Pasien pria usia 81 tahun dengan pneumonia dan riwayat rawat inap sebelumnya Pasien pria usia 81 tahun dengan riwayat diabetes mellitus kronik tidak terkontrol datang dengan keluhan utama sesak napas dan penurunan kesadaran tiba-tiba sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien selama ini dalam perawatan homecare oleh keluarga dan mendapatkan nutrisi enteral per sonde 6 kali sehari. Riwayat penyakit dahulu pasien termasuk : hipertensi, penyakit jantung koroner, gastritis erosif dan hipertrofi prostat benigna. Pasien pernah dirawat dalam waktu kurang lebih satu bulan terakhir dengan stroke iskemik dan menerima terapi berupa antibiotika parenteral. Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit berat dan kesadaran sopor (GCS=10-12). Keadaan hemodinamik tidak stabil, nadi 135 kali/menit, tekanan darah 140/78 mmHg dan akral teraba dingin. Pernapasan cepat dan dalam, laju 30 kali/menit, dan dengan udara ruangan saturasi O2 83%. Suhu pasien terukur 36,5°C. Pasien nampak anemis dan tampak bercak-bercak diskolorasi karena gangguan perfusi pada keempat ekstremitas. Pupil isokor, diameter 3mm kedua sisi, dan reaksi cahaya positif bilateral. Pemeriksaan paru didapatkan pergerakan paru simetris cepat dan dalam, ronki kasar bilateral pada seluruh lapangan paru, tanpa wheezing. Pemeriksaan jantung tidak didapatkan kelainan. Abdomen tampak distensi dengan peristaltik normal. Pemeriksaan penunjang telah dilakukan rontgen thoraks, dengan hasil gambaran kardiomegali dengan edema paru, kecurigaan infeksi sekunder dan efusi pleura bilateral. Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium awal pasien Jenis Pemeriksaan Laboratorium Hemoglobin
Hasil Pemeriksaan 10,3 g/dL
Nilai Referensi * Normal 14,0-17,4 g/dL
Leukosit
11.900
Trombosit
318.000 sel/µL 7,182 39,6 mmHg 57,0 mmHg 13,9 mEq/L -13,0 mmol/L 151 mEq/L
5.000-10.000 sel/μL 150.000400.000 sel/μL 7,35-7,45 35-45 mmHg >80 mmHg 22-26 mEq/L >2 mmol/L
pH pCO2 pO2 HCO3 Base Excess Natrium
135-148 mEq/L
Jenis Pemeriksaan Laboratorium Alanin Transferase (ALT) Aspartat Transferase (AST) Albumin Gamma GT Fosfatase Alkali Ureum Kreatinin Glukosa darah Sewaktu Kalium
Hasil Pemeriksaan 13 U/L
Nilai Referensi * Normal 10-40 U/L
40 U/L
14-20 U/L
2,1 g/dL
3,5-4,8 g/dL
414 U/L 107 mg/dL 1,3 mg/dL 355 mg/dL
7-47 U/L 25-100 U/L 40 mg/dL 0,9-1,3 mg/dL < 200 mg/dL
4,8 mEq/L
3,6-5,8 mEq/L
Pasien di rawat di unit rawat intensif dengan Acute Respiratory Distress Syndrome, Pneumonia, Asidosis metabolik dan Hypernatremia. Penatalaksaan dilakukan untuk menangani kelainan mendasar, termasuk intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral, resusitasi cairan dan pemberian nutrisi kombinasi parenteral/enteral serta pemberian antibiotika sistemik empirik dengan Cefepime. Darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium dengan hasil seperti di atas dan dilakukan pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Hasil pemeriksaan kultur dan resistensi terhadap darah vena dan spesimen bronkoskopi menunjukkan adanya infeksi dengan Klebsiella pneumoniae.
Tanya : Pasien ini dirawat dengan Pneumonia yang disebabkan infeksi Klebsiella pneumoniae, menurut saudara tanpa melihat hasil kultur dan tes resistensi, apakah dasar dari kecurigaan klinis pada pasien ini untuk infeksi terhadap patogen tersebut? Apakah kategori dari pneumonia yang dideritanya dan apakah kepentingan dari penggolongan pasien ini ke dalam kategori tersebut? Jawab: Klebsiella pneumoniae Kecurigaan infeksi oleh K.pneumoniae didasarkan pada kategori pneumonia yang diderita. Kategori pneumonia pada pasien ini adalah Health Care Asociated Pneumonia (HCAP), didasarkan pada adanya riwayat rawat inap lebih dari 2 hari dalam waktu satu bulan terakhir. Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Disease Society of America (IDSA) tahun 2005, faktor risiko untuk HCAP adalah sebagai berikut : riwayat rawat inap lebih dari 2 hari dalam waktu 90 hari terakhir; riwayat perawatan dalam rumah jompo atau fasilitas perawatan penunjang lainnya; riwayat terapi intravena di rumah (termasuk antibiotika); riwayat dialisis dalam 30 hari terakhir; riwayat perawatan luka di rumah dan riwayat anggota keluarga dengan infeksi patogen multi-resisten.1 Klebsiella pneumoniae merupakan pathogen yang sering didapatkan pada pasien dengan pneumonia terkait perawatan kesehatan (HCAP) terutama pada pasien-pasien lansia. Pada suatu studi yang dilakukan pada 104 pasien berusia 75 tahun atau lebih, El Solh menemukan bahwa sampai 15% pneumonia disebabkan oleh basil enterik gram negatif, termasuk K.pneumoniae. Pada pasien-pasien yang tidak berespons terhadap terapi antibiotika inisial 72 jam pertama, persentase pneumonia yang disebabkan oleh K.pneumoniae meningkat sampai 24%.1 Healthcare-associated pneumoniae Pemberian terapi antibiotika yang efektif dan efisien memerlukan hasil kultur dan tes resistensi untuk mengarahkan pemilihan antibiotika yang sesuai, namun sayangnya hasil kultur seringkali baru dapat diperoleh tiga hari kemudian. Tanpa adanya data kultur, pemberian antibiotika empirik harus dimulai dalam waktu 4 jam sejak diagnosis pneumonia untuk mengoptimalkan hasil terapi. Oleh karena hal tersebut, maka diperlukan suatu klasifikasi berbasiskan bukti yang dapat membedakan tipe-tipe pneumonia berdasarkan organisme etiologik yang paling mungkin untuk membantu klinisi dalam memaksimalkan terapi. Pelayanan-pelayanan kesehatan seperti dialisis, kemoterapi, pembedahan satu hari, homecare, dan perawatan luka di rumah membuat pola patogen etiologik untuk pneumonia berubah. Namun pada saat ini, pasien-pasien yang datang dengan pneumonia dari tempattempat pelayanan kesehatan selain rumah sakit masih digolongkan dan diterapi sebagai CAP, sehingga pemberian antibiotika untuk mereka menjadi tidak sesuai. Sebagai contoh galur MRSA yang diisolasi dari pasien-pasien penderita infeksi terkait pelayanan kesehatan (health-care associated infection) ternyata berbeda dengan yang murni community acquired dan memiliki sensitivitas terhadap antibiotika yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Kollef (2005), berdasarkan data perawatan nasional Amerika Serikat dan mengikutsertakan 4.543 pasien pneumonia dengan kultur positif dari 59
rumah sakit, mengungkapkan bahwa etiologi pneumonia yang paling sering adalah S.aureus. Namun apabila dilihat lebih jauh, ternyata S.aureus hanya sebesar 25,5% untuk CAP dan dengan presentasi MRSA hanya 6,2%; sedangkan untuk HCAP adalah sebesar 46,7% dan dengan persentasi MRSA mencapai 26,5%. Pasien-pasien dengan HCAP juga mempunyai prevalensi yang lebih tinggi untuk infeksi P.aeruginosa dibandingkan dengan CAP, yakni 25,3% vs. 17,1%. Pasien-pasien dengan HCAP, berdasarkan studi ini, juga terlihat mempunyai perbedaan dengan CAP dalam mortalitas (19,8% vs. 10%; p<0,0001) dan lama rawat inap (8,8 vs. 7,5; p<0,0001).2 Hasil penelitian dari Kollef (2005) memperlihatkan bahwa HCAP, yang biasanya dimasukkan ke dalam kategori CAP, ternyata secara klinis lebih mirip dengan HAP dan VAP, baik dipandang dari sisi mikrobiologis maupun morbiditas dan mortalitas (tabel 1). Sehingga untuk memaksimalkan terapi pada pasien-pasien dengan faktor risiko tersebut di atas diperlukan suatu kategori klinis baru yakni HCAP, di mana untuk penatalaksanaannya mengambil strategi yang sama dengan pasien HAP dan VAP. Tabel 2. Distribusi patogen, risiko mortalitas dan lama rawat inap untuk masing-masing kategori pneumonia.
CAP (n=2.221)
HCAP (n=988)
HAP (n=835)
VAP (n=499)
25,5% 8,9% 16,6% 17,1% 16,6%
46,7% 22,9% 5,5% 25,3% 5,8%
47,1% 22,9% 3,1% 18,4% 7,1%
42,5% 28,5% 5,8% 21,2% 12,2%
1,65 (p<0.0001) 8,8 ± 7,8 (7,0)
2,07 (p<0,0001) 15,2 ± 13,6 (11,0)
3,24 (p<0,0001) 23,0 ± 20,3 (17,0)
Patogen Bakterial (%)
S.aureus
MRSA
S.pneumoniae
Pseudomonas sp.
Haemophilus sp. Odds Ratio untuk 1,00 mortalitas Lama Rawat inap rata- 7,5 ± 7,2 (5,0) rata (median)
Diadaptasi dari “Kollef M, Shorr A, et al. Epidemiology and Outcomes of Health-care Associated Pneumonia: Results from a large US database of culture-positive pneumonia. CHEST. 2005; 128:3854-3862”.
Tanya : Jelaskanlah diagnosis diferensial untuk etiologi pneumonia pada pasien dengan faktor risiko seperti pasien ini! Jawab : Pasien-pasien dengan HCAP mempunyai etiologi pneumonia yang kurang lebih sama dengan HAP dan VAP, dan diagnosis diferensial dari pasien tipe ini mempunyai spektrum bakteriologik yang luas termasuk juga beberapa kasus yang disebabkan oleh infeksi fungal dan viral. Beberapa etiologi yang sering didapatkan pada pasien yang berasal dari panti werda adalah: Staph.aureus (29%), basil enterik gram negatif (15%), Strep.pneumoniae (9%) dan Pseudomonas (4%). Lebih lanjut, pada pasien yang tidak merespons terhadap antibiotika inisial 72 jam pertama, etiologi yang sering didapatkan adalah MRSA (33%), basil enterik gram negatif (24%) dan Pseudomonas (14%). Secara umum dapat disimpulkan untuk pasien-pasien dengan HCAP, VAP dan HAP baik dengan atau tanpa ventilasi mekanik ada empat patogen etiologik yang
harus dipertimbangkan sebagai acuan pemberian terapi empirik, yakni MRSA, P.aeruginosa, Acinetobacter dan Klebsiella pneumoniae.1 Tanya : Pemeriksaan penunjang apakah yang akan saudara minta untuk menunjang diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia dari pasien ini? Jawab : Pemeriksaan penunjang diagnostik pada pneumonia bertujuan untuk menentukan dua variabel, yakni 1) Apakah pasien menderita pneumonia sebagai penjelasan dari kumpulan tanda dan gejala penyakit yang dideritanya, dan 2) Untuk menentukan patogen etiologik apabila pneumonia ditegakkan. Pneumonia ditegakkan dengan adanya gambaran radiologis yang sesuai dengan adanya infiltrat yang baru terjadi atau progresif disertai dengan tanda-tanda infeksi seperti demam, leukositosis/leukopenia, sputum purulen dan penurunan kadar oksigenasi. Pada pasien ini diagnosis HCAP ditegakkan atas dasar faktor risiko yang sudah disebutkan di atas. Pada pasien ini dengan adanya ARDS, kecurigaan akan pneumonia juga semakin tinggi, beberapa studi memperlihatkan pada pasien ARDS, adanya salah satu dari kriteria klinis di atas menandakan diperlukannya pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan pneumonia. Sebagai panduan pemeriksaan diagnosis yang dibutuhkan untuk menegakkan pneumonia, guideline ATS-IDSA tahun 2005 merekomendasikan beberapa pemeriksaan sebagai berikut: Semua pasien hendaknya dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada dan apabila tidak diintubasi lebih baik secara posteroanterior dan lateral. Foto rontgen dapat digunakan untuk menentukan derajat keberatan dari pneumonia (multilobar atau tidak) dan dapat mendeteksi adanya komplikasi seperti efusi pleura dan kavitasi. Pada semua pasien yang mendapat terapi oksigen hendaknya dipantau saturasi oksigen. Analisa gas darah hendaknya diperiksa untuk menentukan adanya asidosis metabolik atau respiratorik untuk memantau kapan diperlukan ventilasi mekanik. Bersama dengan pemeriksaan laboratorium lainnya (darah lengkap, elektrolit serum, fungsi hati dan ginjal) dapat menunjukkan adanya Multiple Organ Dysfunction (MOD) dan membantu menentukan derajat berat ringannya penyakit Pada pasien dengan efusi pleura masif atau efusi pleura yang nampak toksik, hendaknya dilakukan thorakosentesis untuk membedakan apakah empiema akibat komplikasi atau efusi para pneumonia Pemeriksaan diagnostik lebih lanjut diperlukan pada pasien dengan ARDS, yang mana sulit dilihat perburukan gambaran radiologisnya, harus ada salah satu dari tiga kriteria ARDS atau tanda lainnya dari pneumonia seperti instabilitas hemodinamik dan perburukan gas darah.
Diagnosis etiologik dari pneumonia memerlukan kultur saluran napas bawah unutk menegakkannya, walaupun kadangkala diagnosis etiologik dapat diperoleh melalui kultur darah dan cairan pleura. Khususnya untuk darah, diagnosis etiologik pneumonia tidak disarankan untuk diperoleh melalui kultur darah, karena beberapa studi menunjukkan sensitivitasnya hanya sebesar 25%, bahkan pada saat positifpun patogen yang dideteksi dapat berasal dari sumber lain. Kultur saluran napas bawah dapat diperoleh melalui Bronchoalveolar lavage (BAL) atau Protected Specimen Brush (PSB), dengan sensitivitas dan spesifisitas yang setara. Apabila memungkinkan, pemeriksaan kultur dan sensitivitas sedapat mungkin menggunakan metode kualitatif, yang mampu untuk membedakan antara patogen dan kolonisasi. Penggunaan kultur kualitatif, pada beberapa penelitian menunjukkan mampu untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari terapi antibiotika awal. Selain itu dengan kemampuannya membedakan antara kolonisasi dan patogen, kultur kualitatif mampu untuk menekan pemakaian antibiotika berlebihan dan akibatnya menurunkan insidensi resistensi. Khususnya untuk pasien ini, dan pasien lain dengan adanya efusi pleura masif, torakosentesis diagnostik untuk menyingkirkan empiema dan efusi parapneumonik harus dilakukan. Torakosentesi juga harus dilakukan apabila pada pasien dengan efusi pleura menunjukkan tanda-tanda toksik. Sebagai catatan khusus, sebelum pergantian antibiotika atau inisiasi antibiotika awal, maka kultur saluran napas bawah harus dilakukan untuk mendokumentasi sensitivitas bakteri terhadap antibiotika. Hasil kultur saluran napas bawah yang steril, tanpa disertai penggantian antibiotika dalam waktu 72 jam sebelumnya dapat dianggap menyingkirkan diagnosis pneumonia bakterial. Untuk rangkuman strategi diagnostik pneumonia dapat dilihat pada lampiran. Tanya : Sebutkan dan jelaskan penatalaksanaan pneumonia nosokomial secara umum dan dari pasien ini berdasarkan etiologi dari pneumonia yang dideritanya! Jawab : Pneumonia nosokomial secara umum Pada pasien ini, terapi untuk pneumonia mengacu kepada pedoman terapi untuk HAP, HCAP dan VAP yang dikeluarkan oleh ATS-IDSA tahun 2005. Keputusan pertama yang harus diambil adalah menentukan adanya pneumonia atau tidak, seperti yang telah dijabarkan di atas. Setelah pneumonia ditegakkan maka harus diambil keputusan untuk memulai terapi antibiotika empirik awal. Adanya gambaran infiltrat yang baru atau perkembangan gambaran inflitrat yang progresif pada foto rontgen paru, ditambah dua dari tiga tanda klinis (demam lebih dari 38°C, leukositosis atau leukopenia dan sekret yang purulen) merupakan kriteria klinis yang paling akurat untuk memulai terapi antibiotik empirik Pada dasarnya keputusan untuk pemilihan terapi pada pasien dengan HCAP didasarkan pada kecurigaan apakah ada kemungkinan infeksi dengan patogen MDR atau tidak (tabel 3). Pada pasien ini, sebagaimana telah dibahas di bagian etiologi, didapatkan beberapa faktor risiko yang mengarahkan kepada kemungkinan untuk mendapatkan infeksi dengan patogen MDR.
Dengan demikian, untuk mencapai terapi yang tepat dan adekuat pada pasien ini, pada terapi empirik inisial harus digunakan terapi kombinasi untuk MDR sambil menunggu hasil dari kultur dan tes resistensi. Untuk panduan terapi pada pasien pneumonia tanpa kecurigaan patogen MDR dan dosis masing-masing antibiotika dapat dilihat pada lampiran. Tabel 3. Faktor risiko untuk kejadian HAP, HCAP dan VAP yang disebabkan oleh patogen-patogen MDR bacteria.
Terapi antimikrobial dalam waktu 90 hari sebelumnya Di Rawat di RS selama 5 hari atau lebih Prevalensi kuman yang resisten terhadap antibiotika di masyarakat atau pada unit rumah sakit spesifik yang tinggi. Adanya faktor risiko untuk HCAP seperti: o Riwayat rawat inap untuk 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir o Tinggal di panti werda atau fasilitas perawatan jangka lama lainnya o Terapi intravena di rumah (termasuk antibiotika) o Dialisis kronik dalam waktu 30 hari terakhir o Perawatan luka di rumah o Anggota keluarga dengan infeksi patogen MDR bacteria Penyakit dan atau terapi immunosupresif
Diadaptasi dari “American Thoracic Society – Infectious Disease Society of America. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med, 2005. 171:388–416.”.
Kombinasi terapi empirik inisial pada kasus ini, dengan kecurigaan MDR, dapat dimulai dengan pemberian kombinasi antara: Tabel 4. Pemilihan terapi antimikrobial inisial untuk infeksi dengan patogen MDR1 Sefalosporin antipseudomonal (cefepime, ceftazidime); atau karbapenem anti pseudomonal (imipenem, meropenem); atau β-lactam/β-lactamase inhibitor (piperacillin-tazobactam) DITAMBAH Fluoroquinolone antipseudomonal (ciproloxacin, levofloxacin); atau aminoglikosida (amikacin, gentamicin, tobramycin) DITAMBAH Linezolid atau vancomycin
Pemilihan kombinasi antimikrobial dari ketiga golongan rekomendasi di atas harus disesuaikan dengan pola bakteriologik lokal, sehingga setiap rumah sakit dan unit intensif seharusnya memiliki antibiogram sendiri, dan di perbaharui sesering mungkin. Pada saat pasien dengan risiko infeksi MDR diketahui, maka pemilihan kombinasi di atas didasarkan pada pola sensitivitas yang dimiliki oleh unit tersebut. Setelah hasil kultur bakteriologik diketahui pastikan untuk menyesuaikan kombinasi terapi sesuai dengan organisme yang diketemukan dan dengan spektrum yang sesempit mungkin (de-eskalasi). Hindari pemakaian antibiotika dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu lama, karena akan meningkatkan kejadian resistensi organisme terhadap antimikrobial tersebut. Dalam pemilihan terapi empirik untuk pasien-pasien yang telah mendapatkan antibiotika sebelumnya, harus diupayakan menggunakan antibiotika dari golongan yang
berbeda, oleh karena terapi antibiotika sebelumnya meningkatkan kemungkinan terapi tidak tepat dan dapat mempredisposisi resistensi terhadap antibiotika dari golongan yang sama.1 Apabila ditemukan adanya pneumonia P.aeruginosa maka terapi kombinasi diindikasikan. Rasionalisasi utamanya adalah tingginya frekuensi resistensi pada monoterapi. Meskipun terapi kombinasi mungkin tidak mencegah resistensi namun membantu mengurangi kemungkinan terapi yang tidak tepat dan tidak efektif. Bila didapatkan adanya species Acinetobacter, obat yang paling aktif adalah carbapenem, sulbactam, colistin, dan polymixin. Linezolid merupakan alternatif terhadap vancomycin untuk pengobatan pneumonia nosokomial yang disebabkan MRSA, dapat menjadi pilihan berdasar uji klinis prospektif. Obat ini dapat menjadi pilihan pada pasien dengan gagal ginjal atau yang mendapatkan bahan nefrotoksik lainnya, namun masih diperlukan data lebih lanjut. Pemberian terapi awal paling baik adalah dengan rute intravena, namun sesegera setelah kondisi pasien stabil dan rute oral memungkinkan, segera ubah pemberian menjadi oral. Apabila pasien menerima terapi kombinasi dengan golongan aminoglikosida maka pemberiannya dapat dipersingkat menjadi 5-7 hari pada pasien yang responsif. Apabila pasien pertama-tama mendapatkan regimen antibiotika yang tepat, usaha harus dilakukan untuk memperpendek lama terapi dari 14-21 hari menjadi selama 7 hari saja, dengan catatan patogen etiologiknya bukanlah P.aeruginosa, dan pasien mempunyai respons klinis yang baik yaitu menghilangnya tanda-tanda klinis infeksi.1 Klebsiella pneumoniae Sebagai catatan untuk infeksi dengan Klebsiella pneumoniae, yang paling ditakutkan adalah kemampuan patogen ini untuk memproduksi Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL), yakni suatu perluasan dari enzim beta laktamase yang mampu menghasilkan resistensi terhadap antibiotika golongan pensilin. Enzim ESBL mampu membuat bakteri patogen yang mampu memproduksinya menjadi resisten terhadap hampir semua sefalosporin (kecuali Cephamycin), penisilin dan monobaktam. Enzim ESBL juga tahan terhadap inhibisi yang biasanya dihasilkan oleh asam klavulanat, tazobaktam dan sulbaktam.3 Penelitian Tumbarello dan Spanu (2005) menunjukkan faktor risiko terbesar untuk infeksi dengan K.pneumonia yang memproduksi ESBL adalah pemakaian antibiotika sebelumnya (odds ratio [OR] 11.81, 95% confidence interval [CI] 2,72-51,08) dilanjutkan dengan usia lanjut rata-rata 64 tahun (OR 1,14, 95% CI 1,08-1,21) dan lama hospitalisasi (OR 1,07, 95% CI 1,041,16). Infeksi dengan K.pneumoniae pemroduksi ESBL juga menyebabkan tingkat kegagalan terapi hampir dua kali lipat dibandingakan dengan K.pneumoniae non-ESBL (31% vs. 17%; OR 2,19; 95% CI 0,98-4,19) dan tingkat mortalitas 21 hari yang juga lebih tinggi (52% vs. 29%; OR 2,62; 95% CI 1,28-5,35). Faktor risiko lainnya untuk infeksi dengan patogen Klebsiella ESBL, menurut Rodrigues tahun 2006, adalah pemakaian ventilasi mekanis (OR 6,4; 95% cI 2,3-18,4), pemakaian kateter vena sentral (OR 7,2; 95% CI 2,7-19,9) dan pemakaian nutrisi parenteral total (OR 4,4; 95% CI 1,5-13,4).4,5
Graffunder et.al pada tahun 2005 juga mengungkapkan pemakaian antibiotika sebelumnya yang meningkatkan risiko terkena patogen pemroduksi ESBL adalah, aminoglikosida (OR 2,7; 95% CI 1,2-6,1), sefalosporin generasi ketiga (OR 7,2; 95% CI 2,6-20) dan kotimoksazol (OR 8,8; 95% CI 3,1-26). Penelitian Rodrigues menambahkan cefepime (OR 4,51; 95% CI 1,1218,21) dan kuinolon (OR 25,37; 95% CI 1,61-398,50) sebagai faktor risiko untuk kegagalan terapi antimikrobial terhadap Klebsiella dan dikaitkan dengan Klebsiella pemroduksi ESBL. Dari penelitian Tumbarello dan Spanu, didapatkan imipenem dan meropenem memberikan hasil sensitivitas 100% terhadap Klebsiella pemroduksi ESBL dan amikasin memberikan sensitivitas 97,9%. Karbapenem, melalui penelitian Rodrigues, juga dikaitkan dengan penurunan risiko untuk terkena infeksi Klebsiella pemroduksi ESBL ( OR 0,32; 95% CI 0,04-2,74).1,5,6 Melihat hasil penelitian di atas tampaknya kombinasi karbapenem/imipenem/meropenem dengan amikasin dan vankomisin/linezolid dapat memberikan hasil yang terbaik untuk pasien dalam kasus ini. Hal ini diperlukan mengingat pasien ini mempunyai beberapa faktor risiko untuk terkena Klebsiella pemroduksi ESBL yakni, pemakaian antibiotika sebelumnya, pemakaian ventilasi mekanis, usia lanjut dan pemakaian kateter vena sentral. Namun sekali lagi, pemilihan antibiotika empirik insial tetap harus dipandu dengan data mikrobiologi dan pola sensitivitas lokal.1,5,6 Tanya : Bagaimanakah strategi untuk mengevaluasi respons terhadap pengobatan yang mungkin terjadi? Jawab : Salah satu butir penting dalam memberikan terapi antibiotika empirik yang optimal adalah kemampuan untuk menentukan saat di mana terapi tidak memberikan hasil yang baik. Respons klinis pasien terhadap terapi ditentukan oleh berbagai macam faktor, diantaranya faktor pasien (usia dan komorbiditas), bakterial (virulensi dan resistensi antimikrobial) dan kejadian-kejadian lain yang dapat terjadi selama proses pneumonia. Resolusi pneumonia nosokomial dapat ditentukan melalui penilaian klinis dan mikrobiologis. Perbaikan klinis dapat dilihat dalam waktu 48-72 jam pertama, sehingga kecuali terjadi perburukan atau diperlukan penyesuaian terhadap hasil kultur, maka antibiotika tidak boleh diganti selama 3 hari pertama. Kultur kuantitatif, selain dapat digunakan sebagai metode diagnosis juga dapat untuk menilai respons terhadap terapi. Suatu studi kultur serial dari sampel PSB, menemukan respons mikrobiologis positif dapat ditentukan apabila konsentrasi bakterial dari kultur ulangan ≤ 103 CFU/mL. Menggunakan cut off points ini dapat ditentukan kegagalan terapi hanya sebesar 7%, sedangkan apabila konsentrasi bakteri di atas 103 CFU/mL maka kegagalan terapi dapat sampai 55,8%. Rontgen thoraks tidak terlalu berguna dalam menentukan perbaikan klinis, karena selain tertinggal beberapa saat dari parameter klinis, gambaran perburukan radiologis awal merupakan hal yang sering diketemukan terutama pada pasien dengan bakteremia dan atau bakteri virulen. Namun patut dicatat, apabila terjadi perburukan radiologis yang signifikan, seperti perubahan dari infiltrat unilobar menjadi multilobar, pernambahan infiltrat lebih dari 50% dalam 48 jam,
terjadi efusi pleura masif atau pembentukan kavitas di jaringan paru, maka kegagalan terapi patut dipertimbangkan. Perbaikan parameter klinis lainnya seperti demam, leukositosis dan oksigenasi jaringan juga dapat digunakan untuk menentukan resolusi dan keberhasilan terapi. Namun perbaikan mereka terjadi secara progresif dalam minggu pertama, dan resolusi parameter-parameter klinis ini seringkali terjadi lebih dari satu minggu sejak inisiasi antibiotika empirik. Salah satu kriteria klinis yang dapat digunakan untuk menilai perbaikan klinis adalah dengan menggunakan Clinical Pulmonary Infection Scoring (CPIS), yang pertama kali dirancang oleg Pugin dkk untuk mendiagnosis pneumonia bakterial. Modifikasi untuk menggunakan CPIS dalam menilai perbaikan klinis dipelajari oleh Luna dkk. Perbaikan skor CPIS dalam tiga hari pertama dikaitkan dengan keberhasilan terapi dan tingkat mortalitas yang rendah, sedangkan skor CPIS yang tidak membaik dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi. Tanya : Bagaimanakah strategi yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi dan menangani pasien nonresponsif terhadap terapi antibiotika empirik awal? Jawab : Pada pasien-pasien non-responder pertama-tama dapat dilakukan perluasan spektrum antibiotika yang diberikan, diikuti dengan kultur dan tes resistensi ulangan dari saluran napas bawah dengan metode bronkoskopik atau lewat tube endotrakeal. Apabila diketemukan organisme resisten atau yang tidak biasa, maka terapi dapat disesuaikan terhadap organisme tersebut. Apabila tidak diketemukan organisme resisten atau yang tidak diduga, maka harus dipikirkan kemungkinan proses non-infeksi atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi (lampiran 4). Hal ini memerlukan penggantian semua akses vaskular, termasuk kultur terhadap ujungujung kateter, darah dari kateter dan tempat-tempat akses lainnya. Beberapa metode pemeriksaan radiologis dapat digunakan untuk mencari kemungkinan tempat infeksi lainnya, seperti CT-scan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi rongga dada (empiema, abses parenkimal) dan rongga abdomen (terutama pada pasien ARDS). Salah satu tempat yang sering mengalami infeksi pada pasien dengan intubasi endotrakeal adalah sinus, di mana CT-scan juga dapat membantu untuk menemukan air fluid level. Apabila ada kecurigaan mengarah ke infeksi sinus, maka kultur dan tes resistensi juga harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan mengarahkan terapi. Evaluasi untuk emboli paru juga diperlukan karena dapat disalahkan dengan pneumonia. Apabila pasien stabil namun hasil evaluasi sebelumnya tidak menunjukkan hasil maka dapat dicoba memberikan kortikosteroid sebelum melakukan biopsi terbuka guna menentukan penyebab infeksi lainnya. Namun pada kasus-kasus di mana pasien membaik secara transien untuk kemudian memburuk lagi, maka dapat diberikan antibiotika untuk organisme-organisme yang tidak biasa selagi melakukan evaluasi diagnostik ekstensif.
Kesimpulan
Pasien-pasien pneumonia yang datang dari masyarakat, namun memiliki risiko untuk patogen MDR seperti dijelaskan di atas haruslah didiagnosis sebagai HCAP dan diberikan perawatan sesuai dengan HAP dan VAP. Pemberian antibiotika empirik, yang mencakup patogen-patogen yang sering diketemukan di instalasi dan masyarakat lokal, harus diinisiasikan dalam waktu 4 jam pada pasien dengan diagnosis HCAP, HAP atau VAP. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi saluran napas bawah dan darah serta tempat-tempat inokulasi patogen lain yang mungkin harus dilakukan sebelum inisiasi antibiotika empirik, dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan metode kuantitatif atau setidaknya semikuantitatif. Terapi antibiotika harus disesuaikan dengan hasil kultur dan tes resistensi; terapi dapat dipersempit spektrumnya sesuai dengan patogen yang diketemukan dan hasil tes resistensinya (de-eskalasi). Resolusi pneumonia dengan terapi antibiotika yang adekuat dan tepat dapat diamati dalam waktu tiga hari, untuk pasien yang tidak responsif kemungkinan lain harus diselidiki termasuk kemungkinan patogen yang tidak biasa, penyebab-penyebab pneumonia non-infeksi lainnya dan penyakit lain yang dapat menyerupai pneumonia.
Referensi 1
American Thoracic Society – Infectious Disease Society of America. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med, 2005. 171:388–416. 2 Kollef M, Shorr A, et al. Epidemiology and Outcomes of Health-care Associated Pneumonia: Results from a large US database of culture-positive pneumonia. CHEST. 2005; 128:3854-3862. 3 Rozenberg-Arska M, Visser MR. Enterobactericeae. In Cohen and Powderly : Infectious Diseases 2nd edition; section 8: chapter 228: 2189-2202. Mosby, Elsevier Ltd, 2004. 4 Tumbarello M, Spanu T. Bloodstream Infections Caused by Extended-Spectrum-β-Lactamase-Producing Klebsiella pneumoniae: Risk Factors, Molecular Epidemiology, and Clinical Outcome. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. February 2006; 50(2): 498–504. 5 Bellíssimo-Rodrigues F, Gomes ACF. Clinical outcome and risk factors related to extended-spectrum beta-lactamase-producing Klebsiella spp. infection among hospitalized patients. Mem Inst Oswaldo Cruz. Rio de Janeiro, June 2006; 101(4): 415-421. 6 Graffunder EM, Preston KE. Risk factors associated with extended-spectrum β-lactamase-producing organisms at a tertiary care hospital. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2005; 56: 139– 145.
LAMPIRAN Dugaan HAP, VAP atau HCAP
Ambil kultur dan pemeriksaan mikroskopik sekret saluran napas bawah Bila secara klinis tidak curiga pneumonia dan hasil mikroskopi sekret saluran napas bawah negatif, terapi antimikrobial empirik dimulai dengan menggunakan algoritme Gb.2 dan data mikrobiologi lokal
Hari ke 2 dan 3 : cek hasil kultur dan keadaan klinis (temperatur, leukosit, foto rontgen dada, oksigenasi, sputum, perubahan hemodinamik dan fungsi organ)
Perbaikan klinis dalam 48 sampai 72 jam Tidak
Ya
Kultur (-)
Kultur (+)
Kultur (-)
Kultur (+)
Cari infeksi dan penyulitnya di tempat lain.
Sesuaikan jenis antibiotika, dan cari kuman lain, dan komplikasinya.
Pertimbangkan penghentian antibiotika
De-eskalasi antibiotika, obati pasien selama 7-8 hari dan evaluasi.
Lampiran 1. Ringkasan strategi pengelolaan pasien yang diduga HAP, VAP atau HCAP. Keputusan penghentian terapi antibiotika bisa berbeda tergantung dari tipe sampel yang diambil (PSB, BAL, atau aspirasi endotrakeal) dan apakah hasil dilaporkan secara kuantitatif atau semikuantitatif.
Lampiran 2. Terapi antibiotika empirik awal untuk pasien dengan HAP, atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR bacteria yang diketahui
Patogen potensial
Antibiotika yang direkomendasi
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae Methicillin sensitive Staphylococcus aureus Basil gram negatif enterik sensitif terhadap antibiotika Escherichia coli Klebsiella pneumoniae Enterobacter spp Proteus spp Serratia marcesens
Ceftriaxone atau Levofloxacin, moxifloxacin, atau ciprofloxacin atau ampicillin / sulbactam atau ertapenem
Lampiran 3. Dosis antibiotika intravena awal untuk pasien dewasa pada terapi HAP termasuk VAP dan HCAP, dengan faktor risiko patogen MDR bacteria
Antibiotika
Dosis *
Sefalosporin anti-pseudomonal
Cefepime
1-2 g setiap 8-12 jam
Ceftazidime
2 g setiap 8 jam
Karbapenem
Imipenem
500 mg setiap 6 jam atau 1 g setiap 8 jam
Meropenem
1 g setiap 8 jam
Βeta-Laktam/Inhibitor Beta-Laktamase
Piperacillin-tazobactam
4,5 g setiap 6 jam
Aminoglikosida
Gentamycin Tobramycin
7 mg/kg per har 7 mg/kg per hari
Amikacin
20 mg/kg per hari
Kuinolon anti-pseudomonal
Levofloxacin Ciprofloxacin
Vancomycin Linezolid
750 mg per hari 400 mg setiap 8 jam 15 mg/kg setiap 12 jam 600 mg setiap 12 jam
* Dosis berdasar fungsi ginjal dan hati normal Trough level untuk gentamicin dan tobramicin harus kurang dari 1 μg/ml dan untuk amikacin harus kurang dari 4-5 μg/ml. Trough level untuk vanomycin harus 15-20 μg/ml.
Lampiran 4. Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kegagalan terapi antibiotika empirik awal (non-responsif) Patologi non-infeksius pneumonia
yang
menyerupai Atelektasis Gagal jantung kongestif Kontusi paru pada pasien trauma Pneumonitis kimia Emboli dengan infark paru Kerusakan alveolar luas tipe fibroproliferatif pada ARDS Perdarahan paru pada ventilasi mekanis
Faktor pasien mortalitas
yang
meningkatkan
risiko
Penggunaan ventilasi mekanis berkepanjangan Gagal napas Penyakit mendasari yang berat Penggunaan antibiotika sebelumnya Pneumonia sebelumnya Usia di atas 60 tahun Penyakit paru kronis
Patogen yang sulit diterapi
Pseudomonas aeruginosa, terutama dengan monoterapi Basil gram negatif Flora polimikrobial Patogen resisten terhadap antibiotika Patogen yang tidak diduga seperti fungal, mikobaterium dan Pneumocystis carinii.
Komplikasi infeksi
Sinusitis Infeksi kateter vaskular Kolitis pseudomembranosa Infeksi traktus urinarius
Lainnya
Demam obat Sepsis dengan disfungsi organ multipel Emboli paru dengan infark sekunder