda) Ungkapan kutipan di atas, membuktikan bahwa pendapat Johnson (1994) masih cukup relevan, bahwa birokrasi merespon semua tekanan yang diberikan oleh lembaga
Legislatif dalam proses penganggaran dan membuat kebijakan
publik. Sehingga, sesuai dengan pendapat Havens (1996), tidak ada keharusan lembaga Legislatif memiliki acuan yang sama dengan pemerintah. Hal tersebut membuktikan pendapat Samuels (2000, dalam Abdullah, 2006), mengenai usulan anggaran yang diajukan Lembaga Eksekutif, Lembaga
Legislatif dapat
melakukan perubahan, terutama dalam dua hal,58 pertama, merubah jumlah anggaran. Kedua, merubah distribusi belanja atau pengeluaraan dalam rancangan rencana anggaran tersebut. Adapun ragam peran yang yang dilakukan Liryanda dalam ranah penganggaran, seperti terlihat dalam matriks berikut ini;
58
Mengikuti kekuasaan lembaga Legislatif yang umum, terdapat empat kemungkinan perubahan yang dilakukan legialatif terhadap rencana rancangan anggaran, pertama, mengurangi atau menaikkan pendapatan. Kedua, meminta pengesahan lembaga Eksekutif sebelum keputusan akhir untk menaikkan pengeluaran. Ketiga, dapat menaikkan pengeluaran, jika pendapatan nya juga naik. Keempat, lembaga Legislatif dapat menaikkan, menurunkan pengeluaran atau pendapatan tanpa ada pembatasan.
186
Tabel 7.11. Ragam Peran Liryanda Dan Relasi Kekuasaan Aktor Dalam Penganggaran Klasifikasi Aktor Komisi
Relasi Bersaing
DPRD
Fraksi
saling dukung
Panggar
Saling dukung
Bupati
“urang tangah”
TAPD
Konflik atau berseberang an
SKPD
Saling dukung
Jorong
Saling dukung
Nagari
saling dukung
Kecamatan
Saling dukung
Birokrasi
Tradisional
Sumber: Data Primer 2010 (Diolah)
Liryanda Keterangan Karena “alokasi” alokasi terbatas yang dapat disetujui elite birokrasi, maka persaingan, baik intra dan antar komisi tidak terhindarkan Di “tua” kan oleh fraksi. Memperjuangkan program partai melalui fraksi. Namun, tidak memperjuangkan “bawaan” nya pada fraksi Bagian dari Tim Panggar. Bersama memperjuangkan memperbanyak belanja langsung (untuk rakyat) bersama tim yang lain Sebagai mediator bagi DPRD dan Bupati. Memiliki media informal sebagai pertemuan rutin (bilik ketek) bersama Bupati. Berseberangan, karena TAPD selalu memangkas anggaran karena keterbatasan keuangan. Sering hasil kesepakatan bersama, baik pada forum “bilik ketek” dengan Bupati maupun antar TAPD dengan Panggar, di langgar oleh TAPD, dengan alasan keterbatasan dana. TAPD sering minta bantuan Liryanda agar anggaran bertambah dan programnya diperjuangkan dalam pembahasan RAPBD antara Panggar dan TAPD dan menjadi bagian APBD. Bekerjasama dengan SKPD, melalui Renja dan RKA-SKPD, Liryanda menitipkan “bawaan”nya, kemudian di giring hingga masuk APBD. Hubungan Liryanda dan SKPD saling menguntungkan usulan program “bawaan” berasal dari Ninik Mamak, Cadiak Pandai, Alim Ulama, yang merupakan kebutuhan Jorong Liryanda mendapat jaminan suara dari kampung (ketek) nya ini. Saling dukung, dengan WaliNagari. Sebagian Usulan berasal dari “urang nan ampek jinih”. Liryanda mendapat jaminan dukungan suara dari Nagarinya ini Jumlah suara yg didapat, 90 persen dari jorong dan Nagarinya. Banyak usulan “bawaan” juga berasal dari Kecamatan namun tidak signifikan
187
Dari Matriks di atas menunjukkan bahwa Liryanda memliki ragam peran dalam ranah penganggaran. Peran tersebut dilakukan dalam rangka melancarkan “bawaannya” untuk di titipkan pada RKA-SKPD (seperti program SD dan SMP Islam Terpadu, pengadaan komputerisasi untuk Dinas CAPILSISDUK di Agam Timur)
dan pada proses ketika RAPBD di Bahas (seperti manuver kolektif
anggota DPRD, Alokasi dana Bansos). Dari matriks di atas, satu-satunya yang memiliki posisi peran berseberangan atau bahkan dapat mengarah konflik adalah dengan TAPD. Menurutnya, TAPD sering merusak kesepakatan yang telah dibangun bersama Kepala Daerah yang dihasilkan dalam forum “bilik ketek”, sering ingkar terhadap kesepakatan yang telah diputuskan secara bersama (seperti kasus manuver kolektif anggota DPRD). Selebihnya, Liryanda berperan sebagai pendukung dan pesaing dalam ranah penganggaran dengan aktor-aktor yang berbeda. seperti terlihat dalam gambar berikut;
RELASI AKTOR DALAM RAGAM PERAN LIRYANDA RANAH PENGANGGARAN
RAPBD
RKA-SKPD
APBD
TRANSAKSIONAL SKPD-LIRYANDA TRANSAKSIONAL TAPD-LIRYANDA
BUPATI
LIRYANDA
FORUM BILIK KETEK NAGARI Basis Suara Partai
TAPD OTORITAS TRADISONAL KAMPUANG DAN NAGARI
NAGARI OTORITAS TRADISONAL
Kampung
BASIS SUARA PARTAI
Sumber: Data Empiris 2010
Gambar 7.5 Relasi Aktor dalam Ragam peran Liryanda
7.4.3. Kasus Anggota DPRD Berperan Sebagai Lembaga Eksekutif Secara kolektif, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, anggota DPRD juga memiliki peran yang beragam dalam ranah penganggaran. Peran tersebut ada yang dimainkan secara personal hingga kolektif. Dalam sub-bab ini akan
188
dijelaskan bagaimana peran kolektif yang dimainkan secara kompak oleh hampir semua anggota DPRD lintas personal, komisi dan fraksi, terkait dengan program alokasi dana 500 juta per anggota DPRD dan Alokasi Dana Bansos. Program ini substansinya, secara teknis, DPRD meminta agar mereka diberi kesempatan membuat (mengusulkan) program kerja pembangunan dan peningkatan infrastruktur Jorong dan Nagari senilai Rp.500.000.000,- untuk setiap anggota DPRD, yang akan dialokasikan kepada basis utama suara atau konstituen. Di atas, telah dijelaskan, basis utama suara mereka adalah kampung halaman di mana mereka berasal. Artinya, program ini sebenarnya untuk kampung mereka, oleh karenanya terkait erat dengan OTM. Jika jumlah seluruh anggota DPRD Agam adalah 40 orang, maka jumlah keseluruhannya mencapai Rp.20.000.000.000,-. Program ini dibuat, dirancang, disusun oleh anggota DPRD kemudian dititipkan pada masing-masing SKPD sesuai
bidang
kerjanya.
Pelaksanaannya
program
ini,
sesungguhnya
mengindikasikan Dewan Lembaga Legislatif, telah memainkan peran lembaga Eksekutif. Latar belakang usulan program ini adalah akan dilaksanakannya Pemilu pada tahun 2009, sehingga dalam pembahasan RAPBD tahun 2008 untuk belanja 2009, permintaan ini muncul dari anggota DPRD. Dapat diartikan bahwa usulan ini menjadi salah satu modal kampanye Pemilu agar mereka terpilih kembali. Upaya meloloskan usulan program ini berlangsung alot, dengan ancaman para anggota Dewan akan memboikot pembahasan RAPBD. Bagi Bupati, TAPD dan lembaga Eksekutif pada umumnya, ancaman ini cukup serius bagi mereka. Karena, jika DPRD memboikot dan tidak bersedia membahas serta mengesahkan RAPBD menjadi APBD, maka menurut aturan penganggaran Pemda akan memakai acuan APBD tahun yang lalu atau tahun 2008. Jika itu terjadi, penambahan anggaran pada Dana Perimbangan, DAK yang telah menjadi plafond Kabupaten Agam tahun 2009 akan sulit di belanjakan. Kedua, apabila pemboikotan itu terjadi, maka nama lembaga Eksekutif akan tercemar. Oleh karenanya, Bupati bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tidak ada pilihan lain memilih jalan kompromi. Seperti ungkapan informan berikut ini;
189
“…tiga tahun sebelumnya (tahun 2005,2006 dan 2007) belum ada karena anggota dewan masih dalam pembelajaran. A kemudian nan kedua, alun taraso tekanan-tekanan dari masyarakat. Tapi lah mulai tahun ketiga, urang lah mulai gelisah, ini yang dijanjikan dulu belum juga terbangun. a jadi mulai kesal, a dia (anggota dewan) mulai ngotot tuh. Ambo indak namuah kalau jalan ko indak di aspal, tambah, kalau indak ambo indak namuah mengesahkan APBD ko. Bilo paralu boikot. A dia (TAPD) mau kompromi tuh". (Liryanda) Ungkapan dari petikan wawancara di atas, bukan saja lembaga Eksekutif dapat dipengaruhi oleh lembaga Legislatif dalam penganggaran, namun juga, mengindikasikan suhu politik anggaran dipengaruhi waktu atau berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD. Semakin mendekati masa Pemilu Lembaga Legislatif, intensitas tekanan lembaga
Legislatif terhadap lembaga Eksekutif
dalam masalah anggaran semakin menguat. Sesungguhnya, alokasi alokasi anggaran yang diberikan TAPD (Pemda) untuk Anggota DPRD Kabupaten Agam telah berjalan selama dua tahun, yakni mulai tahun 2008. Hanya saja, alokasi alokasi anggaran pada tahun 2008 hanya diberikan pada anggota DPRD yang duduk dalam Panitia Anggaran, sebagaimana ungkapan informan berikut; “Proses ikutnya anggota dewan mengalokasikan Daerah Pilihannya baru berlangsung dua periode (tahun 2008 dan 2009, red).” (YD, Ketua DPRD) Dasar pemikiran alokasi alokasi anggaran tahun 2008 hanya diberikan pada anggota DPRD yang duduk sebagai Panggar karena, pertama, Panggar reprensentasi Fraksi dan Partai. Sehingga, walaupun diberikan kepada anggota Panggar, mereka akan mengkoordinasikannya dengan fraksi dan partai untuk pengalokasian alokasi tersebut. Kedua, menghindari defisit anggaran. Jika diberikan pada seluruh anggota dewan anggaran akan membengkak dan memicu defisit anggaran lebih besar. Defisit akan terjadi, karena alokasi alokasi tersebut akan menambah jumlah anggaran. Bukan dengan adanya alokasi itu, kemudian mengurangi plafond anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (Dinas). Namun, alokasi alokasi anggaran belanja tahun 2008 yang diberikan pada masing-masing
190
anggota panggar tersebut, tidak pula seluruhnya di koordinasikan dengan fraksi masing-masing, sebagaimana harapan semula. Beberapa anggota Panggar, yang “berjalan sendiri” bersama temannya yang berasal dari fraksi yang sama, kemudian mengalokasi sendiri alokasi alokasi tersebut pada daerah pilihannya. Seperti ungkapan informan berikut; …contohkan begini, kita udah deal nih dengan PEMDA-TAPD kita dikasih, ada 100 juta, silahkan panitia anggaran mengalokasikan proyek 100 juta per orang, nih kita ada dua orang dari Partai, kita biasanya mengasih tahu yang lain, kasih tahu fraksi, nih 200 juta mau kita bangun apa, karena 200 juta mungkin yang penting di DAERAH PILIHAN itu. nah kawan-kawan yang lain itu saya lihat mereka nggak ngasih tahu yang lain. ada tiga orang dia disitu dapat alokasi 300 juta dia aja yang nulis usulanny, saya pernah alami itu, biasanya panitia anggaran ini dia ada sesuatu yang di rahasiakan juga ke anggota dewan yang lain, walaupun satu partai (Danof). Rahasia ini lantas akhirnya terbuka, dan memicu pertengkaran di dalam fraksinya. Belajar dari kasus 2008 tersebut, maka usul agar alokasi diberikan kepada masing-masing fraksi menurut alokasi alokasi anggaran belanja 2009 yang dibahas pada tahun 2008, tidak mendapat kata sepakat dari anggota DPRD. Ketidak sepakatan usulan agar alokasi di salurkan pada fraksi masing-masing juga didasarkan atas kenyataan, bahwa partai hanya sebagai alat kendaraan politik yang kurang bermakna bagi pemilih. Masyarakat Kabupaten Agam lebih cenderung melihat calon orang ketimbang gambar atau partai dalan Pemilu. Disamping itu, perjuangan anggota Dewan dalam Pemilu dibiayai oleh pribadi tanpa dukungan partai, seperti ungkapan berikut ini; “…awalnya kita buat per fraksi. Alokasinya per fraksi 500 juta. Silahkan cari di mana program mau di usulkan. Tapi akhirnya, kawan ini-kawan ini nggak mau per fraksi. Karena, fraksi-fraksi lain itu dia perjuangannya pribadi-pribadi. Nggak partai yang memperjuangkan. Partai hanya kendaraan..500 juta itu untuk dua jalan, masin2nya 1 Km saja tidak cukup. Kadang dia satu fraksi ada 4 orang jadi panitia Anggaran”.( Liryanda)
191
Maka, setelah disepakati dari internal DPRD usulan anggota Dewan yang akan diperjuangkan tim Panggar DPRD untuk masuk dalam APBD tahun anggaan 2009 adalah : a. Usulan penambahan anggaran 20 Milyar dalam APBD tahun 2009 b. Tambahan 20 M adalah untuk 40 orang anggota DPRD
untuk
dialokasikan pada Daerah Pilihan (DAERAH PILIHAN) Masing-Masing c. Masing-masing Anggota DPRD mendapat alokasi sama besar @ Rp. 500.000.000,d. Usulan alokasi sebesar Rp 500. 000.000/anggota DPRD tidak seluruhnya untuk kegiatan pembangunan fisik jalan, namun bisa untuk sekolah, Puskesmas, Irigasi dan sebagainya (terserah anggota Dewan)
Penyampaian usulan anggota dewan ini sengaja dipilih waktunya sehari sebelum rapat penetapan APBD. Jika usulan mereka tidak diakomodir, maka mereka akan memboikot proses penganggaran yang meliputi
pembahasan,
peetapan dan pengesahan RAPBD Kabupaten Agam tahun anggaran 2009. TAPD
mencoba
mengakomodasi
usulan anggota dewan
dengan
membawanya dalam rapat tim internal TAPD bersama Bupati. Hasil Rapat internal TAPD bersama Bupati memutuskan untuk mengakomodir usulan anggota Dewan. Maka, TAPD bersama Panggar DPRD, selama lima hari terhitung mulai 1 sampai 5 November 2008, mengadakan Raker Penetapan APBD Kabupaten Agam dengan agenda penyampaian usulan kegiatan anggota DPRD terkait dengan alokasi 500 juta per orang untuk anggaran 2009. Menurut Tim TAPD terdapat beberapa kendala dalam mengakomodir usulan anggota dewan dalam APBD 2009 yakni: (1) Usulan anggota Dewan yang masuk pada Tim TAPD seluruhnya atau sebahagian besar program pembangunan Fisik yang dikelola oleh dinas PU. Sementara, PU tidak memiliki dana tambahan selain DAK Rp. 8 Milyar. (2) Adanya pemecahan usulan dalam bentuk volume dan dana kecil yang menurut analisa PU tidak dapat diakomodir sesuai dengan ketentuan penggunaan dana (terutama DAK). (3) Usulan bidang kesehatan juga tidak dapat dipecah dan dialihkan sesuai dengan usulan, karena tahapan perencanaan lokasi dan besaran dana untuk kegiatan kesehatan ditentukan oleh
192
survey konsultan yang telah ditetapkan. (4) Usulan bidang pendidikan (Khusus DAK) hanya di alokasikan untuk bangunan/rehab SD, dan telah di fotocopy daftar 125 buah SD yang akan di survey dan diusulkan untuk alokasi DAK 2009 (prakiraan yang dapat dialokasikan tahun 2009 untuk 75 buah SD). (5) Adanya usulan yang tidak bisa ditampung dalam penganggaran APBD seperti untuk pembangunan/rehab kantor camat/waliNagari/ jorong/balai pemuda/balai adat atau pembangunan/rahab gedung sekolah SMP/SMA/ MDA/MTI/TK dsb. Menurut Legilatif, usulan anggota dewan Rp. 500.000.000,- per orang bukan berarti menambah anggaran APBD tahun 2009, karena kalau itu yang dilakukan akan menambah defisit, oleh karenanya di-akomodir dalam kegiatan masing-masing SKPD dan harus sesuai dengan proporsi awalnya yakni Rp.300.000.000,- untuk kegiatan fisik (Dinas PU) dan Rp.200.000.000,- untuk kegiatan SKPD lainnya Rapat kemudian menghasilkan, dari Pembahasan APBD antar Panggar dengan TAPD, disepakati : a. Masing-Masing Anggota DPRD mendapat pagu Rp.500.000.000,- untuk membuat usulan dalam APBD dan dialokasikan kepada masyarakat (Daerah Pilihan) b. Masing-masing anggota DPRD diminta untuk membuat usulan baru untuk di akomodir dalam APBD 2009 c. Proporsi Usulan Rp. 300.000.000,- untuk kegiatan pembangunan fisik (SKPD PU) dan Rp. 200.000.000,- untuk kegiatan SKPD lain.
Berdasarkan pembicaraan Panggar dengan TAPD disepakati bahwa masing-masing anggota DPRD membuat dan mengajukan perubahan usulan kembali sesuai dengan proporsi Rp.300.000.000,- untuk kegiatan fisik ke-PU-an dan Rp.200.000.000,- untuk kegiatan SKPD yang lainnya. Pada akhir hasil rapat, telah disepakati, bahwa usulan anggota DPRD, dengan ketentuan seperti telah dibahas, akan diakomodir dalam APBD 2009. Maka, selanjutnya, kedua belah pihak sepakat, terutama DPRD melalui Ketuanya dan TAPD melalui Bupati, mengetuk palu dan menandatangani pengesahan APBD 2009. Namun, ketika penjabaran APBD dicetak, apa yang telah disepakati
193
bersama ternyata tidak tertulis sepenuhnya di dalam penjabaran APBD. Sebahagian ada yang hanya mendapat setengah dari usulan yang telah disepakati semula, bahkan ada anggota lembaga Legislatif yang tidak mendapatkan sama sekali alokasi tersebut. Menurut informan lembaga Eksekutif, terdapat beberapa alasan mengapa kesepakatan tersebut tidak sesuai dengan realisasinya. Beberapa telah dijelaskan di atas. Pertama, usulan tersebut banyak yang tidak memenuhi persyaratan, contohnya, tidak ada ketentuan teknis membangun atau merehab Mesjid dan gedung TK, juga pengadaaan Mobiler, namun usulan itu muncul juga, sehingga ditolak. Kedua, dari alokasi Rp. 500.000.000,-, banyak anggota memecahnya menjadi diperuntukkan untuk 10 bahkan 15 kegiatan. Sehingga, alokasi dana terfragmentasi dan pertanggung jawaban dananya menjadi sulit. Ketiga, banyak usulan yang sudah di rehab pada tahun 2008. Terakhir, keputusan untuk realisasi alokasi tersebut tergantung pada dana yang tersedia dan SKPD yang bersangkutan. Menurut anggota Dewan, tidak terealisasinya alokasi dana oleh DPRD sesuai dengan yang telah disepakati sebesar Rp. 500.000.000,- merupakan bagian dari strategi lembaga Eksekutif dan ini bukan pertama sekali terjadi. Kesepakatan alokasi dana Rp.500.000.000,- untuk DPRD tercapai, terutama disetujui oleh Lembaga Eksekutif karena mengejar tenggat waktu pengesahan APBD. “..inyo takaja dek wakatu ma itu mangkonyo setuju. Disamping itu, Kabupaten Agam ini kan sering mendapat pernghargaan dari pusat karena pembahasan, pentapan dan pengesahan APBDnya selalu tepat waktu. Biasanya, mereka (Bupati) mendapat pernghargaan, salah satu insentif tambahan dana 4 Milyar..” (Danof) Kekecewaan anggota Dewan tersebut akan mendapat tempat untuk di “tumpahkan” pada pembahasan APBD tahun selanjutnya. Dan, biasanya perundingan-perundingan dan strategi baru telah disiapkan oleh kedua belah pihak untuk pertemuan tersebut.
194
7.4.4. Kasus Ragam Permainan Peran Lembaga Eksekutif, Pembangunan Sport Centre Salah satu contoh kasus manuver Lembaga Eksekutif dalam Penganggaran adalah pembangunan Sport Centre di Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam.59 Program Pembangunan Sport Centre ini adalah pembangunan pusat Gelanggang Olahraga lengkap cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan, baik pada tingkat nasional maupun, internasional. Seperti terdiri dari Stadion Sepakbola dan Atletik, Gedung Olahraga tertutup lapangan Bulutangtangkis, Basket, Voli. Kolam Renang, seluruhnya standar Nasional. Program pembangunan Sport Centre memakan biaya 60 milyar, yang dilaksanakan dalam jangka 3 (tiga) tahun terhitung mulai tahun 2007 s/d 2009. Program pembangunan sport centre ini dilakukan dalam rangka menyambut Pekan Olah Raga Provinsi di Sumatera Barat (POR PROV) tahun 2010. Pertimbangan Bupati membangun Sport Centre ini, karena di Kabupaten Agam belum ada sarana olah raga lengkap, yang terstandarisasi, dan terpusat. POR Provinsi adalah pertandingan olah raga, yang terkandung didalamnya parawisata. Bagi Bupati, jika terbangunnya Sport Centre, akan menjadi “beranda depan” atau “ruang tamu” bagi Kabupaten Agam. Dalam perencanaan awalnya, pembiayaan pembangunan Sport Centre ini dibiayai oleh pemerintah pusat. Pemda Kabupaten Agam hanya menyediakan dana pendamping saja. Namun, pada pembahasan RAPBD untuk tahun anggaran 2007, pembangunan Sport Centre ini menjadi prioritas program Bupati, di mana pembangunannya murni dibiayai oleh APBD Kabupaten Agam. Rencana ini
59
Hasil wawancara bersama Asisten III, menginformasikan fakta versi PEMDA seputar program Sport Centre. Pertama, bahwa Idealnya sebuah Kabupaten memiliki sarana untuk pertandingan Olah Raga yang terpusat. Gelanggang Olah Raga yang ada saat ini belum sesuai dengan standar Provinsi sekalipun. Sebenarnya, dulu sebelum terjadi pemekaran wilayah, Kabupaten Agam telah memiliki sarana ini, yakni terletak di pusat dan pinggiran kota Bukittinggi. Kota Bukittinggi saat itu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Agam dan menjadi ibukota kabupatennya. Namun, ketika pemekaran wilayah terjadi, di mana Bukitinggi menjadi Kotamadya tersendiri, memisahkan diri dari Kabupaten Agam. Pusat Gelanggang Pertandingan Olah Raga tersebut masuk wilayah Komadya Bukittinggi. Jadi, program pembangunan Sport Centre itu, disamping untuk menyambut POR Prov. juga dalam rangka mengganti pusat Gelanggang Pertandingan Olah Raga yang telah menjadi milik PEMDA Kotamadya Bukittinggi tersebut. Kedua, semula pembiayaan Sport Centre ini berasal dari dana Hibah Pemerintah Pusat, namun, batal karena dialihkan untuk penanggulangan Gempa tahun 2006. Sehingga, program tersebut kemudian di alihkan pendanaanya melalui APBD.
195
mendapat penolakan sebahagian dari anggota DPRD Kabupaten Agam. Ketika program rencana pembangunan Sport Centre ini dibicarakan dalam tingkat paripurna, hasil pembahasan menunjukkan, seluruh anggota DPRD hasil DAERAH PILIHAN I.60 menyetujui pembangunan Sport Centre tersebut, seluruhnya berjumlah 10 orang dari 40 orang anggota DPRD terpilih. Persetujuan anggota DPRD Daerah Pilihan I, seperti telah dijelaskan pada bab V, karena akan mendapat keuntungan secara langsung adalah kecamatan-kecamatan yang berada dalam Daerah Pilihan I, yakni Lubuk Basung, Tanjung Mutiara dan IV Nagari. Bagi mereka, ada pembangunan di kampung mereka. Banyak lahan kemudian terbuka, dengan dibangunnya jalan-jalan baru, harga tanah pun menjadi meningkat. Pembangunan Sport Centre juga diiringi dengan pembangunan infrastruktur pendukung lain, seperti pusat-pusat perdagangan, kesehatan, penginapan dan lain sebagainya. Namun, karena hanya Daerah Pilihan I saja yang mendukung, yang hanya berjumlah 10 orang, sisa 30 lainnya anggota DPRD tidak mendukung, maka keputusan DPRD adalah tidak setuju, seperti ungkapan informan berikut; “…ada juga yang kita “cancel” gitu kan. Pernah kita membatalkan, ini pengalaman ya, membatalkan “sport centre”. Kan Agam ini mau membangun sport centre ini. itukan anggarannya multi year kan, sejak tahun 2007 kalau nggak salah itu udah mulai dihitung mendekati sekitar 60 milyar lah memang multi year lah kan. itu kita coret dan kita anggap nggak penting, (Danof) Alasan penolakan DPRD Kabupaten Agam, adalah pertama hanya untuk Pekan Olah Raga Provinsi yang berlangsung kurang lebih dua pekan tersebut, Kabupaten Agam harus mengeluarkan biaya yang besar dan membebani APBD selama tiga tahun, seperti ungkapan informan berikut; “…Inyo Pekan Olahraga Provinsi ko hanya limo baleh hari nyo, manga awak mengeluarkan piti sabanyak tu? tigo tahun lo tu. Lai ka masuak aka tu? (HT, DA, PS.B, YD, DPRD KABUPATEN AGAM)
60
Daerah Pilihan I satu adalah kecamatan, Lubuk Basung, IV Nagari dan Tanjung Mutiara.
196
Kedua, setelah itu, perawatan Sport Centre kedepan juga membutuhkan dana APBD yang besar pula setiap tahunnya. Sedangkan yang ada saat ini, banyak gedung yang telah di bangun Pemda Kabupaten Agam tidak terawat. “…yang pertama dulu alasannya, banyak pembangunan yang namanya aula tidak termanfaatkan. Dibangun kemudian di biarkan. di Manggopoh itu dulu bekas MTQ mubazir, buang-buang aja, disamping disainnya itu nggak betul. a ini masalah disain ini memperngaruhi juga nantikan (DA, Panggar) Ketiga, alasan penolakan DPRD Kabupaten Agam adalah bahwa Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Agam relatif kecil, hanya sekitar 14 Milyar Rupiah pada tahun 2007, dan 20 Milyar Rupiah pada tahun 2009. Pada tahun 2009, APBD Kabupaten Agam adalah sebesar 400 Milyar Rupiah. Artinya, sekitar 95 persen sumber APBD berasal dari Pemerintah Pusat. Dana ini belum termasuk dana Dekonsentrasi (Dana Dekon) yang penyalurannya melalui SKPDSKPD Pemerintah
Provinsi dan Dana Tugas Pembantuan (Dana TP) yang
penyaluran berasal dari Kementrian Lembaga
Pemerintah Pusat yang tidak
tercantum (masuk) APBD.61 Itupun, hampir 75 persen dana APBD telah terpakai untuk membayar gaji Pegawai Pemda atau belanja pegawai. Oleh karenanya, menurut hemat DPRD, sebaiknya rencana alokasi pembangunan Sport Centre tersebut di pakai untuk program pembangunan yang dapat berdampak langsung pada masyarakat dan peningkatan PAD. Keempat, alasan ketidak setujuan DPRD juga di picu dari RAB (Rencana Anggaran Biaya) yang beraroma mark-up dan nuansa penyimpangan anggaran. Salah satunya yang jelas terlihat adalah biaya ganti rugi tanah yang akan menjadi areal Sport Centre. “…Kami tidak setuju, termasuk penggantian tanah. Kami tidak setuju mambali bukik tu lai…pasaran harago tanah tu Rp. 5.000,-/meter2. di bali dengan harago Rp.15.000,-/Meter2, lah manyalahi katantuan…” (HT, Komisi C)62 “…kami sebagai anggota Dewan dulunya tidak menyetujui. Sebab kalau Sport Centre di buek di Lubuk Basuang untuk kepentingan 61
Penyaluran Kedua Dana ini, dana Dekon dan dana TP, Pemda hanya sebagai pelaksana, dan menyediakan dana pendamping sebesar 10 persen. 62 informasi yang sama juga di sampaikan oleh PS.B, YD, DA dalam isi wawancara dengan mereka di tempat dan waktu terpisah.
197
Pekan Olah Raga Provinsi, itu kan sifatnya sementara. GOR Agus Salim (berada di Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat, red) yang milik Provinsi tidak bermanfaat. Lai ka mungkin urang Baso pergi berenang ke Lubuk Basuang? Tidak kan mungkin. Kalau urang Lubuak Basuang lebih suka baranang di batang Antokan. Kami Tidak setuju.” (HT, Komisi C)63 Anggota Dewan menyarankan, untuk mengembangkan GOR yang ada, sehingga dananya dapat di tekan. Namun, penolakan dan pencoretan rencana program pembangunan Sport Centre tersebut mendapat reaksi, terutama dari masyarakat yang berdomisili di Lubuk Basung. Berbagai unsur masyarakat tersebut melakukan demonstrasi, dan berujung pada penyanderaan anggota DPRD yang sedang bekerja di Gedung DPRD Kabupaten Agam. Para anggota Dewan tidak dibolehkan ke luar atau pulang dari Gedung tersebut. seperti ungkapan informan berikut ini; “… demo orang disitukan. Orang lubuk basung kan… Demo ke DPRD. Termasuk kita nggak setuju membeli tanah untuk sport centre. di Sandra anggota dewan ni. he he he Disandra (DA, Panggar). Reaksi dari berbagai unsur masyarakat yang berdiam di Lubuk Basung sekitarnya berpangkal dari berbagai kepentingan. Bagi masyarakat Lubuk Basung sekitarnya, pembangunan Sport Centre adalah berkah, karena akan mempengaruhi perubahan ekonomi, seperti harga tanah meningkat harganya dan terbukanya kampung mereka karena jalan-jalan baru.64 Bagi kontraktor, pekerjaan tersebut sebuah kontrak besar dengan masa yang panjang pula. Secara faktual, berbagai kepentingan tersebut, yang melatar belakangi demontrasi penduduk Lubuk Basung yang berujung pada penyanderaan anggota DPRD. Akhirnya, setelah melalui mediasi, DPRD Kabupaten Agam tidak mencoret program pembangunan Sport Centre tersebut dari APBD Kabupaten Agam tahun anggaran 2007.
63
hasil wawancara dengan Substansi yang sama juga ada pada Wawancara PA.Bandaro, Yandril (DPRD), Dt. Nawardi Asa Sipado. 6464 Pada saat penelitian ini di lakukan, di akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010, harga tanah telah mencapai Rp.300.000 per meter perseginya, dan Rp.100.000,- meter perseginya untuk lahan perbukitan di sekitar Sport Centre yang memiliki luas sekita 10 Ha. Bandingkan dengan harga sebelumnya yang hanya Rp.5.000,- per meter persegi. pada tahun 2007.
198
“….Pastinya nggak tahu juga ya pak. cuman di sinyalir ada beberapa kepentingan. kepentingan bupati juga..ini disinyalir pak kita nggak bisa pastikan, kontraktor tentu iya juga. Masyarakat sekitar yang tanahnya akan dipakai juga. makanya, ketika demo itu memang ramai masyarakat lubuk basung sekitarnya. Sampai akhirnya di setujui. tekanan itu kan. nah ini tentang pembangunan sport centre. a itu mungkin semacam anu ya tekanan untuk membuat anggaran gitu ya. “ (DA, Panggar) “…Sampai anggota Dewan di demo, tantu takut kami keselamatan kami. Sehingga, kami pindah berkantor dan rapat di Bukittinggi. (HT, Komisi C) Sesungguhnya DPRD Kabupaten Agam menolak pembangunan Sport Centre tersebut berkaitan dengan persaingan anggaran, di mana anggaran layaknya sebuah bejana berhubungan.65 Prinsipnya, dengan metafora bejana berhubungan tersebut, apabila pihak tertentu mendapat porsi anggaran yang lebih besar, maka akan mengurangi porsi anggaran pihak lain. Sebab, jumlah anggaran tetap. Anggota DPRD Kabupaten Agam sangat perduli dengan jumlah belanja dan alokasi anggaran. Sebab, bagi anggota DPRD jumlah anggaran dan alokasi berpengaruh pada daerah pilihan dan merupakan investasi bagi terpilihnya mereka untuk masa jabatan periode selanjutnya. Motif ini menjadikan pembahasan APBD sebagai ajang perebutan alokasi anggaran. Jika sekitar 70 persen anggaran telah terpakai untuk belanja pegawai, maka yang diharapkan untuk program pembangunan, utamanya fisik, adalah 30 persen sisanya. Hal ini, belum termasuk honor, pajak dan keuntungan pihak ketiga. Jika di asumsikan, sisa anggaran yang dapat dialokasikan untuk program pembangunan 20 persen dan jumlah APBD sebesar 400 Milyar, maka jumlahnya kurang dari 100 Milyar rupiah. Jumlah ini, jika dikurangi untuk pembangunan Sport Centre 25 Milyar per-tahun-nya, maka sisa belanja publik itu menjadi semakin sedikit dan semakin sedikit pula alokasi untuk daerah pilihan. 65
Saya teringat pelajaran SMP dulu, tentang pelajaran bejana berhubungan ini. di mana dua bejana atau lebih terhubung dengan pipa gelas antar masing-masing bejana. Hukumnya adalah, apabila terjadi perubahan gaya, seperti posisi bejana di miringkan ke posisi yang lain akan berakibat pada isi bejana yang lain. Prinsipnya dengan perubahan kemiringan, akan menyebabkan isi bejana mengalir ke tempat yang leboh rendah, dan mengurangi isi bejana yang lebih tinggi.