Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
CITIZENS’ CHARTER: Terobosan Baru Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia1 Dr. Partini2 Bambang Wicaksono, MSi.3
“Saya salah seorang warga kota yang mengurus izin IMB ke UPTSA Kota Yogyakarta beberapa bulan lalu. Saya memang awalnya tidak tahu persyaratannya, hanya saja pada saat di UPTSA dijelaskan oleh salah seorang petugas beberapa kekurangan persyaratan yang harus saya penuhi. Pada hari berikutnya, saya datang lagi ke UPTSA dan kebetulan ditemui oleh petugas yang berbeda. Petugas tersebut mengatakan bahwa saya masih kurang persyaratan lagi sehingga saya harus bolak-balik lagi sampai tiga kali ke rumah untuk melengkapinya. Saya heran mengapa kok kekurangannya tidak diberitahukan sekalian. Antara petugas satu dengan petugas lainnya juga terkesan tidak sama dalam memahami persyaratan yang dibutuhkan sehingga membingungkan warga masyarakat ...” [FGD Kepuasan Layanan Masyarakat, 29 September 2004].4
Pendahuluan Pengalaman dari salah seorang warga pengguna layanan di atas berangkali hanya merupakan sekelumit dari contoh kasus yang memperlihatkan masih belum profesionalnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Isu mengenai penyelenggaraan pelayanan publik saat ini menjadi isu kebijakan yang aktual di masyarakat seiring dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Bahkan dalam UU Tentang Pemerintahan Daerah yang baru [hasil revisi UU. No.22/1999] dalam pasal 16 (ayat 1a), disebutkan bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab, kewenangan dan menentukan standar pelayanan minimal. Terlepas dari kejelasan tentang substansi standar pelayanan minimal yang masih banyak diperdebatkan, namun ketentuan ini setidaknya memberikan suatu gambaran bahwa tuntutan pada kinerja penyelenggaraan pelayanan publik yang profesional telah menjadi bagian dari concern pemerintah pusat maupun daerah. Penyelenggaraan pelayanan publik ini merupakan salah satu bidang kewenangan penting bagi pemerintah daerah sehingga keberhasilan dalam membangun kinerja pelayanan publik secara profesional, efisien, efektif dan akuntabel akan mengangkat citra positif pemerintah kabupaten/kota di mata warga masyarakatnya. Kinerja pelayanan publik di Indonesia yang masih terlihat belum profesional memang tidak terjadi begitu saja sebagai suatu taken for granted, namun merupakan konsekuensi dari adanya desain birokrasi Indonesia yang memang tidak dipersiapkan sebagai ‘pelayanan masyarakat’ [public servant]. Secara historis, semenjak masa kerajaan sampai masa pemerintahan kolonial Belanda, birokrasi di Indonesia telah ditempatkan sebagai ‘instrumen kekuasaan’[Dwiyanto, dkk.2002] yang menopang berbagai kepentingan politik dari penguasa. Pada posisi demikian, birokrasi sebenarnya telah sejak lama lebih diperkenalkan pada nilai-nilai kekuasaan daripada nilai-nilai pemberian 1 2 3 4
Makalah Seminar Bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan [PSKK] UGM pada tanggal 28 Oktober 2004. Staf Peneliti PSKK UGM & Fasilitator Forum Citizens’ Charter Kota Ambarawa. Staf Peneliti PSKK UGM & Fasilitator Forum Citizens’ Charter Kota Yogyakarta. PSKK UGM bekerjasama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini sedang melakukan penelitian tentang kinerja pelayanan UPTSA Kota Yogyakarta untuk penyusunan Indeks Kepuasan Layanan Masyarakat.
S. 331, October 28, 2004
1
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
pelayanan [culture of serving] yang sebenarnya akan membuat aparatur birokrasi pemerintah dapat lebih menghayati peran mereka sebagai ‘abdi masyarakat’. Demikian pula secara politik, semenjak era pemerintahan Orde Lama sampai Orde Baru birokrasi di Indonesia juga masih tetap ditempatkan sebagai ‘instrumen politik’ untuk menopang kekuasaan. Masa Orde Lama memberikan pengalaman bagaimana birokrasi dijadikan arena perebutan pengaruh politik antar berbagai partai politik yang sedang berkuasa. Begita pula masa Orde baru mengajarkan pada birokrasi untuk menjadi ‘mesin politik’ yang membuat birokrasi menjadi partisan untuk kepentingan partai Golkar. Dengan demikian, sosok birokrasi di Indonesia tidak pernah dapat independen terlepas dari pengaruh kepentingan politik kekuasaan. Birokrasi menjadi sulit untuk dapat bekerja secara profesional, efisien, responsif, dan akuntabel pada publik. Interaksi antara birokrasi dengan dunia politik memang secara konseptual maupun praktis sangat sulit untuk dihindari. Miftah Thoha [2003] memberikan suatu ilustrasi yang amat menarik mengenai cara pandang [mindset] birokrasi terhadap kekuasaan. Pandangan birokrasi terhadap kekuasaan [power] cenderung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan yang sakral. Kekuasaan dalam birokrasi yang melekat dalam jabatan seorang ‘pejabat’, bisa menjadi sesuatu sangat menakutkan dan sangat sulit ditembus oleh warga masyarakat. Kondisi ini semakin membuat posisi warga masyarakat begitu sangat lemah ketika berhadapan dengan pejabat birokrasi. Perbuatan ‘membuat sakral’ jabatan birokrasi ini terlihat dari adanya pengaturan segala urusan masyarakat, mulai dari membuat Kartu Tanda Penduduk [KTP], sampai mengurus izin investasi yang dilakukan pengusaha pribumi maupun konglomerat dari warga keturunan, selalu berhubungan dan harus membutuhkan legitimasi pejabat birokrasi. Para pejabat birokrasi ini ibaratnya menyandang kekuasaan seperti seorang raja yang memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh rakyat. Rakyat membutuhkan pelayanan, maka pejabat birokrasi mempunyai kekuasaan untuk mendistribusikan pelayanan tersebut. Sebagai konsekuensi dari adanya ‘birokrasi yang sakral’ ini membuat masyarakat mempunyai posisi tawar yang lemah di hadapan birokrasi. Bila ada 70 60 kelompok dalam masyarakat yang mampu 50 memperkuat posisi tawar mereka terhadap 40 birokrasi, maka mereka harus mengeluarkan 30 20 berbagai bentuk ‘upeti’, seperti uang suap, 10 uang sogok, atau ‘uang rokok’ kepada pejabat 0 Sertifikat tanah SIM KTP birokrasi. Namun, bila mereka tidak mampu Jawa Luar Jawa melakukan hal tersebut, maka masyarakat tidak akan dapat mengakses pelayanan Sumber: GDS 1+ birokrasi seperti yang menjadi harapan mereka. Kelompok masyarakat seperti ini akan menemui berbagai hambatan ketika berhubungan dengan birokrasi, seperti urusan atau pelayanan menjadi dipersulit, bertele-tele, ketidakpastian waktu dan biaya, ketidak jelasan informasi, arogansi pejabat, dan sebagainya. Penelitian GDS 1+ [2004]5 menemukan adanya ketidakmampuan sebagian besar warga masyarakat untuk memenuhi ‘aturan main’ yang dibuat oleh birokrasi ketika mengurus suatu pelayanan. Adanya ‘aturan main’ dalam pemberian pelayanan oleh birokrasi biasanya ditentukan secara sepihak oleh pejabat. Aturan ini bisa Gambar. 1 Penggunaan Jasa Perantara Dalam Pengurusan Pelayanan Publik Menurut Rumah Tangga
5
GDS [Governance and Decentralization Survey] tahun 2004 dilaksanakan di 8 Provinsi dengan cakupan 32 kabupaten/kota. Penelitian ini merupakan pre -test dalam skala besar untuk persiapan GDS 2 [2005] di lebih dari 250 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Bank Dunia dengan PSKK UGM.
S. 331, October 28, 2004
2
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
berbentuk pada tidak adanya kepastian waktu dan biaya, prosedur yang rumit, ketidak jelasan informasi layanan, dan sebagainya. Karena warga tidak mampu memenuhi ‘aturan main’, maka Warga masyarakat kemudian memilih untuk mempergunakan jasa perantara atau ‘calo’ ketika berhubungan dengan pejabat birokrasi. Tingginya animo warga masyarakat untuk mempergunakan jasa perantara dalam pengurusan pelayanan di instansi pemerintah, sebenarnya juga menunjukkan bahwa warga pengguna layanan mulai berpikir rasional secara ekonomi. Dengan mempergunakan jasa perantara, warga pengguna akan dapat menghemat banyak energi dan waktu yang banyak terbuang hanya untuk menunggu waktu penyelesaian pelayanan yang tidak dapat dipastikan. Warga pengguna kemudian mengkompensasi waktu pelayanan yang tidak efisien ini dengan cara mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar jasa pengurusan yang dilakukan oleh perantara. Kinerja pelayanan birokrasi juga belum mampu menerapkan prinsip-prinsip pelayanan publik berwawasan good governance, 6 yakni penyelenggaraan pelayanan publik yang diantaranya menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi, partisipasi, efisiensi, akuntabilitas, serta menghargai martabat warga pengguna. Model pelayanan seperti ini lebih berorientasi pada kepuasan layanan masyarakat [customer service], menghargai inovasi pelayanan, tanggap terhadap dinamika lingkungan pelayanan, aspirasi dan kebutuhan pengguna layanan. Model ini jauh Gambar. 2 meninggalkan pendekatan konservatif Pemberian 'Uang Rokok' Dalam Pengurusan Pelayanan Menurut Rumah Tangga pelayanan yang lebih berorientasi pada juklak yang diterapkan secara kaku. Pelayanan 60 publik yang berwawasan good governance 50 40 menuntut adanya kemampuan birokrasi untuk 30 responsif terhadap tantangan dan peluang 20 baru, tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan 10 0 rutin yang terkait fungsi instrumental Sertifikat tanah SIM KTP birokrasi, dan harus memiliki pemikiran J a w a Luar Jawa inovatif dan futuristik. Birokrasi juga harus memiliki kompetensi untuk memberikan Sumber: GDS 1+ pelayanan secara adil dan inklusif, serta kemampuan untuk memberdayakan masyarakat atau stakeholders pelayanan [Tjokrowinoto, 2004]. Hasil temuan penelitian GDS 1+ juga memperlihatkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik masih belum sepenuhnya menerapkan prinsip transparansi, khususnya mengenai biaya pelayanan. Pada gambar. 2 terlihat bahwa warga masyarakat masih tetap memberikan ‘uang rokok’ setiap kali berhubungan dengan pejabat birokrasi untuk mengurus pelayanan sertifikat tanah, SIM dan KTP. Praktik pemberian ‘uang rokok’7 seperti ini tetap saja memperlihatkan tidak adanya transparansi biaya pelayanan. Sebab, ketentuan biaya pelayanan yang terdapat dalam Peraturan Daerah ataupun ketentuan resmi lainnya, tidak pernah mengatur tentang ‘uang sukarela’ atau ‘biaya administrasi’ lain di luar biaya yang sudah dicantumkan secara resmi. Praktik pelayanan seperti tetap memperlihatkan masih rendahnya profesionalisme birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada warga pengguna layanan. Salah satu ciri profesionalisme dalam pemberian pelayanan adalah penyedia layanan tidak bersedia untuk menerima pemberian dalam bentuk apapun dari pengguna layanan yang dapat mendorong mereka 6
7
Konsep pelayanan publik berwawasan good governance merupakan model pelayanan yang menitik beratkan pada penerapan praktik good governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Model ini di Indonesia diperkenalkan oleh Prof. Dr. Agus Dwiyanto untuk pelatihan pengembangan pelayanan publik berwawasan good governance di Sumatera Utara. Uang rokok berarti juga ‘uang suap’, meskipun sebagian pejabat lebih suka mempergunakan istilah ‘iuran sukarela’ atau ‘biaya administrasi’.
S. 331, October 28, 2004
3
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
untuk melakukan diskriminasi pelayanan terhadap pengguna jasa lainnya. Praktik diskriminasi pelayanan ini dapat terjadi melalui pemberian bentuk-bentuk ‘uang suap’ kepada pejabat birokrasi untuk mempengaruhi proses pemberian dan penyelesaian pelayanan kepada warga pengguna. Budaya Pelayanan Birokrasi Salah satu tugas pokok yang harus dilakukan oleh birokrasi, yakni menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan bagi masyarakat. Sebagai warga negara, setiap individu mempunyai hak yang sama untuk menerima pelayanan dari birokrasi. Namun realitasnya, hal tersebut tidak dapat terpenuhi sesuai harapan. Penyedia layanan seringkali masih cenderung bersikap memihak pada kelompok dalam masyarakat yang dianggap ‘kuat’ yakni mereka yang mampu atau memiliki posisi tawar terhadap pejabat birokrasi, seperti orang kaya. Akibatnya terjadi kesenjangan harapan (gap) antara birokrasi dengan warga yang seharusnya dilayaninya. Pejabat birokrasi yang seharusnya bertugas memberikan pelayanan dengan sopan, ramah, dan tidak diskriminatif, belum dapat memenuhi apa yang menjadi harapan warga pengguna pada umumnya. Penyelenggaraan pelayanan publik memang dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Kedua bentuk penyelenggaraan pelayanan tersebut tentu saja memiliki karakteristik pelayanan yang berbeda. Pelayanan yang diselenggarakan oleh swasta lebih berorientasi pada profit, sedangkan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilakukan karena adanya tanggung jawab [responsibility] tugas dan fungsi pemerintahan. Namun, birokrasi dapat belajar dari pengalaman swasta dalam menyelenggarakan pelayanan. Pelayanan yang diselenggarakan oleh swasta karena berorientasi pada profit, menjadikan kualitas layanan sebagai tujuan atau nilai penting yang harus dijaga agar mereka tidak kehilangan pelanggan sebagai sumber keuntungan. Dengan demikian maka kinerja pemberi layanan swasta harus dapat menjaga kepercayaan dan memberikan kepuasan kepada pengguna layanan. Pengguna layanan menjadi orientasi utama mereka, sehingga swasta dalam memberikan pelayanan dapat lebih professional, dapat menjamin kepastian waktu dan biaya, serta dapat memberikan kepuasan, serta berupaya untuk menciptakan ikatan psikologis dengan pengguna layanan. Sebaliknya, penyelenggaraan pelayananan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi lebih berorientasi pada peraturan yang harus ditaati [rule-driven], kesesuaiannya dengan juklak dan juknis, daripada kepuasan warga pengguna layanan. Pola pikir birokrasi cenderung menganggap bahwa sebaik apapun dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, toh tidak akan merubah gaji dan pendapatannya. Profesionalisme dalam penyelenggaraan pelayanan publik bukan menjadi tujuan utama birokrasi. Mereka mau melayani hanya karena tugas dari Pimpinan instansi atau karena sebagai pegawai pemerintah, bukan karena tuntutan profesionalisme kerja. Ini yang membuat keberpihakannya kepada warga pengguna layanan menjadi sangat rendah. Pejabat birokrasi akan bersikap ramah kepada warga pengguna layanan kalau ada “sesuatu” yang memberikan keuntungan atau melatar belakanginya, seperti hubungan pertemanan, status sosial ekonomi warga, dan sebagainya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PSKK-UGM tentang pelayanan publik di Indonesia [Dwiyanto, dkk. 2002], diperoleh kesimpulan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik masih menunjukkan adanya praktik pelayanan yang diskriminatif. Bagi warga pengguna yang kebetulan mempunyai kenalan, sebagai kerabat, saudara, orang kaya yang dapat memberikan “ucapan terima kasih”, serta mereka yang mempunyai status sosial terpandang di masyarakat, biasanya akan memperoleh “perlakuan khusus” dari birokrasi. Dalam situasi demikian, budaya antri menjadi hilang, sebaliknya budaya pelayanan ‘jalan tol’ menjadi pilihan strategis dan menjadi hal yang
S. 331, October 28, 2004
4
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
biasa dilakukan. Ini hanya mungkin dilakukan oleh warga pengguna yang memiliki ‘kelebihan’ uang, status, dan sejenisnya yang tidak dimiliki oleh warga masyarakat biasa. Selain masalah diskriminasi pelayanan, problem yang dihadapi oleh warga pengguna adalah sulitnya menemui pejabat birokrasi yang mempunyai otoritas pelayanan. Misalnya, bila ada warga pengguna ingin meminta pengesahan berkas persyaratan pelayanan dari pejabat, sering kali pejabat yang bersangkutan tidak berada di ditempat. Hal ini membuat warga pengguna harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk menunggu pejabat birokrasi, sehingga ketepatan waktu pelayanan tidak pernah dapat dipenuhi. Belum lagi pelayanan yang membutuhkan prosedur, persyaratan khusus untuk melampirkan gambar, dan kegiatan peninjauan lapangan, seperti halnya pada pelayanan IMBB tentu saja akan memperlukan waktu lebih lama lagi. Hasil penelitian IRDA [Indonesia Rapid Decentralization Appraisal]8 menunjukkan bahwa Kesulitan-kesulitan teknis seperti ini dialami oleh warga pengguna di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa kinerja pelayanan birokrasi masih belum menunjukkan adanya profesionalisme seperti yang diharapkan. Peraturan yang ada seringkali tidak mudah dipahami oleh warga pengguna yang sebagian besar berpendidikan rendah, sehingga banyak terjadi mis-komunikasi antara birokrasi dengan warga pengguna. Kondisi pelayanan seperti ini merupakan konsekuensi kurang efektifnya sosialisasi kebijakan pelayanan kepada warga pengguna, disamping itu warga pengguna memang tidak dilibatkan dan tidak diajak bicara tentang masalah pelayanan. Perumusan kebijakan pelayanan, seperti penentuan biaya, waktu pelayanan, prosedur, dan sebagainya, masih dilakukan secara sepihak oleh birokrasi. Dengan demikian, warga pengguna hanya ditempatkan sebagai ‘obyek pelayanan’ yang dapat diperlakukan sesuai dengan kemauan pejabat birokrasi. Contohnya, bila warga disuruh membayar ‘uang administrasi’ saat mengurus KTP, maka warga tak kuasa menolaknya meskipun tidak pernah dijelaskan oleh birokrasi dipergunakan untuk apa uang tersebut, bagaimana mekanisme pertanggung jawabannya, dan sebagainya. Selama ini dalam perspektif banyak aparat birokrasi, warga masyarakat masih dipersepsikan sebagai orang yang tidak mengetahui apapun tentang masalah pelayanan [untuk menyebut kata lain, yakni sebagai orang ‘bodoh’]. Padahal di era reformasi ini penyelenggaraan pelayanan publik harus berada dalam koridor sistem kepemerintahan yang baik, yakni pelibatan tiga komponen pokok pemerintah, swasta dan masyarakat (civil society). Era reformasi memunculkan adanya kesadaran dari warga pengguna akan pentingnya kinerja pelayanan yang tidak diskriminatif dan menghargai martabat serta hak pengguna layanan. Warga pengguna mulai menginginkan adanya kemudahan pelayanan, baik dalam hal persyaratan, prosedur, kepastian waktu, maupun transparansi biaya yang harus dikeluarkan. Adanya tuntutan semacam ini karena praktik pemberian pelayanan selama ini dinilai tidak transparan, kurang responsif terhadap kebutuhan pengguna, serta rendahnya akuntabelitas pelayanan. Dalam suatu kegiatan diskusi terarah dengan pengguna layanan UPTSA belum lama ini, 9 terungkap bahwa sebenarnya warga pengguna bersedia mengeluarkan biaya lebih tinggi asalkan pelayanan yang diterima dapat lebih cepat, tepat dan berpastian. Pemikiran menarik bahkan muncul dari beberapa peserta FGD yang mengusulkan perlunya biaya pelayanan diklasifikasikan secara jelas. Misalnya, biaya untuk pelayanan normal, pelayanan cepat, serta pelayanan ‘super cepat’ tentu saja berbeda dari segi 8
9
IRDA adalah penelitian tentang implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia yang melibatkan kalangan perguruan tinggi, LSM, dan stakeholder lainnya bekerjasama dengan The Asia Foundation semenjak tahun 2001 – 2004. FGD dalam rangka kegiatan penyusunan indeks kepuasan layanan masyarakat UPTSA Pemerintah Kota Yogyakarta – PSKK UGM, tanggal 29 September 2004.
S. 331, October 28, 2004
5
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
jumlah Rupiah yang dikeluarkan. Menurut sebagian warga pengguna, inilah yang disebut sebagai “keadilan” pelayanan, karena setiap warga pengguna dapat mengukur kemampuan mereka masing-masing, apakah akan mempergunakan pelayanan cepat atau pelayanan normal. Tentu saja sebagai suatu lontaran ide, usulan ini hendaknya dapat disikapi sebagai suatu bentuk keinginan dari warga pengguna agar birokrasi memiliki standar pelayanan yang jelas, terukur, predictable, dan memiliki kepastian. Pelayanan publik di Indonesia juga dinilai masih belum partisipatif, artinya melibatkan warga pengguna layanan dalam merumuskan berbagai kebijakan pelayanan. Contoh, di beberapa daerah karena penyelenggaraan pelayanan publik dianggap sebagai potensi untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah [PAD], maka kenaikan tariff pelayanan di Puskesmas dinaikkan beberapa kali lipat hanya dalam waktu satu tahun. Kenaikan tarif ini dilakukan secara sepihak oleh birokrasi tanpa melibatkan warga pengguna dalam proses pengambilan keputusannya. Ini merupakan persoalan mendasar yang harus dipecahkan bersama agar tujuan dari penyelenggaraan pelayanan publik yang partisipatif dapat tercapai. Budaya pelayanan birokrasi seperti ini tentu saja tidak terbentuk begitu saja, melainkan melalui proses historis yang begitu panjang, yang dimulai dari masa kerajaan, masa kolonia Belanda, masa Orde Lama, masa orde baru sampai reformasi. Pada masa kerajaan, birokrasi yang terbentuk adalah birokrasi yang memiliki ciri-ciri budaya kekuasaan, diantaranya; (1) Penguasa menganggap dan menggunakan adminsitrasi publik sebagai urusan pribadi, (2) administrasi adalah perluasaan rumah tangga istana, (3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi raja, dan (4) para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja. Pada masa kolonial , terutama di bawah penjajahan Belanda kondisinya tidak jauh berbeda. Kedatangan Belanda sebagai penguasa justru melanggengkan sistem yang telah dibangun oleh sistem pemerintahan kerajaan. Pada masa kolonial sistem paternalistik semakin mengakar dan menjadi ‘jiwa’ sistem birokrasi di Indonesia. Struktur birokrasi disusun secara hierarki yang dibalut dalam ‘sistem Bapakisme’ atau patrimonial [Thoha, 2003:7]. Pejabat pada hierarki bawah harus tunduk dan tidak berani bertindak jika belum memperoleh ‘restu’ atau ‘petunjuk’ dari pejabat hierarki atas. Surat-surat dinas yang berasal dari pejabat hierarki bawah selalu diakhiri dengan kata-kata manis ‘mohon arahan dan petunjuk’ dari pejabat hierarki atas. Budaya minta petunjuk ini merupakan sikap sopan [proper behavior] yang harus dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih rendah. Tidak ada rasa salah dan ‘malu’ [inappropriate] jika meminta petunjuk, karena sikap ini menunjukkan agar tidak melampaui kekuasaan yang berada di luar kekuasaannya. Praktik dalam birokrasi seperti ini menjadi terinternalisasi yang membuat pejabat birokrasi memposisikan dirinya sebagai ‘elite’ dalam kehidupan masyarakat. Birokrasi memiliki ‘kekuasaan’ seperti halnya yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Pada awal pembentukan birokrasi di Indonesia, kelompok inilah yang disebut sebagai ‘kelompok Priyayi’. Kata ‘Priyayi’ menunjuk pada pejabat birokrasi yang dulu banyak berasal dari keluarga/kerabat kerajaan. Dengan demikian, pada awalnya banyak pejabat birokrasi di Indonesia dapat menduduki suatu jabatan bukan hanya karena faktor pendidikan atau kapabilitas, melainkan karena menjadi ‘priyayi’ yang dianggap sebagai orang berstatus sosial tinggi di masyarakat. Perubahan Paradigma Pelayanan Publik : Tinjauan Komparatif Reformasi pelayanan publik mulai dikembangkan dan dilakukan di negara-negara Eropa Barat pada awal tahun 1980-an. Satu paradigma baru yang dikembangkan dalam reformasi pelayanan publik di Eropa Barat adalah apa yang dinamakan sebagai “Neo-
S. 331, October 28, 2004
6
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
Managerial Reform” 10 , dimana terdapat beberapa prinsip global berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik, yakni antara lain; (1) Berorientasi pada pendekatan bisnis; (2) Penggunaan pendekatan pelayanan yang berorientasi pada kinerja dan kualitas; (3) Responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan pengguna layanan. Reformasi pelayanan publik yang dilakukan negara-negara Eropa Barat dengan demikian telah lama mengadopsi prinsip-prinsip bisnis ke dalam sistem pelayanan birokrasi Pemerintah, seperti adanya indikator kinerja untuk melihat kualitas penyelenggaraan pelayanan publik. Denhardt & Denhardt11 menyatakan bahwa “public choice theory” merupakan jembatan penghubung dan kunci teoritis yang menjadi dasar adanya “The New Public Management”. Beberapa prinsip dalam teori “Public Choice”, seperti adanya asumsi bahwa individu-individu cenderung berperilaku rasional, yakni “memaksimalkan keuntungan/manfaat” dalam mengambil suatu keputusan, dan adanya konsep “public goods” sebagai output dari adanya insitusi/badan-badan penyelenggara pelayanan publik, memperlihatkan bahwa individu-individu dalam masyarakat selalu berupaya memenuhi kepentingannya dan memaksimalkan keuntungan dari adanya pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Individu-individu selalu berupaya agar mereka mendapatkan keuntungan yang maksimal dari adanya pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah, seperti dari sisi waktu, biaya, kemudahan prosedur layanan, dan sebagainya. Pada pendekatan “The New Public Management” yang mencoba memasukkan ideide kontemporer dalam penyelenggaraan pelayanan publik, menganut prinsip “run government like a business”(Denhardt & Denhard, 2003:13), yakni adanya penggunaan pendekatan bisnis (private sector) ke dalam birokrasi publik. Pendekatan ini memfokuskan pada adanya penerapan dan penggunaan terminologi mekanisme pasar dalam penyelenggaraan pelayanan publik, terutama pada pembentukan hubungan antara birokrasi penyedia layanan dengan customers-nya sebagai suatu bentuk “transaksi pelayanan” sebagaimana halnya yang banyak dilakukan dalam pasar barang dan jasa. Birokrasi dengan demikian akan berperan dalam melakukan pengendalian (steering) dalam pembuatan berbagai kebijakan pelayanan dengan melibatkan mekanisme pasar. Birokrasi diperkenalkan dan didorong untuk melakukan adanya kompetisi kinerja pemberian pelayanan, baik antar instansi birokrasi maupun dengan sektor swasta, melalui adanya stimulan pemberian insentif, bonus, dan “punishment” tertentu. Perubahan yang dituntut dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh birokrasi ini tidak dapat dilepaskan dari munculnya kecenderungan baru dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, yakni adanya “Global Public Management Reform” (Donald Kettl, dalam Denhardt & Denhardt, 2003:14), dimana difokuskan pada beberapa isu pelayanan penting, seperti; [1] bagaimana birokrasi dapat menerapkan sistem insentif untuk mencegah terjadinya praktik KKN dalam pemberian pelayanan; [2] bagaimana birokrasi dapat memanfaatkan ‘mekanisme pasar’ untuk memberikan kesempatan pada warga pengguna layanan agar terlibat dalam menentukan kebijakan pelayanan; [3] bagaimana birokrasi dapat inovatif dan kreatif dalam merumuskan kebijakan pelayanan yang aspiratif; [4] bagaimana birokrasi dapat memberikan kewenangan yang lebih besar pada petugas pelayanan (street-level bureaucracy) untuk mengambil keputusan untuk mengurangi ‘budaya minta petunjuk’ pada pejabat; dan [5] bagaimana birokrasi dapat 10 Theo AJ. Toonen & Jos CN Raadschelders , Backgroundpaper for the Presentation on Public Sector Reform in Western Europe, Conference on Comparative Civil Service Systems, School of Public and Environmental Affairs (SPEA), Indiana University, Bloomington (IN), april 5 - 8, 1997. This paper is produced in the context of a comparative research project on public sector reform in Central, Eastern and in Western Europe (dir: Joachim Jens Hesse, Oxford/Berlin) 11 Denhardt, Janet V. & Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service, M.E. Sharpe,Inc., New York.
S. 331, October 28, 2004
7
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
lebih berorientasi pada kualitas output dan outcome layanan, daripada prosedur layanan yang dibuat secara rigid. Selandia Baru (New Zealand) memulai program reformasi manajemen pelayanan publik pada pertengahan tahun 1980-an, melalui adanya kebijakan yang bersifat “topdown” untuk melakukan privatisasi pada sektor-sektor pelayanan Pemerintah yang dianggap memungkinkan untuk dilakukan. Sistem pengawasan kinerja birokrasi yang didasarkan pada otoritas, digantikan dengan sistem “market incentives”, artinya kontrol terhadap kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan tidak dapat lagi hanya didasarkan pada otoritas politik, tetapi juga melibatkan mekanisme pasar yang melibatkan “customers” dan stakeholders pelayanan. Kinerja pelayanan birokrasi juga lebih difokuskan pada output atau produk layanan yang dihasilkan, bukannya pada input layanan (anggaran) dan sebagainya. Hal ini membawa konsekuensi pada lebih diperhatikannya masalah kualitas atau mutu dari suatu produk layanan yang dihasilkan oleh birokrasi menurut perspektif pengguna layanan, jadi pelayanan bukan semata-mata dilihat dalam konteks ketersediaan anggaran operasional pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah. Birokrasi pelayanan di Selandia Baru mulai diperkenalkan pada adanya suatu “kontrak kerja pelayanan”, baik antara Pemerintah dengan Badan/Instansi Penyedia Layanan (providers). Pemerintah menerapkan adanya kontrak pelayanan kepada BadanBadan Pemberi layanan agar dapat memenuhi kinerja pelayanan yang telah ditetapkan dalam kontrak tersebut. Kepala Badan/Instansi pelayanan (di Indonesia Kepala Dinas/Badan), dapat menegosiasikan kontrak pelayanan ini kepada para aparatur birokrasi pelayanan di Badan/instansi pelayanan tersebut guna mencapai kesamaan visi pelayanan. Birokrasi juga diperkenalkan pada sistem anggaran yang lebih difokuskan pada pencapaian kinerja pegawai dalam memberikan pelayanan, artinya pemberian insentif akan diberikan pada pegawai birokrasi yang memiliki kinerja pelayanan baik dilihat dari indikator-indikator kinerja yang telah ditetapkan. Penerapan model-model pelayanan baru ini ternyata membawa perubahan besar dalam birokrasi pelayanan di Selandia Baru. Pemerintah Australia demikian pula telah melakukan upaya reformasi manajemen pelayanan publik semenjak tahun 1980-an. Adanya program baru yang digulirkan pada masa pemerintahan Perdana Menteri Robert Hawke pada tahun 1983 berupa “managing for result” telah membawa banyak perubahan pada kinerja birokrasi Pemerintah. Para pejabat birokrasi didorong untuk mempergunakan proses perencanaan yang mengadopsi model “corporate-style” untuk mengidentifikasi prioritas, tujuan, sasaran, dan perbaikan manajemen anggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Upaya serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Inggris pada masa pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher, dimana penerapan pendekatan “Citizens’ Charter” dilakukan sebagai bentuk responsibilitas Pemerintah sebagai penyedia layanan untuk menyusun standar pemberian pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna layanan. Pemerintah Inggris memiliki asumsi dasar yang berperspektif ekonomi bahwa buruknya kinerja birokrasi dapat terjadi karena adanya faktor monopoli pelayanan oleh birokrasi, transaksi biaya tinggi dalam birokrasi, dan masalah distorsi informasi yang turut memperburuk terjadinya inefisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Birokrasi pemerintah Malaysia juga mulai menerapkan reformasi pelayanan publik pada tahun 1996 dengan dicanangkannya program Visi Malaysia 2020 [Sarji, 1996]. Salah satu langkah kebijakan reformasi pelayanan publik yang dilakukan adalah merombak budaya birokrasi menjadi budaya kerja yang berorientasi pada kualitas pelayanan. Pemerintah Malaysia sangat menaruh perhatian dan komitmen besar untuk memfokuskan pada kebutuhan pengguna layanan [focus on the customer] dalam
S. 331, October 28, 2004
8
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
pemberian pelayanan publik. Birokrasi pelayanan diwajibkan menyusun standar dan indikator kinerja pelayanan, serta berorientasi pada perubahan. Melalui berbagai langkah reformasi pelayanan yang dilakukan, birokrasi Malaysia akhirnya mampu meraih penghargaan ISO 9000, suatu bentuk penghargaan yang diberikan bagi lembaga/organsasi pelayanan yang dapat mencapai standar pemberian pelayanan yang memuaskan pengguna layanan. Reformasi pelayanan publik di Amerika Serikat banyak diilhami oleh tulisan David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya “Reinventing Government”, serta tulisan Osborne dan Plastrik12 yang kemudian memperkenalkan prinsip-prinsip birokrasi sebagai “public enterpreneurs” yang membawa perubahan besar dalam birokrasi pelayanan di Amerika Serikat. Beberapa ide reformasi manajemen pelayanan publik dari Osborne yang diterapkan di birokrasi Amerika antara lain birokrasi mengembangkan budaya kompetisi dalam memberikan pelayanan, baik antar badan/unit pelayanan di lingkungan birokrasi sendiri, dengan pihak swasta, maupun badan-badan penyedia layanan non pemerintah lainnya. Ide kompetisi pelayanan ini akan menghasilkan efisiensi dan responsivitas birokrasi pada perubahan lingkungan sehingga dapat meningkatkan daya inovasi dalam birokrasi. Citizens’ Charter : Upaya Reformasi Pelayanan Di Indonesia Setiap pegawai baru pemerintah (PNS) sebelum melaksanakan tugasnya harus mengangkat sumpah pegawai yang berisi kesanggupan untuk menjadi “abdi negara dan abdi masyarakat” Apa makna di balik sumpah pegawai tersebut?, yakni mereka harus menempatkan diri sebagai ‘pelayan masyarakat’ [public servant], dimana memberikan pelayanan secara baik kepada warga pengguna adalah menjadi tugas utamanya. Namun, makna dari kata ‘abdi’ justru menjadi diabaikan atau bahkan tidak dilakukan. Banyak pejabat birokrasi yang memposisikan dirinya sebagai seorang ‘Birokrat’, yang identik dengan pejabat pemerintah, yang di Indonesia kental dengan nuansa dan nilai-nilai kekuasaan di dalamnya. Kesalahan dalam menanamkan nilai-nilai birokrasi sebagai ‘pelayan masyarakat’ yang profesional ini berjalan cukup panjang, serta tersosialisasi membentuk sebuah sistem yang terus berlanjut dengan suatu sistem nilai budaya yang mewarnai kehidupan birokrasi tersebut. Sistem nilai budaya yang membentuk suatu paradigma dimana pejabat birokrasi dipersepsikan sebagai pihak yang memiliki kewenangan besar, dan aparat birokrasi pada hierarki bawah dipersepsikan sebagai pelaksana. Sedangkan masyarakat dipersepsikan sebagai sekumpulan orang yang tidak memiliki peran apapun, kecuali sebagai ‘obyek’ yang harus tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan oleh pejabat birokrasi. Dalam paradigma seperti ini posisi aparatur birokrasi [street-level bureaucracy] akan cenderung tunduk pada kepentingan pejabat birokrasi, ketimbang pada warga masyarakat pengguna. Paradigma ini sangat berpengaruh pada kinerja pelayanan birokrasi, oleh karena itu perlu dilakukan perubahan mindset birokrasi. Birokrasi sebagai penyedia layanan harus memiliki kesadaran untuk menempatkan warga masyarakat sebagai ‘pengguna layanan’ [customer], bukannya sebagai obyek yang harus tunduk pada aturan yang dibuat oleh birokrasi. Masih adanya pandangan sebagian pejabat birokrasi bahwa gaji yang mereka terima berasal dari pemerintah, bekerja dengan baik ataupun tidak, melayani dengan baik ataupun tidak, menganggap warga masyarakat sebagai ‘customer’ atau obyek pelayanan, tidak akan berpengaruh pada karir mereka, harus segera diakhiri. Birokrasi harus dapat dimotivasi untuk meningkatkan kinerja pemberian pelayanan kepada warga 12 Lihat: Osborne, David & Peter Plastrik. 2000. “Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju
Pemerintahan Wirausaha”, penerjemah Abdul Rosyid & Ramelan., PPM Jakarta.
S. 331, October 28, 2004
9
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
pengguna. Hal ini yang mendorong Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM bekerjasama dengan Ford Foundation melakukan kegiatan eksperimentasi pelembagaan model Citizens’ Charter [‘Kontrak Pelayanan’] dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Melalui berbagai pertimbangan yang mendasarinya, kemudian kegiatan ini dilakukan di tiga kota dengan mengambil tiga kasus pelayanan yang berbeda pula, yakni kota Blitar [pelayanan puskesmas], kota Yogyakarta [pelayanan akta kelahiran], dan kota Ambarawa [pelayanan KTP dan HO]. Ketiga lokasi eksperimentasi Citizens’ Charter tersebut dipilih atas dasar adanya komitmen dan dukungan yang tinggi dari pimpinan daerah, seperti bupati dan walikota setempat. Lingkungan birokrasi sebagai tempat kegiatan pelembagaan Citizens’ Charter amat dipengaruhi oleh budaya birokrasi yang masih bersifat patrilineal. Oleh karenanya, tanpa adanya dukungan yang kuat dari pimpinan birokrasi setempat, kegiatan pelembagaan ini menjadi suatu keniscayaan. Citizens’ Charter adalah suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai pusat perhatian. Artinya, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk mencapai maksud tersebut, Citizens’ Charter mendorong penyedia layanan untuk bersama dengan pengguna layanan dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyepakati jenis, prosedur, waktu, biaya, serta cara pelayanan. Kesepakatan tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan hak dan kewajiban antara penyedia layanan, pengguna layanan, serta stakeholder. Kesepakatan inilah yang nantinya menjadi dasar praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Citizens’ Charter diperlukan karena beberapa hal. Pertama, untuk memberikan kepastian pelayanan yang meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara pelayanan. Kedua, pemberian informasi mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan, dan stakeholder lainnya dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan. Ketiga, untuk mempermudah pengguna layanan, warga, dan stakeholder lainnya dalam mengontrol praktik penyelenggaraan pelayanan. Keempat, untuk mempermudah manajemen pelayanan memperbaiki kinerja penyelenggaraan pelayanan. Kelima, untuk membantu manajemen pelayanan mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan aspirasi pengguna layanan serta stakeholder lainnya. Tujuan pelembagaan Citizens’ Charter adalah membuat pelayanan publik menjadi lebih responsif, yaitu sesuai antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat, transparan baik dari segi waktu, biaya, maupun cara pelayanan, serta akuntabel. Selain itu, dengan adanya Citizens’ Charter, pengguna pelayanan juga dapat mengakses informasi pelayanan dan melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pelayanan serta menghargai martabat dan kedudukan pengguna layanan sebagai warga yang berdaulat. Di lain sisi, bagi penyedia layanan, Citizens’ Charter bermanfaat untuk memudahkan evaluasi terhadap kinerja pelayanan dan membantu memahami kebutuhan dan aspirasi warga serta stakeholder mengenai penyelenggaraan pelayanan publik. Citizens’ Charter juga memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa pelayanan publik bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab semua termasuk warga dan pengguna layanan. Fase pelembagaan Citizens’ Charter ada empat, yakni promosi, formulasi, implementasi dan evaluasi. Pada fase promosi, kegiatan utama yang dilakukan adalah mengenalkan kepada publik tentang pendekatan Citizens’ Charter dan membangun kesepakatan pelayanan antara penyedia, pengguna dan stakeholders pelayanan lainnya, serta pembentukan Forum Citizens’ Charter di tiap-tiap kota. Pada fase formulasi, kegiatan utama yang dilakukan adalah mempersiapkan instrumen bagi keperluan survei pengguna jasa, menganalisis data hasi survei, serta menyusun draft kesepakatan berupa ‘Kontrak Pelayanan’ yang berisi janji perbaikan pelayanan ke depan oleh birokrasi. Pada
S. 331, October 28, 2004
10
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
fase implementasi, kegiatan utama adalah menerapkan ‘Kontrak Pelayanan’ yang telah disepakati ini dalam penyelenggaraan pelayanan sehari-hari. Terdapat beberapa kegiatan yang menyertainya, seperti adanya uji publik terhadap ‘Kontrak Pelayanan, talkshow, dialog dengan pejabat birokrasi, anggota DPRD, serta penerbitan semacam buletin tentang ‘Kontrak Pelayanan’. Sedangkan pada fase evaluasi , kegiatan utama yang dilakukan adalah melihat sejauh mana perubahan cara pelayanan yang telah dilakukan setelah diterapkannya ‘Kontrak Pelayanan’. Perubahan pelayanan terutama dilihat pada aspek keramahan atau etika pelayanan, kepastian dan transparansi biaya, kepastian waktu pelayanan, kepastian prosedur, respon petugas terhadap keluhan warga pengguna, dukungan sarana prasarana pelayanan, serta mengindentifikasi berbagai bentuk pelanggaran dari ‘Kontrak Pelayanan’. Pengalaman selama menjalankan proses pelembagaan Citizens’ Charter di Blitar, Yogyakarta, dan Ambarawa menghasilkan banyak manfaat yang dapat dipetik bagi upaya perbaikan kinerja penyelenggaraan pelayanan publik di masa mendatang. Baik pihak mitra lokal, birokrasi pemerintah, maupun anggota Forum Citizens’ Charter di tiga kota ini sepakat bahwa adanya kegiatan eksperimentasi seperti ini setidaknya memberikan manfaat pada tiga hal mendasar, yakni (1) perubahan budaya dan norma pelayanan birokrasi; (2) terselenggaranya manajemen pelayanan publik yang partisipatif, transparan, dan akuntabel; (3) sebagai bentuk kegiatan advokasi pemberdayaan stakeholders di luar birokrasi; (4) membuka ruang dan kesempatan interaksi yang lebih luas antara birokrasi dengan masyarakat; serta (5) munculnya wacana untuk mengadopsi konsep citizens charter dalam penyusunan peraturan daerah (perda) tentang pelayanan publik. Citizens’ Charter telah mencoba memperkenalkan adanya suatu proses perubahan norma atau nilai-nilai pelayanan baru kepada birokrasi dan warga pengguna layanan tentang pentingnya etika dalam pemberian pelayanan. Citizens’ Charter memberikan kepada birokrasi maupun stakeholders pelayanan lainnya suatu bentuk perubahan budaya (mindset) pelayanan yang jauh lebih humanis, egalitarian, dan nondiskriminatif dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Para pejabat birokrasi telah mulai dapat merasakan pentingnya suatu sosok birokrasi yang menghargai dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh hak-hak warga pengguna layanan. Demikian pula warga pengguna, anggota Forum Citizens’ Charter dan stakeholders pelayanan lainnya mulai terbuka wawasan mereka tentang pentingnya melakukan kontrol terhadap kualitas kinerja pelayanan birokrasi agar tidak melanggar hak-hak dasar pada warga masyarakat pada umumnya. Pejabat birokrasi juga mulai mengenal dan membiasakan diri pada penerapan ‘budaya melayani’ (culture of serving) dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Budaya melayani yang diperkenalkan dalam Citizens’ Charter ini adalah budaya yang mengajarkan adanya penghargaan atas hak dan kewajiban, baik dari pihak pengguna maupun penyedia layanan Citizens’ Charter memberikan suatu pengalaman pada birokrasi untuk mengembangkan suatu manajemen penyelenggaraan pelayanan publik yang memberikan kesempatan lebih nyata pada pelibatan stakeholders pelayanan dalam proses pengambilan kebijakan. Proses kegiatan untuk melakukan survei pengguna layanan misalnya, telah memberikan suatu perspektif baru di kalangan pejabat birokrasi maupun anggota forum tentang relevansi survei pelanggan bagi perbaikan responsivitas pelayanan. Kegiatan ini juga telah memungkinkan stakeholders pelayanan untuk mengetahui berbagai kendala maupun masalah yang terjadi dalam keseluruhan proses pelayanan, terutama menyangkut aspek biaya, waktu, prosedur atau mekanisme, dan sebagainya. Dengan demikian, Citizens’ Charter telah memulai mendorong pada birokrasi pemerintah untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Birokrasi menjadi terbiasa untuk ‘mendengar’ apa yang menjadi aspirasi stakeholders pelayanan dan menjadikan birokrasi merasa
S. 331, October 28, 2004
11
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
mempunyai ikatan tanggung jawab pada stakeholders pelayanan dalam pemberian pelayanan. Citizens’ Charter, dengan ‘Kontrak Pelayanan’ yang berhasil dirumuskan di dalamnya, telah memberikan suatu bentuk akuntabilitas baru bagi birokrasi dalam memberikan pelayanan. Akuntabilitas pelayanan birokrasi kini tidak lagi hanya ditujukan kepada bupati/walikota atau DPRD, melainkan secara lebih faktual banyak ditujukan kepada stakeholders pelayanan secara keseluruhan. Penutup Istilah Citizens’ Charter diambil dari istilah yang berkembang di Barat, di Indonesia padanan kata yang dipandang mempunyai makna yang sama adalah dengan isitlah “Kontrak Pelayanan”. Bila para politisi atau anggota legislatif harus menandatangani ‘Kontrak Politik” atau ‘Kontrak Sosial’ dengan konstituen yang diwakilinya, maka dalam pelayanan publik suatu “kontrak pelayanan” merupakan bentuk kesepakatan bersama antara penyedia dengan pengguna layanan. Kesepakatan ini dirumuskan dengan tujuan agar kinerja penyelenggaraan pelayanan publik menjadi lebih transparan, responsif dan akuntabel. Model Citizens’ Charter diharapkan akan lebih menempatkan warga pengguna sebagai stakeholder pelayanan penting, serta menjadi pusat perhatian birokrasi. Sebagai pusat perhatian, berarti sistem pelayanan [term of services] seperti prosedur, mekanisme, kepastian waktu dan biaya pelayanan, informasi layanan, harus didasarkan pada aspirasi, kebutuhan dan harapan pengguna layanan. Citizens’ Charter menawarkan suatu pendekatan dalam pemberian pelayanan publik yang lebih manusiawi, artinya menghargai martabat dan hak-hak sebagai pengguna layanan, seperti adanya standar sapaan, keramahan dan menjadikan aspirasi pengguna layanan sebagai kekuatan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Penerapan Citizens” Charter dalam proses pemberian pelayanan publik akan mendorong birokrasi untuk melakukan perubahan mindset dan kultur pelayanan yang diskriminatif. Dengan menciptakan kultur pelayanan, maka berbagai praktik pelayanan yang merugikan pengguna layanan, seperti kolusi, korupsi, ‘uang suap’, dan sebagainya akan dapat dikurangi. Aparatur birokrasi juga akan didorong untuk profesional, mampu mengembangkan nilai-nilai partisipatif dalam penyelenggaraan pelayanan publik melalui pelembagaan survei pelanggan, serta memperkuat akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan kepada warga pengguna layanan. Arogansi birokrasi secara sistematis akan berkurang karena pejabat birokrasi akan menempatkan diri sebagai ‘service provider’, bukannya seorang penguasa. Kinerja pelayanan akan jauh lebih akuntabel karena forum multistakeholders akan turut mengawasi kinerja birokrasi, sekaligus menjadi mitra birokrasi bagi perbaikan kualitas pelayanan. Referensi Denhardt, Janet V. & Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving, Not Steering, M.E. Sharpe, New York. Dwiyanto, Agus. 2004. Pelatihan Pengembangan Pelayanan Publik Yang Berwawasan Good Governance, Proposal pelatihan, tidak dipublikasikan. Dwiyanto, Agus. Dkk. 2002. Reformasi Birokrasi di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta. Governance and Decentralization Survey 1+. 2004. Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM – Bank Dunia, Yogyakarta, tidak dipublikasikan. Osborne, David & Peter Plastrik. 2000. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, penerjemah Abdul Rosyid & Ramelan., PPM Jakarta.
S. 331, October 28, 2004
12
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University
Sarji, Ahmad. 1996. Civil Service Reforms: Toward Malaysia’s Vision 2020, Pelanduk Publications, Selangor. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Tjokrowinoto, Moeljarto. 2004. Birokrasi Dalam Polemik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
S. 331, October 28, 2004
13