Patriarki Relasi Desa Kota Kenapa maksud baik dilakukan Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya. Tanah-tanah di gunung telah milik orang kota. Perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja . Alat-alat kemajuan yang diimpor Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya. Tentu kita bertanya: Lantas maksud baik saudara untuk siapa?” (Potongan puisi W.S Rendra yang berjudul “ Sajak pertemuan Mahasiswa”)
Apa yang berubah dari kehidupan perdesaan kita hari ini? sudahkah ada situasi yang berbeda sejak Rendra menuliskan“Sajak Pertemuan Mahasiswa” di atas. Jika melihat secara langsung situasi perdesaaan dan kehidupan petani, bahkan hanya dalam gambaran angka-angka yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri ternyata belum terjadi perbaikan berarti. Oleh sebab itu meskipun di dalam desa atau kota itu sendiri terdapat ketegangan antar kelas, namun tulisan ini lebih fokus melihat bagaimana relasi timpang antara desa kota yang bersifat patriarkal sehingga menghambat kemajuan desa dan menciptakan kerumitan baru dalam wiayah perkotaan. Karena segala maksud baik pemerintah selama ini ternyata lumpuh tak berdaya guna. Data terkahir badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia masih menunjukkan presentase kemiskinan di perdesaan jauh lebih
tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Per september 2016 kemiskinan di kota sebesar 7,73% sementara di perdesaan hampir dua kali lipat lebih besar yaitu 13,96 %. Sebagian besar masyarakat miskin yang ada di desa ini bekerja pada sektor pertanian. Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. 31,90% penduduk Indonesia menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Namun terus-menerus mengalami tekanan di bawah rezim pembangunan infrastruktur fasis. Lantas itulah maksud baik pemerintah memang sangat layak dipertanyakan?. Di tengah koar-koar visi pembangunan untuk wong cilik yang bernawa cita demi menguatkan jati diri bangsa sebagai negara agraris dan maritim terluas di dunia. Namun lain di visi lain pula di lapangan. Pemerintah nyatanya sibuk melakukan peresmian proyek-proyek mega infrastruktur berupa pembangunan bandara, pendirian pabrik, pembuatan bendungan, hingga proyek cetak sawah yang pada kenyataanya merampas ruang hidup masyarakat perdesaan—merusak sistem nafkah yang telah dibangun secara turun temurun. Belum lagi steorotype yang belum berubah dari dulu hingga kini. Pandangan sinis terhadap orang desa masih begitu kokoh, menganggap mereka bodoh dan miskin. Hal ini diperkuat oleh perspektif yang sangat patriarki bahwa kemajuan beroasiasi kuat dengan modernitas, sains—yang ala barat, tentu saja—dan teknologi. Lalu, segala yang tidak seperti ini dianggap tertinggal. Sebagaimana kritikan Vandhana Shiva dalam tulisanya “Staying Alive, Women, Ecology and Survival in India” bahwa pengetahuan yang menjadi landasan pembangunan sangat maskulin, bersifat partiarki-reduksionisme menghancurkan keseimbangan yang terjalin antara sesama manusia (laki-laki dan perempuan) serta manusia dan alam. Saya melihat hal ini juga terjadi dalam relasi desa-kota yang timpang dimana kota terus menerus mendominasi desa. Hal ini berlanjut dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang bersifat kota sentris. Merupakan awal proses penghancuran kehidupan perdesaan, kesalahan berpikir, persepsi
yang tidak tepat digunakan untuk membangun pedesaan. Kemudian di bawalah para penyuluh, akademisi yang seringkali berperan sebagai pembujuk masyarakat desa agar ikut serta mau terlibat dalam gerbong pembangunan yang dianggap berkemajuan. Mulailah orang-orang desa diajarkan cara pertanian modern, menggunakan pupuk, peptisida biarhasil panen banyak, dapat dijual untuk menghasilkan banya kuang.
Ilustrasi Oleh Gegen Muhammad Ketika modernitas diperkenalkan di desa melalui program revolusi hijau. Beberapa petani sempat mengalami hidup berkecukupan—meskipun dalam waktu sangat singkat— seperti yang dialami beberapa masyarakat di desa-desa Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahkan ketika terjadi krisis di tahun 98’ mereka tidak begitu terdampak karena komoditi yang ditanam petani adalah ‘kakao’, harganya menguat. Namun ini ini tinggal cerita, kini petani-petani kakao di Kolaka Timur harus mengencangkan ikat pinggang, masa produktif kakao telah lewat. Walau desa-desa di daerah ini merupakan lokasi gerakan revitalisasi kakao nasional dengan cara
rehabilitasi dan intensifikasi tetap belum mampu mengembalikan produktifitas kakao seperti dulu. Revolusi hijau menyisahkan pemburukan situs ekologis terutama tanah yang tingkat kesuburanya tidak lagi dapat dipulihkan akibat terlalu banyak penggunaan pupuk dan racun di masa lalu. Harga input produksi kakao terlalu mahal untuk mempertahankan hasil panen yang cukup agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akhirnya banyak petani yang terpaksa menebang pohon-pohon kakaonya, mengganti dengan tanaman rakus air “sawit”. Namun beberapa petani yang saya temui malah mengeluhkan harga beli TBS yang terlalu murah dan tidak sebanding dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Maka tidak begitu mengherankan jika beberapa rumah tangga petani memutuskan bermigrasi ke luar desa terutama ke Kota Kendari (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara) karena desa, kampung halaman mereka kini tidak lagi menjanjikan harapan hidup yang lebih baik. *** Jika, kebangkrutan hidup di perdesaan tidak segera diatasi, prediksi bank dunia bahwa 68 % penduduk Indonesia akan berada di wilayah perkotaan pada tahun 2025 akan menjadi nyata. Kesesakan (congestion) di kota-kota meningkat dan akan menciptakan eksternalitas negatif yang tinggi berupa perluasan daerah kumuh, kemacetan, krisis air, meningkatnya harga tanah, penumpukan sampah, kriminalitas dan berbagai kondisi buruk lainya. Hal ini bermula dari relasi patriarki antara desa kota yang bermuara pada ketidak seimbangan ruang fisik, sosial dan ekonomi. Situasi seperti ini berlangsung sejak dulu hingga hari ini. Merujuk Robert Chambers peneliti tentang kemiskinan di perdesaan sejak tahun 80’an dalam buku “pembangunan desa mulai dari belakang” telah menuliskan bahwa “… di tingkat nasional di dalam negri negara-negara miskin sendiri, mendahulukan kepentingan golongan menengah perkotaan di atas beban
kepentingan golongan miskin di perdesaanm melalui pergesaran nilai tukar perdagangan antara desa dan kota (pangan yang murah untuk warga kota, tetapi barang-barang lainya kebutuhan petani mahal)”. Negara, dalam hal ini Pemerintah melanggengkan situasi yang terus menerus memperkuat kedudukan kota. Melalui peraturan dan berbagai kebijakan yang bias desa. Selama beberapa dekade hal-hal yang berkaitan dengan perdesaan, kebijakanya dirumuskan di kota, tanpa mepertanyakan apakah sudah sesuai dengan kebutuhan desa atau tidak. Para perencananya, teknokrat beserta akademisinya yang barangkali sepanjang hidupnya tidak pernah merasakan langsung penderitaan hidup di perdesaan atau bahkan ketika harus turun lapang mengkaji masalah untuk merumuskan kebijakanterbaik selalu mengusahakan untuk dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya, enggan untuk mengalami hidup bersama penduduk desa dimana bisanya akan memilih menginap di kota-kota terdekat daripada di desa. Para perencana yang sepanjang hidup berada di kota inilah yang kemudian membuat berbagai macam program-program yang diharapkan mampu memajukan kehidupan peredesaan. Pada tahap selanjutnya orang-orang desa dipaksa menerima berbagai macam program yang tidak selalu sejalan dengan kebutuhan dan masalah mereka. Dalam prosesnya desa, penduduk di desa mengalami pasifikasi. Sebab, segalanya telah ditentukan dari kota. Berikutnya terjadilah aliran manusia yang meggambarkan ironi. Orang kota datang ke desa-desa mengerjakan program, sehingga memperoleh upah dan pekerjaan, sementara orang-orang desa bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan. Perpindahan penduduk desa ke kota karena terdesak. Sumberdaya di desa telah menjadi milik orang kota, tinggalah penduduk desa hanya sebagai pengolah, menjadi petani tak bertanah. Jikapun ada sedikit hasil bumi yang selalu diuntungkan tetaplah merekayang berasal dari kota karena punya akses terhadap pasar dan modal sehingga mampu menjadi pedagang perantara dengan sistem ijonk yang sangat merugikan petani.
Selain sumber daya desa yang telah banyak dikuasai orang-orang kota, ambisi pemerintah mengsukseskan mega proyek insratsrukturnya serta masuknya perusahaan besar ke wilayah perdesaan melalui perusahaan tambang, perkebunan skala luas, turut serta mengekslusi penduduk desa dari tanahnya. Sumber daya desa diperas dan menjadi ruang dimana akumulasi pertama dapat bergerak dengan sangat bebas untuk melanggengkan kerja para pengijon, pengusaha nasional hingga korporasi. Akhirnya, sumber daya manusia yang terdidik enggan pulang kampung. Manusia, uang dan hasil bumi semua mengalir ke kota. Proses pemiskinan di perdesaan bukan sekedar soal keuangan tapi harus dilihat sebagai problem keruangan. Karena selama ini kebijakan bias ruang dibuat berpusat ke kota atau khusus untuk ruang
desa sehingga gagal melihat keterkaitan antara kedua tersebut yang semakin tidak setara, dimana kota
menghisap sumber daya desa. Desentralisasi Desa Menurut Chambers, arus balik keruangan (spatial reversals) salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi relasi desa-kota yang timpang. Di Indonesia hal ini diterjemahkan dalam bentuk desentralisasi desa. Dan lagi prose pasifikasi masyarakat perdesaan masih terjadi di era ini. Pemerintah masih menjadi pusat penentu, berperan layaknya santa claus yang membagi-bagikan dana ke desa-desa, mendorong lahirnya bumdes-bumdes untuk meningkatkan produktifitas masyarakat. Namun yang terbentuk pada dasarnya adalah area pertarungan baru yang sebelumnya tidak dikenali, dimana warga desa diajar untuk berkompetisi antara satu dengan yang lain, antara desa. Alih-alih mengaktifkan potensi desa dan meningkatkan partisipasi, nyatanya yang terjadi kapitalisasi desa yang tersamarkan dalam bahasa wirausaha-wiraswasta- yang pada intinya melahirkan kompetisi, penciptaan produk unggulan untuk dikirim ke kota-kota. Disisi lain apalah arti Bumdes jika lawan tandingya adalah Multi National Coorporate (MNC).
Penyelesaian persoalan di desa dengan gonta-ganti rezim tidak memberikan dampak berarti tanpa membongkar struktur ruang yang bersifat patrialkal dalam relasi desa-kota. Bahkan Maschuri Maschab dalam buku politik pemerintahan desa di Indonesia mencatat bahwa “dari sisi desa kemajuan secara nasional…, tidak menghasilkan perubahan atau peningkatan yang berarti. Dari sudut pandang politik posisi desa tetap lemah baik dalam hubunganya dengan suprta-struktur maupun infra-struktur”. Maka, ketegangan antara desa-kotamesti diurai secara tuntas. Menganalisis masalah yang timbul di desa maupun di kota harus simultan dan multidisplin. Membuat analisa varsial tanpa mengindahkan relasi kota-desa adalah sebentuk pengabaian atas relasi ruang yang tercipta melalui aliran uang, manusia, barang dan jasa hingga pengetahuan dan tekhnologi.