Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PASSING GRADE KEPEMILIKAN TERNAK UNTUK MENCAPAI NILAI UPAH MINIMUM REGIONAL DI PROPINSI RIAU (Passing Grade of Farmer's Animal Holding in Reaching Regional Minimum Wages in Riau Province) TATI HERAWATI1, IRWAN KASOEP2 dan M. NAJIB3 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau 3 Dinas Peternakan Propinsi Riau
ABSTRACT To increase farmer welfare in Riau province, Dinas Peternakan and BPTP Riau had estimated ‘passing grade’ the number of animal husbandry or the minimum size of animal husbandry to reach the Regional Minimum Wages (UMR) and the Welfare Minimum Wages (UMS). Data were collected from the location of animal husbandry centre in 12 districts and 3 cities in Riau province by stratified sampling techniques and interviewing the chosen farmer. The passing grade or the scale of nimal husbandry was estimated based on their farming economic analysis. There were two types of analysis, the real one which some of variables uncounted such as family labor and feed from pasture and the other one where all of variables were counted both in input and output variables. The result showed that the passing grade or the minimum size of animal husbandry to reach the UMR Rp. 3.840.000 per year was 3 cattle breeder farm or 2 beef cattle fattening or 7 goats or 20 chickens or 249 ducks. The passing grade of animal husbandry to reach the UMS Rp. 15.000.000 per year was 12 cattle breeder farm or 7 beef cattle fattening or 27 goats or 78 chickens or 974 ducks. B/C ratio for each type of animal husbandry were 2,11; 1,99; 8,39; 3,79 and 0,09. However, if calculation based on the real amount, only farm of beef cattle fattening, goats and chickens had B/C more than 0. The majority of cattle and chickens farm in Riau province had reached the UMR target but only minority of cattle farm could reached the UMS target. Key words: Passing grade, UMR, UMS, minimum scale ABSTRAK Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan peternak di propinsi Riau, Dinas Peternakan Propinsi Riau bersama-sama BPTP Riau telah melakukan estimasi passing grade kepemilikan ternak atau batas minimal kepemilikan ternak agar mencapai nilai Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah Minimum Sejahtera (UMS). Pengumpulan data dilakukan di lokasi kantong produksi ternak di 12 kabupaten dan 3 kota Propinsi Riau melalui sample berlapis. Data dasar berasal dari hasil wawancara dengan petani responden. Metoda yang digunakan dalam penghitungan skala usahatani ternak tunggal dilakukan berdasarkan hasil analisa ekonomi usahatani (AEU) dari masing-masing ternak. Ada dua penghitungan pendapatan yaitu tunai dan riil. Pendapatan tunai adalah yang benar-benar diterima dan dikeluarkan oleh keluarga petani, sedangkan yang riil semua peubah input-output dinilai. Hasil yang diperoleh menunjukkan nilai passing grade usaha ternak agar pendapatan tunai sama dengan nilai UMR Rp. 3.840.000 per tahun adalah 3 ekor sapi pembibitan atau 2 ekor sapi penggemukan atau 7 ekor kambing atau 20 ekor ayam buras atau 249 ekor itik. Sedangkan agar pendapatan sama dengan nilai UMS Rp. 15.000.000 per tahun perlu diusahakan 12 ekor sapi pembibitan atau 7 ekor sapi penggemukan atau 27 ekor kambing atau 78 ekor ayam buras atau 974 ekor itik. Berturut-turut usaha ternak ini menghasilkan nilai B/C 2,11; 1,99; 8,39; 3,79 dan 0,09. Sedangkan pada pendapatan riil, hanya usaha sapi penggemukkan, kambing dan ayam yang mempunyai nilai B/C lebih dari 0. Sebagian besar peternak sapi dan ayam di propinsi Riau telah mencapai pendapatan sedikitnya sama dengan nilai UMR, sedangkan yang telah dapat mencapai pendapatan sama dengan UMS baru dari beberapa peternak sapi saja. Kata kunci: Passing grade, UMR, UMS, skala minimal
854
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENDAHULUAN Peran peternakan dalam pembentukan PDB pertanian meningkat dari 6% pada Pelita I menjadi 11,3% pada akhir Pelita V. Perbaikan tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat selama PJP I dan dua tahun Pelita VI menyebabkan konsumsi protein hewani di masa-masa yang akan datang akan meningkat lebih pesat lagi. Disamping itu peluang pasar ekspor juga semakin luas dalam memasuki era globalisasi dan terbentuknya pusat-pusat pasar dunia. Peningkatan konsumsi yang pesat menimbulkan masalah dan tantangan yang perlu diatasi, antara lain untuk pemenuhan kebutuhan daging sebagian harus dipenuhi dengan impor sapi bakalan (17%) dan impor daging berkualitas sebesar 5%. Sementara produksi susu dalam negeri juga baru memasok ± 35% dari kebutuhan konsumsi dalam negeri. (ANONIMOUS, 1997). Kondisi usaha peternakan di Indonesia pada umumnya dan di propinsi Riau pada khususnya, sampai saat ini masih dicirikan oleh peternakan rakyat berskala kecil dan umumnya dalam bentuk usaha sampingan. Ironisnya, pada saat ini justru usaha kecil menengah yang relatif banyak mengimplementasikan teknologi rendah mampu bertahan bahkan menghidupkan perekonomian golongan masyarakat ekonomi lemah. Hal ini perlu diperbaiki oleh para pelaku kebijakan untuk mencermati sejauh mana potensi usaha skala kecil menengah tersebut (KUMALANINGSIH, 2003). Untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan adanya terobosan dalam peningkatan produksi, salah satunya adalah melalui peningkatan kepemilikan ternak disamping kemampuan pengelolaan usaha peternakan. Dengan langkah tersebut, disertai upaya peningkatan efisiensi sistem produksi, sehingga produk peternakan dapat meningkatkan kesejahteraan peternak khususnya, dengan demikian diharapkan akan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dan sumber devisa yang cukup penting. Untuk itu usaha peternakan harus didasarkan pada strategi penentuan skala usaha minimal dan kebijaksanaan pembangunan agribisnis terpadu yang berkelanjutan. Melalui strategi ini orientasi usaha ternak tidak saja ditujukan untuk peningkatan produksi dan pendapatan peternak, tetapi juga untuk menangani
pengembangan keseluruhan agribisnis secara terpadu dengan penekanan kepada usaha pembinaan keterkaitan para pelaku terutama dalam mengembangkan system ekonomi pedesaan berdasarkan pembangunan sub sektor peternakan (ANONIMOUS, 1997). Menurut SALEH (2001), propinsi Riau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Singapura, Malaysia, Thailand dan Kamboja memiliki posisi geografis dan letak yang sangat strategis untuk mengembangkan produksi dari wilayahnya. Meskipun demikian, dalam pemanfaatan dan pengembangan potensi wilayah dan sumberdaya alam tersebut, propinsi Riau masih tergolong belum mampu melaksanakan pembangunan ekonomi dengan memanfaatkan letak dan kondisinya yang memiliki keunggulan komparatif tinggi untuk bersaing dengan daerah lainnya. Kenyataan menunjukkan prospek besar yang dimiliki propinsi Riau ini belum didukung oleh antara lain kesiapan sumber daya manusia yang memadai. Penduduk daerah Riau berjumlah 4.733.948 jiwa yang sebagian besar tersebar di wilayah pedesaan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari keluarga-keluarga tani dan nelayan. Kondisi Riau yang relatif tinggi tersebut nampaknya belum signifikan pengaruhnya terhadap jumlah penduduk miskin yang relatif masih tinggi. Berdasarkan hasil penilaian oleh BKKBN tahun 1999 dari segi pendapatan keluarga masih terdapat 42,20% keluarga yang tergolong miskin. Kemiskinan yang relatif tinggi tersebut disebabkan antara lain tingkat usaha masyarakat pada sektor pertanian masih berada dalam skala usaha kecil, tradisional dan cenderung bersifat subsisten (memenuhi kebutuhan sendiri). Kondisi tersebut semakin memprihatinkan dengan adanya krisis ekonomi yang berlangsung tahun 1997 yang telah mengakibatkan antara lain menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut HUSODO (2003), anatomi petani kita yang jumlahnya banyak dan tingkat kesejahteraannya rendah (bagian terbesar rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan) adalah petani. Walaupun jumlah petani merupakan bagian terbesar diantara kelompok-kelompok profesi di masyarakat, tetapi secara politis dan ekonomis lemah. Sebagai contoh, hampir seluruh dari usaha
855
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
kambing di Indonesia berupa usaha peternakan rakyat dengan skala penguasaan relatif kecil yakni sekitar 2−5 ekor (SETIADI et al. 1995 dalam PRIYANTO et al., 2001). Begitu pula di Riau yang mempunyai potensi peternakan sebanyak 1.607.000 ST, tetapi baru dimanfaatkan sebanyak 12,64%. Skala kepemilikan berpengaruh positif terhadap pendapatan usaha ternak di pedesaan. Faktor kepemilikan ternak adalah merupakan asset peternak dalam usaha sedangkan harga merupakan komponen penentu dalam faktor usaha. (PRIYANTO et al., 2001). Usaha memperbaiki pola usaha peternak kecil akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi secara individu pada khususnya dan berdampak luas pada pertumbuhan ekonomi wilayah secara umum. Guna memperoleh gambaran secara tepat tingkat pendapatan petani khususnya dari sektor peternakan apakah sudah mencapai target upah minimum regional (UMR) atau belum, maka dilakukan penelaahan nilai passing grade atau batas kepemilikan ternak. Dengan mengetahui nilai tersebut maka dapat dijadikan pedoman dalam pembinaan selanjutnya.
usahatani tetapi petani tidak memperhitungkannya, yaitu rumput alam, pupuk kandang dan tenaga kerja keluarga (TKK). Sebaliknya, peubah D (diperhitungkan) yang benar-benar dikeluarkan secara tunai oleh petani sehingga diperhitungkan dalam usahatani petani. Jadi dilakukan dua penghitungan: a. Analisa Usahatani, dengan memperhitungkan semua variabel R dan D. b. Analisa Usahatani Petani, dengan hanya memperhitungkan biaya yang benar-benar dibayar oleh petani (D). Estimasi nilai passing grade usahatani ternak dilakukan untuk pemeliharaan ternak secara tunggal, yaitu hanya memelihara satu jenis ternak saja, dihitung berdasarkan hasil analisis anggaran parsial atau analisa ekonomi usahatani (AEU) dari masing-masing ternak (SWASTIKA, 2000). Tahap pertama dihitung B/C pada masingmasing AEU, yaitu: TB [∑Pj Yj - ∑ Pi Xi ] B/C = ------- = ---------------------- dimana TC [∑ Pi Xi ] + S
METODOLOGI Passing grade kepemilikan ternak adalah suatu batas jumlah ternak yang dimiliki. Sedangkan yang dimaksud dengan passing grade kepemilikan ternak untuk mencapai Upah Minimum adalah batas jumlah ternak yang harus dimiliki atau skala minimum usaha ternak agar dapat mencapai pendapatan sebesar upah minimum tersebut. Pengumpulan data dilakukan di lokasi kantong produksi ternak, yaitu data ternak sapi dari kabupaten Kampar, Rokhul, Kuansing, Inhu, Inhil, Siak, Pelalawan, Natuna dan Kota Dumai. Data ayam buras dari kabupaten Kampar, Kepri, Bengkalis, Karimun serta kota Pekanbaru, Dumai dan Batam. Sedangkan data mengenai itik dari kabupaten Kuansing, Rokhil, Karimun dan kota Pekanbaru. Data dasar berasal dari hasil wawancara berencana dengan petani responden (KOENTJARANINGRAT, 1997) yang diambil secara berlapis. Ada dua jenis peubah dalam analisa usahatani, yaitu peubah Riil (R), yang artinya peubah tersebut sebenarnya digunakan dalam
856
B/C TB TC Yj
= = = =
Pj
=
j
=
Xi Pi i
= = =
S
=
Benefit Cost Ratio Pendapatan bersih Biaya total Jumlah Produksi dari jenis produksi ke-j Harga Produksi dari jenis produksi kej indeks yang diproduksi (anak, telur, pupuk kandang, TKT) Jumlah sarana produksi ke-I Harga sarana produksi ke-I indeks sarana produksi (kandang, bibit, pakan, pupuk rumput, obat, TK) penyusutan. Karena nilai penyusutan sangat kecil, maka diabaikan.
Batasan: B/C >1 Æ Usahatani layak dikembangkan sebagai bagian dari agribisnis 0
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tahap kedua, pada usahatani yang mempunyai nilai B/C>0, yaitu yang layak dikembangkan sebagai usahatani keluarga atau bahkan yang bernilai B/C >1, yaitu yang layak dikembangkan sebagai bagian dari agribisnis, dihitung nilai Passing Grade kepemilikan ternak agar mencapai pendapatan Upah Minimum (UM), dengan rumus: UM ------------------------- ekor [∑ Pj Yj ] - [∑ Pi Xi ] Ada dua nilai upah minimum (UM) yang digunakan: -
nilai Upah Minimum Regional (UMR) sebesar Rp. 320.000 per bulan atau Rp. 3.840.000 per tahun (RISMON dan RUSTAM, 2001)
-
nilai Upah Minimum Sejahtera (UMS) yaitu sebesar $1500 per tahun atau jika diasumsikan tingkat kurs 10.000 rupiah menjadi 15.000.000 rupiah per tahun. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa ekonomi usaha ternak Keperluan hijauan berupa rumput alam untuk sapi atau kambing, umumnya diambil sendiri oleh anggota keluarga atau menggunakan tenaga kerja keluarga (TKK), di lahan-lahan milik umum. Pemanfaatan pupuk kandang untuk memupuk rumput unggul tidak dinilai, tetapi hasil pupuk kandang yang dijual diperhitungkan dalam penerimaan. Skala usaha ternak yang ada di semua responden masih cukup dikelola oleh anggota keluarga. Tidak ada satupun yang menggunakan tenaga kerja upahan (TKU). Hanya untuk keperluan
perkawinan dengan sistem Inseminasi Buatan (IB) yang menggunakan TKU yaitu petugas IB. Pertolongan perkawinan kambing dilakukan oleh TKK dan walaupun menggunakan pejantan milik keluarga lain tapi tidak dipungut biaya. Sebaliknya, jika petani lain menggunakan ternak pejantannya, juga tidak memungut biaya. Walaupun sapi berpotensi memiliki TKT, tetapi umumnya tidak dimanfaatkan, terutama pada pemeliharaan sistem penggemukan. Dilihat dari nilai nisbah B/C, ada perbedaan jauh antara hasil hitungan Riil dan jika hanya sebagian yang diperhitungkan. Jika menggunakan ukuran petani dimana TKK, hijauan alam dan pupuk kandang yang digunakan tidak diperhitungkan dalam analisa, maka kecuali usaha itik, semua usaha ternak layak dikembangkan sebagai bisnis. Sedangkan usaha itik hanya cocok untuk usaha keluarga saja, karena setiap satu rupiah yang dikeluarkan hanya akan menghasilkan 0,09 rupiah (Tabel 1). Jika semua peubah input usahatani diperhitungkan, hanya usaha kambing dan ayam saja yang patut dianjurkan untuk dipelihara sebagai usaha bisnis, sapi penggemukan hanya untuk usaha keluarga. Komoditi lainnya akan rugi jika diusahakan dengan sistem yang dilakukan sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya andil keluarga petani untuk usahatani dalam bentuk non natura sangat besar. Jika hanya tenaga kerja upahan yang digunakan dalam usahatani, keuntungan bersih yang diperoleh akan sangat berkurang. Untuk meningkatkan kemungkinan pemeliharaan komoditi-komoditi yang tereliminir tersebut perlu peningkatan produksi melalui peningkatan adopsi teknologi. Hasil yang diperoleh merupakan indikator dari rendahnya terapan teknologi (Tabel 2). Terutama terlihat terapan teknologi untuk kambing dan itik masih dibawah 50%, jauh dibawah standar.
Tabel 1. Analisa ekonomi usahatani ternak di Propinsi Riau, 2000 Jenis usaha ternak
Sapi pembibitan Sapi penggemukan Kambing Ayam Itik
Usahatani petani (D) Pendapatan Total biaya bersih 1.231.990 584.500 2.250.105 1.132.385 561.920 67.000 193.060 50.940 15.400 164.100
B/C 2,11 1,99 8,39 3,79 0,09
Usahatani (R+D) Pendapatan Total bersih biaya -264.260 2.080.750 964.605 2.417.885 359.732 269.188 153.310 90.690 -47.150 226.650
B/C -0,13 0,40 1,34 1,69 -0,21
857
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 2. Tingkat terapan teknologi usaha ternak pada peternak di Riau, 2000 Terapan teknologi pada ternak (%)
Uraian teknologi Bibit
Sapi
Kambing
Ayam buras
Itik
58,8
40,2
37,9
23,2
Pakan
84,3
47,4
75,2
59,1
Kandang
71,6
73,0
67,3
51,5
Tatalaksana
64,1
45,0
60,0
59,1
Pengendalian penyakit
23,0
21,8
37,9
37,3
-
-
28,8
38,5
60,4
45,5
51,2
44,8
Pascapanen Rataan terapan Sumber: Data olahan
Passing grade/skala minimal usaha ternak Dari hasil perhitungan ternyata untuk memperoleh pendapatan sama dengan upah minimum regional, seorang petani harus memelihara sapi untuk usaha pembibitan, minimal 3 ekor, atau 2 ekor sapi penggemukan, atau 7 ekor kambing atau 20 ekor ayam atau 249 ekor itik, jika TKK maupun hijauan rumput alam tidak diperhitungkan sebagai pengeluaran (Tabel 3). Tetapi, jika kedua komponen ini dinilai dengan uang sebagai bagian dari pengeluaran maka usaha sapi pembibitan dan itik tidak dianjurkan karena nilai nisbah B/C minus. Besar perbedaan antara skala usaha minimal di kedua sistem penghitungan tergantung dari besarnya serapan biaya yang tidak di-uangkan. Besar pengeluaran untuk TKK dan hijauan sebanyak 72% dari seluruh total pengeluaran. Pada usahatani sapi penggemukan, besar kedua komponen ini 35% sehingga peningkatan skala minimal tidak sebesar pada usaha pembibitan. Jika dibandingkan dengan rata-rata modus riil kepemilikan ternak di petani (Tabel 4), dengan asumsi bahwa umumnya TKK dan hijauan tidak ikut dalam perhitungan usahatani, maka terlihat bahwa skala usahatani sapi dan ayam buras di petani telah melebihi tingkat skala usaha minimum, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapatan petani sapi dan ayam buras di Riau telah mencapai bahkan melampaui tingkat Upah Minimum Regional. Sedangkan skala usaha kambing dan itik masih
858
dibawah skala usaha minimal. Artinya, pendapatan dari usaha kambing dan itik belum dapat memenuhi target UMR. Ada dua pemecahan yang dapat disarankan agar tercapai UMR, pertama, tingkatkan skala usahatani ternaknya hingga minimal sama dengan nilai passing grade dan kedua tingkatkan terapan teknologi usaha tani ternaknya. Jika kolom 3 dan 4 pada Tabel 3. memperlihatkan berapa skala minimal yang harus diusahakan petani agar tercapai kebutuhan hidup yang layak, maka kolom 5&6 memberikan alternatif skala usaha minimal agar kehidupan petani sejahtera. Dari hasil survai, sudah ada beberapa petani yang mencapai tingkat pendapatan sejahtera, dilihat dari nilai maksimum skala pemeliharaan di petani yang tertera pada Tabel 4, khususnya untuk usahatani ternak sapi. Tetapi jumlah petani responden yang memiliki skala usaha besar belum banyak. Skala maksimum usaha sapi di petani responden tercatat adalah 17 ekor. dan batas skala minimal sapi untuk tingkat petani sejahtera sebesar 12 ekor. Berbeda dengan sapi, belum ada petani ayam, kambing dan itik yang memperoleh pendapatan setingkat dengan target petani sejahtera, dilihat dari skala maksimal usahatani masih dibawah skala minimal untuk pendapatan sejahtera. Hal ini mungkin disebabkan nilai ekonomi dari kedua komoditi ini belum setinggi sapi, yang diketahui mempunyai tingkat pemasaran yang sangat baik.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 3. Passing grade usaha ternak pada tingkat pendapatan UMR = Rp. 3.840.000 dan tingkat UMS = Rp. 15.000.000 Skala usaha pendapatan = UMR
Ternak
Skala usaha pendapatan = UMS
Usahatani (R+D)
Petani (D)
Usahatani (R+D)
Petani (D)
-14,53
3,12
-56,76
12,18
Sapi penggemukan
3,98
1,71
15,55
6,67
Kambing
10,67
6,83
41,70
26,69
Ayam
25,05
19,89
97,84
77,70
Itik
-81,44
249,35
-318,13
974,03
Sapi pembibitan
Tabel 4. Skala kepemilikan ternak pada peternak di Riau Skala kepemilikan ternak (ekor)
Uraian Kisaran Rataan modus
Sapi
Kambing
Ayam buras
Itik
1−17
1−13
5−75
10−50
3,3
4,6
50
17
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
• Passing grade atau batas skala usahaternak minimal agar pendapatan sama dengan nilai UMR Rp. 3.840.000 per tahun adalah 3 ekor sapi pembibitan atau 2 ekor sapi penggemukan atau 7 ekor kambing atau 20 ekor ayam buras atau 249 ekor itik.
ANONIMOUS. 1997. Program, prioritas dan hasil utama penelitian dan pengembangan peternakan pada Pelita VI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian.
• Passing grade agar pendapatan sama dengan nilai UMS Rp. 15.000.000 per tahun adalah 12 ekor sapi pembibitan, 7 ekor sapi penggemukan, 27 ekor kambing, 78 ekor ayam buras atau 974 ekor itik. • Rata-rata petani sapi dan ayam buras di Riau sudah banyak yang mencapai UMR, sedangkan yang sudah mencapai UMS baru beberapa petani sapi saja. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih ditujukan kepada Bapak Kepala Dinas Peternakan Propinsi Riau beserta stafnya serta seluruh Dinas Peternakan di kabupaten maupun kota yang telah memberikan bantuan sehingga kegiatan dapat terlaksana dengan lancar.
HUSODO, S.Y. 2003. Kiat membangun kemandirian pangan–pertanian dalam kondisi ketidak pastian. Makalah pada acara Temu dan Kontak Bisnis Penguatan Institusi dan Bisnis Pertanian. Magelang, 21 Mei 2003. Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. KOENTJARANINGRAT. 1997. Metode Wawancara dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Ed. 3. PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 129−157.
KUMALANINGSIH,
S. 2003. Strategi pengembangan usaha kecil menengah (UKM) dalam bidang isdustri pangan tradisional. Makalah pada seminar nasional peringatan sewindu BPTP Jatim. Malang, 4 Juni 2003
PRIYANTO, D., B. SETIADI, M. MARTAWIDJAYA dan D. YULISTIANI. 2001. Peranan usahaternak kambing lokal sebagai penunjang perekonomian petani di pedesaan. Pros. Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17−18 September 2001. Puslitbangnak, Badan Litbang Pertanian, Deptan.
859
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
RISMON dan RUSTAM. 2001. Analisa usahatani cabai pada aplikasi teknologi tampurin di lahan gambut. Pros. Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Pekanbaru, 6-9 September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
SWASTIKA, D.K.S. 2000. Beberapa metoda analisis sederhana untuk evaluasi kelayakan teknologi tepat guna. Modul Pelatihan B1-2. Proyek Manajemen Penelitian Pertanian-ARM II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
SALEH, Z. 2001. Kebijakan pengembangan pertanian di lahan rawa Riau. Pros. Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Seminar Nasional, Pekanbaru 69 Nopember 2001. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Deptan.
DISKUSI Pertanyaan: 1.
Bagaimana metoda penghitungan % penyerapan teknologi?
2.
Apakah ada biaya dalam penggunaan pejantan?.
3.
Dengan % terapan teknologi rendah mengapa B/C usaha kambing tinggi?
4.
Apakah mungkin B/C bernilai minus?
5.
Perolehan skala usaha minimal berupa usaha 3 sapi, atau 7 kambing ayam apa artinya?
Jawaban: 1.
Digunakan metode baku perhitungan penyerapan teknologi yaitu metode point dari buku Juknis
2.
Dalam wilayah kajian semua peternak tidak mengelurkan biaya sama sekali untuk peminjaman pejantan dari peternak lain, kecuali untuk IB dikeluarkan biaya.
3.
Nilai relatif output berbanding dengan input usaha kambing memang lebih besar dari ternak lainnya, walaupun secara nilai absolut lebih kecil.
4.
Nilai minus B/C bisa negatif, yang tidak bisa negatif adalah nilai R/C. Nilai B/C negatif pada waktu benefit dimana penerimaan lebih kecil dari pengeluaran. Sednagkan nilai R/C selalu positif.
5.
Penghitungan nilai passing grade skala usaha untuk usaha tani tunggal, bukan gabungan.
860
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Lampiran 1. Pengeluaran usahatani ternak (Rp./ekor/tahun) pada tingkat harga Tahun 2001 Ternak
Kandang
Bibit
(R/D=20%)
(R/D)
Saprodi
Pupuk
Tenaga kerja
Total biaya
Hijauan
Konsentrat
Vit + Obat
Kandang
Buatan
TKK
TKU
Usahatani
Petani
(R)
(D)
(D)
(R)
(D)
(R)
(D)
(R+D)
(D)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
Sapi pembibitan
150.000
1.800.000
1.125.000
146.000
18.500
0
0
371.250
30.000
2.080.750
584.500
Sapi penggemukan
150.000
1.600.000
547.500
592.035
111.000
450.000
79.350
288.000
0
2.417.885
1.132.385
Kambing
35.000
300.000
182.500
0
0
0
0
19.688
0
269.188
67.000
Ayam
20.000
12.000
0
43.540
1.000
0
0
39.750
0
90.690
50.940
Itik
20.000
21.000
0
155.900
0
0
0
62.550
0
226.650
164.100
Lampiran 2. Analisa ekonomi usahatani (AEU) ternak pada tingkat harga Tahun 2001 Produksi TERNAK
Anak Jumlah
Penerimaan
Pupuk
Harga
Jumlah
Rp./ekor
TKT
Harga
Jumlah
Rp./kg
Telur
Harga
Jumlah
Rp./HKT
Pendapatan
Usahatani
Harga
BCR
bersih Usahatani
Petani
Usahatani
Petani
Rp./butir
Rp.
(R+D)
(D)
(R+D)
(D)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(12)
(13)
(14)
(15)
Sapi pembibitan
0,74
1.600.000
1.824,9
100
45
10.000
0
0
1.816.490
-264.260
1.231.990
-0,13
2,11
Sapi penggemukan
1,00
3.200.000
1.824,9
100
0
0
0
0
3.382.490
964.605
2.250.105
0,40
1,99
861