Analisis
ISSN 1410 - 3729
PARIWISATA DIKOTOMI PARIWISATA & LINGKUNGAN HIDUP Pariwisata Alam & Pembangunan Ekonomi Masyarakat Lokal I Made Adikampana
Simbiosis Kepariwisataan, Lingkungan Hidup & Konservasi Budaya di Indonesia Ida Bagus Astina
Pengembangan Pariwisata Goa di Bali I Wayan Wijayasa, dkk.
Diterbitkan Oleh :
VOL. 9, NO. 1, 2009
Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
DIPUBLIKASIKAN OLEH FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. SUSUNAN PENGURUS ANALISIS PARIWISATA Penanggung Jawab Drs. I Putu Anom, M.Par. Penasehat Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par. Dra. Ni Made Oka Karini, M.Par. Ida Bagus Ketut Surya, SE.,MM. Ketua Dewan Penyunting Ida Bagus Ketut Astina Penyunting ▪ Prof. Adnyana Manuaba, M.Hons.F.Erg.S.FIPS,SF. Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA. Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. Michael Hichcoch University of North London ▪ Prof. Dae-Sik Je, M.Pd. Young San University – Korsel.
Ahli ▪ Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch.Ph.D. Universitas Gajah Mada ▪ Prof. Dr. Ir. I Gede Pitana, M.Sc. Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE.,MS. Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH.,MS. Universitas Udayana ▪ Dr. Hans-Henje Hild SES Bonn – Germany
Penyunting Pelaksana ▪ I Nyoman Sukma Arida, S.Si.,M.Si. ▪ I Wayan Suardana, SST.Par.,M.Par. ▪ Yayu Indrawati, SS.,M.Par. ▪ IGA. Oka Mahagangga, S.Sos.,M.Si. ▪ I Gde Indra Bhaskara, SST.Par., M.Sc. ▪ I Made Kusuma Negara, SE.,M.Par. ▪ I Gst. Bagus Sasrawan Mananda, SST.Par. ▪ Made Sukana, SST.Par.,M.Par. ▪ I Nyoman Sudiarta, SE.,M.Par. Tata Usaha dan Pemasaran ▪ Dra. Ni Nyoman Nadi ▪ I Made Dwijaya Putra Atmaja ▪ Ni Ketut Lasminiawati, S.Sos. ▪ I Gusti Putu Setiawan, SH. ▪ Wayan Sudarma, SH. ▪ Ni Luh Yuni Artini ALAMAT PENYUNTING DAN TATA USAHA Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Jl. Dr. R. Goris 7 Denpasar Bali, Telp/Fax : 0361-223798 E-mail :
[email protected]
VOL. 9, NO. 1, 2009
PENGANTAR REDAKSI ANALISIS PARIWISATA
Ada sebuah adagium esensial yang menyatakan bahwa di satu sisi tangan–tangan manusia mengukir alam dan di sisi lain tangan – tangan alam memahat manusia. Adagium tersebut berkonotasi inheren betapa dekat relasi kohesi antara manusia dengan alam. Alam sebagai ibu asuh membentuk watak dan menyediakan keperluan manusia demi kelangsungan hidupnya. Sedangkan manusia merasa takut merusak atau kehilangan lingkungan alamiah dan berusaha mengkonservasinya. Hubungan simbiotik tersebut telah memberikan lebih banyak keuntungan, keindahan, kenyamanan dan kesehatan manusianya. Namun seiring dengan perkembangan dan pembangunan pariwisata telah terjadi inklinasi yakni dikotomi antara pariwisata dengan lingkungan alam, manusia sebagai pelaku pariwisata secara peyoratif melakukan kerusakan dan pengrusakan terhadap lingkunan alam yang sejatinya menjadi tempat hidup, tumbuh, berkembang ,melahirkan budaya dan peradabannya. Lingkungan alam dieksploitasi secara eksesif guna memperoleh keuntungan sebesar–besarnya tanpa memperhatikan keberlangsungan kehidupan manusia lainnya. Keuntungan sesaat yang diperoleh justru berdampak membawa bencana bagi manusia seperti kekeringan, kebakaran, banjir, dan tanah longsor. Analisis pariwisata kali ini mengangkat topik tentang dikotomi pariwisata dengan lingkungan hidup bukan berarti mempolarisasikan antara pariwisata dengan lingkungan tetapi lebih memberi warning agar masyarakat, pemerintah dan pemodal sebagai pelaku pariwisata melakukan moratorium sekaligus preservasi terhadap lingkungan alam demi kemaslahatan umat manusia. Ada beberapa tulisan yang menyangkut domain pariwisata dan pengelolaan lingkungan seperti Adi kampana mencoba mengkaji pariwisata alam dan pembangunan ekonomi masyarakat lokal, Astina mencoba menginsinuasi terhadap prilaku manusia yang mengaku makhluk intelektual namun bertindak tidak terpuji dengan ceroboh merusak alam dan memberi polusi budaya.
Denpasar, Juli 2009 Redaksi
VOL. 9, NO. 1, 2009
PERSYARATAN NASKAH UNTUK ANALISIS PARIWISATA 1.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
2.
Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (key words). Naskah berupa ketikan asli dan CD dengan jumlah maksimal 15 halaman ketikan A4 spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan kepustakaan.
3.
Naskah ditulis dengan batas 2,5 cm dari kiri dan 2 cm dari tepi kanan, bawah dan atas.
4.
Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
5.
Nama penulis tanpa gelar akademik dan alamat instansi penulis ditulis lengkap.
6.
Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, kajian pustaka dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
7.
Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah, pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
8.
Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) harus diberi judul serta keterangan yang jelas. Gambar dicantumkan pada kertas tersendiri (tidak ditempel pada kertas), di belakangnya ditulis dengan pensil (judul naskah dan penulis).
9.
Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh : Astina (1999); Suwena et al. (2001).
10. Daftar pustaka memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut, dengan krolologis. a.
Untuk buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat terbit dan nama penerbit. Kirkwood, B.R. 1988. Essential of Medical Statistics. Second Edition. Oxford: Blackwell Science.
b.
Karangan dalam buku: nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan, inisial dan nama editor: judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan dan nama penerbit. McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The Antropology of Tourism. Philadelphia: University of Pensylvania Press. Hal. 22-34.
c.
Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir. Pitana, I Gde. 1998. “ Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in Bali, Indonesia.” Journal of Island Studies, Vol.I (1): 117-126.
d.
Untuk Artikel dalam Format elektronik: Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu, alamat situs. Morse, S.S. 1995. “ Factors in the Emergence of Infectious Disease,” Emer. Infect. Dis. Iserial online), Jan-mar., {cited 1996 jun.5}. Available from: URL:http:/www.cdc.gov./ccidodd/EID/eid.htm.
11. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku untuk masing-masing bidang ilmu. 12. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan menyebutkan secara lengkap : nama, gelar dan penerima ucapan.
VOL. 9, NO. 1, 2009
DAFTAR ISI Pariwisata Alam dan Pembangunan Ekonomi Masyarakat Lokal ____________________________________ I Made Adikampana
(1 – 6)
Patologi Sosial dalam Pariwisata : Pelaku Sektor Informal dan Citra Pariwisata Kintamani ________________________________ Nyoman Ariana
(7 – 14)
Pariwisata Masa Depan ______________________________________ (14 – 23) I Ketut Suwena Implikasi Karakteristik Produk Wisata terhadap Strategi Pemasaran _________________________________ (24 – 31) Sri Susanty Analisis Partisipasi Perempuan Bekerja pada Hotel Berbintang di Kabupaten Badung __________________________ (32 – 41) I Nyoman Sudiarta Penerapan Bauran Pemasaran dalam Tahapan Siklus Hidup Daerah Tujuan Wisata________________________________________ (42 – 49) Ni Ketut Arismayanti Pengembangan Pariwisata Goa di Bali ___________________________ (50 – 59) I Wayan Wijayasa dan Anak Agung Raka Dalem Penggunaan Website sebagai Sarana Promosi pada Hotel di Kawasan Wisata Ubud _____________________________________ (60 – 67) AA. Putu Swabawa Simbiosis Kepariwisataan, Lingkungan Hidup dan Konservasi Budaya di Indonesia ____________________________ (68 – 74) Ida Bagus Ketut Astina Pemahaman Lintas Budaya dalam Pariwisata (Perbedaan Budaya Barat dan Timur ____________________________ (75 – 80) I Putu Sudana Ekowisata Hutan Mangrove : Wahana Pelestarian Alam dan Pendidikan Lingkungan ___________________________________ (81 – 86) Made Sudiarta Potensi Wisata Kuliner Kabupaten Banyumas _____________________ (87 – 92) Chusmeru dan Agoeng Noegroho
VOL. 9, NO. 1, 2009
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
PARIWISATA ALAM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI MASYARAKAT LOKAL I Made Adikampana
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Nature tourism is a form of non-extractive industries and able to generate economic benefits for the community. This shows that nature tourism has an important role in the context of sustainable tourism development. On the one side nature tourism able to provide the stimulus of conservation efforts in the protected area and on the other side contribute to the community economic development, particularly in rural areas that are nearby the component of nature tourism products. Keywords: nature tourism, contribution, community development. I.
PARIWISATA ALAM Pariwisata alam merupakan aktivitas mengisi waktu luang yang dibangkitkan oleh keberadaan kawasan lindung, baik berupa taman nasional maupun kawasan terlindungi lainnya (Kline, 2001). Wells (1997) juga menyebutkan bahwa pariwisata alam adalah salah satu bentuk pariwisata yang atraksinya berada di tempat-tempat yang mempunyai nilai ekologis.Menurut Bori-Sanz dan Niskanen (2002) istilah pariwisata alam berhubungan dengan pengalaman yang didapat dari lingkungan alamiah dan amenitas yang disediakan untuk keperluan rekreasi. Berdasarkan beberapa batasan tersebut, pariwisata alam pada dasarnya bergantung pada tempat dan pengalaman yang berhubungan dengan lingkungan alamiah. Ketergantungan tersebut menurut Eagles (2001) terlihat dari dua komponen, yaitu : (1) kualitas lingkungan dan (2) kualitas layanan konsumen. Untuk memenuhi kualitas lingkungan dan pelayanan yang sesuai dengan keinginan konsumen, diperlukan pengenalan terhadap target pasar produk pariwisata alam. Pengidentifikasian target pasar ini dibutuhkan untuk mengoptimalkan pengaruh positif terutama manfaat ekonomi pariwisata alam dan sekaligus juga meminimalkan pengaruh negatif yang mungkin ditimbulkan.
II.
PENGARUH EKONOMI PARIWISATA ALAM Pengaruh ekonomi pariwisata alam adalah manfaat atau kontribusi produk wisata berbasis alam terhadap ekonomi suatu wilayah. Manfaat tersebut dapat berupa (1) penerimaan dari penjualan produk wisata (tiket masuk taman nasional, hotel, campground, restoran, atraksi, transportasi dan retail), (2) pendapatan masyarakat, (3) peluang pekerjaan dan (4) penerimaan pemerintah dari pajak dan retribusi (Frechtling, 1987). Ketika pariwisata alam mulai dikembangkan, pertimbangan awal yang menjadi perhatian utama adalah memastikan bahwa aktivitas tersebut akan
1
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
memberikan manfaat bagi masyarakat lokal (Sherman dan Dixon, 1991). Manfaat pariwisata alam bagi ekonomi masyarakat dapat diuraikan berdasarkan : a. Manfaat primer dan sekunder. Manfaat ini berhubungan erat dengan pembelanjaan pengunjung yang polanya dipengaruhi oleh segmen wisatawan. Manfaat primer adalah penerimaan langsung dari pembelanjaan pengunjung atas penyediaan barang dan jasa. Sedangkan manfaat sekunder yang kemudian dikenal dengan manfaat tidak langsung dan ikutan, akan terjadi apabila penerima langsung pembelanjaan pengunjung tersebut mengeluarkan kembali penerimaannya untuk barang dan jasa yang dibutuhkan. Demikian seterusnya sehingga menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) terhadap ekonomi wilayah. Pada setiap urutan pembelanjaan, jumlah penerimaan yang dikeluarkan kembali akan lebih kecil dari pembelanjaan sebelumnya (ripple effect), karena sebagian dari penerimaan kemungkinan akan disimpan, untuk pembayaran pajak atau keluar dari wilayah untuk biaya impor. Besarnya penerimaan yang tidak disirkulasikan lagi dalam ekonomi masyarakat sering disebut dengan istilah leakage atau “kebocoran”. Menurut Murphy (1987) ukuran multiplier merupakan komponen penting dalam memperkirakan manfaat ekonomi pariwisata bagi masyarakat, karena merefleksikan seberapa besar pengaruh dari setiap pembelanjaan pengunjung berada di dalam sistem ekonomi wilayah sebelum mengalami kebocoran. Besarnya multiplier ditentukan oleh ukuran dan kompleksitas sektor ekonomi wilayah, besarnya impor dan tingkat kecendrungan masyarakat untuk menyimpan kembali penerimannya.
Gambar 1. Pengaruh Pembelanjaan Pengunjung Terhadap Ekonomi Masyarakat Sumber : Kreutzwiser, 1973 dalam Murphy, 1987
b.
Manfaat individu dan manfaat sosial. Individu akan mendapatkan manfaat berupa keuntungan finansial dari penyediaan barang dan jasa layanan pariwisata. Manfaat ini yang sering menggerakan minat privat sektor dalam aktivitas pariwisata alam. Sedangkan manfaat sosial meliputi
2
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
c.
jasa lingkungan, kebanggaan atas sumberdaya alam (heritage resources), prasarana sarana, pendidikan dan penelitian. Dimensi keruangan. Manfaat pariwisata alam berdasarkan dimensi keruangan dibagi menjadi manfaat skala lokal, regional, nasional atau global. Manfaat lokal dapat diketahui pada area yang berdekatan dengan kegiatan pariwisata alam, diantaranya : penciptaan peluang pekerjaan bagi masyarakat lokal, tempat pemasaran baru bagi produk lokal dan peningkatan pelayanan prasarana sarana. Manfaat regional dari pariwisata alam hampir sama dengan manfaat lokal, namun karena skala regional lebih luas, maka derajat kepentingannya akan berbeda. Misalnya penciptaan 50 jenis pekerjaan akan sangat penting bagi skala lokal, namun relatif tidak berarti untuk skala regional. Manfaat skala nasional meliputi pendapatan dari pajak, devisa dan dari penanaman modal. Sedangkan manfaat global diantaranya konservasi sumberdaya alam, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistem.
III.
MENGUKUR PENGARUH EKONOMI PARIWISATA ALAM Pengaruh ekonomi pariwisata alam diketahui dengan mengikuti aliran pola pembelanjaan pengunjung dan kemudian memperkirakan kontribusinya terhadap jumlah penjualan, pendapatan, pekerjaan dan penerimaan dalam ekonomi wilayah amatan, yang dapat berupa wilayah pedesaan, perkotaan dan suatu negara (Frechtling, 1987; Stynes dan Sun, 2003). Pola pembelanjaan (komposisi dan besar pembelanjaan) pengunjung pada umumnya menunjukan pembelian barang dan layanan, baik dari ekonomi lokal maupun luar wilayah. Pola pembelanjaan pengunjung tersebut mengindikasikan pengaruh langsung terhadap sektor pariwisata, namun tidak menunjukan pengaruh total pariwisata terhadap ekonomi wilayah. Menurut Stynes et al., (2000), pengaruh total pariwisata terhadap ekonomi wilayah merupakan penjumlahan pengaruh langsung (direct effects), pengaruh tidak langsung (indirect effects) dan pengaruh ikutan (induced effects). Pengaruh langsung selanjutnya lebih dikenal sebagai pengaruh primer, sedangkan pengaruh tidak langsung dan ikutan biasanya disebut dengan pengaruh sekunder. Pengaruh primer atau langsung adalah perubahan jumlah penjualan, pendapatan, pekerjaan dan penerimaan pada usaha penerima awal/pertama pembelanjaan pengunjung. Pengaruh sekunder adalah perubahan dalam aktivitas ekonomi wilayah yang dihasilkan oleh re-sirkulasi penerimaan dari pembelanjaan pengunjung. Terdapat dua jenis pengaruh sekunder, yaitu : a. Pengaruh tidak langsung adalah perubahan jumlah penjualan, pendapatan, pekerjaan dan penerimaan di sektor-sektor yang mensuplai barang dan jasa (backward linked industries) kepada komponen usaha penerima awal/pertama pembelanjaan pengunjung. b. Pengaruh ikutan, perubahan dalam aktivitas ekonomi wilayah yang dihasilkan oleh pembelanjaan rumah tangga (household spending). Rumah tangga membelanjakan pendapatannya yang bersumber dari upah atau gaji di berbagai komponen usaha yang dipengaruhi oleh keberadaan pariwisata.
3
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Gambar 2. Pengaruh Ekonomi Pariwisata AlamTerhadap Ekonomi Wilayah Sumber : Eagles and McCool, 2002
IV.
PARIWISATA ALAM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI MASYARAKAT SEKITARNYA Pariwisata alam mempunyai peran penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan, karena menawarkan potensi kepada privat sektor untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam agar mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat, terutama di wilayah pedesaan yang biasanya berada di sekitar destinasi wisata alam (Eagles, 2002). Dalam hal ini ekonomi masyarakat adalah usaha yang menjadi sumber penghasilan keluarga atau orang-perorang (Sumodiningrat, 1999). Konsep pembangunan pedesaan mengandung proses untuk memperkuat liveability masyarakat pedesaan yang berkaitan dengan kualitas hidup, kualitas lingkungan dan kemenerusan kegiatan ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut maka peluang pekerjaan, perbaikan prasarana dan sarana serta pengelolaan lingkungan menjadi langkah awal dalam inisiatif pembangunan pariwisata alam (Bori-Sanz dan Niskanen, 2002). Dalam konteks pengelolaan lingkungan, pengembangan pariwisata alam dapat menyediakan rangsangan dalam upaya konservasi pemanfaatan lahan dan membantu pendanaan perlindungan keanekaragaman hayati. Dengan demikian pariwisata alam merupakan instrumen yang memadukan antara pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan dan upaya konservasi (Sherman dan Dixon, 1991). Salah satu bentuk perpaduan tersebut adalah pengurangan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam (aset pariwisata) melalui penciptaan peluang pekerjaan di bidang pariwisata berbasis alam dan sektor lain yang terkait (Eagles dan McCool, 2002). Selain itu, hal lain yang menyebabkan pariwisata alam dipandang relevan untuk pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan, karena a. Produk pariwisata dikonsumsi di destinasi wisata, sehingga akan meningkatkan peluang masyarakat untuk menjual barang dan jasa lainnya (diversifikasi ekonomi masyarakat). b. Pembatasan akses sektor yang bersifat tradisional terhadap pasar internasional, tidak berlaku dalam transaksi pariwisata. c. Sumberdaya alam dan budaya adalah potensi pariwisata dan merupakan aset yang dimiliki oleh masyarakat. d. Pariwisata merupakan sektor ekonomi padat karya. e. Pariwisata memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, kerena adanya kaitan yang luas dengan sektor-sektor lainnya. (WTO, 2002 dalam ESCAP, 2003). Namun pada kenyataannya terdapat kesenjangan antara kontribusi aktual dan potensial pariwisata alam terhadap pembangunan berkelanjutan. Kesenjangan tersebut menurut Wells (1997) lebih disebabkan karena adanya kebocoran penerimaan
4
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
pariwisata akibat ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya dan ketidaksiapan dalam mengantisipasi kunjungan terutama di wilayah yang belum berkembang/pedesaan. Lebih lanjut Campbell (1999) menyatakan bahwa permasalahan pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan sekitar destinasi wisata alam adalah ketidakmampuan masyarakat dalam mengidentifikasi manfaat pariwisata, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, masih lemahnya akses ke pasar, permodalan serta ketidakberdayaan organisasi kemasyarakatan. Selain itu sampai saat ini pendistribusian manfaat dari pariwisata alam secara langsung kepada masyarakat menjadi permasalahan tersendiri dalam pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan (Shah dan Gupta, 2000). Masyarakat belum secara optimal mendapatkan manfaat pariwisata alam akibat masih besarnya impor barang dan jasa dari luar wilayah pedesaan. V.
SIMPULAN Pariwisata alam merupakan industri yang bersifat non-ekstraktif dan mampu menciptakan beragam manfaat ekonomi bagi masyarakat. Ini menunjukan bahwa pariwisata alam mempunyai peran penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan, karena di satu sisi menyediakan rangsangan dalam upaya konservasi pemanfaatan kawasan terlindungi dan di sisi lain memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat, terutama di wilayah pedesaan yang biasanya berada di sekitar komponen produk pariwisata alam. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pariwisata alam dapat menciptakan suatu bentuk perpaduan dan hubungan yang saling menguntungkan (simbiose-mutualisme) antara pembangunan ekonomi masyarakat dan upaya konservasi. Berkaitan dengan itu maka penemukenalan peluang pekerjaan, perbaikan prasarana dan sarana serta aturan pengelolaan lingkungan bagi masyarakat menjadi langkah awal dalam inisiatif pembangunan pedesaan di sekitar kawasan konservasi sumberdaya alam. KEPUSTAKAAN Bori-Sanz, Mònica and Niskanen, Anssi, 2002, Nature-based tourism in forest as a tool for rural development, European Forest Institute, Finland. Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of Tourism Research, 26 : 534-553. Eagles, Paul F. J., 2001, International Trends in Park Tourism, EUROPARC paper, Austria. Eagles, Paul F. J., 2002 Trends in Park Tourism : Economics, Finance and Management, Journal Of Sustainable Tourism, 10 :132-153. Eagles, Paul F. J. and McCool, Stephen F., 2002, Tourism in National Parks and Protected Areas; Planning and Management, CABI Publishing, UK. Economic and Social Commission for Asia and the Pasific (ESCAP), 2003, Poverty Alleviation through Sustainable Tourism Development, United Nations, New York. Frechtling, Douglas C., 1987, Assessing the Impacts of Travel and Tourism Introduction to Travel Impact Estimation. In Travel, Tourism and Hospitality Research, J.R. Brent Ritchie and Charles R. Goeldner (ed.), John Wiley and Sons Inc, New York. Kline, Jeffrey D., 2001, Tourism and natural resource management : a general overview of research and issues. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-506. Portland.
5
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Murphy, Peter E., 1987, Tourism A Community Approach, Methuen, New York. Shah, Kishore and Gupta, Vasanti, 2000, Tourism, the Poor and Other Stakeholders : Experience in Asia, The Russell Press, Nottingham. Sherman, P. and J. Dixon, 1991, The economics of nature tourism : Determining if it pays. In Nature Tourism : Managing for the Environment, T. Whelan (ed.), Island Press, Washington, DC. Stynes, Daniel J., Propst, Dennis B., Chang, Wen-Huei and Sun, YaYen, 2000, Estimating National Park Visitor Spending and Economic Impacts, Department of Park Recreation and Tourism Resources, Michigan State University. ______ and Sun, YaYen, 2003. Economic Impacts of National Park Visitor Spending on Gateway Communities, Department of Park Recreation and Tourism Resources, Michigan State University. Sumodiningrat, Gunawan, 1999, Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman Sosial, Gramedia, Jakarta. Wells, Michael P., 1997, Economic Perspectives on Nature Tourism, Conservation and Development, Environment Department Paper no. 55, Pollution and Environmental Economics Division. Washington, DC : World Bank.
6
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
PATOLOGI SOSIAL DALAM PARIWISATA : PELAKU SEKTOR INFORMAL DAN CITRA PARIWISATA KINTAMANI Nyoman Ariana
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract The aims of this research are to identify the reason of deviate behavior of informal sector actors when giving service to the tourists. This research using concepts tourism image and deviate behavior. The Respondents have taken from 75 actors of informal sector. The result of this research are: they don’t involve keeping clean of tourist destination because, no punishment for them that applied by performer organization (53%). Less cleaning and performance care, cause has to be the habit (52%). There are bad tourists complaining handle because imitating friends (61%). Less fast and precise to serve tourists cause competition with other friends (42%). There is no training to be held as a reason why they are not ready to help (61%). They don’t help tourists precisely Impression cause imitating friends (43%). less knowledge and skill of Foreign Language cause understanding tourists what they say more important (70%). There is no tourists security guarantee cause less of facilities (43%). They don’t give honest service and friendly, cause of competition with other friends (55%), and tourists expecting misunderstanding by them the cause the thinking of tourists just seen to day (49%). Keywords: service quality, deviate behavior, actors of informal sector. I.
PENDAHULUAN Sejalan dengan berkembangnya pariwisata di Kintamani, menyisakan satu permasalahan yang hingga kini belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, stakeholders pariwisata, maupun masyarakat lokal. Citra pariwisata Kintamani yang terkesan kurang baik terus semakin dirasakan oleh wisatawan. Buruknya pencitraan diyakini memberikan pengaruh semakin menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Kintamani. Wisatawan kerap complaint atas layanan yang diterima dari pelaku sektor informal. Mulai dari pedagang acung yang kurang sopan menawarkan barang dagangannya, sampai perilaku oknum sopir boat yang memberikan pelayanan kurang bersahabat, membuat wisatawan merasa cemas saat mesin boat dimatikan di tengah danau. Bahkan pernah terjadi kasus pemukulan Guide oleh Oknum Pedagang Acung yang sangat mengoyak dunia pariwisata di Kabupaten Bangli. (www.bisnisbali.com). Pramuwisata lokal juga terkesan membujuk berlebihan manakala menawarkan jasanya sehingga terkesan sangat memaksa. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi perilaku menyimpang pelaku sektor informal, sehingga menyebabkan ketidaknyaman wisatawan tatkala berwisata ke Kintamani sebagai suatu fenomena patologi sosial. Identifikasi ini penting, sebagai analisis patologi sosial dalam pariwisata sehingga
7
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
diperoleh pemetaan sosial untuk diambil langkah-langkah pemecahan masalah, untuk meningkatkan citra positif pariwisata Kintamani yang pernah terkenal dengan keindahan alam dan keunikan budaya yang dimiliki. Pelaku sektor informal yang menjadi fokus dalam tulisan ini meliputi : Pedagang Acung di Desa Batur Tengah dan Kedisan, Pramuwisata Lokal di Desa Trunyan dan Kedisan dan Sopir Boat di Danau Batur. II.
MASALAH PENELITIAN Apakah alasan perilaku menyimpang para pelaku sektor informal dalam melayani wisatawan yang berkunjung ke Objek Dan Daya Tarik Wisata Khusus (ODTWK) Kintamani?
III. 3.1.
KONSEP Citra Pariwisata dan Kualitas Pelayanan Kotler (2000) mendefinisikan citra sebagai “seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek”. Selanjutnya dikatakan “sikap dan tindakan seseorang terhadap suatu objek sangat dikondisikan oleh citra objek tersebut”. Ini memberi arti bahwa kepercayaan, ide serta impresi seseorang sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku serta respon yang mungkin akan dilakukannya. Seseorang yang mempunyai impresi dan kepercayaan tinggi terhadap suatu produk tidak akan berpikir panjang untuk membeli dan menggunakan produk tersebut bahkan boleh jadi ia akan menjadi pelanggan yang loyal. Kemampuan menjaga loyalitas pelanggan dan relasi bisnis, mempertahankan atau bahkan meluaskan pangsa pasar, memenangkan suatu persaingan dan mempertahankan posisi yang menguntungkan tergantung kepada citra produk yang melekat pada pikiran pelanggan. Suatu perusahaan akan dilihat melalui citranya baik citra itu negatif atau positif. Citra yang positif akan memberikan arti yang baik terhadap produk perusahaan tersebut dan seterusnya dapat meningkatkan jumlah penjualan. Sebaliknya penjualan produk suatu perusahaan akan jatuh atau mengalami kerugian jika citranya dipandang negatif oleh masyarakat (Yusoff : 1995). Selanjutnya Sunter (1993) menemukan bahwa, pada masa akan datang hanya dengan citra, maka pelanggan akan dapat membedakan sebuah produk dengan produk lainnya. Dengan konsep citra produk yang baik ia dapat melengkapkan identitas yang baik pula dan pada akhirnya dapat mengarahkan kepada kesadaran yang tinggi, loyalitas, dan reputasi yang baik. Citra adalah produk yang utama yang dikejar oleh wisatawan. Berkibar atau terpuruknya citra, secara langsung akan menentukan hidup matinya sebuah destinasi wisata. Setiap destinasi wisata senantiasa harus berusaha mengembangkan citra positif dan meminimalkan citra yang negatif, pendapat ini dipertegas dengan mengatakan bahwa, “Tourism is an export industry, but the exported thing goes nowhere, the consumers bring home but image. Image is the primary product of the industry” (Pitana, 2002). Setiap daerah tujuan wisata mempunyai citra (image) tertentu, dengan asumsi wisatawan terhadap suatu daerah tujuan wisata akan memiliki keyakinan, kesan dan persepsi tersendiri. Dengan demikian Citra adalah “An expression of all objective knowledge, impressions, prejudices, imaginations, and emotional thought an individual or group have of a particular object or place” (Mathieson dan Wall dalam Pitana, 2005).
8
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Citra pariwisata yang positif kerap ditentukan oleh baiknya suguhan pelayanan dari penyedia jasa. Pelayanan yang ramah dan bersahabat membuat wisatawan merasa senang dan berpeluang mereka berniat berkunjung kembali. Sebaliknya pelayanan yang tidak bermutu, berimbas pada kekecewaan wisatawan, melahirkan citra (image) pariwisata menjadi buruk. Hal ini selaras dengan temuan, Shellyana dan Basu (2002) bahwa kualitas pelayanan mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pelanggan. Pemasaran dapat meningkatkan kualitas jasa untuk mengembangkan loyalitas pelanggannya. Artinya, produk yang berkualitas rendah akan menanggung resiko pelanggan tidak setia. Dalam penelitian ini mengikuti alur pemikiran Parasuraman, untuk membedah perilaku menyimpang (patologi sosial) dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan di Kintamani. Ada lima dimensi pokok meliputi : (1) Bukti langsung (tangible), meliputi fasilitas fisik perusahaan, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. (2) Keandalan (reliability), yaitu kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan kepada konsumen. (3) Daya tanggap (responsiveness), yaitu inisiatif para personil perusahaan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan dengan memuaskan. (4) Jaminan (assurance), meliputi pengetahuan, kemampuan, kesopanan dari personil perusahaan dan sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan dan, (5) Empati (empathy), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para konsumen (Tjiptono, 2004). 3.2.
Pelaku Sektor Informal dan Perilaku Menyimpang Soetjipto Wirosardjono (1985), batasan sektor informal adalah suatu kegiatan ekonomi marginal (kecil – kecilan) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ; 1) Status pekerjaan tidak teratur dalam hal permodalan, waktu, maupun penerimaannya, 2)Tidak tersentuh peraturan atau ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah, 3)Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian, 4)Umumnya tidak mempunyai keterikatan dengan usaha yang lebih besar, 5)Umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya, 6)Umumnya dilakukan untuk melayani golongan masyarakat yang berpendapat rendah, 7)Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja, 8) Mempekerjakan tenaga kerja yang relatif sedikit dan masih dalam lingkungan keluarga dan 9) Tidak mengenal situasi perbankan, pembukuan dan perkreditan. Brigham (1991) menyampaikan model hubungan perilaku dengan mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E), dalam persamaan dapat ditulis B = F(P.E). Motif, nilai-nilai dan sikap yang merupakan karakteristik individu saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan sebagai penentu perilaku (Sukana,2005). Menurut Kartono (1981), Perilaku menyimpang adalah tingkah laku yang tidak adikuat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan pribadi yang menyimpang pada umumnya jauh daripada status integrasi, baik secara internal maupun secara eksternal dalam lingkungan sosialnya. Peyimpangan ini, dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu : 1) Individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi “masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri-sendiri, 2) Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang
9
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain, dan 3) Individu-individu dengan perilaku menyimpang yang menjadi masalah bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Pendapat tersebut dipertegas, bahwa perilaku menyimpang bila dilihat dari segi lingkungan sosio-kultural dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu : 1)Penyimpangan individual yaitu, penyimpangan ini merupakan gejala personal, pribadi atau individu, sebab ditimbulkan oleh ciri-ciri yang khas unik dari individu itu sendiri. 2)Penyimpangan situasional yaitu, Penyimpangan ini disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial di luar individu, pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral daripadanya. Situasi tersebut memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga seseorang terpaksa harus melanggar peraturan dan norma-norma umum atau hukum formal, dan 3)Penyimpangan sistematik yaitu, sistem tingkah laku yang disertai dengan, organisasi sosial khusus, status normal, perananperanan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu, yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala perilaku yang menyimpang dari norma dan aturan, kemudian dirasionalisir atau dibenarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu (Kartono, 1981). IV.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di 3 objek wisata yang ada di Kintamani yaitu Objek Wisata Batur Tengah, Objek Wisata Kedisan dan Objek Wisata Trunyan. Data dikumpulkan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner. Teknik penentuan sampel mempergunakan teknik stratified sampling yaitu, penentuan sampel dari suatu populasi di mana dikelompokkan menjadi golongan yang relatif seragam (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000). Dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan pekerjaan/mata pencaharian. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non-proporsional yaitu sebanyak 75 orang (pelaku sektor informal) meliputi : 25 orang Pedagang Acung, 25 orang Pramuwisata Lokal dan 25 orang Sopir Boat. Pengambilan jumlah sampel masingmasing 25 orang, mengikuti temuan Gay dan Diehl :1992 (dalam Aritonang, 2005) yang menyatakan pengambilan sampel penelitian kausal diperkenankan paling sedikit 15 responden/subjek. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif kualitatif yang ditunjang analisis kuantitatif, yaitu dengan cara mempresentasekan perbandingan antara responden menjawab pertanyaan yang telah disediakan, dengan keseluruhan jumlah responden/sampel yang didapatkan dalam penelitian ini. V. 5.1.
HASIL & PEMBAHASAN Pariwisata Kintamani Sejak tahun 1920-an, pariwisata Kintamani hadir bersamaaan dengan awal munculnya pariwisata Bali. Saat itu di Kintamani dibangun pesanggrahan (rest House) milik pemerintah Belanda. Rest house ini didirikan, bersamaan dibangunnya Hotel Pertama di Bali yaitu Hotel Bali (Inna Bali Hotel-red) di Denpasar. Fasilitas ini dijadikan sebagai tempat menginap bagi pejabat pemerintah, penulis barat, seniman, tamu negara dan wisatawan yang berkunjung ke Kintamani. Motivasi wisatawan berkunjung ke Kintamani untuk merasakan sejuknya udara seraya melihat indahnya pemandangan kaldera Gunung Batur, danau Batur, lahar hitam (Black Larva), kepundan bukit yang mengelilingi gunung dan danau, Bukit Abang maupun keindahan desa-desa kuna seperti: desa Trunyan, Kedisan, dan Songan yang berada di tepi danau.
10
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
5.2.
Perilaku Menyimpang Para Pelaku Sektor Informal Jumlah reponden yang ditetapkan adalah sebanyak 75 orang. Perilaku menyimpang para pelaku sektor informal, dikaji dari konsep kualitas pelayanan, meliputi aspek tangible, reliability, responsiveness, assurance maupun dari aspek emphaty. A. 1.
Tangible Kebersihan Objek Dulu para pelaku sektor informal kerap ikut gotong royong untuk menjaga kebersihan objek, tetapi kini semenjak menurunnya kunjungan wisatawan akbibat tragedi Bom Bali, mereka tidak pernah lagi ikut berpartisipasi dalam gotong royong. Kondisi ini jelas terlihat di Penelokan, pagi hari sampah berserakan karena tempat tersebut, digunakan untuk pasar pagi oleh masyarakat lokal. Objek Wisata Kedisan dan Trunyan, juga nampak kurang bersih. Sampah plastik berserakan di sekitar tepi danau dan di sekitar dermaga Desa Kedisan. Sebagian besar para pelaku sektor informal memberikan jawaban bahwa alasan tidak ikut terlibat dalam menjaga kebersihan, adalah tidak ada sanksi tegas dari pihak pengelola (53%). Sedangkan responden yang memberikan jawaban sudah menjadi kebiasaan (21%), karena tidak ada keharusan dari pihak pengelola (17%). Terakhir alasan lainnya seperti : sikap malas, kurang mengerti manfaat kebersihan, dan Kurang dihargai oleh pihak pengelola maupun pemerintah (9%).
2.
Kebersihan dan Kerapian Penampilan Salah satu bagian penting dari pelayanan yang bermutu untuk menciptakan citra positif pariwisata adalah dengan memperhatikan kebersihan dan kerapian penampilan diri (personal grooming). Wisatawan akan merasa nyaman ketika berinteraksi dengan pemberi jasa yang penampilannya bersih dan sopan. Sebaliknya penampilan yang tidak sopan dan tidak bersih akan menyebabkan wisatawan merasa kurang nyaman. Pelaku sektor informal secara umum memiliki perilaku yang hampir sama dalam menjaga kebersihan dan kerapian penampilan diri. Mereka mengenakan pakaian, yang biasa digunakan dalam kesehariannya. Mereka tidak ada yang memiliki seragam, sehingga sulit membedakan antara para pelaku sektor informal dengan masyarakat umum lainnya. Bahkan, beberapa pelaku sektor informal juga ada yang memakai sarung, sandal jepit, celana pendek, maupun penampilan yang kurang sopan seperti, rambut dicat dan ada pula yang ber-tatto. Alasan para pelaku sektor informal kurang memperhatikan kebersihan dan kerapian penampilan diri saat melayani wisatawan, karena sudah menjadi kebiasaan (52%), ingin tampil beda (eksentrik) (22%). Tidak ada keharusan dari pihak pengelola (15%). Ada beberapa pelaku sektor informal yang memberikan jawaban lainnya (11%), seperti : sikap malas dan tidak mengerti manfaat kebersihan dan penampilan diri.
B. 1.
Reliability Menangani Keluhan Wisatawan Tatkala ada wisatawan complaint, bukannya ditangani dengan baik, tetapi dibiarkan begitu saja tanpa pernah merasa salah dalam melayani, maupun berusaha untuk memperbaiki diri dikemudian hari. Alasan tidak menangani dengan
11
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
baik bila ada wisatawan complaint sebagian besar menjawab karena meniru teman (61%), sudah menjadi kebiasaan (16%). Pelayanan yang acuh tak acuh, saat ada wisatawan kecewa, bagi mereka merupakan sesuatu yang wajar dan sudah menjadi kebiasaan. Selanjutnya tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang cara menangani wisatawan complaint (15%). Terakhir alasan wisatawan yang menjawab lainnya seperti : tidak ada keharusan dari pihak pengelola, tidak ada sanksi tegas, tidak pernah diberikan pelatihan (8%). 2.
Pelayanan Yang Cepat dan Tepat Pelayanan yang baik (Good Service) seyogianya memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada wisatawan. Pelayanan yang cepat adalah pelayanan yang memperhatikan kecepatan waktu, ketika dibutuhkan wisatawan tidak lama menunggu. Sedangkan pelayanan yang tepat adalah pelayanan yang diberikan sesuai keinginan wisatawan dengan memperhatikan kesopanan dan keramahan dalam pelayanan. Pelayanan terkesan membujuk berlebihan dan bahkan dilakukan dengan tergesa-gesa, mengejar dan memaksa wisatawan agar mau menerima tawarannya. Pramuwisata Lokal mengejar dan setelah dihentikan kendaraanya, didatangi oleh kurang lebih 4-5 orang, menawarkan penyeberangan Danau Batur. Alasan para pelaku sektor informal adalah, karena bersaing dengan teman (42%). Alasan kedua adalah Sudah menjadi kebiasaan (32%). Alasan ketiga adalah karena para pelaku sektor informal kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan (15%) Terakhir alasan yang menjawab lainnya (11%).
C. 1.
Responsiveness Kesiapan Membantu Pelancong yang membutuhkan suasana tenang dan nyaman saat berkunjung dan tidak ingin diganggu, sering tidak dipahami dengan baik. Inisiatif untuk selalu siap membantu wisatawan, juga terkesan kurang. Ketidaksiapan pelaku sektor informal dalam membantu wisatawan, sebagian besar menjawab karena tidak pernah diberikan pelatihan (61%). Alasan kedua adalah karena para pelaku sektor informal kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan pelayanan khususnya kesiapan membantu wisatawan (27%) dan lainnya (12%).
2.
Ketepatan Membantu Pelayanan yang berkualitas bukan saja ditentukan dari kesiapan membantu wisatawan. Tetapi juga perlu memperhatikan ketepatan dalam memberikan bantuan. Bantuan yang tidak tepat, justru akan menyebabkan wisatawan merasa kecewa. Ketepatan membantu dapat diartikan sebagai bentuk pelayanan yang diberikan sesuai dengan keinginan wisatawan, pada saat wisatawan membutuhkannya. Maka dari itu para pelaku sektor informal perlu menguasai tentang cara memberikan bantuan secara tepat dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan. Alasan kurang tepat saat membantu wisatawan, sebagian besar menjawab karena meniru teman (43%). Alasan kedua tidak mengerti keinginan wisatawan (25%). Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan bantuan, para pelaku sektor informal saat berinteraksi sering tidak memahami dengan baik tentang cara memberikan bantuan yang tepat. Alasan ketiga prinsip yang penting bisa jualan (25%). Terakhir
12
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
yang memberikan alasan lainnya (9%), meliputi: Tidak diberikan pelatihan dan kurang memiliki pengetahuan dan ketarampilan. D. Assurance 1. Pengetahuan dan Keterampilan Bahasa Asing Penguasaan bahasa asing adalah syarat vital yang harus dikuasai oleh pemberi jasa, ketika menginginkan bekerja di sektor pariwisata. Menguasai bahasa asing dengan baik akan memudahkan berkomunikasi dengan wisatawan. Bahasa asing yang umumnya digunakan dalam interaksi internasional termasuk komunikasi lintas budaya dalam dunia pariwisata adalah Bahasa Inggris. Pengetahuan dan ketrampilan bahasa Inggris mereka, relatif masih kurang. Terbukti saat memberikan pelayanan kepada wisatawan bahasa asing yang digunakan kurang sesui dengan kaidah bahasa (Grammar). Kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan bahasa asing khususnya Bahasa Inggris, sebagian besar menjawab karena berprinsip yang penting wisatawan mengerti (70%). Dengan latar belakang pendidikan yang rendah dan kurang belajar bahasa asing mengakibatkan kemampuan keterampilan bahasa asing menjadi kurang baik. Alasan yang menempati urutan ketiga adalah, kerena tidak pernah diperhatikan oleh pengelola (9%). Terakhir para pelaku sektor informal yang menjawab lainnya (8%) seperti : enggan mengikuti pelatihan, dan lebih baik belajar sendiri. 2.
Jaminan Keamanan Wawancara dengan MS mengatakan, para pelaku sektor informal semestinya menjaga citra pariwisata melalui memberikan jaminan keamanan kepada wisatawan. Tetapi aneh justru para pelaku sektor informal sebagai pelaku dalam menciptakan tidak amannya wisatawan berkujung ke Kintamani. Pendapat senada ditambahkan oleh Anggota Polisi yang bertugas sebagai Polisi Pariwisata di Penelokan (Desa Batur Tengah) K W mengatakan, di Kintamani pernah terjadi kasus pemukulan terhadap wisatawan yang dilakukan oleh oknum Pramuwisata Lokal, pengancaman dengan cara mematikan mesin Boat di tengah Danau, Agar wisatawan bersedia memberikan bayaran tambahan maupun perkelahian antara oknum Pedagang Acung dengan Guide pengantar Wisatawan yang berkunjung Ke Kintamani. Tidak memberikan jaminan keamanan kepada wisatawan, sebagian besar responden menjawab karena fasilitas masih kurang 43%, karena tidak pernah diberikan pelatihan (32%). Keseriusan pengelola dan pemerintah untuk memperhatikan pola pelayanan para pelaku sektor informal khususnya memberikan jaminan keamanan terkesan masih kurang. Menurut K P pemilik salah satu restoran di Kintamani, “Pengelola dan pemerintah hanya menjadikan pariwisata Kintamani untuk mencari keuntungan. Pengelola tanpa kerja keras, mendapatkan keutungan besar yaitu 40% dari keseleluruhan hasil pungut retribusi. Sedangkan pemerintah menjadikan Pariwisata Kintamani sebaga Sumber PAD. Tetapi pembinaan para pelaku sektor informal khususnya dalam memberikan jaminan keamanan kepada wisatwan kurang diperhatikan. Selanjutnya yang menjawab karena kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan (16%). Terakhir yang memberikan alasan lainnya (9%) meliputi : karena tidak ada ketegasan dari pengelola, ingin keuntungan yang lebih tinggi, bersaing sama teman, meniru teman dan singkatnya kunjungan wisatawan.
13
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
3.
Pelayanan Yang Jujur dan Ramah Harapan untuk memberikan pelayanan yang jujur dan ramah saat ini, masih jauh dari harapan. Para pelaku sektor informal sering tidak jujur dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan. Sebagai contoh oknum Pedagang Acung melakukan penipuan kepada wisatawan. Seperti yang diunggkapkan oleh M S yang mengatakan, “Dengan tujuan untuk mencari keuntungan yang lebih besar oknum Pedagang Acung melakukan tindakan penipuan, misalnya, patung yang ditawarkan kepada wisatawan dengan kualitas tinggi yaitu berbahan kayu eben, ketika dibeli oleh wisatawan dengan cepat tanpa pengetahuan wisatawan, oknum Pedagang Acung menukar dengan patung yang secara kasat mata adalah sama, tetapi kualitas kayunya lebih rendah. Pelayanan yang tidak jujur dan ramah, mayoritas responden menjawab karena meniru teman (55%) Perilaku seperti itu, dianggap wajar dan biasa dilakukan. Menurut N S seorang Pramuwisata Lokal di Objek Wisata Trunyan mengatakan, “Sesungguhnya ada keinginan untuk memberikan pelayanan yang jujur dan ramah, agar wisatawan merasa senang dan puas singgah ke Kintamani. tetapi karena sebagian besar cara pelayanan hanya menginginkan keuntungan saat ini saja, sehingga terpaksa ditiru sama teman lainnya”. Alasan kedua karena adanya persaingan sama teman 17%, karena menginginkan keuntungan lebih tinggi (13%). Alasan lainnya (15%), meliputi : Tidak ada ketegasan dari pengelola dan pemerintah untuk memberikan sanksi tegas kepada oknum pelaku sektor informal yang melakukan penipuan dan tindakan kriminal kepada wisatawan.
E. 1.
Emphaty Memahami Wisatawan (Pelanggan) Wisatawan akan merasa senang ketika dipamahi dengan baik keinginannya. Apalagi dipahami tanpa pernah memberitahukan sebelumnya. Ketika wisatawan merasa senang atas layanan yang diterima, mereka rela mengeluarkan uangnya walaupun relatif besar. Pelayanan yang memahami keinginan wisatawan, dapat dilakukan dengan cara : memberikan perhatian khusus/spesial kepada wisatawan, memperhatikan keinginan wisatawan, memahani kebutuhan wisatawan (tourist need) dan memahami kebiasaan atau karakteristik wisatawan. Apabila para pelaku sektor informal di ODTWK Kintamani mampu memberikan pelayanan seperti itu, disamping wisatawan akan merasa senang juga akan menciptakan kesan/citra objek yang positif. Alasan para pelaku sektor informal kurang memamahi keinginan wisatawan, sebagian besar menjawab karena paham wisatawan dilihat sekali saja (49%). karena kurang pengetahuan dan keterampilan untuk memahami keinginan wisatawan (24%). karena adanya prinsip tidak membeli tidak diperhatikan (15%). Menurut NC mengatakan, “Prinsip saya apabila wisatawan mau menyeberang, kami akan melayani sebatas kemampun yang kami miliki, bila tidak kami cuek saja. Sedangkan terakhir responden yang menjawab lainnya (12%). Untuk lebih sederhananya dalam penyajian tentang alasan perilaku menyimpang (patologi pelayanan) pelaku sektor informal, ketika melayani wisatawan, digambarkan pada Tabel 1.
14
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Tabel 1 Alasan Perilaku Menyimpang Pelaku Sektor Informal dalam Melayani Wisatawan di ODTWK Kintamani No. A 1
Elemen Pelayanan Tangible Kebersihan Kintamani
2
Kebersihan dan Kerapian Penampilan
B 1
Reliability Menangani Keluhan Wisatawan
2
Pelayanan yang cepat dan tepat
C 1
Responsiveness Kesiapan membantu
2
Ketepatan membantu
D 1
Assurance Kemampuan Bahasa Asing
2
Jaminan Keamanan
3
Pelayanan yang Jujur dan Ramah
E 1
Emphaty Memahami Wisatawan
Alasan Perilaku Menyimpang
(%)
Tidak ada sanksi Sudah menjadi kebiasaan Tidak ada keharusan dari pengelola lainnya Sudah menjadi kebiasaan Ingin tampil beda Tidak ada keharusan dari pengelola Lainnya
52 21 17 10 53 22 14 11
Meniru teman Sudah menjadi kebiasaan Kurang memiliki keterampilan Lainnya Bersaing sama teman Sudah menjadi kebiasaan Kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan Lainnya
61 16 15 8 42 32 15 11
Tidak pernah diberikan pelatihan Kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan Lainnya Meniru teman Kurang mengerti keinginan wisatawan Prinsif yang penting bisa jualan Lainnya
61 27 12 43 25 23 9
Prinsif yang penting wisatawan mengerti Malas belajar Kurang diperhatikan pengelola Lainnya Kurang fasilitas Kurang diberikan pelatihan Kurang pengetahuan dan keterampilan Lainnya Meniru teman Bersaing sama teman Keuntungan lebih tinggi Lainnya
69 14 9 8 43 32 16 9 55 17 13 15
Dilihat sekali saja Kurang pengetahuan dan keterampilan Prinsif tidak membeli, tidak diperhatikan Lainnya
49 24 15 12
Sumber : Hasil Penelitian (2008) VI.
SIMPULAN Alasan perilaku menyimpang para pelaku sektor informal dalam melayani wisatawan yang berkunjung ke ODTWK Kintamani adalah sebagai berikut : (1) Tidak ikut terlibat menjaga kebersihan Objek, karena tidak ada sanksi tegas dari pihak pengelola. (2) Kurang memperhatikan kebersihan dan kerapian penampilan diri karena
15
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
sudah menjadi kebiasaan. (3) Tidak menangani dengan baik bila ada wisatawan complaint, karena meniru teman. (4) Kurang cepat dan tepat memberikan pelayanan, karena bersaing dengan teman. (5) Kurang siap membantu wisatawan ketika dibutuhkan, karena tidak pernah diberikan pelatihan. (6) Kurang tepat saat membantu wisatawan, karena meniru teman. (7) Kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan bahasa asing, karena ada paham yang penting bahasa bisa dimengerti oleh wisatawan. (8) Tidak memberikan jaminan keamanan, karena fasilitas masih kurang. (9) Tidak memberikan pelayanan yang jujur dan ramah, karena meniru teman, dan (10) kurang memahami keinginan wisatawan, dengan motif hanya akan melihat wisatawan tersebut satu kali saja. KEPUSTAKAAN Anonim. 2007. Pedagang Acung Kintamani Pukul Guide “Coreng Citra Pariwisata”http://www.bisnisbali.com/2007/11/23/news/pariwisata/aqwe.htm l tanggal 20 Januari 2008. Anwar, S. 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Cet. 4. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Aritonang R. L. R. 2005. Kepuasan Pelanggan Pengukuran dan Penganalisisan dengan SPSS. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli. 2006. Data Kepariwisataan Kabupaten Bangli. Bangli . Bali. Effendi. 1992. Kegiatan Non Formal di Pedesaan. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan. Universitas Gajah Mada. Kartono, K. 1981. Patologi Sosial. Jakarta : CV Rajawali. Kotler, P., (2000), Marketing Management, The Millenium Edition, New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Kusmayadi dan Sugiarto, E. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Pitana, I. G. 2002. Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan. Denpasar : Pint Works. Pitana, I. G. dan Gayatri, P. G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Andi Offset. Shellyana J. dan Basu S.D.(2002) Pengaruh Ketidakpuasan pengguna, Karakteris-tik Kategori Produk, dan Kebutuhan Mencari Variasi terhadap Keputusan Perpindahan Merek, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 17 No 1. P. 91104. Soetjipto W. 1985. Pengertian, Batasan dan Masalah Sektor Informal. Jakarta : Prisma. Sunter, C. (1993), In Van Heerden, Cornelius H. dan Puth, Gustav. 1995. Factors that Determine the Corporate Image of South African Banking Institutions. International Journal of Bank Marketing. Vol. 13. No. 3 p. 12- 17. Sukana, M. 2005. Sikap dan Prilaku Masyarakat Kelurahan Ubud, Kabupaten Gianyar, terhadap Wisatawan Cina (tesis). Denpasar : Program Magister Program Studi Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Tjiptono, F. 2004. Manajemen Jasa.Yogyakarta : PT ANDI. Yusoff, M. (1995), Konsep Asas Periklanan. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.
16
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
PARIWISATA MASA DEPAN I Ketut Suwena
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Tourism improvement prospectin the future will not be able hindered by improvements and changes which can progress to the tourist arrival. These changes like consumers behavior pattern, the improvement in information using through technology (IT) and the changes in tourism itself. Either from outside control of tourism or inside control of tourism. Keywords: sustainable tourism. I.
PENDAHULUAN Prospek pariwisata ke depan sangat menjanjikan bahkan sangat memberikan peluang besar, terutama apabila menyimak angka-angka perkiraan jumlah wisatawan internasional (inbound tourism) berdasarkan perkiraan WTO yakni 1,046 milyar orang (tahun 2010) dan 1,602 milyar orang (tahun 2020), diantaranya masing-masing 231 juta dan 438 juta orang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dan akan mampu menciptakan pendapatan dunia sebesar USD 2 triliun pada tahun 2020. Di samping itu, prospek perkembangan pariwisata ke depan tidak akan bisa terbendung lagi oleh kemajuan-kemajuan dan perubahan yang mampu meningkatkan kunjungan wisatawan. Berdasarkan tersebut di atas, maka para pelaku pariwisata seyogyanya melakukan perencanaan yang matang dan terarah untuk menjawab tantangan sekaligus menangkap peluang yang akan “ bersliweran ” atau lalu lalang di kawasan kita. Pemanfaatan peluang harus dilakukan melalui pendekatan “re-positioning” keberadaan masing-masing kegiatan pariwisata dimulai dari sejak investasi, promosi, pembuatan produk pariwisata, penyiapan jaringan pemasaran internacional dan penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas. PERUBAHAN POLA KONSUMSI Disamping jumlah wisatawan mancanegara yang makin meningkat, saat ini pun telah terjadi perubahan consumers-behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan. Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand, saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya (culture) dan peninggalan sejarah (heritage) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah atau negara. Perubahan pola wisata ini perlu segera disikapi dengan berbagai strategi pengembangan produk pariwisata maupun promosi baik disisi pemerintah maupun swasta. Dilihat dari sisi pemerintahan perlu dilakukan perubahan skala prioritas kebijakan sehingga peran sebagai fasilitator dapat dioptimalkan untuk mengantisipasi
II.
17
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
hal ini. Disisi lain ada porsi kegiatan yang harus disiapkan dan dilaksanakan oleh swasta yang lebih mempunyai sense of business karena memang sifat kegiatannya berorientasi bisnis. Dan dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka perlu pula porsi kegiatan untuk pemerintah daerah yang akibat adanya otonomi daerah lebih memiliki wewenang untuk mengembangkan pariwisata daerah. Secara sederhana pembagian upaya promosi misalnya akan dapat ditempuh langkah-langkah dimana untuk pemerintah pusat melakukan country-image promotion, daerah melakukan destination promotion sesuai dengan keunggulan daerah masing-masing, sedangkan industri atau swasta melakukan product promotion sesuai dengan kepentingannya. III.
PARIWISATA DAN TEKNOLOGI INFORMASI Dalam hubungannya dengan pariwisata, kemajuan yang dicapai dalam dunia teknologi sangatlah menentukan di era postmodern. Pariwisata tidak bisa dipisahkan dengan teknologi, atau dengan kata lain, perkembangan kemajuan industri pariwisata dewasa ini tergantung sebagian besar atas tercapainya kemajuan-kemajuan dalam dunia teknologi. Di samping juga pariwisata merupakan industri yang melibatkan banyak organisasi dan pelaku didalamnya, yang bersifat global, maka teknologi informasi adalah suatu hal yang sangat fundamental dan besar perannya dalam industri pariwisata yang makin kompetitif dan terus berusaha untuk efektif dalam memberikan pelayanan dan sifat dari tourism produk yang berbeda dari produk manufacturing, membuat teknologi informasi sangat vital di dalam memberikan informasi kepada calon konsumen tentang produk, waktu dan segala macam pelayanan yang mereka akan terima selama dalam perjalanan menuju ke daerah tujuan wisata maupun selama berada di daerah tujuan wisata. Terdapat hal menarik dari data yang disajikan WTO yakni ditemu kenali adanya 4 negara kelompok besar penyumbang wisatawan dunia yakni Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Inggris yang menyumbangkan 41% dari pendapatan pariwisata dunia. Dari segi teknologi, keempat negara inipun merupakan negara-negara terbesar pengguna teknologi informasi- internet, yakni 79 persen dari populasi internet dunia (tahun 1997) k.l. 130 juta pengguna internet. Angka-angka ini bukanlah secara kebetulan, tetapi memang ada korelasi yang erat antara pemakaian teknologi informasi dengan peningkatan jumlah wisatawan di suatu negara. Internet tidak semata-mata hanya merupakan temuan teknologi belaka, tetapi juga merupakan guru untuk mendidik manusia menemukan berbagai informasi (termasuk informasi pariwisata) yang diinginkannya, sehingga membuat hidup jauh lebih mudah (to make life much easier). Mengapa hal ini menjadi sangat penting di industri pariwisata ? Hal ini karena produk ataupun jasa yang diinginkan di sektor pariwisata tidak muncul ataupun “ exist ” pada saat transaksi berlangsung. Pada saat perjalanan wisata dibeli pada umumnya hanyalah membeli informasi yang berada di komputer melalui reservation system-nya. Wisatawan hanya membeli “hak” untuk suatu produk, jasa penerbangan ataupun hotel. Berbeda dengan komoditas lainnya seperti TV ataupun kamera, wisata tidak dapat memberikan sample sebelum keputusan untuk membeli dilakukan, ”it cannot be sampled before the traveler arrives”. Keputusan untuk membeli pun kebanyakan berasal dari rekomendasi relasi, brosur, atau iklan diberbagai media cetak. Jadi sesungguhnya bisnis pariwisata adalah bisnis kepercayaan (trust). Melalui internet, informasi yang dibutuhkan untuk suatu perjalanan wisata tersedia terutama dalam
18
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
bentuk World Wide Web atau Sites Web. Konsumen sekarang dapat secara langsung berhubungan dengan sumber informasi tanpa melalui perantara. Haruslah diyakini bahwa Sites Web adalah saluran ideal dan alat yang ampuh untuk mempromosikan daerah tujuan wisata, dengan biaya yang sangat murah. Namun dalam berkompetisi ini yang harus diperhatikan, karena merupakan senjata utama kita, adalah kualitas dari informasi itu sendiri. Wisatawan akan mendasarkan keputusannya untuk mengunjungi suatu Daerah Tujuan Wisata hanya kepada berbagai informasi yang tersedia untuk mereka di Sites Web. Sekali mereka mendapat informasi yang keliru maka keunggulan teknologi ini akan menjadi tidak ada gunanya karena ketiadaan kredibilitas. Survey terkini menunjukkan bahwa travel market online sedang mengalami ”Booming”, tiga perempat dari para pengguna internet menjelajahi dunia maya untuk mencari informasi mengenai pemesanan hotel, penerbangan pesawat, harga dan hargaharga spesial yang ditawarkan di internet. Ini disebabkan karena informasi yang disediakan sangat up to date dan terus diperbaharui serta ruang lingkupnya cukup luas. Sejumlah petunjuk berwisata sekarang sudah tersedia secara on-line di internet, ini jelas lebih menguntungkan daripada membeli sebuah buku petunjuk wisata dimana buku tersebut, diperbaharui paling cepat setahun atau dua tahun sekali. Sedangkan petunjuk wisata on-line, hampir diperbaharui setiap minggu (weekly updates). Tambahan pula, on-line guides menyediakan pengalaman secara langsung dari orangorang yang sudah pernah melakukan perjalanan wisata ke tempat-tempat tujuan wisata yang tertera di online guides tersebut. IV.
PERUBAHAN DALAM PARIWISATA Perubahan dalam pasar pariwisata sangat cepat terjadi dan akan terus berlanjut. Langkah antisipasi dari sektor pariwisata sangat diperlukan untuk mengakomodasi perubahan ini dan keberhasilan dalam berekreasi terhadap menentukan keberhasilan dan kesuksesannya. Peran penting pelaku pariwisata adalah memahami penggerak perubahan dan menentukan respon yang diperlukan. Penggerak perubahan itu baik berasal dari luar pariwisata (outside control of tourism) maupun perubahan secara alami dari sistem pariwisata itu sendiri. Untuk lengkap akan dibahas secara mendalam di bawah ini. A. 1.
Perubahan dari Luar Sistem Pariwisata (Exogenous Variabel) Faktor Demografi dan Trend Sosial Faktor demografi dan trend sosial sangat berpengaruh dalam membentuk tourism demand (permintaan di bidang pariwisata) pada tahun 2000 ke atas. Faktor demografi seperti makin banyaknya orang yang tua pada negara penghasil wisatawan patut dicermati oleh para pelaku pariwisata di daerah tujuan wisata. Disamping itu trends sosial di negara penghasil wisatawan seperti : perkawinan di usia yang tua (40 tahun ke atas), menunda kelahiran anak/bahkan hidup tanpa anak, meningkatnya jumlah orang yang tidak menikah atau pasangan yang tidak mempunyai anak serta makin banyaknya wanita yang berwisata (yang pada awalnya hanya berperan mengurus anak). Sebagai penyedia jasa, sudah sepatutnya daerah tujuan wisata membuat suatu paket wisata yang dapat mengakomodasi trend sosial tersebut.
19
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
2.
Perkembangan Politik Perubahan-perubahan politik mempengaruhi perkembangan pariwisata dunia. Setelah komunis runtuh di Rusia, sebagian dari negara pecahan Uni Soviet tersebut menjadi negara yang kaya seperti : Latvia. Diperkirakan, Latvia di masa depan akan menjadi salah satu negara penghasil wisatawan yang potensial. Di samping itu, dengan runtuhnya paham komunis, kepemilikan perusahaan oleh pribadi makin berkembang yang pada akhirnya memunculkan pengusahapengusaha kaya di bekas negara bagian Rusia tersebut. Oleh karena itu dengan ketersediaan dana, keinginan untuk berwisata pun semakin meningkat. Jadi negara penghasil wisatawan tidak hanya akan berasal dari Eropa Barat akan tetapi di masa depan, negara Eropa Timur akan juga ambil bagian di dalam percaturan pariwisata dunia.
3.
Perkembangan Transportasi Dengan berkembangnya moda transportasi udara, laut maupun darat yang semakin membuk aksesibilitas, dipastikan akan membawa perubahan pada wajah pariwisata dunia. Airbus, salah satu pengusaha penghasil pesawat terbang, telah mengeluarkan Airbus Jumbo, sebuah pesawat terbang yang bertingkat dua dengan fasilitas bar, restoran dan tempat fitnes di dalam pesawat. Bukan tidak mungkin dimasa depan dengan Airbus Jumbo ini akan membawa trend baru yaitu pesawat terbang bak kapal pesiar dimana penumpang begitu dimanjakan sepanjang perjalanan.
4.
Pengaruh dan Trend Lain Faktor lain yang dapat mempengaruhi pariwisata di masa depan adalah pemanasan global dan pengikisan lapisan ozon. Dengan adanya global warming maka permukaan air laut akan naik dan pada akhirnya akan mempengaruhi garis pantai. Sedikit demi sedikit garis pantai akan berkurang sehingga dengan berkurangnya garis pantai, keindahan pantai akan hilang dan tidak ada lagi tempat untuk para wisatawan melakukan aktifitas dipantai seperti berjemur, joging, bermain pasir, dan juga berjalan menyusuri pantai sambil menikmati keindahannya. Pada akhirnya tingkat hunian hotel-hotel yang berada di dekat pantai juga akan dipengaruhi. Faktor tambahan lain yang mempengaruhi adalah teknologi baru seperti virtual reality (VR) yang diyakini di waktu yang akan datang dapat menggantikan pengalaman berwisata ke tempat aslinya. Dengan cara sederhana yaitu menggunakan pakaian yang sudah dirancang dan menghidupkan program virtual reality, seseorang akan dapat melihat, merasakan sensasi dan mendengar serta dibawa ke suasana hangatnya pantai Karibia, meskipun saat ini dia berada di negara lain.
B. 1.
Variabel yang Mempengaruhi Pariwisata Wisatawan Baru Pada masa yang akan datang, khususnya wisatawan yang berasal dari negara maju akan lebih kritis dan lebih memilih dalam melakukan perjalanan wisata. Ini disebabkan dengan makin banyaknya informasi yang mereka dapat dan juga tingkat pendidikan yang lebih maju. Diyakini di masa yang akan datang mereka akan memilih pariwisata yang bersifat aktif, dimana mereka dilibatkan secara fisik dan juga emosional seperti petualangan, pembelajaran dan juga
20
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
mengenali budaya daerah yang dikunjungi secara mendalam. Mereka mulai meinggalkan aktifitas pasif seperti hanya sekedar melihat, berbelanja, dan berjemur. Mereka menginginkan pengalaman yang bermutu buat mereka senang, memuaskan keingintahuan mereka tentang budaya asing dan pada akhirnya, ketika mereka pulang ke negara asalnya mereka membawa suatu pengalaman berharga untuk diceritakan kepada teman dan keluarganya. 2.
Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep alternatif yang ada pada kutub yang berlawanan dengan konsep pembangunan konvensional, karena pembangunan berkelanjutan mencakup usaha untuk mempertahankan integritas dan diversifikasi ekologis, memenuhi kebutuhan dasar manusia, terbukanya pilihan bagi generasi mendatang, pengurangan ketidakadilan, dan peningkatan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat. Dalam laporan World Commision on Environment and Development (WCED, 1987) disebutkan bahwa : “Sustainable Development is Development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generation to meet their own needs”. Demikian pula WTO (1993), mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang mencakup : (1) ecological sustainability; (2) social and cultural sustainability; dan (3) economic sustainability, baik untuk generasi yang sekarang maupun generasi yang akan datang. Maraknya wacana mengenai pembangunan berkelanjutan juga menyentuh bidang kepariwisataan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan diartikan sebagai proses pembangunan pariwisata yang berorientasi kepada kelestarian sumber daya yang dibutuhkan untuk pembangunan pada masa mendatang, pengertian pembangunan pariwisata berkelanjutan ini pula diartikan ”Form of tourism that are consistent with natural, social, and community values and which allow both hosts and guests to enjoy positive and worthwhile interaction and shared experiences” (Eadington and Smith, 1992:3). Penekanan pembangunan pariwisata berkelanjutan tidak hanya pada ekologi dan ekonomi, tetapi juga keberlanjutan kebudayaan karena kebudayaan juga merupakan sumber daya penting dalam pembangunan kepariwisataan (Wall, 1993). Oleh karena itu kegiatan wisata dianggap berkelanjutan apabila memenuhi syarat yaitu: Secara ekologis berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang harus diupayakan untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata. Secara sosial dapat dapat diterima, yaitu mengacu pada kemampuan penduduk lokal untuk menyerap usaha pariwisata (industri dan wisatawan) tanpa menimbulkan konflik sosial. Secara kebudayaan dapat diterima, yaitu masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya wisatawan yang cukup berbeda Secara ekonomis menguntungkan, yaitu keuntungan yang didapat dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
21
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Konsep pembangunan berkelanjutan kemudian oleh Burns dan Holden (1997) diadaptasikan untuk bidang pariwisata sebagai sebuah model yang mengintegrasikan lingkungan fisik (place), lingkungan budaya (host community), dan wisatawan (visitors).
Gambar 1. Model untuk Sustainable Tourism Development (Sumber : Burn dan Holden, 1997)
Adapun prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam Sustainable Tourism Development terdiri dari : 1. Lingkungan memiliki nilai hakiki yang juga bisa sebagai aset pariwisata. Pemanfaatannya bukan hanya untuk kepentingan pendek, namun juga untuk kepentingan generasi mendatang. 2. Pariwisata harus diperkenalkan sebagai aktivitas yang positif dengan memberikan keuntungan bersama kepada masyarakat, lingkungan dan wisatawan itu sendiri. 3. Hubungan antara pariwisata dan lingkungan harus dikelola sehingga lingkungan tersebut berkelanjutan untuk jangka panjang. Pariwisata harus tidak merusak sumber daya masih dapat dinikmati oleh generasi mendatang atau membawa dampak yang dapat diterima. 4. Aktivitas pariwisata dan pembangunan harus peduli terhadap skala/ukuran alam dan karakter tempat dimana kegiatan tersebut dilakukan. 5. Pada lokasi lainnya, keharmonisan harus dibangun antara kebutuhankebutuhan wisatawan, tempat/lingkungan, dan masyarakat lokal. 6. Dalam dunia yang dinamis dan penuh dengan perubahan, dapat selalu memberi keuntungan. Adaptasi terhadap perubahan, bagaimanapun juga, jangan sampai keluar dari prinsip-prinsip ini. 7. Industri pariwisata, pemerintah lokal dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan semuanya memiliki tugas untuk peduli pada prinsipprinsip di atas dan bekerja bersama untuk merealisasikannya (Burn dan Holden, 1997)
22
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Pariwisata masa depan dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teknologi informasi yang kedepan harus menjadi prioritas perencanaan promosi pariwisata. Kepentingan antara pemerintah dan stakeholders pariwisata harus dipertemukan untuk bersama-sama meng-create promosi yang efesien dan efektif mampu mempengaruhi para calon wisatawan untuk dapat mengunjungi suatu daerah tujuan wisata. Upaya ini harus didukung pula dengan aplikasi pembangunan pariwisata berkelanjutan dengan memparhatikan berbagai aspek yang menyertainya. Kesemua itu harus ditentukan dengan kebijakan konsisten, apakah dengan mengikuti kemauan pasar atau justru secara inovatif menciptakan pasar baru pariwisata. V.
SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas mengenai trend pariwisata dimasa depan, maka tugas kita sebagai penyedia jasa adalah memilah dan mengantisipasi trend yang berkembang sehingga bisa memberikan manfaat yang lebih besar. Oleh karena, diperkirakan pada tahun 2010, kegiatan pariwisata di dunia akan mencapai angka jutaan kunjungan atau perjalanan yang dilakukan wisatawan dalam skala internasional. Perkiraan ini didasarkan pada perkiraan oleh WTO (World Tourism Oganization) atau organisasi pariwisata dunia. Negara-negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Cina akan menjadi negara yang diperhitungkan sebagai penghasil wisatawan terbesar dalam skala internasional. Dimasa-masa yang mendatang, negara-negara timur Asia Pasifik ini dipastikan menjadi pesaing utama negara-negara Eropa dan Amerika Utara (USA, Kanada, Mexico) dalam percaturan pariwisata dunia, terutama sebagai negara penghasil wisatawan terbanyak. Pariwisata adalah suatu yang terus berkembang bersamaan waktu dan teknologi. Jadi, kesiapan kita sebagai insan pariwisata adalah mutlak dalam menjawab tantangan di masa depan. KEPUSTAKAAN Eadington and Smith. 1992. The Emergence of Alternative Form of Tourism. Dalam Valene Smith and WR. Eadington (ed). Tourism Altenative : Potencial and Problem in the Tourism Development. Philadelphia. Burns, P. and Holden, A. 1997. Tourism : A New Perspective, Prestice Hall International (UK) Limited, Hemel Hempstead. Wall, G. 1993. Towards a Tourism Typology. Dalam JG. Nelson, R. Buttler and G. Wall (ed) Tourism and Sustainable Development: Monitoring, Planning, managing. Waterloo Dept. of Gegraphy Univ. Waterloo.
23
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
IMPLIKASI KARAKTERISTIK PRODUK WISATA TERHADAP STRATEGI PEMASARAN Sri Susanty
[email protected] Dosen Akademi Pariwisata Mataram Abstract Tourism industry represents the industry owning high complexity because representing some service products covering accessibilities and facilities of the tourist destination and tourist attraction which must be sold to the tourist. The effort to sell the product is so-called with tourism marketing. Because product yielded by tourism industry in the form of service hence it owns different characteristics so that they have implication to marketing strategy Strategy of tourism marketing product is started by determining the market which is initially heterogen becomes some homogen groups. Hereafter, determining the market which is targetted. After succeeding, the next step is positioning to build the product image and the last is implementing the marketing mix which is representing the combination of some variable utilized to reach the target Some suggestions related to this topic are: doing marketing. It shall be started with the market segmentation. After the transaction finished, it must be required to maintain the relationship. The Relationship represents the aftersale service which aims to remain the tourist nostalgia in order to make them be revisiting the tourist destination. Others, the produser shall be optimally the role of human resources who have high competence, product diversification, competitive prices and intensive promotion. Keywords: tourism products, marketing strategies, tourist destination. I.
PENDAHULUAN Pariwisata senantiasa melibatkan suatu gejala yang sangat kompleks seperti objek wisata, akomodasi, souvenir shop, pramuwisata, angkutan wisata, biro perjalanan, rumah makan, dan lain sebagainya. Perilaku wisatawan, juga merupakan gejala yang terkait yang tidak dapat dipisahkan. Kegiatan pariwisata yang berlangsung dan diselenggarakan pada suatu daerah maupun negara berimplikasi positif maupun negatif pada aspek perekonomian, sosial budaya maupun lingkungan hidup di masyarakat serta negara yang dikunjungi. Seperti dijelaskan Robert Mc Intosh bersama Shashikant Gupta (dalam Pendit, 2002 :34) bahwa pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah, tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani para wisatawan dan pengunjung lainnya. Industri pariwisata adalah kumpulan dari macam-macam perusahaan yang secara bersama-sama menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa (goods and services) yang dibutuhkan wisatawan selama dalam perjalanan dari negara asal ke negara tujuan wisata. Industri ini tidak berdiri sendiri, tapi merupakan suatu industri dari serangkaian
24
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
perusahaan yang menghasilkan produk yang berbeda satu dengan yang lainnya, berbeda dalam besar perusahaannya, lokasinya, organisasinya, dan fungsi serta metode yang digunakan dalam pemasarannya. Tujuan akhir dari pemasaran adalah agar orang membeli produk yang ditawarkan. Untuk itu produk harus dibuat menarik dan agar orang tertarik untuk membelinya maka produk itu harus tersedia. Untuk keperluan itu produk harus dinilai dengan uang, sehingga dalam pemasaran juga harus menetapkan harga produk. Pada dasarnya pemasaran pariwisata adalah usaha yang dilakukan untuk menarik wisatawan lebih banyak datang, lebih lama tinggal dan lebih banyak membelanjakan uangnya di suatu destinasi wisata. Kegiatan-kegiatan seperti itulah yang dirumuskan oleh ahli ekonomi sebagai pemasaran. Pemasaran pariwisata (tourism marketing) sangat kompleks sifatnya karena produk yang ingin dipasarkan sangat terikat dengan supplier yang menghasilkannya, instansi, organisasi atau lembaga pariwisata yang mengelolanya. Memasarkan produk industri pariwisata tidak hanya sebatas koordinasi, tetapi diperlukan kerjasama yang baik antara organisasi yang bertanggung jawab dalam pengembangan pariwisata dengan semua pihak yang terlibat dan berkaitan dengan kegiatan pariwisata. Dalam pandangan Yoety (2005 : 1) keberhasilan suatu program pemasaran dalam bidang pemasaran sangat ditentukan oleh faktor kesamaan pandangan terhadap peranan pariwisata bagi pembangunan daerah, karena itu sebelum program pemasaran dilaksanakan harus ada komitmen dari semua unsur terkait bahwa pariwiasata merupakan sektor ekonomi yang bersifat quick yielding dan merupakan agen of develoment bagi daerah itu. Dalam kaitannya dengan pariwisata, Salah Wahab, L.J. Crampon dan L.M Rothfield (dalam Soekadijo, 1996 :218) menjabarkan pemasaran pariwisata sebagai proses manajemen yang digunakan oleh organisasi-organisasi pariwisata nasional atau perusahaan-perusahaan kepariwisataan untuk mengidentifikasikan wisatawanwisatawan yang mereka pilih, baik yang aktual maupun yang potensial, dan berkomunikasi dengan mereka untuk menentukan dan mempengaruhi keinginan, kebutuhan, motivasi, kesenangan dan ketidaksenangan (likes and dislikes) mereka pada tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional, dan untuk merumuskan dan menyesuaikan produk pariwisata sesuai dengan situasi dengan maksud untuk mencapai kepuasan wisatawan yang sebesar-besarnya, dan dengan demikian mencapai sasaran mereka. Pemasaran merupakan berbagai macam tindakan yang dilakukan bersamasama dan kemudian menjadi unsur-unsur pemasaran yang disebut dengan marketing mix. Dalam industri jasa layanan marketing mix meliputi : kebijakan product, price, place, promotion, people, physical evidence dan ada beberapa ahli yang menambahkannya dengan unsur process dan partnership. Bertolak pada industri pariwisata merupakan industri yang berorientasi pada jasa layanan dan mempunyai sifat yang sangat berlawanan dengan industri barang, sangat subjektif, serta intangible maka dengan karakteristik yang dimilikinya tersebut dalam pemasarannya harus memperhatikan strategi pemasaran dalam artian proses segmenting, targeting, positioning dan marketing mix haruslah tepat. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam uraikan ini adalah implikasi karakteristik produk wisata terhadap strategi pemasaran.
25
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
II. 2.1.
PEMBAHASAN Produk Industri Pariwisata Meningkatnya jumlah orang yang melakukan perjalanan wisata, berarti makin banyak tuntutan kebutuhan yang harus tersedia. Semakin meningkatnya kebutuhan tersebut mendorong pihak yang terlibat dalam industri pariwisata untuk berupaya menyediakan produk wisata bagi orang-orang yang melakukan perjalanan wisata. S. Medlik dan Middleton (1973) menjelaskan bahwa produk industri pariwisata terdiri dari bermacam-macam unsur yang merupakan satu paket yang satu sama lain tidak terpisah. Mereka berpendapat ada tiga unsur yang membentuk produk tersebut, yaitu : 1)Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang unik pada daerah-daerah tertentu yang menjadi daya tarik orang-orang untuk datang berkunjung ke daerah tersebut, 2)Fasilitas adalah segala sesuatu yang diperlukan pada tempat tujuan wisata mencakup sarana pokok, sarana pelengkap, dan sarana penunjang kepariwisataan, 3)Aksesibilitas adalah keterjangkauan yang menghubungkan negara asal wisatawan (tourist generating countries) dengan daerah tujuan wisata (tourist destination area) serta keterjangkauan di tempat tujuan ke objek-objek pariwisata (local transportation). Bila ketiga unsur di atas dikembangkan sesuai dengan urutannya sejak wisatawan meninggalkan tempat kediamannya, sampai di tempat tujuan dan kembali ke rumah dimana ia biasanya tinggal, maka unsur pokok yang membentuk produk wisata terdiri dari travel agent dan tour operator, perusahaan transportasi, akomodasi, restoran dan bar, Objek dan atraksi wisata, Souvenir shop, handicraft serta shopping centre, dan perusahaan lain yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan seperti kantor pos, bank/money changer, studio foto dan sebagainya. Menyimak ragamnya produk yang dihasilkan industri pariwisata tersebut, benar sesuai dengan yang dikatakan Sihite (2000 :56) bahwa keistimewaan dari industri pariwisata jika ditinjau dari sudut ekonomi adalah produk yang dihasilkannya terpisah, sedangkan permintaannya tergabung. Hal ini terlihat jelas dalam paket wisata. Sektor pariwisata tidak sendiri melainkan lintas sektoral, dalam artinya yang sangat luas yaitu antara instansi pemerintah dan antara unsur-unsur industri pariwisata. Banyak hal yang memerlukan perhatian dalam kaitannya dengan pengembangan kepariwisataan di antaranya menyangkut sarana dan prasarana kepariwisataan. 2.2
Karakteristik Produk Wisata Produk dari usaha pariwisata adalah segala barang dan layanan jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan sejak berangkat meninggalkan tempat kediamannnya, sampai ia kembali ke tempat tinggalnya. Sebagian besar produk usaha pariwisata adalah jasa atau layanan, sehingga memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan barang. Karakteristik produk usaha pariwisata secara garis besar antara lain, produk wisata ( dalam arti luas yang bersifat (intangible), tidak dapat dipindahkan (berbeda dengan industri barang biasa), proses produksi dan konsumsi terjadi pada saat yang bersamaan, tidak dapat disimpan atau ditimbun untuk diakumulasikan, hasil atau produk industri pariwisata bersifat sangat subjektif, Permintaan terhadap produk sangat tidak tetap dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomis dan kualitas produk sangat bergantung pada tenaga manusia yang tidak dapat digantikan dengan mesin.
26
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
2.3
Implikasi Karakteristik Produk Wisata Terhadap Strategi Pemasaran Secara jujur dapat dikatakan bahwa pemasaran pariwisata secara relatif dirasakan lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan memasarkan barang yang berwujud (tangible product). Hal itu diakibatkan oleh karakteristik dari produk industri pariwisata yang lebih bersifat intangible product. Selain sifatnya yang tidak nyata tersebut, produk industri pariwisata juga inseperability atau tidak dapat dipisahkan dari pemberi jasa itu; variability yang berarti sangat beraneka rupa serta perishability dimana produk tidak bertahan lama sehingga tidak dapat disimpan untuk penjualan atau penggunaan di kemudian hari. Karakteristik yang dimiliki oleh produk wisata tersebut berimplikasi terhadap strategi pemasaran. Sebagaimana dilihat bahwa pemasaran masa kini berorientasi kepada konsumen dengan titik berat pada inovasi produk di satu sisi dan kebutuhan konsumen di lain pihak. Keberhasilan dalam memasarkan produk yang abstrak tersebut sangat tergantung pada strategi pemasaran yang diterapkan. Itulah sebabnya maka perlu dilakukan segmenting, targeting, positioning dan marketing mix. 2.3.1 Segmenting Dalam sebuah pasar wisata atau daerah sumber wisatawan ada golongangolongan atau kelompok-kelompok orang (segmen/pasar), yang karena kondisinya yang berbeda-beda dalam usaha pemasaran harus didekati secara berbeda-beda pula. Oleh karena itu pemasaran yang efektif harus disesuaikan dengan segmen/pangsa pasar kepariwisataan yang terdiri atas orang-orang dengan kondisi yang sama. Artinya, analisis pasar diperlukan untuk menentukan potensi pasar yaitu menentukan jenis permintaan berupa bentuk dan harga yang dikehendaki pasar, ditambah dengan keputusan pasar apa yang akan digarap. Secara sederhana pengertian segmentasi pasar adalah membagi-bagi pasar sesuai dengan sifat dan karakterisitik pasar atau sesuai perilaku konsumen yang terdapat dalam pasar, yaitu kelompok-kelompok orang calon konsumen yang berdasarkan indikator geografis, sosio-profesional, dan indikator motivasi wisata memiliki permintaan semacam. Segmentasi pasar ini diperlukan karena : (1) pasar yang bersifat heterogen, (2) untuk menentukan potensi penjualan dan provit, serta (3) menentukan intensitas penjualan. 2.3.2 Targeting Sesudah segmentasi pasar teridentifikasi dan profilnya terbentuk, sudah mulai bisa ditentukan satu segmen atau beberapa segmen yang akan diambil dan dipersiapkan pelayanannya. Keputusan tentang target pasar merupakan bagian dari strategi pemasaran yang memberikan pijakan untuk menentukan tujuan dan pengembangan strategi positioning. Oleh karena itu dalam aplikasinya pemilihan target pasar merupakan aktivitas yang sangat kompleks dan perlu dilakukan konsultasi dengan bagian perencanaan pemasaran strategis. Pemilihan target pasar bagi suatu produk terdiri atas beberapa alternatif yang meliputi : 1. Un-differentiated market (pasar dianggap sebagai kumpulan orang-orang dengan menekankan pada karakteristik umum dan mengharapkan semua orang akan membeli produk yang ditawarkan) 2. Concentrated market (single segmenting karena hanya mengharapkan kelompok atau segmen tertentu saja yang diharapkan membeli produk yang akan ditawarkan)
27
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
3. 4.
Extensive segmenting (pasar homogen itu dibagi dalam bermacam-macam segmen dasar dan selanjutnya produk wisata ditawarkan kepada segmen pasar yang berbeda dengan strategi pemasaran yang berbeda pula) Selective segmenting (berbagai segmen pasar yang variatif seperti pada extensive segmenting, perlu dipilih atau diseleksi segmen pasar yang dianggap memiliki potensi pasar yang besar).
2.3.3 Positioning Setelah menentukan target pasar, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah memposisikan (positioning) suatu produk pada target pasar yang diharapkan datang. Ketika melaksanakan suatu positioning suatu industri pariwisata harus terus mencari keinginan dan kebutuhan wisatawan yang belum terpenuhi oleh suatu daerah atau dengan pemaknaan yang berbeda menghindari memposisikan diri di antara segmen yang ada. Jika kondisi mengharuskan untuk melayani dua segmen yang sama sekaligus, hindari menggunakan strategi yang sama karena strategi yang berhasil dengan baik bagi suatu segmen tertentu tidak bisa dialihkan pada segmen lain. 2.3.4 Marketing Mix 1. Produk Setelah mengadakan penelitian pasar hal pertama yang dilakukan dalam kegiatan pemasaran adalah membuat produk sesuai dengan permintaan pasar dan motif perjalanan wisata. Produk wisata cenderung bersifat abstrak dan tidak mempunyai standar yang baku dalam penilainnya maka produk yang dihasilkan harus unik, khas, berbeda dan harus selalu dijaga mutunya. Keaslian dari produk yang ditawarkan harus dipertahankan sehingga para wisatawan hanya dapat melihatnya atau menikmatinya di tempat tersebut dan menyaksikannya secara natural. Selain itu keseluruhan pelayanan yang diberikan hendaknya merupakan suatu ’tampilan’ yang berbeda tetapi memuaskan bagi wisatawan. ’Tampilan’ produk yang tidak berhasil harus segera diperbaiki untuk mencari ’differential advantage’ yaitu keuntungan dalam perbedaan dengan mengadakan perubahan ’tampilan’ produk yang dihasilkan. Bilamana produk yang ditawarkan oleh industri pariwisata dianggap sama oleh wisatawan maka perbedaan yang menguntungkan terletak pada’tampilan produk’ yang dimiliki. Oleh karena itu diperlukan suatu kreatifitas mengolah suatu produk wisata sedemikian rupa sehingga menarik untuk dikunjungi wisatawan. Pada prakteknya kebijaksanaan produk harus diingat juga bahwa suatu produk mempunyai umur tertentu. Produk yang semula menarik makin lama makin turun mutunya dan pada akhirnya ditinggalkan. Jika wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut mengalami penurunan maka harus segera melakukan peremajaan sebelum mengalami masa stagnasi. 2.
Harga Harga yang dianggap pantas memberikan kepuasan yang optimal kepada wisatawan. Kadangkala suatu paket wisata dapat saja mahal dibandingkan dengan harga yang berlaku di destinasi lain, tetapi sepanjang kualitas paket wisata jauh lebih unggul bagi wisatawan justru lebih berkesan. Kepuasan wisatawan dengan harga yang kompetitif tersebut bisa dicapai apabila suatu destinasi dapat memberikan kemudahan kepada wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata,
28
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
objek dan daya tarik yang dimiliki suatu destinasi sesuai dengan ekspektasi wisatawan dan kualitas pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan lebih dari yang mereka inginkan. Jika dibandingkan dengan destinasi lain, harga produk wisata di Indonesia masuk dalam kategori murah karena rendahnya nilai mata uang rupiah dibandingkan dengan dollar. Dari segi pemasaran ini merupakan peluang. Untuk menghindari kesan produk yang ditawarkan murahan maka perlu ditetapkan harga yang sesuai dengan mata uang calon wisatawan yang disasar. Namun konsekuensinya produk yang dihasilkan harus terstandarisasi. 3.
Distribusi Salah satu ciri dari produk wisata adalah tidak dapat dipindahkan. Implikasinya dalam bidang pemasaran calon wisatawan harus datang dan penghasil produk wisata harus mendatangkan mereka dengan alat transportasi yang canggih, memberikan kenyamanan, jadwal kedatangan dan pemberangkatan yang tepat waktu dan bandara yang memiliki fasilitas yang komplit termasuk untuk orang cacat. Hal mendasar lainnya adalah penggunaan teknologi tinggi dan sumber daya manusia pariwisata yang memiliki kompetensi dalam hal pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang baik dalam melayani wisatawan. Produk wisata tidak dapat didistribusikan secara fisik. Kebanyakan produk wisata merupakan suatu gambaran yang akan ditemui oleh wisatawan di daerah tujuan wisata. Gambaran tentang produk wisata itulah yang disebut dengan citra pariwisata (tourist image). Citra pariwisata tersebut yang didistribusikan dalam bentuk audio, visual atau kombinasi antara keduanya. Citra pariwisata ini harus sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konsumen. Citra yang tidak sesuai dengan kenyataannya akan menimbulkan kekecewaan wisatawan. Membentuk citra yang bagus bukan pekerjaan yang mudah karena terkait dengan karakteristik produk wisata yang sangat subjektif dan tidak mempunyai standar baku. Impilikasinya jelas terlihat pada tidak semua wisatawan memberikan penilaian yang sama dan menyukai produk yang dijual. Distribusi produk wisata bisa dilakukan secara langsung oleh produsen jasa angkutan wisata, akomodasi dan atraksi kepada wisatawan, tour operator dan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu ada juga distribusi yang tidak langsung ialah dari tour operator kepada konsumen melalui agen perjalanan atau cabangnya sendiri, dan dari organisasi ke konsumen secara langsung atau melalui agen perjalanan. Dalam bisnis pariwisata yang produknya intangibility, inseperability, variability dan perishability peranan dari travel agent, biro perjalanan dan tour operator sangat penting. Dapat saja calon konsumen membeli sendiri produk secara eceran tapi menghabiskan banyak energi, waktu dan biaya. Jauh lebih murah dan menguntungkan jika melakukan perjalanan melalui tour operator. Suatu destinasi yang tidak menunjuk perantara dalam menginformasikan produk atau menjual paket wisata tidak akan memperoleh hasil yang maksimal. Kegiatan pariwisata akan lumpuh bila para perantara ini tidak mampu mengemas produk yang inovatif.
29
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
4.
Promosi Unsur keempat dari bauran pemasaran adalah promosi. Promosi ini tidak bisa diabaikan mengingat sifat produk wisata yang tidak dapat dicicipi. Promosi terdiri dari bermacam-macam komunikasi yang dilakukan untuk menyampaikan informasi dan meyakinkan atau membujuk calon wisatawan potensial untuk melakukan perjalanan wisata. Adapun macam kegiatan promosi yang dilakukan adalah advertising, personal selling, sales promotion, brochure printing, public relation dan publicity. Tanpa kegiatan promosi, sebaik apapun kualitas yang dimiliki suatu produk, semurah apapun paket wisata yang ditawarkan dan dijual oleh tour operator, travel agent atau biro perjalanan ternama, tetapi jika tidak diketahui oleh khayalak ramai maka akan sia-sia. Calon wisatawan dari berbagai negara asal perlu diberikan informasi yang lengkap terutama tentang aksesibilitas, sarana dan prasarana pariwisata, serta objek dan daya tarik wisata yang dapat dilakukan (something to do), dapat dilihat (something to see), dan dapat dibeli (something to buy). Apabila informasi tentang hal tersebut efektif dan mencapai sasaran maka akan tercapai sasaran dari promosi yaitu lebih banyak wisatawan datang ke suatu destinasi, lebih lama tinggal dan lebih banyak mereka membelanjakan uangnya. Kegiatan promosi yang dilakukan harus dilakukan secara berkesinambungan dan menggunakan media promosi yang bervariasi dan terkini. Yang perlu mendapat perhatian juga seberapa sering promosi itu harus dilakukan. Bagi suatu destinasi yang masih dalam tahap introduction, intensitas promosi harus ditingkatkan dengan tujuan agar wisatawan lebih banyak mengetahui keberadaan objek tersebut. Suatu destinasi yang berada pada tahap growth promosi tidak perlu gencar dilakukan. Yang paling penting dipahami adalah tujuan promosi destinasi yang berada pada fase ini menanamkan image pada wisatawan dan membangkitkan kenangan bagi wisatawan yang pernah mengunjunginya. Namun daerah yang berada pada fase saturation atau decline promosi juga harus mulai digalakkan lagi untuk memperkenalkan produk inovatif yang membedakannya dengan produk yang sebelumnya.
2.3.5 Jasa Purnajual Wisatawan sesudah menikmati perjalanannya mendapatkan pengalaman yang beraneka ragam. Tugas kegiatan purnajual di bidang pariwisata adalah melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperpanjang atau membangkitkan kembali rasa senang dan puas wisatawan yang diperoleh saat melakukan perjalanan wisata dan membangkitkan nostalgia akan pengalaman tersebut. Usaha untuk membangkitkan kembali kenangan wisatawan tersebut dilakukan dengan menyediakan cinderamata. Oleh karena itu cenderamata yang diperoleh wisatawan hendaknya tidak mudah rusak yang menyebabkan wisatawan ketika melihatnya membangkitkan kembali pengalamannya di masa lampau. Hal lainpun bisa dilakukan dengan membuat ’kelab’ (club) di suatu daerah tertentu bagi wisatawan yang melakukan kegiatan wisata yang khas. Anggota kelab pada kurun waktu tertentu mengadakan reuni atau kegiatan lainnya. Saat mereka berkumpul tersebut pengalaman lama muncul kembali. Contoh dari pelayanan purnajual ini dilakukan Club Med dengan membentuk ’Club Mediterranee’. Kegiatan untuk memelihara ingatan wisatawan terhadap pengalaman masa lalunya memiliki nilai pemasaran. Rasa nostalgia yang dimiliki seseorang cenderung
30
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
menjadi kuat yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan yang sama. Kondisi inilah yang dimanfaatkan biro perjalanan untuk mengadakan publikasi dan promosi yang bertujuan merangsang mereka mengadakan perjalanan kembali. Jasa purnajual ini menuntaskan semua aktivitas pemasaran. III. 1.1
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Implikasi karakteristik produk wisata terhadap strategi pemasaran tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan industri pariwisata yang juga tidak dapat berdiri sendiri melainkan lintas sektoral. Produk yang dihasilkan oleh suatu destinasi harus dijual, dengan mengedepankan pemasaran dimulai dengan identifikasi pasar yaitu mengetahui keinginan, kebutuhan, dan permintaan wisatawan terhadap produk. Kemudian penentuan satu segmen atau beberapa segmen yang akan diambil lalu memposisikan (positioning) suatu produk pada target pasar yang diharapkan datang. Hal yang terakhir yaitu melaksanakan bauran pemasaran yang meliputi kebijakan produk, harga, distribusi-promosi dan jasa purnajual sebagai aktivitas yang menuntaskan semua aktivitas pemasaran. 1.2
Saran Mengingat kompleksitas dan uniknya karakteristik yang dimiliki oleh produk wisata maka harus diterapkan strategi pemasaran yang tepat. Berkaitan dengan hal tersebut saran yang diberikan yaitu: 1. Dalam melakukan pemasaran hendaknya memulai dengan penentuan pasar. Selama ini kegagalan pemasaran karena pemasar memulainya dengan produk bukan pasar. 2. Indonesia memiliki keanekaragaman produk wisata namun dana untuk pengelolaan terbatas sehingga target pasar harus jelas. 3. Perlunya mengintensifkan pelayanan purnajual karena jika layanan purna jual ini sukses dilakukan maka akan mendatangkan new market terutama lewat word to mouth promotion. 4. Pemasaran yang berhasil didukung oleh wisatawan dan Sdm yang berkualitas, produk yang berkelanjutan dan adanya keseimbangan antara wisatawan, pengusaha dan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, industri pariwisata hendaknya mempersiapkan sumber daya manusia yang berkompetensi tinggi, melakukan diversifikasi produk, memberikan harga yang kompetitif dan promosi yang dilakukan secara intensif. KEPUSTAKAAN Medlik, S dan Middleton. 1973. The Product of Formulation. Association International d’Expertes du Tourism (AIEST). Pendit, Nyoman S. 2002. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Edisi Terbaru. Jakarta: PT PradnyaParamita. Sihite, Richard. 2000. Tourism Industry (Kepariwisataan). Surabaya: Penerbit SIC. Soekadijo, R.G.1996. Anatomi Pariwisata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yoety, Oka.A.2005. Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata. Edisi kedua. Jakarta: Pradnya Paramita.
31
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
ANALISIS PARTISIPASI PEREMPUAN BEKERJA PADA HOTEL BERBINTANG DI KABUPATEN BADUNG I Nyoman Sudiarta
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Research about men and women labour participation in various sectors specially in tourism is importance to be done. Considering participation woman comparing with men labour is 1 :3 . With research about woman participation at hotel industry, in this case at 1 – 5 star hotel in regency of Badung, will able to made a standard of recruitment and also various other analysis related to the woman labour. The result of this research show that level of woman participation at star hotel in regency of Badung equal to 25 % compared to the men is equal to 75 %. While by statistic analysis show that in simultan way; variable of age, education, old, length of work, and marriage status having an effect on reality motivation to work. Furthermore by parsial analysis, length of work has not effect on reality to motivation work woman labour participation. Fourth correlation of free variables such as age, education, old, marriage status and length of work is strong enough to the woman labour motivation, with coefficient of determination (R2) = 0,479, that mean variation of work woman labour participaion at hotel in regency of Badung only 47,9% becaused by education, old, length of work, and marriage status, and 52,1% becaused by other varivabels, such as earning of family, number of children or family but not indicated ini this research Keywords: women participation, hotel industry and work motivation. I.
LATAR BELAKANG Permasalahan serius yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dan juga Bali sebagai satu kesatuan geografis wilayah Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kesempatan kerja dalam rangka mengatasi pengangguran yang terus meningkat dewasa ini. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, seperti seminar dengan membahas permasalahan ketenagakerjaan atau sumber daya manusia baik yang bersakala nasional maupun internasional terutama kaitannya dengan sumber daya manusia dibidang pariwisata dan perhotelan. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengamanatkan bahwa pembangunan pariwisata, masalah sumber daya manusia dan pendidikan serta latihan merupakan salah satu masalah penting yang memerlukan perhatian dan garapan yang serius baik oleh pemerintah maupun swasta yang menekuni bidang ketenaga kerjaan dan pariwisata, terutama kaitannya dengan menyongsong era kesejagatan dimana persaingan akan semakin ketat, sehingga diperlukan sumber daya manusia yang profesional.
32
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Jumlah kamar hotel berbintang di kabupaten Badung sampai dengan tahun 2004 adalah sebanyak 9.117 kamar dengan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 11.315 orang yang terdiri dari 8.523 orang laki-laki dan 2.792 adalah perempuan, sedangkan di kabupaten Badung terdapat 3.468 kamar hotel berbintang dengan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 3.918 orang, terdiri dari 3.116 orang pria dan 802 orang wanita.Dengan demikian kabupaten Badung merupakan barometer bagi pembangunan kepariwisataan di Bali dan barometer pula bagi terserapnya tenaga kerja wanita bekerja pada sektor pariwisata. Walaupun pada kenyataanya jumlah tenaga kerja wanita yang bekerja pada usaha pariwisata lebih kecil dibandingkan dengan tenaga kerja pria. Tingkat partisipasi wanita dalam pembangunan pariwisata Bali pada usaha pariwisata hanya sebesar 26%, angka ini masih di bawah harapan, dibandingkan dengan keadaan angkatan kerja Bali menurut jenis kelamin, dimana persentase kaum perempuan sebesar 43 % (Oka, 2004). II.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan pada hotel berbintang di Kabupaten Badung? 2. Bagaimana pengaruh umur, pendidikan, lama kerja, serta status perkawinan terhadap motivasi tenaga kerja perempuan pada hotel berbintang di Kabupaten Badung? Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan hipotesis atau dugaan sementara bahwa : umur, pendidikan, lama kerja, serta status perkawinan berpengaruh terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. III. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan pada hotel berbintang di kabupaten Badung. 2. Untuk mengetahui pengaruh umur, pendidikan, pendapatan keluarga, lama kerja, serta status perkawinan terhadap motivasi tenaga kerja perempuan hotel berbintang di kabupaten Badung. IV. 4.1.
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Partisipasi Perempuan Konsep tentang partisipasi menyangkut masalah kemauan, kemampuan dan kesempatan, karena partisipasi harus memenuhi beberapa syarat yaitu : 1) harus ada kemampuan untuk berpartisipasi, 2) harus ada kemauan untuk berpartisipasi, dan 3) harus ada kesempatan terbuka untuk berpartisipasi. Dari syarat-syarat tersebut, disamping kesempatan faktor manusia yaitu kemampuan dan kemauan memegang peranan penting (Parwati, dkk, 1995) Partisipasi perempuan dalam pembangunan (women in development), didasarkan pada keyakinan bahwa perempuan adalah sumber daya yang kurang dimanfaatkan, yang sebenarnya dapat mempunyai kontribusi langsung terhadap pembangunan ekonomi (Mitchell, dkk, 2000).
33
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Motivasi atau dorongan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan untuk memilih atau bekerja dalam sektor pariwisata, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Disamping faktor ekstern seperti lingkungan kerja, pemimpin, kepemimpinan dan sebagainya, juga ditentukan oleh faktor intern yang melekat pada setiap orang seperti: pembawaan, tingkat pendidikan, pengalaman masa lampau, keinginan atau harapan masa depan (Wahyjosumidjo, 1987). 4.2.
Konsep Hotel Sesuai dengan keputusan Menteri Perhubungan No.PM.10/PW.301/PHB-77 dinyatakan bahwa hotel adalah suatu bentuk akomodasi yang dikelola secara komersial, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan penginapan berikut makan dan minum (Dimyanti, 1993:31). Selanjutnya dalam peraturan pokok pengusaha hotel Indonesia, tentang hotel ini tercantum batasan bahwa hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau kesuluruhan bangunan untuk menyediakan jasa penginapan, serta jasa lainnya bagi wisatawan, yang dikelola secara komersial, serta memenuhi ketentuan persyaratan di dalam keputusan (Surat keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi RI No. KM 94/HK/103/MMPT/87). Adapun penggolongan kelas hotel menurut Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.3/HK.001/MKP.02 tentang penggolongan kelas hotel, hotel di Indonesia menurut jenisnya dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: golongan kelas hotel berbintang dan golongan kelas hotel melati. Golongan kelas menurut peraturan ini dapat dibagi atas 5 (lima) penjenjangan kelas yaitu : hotel bintang 1 (satu) sampai dengan hotel bintang 5 (lima). V. 5.1.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Pemilihan kabupaten Badung sebagai lokasi penelitian karena beberapa pertimbangan: 1). Kabupaten Badung menjadi barometer pembangunan kepariwisataan di Bali, terutama pembangunan hotel berbintang dengan total hotel dan kamar masingmasing 94 unit dan 15.612 .218 kamar. Dari keseluruhan jumlah hotel di Bali sebanyak 152 unit dan 20.293 kamar (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2006). 5.2.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan, wawancara, kuesioner dan observasi ke hotel bintang 1, 2, 3 ,4 dan 5 yang menjdi sample dalam penelitian ini. 5.3.
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah tenaga kerja perempuan yang bekerja pada hotel berbintang satu sampai dengan hotel bintang lima di kabupaten Badung Karena data tentang jumlah tenaga kerja wanita tidak tersedia pada tahun 2007 sehinga digunakan data berdasarkan tahun 2004 “Monitoring Tenaga Kerja Usaha Pariwisata” oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Penentuan jumlah sampel menggunakan model Supranto yang menyatakan bahwa jumlah sampel atau responden 5-10 kali jumlah indikator dalam kuesioner. Karena penelitian ini menggunakan empat indikator maka jumlah sampel yang diambil sebanyak 40 responden dan dinyatakan sebagai sampel besar (Supranto) sehingga memenuhi syarat representatif.
34
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Sampel atau responden diambil secara kuota yaitu memberikan jatah masingmasing sepuluh responden pada masing masing katagori hotel. Karena katagori hotel sebanyak lima maka sampel diambil sebanyak 50 responden. Karena kuesioner yang terisi tidak semuanya memenuhi syarat, lima kuesioner masing-masing pada hotel berbintang satu dan dua tidak terisi dengan benar maka, kuesioner yang dapat diolah hanya sebanyak 40 lembar (40 responden). Sehingga data responden yang dapat diolah sebanyak 40 orang. Namun masih memenuhi persayaratan sebagai sampel besar. 5.4. Analisis Data Analisis Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan Untuk mengkaji tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan pada hotel berbintang di kabupaten Badung, dipergunakan data tenaga kerja yang bekerja atau berpartisipasi pada hotel berbintang di kabupaten Badung tahun 2004. Data tersebut dianalisis secara deskriptif kuantitatif perbandingan dengan rumus, sebagai berikut :
TPKP =
JTKP × 100% JTKL + JTKP
Keterangan : TPTKP = Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan JTKP = Jumlah Tenaga Kerja Perempuan JTKL = Jumlah Tenaga Kerja Laki-Laki Analisis Pengaruh Umur, Pendidikan, Lama Kerja dan Status Perkawinan terhadap Motivasi Kerja Tenaga Kerja Perempuan pada Hotel Berbintang di Kabupaten Badung Untuk mengetahui pengaruh variabel X1, X2, X3 dan X4 terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan berpartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung, dipergunakan analisis regresi berganda dengan menghitung koefisien regresi berganda dari variabel-variabel yang diteliti. Adapun model persamaan regresi yang dipergunakan dalam membahas penelitian ini sebagai berikut: Yi = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 Dimana : Yi = Motivasi kerja tenaga kerja perempuan, merupakan dummy variabel (motivasi ekonomi = 1 dan motivasi non ekonomi = 0) X1 = Umur ( tahun) X2 = Pendidikan (Pendidikan terakhir) X3 = Lama kerja (tahun) X4 = Status perkawinan (kawin = 1, tidak kawin = 0) bi = Koefisien regresi (i = 1,2,3,4) b0 = Intersep Untuk memudahkan didalam menganalis data hasil penelitian, peneliti dibantu dengan mempergunakan program aplikasi komputer Statistical Package for Social Science (SPSS) 14.00 for Windows.
35
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
VI. 5.2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan Tingkat partisipasi perempuan bekerja pada hotel berbintang di kabupaten Badung adalah sebesar 24,67% (dibulatkan menjadi 25%), sedangkan partisipasi laki-laki sebesar 75,32% (dibulatkan menjadi 75%). Yang berarti masih terjadi ketimpangan partisipasi antara perempuan dan laki-laki. Bila dibandingkan dengan keseluruhan angkatan kerja perempuan di Bali sebesar 43% dan partisipasi perempuan dalam pembangunan Bali sebesar 26%. Namun penelitian Oka, 2004 menjelaskan bahwa tingkat partisipasi perempuan pada hotel berbintang di kota Denpasar (20%) masih lebih rendah dengan tingkat partisipasi perempuan bekerja pada hotel berbintang di kabupaten Badung (25%),. Analisis Pengaruh Umur (X1), Pendidikan (X2),Lama Kerja (X3), dan Status Perkawinan (X4) Terhadap Motivasi Kerja (Y) Tenaga Kerja Perempuan pada Hotel Berbintang di kabupaten Badung 5.2.
Analisis Statistik Untuk mengetahui pengaruh variabel X1, X2, X3 dan X4 terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan berpartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung, dipergunakan analisis regresi berganda dengan menghitung koefisien regresi berganda dari variabel-variabel yang diteliti. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan program SPSS (Statistial Package for Social Science) 14.00 for Windows maka diperoleh fungsi regresi berganda sebagai berikut : Y = 0,276 + 0,004X1 + 0,014X2 – 0,011X3 + 0,512X4 (0,299) (0,576) (-0,548) (4,913)* R2 = 0,479 r = 0,692 * = signifikan pada derajat kebebasan 0.05 ( ) = angka dalam kurung adalah nilai t Berdasarkan hasil uji hipotesis analisis variasi (ANOVA), diperoleh koefisien F sebesar 8,035 pada derajat kebebasan 5%. Hal ini menunjukkan bahwa secara simultan variabel umur, pendidikan, lama kerja, dan status perkawinan (X1, X2, X3, X4,) berpengaruh nyata terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan berpartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung, Koefisien b0 sebesar 0,276 adalah konstanta yang artinya jika variabel X1, X2, X3, X4 = 0, maka nilai Y = 0,276. Angka ini menunjukkan jumlah motivasi kerja tenaga kerja perempuan berpartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Koefisien b1 sebesar 0,004 tidak signifikan pada level 5% artinya terdapat pengaruh tidak nyata positif variabel umur (X1) terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan. Jika umur mereka meningkat, akan meningkatkan motivasi kerja mereka untuk bepartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Dengan peningkatan umur tenaga kerja perempuan, maka kebutuhan mereka juga mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan jaman sehingga motivasi kerja mereka untuk berpartisipasi pada hotel berbintang juga semakin meningkat dalam usaha memenuhi kebutuhannya,.
36
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Koefisien b2 sebesar 0,014 yang tidak signifikan pada level 5% berarti terdapat pengaruh tidak nyata positif variabel pendidikan (X2) terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan. Jika pendidikan mereka meningkat, maka akan meningkatkan motivasi kerja mereka untuk bekerja pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Dengan meningkatnya pendidikan, bertambah pula wawasan mereka sehingga dapat memotivasi mereka berpartisipasi pada hotel berbintang baik dengan alasan untuk menambah pendapatan keluarga, meningkatkan status sosial, keinginan berkreasi ataupun menghilangkan kebosanan, (Lampiran 3). Koefisien b3 sebesar -0,011 yang tidak signifikan pada level 5% berarti terdapat pengaruh tidak nyata negatif variabel lama kerja (X3) terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan. Jika lama kerja mereka meningkat, maka akan menurunkan motivasi kerja mereka untuk bepartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Dengan terjadinya peningkatan lama kerja tenaga kerja perempuan, maka membuat mereka merasa jenuh atau bosan bekerja pada hotel berbintang. Mereka bertahan bekerja di hotel hal ini karena kebutuhan keluarga yang semakin meningkat. Koefisien b4 sebesar 0,512 yang signifikan pada level 5% berarti terdapat pengaruh nyata positif variabel status perkawinan (X4) terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan. Jika status mereka berubah dari tidak kawin menjadi kawin, maka akan meningkatkan motivasi kerja mereka untuk bekerja pada hotel berbintang di Kabupaten Badung, karena status perkawinan dapat memotivasi mereka untuk berpartisipasi pada hotel berbintang, baik untuk membantu menambah pendapatan keluarga atau untuk meningkatkan status keluarga. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh besarnya koefisien determinasi berganda (R2) = 0,479 yang berarti variasi motivasi kerja tenaga kerja perempuan berpartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung hanya 47,9% disebabkan oleh variasi variabel umur, pendidikan, lama kerja, dan status perkawinan. Sedangkan 52,1% disebabkan oleh variasi variabel lain seperti jenis pekerjaan suami, jumlah tanggungan keluarga atau masih adanya pandangan yang keliru terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada hotel berbintang, yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Korelasi keempat variabel bebas (umur, pendidikan, lama kerja dan status perkawinan) cukup kuat terhadap motivasi tenaga kerja perempuan bekerja pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pengolahan data dengan program SPSS dimana nilai r diperoleh sebesar 0,692. VII. 5.2.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian partisipasi tenaga kerja perempuan pada hotel berbintang di kabupaten Badung, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan pada hotel berbintang di kabupaten Badung sebesar 25% lebih rendah dibandingkan dengan tingkat partisipasi lakilakinya, yaitu sebesar 75%. 2. Secara simultan variabel umur, pendidikan, lama kerja, dan status perkawinan (X1, X2, X3, X4,) berpengaruh nyata terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan berpartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung. Sedangkan secara parsial lama kerja (X3) tidak berpengaruh nyata terhadap motivasi kerja tenaga kerja perempuan berpartisipasi pada hotel berbintang di kabupaten Badung. Korelasi keempat variabel bebas (umur, pendidikan, lama kerja dan status
37
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
perkawinan) cukup kuat terhadap motivasi tenaga kerja perempuan bekerja pada hotel berbintang Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh besarnya koefisien determinasi berganda (R2) = 0,479 yang berarti variasi motivasi kerja tenaga kerja perempuan berpartisipasi pada hotel berbintang di Kabupaten Badung hanya 47,9% disebabkan oleh variasi variabel variabel umur, pendidikan, lama kerja, dan status perkawinan. Sedangkan 52,1% disebabkan oleh variasi variabel lain seperti jenis pekerjaan suami, jumlah tanggungan keluarga atau masih adanya pandangan yang keliru terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada hotel berbintang, yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini, 5.2.
Saran Berdasarkan simpulan tersebut, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Agar pemerintah, serta pelaku pelaku pariwisata lainnya terutama pelaku dalam sektor perhotelan merekrut lebih banyak lagi tenaga kerja perempuan untuk dapat berpartisipasi sesuai dengan kemampuan serta ciri-ciri phisik yang melekat padanya. 2. Agar pemerintah maupun pelaku pariwisata lainnya memberdayakan tenaga kerja perempuan dengan memberikan penghargaan yang lebih baik baik lagi baik dari sisi ekonomi (kesejahteraan) maupun non ekonomi (keterampilan dan pengetahuan) sehingga akan meningkatkan semangat dan gairah kerja mereka. KEPUSTAKAAN
Ambar Teguh Sulistiyani & Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia, Grahya Ilmu, 2003, Jogyakarta Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Pendataan Dan Monitoring Tenaga Kerja Pariwisata Bali Tahun 2004, Denpasar. Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Bali Tourism Statistics – Statistik Pariwisata Bali 2004, Denpasar. Endar Suigiarto, Sri Sulartiningrum, Pengantar Akomodasi dan Restoran, Gramedia Pustaka Utama, 2003, Jakarta. Erawan, I N., 1984, Pariwisata Dan Pemanfaatan Tenaga Kerja Wanita Di Pedesaan, Denpasar: FE UNUD. Hasibuan, Malayu, 2003, Managemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Koentjaraningrat.,2004, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia. Mudita, 2004, Faktor Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Memotivasi Sumber Daya Manusia Bali Bekerja di Sektor Pariwisata, Denpasar: Program Pasca Sarjana UNUD. Pendit, N. S., 2001, Ilmu Pariwisata Suatu Pengantar, Cetakan 9, Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita. Pitana, I G., 1999a, Pelangi Pariwisata Bali, Denpasar: Penerbit Bali Post. Sajogyo, Pujiwati., 1981, Peranan Wanita Dalam Keluarga Rumah Tangga Dan Masyarakat yang Lebih Luas Di Pedesaan Jawa, Universitas Indonesia.
38
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Sukarsa, I Made, 1985, Penelitian Tentang Pengaruh Partisipasi Tenaga Kasar Wanita di Bali Terhadap Fertilitas, Denpasar. LAMPIRAN Variables Entered/Removed(b) Model 1
Variables Entered x4 status perkawinan , x1 umur responden, x2 pendidikan, x3 lama kerja(a) a All requested variables entered. b Dependent Variable: y motivasi kerja
Variables Removed .
Method Enter
Model Summary Model
R
1
.692(a)
R Square
Std. Error of the Estimate
Adjusted R Square
.479
.419
.20330
a Predictors: (Constant), x4 status perkawinan , x1 umur responden, x2 pendidikan, x3 lama kerja ANOVA(b) Sum of Squares
Model 1
df
Mean Square
Regression
1.328
4
.332
Residual
1.447
35
.041
Total
2.775
39
F
Sig.
8.035
.000(a)
a Predictors: (Constant), x4 status perkawinan , x1 umur responden, x2 pendidikan, x3 lama kerja b Dependent Variable: y motivasi kerja Coefficients(a) Unstandardized Coefficients B Std. Error (Constant)
.276
.467
x1 umur responden
.004
.014
x2 pendidikan
.014
.024
x3 lama kerja
-.011
.021
.512
.104
x4 status perkawinan
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
.592
.558
.141
.299
.767
.081
.576
.569
-.261
-.548
.587
.694
4.913
.000
a Dependent Variable: y motivasi kerja
39
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Crosstabs Case Processing Summary
N
Cases Missing N Percent
Valid Percent
N
Total Percent
x1 umur responden * y motivasi kerja
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
x2 pendidikan * y motivasi kerja
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
x3 lama kerja * y motivasi kerja
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
x4 status perkawinan * y motivasi kerja
40
100.0%
0
.0%
40
100.0%
x1 umur responden * y motivasi kerja Crosstabulation Count y motivasi kerja .00 1.00 x1 umur responden
Total
Total
19.00
0
1
1
20.00
0
3
3
22.00
1
2
3
23.00
0
4
4
24.00
1
1
2
25.00
0
4
4
26.00
0
1
1
27.00
0
1
1
28.00
0
1
1
32.00
0
3
3
33.00
0
3
3
34.00
0
3
3
37.00
1
2
3
43.00
0
1
1
44.00
0
2
2
45.00
0
4
4
47.00
0
1
1
3
37
40
40
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009 x2 pendidikan * y motivasi kerja Crosstabulation y motivasi kerja .00 x2 pendidikan
Total
1.00
12.00
3
9
12
13.00
0
6
6
14.00
0
9
9
15.00
0
7
7
16.00
0
5
5
18.00
0
1
1
3
37
40
Total
x3 lama kerja * y motivasi kerja Crosstabulation y motivasi kerja .00 x3 lama kerja
Total
1.00
1.00
0
2
2
2.00
1
3
4
3.00
0
1
1
4.00
1
4
5
5.00
0
3
3
6.00
0
2
2
8.00
0
2
2
9.00
0
1
1
12.00
0
4
4
13.00
0
3
3
14.00
0
4
4
15.00
1
1
2
17.00
0
3
3
18.00
0
1
1
20.00
0
3
3
3
37
40
Total
x4 status perkawinan * y motivasi kerja Crosstabulation y motivasi kerja .00 1.00 tatus perkawinan
Total
Total
.00
3
3
6
1.00
0
34
34
3
37
40
41
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
PENERAPAN BAURAN PEMASARAN DALAM TAHAPAN SIKLUS HIDUP DAERAH TUJUAN WISATA Ni Ketut Arismayanti
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract Tourist destination target in activity of marketing can be applied in each phase of product life cycle. The recommendation oftentimes made to regarding promotion level and pattern, distribution, other marketing activity and price which wanted in each phase able to be utilized to determine marketing strategy at each phase or phase of product. Product life cycle very important in glove it’s bearing with strategic planning of tourism marketing. Destination represents element of product and destination to equality of cycle evolution for product life cycle. There are six step product life cycles cover: Exploration, Involvement, Development, Consolidation, Stagnation and Decline phase. Every destination life cycle need to treat and policy of marketing mix strategy differing which concerning price, distribution channel and promotion. In this case that tourist attraction in character is not limited and without calculation of time, but shall always innovated, to be given protection and even preserve, if not, hence authenticity of attraction image and fascination will lose. There is consideration in activity of marketing which can applied in each phase of product life cycle. Keywords: marketing mix, product life cycle. I.
PENDAHULUAN Pemasaran dapat dilihat sebagai alat (tool) manajemen yang diharapkan dapat membantu agar perusahaan mampu tumbuh dan berkembang secara profesional. Pada dasarnya pemasaran sangat erat kaitannya dengan kegiatan dalam memindahkan barang dan jasa (goods and services), dari produsen yang menghasilkannya ke tangan konsumen yang membutuhkannya secara efisien dan menguntungkan dalam persaingan yang wajar. Usaha produsen memindahkan barang dan jasa itu memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) konsumen, sehingga mereka memperoleh kepuasan (satisfactions) dalam mengonsumsi apa yang dibelinya. Kepuasan target pasar akan kebutuhan dan keinginan hendaknya dapat dipenuhi dengan memberikan produk dan jasa yang benar-benar berguna atau bermanfaat bagi konsumen dan itupun hendaknya diperoleh dengan harga yang wajar (the right price) dan diterima di tempat yang diinginkan (the right place). Konsep ini dalam pemasaran dikenal sebagai Bauran Pemasaran (Marketing Mix). Bauran Pemasaran biasanya dikenal dengan 4 (empat) P (Product, Price, Place, dan Promotion). Bauran Pemasaran sebagai suatu konsep pemasaran, pertama kalinya dikemukakan oleh Borden pada tahun 1960-an, sedangkan penerapannya dalam kepariwisataan (hospitality) dilakukan oleh MacCarthy yang dikenal dengan Four P’s, yaitu (Yoeti, 2001): 1) Product, yaitu
42
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
produk yang akan ditawarkan kepada pelanggan; 2) Price, yaitu harga atau tarif yang dapat dijadikan dasar penawaran produk kepada pelanggan; 3) Place, yaitu tempat atau lokasi dimana barang atau produk dijual atau tempat dimana pelanggan dapat membeli produk yang diperlukannya; 4) Promotion, yaitu suatu metode komunikasi informasi yang ditujukan kepada target pasar pada tempat dan saat yang tepat. Siklus hidup suatu produk industri pariwisata bisa berlangsung dalam jangka waktu singkat, tetapi ada juga yang hidupnya relatif lama. Namun pada umumnya siklus hidup suatu produk melalui proses bertahap, antara lain: proses pengembangan, penciptaan, peluncuran/pengenalan, pertumbuhan, kematangan, penurunan dan akhirnya hilang dari pasar. Bila diketahui bahwa suatu produk mengalami kemunduran, harus segera diperbaharui dengan jalan pengembangan produk dan kemudian diperkenalkan melalui kegiatan promosi melalui bermacam-macam media yang sesuai dengan target pasar. II. 2.1.
Tinjauan Pustaka Bauran Pemasaran (Marketing Mix) Swastha (2000: 42) menyatakan bahwa: “Marketing Mix adalah kombinasi dari empat variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran perusahaan, yaitu: produk, struktur harga, kegiatan promosi, dan sistem distribusi”. Sedangkan Kotler (1994: 41) memberikan batasan bahwa: “Marketing Mix (Bauran Pemasaran) adalah serangkaian variabel pemasaran terkendali yang dipakai oleh perusahaan untuk menghasilkan tanggapan yang dikehendaki perusahaan dari pasar sasarannya”. Jadi Bauran Pemasaran (Marketing Mix) dapat diartikan sebagai suatu kombinasi dari empat variabel yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi yang dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pasar sasarannya. Adapun empat elemen-elemen dalam strategi pemasaran, yaitu : Produk (Product), Harga (Price), Tempat (Place) dan Promosi (Promotion). 2.2.
Daerah Tujuan Wisata Dalam UU No. 10 Tahun 2010 tentang Pariwisata ditegaskan bahwa Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Daerah Tujuan Wisata (Tourist Destination Country atau Tourist Destination Areas) adalah negara atau bagian wilayah negara yang karena daya tarik serta berbagai macam sarana wisata pokok maupun penunjang yang lengkap dan cukup berkembang telah menjadi tujuan kunjungan wisatawan-wisatawan luar maupun dalam negeri yang bukannya sekedar lewat, tetapi tinggal lebih dari 24 jam. Di Indonesia telah ditetapkan 10 Daerah Tujuan Wisata (Bali, DKI, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan dan Lampung), sementara itu 13 Daerah Tujuan Wisata lainnya sedang dalam proses pengembangan pula (Damarjati, 2001). 2.3.
Siklus Hidup Daerah Tujuan Wisata (Destinasi) Perkembangan pariwisata sangat dipengaruhi oleh perjalanan wisata yang dilakukan wisatawan ke suatu tempat atau destinasi ataupun ke suatu negara dan perkembangan pembangunan secara menyeluruh. Tahapan pengembangan pariwisata merupakan tahapan siklus hidup yang terjadi dalam pembangunan pariwisata, sejak suatu daerah tujuan wisata baru ditemukan (discovery), kemudian berkembang dan
43
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
pada akhirnya terjadi penurunan (decline). Tahapan siklus hidup daerah pariwisata dikemukakan oleh Butler (1980) dapat dilihat dari gambar 2.1. Butler (1980 dalam Sukarsa 1999), menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) tingkatan atau tahapan dalam pembangunan pariwisata. Keenam tahapan tersebut adalah : 1) Exploration (Eksplorasi/Pertumbuhan Spontan dan Penjajakan) 2) Involvement (Keterlibatan) 3) Development (Pengembangan dan Pembangunan) 4) Consolidation (Konsolidasi dan Interelasi) 5) Stagnation (Kestabilan) 6) Decline (Penurunan Kualitas) atau Rejuvenation (Kelahiran Baru) Gambar 2.1 Destination Life Cycle Discovery
Local Control
Institutionalism Stagnation
Stagnation, Rejuvenation or Decline
Number Of Tourist
Rejuvenation Consolidation Development
Decline
Involvement Exploration Time
Sources : Butler dalam Cooper and Jackson (1997) III.
PEMBAHASAN Pendekatan siklus hidup dikembangkan dengan baik dalam pemasaran Pada umumnya, pertumbuhan dari penjualan produk mengikuti bentuk potongan S. Pada satu sisi, itu merupakan konsep sederhana yang menjelaskan adaptasi dari sebuah produk konsumsi. Dengan dugaan bahwa produk tersebut memiliki sebuah batas hidup, tingkat kenaikan dan menurunnya laba pada masing-masing tingkatan yang berbeda dari siklus hidup produk dan produk memerlukan strategi pemasaran yang berbeda dari setiap tingkatan. Diamati dari sisi lain, meskipun itu merupakan hal yang logis dan pertimbangan berdasarkan intuitif, itu merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan dan digunakan untuk siklus hidup produk, ramalan atau pembuat keputusan. Destinasi merupakan elemen kunci dari produk dan bahwa destinasi menuju pada kesamaan evolusi siklus untuk siklus hidup produk. Disini, jumlah dari penjualan menarik pengunjung dari sebuah produk. Selain itu, itu mungkin untuk mencatat kedua evolusi dari pasar pada kondisi dari jenis dan jumlah pengunjung dan pengembangan dari destinasi pada fasilitas fisik, dan struktur administrasi. Adapun tahapan siklus hidup produk dan penerapan bauran pemasaran (marketing mix) dalam tahapan siklus hidup daerah tujuan wisata adalah sebagai berikut :
44
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
3.1.
Exploration Sebagai tahapan awal Exploration (Eksplorasi atau Penemuan), daerah tujuan wisata baru mulai ditemukan, dan dikunjungi secara terbatas dan sporadis. Tahap Eksplorasi ini memiliki ciri-ciri jumlah kunjungan relatif masih rendah, volume pasar berkembang lambat (karena tingginya market resistance), Oleh karena harga produk sangat murah, sehingga keuntungan yang di dapat masih sangat rendah (bahkan merugi), karena besarnya biaya pemasaran (terutama promosi) dan biaya lainnya, sementara jumlah wisatawan yang berkunjung masih rendah. Pada tahap ini promosi difokuskan pada usaha membangun permintaan awal (primary demand), karena selain ditujukan untuk menginformasikan wisatawan akhir tentang keberadaan Daerah Tujuan Wisata tersebut, juga untuk menarik minat tour operator atau travel agent. Dengan demikian biaya promosi menjadi sangat tinggi,. Strategi pemasaran pada tahap ini ditujukan untuk membangun kesadaran akan Daerah Tujuan Wisata secara meluas dan mendorong wisatawan untuk mencoba atau dengan kata lain adalah menciptakan primary demand (permintaan untuk Daerah Tujuan Wisata baru). Untuk kepentingan ini Daerah Tujuan Wisata biasanya didesain dengan model yang terbatas untuk menghindari terjadinya kebingungan pada calon wisatawan dan memudahkan mereka mengenal ciri produk dengan cepat. Disini kualitas destinasi tersebut akan menentukan pembelian ulang. Untuk penetapan harga ada dua strategi yang dapat diterapkan. Pertama, harga tinggi untuk menutupi biaya promosi dengan cepat dan membuat barrier to entry bagi produsen lain. Kedua, menetapkan harga yang rendah untuk memperoleh penerimaan pasar yang cepat. Kegiatan promosi terutama diarahkan untuk membangun kesadaran, dimana periklanan yang digunakan adalah jenis informing. Personal selling yang ekstensif kepada distributor (tour operator atau travel agent) termasuk pemberian voucher. 3.2.
Involvement Pada tahap Involvement (keterlibatan), Kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal sudah sangat tinggi dan masyarakat sudah mulai mengubah pola-pola sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Disinilah mulai suatu daerah menjadi destinasi wisata, yang ditandai oleh mulai adanya advertensi atau promosi. Strategi yang umumnya pada tahap ini adalah mengkombinasikan penetapan harga dan kegiatan promosi. Strategi ini ada empat bentuk, yaitu : 1) Rapid Skimming Strategy 2) Slow Skimming Strategy 3) Rapid Penetration Strategy 4) Slow Penetration Strategy Lamanya tahap pengenalan ini sangat ditentukan oleh karakteristik Daerah Tujuan Wisata, seperti differential advantage dengan membandingkan Daerah Tujuan Wisata lain yang eksis di pasar, usaha-usaha edukasional yang dibutuhkan, sifat suatu Daerah Tujuan Wisata (degree of newness), dan komitmen sumber daya pihak manajemen terhadap aspek baru tersebut. Biasanya yang diharapkan adalah periode pengenalan yang singkat, sehingga pengaruh negatif terhadap penerimaan dan aliran kas dapat dikurangi. Demikian pula halnya dengan ketidakpastian terhadap Daerah Tujuan Wisata baru tersebut diharapkan dapat diminimalkan.
45
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
3.3.
Development Pada tahap Development (Pembangunan dan Pengembangan) jumlah pengunjung yang datang dalam skala besar. Tahap ini ditandai dengan melonjaknya jumlah kunjungan wisatawan ke Daerah Tujuan Wisata dengan cepat, karena produk telah diterima dan diminta oleh pasar. Tidak semua Daerah Tujuan Wisata baru dapat mencapai tahap ini, bahkan tidak sedikit produk baru yang gagal ditahap awal. Namun jika Daerah Tujuan Wisata baru itu berhasil, sesuai dengan kebutuhan dan selera wisatawan, maka keadaan ini akan menarik pesaing untuk memasuki industri tersebut dengan produk yang serupa. Bentuk-bentuk strategi yang dapat dilakukan pada tahap ini, antara lain: meliputi penyempurnaan Daerah Tujuan Wisata (penambahan karekteristik atau sifat tertentu dan penciptaan produk baru oleh industri pariwisata), pengembangan segmen pasar baru, penambahan saluran distribusi baru, selective demand stimulation, dan pengukuran harga untuk merebut konsumen baru. 3.4.
Consolidation Pada tahap Consolidation (Konsolidasi) ini, jumlah kunjungan wisatawan masih meningkat, namun dengan pertumbuhan yang semakin menurun. Sebagian besar pasar telah dijangkau, karena Daerah Tujuan Wisata telah dikunjungi oleh mayoritas wisatawan. Situasi ini akan menyebabkan Daerah Tujuan Wisata mulai memperbaharui produknya agar dapat mempertahankan jumlah kunjungan wisatawan. Strategi pemasaran pada tahap ini sebagian besar difokuskan untuk memperkuat dan mempertahankan posisi pasar serta membangun kesetiaan wisatawan dan distributor. Dengan semakin banyaknya pesaing yang keluar dari pasar, maka intensitas persaingan menjadi berkurang dan harga menjadi alat persaingan. Selain untuk mempertahankan wisatawan agar tetap membeli, alasan harga kini menjadi alat untuk bersaing, karena pasar sudah jenuh dan tidak tertarik lagi dengan promosi yang ada. Tour operator atau travel agent menjadi semakin penting, karena Daerah Tujuan Wisata masih memberikan penghasilan secara teratur. Dengan demikian promosi akan bergeser dari wisatawan ke tour operator atau travel agent. Disamping itu, usaha untuk memberikan pelayanan purna jual (service after sales) juga semakin meningkat. Intelijen pemasaran mulai memfokuskan pada peningkatan produk, mencari peluang di pasar baru, serta perbaikan dan penyegaran tema promosi. 3.5.
Stagnation Pada tahap Stagnation (Stagnasi) ditandai dengan tercapainya titik tertinggi dalam jumlah kunjungan wisatawan. Normalnya tahap ini merupakan tahap terlama dalam siklus hidup produk Daerah Tujuan Wisata. Hal ini disebabkan, pada tahap ini pemenuhan inti kebutuhan oleh Daerah Tujuan Wisata yang bersangkutan tetap ada. Sebagian besar produk yang ada saat ini bedara dalam tahap ini, karena itu sebagian besar strategi pemasaran ditujukan untuk produk-produk dalam tahap ini. Berbagai terobosan dilakukan oleh pelaku pariwisata serta adanya diversifikasi dan modifikasi fasilitas. Strategi pemasaran kreatif yang digunakan untuk memperpanjang daur hidup suatu Daerah Tujuan Wisata. Pada fase ini, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli atau alami (baik budaya maupun alam), citra awal sudah meluntur, dan destinasi tidak lagi populer, serta semakin buruknya penampilan destinasi dimata wisatawan. Jumlah kunjungan wisatawan dalam tahap ini sangat sensitif terhadap perubahan perekonomian. Pasar
46
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
semakin tersegmentasi, sehingga masing-masing segmen diperlukan promosi yang berbeda dengan lainnya. Hal ini kemudian menyebabkan persaingan menjadi semakin sangat ketat dan intensif. Para pesaing akan lebih sering menurunkan harga, memberikan paket three in one maupun voucher. Terjadi kecendrungan mendorong usaha promosi diubah dari periklanan ke personal selling dan sales promotion yang ditujukan kepada tour operator atau travel agent. Ada dua strategi utama yang dapat diterapkan pada tahap ini. Yang pertama adalah Defensive Strategy menitikberatkan pada penekanan/pengurangan biaya promosi dan menghilangkan kelemahan produk. Distributor memainkan peranan penting untuk strategi ini, sebab tingkat penjualan yang mereka peroleh dipengaruhi oleh usaha promosi industri pariwisata untuk mendorong tour operator atau travel agent tetap setia pada Daerah Tujuan Wisata. Disamping itu, karena promosi berkurang keefektifannya, maka penentuan harga menjadi bentuk lain dari promosi. Strategi yang kedua adalah Offensive Strategy, yang lebih menitikberatkan pada usaha perubahan untuk mencapai tingkat yang lebih baik. Bentuk strategi ini dapat berupa modifikasi pasar, yaitu dengan menggaet kelompok bukan pemakai (nonuser) mengintensifkan penawaran Daerah Tujuan Wisata kepada non-user, dan merebut konsumen pesaing. Betnuk lain dari strategi ini adalah modifikasi produk, yaitu mengubah karakteristik produk sedemikian rupa, sehingga semakin menarik konsumen saat ini untuk membeli dengan cara menawarkan manfaat baru dari suatu produk kepada konsumen sekarang untuk mendorong kunjungan yang lebih banyak dan lebih sering. Alternatif yang digunakan ada beberapa cara, yaitu: 1) Strategi perbaikan mutu 2) Strategi perbaikan ciri (feature improvement) 3) Strategi perbaikan model 3.6.
Decline Pada tahap Decline (Penurunan) wisatawan sudah beralih ke destinasi baru atau pesaing, dan yang tinggal hanya ‘sisa-sisa’. Sejumlah alternatif dapat dilakukan pada tahap akhir siklus hidup produk ini. Namun perlu diperhatikan, bahwa pilihan alternatif haruslah didasarkan pada kekuatan dan kelemahan perusahaan serta daya tarik industri bagi perusahaan. Alternatif-laternatif tersebut diantaranya adalah: 1) Menambah investasi agar dapat mendominasi atau menempati posisi persaingan yang baik; 2) Mengubah produk atau mencari penggunaan/manfaat baru pada produk; 3) Mencari pasar baru; 4) Mengurangi investasi secara selektif dengan cara meninggalkan konsumen yang kurang menguntungkan, tetapi menambah investasi untuk kelompok kecil konsumen yang masih setia dan menguntungkan; 5) Harvesting Strategy untuk mewujudkan pengembalian uang tunai dengan cepat; dan 6) Meninggalkan bisnis tersebut dan menjual asset Daerah Tujuan Wisata. Konsep siklus hidup produk dapat digunakan sebagai alat dalam perencanaan pemasaran strategis bagi suatu Daerah Tujuan Wisata. Seperti disampaikan Haywood (Yoeti, 2003), bahwa keliru menganggap suatu kawasan wisata secara dominan menentukan strategi pemasaran pada tahap siklus hidup, sementara perbedaan yang terdapat diantara Daerah Tujuan Wisata dan pasarnya diabaikan. Selanjutnya secara implisit bisa digunakan asumsi bahwa, pada setiap tahap siklus, suatu Daerah Tujuan Wisata hanya memiliki satu (single) strategi pemasaran yang harus diikuti. Asumsi selengkapnya yang dapat digunakan secara implisit, tidak saja berbahaya semenjak
47
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
membatasi kreativitas dalam menggerakkan strategi pemasaran baru (the new marketing strategy). Adapun beberapa strategi utama dalam siklus suatu produk yang dapat dipertimbangkan untuk menambah siklus hidup suatu Daerah Tujuan Wisata, antara lain adalah; 1) Penggunaan lebih sering kegiatan promosi tentang penawaranpenawaran produk industri pariwisata kepada calon wisatawan pada suatu Daerah Tujuan Wisata, 2) Kembangkan lebih banyak keanekaragaman paket wisata yang menarik kepada calon wisatawan yang dianggap potensial untuk melakukan kunjungan, baik yang menyangkut keindahan alam, fauna dan flora, seni dan budaya, tata hidup masyarakat terasing (ethnic tourism), ekowisata, agrowisata, wisata olahraga dengan menggali potensi masyarakat desa sebagai fokus kegiatannya, 3) Ciptakan hal-hal yang baru. Siklus hidup produk bisa diperluas dengan menciptakan obyek dan atraksi wisata yang sama sekali baru, 4) Mencari wisatawan baru dengan menetapkan target pasar yang sama sekali baru pula dengan memperluas pangsa pasar (MICE dan event budaya). Dalam rangka menarik kunjungan wisatawan pada suatu Daerah Tujuan Wisata ada dua faktor yang perlu diperhatikan : 1) Faktor yang menentukan keseluruhan permintaan (total demand) sangat penting dalam menetapkan strategi pemasaran dan promosi, terutama menetapkan kelompok mana yang akan dijadikan target pasar. 2) Informasi tentang faktor-faktor yang menentukan permintaan khusus (special demand) untuk dijadikan dasar dalam perencanaan pemasaran dan promosi. IV.
SIMPULAN Daerah Tujuan Wisata dapat diterapkan pada setiap tahap dari siklus hidup suatu produk dalam kegiatan pemasaran. Pada masing-masing tahap siklus hidup Daerah Tujuan Wisata memerlukan perlakukan dan kebijakan strategi bauran pemasaran (marketing mix) berbeda yang menyangkut mengenai harga (price), saluran distribusi (place) dan promosi (promotion). Dalam hal ini bahwa atraksi bagi wisatawan sifatnya tidak terbatas dan tanpa perhitungan waktu, tetapi hendaknya selalu diperbaharui, diberi perlindungan dan bahkan dilestarikan, apabila tidak, maka keaslian citra atraksi akan menjadi luntur dan daya tariknya akan hilang. Ada pertimbangan dalam kegiatan pemasaran yang dapat diterapkan pada setiap tahap dari siklus hidup suatu produk. Rekomendasi seringkali dibuat mengenai corak dan tingkat promosi, distribusi, harga dan aktivitas pemasaran lainnya yang diinginkan pada setiap tahap. KEPUSTAKAAN
Cooper, Chris and Stephen Jackson. 1997. Destination Life Cycle: The Isle of Man Case Study. Dalam the Earthscan Reader in Sustainable Tourism. United Kingdom: Earthscan Publications Limited. Damardjati, R.S. 2001. Istilah-Istilah Dunia Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita. Kotler, Phillip. 1994. Marketing. Jakarta: Erlangga. ____________. 1997. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Implementasi Dan Kontrol. Jakarta: Prenhallindo. Kotler, Philip; John Bowen; dan James Makens. 1998. Marketing for Hospitality and Tourism. Second Edition. New York: Pentice Hall.
48
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Madiun, I Nyoman. 2005. Marketing Management. Materi Kuliah. Prepare for Master of Tourism Studies Udayana University. Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Ryan, Chris. 1991. Recreational Tourism A Social Science Perspective. London and New York: Routledge. Soekadijo, R.G. 1997. Anatomi Pariwisata (Memahami Pariwisata Sebagai Systemic Linkage). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sukarsa, I Made. 1999. Pengantar Pariwisata. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Swastha, Basu. 2000. Azas-Azas Marketing. Yogyakarta: Liberty. Tjiptono, Fandy. 1997. Strategi Pemasaran. Edisi Kedua. Yogyakarta: Andi. Wahab, Salah. 1997. Pemasaran Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita. Yoeti, Oka A. 1996. Pemasaran Pariwisata. Edisi Revisi. Bandung: Angkasa. ___________. 2001. Strategi Pemasaran Hotel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ___________. 2002. Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata. Jakarta: Pradnya Paramita. ___________. 2003. Tours and Travel Marketing. Jakarta: Pradnya Paramita.
49
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
PENGEMBANGAN PARIWISATA GOA DI BALI I Wayan Wijayasa Anak Agung Raka Dalem Dosen Akpar Denpasar dan Dosen Fakultas MIPA Unud Abstract Cave is one of potency that can be further developed in order to create diversification of tourist site attraction. In Bali, there are some caves that have been well developed as place of interest, while there are also other caves that have not been developed due to limited exploration and effort. In the future, developing caves as tourist site attraction should consider the principles of alternative tourism than environmentally friendly in order to sustain cultural tourism in Bali. Keywords: cave tourism, alternative tourism, tourist site attraction. I.
PENDAHULUAN Pariwisata di Bali saat ini telah berkembang begitu pesat yang terlihat dari semakin berkembangnya fasilitas, objek, dan daya tarik pariwisata yang ada. Meskipun jumlah kedatangan wisatawan asing yang langsung ke Bali menunjukkan fluktuasi akibat berbagai isu dan peristiwa yang kurang menguntungkan, berbagai pihak yang berkecimpung di dunia pariwisata tetap terangsang untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki untuk kemudian diarahkan pada sektor pariwisata mengingat keterbatasan/ketiadaan sumberdaya alam seperti migas, hasil hutan, dan manufaktur (Pitana, 2005:156-157). Salah satu potensi pariwisata yang telah berkembang di Bali dan ramai dikunjungi oleh wisatawan adalah Goa. Terdapat dua goa di pulau Bali yang telah berkembang pesat sebagai objek wisata, yaitu Goa Lawah yang terletak di Kabupaten Klungkung dan Goa Gajah yang terletak di Kabupaten Gianyar. Dilihat dari segi kunjungan wisatawan, kedua goa ini nampak sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan dibandingkan dengan goa-goa lainnya di Bali (beberapa Goa Jepang di Bali-red). Hal ini tentu disebabkan oleh berbagai faktor antara lain dari segi konsep pengembangan mengarah pada pariwisata masal, dari segi lokasi kedua goa ini letaknya sangat strategis, dan dilihat dari segi nilai daya tarik keduanya menawarkan keunikan dan nilai historis. Selain itu, di pulau Nusa Lembongan terdapat sebuah goa yang ramai dikunjungi oleh wisatawan, yaitu Goa Gala Gala. Sedangkan di Pulau Nusa Penida, yang juga merupakan bagian provinsi Bali, juga terdapat Goa Giri Putri yang banyak dikunjungi oleh masyarakat lokal untuk bersembahyang. Adapun fokus tulisan diarahkan pada permasalahan daya tarik apa sejatinya yang dapat dikembangkan dari wisata goa. Dengan mengetahui daya tarik yang dapat dikembangkan dari sebuah goa, kemudian dibahas sejauh mana pemanfaatan daya tarik yang ada pada goa-goa di Bali sebagai daya tarik wisata. Setelah diketahui sejauh mana pemanfaatan daya tarik wisata goa yang telah dimanfaatkan di Bali, maka akan didiskusikan potensi alternatif mana saja yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
50
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
II.
DAYA TARIK WISATA GOA Goa adalah ruang kosong di bawah permukaan tanah yang cukup luas untuk dimasuki oleh manusia. Lebih jauh, istilah goa (cave) merujuk pada ruang yang tidak kena sinar matahari secara langsung dan pada awalnya terbentuk secara alami. Namun demikian, ada pula goa yang sengaja dibuat oleh manusia untuk kepentingan tertentu. Adapun kajian ilmiah yang mempelajari tentang goa, baik yang mengkaji mengenai terbentuknya goa, kehidupan goa, sejarah, bentuk fisik, maupun struktur goa, disebut speleologi. Sedangkan kajian yang khusus mengenai biologi goa disebut biospeleologi (http://en.wikipedia.org/wiki/Speleology). Dari perpektif pariwisata, telah banyak goa di dunia yang menarik dan telah berkembang menjadi daya tarik bagi wisatawan. Hal ini disebabkan karena goa memiliki banyak fitur, komponen biologis, dan nilai sejarah masing-masing yang dapat diinterpretasikan untuk tujuan pariwisata. Daya tarik yang dimiliki oleh goa berbeda satu dengan lainnya. Penulis telah melakukan penelusuran website, kajian pustaka, dan observasi mengenai goa ini sehingga teridentifikasi beberapa daya tarik yang sekiranya dapat digali untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisata meliputi : 2.1
Keindahan dan Keunikan Permukaan Goa Selama ini permukaan goa memiliki keindahan tersendiri untuk dinikmati sebagai atraksi wisata. Beberapa goa yang bernilai historis dan menjadi tempat yang masih dimanfaatkan seperti Goa Lawah dan Goa Gajah memiliki permukaan yang menarik untuk dilihat. Bila di permukaan Goa Gajah terdapat pahatan batu berbentuk gajah, maka dipermukaan pura Goa Lawah terdapat beberapa bangunan pura. Di samping keindahaan dan keunikan yang melekat pada permukaan goa, bentang alam sekitar juga menarik untuk diinterpretasikan untuk tujuan pariwisata. Beberapa bentang alam yang menarik dan telah dikemas sebagai daya tarik wisata misalnya alam disekitar Goa Kreo yang berlokasi di Gunung Krincing (Jawa Barat) berupa jurang terjal, kelok sungai, dan air terjun setinggi 20 – 25 meter. (http://semarang.go.id/cms/pemerintahan/dinas/pariwisata/wisata/Obyek%20Wisata /gua_kreo.htm). 2.2
Struktur Goa Struktur goa merupakan salah satu hal yang menarik untuk dilihat karena struktur tiap goa tidak sama antara satu dengan lainnya. Adapun struktur goa dapat dilihat dari bentuk, jumlah ruang/percabangan, pembentukan speleothem (kumpulan mineral sekunder yang terbentuk dalam jangka waktu yang lama di dalam goa), dan dinding goa (http://en.wikipedia.org/wiki/Speleothem). Dilihat dari bentuk ruang dan percabangannya, beberapa goa di Bali memiliki bentuk dan percabangan yang berbeda. Misalnya, Goa Gajah memiliki lorong goa berbentuk hurup T (T-shape). Sementara itu, Goa Gala-Gala di Nusa Lembongan memiliki percabangan yang menuju yang yang berfungsi sebagai ruang tidur/istirahat. Sedangkan Goa Jepang yang ada di Kabupaten Klungkung memiliki kekhasan pada permukaan goa dengan lekuk ke kanan. Adapun perbedaan-perbedaan struktur yang dimiliki oleh goa di atas, menurut penulis, berhubungan dengan fungsi goa tersebut. Struktur goa menjadi lebih menarik jika di dalam goa telah terbentuk beberapa akumulasi mineral yang di disebut speleothems. Speleothem ini dapat berbentuk (http://en.wikipedia.org/wiki/Speleothem) :
51
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
1.
Stalaktit (stalactites) yaitu kumpulan mineral yang berbentuk menonjol dari dinding atas goa; 2. Stalagmit (stalagmites) yaitu kumpulan mineral yang berbentuk menonjol di lantai goa; 3. Kolom atau tiang (columns) yang terbentuk jika stalagtit dan stalagmit bertemu, atau ketika stalagtit mencapai lantai goa; 4. Flowstone yang ditemukan di lantai dan dinding goa; 5. Soda straws, yaitu jenis stalagtit yang bentuknya kecil, panjang, dan bulat (mirip pipet/straw). Jenis ini berbeda dari stalagtit pada umumnya yang cenderung berbentuk kerucut; 6. Helicites, stalagtit yang memiliki saluran di dalamnya, bentuknya seperti ranting atau spiral, seperti melawan arah gravitasi; 7. Rimstone dams, yaitu semacam selokan yang terbentuk di dasar goa akibat percikan air yang jatuh dari dinding atas goa; 8. Popcorn, kumpulan (akumulasi) kecil kalsit yang menonjol di dasar atau dinding goa; 9. Cave pearls, butiran=butiran kristal kecil seperti mutiara yang terbentuk akibat tetesan air yang berasal dari ketinggian, sering terjadi di lingkungan goa yang memiliki banyak unsur kalsium karbonat. 10. Dogtooth spar, kristal kalsit besar yangs ering ditemukan di sekitar kolam yang terbentuk secara musiman di dalam goa; 11. dan speleothem lainnya. Berikut ini adalah beberapa contoh speleothem yang ada di dalam goa dan dapat dijadikan daya tarik wisata.
Stalactites and columns in Natural Bridge Caverns, Texas, U.S. Sumber : Wikipedia
Soda Straw. Sumber : Wikipedia
Speleothems in Hall of the Mountain Kings, Ogof Craiga Ffynnon, South Wales. Sumber : Wikipedia
2.3
Nilai Historis dan Arkeologis Goa Sebagaimana diketahui melalui sejarah bahwa dahulu manusia tinggal di goa. Selama mereka hidup di dalam goa, diperkirakan mereka berusaha membuat lukisan atau tanda di dinding goa. Peninggalan atau jejak lukisan/tanda yang mereka buat dan masih ada saat ini dapat menjadi daya tarik wisata tersendiri terutama bagi wisatawan yang tertarik dengan temuan peradaban manusia purba yang masih hidup di dalam goa. Dari segi arkeologis, goa memang dapat menunjukkan adanya tanda-tada peradaban dengan ditemukannya lukisan di dinding goa. Bahkan, di goa Honne, Jerman,
52
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
diketemukan jejak kanibalisme (http://en.wikipedia.org/wiki/Cave). Di Indonesia, terdapat Goa Leang Leang di Maros (Sulawesi Selatan) yang mana pada dinding goa ini ditemukan lukisan tapak tangan dan binatang yang diperkirakan dibuat oleh penghuni goa tersebut. Di samping itu, goa juga dijadikan tempat upacara keagamaan dan tempat penguburan, misalnya pada masyarakat Toraja (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/12/Wisata/260987.htm). Di Bali sendiri, beberapa pahatan di dinding goa telah menjadi daya tarik wisata tersendiri, misalnya permukaan dinding Goa Gajah. Potensi-potensi ini dapat digali lebih jauh untuk dijadikan daya tarik wisata. 2.4
Biologi Goa Goa mejadi rumah yang baik bagi mahluk tertentu termasuk manusia sebelum mampu membuat rumah. Di samping itu, hewan dan tumbuhan juga ada yang dapat hidup di goa. Untuk jenis tumbuhan, jarang ditemukan di dalam goa karena memerlukan sinar matahari untuk berfotosintesis. Kebanyakan tumbuhan ditemukan dipermukaan goa yang masih disinari oleh matahari. Sebaliknya, jenis hewan cukup banyak ditemukan hidup di dalam goa. Dilihat dari jenisnya, organisme yang dapat hidup di goa dapat dibedakan menjadi tiga kelas dasar, yaitu : (http://www.showcaves.com/english/explain/Speleology/index.html) 1. Troglobites ("cave dwellers") merupakan hewan yang hidupnya sebagian besar dihabiskan di goa sehingga ia dijuluki penghuni goa. Binatang-binatang ini dapat meninggalkan goanya dalam waktu singkat namun tidak dapat hidup di luar goa sepenuhnya. Contoh organisme ini adalah beberapa jenis bakteri chemotrophic Blindfish atau disebut juga Northern (organisme yang Collembola Cavefish Sumber : Wikipedia Sumber : Wikipedia mendapatkan energi dari mengoksidasi Townsend's Big-eared bats in a cave Bedford’s flatworm, elektron dengan Pseudobicaros bedfordi Sumber : Wikipedia Sumber : Wikipedia melepaskan molekul pada lingkungannya), beberapa spesies flatworms (cacing berbentuk pipih/pita), collembola atau springtail, dan Blindfish. 2. Troglophiles ("cave lovers") merupakan mahluk yang menghabiskan sebagian atau keseluruhan dari hidupnya di goa namun dapat pula hidup di permukaan (di luar goa) pada lingkungan yang sesuai. Contohnya beberapa jenis kelelawar, kalajengking, dan laba-laba. 3. Trogloxenes ("cave guests") merupakan mahluk hidup yang sering memerlukan goa untuk meneruskan daur hidupnya dalam waktu tertentu namun kembali kepermukaan. Misalnya binatang melata yang berhibernasi dan mamalia.
53
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
III.
POTENSI GOA DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI BALI Dengan melihat begitu banyak daya tarik yang bisa dikembangkan pada sebuah goa untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata, maka pada bagian ini penulis ingin memaparkan sejauh mana potensi goa yang telah dikembangkan di Bali dan mengidentifikasi beberapa goa yang ke depan dapat dijadikan daya tarik pariwisata. Potensi goa di Bali yang paling banyak dikembangkan adalah potensi historis dan budaya. Hal ini sejalan dengan konsep pariwisata budaya yang berkembang diba Bali di samping lokasi beberapa goa yang telah berkembang tersebut memang berada di jalur pariwisata yang ramai. Pengembangan potensi alamiah goa sebagai daya tarik wisata masih sangat terbatas. Adapun daya tarik alam dari sebuah goa yang sangat menonjol adalah kelelawar (di Goa Lawah). Menurut penulis, Beberapa kendala mengeksploitasi potensi alam dari goa-goa yang ada di Bali disebabkan karena: 1. Goa tersebut masih berfungsi sebagai living monument dan menjadi tempat dilaksanakannya upacara keagamaan. Oleh karena itu, rasa sungkan memasuki goa dan kepercayaan tidak boleh dan berbahaya jika memasuki goa melekat di masyarakat. Namun demikian, kepercayaan ini dapat dilihat dari segi filosofis untuk pegejawantahan kesucian dan lingkungan pura. 2. Beberapa goa memiliki keterbatasan kedalaman dan ruang yang sempit sehingga tidak dihuni oleh binatang besar (seperti kelelawar atau ular). 3. Goa buatan umumnya dahulu dihuni oleh orang sehingga sedikit kemungkinan hidup binatang karena sering dibersihkan. Goa Gajah yang sering di dimasuki oleh pengunjung juga sangat membatasi usaha mengeksploitasi daya tarik alam. 4. Apresiasi terhadap nilai budaya dan historis lebih mendominasi interpretasi daya tarik goa yang ada di Bali. Oleh karena itu, para pemandu wisatawan dan pihak lainnya yang terlibat dalam penyediaan informasi wisata goa membatasi informasi pada nilai sejarah dan historis goa. Penjelasan mengenai alam terbatas pada apa yang terlihat dari luar goa, misalnya ular dan kelelawar. Keterbatasan informasi mengenai daya tarik alami dari goa dapat dilihat di website atau brosur yang dibuat oleh dinas pariwisata. Keunikan struktur dan proses pembentukan goa sangat sedikit dibahas. Fauna yang ada di dalam goa juga terbatas informasinya. Berdasarkan hasil penelusuran beberapa pustaka dan survey teratas, penulis mendaftar nama-nama Goa yang ada di wilayah propinsi Bali. Daftar nama goa sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 1 memuat nama-nama goa yang sudah berkembang maupun belum berkembang, daya tarik wisata yang dimiliki, beserta lokasi. Tabel 1 menunjukkan bahwa beberapa goa telah berkembang untuk dijadikan objek wisata antara lain Goa Gajah, Goa Gala Gala, dan Goa Lawah. Adapun Goa Giri Putri di Nusa Penida masih dalam tahap pengembangan dan dikunjungi terbatas oleh wisatawan domestik untuk tujuan bersembahyang. Sedangkan Goa lainnya termasuk belum berkembang untuk pariwisata, misalnya Goa Jepang di Kabupaten Klungkung, Goa Jepang di Kintamani (Kabupaten Bangli), Goa Gamang, Goa Raja, dan Goa Srijong. Belum berkembangnya beberapa goa di Bali sebagai objek wisata, menurut penulis, disebabkan oleh beberapa faktor berbeda. Misalnya Goa Jepang di Kabupaten Klungkung telah ditata untuk tujuan pariwisata. Namun karena kurangnya kepekaan, daya tarik, dan keunikan yang tersedia maka goa tersebut cenderung tidak
54
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
berkembang. Goa Jepang di Kintamani terlihat lebih tak terurus. Meskipun letaknya strategis di objek wisata yang telah terkenal, Goa Jepang di Kintamani tidak berkembang dan di depannya malahan tertutupi oleh aktivitas pedagang. Goa Gamang, Goa Raja, dan Goa Gong memiliki karakteristik yang mirip sehingga tidak berkembang sebagai objek wisata. Ketiga goa tersebut memiliki pura yang dijadikan tempat sembahyang umat Hindu. Di samping itu, ukuran goa terlihat relatif kecil dan tidak ada binatang menarik (seperti kelelawar, ular) yang bisa dilihat dari luar sehingga kurang menarik untuk dikembangkan. Namun demikian, penulis berpendapat bahwa sepanjang dilakukan usaha interpretasi dan pengembangan atas potensi yang ada pada goa tersebut, maka goa tersebut tetap menarik bagi wisatawan. Goa Giri Putri yang terletak di Pulau Nusa Penida memiliki kekhasan pada permukaan, struktur, dan nilai historis. Saat ini, Goa Giri Putri masih sedikit dikunjungi wisatawan asing. Namun demikian, goa ini sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat Pulau Bali yang melakukan tirta yatra. Keunikan yang dimiliki oleh Goa Giri Putri, menurut penulis, sangat berpotensi menjadi objek wisata menarik dimasa yang akan datang. Goa Srijong yang terletak di Kabupaten Tabanan telah dimunculkan dalam brosur pariwisata Kabupaten Tabanan sebagai salah satu bentuk promosi dari pemerintah daerah. Keunikan yang dimiliki oleh Goa Srijong ini adalah kehidupan satwa kelelawar yang hidup di dalam goa. Di samping itu, di atas goa juga terdapat sebuah pura yang menjadikannya salah satu daya tarik tersendiri dan memperkaya interpretasi. Namun demikian, perkembangan Goa Srijong ini masih belum menampakkan kemajuan mengingat lokasinya yang cukup jauh dari jalur pariwisata. Tabel 1 Daftar Nama Goa, Lokasi, dan Perkembangannya sebagai Daya Tarik Wisata Nama Goa Goa Gajah Goa Gala Gala Goa Gamang Goa Giri Putri Goa Gong Goa Jepang Goa Jepang Goa Lawah Goa Raja Goa Srijong
Lokasi Kabupaten Gianyar Nusa Lembongan Kabupaten Singaraja Nusa Penida Kabupaten Badung Kabupaten Klungkung Kabupaten Bangli Kabupaten Klungkung Kabupaten Karangasem Kabupaten Tabanan
Daya Tarik Historis, struktur goa, spiritualitas Historis, struktur goa
Keterangan Berkembang
Pura
Belum Berkembang
Pura, Historis, spiritualitas, struktur goa Pura, spiritualitas
Berkembang terbatas Belum Berkembang
Historis, struktur permukaan
Belum Berkembang
Historis
Belum Berkembang
Pura, Historis, spiritualitas, fungsi, kelelawar, ular Pura
Berkembang Belum berkembang
Pura, Kelelawar
Belum Berkembang
Berkembang
Sumber: Dari berbagai sumber, 2007
55
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
IV.
PENGEMBANGAN WISATA GOA DI BALI SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF Kondisi pariwisata yang fluktuatif, mengharuskan suatu destinasi untuk membuat pilihan-pilihan yang diharapkan mampu memberikan warna baru pada keberagaman objek dan daya tarik wisata yang telah ada. Di samping itu, alternatif yang dibuat tersebut haruslah mampu menarik kunjungan wisatawan atau menjadi destinasi baru bagi repeater guest. Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan kepada wisatawa adalah wisata goa. Bali memiliki sejumlah goa, baik yang telah berkembang maupun belum berkembang sebagaimana terlihat pada Table 1 di atas. Sebagaimana dijelaskan di atas juga, eksplorasi terhadap daya tarik yang dimiliki oleh goa-goa di Bali menemui beberapa kendala. Namun demikian, tidak semua goa yang ada disakralkan masyarakat sehingga masih mungkin dilakukan eksplorasi mendalam, misalnya Goa Gala-Gala dan Goa Jepang. Model pengembangan diarahkan pada usaha memanfaatkan sumberdaya goa sebagai objek dan daya tarik wisata alternatif dalam rangka mendukung pariwisata budaya. Hal ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata di Bali yang tidak lepas dari peran kebudayaan yang telah dianut selama ini. Lebih lanjut, pengembangan wisata goa dengan menggunakan konsep pariwisata alternatif dapat menghindarkan eksplotasi sumberdaya ke arah pariwisata masal yang dapat merusak ekosistem goa serta melebihi daya tampung yang ada. Beberapa paket wisata alternatif yang dapat dikembangkan pada goa antara lain : 1. Paket pengenalan mineral dan bebatuan goa di Bali. Paket wisata ini ditujukan kepada segmen wistawan yang khusus terutama yang berminat/tertarik kepada kandungan mineral yang ada di bebatuan dalam goa serta terbentuknya bebatuan tersebut. Sebagaimana diketahui, proses terbentuknya bebatuan serta kandungan mineralnya sangat bervariasi tergantung dari mineral yang terkandung di alam sekitar goa tersebut. 2. Paket pengenalan biologi goa di Bali. Paket wisata ini ditujukan kepada segmen wisatawan yang berminat/tertarik pada kekayaan flora atau fauna yang hidup di dalam goa dan di sekitar permukaannya. Selama ini, kelelawar dan ular masih mendominasi jenis fauna yang menjadi daya tarik utama. Namun dalam paket ini, keberagaman fauna dapat diperluas pada jenis laba-laba, semut, dan binatang tropis yang lainnya yang hidup di goa-goa di Bali. 3. Paket penelusuran sejarah. Paket ini merupakan paket yang mengajak wisatawan untuk mengenal nilai sejarah yang ada pada goa-goa di Bali. Eksploitasi lebih lanjut terhadap nilai sejarah suatu goa perlu dilakukan pada goa-goa (selain Goa Gajah, Goa Lawah, dan Goa Gala Gala di Nusa Lembongan) yang belum berkembang di Bali. Paket ini juga ditujukan pada pangsa pasar khusus yang memang berkeinginan mengetahui dan mendalami sejarah yang terjadi pada suatu goa. 4. Paket penelusuran goa. Paket penelusuran goa berbeda dengan paket penelusuran sejarah. Hal yang membedakan adalah bahwa paket penelusuran goa lebih menekankan pada tantangan menelusuri lorong goa seperti hiking dalam goa. Namun demikian, penelusuran goa ini memerlukan setting goa yang cukup panjang untuk ditelusuri.
56
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
5.
Paket pendidikan. Paket pendidikan khsusnya ditujakan kepada para wisatawan yang berprofesi sebagai pelajar, mahasiswa, atau para ilmuwan. Paket ini dapat berupa satu atau kombinasi dari paket-paket di atas dan lebih ditujukan untuk kepentingan edukasi.
Bila dilihat sepintas, paket-paket alternatif di atas memiliki kandungan isi yang sama, misalnya wisatawan yang berminat mengetahui mineral dan bebatuan goa dapat pula sekaligus mengetahui sejarah, biologi, menelusuri goa. Namun jika dicermati, terdapat hal yang berbeda pada penekanan minat. Bila wisatawan yang berminat menekuni sejarah, maka paket ini mengarahkan mereka pada goa-goa yang memiliki potensi nilai sejarah, atau jika wisatawan berminat menelusuri goa, maka ia tidak terlalu berpikir apakah dalam goa terdapat banyak bebatuan atau kehidupan binatang. Dengan demikian, penyusunan paket wisata alternatif seperti di atas dapat menjadi paket inovatif yang merangsang kunjungan wisatawan minat khusus. Beberapa usaha yang dianggap perlu segera untuk dilaksanakan dalam rangka eksplorasi daya tarik yang dimiliki oleh goa-goa yang ada di Bali antara lain, memperbanyak penelitian wisata goa dengan melibatkan perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan para ahli speleologi yang ada, pendataan potensi wisata goa di Bali, mengembangkan paket wisata kombinasi yang lebih mendalami potensi dalam goa (dalam hal ini, pengembangan tidak hanya terbatas pada daya tarik luar dan historis sebuah goa, namun lebih mendalami potensi alami seperti stalagtit, stalagmit, dan biologi goa) dan perlu dilakukan pengenalan wisata goa sebagai alternatif tempat belajar untuk mendukung studi para siswa/mahasiswa yang mendalami goa. V. SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan 1. Goa sejatinya memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi daya tarik wisata. Beberapa tinjauan mengenai pemanfaatan goa sebagai daya tarik wisata menunjukkan bahwa goa dapat dijadikan daya tarik wisata menarik. 2. Di Bali, pemanfaatan sumber daya goa masih sangat terbatas pada segi historis dan keunikan goa yang dinikmati dari luar. Hal ini disebabkan oleh masih berfungsinya goa tersebut sebagai living monument. 3. Model pengembangan wisata goa di Bali semestinya menggunakan konsep pariwisata alternatif (kecuali untuk Goa Gala Gala, Goa Gajah dan Goa Lawah yang terlanjur menjadi objek pariwisata massal) untuk mengurangi resiko terganggunya ekosistem goa dan kapasitas muatnya (carrying capacity). 4.2.
Saran Untuk pengembangan pariwisata goa lebih lanjut, maka penulis menyarankan agar dilakukan penelitian eksploratif terhadap goa-goa yang belum berkembang di Bali. Di samping itu, perlu juga dilakukan pembatasan terhadap wisatawan mana (segmentasi pasar) yang dapat mengunjungi objek dan daya tarik wisata goa ini disesuaikan dengan kapasitas muat serta karakteristik lingkungan goa tersebut.
57
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
KEPUSTAKAAN Anonim. tt. Cave. Available from: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Cave. Ditelusuri tanggal 30 Maret 2007. Anonim. tt. Collembola. Available from: URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Collembola. ditelusuri tanggal 4 April 2007. Anonim. tt. Flatworms. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Flatworms. Ditelusuri tanggal 4 April 2007. Anonim. tt. Goa Kreo. Available from: URL:http://semarang.go.id/cms/pemerintahan/dinas/pariwisata/wisata/Obyek %20Wisata/guakreo.htm. Ditelusuri tanggal 30 Maret 2007. Anonim. tt. Goa Lawah. Availabel from: URL:http://www.klungkung.go.id/main.php?go=goalawah. Ditelusuri tanggal 30 Maret 2007. Anonim. tt. Jatijajar Cave. Available from: http://www.indonesiatourism.com/central-java/jatijajar-cave.html. Ditelusuri tanggal 30 Maret 2007. Anonim. tt. Northern Cavefish. Available from: http://En.Wikipedia.Org/Wiki/Northern_Cavefish. ditelusuri tanggal 4 April 2007. Anonim. tt. Speleology. Available from: http://www.showcaves.com/english/explain/Speleology/index.html. Ditelusuri tanggal 30 Maret 2007. Anonim. tt. Speleology. Available from: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Speleology. Ditelusuri tanggal 30 Maret 2007. Anonim. tt. Speleothem. Available from: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Speleothem. Ditelusuri tanggal 30 Maret 2007. Anonim. 2003. Menengok Kediaman Manusia Prasejarah di Goa Leang-leang. Available from: URL:http://www.kompas.com/kompascetak/0307/12/Wisata/260987.htm. Ditelusuri tanggal 20 Mei 2007. Abdurahman, Palopo. 2006. Goa Selomangleng Yang Penuh Misteri. Banjarmasin Post. Available from: URL: http://www.indomedia.com/bpost/032006/12/ragam/ragam3.htm. Ditelusuri tanggal 4 April 2007. Azarja, Ruben. 2002. Goa Gajah. Available from: URL:http://everything2.com/index.pl?node_id=1359608. Ditelusuri tanggal 30 Maret 2007. Diekmann, Anya, Geraldine Maulet, dan Tephanie Queriat. 2006. Cave in Belgium: Standardisation or Diversification?. Dalam Cultural Tourism in a Changing World: Politics, Participation and (Re)presentation. Meladie K Smith dan Mike Robinson (Ed). Clevedon: Channel View Publication. Herusansono, Winarto. 2006. Wisata Goa Terawang, Ikon Baru Wisata Jateng. Available from: URL:http://groups.google.co.id/group/alt.soc.indonesia.mature/browse_threa d/thread/e06c25f9a9f2208b/239e1088755f6311%23239e1088755f6311 Ditelusuri tanggal 4 April 2007.
58
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Lengsono, Sunarwoto Prono. 2006. Pacitan, Kota Seribu Goa. Available from: URL: http://groups.google.co.id/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/thread /573480be540807cf/19c8247a0ee54d49%2319c8247a0ee54d49 Ditelusuri tanggal 4 april 2007. Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Suharningsih, Agnes. tt. Goa, Rumah Bawah Tanah. Available from: URL:https://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/12/tanahair/2007020.Htm. Ditelusuri tanggal 4 April 2007. Wijayanto, Totok. 2002. Menelusuri Goa di Maros. Available from: URL:http://kompas.com/kompas-cetak/0202/01/DIKBUD/mene30.htm. Ditelusuri tanggal 4 April 2007. Warastri, Aufrida Wismi dan Robert Adhi Ksp. tt. Keindahan Tersembunyi di Perut Bumi Kebumen: Wisata Alam Menantang bagi Mereka Berjiwa Petualang. Available from: URL:http://adhikusumaputra.blogspot.com/search/label/Wisata%20Goa Ditelusuri tanggal 25 Maret 2007.
59
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
PENGGUNAAN WEBSITE SEBAGAI SARANA PROMOSI PADA HOTEL DI KAWASAN WISATA UBUD AA. Putu Swabawa
[email protected] Staf Pengajar Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali Abstract Using website as promotion tool is a computerization system that is applied by hotels that operated at Ubud tourism area. The objective of this research is find out the effectiveness using of website as promotion tool when compared with other promotion tools. In this research ten hotels as sample is taken using “quota sampling” method and one hundred tourits using “accidental sampling” method. Interview method and questionnaire are used in collecting data. The result of research will be analyzed using statistical analysis, i.e.: t-test. The result of analysis showed that the usage of website as promotion tool directly not yet effetive when compared to other promotion tools merged together. In spite of separately showed that using of website more effective when compared with other promotion tools. Eventhough indirectly using of website not yet effetive when compared to other promotion tools. Keywords: hotel’s website, tourism promotion. I.
PENDAHULUAN Dengan adanya perkembangan trend wisata dari wisata massal ke wisata individual dan adanya kemajuan teknologi informasi, maka sangat mempengaruhi sistem yang diterapkan dalam menjalankan aktivitas bisnis pariwisata, terutama sistem promosinya. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan hasil teknologi oleh para pengusaha yang bergerak pada industri pariwisata dalam menjalankan usahanya, seperti: komputer, telephone, telegram, dan faximile. Hal ini dapat mempercepat proses komunikasi yang terjadi dari dan ke konsumen (wisatawan) dengan pihak industri pariwisata. Dalam kondisi seperti ini akan mendorong para pelaku pariwisata menggunakan konsep pemasaran yang bersifat “Customer Concept” yaitu konsep pemasaran yang berorientasi pada konsumen secara individu dengan pendekatan “one to one marketing” (Bowen,J, 1999). Biasanya konsep pemasaran yang seperti ini sangat memerlukan jaringan komunikasi individual dengan menggunakan kemajuan teknologi yang sering menggunakan istilah jaringan internet melalui situs web (website). Sistem promosi dengan menggunakan website ini banyak memberikan keuntungan baik dilihat dari pihak konsumen (wisatawan) maupun dari pihak perusahaan (hotel). Dari pihak konsumen, promosi dengan situs web dapat melakukan pemesanan kapan saja dan dari mana saja, tanpa menghadapi berbagai masalah yang tidak diinginkan, seperti: kemacetan lalu lintas, tempat parkir, antrian panjang dan lainnya. Konsumen juga dapat memperoleh informasi dengan cepat dan lebih obyektif mengenai perusahaan, harga, fitur dan kualitas produk tanpa meninggalkan rumah atau kantor. Sedangkan dari pihak perusahaan, sistem promosi dengan website banyak
60
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
juga memberikan keuntungan, dimana biaya yang dikeluarkan perusahaan lebih murah (seperti: biaya mencetak katalog dan pengirimannya) dengan proses yang lebih cepat. Pemasaran dengan website dapat menjangkau daerah pemasaran yang lebih luas tanpa perlu melibatkan banyak tenaga pemasaran, sehingga potensi pasar akan lebih besar. Dengan website perusahaan dapat meningkatkan penawaran produknya, mengganti harga dan deskripsi produk dengan cepat. Sehingga web dapat menjadi media yang efesien untuk pemasaran, periklanan dan penyebaran informasi mengenai produk dan jasa tertentu (Kolter, 2000) Penggunaan hasil teknologi ini diharapkan dapat menciptakan efektivitas dan efesiensi dalam operasional dari perusahaan dalam menghadapi masalah persaingan global, pengaruh ekonomi internasional yang terjadi serta berbagai kemungkinan yang tidak diharapkan. Di mana efesiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar, sedangkan efektivitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Handoko, 1992:7). Dengan tercapainya efesiensi dalam operasinya akan dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan dengan proses yang lebih cepat dan hasil yang lebih berkualitas, sehingga akan dapat menetapkan harga yang lebih bersaing dengan kualitas produk beserta pelayanannya yang memadai yang akhirnya dapat mencapai sasaran serta tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini mendorong para pengusaha untuk menggunakan hasil teknologi informasi yang sangat membantu mempercepat dalam mengambil berbagai keputusan yang relevan. Penggunaan teknologi ini jelas akan merubah sistem yang diterapkan oleh perusahaan yang pada awalnya belum melibatkan teknologi yang merupakan bagian dari sistem itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sub sistem yang ada dalam perusahaan seperti : sistem akuntansi, sistem penggajian, sistem pengadaan, sistem pemasaran dan lainnya sudah menerapkan sistem komputerisasi. Tujuannya agar sistem yang ada dapat mempercepat proses baik dalam operasi maupun dalam pengolahan data untuk menghasilkan informasi yang diperlukan lebih cepat dan akurat, sehingga akan membantu dalam mengambil berbagai keputusan yang relevan dan lebih efektif (Husein & Amin, 2002). Khusus mengenai sistem pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata sudah banyak memanfaatkan teknologi informasi dalam memasarkan produk wisata yang dihasilkan terutama mengenai sistem promosinya. Hal ini dilakukan untuk menghadapi adanya trend wisata dari wisata massal ke wisata individual, di samping memang didukung oleh adanya kemajuan teknologi yang memadai. Industri pariwisata yang ada di daerah Bali sudah banyak yang menggunakan sistem komputerisasi melalui internet dengan situs web dalam memasarkan produk wisatanya. Hal ini diakibatkan adanya persaingan yang semakin ketat, di samping memang adanya tuntutan globalisasi serta adanya trend pasar dan terutama adanya dorongan teknologi. Namun dalam memasarkan produk wisata, selain menggunakan website, mereka tetap menggunakan jenis promosi lain dan menggunakan perantara. Seperti contohnya usaha perhotelan masih menggunakan brosur dan memasang iklan di beberapa majalah dan media promosi lainnya, sehingga sistem promosi yang diterapkan khususnya di sektor perhotelan bersifat paralel, yang artinya tidak sepenuhnya menerapkan sistem website, namun masih menggunakan sistem promosi sebelumnya. Maksudnya usaha jasa perhotelan dalam memasarkan hotelnya masih menggunakan bauran promosi, yaitu masih menggabungkan website (pemasaran langsung) dengan sarana promosi lainnya, seperti: iklan (brosur, majalah), promosi
61
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
penjualan, publisitas, dan penjualan pribadi. Dengan keterbatasan dana dan waktu , maka untuk itu hanya akan diteliti tentang penggunaan website pada hotel yang beroperasi di kawasan wisata Ubud sebagai subyek penelitian dalam rangka melihat efektivitas penggunaaan website sebagai sarana promosi apabila dibandingkan dengan jenis sarana promosi lainnya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas penggunaan website sebagai sarana promosi, jika dibandingkan dengan efektivitas sarana promosi lainnya (non website) pada hotel yang ada di kawasan pariwisata Ubud. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan website sebagai sarana promosi, jika dibandingkan dengan efektivitas sarana promosi lainnya (non website) pada hotel yang ada di kawasan pariwisata Ubud. II.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian sampling yang akan dilakukan pada wisatawan yang menginap di hotel yang ada di kawasan wisata Ubud yang telah menggunakan website dan mulai dilakukan dari bulan April sampai bulan September 2008. Penentuan ukuran sampel dalam penelitian ini berdasarkan “Quota Sampling”, yaitu pengambilan sampel dengan jumlah jatah tertentu tiap kelas hotel. Sedangkan untuk pengambilan sampel wisatawan sebagai responden dengan menggunakan “Accidental Sampling”, yaitu teknik pengambilan sampel secara kebetulan (Slovin Umar, 1997). Ukuran sampel diambil sebanyak 10 (sepuluh) sampel dari 5 (lima) kelas hotel, sedangkan jumlah wisatawan yang diambil sebanyak 100 (seratus) orang. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dan menyebarkan angket kepada wisatawan. Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis efektivitas penggunaan website sebagai sarana promosi, jika dibandingkan dengan efektivitas sarana promosi lainnya (non website) digunakan “uji hipotesis perbedaan dua rata-rata (Uji-t)” (Sudjana, 1997:162) dengan rumus : tc =
X1 - X2 1 1 S + n1 n2
S=
( n1 - 1 )S12 + ( n2 - 1 ) S2 2 n 1 + n2 - 2
Keterangan : tc = t hitung t = t tabel X1 = Mean (rata-rata wisatawan yang mengetahui hotel melalui website) X2 = Mean (rata-rata wisatawan yang mengetahui hotel melalui non website) S1 = Standar deviasi wisatawan yang melalui website S2 = Standar deviasi wisatawan yang melalui non website S = Standar deviasi gabungan n1,2 = Jumlah sampel hotel sedangkan 1 menunjukan wisatawan yang melakukan reservasi melalui website dan 2 melalui non website
62
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Apabila tc ≤ t tabel berarti terima Ho, tolak Ha yang maksudnya penggunaan website sebagai sarana promosi belum efektif apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya. Apabila tc > t tabel berarti tolak Ho terima H1 yang artinya penggunaan website sebagai sarana promosi sudah efektif apabila dibandingkan dengan srana promosi lainnya. Dalam menentukan efektif tidaknya penggunaaan website sebagai sarana promosi dengan sarana non website dan antara kelas hotel dalam uji ini menggunakan L.O.S (Level Of Significance) 5 %. III.
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Jenis usaha hotel / akomudasi yang ada di kawasan wisata Ubud terdiri atas hotel bintang, hotel melati, dan pondok wisata. Dimana hotel berbintang hanya ada dua, yaitu bintang 5 dan bintang 3, sedangkan hotel melati terdiri dari tiga klas, yaitu: melati 3, melati 2 dan melati 1. Dalam menentukan efektivitas website sebagai sarana promosi, maka dalam penelitian ini hotel yang dijadikan subyek penelitian adalah hotel bintang dan melati. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 10 hotel, di mana masing-masing kelas hotel diambil dua hotel, yaitu: Four Season Resort dan Maya Ubud Resort merupakan hotel bintang 5, Begawan Giri Estate dan Amandari Resort merupakan hotel bintang 3, Pertiwi Resort dan Arma Resort merupakan hotel melati 3, Komaneka Resort dan Kori Ubud Resort merupakan hotel melati 2, Sahadewa Resort dan Fibra inn merupakan hotel melati 1. Sedangkan wisatawan yang dijadikan sample adalah wisatawan yang menginap di hotel yang bersangkutan, dimana untuk setiap hotel diambil sebanyak 10 wisatawan. Dalam mengukur efektivitas alat promosi dalam penelitian ini hanya dengan menanyakan khalayak (wisatawan) yang menginap pada hotel mengenai dari mana mereka mengetahui hotel tempat mereka menginap yang merupakan pengaruh langsung dari sarana promosi tersebut. Sedangkan berapa orang yang mereka beritahu kepada orang lain (keluarga dan teman) tentang keberadaan hotel dimana mereka menginap merupakan pengaruh tidak langsung. Dimana dari hasil penelitian terhadap wisatawan adalah sebagai berikut : Tabel 1 Secara Langsung (terpisah) Hotel No 1 2 3 4 5
Promosi Website Friend Advertisement Sales promotion Personala Selling Jumlah
B-5 9 5 9 0 3 26
B-3 11 4 8 2 0 25
M-3 13 10 1 1 2 27
M-2 7 2 9 1 4 23
M-1 11 2 4 3 4 24
Jml 51 23 31 7 13 125
% 40,80 18,40 24,80 5,60 10,40 100,00
63
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
(bergabung) Hotel No 1 2
B-5
Promosi Website Non website Jumlah
B-3
9 17 26
11 14 25
M-3 13 14 27
M-2
M-1
Jml
7 16 23
11 13 24
51 74 125
M-2
M-1
Jml
% 40,80 59,20 100,00
Tidak Langsung Hotel No 1 2
Promosi Website Non Website Jumlah
B-5 14 13 27
B-3 16 18 34
M-3 19 20 39
6 6 12
23 22 45
78 79 157
% 49,68 50,32 100,00
Data telah diolah Keterangan : B = Bintang; M = Melati Catatan : Jumlah jawaban tidak sama dengan jumlah sampel, karena setiap wisatawan memilih lebih dari satu jawaban.
Analisis Efektivitas Sarana Promosi Dalam menganalisis efektivitas website sebagai sarana promosi bagi usaha industri perhotel yang ada di kawasan wisata Ubud akan dilihat dari pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. a. Secara Langsung Dalam menganalisis sarana promosi website dengan sarana promosi lainnya secara langsung juga akan dilihat dari dua sisi, yaitu secara bergabung dan secara terpisah. Secara bergabung artinya bahwa sarana promosi lainnya digabung menjadi satu yang akan dibandingkan dengan sarana promosi website. Sedangkan secara terpisah artinya sarana promosi selain website dihitung masing-masing yang juga dibandingkan dengan sarana promosi website. Untuk menganalisis efektivitas website digunakan uji hipotetsis perbedaan dua rata-rata dengan menghitung besarnya nilai t (uji-t). Dalam menganalisis efektivitas penggunaan website dengan sarana promosi lainnya yang sifatnya bergabung menunjukan bahwa persentase antara website dengan non website besarnya 51 : 74 (tabel 1) atau 40,80 % dengan 59,20 %. Ini berarti website kurang efektif, apabila dibandingkan dengan non website. Setelah diuji dengan uji dua rata-rata diperoleh besarnya tc (t hitung) = -3,659564 (tabel 2). Sedangkan tα, n1 + n2 – 2, dimana dalam penelitian ini t0,05(8) = 1,86 (Tabel). Sehingga tc < tα, maka Ho diterima, artinya tidak ada perbedaan pengaruh penggunaan website dengan non website, yang maksudnya penggunaan website sebagai sarana promosi berpengaruh yang sama dengan sarana promosi non website. Dengan kata lain penggunaan website sebagai sarana promosi masih belum lebih efektif apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya (non website) yang sesuai dengan perbandingan tingkat persentase yang terjadi.
64
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Namun secara terpisah menunjukan perbandingan persentase rata-rata antara website, friend, advertisement, sales promotion dan personal selling adalah 51 : 23 : 31 : 7 : 13 atau 40,80 % ; 18,40 %; 24,80 %; 5,60 % dan 10,40 % (tabel 1), yang berarti penggunaan website sebagai sarana promosi lebih efektif dibandingkan dengan masingmasing sarana promosi lainnya. Setelah diuji dengan uji t antara website dengan adavertising dengan perbandingan 51 : 31 yang merupakan perbandingan terbesar diperoleh besarnya tc = 2,803861 (Tabel 3). Sedangkan besarnya t tabel dengan ketentuan tα n1 + n2 –2 dalam penelitian t0,5 (5 +5) – 2 = t0,5 (8) =1,86, sehingga tc > t tabel, artinya ada perbedaan pengaruh penggunaan website dengan non website secara terpisah antara website dengan advertising, yang maksudnya penggunaan website sebagai sarana promosi lebih efektif dibandingkan dengan masing-masing sarana promosi lainnya (non website) bagi hotel yang beroperasi di kawasan wisata Ubud, dengan urutan website 51 poin, advertisement 31 poin, friend 23 poin, personal selling 13 poin, dan yang terakhir sales promotion 7 poin. Tabel 2 t-test: Two-Sample Assuming Equal Variances Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Web 10.2 5.2 5 3.95 0 8 -3.659564 0.003203 1.859548 0.006405 2.306006
Non Web 14.8 2.7 5
Tabel 3 t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Web 10.2 5.2 5 0 7 2.803861 0.013189 1.894578 0.026378 2.364623
Adver 5.2 10.7 5
b.
Secara Tidak Langsung Dalam menganalisis efektivitas penggunaan website yang sifatnya tidak langsung hanya dianalisis antara website dengan non website yang sifatnya bergabung, karena dalam kuesioner hanya dipisahkan penyebarannya yang mengenal hotel melalui website dengan non website. Dalam menganalisis efektivitas website dengan non website yang bersifat tidak langsung digunakan uji statistik yang berupa uji hipotesis dua rata-rata dengan uji-t. Berdasarkan data kuesioner diperoleh perbandingan antara
65
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
website dengan non website 78 berbanding 79 poin atau 49,68 % berbanding 50,32 % (Tabel 1). Ini berarti penggunaan website sebagai sarana promosi secara tidak langsung kurang efektif dibandingkan dengan sarana promosi non website, yang maksudnya penyebaran promosi oleh orang yang mengenal hotel melalui website kurang banyak dibandingkan dengan sarana promosi non website. Ini disebabkan karena promosi melalui website hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang mengenal komputerisasi dan orang yang memahami website kebanyakan sibuk, sehingga sedikit mempunyai waktu untuk bertemu dengan temannya.. Pengujian yang dilakukan menunjukan bahwa besarnya tc = -0,002455 (tabel 4). Sedangkan besarnya t tabel dengan ketentuan tα, n1 + n2 -2 , dimana dalam penelitian ini digunakan α = 5 % = 0,05 dan jumlah n1 = n2 = 5 , sehingga besarnya t0,05, 5 + 5 – 2 = t0,05 (8) = 1,86. Jadi tc < t tabel, maka Ho diterima, artinya tidak ada perbedaan pengaruh penggunaan website dengan non website secara tidak langsung, yang maksudnya penggunaan website sebagai sarana promosi yang bersifat tidak langsung berpengaruh sama dengan sarana promosi non website, walaupun secara persentase penggunaan website sebagai sarana promosi kurang efektif apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya (non website). Berdasarkan hasil analisis di atas secara keseluruhan menunjukan bahwa efektivitas penggunaan website sebagai sarana promosi apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya secara bergabung belum lebih efektif baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Namun secara terpisah sudah menunjukan bahwa penggunaan website sebagai sarana promosi lebih efektif apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya. Secara rasional penggunaan website sebagai sarana promosi lebih efektif apabila dibandingkan dengan masing-masing sarana promosi lainnya, karena lebih tepat membandingkan antara website dengan masing-masing sarana promosi lainnya secara terpisah. Tabel 4 t-test: Two-Sample Assuming Equal Variances Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Web 15.6 40.3 5 41 0 8 -0.002454 0.461874 1.859548 0.923749 2.306006
Non Web 15.8 41.2 5
IV.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan website sebagai sarana promosi: a) Secara langsung penggunaan website belum efektif apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya yang bersifat bergabung. Namun secara terpisah menunjukkan bahwa penggunaan website lebih efektif secara signifikan apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya. b) Secara tidak langsung penggunaan website belum efektif apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya. Melihat efektivitas penggunaan website secara tidak langsung
66
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
yang menunjukan belum efektif apabila dibandingkan dengan sarana promosi lainnya, Untuk itu disarankan jangan sampai pihak industri perhotelan yang ada di kawasan wisata Ubud tidak menggunakan website lagi dalam memasarkan hotel kepada sumber wisatawan, karena fungsi website bersifat ganda, yaitu sebagai sarana promosi dan sebagai sarana reservasi KEPUSTAKAAN Bowen,J.,Kolter,P.,Makens,J., 1999, Marketing for Hospitality and Tourism, Prentice Hall, Inc.2nd.Edition. Fakhri, Husein Muhammad , Wibowo Amin, 2002, Sistem Informasi Manajemen, Edisi Revisi, UPP AMP YKON, Yogyakarta. Handoko, T. Hani, 1992, Manajemen, Ed. II, BPFE, Yogyakarta Kolter, P., 2000, “Management Marketing – The Millennium Edition”, Prentice–Hall, Inc International Edition. Sudjana, 1997, Statistika II, Edisi Baru , Tarsito, Bandung. Sugiarto, E. dan Sri Sulartiningrum, 1998, Pengantar akomudasi dan Perhotelan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Umar, Husein, 1997, Metode Riset Ilmu Administrasi Negara, Pembangunan, dan Niaga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
67
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
SIMBIOSIS KEPARIWISATAAN, LINGKUNGAN HIDUP DAN KONSERVASI BUDAYA DI INDONESIA Ida Bagus Ketut Astina
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract In its development tourism as one of human being mobility aspects has close relationship with human cultures and environment. The interaction that shows within tourist and destination might cause stimulation which can influence amongst those components. This process might have effect on the changes of culture attitude or society life aspect and environment. To minimize this problem it is necessary to create symbioses and melting pot between tourism, environment and cultural conservation toward society prosperity. Keywords: tourism symbioses, environment and cultural conservation. I.
PENDAHULUAN Dalam situasi kerusakan lingkungan global yang ditandai dengan menipisnya lapisan ozon, hujan asam, pemanasan global, menipisnya keanekaragaman hayati serta kondisi perubahan iklim yang ekstrem dapat dijadikan indikator peringatan dini akan pentingnya menjaga dan memperhatikan aspek lingkungan hidup dalam pembangunan. Demikian pula dengan adanya ancaman krisis perekonmian global, beberapa negara dunia mulai melakukan efesiensi serta mencari sumber–sumber perekonomian yang mampu menghasilkan devisa serta mempercepat proses pulihnya negara bangsa terhindar dari krisis ekonomi global. Sejalan dengan hal tersebut Indonesia sebagai negara bangsa juga terhimbas dari terpaan krisis ekonomi global, banyak hal yang sudah dan sedang dilakukan dengan menggali sumber–sumber keekonomian termasuk menekuni sektor pariwisata sebagai andalan, harapan dan primadona setelah sektor migas. Memang beralasan pemerintah memberi perhatian pada sektor pariwisata sebab prospek yang ditunjukkan sektor ini cukup menjanjikan dan mampu memberikan tambahan devisa. Kepariwisataan dilihat dari aspek ekonomi membawa dampak positif terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia serta membuka lapangan kerja. Namun disisi lain perlu diwaspadai dampak negatif atau kekhawatiran akan pencemaran terhadap aspek sosial budaya (pranata dan nilai budaya masyarakat), pencemaran lingkungan, penyebaran penyakit, penggunaan obat terlarang, tindak kejahatan, pelacuran, perjudian dan sebagainya. Hal tersebut terjadi sebagai akibat interaksi antara wisatawan dengan kepentingan ekonomi masyarakat setempat. Kepariwisataan jika ingin tetap ajeg, sukses dan berkelanjutan hendaklah berupaya dan berusaha mempertahankan apa yang telah dimiliki dan menjadi daya tarik wisatawan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemandangan alam dan peninggalan sejarah sebagai warisan budaya bangsa merupakan aset daya tarik utama wisatawan datang berkunjung maka hal tersebut perlu mendapat perhatian dijaga
68
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
kelestariannya dari perusakan manusia yang tidak bertanggungjawab. Upaya pengamanan dan pelestarian lingkungan merupakan investasi nyata dari potensi kepariwisataan dan menumbuhkembangkan empati, rasa ikut memiliki dan bertanggungjawab dikalangan masyarakat dan pelaku usaha pariwisata. Terutama sekali bagi perencana pembangunan kawasan suatu objek wisata direncanakan secara matang dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan warisan budaya bangsa (Manuaba,1989; Ramly, 2007). II. 2.1.
PEMBAHASAN Simbiosis Pariwisata Dengan Lingkungan Hidup Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan dan penciptaan diversifikasi kegiatan ekonomi masyarakat. Proses penciptaan diversifikasi bidang ekonomi hendaklah sejalan serta tidak merusak lingkungan hidup. Faktor lingkungan hidup sering dianggap sebagai penghambat pembangunan dan berlawanan arah. Menurut Soemarwoto (1991) alternatif yang diperlukan untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi (pariwisata) dengan lingkungan adalah konsep berkelanjutan (sustainable development). Brundtland mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Disadari bahwa lingkungan hidup merupakan suatu kebutuhan bagi semua makhluk yang hidup dimuka bumi dan yang paling besar memanfaatkan lingkungan hidup adalah manusia itu sendiri. Karena itu hendaklah lingkungan hidup dipelihara sebaik mungkin dan mencegah sekecil mungkin tindakan merusak lingkungan. Masalah lingkungan hidup telah ada sejak manusia muncul, hidup dimuka bumi, hanya saja akhir-akhir ini baru diperdebatkan banyak orang bahkan saling tuduh tentang timbulnya pengrusakan lingkungan hidup itu sendiri. Tuduhanpun dialamatkan pada bidang teknologi dan teknologi dianggap sebagai pisau bermata dua di satu sisi membawa dampak positif membawa kemudahan dan kesejahteraan manusia di sisi lain berekses negatif menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Semua masalah tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika ada tekad dan rasa tanggungjawab memperhitungkan dan merencanakan pembangunan suatu negara. Dalam hal ini pemerintah Indonesia telah memberi perhatian besar terhadap pelestarian lingkungan terutama dalam proses pembangunan dengan segala dampaknya. Bahkan secara kongkrit sebagai dasar pijakan dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup pemerintah menetapkan UU no.4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan hidup yang disempurnakan menjadi UU no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup. Substansi dari UU tersebut menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus berazaskan pelestarian lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menjaga pembangunan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan dan kesinambungan umat manusia. Dari dasar pijakan ini pemerintah mengambil langkah menyerukan dan mewajibkan semua perencanaan proyek pembangunan membuat analisis dampak lingkungan (amdal) dan menindak tegas proyek-proyek pembangunan yang dianggap melanggar atau merusak lingkungan (Ramly,2007). Sesungguhnya masalah lingkungan hidup lebih banyak dipengaruhi oleh perjalanan manusia, lewat pariwisata kemungkinan besar akan menambah pencemaran lingkungan hidup, apalagi pariwisata sebagai industri sedang digalakkan itu berarti berbagai proyek fisik akan dibangun. Karena itu jika hendak mengadakan pembenahan
69
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
dalam kepariwisataan maka haruslah melalaui kegiatan lingkungan hidup sebab pembangunan pariwisata terkait erat dengan pengelolaan lingkungan hidup (Yoeti, 1985). Pariwisata sebagai salah satu segi mobilitas manusia di dalam pengembangannya secara langsung maupun tidak terkait erat dan berhubungan dengan berbagai segi kehidupan manusia maupun lingkungan hidup. Terjadinya kontak atas interaksi antara wisatawan dengan tempat kunjungan wisata menimbulkan rangsangan saling mempengaruhi antara wisatawan dengan masyarakat dan lingkungan sebagai daerah tujuan wisata. Proses ini dapat menimbulkan suatu perubahan segi kehidupan sifat manusia maupun lingkungan hidup. Prubahan tersebut dapat mendorong pemeliharaan, pengembangan masyarakat dan lingkungan yang baik atau kontraproduktif. Perubahan tersebut dapat berpengaruh terhadap tata cara kehidupan dan mata pencaharian masyarakat. Sebagai contoh aspek hubungan pengembangan pariwisata terhadap lingkungan yang tidak terkendali adalah perubahan mata pencaharian masyarakat yang dahulu bertani setelah berkembangnya kepariwisataan berubah menjadi pengrajin (seniman). Dengan berpindahnya lapangan pekerjaan telah menelantarkan lahan pertaniannya. Adanya permintaan pesanan dan larisnya patung kayu (cendera mata) maupun bahan bangunan, maka orang akan tergiur menebang atau merusak hutan guna memenuhi bahan baku para pengrajin. Jika hal tersebut tidak dicegah maka resiko rusaknya hutan akan menimbulkan bahaya erosi, banjir, tanah longsor yang merusak lingkungan hidup. Menurut Dustin dan Mc Avoy pakar rekreasi dari Amerika Serikat mengatakan bahwa meskipun lingkungan disekitarnya mulai memburuk namun tetap saja suatu objek wisata ramai dikunjungi ribuan pengunjung. Bagi pengelola kepariwisataan hanya ada dua alternatif yang harus dipilih mana yang lebih penting kepuasan pengunjung atau terganggunya atau rusaknya lingkungan. Menurut pendapat kedua pakar tersebut alternatif pemecahannya adalah dengan jalan mendidik masyarakat merupakan jalan terbaik guna menanggulangi kerusakan lingkungan di daerah wisata. Anehnya terjadi kontradiksi dari alternatif tersebut dan justru kekeliruan tidakan dilakukan oleh kebanyakan orang-orang terdidik yang sering bertindak seenaknya. Sebagai contoh semua orang tidak senang melihat sampah berserakan di daerah tujuan wisata, kenyataannya banyak orang membuang sampah sembarangan walaupun sudah ada tanda larangan maupun penyediaan bak sampah. Ini merupakan suatu ego kemunafikan manusia yang menyatakan diri berkesadaran lingkungan dan sadar wisata. Hal tersebut merupakan contoh kecil saja bahkan pelanggaran lainnya lebih besar pun masih terus berlangsung. Mereka (investor) seolah-olah mencoba berspekulasi untunguntungan seperti pembangunan hotel,restoran yang tidak sesuai dengan amdal, ,membangun tanpa ijin, melanggar sempadan jalan, pantai, jalur hijau yang sesungguhnya sudah diatur pemerintah berdasarkan pembangunan berwawasan lingkungan. Investor semata-mata mengejar keuntungan belaka lupa akan masalah dasar yang perlu dijaga dan dilestarikan yang menjadi daya tarik pariwisata yakni keutuhan lingkungan. Karena itu kerjasama terpadu, peran serta masyarakat, pemerintah, pengelola yang berkecimpung dalam pariwisata hendaknya dilakukan pembinaan akan arti pentingnya lingkungan bermasyarakat dengan tata alam sekitarnya guna memperoleh keuntungan ekonomi menuju kesejahteraan hidup bersama (Darsoprajitno, 2002).
70
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Bagi pengelola kepariwisataan hendaknya sebagian dari hasil pendapatannya hendaknya disumbangkan untuk penyelamatan dan pelestarian lingkungan. Dengan cara ini pengelola telah berusaha menyelamatkan lingkungan sekaligus dirinya sendiri. Keterpaduan tersebut akhirnya bermuara pada kecintaan dan keserasian antara manusia dengan lingkungannya (terjadi simbiosis antara pariwisata dengan lingkungan hidup). 2.2.
Simbiosis Pariwisata Dengan Konservasi Budaya Pesimisme tentang perubahan sosial budaya sebagai akibat kegiatan keparwisataan selalu menghangat bahkan telah menjadi kajian ahli antropologi sejak dahulu. Dari perspektif antropologi pariwisata, perjalanan wisata yang banyak dilakukan keberbagai daerah tujuan wisata sering dianggap sebagai agen perubahan (agent of change) yang berpengaruh terhadap perubahan sosial budaya masyarakat. Proses interaksi antara tuan rumah dengan wisatawan merupakan proses akulturasi unsur-unsur kebudayaan asing secara perlahan akan masuk dan diterima serta diolah ke adalam kebudayaan masyarakat penerima tanpa menghilangkan ciri khas atau identitas kebudayaan sendiri (local genius). Jadi setiap masyarakat sudah memiliki daya saring (filterisasi) apa yang harus diambil dan apa yang harus ditolak (Irwan,1989). Namun sering pengaruh budaya asing yang dibawa wisatawan lebih dominan mempengaruhi masyarakat setempat sehingga dapat menimbulkan perubahan yang destruktif pada pranata dan nilai budaya masyarakat penerima wisatawan. Perubahan ini justru akan menghilangkan kebudayaan setempat apabila masyarakat setempat terlalu lemah dan selalu memenuhi selera wisatawan. Memang tidak dipungkiri hadirnya atau berkembangnya pariwisata akan terbentuk transformasi modernisasi. Munculnya wisatawan asing akan terjadi kontak komunikasi dengan penduduk setempat termasuk pengenalan pendidikan standar internasional, meningkatnya kelas menengah dan terciptanya mobilitas sosial. Orientasi pemikiran cenderung terbuka tidak menutup diri. Proses ini tidak sedikit menimbulkan ekses dalam menuju pertumbuhan. Untuk memenuhi selera wisatawan banyak hal yang menjadi korban seperti terancamnya kelestarian lingkungan hidup, hilangnya keaslian alam dengan berdirinya sarana akomodasi (hotel dan restoran) baik ditepi pantai maupun daerah perbukitan. Berkembanganya jaringan bisnis diperkotaan diiringi dengan pendirian pusat-pusat pertokoan, perkantoran, perbankan, pelebaran jalan yang justru dapat menghancurkan, meniadakan bangunan-bangunan bersejarah sebagai warisan budaya bangsa demi kemajuan pembangunan itu sendiri. Sering pula terjadi kanibalisme terhadap budaya asli semata-mata untuk kepentingan komersial (Kawilarang,1989). Pada saat ini yang menjadi ancaman kehidupan kelestarian seni budaya selain adanya arus urbanisasi juga pengarauh konsumtif yang sangat tinggi seperti kegiatan kepariwisataan dengan pagelaran seni budaya yang diprogram sesuai dengan pesanan selera wisatawan. Jika dikilas balik sebelum berkembangnya pariwisata, para pengarajin di desa- desa baik pematung, pengukir, pelukis mengerjakan karyanya sesuai dengan panggilan jiwanya dikaitkan dengan ritual keagamaan. Nilai artistiknya tetap terjaga sehingga hasil dari daya ciptanya memiliki taksu (inner power) . Namun setelah berkembangnya kepariwisataan karya para seniman telah berubah menjadi nilai jual keekonomian disesuaikan dengan selera dan permintaan wisatawan. Para pedagang tidak lagi memperhatikan mutu barang yang penting memperoleh untung besar. Di sini
71
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
telah terjadi komodifikasi perubahan daya kreasi dan selera pengrajin telah dikalahkan oleh pembeli sehingga mutu tidak menjadi masalah (Yoeti,1985). Bali merupakan daerah tujuan utama pariwisata bagian tengah dengan seni budaya yang tinggi sering menjadi sorotan bahkan pesimisme dari banyak kalangan. Bahkan Bali diprediksi akan menjadi Eropa kedua sebab sumber keasliannya telah memudar sulit ditemukan. Pasar tradisional telah digusur dengan pasar swalayan, tidak ada pemerataan pembangunan pariwisata,restoran dan hotel kebanyakan bukan lagi menjadi milik penduduk asli setempat (Susanto,1990). Parsudi Suparlan (1990) mengatakan kepariwisataan dapat menimbulkan polusi budaya. Polusi budaya merupakan hasil kebudayaan yang terwujud akibat interaksi antara wisatawan dengan kepentingan ekonomi penduduk setempat. Kenyataan polusi budaya dapat dilihat di Bali para pedagang acung (asongan) berani menawarkan barang dagangannya sampai menyentuh muka wisatawan sambil memaksa untuk membeli. Tindakan ini dapat dianggap kurang etis dan mengganggu pribadi wisatawan. Jadi di sini berarti bukan wisatawan saja yang dapat membuat polusi budaya tetapi masyarakat sendiri menciptakan dan mengotori budaya sendiri seperti kasus pedagang acung di Bali. Masih banyak sorotan tajam, kekhawatiran dan pesimisme tentang memudarnya seni budaya Bali sebagai akibat banyaknya wisatawan yang berkunjung, namun ada pula beberapa orang yang optimis bahwa benturan dua budaya berbeda yang terjadi di Bali tidak akan merusak Bali tetapi justru memperkaya dan melestarikan budaya Bali. Pernyataan tersebut diamini oleh Philip Mc. Kean yang mengadakan penelitian di Bali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat Bali masih mampu bertahan dari gempuran unsur-unsur budaya asing. Hal tersebut disebabkan teguhnya keyakinan orang Bali terhadap agamanya yang berimplikasi dengan adat dan budayanya sehingga tidak menyebabkan perubahan pranata dan nilai yang berarti. Jika terjadi komersialisasi di bidang seni, pengrajin ukiran, lukisan tidak melunturkan nilai-nilai budayanya. Orang Bali masih tetap menghargai seni yang menjadi bagian kehidupannya sehari-hari. Bahkan datangnya wisatawan ke Bali justru memotivasi orang bali untuk mengembangkan kebudayaannya (Bandem, 2006 dan Irwan, 1989). Bali tanpa memiliki adat istiadat dan budaya yang menyatu dengan agama keseluruhan ritus hidup orang Bali barangkali penilaian terhadap Bali akan lain dan tidak ada apa-apanya. Percuma saja memiliki potensi alam yang indah jika mental manusianya buruk maka tidak akan memberi tempat bagi tumbuh suburnya kepariwisataan (Kompas, 1991). Memang tidak semua daerah tujuan wisata seperti Bali, potensi yang dimiliki tidaklah kalah menarik misalnya daerah tujuan wisata Tana Toraja. Berdasarkan hasil penelitian Eric Crystal, kedatangan wisatawan ke Toraja justru membuat polusi budaya. Wisatawan yang ingin menyaksikan penguburan jenasah yang unik (rambu solo) dengan menghabiskan biaya besar dan bersifat sakral lama kelamaan mengarah komersial karena di desak oleh permintaan, pesanan wisatawan. Konsekuensi logis dari hal tersebut jelas telah memudarkan fungsi sosial budaya dari upacara tersebut. Dari dua kasus penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa setiap masyarakat memberi respon berbeda terhadap masuknya pariwisata sehingga hasilnya berbeda. Masing-masing masyarakat memiliki keunikan budaya sendiri dan dampak negatif yang muncul dari pariwisata tergantung dari masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan dinamika kehidupan, segala sesuatu pasti akan berubah, cepat atau lambat. Demikian pula tentang kebudayaan karena itu pemerintah perlu mengambil kebijakan agar perubahan sosial budaya dapat diminimalisir. Disinilah pentingnya peran pemerintah dalam
72
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
mensosialisasikan konsep konservasi budaya dala arti pelestarian sekaligus pengambangan budaya agar dapat memenuhi tuntutan pariwisata. Disadari bahwa tidak semua daerah tujuan wisata di Indonesia akan menjadi primadona seperti Bali. Karena tidak semua daerah tujuan wisata mampu mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan kedatangan wisatawan. Misalnya Kalimantan dengan suku dayaknya, Papua dengan suku daninya tidak mungkin dapat terbuka seperti Bali karena mereka baru secara bertahap mengenal kehidupan menetap, jika dilakukan pembinaan dan keterbukaan akan berproses lama. Jadi yang lebih penting dalam hubungan simbiosis antara pariwisata dengan konservasi budaya tidak hanya melihat sisi negatifnya saja,jika cermat dan mampu mengantisipasi, merencanakan secara matang, terpadu baik masyarakat, pemerintah dan investor (pelaku usaha pariwisata) maka pariwisata justru akan membawa berkah keberuntungan bagi kesejahteraan. III.
SIMPULAN Di dalam pengembangan dan pembangunan kepariwisataan hendaklnya diperhatikan aspek lingkungan hidup dan konservasi budaya. Karena daya tarik pariwisata cenderung terletak pada kualitas lingkungannya dan pelestarian budayanya. Jika hal ini tidak diperhatikan maka untuk sementara waktu memang dapat menarik jumlah kunjungan wisatawan dan pariwisata yang terlalu dieksploitasi akan dapat merusak lingkungan dan pencemaran budaya. Di sini kepariwisataan terkait hubung dan bersimbiosis dengan lingkungan hidup dan konservasi budaya. Di satu sisi hubungan simbiosis dapat bersifat negatif seperti perusakan, pencemaran lingkungan, polusi budaya, komersialisasi, komodifikasi seni budaya, pendangkalan kreasi serta mutu seni. Di sisi lain kepariwisataan yang direncanakan secara matang justru akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. KEPUSTAKAAN Bandem, I Made. 2006. ”Peranan Seni dan Budaya Dalam Pengembangan Pariwisata”, dalam Yoeti. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. Jakarta : PT Pradnya Paramita Dahlan, M. Alwi ”Pariwisata Lingkungan Hidup, Komunikasi” dalam harian umum Bali Post No. 286 tahun ke-38 Rabu 7 April 1987 Darsoprajitno, Soewarno. 2002. Ekologi Pariwisata tata laksana Pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata. Bandung : Angkasa. Irwan, M.H. ”Pariwisata dan Konservasi Budaya”, dalam harian umum Suara Pembaruan Tahun ke-II No.765, Jumat 7 April 1987. Kawilarang Harry. ”Perkembangan Pariwisata di Negara–negara Dunia Ketiga”, dalam Harian Umum Suara Pembaruan Tahun ke-III No. 810 Jumat 26 Mei 1989. Manuaba, A. ”Hubungan Simbiotik Kepariwisataan dan Lingkungan”, dalam Harian Umum Bali Post Rabu 22 Maret 1989. _________. “Pariwisata dan sentuhan Budaya”, dalam harian umum Kompas No. 193 Tahun ke-26 12 Januari 1991. Ramly, Nadjamuddin. 2007. Pariwisata Berwawasan Lingkungan Hidup, Belajar Dari Kawasan Wisata Ancol. Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu. Soemarwoto, Otto. “Interaksi Manusia dan Lingkungan”, dalam Prisma No.1 Januari 1991.
73
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Susanto, Astrid. “Bali Nyaris Jadi Black Pool”, dalam Majalah Management & Usahawan Indonesia No.12 Tahun XIX Desember 1990. Suparlan, Parsudi, ”Polusi Budaya Bukan Produk Wisatawan”, dalam Majalah Management & Usahawan indonesia No.12 Tahun XIX, Desember 1990. Yoeti, Oka.1985. Komersialisasi Seni Budaya dalam Pariwisata. Bandung : Angkasa.
74
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
PEMAHAMAN LINTAS BUDAYA DALAM PARIWISATA (PERBEDAAN BUDAYA BARAT DAN TIMUR) I Putu Sudana
[email protected] Dosen Fakultas Pariwisata Unud Abstract To understand the difference between the two cultures: West and East culture in communication context, there are some main schemes, as follows: 1. Thought patterns that influence reactions, impulses, and individual responses in communicating to another individual with different culture backgrounds, 2. Stereotype as a barrier factor in cross culture communication, 3.Ethnocentric is cultural egoism: uncontrollable assessment that affects communication, 4.Norms, traditions and values as behaviour principle and provide guidance for community to live their lives. Eastern people have fundamental difference to western people in the way they communicate. Eastern people well-known for their born hospitality, on the other hand western people’s hospitality is spontaneous and consistence. This condition has to be recognized for both parties for avoiding culture shock and miscommunication. Keywords : stereotype, ethnocentric, culture shock. I.
PENDAHULUAN Aktivitas dan mobilitas di era globalisasi telah mendorong terjadinya pertukaran budaya yang lebih intensif antar bangsa-bangsa, baik dilakukan dengan kemampuan dial direct lewat telepon, direct access lewat internet maupun direct contact lewat pertemuan-pertemuan. Orang-orang dari berbagai bangsa saling bertemu, saling bertukar tempat di berbagai negara yang menjadi pusat-pusat tujuan wisata dan pusatpusat perekonomian di dunia. Pertemuan dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda-beda tersebut tidak dapat dilakukan kalau diantara mereka tidak ada alat komunikasi yamg sama, yaitu bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi yang dapat mempertukarkan gagasan, ide-ide ternyata tidak cukup untuk menjadi syarat suksesnya tindak komunikasi. Bahasa sebagai alat pertukaran dalam berkumunikasi memang penting, tetapi sukses komunikasi lebih ditentukan oleh konteksnya. Dengan demikian bahasa sebagai pesan merupakan perantara sebuah transaksi sosial-ekonomi, budaya, dan politik, namun tidak dapat berdiri sendiri. Keberhasilan dalam berkomunikasi sangat erat dengan kredibilitas komunikator dan kontek sosial budaya yang melatar belakangi para pelaku komunikasi. Dalam pertukaran gagasan, barang dan jasa, peranan latar sosial budaya, memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap keberhasilan tindak komunikasi. Sebaliknya, latar sosial budaya juga menjadi hambatan-hambatan dalam tindak komunikasi. Oleh sebab itu, jika hambatan-hambatan tersebut dapat dieleminir dengan
75
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
cara membuat semacam panduan praktis mengenai berbagai budaya dan pola komunikasi setiap bangsa. Tujuannya jelas untuk mempermudah setiap pelaku komunikasi mengetahui secara lebih baik latar belakang sosial budaya komunikannya. Dalam dunia pariwisata, pemahaman komunikasi lintas budaya mutlak diperlukan, untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada wisatawan, dan mencegah timbulnya apa yang disebut dengan shock culture. Terkait dengan hal tersebut, melalui tulisan ini akan dipaparkan mengenai perbedaan antara budaya barat dan budaya timur yang melatar belakangi proses komunikasi yang dilakukan. Penulis lebih menekankan pada aspek bahasa verbal sebagai sarana komunikasi, dengan memberikan contoh-contoh kongkrit untuk memudahkan pemahaman. Melalui pemahaman tersebut diharapkan dapat diminimalkan misscomunication dan cultural shock dalam hubungan antar budaya. Pemahaman lebih dini terhadap komunikasi lintas budaya, menyebabkan kita dapat mengambil langkah-langkah antisipatif didalam mencegah terjadinya diantara kita dengan wisatawan. II.
TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi merupakan suatu proses sosial yang pada intinya merupakan suatu penyampaian pesan. Samovar dan Porter memberikan definisi komunikasi (Purwasito, 2003) sebagai berikut : “Communication is defined as two-way on going, behavior affecting process in which one person (a source) intentionally encodes and transmits a massage throught a channel to an intented audience (receiver) in oder to induce aparticular attitude or behavior”.
Komunikasi akan lengkap hanya bila penerima pesan yang dimaksud mempersepsi atau menyerap perilaku yang disandi, memberi makna kepadanya dan terpengaruh (to induce) olehnya. Dalam transaksi ini terdapat unsur-unsur stimuli baik sadar tidak sadar, sengaja tidak sengaja, verbal non verbal dan stimuli yang kontekstual untuk menentukan apakah berkualitas suatu tindak komunikasi dan bagaimana kredibilitas pesan. Artinya, agar komunikasi efektif, dibutuhkan beberapa unsur-unsur komunikasi yang terlibat didalamnya sebagai berikut: pertama adalah sumber (source) adalah orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi yang juga disebut nara sumber atau enkoder. Unsur kedua adalah penyandian (encoding), enkoding adalah proses internal dalam diri seseorang, dalam menuangkan gagasangagasan ke dalam gelombang suara atau ke atas selembar kertas, menjelmakan gagasan-gagasan tersebut ke dalam kode-kode atau lambang-lambang tertentu. Karena proses penyandian pesan (message) terdapat di dalamnya kode dan lambang-lambang, baik verbal dan atau nonverbal. Unsur ketiga adalah saluran komunikasi (channel) yaitu alat yang dipakai untuk mengalirkan pesan dari narasumber ke penerima. Unsur yang keempat adalah orang yang menerima pesan (receiver) atau dekoder. Unsur kelima adalah penyandian balik (decoding) adalah tindakan menerima pesan sebagai proses internal penerima dan pemberian makna kepada perilaku sumber yang mewakili perasaan dan pikiran nara sumber. Unsur komunikasi keenam yaitu respon (receiver response), adanya respon dianggap berasil bila penerima memaknai yang kurang lebih sama dengan apa yang dikehendaki nara sumber atau pencipta pesan. Unsur yang terakhir dari komunikasi adalah apa yang disebut dengan umpan balik (feedback), dimana nara sumber memberikan penilaian dan pertimbangan tentang apakah tindak
76
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
komunikasi yang dilakukannya berhasil efektif atau gagal. Umpan balik dapat diketahui lewat respon-responpenerima. Purwasito menyatakan bahwa istilah komunikasi lintas budaya sering digunakan oleh para ahli untuk menyebut makna komunikasi antarbudaya (cross-cultural). Perbedaannya barangkali terletak pada wilayah geografis (negara) atau dalam kontek rasial (bangsa). Tetapi juga untuk menyebut dan membandingkan suatu fenomena kebudayaan dengan fenomena kebudayaan yang lain, tanpa dibatasi oleh kontek geografis maupun ras atau etnik. Komunikasi lintas budaya didefinisikan sebagai analisis perbandingan yang memprioritaskan relativitas kegiatan kebudayaan. (a kind of comparative analysis which priorities the relativity of cultural activities). Adapun hubungannya dengan komunikasi multikultural, komunikasi lintas budaya pada umumnya lebih berfokus pada hubungan antar bangsa tanpa harus membentuk kultur baru sebagaimana terjadi dalam komunikasi multikultural. Pada dasarnya, kebudayaan yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat itu sangat unik. Bahasa, cara makan, cara berpakaian, cara bersopan santun, standar moral dari suatu komunitas, berbeda dengan komunitas yang lain. Perbedaan tersebut memang nanpak kontradiksi, namun kenyataan sejarah menunjukkan adanya sharing of culture yang dapat saling menerima dan saling mengerti perbedaan itu. (Purwasito, 2003). Beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka berfikir memahami kebudayaan dalam konteks komunikasi adalah pola-pola berfikir, stereotipe, etnosentrisme, norma, tradisi dan nilai dan sistem religi. III.
PEMBAHASAN Melihat kontras antara budaya barat dengan budaya timur, pada umumnya orang-orang berpendapat bahwa, budaya timur itu mementingkan kehidupan kerohanian, mistik, pikiran prelogis, keramah-tamahan secara lahiriah, gotong royong, tidak langsung (indirect), senioritas, dan lain-lain dimana terdapat norma-norma bagi seseorang untuk mengantisipasi sikap saling memahami perasaan, dan harapan. Berbeda dengan kebudayaan barat secara umum orang berpendapat bahwa mereka mementingkan kebendaan, pikiran logis, hubungan antar guna (hubungan hanya berdasarkan prinsip guna), dan individualisme dan bersifat langsung. Untuk mempermudah memahami perbedaan antara dua karakteristik budaya diatas, dan untuk mempermudah penulis dalam menganalisa keterkaitannya dalam konteks komunikasi, kontras kedua kebudayaan tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Kontras Kebudayaan Barat & Timur No Kebudayaan Timur 1 Bersifat tidak langsung (indirect) 2 Menjungjung sikap kebersamaan 3 Komunikasi fleksibel (kurang pasti) 4 Lebih menghargai senioritas 5 Keramahan lebih bersifat lahiriah Sumber : Diolah dari berbagai sumber (2008)
Kebudayaan Barat Bersifat langsung (direct) Sikap individual Komunikasi bersifat pasti dan tepat Senioritas tidak terlalu dipentingkan Sikap ramah keluar secara spontan
Berdasarkan tabel tersebut di atas, berikut akan diuraikan beberapa contoh ilustrasi komunikasi, yang dilatarbelakangi oleh dua budaya yang berbeda. Contoh 1,
77
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
komunikasi yang dilatarbelakangi oleh budaya barat dengan judul “The secret of my success” : Reporter asked asuccessful Bank Manager. Reporter:‘Sir, what is the secret of your success?’ Bank Manager: Two words’ Reporter:‘And what are they, Sir?’ Bank Manager:‘Right decisions’ Reporter ‘And how do you make right decisions?’ Bank Manager:‘One word…experience’ Reporter:‘And how do you get experience Sir?’ Bank Manager:‘Two words’ Reporter:‘What are they Sir?’ Bank Manager:‘Wrong decisions’ (Sutjiati Beratha, 2003:6). Contoh di atas menunjukkan wacana kebudayaan barat, yang bersifat langsung, dimana seorang manager bank dengan secara langsung (to the point) menjawab apa yang menjadi inti dari pertanyaan reporter, tanpa ada basa-basi. Hal ini akan sangat berbeda jika terjadi di budaya timur, dimana biasanya apabila menjawab pertanyaan akan didahului dengan cerita. Bahkan pada budaya tertentu di timur, sering dalam penyampaiannya lewat sindiran, seperti yang terjadi dalam contoh 2 yang dilatarbelakangi oleh budaya Minang sebagai berikut: “Kuciang ko lalok ka lalok se karajoe”, Ungkapan ini artinya “ Kucing ini tidur saja kerjanya”. Sindiran ini dimaksudkan agar menantu/suami mau berusaha atau mencari pekerjaan. Pada budaya Minang kucing sebagai simbul suami/menantu yang pemalas. Ini mengindikasikan bahwa pada budaya Minang, seorang mertua atau istri tidak akan secara langsung menyampaikan keinginannya agar menantu/suami mau berusaha atau bekerja. Keinginan untuk menyampaikan ini dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan menyindir. Ciri yang lain yang sangat menonjol dari budaya barat adalah sikap idividual yang tinggi, hal ini bisa kita lihat dalam kontek bahasa dimana kata “saya” dalam bahasa ingris selalu ditulis dengan huruf kapital “I”. Contoh yang lain dari budaya barat bahwa mereka sangat menjunjung tinggi sikap individunya. Mereka sangat tidak suka apabila mereka sedang berjalan ditanya dengan pertanyaan “Where are you going Sir/Madam?”, bisa jadi mereka akan menjawab dengan “ This is my bussiness”, ini berbeda dengan budaya Indonesia, dimana kalimat where are you going menunjukkan keramahan, karena sikap ini menunjukkan kita peduli kepadanya. Contoh berikut menunjukkan komunikasi budaya timur adalah fleksibel/kurang pasti dapat dilihat pada budaya orang Jepang, dimana pada saat berkomunikasi orang jepang sering menggunakan kata “demo”, “gurai”, contoh dalam kalimat sebagai berikut : Itsu-demo kekkoo-desu. ‘Kapanpun akan dikerjakan’ Doko-demo kekkoo-desu. ‘Dimanapun akan tidak masalah buat saya’ Mittsu-hodo/gurai/bakari kudasai. ‘Tolong berikan saya kira-kira tiga’ Eiga-demo mimashoo-ka? ‘Bagaimana kalau menonton film atau yang lain?
78
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Contoh tersebut di atas menunjukan orang Jepang (mewakili budaya timur) dalam berkomunikasi, terlebih dalam menentukan jumlah, waktu dan tempat sangat fleksibel, artinya tidak ditentukan secara tepat, demi menghormati lawan bicara bahwa hal tersebut tidak terlalu menjadi persoalan atau masalah yang mendasar saat pertemuan pertama kali. Namun ketika waktu sudah ditentukan melalui kesepakatan, maka orang Jepang baru akan menunjukkan kedisplinannya. Berbeda dengan budaya barat yang lebih menekankan kepastian dan tepat waktu (on time) di awal pertemuan. Selain hal tersebut di atas, hal prinsip yang juga menjadi ciri yang mendasar dari budaya timur dalam tindak komunikasi adalah lebih menghargai senioritas, karena orang timur beranggapan bahwa orang tua/sesepuh merupakan orang yang harus dihormati, “ kita ada karena mereka”, dan mereka memiliki pengalaman yang lebih. Sebagai contoh orang timur, misalnya orang Indonesia tidak akan menggunakan kata “kamu”, apabila berbicara dengan orang yang lebih tua, seperti halnya orang Amerika dan Inggris yang menggunakan kata “you”, walaupun yang diajak bicara adalah orang yang lebih tua. Terkait dengan dunia pariwisata, budaya timur pada umumnya sangat terkenal dengan keramahan masyarakatnya, walaupun keramahan tersebut didominasi oleh keramahan yang bersifat lahiriah. Tidak demikian halnya dengan budaya barat, yang keramahannya sungguh-sungguh datang secara spontan dan konsekwen. Sebagai contoh orang timur/Indonesia akan menjawab dengan kata “ya”, yang dalam bahasa inggris belum tentu berarti “yes”. Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh duta besar Amerika, Mr. Ralph L. Boyce di Surabaya, “ bahwa orang Amerika kadang-kadang menjadi jengkel bilamana rekan Indonesia bilang “ya”, padahal jawaban sesungguhnya adalah tidak. Asal Bapak Senang. Tetapi kami orang Amerika harus paham bahwa “ya”di Indonesia tidak selalu berarti “ya”, paling kurang, tidak berarti sama seperti “ya” di Amerika. Pernyataan Mr. Ralph L. Boyce menarik untuk disimak, karena dari pernyataan itu terlihat adanya kemauan dan keharusan sebagai seorang duta besar asing yang tinggal di Indonesia, untuk berusaha belajar dan memahami budaya asing/budaya Indonesia, guna memperlancar proses komunikasi yang dilakukan dalam menjalankan tugas-tugasnya di Indonesia. Dan ini sekaligus juga tantangan bagi kita, untuk belajar memahami budaya negara lain, seperti mereka mempelajari budaya kita. IV.
SIMPULAN Resiko hambatan proses komunikasi antara budaya barat dengan budaya timur disebabkan terutama karena pola-pola pikir yang berbeda. Dalam dunia kepariwisataan, dimana budaya merupakan salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Komunikasi lintas budaya baik yang bersifat regional, nasional maupun global pasti terjadi, karena suatu masyarakat yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda pasti akan bersentuhan. Sehingga pemahaman tentang hal ini perlu ditingkatkan, karena perkembangan pariwisata membutuhkan pengetahuan tentang cara berkomunikasi dan berinteraksi di dalam suatu masyarakat, sehingga komunikasi berjalan dengan lancar dan baik, untuk mencegah terjadinya misscommunication dan tidak terjadinya culture shock.
79
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
KEPUSTAKAAN Boyce L. Ralph. 2002. Pemahaman Lintas-Budaya A.S Indonesia. Siaran Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta : Muhamadiah Univ. Press. Sutjiati Beratha, NL. 2003. “Pariwisata dan Komunikasi Lintas Budaya”. Makalah Matrikulasi Karya Siswa Kajian Pariwisata. Program Pasca Sarjana Unud Denpasar. Wierzbicka, A. 1996. Cross Cultural Communication. Australia National University.
80
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
EKOWISATA HUTAN MANGROVE: WAHANA PELESTARIAN ALAM DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN Made Sudiarta
[email protected] Dosen Politeknik Negeri Bali Abstract The research is aimed at analyzing the ecotourism potencies which may be developed as ecotourism attractions and work sections owned by the Mangrove Information Center in giving environmental education to the society. Data are collected through field research using purposive sampling. The research shows that the Mangrove Information Center has many potencies to be developed as ecotourism attractions such as; varies of mangrove trees, birds, crabs, lizard, mangrove information building, monitoring pool, nursery area, touch pool, wooden trail, resting points, floating deck, and viewing towers. There are many kinds of tourist attractions offered at the mangrove forest ecotourism object such as; mangrove educational tour and trekking, bird watching, canoeing, boating, and mangrove tree plantation or adoption. In applying its programs, the Mangrove Information Center has six work sections such as; Environmental Education Section, Ecotourism Section, Training Section, Research Section, Information Section, and Management Section. Keywords: ecotourism, tourist attraction, and environmental education. I.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4.5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap hutan mangrove sangat sedikit juga, dibandingkan dengan hutan darat. Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006). Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan beberapa kebijakan yang diharapkan mampu menyelamatkan kekayaan alam berupa hutan tropis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu kebijakannya adalah mengenai upaya penyelamatan hutan mangrove. Sehingga pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center). Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama Internasional Pemerintah Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA).
81
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Tingginya biaya operasional proyek yang dilaksanakan di Mangrove Information Center (MIC) mengakibatkan terjadinya kekhawatiran terhadap kurangnya dana proyek dan pemeliharaan dan pelatihan hutan mangrove di Kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai khususnya di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) melahirkan ide dan terobosan baru yang diharapkan bisa membantu menutupi kekurangan dana tersebut. Ide cemerlang tersebut selanjutnya diimplementasikan dengan pengembangan obyek ekowisata di Kawasan Mangrove Information Center (MIC). II.
TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang mempunyai tujuan seiring dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika, memberikan manfaat sosial terhadap masyarakat guna memenuhi kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian kehidupan sosialbudaya, dan memberi peluang bagi generasi muda sekarang dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya. The International Ecotourism Society (2002) mendifinisikan ekowisata sebagai: Ecotourism is "responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of local people." Dari definisi tersebut, ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berbasiskan alam yang mana dalam kegiatannya sangat tergantung kepada alam, sehingga lingkungan, ekosistem, dan kerifan-kearifan lokal yang ada di dalamnya harus dilestarikan keberadaanya (www.worldtoirism.org.omt/ecotourism). Drumm (2002) menyatakan bahwa dalam pengembangan ekowisata harus memiliki dampak yang rendah terhadap sumber daya alam yang dijadikan sebagai obyek wisata, melibatkan stakeholders (perorangan, masyarakat, eco-tourists, tour operator dan institusi pemerintah maupun non pemerintah) dalam tahap perencanaan, pembangunan, penerapan dan pengawasan, menghormati budaya-budaya dan tradisitradisi local, menghasilkan pendapatan yang pantas dan berkelanjutan bagi para masyarakat lokal, stakeholders dan tour operator local, menghasilkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata dan mendidik para stakeholders mengenai peranannya dalam pelestarian alam. Menurut Wood (2002), setiap pengelola ekowisata wajib menerapkan dan mematuhi prinsip-prinsip dasar pengembangan ekowisata. Selain itu, pengelola ekowisata juga disarankan secara optimal untuk melakukan hal-hal seperti ; memberikan informasi tentang lingkungan dan budaya yang akan dikunjungi sebelum keberangkatan, memberikan panduan informasi tertulis mengenai pakaian yang harus dipakai dan hal-hal yang boleh dilakukan dan mengingatkannya kembali secara lisan pada saat keberangkatan dan berwisata, memberikan pra-informasi secara singkat kepada wisatawan sebelum kedatangannya tentang geografi destinasi, karakteristik sosial dan politik destinasi, begitu juga tantangan-tantangan yang berhubungan dengan alam, sosial-budaya dan politik, memberikan pelayanan dan pemanduan yang menyeluruh dengan menggunakan pramu wisata yang memiliki pengetahuan dan keahlian khusus, memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai kehidupan sosial-budayanya, men-stimulus pengembangan pemahaman baik kehidupan sehari-hari masyarakat dan tradisinya maupun isu-isu terkini yang muncul sehubungan dengan pengembangan ekowisata yang selanjutnya didiskusikan secara bersama untuk
82
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
menghindari konflik kepentingan di antara para stakeholders, memberikan kesempatan kepada lembaga swadaya masyarakat lokal untuk berpartisipasi dan memberikan kontribusi pembangunan ekowisata, menjamin bahwa semua biaya masuk ke obyek ekowisata dikelola secara transparan dan accountable dan menyediakan akomodasi yang ramah lingkungan. Perubahan paradigma wisatawan untuk “back to nature” mendorong prospek pengembangan obyek-obyek ekowisata atau yang lebih lazim disebut ecotourist sangat potensial. Peran serta wisatawan mencari pengalaman ke obyek-obyek yang memberikan kesempatan untuk lebih dekat dan secara langsung berinteraksi dengan alam dan kehidupan sosial budaya menjadi semakin terbuka lebar. Hal ini dapat dilakukan dengan perencanaan, pemetaan kawasan dan pengeluaran kebijakan yang mampu melidungi kekayaan alam dan budaya yang bisa dijadikan sebagai obyek dan daya tarik ekowisata. III. 3.1.
PEMBAHASAN Potensi dan Fasilitas Pendukung Kegiatan Ekowisata Hutan Mangrove Potensi dan fasilitas yang dimiliki oleh obyek ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) dapat dibedakan menjadi dua jenis yang ditawarkan kepada wisatawan (buatan maupun alam). Jenis pertama adalah ; Gedung Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center (MIC) Building), Kolam Monitor (Monitoring Pool), Areal Persemaian (Nursery Area), Kolam Sentuh (Touch Pool), Jembatan Kayu (Wooden Trail), Pondok Peristirahatan (Resting Hut), Geladak Terapung (Floating Deck), Menara Pandang (Viewing Tower), Produk-Produk Ekowisata Hutan Mangrove, dan Mangrove Educational Tour and Trekking. Jenis kedua merupakan potensi dan fasilitas pendukung lainnya, seperti; Bird Watching, Fishing, Canoeing, Boating dan Mangrove Tree Plantation or Adoption. Kedua jenis program tersebut memiliki ciri khas untuk dapat menarik perhatian wisatawan. Untuk mewujudkan ekowisata sebagai pelestari lingkungan dan pengembangan daya tarik wisata, pihak pengelola MIC berusaha menerapkan sistem pengelolaan terstruktur dan diharapkan dapat menjalankan fungsinya secara tepat. Sehingga keberlangsungan ekowisata dapat terlaksana dengan efesien dan efektif. 3.2.
Seksi & Sistem Kerja Pendidikan Lingkungan di Objek Ekowisata Hutan Mangrove Dalam menjalankan programnya, Mangrove Information Center (MIC) membagi ruang lingkup kerjanya menjadi enam seksi kerja yaitu; Seksi Pendidikan Lingkungan, Seksi Ekowisata, Seksi Pelatihan, Seksi Penelitian, Seksi Informasi, dan Seksi Manajemen. Tujuan pembagian seksi kerja ini adalah untuk mengoptimalkan kinerja dan meningkatkan profesionalisme serta mempertajam kompetensi sumber daya manusia yang bekerja di Mangrove Information Center (MIC). Berikut ini adalah penjelasan mengenai masing-masing seksi kerja berdasarkan fungsi dan ruang lingkup kerjanya.
3.2.1. Seksi Pendidikan Lingkungan Seksi Pendidikan Lingkungan berfungsi untuk menyebarluaskan informasi tentang lingkungan hidup khususnya ekosistem mangrove kepada masyarakat, baik kalangan sekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi maupun kalangan umum seperti masyarakat dan wisatawan; meningkatkan kepedulian
83
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
masyarakat terhadap pelestarian lingkungan; dan merubah perilaku masyarakat untuk ikut serta menjaga dan melestarikan lingkungan khususnya ekosistem mangrove. Bentuk pendidikan lingkungan yang diberikan bersifat informal berupa events. Events tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu; event regular dan event non reguler. Event regular yang sering disebut sebagai class in the field yaitu menerima tamu yang berasal dari sekolah dan travel agent dengan memberikan presentasi tentang mangrove di dalam ruangan untuk mendapatkan informasi awal atau gambaran umum tentang mangrove kemudian diajak ke lapangan. Intinya belajar tentang mangrove di lapangan untuk dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan dan ekosistemnya. Slogan pendidikan yang diterapkan adalah “tak kenal maka tak sayang”. Pelayanan informasi dan pendidikan lingkungan diberikan secara gratis kepada semua masyarakat selama hari kerja (Senin sampai Jumat). Sedangkan di luar hari kerja dikenakan biaya sebesar Rp. 1.500 bagi siswa-siswi taman kanak-kanak sampai sekolah menengah pertama dan Rp. 2.000 bagi siswa-siswi sekolah menengah atas, mahasiswa, dan masyarakat umum. Mangrove Information Center (MIC) juga memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat lokal khususnya di Desa Pemogan dengan cara memberikan presentasi tentang cara pembuangan dan pengelolaan sampah sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan di lingkungannya khususnya di Kawasan Mangrove Information Center (MIC). Staf yang bertugas dalam bidang pendidikan lingkungan berjumlah empat orang. Dalam pemberian pendidikan lingkungan, keempat staf ini secara bergantian memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun diharapkan di masa yang akan datang Mangrove Information Center (MIC) bisa merubah narasumber menjadi fasilitator yang bisa memfasilitasi dan menggugah masyarakat untuk perduli terhadap lingkungan. 3.2.2. Seksi Ekowisata Tingginya biasa operational proyek yang dilaksanakan di Mangrove Information Center (MIC) mengakibatkan terjadinya kekhawatiran terhadap kurangnya dana proyek dan pemeliharaan dan pelatihan hutan mangrove di kawasan Taman Hutan Raya khususnya di kawasan Mangrove Information Center (MIC) melahirkan ide dan terobosan baru yang diharapkan bisa membantu menutupi kekurangan dana tersebut. Ide cemerlang tersebut selanjutnya diimplementasikan dengan pengembangan obyek ekowisata di kawasan Mangrove Information Center (MIC). Produk-produk ekowisata yang ditawarkan di obyek ekowisata hutan mangrove di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) adalah pendidikan lingkungan dan lintas alam di sekitar mangrove (mangroveeductional tour and trekking), pengamatan burung (bird watching), bermain kano (canoeing), berlayar menggunakan perahu (boating), dan pengadopsian pohon mangrove (mangrove tree adoption). 3.2.3. Seksi Pelatihan Fungsi Seksi Pelatihan mendistribusikan kajian yang ditemukan pada periode 1992-2001. Ruang lingkup kerja Mangrove Information Center (MIC) adalah di seluruh Indonesia. Ada tiga jenis pelatihan yang diberikan Mangrove Information Center (MIC) yaitu; kursus berkala (regular course), pelatihan yang tempatnya berpindah-pindah (mobile training) dan pelatihan yang sesuai dengan permintaan (on demand training). Pelatihan regular dibedakan menjadi tiga jenis yaitu; (1) Course A, yang ditujukan
84
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
kepada staf Departemen dan Dinas Kehutanan, staf teknis kehutanan, dan lembaga swadaya masyarakat. Ada sembilan topik yang diberikan kepada para peserta Course A seperti; kebijakan dan aturan perundang-undangan, ekologi mangrove, pemanfaatan sumber daya mangrove, teknik rehabilitasi, tekhnik survei, pemberdayaan masyarakat, pengenalan jenis mangrove, Capita Selecta dan filed trip. Pelatihan ini sudah dilaksanakan lima belas kali atau angkatan; (2) Course B, yang ditujukan kepada pengambil kebijakan yaitu; gubernur, bupati, anggota DPRD, dan kepala Dinas Kehutanan. Topik yang diberikan kepada peserta Course B seperti; ekologi mangrove dan pengelolaan mangrove berkelanjutan. Pelatihan ini sudah dilakukan tiga kali atau angkatan; (3) Course C, yang ditujukan kepada guru dan informal leader seperti Lurah, Sekdes dan Ketua Kelompok Tani. Materi yang diberikan berhubungan dengan ekologi mangrove, pengenalan jenis mangrove, pemanfaatan sumber daya mangrove dan teknik rehabilitasi mangrove. Bentuk pelatihan lainnya yang diberikan oleh Mangrove Information Center (MIC) adalah on demand training, pelatihan ini ditawarkan untuk semua pihak dan instansi yang memerlukan pelatihan tentang mangrove seperti; travel agent, hotel, dan perusahaan atau industri yang di lingkungannya terdapat mangrove dengan memberikan materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. 3.2.4. Seksi Penelitian Fungsi Seksi Penelitian di Mangrove Information Center (MIC) adalah untuk menyediakan data-data ilmiah tentang dunia mangrove yaitu data tentang flora, fauna, dan ekologi mangrove. Penelitian yang sudah dilakukan masih bersekala kecil seperti survei dan pengumpulan data yang bertujuan intuk mengidentifikasi jenis-jenis flora dan fauna. Penelitian ilmiah yang sudah dilakukan di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) antara lain: pengukuran kadar garam dan pengukuran parameter pertumbuhan mangrove. Penelitian yang sudah dilakukan selama ini dilakukan sendiri oleh team dari Mangrove Information Center (MIC) tanpa melibatkan pihak-pihak lain seperti kalangan akademisi atau pusat-pusat penelitian lainnya. Frekuensi penelitian sangat tergantung dari dana yang tersedia, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian dilakukan hanya jika ada dana. Selama ini, penelitianpenelitian dibiayai oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Semua hasil penelitian selalu didokumentasikan dan beberapa di antaranya dipublikasikan dalam bentuk brosur, buletin dan buku. 3.2.5. Seksi Informasi Seksi Informasi berfungsi untuk penyebaran informasi tentang mangrove yang bertujuan untuk pengenalan, pengetahuan dan manfaat mangrove. Informasi yang diberikan mengenai persemaian, manajemen, dan data base mengenai flora dan fauna. Ada beberapa cara penyebaran informasi yang dilakukan oleh Mangrove Information Center (MIC) seperti penyebaran pamflet, talkshow melalui radio, televisi, dan pameran-pameran yang berbasiskan lingkungan hidup. Sumber daya manusia yang betugas di Mangrove Information Center (MIC) masih sangat kurang, sekarang ini hanya ada tiga orang staf yaitu seorang koordinator dan dua anggota. Kompetensi sumber daya manusia yang bertugas pada seksi ini cukup baik dan memiliki kemampuan yang rata-rata dan belum mencapai advanced.
85
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
3.2.6. Seksi Manajemen Seksi Manajemen berfungsi untuk mengorganisir dan mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh Mangrove Information Center (MIC) seperti; kegiatan pendidikan lingkungan, pelatihan, penelitian, penanaman mangrove, dan kegiatan ekowisata. Pembentukan Seksi Manajemen merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Mangrove Information Center (MIC) untuk menjamin setiap kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dan terkordinasi dengan baik dan merupakan upaya untuk menciptakan pelaksanaan kegiatan yang profosional dan akuntabel. Dengan pengelolaan yang baik dalam setiap kegiatan diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan semua pihak yang berkepentingan untuk terus bekerjasama dalam upaya pelestarian mangrove di seluruh Indonesia khususnya di Bali. IV. 4.1. 4.2.
SIMPULAN Mangrove Information Center (MIC) memiliki beberapa potensi alam asli dan buatan yang perlu dikembangkan lebih lanjut sebagai daya tarik dan atraksi ekowisata. Pengelolaan Mangrove Information Center (MIC) sudah memiliki peran dan fungís ideal dalam pengembangan ekowisata dengan berusaha memfokuskan kepada pelestarian dan keterlibatan seluruh komponen masyarakat termasuk wisatawan.
KEPUSTAKAAN Drumm, Andy and Alan Moore. 2002. Ecotourism Development. An Introduction to Ecotourism Planning. The Nature Conservancy. Arlington, Virginia, USA. France, Lesley. 1997. The Earthscan Reader in Sustainable Tourism. Earthscan Publication Ltd. UK. Khan, Maryam. 2003. Ecoserv. USA: Howard University. Sudarto, Gatot. 1999. Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. Wood, Megan Epler. 2002. Ecotourism: Principles, Practices and Policies for Sustainability. United Nation Publication. World Tourism Organization (WTO). 2002. Tourism and Poverty Alleviation. Spain. The Ecotravel Center (2002). dalam www.worldtoirism.org.omt/ecotorism2002.html
86
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
POTENSI WISATA KULINER KABUPATEN BANYUMAS Chusmeru Agoeng Noegroho
[email protected] Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Abstract This research title is The Potential of Banyumas Culinary Tourism. The aims of this research are to encourage the potential of Banyumas Culinary Tourism and to make the map of Banyumas potential culinary tourism. The method of this research is survey method, and purposive sampling technique for selection informant and some restaurant. The data collected by observation and documentation. The result of this research indicates that are many potential of culinary tourism in Banyumas residence that it has various and unique taste. The out put of this research is the map of Banyumas Culinary Tourism that can be used as guidance book of Banyumas Culinary Tourism by the visitors. Keywords: culinary tourism, banyumas, unique taste, guidance book. I.
PENDAHULUAN Tahun 2007 Dinas Pariwisata Kabupaten Banyumas mengupayakan recovery lokawisata Baturraden karena tragedi runtuhnya jembatan gantung di lokawisata tersebut yang menimbulkan banyak korban jiwa. Padahal Baturraden merupakan ikon pariwisata kabupaten Banyumas yang banyak menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Upaya ini juga sekaligus merupakan strategi untuk memperbaiki citra pariwisata sekaligus meningkatkan angka kunjungan wisatawan ke Banyumas. Salah satu upaya yang sangat potensial merangsang kunjungan wisatawan ke lokawisata Baturaden adalah pengembangan wisata kuliner. Diakui alasan wisatawan mengunjungi kabupaten Banyumas selain keindahan alam obyek dan daya tarik wisata (ODTW) juga karena adanya masakan khas atau kuliner Banyumas yang tidak dimiliki daerah lain di Jawa Tengah. Kuliner Banyumas ditandai dengan rasa makanan yang manis, asin, pedas, dan asem. Beberapa jenis kuliner Banyumas yang biasa diminati wisatawan domestik adalah Getuk Goreng Sokaraja, Kripik Tempe, Mendoan, Sroto Sokaraja, dan Soto Ayam Jalan Bank. Potensi wisata kuliner kabupaten Banyumas menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung, meskipun hanya transit. Survey awal yang dilakukan peneliti menunjukkan, bahwa para pengunjung yang datang ke kabupaten Banyumas menyatakan merasa belum benar-benar datang ke Banyumas sebelum menikmati makanan khas yang ada. Rombongan pengunjung dari Jakarta yang sedang melakukan
87
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
perjalanan menuju Yogya atau Surabaya, begitu pula sebaliknya, dari Surabaya menuju Jakarta dengan melewati Sokaraja senantiasa singgah. Para pengunjung juga membeli cinderamata khas kuliner Sokaraja, yaitu Getuk Goreng maupun Kripik Tempe. Penelitian ini merupakan dasar untuk mengetahui potensi yang sangat strategis bagi pemasaran ke luar kabupaten Banyumas, terutama tentang keanekaragaman jenis makanan atau kuliner yang mendorong wisatawan untuk berkunjung ke kabupaten Banyumas sambil menikmati kuliner yang ada. Untuk mencapai hal tersebut, pada tahap awal peneliti akan menginventarisasi semua jenis kuliner yang potensial, kemudian membuat peta (mapping) wisata kuliner yang dilengkapi lokasi dan nama kuliner khas kabupaten Banyumas. Selain itu akan dibuat pula buku panduan (guidance book) bagi wisatawan agar mendapat informasi yang lengkap tentang lokasi, nama, maupun harga beberapa makanan khas Banyumas. Peta dan buku panduan kuliner Banyumas tersebut sangat penting dan mendesak untuk dibuat, karena sampai saat ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) maupun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata belum mengeluarkan buku panduan serta peta wisata kuliner. Demikian pula website tentang kuliner Banyumas juga belum dimiliki. Diharapkan peta dan buku panduan dapat menjadi sarana promosi sekaligus pencitraan pariwisata kabupaten Banyumas. II.
TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan fenomena dan relasi yang timbul akibat interaksi antara antara wisatawan, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat dalam proses penciptaan daya tarik dan upaya menjamu wisatawan yang datang (McIntosh and Goeldner, 1986 : 4). Peran wisatawan dalam bisnis pariwisata sangatlah penting. Wisatawan adalah orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dari kunjungannya itu. Pariwisata dapat pula menjadi tuntutan hasrat seseorang untuk mengenal kebudayaan dan pola hidup bangsa lain, dan sebagai suatu upaya untuk mengerti mengapa bangsa lain itu berbeda. Pariwisata juga sering dijadikan jalan untuk menemukan kembali diri sendiri ketika berada pada lingkungan yang berbeda (Wahab, 2003 : 57). Industri pariwisata melibatkan banyak pihak di dalamnya yang saling terkait. Menurut Spillane (1994 : 30) ada 3 (tiga) pemain utama dalam industri pariwisata, yaitu : 1. Mereka yang mencari kepuasan atau kesejahteraan lewat perjalanan mereka, yaitu wisatawan (guest). 2. Mereka yang tinggal dan berdomisili dalam masyarakat yang menjadi tujuan wisata, yaitu penduduk setempat (host). 3. Mereka yang mempromosikan dan menjadi perantara dalam industri pariwisata, yaitu perantara bisnis (broker). Makanan khas suatu daerah atau kuliner tradisional menjadi salah satu daya tarik wisata yang saat ini dikemas dalam bentuk paket wisata kuliner. Kuliner, yang dalam bahasa Inggris disebut Culinary adalah sesuatu yang berhubungan dengan memasak atau dapur. Dalam literature Wikipedia disebutkan bahwa “ Culinary is defined as something related to, or connected with, cooking or kitchen “(hhtp ://en.wikipedia.org). Dalam perkembangannya, kuliner sering dikaitkan dengan masakan khas suatu daerah atau makanan yang memiliki keunikan dan citarasa tersendiri. Kuliner juga
88
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
mulai menjadi bagian dari paket wisata suatu daerah. Yogya dikenal dengan gudeg, Semarang memiliki makanan khas Lumpia, Surabaya terkenal dengan Rujak Cingur, Bali mempunyai masakan khas Plecing dan Ayam Betutu. Kabupaten Banyumas juga memiliki makanan khas yang unik dan banyak disukai wisatawan atau pengunjung. III. 3.1.
PEMBAHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian Wilayah Kabupaten Banyumas terletak di sebelah Barat Daya & merupakan bagian dari Propinsi Jawa Tengah. Terletak di antara garis Bujur Timur 108° 39' 17'' sampai 109° 27' 15'' & di antara garis Lintang Selatan 7° 15' 05'' sampai 7° 37' 10'' yang berarti berada di belahan selatan garis khatulistiwa. Batas-batas Kabupaten Banyumas adalah : 1. Sebelah Utara : Gunung Slamet, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang. 2. Sebelah Selatan : Kabupaten Cilacap 3. Sebelah Barat : Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes 4. Sebelah Timur : Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara Luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2 atau setara dengan 132.759,56 ha, dengan keadaan wilayah antara daratan & pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman & pekarangan, dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak dilereng Gunung Slamet sebelah selatan. Bumi & kekayaan Kabupaten Banyumas masih tergolong potensial karena terdapat pegunungan Slamet dengan ketinggian puncak dari permukaan air laut sekitar 3.400M & masih aktif. Keadaan cuaca & iklim di Kabupaten Banyumas karena tergolong di belahan selatan khatulistiwa masih memiliki iklim tropis basah. Demikian Juga karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari permukaan pantai/lautan maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak, namun dengan adanya dataran rendah yang seimbang dengan pantai selatan angin hampir nampak bersimpangan antara pegunungan dengan lembah dengan tekanan rata-rata antara 1.001 mbs, dengan suhu udara berkisar antara 21,4° C - 30,9° C.
89
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
Sumber : www.banyumaskab.go.id 3.2.
Peta Kuliner Banyumas Beberapa lokasi dan jenis makanan khas atau kuliner Banyumas dapat digambarkan dengan mengambil titik awal dari alun-alun kota Purwokerto, sebagai berikut : 1. Jalur A : dari alun-alun kota Purwokerto ke arah Barat belok ke kiri (sekitar 1 km), di Jalan Letjen Soetoyo atau dikenal dengan daerah Sawangan, terdapat toko / kios yang menjual jajanan khas Banyumas, seperti : kripik tempe, mendoan, dan nopia. Mendoan adalah jenis kuliner Banyumas yang khas, yaitu tempe tipis berbentuk segi empat, digoreng setengah matang dengan tepung, dan biasa disantap dengan cabai rawit atau sambal kecap. 2. Dari alun-alun ke Barat, belok ke kanan (1 km), memaskui Jalan R.A.Wiryaatmaja atau lebih dikenal dengan Jalan Bank, terdapat rumah makan yang menyediakan Soto yang khas kota Purwokerto, yaitu Soto Pak Sungeb atau Soto Jalan Bank. Kuliner ini setiap hari banyak didatangi pengunjung, baik dari masyarakat Banyumas maupun pengunjung dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, maupun luar Jawa. 3. Dari alun-alun kea rah Barat menuju luar kota (3 km, jalur Jakarta), terdapat Sate Kambing Banaran (hot plate). Kuliner Sate Banaran dikenal karena menyajikan daging kambing muda dengan cita rasa khas. Selain rumah makan yang menyediakan menu khas, terdapat juga rumah makan Logawa dan restoran Tip Top yang menyediakan masakan gurame pecak, goreng dan bakar. 4. Jalur B : dari alun-alun Purwokerto ke Utara menuju Baturraden (10 – 14 km), di desa Rempoah terdapat Warung Ndeso yang menyajikan masakan khas pedesaan. Tidak jauh juga terdapat warung makan Ayam Tubrug, yaitu sajian ayam kampung goreng dengan lalapan sayuran khas Baturraden, seperti sayur pakis dan kangkung. 5. Jalur C : dari alun-alun Purwokerto ke arah Selatan, menuju Patikraja (5 km) dijumpai warung makan Gudril dengan menu sambal terasi, lalapan, dan ikan kecil-kecil atau biasa disebut lembutan yang diambil langsung dari sungai Serayu. Menuju jalur Bandung (10 km) terdapat rumah makan Margasana I yang menyajikan menu ayam kampung goreng empuk dan lalapan. Rumah makan ini
90
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
6.
7.
kerap menjadi tempat persinggahan bagi mereka yang melakukan perjalanan Jakarta / Bandung menuju Yogya / Surabaya. Jalur D : dari alun-alun Purwokerto menuju kota lama Banyumas (10 – 15 km), banyak terdapat rumah makan yang menyajikan Sroto Sokaraja yang memiliki cita rasa sangat khas Banyumas. Sokaraja juga dikenal dengan jajanan Getuk Goreng yang sering dijadikan buah tangan wisatawan yang dating ke Banyumas. Di desa Kaliori terdapat rumah makan Lik Tuti dengan menu ikan lembutan sungai Serayu. Uniknya, pengunjung menikmati ikan goreng dengan system timbangan, bukan dengan harga per porsi. Di kota lama Banyumas juga terdapat Bakmi Gareng dengan rasa manis, asin, dan gurih, serta Soto Sangka dengan bumbu alami tanpa penyedap rasa buatan. Ada pula Tahu Gecot atau kupat tahu dengan rasa khas Banyumas. Jalur E : adalah jalur lalu lintas menuju Yogyakarta, tepatnya di daerah Kemranjen (20 – 25 km dari Purwokerto) terdapat warung makan Bakmi Nyemek Bu Seto dan Bu Trimo yang menyajikan bakmi rebus dengan cita rasa khas. Ke arah Timur sedikit, di daerah kecamatan Tambak, terdapat banyak rumah makan Sate Bebek, dengan salah satu ikon Sate Bebek Pak Encus.
IV. SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan 1. Kabupaten Banyumas berada pada lokasi yang sangat strategis sebagai jalur perlintasan jalan menuju dan dari Surabaya, Yogya, Semarang, Bandung, dan Jakarta. 2. Selain obyek wisata Baturraden, kabupaten Banyumas juga memiliki beragam masakan dan jajanan tradisional atau kuliner khas Banyumas yang sangat diminati pengunjung dari luar daerah. Potensi kuliner tersebut layak untuk dijadikan bagian dari paket wisata kabupaten Banyumas. 3. Potensi wisata kuliner Banyumas dapat dipetakan menjadi 5 (lima) Jalur, yaitu Jalur A terdiri atas Kripik Tempe, Mendoan, Nopia, Soto Jalan Bank, Sate Banaran. Jalur B terdiri atas Warung Ndeso dan Ayam Tubrug. Jalur C, yaitu warung makan Gudril dan rumah makan Margasana I. Jalur D meliputi Sroto Sokaraja, Getuk Goreng, rumah makan Lik Tuti, Bakmi Gareng, Tahu Gecot, dan Soto Sangka. Jalur E, adalah Bakmi Nyemek Bu Seto dan Bu Trimo, serta Sate Bebek Pak Encus. 4.2. Saran 1. Perlu diperhatikan faktor kebersihan, penyajian, dan keramahtamahan bagi masakan dan jajanan khas Banyumas. 2. Perlu dibuat Website khusus tentang seluk beluk kuliner Banyumas. 3. Optimalisasi promosi wisata kuliner Banyumas, baik melalui media massa maupun kerja sama dengan biro perjalanan wisata.
91
| Vol. 9 No. 1 Th. 2009
KEPUSTAKAAN Spillane, J. James. 1994. Pariwisata Indonesia. Yogyakarta : Kasisius. McIntosh, Robert W. and Charles R. Goeldner. 1986. Tourism, Principles, Practices, Philosophies. New York : John Wiley & Sons Inc. Wahab, Salah. 2003. Manajemen Kepariwisataan. Jakarta : Pradnya Paramita. hhtp ://en.wikipedia.org. hhtp ://www.banyumaskab.go.id.
92