PARTICIPATORY RAPID APPRAISAL DALAM PERENCANAAN KEPARIWISATAAN
Janianton Damanik
Abstract The communities are subject and object of development. In the long time, the planners and actors of development have inclination to see the community just as object of development. The fact of development informs that the vision which places the community just as object of development really dominant, and it has consequences the national development failure. The community consists of human individuals who have specific aspirations, interests, and needs. So, not at all of the programs and contents appropriate for their aspirations, interests, and needs. In this condition, the community often feels not the part of development process. The old development paradigm must be buried, and then applied the new development paradigm. In the new paradigm the community must be participated since the beginning of development process, included in development planning. The new approach in planning and carrying out of development which places the community as subject and object of development is packed in “Participatory Rapid Appraisal”. This approach really appropriate to applied in tourism development in Indonesia. Keywords: tourism, culture values, active participation planning Pendahuluan Salah satu tujuan penting pembangunan adalah untuk mengubah sekaligus memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Model-model pembangunan diciptakan dan diterapkan silih berganti, plus nilai dan ideologi yang melatarbelakanginya. Meskipun demikian banyak pula model itu yang tidak sepenuhnya berhasil mencapai tujuan mulia tadi. Ketika suatu model yang sukses mengangkat taraf hidup suatu masyarakat, maka hal itu dipandang sebagai paspor bagi masyarakat lain untuk mencapai perbaikan mutu hidupnya. Celakanya, seringkali kita mendengar kisah-kisah kegagalan model pembangunan yang diterapkan pada berbagai komunitas mikro karena strategi implementasinya tidak tepat. Semua itu tidak terlepas atau bahkan acapkali berawal dari ketidakcermatan para ahli dan perencana memahami realitas masyarakat. Kriteria dan indikator keberhasilan proyek
pembangunan disusun berdasarkan pemahaman sendiri dan sering menafikan fakta sosial, khususnya pemahaman dan pengalaman masyarakat yang dikenai oleh proyek itu. Misalnya, apakah proyek pengendalian banjir, proyek pengelolaan sumber daya air atau SDA lainnya berhasil memperbaiki kesejahteraan masyarakat? Apakah pembangunan resort wisata benar-benar memberikan kontribusi ekonomi dan sosial secara berkelanjutan bagi masyarakat lokal? Siapakah seharusnya yang berhak menyimpulkan apakah proyek pembangunan telah sukses menghasilkan peningkatan kualitas hidup yang sesuai dengan harapan masyarakat itu sendiri? Jelas bahwa kriteria keberhasilan pembangunan adalah buatan para ahli, perencana, dan pengambil kebijakan. Sebaliknya jarang merupakan produk pemikiran, pengamatan, dan pengalaman masyarakat sendiri. Bahayanya lagi, sangat jarang terjadi dalam masyarakat kita, bahwa orang awam
Janianton Damanik adalah Dosen Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU 140
Damanik, Participatory Rapid Appraisal ...
diajak untuk menentukan kriteria evaluasi masyarakat sendiri. (Buchori 1993: ix – xiv). Dengan kalimat lain, selama ini para perencana dan pengambil keputusan terbiasa mengambil kesimpulan tentang beragam kebiasaan dan pola hidup masyarakat terutama dengan mengandalkan pengamatan subjektif dan sekilas, kemudian berdasarkan hal itulah program pembangunan disusun. Ciri yang menonjol dalam metode ini adalah pengabaian, atau pada tingkat yang lebih ekstrem, peminggiran partisipasi masyarakat lokal dari proses perencanaan pengembangan masyarakat itu sendiri. Kunci penting untuk melepaskan diri dari perangkap kekeliruan itu adalah belajar dari masyarakat. Mengajak mereka untuk menuturkan pengalamannya, mengartikulasikan harapannya, menentukan masalah real yang dihadapinya dan merumuskan langkah-langkah yang efektif untuk mengoptimalkan potensinya adalah beberapa tindakan awal yang strategis untuk memahami masyarakat dari dekat dan secara mendalam. Informasi yang diperoleh melalui riset partisipatoris ini sangat diperlukan sebagai bahan penyusunan program pembangunan, termasuk bidang kepariwisataan. Memahami masyarakat melalui pendekatan partisipatif akan lebih lebih efektif bagi konseptor atau perencana pembangunan (pariwisata) untuk menghasilkan suatu program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan—karena itu —didukung secara optimal oleh masyarakat, serta memberikan manfaat jangka panjang bagi semua pihak yang berkepentingan. Bagian selanjutnya dari tulisan ini memaparkan gambaran umum tentang Participatory Rapid Appraisal (PRA). Kemudian akan dijelaskan latar belakang penerapan PRA sebagai metode penelitian yang efektif untuk menjelaskan berbagai fenomena dan masalah sosial, ekonomi, maupun ekologi serta solusinya secara praktis dan melibatkan masyarakat sebagai “peneliti”. Dalam kaitan ini dijelaskan pula konsep PRA dan mengapa perlu digunakan sebagai suatu metode dalam rangka penyusunan rencana pembangunan kepariwisataan, semisal master plan pengembangan kepariwisataan. Bagian berikutnya menguraikan kaitan PRA dengan penyusunan rencana pembangunan kepariwisataan. Ditunjukkan bahwa metode PRA relevan dalam penyusunan rencana pembangunan pariwisata karena ia dapat
menggali model yang komprehensif dan praktis tentang bagaimana masyarakat dapat diberdayakan dan mengenali persoalanpersoalan sekitarnya dalam kaitan dengan pegembangan pariwisata. Di samping itu ia juga dapat mejelaskan tentang bagaimana perencana dapat memperoleh pelajaran berharga dari pelibatan masyarakat dalam identifikasi masalah serta solusi terbaiknya. Pada bagian penutup dipaparkan beberapa implikasi penerapan PRA dan keterbatasannya. Sekilas tentang Participatory Rapid Appraisal Metode penelitian pengembangan masyarakat terus mengalami perubahan dan perbaikan. Sampai akhir 1960-an metode konvensional yang bertumpu pada desain model pengembangan yang dilakukan sendiri oleh peneliti mendapat sambutan yang luas dari para akademisi dan perencana pembangunan. Namun demikian hasil akhir riset yang menggunakan metode tersebut dipandang kurang efektif memberikan perubahan pada masyarakat. Objektivitas hasil riset menjadi taruhan, karena proses dan prosedurnya ditentukan sepihak oleh peneliti. Riset pengembangan (masyarakat) yang dilakukan melalui kunjungan singkat ke lapangan banyak menghasilkan bias pandangan di kalangan perencana pembangunan, karena mereka tidak menemukan gambaran yang akurat tentang kehidupan nyata masyarakat. Dalam hal pengembangan pariwisata pedesaan, Robert Chambers mencatat empat tipe bias yang pokok tersebut. (Pretty & Vodoune 1997: 21) Bias pertama adalah keruangan (spatial biases), di mana kelompok masyarakat yang diteliti adalah mereka yang kebetulan tinggal dekat infrastruktur jalan dan ekonomi lainnya, sementara kelompok pinggiran dan miskin terabaikan. Kedua adalah bias waktu, di mana kunjungan ke masyarakat dilakukan apabila akses ke pemukiman tersedia dan ketika intensitas pekerjaan di lahan pertanian sedang padat. Ketiga, bias narasumber. Para peneliti atau perencana biasanya berdiskusi hanya dengan pemuka desa atau yang mewakili kelompok yang berpengaruh dan kelas sosialekonomi atas. Keempat adalah bias proyek. Artinya, peneliti dan perencana hanya diperlihatkan atau mencari tempat atau teknologi secara berulang-ulang untuk memperoleh kesan seolah-olah hal itu merupakan prestasi tipikal
141
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 140-146
masyarakat. Bias dan kelemahan seperti itulah yang dicoba dihindari melalui PRA. Participatory Rapid Appraisal merupakan metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi masyarakat sekaligus untuk merumuskan jalan keluarnya bersama masyarakat itu sendiri. Metode ini digunakan tidak hanya untuk mengenalkan persoalan yang dihadapi masyarakat lokal kepada orang luar (perencana pembangunan), tetapi juga menjadikan masyarakat lokal paham atas persoalannya sendiri sehingga jalan keluarnya dapat dicari bersama (Sweetser 2001). Jadi metode ini dikembangkan untuk melibatkan masyarakat di dalam analisis, perencanaan, dan implementasi pembangunan (The World Bank, Chambers 1996: 31-32). Kunci pokok dalam PRA adalah pelibatan masyarakat seberagam mungkin secara interaktif. Representasi kelompok tetap penting, sejauh pemilihannya tidak berdasarkan subjektivitas peneliti. Partisipasi interaktif peserta akan mendorong inovasi dan membentuk kerjasama untuk menciptakan sistem pembelajaran yang efektif. Penekanan metode ini adalah terciptanya situasi di mana setiap peserta dapat saling berbagi pengalaman dan informasi tentang persoalan nyata yang dihadapi bersama dan dengan demikian mereka mampu merumuskan upaya penanggulangannya. Fokus kajian dan informasi yang dibahas sepenuhnya dimiliki, dianalisis, dan digunakan oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu peran orang luar (peneliti, perencana, dll.) terbatas hanya sebagai fasilitator. Untuk itu ada beberapa prinsip utama yang digunakan dalam PRA ini. (Chambers 1996: 34-35) Berikut ini akan dipaparkan secara singkat sepuluh prinsip tersebut. Prinsip pertama adalah proses belajar secara sistemik. Fokusnya adalah belajar bersama oleh semua peserta (masyarakat lokal, peneliti, dan perencana) di dalam suasana yang rileks, aktif, dan interaktif. Kedua, mencari keanekaragaman dan kekayaan informasi. Asumsinya jika peserta berasal dari kelompok sosial yang berbeda, maka pandangan dan penilaiannya terhadap situasi atau masalah juga berbeda dan akhirnya akan menimbulkan tindakan yang berbeda. Ketiga, belajar secara cepat dan progresif. Metode PRA mensyaratkan adanya eksplorasi terencana atas masalah melalui metode yang fleksibel, berulang-ulang,
142
dan cross-check. Keempat, kontekstual (context specific); artinya yang dikaji adalah persoalan yang terkait dengan situasi lokal atau pengalaman peserta, bukan hal lain yang merupakan kepentingan peneliti. Kelima, penyeimbangan bias. Artinya bahwa pemahaman atas realitas masyarakat dilakukan bersama masyarakat yang paling sedikit memiliki akses pada sumber daya lokal, dan lain-lain. Keenam, fasilitasi semua pihak yang berkepentingan. Masyarakat lokal diberikan fasilitas penyelidikan, analisis, dan penyajian atas masalahnya yang hasilnya juga akan mereka miliki. Ketujuh, kesadaran dan tanggung jawab diri secara kritis. Artinya, fasilitator dan peserta dituntut untuk terus-menerus mengakomodasi pemahaman (salah atau tidak), mencoba menjelaskannya dengan menggunakan penilaian yang paling baik. Setiap orang harus sadar bahwa tujuan kajian adalah untuk menemukan pemahaman yang akurat atas situasi lokal dan hal itu hanya dapat diwujudkan jika masing-masing menjalankan peran dan tanggungjawab. Kedelapan, saling berbagi informasi dan gagasan antarpeserta, yakni antarmasyarakat, antar-organisasi yang berbeda, antarfasilitator, antara masyarakat dengan fasilitator, antara masyarakat dengan masyarakat. PRA dilakukan untuk mengumpulkan dan membagi informasi dan pengalaman yang berbeda dari setiap peserta, sehingga mereka memperoleh pelajaran berharga yang dapat digunakan untuk memahami permasalahan lingkungannya. Kesembilan, keberlanjutan program aksi. Proses belajar menghasilkan melalui diskusi akan mengubah persepsi aktor dan kesediaan mereka untuk memikirkan tindakan nyata. Apabila aksi itu telah disetujui maka perubahan yang bersifat implementatif merupakan bentuk hasil kesepakatan atas pandangan yang berbeda. Diskusi dan analisis selanjutnya menghasilkan perbaikan dan mendorong orang melakukan tindakan untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan. Tindakan ini meliputi penguatan kelembagaan yang berarti “increasing the capacity of people to initiate action on their own” (Pretty & Vodoune: 31-32) Kesepuluh, pengayaan pengetahuan lokal. PRA menjadi media yang efektif untuk menggali dan memperkaya pengetahuan lokal yang selama ini terabaikan akibat kuatnya penetrasi dan dominasi pengetahuan dari luar dan penyeragaman persepsi dan pandangan atas
Damanik, Participatory Rapid Appraisal ...
fakta sosial, budaya, politik, dan ekonomi. PRA membalikkan pemahaman keliru itu dan pada tingkatan tertentu bahkan mampu memberi kesadaran baru bagi pihak luar tentang berbagai pengetahuan yang tidak mereka peroleh dari metode penyelidikan konvensional.
Kesepuluh prinsip tersebut merupakan kunci sukses pelaksanaan PRA. Oleh karena itu prinsip-prinsip ini juga sekaligus menjadi parameter untuk membedakannya dengan metode penelitian konvensional. Perencanaan Kepariwisataan Perencanaan kepariwisataan mencakup berbagai subsistem dan subkomponen pariwisata. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPPDA) misalnya merupakan bagian dari rencana makro pengembangan pariwisata di suatu daerah. Sebagai desain makro pengembangan, penyusunan RIPPDA sangat terkait dengan berbagai produk-produk perencanaan di sektor-sektor lainnya, termasuk perundang-undangan daerah. Rencana ini disusun melalui suatu kajian yang menyeluruh terhadap sumber daya pariwisata dan nonpariwisata riel/aktual dan potensi yang dimiliki oleh daerah. Pada umumnya tujuan penyusunan RIPPDA adalah untuk menggambarkan seluruh objek dan daya tarik wisata daerah dan kemudian memfokuskan arah pengembangan pariwisata secara terpadu dengan pengembangan bidang/sektor lainnya dalam kerangka pembangunan daerah. Oleh sebab itu rencana induk tersebut akan menghasilkan parameter yang jelas, bahwa sumber daya pariwisata yang tersedia tetap terpelihara dan dapat berkembang untuk kebutuhan di masa depan. Selain itu batas-batas daya dukung (carrying capacity) wajib diidentifikasi, sehingga ekspansi kawasan wisata dapat dikurangi atau dipacu dengan konsekuensi kerusakan lingkungan, penurunan nilai ekonomi, dan risiko-risiko sosiologis yang paling kecil. Rencana induk pengembangan pariwisata juga disusun sesuai dengan rencana pengembangan pariwisata nasional. Hal ini perlu digarisbawahi untuk menghindari terjadinya tumpang - tindih antara produk perencanaan di tingkat nasional dengan daerah yang akhirnya dapat mengurangi efektivitas rencana yang dihasilkan. Pertimbangan itu juga didasarkan
pada relevansi unsur-unsur yang harus dijadikan sebagai basis perencanaan. Menurut Inskeep elemen-elemen penyusunan rencana pengembangan pariwisata meliputi: a) Kebijakan umum pembangunan daerah; b) Akses dan jaringan transportasi daerah dengan berbagai fasilitas yang tersedia; c) Tipe dan lokasi atraksi wisata; d) Kawasan pembangunan ODTW, termasuk resort wisata; e) Jumlah, jenis, dan lokasi akomodasi serta fasilitas penunjang lainnya; f) Analisis dampak dan daya-dukung lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi daerah; g) Program-program pelatihan dan pendidikan di daerah; h) Strategi pemasaran dan program promosi; i) Struktur organisasi, perundang-undangan, dan kebijakan investasi; j) Teknik implementasi pembangunan, termasuk tahapan perencanaan dan pengembangan proyek serta zonasi wilayah (Inskeep 1991: 35-36). Melihat keragaman unsur-unsur di atas, maka akurasi dan kemutakhiran data/informasi menjadi hal yang mutlak. Hal ini memang disadari menjadi masalah pokok di daerah. Meskipun RIPPDA masih bersifat umum, namun akurasi data dan informasi yang digunakan sebagai basis penyusunan rencana itu menjadi taruhan bagi kualitas produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, penggunaan data/informasi yang out of date harus dihindari dan sebagai gantinya perlu dilakukan survai mikro untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang berbagai elemen perencanaan tadi. Dalam hal ini survai bukanlah satusatunya metode pengumpul data. Survai lebih efektif jika ditujukan untuk mengumpulkan data kuantitatif dan informasi objek fisik. Oleh karena data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan rencana pengembangan pariwisata tidak semuanya dapat diperoleh melalui metode survai, maka penggunaan metode yang lebih relevan menjadi suatu keharusan. Oleh sebab itu, metode riset partisipatoris menjadi pilihan pertama untuk memahami masyarakat lokal tadi. Penggunaan PRA dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Kepariwisataan Dalam hal penyusunan rencana kepariwisataan ada beberapa tema penting yang perlu didiskusikan dengan melibatkan masyarakat lokal secara intensif. Salah satu produk yang akan dihasilkan dalam perencanaan itu adalah rencana zonasi wisata. Artinya zonasi
143
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 140-146
wilayah akan disusun untuk dijadikan sebagai basis perencanaan. Zonasi dapat didasarkan pada kriteria fisik, tetapi juga nonfisik. Basis nonfisik yang terutama adalah kawasan budaya, misalnya identifikasi budaya lokal yang dapat dijadikan sebagai suatu klaster pengembangan wisata. Pemetaan (Mapping) Salah satu metode PRA adalah pemetaan yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat lokal. Pemetaan ini digunakan untuk “membaca”, menggambarkan, mendefinisikan, dan menetapkan batas-batas wilayah. Peta merupakan media yang menampilkan serangkaian data dan informasi tentang polapola dan struktur keruangan. Pemetaan budaya lokal dimaksudkan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan menyusun dan menganalisis event budaya yang tersebar secara spasial untuk keperluan perencanaan. Fasilitastor diharapkan dapat menyediakan peta dasar yang diperoleh dari instansi terkait. Peta tersebut kemudian diisi dengan data-data berdasarkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat. Selain event yang berupa atraksi budaya, unsur budaya tadi juga dapat meliputi pengelolaan sumber daya alam yang basisnya adalah kearifan lokal. Sebagai contoh, masyarakat dapat diajak untuk mengidentifikasi pola-pola dan mekanisme pemanfaatan air sungai dan danau, besaran volume air yang digunakan, tujuan dan distribusi pemanfaatan, maupun waktu pemanfaatannya. Hal ini penting untuk memudahkan penyusunan strategi pemanfaatan sumber daya lokal dan regulasinya bagi kepentingan masyarakat setempat maupun pariwisata kelak. Mapping juga dapat dilakukan untuk melihat penilaian masyarakat lokal tentang struktur dan pola keruangan. Misalnya, di suatu daerah terdapat peninggalan sejarah dan situs purbakala. Dalam konteks penyusunan rencana pengembangan kepariwisataan, PRA dapat dilakukan untuk memetakan pemahaman masyarakat lokal tentang pelestarian artefak itu agar dapat bermanfaat baik bagi kepentingan sejarah maupun tujuan pariwisata itu sendiri. Beberapa hal yang, misalnya, perlu dipetakan di sini antara lain adalah: a) batasbatas kawasan pengembangan; b) tata-ruang dan tata-guna lahan; c) pilihan flora dan fauna yang akan dikembangkan; d) arsitektur bangunan di
144
sekitarnya; d) aktivitas ekonomi; e) aksesibilitas dan moda transportasi. Kegiatan ini dilakukan bersama masyarakat dengan membiarkan atau memfasilitasi mereka untuk menginterpretasi bagaimana seharusnya situs purbakala itu dikelola agar kelestariannya terjamin terus. Kelebihan PRA melalui penerapan metode mapping ini adalah bahwa peneliti dari luar dapat memperoleh gambaran perspektif masyarakat setempat yang lebih jelas tentang suatu persoalan. Hal ini tentu berbeda dengan metode konvensional yang cenderung mendesain sendiri persoalan masyarakat yang diamatinya dan kemudian menyerahkan gambaran itu kepada masyarakat untuk menilainya. Pun peneliti dapat menginventarisasi persoalan baru yang timbul dari berbagai diskusi yang intens antarmasyarakat atau dengan masyarakat luar. Penyusunan Diagram Kelembagaan Metode PRA berikutnya adalah pembuatan diagram hubungan kelembagaan pariwisata. Salah satu masalah yang menonjol di daerah adalah persoalan kelembagaan yang sejatinya belum terbentuk. Siapa melakukan apa dalam kapasitas sebagai apa dan dengan konsekuensi yang bagaimana adalah rangkaian pertanyaan yang seringkali sulit memperoleh jawabannya dari lapangan. Pemahaman umum selama ini, kelembagaan pariwisata terbatas hanya pada instansi teknis (baca: Dinas Pariwisata) dan dunia industri, sehingga apabila ada rencana pembangunan pariwisata daerah maka pihak yang diajak berembuk hanyalah kedua pihak itu. Padahal kelembagaan pariwisata mencakup totalitas elemen-elemen dalam sistem kepariwisataan yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan (Damanik 2003: 15). Kelembagaan yang berkembang terutama di pedesaan adalah organisasi sosial, budaya, dan ekonomi seperti kelompok pemuda, koperasi, kelompok tani, asosiasi kekerabatan, kelompok arisan, dan sebagainya. Pada tingkatan tertentu jaringan kelembagaan dari luar masyarakat seperti perusahaan dagang dan transportasi mulai melakukan aktivitasnya. Secara sepintas hal ini mungkin tidak terkait dengan pariwisata. Namun di dalam kehidupan masyarakat semua ini berperan tersendiri dan menjadi unsur-unsur penting untuk mempertahankan integrasi sosial-ekonomi. Oleh
Damanik, Participatory Rapid Appraisal ...
sebab itu identifikasi terhadap kelembagaan lokal tetap menjadi pilihan strategis untuk membentuk kelembagaan pariwisata. Peran dan fungsi masing-masing lembaga perlu diidentifikasi secara tepat. Melalui identifikasi itu dapat diketahui luas dan kompleksitas hubungan antarkelembagaan masyarakat setempat. Tidak hanya itu, pengaruh dan kepentingan setiap lembaga juga dapat diposisikan secara lebih jelas. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa kegiatan identifikasi itu sendiri akan memberikan pemahaman kepada fasilitator maupun masyarakat lokal tentang bagaimana mekanisme kelembagaan itu memberikan kontribusi terhadap kehidupan masyarakat. Sebelum sampai pada kegiatan pembuatan diagram hubungan kelembagaan pariwisata, fasilitator perlu mengambil inisiatif untuk mengajukan bentuk kolaborasi kelembagaan yang telah disiapkan sebelumnya. Selanjutnya peserta diberikan kesempatan sebebas mungkin untuk menilai format kelembagaan yang diajukan. Melalui PRA tidak hanya pemahaman verbal yang diperoleh dari masyarakat, tetapi juga pemahaman visual yang lebih mudah. Artinya, cara ini memberi kesempatan luas bagi masyarakat untuk menyusun diagram hubungan kelembagaan pariwisata atas dasar pemahaman mereka sendiri. Keuntungan berikutnya, fasilitator sendiri kemungkinan memperoleh gambaran baru tentang assessment masyarakat atas format kelembagaan yang diajukan. Pembuatan diagram hubungan kelembagaan pariwisata seyogyanya menghasilkan pola-pola hubungan, pengaruh dan karakter atau keterkaitan (linkages) antara unsur yang satu dengan yang lainnya. Di dalam diagram tadi dapat juga diterakan kedudukan, fungsi, dan peran lembaga. Tergantung pada situasi di lapangan dan cakupan peserta PRA, kelembagaan ini sangat mungkin jauh berbeda dengan yang diidentifikasi dalam PRA yang riel. Sebagai contoh, apabila PRA dilakukan oleh masyarakat nelayan maka struktur dan hubungan kelembagaan yang digambarkan di atas mungkin akan berubah karena unsur lain, seperti asosiasi nelayan dan organisasi pemilik kapal, akan menjadi elemen yang tidak terpisahkan dalam kelembagaan pariwisata. Untuk memberikan makna yang lebih jelas dalam diagram hubungan kelembagaan ini maka perlu dibuat kode-kode visual. Misalnya,
jika peran masyarakat lokal sangat menentukan atau merupakan titik sentral dalam perencanaan pariwisata daerah, maka perlu diberi lingkaran besar. Kemudian jika suatu unsur, misalnya pemerintah, memiliki kedekatan fungsional dengan unsur lainnya, maka posisi unsur yang terakhir ini diletakkan dekat atau melekat seperti Diagram Venn dengan unsur pemerintah tadi dan demikian sebaliknya. Pendeknya, banyak media yang bersifat visual melalui pembuatan bentuk-bentuk diagram secara partisipatif apabila metode PRA ini digunakan. Jelaslah bahwa dengan kelebihan yang dimilikinya, metode PRA memberikan jawaban yang lebih solutif bagi persoalan keterbatasan data dan informasi untuk menyusun rencana pengembangan kepariwisataan. Di samping itu penerapannya lebih praktis dan kedalaman atau akurasi informasi yang dihasilkan pun terandalkan. Meskipun demikian, penggunaan teknik PRA untuk penyusunan tetap memiliki keterbatasan karena berbagai sebab. Misalnya saja, kurangnya pengalaman fasilitator dalam kegiatan PRA atau manajemen waktu pelaksanaan yang belum padu antar berbagai pelaku di lapangan. Keterbatasan ini tentu dapat di atasi dengan melakukan berbagai uji-coba penerapan PRA dalam riset kancah. Penutup Penyusunan rencana pengembangan kepariwisataan membutuhkan data dan informasi yang terkait langsung dengan kehidupan masyarakat lokal. Menelusuri kehidupan masyarakat hanya dapat berjalan efektif apabila peneliti tidak berperan sebagai aktor, tetapi membatasi diri sebagai fasilitator dan peran aktor itu diserahkan kepada masyarakat lokal. Merekalah yang paling paham dirinya dan karena itu wajar diberi peran untuk mengonstruksi diri atau lingkungannya, mendekonstruksi gambaran yang dibuat oleh peneliti atas lingkungannya itu dan kemudian bersama-sama merekonstruksi gambaran yang sebenarnya. Jadi dengan cara itu maka akurasi data dapat dijamin. Akurasi dan kedalaman data tersebut sangat tergantung pada metodologi pengumpulannya dan sekaligus menjadi jaminan bagi mutu produk perencanaan itu sendiri. Pelibatan seoptimal-mungkin masyarakat sebagai subjek dalam penelitian kepariwisataan sangat tepat karena merupakan langkah awal
145
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 140-146
untuk mengenalkan pendekatan pengembangan pariwisata baru, yakni community-based tourism. Sebagai suatu metode yang handal, PRA dapat digunakan sebagai metode pelibatan masyarakat lokal dalam proses pembangunan pariwisata daerah. Daftar Pustaka Baiquni, M., 1999, Petani adalah Para Penentu Kebijakan (Makalah dalam Pelatihan Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan di Universitas Gadjah Mada). Buchori, Mochtar,1993, Pengantar Terbitan Indonesia, dalam Walter Fernandes dan Rajesh Tandon (ed), Riset Partisipatoris, Riset Pembebasan (terj.). Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, hal.ix-xiv. Chambers, R., 1996. PRA-Memahami Desa Secara Partisipatif, (terj.). Yogyakarta, Penerbit Kanisius dan OXFAM.
146
Damanik, J., 2003a, Strategi Perencanaan Pariwisata di Daerah, dalam Jurnal Pariwisata, (STIE-AKTRIPA, Bandung) Vol. 4 No. 1. Damanik, J., 2003b, Perencanaan Kelembagaan dan SDM Pariwisata, Makalah pada Pelatihan dan Konsultasi Teknik Penyusunan RIPPDA yang diselenggarakan oleh LPP Wanawiyata Yogyakarta, 15 Juli. Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Universitas Gadjah Mada, 2000, Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Gunung Kidul 2000, (Laporan Akhir). Inskeep, Edward, 1991.Tourism Planning – An Integrated and Sustainable Development Approach. New York, Van Nostrand Reinhold, hal. 35-36.