Pattidāna Umat Buddha di Indonesia sering melakukan pelimpahan jasa (pattidāna)1) dalam berbagai kesempatan, entah dalam kebaktian rutin, latihan meditasi sehari-hari atau dalam acara khusus tertentu misalnya Upacara Pattidana yang diselenggarakan setiap tahun di sejumlah vihara pada hari-hari sekitar bulan Maret/April (bersesuaian dengan Cengbeng/ sembahyang kubur dalam tradisi Tionghoa) atau Agustus/September (bersesuaian dengan upacara Cioko/ Ullambana dalam tradisi Tionghoa). Namun, orang acapkali mempertanyakan apakah tradisi pattidana ini memang diajarkan oleh Buddha sendiri atau hanya merupakan perkembangan tradisi Buddha belakangan? Kalau kita telusuri kata pattidāna tersebut di dalam Tipiṭaka (Chaṭṭha-Saṅgayāna CD), takkan ditemukan jejaknya. Barulah dalam Aṭṭhakathā (Kitab Komentar), Ṭīkā (Kitab Subkomentar) dan Anuṭīkā (Kitab Sub-subkomentar) bisa ditemukan kata tersebut. Apakah ini lantas berarti bahwa pattidāna ini adalah ciptaan orang belakangan?
Dakkhiṇā Sekarang mari kita tengok dalam konteks apa kata pattidāna ini muncul. Dalam Kitab Komentar dari Siṅgāla-Sutta (di Indonesia dikenal sebagai Sigalovāda-Sutta), misalnya, ditemukan kalimat berikut : Saya akan mempersembahkan dakkhiṇā : mulai hari ketiga saya akan mempersembahkan dana dan melakukan pattidana untuk mereka. [D.A. iii. 952] 2 Dalam Kitab Komentar dari Petavatthu, Khallāṭiyapetivatthuvaṇṇanā, juga ada kalimat : Setelah ia dikenakan pakaian, dedikasikanlah dakkhiṇā [itu] ke saya : setelah memakaikan pakaian luar yang diberikan kepada saya pada upasaka itu, berikanlah pattidana, tujukanlah dakkhiṇā tersebut kepada saya. Dengan demikian saya akan merasa bahagia : dengan melakukan ini saya akan menjadi bahagia, mengenakan busana surgawi, memperoleh kebahagiaan. [Petavatthu A. 49] 3 Dari dua kutipan di atas kita bisa melihat bahwa ada kaitan erat antara pattidana dengan dakkhiṇā. Lantas apa yang dimaksud dengan dakkhiṇā? Dalam Kitab Komentar Itivuttaka disebutkan bahwa : Dakkhiṇā : derma (dāna) yang diberikan karena keyakinan adanya dunia seberang. Yang patut diberi dakkhiṇā : ia yang layak [menerima] dakkhiṇā tersebut, yang membuat dakkhiṇā tersebut bermanfaat, karena pahala besar yang telah dihasilkan, karena bersifat memurnikan. [Itivuttaka A. ii. 109] 4 Menurut kamus Bahasa Pali: dakkhiṇa : kanan, selatan, terampil 1
Pattidāna terdiri dari dua kata : patti dan dāna. Patti (Sansekerta : prāpti) berarti apa yang telah dicapai/ diperoleh, maksudnya jasa-jasa kebajikan yang telah diperoleh. Dāna berarti memberi/ membagi. Jadi, pattidāna secara keseluruhan berarti memberikan/ melimpahkan jasa-jasa kebajikan yang telah diperoleh. 2 Dakkhiṇaṃ anuppadassāmīti tesaṃ pattidānaṃ katvā tatiyadivasato paṭṭhāya dānaṃ anuppadassāmi. Ini untuk menjelaskan kalimat “Petānaṃ kālaṅkatānaṃ dakkhiṇaṃ anuppadassāmīti” [D. 3:188] (Saya akan mempersembahkan dakkhiṇa untuk para mendiang, mereka yang telah meninggal dunia), salah satu kewajiban seorang putra terhadap orangtuanya, dalam Sigalovāda-Sutta. 3 Etaṃ acchādayitvāna, mama dakkhiṇamādisāti etaṃ upāsakaṃ mama diyyamānaṃ sāṭakaṃ paridahāpetvā taṃ dakkhiṇaṃ mayhaṃ ādisa pattidānaṃ dehi. Tathāhaṃ sukhitā hessanti tathā kate ahaṃ sukhitā dibbavatthanivatthā sukhappattā bhavissāmīti. 4 Dakkhiṇā’’ti paralokaṃ saddahitvā dātabbadānaṃ, taṃ dakkhiṇaṃ arahati dakkhiṇāya vā hito mahapphalabhāvakaraṇena visodhanatoti dakkhiṇeyyo.
1
tetapi dakkhiṇā : derma yang diberikan kepada seseorang yang “suci” demi mereka yang berada di alam peta (atau Manes); kompensasi atau upah untuk seorang guru atau pendeta (arti belakangan). Jadi, dakkhiṇā adalah dana yang diberikan kepada petapa dan lain sebagainya untuk kebahagiaan mereka yang sudah meninggal. Dengan kata lain, pemberian dakkhiṇā mempunyai tujuan untuk pelimpahan jasa (pattidāna).
Objek Dakkhiṇā Pemberian dakkhiṇā selain ditujukan kepada bhikkhu atau saṅgha sebagaimana yang disebutkan dalam Tirokuḍḍa-Sutta : “Ia telah berbuat [dan] melakukan [sesuatu] untuk saya, sanak famili dan handai-taulan saya”; setelah dakkhiṇā dipersembahkan untuk [kepentingan] para mendiang, teringat apa yang telah dilakukan di masa lalu [untuknya]. Dakkhiṇā yang telah didermakan ini, yang disajikan dengan baik kepada Sanggha, akan segera menunjukkan hasilnya, bermanfaat dalam jangka waktu lama. [Khuddakapāṭha 6] 5 juga bisa ditujukan kepada seorang upasaka yang memiliki keyakinan kuat kepada Tiratana sebagaimana yang diceritakan di dalam Kitab Komentar terhadap Khallāṭiyapetivatthu6: Setelah membuat upasaka itu mengenakan pakaian luar yang ditujukan kepada saya, berikanlah pattidana, dedikasikanlah dakkhiṇā tersebut kepada saya. [Petavatthu A. 49] 7 bahkan bisa juga diberikan kepada ikan sebagaimana yang dikisahkan dalam MacchuddānaJātaka8 : Setelah memberi makanan kepada ikan, dakkhiṇā didedikasikan kepada saya; teringat-ingatlah dakkhiṇā tersebut, respek yang telah Anda lakukan. [Jātaka No. 288] 9
5
Adāsi me akāsi me, ñātimittā sakhā ca me; Petānaṃ dakkhiṇaṃ dajjā, pubbe katamanussaraṃ. Ayañca kho dakkhiṇā dinnā, saṅghamhi suppatiṭṭhitā; Dīgharattaṃ hitāyassa, ṭhānaso upakappati. 6 Dalam Khallāṭiyapetivatthu diceritakan bahwa ada sesosok petī yang walaupun tinggal di istana emas di angkasa di tengah laut, namun karena karma buruk yang telah dilakukan sebelumnya sehingga terlahir dalam kondisi tidak berpakaian. Suatu hari kondisi petī ini ditemukan serombongan pedagang yang sedang berlayar mengarungi laut. Mereka lantas ingin memberinya pakaian. Namun petī tersebut mengatakan tidak bisa. Cara yang efektif adalah dengan memberikan pakaian tersebut kepada seorang upasaka di antara mereka yang memiliki keyakinan kuat terhadap Buddha, setelah itu barulah melakukan pelimpahan jasa untuk dirinya. Dengan demikian ia baru bisa memperoleh pakaian. 7 Etaṃ upāsakaṃ mama diyyamānaṃ sāṭakaṃ paridahāpetvā taṃ dakkhiṇaṃ mayhaṃ ādisa pattidānaṃ dehi. 8 Dalam salah satu kelahiran lampaunya, suatu hari Sang Bodhisatta sedang melakukan perjalanan menaiki perahu bersama saudaranya. Ia menyantap bekal makanan yang dibawa. Yang tersisa dilemparkan ke sungai untuk ikan-ikan di sana. Kemudian Sang Bodhisatta melimpahkan jasa-jasa tersebut kepada dewata di sungai. Setelah turut bergembira (anumodana), keperkasaan sang dewata bertambah. Menyadari penyebab peningkatan keperkasaannya, lantas dewata tersebut berusaha melindungi Sang Bodhisatta dari ancaman yang dihadapi pada saat itu. 9 Macchānaṃ bhojanaṃ datvā, mama dakkhiṇamādisi; Taṃ dakkhiṇaṃ sarantiyā, kataṃ apacitiṃ tayā’’ti.
2
Dan memang menurut Dakkhiṇāvibhaṅga-Sutta [M. iii. 252] ada 14 jenis individu yang bisa dijadikan objek pemberian dakkhiṇā dengan urutan kualitas kebajikan yang semakin rendah : (1) Sammasambuddha; (2) Paccekabuddha; (3) Arahat; (4) Yang sedang menapaki jalan menuju perwujudan Arahattaphala; (5) Anāgāmi; (6) Yang sedang menapaki jalan menuju perwujudan Anāgāmiphala; (7) Sakadāgāmi; (8) Yang sedang menapaki jalan menuju perwujudan Sakadāgāmiphala; (9) Sotāpanna; (10) Yang sedang menapaki jalan menuju perwujudan Sotāpattiphala; (11) Yang secara lahiriah telah bebas dari nafsu kesenangan indriawi 10; (12) Puthujjana yang memiliki sila yang baik; (13) Puthujjana yang tidak memiliki sila yang baik; (14) Binatang.11
Objek Pelimpahan Jasa Dalam Tirokuḍḍa-Sutta, dakkhiṇā diberikan kepada Sanggha dan didedikasikan kepada para peta. Sedangkan dalam Khallāṭiyapetivatthu, dakkhiṇā diberikan kepada seorang upasaka dan didedikasikan kepada sang petī (peta wanita). Jadi, keduanya ditujukan kepada makhluk peta. Namun dalam Macchuddāna-Jātaka, dakkhiṇā diberikan kepada ikan dan didedikasikan kepada dewata sungai. Jadi, dari sini kita bisa lihat bahwa pelimpahan jasa juga bisa ditujukan kepada dewa[ta]. Contoh lain pelimpahan jasa kepada dewa bisa ditemukan pula di MahāparinibbānaSutta : Sang bijak-bestari yang berada berdiam di wilayah mana pun, yang memberi makan kepada mereka yang bersusila, yang dikenal sebagai pengamal kehidupan luhur; Bila mendedikasikan dakkhiṇā kepada para dewata yang berada di sana, maka mereka yang dihormati pun menghormatinya, yang dimuliakan pun memuliakannya. Sehingga mereka pun akan mengasihinya, bagaikan ibu terhadap putra yang dilahirkannya; Orang yang dikasihi para dewata, akan selalu bersua dengan keberuntungan. [D. ii. 88] 12 Bahkan pattidana juga bisa ditujukan kepada manusia sebagaimana yang diceritakan dalam Kitab Komentar terhadap Vihāravimāna bahwa saat Visākhā selesai membangun sebuah vihāra yang megah untuk dipersembahkan kepada Sang Tathagata, ia melakukan pelimpahan jasa juga untuk 500 sahabat yang menyertainya (yang masih hidup sebagai manusia) : 10
Orang yang memiliki lima jenis kesaktian (abhiññā) duniawi. Cuddasa kho panimānanda, pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Katamā cuddasa? Tathāgate arahante sammāsambuddhe dānaṃ deti – ayaṃ paṭhamā pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Paccekasambuddhe dānaṃ deti – ayaṃ dutiyā pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Tathāgatasāvake arahante dānaṃ deti – ayaṃ tatiyā pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Arahattaphalasacchikiriyāya paṭipanne dānaṃ deti – ayaṃ catutthī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Anāgāmissa dānaṃ deti – ayaṃ pañcamī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Anāgāmiphalasacchikiriyāya paṭipanne dānaṃ deti – ayaṃ chaṭṭhī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Sakadāgāmissa dānaṃ deti – ayaṃ sattamī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Sakadāgāmiphalasacchikiriyāya paṭipanne dānaṃ deti – ayaṃ aṭṭhamī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Sotāpanne dānaṃ deti – ayaṃ navamī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Sotāpattiphalasacchikiriyāya paṭipanne dānaṃ deti – ayaṃ dasamī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Bāhirake kāmesu vītarāge dānaṃ deti – ayaṃ ekādasamī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Puthujjanasīlavante dānaṃ deti – ayaṃ dvādasamī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Puthujjanadussīle dānaṃ deti – ayaṃ terasamī pāṭipuggalikā dakkhiṇā. Tiracchānagate dānaṃ deti – ayaṃ cuddasamī pāṭipuggalikā dakkhiṇāti. 12 Yasmiṃ padese kappeti, vāsaṃ paṇḍitajātiyo; Sīlavantettha bhojetvā, saññate brahmacārayo. Yā tattha devatā āsuṃ, tāsaṃ dakkhiṇamādise; Tā pūjitā pūjayanti, mānitā mānayanti naṃ. Tato naṃ anukampanti, mātā puttaṃva orasaṃ; Devatānukampito poso, sadā bhadrāni passatī’’ti. 11
3
Dengan selesai dikerjakannya bangunan tinggi (pāsāda) seperti ini, turut bergembiralah atas jasa-jasa kebajikan yang telah saya hasilkan, saya memberikan pattidana kepada kalian. [Vimānavatthu A. 188] 13 Kemudian ada seorang upasika yang secara khusus menaruh perhatian terhadap pattidana ini. Upasika yang tidak lama kemudian meninggal ini lantas terlahir di Tāvatiṃsa, memiliki istana yang megah karena telah turut bergembira atas pattidana yang dilakukan Visākhā. Lantas bagaimana dengan wejangan Sang Buddha dalam Jāṇussoṇi-Sutta? Ada sejumlah orang mengatakan bahwa menurut sutta tersebut, yang bisa memperoleh pelimpahan jasa hanyalah golongan peta. Untuk mendapatkan jawabannya marilah kita cermati cuplikan sutta tersebut : “Kami, Tuan Gotama, sebagai brahmana, memberi dana, melakukan [Upacara] Saddha, ‘Semoga dana ini bermanfaat untuk para mendiang sanak famili yang mempunyai hubungan darah dengan kami, semoga para mendiang sanak famili yang mempunyai hubungan darah dengan kami menikmati dana ini’. Apakah dana ini, Tuan Gotama, bermanfaat untuk para mendiang sanak famili yang mempunyai hubungan darah dengan kami? Apakah para mendiang sanak famili yang mempunyai hubungan darah dengan kami menikmati dana ini?” “Di tempat yang memungkinkan, oh brahmana, bermanfaat; di tempat yang tidak memungkinkan, tidak bermanfaat.” “Sehubungan dengan ini, oh brahmana, ada seseorang … terlahir [kembali] di neraka … di dalam rahim binatang … di antara manusia … di antara para dewa. Dengan makanan dewalah ia bertahan hidup di sana. Dengan makanan itulah ia berdiam di sana. Inilah, oh brahmana, tempat yang tidak memungkinkan untuk dana yang telah disiapkan tersebut menelurkan manfaat. Sehubungan dengan ini, oh brahmana, ada seseorang … terlahir [kembali] di alam peta. Dengan makanan makhluk petalah ia bertahan hidup di sana. Dengan makanan itulah ia berdiam di sana. Dengan apa yang disajikan handai tolan sanak famili yang mempunyai hubungan darah dengannyalah ia bertahan hidup di sana. Dengan makanan itulah ia berdiam di sana. Inilah, oh brahmana, tempat yang memungkinkan untuk dana yang telah disiapkan tersebut menelurkan manfaat.” [A. v. 269] Dalam sutta ini tidak ditemukan kata dakkhiṇā, yang ada adalah kata ‘dana’ dan ‘Upacara Saddha’. Dalam tradisi Hindu, ada satu upacara yang disebut ‘Śrāddha’ yang dilakukan untuk ‘menyeberangkan’ sanak famili yang telah meninggal (preta) ke alam bahagia dengan bergabung bersama leluhurnya (pitṛ). Upacara tersebut dilakukan dengan memberikan sesajian dupa, bunga, pelita minyak samin, benang putih, dilanjutkan dengan gumpalan nasi (piṇḍa) dan air kepada mendiang. Sesajian inilah yang dirujuk sebagai ‘dana’ dalam sutta ini. Dana (sesajian) ini langsung ditujukan kepada para mendiang ---- tidak seperti dakkhiṇā, yang diberikan kepada para dakkhiṇeyya, kemudian didedikasikan kepada para mendiang. Jadi, ‘dana langsung’ hanya bisa diterima para peta, sedangkan ‘dana tak langsung’ seperti dakkhiṇā umumnya selain bisa diterima para peta, juga para dewa. Ini sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam Khuddakapāṭha Aṭṭhakathā 210 bahwa : Para peta sendiri turut bergembira (anumodana), melalui pernyataan para donatur, dan terpenuhinya [syarat] yang patut diberi dakkhiṇā, inilah tiga faktor yang membuat dakkhiṇā bisa berhasil, langsung memunculkan hasilnya. [Khuddakapāṭha A. 210] 14 Makhluk yang ditujukan harus turut bergembira. Oleh sebab itu makhluk-makhluk yang terlahir kembali di alam manusia15, alam binatang, dan alam neraka umumnya tidak bisa menerima 13
Imaṃ evarūpaṃ pāsādaṃ kārentiyā yaṃ mayā puññaṃ pasutaṃ, taṃ anumodatha, pattidānaṃ vo dammi. Petānañhi attano anumodanena, dāyakānaṃ uddesena, dakkhiṇeyyasampadāya cāti tīhi aṅgehi dakkhiṇā samijjhati, taṅkhaṇe phalanibbattikā hoti. 15 Ada sejumlah pengecualian yang akan dibahas di bagian akhir dari artikel ini. 14
4
pelimpahan jasa karena tidak mengetahuinya sehingga tidak bisa turut bergembira. Sebaliknya, makhluk-makhluk yang terlahir di alam peta dan dewa bisa mengetahui dan turut bergembira karena memiliki kebebasan untuk ‘gentayangan’.
Pattidana = Transfer Jasa? Dalam Kitab Komentar terhadap Tirokuḍḍa-Sutta16 dikatakan bahwa pelimpahan jasa “bukanlah suatu perbuatan dilakukan satu pihak kemudian buahnya diberikan kepada pihak lain, namun pemberian yang terarah seperti itu semata-mata menjadi landasan untuk mengondisikan munculnya kusalakamma para sanak famili yang telah mendiang. Dengan demikian, berkat landasan tersebut muncullah kusalakamma yang langsung berbuah pada saat itu juga.” Jadi, pattidana (pelimpahan jasa) hanyalah sebagai umpan yang mengondisikan munculnya kusalakamma sang peta yaitu perbuatan turut bergembira (anumodana) di mana kusalakamma tersebut selanjutnya langsung berbuah. Dari sini juga bisa disimpulkan bahwa karma buruk tak dapat dilimpahkan, karena (1) pelimpahan jasa memang bukan sejenis transfer sesuatu; (2) karma buruk takkan menghasilkan jasa-jasa kebajikan; (2) kalau pun ada makhluk hidup yang turut bergembira atas kejahatan yang dilakukan seseorang, itu bukanlah kusalakamma yang akan memperbaiki kondisi hidupnya.
Pattidana Berhasil Guna Untuk Semua Peta? Di bagian lain dari Kitab Komentar terhadap Dhanapālaseṭṭhipetavatthu diungkapkan bahwa : Saat karma buruk sudah berakhir dan bila dana diberikan kepada Sang Tathagata serta siswa-Nya, arahkanlah dana tersebut kepada saya, maka saya pun akan terbebas dari kondisi peta. [Petavatthu A. 104] 17 Karena itu, kita bisa mengetahui bahwa tidak semua peta bisa memperoleh manfaat dari pelimpahan jasa. Hanya mereka yang karma buruknya (yang membuat mereka terlahir di alam tersebut) sudah berakhir baru bisa.
Pattidāna = Pattānumodana ? Pattidāna, secara harafiah berarti pelimpahan jasa, memberikan jasa-jasa kebajikan. Sedangkan pattānumodana, secara harafiah berarti turut bergembira atas jasa-jasa kebajikan yang telah diperoleh pihak lain. Yang melakukan pattidāna adalah pihak yang melakukan perbuatan baik, sedangkan yang melakukan pattānumodana adalah pihak yang menyaksikan atau mengetahui perbuatan baik tersebut (acapkali disertai dengan ucapan ‘Sādhu! Sādhu!’). Jadi, merupakan dua hal yang berbeda. Dalam Kitab ‘Abhidhammatthasaṅgaha’ dikatakan bahwa ada sepuluh perbuatan yang menghasilkan jasa-jasa kebajikan (puññakiriyavatthu) yaitu dāna, sīla, bhāvanā, apacāyana, veyyāvacca, pattidāna, pattānumodana, dhammassavana, dhammadesanā, dan diṭṭhijukamma. Jadi, usaha pelimpahan jasa akan lebih lanjut menghasilkan jasa-jasa kebajikan. Demikian pula pattānumodana, turut bergembira atas jasa-jasa kebajikan yang telah dihasilkan pihak lain, juga akan menghasilkan jasa-jasa kebajikan. Untuk melihat lebih jelas perbedaan antara pattidāna dan pattānumodana, kita bisa mencermati Nandamātā-Sutta di mana diceritakan bahwa suatu hari Upasika Nandamata sedang melantunkan syair-syair Pārāyana. Kebetulan Dewa Vessavaṇa sedang lewat. Ia lalu berhenti dan menyimak pelantunan tersebut. Seusai pelantunan ini, Dewa Vessavaṇa turut bergembira dengan mengucapkan ‘Sadhu, sadhu!’ pattānumodana. Sebagai ungkapan terima kasih kepada Upasika 16
Aññena katakammaṃ na aññassa phaladaṃ hoti, kevalaṃ pana tathā uddissa dīyamānaṃ taṃ vatthu ñātipetānaṃ kusalakammassa paccayo hoti, tasmā yathā tesaṃ tasmiṃ vatthusmiṃ tasmiṃyeva khaṇe phalanibbattakaṃ kusalakammaṃ hoti. [Petavatthu A. 26] 17 Imasmiṃ pāpakamme khīṇe tathāgatassa vā tathāgatasāvakānaṃ vā dāne dinne mama dānamuddisissati, ahaṃ ito petattato muccissāmi.
5
Nandamata yang telah memberi kesempatan kepadanya untuk berbuat baik, ia menyampaikan bahwa besok pagi akan ada kunjungan dari rombongan bhikkhu yang dipimpin oleh Sariputta dan Mahamoggallana. Dan dia berpesan bila sudah berdana makanan kepada para bhikkhu, dedikasikanlah pemberian dakkhiṇā tersebut kepadanya. pattidāna Upasika Nandamata berdiam diri seusai melantunkan [syair-syari] Pārāyana. Setelah mengetahui berakhirnya wejangan [lantunan] Upasika Nandamata, Maharaja Vessavaṇa menyambut dengan penuh suka cita (turut bergembira), “Sadhu, saudari; sadhu, saudari!” “Siapa ini, Pemilik Wajah Ganteng?” “Saudari, saya adalah saudara Anda, Maharaja Vessavaṇa.” “Sadhu, Pemilik Wajah Ganteng. Kalau begitu tuturan Dhamma yang telah kudaraskan ini untuk Anda sebagai hadiah saja.” “Sadhu, saudari. Semoga ini merupakan hadiah bagi diriku. Besok rombongan bhikkhu yang dikepalai Sariputta dan Moggallana yang belum sarapan akan datang ke Welukandaka. Setelah melayani rombongan bhikkhu [tersebut], dedikasikanlah dakkhiṇā [ini] untuk saya. Ini pun akan merupakan hadiah bagiku.” [A. 4:63-66] 18
Kesimpulan Dari pembahasan sejauh ini, bisa kita simpulkan bahwa keberhasilan pattidana bergantung pada sejumlah faktor : (1) Ada orang melakukan perbuatan baik sehingga menghasilkan jasa-jasa kebajikan. Memang umumnya perbuatan baik yang disebutkan di dalam kitab Pali adalah berdana makanan, mempersembahkan jubah, dan membangun vihāra untuk para dakkhiṇeyya. Namun secara tradisional (termasuk secara empiris) mencakup segala perbuatan yang menghasilkan jasa-jasa kebajikan sebagaimana yang dikemukakan dalam Kitab Komentar misalnya : ‘mendedikasikan dakkhiṇa’ (dakkhiṇamādise; Mahāparinibbāna-Sutta) = memberikan pencapaian (pattiṃ dadeyya; Aṭṭhakathā) = membagikan kepada mereka jasa-jasa kebajikan yang telah dihasilkan diri sendiri (attanā pasutaṃ puññaṃ tāsaṃ devatānaṃ anuppadajjeyya; Ṭīkā). (2) Orang tersebut mendedikasikan jasa-jasa kebajikan ini kepada [sekelompok] makhluk hidup tertentu. (3) Makhluk hidup tersebut mengetahuinya. Kalau didedikasikan kepada leluhur, hanya yang terlahir di alam peta dan dewa yang bisa mengetahui (1) ia adalah leluhur orang tersebut serta (2) adanya pelimpahan jasa ini. Kalau dedikasi langsung ditujukan kepada makhluk hidup yang hadir, hanya peta, dewa, dan manusia saja yang bisa mengetahuinya. Makhluk binatang umumnya takkan mengetahuinya karena tidak paham dengan bahasa manusia. Makhluk di neraka tidak tahu karena terkurung di neraka. (4) Makhluk hidup tersebut turut bergembira (anumdana) atas pelimpahan jasa ini. (5) Karma buruk makhluk hidup tersebut sudah hampir habis. Tentu saja umat Buddha perlu menyadari bahwa tujuan hidup kita bukan hanya melakukan perbuatan baik di mana salah satu di antaranya adalah melakukan pelimpahan jasa (pattidana). Ada sesuatu yang lebih luhur yang perlu dicapai. 18
Atha kho nandamātā upāsikā pārāyanaṃ sarena bhāsitvā tuṇhī ahosi. Atha kho vessavaṇo mahārājā nandamātāya upāsikāya kathāpariyosānaṃ viditvā abbhānumodi – ‘‘sādhu bhagini, sādhu bhaginī’’ti! ‘‘Ko paneso, bhadramukhā’’ti? ‘‘Ahaṃ te, bhagini, bhātā vessavaṇo, mahārājā’’ti. ‘‘Sādhu, bhadramukha, tena hi yo me ayaṃ dhammapariyāyo bhaṇito idaṃ te hotu ātitheyya’’nti. ‘‘Sādhu, bhagini, etañceva me hotu ātitheyyaṃ. Sveva sāriputtamoggallānappamukho bhikkhusaṅgho akatapātarāso veḷukaṇḍakaṃ āgamissati, tañca bhikkhusaṅghaṃ parivisitvā mama dakkhiṇaṃ ādiseyyāsi. Etañceva me bhavissati ātitheyya’’nti.
6
Rujukan : 1. 2. 3. 4.
Chaṭṭha Saṅgāyana Tipiṭaka Version 4.0.0.15 P. Masefield (tr.), “Vimāna Stories”, PTS, 1989. U Ba Kyaw & P. Masefield (tr.), “Peta Stories”, PTS, 1980. E. B. Cowell, “The Jātaka (Stories of the Buddha’s Former Births)”, PTS, 1990
Singkawang, awal September 2013.
7