LEX HUMANA Jurnal Hukum dan Humaniora Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016; 69-79
p-ISSN: 2460-5689 e-ISSN: 2460-5859
PARADIGMA BARU DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA H. Husni Thamrin. Dosen Fakultas Hukum Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong Abstrak Pelayanan publik merupakan salah satu kewajiban negara kepada rakyat. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan publik sebagai kompensasi telah melaksanakan kewajiban kepada negara. Pelayanan publik diberikan dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Pelayanan publik dengan model dan paradigma baru diberikan dengan memperhatikan asas keadilan, yakni setiap orang yang membutuhkan pelayanan publik diberikan pelayanan yang baik dan adil sesuai hak penerima layanan. Pelayanan publik harus diberikan secara non diskriminatif artinya masyarakat penerima layanan diperlakukan sama. Hubungan antara pemberi layanan dengan penerima layanan bersifat inpersonal, yaitu hubungan yang tidak didasarkan pada sisi pribadi dari pemberi maupun penerima layanan publik. Kata kunci: Pelayanan Publik, Paradigma Baru.
Pendahuluan Dalam perspektif hukum, hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan meski antara keduanya dapat dibedakan. Dapat diibaratkan sekeping uang, antara hak dan kewajiban hanya dipisahkan oleh sisi yang amat tipis. Kaitannya antara hak dan kewajiban rakyat dan negara, maka terdapat korelasi di antara keduanya. Negara berdasarkan wewenang yang diberikan oleh konstitusi dan undang-undang mewajibkan rakyat untuk memberikan kontribusi bagi penyelenggaraan negara (salah satunya adalah untuk pelaksanaan pembangunan) dalam bentuk pajak. Negara berhak atas pajak dari rakyat, namun di sisi lain negara juga mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat yang telah membayar pajak. Sebaliknya rakyat berkewajiban membayar pajak kepada negara, tetapi juga berhak menuntut kepada negara agar memberikan pelayanan bagi terselenggaranya kehidupan bermasyarakat. Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
69
Paradigma Baru dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia
Kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kepada rakyat (public service) secara tersirat telah diamanatkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang pada intinya berisi pelayanan pokok yang harus diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi pelayanan publik merupakan fungsi yang amat sentral dari tindakan pemerintahan dan merupakan tugas utama yang harus dijalankan oleh seluruh aparatur pemerintah yang note bene adalah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Pemberian pelayanan kepada masyarakat sebagai fungsi inti dari aparatur pemerintah adalah segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan BUMN/D dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat atau sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.1 Pada kenyataannya pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah tidak berjalan sebagaimana harapan masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya keluhan yang dilontarkan berkaitan dengan buruknya mutu pelayanan aparat pemerintah dan rendahnya kinerja instansi Pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan. Oleh karena itu kemudian muncul tuntutan agar dilakukan reformasi dalam pemberian pelayanan publik, khususnya oleh instansi Pemerintah. Tuntutan demikian wajar adanya mengingat rakyat merasa sudah menunaikan kewajiban (membayar pajak) sehingga adalah logis dan patut jika mereka menuntut kepada Pemerintah agar memberikan pelayanan sebaik-baiknya dalam pengurusan sesuatu hak atau perijinan. Di sisi lain adalah kewajiban negara (Pemerintah) untuk memenuhi tuntutan rakyat dengan memberikan pelayanan yang efektif dan memuaskan (pelayanan prima) sesuai asas-asas pelayanan publik yang berlaku. Pelayanan public harus diberikan dengan mengakomodasi hak-hak rakyat. Sudah saatnya dilakukanperubahan paradigm dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia saat ini. Metode Penulisan Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu hukum. Penelitian memiliki tujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, termasuk penelitian hukum. Sebagai ilmu sui generis, ilmu hukum merupakan ilmu jenis tersendiri, yakni memiliki karakter yang khas Soekarwo, 2005, Langkah dan Persiapan Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam Mensukseskan Proyek Percontohan Layanan Publik, Makalah Seminar Pelayanan Publik, Kerjasama Dinas Infokom Propinsi Jatim dan Lembaga Perlindungan Konsumen, Surabaya, 25 Mei 2005. 1
70
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
H. Husni Thamrin.
yaitu sifatnya yang normatif.2 Dengan demikian metode penelitian dalam ilmu hukum juga memiliki metodenya tersendiri. Metode dan prosedur penelitian dalam ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat diterapkan dalam ilmu hukum.3 Tipe penelitian dalam penulisan karya tulis ini menggunakan tipe yuridis normatif dengan metode penelitian hukum normatif, yaitu dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa bahan-bahan hukum dan isu-isu hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk memecahkan persoalan yang timbul, sedangkan hasil yang akan dicapai adalah berupa preskripsi mengenai apa yang seyogyanya dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan UndangUndang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Republik Indonesia atau antara regulasi dan undang-undang pertanahan dan undang-undang rumah susun.4 Pendekatan konseptual merupakan pendekatan yang beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum. Pandangan dan doktrin ini akan menemukan ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi dalam tulisan ini. Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang bersifat otoritatif, artinya bahan hukum yang mempunyai otoritas, yaitu terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah-risalah. Pada penulisan ini menggunakan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Philipus M Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati,Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h.1 3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2006, h.26 2
4
Ibid.hal.93.
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
71
Paradigma Baru dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia
tentang Rumah Susun. Bahan hukum sekunder meliputi semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum ini meliputi buku-buku teks, tesis, disertasi hukum, kamus hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan serta opini-opini hukum dari para ahli yang dipublikasikan melalui jurnal, majalah atau internet. Pembahasan Di dalam An English Indonesian Dictionary, karya John M. Echols, kata paradigma dimaknakan sebagai model atau pola5. Sementara istilah paradigma dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai suatu model dalam teori ilmu pengetahuan, atau sebagai kerangka berfikir6. Selanjutnya Thomas S. Kuhn (The Structure of Scietific Revolutions) sebagaimana dikutip oleh Akira lida bahwa:”Kuhn utilized the concept of “the ‘paradigm” to explain such scietific revolutions. (Kuhn mempergunakan konsep paradigma untuk menjelaskan sesuatu dalam revolusi/perubahan ilmiah)7. Oleh karena itu berdasarkan pengertian-pengertian yang telah di kemukakan di atas, dalam konteks objek kajian tulisan ini paradigma baru dimaksudkan sebagai telah terjadinya suatu perubahan terhadap model pelayanan publik. Konsep pelayanan publik yang selama ini dikenal dengan pendekatan model administrasi publik tradisional telah bergeser kepada model manajemen publik baru yang lebih modern. Dinamika pelayanan publik ini dibenarkan oleh Denhard, dengan mengatakan bahwa: menurut perspektif teoretik, telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dari old publik administration ke model new publik management, dan akhirnya menuju model pelayanan publik baru (new publik service)8. Model new publik service, pelayanan publik dilandaskan pada teori demokrasi, yang mengajarkan adanya egaliter (pemerataan) atau persamaan hak antara warga Negara, dalam model ini kepentingan publik dirumuskan sebagai hasil dialog dad berbagai nilai (kepentingan) yang ada di dalam masyarakat. Kepentingan publik bukan dirumuskan oleh elite politik seperti yang tertera dalam peraturan perundang Undangan. Pemerintah (daerah) yang memberikan pelayanan publik harus bertanggung jawab kepada masyarakat John M. Echols dan Hasan, Kamus Inggeris- Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1995, hal. 417 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Kamus Bahasa Indonesia, BP, Jakarta, 1979, hal. 417 7 Akira Lida,. Paradigm Theory and Policy Making, Tuttle, Singapura, 2004, hal. 39 8 A.G. Subarsono, Pelayanan Publik yang Efisien, Responsif dan Nonpartisan Mewujudkan Good Govermance Melalui Pelayanan Publik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 143 5
6
72
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
H. Husni Thamrin.
secara keseluruhan. Peranan pemerintah adalah melakukan negosiasi dan menggali berbagai kegiatan dari masyarakat dan berbagai kelompok komunitas yang ada. Oleh karena itu, dalam model ini pemerintah bukan hanya sekedar harus akuntabel pada berbagai peraturan perUndang undangan, melainkan juga harus akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Penggambaran lebih jelas mengenai uraian di atas, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Dasar teori pelayanan publik yang ideal menurut paradigma new publik service sebagaimana digambarkan di atas adalah publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan publik yang ada. Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan masyarakat dan kelompok komunitas, ini mengandung makna bahwa karakter dan nilai yang terkandung di dalam pelayanan publik tersebut harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka karakter pelayanan publik juga harus senantiasa berubah mengiringi dinamika perkembangan masyarakat. Untuk melihat pola paradigma baru sistem pelayanan publik yang akan dikembangkan dapat diilustrasikan dalam bentuk model, model tersebut digambarkan dalam halaman berikut ini. Dalam gambar akan terlihat pergeseran qudtra pelayanan publik lama dengan pelayanan publik baru, yang memadukan teori politik dan teori ekonomi yang dijadikan sebagai teori demokrasi, dan teori demokrasi ini yang dianggap sebagai model pelayanan publik ke depan. Di samping itu, pelayanan publik model baru harus bersifat non diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh dasar teoritis yang digunakan, yaitu teori demokrasi yang menjamin adanya persamaan masyarakat tanpa membeda-bedakan asal-usul, kesukuan, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian. Hal ini berarti setiap masyarakat diperlakukan secara sama ketika berhadapan dengan pemerintah (daerah) untuk menerima pelayanan publik sepanjang syarat-syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara pemerintah dengan masyarakat adalah hubungan inpersonal (tidak bersifat pribadi) sehingga terhindar dari sifat nepotisme dan primordialisme. Menurut Albrecht dan Zemke, sebagaimana dikutip oleh Soubarsono, bahwa pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek (yaitu: sistem pelayanan, sumber daya manusia pemberi pelayanan, strategi pelanggan). Oleh karena itu harus didukung oleh, sistem pelayanan publik yang baik pula. Suatu sistem yang baik akan memberikan mekanisme kontrol di dalam dirinya (built in control) sehingga segala bentuk penyimpangan yang terjadi akan mudah dideteksi. Selain itu, sistem pelayanan juga harus sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Ini berarti organisasi (pemerintah) harus mampu Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
73
Paradigma Baru dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia
merespons kebutuhan dan keinginan menyediakan sistem pelayanan dan strategi yang tepat. Kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain seperti tingkat kompetensi aparat, kualitas dan kuantitas, sarana dan prasarana yang dipergunakan dalam mendukung proses pelayanan, budaya birokrasi dan sebagainya. Kompetensi aparat pemerintah merupakan akumulasi dari sejumlah sub-variabel seperti tingkat pendidikan, jumlah tahun pengalaman bekerja, dan variasi pelatihan yang telah diterima. Sementara kualitas dan kuantitas instrumen yang digunakan akan mempengaruhi prosedur, kecepatan proses, dan kualitas keluaran (output) yang akan dihasilkan. Apabila organisasi menggunakan teknologi modern seperti komputer, maka metode dan prosedur pelayanan akan berbeda dengan ketika organisasi menggunakan cara kerj manual. Oleh karena itu dengan mengadopsi teknologi modern dapat menghasilkan output yang lebih banyak dan berkualitas dalam waktu yang relatif lebih cepat. Salah satu perubahan penting yang terjadi pasca runtuhnya rezim orde baru adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan daerah dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang Undang Nomor 32 :Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Telah diketahui bahwa otonomi sebagai pangejawantahan dari sistem desentralisasi melahirkan kewenangan bagi daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri secara penuh, kecuali hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai urusan pemerintah pusat). Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) ditegaskan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (a) politik luar negeri, (b) pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, (f) agama. Oleh karena itulah melalui Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 diderivasi prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prinsip otonomi seluas-luasnya barang tentu membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk secara leluasa (namun tetap dalam koridor peraturan perUndang Undangan) untuk berikan pelayanan kepada publik demi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Prinsip otonomi seluas-luasnya dimaksudkan sebagai daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan yang menjadi urusan pemerintah (pusat) sebagaimana ditetapkan dalam Undang Undang yang mengatur tentang pemer74
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
H. Husni Thamrin.
intahan daerah. Berkaitan dengan itu menurut Soehino sebagaimana dikutip oleh Laica Marzuki cakupan otonomi seluas-luasnya bermakna, bahwa kepada daerah diserahkan urusan sebanyak mungkin menjadi urusan rumah tangga sendiri. Atas dasar itu otonomi daerah yang seluas-luasnya mencakupi beberapa hal, yaitu: pertama, segenap urusan pemerintahan yang tidak dimaktub sebagai kewenangan pemerintah pusat beralih menjadi urusan rumah tangga daerah otonom. Kedua, urusan penyelenggaraan rumah tangga (otonomi) sebanyak mungkin diserahkan kepada daerah otonom, kecuali apa yang secara tegas dimaktub sebagai kewenangan pemerintah pusat. ketiga, betapapun luas cakupan otonomi daerah, keluasan dimaksud tetap dalam lingkup Negara Kesatuan9. Sejalan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, dilaksanakan pula prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan khasan daerah. Oleh karena itu isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi nyata dan bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk daerah termasuk memberikan pelayanan publik yang memberdayakan berkualitas10. Seiring dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa daerah harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah (pusat). Dalam Makna yang lebih spesifik daerah harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan berupa pemberian pedoman seperti 9
H.M. Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2005,
hal. 139 10
Goetsch dan Darwis, 1996, hal. 85
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
75
Paradigma Baru dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia
dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula standar (misalnya standar pelayanan prima), arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pula pemerintah (pusat) wajib memberikan fasilitas berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik diharapkan pemerintah daerah senantiasa berpegang atau menjadikan asas otonomi sebagai pijakannya. Bahkan lebih jauh dari itu sebagai salah satu bentuk harmonisasi dari pelaksanaan asas pemerintahan daerah dan prinsip-prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Dalam Pasal 15 Undang Undang Pelayanan Publik ditegaskan bahwa penyelenggara wajib menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu: (a) kesederhanaan, (b) kejelasan, (c) kepastian dan tepat waktu, (d) akurasi, (e) tidak diskriminatif, (f) bertanggung jawab, (g) kelengkapan sarana dan prasarana, (h) kemudahan akses, (i) kejujuran, (j) kecermatan, (k) kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, dan (e) keamanan dan kenyamanan. Tujuan utama dari desentralisasi dan eksistensi pemerintahan daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat. Pelayanan publik tersebut disediakan oleh pemerintah daerah dan dibiayai oleh pajak dan retribusi yang dibayarkan oleh masyarakat daerah (lokal) maupun dari pembiayaan yang berasal dari pemerintah (pusat). Pengaturan dan pengurusan pelayanan publik, dengan demikian menjadi tugas utama pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Negara mempunyai kewajiban konstitusional untuk mensejahterakan rakyat melalui pemberian pelayanan publik yang baik. Kualitas pelayanan publik berhubungan erat dengan pelayanan yang sistematis dan komprehensif yang lebih dikenal dengan konsep pelayanan prima. Menurut Lijan, aparat pemerintah (daerah) dalam memberikan pelayanan publik hendaknya memahami variabel-variabel pelayanan prima Seperti yang terdapat dalam agenda perilaku pelayanan prima sektor publik, yaitu: (1) pemerintah yang bertugas melayani, (2) masyarakat dilayani pemerintah, (3) kebijakan yang dijadikan landasan pelayanan publik, (4) peralatan atau sarana pelayanan yang canggih, (5) resources yang tersedia untuk diracik dalam bentuk kegiatan pelayanan, (6) kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan standar dan asas pelayanan masyarakat, (7) manajemen dan kepemimpinan serta organisasi pelayanan masyarakat, (8) prilaku pejabat yang terlibat dalam pelayanan masyarakat,
76
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
H. Husni Thamrin.
apakah masing-masing telah menjalankan fungsi mereka11. Variabel pelayanan prima di sektor publik seperti diuraikan di atas dapat diimplementasikan apabila aparat penyelenggara pelayanan publik (pemerintah daerah) berhasil menjadikan kepuasan masyarakat sebagai tujuan utamanya, agar kepuasan masyarakat yang menjadi tujuan utama terpenuhi, aparatur pelayanan dituntut untuk mengetahui dengan pasti siapa pelanggannya (masyarakatnya). Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima, yaitu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (pelanggan) minimal sesuai dengan standar pelayanan prima. Bagi organisasi/institusi yang belum mempunyai standar pelayanan prima, mengacu pada terpenuhinya keinginan pelanggan (cepat, akurat, murah dan ramah)12 kepada masyarakat sebagai perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa esensi dari otonomi daerah adalah kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya. Dalam hal ini pemerintah daerah diasumsikan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai potensi dan kebutuhan daerah. Pengetahuan terhadap potensi dan kebutuhan daerah akan meningkatkan efisiensi, efektivitas dan daya tanggap (responsibility) dalam pelayanan publik di masing-masing daerah. Pada akhirnya kualitas pelayanan publik yang dihasilkan juga semakin memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, mengenai hubungan antara desentralisasi dengan layanan publik selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Masyarakat dapat lebih mudah berpartisipasi (berperan serta) dalam pembuatan keputusan (kebijakan) pada tingkat lokal (daerah), karena langsung berpengaruh terhadap masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik akan meningkatkan akseptasi dan dukungan (legitimasi) dari masyarakat. Sebaliknya jika partisipasi masyarakat daerah rendah, dapat .menyebabkan resistensi masyarakat terhadap pelayanan publik, (2) Komunikasi dan informasi (hubungan) antara pemerintah dan masyarakat akan lebih intens dan mudah. Desentralisasi (telah) memindahkan fokus pemerintahan dari pusat ke daerah. Semakin dekatnya jarak antara masyarakat dan pemerintah daerah akan menyebabkan komunikasi yang semakin komunikatif (gangguan komunikasi Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Teori Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Jakata, 2006, hal. 8 12 S. Lukman, Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, STIA-LAN, Jakarta,2001, hal. 2 11
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
77
Paradigma Baru dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia
juga dapat dikurangi). Masyarakat yang terinformasi dengan baik juga akan menerima pelayanan publik secara baik. Hal ini tentu saja akan mengurangi distorsi informasi dan komunikasi antara pemerintah daerah dan masyarakat, (3) Performance pemerintah daerah akan lebih akuntable karena kesadaran dan kepercayaan masyarakat yang tinggi. Desentralisasi pada esensinya adalah meningkatkan pengawasan masyarakat dalam pelayanan publik. Pengawasan masyarakat dimungkinkan karena tingkat kesadaran dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah. Semakin tinggi pengawasan masyarakat lerhadap pernerintah daerah dalam proses pelayanan publik, maka akan semakin tinggi pula tingkat akuntabilitas pemerintahan, (4) Salah satu fungsi dari desentralisasi adalah penguatan lembaga-lembaga lokal. Dalam pelayanan publik, lembaga-lembaga lokal tersebut merupakan wadah artikulasi kepentingan masyarakat dan wadah pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah13. Desentralisasi diyakini akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat daerah, apabila esensi otonomi daerah diartikulasikan sebagai ekonomi masyarakat, dan bukan hanya otonomi bagi pemerintah daerah. Dalam konteks ini otonomi daerah dengan prinsip seluas-luasnya harus mampu membuka akses bagi masyarakat untuk turut berperanserta dalam menentukan sendiri arah kebijakan dan pertumbuhan, include perubahan sistem yang dapat mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dengan penyelenggaraan pelayanan publik sesuai paradigm dan model baru seperti yang Penulis sebutkan di atas, maka diharapkan pencapaian kinerja pelayanan publik akan semakin baik, yang pada skala makro akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesimpulan Dari uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya maka terkait penyelenggaraan pelayan publik di Indonesia dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelayanan publik merupakan kewajiban negara kepada rakyat, yang merupakan kewajiban konstitusional dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Sebagai suatu kewajiban konstitusional dan amanah UU Pelayanan Publik, maka negara (Pemerintah)wajib memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada seluruh rakyat tan memandang status, kedudukan dan etnisnya. 13
78
Eko Prasojo, 2006, hal. 21 LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
H. Husni Thamrin.
2. Pelayanan publik dengan model dan paradigma baru diberikan dengan memperhatikan asas keadilan, yakni setiap orang yang membutuhkan pelayanan publik diberikan pelayanan yang baik dan adil sesuai hak penerima layanan. Di samping itu pelayanan publik harus diberikan secara non diskriminatif artinya masyarakat penerima layanan diperlakukan sama, tidak ada yang diistimewakan. Hubungan antara pemberi layanan dengan penerima layanan adalah hubungan inpersonal, yaitu suatu hubungan yang tidak didasarkan pada sisi pribadi dari pemberi maupun penerima layanan publik. Daftar Pustaka Akira Lida,. Paradigm Theory and Policy Making, Tuttle, Singapura, 2004. A.G. Subarsono, Pelayanan Publik yang Efisien, Responsif dan Nonpartisan Mewujudkan Good Govermance Melalui Pelayanan Publik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Kamus Bahasa Indonesia, BP, Jakarta, 1979. H.M. Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. John M. Echols dan Hasan, Kamus Inggeris- Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1995. Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Teori Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Jakata, 2006. Lukman, Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, STIA-LAN, Jakarta, 2001. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2006, . Philipus M Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005. Soekarwo, Langkah dan Persiapan Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam Mensukseskan Proyek Percontohan Layanan Publik, Makalah Seminar Pelayanan Publik, Kerjasama Dinas Infokom Propinsi Jatim dan Lembaga Perlindungan Konsumen, Surabaya, 25 Mei 2005.
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
79