Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI – XVII.
Johan Wahyudhi NIM: 2112022100007
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI – XVII.
Johan Wahyudhi NIM: 2112022100007
Diajukan Kepada Program Pascasarjana Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Didalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2015
Kata Pengantar Alhamdulillah, segala puja dan puji saya haturkan kepada Allah SWT, Tuhan sekalian alam, yang telah memberikan kuasa-Nya untuk menggerakkan jiwa, raga dan pikiran penulis agar senantiasa tidak melalaikan kewajiban agama, maupun kewajiban sosial, serta kewajiban akademik. Shawalat serta salam, saya lantunkan kepada penghulu para nabi dan rasul, Muhammad SAW, seorang yang gigih menyebarkan agama cinta kasih, Islam, hingga sampai ke tanah Nusantara. Tidak terasa, hampir berbilang tahun tugas akhir (tesis) ini selesai dirampungkan. Berbagai macam pengalaman senang dan sedih, mudah dan susah sudah saya alami dalam menyusun tesis ini. menelisik kebesaran sejarah Kesultanan Aceh Darussalam serta Kesultanan Johor memang amat mengasyikkan, hingga lupa diri, bahwa masa studi ada batasnya. Inilah yang kemudian, “memaksa” saya untuk segera memalingkan diri dari pekerjaan yang lain, mengkhususkan waktu agar kewajiban intelektual ini bisa dipenuhi. Saran serta kritik selalu saya nantikan, untuk menyempurkan kerja saya. Tidak bisa dielakkan, dalam menyusun suatu bacaan yang bermutu akan selalu dihinggapi oleh kesalahan ketikan, analisa serta pengambilan sumber yang kurang tepat. Oleh sebab itu, setiap masukan yang membangun, akan menjadi bahan pertimbangan saya, untuk selalu berhati-hati dalam menyajikan tulisan sejarah yang kronologis, analitis dan representatif. Dalam lembar ini, saya ingin mengucapkan terima kasih beberapa pihak, antara lain: 1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M.Ag, yang telah memberikan nasehatnasehat serta kiat-kiat bagaimana bisa menyelesaikan studi magister dengan baik dan terukur. Beliau adalah pribadi yang begitu mengesankan. Sosok yang begitu saya hormati. Beliau bisa menempatkan posisi di mana mesti menjadi penunjuk arah dan kapan saatnya menjadi kawan diskusi yang baik. 2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama kepada Dr. Abdullah M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib Misbahul Islam M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI yang telah banyak membantu, membesarkan hati, serta menyemangati saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir. i
3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada ayahanda Prof. DR. M. Dien Madjid dan keluarga, seorang yang berjasa besar dalam hidup saya dalam membuka mata mengenal Nusantara, serta mengasihi dan menyayangi saya. Beliau adalah sosok pemandu jalan saya tatkala berada dalam kegelapan hati dan pikiran, serta sahabat yang berimbang dalam membahas pelbagai persoalan sejarah. 4. Kalimat terima kasih saya layangkan pula pada sahabat-sahabat seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan 2012. Kalian adalah teman berbagi yang terbaik, tempat segala keluh kesah ketika saya susah, dan rekan dialog yang membesarkan. 5. Terimakasih kepada istri tercinta, Lesi Maryani M.Hum, mahasiswi yang kemudian menjadi pendamping hidup saya. Terima kasih atas seduhan kopi hangat dan sungging senyum berlesung pipitnya, yang selalu memberikan keteduhan, ketentraman serta semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 6. Terimakasih pula kepada ibunda tercinta, Harnani, seorang besar dalam kesederhanaan. Muara segala kebajikan serta mata air kasih sayang. Tidak ada yang balasan pantas menandingi jiwa besarmu, dari anak nakal ini, selain derai air mata suka cita yang bisa terlihat. 7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan pula bagi sejawat, kawan, serta pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak ada yang bisa membalas kebaikan serta kabajikan kalian semua, selain kuasa dan anugerah dari Allah SWT. Semoga kalian semua mendapat kesenangan, kemudahan dan kelapangan rezeki dalam setiap kesempatan dalam hidup ini. Harapan saya, semoga tesis ini bisa menjadi bacaan yang baik, menjadi inspirasi bagi kajian sejarah Islam Nusantara di masa depan. Wasalam
Depok, 17 Desember 2015
Johan Wahyudhi S. Hum ii
Abstrak Kesultanan Aceh dan Johor merupakan dua dari kekuatan berpengaruh di perairan Malaka dan dunia Melayu pada pertengahan abad XVI hingga abad XVII. Kedua kerajaan ini terlibat dalam pasang surut hubungan diplomatik yang menarik untuk dikaji. Terlebih, ketika ikut membincangkan Portugis sebagai kekuatan Malaka, maka akan didapatkan suatu keterhubungan yang saling mempengaruhi di antara keduanya. Munculnya Portugis sebagai penguasa Malaka sejak 1511, ikut meramaikan kancah politik internasional dunia Melayu. Sejak 1511, Aceh sudah memiliki visi untuk menekuk Portugis di Malaka. Sebagai langkah satrategis, dibangunlah hubungan yang rekat dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Di sisi lain, Portugis juga disibukkan dengan pengamanan pelabuhan serta jalur niaganya, sehingga mereka dituntut memiliki kekuatan militer yang tangguh untuk menghalau ancaman Aceh. Di tengah konfrontasi serta perebutan pengaruh Aceh dan Portugis inilah Johor, sebagai kelanjutan dari Malaka, mulai membangun kekuatannya. Ia pun dilirik oleh kedua kekuatan sebelumnya sebagai sekutu yang paling menjanjikan, mengingat raja-raja Johor adalah keturunan Sultan terakhir Malaka, yang kedudukannya masihlah dihargai oleh keluarga kerajaan Melayu lainnya. Dua pertanyaan dirumuskan dari pelbagai temuan masalah dalam tesis ini, yakni; 1) bagaimana kondisi diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor menghadapi dominasi Portugis di perairan Selat Malaka, dan; 2) upaya apa yang dilakukan kedua kerajaan dalam merawat hubungan diplomatik mereka. Fokus dari kajian tesis ini adalah membicarakan hubungan diplomatik antara Kesultanan Aceh dan Johor sejak abad XVI hingga XVII. Pernikahan menjadi salah satu bentuk diplomasi klasik yang kerap digunakan untuk menjalin kepentingan regional bersama, khususnya sebagai komitmen mengusir Portugis dari dunia Melayu. Namun, kerjasama bilateral ini bukanlah tanpa ancaman. Johor memandang Aceh memiliki maksud terselubung, yakni untuk menegakkan supremasinya di dunia Melayu. Sesuatu yang kemudian melatarbelakanginya untuk bersekutu dengan Portugis, sebagai jalan untuk lepas dari pengaruh Aceh. Di sisi lain, Aceh membutuhkan Johor untuk menambah kekuatan untuk mengatasi gangguan Portugis. Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah hubungan internasional, dengan mengambil teori diplomasi sebagai analisanya. Dalam menelaah kasus diplomasi kerajaan Aceh serta Johor, maka dibutuhkan suatu analisa berlandaskan teori diplomasi, sebagaimana yang diketengahkan Harold Nicholson yang negoisasi adalah jalan untuk memperoleh dominasi serta kekuasaan dan menolaknya berarti kekalahan. Apa yang terjadi di antara Aceh dan Johor adalah upaya kedua kerajaan untuk bernegoisasi dengan alasan tertentu, yang terkadang bisa dimaknai secara luas. Dalam kasus dua kerajaan ini, negoisasi dipandang Aceh sebagai penguat kekuatan membatasi dominasi Portugis, sedangkan bagi Johor negoisasi dengan kerajaan Aceh berarti ketundukkan Johor atas Melayu. Perbedaan pemahaman inilah yang kemudian mempengaruhi naik dan turunnya harmonisasi dua kesultanan. v
Pedoman Transliterasi Huruf Arab
Huruf Latin
ا ة ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
tidak dilambangkan b t ̇
j Kh d ̇
r z s sy
„ g f q k l m n w h y
vi
Vokal Pendek _____ = a كتتkataba _____ = i سئلsu ila _____ = u يذهتya ̇
Vokal Panjang ا... = ̅ قبلq ̅ = ايi قيلqila ̅ = يقولyaq̅lu
Diftong = ا يkaifa كيف = ا وaula حول
Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987Nomor: 0543 b/u/1987.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... KATA PENGANTAR..................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.....................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI................
iv
ABSTRAKSI.................................................................................................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN..........................................
vi
DAFTAR ISI.................................................................................................
viii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN......................................................................
1
A. Latar Belakang.......................................................................
1
B. Identifikasi Masalah..............................................................
13
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................
13
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........................................
14
E. Penelitian Terdahulu..............................................................
14
F. Landasan Teoritis..................................................................
18
G. Metode Penelitian..................................................................
21
H. Sistematika Penulisan............................................................
23
PORTUGIS DI MALAKA.........................................................
24
A. Revolusi Maritim Eropa.......................................................
24
B. Menguasai Malaka.................................................................
43
C. Hubungan Portugis dengan Kerajaan Tetangganya..............
49
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM.......................................
54
A. Kerajaan Aceh: Pertumbuhan dan Perkembangnya..............
54
B. Aceh Melawan Portugis........................................................
67
C. Hubungan Aceh dengan Johor...............................................
78
KERAJAAN JOHOR.................................................................
91
A. Lahirnya Pewaris Malaka......................................................
91
viii
BAB V
BAB VI
B. Pembangunan dan Perkembangan Kerajaan Johor................
102
C. Johor Menyikapi Posisi Aceh dan Portugis...........................
118
POLITIK DUA WAJAH DI BALIK HUBUNGAN ACEH – JOHOR........................................................................................
128
A. Keharmonisan Hubungan Aceh dan Johor............................
128
B. Kampanye Militer Atas Negeri Melayu................................
145
C. Posisi Portugis di Mata Kerajaan Aceh dan Melayu ............
151
PENUTUP..................................................................................
160
A. Kesimpulan............................................................................
160
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... BIODATA PENULIS...................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam perjalanan sejarah bangsa, masing-masing daerah memiliki gunungan kisah masa lampau yang menunjukkan suatu identitas daerah itu sendiri. Pada tataran tersebut, ranah sejarah menjadi wilayah penting yang kerap dijadikan cetak biru mengulas jati diri suatu puak secara mendalam. Aceh menampati satu lokus penting dalam gerak langkah sejarah negeri ini. Pelbagai dinamika yang ditemukan dalam jalin jemalin ceritanya merupakan salah satu episode penting dalam jajaran kelampauan negeri ini. Letak geografis Aceh menempati pada spot penting dalam pergaulan antarbenua. Sebagaimana diketahui, wilayah ini diapit oleh dua perairan, samudra Hindia dan selat Malaka, yang selama berabad-abad yang lalu sudah dikenal sebagai jalur pelayaran dan perdagangan vital dunia. Banyaknya kapal-kapal asing yang melintasi dua perairan itu perlahan mulai mengundang berbagai pengaruh baru dalam peradaban Aceh. Islamisasi contohnya, merupakan “produk baru” yang berhasil didaratkan lantas dikembangkan di seantero Nusantara lewat Aceh sebagai titik awal berangkatnya.1 Kemajuan peradaban Aceh tidak dapat dilepaskan dari eksistensi kerajaan-kerajaan yang memiliki tradisi kuat sebagai pandu peradaban. Pada abad 11, Perlak muncul sebagai kerajaan Islam yang mengkhususkan visi pembangunannya pada kemaritiman. Kegemilangan Perlak kemudian dilanjutkan oleh Lingge di daerah pedalaman. Munculnya kerajaan Lingge tidak 1
A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Medan: Al-Maarif, 1981) hlm. 10-14.
1
bisa dilepaskan dari peristiwa serangan Majapahit ke wilayah Perlak. Serbuan ini tidak lantas membuat peradaban Islam hancur, malah dapat diibaratkan sebagai blessing in disguise (rahmat terselubung) oleh karena akibat peristiwa ini kekerabatan raja-raja Perlak dapat meluas ke wilayah pedalaman, yakni dengan berdirinya kerajaan Lingge. Belakangan keturunan Raja Lingge, Meurah Silu mendirikan kerajaan baru bernama Samudra Pasai yang melanjutkan estafet peradaban Aceh. Keturunan Raja Lingge yang lain, Meurah Johan berhasil membawa Islam dikawasan Aceh Besar dengan mendirikan kerajaan Aceh di bekas Bandar Lamuri, yang sebelumnya masih dalam wilayah taklukan Indrapurba.2 Begitu naik tahta, ia bergelar Sultan Johan Syah yang memerintah tahun 1205 hingga 1235. Cikal bakal kebesaran kerajaan Aceh dimulai ketika Sultan Syamsu Syah bertahta (1497-1514). Di masanya, Aceh disibukkan oleh serangkaian perang menghadapi Portugis yang setelah berhasil menguasai Malaka pada 1511. Bangsa Kulit Putih ini mulai mengancam kedaulatan raja Aceh. Begitu mengetahui Raja Pidie, Sultan Ma‟ruf Syah, berserikat dengan Portugis, Raja Aceh menitahkan armada perangnya di bawah komando Laksamana Raja Ibrahim ke Pidie. Di sana, terjadi pertempuran sengit di mana pasukan Aceh berhasil menunjukkan kebolehannya dalam seni berperang sehingga dapat memukul Portugis keluar dari bentengnya lalu merampas senjata yang tertinggal. Tanpa memberi kesempatan bergerak leluasa, pasukan Aceh mengejar Portugis hingga ke bibir pantai dan kembali mengalahkannya dalam pertempuran di sana. Rampasan senjata juga terjadi tatkala pasukan Aceh berhasil menduduki kapal Portugis. Dengan tanpa mengenal lelah, pasukan Aceh ini juga berhasil menundukkan Pasai yang juga diketahui berhubungan dengan Portugis. Akibat
2
Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya hingga abad XVI” dalam A Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam ..., hlm. 174-220; AR. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (Bandung: Kurnia Bupa, tanpa tahun) hlm. 42-43.
2
keberhasilannya menghalau pengaruh Portugis inilah, pada masa ini pula mulai dikenal istilah kerajaan Aceh Raya.3 Posisi satrategis Aceh, belakangan mendapat saingan utama, terhitung sejak berdirinya Malaka pada 1413. Parameswara mendapuk diri menjadi pendiri sekaligus raja pertama di Malaka bergelar Sultan Iskandarsyah. Keahlianya dalam bidang tata kelola pelabuhan segera ditunjukkan dengan mengatur potensi-potensi pesisir Malaka sehingga dapat disulap menjadi bandar-bandar penting. Kejeliannya muancul tatkala mendapati posisi Malaka yang terletak di antara dua arus pelayaran dunia, Barat dan Timur. Didahului oleh serangkaian restorasi dan pembangunan, Malaka muncul menjadi kekuatan dagang penting di Asia Tenggara.4 Sosok Parameswara amat lekat kaitannya dalam tumbuh kembang peradaban selat Malaka. Liku-liku perjalanan hidupnya, menjadi keunikan tersendiri untuk diketahui. Parameswara merupakan Pangeran Palembang yang menikah dengan adik perempuan Raja Majapahit, Wikramawardhana. Pada penghujung abad 14, Parameswara mengadakan tindakan makar di Palembang, yang kala itu sudah berada di bawah pemerintahan Majapahit. Akibatnya, pada tahun 1397, Wikramawardhana mengirimkan pasukan Majapahit untuk menghukum adik iparnya itu. Mengetahui hal itu, sebelum pasukan Majapahit mendekati Palembang, ia sudah meninggalkan kediamannya lalu menuju Tumasik. Tidak lama berselang, Paremeswara lalu beralih nama menjadi Iskandarsyah dan mendirikan kerajaan Malaka.5 Iklim perdagangan yang sangat tinggi di Malaka, sebenarnya tidak terlepas dari keberadaan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Kondisi tanah Malaka, tidak cukup baik untuk ditanami aneka ragam hasil bumi, sehingga untuk menjaga stok komoditas unggulan seperi lada, pala dan rempah-rempah lain, bandar ini ditopang oleh pasokan dari daerah lain. Beras Jawa dan lada 3
H.M. Zainuddin, Tarikh Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 393-394. 4 Lihat Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981) hlm. 325-328. 5 Slemet Muljana, Kuntala ... , hlm. 311-314.
3
Banten menemui pasaran yang tinggi di Malaka. Begitu juga dengan aneka ragam hasil bumi Sumatra Timur, pula laku keras di Malaka. Dengan kata lain, maraknya barang dagangan di Malaka amat bergantung dengan distribusi barang-barang dari daerah lainnya.6 Sanusi Pane menerangkan bahwa munculnya Malaka sebagai bandar dagang besar tidak bisa dilepaskan dengan menurunnya perniagaan di Samudra Pasai. Secara bertahap, pembangunan Malaka pun mulai diinisiasi sejak masa Iskandarsyah yang memerintah hingga tahun 1414. Karyanya tersebut dilajutkan oleh anaknya, Raja Besar Muda, yang setelah naik tahta bergelar Raja Ahmadsyah yang memerintah sampai tahun 1424. Kedudukannya digantikan oleh Muhammadsyah yang setelah beralih agama menjadi seorang Muslim, kemudian mempersunting putri Raja Pasai. Kedua raja sebelumnya, walaupun sudah memakai nama Arab-Persia, ternyata belum berislam.7 Memasuki abad 16, pelayaran dunia mulai diramaikan oleh kedatangan para pelaut dan saudagar Eropa. Secara berbondongbondong mereka menuju dunia Timur guna mendapatkan pelbagai khazanah terpendam di sana. Satu yang menjadi alasan kuat mereka mengunjungi dunia belahan Timur, khususnya Nusantara adalah guna mendapatkan rempah-rempah langsung dari sumber dimana komoditas unggulan ini tumbuh berkembang. Spanyol dan Portugis menjadi dua bangsa Eropa yang paling gigih untuk saling berlomba mendapatkan dan menguasai daerah-daerah yang disinyalir menjadi pusat perkebunan produk tersebut. Setelah menguasai Goa (India) pada 15098, Alfonso d‟Albuquerque mulai melirik Malaka sebagai daerah taklukan selanjutnya. Berbekal kapal-kapal perang model galley, sang vice roy Portugis ini memerintahkan armadanya menyambangi Malaka 6
Slamet Muljana, Kuntala ..., hlm. 322-328 Sanusi Pane, Sedjarah Indonesia I (Djakarta: Balai Pustaka, 1965) hlm. 164-165. 8 M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku (Depok: Komunitas Bambu, 2010) hlm. 10 7
4
dan meletupkan serangan yang mematikan. Perwira dan prajurit Malaka bukan tanpa perlawanan. Dengan menggunakan lila, keris, tombak dan pedang mereka menghambur ke pesisir pantai Malaka dan menahan laju gerak pasukan Portugis. Perang terbuka tidak bisa dihindarkan lagi, kebatan pedang, letusan senapan, samarsamar terdengar dentum meriam menjadi pemandangan yang terjadi saat itu. Perlahan, pasukan Portugis berhasil mengalahkan pasukan Malaka dan segera dilakukan penguasaan atas tempattempat strategis di sana. Tidak lama berselang, bandar dagang ini berhasil dikuasai Portugis pada 1511. Masa kejatuhan Malaka dan daerah-daerah taklukan Portugis lainnya diistilahkan secara dramatis oleh K.N. Chauduri sebagai “tahun aktivitas heroik” di mana para raja Asia menjaga garis pantainya secara radikal dari serbuan Portugis, walaupun pada akhirnya, bangsa Kulit Putih itu mampu mengambil alih emporium-emporium yang semula dikuasai oleh para raja pribumi tersebut. Lanjutnya, Beberapa bandar perdagangan sibuk seperti pelabuhan Afrika Timur, Malabar, Konkan, Teluk Persia, dan terakhir Selat Malaka, berhasil ditundukkan Portugis.9 Di tengah haru biru penghancuran dan pembakaran yang dilakukan Portugis, Sultan Mahmudsyah, Raja Malaka kala itu, setelah mengetahui keadaan yang kian berbahaya itu segera meninggalkan istana yang sejak lama didiami raja-raja Malaka sebelumnya. Ia pun bergegas menaiki kapal dan bertolak menuju wilayah Bintan, tepatnya di wilayah Kopak (Riau sekarang). Setelah beberapa waktu tinggal di Kopak, pihak kerajaan mulai kerasan dan akrab bergaul dengan penduduk di sana. Dengan tanpa ragu, orang-orang Kopak menjamin keselamatan Raja Malaka dan rombongan. Suasana ketentraman yang dirasakan pihak Malaka di sana tidak berjalan lama. Pada tahun 1526, pasukan Portugis Dibawah pimpinan Viceroy Maascarenhaas menyerang dan menghancurkan Kopak. Sultan dan kerabatnya pun harus berpindah lagi ke Bengkalis lalu ke Kampar. 9
K.N. Chauduri, Trade And Civilisation In The Indian Ocean (Cambridge: Cambridge University Press, 1989) hlm. 66.
5
Kampar kala itu merupakaan wilayah yang masih dipengaruhi tradisi Minangkabau, namun secara kepemerintahan termasuk dalam daerah bawahan Malaka. Sebelum kedatangan rombongan pelarian dari Malaka, Kampar telah terlebih dahulu diserbu Portugis. Raja Kampar, Abdullah, ditawan oleh Portugis dan dibawa ke Goa. Dengan persetujuan para datuk, pemuka adat serta masyarakat setempat, pada tahun 1529 Sultan Mahmudsyah diangkat menjadi Raja Kampar hingga mangkatnya. Tahtanya kemudian diberikan pada putranya, Raja Ali yang bergelar Sultan Alauddin Riayatsyah II (Sultan Alauddin Riayatsyah I merupakan Raja Malaka sebelumnya). Kampar ternyata bukan tempat yang selamanya aman. Rasa khawatir terhadap kedatangan Portugis kerap menghantui para mantan bangsawan Malaka itu. Mereka membayangkan, jika suatu ketika Portugis berhasil mengetahui keberadaan meraka di Kampar, pilihan tujuan pelarian di sebelah pedalaman hanya berupa hutan lebat. Bagi orang yang terbiasa hidup di lokasi berpantai, tinggal di daerah yang jauh dari pesisir tentu menjadi masalah tersendiri. Laut lepas, menurut mereka, lebih dapat menjanjikan jalan keluar yang logis. Raja Kampar saat itu tidak dapat menutupi kegusarannya, oleh karena wilayah mereka bersebelahan dengan Minangkabau, yang notabene bukan termasuk wilayah atau daerah pendukung Malaka. Setelah melalui pergulatan pemikiran yang rumit, munculah ide untuk melanjutkan tata pemerintahan dan membangun kembali peradaban Melayu di sekitar selat Malaka, sehingga memungkinkan menyambung kembali hubungan diplomatik yang lebih luas, seperti dengan Aceh maupun Demak. Setelah berkemas, berangkatlah Raja Kampar itu menuju tanah Semenanjung dan memilih Johor sebagai lokasi pembangunan kerajaan. Sebelumnya, Sultan Alaiddin Riayat Syah II menyempatkan diri berkunjung ke Pahang. Di sana ia menikah dengan putri Sultan Mansursyah, raja Pahang kala itu, yang masih berkerabat dengannya. Penamaan
6
negeri dengan sebutan “Johor” tidak terlepas dari keberadaan sungai Johor, yang terletak berdekatan dengan kerajaan.10 Berdirinya kerajaan Johor boleh dikatakan sebagai pelanjut kerajaan Malaka sebelumnya, oleh karena yang menjadi rajarajanya masih terhitung keturunan Raja Malaka. Untuk sementara waktu, Johor dapat membangun kerajaannya tanpa mendapat ancaman yang berarti dari Portugis di Malaka, oleh sebab Aceh saat itu sedang giat-giatnya melakukan pelbagai langkah serius menghentikan dominasi Portugis di sekitar daerah kekuasaannya. Masuknya Portugis ke perairan Malaka membawa dampak negatif bagi pelayaran Nusantara dan eksistensi penduduknya. Secara bertahap, mereka mulai melakukan serangkaian aksi penguasaan di kawasan regional ini, tak terkecuali di Aceh, selain juga di Malaka. Pada tahun 1509, Dalam pelayarannya menuju Malaka, Diogo Lopez de Sequeira berhasil meyakinkan Raja Pidie menjadi mitra Portugis. Dari Pidie, iring-iringan armada Portugis ini juga berhasil meyakinkan Raja Pasai. Naiknya Sultan Ali Mughayyatsyah (memerintah 15111530) ke tampuk kekuasaan Aceh, menggantikan Sultan Syamsu Syah, semakin menandaskan kerajaan ini mengemban misi terdepan dalam menamatkan eksistensi Portugis di Malaka. Bersamaan dengan waktu penasbihannya, Malaka berada dalam cengkeraman Portugis. Perang panjang menghadapi bangsa Kulit Putih kembali didengungkan. Salah satu episode yang memukau adalah terjadi pada tahun 1520, yakni dibebaskannya Daya oleh pasukan Aceh di bawah Ibrahim, kerabat sultan Aceh, dari dekapan lawan.11 Berkat tangan dingin Sultan Aceh ini, reputasi Aceh sebagai negeri kuat di kawasan selat Malaka dan sekitarnya menjadi terangkat. Di masanyalah kerajaan Aceh dikenal sebagai kerajaan Aceh Darussalam. Tidak salah jika Denys Lombard
10
Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid 4 ( Bukittinggi: N.V. Nusantara, 1961) hlm. 140-143. 11 Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) hlm. 37-39.
7
mengatakan bahwa Ali Mughayat Syah merupakan Raja Aceh yang sesungguhnya.12 Sepenuhnya disadari oleh Aceh, untuk menghancurkan Portugis bukanlah suatu hal yang bisa dilakukan sendiri. Untuk itu, upaya menjalin kerjasama dengan membuat pakta pertahanan dengan kerajaan-kerajaan Islam lain mulai direntangkan. Namun demikian, upaya Aceh ini bukanlah tanpa rintangan. Kenyataan di lapangan mengatakan bahwa kerjasama antarkerajaan yang dibangun Aceh relatif rapuh dan tidak bertahan dalam waktu yang lama. Aceh hanya sekali mendapat dukungan politik dari Japara, yakni ketika bersama-sama melancarkan serangan atas Malaka pada tahun 1537. Relasi diplomatik yang harmonis Aceh dengan negeri-negeri di sekitar Semenanjung Melayu, salah satunya dengan Johor dan Bintan, mulai diwujudkan pada tahun 1574, setelah sebelumnya Aceh terlibat perang sengit menghantam Malaka. Aliansi ini nyatanya tidak bertahan lama dan berakhir pada tahun 1582. Di tahun tersebut, Sultan Alaiddin Riayatsyah Syah memberangkatkan armada bersenjatanya menghukum Johor.13 Serangan ini ditengarai terjadi karena pada tahun 1568, Johor kedapatan mengirim pasukan membantu Portugis yang kala itu sedang bertahan mati-matian dari serangan Aceh di Malaka. Mengetahui ada penguasa lokal yang berpihak pada Portugis, Raja Aceh marah, dan segera setelah berhasil ditahan oleh Potugis, dalam perjalanan pulangnya, pasukan Aceh membakari beberapa perkampungan di Johor. Sebenarnya terdapat beberapa kerajaan lain di sekitar selat Malaka yang memiliki kedaulatan penuh dalam memilih mitranya. Di antara dua kekuatan yang berseteru, Aceh dan Portugis di Malaka, beberapa kerajaan ini mulai membangun suatu kawat diplomatik yang intens yang didasari oleh pertimbangan12
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda(1607-1636), Terj. oleh Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 49 13 Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 31; Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 51.
8
pertimbangan strategis, salah satunya adalah mencegah dominasi Aceh atas perairan Malaka. Selain Johor, masih pula terdapat Perlis, Aru, Pahang, Perak, Siak dan lain-lain. Lima kerajaan itu terlibat aktif membantu Portugis guna berlindung dari upaya penaklukan Aceh yang mulai digiatkan Aceh sepanjang abad 16 itu. Khusus dengan Johor, sesungguhnya ketegangan yang terjadi dengan kerajaan ini merupakan kelanjutan dari perebutan dominasi selat antar Samudra Pasai dengan Malaka. Sebagaimana diketahui, dua kerajaan ini menitikberatkan kemakmurannya pada perdagangan dan pelayaran terlebih dengan jalur mancanegara. Ketika kedua kerajaan ini menemui masa senjanya, Aceh dan Johor muncul sebagai “pewaris” kejayaan dan kegemilangan yang ditorehkan oleh para pendahulunya. Nilai lebih Johor ketimbang beberapa kerajaan di sekitaran Melayu lainnya, adalah karena kerajaan ini didirikan oleh para pelarian Malaka yang sebelumnya berdiam di Kampar. Di antara pelarian ini terdapat sultan Mahmudsyah, Raja Malaka yang sempat ditahbiskan sebagai Raja Kampar. Dengan begitu terbentuknya Johor menandaskan kontinuitas dari kuasa raja-raja Malaka. Sedangkan raja-raja di belahan semenajung lainnya, termasuk pula di sekitaran Aceh, hanya diikat oleh tali kekerabatan dan kedaulatannya belum bisa menyamai dua kerajaan yang sedang menunjukkan eksistensinya di era ini. Baik Aceh maupun Johor sepertinya saling memandang bahwa diri mereka memiliki kedaulatan yang sama. Kendati Johor belumlah sebesar Aceh, namun kenangan darah Malaka yang mengalir dalam tubuh raja-raja Johor menjadi bukti betapa posisi mereka memiliki pengaruh yang besar di belahan semenanjung Melayu. Mereka tentu tidak merelakan Aceh, dibalik upayanya mengusir Portugis, menyimpan maksud tersembunyi untuk menjadi kekuatan paling superior di perairan Malaka dan sekitarnya. Kekhawatiran para Raja Johor ini terbukti ketika di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (memerintah 1607-1636), Aceh semakin rajin meningkatkan intensitas pengaruhnya dengan 9
menguasai kerajaan-kerajaan yang memiliki kedekatan visi dengan Portugis. Di masa Iskandar Muda, kampanye penaklukan atas negerinegeri Melayu menjadi babak seru dalam sejarah. Lewat serangkaian serangan spartan, pasukan Aceh semakin memperlebar daerah pengaruhnya. Bahkan, kemampuan militer Aceh mencapai puncaknya pada masa ini. Denys Lombard mengemukakan bahwa amunisi militer kepunyaan Iskandar Muda tersusun atas angkatan laut, angkatan darat, kavaleri, pasukan gajah dan divisi meriam.14 Dengan jajaran perang tersebut ia menundukkan kerajaan jiran seperti Aru (1613), Pahang (1617) dan Johor (1619). Sang Sultan juga sempat mengarahkan bala tentaranya menekuk Portugis di Malaka, walaupun tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.15 Pasca penaklukkan tersebut, Iskandar Muda segera mengadakan rekonsiliasi untuk membenahi tata ruang dunia Melayu yang kala itu telah porak poranda. Khusus untuk Johor, Aceh mengadakan pengepungan selama 29 hari, sebelum berhasil menguasai ibukota Johor, Batu Sawar. Setelah dinyatakan kalah, pasukan Aceh segera mengamankan keluarga istana Johor dan membawanya ke Aceh. Di antara mereka terdapat Sultan Alauddin Riayat Syah III, Raja Johor kala itu, Raja Abdullah, Bendahara Tun Sri Lanang dan Raja Siak yang kebetulan sedang melawat ke Johor sebelumnya. Di Aceh mereka semua ditempatkan di lokasi yang layak diberikan untuk tamu raja. Lebih dari itu kekerabatan pun terjadi antara kedua kerajaan. Raja Abdullah, yang tak lain adik sultan Johor, menikah dengan putri Ratna Jauhari, putri Iskandar Muda. Tidak lama berselang, Raja Abdullah kembali ke Johor disertai sekitar 2000 pasukan Aceh yang diperbantukan membangun Batu Sawar, ibukota Johor yang hancur akibat perang. Pada tahun 1614, Sultan Alaiddin membuat perjanjian bahwa Johor akan membantu Aceh mengalahkan Portugis. Tenaga ahli tanam Aceh juga dilaporkan dikirim ke negeri-negeri taklukan lain seperti Kedah, 14 15
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 110-122. Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 152.
10
Pahang dan Perak guna memajukan pertanian di sana.16 Untuk beberapa saat kedepan hubungan diplomatik yang harmonis kembali terbentuk.17 Infiltrasi Belanda di dunia Melayu semakin membuat daerah ini sesak oleh kepentingan bangsa Eropa. Belanda yang mulai merentangkan eksistensiya di dunia Melayu berseberangan dengan kepentingan Portugis di Malaka. Sepenuhnya ia sadar, sebagai pendatang baru, ia harus mampu menawan hati penguasa lokal guna mendapatkan tempat berpijak. Mangkatnya Iskandar Muda pada 1636, membuat Aceh Darussalam bak kehilangan sinar terangnya. Hal ini berbanding terbalik di negeri-negeri taklukan Aceh. Kematian Iskandar Muda dianggap sebagai titik balik keleluasaan berpolitik mereka. Johor yang kala itu dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah III sedang menapaki masa kemakmurannya. Menyadari peta politik Aceh yang kian berubah ketika ditinggal raja agungnya, pada tahun 1641, ia menjalin kemitraan dengan Belanda untuk bersama mengalahkan Portugis di Malaka. Dengan serangan yang bertubi-tubi serta dilancarkan oleh prajurit gabungan yang kuat, Portugis berhasil ditaklukkan di tahun yang sama.18 Mulai saat itu, Aceh dan Portugis bukan lagi dianggap sebagai ancaman yang nyata. Hubungan diplomatik harmonis dengan Aceh dimana menitikberatkan Aceh sebagai “penguasa” tidak langsung atas Johor perlahan memudar. Johor pun melangkah sebagai kerajaan independen yang terkemuka di dunia Melayu dan mengalahkan pamor Aceh. Studi ini menitikberatkan pada relasi diplomatik antara Aceh Darussalam dan Johor. Di antara kerajaan-kerajaan lainya, hubungan Aceh dengan Johor, meskipun hubungannya digagas 16
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957)
hlm.140. 17
Pocut Haslinda Azwar, Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 25-27. 18 Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik; Pendiri Kerajaan Siak (Siak: Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraga, 2012) hlm. 15.
11
berdasarkan kesamaan visi mengusir Portugis Malaka, namun kerapkali diselubungi oleh pelbagai kecurigaan. Ketika mengetahui Johor ikut serta membantu Portugis, petinggi Aceh telah mafhum, Johor telah terperdaya pengaruh Portugis. Di sisi lain, Johor pun tidak serta merta mendukung secara penuh ajakan menyerang Portugis, karena kerajaan ini beranggapan Aceh menyimpan motif tertentu, yakni dengan membungkus rapat kemungkinan menjadi penguasa tunggal di kawasan perairan Malaka dan sekitarnya atas dalih mengalahkan Portugis. Sebenarnya, tidaklah betul jika disebutkan hubungan kenegerian kedua negara didominasi oleh faktor militer. Beberapa bentuk kerjasama juga disebutkan dalam sejarah kedua negara, salah satunya adalah meubisan atau pernikahan. Pernikahan dalam terminologi pergaulan lintas kerajaan, dimaknai sebagai diplomasi halus (soft diplomacy) yang merekatkan dua keluarga kerajaan. Pendapat ini memang masih amat dini dikemukakan, namun upaya ini dapat dimaknai bukan hanya bersatunya dua manusia yang saling mencintai, tapi juga mengakrabkan dua kerajaan. Selain itu, kehadiran Tun Sri Lanang, seorang bangsawan Johor di lingkungan kerajaan Aceh, merupakan bentuk lain dari manfaat hubungan dua kerajaan. Wawasannya yang mendalam mengenai dunia kemelayuan dan pemerintahan, membuatnya menjadi salah satu penasehat Sultan Aceh. Pasang surut koneksi diplomatik Aceh-Johor rupanya masih dipandang sebagai sub-bahasan dalam pelbagai bentuk tulisan sejarah terkait. Padahal, jika dikaji dalam konteks kekinian, tema ini tentu amatlah menarik dalam memahami anatomi sejarah panjang hubungan Indonesia dan Malaysia. Kajian ini memiliki dampak strategis dalam memetakan kembali hubungan dua negara tersebut yang kerap terlibat dalam silang sengkarut urusan yang seyogyanya masih bisa dipecahkan dengan kepala dingin, malah berubah menjadi nuansa yang penuh kebencian. Selain sebagai bentuk dinamika pengkajian sejarah para raja di Asia Tenggara, studi ini juga memiliki tujuan memperoleh suatu cara pandang terbarukan dalam memantapkan hubungan dua negara tempat kerajaan tersebut berdiri melalui kacamata sejarah. 12
Fenomena hubungan dua kerajaan agaknya menarik dikaji secara seksama guna mendapatkan pengetahuan akan gejala-gejala sejarahnya yang lebih komprehensif.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana posisi Portugis dalam konstelasi perpolitikan Semenanjung Melayu ? 2. Bagaimana tanggapan Aceh Darussalam terhadap kedudukan Johor ? 3. Bagaimana pandangan Johor terhadap eksistensi Aceh Darussalam ? 4. Upaya apa yang dilakukan Aceh Darussalam dan Johor dalam merawat hubungan diplomatiknya ? C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Melihat pada permasalahan yang diangkat amat luas, maka perlu kiranya mengadakan pembatasan ruang lingkup permasalahannya, yakni hanya berkisar pada hubungan diplomatik Aceh dan Johor pada Abad XVI – XVII. Dari temuan yang didapat diketahui bahwa Aceh mulai menjalin hubungan dengan Johor adalah pada 1574. Kurun waktu akan dibatasi hanya sampai tahun 1641. Pembatasan tersebut dipilih karena pada tahun itu Portugis berhasil dikalahkan, sehingga katalisator yang dalam tesis ini dianggap mempengaruhi hubungan Aceh dan Johor pada kurun tersebut sudah tidak berperan lagi.19 Dari pembatasan tersebut, maka masalah pokok yang menjadi telaah tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
19
Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell University, 1971, hlm.24.
13
1. Bagaimana kondisi diplomatik Aceh dan Johor menghadapi dominasi Portugis di perairan Selat Malaka ? 2. Upaya apa yang dilakukan kedua kerajaan dalam merawat hubungan diplomatik mereka ? D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penulisan tesis ini bertujuan untuk: Mengetahui bagaimana kedua kerajaan membina hubungan harmonisnya. Memahami reaksi kedua kerajaan dalam rangka menahan meluasnya pengaruh Portugis di perairan Malaka. Mengetahui fluktuasi hubungan diplomatik kerajaan Aceh dan Johor. Sedangkan, kegunaan dari penulisan tesis ini adalah: Memperkaya khazanah pengetahuan terkait jalinan komunikasi kerajaan di Asia Tenggara, khususnya kerajaan Aceh dan Johor Menjadi inspirasi untuk studi-studi lanjutan di Fakultas Adab dan Humaniora dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi lainnya Menjadi landasan pengambilan kebijakan kenegaraan terkait di intitusi negara seperti Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan lainnya. E. Penelitian Terdahulu Episode komunikasi lintas negeri antara Aceh dan Johor memang belum banyak dikupas secara menyeluruh dalam beberapa tulisan terdahulu. Jikapun ada, maka hanya dituliskan beberapa kalimat saja tanpa ada eksplorasi lebih lanjut mengenai hal apa saja yang melingkupinya. Bisa dikatakan, pembahasan tersebut sifatnya hanya sepintas lalu dan belum mendapat perhatian yang lebih, ketimbang tema lain yang lebih populer
14
seperti kemajuan militer di era Aceh Darussalam atau mengenai perdagangan dan pelayarannya. Tinjauan mendalam seputar kerajaan Johor di ranah ekonomi dan politik disuguhkan Leonard Yuzon Andaya pada 1971. Dalam tesis yang berjudul “The Kingdom of Johor, 16411794: A Study of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca” menerangkan perihal eksistensi Johor sebagai kekuatan penting dalam pembangunan politik dan ekonomi di kawasan selat Malaka dan sekitarnya. Andaya menyebut tahun 1641-1699, sebagai masa keemasan Johor. Pembatasan tahun yang ditetapkan Andaya amat berbeda dengan deret tahun dalam tesis ini. Fokus diplomatik dengan Aceh hanya disinggung sedikit, yakni sebatas aktivitas Aceh dalam perang Batu Sawar pada 1613.20 Namun begitu, informasi mengenai kerajaan ini seputar tahun 1641 cukup menambah informasi yang dibutuhkan, utamanya terkait pergaulannya dengan Aceh dan reaksi terhadap masa akhir kekuasaan Portugis. Tesis Amirul Hadi mengetengahkan pergulatan politik Aceh melawan Portugis yang diterbitkan tahun 1992, belum banyak mengungkap informasi yang dibutuhkan penulis. Tesis yang diberi judul “Aceh and the Portuguese: A Study of Struggle of Islam in Southeast Asia, 1500-1579” ini, lebih menitikberatkan pada relasi Aceh atas Portugis berikut dampak hubungan ini dalam spektrum kegemilangan Aceh.21 Tesis ini memiliki distingsi yang cukup mencolok dengan judul yang dipilih penulis. Memang, peran Johor dalam skema diplomatik dengan Aceh turut disinggung, namun hanya sebagian kecil. Sedangkan, Johor dalam tesis ini menempati tema sentral dan Telaah Portugis adalah bahasan penunjang bagi kelengkapan analisa hubungan Aceh dan Johor.
20
Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell University, 1971, hlm. 11 dan 20-21. 21 Amirul Hadi, “Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle of Islam in Southeast Asia, 1500-1579,” Tesis, McGill University Canada, 1992, hlm. 2.
15
Salah satu tulisan lain mengenai hubungan Aceh-Johor dan menampilkannya secara kronologis sampai masa Iskandar Muda, terdapat dalam karya Amirul Hadi berjudul Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi. Buku ini merupakan kumpulan tulisan ilmiah mencakup aspek-aspek sentral dalam sejarah Aceh seperti perihal tradisi intelektual, eksistensi Portugis di sekitar Malaka serta orientalisme dan kolonialisme yang mengambil kasus Snouck Hurgronje. Terlihat pada bahasan terdepan, “Pendudukan Portugis atas Melaka dan Kebangkitan Aceh Abad ke-16”, merupakan perasan atas tesis terdahulu. Hampir sebagian besar telaah dalam tulisan ini, dapat dijumpai dalam tesis Amirul Hadi sebelumnya. Johor masih menempati pembahasan pelengkap, dan bukan menjadi tinjauan utama sebagaimana yang dimaksud. Namun begitu, tulisan ini turut mengilhami pemetaan pembatasan waktu, yakni tercatat pada 1574, menjadi waktu dimulainya relasi kenegaraan antara Aceh-Johor.22 Tidak bisa dipungkiri, ketika membincang sejarah, aspek seseorang paling berpengaruh menjadi suatu perbincangan sentral yang tidak bisa terlepaskan. Pun ketika membincang sejarah Aceh Darussalam dan Johor, maka tidak terlepas dari peran para raja selaku pemegang legitimasi dalam memutuskan suatu kebijakan, termasuk dalam keputusan kerajaan terkait hubungan luar negeri. Jamak diketahui, masa keemasan Aceh Darussalam terjadi ketika kerajaan ini diperintah oleh Iskandar Muda. Penaklukan negerinegeri Melayu yang ditengarai bermain mata dengan Portugis, merupakan salah satu bukti tak terbantahkan keberanian sang Sultan melanggar otorita raja-raja lain guna membentuk kawasan perairan Malaka yang terbebas dari pengaruh bangsa Asing. Dalam karya Denys Lombard yang diterjemahkan oleh Winarsih Arifin berjudul Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636), penjelasan mengenai kondisi rancang bangun hubungan Aceh-Johor, dibahas dalam sub-bab mengenai operasi militer Aceh ke negeri Melayu. Dikatakan di sini bahwa Johor dan Pahang menempati posisi strategis sebagai jalur dagang yang seyogyanya tidak perlu dihancurkan Iskandar Muda, melainkan 22
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 31
16
hanya butuh pengawasan. Disebutkan pula di masa-masa akhir pemerintahan Raja Aceh ini, Pahang sempat melancarkan dua kali pemberontakan pada 1630 dan 1631. Di tahun yang pertama, Johor membantu Pahang dan disebut Lombard sebagai pemegang peranan penting dalam peristiwa itu.23 Uraian dalam buku ini lebih mengedepankan sosok Iskandar Muda dalam membangun kekuatan lokal maupun regional kawasan dunia Melayu. Episode pemerintahan Aceh ini tidak menyentuh aspek hubungan kenegerian yang tuntas dengan negeri-negeri Melayu, termasuk Johor. Jikapun ada maka yang ditampilkan adalah aspek militeristik semata. Selanjutnya, terdapat suatu penelitian arkeologis yang mencoba mengungkap keberadaan batu nisan Aceh yang ditengarai merupakan produk impor dari Johor. Lewat karyanya yang berujudul Batu Aceh Warisan Sejarah Johor, Daniel Perret dan Kamaruddin AB. Razak berupaya melakukan suatu riset arkeologis guna mengungkap sejarah Johor melalui tipologi batu nisan. Walaupun buku ini memfokuskan pada studi nisan batu Aceh yang dipengaruhi oleh gaya Johor, penggal-penggal informasi mengenai peristiwa yang menghubungkan Aceh dan Johor turut pula disinggung. Muatan historis banyak diungkapkan di bab 4 buku ini. Salah satu informasi yang menarik adalah mengenai pemetaan lokasi-lokasi penting yang disinggahi para Sultan Johor ketika masa-masa penyerangan Aceh dan Portugis.24 Telaah buku ini belum mampu memenuhi ekspektasi bahasan segi diplomatik Aceh-Johor. Informasi historis yang ditampilkan juga belum utuh, mengingat sudut pandang yang ditekankan adalah aspek erkeologis. Beberapa penelitian yang dikemas dalam buku di atas, agaknya belum banyak mengupas atau menyinggung lebih jauh mengenai pembahasan yang dipilih penulis. Walaupun begitu, karya-karya tersebut dapat dijadikan referensi guna memandu dan 23
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 122-126. Daniel Perret dan Kamaruddin AB. Razak, Batu Aceh Warisan Johor (Johor Bahru: Ecole Francaise D‟Extreme-Orient dan Yayasan Warisan Johor, 1999) hlm. 155-159. 24
17
menuntun untuk merekonstruksi bangunan sejarah dari tema terkait.
F. Landasan Teoritis Sebagaimana diketahui, riset sejarah memiliki dimensi yang luas. Masa lalu menjadi teks yang terbuka guna ditelaah dari pelbagai sisi dan pendekatan. Perpolitikan lintas negara menjadi tema utama dalam studi ini. Hal ini terkait dengan kebijakan kerajaan dalam menetapkan suatu garis politik luar negerinya. Baik Aceh maupun Johor, tentunya memiliki kapasitas setara, yakni sebagai kerajaan yang memiliki kedaulatan yang sama, baik dalam negeri maupun luar negeri. Oleh sebab latar belakang studi yang diangkat banyak didominasi oleh peran raja yang dibantu aparatur kerajaan masingmasing, pendekatan hubungan internasional menjadi pilihan yang dapat digunakan guna menelisik kembali penggal-penggal relasi Aceh-Johor. Untuk itu, tesis ini akan menyorot permasalahan diplomatik kedua kerajaan pada abad 16 hingga 17. Hubungan baik dan buruk kedua kerajaan menjadi sesuatu bahan telaah yang menarik untuk di angkat. Hubungan diplomasi menandaskan pertemuan para perwakilan masing-masing negara. Di samping itu, diplomasi juga dimaknai sebagai seni menyelesaikan masalah yang menyangkut dua atau banyak negara dengan jalan damai. Diplomasi amat bertalian dengan mekanisme representasi, komunikasi serta negosiasi. Para perwakilan negara atau lembaga internasional terlibat dalam iklim pembicaraan yang konstruktif dalam rangka membangun lingkungan internasional yang tenteram dan dami.25 Ini merupakan pengertian diplomasi yang umum dipahami, terlebih dalam konteks pergaulan antarnegara modern.
25
Jan Melissen, “The New Public Diplomacy Between Theory and Practice” dalam Jan Melissen, ed, The New Public Diplomacy; Soft International Relations (Great Britain: Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 5.
18
Dalam pandangan kaum Tradisional, Stuart Murray menyebutkan bahwa terdapat lima asumsi umum mengenai diplomasi, antara lain: 1) diplomasi adalah fungsi eksklusif suatu negara. Mereka beranggapan bahwa diplomasi hanya bisa dilakukan oleh duta dari Kementeriaan Luar Negeri atau orang asing yang ditunjuk untuk mewakili kepentingan negara di kancah internasional; 2) studi diplomasi berkisar pada pengkajian wilayah serta batas kekuasaan suatu negara, menyangkut pula mengenai potensi anarkisme serta upaya membangun relasi yang baik dengan negara-negara berdaulat berdasarkan pada sejarah hubungan diplomasi para pendahulunya; 3) diplomasi kebanyakan dihubungkan pada agenda politik dan militer yang berimplikasi pada keseimbangan kekuatan militer, penggalangan aliansi, penggunaan tentara sebagai bagian dari negosiasi dan lain-lain; 4) studi diplomasi tidak bisa mengabaikan kenangan masa lalu yang pernah mewarnainya, dengan kata lain, fungsi sejarah sangat penting untuk menentukan suatu kebijakan diplomasi; 5) para pengamat tradisional memiliki beberapa buku pegangan utama sebagai tuntunan mempraktekkan diplomasi, antara lain Satow’s guide to diplomacy (1957), Berridge’s Diplomacy; Theory and Practice (2002) dan Rana’s 21st Century Ambassador (2004).26 Dari beberapa pengertian diplomasi di atas, maka didapat suatu pemahaman bahwa diplomasi mengandalkan adanya komunikasi dua atau banyak negara dalam suatu pencapaian bersama. Dalam konteks hubungan diplomasi Aceh dan Johor, maka pelibatan agenda politik dan militer, sebagaimana yang disebutkan Stuart Murray, senantiasa dikedepankan. Penggunaan pasukan sebagai bagian dari negosiasi adalah bagian untuk mencegah pengaruh Portugis meluas di dunia Melayu serta memerangi kerajaan-kerajaan Melayu yang kedapatan bersekutu dengan Portugis. Bagi Johor, mengejar ketertinggalan dengan Aceh dan Portugis adalah dengan memodernisir alat-alat perang serta metode berperang pasukannya. Maka wajar jika pada 1602, 26
Stuart Murray, “Towards and Enchanced Understanding of Diplomacy as the Buisness of Peace”, hlm. 3. Artikel diunduh dari //http//www.inter-disciplinary.net, pada pukul 10.50 Kamis tanggal 27 Agustus 2005.
19
seorang perwakilan kongsi dagang Belanda, Jacob van Heemskerck, menawarkan bantuan militer kepada Sultan Alauddin Riayatsyah III, Raja Johor, dapat segera disetujui.27 Diplomasi di tataran pergaulan dunia Melayu abad 16 dan 17 menitikberatkan pada perluasan dominasi serta kekuasaan. Maka tidak heran jika kemenangan saat berperang menjadi sesuatu yang amat berharga. Hal ini ditegaskan oleh Harold Nicolson yang mengungkapkan bahwa konsepsi fundamental diplomasi yang menekankan pada alasan bernegoisasi adalah kemenangan, dan penolakan atas upaya tersebut bermakna kekalahan. Diplomasi selalu tertuju pada ketidakkurangan wibawa atas tahta tertinggi bagi suatu kekuasaan.28 Meskipun begitu, dalam dinamika hubungan Aceh dan Johor ternyata tidak selalu dihubungkan dengan kekuasaan, militer maupun perang. Terdapat beberapa bentuk diplomasi lain, yang juga memiliki efek besar bagi kelangsungan komunikasi dua kerajaan itu. Tugas diplomasi nyatanya bukan dilakukan oleh sosok yang resmi ditunjuk oleh negara ataupun kerajaan secara eksklusif, melainkan bisa dilakukan oleh orang lain yang mempunyai pengaruh. Keberadaan Putri Pahang dan Tun Sri Lanang dalam istana Aceh, yang awalnya datang sebagai tawanan dari Johor, misalnya, disinyalir ikut mewarnai kebijakan politik Sultan Iskandar Muda terhadap Johor. Meskipun keduanya bukan merupakan duta resmi kerajaan Johor, namun karena posisi mereka yang penting di istana Johor, terlebih Putri Pahang adalah istri Sultan Iskandar Muda, membuat suara mereka dipertimbangkan oleh raja dan perangkat kerajaan Aceh. Di samping itu, pernikahan putra dan putri kedua kerajaan, juga bisa dimaknai sebagai bentuk lain dari keharmonisan menjalin relasi kenegerian antara keduanya. Dalam pergaulan antara kerajaan kekuasaan berbasis pada kesatuan darah amat berpengaruh untuk menciptakan rangkaian kekuasaan dalam jangka waktu yang lama. Nusansa persaudaraan (cosmopolitan 27
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23. Harold Nicolson, Diplomacy (Great Britain: Oxford University Press, 1942) hlm. 52-53. 28
20
fraternity) bisa menciptakan kesatuan visi di antara para bangsawan internasional.29
G. Metode Penelitian Tujuan akhir dari studi ini adalah penulisan sejarah. Guna sampai pada tahapan itu, terlebih dahulu diharuskan melewati upaya rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah. Langkah awal yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber-sumber terkait. Sebagian besar sumber yang dikumpulkan adalah berupa dokumen tertulis. Sumber ini dikategorikan dalam dua jenis, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Guna mengetahui kesalinghubungan Aceh-Johor, pilihan menggunakan naskah klasik sebagai sumber primer menjadi urgen yang tidak bisa diabaikan. Sulalatussalatin atau Sejarah Melayu yang ditulis oleh Tun Sri Lanang memiliki kandungan informasi yang kaya dalam menelisik ulang komunikasi Raja-Raja Melayu. Uraian mengenai serangan Aceh atas Johor disinggung di halaman-halaman terakhir naskah ini.30 Diamping itu, Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniri juga menyimpan pelbagai pembahasan tentang sejarah Aceh hubungannya dengan kerajaan-kerajaan Melayu, termasuk Johor. Uraian yang sifatnya historis dalam naskah ini, hanya terdapat dalam bait 12 dan 13.31 Bab 12 berisi tentang raja-raja Melayu keturunan Iskandar Dzulkarnain yang berkedudukan di negerinegeri Melayu, sedangkan bab 13, menceritakan hal ihwal keadaan Aceh Darussalam masa pemerintahan sultan Ali Mughayyatsyah hingga Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Sedangkan sumber sekunder, merujuk pada data-data yang bukan berasal dari masa 29
Christer Jönsson dan Martin Hall, Essence of Diplomacy (New York: Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 41. 30 Naskah yang digunakan adalah edisi populer yang disunting oleh Pocut Haslinda MD Azwar, Sulalatus Salatin Versi Populer (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011). 31 Versi Bustanussalatin yang digunakan adalah bentuk print-out dari microfilm Bustanussalatin bait 12 dan 13 Perpustakaan Nasional dengan nomor panggil ML 422.
21
seputar kajian historis yang diangkat. Sumber-sumber ini amat membantu dalam merekonstruksi kebangunan peristiwa yang diteliliti. Sumber-sumber yang telah terkumpul kemudian diuji keaslian dan kesahihan informasnya melalui kritik ekstern dan intern. Kritiks ektern berhubungan dengan penetapan otentisitas atau keaslian data melalui pengamatan tampilan luarnya. Termasuk dalam cakupan perhatian kritik eksternal, adalah menelisik keaslian jenis kertasnya, materai, tintanya, gaya penulisannya bahasanya dan seluruh aspek yang mencakup bentuk fisiknya. Kritik internal berguna untuk mengungkap kebenaran informasi atau kredibilitas isi dari data tersebut.32 Selanjutnya, fakta-fakta yang dihimpun kemudian disintesiskan melalui eksplanasi sejarah. Tahapan ini, memungkinkan sejarawan atau peneliti sejarah melakukan interpretasi atas masalah yang diangkat, sehingga memungkinkan munculnya dinamika baru terhadap suatu penggambaran ulang atau lanjutan akan suatu peristiwa. Analisa atas masalah berdasarkan sumber yang didapat termasuk dalam fase ini, sehingga diharapkan dapat menelurkan gagasan baru dalam suatu kajian historis.33 Historiografi sebagai terminal akhir dari perjalanan penelitian ini, diupayakan dengan selalu mengedepankan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya didasarkan pada tampilan tema-tema penting dari setiap perkembangan tema terkait.34
32
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hlm. 99-100; lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hlm. 98-99 dan 112. 33 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hlm. 100. 34 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.
22
H. Sistematika Penulisan Penyajian penelitian yang dikemas dalam bentuk tesis ini berisikan tiga bagian: Pengantar, Hasil Penelitian dan Kesimpulan. Bagian pertama ditempati bab pendahuluan, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Didalamnya menjelaskan beberapa hal pokok mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, pembatasan masalah, penelitian terdahulu, landasan teoritis, metodologi penelitian dan terakhir, sistematika penelitian. Hasil penelitian kemudian disajikan dalam empat bab berikutnya. Uraian bab per bab disajikan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bab dua mengetengahkan mengenai eksistensi Portugis di perairan Malaka. Pada bagian ini diketengahkan seputar kedatangan Portugis di kawasan selat Malaka, termasuk pula seputar penguasaannya atas bandar Malaka. Selain itu diketengahkan pula mengenai hubungannya dengan kerajaan-kerajaan sekitar, utamanya dengan Aceh dan Johor. Dalam bagian ini juga dipaparkan masa akhir kekuasaannya di Malaka akibat diserang oleh Belanda yang dibantu Johor. Kemudian, bab tiga mengetengahkan pokok tinjauan terkait dengan tumbuh dan berkembangnya Aceh Darussalam. Permasalahan yang dibahas dalam bab ini terkait uraian geografis Aceh, pemetaan wilayah kekuasaan kerajaan, modalitas sumber daya alam, serta responnya menghadapi eksistensi Portugis di sekitar perairan Malaka. Dipaparkan pula mengenai komunikasi diplomatik Aceh dengan kerajaan-kerajaan lain, khususnya di tataran regional Asia Tenggara. Selanjutnya, pembahasan pada bab empat, berkaitan dengan sejarah berdiri dan berkembangnya kerajaan Johor. Sedikit mundur ke belakang, pembahasan dimulai dengan seputar dikuasainya Malaka oleh Portugis yang ditengarai menjadi penyebab bermunculannya beberapa kerajaan baru di kawasan Semenanjung Melayu, tidak terkecuali Johor. Selain itu, dipaparkan pula mengenai kehidupan keluarga kerajaan Melayu di 23
tempat-tempat pelariannya, hingga sampai pada keputusan mendirikan kerajaan baru di tepian sungai Johor. Hal lain yang turut dijelaskan, adalah mengenai pemetaan wilayah pengaruh kerajaan Johor dan juga hubungannya dengan kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Aceh Darussalam. Tidak ketinggalan, dipaparkan pula mengenai hubungannya dengan Portugis, yang belakangan menyulut ketegangan dengan Aceh. Pada bab kelima, pembahasan menukik lebih tajam dengan membedah seputar hubungan diplomatik Aceh-Johor. Pemaparan diketengahkan seputar aktivitas raja-raja Aceh dan Johor dalam menentukan kebijakan politiknya, utamanya di ranah luar negeri. Diketengahkan pula mengenai bentuk-bentuk kerjasama yang merekatkan kedua belah pihak. Selain itu, dijelaskan pula mengenai sebab-sebab yang memperkeruh relasi kenegaraan dua negara. Turut pula diketengahkan terkait fluktuasi diplomatik keduanya. Bagian akhir merupakan kesimpulan atas seluruh paparan tesis ini. harapannya, di bagian ini dapat menarik benang merah dari paparan pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan yang dipahami. Bab ini sekaligus menjadi bab penutup.
24
BAB II PORTUGIS DI MALAKA
A. Revolusi Maritim Eropa Membincang peradaban Eropa, maka akan menemukan pelbagai bentuk karya agung umat manusia yang memiliki dampak strategis dalam perkembangan sejarah manusia. Tanpa bermaksud membuat dikotomi dunia Timur dan Barat, dalam hal ini Eropa memiliki kekhasannya sendiri dalam membentuk tipologi berpikir dan bertindaknya. Salah satu babakan penting yang menjadi tonggak kemajuan Eropa adalah abad penjelajahan atas dunia di luar Eropa atau yang dikenal dengan Abad Penjelajahan (The Ages of Discovery). Memasuki abad 15, geliat kehidupan pesisir Eropa semakin menemukan bentuk terbarunya. Para pembesar mulai memikirkan bagaimana cara terbaik untuk mendongkrak ekonomi kerajaan melalui jalur perdagangan yang tentu saja dapat meraup keuntungan penuh dengan tanpa pengeluaran besar yang berpotensi memangkas keuntungan itu sendiri. Perdagangan menjadi elemen vital yang tidak bisa diabaikan ketika menelaah keadaan ekonomi di era tersebut. Siapa yang mampu menguasai pasar, maka dengan sendirinya kemakmuran akan diraihnya. Salah satu komoditas unggulan yang laris dan termasuk dalam kategori primer di pasaran Eropa adalah rempah-rempah. Rempah-rempah menjadi amat penting di Eropa karena dipandang sebagai pelezat masakan. Oleh sebab komoditas ini hanya dapat ditemukan di dunia Timur, maka harga barang ini amatlah mahal. Jack Turner menyebutkan bahwa semuatan kecil cengkeh saja dapat membiayai sekali perjalanan mengelilingi
25
bumi.35 Tingginya harga rempah ini belakangan dikeluhkan pula oleh para pedagang dan pembesar Eropa. Alasan ini pula yang mendorong mereka mengadakan ekspedisi kelautan untuk mendapatkan rempah dari sumber aslinya, yakni di dunia Timur. Menurut penjelasan Manuel de Faria Y Souza, sebelum ditemukannya rute ke India dan Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope), barang-barang dari dunia Timur berharga tinggi. Termasuk dalam komoditas jenis ini adalah cengkeh dari Timor, kapur barus dari Borneo, emas dan perak dari Luzon, barang antik Cina, berikut pula rempah-rempah, getah, parfum dan barangbarang lainnya. Disebutkan pula bahwa salah satu emporium yang menjadi tempat transaksi barang-barang itu adalah Malaka. Pedagang-pedagang Arab, India dan Persia-lah yang mengemas barang-barang itu dan memasoknya ke pasar-pasar Eropa seperti ke Venezia, Genoa dan Catalonia.36 Persepsi masyarakat Eropa mengenai dunia Timur kala itu amatlah terbatas bahkan cenderung gelap. Tidak jarang banyak pihak yang mengasosiasikan dunia Timur dengan serangkum gagasan yang sifatnya mistis dan mitologis. Rempah-rempah sendiri dianggap menyimpan aura magis yang tidak terjamah bangsa Eropa. Sebagian dari mereka menganggap tempat tumbuhnya komoditas ini adalah surga dan dianggap sebagai tumbuhan yang datang dari dunia lain. Kemisteriusan rempahrempah merupakan satu puncak dari lembah gelap pengetahuan akan dunia Timur.37 Temaramnya panorama akan sisi yang dipandang gelap ini, sedikit banyak telah menjadi pemicu hasrat orang Eropa untuk sampai dan membuktikan sendiri dengan mendatangi langsung ke kebun-kebunnya. Dua diantara bangsa Eropa yang memiliki jejak rekam terbanyak diantara pelayaran abad 15 dunia adalah Spanyol dan 35
Jack Turner, Sejarah Rempah; Dari Erotisme ke Imperialisme, Terj. Julia Absari (Depok: Komunitas Bambu, 2011) hlm. 39. 36 Manuel de Faria Y Souza, “Portuguese History of Malacca”, dalam Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society (JSBRAS), No. 17 (1887) hlm. 119. 37 Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 43.
26
Portugis. Spanyol dikenal sebagai kerajaan Kristen yang melakukan inkuisisi Muslim besar-besaran dari semenanjung Iberia pada penghujung abad 15. Pengusiran ini menjadi peletup akan semangat mereka dalam mengembangkan paradigma kelautannya. Sedangkan bagi penyerangan suatu armadanya atas kantong-kantong kekuatan Islam di Afrika Utara, tepatnya di Ceuta dan Tangiers, menjadi titik pijak kesadaran mereka akan urgensi menata kembali kekuatan maritimnya.38 Di masa-masa setelahnya, dua negeri ini saling berlomba menjadi yang terdepan dalam teknologi pelayaran dan upayanya menemukan „dunia baru‟ di luar daratan Eropa. Bangsa Portugis mulai menapaki keseriusannya dalam pengelolaan kemaritiman di bawah kepemimpinan Pangeran Henry, yang dikenal sebagai Henry sang Navigator. Gelarnya itu merujuk pada perhatiannya yang besar dalam mengembangkan dunia pelayaran di negerinya. Ia memiliki kegemaran yang tinggi dalam kajian mengenai laut, kapal dan dunia Timur. Hobinya ini kemudian disebarkan kepada masyarakat Portugal dengan mendirikan lembaga studi terpadu di Salgres yang mengkhususkan diri menelaah hal ihwal nautika sehingga mengantarkan pada suatu pemahaman mengenai penjelajahan dan penemuan „dunia baru‟ di seberang Eropa. Sang pangeran sendiri memiliki tiga alasan pribadi mengenai latar belakang mengapa dunia maritim negerinya harus maju, yakni:39 1. Untuk memperluas pengetahuan tentang dunia baru dan ilmu alam. 2. Untuk mengalahkan negeri-negeri Islam serta menemukan suatu negeri di timur Afrika yang menurut mitos
38
Hendrik Willem van Loon, The History of Mankind (USA: Boni & Liveraight Inc., 1922) hlm. 218. 39 Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan Kekuasaan Portugis di Melaka ( London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 13 dan 17.
27
merupakan kekuasaan raja Kristen legendaris bernama Prester John. 3. Menjadikan Portugal sebagai pusat perkulakan komoditas dagang dari Timur sekaligus pula meningkatkan pendapatan ekonomi rakyat Portugal. Pada tahun 1415, Henry menyeponsori debut pertamanya dalam bidang pelayaran sistematik ke wilayah barat laut Afrika. Ia dan para nakhodanya berhasil menemukan kepulauan Canary. Pelayaran perdananya juga mencapai muara sungai Senegal di pesisir Afrika barat dan pada pertengaha abad 15, ia berhasil menemukan Tanjung Verde (Tanjung Hijau) berikut kepulauan dengan nama sama, yang berjarak setengah perjalanan ke Brazil. Selain itu, ia juga mendanai sejumlah ekspedisi ke pedalaman Sahara dan pesisir pantai Guinea.40 Salah satu upaya keras yang ingin dicapai Henry dalam pelayarannya adalah menemukan kerajaan Prester John yang menurut mitos berada di belahan Timur. Mitos ini sendiri telah berkembang di seluruh Eropa sejak abad 12 dan menimbulkan ledakkan animo untuk mencari dan menemuka lokasinya. Henry menjadi salah satu sosok yang paling gigih mencari tempat raja legendaris itu. tiga puluh tahun setelah kematian sang Pangeran, barulah ada seorang nakhoda yang mewujudkan cita-cita itu. Pada 1486, adalah Bartholomew Diaz yang mencoba peruntungannya menemukan tanah Prester John. Ia memimpin armadanya menyusuri perairan dan sampai di ujung selatan Afrika. Tempat berpijaknya itu, kemudian dikenal sebagai Tanjung Harapan Baik.41 Pencapaian ini amat dikenang sebagai salah satu yang terbaik dalam bentangan sejarah maritim Portugis. Rintisan pengembangan nautika yang dibangun oleh Henry perlahan berbuah manis di kemudian hari. Apa yang telah dikerjakan pangeran Portugis ini mencuri perhatian para investor yang berasal dari kalangan bangsawan feodal negerinya untuk ikut serta membiayai dan mengembangkan proyek besar tersebut. 40 41
Willem van Loon, The History of Mankind ..., hlm. 218-219. Willem van Loon, The History of Mankind ..., hlm. 219.
28
Semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pembentukan ekspedisi pelayaran, semakin besar jaminan hadirnya prestasiprestasi lain yang tidak kalah prestisius dari pencapaian Diaz. Kemudian, pada 1498, suatu armada lain pimpinan Vasco Da Gama, seorang pelaut Portugis lainnya, berhasil mencapai Malabar. Da Gama kemudian segera beraudiensi dengan penguasa lokal setempat di Kalikut dan setelah melalui birokrasi yang rumit dan penuh kecurigaan ia dipersilahkan untuk berniaga. Tiga tahun kemudian, Pedro Alvarez Cabral dengan 13 kapal dan ribuan awak kapalnya datang ke Kalikut dengan misi menaklukkan kota itu. Tanpa menunggu waktu lama, pertempuran seru terjadi. Lewat serangkaian serangan sistematis pasukan Cabral berhasil mengalahkan tentara pribumi dan berhasil menancapkan dominasinya di pesisir India. Drama tragis itu berakhir dengan dikeluarkannya peraturan kemaritiman bahwa kapal manapun yang melewati perairan Hindia dikenakan pajak atau yang menolak akan ditenggelamkan. Suatu aturan yang seolah menunjukkan kuasa Portugis atas jalan laut itu.42 Catatan mengenai gambaran pesisir India tersebut dapat ditemukan, salah satunya ketika menyimak Rihla Ibnu Batutta. Rihla sendiri bukan merujuk pada artian sebenarnya, melainkan merupakan judul dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Ibnu Batutta sepanjang pengembaraannya ke beberapa belahan dunia di Afrika maupun Asia. Merujuk pada keterangannya, daerah yang merupakan destinasi kapal barang-barang jarak jauh yang menyeberangi laut Arab atau Teluk Benggala ialah terhampar di India bagian barat daya. Kota-kota pantai yang paling besar dan terkenal kaya terdapat di Malabar. Malabar dikenal sebagai peyangga daerah-daerah agraris, dan kotanya memiliki daya tampung dalam jumlah besar bagi panenan hasil alam, salah satunya adalah lada. Di samping itu, daerah pesisir ini juga memiliki koneksi luas dengan kawasankawasan pedalaman India Selatan yang memiliki banyak penduduk. Kota-kota yang terbentang di Malabar dikenal pula 42
Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 17-23.
29
sebagai emporium yang dermaganya dipenuhi oleh kapal-kapal niaga yang bergerak di seputar bagian barat dan timur Samudra Hindia. Wilayah ini menjadi persinggahan bagi armada dagang Arab maupun Cina. Kapal-kapal Arab membawa barang dari bandar-bandar di sana, lantas dipasarkan di seluruh negeri sekitar laut Arab. Dapat pula disebutkan, Malabar ibarat engsel tempat berputarnya perdagangan maritim antar regional dari seantero permukaan bumi bagian timur.43 Tempat lain yang dikenal sebagai sentra berkumpulnya pemborong lintas negeri, adalah Gujarat dengan bandarnya yang terkenal, Cambay. Kota Cambay sendiri berdiri di wilayah pantai utara muara sungai Mahi. Ibnu Batutta mengisahkan bahwa kota ini dipenuhi dengan bazaar-bazaar dan rumah-rumah besar yang terbuat dari bahan batu yang biasa ditemukan di pelabuhan. Nuansa pergaulan di kota ini, dirasa Ibnu Batutta, amat lekat dengan tradisi Arab khas pesisir laut Arabia. Jiwa kota di sini lebih mencitrakan keakraban model Muskat, Aden dan Mogadishu ketimbang daerah tetangganya seperti Daulatabad dan Delhi. Kota ini merupakan salah satu emporium terbesar di bibir samudra Hindia. Cambay, dalam ingatan Ibnu Batutta, merupakan kota yang indah dari segi arsitekturnya yang amat artistik, menghiasi rumah-rumah dan bangunan masjidnya. Salah satu alasan mengapa bangunan disana amat elok, demikian Ibnu Batutta, adalah karena sebagian besar pemiliknya merupakan para saudagar asing yang tidak segan menyisihkan hartanya membangun rumah-rumah dan masjid yang indah dan megah. Banyak dari para saudagar asing itu merupakan tamu-tamu, atau hanya sekedar singgah. Diantara mereka ada juga orang-orang dari pelabuhan Arab dan Teluk Persia, yang bermigrasi masuk dan keluar Cambay menunggu musim angin yang tepat datang. Komposisi penduduk lainnya, adalah para penyandang nama bapak mereka yang berasal dari Arab dan Persia. kakek buyut mereka telah bermukim selama berabad-abad yang lampau di sana. Tak 43
Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta, Seorang Musafir Muslim Abad 14 Terj. Amir Sutaarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia) Cet. 2, hlm. 246-247.
30
jarang, mereka melakukan kawin campur dengan orang-orang Gujarat serta mengadopsi beberapa produk tradisi dari daerah penyangga Hindu. Sama seperti bandar dagang umumnya, Cambay juga dipenuhi oleh kapal-kapal asing.44 Di India inilah Portugis mulai menapaki keuntungan awal dalam perdagangan yang signifikan dengan dunia Timur ketika Raja Manuel Agung (memerintah 1495-1521), raja Portugis, yang menyeponsori pelayaran Da Gama dan Cabral, berhasil mengumpulkan keuntungan berkat perniagaannya dengan India bahkan belakangan dengan Ethiopia, Arab dan Persia. Bukan hanya itu, oleh sebab kelihaiannya dalam perniagaan lintas benua itu, ia dijuluki oleh Francois I, raja Perancis, sebagai „Raja Grosir‟.45 Da Gama tidak berhenti dalam merentangkan kekuasaan Portugis di India. Ia mengupayakan pelebaran sayap dominasi Portugis atas spot serta perairan strategis di sepanjang jalur dagang ke Timur, salah satunya dengan menghentikan aktivitas para saudagar Muslim di Mesopotamia dan India. Setelah melalui beberapa pertempuran laut hebat dengan angkatan laut Muslim, Da Gama berhasil mengontrol jalur perdagangan laut dari Barat hingga Timur yang melalui samudera Hindia. Tugas besarnya ini kemudian diwariskan kepada penggantinya, Alfonso d‟Albuquerque.46 Guna memperkuat kedudukannya, setelah menaklukkan Cochin, Portugis kemudian menguasai Goa, suatu pulau strategis yang kemudian diperkokoh dengan bangunan perbentengan yang selain dijadikan pusat pemerintahan sekaligus merangkap lokus pengintaian startegis terhadap lalu lalang orang di pasar-pasar rempah-rempah di pesisir Malabar dan selatan India pada umumnya. Perbentengan pulau memiliki fungsi srategis tersendiri bagi Portugis. Daerah pijak yang dikelilingi perairan memberikan 44
Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta ..., hlm. 244-245. Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade in World History (Cambridge UK: Cambridge University Press, 1998) cet. 5, hlm. 139. 46 Bernard H. M. Vlekke, Nusantara, Terj. Samsudin Berlian (Jakarta: KPG dan Freedom Institute, 2008). Cet. 3, hlm. 97 45
31
rasa aman dari ancaman para musuhnya. Hal yang sama terjadi ketika beberapa waktu sebelumnya Portugis mengadakan penguatan dominasi atas pesisir Afrika, tepatnya di Luanda yang terletak di Angola dan Elmina di Ghana yang terletak hanya dipisahkan oleh laguna (danau pinggir laut atau juga yang dibangun di tanjung Verde di teluk Guinea.47Penaklukkan pertama ini, secara keseluruhan, belumlah mendapat hasil yang memuaskan. Daerah-daerah yang semula ditaklukkan rajin mengirim sabotase yang tidak jarang justru mengancam kedudukan wakil Portugis di sana. Sebagaimana disinggung sebelumnya, kemunculan Portugis di samudera dunia memiliki misi menghentikan aktivitas pelayaran yang banyak didominasi oleh para pelaut Muslim. Di India sendiri, hampir sebagian besar pelabuhan penting di sana dikuasai oleh para saudagar dan pelaut Islam, bahkan telah merambah hampir ke seluruh spot perdagangan laut Asia. Bukan hanya sebatas itu, kapal dagang-kapal dagang Muslim banyak hilir mudik pula di perairan Mediterrania dan menjalin hubungan niaga yang baik dengan pedagang Yahudi, Siria, maupun Bizantium hingga ke pesisir Afrika utara. Seorang saudagar Muslim yang berdagang keluar dari daerahnya mengemban misi dakwah ke daerah tempatnya berdagang. Dalam jiwa seorang pedagang Islam terdapat semangat jiwa knight of the spirit yang ikut pula membentuk pribadinya sebagai penyebar Islam. Seiring dengan semakin menguatnya kekuatan Islam di Timur Dekat maka saat itu pula ideologi penyebaran Islam ke luar regional tersebut dipancangkan.48 Dengan begitu daerah peredaran para pedagang Muslim sebisa mungkin dapat dijadikan pula sebagai lapangan dakwah untuk menumbuh kembangkan masyarakat Islam di sana. Dalam catatan yang lebih kuno, yang direkam oleh Ibnu Batutta, menyebutkan bahwa hampir semua perdagangan lintas 47
Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade ..., hlm. 139. J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social and Economic History (Dordrecht, Nederlands: Foris Publications Holland, 1983) hlm. 68 - 72 48
32
benua yang berada di pantai barat- termasuk pula Sri Lanka dan pantai Tenggara India yang disebut Koromandel – berada di tangan orang-orang Muslim. Namun begitu, penguasa sesungguhnya dari semua negara maritim adalah orang-orang Hindu Malayalam atau para pengguna bahasa Tamil. Penduduk daerah penyangga di kawasan tersebut juga banyak yang beragama Hindu dan dalam hal Sri Lanka, penduduknya adalah pemeluk ajaran Budha. Para pedagang Arab dan Persia telah bermukim di pesisir daerah itu sejak waktu yang lama, yakni sejak masa Abbasiyah. Terdapat perbedaan mengenai komposisi penduduk Muslim di bagian paling barat. Terhitung sejak abad pertengahan, kebanyakan penduduknya adalah Muslim India, dan gaya hidupnya cenderung dihubungkan dengan mereka yang hidup di pusat-pusat kosmopolit di Arab dan Persia. Di samping itu, Ibnu Batutta juga menyatakan kekagumannya bahwa kebudayaan yang terbentuk di kawasan pesisir tersebut, seperti juga dapat disaksikan di pantai Afrika Timur, merupakan produk jenius yang tercipta dari perkawinan unsur-unsur pribumi dan asing. Dengan kata lain, corak tradisi yang terlihat telah mengadakan akomodasi terhadap hukum agama yang seterusnya terlibat dialog intensif dengan adat istiadat, gaya, pakaian dan makanan dari kebiasaan penganut Hindu setempat. Raja-raja Hindu yang bertahta di sepanjang bibir pantai itu membebaskan orang Muslimnya beribadah sesuai dengan apa yang diinginkan. Mereka justru mendorong upaya tersebut, dan sepertinya ibarat reaksi balasan dari mereka atas kemakmuran yang diperoleh berkat perniagaan Muslim. Boleh dikatakan, sumber pemasukan terbesar kerajaan lokal amat berhubungan dengan aktivitas perdagangan orang-orang Muslim di sana, baik berasal dari pendapatan cukai dan dari keuntungan pribadi dalam perdagangan bahari. Telah terjadi kemitraan yang sedemikian apik terbangun antara para raja dan pedagangan Muslim.49 Perlahan, kedudukan para saudagar di tengah masyarakat lokal India, naik hingga menjadi kalangan elite. Mereka pun tidak 49
Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta ..., hlm. 247.
33
lupa dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Agenda pertemuan dengan penguasa lokal serta tokoh masyarakat sudah tentu menjadi keharusan untuk memperlancar aktivitas perniagaan mereka. Hubungan yang harmonis inilah, yang membuat timbulnya kerjasama peradaban di antara kaum pendatang, dalam hal ini saudagar Arab dengan elite lokal, sehingga kawasan pesisir India mencapai taraf emporium modern di masanya. Keadaan ini pula yang dianggap Portugis sebagai ancaman nyata bagi hasrat berkuasanya. Orang Arab dan Persia dianggap musuh yang harus ditumpas. Jack Turner menambahkan bahwa eksistensi para pedagang Timur seperti Arab, Gujarat, Yahudi dan Armenia dianggap Portugis sebagai kafir yang disamakan sebagai musuh. Portugis, walaupun bukan yang pertama, dikenal sebagai bangsa yang menumpahkan unsur-unsur kekerasan dalam kehidupan samudera dengan amat cakap oleh sebab disokong oleh instalasi persenjataan yang kuat di masanya. Mereka adalah bangsa pertama yang mengklaim kepemilikan perairan-perairan dunia Timur dengan mengatasnamakan Kristus. Hal ini tergambar pula dalam salah satu bait syair Camões, pujangga Portugis, yang menyebut Jupiter sebagai dzat pemberi restu kepada para konkuistador (penakluk) Portugis: “Dari kekayaan Semenanjung Malaya yang telah dikuasai, hingga Cina yang jauh dan pulau terjauh di bagian Timur, seluruh permukaan samudera adalah milik mereka.” Maksud kata Jupiter adalah sama dengan Tuhan (Kristus). Pendek kata, pekerjaan Portugis adalah pekerjaan Tuhan.50 Berbeda dengan Jack Turner, M. Adnan Amal memiliki catatan tersendiri terkait mengapa Portugis begitu gigih memerangi umat Islam. Portugis melihat bahwa Perang Salib masihlah terus berkobar, kendati tidak memperebutkan Jerussalem dalam artian sebenarnya. Raja Portugis memegang jabatan sebagai gubernur militer Order of Christ, yang dalam setiap ekspedisinya memiliki maksud untuk menyelidiki keberadaan kekuatan Islam. Pada 1421, ia mengirim suatu ekspedisi ke Teluk Afrika dan 35 tahun berselang, Paus di Roma mengakui sebagai suatu kebenaran bahwa 50
Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 21.
34
Orde of Christ memegang yurisdiksi atau kewenangan hukum spiritual. Hal ini merupakan indikasi bagi Portugis untuk bebas melakukan tindakan ofensif mulai dari Afrika Utara (Maroko) dan Afrika Barat. Sebelum menaklukkan kekuatan Islam di Goa India, Portugis sempat menamatkan peradaban Islam di Afrika yakni di Mozambiq (Afrika Utara), Mombasa kemudian Milindi. Bara dendam Perang Salib dibawa oleh para pelaut Portugis hingga ke Asia Tenggara. Kedudukan Orang-orang Moor – sebutan untuk umat Muslim – di sana, merupakan ancaman yang harus disingkirkan untuk menegakkan salib Yesus di bumi dan perairan khatulistiwa. Agenda konversi agama Kristen menjadi tugas utama yang harus dilakukan di wilayah tersebut. Hal ini bisa ditilik melalui keberadaan Misi Jesuit dengan tokoh utamanya Franciscus Xavier di Maluku.51 Alex D‟Orsey mengungkapkan bahwa kebulatan tekad Portugis untuk mendirikan suatu pemerintahan dan administrasi yang permanen di dunia Timur terencana secara sistematis setelah Raja Immanuel (Dom Manuel) naik tahta pada 1504. Kemudian, ia menunjuk Francisco d‟Almeyda sebagai Raja Muda (vice roy) pertama India. Setelah menaklukkan pesisir timur Afrika pada 1505, d‟Almeyda melanjutkan pelayarannya ke Cochin. Di perjalanan, ia sempat bentrok dengan angkatan laut Muslim Mesir yang kala itu memang mendapat tugas khusus menumpas segala bentuk aktivitas bajak laut Eropa. Menginjak tahun 1505, sebuah ekspedisi berisi 40 kapal berangkat dari Lisboa di bawah Tristam Dacunha dan Alfonso d‟Albuquerque. Sama dengan pendahulunya, mereka mendapat perintah untuk menyisir pesisir samudera Hindia menjadi bawahan Portugis. Lokasi pertama yang dituju adalah pantai-pantai Arabia, termasuk pula menundukkan Muskat dan kota-kota penting lainnya lantas membuat para pemimpin pribuminya bersedia menjalin aliansi dengan Raja Manuel. Kedatangan d‟Albuquerque ke India untuk menggantikan posisi raja muda sebelumnya, sebenarnya amat tidak diinginkan oleh d‟Almeyda. Sang gubernur India itu 51
M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku (Depok: Komunitas Bambu, 2010) hlm. 4.
35
tidak habis pikir mengapa rajanya tega menurunkannya, padahal ia telah melakukan sesuatu yang sesuai prosedur. Ia dan anaknya telah melakukan banyak peperangan melawan pelaut-pelaut Mesir yang mengganggu otoritas Portugal di sekitar India. Akhir masa jabatannya ditandai dengan pembunuhan atas para tawanannya, sebagai bukti kesetiaan pada rajanya. D‟Albuquerque dengan segera menjadi bintangnya para penakluk Portugal, dengan melancarkan skema serangan terhadap negeri-negeri yang semula sulit ditaklukkan. Salah satu tugas utama pertamanya, adalah mengupayakan berkibarnya bendera Portugal di Kalikut, salah satu sekutu dekat Malabar. Januari 1505, petaka mengampiri salah satu kota terpenting India itu. Pembakaran dan pengrusakan berhasil dilakukan Potugis atas bangunan-bangunan penting di sana. Penguasa Kalikut berhasil menyelamatkan diri masuk ke dalam istana dan dari sana memerintahkan serangkaian pukulan balasan melalui barisan serangnya. Reaksi berbuah manis, pasukan d‟Albuquerque yang mabuk kemenangan sejenak seketika menjadi tunggang langgang diterpa sapuan serangan lawannya, hingga mereka terjepit di pesisir pantai. Setelah melalui perlawanan kecil, d‟Albuquerque dan sisa pasukannya berhasil menyelamatkan diri. Ekspedisi penaklukan ini pun belum bisa dikatakan berhasil. Kegagalan itu tidak membuat d‟Albuquerque patah arang. Sebagai pelampiasannya, ia tetap melakukan penaklukan di spotspot pantai India yang tidak memiliki pertahanan yang baik. Di tempat-tempat itu, Portugis segera membangun instalasi pertahanan dan mendatangkan banyak agamawan untuk menyebarkan Kristen, sampai ketika ia mendengar terdapat suatu pulau strategis bernama Goa, yang menjadi lokus terpenting dalam aktivitas pelayaran India.52 Keberhasilan Cabral menguasai Kalikut, ternyata belumlah membuktikan tegaknya kuasa Portugis atas India. Goa menjadi pusat kontrol perairan sekitar India Barat, yang sama sekali belum terjamah tangan-tangan perusak Portugis. Dalam riwayatnya, 52
Alex D‟Orsey, Portuguese Discoveries Dependencies and Missions in Asia and Africa (London: W.H. Allen & Co Limited, 1893) hlm. 34-36.
36
setelah dikuasai oleh umat Islam (Musalman) pada 1415, Goa dijadikan pelabuhan laut utama guna meninjau kawasan laut India barat. Goa berdiri di atas pulau Tisvadi yang satu diantara ketiga daerah (triangular territory) yang berada di antara dua sungai; sungai Juari di sebelah selatan dan sungai Mandavi di sebelah utara. Dua sungai ini dihubungkan dengan jalur air sempit dan berakhir di laut Arab. Pada 1510, kedua sungai ini dijadikan marka batas pertahaan di mana jalur air sempit di atas dipenuhi dengan buaya yang di masa kekuasaan raja-raja Hindu kerap menjadikan para kriminal dan pendakwah Islam sebagai santapan para penjaga air itu. Memasuki tahun 1510, Alfonso d‟Albuquerque berlayar dari Cochin memimpin armada perang Portugis beranggotakan 20 kapal dan beberapa kapal kecil menuju Goa. Di pihak lain, Adil Shah, penguasa Goa sedang berada di luar daerah dan mempercayakan pertahaan Goa pada 200 orang Turki. Begitu pasukan laut Portugis datang, pertempuran segera pecah. Penduduk Hindu yang ada di Goa memilih untuk pasif ketimbang membantu pasukan Turki menghalau musuhnya. Perlahan, Portugis berhasil mendeteksi kelemahan lawan dan segera melancarkan serangan berupa hujan panah api. Pasukan Turki kalah dan Goa jatuh ke tangan d‟Albuquerque. Rupanya, hal ini tidak bertahan lama. Pada bulan Mei di tahun yang sama, beberapa waktu kemudian Adil Shah datang ke Goa beserta pasukan tempur yang kuat. Dari sini terjadi serangkaian pertempuran yang sengit. Masing-masing pihak mengeluarkan beragam kebolehannya dalam seni berperang. Dalam babakan perang ini, Timoja, seorang pemimpin Hindu, turut pula memperkuat pasukan Portugis dengan cadangan pasukan pada bulan Oktober 1510. Duka menyelimuti pihak Muslim ketika Adil Shah yang belum menuntaskan misinya berpulang. Komando pasukan kemudian berada di tangan anaknya, Ismail Adil Shah. Sang komandan pengganti nyatanya harus menelan pil pahit setelah pasukanya yang terdiri dari orang Persia dan Turki berjumlah 8000 orang dipukul mundur oleh gabungan Portugis dan Hindu. Tanpa 37
menunggu waktu lama, tepatnya November, Goa mengalami masa kelamnya, di mana banyak wanita dan anak-anak dibunuh. Mulai saat itu Goa telah sepenuhnya jatuh di tangan Portugis.53 Sang raja muda Portugis kemudian segera membangun Goa agar lebih kuat dari serbuan musuh. Hampir di sekililing pulau dibangun benteng yang kokoh. Administrasi lokal turut pula dibenahi. Pernikahan dengan penduduk lokal sebagai bentuk membangun hubungan relasional yang dimaksudkan pula guna menciptakan generasi kristiani yang mengakar. Pasca penaklukkan Goa, Portugal menjadi kerajaan besar paling terkemuka di Eropa. Sebagai bukti keberhasilannya menjelajahi dunia timur, Raja Manuel mengirimkan duta untuk bertemu Paus Leo X di Vatikan dengan membawa gajah India. Hal ini juga dimaksudkan sebagai bukti pengabdian Portugal kepada Gereja Roma yang juga menjadi penguasa atas seluruh tanah jelajah belahan Timur.54 Terhubungnya India dengan Portugis, ditilik dari segi perdagangan, menurut Shihan de Silva Jayasuriya merupakan titik berangkat penting selanjutnya dari historisitas pertalian Timur dan Barat. Jalur laut yang terentang diantara dua negeri tersebut, seakan ikut pula menyatukan kedua benuanya, Asia dan Eropa. Bisa dikatakan pula, kemunculan rute dagang kedua tempat itu merupakan salah satu peristiwa penting dalam penguatan perdagangan global. Dimulai sejak masuknya Da Gama, Portugis seakan mendapat horizon baru mengenai benua yang semula belum terjamah. Sebagaimana diketahui, keberhasilan Portugis mencapai India dan menguasainya, tidak lepas dari teknologi navigasi mutakhir yang digunakannya saat itu. Jayasuriya mengatakan bahwa salah satu faktor elementer yang menjadi perhatian pelaut Portugis adalah menggunakan jasa navigator Arab. Kala itu, petunjuk arah yang berasal dari Arab dipercaya memiliki teknologi 53
J.S. Jayne, Vasco Da Gama and His Successors (London: Methuen & Co. Ltd, 1910) hlm. 81-85. 54 Alex D‟Orsey, Portuguese Discoveries ..., hlm.37-38.
38
terbaru dalam rangka memetakan ruang gerak kapal ke tujuan yang mereka kehendaki. Dalam praktiknya, sang navigator menggunakan instrumen navigasi yang menemani perjalanannya yang disebut kamal. Alat ini merupakan bentuk racikan teknologi yang telah teruji mengarungi perairan Hindia. Cara kerja alat ini adalah dengan memetakan posisi bintang kemudian menerapkannya guna mengukur jarak yang akan ditempuh menuju suatu bandar. Kamal telah teruji menentukan arah jelajah kapal, ketimbang sistem navigasi sebelumnya, yakni menggunakan astrolabe yang dalam beberapa kasus terjadi kesalahan arah jika digunakan ketika kapal dalam keadaan bergerak.55 Kiranya terdapat perbedaan peran, di antara masyarakat Arab sendiri. Fenomena tersebut semakin menandaskan bahwa pandangan Portugis terhadap Arab bukanlah terbatas pada persepsi hitam-putih. Jika mereka menganggap terdapat sesuatu yang dapat dimanfaatkan dari bangsa Arab, mereka tidak ragu untuk memanfaatkannya. Sebagaimana disinggung sebelumnya, teknologi bahari umat Islam pun telah mencapai ke tingkatan yang mengagumkan. Ramainya gegap gempita pelayaran Eropa tidak terlepas dari peran umat Islam. Terlebih jika ditarik ke masa agak lampau, Eropa, dalam hal ini Andalusia, pernah menjadi penguasa atas wilayah itu sejak abad 8. Selama berkuasa di Spanyol, Islam telah menelurkan bentangan peradaban yang belakangan turut pula menyokong kemajuan para penguasa Kristen di sana. Ramainya kota-kota Andalusia amat dipengaruhi oleh iklim intelektual yang amat dihargai serta dipelihara di beberapa pusat keilmuan yang berdiri. Jatuhnya kejayaan Muslim di Semenanjung Iberia pada abad 15, tidak lantas membuat gairah intelektual Islam terhenti, bahkan risalah-risalah pengetahuan berbahasa Arab membanjiri biara-biara dan balai-balai pendidikan Eropa. Palermo di Italia, menjadi salah
55
Shihan de Silva Jayasuriya, The Portuguese in The East; A Cultural History of A Maritime Trading Empire (London: Tauris Co & Ltd, 2008) hlm. 1.
39
satu tempat yang banyak memproduksi risalah latin terjemahaan bahasa Arab.56 Spanyol merupakan pintu gerbang kemeriahan ilmu pengetahuan terbarukan menyebar ke seantero Eropa. Dari sini, perbendaharaan Yunani dan Persia dibawa oleh cendikiawan Muslim lantas dikembangkan. Pelbagai produk ilmu pengetahuan, filsafat dan seni Islam dipekenalkan ke Eropa Latin. Materi-materi tersebut sampai dan mengalami pengembangan di Eropa melalui dua saluran; a) lewat para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa Barat yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitasuniversitas Spanyol (b) melalui karya-karya terjemah para intelektual Muslim yang berasal dari sumber-sumber berbahasa Arab.57 Beberapa cabang ilmu yang berkaitan dengan ilmu nautika adalah geografi, matematika dan astronomi. Ketiga cabang ilmu tersebut menjadi primadona di sekolah-sekolah Spanyol. Mehdi Nakosteen menjelaskan bahwa sebagian besar tabel astronomi ada pula yang tergabung dalam pengantar teori trigonometri yang secara implisit (tidak langsung) masuk dalam skematika perhintungan-perhitungan yang digunakan kala itu. Sebagai catatan, untuk menentukan koordinat arah dalam melacak tujuan, skema-skema perhitungan seperti di atas sudah tentu digunakan. Seorang Hispano-Muslim bernama az-Zarqali menciptakan karya astronomi terkenal yang disebut Toledan Tables. Risalah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard de Cremona. Yang lain, Astronomical Tables buah tangan alKhawarizmi, telah direvisi oleh Maslama bin Ahmad dari Madrid pada abad kesepuluh. Kemudian, risalah tersebut diterjemahkan oleh Adelard dari Bath dan diulang oleh Herman. Sebuah edisi revisinya turut pula ditulis oleh Robert dari Chester. Ia juga membuat sebuah adaptasi dari Tables karya al-Battani, pada tahun
56
Lebih lanjut baca Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Terj. Joko S. Kahar dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) Cet.2, hlm. 11-14 57 Nakosteen, Kontrubusi Islam ..., hlm. 271.
40
1149, serta masih banyak karya lain yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke Latin.58 Melihat uraian di atas, rasanya bukan tidak mungkin, kurikulum yang dipakai serta buku-buku ajar yang digunakan di sekolah pendidikan kelautan buatan Henry Sang Navigator asal Portugal yang disebut-sebut menjadi motor penggerak kapal-kapal Portugis merupakan buah pemikiran para cendikiawan Muslim. Risalah-risalah Latin yang berasal dari ilmuwan Muslim telah membuka mata Eropa yang sebelumnya tertutup. Sejarah telah sedemikian berputar bagai roda. Portugis yang semula duduk tenang membaca, kemudian telah berhasil mengaplikasikan apa yang mereka renungkan ke ranah aksiologis, salah satunya adalah proyek kemaritimannya. Jatuhnya India merupakan akumulasi dari upaya panjangnya mencari dan menemukan dunia yang sebelumnya tak terjamah. Perairan India yang sebelumnya diselimuti kedamaian penuh sungging senyum dari para saudagar perlahan terasa berhawa lain, yakni dipenuhi oleh ketegangan. Patroli laut Portugis yag dikomandoi oleh Goa menjadi momok menakutkan di perairan sekitar. Di Eropa sendiri, nama Portugis menjadi semakin dikenal sebagai salah satu pendatang baru potensial sebagai pusat perkulakan rempah Eropa. Upayanya merentangkan kuasa hingga ke India dan bahkan sampai Nusantara, dibarengi dengan penguatan internal seputar perdagangan laut Eropa, khususnya Eropa Selatan. Laut Mediterrania bagaimanapun harus ditaklukan, demikian hemat penguasa Portugis. Cita-cita tersebut bukanlah tanpa pijakan. Kawasan perairan Mediterrania telah menjadi nadi perdagangan yang mempertemukan dunia Timur dan Barat. Bandar Eropa yang menjadi tempat persinggahan rempahrempah Timur, diantaranya adalah Antwerp dan Bruges. Sebelum sampai kesana, barang dagang penting itu merapat di Venezia yang mengadakan kontak dagang rempah dengan bandar-bandar Mameluk di Mesir. Venezia menjadi bandar rempah pertama 58
Lebih lanjut lihat Nakosteen, Kontribusi Islam ..., hlm. 272-273.
41
Eropa yang kemudian mendistribusikan dagangan itu ke seantero pasar Eropa baik di pesisir maupun pedalaman. Upaya menguasai Venezia, berarti pula mendapatkan dominasi perdagangan rempah di seluruh Eropa. Untuk itu, sekelompok armada diberangkatkan untuk menguasai pusat niaga itu. kejadian tersebut, membuat pedagang lokal Venezia menderita dan menurunkan pendapatan mereka. Menginjak awal abad 16, semakin memperkuat kedudukannya sebagai pelabuhan rempah terdepan di Eropa.59 Munculnya Portugis di kancah maritim dunia, menimbulkan efek tersendiri, khususnya bagi perdagangan lintas benua. Motif tindakan Portugis yang terkesan tidak pandang bulu dan menghalalkan segala cara dalam menundukkan musuhnya, merupakan ciri khas mereka dalam upaya merengkuh gelar penguasa lautan. Serangan dan penguasaan atas bandar-bandar besar dunia, seperti Ormuz dan Goa, merupakan dua langkah penting guna mengokohkan posisi mereka di jalur dagang Timur. Ditambah lagi dengan direbutnya Venezia, semakin memperluas kendali Portugis atas rute pelayaran dunia. Berbekal fanatisme kekristenan dan restu dari Paus sebagai pemegang otoritas tertinggi umat Kristen Katolik dunia, Potugis melenggang menundukkan negeri-negeri yang semula berdaulat. Agama menjadi landasan penting bagi perilaku mereka. Teknologi pelayaran yang telah sedemikian baik terbangun dimanfaatkan sebagi alat untuk menyebarkan ajaran Kristen ke seluruh penjuru dunia. Motivasi ini kiranya yang memompa semangat mereka agar tidak mudah patah arang dalam mencapai tujuan. Mereka begitu yakin, penguasaan ditambah kristenisasi atas suatu wilayah menjadi kegiatan yang direstui Tuhan. Kegigihan mereka dalam menaklukkan suatu wilayah yang dicatat sejarah, seperti disebutkan sebelumnya, menandakan bahwa Portugis memang telah jauh hari berkeinginan merebut dominasi pelayaran dan perdagangan global. Niat ini kerap terbentur dengan penguasa-penguasa daerah lain, seperti juga penguasa Muslim, 59
Shihan de Silva, The Portuguese in The East ..., hlm. 1-2.
42
yang memiliki agenda politik, ekonomi, sosial dan agama tersendiri. Maka itu, ketika dua kepentingan berbeda ini berjumpa, maka yang terhampar adalah peperangan berebut kuasa, dan tentu saja yang memiliki persiapan kuat dan sikap pantang menyerah menjadi pemenangnya. Portugis, untuk sementara berhasil menunjukkan tajinya sebagai salah satu bangsa calon penguasa lautan. Posisinya kemudian menjadi lebih kuat, ketika kapal-kapal Portugis telah lalu lalang di perairan Asia Tenggara. Di sana Portugis mencatat sejarah dengan menundukkan salah satu pusat dagang penting dunia, yang sekaligus menjadi pintu masuk memperbincangkan sejarah mereka di kepulauan Nusantara, tepatnya di wilayah sekitar Selat Malaka, Sumatra bagian utara dan timur serta Semenanjung Malaya.
B. Menguasai Malaka Hadirnya Portugis di perairan Hindia menerbitkan kekhawatiran di kalangan para saudagar Muslim. Mereka mulai melakukan pelbagai tindakan yang merugikan perekonomian pedagang pribumi India maupun kapal saudagar Muslim lain yang kebetulan melewati perairan India. Kapal-kapal mereka tak segan melakukan intimidasi dan kekerasan guna menundukkan suatu armada dagang. Perlahan, iklim harmonis yang terjalin di pesisir India dan wilayah akuatik sekitarnya luruh berganti dengan ketegangan. Tidak hanya berhenti sampai di lokasi tersebut, armada Portugis juga rajin menyambangi wilayah bibir-bibir pantai Hindia Timur. Belakangan, aktivitas mereka bukan hanya terbatas pada jual-beli dengan penduduk lokal, melainkan juga memperkuat diri dengan membangun kantor dagang di selatan Asia hingga menyentuh Asia Tenggara, yakni di Bengal, Myanmar, Siam, Malaka hingga Maluku. Ekspansi laut Portugis kemudian
43
menyebar lebih jauh sampai Macau (China) dan Nagasaki (Jepang).60 Mampirnya Portugis di Malaka merupakan kejadian yang besar dalam bentangan sejarah Nusantara. Jatuhnya Malaka menandakan kemunduran yang signifikan dalam aktivitas perdagangan regional. Malaka sendiri merupakan bandar dagang yang utama di kawasan Asia Tenggara. Keberadaannya ibarat pasar grosir dunia Timur yang menjadi tujuan kapal-kapal dagang dunia. Pelbagai komoditas unggulan diperjualkan di pasarpasarnya. Salah satu catatan sejarah yang dapat ditelisik mengenai berdirinya emporium ini adalah termaktub dalam Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu tulisan Tun Sri Lanang.61 Diceritakan, Malaka didirikan oleh Parameswara atau Iskandar Syah yang merupakan bangsawan Palembang yang keluar dari istana akibat konflik kerajaan. Ketika sampai di wilayah sungai Bertam, Iskandar Syah dan pengikutnya sempat berteduh di bawah pohon rindang. Dalam suatu percakapan kecil ia memuji keindahan pemandangan sekitar dan memerintahkan untuk membangun kenegerian di tempat itu. Di sela-sela pengerjaan pembangunan, ia bertanya pada seorang bawahannya akan jenis kayu yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembangunan yang lantas dijawab bawahannya bahwa kayu tersebut adalah kayu Malaka. Di saat itu
60
Shihan de Silva, The Portuguese in The East ..., hlm. 2-3. Tun Sri Lanang merupakan salah satu bangsawan Johor yang berpindah ke Aceh ketika pasukan Aceh menyerbu Johor pada pertempuran Batu Sawar pada 1613. Ia merupakan bagian dari rombongan Raja Johor yang dibawa Iskandar Muda ke Aceh. Selama di Aceh, ia didapuk sebagai pejabat tinggi kerajaan dan diberi gelar sebagai uleebalang pertama Samalanga. Selain dikenal sebagai sastrawan besar Melayu dengan masterpiece-nya Sulalatussalatin, yang menjadi kitab babon guna mengetahui tumbuh kembang kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu dan sekitarnya, ia juga merupakan ahli tata negara serta pertanian. Lebih lanjut lihat Pocut Haslinda MD Azwar, Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 38-29 dan 67-86. 61
44
pula, Iskandar Syah mengatakan bahwa negeri yang dibangunnya itu bernama Malaka.62 Lazimnya yang ditemukan dalam manuskrip kuno Nusantara, tidak ada informasi yang tepat, kapan negeri ini dibangun. Hal ini tentu saja menimbulkan kesulitan tersendiri guna mengetahui secara persis kapan peristiwa itu terjadi. Adalah Slamet Muljana yang mencoba memetakan waktu Parameswara mendirikan Malaka. Ia menggunakan laporan China yang memberitakan pertalian diplomatik China dan Malaka yang terjadi ketika utusan China bernama Yin Ching datang ke Malaka pada 1404. Kala itu, menurut kesaksiannya, Malaka sudah menjadi suatu pelabuhan dagang. Berdasarkan sumber tersebut, diperkirakan Malaka dibangun oleh Parameswara sekitar tahun 1400.63 Selama masa-masa mendatang hingga ketika Portugis menaklukannya Malaka menjadi bandar internasional utama di Nusantara. Era keemasan Malaka terjadi pada masa pemerintahan Sultan Muhammadsyah dan di masa ini pula barulah Malaka dipimpin oleh raja Islam. Merujuk pada keterangan Tun Sri Lanang, di era pemerintahan Muhammadsyah, Malaka menjadi negeri yang makmur dan mashur serta memiliki reputasi baik di pergaulan luar negeri. Di wilayah ini banyak dijumpai pasar yang sambung menyambung mulai dari Air Lilih hingga ke Muara Muar, dari Kampung Keling hingga Kuala Penayuh. Banyaknya pasar, membuat daerah itu disesaki oleh pedagang dari berbagai bangsa. Di sana-sini ditemukan pula banyak perumahan yang membentang hingga ke Batu Pahat. 64 Tome Pires, seorang pengembara Portugis sempat menyambangi Malaka. Dalam Suma Oriental – yang ditulisnya di Malaka dan India pada 1512-1515 - ia menceritakan bahwa 62
Pocut Haslinda MD Azwar, Sulalatus-Salatin; Sejarah Melayu Versi Populer ( Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 55. 63 Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981) hlm. 316 64 Pocut Haslinda, Sulalatus-Salatin ..., hlm. 56-57 dan 104.
45
Malaka adalah daerah yang dipenuhi oleh para Muslim dari penjuru dunia. Saudagar Muslim tersebut berasal dari Kairo, Mekkah, Aden, Abissinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Turkoman, Armenia Kristen, Gujarat, Chaul, Dabhol, Goa kerajaan Dekkan, Malabar, Keling, Orissa, Bengal dan Sri Lanka. Disamping itu, pedagang regional dari Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Melayu, Pahang, Patani, Kamboja, Champa, Cochin China, China, Lequeos, Brunei, Lucoes, Tamjompura (Tanjungpura), Laue, Banka (Bangka), Linga, Molukas (Maluku), Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kappatta (Kampar?), Menangkabau (Minangkabau), Siak, Arqua (Arcat?), Aru, Bata, daerah Tomjano Pase, Pedir dan Maladewa. Di pelabuhan Malaka, dapat ditemui percakapan dengan 48 bahasa yang berbeda. Diceritakan pula, bahwa hampir setiap bangsa yang datang ke Malaka membawa barang dagangan dari wilayahnya. Orang Mesir misalnya, membawa gelas-gelas Venezia, adapula pedagang Malabar yang membawa pelbagai jenis kain. Orang yang ingin membangun rumah haruslah mendapat izin dari pemerintah terkait. Kerajaan ini juga sudah memiliki mata uang sendiri.65 Kabar hiruk pikuk pasar serta kencangnya pemutaran uang di Malaka, perlahan-lahan sampai ke telinga pelaut Portugis yang tengah merentangkan kuasa di perairan Hindia. Awalnya, kedatangan mereka sekedar berniaga dan menemui pemuka daerah lokal bernama Bendahara Seri Maharaja. Hubungan yang baik segera terjalin antarkeduanya, bahkan Seri Maharaja sempat memberikan cendera mata indah berupa kalung permata. Sepulangnya dari Malaka, pelaut Portugis itu menceritakan kepada pembesar Portugis, Alfonso Zalberkaki66 di Goa akan kebesaran dan kemajuan Malaka. Timbullah hasrat Zalberkaki untuk menguasai bandar dagang itu. Zalberkaki pun segera menyiapkan armada perang. Komposisi pasukan terdiri dari tujuh kapal, sepuluh kapal jenis 65
Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II (New Delhi: Asian Educational Services, 2005) hlm. 268-275. 66 Sebutan Alfonso d‟Albuquerque dalam Sulalatussatin.
46
kapal panjang, dan tiga belas kapal jenis fusta. Setelah persiapan matang armada Portugis ini pun berangkat di bawah pimpinan Gonsalo Pereira. Terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Malaka pimpinan Tun Hassan Tumenggung dengan armada Portugis. Setelah babak demi babak dilalui, pasukan Portugis pun terlihat melemah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Malaka untuk mengadakan serangan lebih gencar sehingga patahlah gempuran Portugis. Sisa-sisa pasukan lawan kembali ke kapal dan mundur secara bertahap. Kekalahan ini amat menyakitkan hati Zalberkaki. Ia pun menghadap langsung Raja Portugal dan meminta bantuan armada yang lebih besar dan tangguh. Seakan mafhum dengan tugas berat yang diemban jendralnya, sang raja memberi bantuan tiga kapal besar. Kemudian, setelah persiapan dirasa cukup, Portugis pun datang untuk yang kedua kalinya ke Malaka yang langsung dipimpin oleh Alfonso Zalberkaki. Begitu sampai di pantai Malaka, meriam Portugis langsung menyerang dengan membabi buta, suaranya bagaikan halilintar. Saat itu, Malaka dipimpin oleh Raja Ahmad menaiki gajah bernama Jinakji, dengan didampingi Seri Awadani di bagian kepala gajah dan Tun Hati di bagian ekornya. Di sekitar sang raja, hulubalang serta pasukan telah berdiri siap menghambur serangan. Perang pecah dengan amat hebat. Kedua pasukan seakan berlomba berebut kemenangan. Singkat cerita, setelah mengarungi medan peperagan yang amat berat, Portugis semakin merangsek ke pedalaman Malaka. Sampai disini telah terlihat kekalahan Malaka, terlebih ketika pasukan musuh telah sampai di Ujung Balai dan pada akhirnya berakhir merebut istana. Korban yang jatuh amatlah banyak. Raja Ahmad yang semakin terdesak kemudian melarikan diri ke Hulu Muar. Bandar dagang terkemuka itu akhirnya berhasil dikuasai Portugis.67 Tome Pires menyebutkan bahwa barisan tempur Malaka, sejatinya bukanlah diisi oleh prajurit pribumi semata, melainkan turut pula dibantu para pedagang Gujarat. Mereka mendermakan 67
Pocut Haslinda, Sulalatus-Salatin ..., hlm. 175-180 dan 193-198.
47
kapal-kapal dagang mereka yang dimodifikasi menjadi kapal tempur guna menyambut kedatangan Portugis. Hal ini terjadi karena salah satu pemimpin perang Malaka berkebangsaan Gujarat. Dalam versi Pires diceritakan bahwa Raja Malaka menolak pernyataan tunduk yang dilayangkan oleh d‟Albuquerque. Setelah perang terjadi dan Malaka berhasil dikuasai, Portugis mendirikan perbentengan yang kuat.68 Sama dengan Ormuz dan Goa, Malaka menjadi korban berikutnya dari usaha perluasan supremasi di jalur dagang dunia. Malaka merupakan emporium yang menjadi pusat grosir hasil bumi maupun rempah dari seantero Nusantara. Pengambilalihan bandar ini dari tangan penguasa Melayu Malaka, demikian hemat Portugis, merupakan satu-satunya cara agar tongkat kuasa mereka dapat ditanamkan di suatu destinasi dagang dunia yang menjadi pusat perkulakan saudagar antar bangsa. Aspek lain yang perlu dikemukakan adalah terbitnya penguasa baru di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu dan sekitarnya. Tidak bisa dipungkiri, baik Aceh dan Malaka merupakan the old regimes atau dua kerajaan yang paling terpandang karena rentang waktu berdirinya yang lama dibanding kerajaan lain, dialiri darah para raja-raja hebat terdahulu serta pencapaiannya di kawasan perairan selat Malaka dan sekitarnya. Keduanya saling bahu membahu membangun iklim filantropis yang melingkupi rute dagang dunia yang melewati daerah kekuasannya. Kendati kedua kerajaan terlibat jalinan kekerabatan yang erat, persaingan menjadi spot perniagaan paling terkemuka sudah pasti terjadi. Hanya yang dikedepankan keduanya adalah persaingan yang sehat dan jauh dari upaya saling menjatuhkan. Dikuasainya Malaka, menjadi fajar baru yang ikut mengubah nuansa keakraban di sekitar perairan Malaka seperti sebelumnya. Penguatan supremasi Portugis, sudah tentu diwarnai dengan tindakan-tindakan aktif merebut perhatian publik selat Malaka agar mau bekerjasama dengan mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, maka sama saja dengan bunuh diri dalam waktu singkat, 68
Armando Cortesao, The Suma Oriental ..., hlm. 278-281.
48
mengingat sebesar apapun kekuatan pasukan Portugis asli tentu akan menemui kesulitan dalam menghadapi gabungan pasukan kerajaan-kerajaan yang daerah kekuasaannya bersinggungan dengan zona kuasa Portugis. Intrik dan silat lidah menjadi senjata berikutnya untuk merebut secara perlahan hati para penguasa lokal.
C. Hubungan Portugis dengan Kerajaan Tetangganya Jatuhnya Malaka membuat keadaan politik dan ekonomi yang sebelumnya stabil menjadi goyah dan penuh kemelut. Bercokolnya kekuasaan Kristen di kawasan Semenanjung ini membawa perubahan sistemik yang mempengaruhi iklim berpolitik regional Nusantara. Kerajaan-kerajaan sekitar menanggapainya sebagai ancaman nyata yang cepat atau lambat dapat ikut pula menyapu kewenangan serta kedudukan raja-raja mereka. Pelbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak dipikirkan, di kemudian hari terjadi sehingga ikut pula membentuk ulang rangka peradaban yang sebelumnya kokoh berdiri. Munculnya Portugis merupakan bukti dari superioritas Eropa di negeri-negeri Timur. Didahului dengan direbutnya Ormuz dan Goa, Portugis merentangkan sayap ekspansinya hingga ke Timur Jauh hingga ke Nagasaki Jepang, sehingga memungkinkannya menancapkan pengaruhnya di beberapa titik yang penting, terlebih ditinjau dari sisi politik dan ekonomi. Malaka, merupakan satu spot kekuatan maritim penting yang di kemudian waktu berhasil mereka kuasai. Tindakan menanamkan pengaruh menjadi agenda selanjutnya yang digalakkan oleh para penguasa Portugis. Membincang Portugis maka tidak akan lengkap jika tidak menyinggung strategi monopolinya. Monopoli negeri Iberia ini sesungguhnya tidaklah membutuhkan modal besar sebagai penyokongnya, namun harus menguasai serangkum intrik-intrik politik dan taktik militer. Dua hal ini merupakan kunci penting dalam metode Portugis mengupayakan suatu dominasi. Rekayasa politik yang kerap dilakukan Portugis kerapkali tidak harus 49
menimbang kesantunan, cara-cara kotor dan kasar pun bisa ditempuh untuk meluluskan suatu tujuan. Corak berpolitik Portugis amatlah berbeda dengan dua negeri Eropa lainnya, yang juga dikenal sebagai superpower kelautan, Inggris dan Belanda. Kedua kerajaan tersebut tidak lantas hanya melakukan monopoli, tapi juga melakukan pertumbuhan ekonomi serta memiliki industri yang belakangan bisa memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Kondisi masyarakatnya yang miskin, membuat Portugis harus pandai-pandai menjalankan skema politiknya, salah satunya dengan membodohi para pemuka pribumi di daerah-daerah yang dikuasainya. Setelah memancangkan monopoli di suatu lokus yang dikuasainya, Portugis pun dengan leluasa dapat mengatur arus ekonomi setempat. Bentuk yang paling banyak ditemuai adalah seperti membeli komoditas tertentu dengan harga murah, bahkan tidak jarang dirampas dan sama sekali tidak dibayar. Hal macam ini pernah terjadi di Maluku, yakni ketika rempah-rempah kualitas super dibayar dengan harga rendah, lalu pajak yang tinggi juga diberlakukan pada para petani dan pedagang lokal. ketidakakuratan timbangan adalah juga bentuk penindasan yang menyengsarakan ekonomi setempat. Hal seperti itulah yang menyebabkan keuntungan Portugis dari perdagangan rempah-rempah Maluku, merica dari Banten dan Sumatera, serta gula dari Madura dapat menggemuk hingga ratusan persen. Sepanjang abad 16, Portugis belum mendapat saingan yang berarti. Baru pada awal abad 17, VOC dan EIC tumbuh sebagai kongsi yang baru berdiri, itupun belumlah kuat. Supremasi perniagaan bumbu dapur Nusantara dengan komoditas unggulah lada Banten dan rempah Maluku di pasaran Eropa masih dikuasai oleh Lisboa. Dominasi ini berlangsung hingga menyentuh akhir abad 16.69 Beberapa waktu sebelum mengadakan serangan ke Malaka, Portugis sempat membuat keruh hubungan antar keluarga istana Pasai. Kala itu, Alfonso d‟Albuquerque meminta kepada Zainal 69
M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol ..., hlm. 2-3
50
Abidin agar Pasai mau bermitra dengan Portugis, sekaligus sebagai basis militer tempat mendaratnya pasukan prapenyerangan Malaka. Mengetahui hal tersebut Malaka mengutus duta ke Pasai untuk menolak ajakan tersebut. Di pihak lain Zainuddin, kerabat kerajaan Pasai, bersikeras agar Pasai membuka diri dengan kehadiran Portugis. Belakangan, pada tahun 1524, Portugis berhasil menguasai Pasai, sebelum direbut kembali oleh Ali Mughayyatsyah, Raja Aceh Darussalam.70 Sebagaimana diketahui, Malaka menempati posisi yang vital ditinjau dari segi geopolitik. Raja Malaka boleh dikatakan sebagai salah satu kerajaan tertua di Semenanjung Melayu. Ketika, kerajaan ini dipunahkan Portugis, Raja Ahmadsyah yang sempat melarikan diri, belakangan diketahui menyusun kekuatan di Kampar. Penduduk Kampar kala itu, memiliki ikatan batin yang kuat dengan raja-raja Melayu. Kampar dan beberapa wilayah pesisir Sumatra Timur sebelumnya merupakan daerah-daerah agraris, yang komoditas alamnya banyak dijajakan di pasar-pasar Malaka. Relasi ekonomi ang erat membawa pula pada sebaran pengaruh politik yang luas. Raja-raja Malaka terdahulu merupakan sosok yang gigih dan kuat sehingga mampu menyebarkan pengaruh politiknya hingga ke kawasan semenanjung dan pesisir timur Sumatra. Slamet Muljana menjelaskan, hadirnya Malaka di peta Nusantara turut pula membentuk ulang tata ekonomi dan politik di kawasan selat Malaka. Visi ekonomi yang sedemikian maju diterapkan oleh Iskandar Syah dengan memebangun instalasi pelabuhan yang baik dan tata letak kota yang efektif dalam sekama bandar dagang. Keahliannya ini memancing kerajaan besar seperti China untuk membuka hubungan diplomatik dengannya pada 1405. Sesuatu yang tentu saja amat bagus mengingat China merupakan salah satu kerajaan yang ekonominya menyandarkan pada perdagangan lintas benua. Kemajuan pelabuhan Malaka, perlahan dapat menyaingi pelabuhan-pelabuhan pantai timur Sumatra seperti Jambi, Siak, Rokan dan Pasai. 70
Amirul Hadi, Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle of Islam in East Asia 1500-1579, Tesis, belum dipublikasikan, hlm. 18.
51
Kesadaran ekonomi yang kuat, tentu dibarengi pula dengan wawasan politik dalam dan luar negeri yang luas. Ketika suhu kerajaan telah mulai stabil disokong oleh kemakmuran rakyat, Iskandar Syah pun tidak buta akan kepentingan menanamkan pengaruh politiknya. Namun, ide besar ini baru terlaksana pada pertengahan abad kelima belas oleh cucu Iskandar Syah yang bernama Sultan Muzaffar Syah yang berhasil menguasai Dinding dan Selangor, Kampar, Indragiri dan Rokan. Berkat penanaman kuasa atas Dinding dan Selangor hasil tambang timah di wilayah itu diangkut ke pasar Malaka. Begitupula yang terjadi di si daerahdaerah pantai timur Sumatra, hasil tambang emas di daerah Sumatra Barat serta hasil bumi berupa lada serta hasil hutan macam kayu dan rotan mengalir pula ke Malaka.71 Portugis tidaklah menjalankan skema politik halus seperti yang telah ditradisikan para Raja Malaka. Ia tidak segan memaklumatkan perang kepada para pemimpin tetangganya. Salah satu kompetitornya yang boleh dikatakan sepadan kala itu adalah Aceh Darussalam. Begitu mengetahui bandar dagang Malaka jatuh, Sultan Ali Mughayyat Syah segera menyerukan persiapan perang raya menghadapi bala pasukan Portugis yang sewaktuwaktu dapat menghampiri daerah kekuasaan Aceh. Kekhawatiran ini kemudian menjadi kenyataan. Wilayah Aru dan Daya yang semula memiliki hubungan harmonis dengan Aceh, berpaling dan memihak Portugis. Sejak masa Mughayyatsyah hingga Iskandar Muda, Aceh memiliki garis politik yang tegas menolak kekuatan Portugis berkembang di wilayah bawahannya. Di pihak lain, bangkitnya kekuasaan Aceh terhitung sejak bertahtanya Mughayyat Syah dalam peta perpolitikan regional, menerbitkan kekhawatiran dibenak para Raja Melayu. Johor memiliki hubungan yang baik dengan Pahang begitupula dengan beberapa kerajaan di pesisir Timur Sumatra seperti Siak, sepenuhnya mereka sadar, Aceh bukanlah lawan yang sepadan bagi mereka keberhasilannya dalam menekan pengaruh Portugis serta di masa yang sama semakin rajin menanamkan pengaruh di hampir seluruh pulau Sumatra merupakan beberapa bukti kerajaan 71
Slamet Muljana, Kuntala ..., hlm. 327-328.
52
ini amat matang dalam berpolitik serta tentu saja memiliki armada perang yang tangguh. Untuk itu, guna menjaga eksistensi mereka, menjalin hubungan dengan Portugis dipandang menjadi salah satu opsi yang paling memungkinkan. Disamping memiliki armada perang yang tidak kalah tangguh dengan Aceh, Portugis juga merupakan sekutu yang dipercaya membawa angin baru bagi perkembangan kerajaan-kerajaan Melayu. Johor, Pahang dan Patani merupakan tiga diantara kekuatan besar Melayu yang menjadi mitra Portugis. Hal ini agaknya yang melatarbelakangi kampanye penaklukan Aceh di masa Iskandar Muda kelak berkuasa.72
72
Mengenai ketegangan serta pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Portugis lihat H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 394-494; dan Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 122-127.
53
BAB III KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
Kemunculan Portugis di awal abad 16, menimbulkan ketegangan di sekitar Selat Malaka. Tersuruknya bandar dagang yang sejak lama menjadi primadona perniagaan dunia itu, membawa situasi yang sedemikian genting, baik di bidang politik maupun perdagangan. Hampir setiap bentuk kekuasaan lokal dan regional memasang pandangan sinis kepada Portugis. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bangsa ini tidak segan mengobarkan peperangan kepada mereka yang bersilang sengketa dengannya. Salah satu kekuatan maritim yang gigih memerangi Portugis di Malaka adalah Aceh Darussalam. Hampir di setiap pertemuan baik sengaja maupun tidak sengaja, kedua pihak langsung terlibat adu perang. Sama dengan Malaka, aktivitas perekonomian Aceh juga disokong dari sektor kelautan dan perdagangan antarbangsa. Dominasi yang coba dibangun Portugis merupakan bentuk dominasi yang bertentangan dengan visi kebangsaan Aceh. Dalam beberapa uraian selanjutnya akan dibahas mengenai pendirian kerajaan ini, serta pelbagai peristiwa menarik yang mencitrakan kebesaran kerajaan ini.
A. Kerajaan Aceh: Pertumbuhan dan Perkembangnya Wilayah yang menjadi ibukota kerajaan Aceh yang sekarang, yang terletak di Banda Aceh, sebetulnya merupakan tanah ibukota kerajaan-kerajaan terdahulu. Jauh sebelum kerajaan ini berdiri, nama Banda Aceh belumlah ada dan daerahnya kala itu dikenal bernama Lamuri. Nama Lamuri sempat disebutkan dalam catatan Marco Polo, seorang pelaut Italia, yang sempat melawat ke daerah tersebut pada tahun 1292. Dalam catatannya ia menulis : 54
LAMBRI, in like manner, has its own king and its peculiar language. The country produces camphor, with a variety of other drugs. They sow brazil and when it springs up and begins to throw out shoots, they transplant it to another spot, where it is suffered to remain for three years. It is then taken up by the roots, and used as a dye-stuff. Marco Polo brought some of the seeds of this plant with him to Venice, and sowed them there; but the climate not being sufficiently warm, none of them came up. In this kingdom are found men with tails, a span in length, like those of the dog, but not covered with hair. The greater number of them are formed in this manner, but they dwell in the mountains, and do not inhabit towns. The rhinoceros is a common inhabitant of the woods, and there is abundance of all sorts of game, both beasts and birds. Lambri, sebagaimana lazimnya kerajaan lainnya, memiliki raja dan bahasa yang khas. Negeri ini memproduksi camphor (kamper), dengan berbagai macam pengolahannya dalam bentuk obat-obatan. Para petaninya menebarkan biji-bijiannya dan ketika telah tumbuh mereka memindahkannya ke tempat lain, di mana di tempat itu tanaman ini dibiarkan tumbuh selama tiga tahun. Kemudian, akar-akarnya mulai dipanen dan diolah menjadi bahan-bahan penyeduhan. Marco Polo membawa beberapa biji-bijian ini ke Venezia dan menanamnya di sana. Namun, karena iklimya tidak hangat, tumbuhan ini gagal berkembang. Di kerajaan ini juga ditemukan manusia berekor panjang seperti anjing, namun tidak berbulu. Sebagian besar dari mereka memiliki perangai yang sama dan tinggal di kawasan pegunungan dan tidak mendiami perkotaan. Badak menjadi penghuni di hutan-
55
hutannya. Di sana juga diramaikan dengan tingkah polah burung-burung dan banyak binatang buas.73
Manuel Komroff yang mengedit kisah A Travel of Marco Polo ini menyebutkan bahwa dari masa ke masa, telah berkembang cerita mengenai sosok manusia berekor seperti digambarkan di atas, baik di Afrika, Borneo, kepulauan India dan Cina. Namun, pada kenyataannya hingga sekarang, tidak pernah terbukti kebenarannya mengenai penangkapannya. Eropa abad Pertengahan juga pernah tersiar informasi bahwa terdapat orang-orang Inggris (Englishmen) yang memiliki ekor pendek.74 Walapun pandangan dari Marco Polo tersebut bisa dikatakan masih harus diteliti lagi kebenarannya, paling tidak, uraiannya itu bisa dijadikan bukti lain bahwa telah ada kerajaan yang bernama Lamuri di Aceh. Ketika terjadi peperangan antara Kerajaan Indra Purba melawan Kerajaan Sendu yang berlangsung pada tahun 1059 hingga 1069, terdapat nama seorang pemuda gagah bernama Meurah Johan yang turut membantu bala tentara Indra Purba. Kerajaan Sendu sejatinya merupakan kerajaan lokal yang telah dikuasai oleh seorang putri Cina bernama Nian Nio yang langsung menahbiskan diri sebagai Ratu Sendu. Penyeranganya ke kerajaan Indra Purba dilatarbelakangi oleh kepentingan perluasan wilayah. Dalam perang yang semakin dahsyat itu, datang utusan kerajaan yang meminta Meurah Johan untuk membantu penguatan pasukan. Kala itu Meurah Johan sedang melakukan kegiatan dakwah bersama rombongan Syiah Hudan dari Dayah Cot Kala tak jauh dari tempat itu. Permintaan itu pun disanggupi. Setelah memperoleh restu gurunya, Meurah Johan maju ke medan laga dan tak lama kemudian mampu mengusir dan mengalahkan bala tentara Sendu.
73
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian (New York: W.W. Norton, 1930), hlm. 157. 74 Manuel Komroff, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157.
56
Atas keberhasilannya itu, Raja Indra Purba beserta seluruh rakyatnya menyatakan keislamannya. Kemudian, Meurah Johan mendirikan Kerajaan Lamuri pada tahun 1225 dan ia pun naik tahta menjadi raja utamanya bergelar Sultan Johansyah.75 Sumber lain mengatakan sebenarnya Lamuri (Lam Urik) bukanlah nama kerajaan, melainkan hanya merupakan bandar dagang ramai yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Indra Purba.76 Dengan kata lain, daerah Lamuri merupakan pemberian Raja Indra Purba kepada Meurah Johan. Keberadaan Lamuri nyatanya menimbulkan perdebatan tak berkesudahan di kalangan sejarawan. Arun Kumar Dasgupta merujuk pada catatan Chao Ju-Kua tahun 1225 mengatakan bahwa Lamuri adalah suatu kekuatan yang independen dan netral dari dominasi Sriwijaya yang memegang peranan sentral dalam perpolitikan abad 13 di Sumatra. Senada dengan hal tersebut, Coedes juga meyakini bahwa Lan-wu-Li (sebutan Lamuri berdasarkan dokumen Cina) merupakan kekuatan independen di masa itu.77 Namun pendapat yang kuat dan banyak dijadikan rujukan adalah bahwa Lamuri, sesuai dengan yang diberitakan Ceng Ho, Marco Polo, dan Ibnu Batutta, merupakan nama kerajaan. Di atas kerajaan inilah kemudian dibangun kerajaan Aceh.78 Dengan kata lain, sebenarnya kerajaan Lamuri merupakan cikal bakal kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Johansyah dicatat sebagai raja pertama kerajaan Aceh.79
75
Ar. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (Bandung: Kurnia Bupa, tanpa tahun), hlm. 67-68. 76 Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya hingga Abad XVI ,” dalam. A. Hasjmy, ed, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (ttp: al-Maarif, 1981) hlm. 190. 77 Arun Kumar Dasgupta, Acheh in Indonesian Trade and Politics: 1600-1641 (England: University of Microfilm, 1962) hlm. 7. 78 Anas Machmud, “Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera,” dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk Islam ..., hlm. 286. 79 H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 592.
57
Kenyataan yang signifikan untuk diungkapkan, adalah bahwa Lamuri memainkan peran penting sebagai avenue of commerce atau kutub perdagangan dunia Timur dan Barat. Lamuri telah menjalin kerjasama niaga dengan Cina. Kerajaan ini juga memiliki andil besar dalam lancarnya perdagangan global di Selat Malaka.80 Dari sini, diyakini bahwa kapal dagang asing telah banyak yang berlayar ke sana di masa itu. Kerajaan Aceh yang lebih dikenal kemudian hari, semakin berkembang sebagai kerajaan dengan nuansa kemaritiman yang pekat. Sultan Johansyah dan para penggantinya saling bahu membahu melanjutkan estafet modernisasi. Sejarah mencatat, salah satu pembangunan fisik yang sibuk dilakukan oleh Raja Aceh, adalah terjadi ketika kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Alaiddin Inayat Syah Johan Syah (1408-1465), raja ke enam Aceh. Sang sultan menyeponsori pendirian istana di Darul Kamal (Daroy Kamomeu) dan memindahkan pusat pemerintahan dari Ramni (Lamuri) yang terletak di Kampung Pandee ke Darul Kamal. Istana tersebut juga dipercantik dengan kolam dan taman yang indah bagi permaisurinya. Sebelum turun tahta, Alaiddin Inayatsyah membagi kerajaan Aceh menjadi dua yang diperuntukkan bagi kedua anaknya. Pusat pemerintahan di Darul Kamal diperintah oleh Muzaffarsyah, ia didapuk menjadi pewaris ayahnya menjadi raja ke 7 Aceh. Anaknya yang lain, Munawarsyah menempati pusat pemerintahan di Mekuta Alam yang terletak di seberang sungai Aceh (Krueng Cedaih). Dualisme kerajaan ini kembali melebur ketika Sultan Syamsu Syah bertahta (1497-1514), raja ke 8 Aceh. Ia merupakan anak dari Munawarsyah. Penyatuan ini terjadi ketika ia meminang putri pamannya, Muzaffarsyah, yang kemudian setelah melalui beberapa usaha politik internal yang rapi, penyatuan kerajaan dapat terjadi. A.K. Dasgupta juga mendukung pendapat yang mengatakan bahwa sosok yang menjadi pemersatu Aceh adalah Syamsu Syah.81
80 81
A. K. Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 7. Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 36.
58
Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Segolongan ada yang meyakini Aceh Darussalam merupakan kelanjutan atau merupakan pengembangan lebih lanjut dari kerajaan Aceh yang didirikan oleh Meurah Johan. Yang lain percaya bahwa Aceh Darussalam baru timbul ketika Ali Mughayyatsyah bertahta. Pendapat demikian diyakini oleh Anthony Reid.82 Lebih lanjut menurutnya, kesultanan Aceh adalah buah dari penaklukkan Ali Mughayyat Syah atas seluruh pantai utara yang diselesaikannya hanya dalam waktu 4 tahun (1520-24). Hal ini dilakukannya karena menimbang kebenciannya pada Portugis yang di saat yang sama sedang giat-giatnya melakukan intervensi di sekitar Aceh. Bahkan, dari beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa pengangkatan Ali Mughayyat Syah dikaitkan dengan wahyu Ilahi yang datang padanya oleh sebab darah kedinastian para pendahulunya. Catatan pertama dalam Bustanus Salatin mengungkapkan bahwa raja pertama Aceh adalah Ali Mughayyat Syah.83 Jika mencermati uraian ini, maka persepsi yang terbentuk adalah bahwa Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang baru dibangun masa Ali Mughayyat Syah. Pendapat berbeda diungkapkan oleh H.M. Zainuddin yang mengungkapkan bahwa Ali Mughayyat Syah merupakan raja Aceh yang mempersatukan Aceh dengan daerah-daerah sekitarnya sehingga membentuk Aceh Raya. Ia merupakan putra dari raja ke 8 Aceh, Sultan Syamsu Syah. Ayah Ali Mughayyat Syah inilah yang memiliki inisiatif untuk menyatukan Aceh serta membentuk kerajaan Aceh Raya yang baru terjadi ketika anaknya Ali Mughayyat Syah bertahta. Peristiwa ini terjadi pasca keberhasilan Aceh memukul mundur pasukan Portugis dari Pidie (Pedir).84 Jatuhnya Malaka benar-benar membawa angin segar bagi geliat perniagaan maritim Aceh. Setelah memantapkan posisinya secara politis, Portugis mulai memberlakukan kebijakan-kebijakan 82
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 93. 83 Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 93. 84 H.M. Zainuddian, Tarich Atjeh ..., hlm. 392-394.
59
anti-Islam yang berujung pada eksodus besar-besaran para pedagang Muslim lintas negeri dari sana. Banyak dari pedagang itu memilih pelabuhan-pelabuhan Aceh sebagai kelangsungan perekonomian mereka. Portugis juga memberlakukan blokade bagi armada-armada dagang Muslim untuk tidak melewati rute tradisional yakni melalui selat Malaka dan mengalihkan mereka via pesisir barat Sumatra kemudian masuk laut Jawa dengan melalui selat Sunda. Kenyataan tersebut membawa keuntungan sendiri bagi perdagangan internasional Aceh dan hal yang sama terjadi pada Banten (Bantam). Diaspora pedagang Muslim banyak yang tertambat di pelabuhan Aceh dan Banten. Dijelaskan pula oleh Dasgupta, sebenarnya yang menuai keuntungan besar bukanlah pelabuhan di Aceh Besar, melainkan Pasai. Pada permulaan abad 16, Pasai dan Pedir merupakan pusat perdagangan di kawasan selat Malaka. Sedangkan kawasan selain dua negeri itu, termasuk pelabuhan Aceh Besar, merupakan pilihan alternatif bagi para pedagang Muslim.85 Baik Pasai maupun Pedir akhirnya mampu dikuasai Aceh, masing-masing pada 1524 dan 1521.86 Di kemudian hari dua pelabuhan ini menjadi spot pertarungan yang mempertajam pertikaian Aceh dan Portugis. Selain dikenal sebagai sentra perdagangan dunia, Aceh Darussalam juga merupakan kerajaan Islam yang memiliki pengaruh kuat di sebagian besar Sumatra dan Semenanjung Malaya. Teuku Iskandar menyebutkan bahwa daerah kekuasaan Aceh, merujuk pada surat yang dikirimkan Raja James I dari Inggris dikatakan bahwa pada pantai bagian timur (Sumatra) mencakup Lubuk, Pidir (Pedir), Samarlanga, Pesangan, Pasai, Perlak, Besitang, Tamiang, Deli, Asahan, Tanjung, Panai, Batu Sawar, Perak, Pahang dan Inderagiri, sedangkan di pantai barat meliputi Calang, Daya, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida, Inderapura, Selebar, Palembang dan Jambi. Dengan pengecualian
85
Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 34-35. Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) hlm. 40. 86
60
Palembang dan Jambi, dalam masa yang pendek atau panjang, seluruh kerajaan itu termasuk dalam wilayah teritorial Aceh.87 Terlihat dari uraian di atas, Aceh ingin agar wilayah Sumatera dan Semenanjung Malaya, hendaklah berada di bawah pengaruhnya. Ini tentu berhubungan dengan kekhawatiran pejabat istana Aceh terkait aktivitas bangsa Eropa yang semakin gigih melakukan diplomasi dengan penguasa lokal. Selain Portugis, VOC pun kerap melakukan manuver politik agar maksudnya untuk menjalin kerjasama perdagangan dapat tercapai. Palembang dan Jambi merupakan pengecualian, oleh sebab dua kerajaan itu juga memiliki pengaruh politik yang cukup kuat di sekitar pantai Timur Sumatra bagian tengah. Hal ini bisa dibuktikan pada kebijakan luar negeri dua kerajaan itu, yang dalam penetapannya tidaklah perlu diketahui atau bahkan diintervensi oleh Aceh. Misalnya saja, pada 1616, Palembang menjalin kerjasama dengan VOC dalam bidang perdagangan. Andreas Soury, wakil VOC di Jambi mengirim hadiah ke Raja Palembang, Pangeran Madi Ing Angkoso (memerintah 1594-1627). Bersamaan dengan itu, diutarakanlah keinginan VOC untuk menjalin kerjasama dengan Palembang. Menginjak 1619, telah berdiri kantor perwakilan dagang VOC di Palembang.88 Aktivitas VOC di kerajaan ini tetap terjaga hingga munculnya ketegangan, antara Palembang dan VOC, yang terjadi akibat perjanjian 20 Oktober 1642.89 Jika Andreas Soury berada Jambi, maka bisa dipastikan bahwa di wilayah itu, yang menurut informasi di atas Jambi masuk wilayah Aceh, telah terdapat aktivitas VOC. Seiring dengan majunya perdagangan, maka berdampak positif pula pada perkembangan ilmu pengetahuan di tengah 87
Teuku Iskandar, “Aceh ad a Muslim-Malay Cultural Centre (14th – 19 th Century”, makalah dipresentasikan pada First International Conference Aceh and Indian Ocean Studies, pada 24 – 27 di Banda Aceh, hlm. 17-18. 88 Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam; Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial Belanda (Ciputat: Logos Institut, 1998) hlm. 70-71. 89 Perjanjian ini memungkinkan pihak VOC untuk mempengaruhi kebijakan dalam dan luar negeri Palembang. Lihat Husni Rahim, Sistem dan Otoritas ..., hlm. 72.
61
masyarakatnya. Sejak masa yang lama, bahkan sebelum Aceh Darussalam berdiri, Aceh telah dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan di kawasan Asia Tenggara. Ketika Kerajaan Pasai berada pada masa keemasannya, wilayah Aceh sudah dikenal memiliki reputasi sebagai kiblat keilmuan di mata kerajaankerajaan tetangga. Untuk mendukung pernyataan ini, terdapat beberapa cerita masa lalu yang dapat memperkuat anggapan demikian. Suatu ketika, Sultan Mansur Syah (wafat 1477) Raja Malaka menerima hadiah dari Maulana Abu Bakar, seorang ulama yang mengunjungi Malaka, yakni sebuah kitab berjudul Darul Mazlum, karya Maulana Abu Ishaq. Maulana Abu Bakar sendiri tak lain adalah murid dari sang penulis kitab. Setelah menerima kitab tersebut, Mansur Syah meminta sorang ulama Pasai, bernama Makhdum Patakan untuk menerjemahkannya. Di waktu yang bersamaan, penguasa Malaka ini juga menanyakan beberapa persoalan keagamaan. Bahkan pada masa Sultan Mahmud Syah (wafat 1530), pernah mengirim delegasi di bawah pimpinan Tun Muhammad untuk menanyakan beberapa persoalan teologi ke Pasai. Ketika Aceh Darussalam mulai naik menjadi pusat peradaban, perlahan namun pasti, posisi Pasai sebagai kota ilmu diambil alih oleh Banda Aceh, ibukota Aceh Darussalam. Tradisi kedatangan para ulama dari mancanegara terus berlanjut. Terdapat renovasi fungsi ulama di Aceh pada abad 17. Keberadaan ulama bukan lagi hanya terbatas mengurusi masalah keagamaan namun juga merambah pada dimensi kenegaraan dan politik. Peran barunya ini membuat kalangan agamawan dapat meramaikan tradisi intelektual di lingkungan istana. Kedudukan mereka bukan dianggap sebagai politikus murni, melainkan tetap dipandang sebagai tokoh agama dan ilmuwan.90 Oleh karena banyaknya bangsa asing yang berkunjung ke Banda Aceh, membuat kota ini menjadi kota kosmopolit yang bercirikan pada kemajemukan dan keterbukaan. Realitas tersebut 90
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 156-158.
62
turut pula merevolusi pandangan budaya masyarakat kota, dari sebelumnya terlokalisir menjadi heterogen baik suku bangsa maupun budayanya. Salah satu bentuk kasus yang menarik adalah diberlakukannya bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, bukan bahasa Aceh. Dalam pada itu, Leonard Y. Andaya menyebut kota Aceh ini sebagai “model masyarakat Melayu Aceh abad 17”.91 Hal posistif yang didapat dalam fenomena ini adalah bahwa Aceh Darussalam telah berhasil membangun standar komunikasi Melayu-Islam yang lebih baik ketimbang apa yang dilakukan oleh Malaka. Walaupun dapat dikatakan bahwa Aceh abad 17 belum sepenuhnya merupakan pewaris kebudayaan Melayu kerajaan Malaka, namun kerajaan ini telah berhasil memodifikasinya dengan citra islami yang lebih kuat.92 Potensi kemanusiaan dan ekonomi yang melimpah membuat Aceh menginjak abad 16 hingga pertengahan abad 17 menjadi kerajaan terkemuka di Asia Tenggara. Stabilitas politik dan sosial yang terjaga, merupakan modal penting dalam mengagendakan kebijakan-kebijakan politik jangka panjang. Sebagaimana telah diutarakan, keinginan pihak kerajaan Aceh menjungkalkan Portugis merupakan agenda politik luar negeri yang belum terselesaikan. Dalam upayanya membendung pengaruh Portugis, para penasehat perang dan jendral Aceh berdiskusi panjang mengenai kemungkinan memodernisir alutsista serta ketentaraan Aceh. Ketika hasilnya disodorkan kepada Sultan Aceh, ia pun menanggapi dengan positif. Momen penting dalam sejarah kemiliteran kerajaan ini adalah ketika membuka hubungan dengan Turki Usmani, kerajaan Islam yang dipandang sebagai pemimpin dunia Islam. Bantuan Turki yang cukup besar bagi Aceh pertama kali dicatat berangka tahun 1537 atau 1538; tidak lama sebelum atau setelah armada Turki di bawah pimpinan Suleiman Pasha, 91
Leonard Y. Andaya, “The Seventeenth Century Acehnese Model of Malay Society”, makalah dipresentasikan pada pertemuan tahunan AAAS (American Association of Asian Studies) di Boston, 11-14 Maret 1999. 92 Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 167.
63
gubernur Mesir, menghancurkan suatu armada Portugis. Pada 1537, Turki mengajak negeri-negeri Islam lewat pengiriman utusan ke Gujarat dan pelabuhan-pelabuhan Arab guna meminta dukungan bagi serangan atas Portugis. Reid menduga para penguasa Turki sudah mengenal duta-duta dagang Aceh yang memasok kebutuhan lada ke Turki.93 Besar kemungkinan bantuan ini kemudian digunakan Aceh untuk mengadakan gempuran pertama atas Malaka pada September 1537. Bantuan itu diterima Aceh ketika kerajaan ini berada di bawah tampuk Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568). Nuruddin ar-Raniri sempat mengabadikan usaha Sultan alKahar membangun hubungan diplomatinya dengan Turki, yang tercatat dalam karyanya, Bustanussalatin, berikut ini:94 ... Ialah yang mengadatkan segala istiadat kerajaan Aceh Darussalam. Dan menyuruh utusan kepada Sultan Rum ke Negeri Istambul.karena menikahkan agama Islam. Maka dikirim Sultan Rum daripada jenis utus dan pandai yang tahu menuang bedil. Pada zaman Sultan itulah dituang orang mariam-meriam yang besar-besar. Bantuan berupa Pasukan serta persenjataan yang didatangkan dari Turki tersebut digunakan pula untuk memperlebar pengaruh Aceh dengan mengadakan serangkaian penundukkan. Orang-orang Batak dan kerajaan Aru – kekuasaannya pernah meliputi timur laut Sumatra – merupakan sebagian lawan Aceh yang merasakan serangan sporadis tentara bantuan Turki. Kendati hubungan diplomatik Aceh dengan Turki hampir seluruhnya berada pada masa stagnansi menginjak tahun 1580, tidak berimplikasi pada pengaruh yang ditularkannya dalam tradisi kemiliteran Aceh. Taktik militer, teknik menggunakan senjata maupun artileri telah mendarah daging di kalangan prajurit Aceh 93
Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 70. Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 13. 94
64
berkat ajaran para guru-guru militer Turki yang kemudian meninggalkan Aceh. Salah satu kegemilangan yang ditunjukkan pasukan Aceh yang dipengaruhi oleh langgam militer Turki, adalah terjadi ketika penaklukkan Deli pada 1612. Kala itu sepasukan Aceh membangun parit-parit guna melontarkan serangan ke dalam kota yang dipertahankan dengan baik oleh Portugis.95 Besar kemungkinan metode bertahan-menyerang macam ini berasal dari Turki. Baikuni Hasbi menyitir kesaksian Ferdinand Mendez Pinto, seorang pelaut Portugis, yang berada di Aceh pada tahun 1539, tentang kebenaran orang Turki di Aceh. Saat itu, ia melihat 300 orang prajurit Turki yang ikut serta dalam perang melawan Suku Batak yang terjadi pada tahun 1540. Ia juga menerangakn bahwa saat itu para pasukan Turki membawa senjata-senjata canggih yang membantu kemenangan Aceh atas lawannya. Keberadaan bantuan Turki ini, sebenarnya telah lama ditunggu-tunggu oleh Sultan Aceh. Penyebutan “ditunggu-tunggu” dalam catatan Pinto ini, menurut Baikuni mengesankan bahwa sebenarnya hubungan Sultan Aceh dengan Turki terjalin lebih awal, dibandingkan dengan bukti-bukti tertulis yang ada. Dalam sumber lain dikatakan bahwa hubungan antara Aceh dan Turki baru terjalin pada 1560, 20 tahun lebih lambat dari yang dipaparkan Pinto.96 Oman Fathurrahman mengakui, studi mengenai hubungan Turki dengan Aceh, termasuk koneksi intelektual, memang masih jarang. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada sama sekali pengaruh Turki di Asia Tenggara, termasuk Aceh. Misalnya saja kitab Barzanji, yang ditulis oleh Ja‟far bin Hasan bin Abd alKarim al-Barzanji (1690-1766), adalah anggota dari keluarga ulama dan Syekh tarekat yang berpengaruh di Kurdistan Selatan, yang memasukkan pengaruh Kurdi di Asia Tenggara. Martin van Bruinessen mengakui bahwa Kitab Barzanji merupakan teks keagamaan yang populer di Nusantara. Dalam contoh lain, Baba Dawud al-Jawi bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al95
Lebih lanjut mengenai hubungan Aceh dengan Turki, lihat Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 68-87. 96 Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Ustmani (LSAMA: Banda Aceh, 2011) hlm. 53.
65
Rumi, membantu Syekh Abdurrauf Singkel menyelesaikan salah satu karyanya yang berjudul Tarjuman al-Mustafid, suatu tafsir alQur‟an berbahasa Melayu, sebagaimana yang tertulis dalam kolofon di teks aslinya.97 Perkembangan keilmuan dan peradaban semakin meninggi, manakala Aceh berada di bawah kekuasaan Iskandar Muda yang naik tahta pada tahun 1607. Jika sebelumnya perkembangan Aceh banyak diutarakan seputar perkembangan politik dan militer, maka sektor agama, perdagangan, sosial, arsitektural dan tata kota mengalami perkembangan pesat di era kepemimpinan raja ini. Denys Lombard menyebutkan bahwa di era Iskandar Muda, Aceh Darussalam berupaya meningkatkan devisa kerajaan melalui monopoli perdagangan. Lada menjadi salah satu komoditas yang kerap dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan berlebih dari sektor ini. Orang-orang asing yang ingin berniaga di bandar-bandar kekuasaan Aceh diwajibkan memperoleh surat pas sesuai dengan aturan kerajaan. Bea cukai menjadi sektor pendapatan organisasi pelabuhan yang juga menjanjikan bagi pertambahan kas kerajaan. Augustin de Beaulieu, yang mengunjungi Aceh pada 1620-1, menerangkan bahwa bea cukai Aceh semakin bertambah melimpah setiap tahunnya.98 Lewat perdagangan ini, Aceh berusaha untuk menjadi yang paling terkemuka dalam sektor perdagangan. Jatuhnya Malaka pada 1511, benar-benar menimbulkan berkah tersendiri bagi perkembangan niaga Aceh, terutama dari penjualan lada. Lada dimanfaatkan pihak kerajaan untuk mendapatkan untung yang berlimpah dari berbagai kapal mancanegara yang dinggah di Aceh, antara lain berasal dari Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, Keling, Pegu dan bangsa lainnya.99 97
Oman Fathurrahman, “New Textual Evidence for Intellectual and Religious Connections between the Ottomans and Aceh” dalam A.C.S. Peacock and Annabel Teh Gallop, ed, From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks and Southeast Asia (Oxford: Oxford University Press, 2015) hlm. 293-294. 98 Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 137-138. 99 Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 136.
66
Melalui keuntungan perniagaan Aceh pun membangun faslitas keagamaan yang lebih baik. Di masa ini, masjid Baiturrahman dibangun. Merujuk pada penjelasan Ar-Raniri, di masa ini, sang raja banyak membangun masjid-masjid di tempat lainnya.100 Dari masjid-masjid inilah yang kemudian menginisiasi pendirian lembaga pemerintaha tingkat desa yang disebut mukim.101 Dengan begitu dapat dikatakan bahwa dimensi keagamaan Aceh yang tercermin melalui banyaknya pendirian masjid, telah ikut memodernisir tata pemerintahan pedesaan agar lebih teratur dan senantiasa terhubung dengan pemerintah pusat. Kerajaan juga memikirkan tentang kelangsungan hidup warga miskinnya dengan rutinitas pemberian santunan pada setiap hari Jumat.102 Masjid di abad 16 dan 17, kerap difungsikan juga sebagai tempat pendidikan. Banyak ulama dari India, Turki, Arab dan Persia yang didatangkan untuk memberikan kuliah mengenai pelbagai disiplin ilmu keagamaan. Di samping itu, untuk menunjang kepakaran para sarjana, kerajaan juga membangun sarana tempat diskusi yang secara berkala mengadakan pertemuan keilmiahan. Di antara bangunan itu adalah Balai Setia Hukama, Balai Setia Ulama dan Balai Jamaah Himpunan Ulama.103 Infrastruktur keagamaan yang telah banyak terbangun membawa dampak positif bagi perkembangan Aceh selaku sentra keilmuan. Banyak ulama-ulama terkenal yang bukan hanya dikenal melalui kebesaran namanya semata, melainkan juga karya yang yang telah mereka buat. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin asSumatrai104 merupakan dua ulama yang amat dikenal pada periode 100
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 16. 101 Ridwan Azwad, peny, Lembaga-lembaga Tradisional di Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 2. 102 Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 16. 103 M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) hlm. 118. 104 Dua nama ulama ini kerap disebutkan pernah bertemu bahkan ada yang menganggapnya memiliki hubungan guru-murid. Hasil temuan Ludvik Kalus dan Claude Guillot menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri sama sekali tidak pernah berdekatan dengan pergaulan istana Aceh era Sultan Alauddin,
67
ini. Nama yang pertama dikenal sebagai seorang mistikus sufi yang banyak menulis syair tasawuf seperti Syair Perahu, Syair Si Burung Pangai, Syair Dagang dan lain-lain.105 Syamsuddin asSumatrai diketahui merupakan ulama pendamping pemerintahan Iskandar Muda. Ar-Raniri menyebut as-Sumatrai sebagai ulama pakar tasawuf yang mengarang beberapa kitab.106 Sejumlah tulisan as-Sumatrai antara lain adalah Mir’at al-Mu’min, Mir’at alMuhakkikin, Syarh Rubba’i Hamzah Fansuri dan lain-lain.107 Era kekuasaan Sultan Iskandar Thani merupakan era di mana peradaban Aceh mulai dipenuhi dengan pelbagai perkembangan arsitektur yang artistik. Di masa inilah dibangun kebun luas yang indah bernama Taman Gairah. Taman ini dipenuhi dengan tumbuhan aneka jenis dan di tengahnya dialiri sungai. danau juga dibangun di tengah taman. Pintu Khop dan Gunungan, salah satu bangunan indah di Banda Aceh kini, dibangun pada masa Iskandar Thani.108
apalagi era Sultan Iskandar Muda. Ia dikatakan sudah meninggal di Mekkah pada tahun 1527, saat kerajaan Aceh baru saja lahir. Di salah satu batu nisan di pekuburan Bab al-Ma‟la di Mekkah bertuliskan nama Syaikh Hamzah bin Abdullah al-Fansuri yang meninggal pada 9 Rajab 933 H atau 11 April 1527. Jika melihat pada rentang waktunya, besar kemungkinan antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrai tidak pernah berjumpa. Lihat Ludvik Kalus dan Claude Guillot, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008) hlm. 71 – 72. Temuan Kalus dan Guillot ini mendapat sanggahan dari V.I. Braginsky yang mempertanyakan otentisitas dokumen yang dijadikan sumber utama. menurutnya, sumber inskripsi itu perlu dipertanyakan, mengingat yang didapat oleh Kalus dan Guillot adalah kopian dan bukan batu nisan aslinya. Sepertinya dokumen tersebut sudah tidak mungkin lagi dicocokkan kembali, diperiksa ulang dan dihadapkan dengan dokumen aslinya. Lihat V.I. Braginsky, “On the Copy of Hamzah Fansuri‟s Ephitat Published by C. Guillot & L. Kalus”, Archipel 62, 2001, hlm. 21-23. 105 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: P.T. Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981) hlm. 248. 106 Nuruddin Ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 15. 107 M. Dien Madjid, Catatan Pinggir ..., hlm. 126. 108 Nuruddin Ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 25-27.
68
B. Aceh Melawan Portugis Kedatangan Portugis di belahan barat Nusantara membawa akibat besar dalam bidang politik dan ekonomi. Pada tahun 1511, terdapat 19 kapal Portugis yang dipimpin Alfonso d‟Albuquerque menuju pulau Sumatera. Motif kedatangan Portugis didasari oleh semangat menemukan dunia baru dengan maksud untuk mendapatkan hasil bumi berupa rempah-rempah yang dibutuhkan Eropa dengan harga yang lebih murah. Seperti bangsa Eropa lainnya, Portugis melakukan pelbagai upaya guna mendapatkan laba besar dari hasil dagangnya. Kantor dagangnya dibangun berbarengan dengan mengkonstruksi tata kelola bidang pertahanan. Portugis tak segan untuk menggunakan jalur politik, dengan mengambil hati para raja lokal, Bahkan jika terdapat raja yang berseberangan dengan kepentingan mereka, ultimatum peperangan pun kerapkali mereka lakukan untuk membuat raja itu gentar. Pelan namun pasti, Portugis bukan saja mengalami penguatan dalam segi ekonomi tetapi juga pengaruh politik di utara Sumatera yang diupayakannya sebagai sarana memperkokoh diri sebagai penguasa .109 Menurut Abdul Aziz bin Zakaria, munculnya Portugis dalam dunia pelayaran dan perniagaan mempunyai tujuan konkret yakni untuk menggunting jalur relasi orang-orang Arab dengan dunia Timur. Pada mulanya, penaklukan Aden yang merupakan salah satu dermaga dagang teramai di Asia selain Jeddah dan Malaka, oleh Portugis dianggap cukup sebagai pelajaran bagi para saudagar Muslim. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, rombongan dagang Arab masih saja bebas lalu lalang. Dengan mengusai Malaka, agaknya niat mereka-walaupun tidak semuanya tercapai-boleh dikatakan terpenuhi. Malah, dalam beberapa pertimbangan ekonomis dipandang lebih menguntungkan. Malaka yang sejatinya merupakan pelabuhan ramai di kawasan selat selain
109
H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I (Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hlm. 161.
69
aktif dikunjungi orang Arab, juga dipenuhi pula oleh orang Cina dan Jepang.110 Pada tahun 1521, setelah sebelumnya terlibat dalam perang saudara kerajaan Pasai, Portugis mampu menyisihkan Sultan Zainal Abidin Raja Pasai sebelumnya, dan mendirikan benteng yang kuat di kerajaan itu. Pun dengan yang terjadi di Pedir, Portugis berhasil melemahkan Raja Pedir yang dilanjutkan dengan pembangunan basis militer yang kuat. Jatuhnya dua kerajaan ini semakin menyemburatkan rona merah di langit-langit Aceh. Peristiwa ini ditafsirkan sebagai sebuah seruan untuk memanggul senjata dan mengusir bangsa Portugis dari tanah Aceh. Sebenarnya, friksi tajam yang membelah Aceh dan Portugis tidak saja terpantik ketika telah menyinggung Malaka. Nun jauh di perairan internasional, yakni di Samudera Hindia, para pelaut Aceh sudah kenyang dianiaya oleh para perompak Portugis. Pada tahun 1534, Diogo de Silveira dengan kapal-kapal perang Portugis di bawah komandonya, menjarah kapal dagang saudagar Gujarat dan Aceh di kawasan pintu masuk perairan laut Merah. Hal seperti ini rajin dilakukan Portugis untuk memadamkan gelora eksistensi Laut Merah yang kala itu sedang bergeliat sebagai kiblat perdagangan dunia pada abad ke 16. Sumber-sumber Portugis melansir pada bulan Juni 1564 sekitar 23 kapal yang memuat 1800 kuintal lada dan 1300 kuintal rempah-rempah yang lain, dibawa dari Aceh, Baticola, dan Malabar memasuki Jeddah. Aktivitas perdagangan ini lantas mendongkrak surplus Jeddah yang berakibat pada surutnya harga rempah dan lada di tempat lain. Keadaan ini cukup menggusarkan Portugis yang sejak lama bercita-cita menjadi kampiun distributor utama rempah yang sebelumnya dipegang oleh Mesir dan Italia. Untuk meluluskan keinginannya itu, serangkain serangan laut disiapkan untuk memukul para pelaut dan saudagar dari negeri lain, tak terkecuali Aceh. Pada tahun 1554/1555, dua rombongan kapal perang disiagakan di pintu masuk laut Merah mengemban 110
Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan Kekuasaan Portugis di Melaka ( London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 37.
70
perintah mencegat misi dagang Gujarat dan Aceh. Ekspedisi serupa juga dikirim ke Suwaihili. Selanjutnya pada tahun 1559, dua kapal besar dan 18 perahu dayung yang dipersenjatai, diutus ke laut Merah dengan misi yang sama. alih-alih memetik buah yang manis, ekepedisi-ekpedisi yang konon menelan biaya super mahal di zamannya ini gagal total menjalankan tugasnya.111 Adalah Sultan Ali Mughayat Syah (memerintah pada 15141530), Sultan Aceh yang dikenang sebagai pahlawan besar yang mengusir Portugis dari bumi Rencong. Di tengah persiapan Aceh menyambut badai Portugis itu, tiba-tiba ketentraman ruang publik Aceh digetarkan oleh hadirnya suatu percobaan sepasukan armada Portugis di bawah pimpinan Gaspar de Costa di Kuala Aceh pada tahun 1519. Pihak Aceh pun kemudian memberangkatkan pasukannya untuk menghadang laju lawannya. Oleh karena pengetahuan medan yang mumpuni, pasukan Aceh bisa memukul mundur Portugis secara telak. Beberapa awak kapal Portugis terbunuh dalam insiden tersebut, sementara yang lain, termasuk de Costa sendiri berhasil ditawan. De Costa akhirnya dibebaskan oleh Nina Cunapam, Syahbandar Malaka, yang membayar tebusan kepada Raja Aceh. Sang Syahbandar membawa de Costa kembali ke Malaka. Tidak lama berselang, sebuah kapal dagang Portugis di bawah pimpinan Joao de Lima diserang di dekat pelabuhan Aceh. Dalam penyerbuan ini, semua orang Portugis mati terbunuh. Kejadian ini membuat marah d‟Albuquerque . Pada tahun 1521, dibentuklah armada perang yang lebih besar dan kuat yang kali ini dipimpin oleh panglima Jorge de Brito dengan diperkuat 200 tentara. Mereka berangkat dari pangkalan perangnya di sebelah barat India. Dengan lantang dan penuh rasa dendam mereka menuju perairan Aceh. Tak lama kemudian, selaksa kapal tempur Aceh menghampiri mereka dengan pekik takbir yang membahana. Segera, terjadi perang tanding di antara keduanya. Sumber lain memberitakan bahwa kekuatan tempur Aceh saat itu terdiri dari 8000 pasukan dan 8 gajah. Untuk kali kedua, serangan Portugis dapat dipatahkan. De Brito sendiri tewas dalam pertempuran. Sisa-sisa armada Portugis lari tunggang langgang 111
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 57-58.
71
menuju Pedir, yang saat itu sudah menjadi sekutunya. Di pihak lain, bukannya kembali, pasukan Aceh memutuskan untuk mengejar mereka ke manapun mereka lari. Setibanya di Pedir, sisa-sisa Portugis yang dibantu pasukan koalisi Pedir mampu dilumpuhkan. Sisa-sisa pasukan tersebut kembali pulang ke Pasai yang diikuti pula oleh Sultan Ahmad, Raja Pedir. Seperti halnya yang terjadi di Pasai, perang yang digelar pasukan Aceh tak dapat dielakkan. Tanpa mengenal kata lelah, mereka membobol pertahan koalisi pasukan musuh dan memengankan pertempuran tersebut. Selain itu, pasukan Aceh mendapatkan beragam persenjataan Portugis yang berserakan di medan perang. Selain senjata, pasukan Aceh juga mendapatkan sebuah lonceng besar yang disebut “Cakra Donya”. Lonceng ini masih dapat dilihat di pelataran Museum Aceh di Banda Aceh.112 Dalam kampanye perang ini, pasukan Aceh dikomandoi oleh Ibrahim yang tak lain adalah adik Sultan Ali Mughayyat Syah.113 Dengan keberhasilan mengusir Portugis dari Daya (1520), Pedir (1521), dan Pasai (1524), Ali Mughayyat Syah berhasil merentangkan pengaruh Aceh yang kuat di atas supremasi tiga kerajaan itu. Adanya pengaruh Portugis di kerajaan lokal seperti Pasai dan Pedir, merupakan bukti betapa Portugis ingin mengancam kedaulatan Aceh. Dua wilayah ini terletak di ujung daratan atas Sumatra. Jika wilayah ini tidak segera dikuasai Aceh, demikian hemat para ahli strategi Aceh, maka bukan tidak mungkin kedudukan ibukota Aceh Darussalam akan terancam. Terlebih jika musuh telah membangun kota berbenteng, seperti yang ditemui di kota Malaka, maka penundukan dua kerajaan ini tentu sulit dilakukan. Pasca penaklukan tiga kerajaan yang kedapatan bersekutu dengan Portugis di atas dan sesudah meninggalnya Ali Mughayyat 112
Terdapat distingsi informasi mengenai keberadaan lonceng Cakra Donya. Beberapa orang menganggap Lonceng ini merupakan peninggalan laksamana Cheng Ho yang pernah mengujungi Raja Pasai pada awal abad ke 15. Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 168. 113 Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 165-168.
72
Syah pada tahun 1350, tidak ada ekspedisi militer yang besar digelar antara kedua kekuatan yang saling berebut pengaruh itu. Sejarah mencatat, hanya ada dua insiden kecil yang terjadi akibat ekses dari friksi antara satu dengan yang lainnya. Insiden pertama terjadi pada tahun 1528, saat Simao de Sousa, dalam perjalanannya ke Maluku dari Cochin, terpaksa bersauh di pelabuhan Aceh karena kapalnya diterjang badai. Mengetahui kejadian itu, orangorang Aceh beramai-ramai mendatangi kapal itu dan seketika terlibat pertarungan seru antar kedua belah pihak. Pada akhirnya de Sousa dan mayoritas bawahannya mati. Kejadian tragis itu tidak hanya menimpa Portugis tetapi juga dialamatkan ke pihak Aceh. Adalah Fransisco de Mello yang ditugaskan oleh atasannya untuk memimpin sebuah kapal dalam perjalanan pulang dari Mekkah, mengangkut para penumpang yang selesai melaksanakan ibadah haji. Semua penumpang dan warga sipil itu dibunuh, terdiri dari 300 orang Aceh dan 40 orang Arab. Peristiwa sadis ini terjadi pada tahun 1527 di lepas pantai Aceh. Beberapa penggal wira carita Aceh melawan Portugis di atas, menunjukkan komitmen Aceh untuk menamatkan kiprah Portugis di seluruh perairan Sumatera dan sekitarnya. Beberapa waktu kemudian, kebulatan tekad ini ditumpahkan dengan menggelar persiapan perang raya untuk menggulung Portugis di Malaka pada bulan September 1537. Baris-baris pasukan perang ini dipimpin langsung oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Qahhar (memerintah 1537-1568), putra Ali Mughayyat Syah. Serangan dilakukan menggunakan manuver kejut yang didukung oleh sekitar 3000 tentara. Di malam pertama penyerangan, pasukan Aceh berhasil mendarat di Malaka. Namun dua malam berikutnya, mereka dipukul balik sehingga mereka dipaksa keluar ke perairan kembali dengan menderita banyak kerugian. Setahun setelah penyerangan pertama, Aceh menjulurkan serbuan kedua pada tahun 1547, angkatan perang Aceh diperkuat dengan 60 kapal dan 5000 pasukan. Pada babakan perang ini, legiun Aceh berhasil menepi ke Malaka pada malam hari, menduduki Upeh, membakar kapal-kapal Portugis yang diparkir di pelabuhan dan menawan tujuh pelaut Portugis. Rangkaian keberhasilan Aceh itu membuat nyali bertempur Portugis seketika 73
ciut dan mengurungkan diri untuk berperang. Namun, keadaan suram ini tidak berlangsung lama. Adalah Francis Xavier, tokoh agama Portugis yang menyerukan seluruh perangkat militer untuk berdiri tegap dan menyongsong setiap serangan dari lawan. Pada kesempatan itu, Xavier menekankan bahwa kehadiran Portugis di dunia Timur adalah mengemban amanah suci yang telah diberikan inspirasi oleh Tuhan.114 Kendati berhasil mengepung Malaka, pasukan Aceh tak kunjung berhamburan menyerbu Portugis, terlebih ketika datang informasi yang menyatakan pihak lawan mengurungkan niat untuk mengadakan perang terbuka. Untuk memperketat pengepungan Malaka, pasukan Aceh segera melakukan blokade atas daerah itu. Langkah ini dimulai dengan mendirikan sebuah benteng di Perlis sebagai pangkalan untuk menghancurkan semua kapal yang datang dari Goa, Bengal, Siam atau Pegu yang membawa pasokan makanan dan bala bantuan bagi Portugis yang sedang terkepung. Dengan jalan ini, para panglima Aceh berharap mampu menutup semua gerbang masuk bagian utara selat Malaka atas semua kapalkapal Portugis dan dengan ini pula semua pasukan Portugis akan semakin menderita dan mati kelaparan. Apa yang diduga pihak Aceh sebelumnya, pada kenyataannya jauh meleset. Tensi serangan yang setiap harinya semakin menurun, dimanfaatkan pasukan Potugis untuk membangun kembali taktik dan serangan mereka.115 Setelah persiapan selesai, mereka segera menyerbu pasukan Aceh di sungai Perlis dengan kekuatan 230 orang yang didukung oleh 10 kapal. Pada waktu yang sama, pasukan gabungan Johor, Perak, dan 114
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 45. Ahmad Jelani Halimi menjelaskan bahwa ketika Portugis menguasai Malaka, sektor pertahanan maritim menjadi salah satu prioritas Portugis dalam menjaga jalur-jalur perdagangan di sekitar Malaka. Beberapa pedagang selain pedagang Asia, yang kedapatan kapalnya dilengkapi senjata, baik ringan maupun berat, maka akan dipaksa untuk ikut memperkuat armada laut Portugis. Inilah kemudian satu hal yang melatarbelakangi mengapa benteng Malaka begitu kuat, sehingga Aceh amat kesulitan untuk menundukkannya. Lebih lanjut lihat Ahmad Jelani Halimi, Perdagangan dan Perkapalan Melayu di Selat Malaka Abad ke 15 Hingga Abad ke 18 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006) hlm. 37-38. 115
74
Pahang –yang bermusuhan dengan Aceh-disokong dengan 300 kapal perang dan 8000 prajurit berlayar menuju pelabuhan Malaka. Rombongan bantuan militer beberapa kerajaan Melayu ini ditengarai sebagai bentuk dukungan mereka terhadap Portugis, sekaligus untuk menghancurkan lingkaran blokade yang dibangun Aceh. Mereka menganggap Aceh sudah sedemikian jauh bertindak sehingga mengganggu kepentingan ketiga kerajaan itu. Di pihak lain, setelah melakukan pencarian pusat komando militer Aceh selama dua bulan, akhirnya ditemukan bahwa lokasi itu berada di sungai Perlis. Pasukan musuh langsung dialirkan ke tempat itu dan begitu kedua kekuatan berjumpa, tanpa menunggu waktu lama, pertempuran sengit pun terjadi, namun sayang, kali ini pihak Portugis berhasil mengalahkan pasukan Aceh.116 Keikutsertaan beberapa kerajaan Melayu dalam perang Aceh-Portugis merupakan salah satu indikasi betapa kentalnya aroma perebutan pengaruh di perairan Malaka. Kerajaan-kerajaan Melayu tersebut menyadari, mereka harus memihak salah satu di antara dua kekuatan besar itu dan mereka memilih Portugis sebagai pelindungnya. Memang, konsekuensi logisnya mereka akan tunduk pada Portugis, tapi paling tidak hal itu yang mereka bisa lakukan. Terlebih ketika menimbang jalannya peperangan, persenjataan Portugis serta pengalaman mereka menundukkan negeri-negeri India menjadi cukup bukti betapa Portugis memiliki peluang kemenangan yang lebih besar, demikian hemat para raja Melayu tersebut. Portugis dianggap sanggup untuk menangkal sebaran pengaruh Aceh yang massif. Pengalaman dalam beberapa pertempuran terakhir menjadi bukti bahwa bangsa ini seimbang dalam hal peperangan. Kelihatannya, raja-raja Melayu itu sudah tidak lagi memandang perbedaan agama dan ras dari Portugis dan yang ada dalam pikiran mereka adalah bagaimana memunculkan lawan sepadan dengan Aceh, paling tidak untuk menghambat agar mereka dapat menetukan arah kebijkan politik internasional dalam beberapa waktu berikutnya. 116
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 42.
75
Setelah pertempuran besar dan melelahkan itu, kawasan perairan selat Malaka kembali tenang. Tidak dijumpai lagi kesibukan luar biasa di dua kutub kekuatan di sekitar perairan itu. Meskipun demikian, pasukan Aceh tidak mengendurkan semangat dan masih ingin mengalahkan pasukan Portugis. Dengan kata lain, gesekan kuat masih melingkupi kedua belah pihak. Menginjak tahun 1564, sekitar 15 tahun pasca kekalahan Aceh di sungai Perlis, muncul kabar bahwa angkatan militer laut Aceh masih rajin melakukan serangan kecil dan sabotase di perairan Malaka. Keadaan perairan Malaka yang sempat tenang, kembali diramaikan dengan keberadaan perang lanjutan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Januari 1568. Untuk kesekian kalinya, Aceh bangkit lalu tampil berbekal pasukan bugar dan persiapan lengkap berbaris menuju dermaga lantas berlayar ke Malaka. Demikian pentingnya serbuan ini, sehingga Sultan Alaiddin Riayat Syah, Raja Aceh kala itu, bertindak sebagai panglima tertinggi. Sebagai bentuk kesungguhan menumpas musuh, istri dan tiga anak lelakinya ikut pula ke medan perang. Amunisi perang Aceh terdiri dari 300 kapal perang yang berkelompok-kelopok membelah selat Malaka.117 Selain didukung 15.000 personel yang berasal dari kekuatan Aceh dan negeri-negeri bawahannya, ekpedisi militer ini diramaikan dengan kehadiran pasukan elit dari Turki sebanyak 400 orang berikut 200 meriamnya. Kehadiran pasukan Turki ini merupakan dampak dari terjalin baiknya hubungan Aceh-Turki. Persediaan kekuatan yang besar ini dianggap cukup untuk menghancurkan Malaka, di mana saat itu Portugis tengah merayakan hari ulang tahun Raja Sebastian. Saat itu, pertahanan Malaka hanya dijaga oleh 1.500 orang, yang terdiri dari 200 orang Portugis dan selebihnya adalah laskar militer yang direkrut dari penduduk pribumi. Pasukan penjaga di bagian tertinggi benteng Portugis yang semula terlihat tenang mengawasi laut sekitar, seketika terbelalak
117
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43.
76
melihat kekuatan musuh yang datang.118 Informasi segera dialirkan ke pusat komando yang langsung diteruskan menjadi perintah siap siaga penuh. Acara ulang tahun yang semula meriah kini berubah menjadi wahana penuh kekalutan dan mencekam. Para warga Malaka kemudian diungsikan. Lantunan musik seketika berganti dengan instruksi komandan yang sibuk menempatkan pasukan. Dom Lionis Pereira, panglima tertinggi Portugis di Malaka terkejut mendengar informasi perkiraan kekuatan tempur Aceh. Ia pun memerintahkan kurir mendatangi Johor dan Kedah untuk menambah pasokan pasukan. Informasi ini datang terlambat, sehingga bantuan baru datang ketika pasukan Portugis sedang sibuk menahan gempuran pasukan Aceh. Semula pertempuran terlihat seimbang, kedua pihak saling berebut menyerang dan mendorong. Pertempuran ini masih belum bisa mengusir Portugis dari Malaka. Merujuk sumber-sumber Portugis, sekitar 4.000 pasukan Aceh menjadi korban dalam pertempuran ini, termasuk Abdullah, putra Raja Aceh yang menjadi Raja Aru. Dalam perjalanan pulang, pasukan Aceh membakari beberapa desa Johor.119 Kegagalan dalam penyerbuan ke Malaka di atas, ternyata tidak juga menyurutkan niat Aceh mengeliminasi Portugis dari konstelasi politik selat Malaka. Perang silih berganti masih sering terjadi saat itu. Menginjak 1570, 14 kapal perang Potugis terlibat peperangan seru dengan 60 kapal perang Aceh di pantai dekat suatu pelabuhan Aceh. Manuver tajam disertai serangan yang terpola menjadi pemandangan yang terhampar saat itu. Pada suatu kesempatan, laksamana Portugis bernama Luiz de Mello berhasil mematahkan gempuran Aceh. Dengan sigap ia juga 118
Benteng Portugis di Malaka, dibangun pada letak geografis yang strategis. Benteng ini berbatasan dengan laut di satu sisi, dan sisi lainnya berbatasan dengan sungai. Pada mulanya memang hanya berbahan kayu dan batu, namun di kemudian hari diganti menggunakan bahan material yang lebih kokoh. Dinding-dindingnya amat tebal dan dijaga dengan ketat oleh pasukan bersenjata. Lihat Armando Coertesao, ed, The Suma Oriental of Tome Pires (New Delhi: Asian Educational Service, 2005) hlm. 280-281; dan, Tom Pires, “Tentang Malaka” dalam Sartono Kartodirdjo, ed, Masayarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977) hlm. 60. 119 Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43.
77
menghancurkan beberapa kapal Aceh, menangkap enam perahu kecil dan menenggelamkan yang lainnya.120 Perang laut di atas menjadi kesempatan terakhir bagi Sultan Alaiddin Riayatsyah dalam jalan panjangnya mengusir Portugis dari Malaka. Atas kegigihannya itulah di belakang namanya, ia digelari al-Qahhar, Yang Perkasa. Ia berpulang pada 8 Jumadil Awal 979 atau 28 September 1571. Estafet pemerintahan dan semangat tinggi melawan Portugis diturunkannya kepada anak lelakinya sendiri yang bernama Husain. Husain naik tahta menggantikan ayahnya. Setelah ditahbiskan ia bergelar Sultan Husain Ali Riayat Syah (memerintah 1568-1575). Sebagaimana yang diwasiatkan ayahnya, ia pun segera mengagendakan serangan atas Malaka. Di masa inilah fajar baru hubungan diplomatik Aceh dengan kerajaan-kerajaan Melayu mulai terbentuk. Pada 1574 ia menjalin hubungan dengan Johor. Bukan hanya sampai di situ, ia juga mengajak Raja Johor bersama-sama dengan Aceh dan Jepara bergabung mengalahkan Portugis. Selama masa pemerintahan Raja Aceh ini, serangan atas Portugis terus dilakukan. Sama seperti yang dilakukan ayahnya, serangan Aceh pada masa Sultan Husain belum menimbulkan kekalahan yang signifikan bagi Portugis.121 Setelah masa pemerintahan Sultan Husain, intensitas pertempuran dengan Portugis mengendur. Keadaan ini bukan berarti Aceh menyerah untuk tidak lagi menyerang Malaka, namun lebih pada pencarian format baru mengalahkan musuhnya itu. Terompet perang melawan Portugis kembali bertiup manakala Aceh berada di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda (memerintah 1607-1636). Para sejarawan menilai, di bawah Iskandar Muda Aceh berada pada masa keemasannya. Tetapi, nun jauh di seberang perairan Aceh, Portugis telah berhasil membangun aliansi dengan beberapa kesultanan yang berada di Semenanjung Malaya seperti Johor dan Patani. Keadaan ini cukup membingungkan. Para raja Melayu memandang Aceh sebagai ancaman nyata, oleh sebab itu mereka memilih Portugis sebagai pelindung mereka. Memang aneh kiranya ketika mengetahui 120 121
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43-44. Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 45.
78
beberapa kerajaan Melayu seperti Johor, Perak dan Pahang membantu Portugis melawan Aceh. Padahal Portugis jelas-jelas telah menorehkan luka yang pedih dalam bentangan sejarah Melayu yakni dengan merebut Malaka, yang rajanya merupakan leluhur raja-raja Melayu. Menghadapi persekutuan itu, pihak Aceh mulai melakukan manuver-manuver politik untuk memecah kekuatan gabungan ini. Iskandar Muda menggelar kampanye penaklukan kesultanan di wilayah Semenanjung sebelum menyerang Malaka, meliputi: Pahang 122, Kedah, Pattani123. Pada tahun 1629, Sultan Iskandar Muda juga sempat menyerang Malaka kendati belum menemui hasil yang memuaskan.124 Apa yang dilakukan Aceh ini merupakan satu-satunya alternatif guna mengusahakan kembali wilayah-wilayah Melayu terbebas dari pengaruh Portugis. Kiranya sudah habis kesabaran Aceh dengan diplomasi seremonial yang ujungnya ternyata justru mencederai hubungan bilateral itu sendiri. Dengan Johor contohnya, hubungan Aceh mengalami pasang surut di mana Portugis selalu menjadi pihak ketiga yang berupaya memecah persatuan dunia Melayu. Di pihak lain, raja-raja Melayu, termasuk Johor, amat khawatir terhadap perkembangan Aceh yang seolah-olah dianggap ingin menjadi penguasa tunggal atas Sumatra, Semenanjung Malaya dan sekitarnya. Aceh dan Johor sendiri dalam sejarahnya terlibat dalam hubungan yang labil. Di saat raja-rajanya meyakini akan terciptanya hubungan yang baik utamanya dalam menumpas Portugis yang ditetapkan sejak 1574, maka secara bersamaan, mulai terbit ketakutan di kalangan petinggi kerajaan akan superioritas Aceh yang dianggap bisa menguasai Johor. Untuk itu, pemberlakuan siasat dua wajah dianggap Johor sebagai jalan tengahnya. Keadaan inilah yang belakangan merisaukan Aceh untuk kemudian melakukan kebijakan represif terhadap Johor, 122
W. Linehan, “History of Pahang”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society (Selanjutnya JMBRAS), Singapore,1936 hlm. 35. 123 T. Muhammad Hasan, “Perkembangan Swapraja Di Aceh Sampai Perang Dunia II” diambil dari Ismail Suny (Ed), Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Bharatara Karya Aksara, 1980) hlm. 159-160. 124 Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 293-302.
79
yakni dengan adanya beberapa serangan ke ibukota Johor ketika Sultan Iskandar Muda bertahta. C. Hubungan Aceh dengan Johor Setelah menyimak sepak terjang ketegangan Aceh dengan Portugis, maka akan ditemukan pula sematan atau catatan pinggir keterlibatan kerajaan-kerajaan Melayu yang kendati memiliki tradisi berpolitik serupa dengan Aceh, bahkan dalam bentangan sejarahnya memiliki ikatan kekeraban yang kuat, namun pada wilayah kebijakan politiknya ada yang mengikuti atau bermitra dengan Portugis. Menilik lebih jauh ke belakang, sebenarnya antara Aceh dan Malaka memiliki pertalian yang bagus. Sebelum adanya kerajaan Aceh, yakni ketika Samudra Pasai masih berjaya, Parameswara atau Iskadarsyah pendiri Malaka merupakan menantu Raja Pasai ke 6 bernama Sultan Mahdum Alaiddin Muhammad Amin Syah bin Malik Abdul Kadir (1243-1267). Putrinya, Ratna Kemala dipersunting oleh Iskandar Syah. Lewat perkawinan inilah perkembangan Islam di Malaka kian pesat. Tidak berhenti sampai di situ, hubungan kekeluargaan tersebut membawa dampak positif pula bagi perluasan syiar Islam di kawasan pesisir Timur Sumatra. Sebagaimana telah disampaikan, kawasan ini memiliki hubungan yang amat erat dengan Malaka. Salah satu keuntungan strategis bagi mereka akan jalinan diplomatik dengan Malaka, adalah keuntungan ekonomi dan perlindungan politik yang diberikan oleh Malaka. Jika wilayah pesisir Timur Sumatra mendapatkan keuntungan dari segi ekonomi politik, maka dari Aceh mereka mendapatkan pencerahan secara rohani oleh sebab banyaknya ulama dari Aceh yang menyebarkan Islam di kawasan itu.125 Selama beberapa periode hingga munculnya Aceh Darussalam tidak ada suatu sengketa yang merusak hubungan persaudaraan mereka. Baik Aceh maupun Malaka bergeliat dan mengembangkan diri masing-masing. Terbenamnya Malaka menjadi babak baru komunikasi Aceh dengan kerajaan-kerajaan Semenanjung Malaya. Munculnya 125
Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 95-96.
80
Johor sebagai salah satu kekuatan maritim potensial turut merubah persepsi historis kalangan istananya hingga yang pertimbangan realistis bahkan cenderung oportunis. Seperti Aceh, Johor memandang Portugis sebagai musuh yang harus dienyahkan. Dalam beberapa kesempatan, bersama Aceh, kerajaan ini sempat terlibat dalam pertempuran menghadapi Portugis. Sepanjang sejarahnya, hubungan Aceh dengan Johor mengalami pasang surut. Kedua kerajaan ini memiliki kenangan yang indah, namun juga kenangan yang buruk. Superioritas yang ditunjukkan Aceh sepanjang abad 16 hingga pertengahan abad 17, dianggap oleh Johor sebagai upaya penguasaan Aceh atas negerinegeri Melayu. Hal inilah yang memancing Johor untuk menjalin hubungan rahasia dengan Portugis sebagai upaya menghindari dominasi Aceh atas daerah kekuasaannya. Senada dengan hal di atas, Ellya Roza mengatakan bahwa dalam perjalanan historisnya, Johor merupakan objek rebutan dari kuasa-kuasa asing, baik kekuatan Barat atau Timur. Letak kerajaan ini terhampar di pesisir selat Malaka, yang merupakan titik startegis yang merupakan jalan air raksasa yang dilalui oleh kapalkapal dagang asing. Posisi Johor itu dianggap amat menggiurkan bagi kekuatan besar yang kala itu sedang saling berebut pengaruh, yakni Aceh dan Portugis. Tidak salah kiranya jika Johor disebutsebut sebagai pewaris mahkota Malaka sebagai calon pusat niaga baru di Asia Tenggara. Kerajaan ini mengalami serangan Portugis tidak kurang sebanyak sepuluh kali dan dari Aceh sebanyak enam kali.126 Kendati kedua kerajaan sering terlibat perseteruan, namun dalam beberapa kasus, tidak lantas memperkeruh komunikasi di sektor kehidupan lainnya, wilayah kepemerintahan. Dalam makalahnya, Teuku Iskandar mengungkapkan bahwa Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Kahar banyak mengambil inspirasi dari undang-undang Johor guna mereorganisasi sistem kepemerintahan Aceh. Hal ini merupakan satu bentuk pengaruh kebudayaan 126
Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik Pendiri Kerajaan Siak (Riau: Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Seni dan Olahraga Pemerintah Daerah Kabupaten Siak, 2012) Cet.2, hlm. 7 – 8.
81
Melayu yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan Aceh. Dengan kata lain, rapuhnya hubungan politik di antara dua kerajaan, tidak melulu memasung koneksi budaya antar keduanya.127 Sepenuhnya disadari, hadirnya Portugis merupakan tantangan laten (constant challenge) bagi kerajaan Muslim di kawasan Indonesia Barat.128 Namun dalam kenyataannya, masingmasing kerajaan nyatanya memiliki cara pandang tersendiri akan hadirnya kekuatan Eropa itu. Di satu sisi dianggap perusak, namun belakangan disadari sebagai mitra untuk melindungi otoritas kepemimpinan lokal. Alasan tersebut kiranya yang menjadi lendasan berpikir elit Johor untuk membuka kemungkinan kerjasama dengan Portugis. Salah satu episode penting yang mempertemukan Aceh dengan Johor dalam posisi berseberangan terjadi ketika Aceh berencana melebarkan sayap kekuasaannya ke Aru pada 1539. Ketika itu, Aru merupakan salah satu vassal Portugis di Sumatra. Letak geografis Aru yang berseberangan langsung dengan Malaka, merupakan alasan lain mengapa daerah ini harus diselamatkan Aceh. Jika Aru dapat dikuasai, demikian hemat para ahli taktik Aceh, maka Aceh dapat dengan mudah melakukan blokade terhadap selat Singapura dan Sabang. Blokade ini menyebabkan Portugis tidak mampu berlayar menuju Laut Cina, Sunda, Banda dan bahkan Maluku. Dengan jumlah pasukan besar yang terdiri dari 17.000 pasukan dan 160 kapal, Aceh menyerbu Aru. Dalam serbuan itu, Raja Aru terbunuh dan istrinya melarikan diri ke Malaka. Di sana istri raja Aru meminta bantuan Portugis namun jawaban yang didapat belum memuaskan. Portugis sepertinya tidak memperhatikan Aru sebagai daerah vitalnya dan lebih memilih menyuplai bantuan kepada musuh-musuh Aceh lainnya. Merasa harapannya hilang, permaisuri raja Aru itu kemudian mengungsi ke Johor dan menikah dengan Raja Johor kala itu. Di pihak lain Aceh telah berhasil menguasai Aru. 127
Teuku Iskandar, “ Aceh as a Muslim-Malay; Cultural Centre 14th – 19 th Century)”, makalah ini disampaikan dalam First Conference of Aceh and Indian Ocean Studies di Banda Aceh pada tanggal 24-27 Februari 2007. hlm.12 128 Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 35.
82
Di tempat barunya, janda raja Aru itu tidaklah tinggal diam melihat kerajaannya dalam kuasa Aceh. Ia mampu meminta Raja Johor untuk mengonsolidasikan kekuatan bersama Perak, Pahang dan Siak membentuk tentara pembebas Aru. Menginjak 1540, aliansi pasukan Melayu ini menyerbu Aru dan segera terlibat pertempuran sengit dengan Aceh. Diberitakan, kali ini Aceh mengalami kekalahan yang besar. 14 tahun berselang, pasukan Aceh berhasil merebut kembali Aru.129 Menurut Fernao Mendez Pinto, tanpa menunggu waktu lama, Sultan Johor berhasil ditawan dan mati dieksekusi di Aceh.130 Amirul Hadi mencatat, terdapat dua tahun penting, 1547 dan 1568, di mana Johor menunjukkan oposisinya terhadap Aceh. Di dua tahun itu bersama dengan aliansi Melayunya, Johor membantu Portugis yang mulai kelelahan menghadapi gempuran pasukan Aceh di Malaka131, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Betapa kecewanya Aceh ketika menyaksikan kemenangan yang sebentar lagi mereka raih, perlahan menjauh tatkala beberapa kerajaan Melayu kedapatan membantu Portugis. Jika melihat pada tahun terbentuknya Johor, yakni antara tahun 1526 hingga 1528 132, maka besar kemungkinan bahwa Johor ingin terlebih dahulu memperkuat perekonomian serta instalasi pertahanannya. Untuk itu, kerajaan ini sebenarnya berada dalam posisi yang diuntungkan, yakni mempunyai peluang lebih besar dalam membangun terlebih dahulu kerajaannya sebelum ikut dalam konstelasi politik regional perairan Malaka. 129
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 48 dan 49. Fernao Mendes Pinto, The Travels Mendez Pinto, ed and trans. By Rebecca C. Catz (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1989) hlm. 57; lihat juga Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ...., hlm. 49. 131 Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 51. 132 Belum ada literatur yang tegas menyebutkan tahun berdirinya Johor. Jika menimbang dari tulisan D.G.E. Hall yang menyatakan bahwa pada tahun 1526, Sultan Mahmudsyah berpindah dari pulau Bintang (Bintan) ke Johor akibat serangan Portugis, kemudian pada 1528, Sultan Mahmudsyah yang sebelumnya telah ditahbiskan menjadi Raja Johor pertama itu berpulang, maka tahun berdirinya Johor adalah terjadi antara tahun 1526 hingga 1528. Lihat D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha (Jakarta: Usaha Nasional, 1988) hlm. 309-310. 130
83
Namun begitu, untuk melakukan hal itu tidaklah mudah, karena pembangunan kerajaan ini berbarengan dengan masa perebutan supremasi Aceh dan Portugis. Sebagai kerajaan yang baru terbentuk, perangkat istana Johor dituntut lebih arif dalam memilih mitra politiknya. Johor melihat, baik Aceh maupun Portugis memiliki tujuan yang sama yakni menjadi penguasa tunggal di Sumatra, perairan Malaka dan Semenanjung Malaya. Sikap mendua yang ditunjukkan Johor semata-mata adalah agar dirinya dapat leluasa dalam menempa kemajuannya dan fleksibel. Pakta kerjasama bagi mereka bukanlah barang baku, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan kerajaan. Siapa yang menjemput kemenangan, maka dengannyalah Johor akan bersekutu. Sikap ini membawa Johor lebih jauh terlibat dalam perpolitikan regional. Kondisi kemakmuran yang masih rapuh membuat kerajaan ini menjadi bulan-bulanan Aceh juga Portugis. Menginjak masa pemerintahan Iskandar Muda contohnya, akibat ulah dua wajah yang diperankannya, kerajaan ini mendapat serangan besar-besaran langsung ke ibukotanya yakni Seluyut pada 1613.133 Bahkan serangan ini menjadi yang terparah sepanjang berdirinya kerajaan Johor. Tahun 1574, terjadi perubahan arah kebijakan Aceh terhadap Johor. Sultan Husain yang menjadi raja kala itu memilih untuk mengadakan rekonsiliasi dengan Johor. Tahun ini boleh dianggap sebagai awal terbukanya hubungan diplomatik Aceh dan Johor. Kendati kedua kerajaan telah bersahabat, arah kebijakan mengenai eksistensi Portugis tetaplah dikedepankan. Portugis tetap dianggap sebagai musuh yang mengganggu hubungan mesra dengan tetangganya itu. Perlahan Aceh mulai mengajak Johor untuk berpikir ulang dan menghitung segala kemungkinan yang terjadi jika Portugis masih terus melebarkan ruang geraknya. Johor pun akhirnya menyadari, kawan Eropanya itu merupakan musuh dalam selimut yang harus disingkirkan. Kesamaan visi politik menghadapi Johor ini kemudian dipererat dengan pernikahan putri Sultan Aceh dengan Pangeran Johor. Mengetahui telah baiknya 133
Pocut Haslinda MD Azwar, Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 28.
84
hubungan Aceh dan Johor, Portugis menunjukkan kekecewaannya terhadap Johor dengan menyerang kerajaan ini pada 1576 dan 1578. Walaupun telah berdamai dengan Johor, tidak lantas membuat Aceh menghentikan penanaman pengaruh di Semenanjung Malaya. Perak, yang merupakan sahabat Johor, ditundukkan Aceh menjelang tahun 1579. Segenap perangkat kerajaannya diungsikan ke Aceh. Putra mahkota Perak dinikahkan dengan putri Sultan Aceh dan tanpa berselang lama ia ditunjuk sebagai Sultan Aceh bergelar Sultan Alaiddin Mansyur Syah dan memerintah selama 1579 – 1585.134 Sultan Alaiddin merupakan sosok yang tidak kenal lelah melancarkan serangan ke kubu Portugis. Tercatat, beberapa kali ia melancarkan serangan ke Malaka dan mengawasi Johor yang dianggapnya rentan disusupi kepentingan Portugis. Untuk memperkuat militernya, ia memperteguh kembali hubungan diplomatik Aceh dengan Turki. Untuk memperkuat persaudaraan dengan kerajaan Melayu, ia menikahkan Sultan Johor kala itu, Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (memerintah 1571 – 1597) dengan anaknya Putri Hijau.135 Kelihatan sekali, Aceh ingin menjadikan Johor sebagai sekutu dekatnya. Saat itu. pernikahan antar kerajaan boleh dikatakan sebagai langkah untuk mempererat hubungan diplomatik. Di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil (memerintah 1584-1604), keharmonisan Aceh dan Johor mengalami keretakan. Kala itu Aceh berkeinginan untuk merebut Aru yang semula menjadi bawahan Portugis. Pada kesempatan itu, Johor merasa terusik pula dengan kebijakan Aceh sehingga kedua kerajaan terlibat ketegangan. Agar tidak mudah dikalahkan, elit Johor membuat perjanjian diam-diam dengan Portugis untuk membantunya saat perang pecah. Ketika perang terjadi, pasukan Johor mendapat bantuan dari Portugis. Pasukan gabungan itu berhasil mengalahkan bala tentara Aceh. Aru pun jatuh dalam 134 135
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 52. HM. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 400.
85
kekuasaan Johor dan Portugis.136 Peperangan ini menjadi penyebab rusaknya hubungan Aceh-Johor. Naik tahtanya Perkasa Alam dengan gelar Sultan Iskandar Muda (memerintah 1607 – 1636) sebagai raja baru Aceh menerbitkan semangat baru di tengah pergaulan istana Aceh. Sultan ini dikenal sebagi sosok yang membawa Aceh di puncak kejayaannya. Segenap aspek kehidupan masyarakat mengalami kenaikan signifikan, mulai dari ekonomi, sosial, agama, budaya dan lain sebagainya, tidak terkecuali ranah politik internal dan eksternal. Tak lama setelah sultan ini naik tahta, perlawanan mengusir Portugis kembali dikumandangkan disamping penertiban bagi kerajaan-kerajaan lokal yang dinilai berkawan dengan bangsa Kulit Putih itu. Kekalahan Aceh di Aru menginspirasi Iskandar Muda untuk melakukan serangan balasan. Johor yang semula sudah diyakini Aceh sejalan dengan visinya mengalahkan Portugis, dianggap telah melakukan kesalahan besar. Diagendakanlah suatu armada tempur untuk menghukum Johor langsung di ibukotanya sendiri. Secara sistematis, pasukan Aceh berhasil menjebol pertahanan laut dan darat Johor yang kala itu tidak diperkuat dengan bantuan Portugis. Tanpa membuang waktu, pasukan Aceh masuk lebih dalam hingga menyentuh ibukota Johor. Raja Johor saat itu, Sultan Alaiddin Riayat Syah dan keluarga kerajaan mengungsi ke daerah perbukitan di Seluyut. Pada November 1913, segenap pembesar Aceh telah mengusai ibukota Johor. Pasca penundukan ibukota Johor, Iskandar Muda menitahkan untuk membawa raja beserta pejabat istana Johor ke Aceh. Raja Johor dan adiknya, Raja Abdullah beserta kerabat kerajaan lainnya kemudian dilayarkan ke Aceh. Termasuk dalam rombongan ini adalah Tun Muhammad yang dikenal pula sebagai Tun Sri Lanang, penulis kitab Sulalatus Salatin atau Sejarah
136
HM. Zainudddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 402-403.
86
Melayu. Sosok negarawan Johor yang menjadi penting yang kelak membantu pemerintahan Sultan Iskandar Muda.137 Sesampainya di Aceh, rombongan Johor ini diperlakukan dengan istimewa sebagaimana menjamu tamu agung. Beberapa waku berselang, Iskandar Muda meminang Putri Pahang, salah satu keluarga raja Johor untuk dijadikan istrinya. Raja Johor pun pada kesempatan yang hampir bersamaan dinikahkan dengan salah seorang putri kerabat Sultan Aceh. Pernikahan ini menjadi indikasi bahwa Aceh ingin menjadikan Johor sebagai mitra bersaudara dan tentu memiliki dampak signifikan bagi masa depan dua kerajaan. Perkawinan serupa juga diberlakukan kepada warga Aceh untuk menikah dengan tawanan yang berasal dari Johor. Hal ini dilakukan untuk menjalin hubungan yang kian rekat dari tataran elit hingga bawah. Raja Johor berjanji bahwa Johor tidak akan berbuat gegabah lagi dengan menjadikan Portugis sebagai kawan. Tidak lama berselang, rombongan keluarga Johor dipersilahkan pulang guna memimpin kembali kerajaannya. Dalam suatu serangan ke Malaka, tidak jelas angka tahunnya, pasukan Aceh di bawah pimpinan Orang Kaya Lila Wangsa diperintahkan menyerbu Portugis. Misi ini belum menemui kesuksesan di karenakan Portugis, yang saat terjadi pertempuran berada dalam posisi terjepit, berhasil membebaskan diri berkat datangnya bantuan dari Goa dan dari jalur lain. Dalam episode ini, satu hal yang menggusarkan Orang Kaya Lila Wangsa adalah kehadiran bala tentara Johor yang terlihat ikut membantu Portugis. Oleh sebab raja Johor saat itu masih terhitung keluarga Iskandar Muda, Orang Kaya Lila Wangsa ragu-ragu untuk melakukan serangan atas Johor. Ia harus terlebih dahulu melaporkan kejadian ini kepada rajanya. Namun, belum berkembang layar sisa-sisa bala tentara Aceh, mereka telah
137
M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”, makalah disampaikan dalam “Seminar Ketokohan Tun Sri Lanang” di Bireuen, Aceh pada 28 Desember 2011, hlm. 5.
87
dikepung oleh armada Johor dan Portugis yang berakhir pada kekalahan menyakitkan.138 Baru pada sekitar tahun 1615 dan 1616, ketika Sultan Iskandar Muda berada di Asahan, upaya menertibkan kembali kerajaan-kerajaan Melayu dicanangkan kembali. Melalui Sri Orang Kaya Laksamana, Raja Aceh menitahkan untuk melakukan pengepungan Johor, Pahang dan Malaka. Pasukan spesialis perang laut segera disiapkan beserta kapal-kapalnya. Kapal-kapal Aceh yang berlalu lalang di Serdang dan Aru diperintahkan menuju Semenanjung Malaya dengan melewati Pulau Langkawi segera menyisir beberapa sungai antara Kuala Perlis, Kuala Keudah, Kuala Muda, Kuala Meurbok, Teluk Pulau Pinang, Pulau Jerjak lantas menuju Kuala Peru. Dari situ, iringiringan pasukan mengamankan sungai-sungai besar seperti Kuala Tengah, Kuala Kurau, Kuala Kelumpang, Teluk Tanjung Burong, Pulau Pangkur, Kuala Perak, Kuala Bernam, Kuala Selanggur sampai ke Teluk Anson. Kapal-kapal yang merapat di Teluk Tanjung Balai juga mulai digerakkan menuju Malaka. Kawanan kapal ini mengambil rute melalui Pulau Kelang, Tanjung Tuan, Kuala Tinggi, Tanjung Kling lalu menjaga Kuala Melaka dan Kuala Muar. Di tempat lain, sepasukan kapal tempur juga diberangkatkan ke beberapa sungai yakni: Sarang Buaya, Batu Pahat, Kuala Peniti, Kuala Kutub, Tanjung Prai dan masuk ke Sungai Johor dan diakhiri dengan menutup Kuala Johor Baru dan bersauh di Tumasik (Singapura). Satu pasukan lain disiapkan menuju Pulau Karimun, Lingga Pulau Bantam menyusuri pulau-pulau di Laut Banang, Pulau Riau, Pulau Bintang, Pulau Tekong, Tanjung Setapak lalu masuk ke Kuala Laban terus hingga menutup jalur Sungai Johor Lama. Pasukan patroli lain diberangkatkan menyisir Tanjung Setajan ke Pulau Mawar, Tanjung Penyambung sampai ke Kuala Pahang, Kuala Kelantan, Tanjung Puliga terus hingga ke Kuala Petani. Aliranaliran patroli pasukan ini merupakan rute mengepung Johor, Pahang dan Malaka. 138
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biographi Seri Sultan Iskandar Muda) (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 133-135.
88
Pasukan infanteri juga diturunkan yang disiapkan untuk mengadakan penyerbuan dan penyergapan di darat. Detasemen ini dipimpin oleh Panglima Pidie dan Malem Dagang. Pasukan darat dikerahkan menuju Riau, Lingga Johor Lama, Johor Baru, Melaka, Selanggur, Perak, Kedah dan Pahang. Target pertama dari kerajaan Melayu yang dilumpuhkan adalah Johor. Agaknya, Raja Johor telah mengendus rencana Aceh sehingga ia dan keluarga kerajaan dapat melarikan diri lebih dini dan membuat ibukota baru di Pulau Lingga. Oleh sebab spionase Aceh yang telah disebar didukung oleh gerakan pasukan yang merata hampir di setiap lekuk strategis wilayah air maupun darat sekitar Semenanjung Malaya, kedudukan Raja Johor dapat diketahui sehingga tanpa menunggu waktu lama ia dapat diringkus. Ibukota Lingga kemudian dibumihanguskan menyusul dua ibukota Johor sebelumnya Johor Lama (Batu Sawar) dan Seluyut yang terlebih dahulu diluluhlantakkan. Hampir bersamaan dengan kekalahan Johor, Pahang pun berhasil ditundukkan kembali karena terbukti membantu Portugis. Adapun Kedah dan Perak hanya ditingkatkan kontrol agar tidak lagi jatuh dalam pengaruh musuh. Setelah memantapkan kuasa di ketiga negeri tersebut, Aceh kemudian bertolak menuju Malaka. Setelah kota-kota lawan ditundukkan, Aceh segera membangun kembali tata kota yang sebelumnya porak poranda. Penduduk yang semula mengungsi, sedikit demi sedikit mulai memasuki kota. Di Johor, Aceh mendirikan masjid-masjid sebagai sarana aktivitas keagaman. Panti-panti anak yatim juga banyak didirikan yang diasuh oleh para ulama dan lebai (ahli agama) setempat. Perbaikan juga dilakukan di sektor pertanian warga yakni dengan membangun irigasi bagi areal persawahan. Untuk menggantikan Raja Johor yang meninggal dalam tawanan, maka diangkatlah anaknya menduduki tahta kerajaan.139 Untuk sementara waktu, sebagian besar wilayah Semenanjung Malaya berada dalam kontrol Aceh.
139
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 154 – 158.
89
Kehadiran Portugis sebagai penangkal serangan Aceh sekaligus mitra bagi raja-raja Melayu seperti Johor, sebenarnya dapat dilihat dari dua segi. Sebagaimana telah diuraikan di atas, Portugis mencari aliansi penguasa lokal untuk menyokong kepentingan bisnisnya di kawasan perairan Malaka. Untuk itu, mereka bersedia membantu penyediaan pasukan untuk menumpas musuh-musuh yang mengancam eksistensi para penguasa kerajaan Melayu. Namun, di segi yang lain, intrik politik yang dimainkan penguasa Johor, yang dalam beberapa kesempatan berpaling ke Aceh, seperti langkah mempermainkan Portugis. Apalagi kasus serupa kerap terjadi di masa-masa berikutnya. Tidak ada semacam pakta integritas yang merawat hubungan tersebut. Berbeda dengan Aceh yang ketika menaklukkan Johor, segera mengadakan kesungguhan untuk merangkul Johor, salah satunya dengan jalan pernikahan antara putra putri dua kerajaan. Entah ini merupakan kesalahan Portugis, karena tidak belajar dari masa lalu, atau sekedar upaya untuk terus melakukan infiltrasi agar tetap dapat menangguk keuntungan di balik kerjasama yang sebenarnya rapuh itu. Sikap oportunis para penguasa Johor, tidak lagi dipandang secara kritis, manakala mengetahui telah beberapa kali bantuan Portugis rupanya hanya dimanfaatkan tatkala dibutuhkan. Pihak Portugis serasa berada dalam lingkaran setan, seperti hanya menjalankan rutinitas yang semu, membantu Johor kemudian dicederai kembali tatkala Johor berada dalam kuasa Aceh. Seharusnya, jika Portugis ingin agar otoritasnya dapat berdiri tegak, secara bergiliran ia harus menumpas Johor lalu Aceh. Sikap yang ditunjukkan Portugis ini mengantarkan pada masa-masa senja dari aktivitasnya di perairan Malaka, terlebih ketika kawasan tersebut telah dimasuki bangsa Eropa lain. Satu yang kemudian menjadi kompetitor mereka adalah Belanda. Menginjak tahun 1635, Johor kembali melihat peluang untuk membebaskan diri. Kehadiran Belanda di pergaulan antar elit istana Malaya, menjadi mitra baru Johor untuk membangun kembali kekuatannya. Ketentraman regional pecah ketika Pahang yang dibantu Johor memberontak terhadap Aceh. Tindakan makar
90
ini segera dapat diredam dengan dikirimnya pasukan menertibkan Pahang. Belanda yang merupakan pemain baru di Selat Malaka tampil untuk membuka peluang melebarkan sayap kekuasaannya. Mereka tahu baik Portugis maupun Aceh merupakan musuh klasik yang amat sulit dikalahkan. Keengganan Iskandar Muda bermitra dengan Belanda membuat mereka mencari kawan baru. Ketika bertemu dengan pemuka Johor, Belanda setuju untuk membantu Johor mengembangkan potensi kerajaannya hingga kuat ketika nanti berperang dengan Aceh. Mangkatnya Sultan Iskandar Muda pada 1636 seketika menghadirkan kesedihan dan ratap tangis keluarga kerajaan serta rakyat. Meskipun demikian, penasehat istana tidak terus larut dalam kesenduan yang panjang. Sultan Iskandar Thani dinobatkan menjadi Raja Aceh berikutnya yang memerintah sejak 1636 hingga 1641. Ia merupakan menantu Iskandar Muda yang berasal dari keluarga kerajaan Pahang. Istrinya, Putri Sri Alam, adalah putri Iskandar Muda. Sultan Iskandar Thani dikenal sebagai sosok relijius yang enggan meneruskan politik perluasan wilayah sebagaimana yang dilakukan Iskandar Muda. Di eranya, Belanda diterima sebagai mitra dalam rangka menaklukkan Portugis di Malaka. Awalnya, Belanda memutuskan untuk menyerang Malaka sendiri namun menemui kegagalan. Baru ketika Aceh membantu Belanda dan Johor ikut pula membantu walaupun sedikit, Portugis berhasil dikalahkan pada 14 Januari 1641. Sejak peristiwa itu baik Aceh dan Johor tidak lagi terlibat dalam kontak kenegaraan yang intensif. Di pihak Aceh, kerajaan sedang berada pada masa-masa penurunan sedangkan Johor disibukkan dengan pembangunan negerinya dan kerjasamanya dengan Belanda. Tahun 1641 inilah menjadi titik penting dari terbenamnya hubungan diplomatik Aceh-Johor. Munculnya Belanda ditengarai menjadi alasan penting mengapa suasana penuh perlawanan antar kerajaan yang semula intens perlahan mengendur. Baik Johor dan Aceh disibukkan dengan masalahnya sendiri-sendiri. Pihak 91
kerajaan Aceh pasca pemerintahan Iskandar Thani disibukkan dengan kontroversi pengangkatan ratu sebagai pengganti Iskandar Thani. Hingga hampir satu abad kedepan, Aceh sempat tenggelam dalam konflik internal. Masa pemerintahan ratu inilah yang disebut H.M. Zainuddin sebagai masa-masa kemunduran Aceh dalam bidang politik regional.140
140
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 174-175.
92
BAB IV KERAJAAN JOHOR
A. Lahirnya Pewaris Malaka Jatuhnya Malaka oleh Portugis membawa dampak signifikan dalam peta perpolitikan kawasan Semenanjung Malaya. Emporium yang tersohor sebagai tujuan utama dagang dunia ini menjadi saksi bisu bergantinya sang penguasa atasnya. Kekacauan segera merambat ke ruang publik di mana pembunuhan dan pengejaran menjadi pandangan yang terlihat di sana - sini. Di selasela asap meriam dan teriakan penduduk serta saudagar Malaka, iring-iringan pasukan Portugis merayap mendekati pusat kota. Kekalahan ini dirasa amat menyakitkan khususnya bagi keluarga kerajaan Malaka. Di antara mereka ada yang luka-luka, tidak sedikit pula perangkat kerajaan yang menjadi korban. Keadaan menyedihkan tersebut semakin mencekam tatkala mengetahui bahwa tampuk tahta yang selama ini diwariskan dari para leluhur berpindah tangan ke genggaman Portugis, bangsa Eropa yang memang sudah dikenal sebagai pelaut yang tidak raguragu menghalalkan pembunuhan demi cita-cita mereka. Penaklukkan Goa, bandar dagang ramai di India, menjadi bukti betapa mereka gigih melancarkan serangan Spartan hingga mampu menanamkan pengaruh di rute dagang ke barat sekaligus menjadi pangkalan perang mereka menaklukkan Malaka di kemudian hari.141
141
Penyerbuan ke Malaka, menurut M. Dien Madjid sempat dilakukan dua kali, hanya saja yang perdana, serangan Portugis dapat dipatahkan pasukan Malaka. Baru pada 6 Juli 1511, Portugis mampu menundukkan Malaka. Lihat M. Dien Madjid, Catatan Pinggir sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) hlm. 27-29; Lihat
93
Suasana yang demikian mencekam tersebut, memaksa Sultan Mahmud Syah, Raja Malaka kala itu, dan keluarga istana lainnya mengungsikan diri keluar dari istana Malaka. ia menempuh jalan yang tidak diketahui oleh pasukan Portugis yang terlihat ke sana kemari membunuh pasukan kerajaan sembari mencari harta rampasan di sekitar istana. Dengan hati-hati mereka keluar dan melewati jalan-jalan yang jauh dari jangkauan pandang pasukan musuh. Dari suatu bibir pantai, rombongan pelarian ini bertolak menggunakan kapal ke Pulau Bintan. Di tempat persinggahannya ini, raja dan keluarganya itu disambut dengan suka cita oleh penduduk Bintan. Wilayah Bintan yang kala itu disinggahi bernama Kopak. Suasana yang penuh dengan kehangatan ini tidak serta merta terjadi begitu saja. Bintan yang masih termasuk dalam kawasan Riau merupakan gugusan pulau yang berada dalam kekuasaan Malaka. Bergabungnya kawasan kepulauan Riau ini di bawah Malaka terjadi tatkala kerajaan ini berada di bawah pemerintahan Sultan Muzaffar Syah. Tome Pires, seorang pelaut Portugis yang sempat menyinggahi beberapa kawasan di sekitar Semenanjung Melayu, membenarkan bahwa Muzaffar Syah yang disebutnya Modafarxa telah menguasai Bintan segera setelah ia mengambilalih penguasaan selat Singapura.142 Oleh sebab masih merasa sebagai daerah yang dahulunya dipimpin Malaka, penduduk Kopak menganggap Sultan Mahmud Syah beserta rombongan sebagai junjungan yang harus dilindungi. Mereka menjamin keselamatan raja beserta rombongan di tempat mereka. Keberadaan Sultan Mahmud Syah di Bintan ternyata tidak bertahan lama. Kapal-kapal Portugis yang rajin berpatroli di sekitar pulau-pulau tetangga Bintan menyebabkan keberadaannya terancam. Menginjak tahun 1526, pasukan Portugis di bawah pimpinan Viceroy Maascarenhaas menyerbu Kopak. Sultan berserta rombongan mengungsi ke Bengkalis lalu berpindah ke Kampar. juga Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan Portugis Malaka (London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 13. 142 Armando Cortesao, ed, The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II (New Delhi: Asian Educational Services, 2005) hlm. 244.
94
Wilayah Kampar saat itu adalah suatu daerah yang memiliki kesamaan tradisi dengan Minangkabau, hanya saja pemuka beserta rakyatnya memilih tunduk pada Malaka. Sebelum kedatangan pengungsi Malaka, daerah ini telah terlebih dulu merasakan serangan Portugis. Raja Kampar, Abdullah, ditangkap Portugis dan dibawa ke Goa. Sultan pun kembali mendapatkan tempat bernaung yang aman, oleh sebab Kampar, menurut penuturan Tome Pires, kerajaan ini di masa Muzaffarsyah telah dikuasai Malaka. Bahkan putri dari saudara Muzaffar Syah, Raja Pute, menjadi istri dari Raja Kampar.143 Pada tahun 1529, setelah menimbang suasana yang kian genting, penduduk Kampar menyadari bahwa daerahnya harus dipimpin oleh sosok yang mengerti dengan arah kebijakan strategis kerajaan ini di masa depan. Setelah mengadakan rapat internal, akhirnya para datuk, pemuka adat serta masyarakat setempat sepakat untuk mendaulat Sultan Mahmud Syah menjadi Raja Kampar. Sebelum Mahmud Syah mangkat, ia menyerahkan tahta Kampar kepada putranya, Raja Ali yang setelah naik tahta bergelar Sultan Alauddin Riayatsyah II (Sultan Alauddin Riayatsyah I merupakan Raja Malaka sebelumnya). Setelah beberapa waktu berselang, Kampar ternyata bukan tempat yang menjanjikan keamanan jangka panjang. Kekhawatiran akan datangnya serangan Portugis selalu menghantui para mantan bangsawan Malaka di sana. Mereka telah terbiasa hidup di bibir pantai di mana ketika terjadi suatu serangan musuh, laut senantiasa menjadi pelarian yang menjanjikan kebebasan. Di Kampar mereka tidak menemui hal itu, mengingat pengetahuan mereka akan daerah sekitar Kampar amatlah minim. Bayangan serangan atas Bintan selalu terngiang di pikiran mereka. Kegusaran itu diamdiam juga menggelisahkan Raja Kampar. Sang raja memiliki alasan lain mengapa dirinya belakangan tidak kerasan di singgasananya. Daerah tetangga Kampar, Minangkabau, dianggapnya sebagai ancaman nyata lainnya, oleh sebab sejak dahulu, Minangkabau bukanlah bawahan Malaka. Di samping itu, Portugis bisa saja mengadakan sebuan lanjutan ke Kampar. 143
Armando Cortesao, Suma Oriental ..., hlm. 245.
95
Setelah merenung selama beberapa saat, terbetiklah gagasan untuk meneruskan kejayaan Malaka dan pembangunan peradaban Melayu di sekitar selat Malaka, sehingga penerus rajaraja Melayu dapat tampil kembali di pergaulan internasional. Setelah mengadakan beberapa pertemuan dengan sesepuh, penasehat dan tokoh masyarakat Kampar, Sultan Alauddin Riayatsyah II akhirnya direstui meninggalkan singgasananya. Setelah berkemas, Raja dan beberapa perangkat istananya berangkat menuju wilayah Semenanjung Melayu tepatnya di wilayah tepi sungai Johor. Dalam perjalanannya, Sultan Alauddin Riayatsyah II menyempatkan diri mengunjungi saudaranya, Sultan Mansur Syah, Raja Pahang kala itu. Di kerajaan ini, ia menikah dengan putri sang raja.144 Merujuk pada keterangan Sulalatus Salatin, selain menikah dengan putri Pahang bernama Raja Kesuma Dewi, di Pahang pula inilah Sultan Alauddin Riayatsyah memperoleh tambahan pengikut dan perbekalan yang nantinya dipekerjakan membangun istana Johor. Dari Pahang rombongan Sultan Alauddin Riayatsyah berangkat dipimpin oleh Laksamana Hang Nadim. Sesampainya di Kuala Johor, para pekerja mulai bergerak menebas alang-alang dan pepohonan. Bendahara dan Seri Bija Diraja, dua orang bagsawan Pahang yang menyertai, Sultan Alauddin, bertindak memimpin proyek pembangunannya. Tun Sri Lanang menceritakan keadaan kota Johor masa awal ini sebagai berikut: Syahadan akan negeri pun sudahlah dengan kotanya dan paritnya, yang dari hilir Sungai Kerting, yang dari hulu Sungai Johor; Maka Bendahara dan Seri Nara Diraja menyegerakan orang membuat istana dan masjid, belairung kedua dan penanggahan, balai gendang, kolam telaga sekaliannya. Setelah mustaidlah dengan sepertinya, maka Sultan Ala’uddin pun pindahlah ke istana dengan isteri baginda, diiringkan biti dayang-dayang, perwara, mandara baginda; maka 144
Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid 4 ( Bukittinggi: N.V. Nusantara, 1961) hlm. 140-143.
96
Bendahara dan Seri Nara Diraja dianugerahi persalin seperti adat. maka segala menteri, hulubalang, Orang Kaya-Kaya, sida-sida, bentara sekaliannya pindahlah ke rumahnya masingmasing arah tempatnya, dan lebuh pekan pesara pun penuh dengan pepak kedai orang; pada masa itu kampung orang arah ke hilir datang ke Beladung, yang ke hulu sampai ke Bukit Piatu, di hulu Kuala Johor.145 Uraian yang sedikit berbeda diutarakan Nuruddin ar-Raniri mengenai terbentuknya Johor. Menurutnya, Johor sudah didirikan sejak lama oleh Sultan Mahmudsyah, Raja Malaka terakhir. Raja inilah yang mengundurkan diri ke Ujung Tanah untuk menyelamatkan diri dari kejaran Portugis. di Ujung Tanah inilah ia membangun negeri Johor.146 Informasi yang berbeda diterangkan oleh D.G.E. Hall mengenai liku-liku aktivitas Sultan Mahmud Syah mulai dari kekalahannya mempertahankan Malaka hingga pendirian Johor. Setelah mengetahui bahwa kemenangan merupakan sesuatu yang jauh dari genggamannya, ia melarikan diri menuju Pahang. Di kerajaan ini, Mahmud Syah meminta bantuan Kaisar Ming di Cina untuk mengirimkan pasukan melawan Portugis. Balasan yang didapat nyatanya tidak sesuai harapan, Kaisar Ming belum meluluskan permintaan Mahmud Syah, mengingat kala itu kekaisaran Cina disibukkan dengan serangan bangsa Tartar. Mengetahui jawaban Kaisar Cina itu, Mahmud Syah semakin dibuat bingung. Bagaimanapun ia harus segera mencari lokasi baru untuk membangun ibukotanya kembali. Alasan kuat mengapa ia berkeinginan membentuk kekuatan baru adalah guna menamatkan kekuatan Portugis yang kala itu belum betul-betul kuat berpijak di Malaka. Ia dan rombongan kemudian bergegas 145
A. Samad Ahmad, Sulalatus Salatin; Sejarah Melayu (Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008) hlm. 290-292 146 Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin , bait 12 dan 13, teks didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 8.
97
menuju Sayong Pinang dan menetap selama beberapa waktu di sana. Sayong Pinang yang merupakan daerah yang jauh dari pesisir, dirasa tidak cocok dijadikan ibukota kerajaan. Pada tahun 1521, ia da pengikutnya berpindah ke pulau Bintang, sebelah tenggara Singapura. Di tempat barunya ini, para pelarian dari Malaka mendapat beberapa serangan dari Portugis. Oleh sebab belajar dari pengalaman, dalam beberapa kesempatan serbuan, yakni tahun 1523 dan 1524, Mahmud Syah dan pengikutnya berhasil memukul mundur pasukan Portugis hingga menderita kekalahan telak. Mahmud Syah bahkan sempat mengirim pasukan menyerang balik Malaka, kendati belum mencapai berhasilan besar. Para petinggi Portugis di Malaka tidak tinggal diam mendapati serangan sisa-sisa kekuatan Malaka. Menginjak tahun 1526, selaksa pasukan Portugis memombardir pulau Bintang dan menghancurkan ibukotanya lantas menyerahkan pulau itu pada Raja Lingga. Mahmud Syah dan rombongan yang berhasil keluar dari ketatnya serbuan, melarikan diri ke Kampar. Dari sini ia memiliki cita-cita untuk mendirikan ibukotanya di pinggir sungai Johor. Setelah persiapan siap, rombongan ini menuju lokasi tersebut. Di tengah pengerjaan membangun ibukota, Mahmud Syah menghembuskan nafas terakhirnya pada 1528. Proyek besar tersebut dilanjutkan oleh anaknya, Alauddin. Di sana, Raja Johor ini memimpin serangan-serangan melawan Portugis. Bisa dikatakan Johor kala itu menjadi duri dalam daging bagi kuasa Portugis. Pertentangan dengan Portugis kemudian mengalami gencatan senjata pada akhir tahun 1536, dikarenakan Portugis telah berhasil mendaratkan pasukannya di Muar. Kala itu panglima Portugis, Dom Estavao da Gama berhasil memaksa Johor berdamai dengan Portugis. Sementara itu, Muzaffar Syah, kakak Alauddin, di kala ketegangan dengan portugis, pergi ke Perak dan mengunjungi istana rajanya. Bersama dengan Perak dan Pahang, Johor untuk sementara puas dengan persahabatan bersyarat mereka dengan Portugis.147 147
D. G. E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha (Jakarta: Usaha Nasional, 1988) hlm. 309-310.
98
Tentu akan menimbulkan tanya tersendiri, mengapa bekas kerajaan yang sebelumnya tunduk kepada Malaka, tetap setia kepada raja terakhirnya dan memberikan bantuan serta jaminan perlindungan pasca direbutnya Malaka oleh Portugis. Kerajaankerajaan itu sepenuhnya sadar ketika mereka tunduk di bawah suatu kekuatan yang lebih besar, maka pada titik itu mereka menyerahkan sebagian otoritasnya kepada kekuatan itu. Mereka tentu tidak sebebas sebelum menyatakan kesetian kepada kerajaan yang lebih besar dalam menentukan kebijakan politiknya. Jatuhnya Malaka, membuat kerajaan bawahannya seperti Kampar, Aru dan lain-lain tidak melepas ikatan politik mereka terhadap kerajaan junjungannya itu. Malah, sebagian dari raja bawahan, seperti Kampar mau membantu pelarian kerajaan itu. Selain didasari oleh alasan manusiawi seperti membantu orang yang kesulitan, yang lain adalah mereka masih ingin menjaga pertalian politik dengan Malaka. Kendati kerajaan serta kedaulatan Raja Malaka saat itu telah lenyap, kedudukannya sebagai raja yang membawahi sekian kerajaan lain tetap diakui oleh bawahannya. Ini merupakan ciri khas ketaatan khas orang Melayu. Lebih lanjut, A. C. Milner menjelaskan bahwa hubungan rakyat dan raja adalah hubungan yang juga menyertakan aspek ketuhanan di dalamnya. Ketundukan mereka pada rajanya mirip dengan yang terjadi dalam tata kelola pemerintahan Arab, khususnya Abbasiyah yang amat kental dengan nuansa kepemerintahan ala Persia pra Islam. Kedudukan raja atau sultan kerapkali diasosiasikan dipancari cahaya ketuhanan. Maka dari itu, dalam tradisi kerajaan Melayu, raja mendapat gelar “bayangbayang Allah di muka bumi.” Menjunjung tinggi martabat raja adalah juga mengagungkan Tuhan.148 Orang-orang Melayu menganggap diri mereka adalah hamba (patik) bagi raja. Raja adalah sosok penguasa semua tanah yang didiami mereka. Hukum juga dikatakan “milik” sang raja. 148
A. C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” dalam Ahmad Ibrahim dkk, peny, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1989) hlm. 54-56.
99
Sebagai contoh, Undang-Undang Malaka menggambarkan sultan sebagai pemilik undang-undang. Hukum kerajaan yang berasal dari perpaduan hukum agama dan adat belum sempurna jika tidak mendapat persetujuan raja. Undang-undang baru dikatakan sah diberlakukan jika sudah mendapat persetujuan dari raja dan para pembesarnya. Dalam kata pendahuluannya, undang-undang ini menjelaskan bahwa adat ini turun ke kita sejak masa Iskandar Agung dan Sultan Muhammad Syah, Raja Malaka pertama yang juga keturunannya telah “menetapkannya.” Adat dan undangundang ini senantiasa diwariskan pada raja-raja keturunannya dan menjadi milik mereka. Para wakil raja (termasuk juga raja bawahan) diharapkan menyelenggarakan pemerintahan merujuk pada adat dan undang-undang tersebut.149 Menurut penjelasan Ellya Roza, jika diperhatikan lebih lanjut, raja-raja yang memerintah Johor adalah terdiri dari tiga keluarga, yakni:150 1. Keluarga Kesultanan Malaka 2. Keluarga Bendahara 3. Keluarga Temenggung Tambahan lagi, keluarga Malaka yang memerintah Johor terdiri juga dari dua keluarga, yakni: 1. Keluarga yang langsung datang ke Johor dari Malaka 2. Keluarga Malaka yang tinggal di Pahang sebelum datang ke Johor Adapun Sultan Alauddin Riayatsyah II adalah keluarga Malaka yang datang dari Malaka. Sultan Alauddin meninggal pada tahun 1564, kedudukannya diganti oleh anaknya yang bergelar Muzaffar Syah yang memerintah sejak 1564 hingga 1570. Di masa 149
A. C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” .., hlm. 49-50. Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah; Pendiri Kerajaan Siak (Siak: Yayasan Pusaka Riau dan Pemerintah daerah Kabupaten Siak Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Pemuda dan Olahraga, 2012) hlm. 10-11. 150
100
pemerintahannya, sang Sultan menjadikan Bukit Seluyut sebagai persemayamannya sekaligus tempat pemerintahan Johor. Pada masanya pula, hubungan Aceh dan Johor mengalami ketegangan mengingat kala itu Aceh sedang giat melakukan perluasan dominasi kuasa. Upaya Aceh menjalar hingga mengancam eksistensi Johor.151 Munculnya Johor sebagai kerajaan baru bisa dikatakan sebagai pelanjut kerajaan Malaka. Penyebutan demikian dilatarbelakangi oleh karena raja-raja Johor terhitung masih keturunan raja-raja Malaka. Pamor Johor perlahan mulai naik, mengingat administrasi kerajaannya yang semakin membaik, ditambah pemasukan yang kian melimpah dari sektor perniagaan maritim. Letak Johor di tepi sungai Johor, merupakan spot strategis pedagangan di kawasan selat Malaka. Hubungan yang dinamis dengan kerajaan-kerajaan tetagga seperti Perak dan Pahang, membuat kerajaan ini semakin tumbuh besar, jauh dari ketegangan. Pertalian politik dengan Portugis, di kemudian hari, menjadi faktor penunjang lain, yang membuat mereka mampu membangun kerajaan tanpa khawatir mendapat gangguan dari tetangganya itu. Oleh sebab iklim perpolitikan yang harmonis tersebut, Johor perlahan mampu mengembangkan warisan potensi maritimnya. Bandar Johor mulai difungsikan sebagai tempat bersandar dan berniaga kapal-kapal asing. Pasarnya pun mulai bergeliat dan kedai-kedainya telah ramai dikunjungi pelaut dan saudagar lintas negeri yang singgah. Meskipun begitu, potensinya ini masih belum sanggup menandingi Malaka dan pelabuhanpelabuhan Aceh. Sejauh sumber yang didapat, belum ada literatur yang menjelaskan kemajuan Johor dalam di berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Merupakan suatu kesulitan tersendiri dalam memetakan perkembangan kerajaan secara rinci. Misalnya saja aspek sosial, ekonomi, politik, budaya secara terpisah. Diakui oleh Leonard Y. Andaya bahwa sumber mengenai Johor abad 16 dan 17 151
Mustafa Ali Mohamet, Johor Darul Takzim (Selangor: Pelanduk Publications, 1987) hlm. 3.
101
masih amat sedikit, apalagi yang ditulis langsung oleh orang Johor sendiri. Lebih lengkapnya ia mengatakan:152 The kaledioscopic treatment accorded to history of Johor in this period (16 and 17 centuries), because of the personal involvement of the authors in one or another group, has made it difficult to see the whole sweep of Johor history and the slow metamorphosis in the traditional elements of the power structure. For all the “Malay” histories available, there is very little written from the Johorese point of view which would have perhaps alluded to the attitudes of the Malays to the changes which were occuring and the manner in which they adapted or succumbed to these changes. Salah satu penyebab mengapa kerajaan ini tidak lantas segera menjadi kekuatan berpengaruh di Semenanjung Malaya, hingga menyaingi popularitas Portugis dan Aceh, yang merupakan dua kekuatan saling berseteru, di masa awal perkembangannya, adalah karena kerajaan ini kerap mendapat serangan dari dua kekuatan yang berebut pengaruh tersebut. Leonard Y. Andaya mencatat, wilayah Johor merupakan lahan empuk yang sering menjadi tempat berebut pengaruh baik Aceh maupun Johor. Keadaan tersebut membuat kerajaan ini kerap mengalami periode sulit berupa serangan dari kedua belah pihak. Portugis melancarkan invasi ke Johor pada tahun 1518, 1520, 1521, 1523, 1524, 1526, 1535 dan 1587, sedangkan Aceh pernah menyerbu Johor pada tahun 1564 (atau 1565), 1570, 1582, 1613, 1618 dan 1623.153 Namun yang dapat disebutkan, Johor memiliki ruang untuk berkembang menjadi kerajaan besar yang baru dicapainya menjelang 1641. Yakni ketika Aceh berangsur-angsur sudah mulai 152
Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell University, 1971, hlm. 8. 153 Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor ..., hlm. 18-19.
102
menyurutkan upayanya menjadi kekuatan utama di perairan Malaka dan sekitarnya. Di tahun tersebut pula Johor bekerjasama dengan Belanda mengalahkan Portugis sekaligus mengusirnya dari Malaka. tahun ini mnjadi babak baru bagi perkembangan kerajaan Johor hingga ke masa-masa setelahnya. Ellya Roza menyebutkan bahwa Johor mulai menguasai selat Malaka, sebagai salah satu bandar niaga yang ternyata masih memiliki reputasi di mata saudagar dunia, menginjak masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil syah III (1623-1677), tepatnya pada tahun 1641. Di tahun ini, Johor berusaha membangkitkan lagi kejayaan moyangnya, Malaka. Perluasan pengaruh juga mulai dibentangkan hingga dapat menguasai Selangor, Negeri Sembilan, Pahang dan Trengganu. Di samping itu, kerajaan-kerajaan pantai timur Sumatra yang sebelumnya tunduk pada Malaka, seperti Siak, Rokan, Aru dan Indragiri menyatakan kesetiaannya pada Johor. Menginjak tahun tersebut, sebenarnya daerah Johor mengalami kemerosotan wibawa, terlebih dalam pergaulannya dengan penguasa asing Belanda. Sepertinya Johor lebih memilih jalan kooperatif dengan hadirnya bangsa Kulit Putih tersebut, dengan tidak menindak keras mereka terlebih dengan melancarkan pelbagai aktivitas yang berujung pada kontak fisik. Wilayah Johor hanya terdiri dari Sungai Kelang, Sungai Penagie (Kuala Tinggi), Sungai Siak, Sungai Kampar, Bengkalis, Ungaran, kepulauan Karimun, p. Bintan, Lingga dan pulau-pulau di sekelilingnya, Singapura, Rio-Formosa, Sungai Batu Pahat dan Muar.154 Selanjutnya, darah Malaka yang mengalir dalam raja-raja Johor merupakan penyebab diagungkannya wibawa serta keturunan mereka yang ikut pula menaikkan reputasi mereka di kancah regional. Malaka merupakan induk bagi lahirnya kerajaankerajaan Islam di kawasan semenanjung dan pantai timur Sumatra. Identitas dan tradisi kemelayuan yang berkembang sampai dewasa ini, merupakan buah dari kerja keras para pendahulu raja bangsa Melayu yang dihubungkan pula dengan raja-raja Malaka. Bayangkan saja di masa kejayaannya, raja Malaka terakhir, 154
Ellya Roza, Raja Kecik ..., 9-10.
103
Mahmud Syah pernah menyerukan untuk menghentikan keberangkatan haji ke Mekkah bagi rakyatnya. Ia justru berkeinginan untuk menjadikan Malaka menggantikan Makkah.155 Dikenal dalam sejarah, Malaka menjadikan ulama-ulama Aceh sebagai rujukan dalam masalah keagamaan. Namun, perasaan ketertinggalan dalam ranah agama tidak lantas membuat raja serta perangkat pemerintahannya menata penyelenggaraan kerajaan. Pernyataan Raja Malaka tersebut, merupakan simbolisasi bahwa Malaka berkeinginan menjadi salah satu pusat berkumpulnya orang-orang Muslim lintas negeri, yang saudah dibuktikan melalui keramaian bandar dagangnya. Memori-memori kejayaan seperti demikian agaknya yang selalu dijaga oleh generasi keturunan Malaka yang kemudian tampil dengan wajah baru, yakni kesultanan Johor. Raja-raja Johor senantiasa menganggap pendahulu mereka ini sebagai inspirasi dalam mengembangkan kembali kedaulatan bangsa Melayu. Harapannya, dengan membawa bendera kebesaran Melayu lama, reputasi Johor akan meningkat pesat dan menjadi salah satu kekuatan baru yang berpengaruh di selat Malaka.
B. Pembangunan dan Perkembangan Kerajaan Johor Berdirinya kerajaan Johor boleh dikatakan sebagai pelanjut kerajaan Malaka sebelumnya, oleh karena yang menjadi rajarajanya masih terhitung keturunan Raja Malaka. Untuk sementara waktu, Johor dapat membangun kerajaannya tanpa mendapat ancaman yang berarti dari Portugis di Malaka, oleh sebab Aceh saat itu sedang giat-giatnya melakukan pelbagai langkah serius menghentikan dominasi Portugis di sekitar daerah kekuasaannya. Begitupula halnya dengan Portugis yang sungguh-sungguh ingin menegakkan daulatnya di seluruh perairan selat Malaka dan sekitarnya. Keuntungan bagi Johor tidak lantas diterjemahkan sebagai sikap apatis terhadap perkembangan politik regional di sekitarnya. Justru, keuntungan ini jika tidak dimanfaatkan secara 155
A. C. Milner, “Islam dan Martabat ...”, hlm. 66.
104
tepat serta sesuai dengan kebutuhan kerajaan dapat berubah menjadi roda besar yang melindas dan menjadikan Johor sebagai ajang perebutan kekuasaan tanpa bisa menyuarakan kebijakan politiknya. Rasa khawatir sudah tentu bersemayam di benak para penguasa Johor melihat karut marutnya rancang bangun politik di kawasan selat Malaka. Untuk itu, adalah pilihan tepat jika para pelarian Malaka tidak lantas tampil ke pentas pergaulan antar kerajaan, dan lebih memilih memperkuat jejaring bawahan Malaka yang terdesentralisasi pasca jatuhnya Malaka. Pelarian panjang para pelarian Malaka ke negeri-negeri yang disinggahinya sebenarnya merupakan investasi berharga bagi berdirinya Johor di kemudian hari. Logika yang bergulir adalah, apabila kerajaan pusat yang menjadi naungan para kerajaan kecil telah punah, maka kerajaan bawahan akan terlibat dalam kompetisi hebat memperebutkan tampuk kuasa bekas raja atasannya. Hal ini agaknya tidak langsung terjadi di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu, namun bukan berarti tidak mungkin terjadi. Nafsu berkuasa yang mengendap dalam diri seorang raja, akan memaksa dirinya untuk menggerakkan pasukan memperluas wilayahnya. Oleh karena itu, langkah Mahmud Syah mengikat kembali wilayah-wilayah bawahan Malaka, meskipun dengan dalih mencari perlindungan atas Portugis, dapat dimaknai sebagai momen awal dalam menganyam kembali jalin jemalin kejayaan Malaka, yang kemudian tampil dalam bentuk kerajaan Johor. Dalam bentangan sejarah Islam peristiwa ini mirip dengan pendirian Bani Umayyah II di Andalusia pada abad 8. Kala itu, sebagai sisa keluarga keluarga Muawwiyah yang selamat, Abdurrahman ad-Dakhil susah payah mencari tempat bersembunyi dan meminta suaka dari kejaran pasukan Abbasiyah, yang kala itu sedang merentangkan kekuasaaannya atas Dunia Arab dan sekitarnya. Pelariannya mencapai batas yang sebelumnya tidak dipikirkan, hingga sampai ke Spanyol. Di sana, oleh sebab kecakapannya, ia meniti karir politik dari tingkat bawah hingga akhirnya dapat menjadi pemuka
105
orang Islam dan membangun Dinasti Umayyah II bahkan kebesarannya menandingi Abbasiyah di kemudian hari.156 Walaupun Mahmud Syah berada dalam keadaan yang serba terbatas untuk dapat melakukan perlindungan diri, namun tidak lantas membuatnya menyerah pada Portugis. Kesabarannya menjalin komunikasi dengan raja-raja Melayu lainnya seperti Siak, Kampar, Bintan, Indragiri berbuah manis dengan keberhasilannya mendirikan Johor sebagai gerbong baru pewaris kebesaran Malaka. Segera pasca pendiriannya, Johor telah memiliki beberapa negeri yang beraja atasnya, yakni beberapa kerajaan yang tadi disebutkan ditambah dengan Pahang yang rajanya masih terhitung kerabat keluarga Malaka. Sebuah keuntungan tersendiri yang langka dijumpai bagi cepatnya proses perkembangan kerajaan yang baru didirikan, terlebih mengingat saat itu kemelut perebutan kuasa Aceh-Portugis sedang memanas. Oleh karena aparatur Johor generasi awal banyak yang diangkat dari mantan pejabat kerajaan Malaka, maka bisa dipastikan, untuk sementara waktu mereka tidak lantas sepaham dengan aktivitas Portugis. Sama seperti Aceh, salah satu agenda terdekat mereka adalah bagaimana merebut kembali Malaka dan mengalahkan bangsa Eropa itu. Untuk itu, pembangunan kota segera dibarengi dengan penguatan sistem keamanan dan pembentukan pasukan darat dan air. Hasilnya positif, pasukan ini menuai banyak keberhasilan dalam serangan penyergapan di perairan. Kapal-kapal Portugis yang berlayar di sekitar Johor banyak yang diserang. Pelaut Portugis yang mencoba melarikan diri ke Pahang ditangkap dan diberi dua pilihan, memeluk Islam atau mati.157 Mahmud Syah agaknya berhasil menciptakan kubah pengaruh yang melingkupi negeri-negeri bekas bawahan Malaka. Kesuksesan pasukannya menekan jumlah lalu lalang armada 156
Lebih lanjut mengenai perumpamaan historis ini baca Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep LH dkk (Jakarta: Serambi, 2008) hlm. 642-648. 157 Richard Winstedt, Malaya and Its History (Great Britain: The Anchor Press, 1933) hlm. 43.
106
Portugis di sekitar selat Malaka dan pesisir Sumatra Timur merupakan bentuk kerjasama yang dibangun antar pemuka kerajaan. Richard Winstedt menambahkan, baik dengan pasukan maupun dengan pengaruhnya di lingkungan para penguasa Sumatra (utamanya Sumatra Timur), Mahmud Syah banyak pula mendatangkan pasokan komoditas makanan bagi negeri barunya.158 Zona pengaruh Johor tanpa harus menunggu waktu lama cepat terbentuk dan ini yang kemudian mendorong Johor keluar sebagai kekuatan baru dalam perhelatan politik antar kerajaan. Tindakan defensif yang dikedepankan Johor ternyata tidaklah bertahan lama. Portugis segera mengetahui munculnya kekuasaan baru yang mengancam ambisinya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Sultan Alaiddin Riayat Syah II mengalami kesulitan menghadapi kepungan pasukan Portugis sehingga memaksanya berdamai dengan Portugis pada 1536. Tunduknya Johor dibarengi pula dengan penguatan kuasa Portugis atas kerajaan-kerajaan Melayu sehingga hampir secara berbarengan Perak dan Pahang jatuh dalam pengaruh Portugis.159 Meskipun pamor Johor atas beberapa kerajaan Melayu masih terasa, namun bukan berarti kerajaan-kerajaan tersebut akan memberikan bantuan sebagaimana yang diharapkan Johor, umpamanya membantu pengiriman pasukan atau logistik yang memadai. Sebagai keturunan raja-raja Malaka, harusnya Johor juga mampu mempengaruhi negeri-negeri Melayu lain agar mendukung gerakan mereka merebut kembali Malaka, namun yang terjadi justru sebaliknya. Persatuan antara kerajaan Melayu tercerai berai dan tidak diketemukan dalam catatan sejarah mengenai konsolidasi raya dunia Melayu yang dulunya merupakan bawahan Malaka, untuk menghancurkan kedudukan Portugis. Keberhasilan Portugis menguasai Johor dan beberapa kerajaan Melayu di atas menjadi bukti atas ketiadaan persatuan tersebut. Menyadari kerajaan berada pada keadaan sulit berkembang, menyebabkan para petinggi istana Johor dipaksa untuk mencari 158 159
Richard Winstedt, Malaya and ..., hlm. 43. D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara ..., hlm. 310.
107
jalan alternatif untuk mengupayakan agar kerajaan dapat terus bergeliat. Satu alternatif yang paling memungkinkan adalah tetap konsisten menjalani masa gencatan senjata dengan Portugis sembari memperkuat persaudaraan kerajaan-kerajaan Melayu dan negeri bawahan lainnya. Paling tidak, demikian hemat para penasehat kerajaan, Johor tetap dianggap sebagai kerajaan yang memiliki pengaruh kuat di selat Malaka dan suatu saat bisa menjadi daya tawar terhadap setiap kebijakan Portugis atas kerajaan ini. Bersamaan dengan semakin turunnya pamor Malaka, Aceh berkembang menjadi kerajaan dagang yang kuat. Sejak masa Ali Mughayyat Syah, Aceh telah rajin melakukan peperangan dengan Portugis. Di antara perang itu, tidak jarang Aceh memperoleh kemenangan. Menyaksikan munculnya kompetitor baru lawan Portugis tersebut, pejabat istana Johor mulai tersadarkan, Aceh menjadi ancaman berikutnya selain Portugis yang diramalkan akan mengupayakan perluasan pengaruh, tak terkecuali hingga menyentuh wilayah Johor dan bawahannya. Virginia Matheson Hooker mengungkapkan bahwa latar belakang Johor mulai bersinggungan dengan Aceh dan Portugis adalah karena dua kekuatan ini berpotensi mengganggu jalur dagang internasional yang menjadi andalan pendapatan mereka. Untuk itu, maka ketika pasukan Aceh akan menguasai Aru, Johor terlebih dahulu telah membuat aliansi dengan kerajaan Aru untuk bersama menghentikan laju Aceh.160 Ini merupakan perjumpaan awal antara Johor dengan Aceh. Sebagaimana telah diungkapkan, pada pertempuran ini Aceh mengalami kekalahan akibat serangan gabungan Johor dan Portugis. Di samping itu, kesempatan membantu Aru ini pula menjadi awal mula kemitraan Johor dengan Portugis. Setelah sebelumnya kedua kekuatan ini terlibat dalam gencatan senjata, momen menyelamatkan Aru dari cengkeraman Aceh menjadi ingatan indah di kalangan pemuka Johor bahwa ternyata Portugis merupakan rekan yang bisa diandalkan. Perlahan persepsi hitam 160
Virginia Matheson Hooker, A Short History of Malaysia (Australia: Allen and Unwin, 2003) hlm. 80.
108
yang dialamatkan Johor pada Portugis luntur sedikit demi sedikit. Begitu pula dengan Portugis, Aru yang merupakan bawahan Portugis ternyata dipandang sebagai rekan penting pula oleh Johor. Agaknya budaya kemelayuan menjadi faktor integratif keduanya. Pada titik ini, Portugis mulai menyadari bahwa kekerabatan sesama raja Melayu dapat diandalkan sebagai bagian bagi misi mereka mengalahkan Aceh. Agaknya para penguasa Johor menyadari pergerakan zaman yang berubah, membawa implikasi pada perubahan peta politik. Sebagai kerajaan yang baru berdiri, mereka tentu tidak dapat langsung menjadi lawan kuat penantang Aceh dan Portugis yang kala itu sedang bertikai. Serangan Aceh atas Aru merupakan peristiwa yang cepat membuka mata Johor untuk segera memilih mitra, dan karena yang diserang adalah Aru yang dahulunya merupakan bawahan Malaka,didorong oleh rasa kekerabatan sesama raja Melayu, maka Johor lebih menjatuhkan pilihan kepada Portugis ketimbang Aceh. Meskipun kekuasaan Malaka telah pudar, namun ikut sertanya Johor membela Aru, menjadi pertanda betapa ikatan persaudaraan Melayu masih kuat. Sejak itu, baik Johor dan Portugis terlibat dalam hubungan yang aneh. Johor tidak lagi menganggap Portugis sebagai musuh utama yang harus dienyahkan, melainkan bisa dimanfaatkan sebagai relasi bisnis yang menguntungkan mereka. Anggapan mengenai Portugis sebagai penakluk Malaka seakan diabaikan, yang terpenting, demikian kiranya hemat elit politik Johor, kesempatan mereka menjadi salah satu kekuatan besar Melayu tetap terjaga, meskipun harus berkomplot dengan musuh masa lalunya itu. Di sisi lain Portugis memandang Johor sebagai sosok utama paling berpengaruh dalam lingkungan para pembesar Melayu. Sematan pewaris kerajaan Malaka yang dimilikinya masih relevan dibuktikan dengan beberapa daerah Sumatra Timur yang tunduk di bawah Johor. Belum lagi menimbang kekuatan kerajaan Melayu lainnya seperti Perak dan Pahang yang juga memiliki garis kebijakan luar negeri sama dengan Johor. Jika kesatuan wilayah bawahan Johor ini berada di bawah komando Portugis, maka tentu jalan 109
menguasai Semenanjung Melayu dan sebagian besar Sumatra terbuka lebar. Oleh sebab itulah Portugis mulai memandang penting Johor, bukan lagi menempatkannya sebagai negeri bawahan namun lebih tepat disebut mitra yang saling menguntungkan. Usaha Johor dalam mengembalikan kedigdayaan Malaka bersamaan dengan masa ketika Aceh memaklumatkan perang terhadap Portugis. Dikuasainya Malaka membuat berang para penguasa Aceh yang kala itu sedang giat melakukan perluasan pengaruh. Bukan hanya dengan Portugis, Aceh juga tidak segan menyerang negeri-negeri Melayu dan sekitarnya yang diketahui memiliki hubungan dengan Portugis, Johor menjadi salah satunya. Sejak diketahui Johor membantu Portugis dalam penyerangan terhadap Aru pada 1540. Kesan Aceh terhadap perjumpaannya dengan Johor sudah pasti menganggap kerajaan itu merupakan sekutu Portugis. Sejak itu, maka Aceh sadar bahwa tugas mereka bertambah, selain mengalahkan Portugis, mereka juga berkewajiban menundukkan negeri-negeri Melayu sekutu musuhnya itu. Merujuk pada keterangan Leonard Y. Andaya, momen ketika Johor berhasil menahan kekuatan Aceh di muara sungai Panai pada 1540, menjadi memori kegemilangan yang mendongkrak wibawa Johor. Betapa jumawanya mereka karena saat itu mereka berhasil memukul balik pasukan Aceh yang sudah dikenal kuat dan pantang menyerah. Hampir bersamaan dengan masa itu, Aceh berhasil menjadi bandar dagang paling berpengaruh yang menghubungkan perdagangan muslim India dan Asia Barat. Kemakmuran yang dimiliki Aceh membuatnya berani menantang dominasi Johor atas negeri-negeri Melayu. Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Kahar merupakan sultan Aceh pertama yang mengadakan penyerangan pertama ke Johor pada 1564/1665.161 Serangan ini menjadi pelajaran berharga pihak Johor untuk tidak meremehkan Aceh, bahkan ketika mereka merasa memiliki mitra setangguh Portugis.
161
Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor ..., hlm. 18.
110
Serangan ini cukup membuat pihak istana Johor dirundung kekhawatiran hebat. Sultan Muzaffar Syah naik tahta pada 1564, mendapat pekerjaan baru untuk menenangkan aparat pemerintah Johor beserta masyarakatnya. Ia memutuskan untuk memindahkan ibukota dari yang sebelumnya di tepi sungai Johor pindah ke bukit Seluyut. Ia sendiri amat mengutuk serangan Aceh atas negerinya dan tidak rela jika Johor sampai berada di bawah kendali Aceh. Berbeda dengan tradisi kerajaan yang menahbiskan putra mahkota sebagai suksesor seorang raja, Muzaffar Syah justru mengangkat keponakannya, Raja Abdul Jalil menjadi Raja Johor keempat bergelar Sultan Abdul Jalil Syah pada 1570. Muzaffarsyah sendiri di kemudian hari meninggal di Seluyut pada 1570.162 Perpindahan pusat pemerintahan dari tepi sungai Johor ke wilayah pedalaman, yakni di Bukit Seluyut, memiliki implikasi yang berganda. Secara pertahanan, perpindahan ini dapat dilihat sebagai suatu langkah penting guna menghindari serangan musuh yang datang dari arah perairan. Pilihan daerah yag lebih tinggi, memungkinkan pasukan Johor untuk mematangkan persiapan jika serangan datang dari arah sungai, sehingga ancaman serangan musuh dapat diminimalisir. Di pihak yang lain, pemindahan ini berpotensi memperlemah proyek pembangunan perdagangan maritim Johor. Tidak bisa dipungkiri, kawasan perairan Malaka, merupakan ajang perebutan pengaruh antara Aceh dan Portugis. Pemindahan ini, membuat Johor tertinggal langkah dalam membangun sistem pelabuhan yang baik dan modern di masanya. Terlebih Portugis masih gencar melakukan patroli di beberapa wilayah Semenanjung Malaya maupun pesisir Sumatra Timur, sehingga mempersulit ruang gerak Johor di wilayah pesisir. Raja Abdul Jalil yang masih kecil, yakni berumur sekitar 9 tahun dianggap masih terlalu dini memimpin kerajaan yang baru mengalami perubahan ibu kota dengan tumpukan pekerjaan rumah yang belum selesai itu. Maka disepakati pengurusan pemerintah diserahkan sementara kepada Bendahara Seri Maharaja. Pengangkatan raja baru ini ternyata tidaklah disukai oleh sebagian pembesar istana. Mereka sepakat untuk menyingkirkan raja kecil 162
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 3-4.
111
ini dengan cara diracun. Tidak sampai setahun bertahta, akibat skenario para pembesar, ia mangkat secara tiba-tiba, dan penyebabnya adalah karena diracun. Sultan Muzaffar Syah memiliki saudara perempuan bernama Raja Fatimah. Saudarinya ini menikah dengan Raja Umar, putra Raja Pahang. Ketika Sultan Abdul Jalil Syah kecil mangkat, pembesar Johor terlibat dalam kesibukan mencari pengganti Raja Johor berikutnya. Pilihan sebenarnya jatuh pada Raja Abdullah, putra mendiang Sultan Muzaffar Syah, namun keputusan ini mendapat tentangan dari Raja Fatimah. Menurutnya, Raja Abdullah belumlah pantas memimpin negeri karena masih kecil. Ia menyarankan suaminya menjadi Raja Johor berikutnya. Tanpa menunggu waktu lama, sidang kerajaan akhirnya memutuskan Raja Omar diangkat menjadi Raja Johor ke 5 bergelar Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II.163 Dalam Tuhfatunnafis, suatu naskah sastra sejarah Melayu yang ditulis oleh Raja Ali Haji bin Ahmad, pujangga Melayu abad 19, menyebutkan bahwa di masa Sultan Abdul Jalil Syah, Johor pernah melancarkan serangan melawan Portugis di Seluyut. Saat itu, pasukan Johor berhasil mengalahkan sekaligus memukul mundur musuhnya itu. Di masa Raja Johor ke 4 ini, dibangun pula pemukiman di hulu sungai Damar yang merupakan anak sungai Batu Sawar. Ia juga membangun pemukiman di Makam Tauhid, tempat yang kemudian menjadi peristirahatan terakhirnya. Selain itu, Sultan Abdul Jalil juga memperkuat kekerabatan dengan kerajaan Melayu lainnya. Bukan dengan perkawinan, melainkan dengan langsung mendudukkan putra-putranya sebagai raja di beberapa kerajaan Melayu. Dengan istri keduanya, Sultan Abdul Jalil memiliki tiga putra; Raja Hasan diangkat menjadi Raja Siak, Raja Husein diangkat menjadi Raja Kelantan dan Raja Mahmud ditahbiskan menjadi Raja Kampar.164
163
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 4-6. Raja Ali Haji bin Ahmad, The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis), Transl. Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982) hlm. 12 164
112
Terlihat, adanya kerancuan pemahaman dalam mengungkap Sultan Abdul Jalil dalam Tuhfatunnafis jika membandingkannya dengan informasi mengenai Sultan Abdul Jalil yang ternyata meninggal ketika masih kecil seperti dipaparkan sebelumnya. Tidaklah mungkin sultan yang baru berumur 9 tahun kemudian memiliki 3 anak yang dijadikan raja. Terkait hal itu, Virginia Matheson dan Barbara W. Andaya memberikan catatan di bagian akhir karya Raja Ali Haji ini bahwa Sultan Abdul Jalil yang tertulis di Tuhfatunnafis merujuk pada dua orang yang berbeda yang memerintah Johor dalam tahun yang sama, sekitar 1570 atau 1571.165 Dua sultan itu tidak lain adalah Sultan Abdul Jalil Syah yang masih anak-anak dan Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah. Besar kemungkinan dua sultan ini kemudian digabungkan dalam satu nama dalam Tuhfatunnafis. Sehingga, sosok yang dikatakan mendudukkan anaknya sebagai raja negeri Siak, Kelantan dan Kampar adalah Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah. Menginjak 1574, menjadi titik balik bagi hubungan Aceh dengan Johor dari hubungan saling menjatuhkan berubah menjadi rekonsiliasi yang menenangkan dan berazaskan manfaat, sebagaimana yang telah disinggung di bab sebelumnya. Hubungan baik ini dipererat dengan dinikahkannya putri Sultan Husain, Raja Aceh kala itu dengan pangeran Johor. Begitu mengetahui Johor telah berbaikan dengan Aceh, Portugis menunjukkan kekecewaannya dengan menyerang Johor pada 1576 dan 1578.166 Di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil yang memerintah Aceh pada 1584-1604, hubungan baik Aceh dan Johor mengalami kerusakan. Konflik antara keduanya terjadi tatkala Aceh menyerang Aru yang menjadi salah satu lokasi potensial Portugis di Sumatra yang dianggap Aceh menjadi ancaman kekuasaannya jika tidak segera dikuasai. Mengetahui hal ini, Johor merasa tersinggung dan berpaling membela Aru. Raja Johor saat itu segera mengarahkan pasukannya untuk melindungi 165
Raja Ali haji, The Precious Gift ..., hlm. 310. Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) hlm. 52. 166
113
Aru. Untuk memperkuat pasukan, pemuka Johor meminta bantuan Portugis. Ketika perang pecah, pasukan Aceh mendapati benteng pertahanan yang kokoh yang digalang pasukan gabungan ini. Akhirnya, perang ini dimenangkan oleh pasukan Johor-Portugis. Hubungan Johor dan Portugis pada tahun 1590-an, ternyata tidak sepenuhnya berjalan baik. Mustafa Ali Mohammad menyebutkan bahwa ketika Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II bertahta menjadi Sultan Johor ke 5, Johor terlibat dalam persengketaan dengan Portugis. Menginjak tahun 1586, pasukan Johor memblokade kapal-kapal pemasok makanan ke Malaka, yang menyebabkan kota Malaka terancam kelaparan. Sang sultan memerintahkan pasukan laut Johor menutup jalur selat Singapura. Cara menyekat yang unik diperagakan pasukan Johor yakni dengan cara membariskan kapal-kapal tongkang yang diisi dengan batu-batu besar. Portugis yang semakin terjepit berhasil mengirimkan utusan ke Goa India untuk meminta bantuan. Pada tahun 1587, Portugis dengan bantuan Goa berhasil keluar dari tekanan dan menyerang negeri Johor. Kala itu pasukan Johor berperang dengan senjata tradisional dan harus berjibaku melawan serangan meriam Portugis. Pada 23 Juli di tahun yang sama, pasukan Johor berhasil memukul mundur Portugis dari negeri mereka. Kekalahan ini membuat Portugis tidak puas dan kembali menyerang Johor pada bulan Agustus. Pada serangan kedua ini, Portugis menggerakkan pasukan yang lebih kuat dan banyak. Akibatnya, Johor tidak dapat lagi menahan hempasan serangan Portugis dan akhirnya pertahanannya jebol. Sultan Ali Jalla memutuskan mundur ke Batu Sawar dan mangkat di sana. Kedudukannya diganti ankanya, Raja Mansur, yang setelah naik tahta bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah III. Pada tahun 1597, Sultan Alauddin tidak berminat untuk memimpin Johor lebih lanjut. Ia menyerahkan tahtanya kepada adiknya, Raja Abdullah dan Bendahara Tun Sri Lanang. Sultan Alauddin dikenal sebagai sosok yang lalai dalam memimpin negeri. Keseharianya hanya dipenuhi dengan gaya hidup hedonistik, di mana dayang-dayang, gundik-gundik serta pegawai 114
istana yang sehobi dengannya menemaninya hampir setiap waktu. Namun begitu, ia tetaplah menduduki tahta sebagai sultan, hanya saja dalam penyelenggaraan kerajaan ia menyerahkan tanggung jawab pada dua orang di atas.167 Sultan Alauddin memutuskan perkara penting dengan memindahkan ibukota ke Batu Sawar. Batu Sawar sendiri sebenarnya adalah suatu pekan (pasar), terletak sekitar 10 Km dari bibir sungai Johor. Ibukota baru ini dikelilingi oleh pagar kayu besar, rapat dan tinggi yang tingginya 3, 6 meter.168 Di samping itu, Tuhfatunnafis menyebutkan bahwa di masa ini pula dibangun pemukiman di tepi sungai Rawun dan Pasir Raja.169 Pada 1602, terjadi babak baru dalam episode hubungan internasional Johor. Datangnya duta Belanda ke Batu Sawar disambut baik oleh segenap punggawa kerajaan. Adalah Admiral Jacob van Heemskerck, seorang staf angkatan laut Belanda, yang mengemban tugas mengajak Johor untuk menjalin kerjasama kenegerian. Tidak tanggung-tanggung, Belanda siap membantu perjuangan Johor dalam menghadapi seteru-seterunya seperti Portugis, Aceh dan di masa depan Patani. Tawaran menggiuarkan ini segera diterima oleh Sultan Alauddin Riayatsyah III. Sebagai tanda keseriusannya, sang sultan mengirimkan duta untuk bertemu Pangeran Maurits, pemuka pemerintahan Belanda yang keberangkatannya bersamaan dengan pulangnya Jacob van Heemskreck. Kerjasama ini merupakan pintu gerbang awal masuknya Belanda ke kepuluan Melayu-Indonesia atau Nusantara. Melalui kerjasama dengan Johor, kedepannya, Belanda berhasil menanamkan pengaruh ke seantero Semenanjung Malaya.170 Menginjak 6 Juni 1613, hubungan yang memburuk dengan Aceh yang terjadi pada akhir abad ke 16 berbuah menjadi petaka bagi Johor. Batu Sawar mengalami masa kesuramannya, yakni dengan datangnya serbuan pasukan Aceh. Serbuan ke Johor ini merupakan satu episode dari rangkaian penaklukan regional yang 167
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7. Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7-8. 169 Raja Ali Haji, The Precious Gift ..., hlm. 12. 170 Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23. 168
115
ditetapkan oleh pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Raja Aceh yang sedang berambisi menjadi raja diraja Sumatra dan dunia Malaya. Dalam pertempuran in Raja Johor berhasil ditangkap dan dirinya beserta pejabat kerajaan lainnya termasuk saudara sang raja bernama Raja Abdullah (Raja Seberang), Bendahara Tun Sri Lanang, Putri Kamaliah (Putri Pahang), Raja Siak yang kebetulan melawat ke Johor, serta pejabat dan sebagian dari rakyat Johor di bawa ke Aceh. Ibukota Johor kala itu sedang menatap bayangan kematiannya, di mana kehancuran menjadi pemandangan yang terhampar. Di Aceh, para tawanan Johor mendapat perlakuan yang istimewa dari Sultan Aceh. Segera, diadakan pertemuan bilateral antara Johor dan Aceh guna membahas perspektif politik internasional Johor. Pada kesempatan itu Johor menyatakan akan mengikuti agenda politik Aceh untuk jangan menjalin hubungan dengan Portugis. Raja Johor dikabarkan mangkat di Aceh. Raja Abdullah kemudian dinikahkan dengan Putri Ratna Jauhari, adik Sultan Aceh. Iskandar Muda juga mempersunting Putri Pahang sebagai istrinya. Setelah kesepahaman dua kerajaan tercapai, Raja Abdullah kemudian kembali ke Johor disertai sekitar dua ribu pasukan Aceh di bawah pimpinan Raja Lela Wangsa. yang ditugaskan khusus membangun kembali Batu Sawar.171 Untuk kesekian kalinya pernikahan antar bangsawan dua kerajaan diharapkan menjadi perekat persahabatan. Setelah mangkatnya Sultan Alaiddin Riayat Syah III, pada 1615, kepemimpinan Johor dilanjutkan oleh Raja Abdullah yang bergelar Sultan Hammat Syah.172 Segera setelah pengangkatannya, ia membuka komunikasi rahasia dengan VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie) kongsi dagang Belanda, dengan menawarkan sebidang tanah untuk pembangunan benteng VOC, yang di masa mendatang bersama-sama Johor dapat menaklukkan Aceh. Setelah menimbang beberapa lama, Raja Johor menilai VOC tidak komitmen dengan kesepakatan awal, lantas sang raja membuka 171
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 20 dan Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 28-29 dan 56. 172 Dalam sumber lain bergelar Sultan Abdullah Ma‟ayat Syah. Lihat Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 9.
116
kembali perjanjian bilateral dengan Portugis. Salah satu kerjasama yang disepakati adalah pengangkutan komoditas pangan berupa beras dan kebutuhan lainnya dengan perahu kecil dari RiauLingga, yang menjadi salah satu bandar dagang tempat berniaganya junk-junk dari Siam, Patani, Jawa Makassar dan dari daerah lainnya. Sultan Hammat Syah menolak cara lama sistem pertahaan militer dengan hanya bertahan di muara sungai Johor, yang biasanya dijadikan jalan keluar ketika Johor mendapat serangan lawan. Ia memilih pulau Bintan sebagai benteng pertahanan Johor. Perpindahan ini juga dimaksudkan agar mudah mendapatkan bantuan dari sekutunya, Orang Laut173 yang berdiam di kepulauan Riau-Lingga. Dalam upayanya memugar kekuatan militer guna persiapan menghadapi Aceh, Raja Johor ini juga menjalin kerjasama multilateral dengan kerajaan Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar dan Siak 174 Setelah mempertimbangkan masakmasak, Batu Sawar tidak lagi dianggap sebagai tempat yang aman sebagai ibukota, oleh sebab itu pusat pemerintahan kembali dipindahkan dan kali ini ditempatkan di pulau Lingga. Alangkah marahnya Iskandar Muda mengetahui Johor kembali menjalin hubungan dengan musuh Aceh. Pada 1623, genderang perang kembali ditabuh, armada Aceh kembali disiapkan dan diberangkatkan langsung menerjang pulau Lingga. Lewat serangan terpola yang spartan dan sistematis, pulau ini segera dapat dikuasai. Mengetahui posisinya tidak aman, Raja Johor melarikan diri ke Tambelan, yang menjadi salah satu daerah
173
Merujuk pada penjelasan A. B. Lapian, Orang Laut adalah salah satu suku bangsa yang hidup di perairan Sumatra Timur dan selat Malaka yang kehidupannya amat dekat dengan tradisi kemaritiman. Dalam hubungannya dengan kerajaan Johor dan kerajaan Riau, Orang Laut termasuk dalam kategori rakyat kerajaan. Mereka memiliki klebihan di banding suku bangsa lainnya, yakni bebas dari pajak perorangan. Meskipun begitu, mereka diwajibkan memberi jasa denga dipekerjakan sebagai pengayuh perahu kerajaan, penyedia perahu bagi kerajaan dan sebagainya. Lebih lanjut lihat A. B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (Depok: Komunitas Bambu, 2009) hlm. 109-110. 174 Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 21.
117
pertahanan kuat Johor. Beberapa bulan kemudian, Raja Johor ini dikabarkan mangkat di pulau tersebut.175 Sepeninggal Sultan Hammat Syah, Raja Bujang didaulat sebagai Sultan Johor berikutnya. Ia lebih dikenal dengan gelarnya, Sultan Abdul Jalil Syah III, dan naik tahta segera setelah mangkatnya raja pendahulu di pulau Tambelan. Ketika dilantik, ia dikenakan satu syarat, yakni saat ia berpulang nanti, maka pewaris tahtanya adalah anak dari Sultan Hammat Syah atau Sultan Abdullah Ma‟ayat Syah yang bernama Raja Bajau. Dengan istilah lain ia segera mengangkat Raja Bajau sebagai Raja Muda Johor. Suratan takdir ternyata berjalan lain, Raja Bajau mangkat lebih awal ketimbang Raja Bujang yakni pada 1676. Ia meninggalkan seorang putra bernama Raja Ibrahim. Setahun berselang, Raja Abdul Jalil Syah III meninggal dan segera digantikan oleh Raja Ibrahim yang menjadi Sultan Johor ke 9 dan naik ke tampuk kerajaan dengan gelar Sultan Ibrahim Syah. Ia memindahkan pusat pemerintahan Johor ke Riau dan mangkat di sana pada 1685.176 Andaya menambahkan bahwa setelah kemenangan Portugis atas Aceh, yang merugikan Aceh dengan kerugian berupa kehilangan sekitar 19.000 pasukan dan hancurnya semua kapal Aceh, membawa angin segar bagi Johor untuk merekonstruksi kekuatannya di dunia Melayu. Dengan adanya kebebasan sementara dari gangguan Aceh, Johor berkesempatan memperluas kekuasaan serta membangun relasi dagang dengan mancanegara. Di tahun 1623, Johor mengirim duta ke Jambi dan Palembang untuk mengupayakan repatriasi (pemulangan kembali) orang-orang Johor yang menyelamatkan diri ke dua daerah tersebut. Pemulihan kawat diplomatik juga dilakukan ke Patani. Perbaikan demi perbaikan segera dicanangkan kembali guna memugar prestis Johor sebagai kekuatan besar di dunia Melayu. Pada 1637, suatu laporan Belanda menginformasikan armada Johor yang berlayar di kepulauan Karimun tidak hanya berhasil memukul kapal-kapal Portugis tapi juga mematahkan skuadron laut Aceh yang menuju ke Pahang. Persekutuan dengan Belanda 175 176
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22. Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 10.
118
membuat Johor kebesarannya.177
semakin
mudah
membangun
kembali
Tatkala kebimbangan menyelimuti Sultan Iskandar Thani, Raja Aceh pengganti Iskandar Muda, dalam rangka memberangkatkan pasukannya membantu Belanda melawan Portugis, tanpa membuang waktu, Johor menyelinap mengambil momen tersebut. Didorong oleh ingatan buruk pada 1511, ketika Portugis menguasai Malaka, membuat pihak Johor sedemikian yakin langkahnya adalah keputusan penting yang sepatutnya diambil. Suatu hari di tahun 1639, datanglah seorang laksamana Johor ke kantor perwakilan Belanda dan mengaku dirinya telah diberi otoritas penuh dari Raja Johor untuk membantu Belanda mengalahkan Portugis. Ia menemui Philips Lucas, seorang pegawai VOC di Patani untuk menandatangani kontrak tersebut. Sekembalinya dari penandatanganan tersebut, Belanda setuju untuk membantu pembangunan benteng-benteng di Batu Sawar dan tempat lainnnya yakni dengan menyumbang meriam dan mesiu, sekaligus memberi garansi keamanan untuk Johor dari segala “tindakan perilaku di luar hukum baik yang dilakukan Portugis maupun Aceh.”178 Ketika tiba masanya pengepungan Malaka, yang dimulai pada 2 Agustus 1640 dan berakhir pada penaklukkannya pada 14 Januari 1641, Johor memasok beragam bantuan. Para pasukan Johor menyumbangkan tenaga mereka secara penuh dalam transportasi material, membangun barikade pertahanan dan parit hingga menghalau musuh yang melarikan diri ke kebun atau hutan. Atas bantuan ini, Belanda memberikan apresiasi tertinggi yang konon merupakan bentuk penghargaan paling tinggi terhitung sejak keterlibatannya secara tidak langsung dalam beragam pertempuran sejenisnya. Di akhir November 1640, Belanda mencatat sebanyak 1.707 pasukan mati dan 470 luka-luka. Mereka mendapat bantuan penguatan pasukan Johor sebanyak 600 orang yang datang di kemudian hari membantu 1000 atau 1200 pasukan Johor yang diberangkatkan lebih awal yakni pada 29 Juli 1941 di 177 178
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23 Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 23.
119
bawah pimpinan Sri Bija di Raja, putra tertua Laksamana. Atas bantuan ini, Gubernur Jendral Belanda saat itu, Antonio van Diemen menulis surat pada Heeren XVII di Belanda tertanggal 23 Desember 1643 menyebutkan: “dalam rangka penaklukkan Malaka, tanpa bantuan mereka (Johor) kami tidak akan bisa menguasai tempat kuat tersebut.”179 Belanda amat berterimakasih dengan keterlibatan Johor dalam penguasaan Malaka dengan balasan memberikan penjagaan atas kebebasan mereka. Johor didapuk menjadi sekutu terdekat bangsa Eropa itu di kawasan dunia Melayu dan hal itu diramalkan akan membawa kebaikan di masa depan. Menginjak 15 Februari 1641, Sultan Iskandar Thani mangkat dan digantikan masa pemerintahan ratu-ratu Aceh yang membawa kerajaan Aceh ke masa kemunduran. Sebaliknya, tahun tersebut menjadi titik balik kebebasan Johor merangkai kembali kejayaannya. Dua musuh klasiknya, Aceh dan Portugis, telah tumbang. Kini saatnya mereka membuka lembaran emas dengan kawan Eropanya, Belanda, yang di saat yang sama juga sedang melebarkan pengaruhnya di selat Malaka.180 Kehadiran Aceh dan Portugis dalam dinamika perpolitikan Johor menyimpan pelbagai intrik yang menarik untuk diikuti. Apapun alasannya, Johor menjadi kerajaan yang tinggal landas mencapai kemapanan hingga dewasa ini setelah sebelumnya terlibat dalam dialektika dengan dua kekuatan tersebut.
C. Johor Menyikapi Posisi Aceh dan Portugis Berdirinya Johor dalam bayang-bayang pertikaian Aceh dan Portugis, tentu saja membawa pengaruh baru dalam konstelasi perpolitikan perairan Malaka dan sekitarnya. Sebagai negeri yang didirikan oleh raja terakhir Malaka, Johor memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk kembali mengulang kejayaan Malaka. Jaringan kerajaan bekas bawahan Malaka, sebagaimana yang 179 180
Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 24. Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 23-24.
120
dijelaskan di atas, menjadi salah satu modal yang bisa diandalkan dalam memperjuangan cita-cita tersebut. Terhadap keadaan regional yang diramaikan dengan kontestasi Aceh dan Johor, agaknya Johor memiliki perhitungan tersendiri. Kerajaan ini tidak hanya cukup hanya dengan melakukan kebijakan politik tertutup, melainkan membuka peluang untuk menjajaki hubungan dengan kedua belah pihak. Dalam praktiknya, Johor menemui beberapa tantangan bahkan seringkali berujung dengan kerugian yang diderita akibat salah satu dari kekuatan tersebut menyerang Johor, manakala mengetahui Johor memilih satu di antara dua sekutu itu. Hubungan antara Johor dengan Aceh atau Johor dengan Portugis boleh dikatakan merupakan salah satu bentuk diplomasi. Meskipun tidak selalu antara kedua kerajaan berkiriman duta besar, seperti yang terjadi di masa kini, komunikasi yang terbangun dari dua lembaga pemerintahan (tingkat kerajaan atau negara) yang berbeda demi kepentingan bersama merupakan satu wujud hububangan bilateral. Dalam terminologi ilmu hubungan internasional modern, kerajaan Johor pada awal kemunculannya dapat dikategorikan sebagai small state atau negara kecil. Godfrey Baldacchino memberikan tiga pengertian dari negera kecil. Pertama, negara kecil adalah negara persemakmuran (commonwealth)181, yang dalam tata kelola negaranya masih dibantu oleh Kerajaan Inggris. Sebagai contoh, secara berkala Inggris selaku commonwealth secretariat mengadakan program-program sosial seperti pendidikan dan pelatihan pengembangan sumber daya manusia. Termasuk dalam tugas commonwealth secretariat, adalah mengadakan pemantauan dan solusi terkait indeks kerentanan (vulnerability index) dari negara-negara kecil bawahannya.
181
Commonwealth of nations atau the Commonwealth (negara-negara persekutuan), merupakan sekumpulan negara yang merupakan bagian dari Kerajaan Inggris. Lihat Oxford Learner’s Pocket Dictionary, 3rd edition (Oxford: Oxford University Press, 2003) hlm. 81.
121
Kedua, negara kecil merujuk pada pengertian suatu negara yang memiliki kedaulatan hukum yang minim. Termasuk dalam kategori negara jenis ini adalah negara pulau atau kepulauan yang tidak mampu mengolah sumber daya alamnya secara mandiri, sehingga membutuhkan negara lain untuk menanganinya. Sebagai contoh adalah negara-negra di kawasan regional Oseania semacam Tuvalu, Vanuatu, Nauru dan lain-lain. Ketiga, termasuk dalam negara kecil adalah negara yang selain kecil secara geografis dan rentan pertahanannya, juga memanfaatkan lobi internasional dalam meningkatkan produktivitas ekonomi yang rendah.182 Makna kedua dan ketiga dari small state sebenarnya agak mirip, hanya saja mungkin Baldacchino hanya memberikan penekanan bahwa negara jenis kedua hanya berkisar pada negara yang tidak memiliki sumber daya manusia yang terlatih dalam mengelola sumber daya alamnya. Sedangkan yang ketiga menitikberatkan pada dukungan internasional untuk meningkatkan kemakmuran rakyat serta keamanan negaranya. Pendeknya, jenis kedua hanya berkisar pada kebutuhan ekonomi, sedangkankan yang ketiga, bantuan dibutuhkan dalam wilayah yang lebih kompleks. Terlepas dari itu, antara pengetian kedua dan ketiga sesugguhnya bisa dileburkan. Posisi Johor pada masa awal berdirinya masihlah bisa dikatakan sebagai negara kecil, sebagaimana yang digambarkan oleh Baldacchino di atas. Kerajaan ini membutuhkan mitra yang tepat, yang sanggup membawa Johor pada perkembangan kedaulatan serta kemakmuran yang kuat, sehingga mampu tampil sebagai kekuatan baru di kancah regional kawasan Melayu. Untuk itu Johor mulai melakukan serangkaian aksi diplomatik atau lobi internasional pada negeri-negeri tetangganya. Istilah diplomasi memang belumlah dikenal secara umum di lingkungan kerajaan-kerajaan Nusantara, hanya saja tindakantindakan kedua negara dalam menjalin kerjasama strategis sudah 182
Godfrey Baldacchino, “Thucydides or Kissinger ? A Critical Review of Small State Diplomacy” dalam Andrew F. Cooper and Timothy M. Shaw, ed, the Diplomacies of Small States; Between Vulnerabulity and Resilience (New York: Palgrave Macmillan, 2009) hlm. 24-25.
122
ditemukan, yang juga merupakan elemen penting dari diplomasi. Dalam konteks Asia Tenggara kala itu, yang masih didominasi oleh pemerintahan sistem kerajaan, diplomasi antarkerajaan tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk dari diplomasi klasik. Harold Nicholson menyebutkan dalam salah satu bentuk klasiknya, yakni di era Yunani, diplomasi dipahami sebagai seni bernegoisasi (art of negotiation). Kelihaian bernegoisasi dapat menghubungkan kota-kota Yunani yang terpencar secara geografis menjadi lebih dekat. Profesi negoisator biasanya diemban oleh anggota keluarga petinggi kota. Persyaratan utama bagi negosiator adalah seorang yang memiliki ingatan kuat dan suara yang lantang. Pemahaman yang memadai tentang perniagaan dan relasi politik antarkota menjadi standarisasi atau rudimentari (faktor elementer) bagi layanan diplomatik saat itu.183 Pemaknaan diplomasi sebagai negosiasi ini amat lekat ketika membincang hubungan kenegrian Johor dengan Aceh dan Portugis. Pasang surut arus diplomasi dengan kedua tetangganya tersebut hampir selalu berimplikasi baik dan buruk bagi perjalanan Johor di kemudian hari. Hubungan ketiganya ibarat bara dalam sekam, kelihatannya sering akrab namun tidak berselang lama berubah menjadi pertikaian yang kebanyakan dari kekeruhan hubungan ini berdampak buruk bagi perkembangan Johor. Tingginya intensitas serbuan Aceh dan Portugis atas kerajaan ini, sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, menjadi pembuktian yang tidak terbantahkan. Makna negoisasi pada tataran kerajaan-kerajaan Nusantara memang menemui pemahaman regional yang khas. Seperti telah disampaikan sebelumnya, menginjak awal abad 17, bahkan jauh dari tahun-tahun sebelumnya, Aceh dan Portugis sedang giat melapangkan dominasinya atas negeri-negeri Melayu. Di pihak lain, para petinggi istana Johor, sejak waktu-waktu sebelumnya, memainkan peran ganda yakni menjalin hubungan temporal dengan keduanya. Sesuatu yang tidak disukai dengan dua kekuatan politik yang disebut belakangan. 183
Harold Nicolson, Diplomacy (London: Oxford University Press, 1942) hlm. 20.
123
Terlihat benar, betapa azas oportunistik menjadi landasan Johor dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya. Negoisasi, sebagaimana yang disebutkan Nicolson, lebih efektif dijalankan oleh keluarga kerajaan terealisasikan dengan pernikahan putra-putri Johor dengan Aceh. Jalinan kekeluargaan ini tentu saja tidak dilandaskan dengan cinta dua insan sepenuhnya, melainkan juga didasari oleh mengunduh manfaat bagi keduanya. Johor memanfaatkan kedudukan istimewanya tatkala menjadi bagian keluarga Aceh untuk membangun kerajaannya dan berlindung dari bayang-bayang ancaman Portugis. Bagi Aceh berkerabat dengan keluarga istana Johor merupakan jalan halus agar garis kebijakan regional kerajaan ini dapat sejalan dengan skema politik lintaskepulauan Aceh. Terkait Portugis, Johor juga menerapkan ketetapan berpolitik yang disesuaikan dengan azas manfaat. Mereka menyadari, sama dengan Aceh, Portugis merupakan bangsa yang kuat dan telah dalam beberapa kesempatan mengalahkan Johor. Untuk itu, mereka memandang perlu dalam momen tertentu, apalagi ketika berselisih dengan Aceh, untuk menjalin tali diplomatik dengan Portugis. bangsa Eropa ini pun pada akhirnya masuk dalam skema oportunis yang direncanakan Johor, lantas menerima penyerahan diri kerajaan tersebut. Bagi Johor, tidaklah mengapa mereka menyatakan ketundukkan pada bangsa kafir sekalipun, asalkan kemaslahatan kerajaan dapat diutamakan. Yang justru menjadi pertanyaan, Portugis akan selalu ada membantu Johor tatkala kerajaan ini membutuhkan bantuannya. Ketika sekitar tahun 1790 ataun 1900-an, Portugis bersedia membantu Johor melawan Aceh yang sedang berupaya menaklukkan Aru.184 Sepertinya, Portugis dan Johor sudah amat terbiasa dengan pola politik yang dicanangkan Aceh yang sedang bergeliat menjadi penguasa Sumatra. Hubungan berbasis kepentingan sesaat mewarnai hubungan Johor dengan Portugis. Hubungan antara bangsa Melayu dengan Portugis boleh dikatakan kerap berada pada posisi pasang surut. Namun, yang 184
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7.
124
dapat diketahui, kadar kebencian orang Melayu Johor jika dibandingkan dengan Aceh terhadap kehadiran Portugis tentulah berbeda. Dalam beberapa kesempatan, Johor dan Portugis sering terlibat kerjasama dalam menahan pengaruh Aceh, seperti terlihat dalam kasus Aru. Agaknya Portugis memiliki penilaian tersendiri mengenai keluwesan dan keterbukaan pergaulan orang Melayu Johor terhadap mereka, yang dianggap lebih bisa diajak berkompromi ketimbang harus berhubungan dengan Aceh. Jehosaphat Aspin185, seorang geografer penjelajah, yang sempat mengunjungi beberapa wilayah di belahan Nusantara, memberikan catatan yang unik ketika ia menilai pribadi orang Melayu. Beberapa penjelajah Eropa, menurut Aspin, yang pernah melakukan tinjauan langsung ke pemukiman orang Melayu memperoleh kesan bahwa mereka adalah seorang informan yang baik, sangat liberal dan para pengikut ajaran Muhammad (Muslim) merupakan sosok yang jujur dan berwibawa daripada orang-orang India asli. Apa yang dikatakan oleh orang Eropa mengenai orang Melayu sebagai kegiatan pembajakan, bagi orang Melayu adalah suatu penjelajahan yang jantan dan apabila mereka menyerang daerah lain dengan tiba-tiba, membunuh pasukannya, orang Melayu menganggapnya sebagai pencapaian heroik dalam mengalahkan musuhnya.186 Pendapat Aspin tersebut, tentu saja tidak mewakili anggapan orang Eropa secara keseluruhan terkait bangsa Melayu. Namun, dari pemulihan hubungan yang tidak memakan waktu lama, antara Johor dan Portugis dalam wilayah politik, bisa menjadi tolok ukur, betapa orang Melayu mempunyai sikap yang 185
Jehosaphat Aspin (1800-1850), seorang penulis, geografer dan sejarawan seni, tidak diketahui dari negara mana berasal. Informasi yang diketahui darinya masihlah minim. Namanya dianggap sebagai nama pena bukan nama sebenarnya (nom de plume). Bahkan ia dinilai sebagai seorang penulis wanita misterius abad 19, yang menggemari tema penulisan seputar kegiatan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Ia dikenal sebagai penulis beberapa karya sejarah, cerita anak, pembuat peta dan teks-teks gambar astrologi. Lihat http://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/aspin, diakses pada Senin 13 Oktober 2014, pukul 18.09. 186 J. Aspin, Cosmorama: The Manners, Customs and Costumes of All Nations of the World (London: St. Paul Church-Yard, 1834) hlm. 120.
125
supel dalam bergaul dengan orang asing, apalagi kerjasama keduanya dilatarbelakangi oleh kepentingan yang sama. Kesan informan dan liberal yang diungkapkan Aspin menunjuk pada sikap inklusif dan mudah akrab dengan bangsa lain, seperti bangsa Eropa. Johor seperti juga Malaka, ingin agar kerajaannya memiliki koneksi yang luas dengan masyarakat antarbangsa. Sebagaimana telah disampaikan, Malaka dikenal sebagai pelabuhan dagang dunia. Tidak mengherankan, jika salah satu cita-cita Johor adalah menjadi emporium berpengaruh di selat Malaka seperti para leluhurnya. Kerajaan Malaka sudah terbiasa dengan keberadaan saudagar-saudagar asing yang berniaga di sana. Bahkan, merujuk pada penjelasan Ludovico di Verthema, penjelajah asal Bologna, yang mengunjungi bandar Malaka sekitar abad 16, mengatakan bahwa Raja Malaka menyerahkan orang asing dalam administrasi dan manajemen pelabuhannya.187 Agaknya, para penguasa Johor mewarisi wawasan multikultural sebagaimana yang dimiliki oleh raja-raja Malaka, sehingga mereka tidak harus menjadi kerajaan yang fanatik, menolak bangsa lain yang berbeda adat serta agama dengan meraka. Berbeda dengan Aceh, yang memiliki agenda politik regional yang jelas, yakni menghalau pengaruh Portugis, Johor tidaklah memiliki agenda serupa. Inilah yang membuat kerajaan ini sedemikian lentur bergaul dengan bangsa lain, yang sekiranya dapat memenuhi ekspektasi berupa jaminan keamanan dalam menata negeri serta meningkatkan pendapatan ekonomi Johor. Portugis, boleh dikatakan merupakan satu-satunya pilihan sekutu yang paling bisa diandalkan untuk menangkis dominasi Aceh yang kala itu sedang giat menancapkan pengaruhnya di Sumatra dan Semenanjung Melayu. Aceh senantiasa mengajak Johor untuk bersama mengalahkan Portugis. Namun pada praktiknya, ajakan ini ditanggapi dengan persepsi yang beragam. Satu hal yang dapat diketahui, Johor, betapapun ia belumlah sebesar Aceh, tetap tidak 187
George Percy Badger, ed, The Travels of Ludovico di Varthema (London: Hakluyt Society, 1863) hlm. 226.
126
mau berada sebagai bawahan Aceh. Di pihak lain, Johor juga membutuhkan rekan untuk mengawal pembangunan kerajaannya. Elit kerajaan Johor melihat bahwa Aceh sebenarnya sedang mengusahakan pelebaran pengaruh ke Semenanjung Melayu. Berkawan dengan Portugis, demikian hemat Johor, menjadi pilihan tepat untuk membendung okupasi Aceh atas Johor. Penguasaan di sini bukan hanya menyangkut kerajaan dan tanah jajahan kerajaan secara fisik, namun dimaknai pula sebagai penyeragaman kebijakan antara kerajaan yang menguasai dan dikuasai. Agaknya Johor tidak mau terjebak dalam skenario tersebut. Kebijakan diplomasi yang ditunjukkan Johor termasuk dalam apa yang yang disebut Paul Sharp sebagai model diplomasi revolusioner.188 Ciri dari diplomasi ini adalah mengerti konteks dan peta politik regional serta mampu tetap memelihara cita-cita negerinya, dari segenap godaan yang ditawarkan oleh negeri yang bermitra dengannya. Termasuk dalam kategori ini, adalah dengan mengakomodasi dan berkompromi dengan pilihan apa yang ditawarkan kerajaan yang lebih besar,sehubungan dengan hal apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak.189 Umpamanya, jika kerajaan yang lebih besar lebih menitikbertkan pada hal kedaulatan politik regional, maka kerajaan kecil diharuskan mengikuti apa yang disarankan. Yang terpenting, supaya terbentuk dahulu komunikasi dua arah yang pada intinya mendulang manfaat bersama, meskipun bisa saja, kerajaan besar lebih banyak mendapatkan keuntungan lebih banyak. Jika dilihat, Johor, memposisikan diri sebagai pihak yang mengerti dengan mitra-mitranya. Tatkala Johor sedang membina hubungan dengan Aceh, kerajaan ini ikut serta dalam upaya Aceh mengenyahkan pengaruh Portugis. Salah satunya terjadi ketika penguasa Johor dan Bintan membantu Aceh menyerang Malaka pada tahun 1575.190 Johor, dengan pembacaan politik regionalnya, memilih berbalik mendukung Aceh melawan sekutu lamanya itu. Sekitar akhir abad 16, Pertalian dengan Portugis kembali dirajut 188
Paul Sharp, Diplomatic Theory of Internationals Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 2009) hlm. 22. 189 Paul Sharp, Diplomatic Theory ..., hlm. 4. 190 Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 52.
127
Johor ketika Aceh memutuskan menyerang Aru, kerajaan sekutu Johor. Johor dengan segera malakukan komunikasi intensif dan mengajak Portugis membantunya melawan Aceh.191 Dengan tanpa memandang lagi musuh mitranya, Johor terkesan tanpa beban untuk menjalin kerjasama kembali dengan Portugis, yang beberapa waktu diperanginya. Partisipasi Johor dalam pernikahan dengan Aceh, merupakan bentuk lain bahwa Johor mengikuti anjuran dari kerajaan yang lebih besar darinya. Tren pernikahan antara dua kerajaan merupakan upaya keduanya merawat kerjasamanya. Pernikahan, selain membawa dampak yang bagi kelanjutan persahabatan dua kerajaan sesungguhnya memiliki wajah lain berupa godaan yang dihembuskan pihak kerajaan besar kepada kerajaan yang lebih kecil. Johor sudah mafhum akan hal itu. Baginya pernikahan merupakan salah satu cara tepat merekatkan diri pada negeri yang telah tinggal landas darinya, namun di pihak lain, cara ini sama dengan membuka peluang hadirnya mata-mata Aceh dalam suasana pergaulan istana Johor. Bukan tidak mungkin pangeran atau putri Aceh yang menikah dengan Johor nantinya menjadi corong informasi bagi kerajaan asal. Bagi Aceh, kekhawatiran macam itu juga telah diperhitungkan, hanya saja posisi Aceh boleh dikatakan berada di atas Johor. Dengan begitu, segala bentuk intrik Johor di Aceh tidak sampai menimbulkan mala petaka besar yang menyebabkan jatuhnya Aceh dalam genggaman Johor. Melihat kemungkinan demikian, maka tidak mengherankan jika kerjasama dengan Aceh tidak dilakukan secara permanen, mengingat kekhawatiran pengantin Aceh yang menjadi keluarga kerajaan Johor, semakin leluasa membocorkan keadaan internal Johor. Belakangan diketahui, pernikahan ternyata bukan satusatunya jalan untuk memperkuat relasi kenegaraan. Mungkin, hal tersebut dianggap Aceh sebagai strategi untuk bisa mengikat kalangan pejabat Johor, namun pada kenyataannya hal itu terlepas dari harapan. Suasana suka cita pernikahan, dianggap Johor tidak 191
Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7.
128
ubahnya satu fase agar kerajaan ini mendapat perlindungan atas ancaman Portugis. kekerabatan dengan Aceh tidak diartikan Johor sebagai jalan diplomasi yang dapat memberikan garansi bagi kemajuan peradabannya. Memang, kemajuan tetap bisa diperoleh namun yang mereka sayangkan adalah kemajuan itu tetaplah di bawah dominasi Aceh, tentu amat berseberangan dengan cita-cita mereka yang ingin menegakkan kembali supremasi Malaka yang namanya telah harum di mata dunia sebagai kerajaan besar. Tidak salah kiranya jika menyebut bahwa langgam berpolitik Johor amat lihai dan fleksibel, dibuktikan dengan ketahanannya berdiri melewati pelbagai dinamika internal maupun eksternal. Kendati harus memainkan dua wajah dalam menghadapi lawan politiknya, yang terpenting adalah bagaimana kerajaan mereka tetap eksis secara perlahan-lahan menjemput kejayaannya. Pihak kerajaan telah sadar, Johor belumlah sepadan dengan Aceh maupun Portugis. Untuk itu, menjalin hubungan antarnegeri sudah selayaknya mereka lakukan semata-mata untuk kelanjutan penyelenggaraan kerajaan.
129
BAB V POLITIK DUA WAJAH DI BALIK HUBUNGAN ACEH – JOHOR
A. Keharmonisan Hubungan Aceh dan Johor Mencermati uraian mengenai keadaan dialog kenegerian Aceh dan Johor dalam bab-bab sebelumnya, memang harus didudukkan dalam porsi yang tepat, dengan cara membincangkan independensi politik luar negeri kedua kerajaan. Sebagai kerajaan yang berdaulat, sudah seyogyanya masing-masing dari mereka memiliki maksud luhur agar kerajaan beserta rakyat yang dipimpinnya berkembang secara mandiri. Sumber daya alamnya setempat dikerjakan sendiri dan hasilnya dinikmati sendiri. Baru kemudian, setelah kemakmuran internal kerajaan telah dipenuhi, visi untuk menjelajahi daerah lain sebagai bentuk ekspansi supremasi menjadi hal yang mungkin diupayakan. Dua kerajaan tersebut memiliki visi politik yang berbeda. Aceh sebagai salah satu kekuatan penting di pulau Sumatra, berbekal kemajuan ekonomi maritim serta stabilitas militer yang modern di masanya, berpeluang untuk menjalankan peran pentingnya di kancah regional. Keadaan negeri yang telah stabil menjadi modal penting untuk mengikat koneksi-koneksi strategis di luar negeri. Sebagaimana telah disebutkan, setelah jatuhnya Malaka tahun 1511, bandar dagang Aceh menjelma menjadi salah satu tujuan penting dari para saudagar Muslim. Pendapatan negeri kemudian dibelanjakan untuk pembangunan fasilitas umum serta memperkuat pertahanan kerajaan untuk mencegah dominasi kekuatan Eropa di dekatnya. Di pihak lain, Johor yang boleh dikatakan sebagai kerajaan baru dalam konstelasi perpolitikan Semenjung Melayu dan Sumatera juga memiliki komitmen tinggi untuk mewarnai 130
pagelaran politik regional. Sebenarnya, kerajaan ini tidak lantas pasrah tunduk di bawah wibawa Aceh dalam regulasi politik internasionalnya. Namun, keadaan negeri yang masih labil, serta kemakmuran terbatas, bahkan belum bisa dikatakan cukup, terlihat dari pertahaan negerinya yang sering takluk dihantam dua kekuatan yang berebut pengaruh itu, membuat mereka mawas diri, untuk cermat berdialog dengan Aceh. Para pejabat istana Johor sebetulnya sadar, kedudukan mereka adalah ibarat permata yang diperebutkan dua kekuatan itu. Dilihat dari sisi sumber daya kerajaan, memang Johor bukanlah kerajaan yang memiliki potensi maritim dan agraris yang kuat, sehingga dengan cepat dapat menghasilkan devisa kerajaan yang nantinya digunakan untuk memugar wibawa dan kebesarannya di mata internasional. Intensitas serangan yang tinggi dari lawanlawannya, sedikit banyak menghambat langkah Johor untuk menjadi negeri yang sentosa dan berjaya. Implikasinya, mereka harus pandai menerka arah dan kondisi politik regional, sehingga kebijakan yang nantinya diambil tidak berdampak buruk bagi tumbuh kerajaan di masa depan atau minimal membawa kebaikan ketimbang masa yang sebelumnya. Pernikahan merupakan jalinan suci yang harapannya bisa menjadi sesuatu yang mengikat kepentingan kerajaan. Boleh dikatakan ini merupakan salah satu bentuk klasik dari suatu hubungan diplomatik. Tradisi ini, meskipun tidak diketahui benar, apakah mempelai dari dua kerajaan menikah sesuai dengan pilihan hati ataukah diperjodohkan, sepertinya menjadi strategi halus untuk membentuk suatu ikatan yang lebih intim ketimbang pelbagai bentuk simbolisme diplomatik yang hanya berkisar pada kegiatan yang bersifat seremonial. Tukar menukar duta misalnya, atau melalui hubungan perdagangan merupakan dua bentuk kegiatan diplomatik yang sejatinya adalah seremonial. Sepertinya pernikahan putra putri kerajaan antarkerajaan telah menjadi pola umum hubungan diplomatik sejak masa yang lama. Samuel A. Meir mengatakan bahwa pernikahan antar kerajaan merupakan sutu langkah untuk pemersatuan bukan untuk pemisahan. Pengertian tersebut telah bertahan sejak masa akhir 131
zaman Perunggu tepatnya di masa Timur Dekat Kuno (Ancient Near East). Sejak masa itu, pernikahan tidak dipandang sebagai kegiatan sakral yang berkisar pada fungsi wanita dalam istana, hukum waris dan suksesi kerajaan semata, melainkan adalah suatu hal yang sering ditemui (membudaya), bahkan telah menjadi karakteristik historis dari pergumulan politik dan budaya.192 Jika melihat teks naskah Melayu klasik yakni Sulalatussalatin dan Bustanussalatin, yang berkisar tentang aktivitas elite kerajaan seperti berperang dan prestasi suatu raja, maka satu hal yang tidak luput adalah uraian tentang tradisi perkawinan yang amat kental yang digunakan untuk menjaga hubungan satu negeri dengan negeri lainnya. Meskipun terlihat amat manusiawi, perkawinan ini ketika dibincangkan dalam spektrum hubungan internasional, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa seremoni ini amat menjanjikan suatu kelapangan serta kelenturan dalam dialog antarkerajaan. Sekat dan batas yang semula terbangun di antara kerajaan, perlahan luntur dan yang muncul adalah suasana suka cita yang membanggakan karena keduanya saling berbesanan. Yang paling penting adalah bahwa pernikahan meleburkan paradigma penguasa dengan yang dikuasai. Dalam kasus Aceh dan Johor, Saat Sultan Iskandar Muda menikahkan putrinya, Putri Ratna Jauhari dengan Sultan Johor, Sultan Abdullah Ma‟ayat Syah sebenarnya yang dapat diketahui adalah bagaimana pihak Aceh ingin memandang Johor bukan lagi sebagai negara bawahan yang bebas digerakkan seperti boneka. Ikatan keluarga yang kemudian terbentuk inilah yang diharapkan mampu menciptakan keharmonisan bukan hanya pada wilayah silaturahmi keluarga semata, melainkan berimbas pada kesamaan visi dalam agenda politik internasional, salah satunya adalah tekad kuat untuk mengusir Portugis dari Malaka. Pada abad ke 17 dan 18 hingga memasuki abad 19, diplomasi dianggap sebagai wahana mencapai tujuan aristokratik. 192
Samuel A. Meir, “ Marriage and Diplomacy” dalam Raymond Cohen dan Raymond Westbrook, Amarna Diplomacy (Maryland: John Hopkins University Press, 2002) hlm. 165.
132
Para bangsawan Eropa saling terikat dengan keturunan sedarah, pernikahan, persahabatan yang kesemuanya diikat dengan kesatuan pandangan dan pendidikan. Nuansa persaudaraan kosmopolit (cosmopilitan fraternity) tercipta di lingkungan para dipomat saat bertemu dalam suatu momen. Mereka juga merasa sebagai bangsawan internasional.193 Kondisi tersebut juga melingkupi pergaulan dan kekerabatan antarpenguasa di Aceh dan Melayu, di mana kerjasama serta pandangan politik luar negeri banyak dipengaruhi oleh kesamaan darah termasuk pernikahan. Keberadaan mempelai dari kerajaan lain, dianggap sebagai seseorang yang dimulyakan karena kehadirannya juga merupakan representasi dari kerajaan asalnya. Paul Sharp menambahkan bahwa dalam catatan antropologi perkembangan manusia, ketika seseorang bersinggungan dengan kelompok lainnya, maka yang dikedepankan adalah harmoni kekeluargaan. Penekanan dua entitas itu, yakni antara seorang dengan kelompok adalah “kita” sebagai suatu kesatuan, penghormatan terhadap yang tua dan kasih sayang kepada yang muda serta perasaan kuat bahwa mereka layaknya saudara kandung. Nuansa ini perlahan meleburkan identitas pribadi suku, golongan atau kelompok yang menjadi penyekat hubungan keduanya.194 Ini menjadi dasar pemikiran mengapa penghormatan terhadap keberadaan orang-orang dari negeri lain, terlebih yang memiliki kedudukan tinggi, dianggap sebagai prioritas. Sebenarnya, kontak antarelite Johor dan Aceh terjadi jauh sebelum tahun 1574 atau di kala hubungan diplomatik dua kerajaan baru disepakati. Zainuddin menceritakan suatu kisah lain mengenai pernikahan dua mempelai Aceh dan Johor yang penuh dengan nuansa kekeluargaan dan suka cita.195 Suatu ketika ketika Aceh diperintah oleh Sultan Salahuddin (1530 – 1537), istana Aceh kedatangan tamu bernama Laksamana Nadin yang berasal 193
Christer Jönsson dan Martin Hall, Essence of Diplomacy (New York: Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 41. 194 Paul Sharp, Diplomatic Theory of Interational Relations (Cambridge: Cambridge International Press, 2009) hlm. 18 195 H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid 1 (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 396 -397.
133
dari Ujung Tanah (Johor) untuk meminta bantuan perang sekaligus meminang putri Aceh menjadi istri Raja Ali, putra Sultan Mahmud Syah mantan Sultan Malaka terakhir sekaligus raja Johor pertama. Kala itu, Raja Johor pertama belum lama mangkat ketika masih di Kampar. Pinangan Laksamana Nadin diterima oleh Sultan Salahuddin dan Raja Ali pun kemudian menjadi menantunya. Setelah menyerahkan tanda kawin atau mas kawin (ranubkong haba), Laksamana Nadin pamit undur diri. Beberapa waktu berselang, datanglah rombongan orangorang besar dari Ujung Tanah mengantar mempelai laki-laki untuk kemudian dinikahkan dengan putri Aceh. Setelah pesta pernikahan yang meriah selesai, segenap orang besar Ujung Tanah pun terlibat pembicaraan serius dengan para pejabat Aceh. Dalam kesempatan itu, Laksamana Nadin, mewakili pihak Ujung Tanah, sepakat dengan Aceh untuk bersama mengusir Portugis dari Malaka. Tidak lama kemudian, rombongan itu pun pamit. Raja Ali yang ketika menikah sudah bergelar Sultan Alaiddin Rayat Syah II, Raja Johor ke 2, pun membawa istrinya bertolak ke suatu pulau dekat Ujung Tanah. Untuk mengantar rombongan kerajaan besannya itu, pihak Aceh memerintahkan sepasukan Aceh di bawah pimpinan Panglima Bukit yng berasal dari negeri Lingga Gayo (Aceh Tengah) untuk mengawal perjalanan mereka. Ketika sampai di pulau yang dituju, maka berhentilah rombongan penganten di satu sudut di tempat itu. Setelah melepas lelah dan memulihkan tenaga, rombongan itu kemudian membagi tugas untuk membangun suatu kota yang sedianya digunakan untuk peristirahatan Sultan Johor beserta rombongannya. Kota itu kemudian dinamakan Kota Lingga, nama yang diambil dari negeri Panglima Bukit dan pulaunya kemudian dikenal dengan nama Pulau Lingga. Cerita di atas semakin memperkuat persepsi bahwa pernikahan merupakan sarana tepat untuk mendekatkan dua kerajaan yang berbeda. Momen setelah perhelatan penganten senantiasa digunakan untuk beramah tamah dengan penuh rasa kebersamaan. Dalam suasana meriah tersebut, maka tidak salah jika kemudian dua pihak kerajaan menyelipkan pembicaraan 134
terkait agenda politik bilateral yang saling menguntungkan. Negoisasi yang menjadi unsur paling menonjol dalam dialog diplomatik masa itu dapat dipastikan akan disinggung kedua belah pihak. Saat di mana keceriaan terbit di dua kubu kerajaan dipandang tepat untuk mempererat tali kerja sama. Walaupun kedua kerajaan kerap terlibat dalam silang sengketa di kemudian hari, namun bukan berarti keduanya tidak memiliki momentum harmonis yang tidak hanya di berkisar di ranah politik antarnegeri, namun juga di wilayah lain sosial dan budaya misalnya. Pertalian kerajaan ini selain amat terasa di ranah pemerintahan, ternyata banyak pula memancar di hubungan antarbudaya serta perilaku masyarakatnya. Akan amat berkesan tentunya, jika perbincangan bukan melulu seputar perebutan kuasa, yang terkesan monoton dan tidak mencerminkan suatu kekayaan dari tinggalan hisoris. Sebaliknya, pembicaraan seputar realitarealita yang lebih kaya, cenderung di luar belairung istana, yang mencerminkan persentuhan populis dan estetik dua kerajaan membawa suatu panorama baru yang menjanjikan sudut pandang yang berwarna dan tidak kalah berharga ketimbang perbincangan mengenai antarelit kerajaan. Hampir semua bentuk yang menjadi instrumen penghubung pertemuan dua kerajaan dapat dikatakan sebagai ajang diplomatik. Harold Nicolson menyebutkan bahwa selain diplomasi heroisme militer dan perdagangan, terdapat pelbagai bentuk diplomasi yang sering dijumpai di masa lalu. Terkadang dinamika diplomasi itu terhubung dengan menunjukkan perbedaan di antara imaji dan alasan, di antara romantika dan kebijaksanaan, di antara militer dan perdagangan serta pada pandangan umum mengenai standarisasi nilai-nilai moral. Dalam setiap dua kecenderungan tersebut terselip gagasan dan realitas. yang satu membutuhkan gerakan untuk mengekspresikannya sedangkan yang lain membutuhkan ketenangan.196 Berkaca pada paradigma di atas, diketahui bahwa diplomasi model kuno senantiasa menghadirkan wajah lain yang terkadang 196
Harold Nicolson, Diplomacy (London: Oxford University Press, 1942) hlm. 55.
135
hidup di balik perjumpaan militer, politik maupun perdagangan. Bentuk-bentuk persentuhan tersebut, dikatakan Nicolson, sebagai keberadaan (diplomasi) yang terhubung dengan idealisme dan realisme. Sesuatu yang terbentuk dari suatu pertemuan, lantas berujung pada kesepahaman dalam membina hubungan yang lebih akrab dan intim. Dimulai dari titik tersebut maka akan muncul kemungkinan-kemungkinan yang senantiasa menjadi penghubung dua entitas kekuasaan tersebut. Hal tersebut dapat menginisiasi suatu jalan baru yang berdimensi luas, tidak lagi terpaku pada iklim politik melainkan telah tertanam pula di wilayah sosial, budaya, pendidikan, hukum dan sektor kehidupan lainnya. Teuku Iskandar memperkuat pendapat bahwa baru pada Sultan Alaiddin Riayatsyah Syah al-Kahar-lah Aceh bersinggungan dengan Johor, ketika ia menyerang Johor dan membawa Raja Johor, Sultan Muzaffarsyah, ke Aceh. Sebagai bentuk kesungguhan menjalin persahabatan putri Raja Johor kemudian dipinang oleh Raja Aceh itu. Pemerintahan satelit Aceh yang berada di Pasai dan kegemaranya akan kajian dunia Melayu membawanya pada sistem pemerintahan yang berlaku di Pasai dan Johor. Undang-Undang Johor sendiri dibuat merujuk pada Undang-Undang Malaka yang telah ditetapkan sejak masa Sultan Muzaffar Syah yang memerintah Malaka, yang meninggal pada 1459. Besar kemungkinan, Sultan al-Kahar mengacu pada Undang-Undang Johor untuk mereorganisasi sietem pemerintahan Aceh kala itu.197 Warisan lintaspulau di atas, bahkan terfosilkan dalam suatu istilah “beraja ke Aceh, bertuan ke Siak.” Pepatah ini merupakan wujud perpaduan tradisi pemerintahan kedua kerajaan yang terinspirasi dari kebesaran Aceh dan Siak. Sebelumnya diketahui, Aceh mengadopsi regulasi pemerintahan dari Kesultanan Malaka, sedangkan Kesultanan Siak merupakan kelanjutan Kesultanan Malaka Raya. Istilah di atas lazim ditemukan dalam prosesi penobatan raja di istana Serdang khususnya, serta di kesultanan197
Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th19th Century)” makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional Kajian Aceh dan Samudera Hindia Pertama (First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies) di Banda Aceh pada 24 – 27 Februari 2007, hlm. 12.
136
kesultanan yang berada di sepanjang Sumatra Timur.198 Ini menjadi salah satu bukti keterhubungan budaya Melayu (Semenanjung) dengan Aceh yang tampak dalam hal tradisi kepemerintahan. Kemudian, dari Aceh, pengaruh feminisme serta gender pun ikut pula menabalkan kesamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam adat istiadat Melayu. Sebagaimana diketahui, pandangan akan gender dalam tradisi Melayu mendapat pengaruh dari Minangkabau yang menitikberatkan pada matrilineal (adat Perpatih) dan dari tradisi Melayu (adat Temenggung) yang didominasi oleh ketentuan parental. Menginjak abad 18, pengaruh Aceh memperkaya pengetahuan tradisi Melayu, sehingga yang terjadi adalah pandangan kesetaraan antara pria dan wanita.199 Bukan tidak mungkin pengaruh ini dilatarbelakangi oleh keberadaan Aceh yang menuai banyak hasil positif ketika diperintah oleh 4 ratu. Tun Sri Lanang, seorang bendahara kerajaan Johor yang ikut dalam pengungsian ke Aceh pasca diserangnya ibukota Johor di Batu Sawar pada 1613200, merupakan sosok yang menampilkan keterlibatan diplomasi halus antara Aceh dan Johor. Meskipun kedatangannya ke Aceh awalnya dimotori oleh peristiwa politik, namun aktivitasnya di Aceh ternyata kompleks, tidak selalu berkutat pada kepentingan istana, melainkan menyatu pula dalam bidang-bidang lain. Ia menjadi duta Johor, secara tidak langsung, yang perlahan memugar persepsi sekaligus meninggikan kembali citra Johor yang di Aceh telah sedemikian buruk sebagai kerajaan yang gemar menjalin hubungan dengan Portugis. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ketika aparat kerajaan Johor beserta rombongannya dibawa ke Aceh, mereka tidak diperlakukan seperti tawanan perang, melainkan dijamu seperti halnya tamu agung kerajaan. Mereka ditempatkan serta 198
Tengku Luckman Sinar, Sari Sejarah Serdang 2 (Jakarta: Departemen P dan K, 1986) hlm. 178. 199 Tengku Luckman, Sari Sejarah ..., hlm. 100. 200 Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang Dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 28-29.
137
dilayani sesuai dengan standar pelayanan tamu atau duta kerajan pada umumnya. Ini dilakukan agar mereka dapat hidup nyaman dan jauh dari tekanan serta anggapan bahwa hidup di negeri musuh adalah suatu kesengsaraan. Perasaan takut dan khawatir sudah tentu menghinggapi psikologi mereka. Dari sini saja, pola-pola umum akan penyambutan suatu misi diplomatik diberlakukan oleh Aceh, karena hal ini penting agar mereka merasa nyaman sehingga apabila nuansa tersebut telah mereka rasakan, maka harapannya pembicaraan-pembicaraan bilateral di hari-hari berikutnya dapat berjalan dengan lancar, akrab serta jauh dari pemaksaan dan ketakutan. Tun Sri Lanang sendiri sebenarnya bukanlah orang asli Melayu melainkan dalam dirinya mengalir darah bangsawan kerajaan India. Ia merupakan keturunan ke empat dari Nizamul Muluk Akbar Syah yang memerintah daerah Pahili (Gujarat) pada tahun 1335- 1388 M. Nizamul Muluk merupakan gelar yang diberikan oleh raja pada penguasa lokal setingkat gubernur atau menteri. Akbar Syah memiliki putra sebanyak dua orang dan putri satu orang, mereka bernama; Amir Badaruddin Khan (Manipurindam), Raja Akbar Muluk dan Damia Seri Wandi. Setelah Akbar Syah berpulang, jabatan ayahnya diteruskan oleh anak keduanya, sedangkan Manipurindam meluluskan hasratnya untuk mengembara ke Pasai dan Malaka. Di tengah perjalanan, kapalnya dihempaskan gelombang laut dan ia beserta rombongannya terombang-ambing di laut lepas hingga akhirnya terdampar di Jambu Air. Singkat kisah ia mampu beragaul secara adaptif dan hingga dikenal oleh penguasa Pasai ke-6, Sultan Muhammad Said Malikuzzahir, sebagai anak seorang bangsawan. Kemudian, ia dinikahkan dengan putri Raja Pasai itu yang bernama Canden Dewi. Keturunan mereka banyak yang menjadi raja di Deli dan Serdang. Diketahui pula, Manipurindam juga sempat mengunjungi Malaka. di sana ia menikah dengan Tun Ratna Sandari, anak seorang bangsawan Malaka bernama Tun Perpatih Besar. Perkawinan ini dikaruniai dua anak yakni Tun Ratnawati (kelak menjadi istri Sultan Malaka ke -3 bernama Mahmud Syah dan Tun 138
Ali Seri Nara Diraja. Tun Ali kemudian menduduki jabatan bendahara di istana Malaka dan Johor. Tun Ali kemudian menikah dengan Tun Kudu dan memiliki dua anak bernama Tun Tahir dan Tun Mutahir. Tun Tahir memiliki putra bernama Tun Mahmud dan putranya ini adalah ayah dari Tun Sri Lanang.201 Semasa di Johor, Tun Sri Lanang melanjutkan tugas leluhurnya, yakni sebagai bendahara. Jabatan strutural ini adalah suatu keunikan dalam tradisi penyelenggaraan pemerintahan Melayu. Institusi ini terdapat dalam kerajaan-kerajaan Melayu turunan Malaka, yakni Johor, Pahang dan Perak. Bisa dikatakan tugas seorang bendahara adalah multifungsi. Bendahara bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan raja. Ia juga banyak berkecimpung dalam urusan perumusan regulasi kerajaan meskipun nantinya pengesahan tetaplah di tangan raja. Peran bendahara amat mirip dengan patih atau mangkubumi (amangkubumi) dalam tradisi kepemerintahan di Jawa. Selain bertugas sebagai pengatur tata negara dan pemerintahan, patih juga dalam beberapa kesempatan terlibat dalam penyusunan siasat perang.202 Tatkala sultan berhalangan memimpin kerajaan, seperti ketika dalam lawatan ke luar negeri, tampuk pimpinan kerajaan dipegang sementara oleh bendahara. Biasanya, dalam jabatan sebagai raja ad interim ia dibantu oleh dua bangsawan. Ketika kerajaan terlibat perang, bendahara juga memiliki peran strategis yakni sebagai panglima perang yang membawahi hulubalang dan laksamana.203 Oleh sebab itu, ketika terjadi serbuan bala tentara Aceh ke Batu Sawar, Tun Sri Lanang ikut pula memimpin pasukan menahan laju pukulan pasukan musuh. Tun Sri Lanang bukan saja dikenal sebagai negawaran Melayu yang cakap, melainkan juga seorang pujangga Melayu kenamaan. Karyanya, Sulalatussalatin, merupakan korpus sejarah Melayu yang menjadi rujukan utama dalam mengetahui sejarah 201
Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 35 – 37. Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit) (Yogyakarta: LKiS, 2011) hlm. 73-74. 203 Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 39. 202
139
panjang Melayu dan negeri-negeri di sekitarnya. Bustanussalatin pun sesungguhnya banyak pula mengutip dari kitab ini. Hal ini diakui sendiri oleh Nuruddin ar-Raniri dengan mengatakan: ... fasal yang kedua belas pada menyatakan segala raja raja yang kerajaan di negri Malaka dan Pahang kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang Sulalatus Salatin. ia mendengar daripada bapanya, ia menengar daripada nininya dan datunya tatkala pada hijrah Nabi SAW seribu dua puluh atas pada bulan rabi’ul awwal pada hari ahad. Ia mengarang hikayat pada menyatakan segala raja-raja yang kerajaan di negeri Malaka dan Johor dan Pahang ...204 Mohd. Muhidin Abd. Rahman menjelaskan bahwa ketika berada di Aceh, Tun Sri Lanang sempat berjumpa dengan Nuruddin ar-Raniri. Mereka teribat dalam perbincangan yang serius hingga menyentuh pembahsan mengenai keilmuan. Disebutkan pula bahwa bendahara Johor ini bahkan sempat berguru ilmu agama kepada ar-Raniri.205 Hal ini menunjukkan bahwa Tun Sri Lanang diberikan kebebasan beraktivitas di lingkungan istana Aceh. Kendati ia berasal dari Johor, tidak serta merta ia terkungkung dalam pengawasan pasukan yang ketat. Berguru pada ar-Raniri tentu saja bertalian dengan alokasi waktu belajar yang kontinyu, bahkan besar kemungkinan kedua tokoh ini berjumpa lebih dari satu kali. M. Dien Madjid menambahkan bahwa bukan hanya Tun Sri Lanang saja yang belajar pada ar-Raniri, melainkan keduanya terlibat pada suasana saling belajar. Meskipun dikenal pandai dalam dunia penulisan, ar-Raniri ternyata memiliki kelemahan ketika harus menulis menggunakan bahasa Melayu. Kegelisahan 204
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin , bait 12 dan 13, teks didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 1. 205 Mohd. Muhiden Abd. Rahman, “Syeikh Nuruddin Al-Raniri dan Sumbangannya Kepada Pengajian Hadith”, dalam Al-Bayan, Vol. 4, Mei 2006/Rabi‟ulawwal 1427, hlm. 51.
140
ini kemudian terobati manakala ia mengetahui bahwa Tun Sri Lanang selain dikenal sebagai negarawan juga tersohor berkat kemampuannya dalam sastra Melayu. Untuk itulah ia menyempatkan diri berdiskusi masalah keabahasaan berikut langgam bersastra Melayu yang menjadi keahlian Tun Sri Lanang.206 Lebih lanjut diterangkan pula, ketika Tun Sri Lanang datang ke Aceh, ia tidak lantas suka diperlakukan seperti bangsawan pada umumnya. Bahkan, pihak Aceh awalnya tidak mengetahui bahwa ternyata ia merupakan salah satu petinggi istana Johor. Ia dikenal sebagai pribadi santun yang justru gemar berkerumun dengan masyakat kebanyakan yakni dengan menghabiskan harinya bercocok tanam, membuat perahu dan sebagian waktunya disisihkan mengajar agama dan bahasa Arab. Perhatiannya yang mendalam terhadap kehidupan orang kecil ini kemudian yang menyita perhatian pejabat istana Aceh, sehingga dirinya kemudian dinobatkan sebagai Uleebalang Samalanga, suatu daerah di Bireuen di kemudian hari, dimulai sejak 1615 hingga 1659.207 Dengan begitu ia tidak ikut kembali lagi ke Johor sewaktu raja baru Johor, Abdullah, telah dinobatkan menduduki tahta Johor berikutnya. Samalanga menjadi satu di antara daerah lain, yang di dalamnya ajaran Islam belumlah tersiar dengan luas. Di sana Tun Sri Lanang mendirikan masjid sebagai sentra kegiatan keagamaan masyarakat setempat.208 Salah satu agenda Sultan Iskandar Muda adalah melapangkan ajaran Islam ke segenap persada Aceh dan sekitarnya. Ia menyerukan untuk banyak membangun masjid dan pesantren.209 Anthony Reid memberikan catatan tersendiri 206
M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”, makalah dipresentasikan pada Seminar Sejarah Tun Sri Lanang di Bireuen, Aceh, pada 11 Desember 2011 , hlm. 9. 207 M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm. 3. 208 M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm. 7. 209 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: P.T. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981) Cet. 2, hlm. 345.
141
mengenai penggarapan tanah dalam suatu kerajaan. Biasanya, raja akan mengirimkan keturunan atau keluarganya ke tanah yang belum digarap secara produktif, seperti hutan misalnya, yang sekaligus menahbiskan mereka sebagai penduduk setempat. Dengan begitu, pembukaan tanah-tanah di luar ibukota kerajaan tidak lantas menjanjikan terciptanya masyarakat yang egaliter, di mana setiap kepala keluarga memiliki secara pribadi tanah yang menjadi tempat tinggal atau lahan garapanya. Di antara mereka termasuk dalam kategori orang tanggungan (dependant) atau juga hamba (bondsman).210 Sepeninggal Iskandar Muda, bersama dengan Nuruddin ar-Raniri Tun Sri Lanang didaulat menjadi penasehat Sultan Iskandar Thani. Jabatannya ini diembannya hingga masa pemerintahan berikutnya, ketika Aceh berada di bawah pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.211 Ketika terjadi pertikaian antarulama Wujudiyah212 yang cenderung ke arah pengajaran esoterik dengan kelompok ulama mengedepankan ajaran syariat Islam (eksoterik) dengan Nuruddin ar-Raniri sebagai salah satu tokohnya, membuat hati Tun Sri Lanang menjadi bimbang dan sedih. Kesedihan ini berlanjut ketika mengetahui bahwa Nuruddin ar-Raniri ternyata memutuskan untuk kembali ke Gujarat. Setelah menimbang beberapa waktu, pada tahun 1645, bulatlah tekad Tun Sri Lanang untuk kembali ke Johor. Keputusannya ini kemudian diurungkannya setelah sang Ratu Aceh memintanya untuk tetap menjadi penasehatnya. Sarakata (surat pengangkatan sebagai 210
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680; Jilid I Tanah di Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 30 – 31. 211 M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm. 10. 212 Paham Wujudiyyah berpandangan bahwa dzat makhluk yang diciptakan Tuhan hanyalah fatamorgana bukan suatu realitas. Segala yang terhampar di dunia adalah pengejawantahan dari Allah SWT. Yang realitas hanyalah Tuhan sedangkan ciptaannya dianggap bukan realitas sebenarnya. Pada perkembangannya, di Aceh paham ini dikenal dengan Martabat Tujuh yang menitikberatkan pada emanasi atau pancaran dzat Khalik (Tuhan) atas makhluknya. Paham tersebut dekat dengan ajaran Ibnu Arabi. Lihat M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan Pejuangan Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) hlm. 124.
142
pejabat administratif) Tun Sri Lanang yang sebelumnya dikeluarkan semasa Sultan Iskandar Muda pada 1613 kemudian diperbaharui kembali. Tun Sri Lanang mangkat di Samalanga dan dimakamkan di Kuta Blang, Samalanga.213 Dato Sri Wan Abdul Wahid bi Wan Hassan lebih lanjut memaparkan bahwa Tun Sri Lanang kerapkali mendermakan harta bendanya untuk membangun Samalanga. Dengan begitu, ia tidak saja bergantung pada dana kerajaan untuk membiayai pengembangan infrastruktur di sana. Tanah-tanah milik pribadinya yang terletak di Kuta Blang banyak yang masih terpelihara hingga saat ini. Beberapa di antara tanahnya inilah yang kemudian diberdayakan untuk kemudian dibangun pondokpondok pengajian atau pesantren. Sebenarnya, Samalanga juga merupakan tempat tinggal para pengikut Tun Sri Lanang yang berasal dari Johor. Di sana mereka kemudian menyatu dengan penduduk setempat, sehingga iklim harmonis dapat terbentuk tanpa mengalami suatu kendala yang berarti ketika berhadapan dengan penduduk lokal. Selain di situ, banyak pula pengikut Sultan Alaiddin Riayat Syah III, Raja Johor yang diungsikan ke Aceh, yang mendiami kawasan Tanoh abe.214 Dengan begitu rekonsiliasi antar pejabat kerajaan ternyata membawa berkah tersendiri dengan adanya para penduk Johor yang kemudian bermukim di Aceh. Bagi Aceh, pengangkutan penduduk Johor dan menempatkannya di beberapa di sana, bukanlah tanpa sebab. Politik ekspansif pemerintahan Iskandar Muda dan beberapa raja sebelumnya yang gemar melakukan perluasan wilayah melalui jalur peperangan membawa akibat yang buruk bagi teras kehidupan masyarakat Aceh. Salah satu yang paling mengemuka adalah berkurangnya penduduk yang salah satu akibatnya adalah banyak di antaranya yang direkrut sebagai pasukan kerajaan. 213
Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 39. Dato Sri Wan Abdul Wahid bin Wan Hassan “Salasilah Kekerabatan Kesultanan Melayu Nusantara”, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Tun Sri Lanang yang diselenggarakan pada 17 Desember 2005 di Kuantan, Pahang Darul Makmur, hlm. 10. 214
143
Kelangkaan manusia yang dialami Aceh, Semenanjung Malaya dan Asia Tenggara pada umumnya ditanggapi Anthony Reid dengan kritis. Manurutnya, kondisi ini bukan hanya terjadi abad 16 melainkan terus berlanjut hingga abad ke 17 dan 18. Berbagai faktor menjadi pendorong mengapa bencana kemanusiaan ini bisa terjadi adalah mulai dari turunnya tingkat kesejahteraan, konversi agama yang menyebabkan perubahan nilai serta pandangan tentang kelahiran serta intensitas perang-perang kecil yang tidak berkeputusan. Zainuddin menyebutkan bahwa untuk menanggulangi turunnya jumlah penduduk Aceh, Iskandar Muda menerbitkan kebijakan kawin campuran. Para warga pendatang asal Johor dibolehkan bermukim dan menikah dengan orang Aceh, asalkan status anak-anak yang lahir dari mereka adalah warga Aceh. Kebijakan ini berlaku bukan hanya untuk kalangan bangsawan melainkan sampai juga pada masyarakat bawah.215 Untuk yang terakhir, Reid memberikan keterangan yang agak luas. Sebenarnya, peperangan di wilayah Nusantara tidaklah menimbulkan korban yang amat besar. Namun, sudah menjadi tujuan utama perang untuk memperbanyak jumlah simpatisan yakni dengan cara merebut rakyat lawannya untuk kemudian dijadikan budak atau tawanan yang disertai dengan penghancuran tempat-tempat penting di kerajaan musuhnya, sehingga penduduknya mengungsi ke negeri penghancur tempat tinggalnya. Dengan begitu, tidak banyak nyawa yang melayang sia-sia dalam pertempuran. Kekacauan serta ketidakpastian yang ditimbulkan akibat peperangan merupakan faktor demografis yang kritis. Telah menjadi pola umum bahwa negara-negara yang besar merekrut tenaga segar dari penduduk laki-lakinya untuk kemudian dijadikan pasukan yang tidak terorganisir dengan baik. Mereka tidaklah diberi kebutuhan bekal yang cukup baik untuk diri mereka sendiri maupun bagi keluarga yang ditinggalkan. Ribuan tawanan perang Aceh yang diangkut menggunakan kapal banyak yang mati diperjalanan, seperti yang terjadi pula pada 215
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1959) hlm. 130.
144
tawanan kerajaan Birma, Siam dan Makassar. Ketika mengetahui akan datang bencana peperangan, sebelumnya, mereka yang waspada segera memilih selamat dengan mengungsikan diri ke wilayah yang aman, paling tidak sampai anak-anak yang masih dalam kandungan dari kaum mereka telah lahir.216 Aceh menunjukkan simpati terhadap kerajaan Johor yang semula dihancurkannya. Sebanyak 2000 pasukan kemudian dikirim ke Johor untuk merekonstruksi tata kota Batu Sawar.217 Meskipun di tahun 1616 Johor ternyata masih berhubungan dengan Portugis, sesuatu yang menyebabkan serangan lanjutan atas ibukota tersebut untuk kali kedua, tidak lantas membuat sultan Aceh abai untuk memperhatikan kelangsungan hidup masyarakatnya. Pihak Aceh menyadari bahwa serangan kedua ini akan berakibat buruk bagi ketentraman penduduk Johor dan sudah selayaknya pihak yang menang memperhatikan kelangsungan hidup rakyat musuhnya. Zainuddin menyebutkan bahwa di samping melakukan renovasi, Iskandar Muda juga banyak membangun masjid serta pondok yatim di sana. Ulama dan Lebai-lebai didatangkan pula untuk memandu ritual keagamaan masyarakat Johor.218 Perhatian juga ditunjukkan dengan pembenahan intensif persawahan warga sekaligus membangun irigasi yang harapannya dapat meningkatkan produktivitas pangan warga. Sebagaimana telah 216
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga ..., hlm. 20-21. Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 29. 218 Bantuan pengadaan pengajaran Islam juga dilakukan Aceh terhadap Kedah. Sekitar tahun 1640, Sultan Aceh, Iskandar Thani, mengirimkan dua buah kitab karya Nuruddin ar-Raniri yaitu Shiratal Mustaqim dan Bab an-Nikah untuk dikaji dan dipelajari di sana. Kitab-kitab itu banyak membahasa masalah ritual (puasa, shalat, zakat dan lain-lain), pengetahuan tentang halal-haram dalam makanan, serta undang-undang mengenai perkawinan dan cerai. Pengiriman karya ini menunjukkan Aceh ingin menjalin kerjasama yang membangun dengan negeri-negeri Melayu, termasuk dengan Johor. Lihat Nor Azizah Sham Bt Rambely, “Pendatang yang Diterima; Migrasi Aceh ke Kedah”, makalah ini dipresentasikan pada Seminar Sejarah Lisan Rumpun Melayu, bertempat di Pekanbaru, pada 27 – 30 Maret 2014, yang diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Riau dan Konsulat Malaysia Pekanbaru, hlm. 7. 217
145
disampaikan, pada serangan 1616, Raja Johor kala itu, Sultan Abdullah Ma‟ayat Syah melarikan diri ke Tembilahan (Tambelan). Sesuatu yang kemudian menyebabkan rakyatnya resah akan kelangsungan kemakmuran mereka. Untuk menanggulangi hal itu, Aceh segera mendaratkan bantuanbantuan untuk mencegah memanjangnya efek buruk dari suatu pertikaian politik.219 Rangkaian aksi simpatik yang dilakukan Aceh terhadap Johor, boleh dikatakan sebagai wujud penghargaan akan keterlibatan orang-orang dari beberapa negeri taklukkan yang ikut membangun Aceh. Disinyalir, Tun Sri Lanang dan Putri Pahang (istri Iskandar Muda) ikut berperan di balik kebaikan hati Aceh membangun kembali ibukota Johor. Sebagai anak negeri Johor, baik Tun Sri Lanang maupun Putri Pahang, akan terenyuh melihat istana serta kota yang menjadi tanah airnya luluh diinvasi Aceh. Untuk itu, mereka menggunakan posisinya sebagai sarana mengadakan komunikasi-komunikasi strategis agar Aceh mau memikirkan kelanjutan hidup pemerintaan serta warga Johor. Pandangan tersebut diperkuat dengan pendapat Zainuddin yang menyebutkan bahwa karena kebaikan Putri Pahang lah, Sultan Alauddin Riayat Syah III, terbebas dari hukuman mati.220 Hal ini menjadi pertanda bahwa sejak kedatangannya, Putri Pahang telah menempati posisi istimewa, sehingga permohonannya tidak saja menjadi pertimbangan namun juga dikabulkan Iskandar Muda. Hukuman berat memang sudah selayaknya diberikan pada Raja Johor karena keberaniannya melanggar perjanjian dengan Aceh untuk tidak bersekutu dengan Portugis. Ampunan ini tentu saja amat menggembirakan hati raja serta pejabat istana Johor dan dapat diibaratkan sebagai pemberian kesempatan kedua. Sikap itu amat kentara dalam diri Putri Pahang. Tatkala ia diboyong ke istana Aceh lantas dijadikan istri oleh Iskandar Muda, hatinya tetap saja dirundung kesedihan dan kesunyian disebabkan rasa rindu yang sangat akan tanah airnya yang 219 220
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 158. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129.
146
dikelilingi oleh perbukitan. Iskandar Muda yang merasakan kesedihan istrinya lantas memerintahkan seniman, ahli pertamanan dan ahli bangunan untuk membangun pintu Khoop dan Gunongan yang dikelilingi taman indah.221 Keberadaan dua mantan orang penting dalam istana Johor di atas tentu membawa aura baru dalam pergaulan kehidupan istana. Bisa dikatakan, mereka merupakan kepanjangan tangan langsung dari Johor atau paling tidak dapat menyuarakan kepentingan Johor di lingkungan istana Aceh. Meskipun tidak diketahui secara persis bagaimana peran mereka dalam kepemerintahan Aceh, namun bukan berarti mereka diam mematung begitu saja saat mengetahui kerajaan yang dahulu membesarkan serta tanah air mereka diserang sedemikian rupa oleh bala tentara Aceh. Hal Ini sekaligus memperkuat pendapat Nicolson sebelumnya, terkait anggota keluarga kerajaan memiliki potensi menjadi diplomat. Mereka tentu memiliki kesempatan yang terbuka lebar dalam mengutarakan gagasannya. Terlebih ketika mengetahui Putri Pahang belakangan ikut pula berkecimpung dalam pemerintahan Aceh Darussalam membantu suaminya. Putri Pahang berkontribusi dalam memformulasikan undang-undang (qanun) kerajaan Aceh. Selain itu, ia juga mengusulkan kepada suaminya untuk membentuk Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yang merupakan unsur ketiga dari satuan hukum kerajaan yang disebut Hadih Maja.222 Hal ini menandaskan bahwa Putri Pahang memiliki ruang gerak yang luas dalam wilayah birokrasi dan regulasi kerajaan Aceh.
221
Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983) hlm. 166. 222 Pocut Haslinda MD Azwar, Perempuan Bercahaya dalam Lintasan Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 149-152
147
B. Kampanye Militer Atas Negeri Melayu Ketika diperintah oleh Sultan Syamsu Syah (1497 – 1514), Aceh mulai aktif terlibat kontak dengan Portugis. Di masa pemerintahannya, Portugis mulai melancarakan penanaman pengaruh di ujung Sumatra, tepatnya di Pidie, Pasai dan Aru. Ketiga wilayah ini menjadi medan tempur pasukan Aceh melawan Portugis yang dibantu pasukan lokal setempat. Pada episode ini, Aceh berhasil mengalahkan mereka semua. Zainuddin menyebutkan bahwa kemenangan ini menjadi awal dari kebesaran Aceh sehingga menyandang gelar sebagai Aceh Raya. Penguatan pengaruh di wilayah tetangga dekat Aceh, kembali dilakukan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah yang bekerja keras menjaga ketiga wilayah di atas ditambah Kerajaan Daya dari upaya hegemoni Portugis. Sampai dengan masa awal pemerintahan Sultan Alaiddin al-Kahar, Aceh masih disibukkan dengan agenda politik internal ujung Sumatra. Sultan Shalahuddin Syah menggantikan Sultan Alaiddin al-Kahar yang mengkat ketika Aceh berperang melawan Aru. Sultan inilah yang menyempurnakan wilayah Aceh yang meliputi pula Pidie, Pasai, Daya dan Aru.223 Iskandar Muda merupakan sosok raja yang membawa Aceh pada puncak kejayaannya. Selain berhasil mengembangkan perdagangan serta menciptakan stabilitas negeri, sistem pertahanan dan militer juga tidak luput untuk dimodernkan. Untuk hal yagng terakhir disebutkan, ternyata menjadi salah satu bahan pembicaraan penting ketika membahas kemajuan kerajaan Aceh, terutama di sektor konstelasi politik regional. Kewibawaan serta kebesaran Aceh sebenarnya amat bergantung dengan sebaran pengaruh dominasi yang direntangkan melalui jalan perluasan wilayah. Portugis benar-benar menjadi musuh tangguh yang amat diwaspadai Aceh. Berbekal pengalaman-pengalaman para pendahulunya yang cukup direpotkan dengan keberadaan bangsa Eropa ini, menuntut Iskandar Muda berserta fungsionaris istana 223
Zaiuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 393-397.
148
Aceh untuk melanjutkan semangat pantang menyerah mengusir mereka. Serangkaian episode perang menjadi pembuktian bahwa Aceh begitu meradang dengan aktivitas Portugis di sekitar wilayah otoritas mereka. Portugis pun, sebagai bangsa penguasa Malaka, juga memiliki kepentingan untuk mempererat posisinya di bentangan Selat Malaka. Oleh sebab itu, mereka tidak segan melakukan intrik-intrik politik yakni dengan membujuk penguasa lokal agar berpihak dengannya. Aru, Johor, Pahang serta beberapa negeri lain di sekiatar Selat Malaka berhasil mereka perdaya. Keberanian Portugis melakukan manuver politiknya sebenarnya disokong pula dengan sistem persenjataan kuat sehingga dapat memaksimalisasikan program politik regional mereka. Oleh sebab Portugis kian gencar menancapkan otoritasnya di beberapa negeri Melayu tersebut, membuat Aceh membulatkan tekad untuk segera mengambil sikap. Segera pasca mengetahui Johor yang sebelumnya diharapkan menjadi sekutu potensial Aceh, ternyata di penghujung abad 16 kembali berpihak pada musuh, melatarbelakangi derasnya semangat Aceh menahan pengaruh Portugis menerobos kian dalam di lingkungan istanaistana Melayu. Iskandar Muda mencanangkan politik ekspansif untuk menyelamatkan negeri-negeri Melayu dan sekitarnya dari kuasa Portugis. Para laksamana dan pemimpin perang lainnya pun dipersiapkan untuk melakukan patroli sekaligus penertiban. Begitu perintah dijatuhkan maka tergelarlah masa-masa sibuk Aceh melakukan lawatan-lawatan yang dipandang kurang menyenangkan oleh sebagian negeri-negeri yang akan dituju. Menginjak tahun 1612, Iskandar Muda menjadikan Deli sebagai awal dari rangkaian politik ekspansinya. Bustanussalatin merekam rangkaian penaklukkan Iskandar Muda sebagai berikut: ... dan beberapa negeri ditaklukkan. Pertama negeri Deli pada tatkala hijrah (tahun hijriyah) seribu dua puluh tahun. kemudian dari itu maka oleh Johor pada tatkala hijrah seribu dua puluh dua tahun. kemudian dari itu berangkat ke Bintan pada tatkala 149
hijrah seribu dua puluh tiga tahun ... kemudian dari itu maka menaklukkan negeri Pahang pada tatkala hijrah seribu dua puluh enam tahun ... kemudian dari itu maka negeri Kidah (Kedah) pada tatkala hijrah seribu dua puluh sembilan tahun. kemudian dari itu. oleh negeri Nias pada tatkala seribu tiga puluh empat tahun kemudian dari itu maka dititahkan orang kaya-kaya Maharaja Seri Maharaja dan orang kaya-kaya Laksamana menyerang Malaka pada tatkala hijrah seribu tiga puluh delapan tahun.224 Uraian di atas menjelaskan tentang meledaknya daya ofensif Aceh demi mengupayakan pembebasan dunia Melayu. Iskandar Muda seakan memiliki cadangan sumber daya manusia dan logistik yang lebih dari cukup, bahkan bisa dikatakan melimpah, karena jarak antara satu penaklukkan dengan penaklukkan lainnya tidaklah terlampau lama. Dengan kata lain, waktu untuk memugar kembali kekuatan bisa ditempuh secara cepat untuk kemudian membentuk satuan pasukan yang segar untuk menyelesaikan misi selanjutnya. Zainuddin mencatat bahwa Iskandar Muda memiliki rahasia tersendiri mengapa Aceh bisa berubah menjadi kekuatan pantang menyerah dan spartan saat berperang. Motivasi tinggi mengalahkan musuh tercipta ketika pasukan bisa mengenyampingkan kebutuhan ekonominya, paling tidak sampai dengan perang atau suatu misi selesai. Oleh sebab itu, maka lokasi awal yang harus segera dikuasai adalah kawasan pesisir timur dan barat Sumatra. Di pelabuhan-pelabuhan stategis yang tersebar di kawasan pantai tersebut segera ditempatkan panglima atau Uleebalang yang menjadi kepanjangtanganan otoritas pemerintahan Aceh di sana. Selain menjadi pemimpin lokal, mereka juga bertugas mengumpulkan bea dan cukai. Di samping itu, perkebunan lada dan produksi ikan kering juga ditingkatkan sebagai dua item barang dagangan ikonik Aceh yang memiliki daya jual mahal. Langkah-langkah kebijakan ekonomi tersebut 224
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 15.
150
berdampak positif bagi kemakmuran rakyat Aceh sehingga mereka yang ditugaskan di medan perang tidak khawatir mengenai kesejahteraannya. Daerah pesisir juga bisa dimanfaatkan dari sisi yang lainnya. Oleh sebab posisi geografisnya yang tidak jauh dari jalur air, beberapa wilayah seperti Deli, Batubara, Asahan dan Pulau Kampai (Arus), bisa digunakan sebagai pangkalan pertahanan militer pasukan Aceh. Di samping itu masyarakat pesisir negeri bawahan Aceh pun banyak yang antusias menjadi pasukan bantuan yang tentu saja akan memperbanyak sekaligus memperkuat pasukan Aceh profesional. Dikatakan pula bahwa banyak di antara pasukan Aceh yang merupakan suku Batak dan Karo, dua etnis yang mendiami kawasan pedalaman Sumatra.225 Hampir seluruh medan pertempuran berhasil dimenangkan Aceh, meskipun terkadang harus meningkatkan intensitas berlebih untuk menundukkan suatu bangsa. Ar-Raniri mengonfirmasi bahwa saat akan menguasai Kedah, tentara Aceh terlibat dalam baku hantam serius dengan pasukan Portugis pulau Benang. dikabarkan banyak di antara orang Portugis yang tertawan dan terbunuh dalam pertepuran tersebut.226 Peristiwa peperangan yang menguras emosi dan mengharukan adalah ketika dalam suatu waktu pasukan Aceh berhadapan dengan pasukan Johor yang baru kali itu diketahui membelot untuk kesekian kalinya ke pihak Portugis. Dalam suatu kesempatan ketika akan menyerang Malaka, armada Aceh dicegat oleh pasukan Raja Johor, yang masih terhitung saudara ipar Iskandar Muda. Keberadaan Johor tentu saja amat mengagetkan, mengingat belum lama berselang, Johor telah berkomitmen dengan Aceh untuk tidak membantu Portugis. Pada peperangan ini, tentara Aceh mengalami kekalahan. Penyebab utama kekalahan ini adalah munculnya keragu-raguan dalam benak panglima Aceh, apakah akan terus menyerang saudara Sultan
225 226
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 5.
151
Aceh atau tetap pada serangan. Karena kebimbangan inilah, Johor dibantu Portugis dapat mengalahkan Aceh.227 Wilayah kekuasaan Aceh sangatlah luas, namun memiliki kedudukan administratifnya memiliki perbedaan, ada yang sifatnya hanya pengakuan biasa atau merupakan suatu ketundukan yang ditunjukkan dengan pemberian upeti tahunan. Teuku Iskandar menerangkan bahwa dalam surat Iskandar Muda yang dikirimkan kepada Raja James I Raja Inggris kala itu, mengatakan bahwa dirinya merupakan penguasa banyak daerah dan raja yang diberkati Tuhan. Termasuk dalam kekuasaan Aceh masa itu adalah di sebelah timur meliputi Lubuk, Pidir, Samarlanga, Pesangan, Pasai, Perlak, Besitang, Tamiang, Deli, Asahan, Tanjung, Panai, Batu Sawar, Perak, Pahang dan Inderagiri. Sedangkan di sebelah barat mencakup daerah Calang, Daya, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida, Inderapura, Selebar, Palembang dan Jambi menyatakan kesetiannya. Dengan pengecualian Palembang dan Jambi, seluruh daerah yang telah disebutkan dalam masa yang pendek atau panjang berada dalam kekuasaan Aceh. Tujuan utama dari politik regional Aceh ini bukan hanya sebatas menguasai, namun ingin menciptakan PanMelayu (Pan-Malaynism).228 Apa yang dilakukan Aceh dan Portugis terhadap negerinegeri Melayu memang menimbulkan dua anggapan. Bagi Aceh, cara ini amat berguna untuk menghentikan langkah Portugis menguasai negeri-negeri Melayu. Pan-Melayu sebagaimana diinginkan Aceh, mensyaratkan persekutuan yang terbebas dari anasir Eropa, dan tentu saja mengedepankan pertalian kuat kekerabatan raja-raja Melayu dengan Aceh sebagai inisiatornya. Meskipun sepintas persekutuan ini berkedudukan saling memperkuat pertahanan kerajaan dan membuka peluang untuk mengatur kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya di antara mereka, namun tentu saja Aceh bertindak sebagai nakhoda dari Pan-Melayu tersebut.
227 228
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 135. Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay ...” , hlm. 17-18
152
Di sisi lain, Portugis pun memiliki hak serupa untuk menjalin persekutuan dengan para raja Melayu. Keberpihakan beberapa kerajaan Melayu seperti Pahang, Aru, Johor belakangan, mengindikasikan bahwa kedudukan Portugis adalah sepadan dengan Aceh, sama-sama ingin mengusahakan pakta integritas yang disepakati negeri-negeri yang saling bersahabat. Akan tetapi, dua upaya integritas tersebut tidaklah bisa berjalan beriringan, mengingat sebagai kekuatan yang merasa paling dominan, Aceh dan Portugis harus terlebih dahulu saling menjatuhkan dan mengalahkan untuk menegakkan cita-cita politiknya masingmasing. Di sebagian kerajaan Melayu, seperti Aru, Pahang dan Johor kebijakan Aceh ini dianggap sama saja dengan apa yang dilakukan Portugis, yaitu sama-sama menjadikan wilayah mereka sebagai kekuasaan mereka. Oleh sebab demikian, raja-raja Melayu tersebut merasa berhak untuk memilih satu dari dua kekuatan yang saling berseteru itu, sebagai kawan. Kenyataan demikian menimbulkan pertanyaan lain mengenai posisi Portugis sendiri, yakni apakah keberadaannya dianggap sebagai pengganggu atau penolong di lingkungan raja-raja Melayu dari politik regional Aceh.
C. Pola-Pola Hubungan Diplomatik Aceh dan Johor Kedua kerajaan memiliki historisitas yang panjang dalam membina hubungan diplomatik. Meskipun dalam praktiknya, hubungan ini kerap diwarnai oleh intrik, perang, pernikahan dan saling tukar-menukar pernak-pernik kebudayaan maupun peradaban, terdapat beberapa bentuk pola kerjasama bilateral, yang bisa diketahui, antara lain: Diplomasi Politik Kerjasama politik kedua kesultanan, lebih dititikberatkan pada kerjasama internasional. Kedua kerajaan sebenarnya memiliki niat luhur untuk membangun kekerabatan yang rekat, oleh sebab ditilik dari keduanya, memiliki leluhur yang sama. 153
Yakni sama-sama mengalir darah Raja Perlak ke 6 bernama Sultan Mahdum Alaiddin Muhammad Amin Syah bin Malik Abdul Kadir (1243-1267). Putrinya, Ratna Kemala dipersunting oleh Iskandar Syah atau Parameswara, pendiri kerajaan Malaka. Putri Ganggang Sari, putrinya yang lain, dipersunting oleh Sultan Malikussaleh, Sultan pertama Samudera Pasai.229 Ingatan historis ini menjadi landasan kuat, betapa kebersamaan raja-raja Melayu menjadi sesuatu yang terus dilanggengkan. Pernikahan, dalam terminologi diplomasi kuno (ancient diplomacy) adalah bagian dari upaya merajut relasi antara dua kekuatan politik.230 Johor merupakan pewaris Kesultanan Malaka, mentradisikan warisan leluhur, dalam hal ini membina hubungan yang baik dengan kerajaan jiran seperti Aceh, sebetulnya merupakan tindakan yang sepatutnya dilakukan oleh generasi penerusnya.231 Beberapa pernikahan penting dua kesultanan ini adalah; 1) pernikahan Raja Ali, putra Sultan Mahmud Syah, Raja Terakhir Malaka atau Raja Pertaman Johor, dengan seorang putri Aceh terjadi ketika Sultan Salahuddin berkuasa (1530-1537)232; 2) Pernikahan Sultan Iskandar Muda dengan Putri Pahang setelah penyerbuan ke ibukota Johor pada 1613; 3) Pernikahan Raja Abdullah (kelak menjadi Sultan Johor bergelar Sultan Abdullah
229
H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Iskandar Muda, 1961) hlm. 95-96. 230 Samuel A. Meir, “ Marriage and Diplomacy” dalam Raymond Cohen dan Raymond Westbrook, Amarna Diplomacy (Maryland: John Hopkins University Press, 2002) hlm. 165. 231 Dalam terminologi diplomasi kuno, seperti yang ditemukan di zaman Yunani Kuno, diplomasi yang terjalin kerapkali didasari oleh kesamaan leluhur yang di masanya adalah seorang yang berkedudukan istimewa (specific persons), baik berasal dari kalangan dewa maupun pahlawan, yang namanya dicatat dalam epos sejarah. Lihat Christopher P. Jones, Kinship Diplomacy in The Ancient World (USA: Harvard University Press, 1999) hlm. 1-2. 232 Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 396-397.
154
Ma;ayatsyah atau Sultan Hammat Syah di tahun-tahun yang berdekatan dengan pernikahan Sultan Iskandar Muda.233 Ketiga pernikahan tersebut terjadi bukanlah tanpa tujuan. Pernikahan pertama ditengarai terjadi manakala Portugis sudah mulai menguatkan pengaruhnya di Malaka. Johor yang saat itu masih trauma dengan serangan-serangan Portugis, dan berupaya membangun kerajaannya, membutuhkan rekan kerja yang lebih besar dan mempunyai alat-alat kelengkapan sebagai salah satu kekuatan yang disegani di Asia Tenggara, pilihan ini jatuh ke Aceh, karena pada abad 16 dan 17, Aceh menyandang sebagai sentra politik berpengaruh di Nusantara, utamanya di perairan Selat Malaka. Serbuan Aceh ke Batu Sawar pada 1613, membawa kebaikan tersendiri bagi kedua kerajaan, meskipun bagi Johor ini adalah bentuk nyata arogansi Aceh atas keputusannya menjalin hubungan dengan Portugis, untuk mengeliminir pengaruh Aceh. Keberadaan Putri Pahang dan Tun Sri Lanang, sebagai tawanan perang, lantas di kemudian hari dipulihkan privilis-nya, bahkan diangkat sebagai salah satu permaisuri raja dan uleebalang pertama Samalanga, agaknya turut merubah persepsi Iskandar Muda kepada Johor. Sangat mungkin sekali kedua tokoh ini berkontribusi memugar relasi dua kerajaan terkait. Anthoni Reid mengungkapkan bahwa sudah menjadi semacam kewajaran dalam babakan perang Asia Tenggara bahwa rakyat kerajaan yang kalah mengungsi ke wilayah-wilayah kerajaan yang menang. Hal ini untukmemenuhi kuota kaum laki-laki yang banyak gugur di medan perang sebagai pasukan suatu kerajaan. Mengambil penduduk kerajaan-kerajaan yang kalah adalah salah satu tujuan
233
Lihat Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell University, 1971,., hlm. 20; Pocut Haslinda Azwar, Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011), hlm. 28-29 dan 56.
155
perang. Ini merupakan salah satu problem demografis yang kritis.234 Perpindahan penduduk Johor ke beberapa tempat sebagaimana disebutkan di atas, adalah buah dari diplomasi Tun Sri Lanang, sebagai salah satu chief kecil yang bertanggung jawa atas daerah Samalanga. Kawin mawin antara para pendatang Johor dan Aceh juga banyak terjadi, dengan catatan anak-anaknya tetap harus menjadi pribumi Aceh.235 Kemudian, posisi Tun Sri Lanang dan Putri Pahang agaknya ikut mempengaruhi pandangan Sultan Iskandar Muda akan nasib Johor, sebagai kerajaan yang kalah perang. Beberapa tawanan yang dibebaskan dari hukuman mati, seperti Sultan Johor yang kala itu ikut diungsikan ke Aceh, dibebaskan, adalah berkat nasehat Putri Pahang.236 Dalam salah satu cerita, dikisahkan bahwa ketika Iskandar Muda sedang giat melakukan perluasan, Putri Pahang pernah mengingatkan untuk tidak membunyikan meriam tatkala melewati wilayah Asahan, karena bisa ditafsirkan sebagai ajakan berperang oleh Raja Asahan. Asahan sendiri kala itu memiliki armada tempur yang kuat, sehingga bisa saja menyusahkan Aceh.237 Pendirian masjid, lembaga pendidikan, rumah yatim serta pengiriman para ahli agama, merupakan sebagain upaya Sultan Iskandar Muda membayar dampak buruk dari peperangan yang ia inginkan. Tanggung jawab ini ditengarai bisa terealisasikan berkat adanya kedua orang tersebut dalam istana Aceh. Keberadaan Iskandar Tsani, sebagai putra kerajaan Pahang, yang dalam perkembangannya tidak menginginkan model hubungan internasional yang melegalkan ekspansi di dalamnya, juga adalah akibat dirinya masih memandang Johor 234
Anthoni Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 20-21. 235 H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. 236 H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. 237 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: Waspada, 1981) hlm. 274.
156
serta kerajaan Melayu lainnya adalah bagian dari kampung halamannya. Telah disbeutkan bahwa dalam pergaulan istanaistana Melayu, kekerabatan merupakan suatu hal yang dijunjung tinggi, terlepas dari keberadaan intrik serta perbedaan pandangan akan politik. Pahang dan Johor merupakan dua kerajaan yang memiliki pertalian darah yang kuat. Pernikahan, restorasi ruang publik serta diplomasi ketokohan, merupakan pola-pola yang bisa diketahui, saat melihat relasi bilateral Aceh dan Johor, paling tidak sampai abad ke 17.
Diplomasi Intelektual Sokoguru kuatnya peradaban Melayu-Nusantara tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kerajaan didalamnya. Jika membicarakan seputar kurun abad 16 dan 17, maka kerajaan yang bisa dikatakan sebagai poros peradaban Melayu tidak bisa dilepaskan dari Aceh dan Johor. Pada perkembangannya, harus diakui, Aceh lebih besar ketimbang Johor, dilihat dari kapasitas intelektual sarjananya, hingga kualitas lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di dalamnya. Terhitung sejak abad 16, Penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke Melayu juga dilakukan oleh Aceh, semata-mata untuk mengakarkan diri sebagai kiblat intelektual Asia Tenggara kala itu.238 Meskipun begitu, posisi Johor juga bukan saja sebagai kerajaan yang bukan melulu terbelakang jika dibandingkan dengan Aceh. Bahkan dalam beberapa kasus, kebesaran Aceh sebagai kiblat keulamaan, salah satunya berhutang pada Johor. Salah satu kitab yang menjadi rujukan penting dalam sistem pemerintahan kerajaan Melayu, termasuk Aceh, adalah Taj asSalatin, yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari. Teuku Iskandar memiliki keyakinan bahwa gelar al-Jauhari di belakang nama 238
Engku Ibrahim Ismail, Syekh Daud Al Fatani Satu Analisis Peranan dan Sumbangannya Terhadap Khazanah Islam di Nusantara (Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1992) hlm. 2.
157
Bukhari, merujuk sebagai Johor, tempat tinggalnya. Pendapat ini masih bisa diperdebatkan mengingat beberapa sarjana, seperti R. O. Winstedt dan Liaw Yock Fang meyakini bahwa Bukhari melainkan Persia.239 Kitab ini berperan penting dalam khazanah kesusasteraan Melayu, termasuk di Aceh.240 Dari segi intelektual, keberadaan Iskandar Muda, amatlah penting bagi tumbuhnya geliat intelektualitas di Aceh. Kasus pertentangan paham Nuruddin ar-Raniri dengan ulama dan pengikut paham Wujudiyyah yang terjadi di era kepemimpinan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Merupakan ekses dari kemajuan intelektual, meskipun dilihat dari segi yang lain, merupakan suatu bentuk keprihatinan yang mendalam karena melibatkan penghilangan nyawa, pembakaran kitab, serta persinggungan lainnya, yang membahayakan geliat intelektualitas di Aceh.241 Diplomasi keilmuan juga terlihat dalam relasi antara Tun Sri Lanang dan Nuruddin ar-Raniri. Diperkirakan kedua tokoh ini telah saling mengenal dan bertukar pengetahuan. Dalam menulis karyanya mengenai leluhur raja-raja Melayu, Nuruddin ar-Raniri pun menyampaikan bahwa ia memperoleh keterangan mengenainya dari kitab Tun Muhammad (Tun Sri Lanang) yang
239
Saleh Partaonan Daulay, Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari (Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis) (Jakarta: Putlitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011) hlm. 26; lebih lanjut lihat R.O. Windstedt, A History of Malay Classical Literature (Petaling Jaya: Eagle Trading Sdn. Bhd, 1991) hlm. 95-97; Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik 2 (Jakarta: Air Langga, 1993) hlm. 70. 240 C. Hooykaas dan T. Iskandar meyakini bahwa Taj as-Salatin adalah sebuah karya Melayu yang ditulis di Aceh. Lihat Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) hlm. 9; lebih lanjut lihat C. Hooykaas, Over Malaise Litaratuur (Leiden: E.J. Brill, 1947) hlm. 171-173; T. Iskandar, “Bokhari al-Jauhari and Taj us-Salatin, “Dewan Bahasa 3, (1965), hlm. 9. 241 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media Group, 2007) hlm. 212-213.
158
berjudul Sulalatussalatin.242 Bahkan, dalam beberapa penulisan hikayat, seperti Hikayat Radja Badar (Perang Badar) dan Hikayat Hanafiah, Nuruddin ar-Raniri dibantu oleh Tun Sri Lanang dan Tun Atjeh.243 Geliat perkembangan intelektual Aceh, tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan keberadaan dinamika intelektual di masa sebelumnya. Jajat Burhanuddin mengungkapkan bahwa kemampuan ulama dalam merekonstruksi, memformulasi dan memodisikasi tradisi, adalah suatu akumulasi dari proses historis yang panjang dalam sejarah.244 Latar intelektualitas di Aceh sama sekali tidak mengalami kemandegan tatkala banyak pengaruh luar berdatangan, termasuk merespon keberadaan Tun Sri Lanang. Dalam kapasistasnya sebagai penulis Sulalatussalatin, Aceh sebenarnya diuntungkan secara hostoris, karena keberadan tokoh ini yang berkiprah dalam pemerintahan Aceh, adalah salah satu pemberi corak yang signifikan dalam kanvas besar pergumulan intelektual Aceh sebagai salah satu pusat keilmuan Asia Tenggara. Maka tidak salah kiranya, jika memasukkan Tun Sri Lanang dalam bagian penting kesusasteraan kuno MelayuNusantara. Oleh karena dirinya pernah pula beraktivitas (bahkan dimakamkan) di Aceh. Di bidang perundang-undangan, undang-undang Johor sempat dijadikan inspirasi dalam mengamandemen undangundang kerajaan Aceh. Adalah Sultan Alaiddin Riayat Syah alKahar, yang menggunakan Undang-Undang Johor sebagai acuan dalam menyelenggarakan peninjauan kembali undang-undang Aceh. Teuku Iskandar meyakini bahwa peristiwa ini menunjukkan adanya pengaruh Melayu dalam sistem pemerintahan Aceh.245 Peran ini juga dilakukan di masa Sultan 242
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 1. 243 Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 126. 244 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012) hlm. 7. 245 Teuku Iskandar, “ Aceh as a Muslim-Malay; Cultural Centre 14th – 19 th Century)”, makalah ini disampaikan dalam First Conference of Aceh and Indian Ocean Studies di Banda Aceh pada tanggal 24-27 Februari 2007. hlm.12
159
Iskandar Muda, di mana Putri Pahang dilibatkan dalam merumuskan pembaruan hukum AMA (Adat Meukuta Alam), dalam bidang kanun, yakni mengurusi masalah penyelenggaraan majelis, sopan santun dan pernikahan.246
D. Posisi Portugis di Mata Kerajaan Aceh dan Melayu Kemunculan Portugis menimbukan dinamika baru dalam pergaulan kepulauan Nusantara. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh perbedaan agama yang dianutnya, melainkan juga dari segi aktivitas serta pergaulannya dengan penguasa lokal. Melalui persinggungan ekonomi, mereka juga berupaya untuk bermukim lebih lama di kawasan bandar dagang yang menyokong aktivitas strategis lainnya, seperti politik misalnya. Hal ini diketahui dari catatan Portugis yang mengabadikan rencana Alfonso de Albuquerque bahwa Pasai, memiliki prospek perdagangan yang baik tatkala Portugis menguasai Malaka kelak. Rencana tersebut diungkapkan de Albuquerque sebelum menguasai Malaka. Ia menyempatkan diri bersekutu dengan kerajaan Pasai namun masih belum ditanggapi secara hangat. Melalui suatu pertempuran laut dengan Portugis yang berakhir dengan kekalahan Pasai, penguasa Pasai segera menemuinya dan menyatakan ketundukkannya yang ditunjukkan pada pembayaran upeti secara berkala. Segera setelah itu Pasai pun menjadi vassal Portugis.247 Setelah menguasai Malaka, mereka semakin gencar melakukan perluasan dominasi ke segenap wilayah sekitar Malaka. Beberapa kerajaan Nusantara ada yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Portugis, terbukti dengan beberapa percobaan serangan baik perang terbuka seperti yang dilakukan Pasai seperti di atas, atau juga pengepungan langsung ke benteng Malaka sebagaimana yang banyak dilakukan Aceh dan beberapa 246
Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 89. Walter De Gray Birch, The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Vol III (London: Hakluyt Society, 1880) hlm. 64. 247
160
kali Johor. Yang lain ada pula yang menjadi sekutu Portugis kendati harus didahului dengan peperangan. Johor, Pahang dan Aru misalnya menjadi beberapa kerajaan yang diketahui memiliki koneksi dengan bangsa Kulit Putih ini, setelah sebelumnya mereka dikalahkan. Salah satu kerajaan yang menerapkan kebijakan keras dan cenderung antipati adalah Aceh Darussalam. Kerajaan ini menunjukkan kesungguhannya menghalau pengaruh Portugis dengan menguasai kembali Pidie, Pasai, Daya dan Aru.248 Langkah preventif seperti ini dalam setiap periodenya mengalami fluktuasi namun menemukan momentum penuhnya tatkala kerajaan ini dipimpin oleh Iskandar Muda. Raja ini dikenal sungguh-sungguh dalam memperluas wilayah kekuasaan Aceh sembari menggelar panji peperangan melawan Portugis yang di saat yang sama sedang melakukan kebijakan serupa dengan Aceh yakni memperlebar ruang jelajah politik dengan cara membangun persekutuan dengan kerajaan-kerajaan Melayu. Manuel De Faria Y Souza menyebutkan bahwa ketika Portugis datang ke Sumatra, Raja Pedir dan Pisang (Pecem, Pasai) mengirimkan duta menyatakan perdamaian dengan de Albuquerue. Setelah menguasai Malaka, Portugis melalui dutanya, Duarte Coello melawat ke kerajaan Ayutia (Siam) untuk menjalin kerjasama persahabatan dan perdamaian. Pihak Siam pun menerima kerjasama itu dikarenakan Portugis satu visi dengan mereka, yakni membenci orang Islam (moors). Duta Portugis yang lain, Antonio Correa juga menyetujui perjanjian persahabatan dan perniagaan dengan Pegu pada 1519. Bintang (Bantan) dan Kampar pun tidak luput dari upaya penguasaan Portugis. Kekaisaran China sempat menasehati Portugis agar mengangkat tokoh pribumi sebagai penguasa Malaka, namun Portugis tidak mengindahkannya bahkan membunuh duta besar Cina dan mengumumkan Cina sebagai musuh Portugis. Dalam aksinya, Portugis tidak jarang memaklumatkan perang seperti
248
Zaiuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 393-397.
161
yang dilakukannya terhadap kerajaan Bintang, Genial (Jenal ?) dan Aru.249 Semangat Ekspansif Portugis seperti di atas, mengalami perubahan di masa-masa mendatang. Paling tidak, sudah ada pemikiran mereka untuk membuka peluang agar kerajaankerajaan Melayu lainnya tidak memusuhi mereka secara serempak. Jika itu terjadi, sudah tentu kedudukan mereka di Malaka tidaklah bisa bertahan lama menghadapi serbuan pasukan Melayu Raya. Untuk itu, Portugis mulai mengubah perangainya lebih komunikatif dengan menjalin jejaring persahabatan dengan kerajaan-kerajaan Melayu lainnya, seperti dengan Johor, Pahang dan lain-lain. Johor menjadi kerajaan Melayu yang cukup sering bekerjasama dengan Portugis, utamanya dalam agenda mengeliminir pengaruh Aceh dari dunia Melayu. Sepertinya hanya dengan Aceh-lah Portugis memaklumatkan perang abadi. Karena selain pandangan dari pihak Aceh yang tidak bisa menerima keberadaan mereka di perairan Melayu dan diwariskan secara turun temurun, dari zaman Ali Mughayyatsyah hingga Iskandar Thani, juga yang tidak kalah penting, hanya Acehlah yang merupakan lawan ideal Portugis dalam ajang saling menancapkan hegemoni di Semenanjung Malaya dan Sumatra. Kerajaan-kerajaan Melayu, yang dianggap sebagai ancaman, namun peringkatnya tidaklah setinggi Aceh. Hal ini ditengarai karena kekuatan dari masing-masing kerajaan Melayu tidaklah sebanding dengan Portugis. Sebagai contoh, ketika Johor menghadang serangan Portugis pada tahun 1536, tidaklah mampu melawan bangsa Eropa itu dan berakhir dengan kekalahan. Yang unik, kekalahan ini terjadi hampir bersamaan dengan keberhasilan Portugis menguasai Perak dan Pahang.250
249
E. Koek “History of Malacca from Portuguese Sources” dalam Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, No. 17, Edisi Juni 1886, dalam Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, No. 17, Edisi Juni 1886, hlm. 123 – 142. 250 D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. Habib Mustopo (Surabaya: Usaha Nasional, 1988) hlm. 310.
162
Sebagai orang baru yang datang ke Portugis, sudah selaiknya mereka menampilkan diri sebagai bangsa terbuka dalam pergaulan dengan pribumi. Hal ini dilakukan selain untuk menciptakan keakraban dengan raja-raja lokal, juga dipandang baik untuk kemajuan perpolitikan serta perekonomian Portugis berikutnya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, aktivitas perniagaan Malaka ketika berada di bawah Portugis awalnya mengalami penyusutan. Keadaan ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Maka mulailah mereka menawarkan keuntungan dua belah pihak untuk memantapkan posisi mereka di pergaualan antarkerajaan Melayu. Di Malaka, Portugis juga melakukan pendekatan dengan warga Melayu setempat. Di antara mereka ada yang menikah dengan orang Melayu yang keturunannya di Malaka disebut Papia Kristang. Papia Kristang merupakan keturunan MalakaPortugis (Malacca Creole Portuguese) yang berbicara dengan bahasa Portugis dialek Melayu. Dialek bahasa mereka juga tersebar di Singapura, yakni di cabang dari komunitas Malaka. Peristiwa serupa juga terjadi ketika Portugis menguasai Makau. Di sana terjadi pernikahan bikultural dan menghasilkan keturunan Makau-Portugis. Keturunan ini juga banyak tersebar di Hong Kong.251 Dalam beberapa kasus, Portugis juga terlibat membantu raja lokal membebaskan diri dari kekuasaan yang lebih besar. Portugis pernah membantu Raja Cochin membebaskan diri dari kekuasaan Raja Zamorin. Tidak berhenti sampai di situ, Portugis bahkan ikut adil dalam peristiwa pengangkatan Raja Cochin252 yang independen, tidak lagi berada di bawah Zamorin253, pada 251
Shihan de Silva Jayasuriya, Portuguese in The East; A Cultural History of a Maritime Trading Empire (Lodon: Tauris Academic Studies, 2008) hlm. 4. 252 Cochin atau Kochi merupakan pelabuhan utama di Malabar, India, yang langsung menghadap ke laut Arab. Lihat http://www.britannica.com/search?query=Cochin, diakses pada Rabu, 15 Oktober 2014, pukul 15.39. 253 Zamorin termasuk dalam daerah Kalikut, India, Lihat http://www.britannica.com/EBchecked/topic/655668/Zamorin, diakses pada Rabu, 15 Oktober 2014, pukul 15. 39.
163
1505, kedua kerajaan terletak di wilayah India.254 Peristiwa ini menunjukkan, meskipun tetaplah Portugis menghitung keuntungan apa yang akan didapatnya kelak, fleksibel dalam menghadapi keadaan suatu wilayah. Antara satu daerah yang dipijaknya, dengan wilayah lain memiliki karakteristik iklim politik yang saling berbeda. Terhadap Johor, Portugis seperti melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya terhadap Cochin India, yakni ingin membantu kerajaan ini menjadi negeri yang mampu sampai ke taraf kedewasaan dalam berperadaban, dan yang terpenting jauh dari gangguan Aceh. Tentu saja, kedermawaan Portugis ini tidaklah tanpa pamrih, dalam bantuannya tentu saja Portugis menginginkan penanaman pengaruh yang lebih kuat di kerajaan yang dibantunya. Sepertinya, Portugis memandang penting bersekutu dengan Johor, sehingga mereka masih saja membuka pintu kemitraan meskipun nantinya, Johor bisa kembali menjadi sekutu Aceh dan bukan tidak mungkin keduanya akan bertemu kembali sebagai musuh yang saling menghancurkan. Zainuddin memaparkan bahwa keterlibatan Portugis dalam perpolitikan dunia Melayu, tujuan utamanya adalah menyebarkan citra buruk Aceh di hadapan raja-raja Melayu. Pemberitaan miring yang dilakukan Portugis ini, adalah salah satu upaya menghasut raja-raja Melayu yang beraliansi dengan Aceh, perlahan melepaskan komitmennya itu, lantas berbalik dan berkongsi dengan Portugis. Lebih lanjut, sebenarnya bukan hanya Portugis yang telah melakukan upaya tersebut, melainkan juga bangsa Eropa yang lain, seperti Inggris dan Belanda. Namun kedua bangsa belakangan, sepanjang abad 16, aktivitasnya belumlah sanggup menggeser dominasi Portugis di perairan Malaka. Keterlibatan awal Belanda dan Inggris di perairan Aceh dan sekitarnya, adalah untuk mendapat kedudukan dalam perniagaan di bandar dagang Aceh. Kaitannya dengan permusuhan Aceh dengan Portugis, kedua bangsa Eropa itu ibarat 254
Shihan Da Silva, Portuguese ..., hlm. 6.
164
memancing di air keruh. Mereka menjual senjata sebanyakbanyaknya kepada Raja Aceh yang nantinya digunakan dalam peperangan melawan Portugis. Di sisi lain, keduanya juga melakukan hasutan untuk memperlemah posisi Aceh di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu. Pertempuran yang pecah di antara mereka amat diharapkan oleh Belanda dan Inggris agar senjata-sejata buatan mereka dapat laris terjual.255 Dalam beberapa kesempatan, ketika Johor bertikai dengan Aceh, kerap ditemukan keterlibatan kerajaan Melayu lain seperti Pahang, Aru dan beberapa yang lainnya. Ini juga merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Bagi Portugis, bersahabat dengan Johor sama halnya dengan mengambil hati raja-raja Melayu yang berkerabat atau berada di bawah pengaruh Johor. Kerajaan ini menjadi kerajaan Melayu yang disegani oleh kerajaan lainnya, apalagi darah Malaka mengalir dalam tubuh raja-rajanya. Ketaatan raja-raja Melayu lainnya terhadap Johor, menjadi keuntungan tersendiri yang dapat dimanfaatkan Portugis, sehingga kesempatan untuk memperluas kemitraan dengan negeri-negeri Melayu dapat terjamin di bawah pengaruh Johor, umpamanya dengan Pahang, Aru, Kampar, Bintang dan lain-lain. Sebenarnya, menjadi dilema bagi kerajaan-kerajaan kecil bawahan Johor, tatkala Raja Johor memutuskan bersahabat dengan Portugis. Beberapa dari kerajaan Melayu bawahan Johor memiliki memori kelam terhadap kemunculan Portugis di lingkungannya, khususnya yang berhubungan dengan penyerbuan dan serangan yang menghancurkan ibukota dan rakyat mereka. Bagi Kampar dan Bintang misalnya, kedua kerajaan ini sempat merasakan serbuan Portugis di masa-masa awal berkuasanya Portugis di Malaka. Bahkan Raja Abdullah, Raja Kampar, pernah ditangkap dan dibawa ke Malaka pada Juli 1543.256 Keadaan ini bisa berarti dua makna, kerajaan Melayu yang bermitra dengan Johor setia dengan apapun kebijakan yang diambil Johor atau ketidakmampuan mereka keluar dan menghalau Portugis, baik 255
Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 159-160. E. Koek, “Portuguese History of Malacca”, dalam JSBRAS 17, 6, 1886, hlm. 132 dan 142 256
165
menyerang secara mandiri maupun membangun aliansi baru dengan negeri yang bervisi seragam. Di Masa ketika perebutan hegemoni politik menguat, tepatnya saat masa kejayaan kerajaan Nusantara dan kolonialisme, pengendalian pertahanan serta ekspansi politik luar negeri amat bergantung dengan sejauh mana persediaan militer tersedia. Gabriel A. Almond mengatakan bahwa suatu negara, termasuk kerajaan, yang menerapkan politik internasional yang agresif, diharuskan memperluas komponen-komponen militer dari organisasinya, sehingga ia memiliki angkatan bersenjata yang lebih besar dan suatu birokrasi sipil yang lebih besar pula untuk mendukung dan mengendalikan organisasi bersenjata itu. Ia harus menarik pajak lebih besar dari rakyatnya, dan mungkin ia harus mengatur, mengendalikan bahkan menindas oposisi kebijakan agresifnya.257 Baik Aceh, Portugis maupun Johor, jika mereka menginginkan keluar dari koloseum pertandingan lintas kekuatan, maka diharuskan memiliki persediaan militer yang lebih dari cukup. Pengadaan alutsista serta pelatihan militer mutakhir, sempat dilakukan Aceh dengan menjalin kerjasama di bidang pertahanan serta bidang lainnya dengan Turki. Saat itu, yakni sekitar abad 16 hingga menyentuh abad 20, Kerajaan Ottoman (Rum) dalam aggapan raja-raja Nusantara dianggap sebagai rajaraja besar dunia. Sultan Alauddin Riayatsyah al-Kahar merupakan pemrakarsa awal hubungan Aceh dengan Turki.258 Hal ini dilakukan untuk memperkuat pasuka serta pertahanan negeri dari ancaman musuh. Keberadaan Portugis bisa dipahami sebagai balancer of power atau kekuatan penyeimbang atas Aceh. Bagi Johor, keberadaan Portugis tentu saja dianggap menguntungkan dalam skema politik regional oportunisnya. Ketika mereka diahadapkan 257
Gabriel A. Almond, “Studi Perbandingan Sistim Politik” dalam Mochtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews, ed, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982) hlm. 25. 258 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 68-69.
166
pada kebijakan Aceh yang dianggap menyalahi hubungan Johor dengan negeri lainnya, seperti Aru, maka bersekutu dengan Portugis merupakan suatu tindakan yang bisa dimaksimalkan. Kesanggupan Portugis membantu Johor dalam beberapa kesempatan mengindikasikan kerjasama yang cukup lekat di antara keduanya. Rekonstruksi dialogis yang tidak rumit di antara keduanya, mengindikasikan telah terbangun suatu pemahaman bahwa politik luar negeri, sebagaimana yang dipahami keduanya, amatlah sarat intrik, sehingga berpaling dari satu pihak ke pihak lain merupakan hal yang biasa terjadi. Kesungguhan Aceh membangun kerjasama militer dengan Turki merupakan bentuk petinggi kerajaan ini untuk selalu mengadakan akselerasi mengimbangi gabungan pasukan MelayuPortugis. Sebagaimana diketahui, kemenangan dalam peperangan bukan hanya ditentukan lewat faktor keberuntungan semata, melainkan harus didasari pada taktik dan strategi yang tepat. Untuk itu, dengan latar belakang keberhasilan kekuatan maritim Turki Usmani menjadi momok menakutkan bagi Portugis di sekitar samudera Hindia, menjadi cukup bukti bagi Aceh untuk membangun sistem angkatan perang maritim model Turki yang harapannya sanggup menuntaskan gabungan pasukan MelayuPortugis di kemudian hari. Portugis dan Johor kelihatannya terlibat dalam hubungan yang saling bergantung. Hanya Aceh lah yang menjadi pengganggu serius bagi pertalian dua kekuatan itu. Berdekatan dengan Portugis, dianggap Johor, menjadi cara ampuh agar kerajaan ini mampu berkembang tanpa gangguan pihak Aceh yang amat berhasrat menanamkan pengaruh kuat di lingkungan penguasa Melayu. Belakangan, ketika VOC sudah mulai masuk dalam kancah istana Johor pada awal abad 17, mulai terjadi sedikit demi sedikit perubahan peta politik di kawasan dunia Melayu dan sekitarnya. Di satu sisi, Aceh menganggap keberadaannya juga tidak kalah berbahaya dengan Portugis, namun Johor justru menganggapnya sebagai sekutu lain, yang bisa dimanfaatkan bantuannya untuk mengamankan kepentingan kerajaannya. Diakui oleh Dennis de 167
Witt, hubungan yang terbangun antara Johor dan VOC adalah dilandasi oleh persahabatan dan aliansi yang membawa manfaat bersama (mutual benefit). Salah satu kesamaan agenda regional mereka adalah mengusir Portugis dari Malaka. Keluasan akses pada perniagaan lokal, menjadi salah satu tujuan utama VOC di Malaya.259 Memang, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara Portugis dan Belanda terkait bagaimana ia memandang kerjasama dengan penguasa lokal Aceh, Johor dan Melayu pada umumnya. Pandangan Portugis didominasi oleh suatu cita-cita kosmik ingin menegakkan kekuasaan Kristiani di mana mereka berpijak. Termasuk dalam hal ini adalah mendapuk Kristen sebagai agama resmi dan melakukan konversi agama penduduk setempat. Di sisi lain, VOC lebih mengutamakan masalah perdagangan, ketimbang mengurusi keyakinan dan kepercayaan masyarakat setempat. Yang terpenting bagi mereka adalah agar memperoleh untung sebesar mungkin dari perniagaan dengan penduduk pribumi.
259
Dennis de Witt, History of The Dutch in Malaysia (Selangor: Nutmeg Publishing, 2007) hlm. 3 – 4.
168
BAB VI PENUTUP
Tesis ini disimpulkan dalam dua poin, yaitu; Pertama, hubungan diplomatik Aceh dan Johor sesungguhnya amatlah labil. Keadaan ini diperkuat dengan garis kebijakan politik Johor yang lentur dan menganggap baik Aceh dan Portugis, merupakan dua kekuatan besar yang bisa menjadi rekannya dalam upaya membangun Johor. Aceh sendiri memiliki agenda membangun kerjasama strategis dengan Johor untuk membendung pengaruh Portugis. Namun, upaya ini menemui kendala tatkala di kesempatan lain, Johor pun berhubungan dengan Portugis untuk mencegah infiltrasi Aceh yang dianggap mengancam kedaulatan Johor. Portugis tampil sebagai kekuatan yang mengancam eksistensi dua kerajaan. Hal ini berdampak pula pada keadaan diplomatik dua kerajaan di atas. Perbedaan visi politik internasional antara Aceh dan Johor, dimanfaatkan Portugis untuk memecah belah persatuan Melayu yang digalang Aceh. Tindakan Portugis tersebut, dalam beberapa kesempatan, digunakan Johor sebagai sarana agar intervensi Aceh dalam tata pemerintahannya tidak sampai mengancam kedaulatannya. Hal yang kemudian menjadi latar belakang Aceh memusuhi Johor. Kedua, Dalam merawat hubungan diplomatik antara keduanya, maka aspek yang paling menonjol yang dikedepankan di antaranya adalah perkawinan antara putra putri dua kerajaan. Pernikahan merupakan salah satu cara diplomatik yang biasa ditemukan di masa klasik. Pernikahan bukan hanya menghasilkan sambungan tali persaudaraan, melainkan pula kepaduan dalam bertindak. Hubungan keduanya bukan lagi antarinstusi kerajaan yang sarat dengan seremonial, melainkan telah membaur, seakan 169
sudah tidak ada lagi perbedaan prinsipil yang menyekat hubungan mereka. Jika keadaan sudah demikian, maka harapannya, pembicaraan-pembicaraan bilateral menyangkut kepentingan dua kerajaan dapat terakomidir dengan baik tanpa menimbulkan friksi yang tajam. Selain pernikahan, di antara dua kerajaan juga terbangun aneka diplomasi lain yang amat khas dalam lingkungan kerajaan Nusantara, satu diantaranya adalah diplomasi ketokohan. diplomasi model ini terjadi karena adanya tokoh-tokoh dari suatu negeri yang kemudian hidup dan berkarya di negeri lain. Mereka tidak harus tinggal secara berkala, melainkan juga diberikan hak khusus untuk ikut serta membangun negeri yang ia tinggali. Berbagai bentuk tradisi serta budaya juga tumbuh dari hasil interaksi kedua kerajaan. Adanya aktivitas saling mempengaruhi antara Aceh dan kerajaan-kerajaan Melayu, sebelum dan sesudah Johor, menandarkan bahwa hubungan antara dua kerajaan ini ibarat jembatan lalu lalangnya produk kemanusiaan dan peradaban. Beberapa bentuk percampuran budaya, seperti dalam penyusunan undang-undang dan pandangan akan gender, menjadi beberapa hal yang cukup mewakili aktivitas kultural keduanya.
170
Daftar Pustaka
A. Buku
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999. Ahmad, A. Samad, Sulalatus Salatin; Sejarah Melayu, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008. Ahmad, Raja Ali Haji bin. The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis), Transl. Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982. Amal, M. Adnan. Portugis dan Spanyol di Maluku. Depok: Komunitas Bambu, 2010. Andaya, Leonard Y. “The Seventeenth Century Acehnese Model of Malay Society”, makalah dipresentasikan pada pertemuan tahunan AAAS (American Association of Asian Studies) di Boston, 11-14 Maret 1999. Ar-Raniri, Nuruddin. Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422. Aspin, J. Cosmorama: The Manners, Customs and Costumes of All Nations of the World, London: St. Paul Church-Yard, 1834. Azwad, Ridwan, peny. Lembaga-lembaga Tradisional di Aceh, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003. Azwar, Pocut Haslinda. Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia. Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011. ____________________. Sulalatus Salatin Versi Populer. Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011. ____________________. Perempuan Bercahaya dalam Lintasan Sejarah Aceh, Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011 Badger, George Percy, ed. The Travels of Ludovico di Varthema, London: Hakluyt Society, 1863. 171
Birch, Walter De Gray. The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Vol III, London: Hakluyt Society, 1880. Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Bandung: Mizan, 2012. Chauduri, K. N. Trade And Civilisation In The Indian Ocean. Cambridge: Cambridge University Press, 1989. Christer Jönsson dkk. Essence of Diplomacy, New York: Palgrave Macmillan, 2005. Cohen, Raymond dkk. Amarna Diplomacy, Maryland: John Hopkins University Press, 2002. Cooper, Andrew F. dkk,, ed. the Diplomacies of Small States; Between Vulnerabulity and Resilience, New York: Palgrave Macmillan, 2009. Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II, New Delhi: Asian Educational Services, 2005. Curtin, Philip D. Cross-Cultural Trade in World History, Cambridge UK: Cambridge University Press, 1998. Daulay, Saleh Partaonan. Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari (Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis), Jakarta: Putlitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011. D‟Orsey, Alex. Portuguese Discoveries Dependencies and Missions in Asia and Africa, London: W.H. Allen & Co Limited, 1893. de Witt, Dennis. History of The Dutch in Malaysia, Selangor: Nutmeg Publishing, 2007. Dunn, Rose E. Petualangan Ibnu Batutta, Seorang Musafir Muslim Abad 14 Terj. Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fang, Liaw Yock. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik 2, Jakarta: Air Langga, 1993. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press, 2006. Hadi, Amirul. Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010. Hall, D.G.E. Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha, Jakarta: Usaha Nasional, 1988. 172
Halimi, Ahmad Jelani. Perdagangan dan Perkapalan Melayu di Selat Malaka Abad ke 15 Hingga Abad ke 18, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006. Hamka. Sejarah Umat Islam, jilid 4. Bukittinggi: N.V. Nusantara, 1961. Hasbi, Baiquni. Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Ustmani, LSAMA: Banda Aceh, 2011. Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Medan: Al-Maarif, 1981. Hassan, Dato Sri Wan Abdul Wahid bin Wan. “Salasilah Kekerabatan Kesultanan Melayu Nusantara”, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Tun Sri Lanang yang diselenggarakan pada 17 Desember 2005 di Kuantan, Pahang Darul Makmur. Hitti, Philip K. History of The Arabs, Terj. R. Cecep LH dkk, Jakarta: Serambi, 2008. Hooker, Virginia Matheson. A Short History of Malaysia, Australia: Allen and Unwin, 2003. Hooykaas, C. Over Malaise Litaratuur, Leiden: E.J. Brill, 1947. Ibrahim, Ahmad dkk, peny. Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989. Iskandar, Teuku. “Aceh ad a Muslim-Malay Cultural Centre (14th – 19 th Century”, makalah dipresentasikan pada First International Conference Aceh and Indian Ocean Studies, pada 24 – 27 di Banda Aceh. Ismail, Engku Ibrahim. Syekh Daud Al Fatani Satu Analisis Peranan dan Sumbangannya Terhadap Khazanah Islam di Nusantara, Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1992. Jayasuriya, Shihan de Silva. The Portuguese in The East; A Cultural History of A Maritime Trading Empire, London: Tauris Co & Ltd, 2008. Jayne, J.S. Vasco Da Gama and His Successors, London: Methuen & Co. Ltd, 1910. Jones, Christopher P. Kinship Diplomacy in The Ancient World, USA: Harvard University Press, 1999. Kalus, Ludvik dkk, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008. 173
Kartodirdjo, Sartono, ed. Masayarakat Kuno dan KelompokKelompok Sosial, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, 1995. Komroff, Manuel, ed. The Travel of Marco Polo The Venetian, New York: W.W. Norton, 1930. Lapian, A. B. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2009. Latief, AR. Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung: Kurnia Bupa, tanpa tahun. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj.Winarsih Arifin. Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Madjid, M. Dien. “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”, makalah disampaikan dalam “Seminar Ketokohan Tun Sri Lanang” di Bireuen, Aceh pada 28 Desember 2011. _______________. Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014. Mas‟oed, Mochtar dkk, ed. Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982. Melissen, Jan, ed. The New Public Diplomacy; Soft International Relations, Great Britain: Palgrave Macmillan, 2005. Mohamet, Mustafa Ali. Johor Darul Takzim, Selangor: Pelanduk Publications, 1987. Muljana, Slamet. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu, 1981. _____________. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit), Yogyakarta: LKiS, 2011. Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Terj. Joko S. Kahar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003. Nicolson, Harold. Diplomacy. Great Britain: Oxford University Press, 1942. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, 3rd edition, Oxford: Oxford University Press, 2003. 174
Pane, Sanusi. Sedjarah Indonesia I. Djakarta: Balai Pustaka, 1965. Peacock, A.C.S. dkk, ed. From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks and Southeast Asia, Oxford: Oxford University Press, 2015. Perret, Daniel, dkk. Batu Aceh Warisan Johor. Johor Bahru: Ecole Francaise D‟Extreme-Orient dan Yayasan Warisan Johor, 1999. Pinto, Fernao Mendes. The Travels Mendez Pinto, ed and trans. By Rebecca C. Catz , Chicago and London: The University of Chicago Press, 1989. Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam; Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial Belanda, Ciputat: Logos Institut, 1998. Rambely, Nor Azizah Sham Bt. “Pendatang yang Diterima; Migrasi Aceh ke Kedah”, makalah ini dipresentasikan pada Seminar Sejarah Lisan Rumpun Melayu, bertempat di Pekanbaru, pada 27 – 30 Maret 2014, yang diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Riau dan Konsulat Malaysia Pekanbaru. Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680; Jilid I Tanah di Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. ____________. Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. Roza, Ellya. Riwayat Hidup Raja Kecik; Pendiri Kerajaan Siak. Siak: Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraga, 2012. Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1, Medan: P.T. Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981. Sharp, Paul. Diplomatic Theory of Internationals Relations, Cambridge: Cambridge University Press, 2009. Sinar, Tengku Luckman, Sari Sejarah Serdang 2, Jakarta: Departemen P dan K, 1986. Suny, Ismail, ed. Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bharatara Karya Aksara, 1980. Turner, Jack. Sejarah Rempah; Dari Erotisme ke Imperialisme, Terj. Julia Absari, Depok: Komunitas Bambu, 2011. 175
Van Leur, J.C. Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social and Economic History, Dordrecht, Nederlands: Foris Publications Holland, 1983. Van Loon, Hendrik Willem. The History of Mankind, USA: Boni & Liveraight Inc., 1922. Vlekke, Bernard H. M. Nusantara, Terj. Samsudin Berlian, Jakarta: KPG dan Freedom Institute, 2008. Winstedt, Richard. Malaya and Its History, Great Britain: The Anchor Press, 1933. _______________. A History of Malay Classical Literature, Petaling Jaya: Eagle Trading Sdn. Bhd, 1991. Zainuddin, H.M. Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957. _____________. Tarikh Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961. Zakaria, Abdul Aziz bin. Sejarah Kenaikan dan Kejatohan Kekuasaan Portugis di Melaka, London: Macmillan & Co, 1953. B. Jurnal, Tesis dan Disertasi Andaya, Leonard Y. “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell University, 1971. Braginsky, V.I. , “On the Copy of Hamzah Fansuri‟s Ephitat Published by C. Guillot & L. Kalus”, Archipel 62, 2001. Dasgupta, Arun Kumar. Acheh in Indonesian Trade and Politics: 1600-1641, England: University of Microfilm, 1962. Hadi, Amirul. “Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle of Islam in Southeast Asia, 1500-1579,” (Tesis), McGill University Canada, 1992, tidak dipublikasikan. Iskandar, T. “Bokhari al-Jauhari and Taj us-Salatin, “Dewan Bahasa 3, 1965. Koek, E. “History of Malacca from Portuguese Sources” dalam Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, No. 17, Edisi Juni 1886. Linehan, W. “History of Pahang”, dalam JSBRAS, Singapore, 1936. 176
Rahman, Mohd. Muhiden Abd. “Syeikh Nuruddin Al-Raniri dan Sumbangannya Kepada Pengajian Hadith”, dalam AlBayan, Vol. 4, Mei 2006/Rabi‟ulawwal 1427. Souza, Manuel de Faria Y. “Portuguese History of Malacca”, dalam JSBRAS, No. 17, 1887.
C. Internet http://www.inter-diciplinary.net artikel Stuart Murray berjudul “Towards and Enchanced Understanding of Diplomacy as the Buisness of Peace”, http://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/aspin, http://www.britannica.com/search?query=Cochin, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/655668/Zamorin,
177