PARALELISME DALAM NASKAH DRAMA ARDÈLE OU LA MARGUERITE DAN LA VALSE DES TORÉADORS KARYA JEAN ANOUILH
DISUSUN OLEH : FERDIAN SHENDY SAPUTRA 1805 1006 0010
JURUSAN SASTRA PERANCIS FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2012
ABSTRAK Jurnal yang berjudul “Paralelisme Dalam Naskah Drama Ardèle ou la Margurite dan La Valse des Toréadors karya Jean Anouilh” ini bersumber dari naskah-naskah pièces grinçantes karya Jean Anouilh yang berturut-turut diterbitkan pada tahun 1948 dan 1951. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengungkap paralelisme apa saja yang ada dan apa makna paralelisme dari kedua naskah tersebut. Keseluruhan tahapan analisis membuktikan adanya hubungan paralelisme dari kedua naskah dan menimbulkan interpretasi, bahwa naskah La Valse des Toréadors merupakan pengembangan dari naskah Ardèle ou la Marguerite.
3
I.
PENDAHULUAN Karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan, karena karya sastra bersifat
mimesis. Seringkali dalam sebuah karya sastra ditemukan cerita yang mirip dengan keadaan-keadaan dalam kehidupan nyata, sehingga karya sastra sangat erat kaitannya dengan pengalaman, situasi lingkungan ataupun kejadian-kejadian fenomenal pada masa di mana sang pengarang menjalani kehidupannya. Adanya sifat mimesis tersebut memungkinkan terdapatnya kesamaan ide dalam suatu karya sastra dengan karya sastra yang lainnya. Baik yang ditulis oleh seorang pengarang yang sama maupun berbeda, yang hal ini diduga bisa saja terjadi secara disengaja ataupun tidak. Sebagai pembaca, mau tidak mau kita mempunyai rasa penasaran terhadap kemiripan yang ada dari kedua karya yang berbeda tersebut. Uraian di atas menjadi alasan yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan analisis naskah drama berjudul Ardèle ou la Marguerite dan La Valse des Toréadors yang termasuk dalam pièces grinçantes karya Jean Anouilh. Ketertarikan penulis diawali dengan cara pengarang yang menyajikan dua tokoh yang mempunyai kemiripan situasi dan latar belakang sosial, sehingga selanjutnya muncul rasa penasaran akan korelasi apa yang mungkin terjadi antara kedua naskah tersebut. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam melakukan penelitian ini adalah melakukan observasi atau pengamatan dengan membaca dan mengidentifikasi data-data dari dua sumber data. Setelah data yang dibutuhkan dapat dikumpulkan, yaitu mengenai unsur-unsur serupa kedua karya tersebut, selanjutnya akan dilakukan analisis dengan menggunakan teori-teori khusus analisis karya drama, kemudian membandingkannya untuk mendapatkan kesimpulan yang akurat. Metode pendekatan yang akan digunakan dalam pembahasan karya sastra ini adalah metode struktural, yaitu pendekatan sastra yang bertujuan memaparkan hubungan unsur-unsur pembentuk karya sastra. Unsur-unsur pembentuk karya sastra itu adalah alur, latar dan tokoh. Teori yang dijadikan pegangan adalah teori alur dan tokoh yang bersumber pada pendapat A. J. Greimas dan Jakobson yang diadaptasikan ke dalam karya
drama oleh Anne Ubersfeld dalam bukunya yang berjudul Lire le théâtre (1978), sedangkan untuk menemukan sasaran komedi satir akan digunakan teori yang terdapat dalam Guides des idées littéraires (1988) oleh Henri Bénac. Langkah-langkah analisis terdiri dari analisis alur yang merupakan analisis sintagmatik untuk memperoleh bayangan pertama mengenai masalah. Kemudian analisis dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu analisis yang bertumpu pada tokoh melalui skema aktan untuk menemukan apa yang sebenarnya diinginkan oleh tokoh. Setelah itu dilakukan analisis ciri pembeda tokoh dan analisis ujaran. Analisis ciri pembeda tokoh digunakan untuk mengenal para tokoh dalam menghadirkan dan menghadapi konflik, sedangkan analisis ujaran dengan mengaplikasikan fungsi-fungsi bahasa, dipakai untuk menekankan semua unsur yang telah diperoleh dari analisis-analisis sebelumnya. Selanjutnya, penulis akan memilah apa saja paralelisme yang ada dari hasil analisis dan mencari makna paralelisme tersebut dari kedua naskah, sehingga nantinya dengan dibantu teori satir, maksud terselubung tindakan dan ujaran para tokoh akan terungkap dan dapat diperoleh suatu kesimpulan yang akurat. II.
PEMBAHASAN Analisis terhadap naskah Ardèle ou la Marguerite dan naskah La Valse des
Toréadors memperlihatkan adanya beberapa unsur yang memiliki kemiripan maupun perbedaan untuk mengungkap tujuan kajian jurnal ini, yaitu paralelisme apa saja yang terkandung dan makna paralelisme dua naskah tersebut. Paralelisme muncul dari alur dan tokoh yang termasuk di dalam kajian alur, yaitu : laju sekuen naratif, latar waktu, latar tempat dan latar sosial ; sedangkan di dalam kajian tokoh, yaitu : skema aktan, ciri pembeda dan ujaran. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan mengenai komposisi perbandingan apa saja yang ada dari hasil analisis alur dan tokoh. 2.1 Alur Secara eksplisit, naskah Ardèle ou la Marguerite hanya terbagi dalam satu sekuen besar, sedangkan naskah La Valse des Toréadors terbagi ke dalam lima sekuen besar. Setelah analisis dilakukan dengan memetakan seluruh adegan, maka
5
mulai terlihat apa saja paralelisme dari keduanya, yaitu mulai dari laju sekuen naratif sampai pada latar waktu, tempat dan sosial. 2.1.1 Laju Sekuen Naratif Berkaitan dengan laju sekuen naratif maka analisis menunjukkan, bahwa kedua teks dramatik Jean Anouilh tersebut memiliki sekuen naratif yang berbeda. Ardèle ou la Marguerite hanya terdiri dari satu sekuen besar yang kemudian dapat dibagi menjadi tiga sekuen menengah, sedangkan tumpuan masalah hanya berpusat pada tokoh Ardèle, adapun yang mengendalikan situasi adalah tokoh Léon (Sang Jendral). Tahap eksposisi (exposition) berawal dari permulaan naskah saat semua tokoh muncul di rumah Sang Jendral. Masalah yang dibahas adalah bagaimana usaha para tokoh untuk mengeluarkan tokoh Ardèle dari dalam kamarnya. Gawatan (préparation à la crise) terbilang cukup panjang, karena Krisis (la crise) memuncak hampir pada akhir naskah, yaitu ketika tokoh Ardèle dan kekasihnya bunuh diri di dalam kamar. Usaha untuk menuju akhir atau Leraian (préparation au dénouement) sangat singkat atau dapat dikatakan malah hampir tidak terlihat. Adegan bunuh diri bisa dibilang adalah cara penyelesaian masalah atau Selesaian (dénouement) bagi tokoh Ardèle dan menjadi momentum bagi tokoh Nathalie dalam membuat solusi, tetapi justru menjadi Krisis bagi keluarganya. Naskah berakhir tanpa adanya kejelasan mengenai lanjutan nasib atau tindakan para tokoh dan ditutup dengan adegan parodi rumah tangga yang dilakukan oleh dua tokoh anak-anak. Bila digambarkan dalam diagram, sekuen naratifnya akan terlihat seperti tampilan di bawah ini : krisis a(i)
a(ii) b(i)
b(ii) gawatan
eksposisi
leraian selesaian
Eksposisi di mulai dari permulaan lakon hingga kedatangan para tokoh anggota keluarga lain yang telah diundang tokoh Léon ke rumahnya. Pada saat ini pula, tokoh Ardèle mengurung diri di dalam kamarnya. Dia menolak menemui siapapun, karena tokoh Léon pernah melarang menemui kekasihnya. Garis a(i) menunjukkan proses pembujukan para tokoh untuk membujuk tokoh Ardèle keluar kamar. Gawatan yang terjadi tampaknya telah membuat tokoh Ardèle harus segera bertindak, sehingga ketika tokoh si Bungkuk dating, Ardèle memutuskan bunuh diri. Adegan bunuh diri tersebut adalah puncak Krisis bagi semuanya. Akan tetapi, Leraian para tokoh anggota keluarga hanya terlihat sebatas usaha memanggil dokter untuk menolong tokoh Ardèle yang diduga masih bernapas, sehingga garis Leraian terputus di atas tanpa adanya titik Selesaian. Garis a(ii) dianggap sebagai proses Leraian tokoh Ardèle yang sedang sekarat menuju Selesaian. Sementara itu, garis b(i) menunjukkan proses pertemuan tokoh Nathalie dan tokoh Nicolas. Kejadian bunuh diri tokoh Ardèle, menjadi puncak Krisis dari ketakutan tokoh Nathalie yang membuatnya tersadar dari keinginannya bersama tokoh Nicolas. Pada garis Leraian b(ii), dia harus mengambil keputusan untuk meninggalkan tokoh Nicolas sebagai solusinya. Lain halnya dengan naskah La Valse des Toréadors yang terdiri dari lima sekuen besar, tanpa adanya sekuen menengah. Pada naskah ini tumpuan masalah berpusat pada tokoh Sang Jendral, Léon. Eksposisi ditampilkan pada babak satu, masalah muncul untuk pertama kalinya saat kedatangan tokoh Ghislaine ke rumah Léon. Pada babak ini pula, semua tokoh dimunculkan sebagai perkenalan kepada pembaca naskah atau penonton pentas. Selanjutnya, terdapat dua Gawatan, dua titik Krisis dan dua Leraian yang terjadi pada naskah ini, seperti bisa dilihat dalam diagram di bawah ini : krisis I krisis II leraian I gawatan I
gawatan II leraian II
Eksposisi
selesaian
7
Adegan percobaan bunuh diri tokoh Amélie dan tokoh Ghislaine di babak dua menjadi titik Krisis pertama dalam naskah ini yang didasari pada Gawatan I, bahwa kedua wanita tersebut sudah merasa jenuh dengan tingkah laku tokoh Léon. Pada Krisis I terjadi kekeliruan yang membuat tokoh Léon harus segera menyelesaikannya, yaitu ketika tokoh Ghislaine menganggap tokoh Gaston adalah tokoh Léon dan memintanya berciuman. Leraian I bisa dilihat pada babak tiga hingga awal babak kelima, saat tokoh Léon berusaha meluruskan kembali keadaan yang sempat membingungkan dan mencoba menceraikan tokoh Amélie agar bisa pergi bersama tokoh Ghislaine, namun gagal. Selanjutnya, tokoh Léon harus menghadapi kenyataan, tokoh Ghislaine berpindah hati pada tokoh Gaston. Kegagalan dan kenyataan tersebut merupakan Gawatan II, sehingga menimbulkan titik Krisis II yang terdapat di babak terakhir, ketika tokoh Léon dan tokoh Gaston akan berduel. Kemudian pada tahap Leraian II, datang tokoh Pastor yang memberitakan status tokoh Gaston sebenarnya anak kandung tokoh Léon. Akhirnya sebagai Selesaian, tokoh Léon sebagai seorang ayah merelakan cintanya direbut oleh anak kandungnya sendiri dan kembali pada kebiasaannya menggoda wanita. Di sini tak ada lagi konflik yang terjadi, karena tokoh Léon bisa dengan damai melanjutkan kesenangan hidupnya. 2.1.2 Latar Waktu, Latar Tempat, dan Latar Sosial Berkaitan dengan latar waktu, tempat dan sosial, analisis menunjukkan adanya data yang memiliki kesamaan di dalam kedua naskah tersebut. Pertama, sepanjang naskah ini seluruh lakuan dan dialog terjadi hanya dalam satu hari di dalam rumah besar milik sang Jendral. Selanjutnya, latar sosial pada kedua naskah tersebut sama-sama ditunjukkan oleh latar belakang keluarga sang Jenderal yang merupakan keluarga borjuis dan terpandang di lingkungan masyarakat. 2.2 Tokoh Ujaran dan tingkah laku para tokoh di dalam naskah Ardèle ou la Marguerite dan La Valse des Toréadors dikemas dalam penokohan yang menggelikan. Sesuai dengan karakteristik pièces grinçantes karya Jean Anouilh,
tokoh-tokoh kedua naskah drama inipun sama-sama dibuat sedemikian rupa dalam gaya lakon yang bisa membuat tawa, namun sekaligus tersindir. 2.2.1 Tokoh Léon Berbicara mengenai pararelisme tokoh kedua naskah tersebut, terdapat kemiripan antara tokoh Léon I (Ardèle ou la Marguerite) dan tokoh Léon II (La Valse des Toréadors). Kemiripan tersebut dapat terlihat jelas dalam hasrat (karsa) paling mendasar, ciri-ciri fisik, sikap dan tingkah laku, serta sudut pandang dan pola pikir keduanya. Pertama, paralelisme bisa dilihat dari persamaan karsa yang sangat ingin dicapai oleh Léon I dan Léon II untuk dirinya sendiri. Karsa yang dimaksud adalah mempertahankan citra baik di mata masyarakat, yang didorong oleh kuatnya nilai-nilai dan aturan-aturan masyarakat yang berlaku. Adanya karsa yang kuat tersebut mengakibatkan kedua tokoh Léon tetap berusaha meraih objeknya, apapun dan bagaimanapun faktor rintangan dan faktor penolong yang ada. Selanjutnya, kesamaan dapat dilihat dari identitas, tanda-tanda fisik, dan mental kedua tokoh Léon. Persamaan yang ditunjukkan dalam kedua naskah tersebut adalah: nama, yaitu Léon Saintpé, jenis kelamin pria, umur empat puluh tahunan, kebangsaan prancis, seorang jendral, dari keluarga borjuis, suami dari tokoh Amélie, seorang ayah, mempunyai selingkuhan, tampan, gagah, berkumis indah, berjanggut indah, hebat di medan perang, hidung belang, penakluk wanita, perayu ulung, dan keduanya sudah tidak mencintai istrinya lagi. Tidak seluruhnya mirip, terdapat pula perbedaan antara kedua tokoh Léon. Hasil analisis menunjukkan hanya satu ciri yang membedakan, yaitu rincian keluarga yang dimiliki oleh kedua tokoh Léon, seperti Léon I yang memiliki tiga orang anak laki-laki dan dua saudara perempuan, sedangkan tokoh Léon II hanya diterangkan memiliki dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki. Selingkuhan yang mereka miliki pun berbeda, tokoh Léon I dengan tokoh Ada (sang pembantu) dan tokoh Léon II dengan tokoh Ghislaine sang kekasih masa lalunya. Kemudian, menyikapi sesuatu dalam membuat keputusan untuk bertindak, tokoh Léon I cenderung tidak mengambil tindakan selain hanya mendengarkan
9
pendapat dari para anggota keluarganya. Berbeda dengan tokoh Léon I, tokoh Léon II merespon sesuatu dengan berpikir untuk membuat pertimbangan sebelum benar-benar bertindak dan sedikit lebih berani mengambil resiko. 2.2.2 Tokoh Amélie Tokoh Amélie adalah tokoh ke dua yang mempunyai kemiripan dalam kedua naskah tersebut. Kemiripan yang terutama dapat terlihat pada karsa, ciriciri fisik, sikap, tingkah laku, sudut pandang, dan pola pikir. Hasil analisis menunjukkan, bahwa baik tokoh Amélie I (Ardèle ou la Marguerite) maupun tokoh Amélie II (La Valse des Toréadors), keduanya samasama sangat ingin mempertahankan keutuhan rumah tangga yang didorong oleh kurangnya kasih sayang yang mereka dapatkan dari suami mereka yang hidung belang. Salah satu faktor penolongnya sama-sama datang dari konvensi masyarakat, tentang sosok istri yang baik, yang membuatnya mampu bertahan sedemikian hebatnya dalam menghadapi tokoh Léon I dan tokoh Léon II. Secara fisik dan mental, kedua tokoh ini memiliki kesamaan : bernama Amélie, berjenis kelamin wanita, berkebangsaan prancis, berasal dari keluarga borjuis, bersuamikan seorang jendral yang bernama Léon, berstatus sebagai seorang ibu, bersuara nyaring, cerewet, penguping, dan sama-sama sedang sakit. Di dalam kedua naskah, tokoh Amélie selalu menjadi tokoh yang tertindas oleh suaminya sendiri. Mereka selalu dianggap rendah dan hina oleh suami mereka. Seperti halnya kedua tokoh Léon, terdapat perbedaan antara kedua tokoh Amélie. Perbedaan tersebut ditunjukkan dari sikap yang dilakukan kepada suami mereka. Amélie II cenderung lebih posesif dengan segala argumentasinya, yang hampir-hampir terdengar gila, sanggup menaklukan tokoh Léon II. Sementara itu, tokoh Amélie I hanya bisa melakukan pengintaian terhadap tokoh Léon I dan memanggilnya setiap lima belas menit sekali dari dalam kamarnya. 2.3.3 Tokoh-tokoh Antagonis Tokoh-tokoh berikutnya yang memiliki paralelisme adalah tokoh Ardèle dan tokoh Nathalie dari naskah Ardèle ou la Margurite, dan tokoh Ghislaine dari naskah La Valse des Toréadors. Mereka dikatakan tokoh antagonis, karena merekalah tokoh-tokoh yang mempunyai perlawanan terhadap belenggu
masyarakat. Walaupun ketiga tokoh wanita ini memiliki identitas dan ciri fisik/mental yang berbeda, serta beragam faktor penentang dan faktor penolong, mereka memiliki kesamaan karsa yang sangat ingin dicapai, yaitu kemurnian cinta. Tokoh Ardèle dengan cinta murninya kepada tokoh Si Bungkuk, tokoh Nathalie dengan cinta murninya yang mandiri, dan tokoh Ghislaine dengan cinta murni terhadap tokoh Léon yang berubah wujud menjadi tokoh Gaston. Selain itu, ketiganya adalah wanita berkebangsaan prancis dari generasi yang berbeda, tokoh Ardèle berusia empat puluh tahunan dan masih lajang, tokoh Nathalie yang sudah bersuami berusia dua puluh tahunan, dan tokoh Ghislaine berumur tiga puluh tahunan yang juga masih lajang. Tidak seperti tokoh Ardèle dan tokoh Ghislaine yang berasal dari keluarga terpandang, tokoh Nathalie hanya berasal dari keluarga kurang mampu. Sementara itu, selain paling tua, tokoh Ardèle juga memiliki punuk di punggungnya, namun ketiganya sama-sama merupakan sosok wanita yang tangguh secara mental. Melalui sudut pandang dan pola pikirnya masing-masing, mereka mampu menembus batas-batas konvensi masyarakat dalam mencapai karsanya. Tekanan dari keluarga membuat tokoh Ardèle terpaksa bunuh diri untuk tetap menjaga cintanya tetap murni, sedangkan tokoh Nathalie harus pergi meninggalkan kekasih yang sangat dicintainya agar dia tidak menjadi ‘‘busuk’’ seperti anggota keluarga lainnya. Pada naskah berikutnya, tokoh Ghislaine pada akhirnya mau mendobrak kesucian, yang sudah dijaga bertahun-tahun, demi mendapatkan cinta tokoh Gaston yang dianggapnya sebagai transformasi tokoh Léon dalam wujud muda. Mereka melakukan itu semua hanya untuk satu tujuan, yaitu cinta dengan nilai keluhuran yang sesungguhnya dan cinta yang memang sesuai dengan apa yang mereka impikan. 2.3 Makna Paralelisme Kedua Naskah Ada jarak tiga tahun antara naskah Ardèle ou la Margurite yang ditulis pada tahun 1948 dan naskah La Valse des Toréadors yang ditulis pada tahun 1951. Keduanya sama-sama membicarakan soal belenggu moralitas masyarakat yang tidak memberikan peluang bagi individu untuk hidup sesuai dengan karsanya.
11
Berdasarkan persamaan dan perbedaan yang ada, bisa dikatakan, bahwa naskah ke dua adalah jawaban atas segala keterbatasan dan kesederhanaan naskah pertama, baik dari segi alur ataupun segi penokohan. Naskah La Valse des Toréadors merupakan sebuah naskah yang dikembangkan jauh lebih dalam dari naskah Ardèle ou la Marguerite. Hal tersebut bisa dibuktikan pada naskah pertama, bunuh diri merupakan satu-satunya pilihan dalam melawan arus deras tuntutan moral masyarakat. Setiap individu sebenarnya tidak bisa atau tidak mau sepenuhnya tunduk pada nilai-nilai sosial, dan pada akhirnya, mereka menjadi nekat untuk bisa terbebas dari ikatan tersebut. Naskah berakhir dengan nada biasabiasa saja bagi tokoh lain, padahal tokoh Ardèle dan tokoh si Bungkuk bunuh diri. Tak ada reaksi signifikan yang menunjukkan kekhawatiran lain dari kejadian tersebut. Seolah-olah, bunuh diri adalah suatu kebetulan terbaik untuk menghilangkan skandal tokoh Ardèle bagi anggota keluarga yang memang sangat menentang mereka. Sementara itu, laju alur naskah ke dua lebih lengkap dan ada pola pikir serta tindakan yang lebih berkembang dalam diri para tokoh. Mereka semua lebih banyak menggunakan daya nalar sebelum bertindak, lebih mencari tahu sebabakibat dan cenderung berani ambil resiko. Belenggu dapat dihapus dengan cara masing-masing, walaupun status dan tampilan fisik masih menjadi fokus utama yang tetap dipuja dan dipertahankan. Kedua naskah tersebut sangat menunjukkan pula ciri khas Jean Anouilh dalam karya pieces grincantes-nya yang penuh dengan unsur satir. Kegetiran begitu terlihat dari penokohan yang memiliki ketumpangtindihan antara sikap/sifat/keinginan dengan aturan yang ada di dalam masyarakat. Misalnya saja, kedua tokoh Léon yang merupakan seorang jendral ahli berperang, gagah, jantan, bahkan seorang penakluk wanita bisa membuat kita tertawa atau tersenyum-senyum melihat bagaimana mereka membanggakan diri, tetapi sebenarnya tokoh-tokoh tersebut adalah sosok yang “lumpuh” di hadapan istri dan begitu tunduk tanpa perlawanan. Mereka juga harus bisa puas hanya dengan selingkuhan-selingkuhan murahan, itupun secara sembunyi-sembunyi, karena tidak mendapatkan lagi cinta dan gairah dari sang istri.
Selanjutnya, kedua tokoh Amélie sebagai istri-istri sang Jendral juga terlihat bangga mempertahankan diri selaku istri seumur hidup, meskipun habis “dibantai” suami. Kedua istri ini sudah sangat tidak sehat secara lahir dan batin, tetapi terpaksa menjalani ini semua demi dipandang baik oleh lingkungan sosial. Lalu, ketiga tokoh antagonis yang dianggap memiliki “kepribadian” juga menunjukkan adanya rasa miris. Tokoh Ardèle yang sedang dilanda asmara dan begitu berbinar-binar, harus nekat bunuh diri, karena cintanya menjadi “terlarang” akibat punuknya. Keanehan pun tampak dari tokoh Ghislaine. Rasanya sungguh ganjil, ada wanita bangsawan yang rela mempertahankan kesucian untuk tokoh Léon selama tujuh belas tahun, tetapi begitu pasrah dan bahagianya saat dicium oleh tokoh Gaston yang jauh lebih muda. Dia, bahkan membuat pembenaran, bahwa dirinya harus dianggap masih seorang wanita suci yang setia. III.
SIMPULAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada naskah drama karya Jean
Anouilh, yang berjudul Ardèle ou la Marguerite dan La Valse des Toréadors, dapat ditarik beberapa simpulan. Pertama, naskah-naskah tersebut menunjukkan ciri khas Jean Anouilh dalam pembagian karya-karyanya ke dalam genre yang dibuatnya sendiri, dalam hal ini adalah pièce grinçantes. Suatu karya satir yang sengaja dibuat untuk kritik sosial dengan cara membuat pembaca/penonton tersengat dalam tawanya. Sengatan akan kegetiran tentang sindiran tertentu dalam setiap lakuan dan ujaran yang dikemas sedemikian rupa, agar bisa menimbulkan tawa. Dari keseluruhan analisis, dapat dilihat penyampaian pengarang tentang kebobrokan tingkah laku manusia-manusia yang terbelenggu oleh nilai-nilai yang dianggap luhur di masyarakat. Naskah-naskah tersebut memperlihatkan perilaku dan sudut pandang keluarga borjuis (famille bourgeoise) yang secara filosofis menginginkan kebahagiaan yang mutlak, padahal pada hakekatnya, setiap individu memiliki rasa ingin bebas dari apapun dan memiliki kemauan yang berbeda-beda, walau terikat di dalam tatanan sosial oleh aturan-aturan masyarakat, terutama moral. Karena mereka merasa ingin bebas dari kekangan
13
aturan masyarakat, secara psikologis timbul gejolak dalam diri individu untuk bereaksi dan menemukan solusi secara individual. Aturan dan nilai yang berlaku di masyarakat memaksa setiap tokoh di dalam kedua naskah untuk bisa bertahan dan kemudian menimbulkan sebuah kemunafikan. Ada yang berpura-pura taat dengan bersikap baik di hadapan masyarakat, namun sebenarnya bertindak amoral secara terselubung, seperti tokoh Léon I dan II; ada yang memang benar-benar taat menjaga diri sesuai dengan nilai-nilai keluhuran yang ada, seperti tokoh Amélie I dan tokoh Amélie II, namun hasilnya membuat dia bisa menjadi gila; ada yang berontak untuk tetap mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya dengan mengikuti kata hati tanpa menghiraukan masyarakat, seperti tokoh Ardèle yang akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dan tokoh Nathalie yang juga berusaha menjadi independen yang penuh perhitungan; atau ada juga yang mengikuti arus dengan membuat pembenaran tentang suatu bentuk kesetiaan, seperti tokoh Ghislaine yang mencintai anak tokoh Léon, yaitu tokoh Gaston. Dengan demikian, terlihat setiap individu menjadi kebingungan dan tidak bisa menentukan segala sesuatunya sendiri. Banyak sekali larangan untuk berbuat ini dan itu, yang bila dilanggar akan membuat individu tersebut akan dikucilkan. Semua sangat bergantung pada apa yang dinilai masyarakat, bahkan kepercayaan kepada Tuhan telah dicampur aduk dan menabrak aturan-aturan itu, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi kabur batasannya. Masyarakat tidak lagi melihat kedalaman dari suatu masalah, karena hanya melihat tampilan saja. Justru keluhuran moral menjadi sangat sulit didapatkan. Kesulitan yang membuat para tokoh menjadi sangat menjijikan dengan bertindak kotor secara sembunyisembunyi. Paralelisme jelas sangat terlihat dari kedua naskahnya, baik dari segi pengaluran dan penokohan. Léon dan Amélie adalah dua nama tokoh yang terdapat di masing-masing naskah, yang memang terbukti memiliki kemiripan secara fisik, mental dan latar belakang identitas. Secara garis besar, dengan segala macam kemiripan dan beberapa perbedaan, ada sebuah kesatuan ide yang muncul tentang kuatnya pengaruh masyarakat terhadap individu dari mulai naskah
pertama yang dikemas lebih sederhana, yaitu Ardèle ou la Marguerite, sampai naskah berikutnya yang dikemas lebih dalam, yaitu La Valse des Toréadors. Dari simpulan-simpulan di atas, muncul pertanyaan, mengapa untuk mengangkat tema tersebut harus dibuat dua naskah yang memiliki kesamaan ? Naskah La Valse des Toréadors seolah-olah ingin menjawab penyelesaian persoalan pada naskah pertama yang memang dirasa belum berakhir dengan sempurna. Dalam naskah ke dua, yang dibuat tiga tahun setelahnya, konflik seperti disajikan sedemikian rupa secara lebih mendalam agar tokoh-tokohnya mau tidak mau harus menyelesaikannya dengan banyak pemikiran/pertimbangan. Kemudian, naskah-naskah tersebut juga seolah ingin menunjukkan pada pembaca/penonton segala macam solusi dan kemungkinan dalam menghadapi konflik di lingkungan sosial. Meskipun waktu terus berputar, ada satu problematika tentang nilai moralitas yang tetap membayangi. Masyarakat memiliki tata krama yang sangat sulit diikuti oleh anggotanya sendiri. Seharusnya, nilai-nilai tersebut bertujuan untuk membuat anggota masyarakat memiliki kualitas pribadi yang luhur. Batasan dan larangan dibuat untuk menghindari kebobrokan moral. Akan tetapi, justru nilai-nilai tersebut dianggap menjadi tali pengekang tak kasat mata bagi kebebasan individu dalam mencapai karsanya. Walaupun secara individual suatu nilai dapat dibenarkan, pada kenyataannya tidak dapat menang melawan nilai komunal/sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Anouilh, Jean. 1966a. Pièces Grinçantes : Ardéle ou La Marguerite. Paris : Éditions de La Table Ronde. _______ 1966b. Pièces Grinçantes : La Valse des Toréadors. Paris : Éditions de La Table Ronde. Bénac, Henri. 1988. Guide des idées littéraires. Paris : Hachette. Schmitt & Viala. 1982. Savoir lire. Paris: Didier. Schofer, P., D. Rice, dan W. Berg. 1973. Poèmes Pièces-Prose Introduction à l’analyse de textes littéraires français. New York: Oxford University Press. Ubersfeld, Anne. 1978. Lire le théâtre. Paris: Belin. Situs Web http://www.alalettre.com/anouilh.php (diakses tanggal 20 februari 2011) http://www.libriszone.com/lib/biblio/auteurs/anouilh.htm
(diakses
tanggal 13
februari 2011) http://dunlivrelautre.over-blog.org/article-5767217.html (diakses 16 april 2011) http://masri-sareb.blogspot.com/2010/04/story-telling-sebagai-dasar-tulisan.html? zx=18ff92bf0cfd39bf (diakses tanggal 20 mei 2012) http://www.lutte-ouvriere.org/documents/archives/cercle-leon-trotsky-62/lagrande-bourgeoisie-en-france?lang=fr (diakses tanggal 08 juni 2012)