BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian ini diarahkan pada tujuan untuk mencari penjelasan mengenai proses dan substansi formulasi kebijakan upah minimum tenaga kerja yang dilakukan pemerintah Kota Yogyakarta. Penelitian ini penting untuk dilakukan dalam rangka melacak dinamika formulasi memengaruhi proses pembentukan kebijakan perlindungan upah minimum tenaga kerja di Regional Yogyakarta yang dinilai lemah dalam implementasinya. Penelitian ini difokuskan untuk melihat interaksi antar aktor yang berperan dalam proses formulasi, karena proses pembentukan kebijakan publik bukanlah hanya proses yang hanya bersifat teknokratis, melainkan juga bersifat politis. Dengan demikian, diketahui proses formulasi kebijakan yang terjadi lebih banyak kearah teknokratis atau justru lebih bersifat politis. Pembangunan
sektor
ketenagakerjaan
merupakan
permasalahan
yang
aktual.Sektor ketenagakerjaan penting untuk dibangun karena hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak.Pembangunan sektor ketenagakerjaan salah satunya adalah
dengan
penciptaan
berkeadilan.Pekerja
dengan
hubungan pengusaha
industrial memiliki
yang dua
harmonis
kepentingan
dan yang
berbeda.Pekerja dipandang dari sisi pengusaha merupakan faktor produksi penting dan penggerak kelangsungan operasional sehari-hari perusahaan,sedangkan pengusaha dipandang dari sisi pekerja merupakan penyedia kerja yang 1
memberikan kelangsungan hidup. Pemberian upah tenaga kerja yang berkeadilan merupakan salah satu cara untuk menciptakan hubungan industrial yang dinamis dan harmonis. Upah merupakan hak dasar bagi pekerja di setiap perusahaan.Hal tersebut telah dijamin di dalam konstitusi1. Pengupahan merupakan sisi yang paling rawan dalam hubungan industrial. Disatu sisi upah adalah hak pekerja sebagai imbalan atas jasa atau tenaga yang diberikan pada perusahaan, namun di lain pihak pengusaha melihat upah sebagai biaya produksi yang harus ditekan seminimal mungkin. Negara berkepentingan masuk ke dalam urusan pengupahan ini dalam rangka menjaga agar hubungan industrial
antara dua
pihak tersebut berjalan harmonis, dinamis,
dan
berkeadilan.Wujud intervensi negara tersebut terlahir dari sebuah kebijakan upah minimum yang proses perumusannya dilakukan oleh lembaga tripartit yang disebut Dewan Pengupahan yang didalamnya terdapat perwakilan dari buruh dan pengusaha. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Adanya mekanisma aturan upah minimum yang harus dibayarkan pengusaha terhadap pekerja dalam kawasan administratif tertentu membuat pekerja mendapat kepastian akan upah yang didapat atas kerja yang dilakukan.2 Ada tiga aktor yang mempunyai kepentingan dalam proses formulasi kebijakan upah minimum: pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Perwakilan pengusaha disini mempunyai
1
UUD 1945, Pasal 27 ayat (2), “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” 2 Hal ini dijamin dalam Pasal 90, ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi,”Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah daripada upah minimum”. Ketentuan pelanggaran diatur pada Pasal 185 ayat (1) yakni pengusaha akan dikenai sanksi minimalRp 100.000.000,00 s/d Rp 400.000.000,00 atau sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan maksimal 4 tahun
2
motif untuk meminimalkan angka upah minimum, hal ini dikarenakan untuk mengefisiensi biaya dalam membuat kerangka anggaran perusahaan secara keseluruhan, sedangkan motif bagi perwakilan pekerja adalah adanya upah yang layak. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar memulihkan tenaga mereka untuk bekerja di keesokan hari, namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sesuai standar manusiawi. Motif untuk bisa hidup lebih layak membuat perwakilan buruh dalam proses formulasi kebijakan memperjuangkan untuk memaksimalkan nilai angka upah minimum. Negara dituntut untuk bijaksana mengakomodasi dua kepentingan bertolak belakang tersebut, tetapi negara sendiri seringkali juga diposisi dilematis, karena jika besaran upah minimum yang ditetapkan terlalu merugikan pengusahaakan membuat pengusaha takut berinvestasi di regional tersebut. Berkurangnya investasi dikhawatirkan akan membuat pertumbuhan ekonomi regional tersebut terhambat, akibatnya berimbas besar pada sektor ketenagakerjaan. Kepentingan pekerja seringkali menjadi termarjinalisasi oleh kepentingan pemilik modal. Seiring berkembangnya perekonomian suatu daerah, upah minimum yang dirumuskan setiap tahunnya berubah. Di Yogyakarta, upah minimum yang ditentukan dari tahun ke tahun semakin naik. Sejak bingkai dasar peraturan perundangan ketenagakerjaan nasional (UU No 13 Tahun 2003) ditetapkan terjadi kenaikan secara bertahap. Kenaikan upah minimum tersebut di ikuti dengan penyerapan nilai Kriteria Hidup Minimal(KHM) yang berarti dari tahun ke tahun kebijakan yang diambil terlihat dan dinilai lebih mengakomodasi kepentingan pekerja. 3
Tabel 1.0. Realisasi Upah Minimum Provinsi (UMP) Terhadap KHM di DIY Tahun 2007-2012 No
Tahun
KHM
UMP
1
2007
656,976
500.000/bulan
2
2008
687,132
586.000/bulan
3
2009
820,247
700.000/bulan
4
2010
750,490
745.694/bulan
5
2011
802,335
808.000/bulan
6
2012
862,391
892.660/bulan
7
-
-
-
Sumber: Dinaskertrans Provinsi DIY (2013).
Masih menjadi keprihatinan saat kebijakan masih bernaung di level Upah Minimum Provinsi (UMP) pada level penerapan kebijakan yang telah ditetapkan. Dari beberapa kasus, seringkali pengusaha enggan membayarkan upah pada pekerja sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Padahal dalam peraturan jelas sekali ditetapkan bahwa perusahaan yang tidak membayarkan upah minimum sesuai perundangan yang berlaku akan mendapat sanksi hukum. Banyak alasan yang dibuat oleh perusahaan, semisal merasa perusahaannya bukan perusahaan industri atau tenaga kerja yang dipekerjakannya adalah tenaga outsourching.
4
Kebijakan upah minimum pada dasarnya rata untuk semua pekerja baik formal maupun non formal di segala sektor, akan tetapidalam pelaksanaan kebijakannya lebih ditekankan untuk diterapkan dalam sistem tenaga kerja yang formal. Tidak jelasnya sasaran dari perundangan tentang upah minimum membuat adanya tafsir berbeda dari pekerja ke pengusaha atau sebaliknya. Sistem tenaga kerja yang formal tersebut seringkali diterjemahkan secara sempit oleh pengusaha, dengan dalih alasan pengaturan upah minimum tersebut hanya untuk perusahaan yang bergerak di bidang industri, sehingga mereka tidak berkewajiban untuk membayarkan upah sesuai dengan SK upah minimum yang telah ditentukan. Hal ini seperti yang dijelaskan Ibu Purina dari seksi pengupahan Dinaskertrans DIY: “ …..Pada waktu masih UMP, ada beberapa perusahaan industri yang melakukan penangguhan. Hal tersebut diperbolehkan karena sesuai aturan memang diperbolehkan untuk melakukan penangguhan. Sedangkan perusahaan non industri , pihak Dinaskertrans tidak mampu berbuat banyak karena sebagian beralasan bahwa mereka menyewa pekerja dari lembaga outsoursching atau beralasan mereka bukan perusahaan industri…..”(Wawancara observasi, 23 Januari
2013) Pemberi kerja di sektor formal non industri sebagianmengerti dengan keberadaan kebijakan upah minimum provinsi, namun seringkali ditemukan di lapangan secara diam-diam tidak menaati peraturan tersebut. Situasi tersebut tidak hanya terjadi tempat tersebut, tetapi juga terjadi di beberapa tempat lain. Perusahaan sebenarnya secara keuangan sudah layak, tetapi tidak membayarkan upah sesuai peraturan. Tidak hanya terjadi di Yogyakarta, namun juga terjadi di banyak kota lainnya di Indonesia. Akar masalah diindikasikan bukan pada
5
masalah tatanan implementasi kebijakan upah minimum yang telah ditetapkan, namun padamasalah formulasi kebijakan. Salah satu cara memutus lingkaran masalah tentang kelayakan upah tenaga kerjabisa dengan melacak formulasi kebijakan yang telah dibuat. Apabila dari pembentukan awalnya terlalu dipolitisasi, maka hal tersebut akan mengakibatkan implementasi kebijakan yang buruk.Pertama, indikasi awal penelitian mengarah pada ketidakmampuan aktor dalam mendefinisikan kepentingannya atau lebih ekstrim adalah kelihaian aktor dalam memanipulasi dan merekayasa kebijakan, sehingga keputusan yang dihasilkan bersifat kompromistis dan terlalu dipolitisasi. Kedua,indikasi mengarah pada bingkai peraturan perundangan yang tidak sepenuhnya mengakomodasi aktor kebijakan untuk membuat gagasan inovasi sebagai salah satu jalan memperkuat proses implementasi kebijakan. Berangkat dari kenyataan buruknya implementasi kebijakan pada masa kebijakan UMP, penelitian ini difokuskan dan tertarik untuk mengetahui formulasi kebijakan UMK yang telah dilalui. Pada proses formulasi kebijakan seharusnya sudah ditentukan batas-batas dari kebijakan itu sendiri, termasuk kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha. Juga arah pekerja jika terjadi sebuah pelanggaran dan sistem akuntabilitas dari kebijakan itu. DiWilayah DIY sampai tahun 2012 masih memberlakukan UMP(Upah Minimum
Provinsi).Sejalan
dengan
perkembangan
permasalahan
ketenagakerjaan, pemerintah Kota Yogyakarta sejak 2011 merencanakan
6
membuat penentuan upah minimum di tingkat kota(UMK)3. Setelah proses yang panjang akhirnya Gubernur DIY menandatangani SK Gubernur Nomor 370/KEP/2012, dan dalam SK tersebut ditetapkan UMK Kota Yogyakarta sebesar Rp1.065.247,00 dari besar angka kriteria hidup minimal di Kota Yogyakarta, Rp1.046.846,00. Kebijakan UMK yang diimplementasikan pada tahun 2013 ini menarik untuk diteliti khususnya pada pembentukankebijakannya. Substansi latar belakang pemerintah Kota Yogyakarta membuat kebijakan di level
administratif
yang lebih
sempit dan
cara
aktor
mendefinisikan
kepentingannya dalam proses kebijakan menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal tersebut,karena pemerintah Kota Yogyakarta beserta stakeholder bersangkutan sedang belajar membuat sebuah alternatif kebijakan baru. Desain formulasi kebijakan yang dilakukan pemerintah Kota Yogyakarta bisa menjadi sampel problematika yang terjadi seputar masalah ketenagakerjaan. Di regional Yogyakarta tidak ada kebijakan lain untuk melindungi hak pekerja tentang pengupahan kecuali upah minimum di setiap kabupaten. Di Kota Yogyakarta, pengusaha yang terdaftar mayoritas adalah ritel UMKM yang menengah ke atas, sehingga sudah sewajarnya pemberian upah dilakukan secara layak. UMK ditujukan pada perusahaan yang secara keuangan memenuhi standar dan terdaftar dalam badan hukum di dinas tenaga kerja sebagai perusahaan aktif yang dianggap mampu membayar upah pekerjanya dengan sistem pengupahan modern. Sasaran utama dari kebijakan ini adalah pekerja lajang yang mempunyai masa kerja 0-1 tahun. 3
Surat Keputusan Walikota Yogyakarta nomor 811/Kep/2011, tertanggal 21 Desember 2011
7
Di Kota Yogyakarta sebelumnya telah diimplementasikan aturan UMP sejak zaman orde baru sampai dengan tahun 2012, dicoba untuk dibuat rerangka kebijakan upah minimum yang memiliki lokus lebih kecil yaitu di tingkat kabupaten untuk diterapkan pada tahun 2013. Pertanyaan awal,bagaimana substansi pemerintah memindahkan kebijakan ke level kota? Jika pendekatan dan metode yang digunakan sama dengan sebelumnya(UMP), maka sebenarnya adanya perpindahan level kebijakan dari UMP ke UMK ini tidak akan berpengaruh lebih banyak kepada kesejahteraan pekerja di masa-masa yang akan datang. Adanya kebijakan UMK di Kota Yogyakarta sendiri akan memengaruhi kehidupan dua kubu: pengusaha dan pekerja. Dari data Dinaskertrans Kota Yogyakarta tahun 2011, jumlah perusahaan di Kota Yogyakarta semua sektor usaha berjumlah 1.211 buah, yang menghidupi sekitar 43.900 jiwa pekerja. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1.
8
Tabel 1.1. Banyaknya Perusahaan yang Terdaftar menurut UU No.7 Tahun 1981 di Kota Yogyakarta Tahun 2011. Lapangan Usaha
Jumlah perusahaan
Total Pekerja
1. Pertanian
5
92
2. Penggalian
1
167
3. Industri
146
6.733
4. Listrik, Gas, Air
1
17
5. Bangunan
61
980
6. Perdagangan
622
18.144
7. Transportasi
43
1.135
8. Keuangan
152
7.475
9. Jasa
180
9.157
1.211
43.900
Jumlah
Sumber: Dinaskertrans Kota Yogyakarta (2012)
Jika dilihatsektor industri yang ada di Kota Yogyakarta jumlah perusahaan besar sebanyak 146buah dengan pekerja sekitar 6.733, lalu jumlah UMKM yang ada pada tahun 2011 adalah 6.565 buah dengan tenaga kerja sekitar 34.570 orang. Lihat tabel 1.2.
9
Tabel 1.2. Banyaknya Usaha Industri Kecil, Tenaga Kerja dan Nilai Investasi di Kota Yogyakarta 2011. Tahun
Usaha
Tenaga Kerja
Nilai Investasi
2009
6.224
33.150
160.292.663
2010
6.535
34.470
169.910.223
2011
6.565
34.570
170.690.223
Sumber: Dinas Perindakoptan Kota Yogyakarta (2012)
Dari data tersebut, menunjukkan jika dihitung dari pekerja sektor formal industri minus pekerja sektor UMKM terdapat lebih dari 100 perusahaan besar di Kota Yogyakarta, didalamnya termasuk PT Tarumartani yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Gubernur DIY, RS Happy Land, PT KHS, dan perusahaan susu bayi SGM. Walaupun, pengaturan UMK untuk semua perusahaan, baik formal maupun non formal, akan tetapi dalam praktiknya sasaran utama dari kebijakan ini adalah pekerja lajang disektor formal yang sistem kerja dan pengupahannya dianggap lebih jelas. Hal tersebut karena sistem ketenagakerjaan sektor informal lebih menggunakan praktik bipartit dalam urusan pengupahan. Proses pembentukan kebijakan publik adalah proses yang panjang. Fokus penelitian pada formulasi kebijakan dipilih karena ini merupakan proses yang fundamental bagi pembentukan sebuah kebijakan upah minimum. Jadi, penelitian ini berusaha untuk menceritakan kembali dinamika interaksi antar aktor yang terjadi dalam proses formulasi kebijakan dari awal proses pengusulan adanya perpindahan lokus kebijakan ini atau dapat dikatakan ingin mengevaluasi
10
perjalanan sebuah kebijakan yang dirumuskan oleh beberapa aktor sampai menjadi kebijakan yang siap untuk di implementasikan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan negosiasi oleh kelembagaan tripartit yang disetujui adalah Rp981.000,004dan ditetapkan Rp1.065.000,00 oleh Gubernur DIY pada akhir tahun 2012. Adapun kebijakannya sendiri sudah disahkan dan ditelaah beberapa pihak akan menguntungkan kaum pekerja ditahun 2013.Apabila
mengetahui
proses pembentukan awalnya, akan didapatkan gambaran sebuah kebijakan yang diperdebatkan dua pihak yang saling berlawanan kepentingan, diciptakan. Diharapkan dapat dilacak kejelasan akar permasalahan dan solusi
yang bisa
dilakukan. Berdasarkan permasalahan tersebut, tertarik untuk dilakukan penelitian dengan judul:Formulasi Kebijakan Upah Minimum Kota Yogyakarta. Dihubungkan dengan kajian kebijakan dan manajemen publik, riset ini merupakan studi tentang aktor, peran, dan kepentingannya di dalam formulasi kebijakan publik.Diharapkan dengan penelitian ini mampu menghasilkan deskripsi mengenai formulasi kebijakan upah minimum Kota Yogyakarta, kelemahan dan kelebihan, sehingga nilai-nilai positif dan negatif dari kebijakan yang diselenggarakan bisa terpetakan dengan baik. Dengan demikian, output penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sumbangan gagasan inovatif terhadap
4
Rp981.000,00 didapat dari hasil negosiasi tripartit, sedangkan angka menurut hasil olah data regresi KHL Kota Yogyakarta di dapat Rp1.046.514,00( data mengenai analisis regresi setiap bulan di rahasiakan depeko)
11
proses penentuan kebijakan upah minimum, khususnya masalah interaksi aktor yang bermain di dalamnya dalam bingkai tata perundangan ketenagakerjaan. Banyak penelitian berhubungan dengan mekanisma upah minimum yang dilakukan oleh akademisi dari berbagai disiplin keilmuan. Terkait dengan penelitian sebelumnya yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini adalah: Budiyono(2007) membuat tesis tentang masalah penetapan upah minimum di Semarang dalam kaitannya upaya perlindungan bagi pekerja, dan perkembangan perusahaan.5Lalu, Bambang Setiadji dkk(2001) membuat tesis tentang upah minimum, upah sektoral, dan produktivitas sektor industri di Indonesia.6Tentang upah dan peran organisasi buruh misalnya, Ganda Syahputra(2009) membuat tesis studi kasus mengenai peranan serikat buruh dalam memperjuangkan upah dan politik di Medan.7 Respanti Yuwono(2004) membuat skripsi tentang pemetaan masalah kebijakan UMP di DIY8 . Sampai saat ini, belum ada penelitian sejenis dengan lokus yang sama. Penelitian ini penting untuk memberikan feedback atau umpan balik bagi para aktor kebijakan terkait upah minimum di Kota Yogyakarta. Dengan demikian, proses formulasi kebijakan yang akan berlangsung di tahun mendatang bisa lebih baik.
5
Budiyono, 2007, Penetapan Upah Minimum dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan, Tesis, Pascasarjana Hukum UNDIP Semarang 6 Bambang Setiaji & Sudarsono, 2001, Upah Minimum, Upah Sektoral, dan Produktivitas Sektor Industri di Indonesia, Riset Hibah Bersaing,DP2M Depdiknas RI 7 Syahputra S, Ganda, 2009, Peranan Serikat Buruh dalam Memperjuangkan Upah dan Politik, FISIPOL USU, Medan 8 Yuwono, Respanti, 2003, Studi tentang Proses Penetapan Kebijakan Upah Minimum di Provinsi DIY”, Skripsi, Jurusan Ilmu Administrasi Negara:FISIPOL UGM
12
1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimanaformulasi kebijakan upah minimum Kota Yogyakarta tahun 2013, baik dari segi kronologis maupun substantif?” Pertanyaan penelitian tersebut memuat beberapa hal yang menjadi pertanyaan turunan, yaitu: 1. Nilai dan kepentingan apa yang dibawa antar aktor padapenetapan kebijakan? 2. Bagaimana interaksi antar aktor berlangsung selama proses pembuatan kebijakan? 1.3.Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengungkap dinamika proses formulasi kebijakan upah minimum Kota Yogyakarta di dalam dewan pengupahan 2. Mengetahui dinamika hubungan antar aktor dalam menentukan besarnya upah minimum Kota Yogyakarta 3. Mendeskripsikan fakta berbagai kendala, hambatan, dan tantangan dalam proses menentukan besarnya upah minimum Kota Yogyakarta
13
1.4.Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan bagi para pemerhati masalah ketenagakerjaan, khususnya dalam hal pengupahan pekerja, dari sudut pandang kajian manajemen dan kebijakan publik 2. Memberikan feedback (umpan balik) bagi aktor kebijakan pembuatan upah minimum Kota Yogyakarta.
14