Telaah Kritis Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Hukum Adat dan Islam Sebagai Aktualisasi Nilai-Nilai Kemajemukan Rakyat Indonesia By: Rizkia Amelia Sania Putri ** Abstract Each country has its own legal system. Legal system in Indonesia, the three legal systems, namely customary law, Islamic law and Western law, particularly the laws of the Netherlands is different from the legal system in force in other countries. Even different from the Dutch legal system that never uses the principle of concordance in Indonesia in times of colonialism. From this came the question of how the enforcement process and the differences of the legal system. Basic thoughts regarding the codification of Indigenous values and Islam above a critical study author against claims actualization of moral values and ethics into regional regulations deemed to have been uprooted from the soul of the nation of Indonesia. It is true that Indonesia is a pluralistic country and with Thus uniformasi customary law is a form of denial of pluralism in Indonesia. But the authors conclude that the form of the formalization of Customary Law it would eliminate the essence of all customary late from a community group and positivisasi Islamic law tends to make Islam is elitist and exclusive. Abstrak Setiap negara memiliki sistem hukumnya sendiri-sendiri. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia dikenal tiga sistem hukum yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum barat, khususnya hukum-hukum belanda berbeda dengan sistem hukum yang berlaku di negara-negara lain. Bahkan berbeda dengan sistem hukum belanda yang pernah menggunakan asas konkordansi di Indonesia pada masa-masa kolonialisme. Dari sinilah muncul persoalan tentang bagaimana terjadinya proses pemberlakuan dan perbedaan-perbedaan sistem hukum yang berlaku tersebut. Pokok-pokok pikiran mengenai kodifikasi nilai-nilai Hukum Adat dan Islam di atas merupakan kajian kritis penulis terhadap klaim aktualisasi nilai-nilai moral dan etika ke dalam Peraturan Daerah yang dianggap telah tercerabut dari jiwa bangsa Indonesia. Benar bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dan dengan demikian uniformasi **Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Alumni Program Studi Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia. Email:
[email protected]
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
140
hukum adat adalah bentuk pengingkaran terhadap pluralisme di Indonesia. Tetapi Penulis menyimpulkan bahwa bentuk formalisasi Hukum Adat justru akan menghilangkan esensi ke-adat-an dari suatu kelompok masyarakat dan positivisasi Hukum Islam cenderung menjadikan Islam bersifat elitis dan eksklusif. Kata Kunci: Sistem Hukum, Peraturan Hukum & Otonomi Daerah. A. Pendahuluan Setiap negara memiliki sistem hukumnya sendiri-sendiri. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia dikenal tiga sistem hukum yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum barat, khususnya hukum-hukum belanda berbeda dengan sistem hukum yang berlaku di negara-negara lain. Bahkan berbeda dengan sistem hukum belanda yang pernah menggunakan asas konkordansi di Indonesia pada masa-masa kolonialisme. Dari sinilah muncul persoalan tentang bagaimana terjadinya proses pemberlakuan dan perbedaan-perbedaan sistem hukum yang berlaku tersebut.1 Dalam diskursus hukum positif, terdapat asumsi bahwa hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir non yuridis. Asusmsi ini pertama dikenalkan oleh penganut ajaran positivisme, yang di Inggris di pelopori oleh John Austin pada tahun 1879 dalam bukunya Lectures on Jurisprudence or the Philosophy of Positive Law, yang didalamnya memuat tentang upayaupaya teori hukum murni untuk memperoleh hasil-hasilnya yang melalui hukum positif (hukum yang dilepaskan dari anasir-anasir nonyuridis). Dalam penegasannya disebutkan bahwa setiap ilmu hukum harus mendasarkan dirinya pada tata hukum positif atau perbandingan materi dari sejumlah teori hukum.2 Kritik Austin berpendapat bahwa hukum positif diartikan sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau lembagalembaga yang memiliki kedaulatan dan diberlakukan terhadap anggotaanggota masyarakat politik yang merdeka. Anggota tersebut mengakui 1Ilham
Basri, Sistem Hukum Indonesia: Prisnsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 1-5. Lihat juga M. Khozim, Perbandingan Hukum dalam Konteks Global sistem Eropa, Asia dan Afrika, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm. 5. Baca juga Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung: Alumni, 2010), hlm.1. 2Darji Darmodiharjo dan Shidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 96. Baca juga Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpensi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2012), hlm.212. lihat juga achmad Ali, Menguak Tabir hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm.195.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
141
kedaulatan atau suprematis yang dimiliki orang atau lembaga-lembaga pembuat hukum yang bersangkutan. Dengan demikian kebiasaan menurutnya adalah berlaku sebagai hukum jika undang-undang menghendaki atau menyatakan dengan tegas.3 Savigny dalam pendapatnya melihat hukum sebagai historis, sehingga keberadaan setiap hukum adalah berbeda, tergantung keadaan tempat dan situasi berlakunya hukum. Hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa.4 Denga pendapat Savigny tersebut Soepomo memandang hukum asli bangsa Indonesia adalah hukum adat sebagai hukum tidak tertulis yang terdiri atas sebagaian besar hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam, meliputi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berdasarkan asas hukum dalam lingkungan tempat ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum hidup, karena ia menjelaaskan perasaan hukum yang nyata dari rakyatnya.5 Jauh sebelum masa penjajahan, masyarakat Indonesia telah memiliki pemerintahan dalam bentuk kerajaan, baik kerajaan Hindhu-Budha maupun kerajaan Islam. Dalam bentuk pemerintahan tradisional masa itu, setiap kerajaan telah membuat seperangkat aturan dan para penegak (patih, punggawa) untuk mengatur rakyatnya. Oleh Van Vollenhoven, aturanaturan pemerintahan tradisional tersebut diteliti dan menghasilkan 19 wilayah hukum adat (rechtskringen) yang masing-masing memiliki ciri khas masing-masing.6 Perbedaan antara satu organisasi masyarakat (kerajaan) dengan organisasi masyarakat lainnya waktu itu dipengaruhi juga oleh latar 3Hartono
Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indoneia, (Yogyakarta: Liberty, 2008), hlm. 9. 4Untuk lebih mempertegas pendapatnya, Savigny mengajukan tiga asumsi mengenai keberadaan hukum yang tidak dicatatkan yaitu: Pertama, ada keterkaitan antara hukum dan sejarah sehingga hukum bukanlah disusun atau diciptakan oleh orang, hukum tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat, namun perkembangan hukum itu sendiri pada dasarnya adalah diluar kesadaran dan merupakan proses yang organis. Kedua, hukum berkembang dari pandangan yang sederhana, dipahami sebagai hubungan hukum dalam masyarakat primitif, berkembang menjadi hukum yang kompleks dalam peradaban modern, kesadaran masyarakat ini tidak dapat memanifestasikan dirinya sendiri secara langsung melainkan direpresentasikan para ahli hukum yang memformulasikan hukum secara teknis. Ketiga, hukum tidak memiliki validitas atau tidak dapat diterapkan secara universal karena setiap masyarakat telah membangun lingkungan hukumnya sendiri, tata kramanya, adat istiadatnya dan bahasa khas sendirinya. 5Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm.12. 6CST Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. Ke-7, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 130
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
142
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
belakang agama. Faktor ini menyebabkan Hukum Adat ada yang bercorak lokal tradisional dan bercorak agama (syari’ah)7. Lalu pada abad 18 Belanda datang ke Indonesia dan mulai mengadakan kodifikasi hukum. Belanda mengadopsi Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) yang sudah lebih dulu digunakan di Negeri Belanda untuk diterapkan khusus bagi orang Belanda yang tinggal di Indonesia. Setelah munculnya kepentingan-kepentingan Belanda terhadap rakyat pribumi, barulah kemudian Belanda mengkodifikasi hukum untuk seluruh masyarakat (pribumi, Timur Asing, Belanda, dan Eropa) saat itu dengan mengeluarkan Pasal 131 Indische Staatsregelling yang menentukan hukum-hukum mana saja yang berlaku untuk masyarakat saat itu.8 Sedangkan dalam bidang publik terdapat Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia sejak tahun 1918.9 Pada zaman VOC, Hukum Islam telah berlaku dan diakui oleh masyarakat, dihimpun dalam Kitab Hukum Islam atau yang dikenal sebagai Compendium Freijer.10 Eksistensi Hukum Islam ketika itu mengalami resistensi atas teori baru Snouck Hurgronje dengan receptie theorie yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku dalam realitas masyarakat adalah hukum adat, sedangkan hukum Islam baru dapat diberlakukan apabila sudah beradaptasi dengan hukum adat. Aplikasi dari teori Hurgronje ini di satu sisi memuat pengakuan terhadap Hukum Islam, tetapi di sisi lain membatasi implementasi Hukum Islam di masyarakat Indonesia.11
7Di beberapa kerajaan Nusantara waktu itu, hukum Islam diakui dan dianut oleh masyarakat seperti di Sumatera terdapa kerajaan Sultan Pasai, di Aceh seperti Kerajaan Pagar Ruyung, di Minangkabau Kerajaan Paderi, di Jawa Kerajaan Demak, Mataram dan Sultan Agung, di Makassar kerajaan Hasanuddin, dan sebagainya. Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti , hlm. 58 8 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum..., hlm. 126-127 9 Ibid, hlm. 134 10Berisi aturan-aturan hukum keluarga, perkawinan, kewarisan Islam, dan sebagainya yang diterapkan dalam Pengadilan VOC, Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata..., hlm. 58 11Akibat pemberlakuan teori resepsi ini, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Staatsblad Nomor 116 dan 610 Tahun 1937 tentang Kebijakan Baru Membatasi Kewenangan Peradilan Agama. Teori ini terus berlaku sampai pada tahun 1970-an. Ibid, hlm. 60
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
143
Dengan demikian, sejak awal negara Indonesia berdiri telah nyata bahwa hukum yang berakar dan berkembang di masyarakat bersifat majemuk (plural) tergantung dari kewarganegaraan (nationality) dari subjek hukum yang bersangkutan. Pluralisme hukum tersebut mencerminkan adanya corak yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Meskipun pemerintah Indonesia telah berusaha melakukan modifikasi, kodifikasi, dan unifikasi hukum (termuat dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973) tetapi hingga saat ini Sistem Hukum Nasional Indonesia tidak menghilangkan pluralitas hukum Indonesia. B. Otonomi Daerah dan Perkembangan Hukum Lokal Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan. Berbicara tentang kekuasaan kehakiman dalam suatu negara hukum tidak akan ada artinya apabila kekuasaan penguasa negara masih bersifat absolut dan tidak terbatas.12 Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi. Daerah Propinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah propinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Di dalam sistem pemerintahan daerah berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berikut peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku, asas desentralisasi dan otonomi selalu menjadi dasar dalam lingkup substansi dan perwujudan masih terlihat sedang mencari bentuk serta mengalami berbagai perkembangan. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.13 Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Dengan diberikannya hak otonomi tersebut 12Am’mar A.A, “Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”, Skripsi, Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, (2006) hlm. 5. 13Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), hlm. 60.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
144
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
kepada daerah, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masingmasing daerah. Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota atau antara propinsi kabupaten, dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pencanangan otonomi daerah pada tanggal 1 Januari 2001, tentu saja tidak sedemikian saja memenuhi keinginan daerah, bahwa dengan otonomi daerah segalanya akan berjalan dengan lancar dan mulus. Keberhasilan otonomi daerah sangat tergantung kepada pemerintahan daerah, yaitu DPRD dan kepala daerah dan perangkat daerah serta masyarakatnya untuk bekerja keras, terampil, disiplin, dan berperilaku sesuai dengan nilai, norma, dan moral serta ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan prasarana dan sarana serta dana yang terbatas secara efisien, efektif, dan profesional. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008). Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah telah mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah pada bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan (balance power sharing). Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
145
Daerah ini terdapat kelemahan yaitu tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-undang tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan yang dimaksud otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan14. Dalam kenyataannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, perlu diganti (direvisi) dan kemudian disahkan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Prinsip otonomi daerah dari sentralistik (UU No. 5 Tahun 1974) menuju desentralistik melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tetap memperhatikan urusan mana yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan dan urusan daerah. Prinsip otonomi daerah yang dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004 adalah otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Sebagai satu upaya pemerintah untuk tetap menjaga kesatuan Hukum Nasional sebagai dasar dari penegakkan hukum maka UU No. 32 Tahun 2004 memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk membatalkan Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. Ditinjau dari hubungan Pusat dan Daerah, pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan agara tidak tercerai burai. Pengawasan terhadap setiap kegiatan Pemda termasuk Perda dan Keputusan Kepala Daerah merupakan suatu akibat mutlak dari negara kesatuan (unitary state). 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang 14 15
Ibid., hlm. 141.
Ibid, hlm. 352 - 355
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
146
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
Pemerintahan Daerah menjelaskan mengenai penambahan ayat pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan 4 ayat tambahan. Pemerintahan Daerah juga tidak diartikan sama antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi, sedangkan pemerintah daerah itu yang dimaksud adalah Kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sedangkan pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pada dasarnya memang pemahaman mengenai pemerintahan daerah atau bahkan otonomi daerah di Indonesia terus berkembang. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi. Daerah propinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah propinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota atau antara propinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
147
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Pemerintahan Daerah Propinsi terdiri atas Pemerintah Daerah Propinsi dan DPRD Propinsi. Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota terdiri atas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/ Kota. C. Efektivitas Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial Tingkat Daerah Klaim yang digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk melegitimasi pembentukan Hukum Adat dan Syari’ah adalah karena adanya kekosongan peraturan (vacuum of law) yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat di tingkat daerah. Penyebabnya ialah karena tidak sesuainya konsep dan nilai yang digunakan dalam undang-undang tingkat Nasional dengan masyarakat setiap daerah yang sangat plural karena faktor keberadaan hukum yang menjadi warisan kolonialisme Belanda (genesis of law) dan proses pembentukan peraturan hukum yang memisahkan diri dari nilai dan moralitas masyarakatnya.16 Hukum sepatutnya responsif terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di mayarakat. Fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (tool of social engineering) dapat diformulasikan dalam produk hukum dari satuan pemerintah paling sederhana misalnya Peraturan Daerah tingkat Kota/Kabupaten. Artinya, Perda menjadi kunci mencapai tujuan daerah tertentu, seperti membangun budaya hukum masayarakat lokal dan 16Jawahir Thontowi, Dari Living Law Menuju Hukum Lokal: Pembentukan Perda Berbasis Hukum Adat dan Islam, disampaikan dalam Kuliah Umum di Sekolah Tinggi Agama Islam, diselenggaraka Jum’at 16 Mei 2013, di Kampus STAIN, Samarinda, Kalimantan Timur
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
148
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
pemenuhan aspirasi kelompok-kelompok masyarakat di lingkungan tersebut. Dalam konstruksi berpikir logis, tuntutan adanya Perda Adat dan Syari’ah yang bersifat kedaerahan adalah bentuk keniscayaan dari negara kesatuan. Justru pelarangan terhadap adanya bentuk-bentuk khusus dari suatu pemerintah atau legalisasi peraturan yang memiliki corak kedaerahan (paradigma uniformitas) adalah suatu bentuk pengingkaran terhadap asas ke-bhineka-an. Jadi, faktor yang mendorong keinginan daerah untuk memiliki corak hukum tersendiri bukanlah semata-mata karena tidak sesuainya konsep dan nilai yang digunakan dalam undang-undang tingkat Nasional dengan masyarakat daerah tersebut melainkan keadaan perbedaan budaya dan adat dari sudut-sudut wilayah Indonesia. Adanya Pancasila sebagai landasan filosofis dan sumber dari sumber hukum materiil Indonesia sesungguhnya mewakili nilai-nilai moral bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang berarti Pancasila menjadi pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari rakyat negara Indonesia.17 Pancasila wajib dipahami sebagai penyatuan nilai-nilai dan moral seluruh rakyat Indonesia yang sangat beragam. Maka, sesungguhnya apapun peraturan perundang-undangan di level Nasional sepatutnya tetap sesuai dengan nilai dan moral masyarakat tiap-tiap daerah karena landasan yuridis dari pembentukan peraturan tersebut harus mengacu pada butir-butir Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai norma dasar pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jika konsep berfikir ini telah diterima, maka permasalahan yang muncul kemudian ialah pada kenyataannya tidak semua produk legislatif berupa undang-undang atau produk eksekutif berupa keputusankeputusan, sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Suatu hukum nasional yang tidak mengakomodir nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 mengakibatkan terjadi gap antara hukum nasional dengan masyarakat daerah. Menurut pandangan penulis, persoalan ini tidak bisa langsung dijawab dengan menganggap bahwa Perda Adat dan Syari’ah sebagai satusatunya jalan keluar agar hukum selalu sesuai dengan keinginan masyarakat lokal. Sebab tidak ada yang menjamin pula dalam penyusunan Perda Adat 17Jazim Hamidi, Perkembangan Teori Hukum Tata Negara (Sebuah Gagasan Kontemplatif), Jurnal Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Vol. 3, No. 1, ISSM 021969x, Tahun 2007, hlm. 64
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
149
dan Syari’ah tersebut telah mengikuti alur-alur berfikir sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Tidak dapat dijamin pula apakah dalam pembentukan Perda tersebut juga merepresentasikan masyarakat pada daerah tersebut sebab tesis Karl Marx menyatakan bahwa hukum bisa memasukkan ketetapan-ketatapn yang melindungi atau menguntungkan kelompok-kelompok tertentu ketika dan sejauh kelompok tersebut memegang kendali kuasa.18 Dengan alur berfikir reciprocal inilah penulis menolak alasan dibalik legislasi Perda Adat dan Syari’ah sebagai akibat dari hukum nasional yang dianggap tidak sesuai dengan moral dari masyarakat lokal. Maka asumsi Perda Adat dan Syari’ah akan serta merta mengembalikan rasa keadilan, nilai dan moral suatu masyarakat tidak selalu benar. Meskipun demikian, penulis setuju adanya mekanisme perlindungan hukum adat melalui instrumen legal positivitik, sebab hukum adat memiliki struktur dan substansi yang berbeda dari hukum nasional. Mengetahui kelemahan hukum adat berhadapan dengan hukum nasional, maka negara seharusnya tanggap mengeluarkan aturan yang menjaga agar hukum adat tetap ada. Meminjam istilah Satjipto Rahardjo, dibutuhkan “kearifan berhukum” tersendiri untuk mengakomodir perbedaan-perbedaan dan tidak bisa menerapkan hukum secara seragam untuk seluruh Indonesia.19
D. Eksistensi Hukum Adat dan Syari’ah berdasarkan Teori Rasionalitas Max Weber Membahas tentang formalisasi suatu norma tidak lepas dari teori “tingkat rasionalitas” yang diusung oleh Max Weber yang menyatakan “tingkat rasionalitas sebuah masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu.” Menurut Max Weber, terdapat tiga tingkat rasionalitas, yakni (i) substantif – irasional; (ii) substantif dengan sedikit kandungan rasional (informal – rasional); dan (iii) rasional penuh (formal – rasional). Pada tipe pertama, melekat pada masyarakat yang masih dikuasai alam pikiran mistis yang serba alamiah dan naluriah. Tipe kedua dimiliki oleh masyarakat tradisi yang bertopang pada adat dan kebiasaan
18AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 951-355 19Satjitpo Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 118
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
150
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
tradisional. Tipe ketiga menjadi ciri masyarakat maju dan modern seperti Barat saat itu. Masing-masing tipe memiliki ciri khas masing-masing pula. Pada tipe substantif – irasional hukum tampil sebagai hasil dari sebuah intuisi tanpa aturan. Pada tipe informal – rasional hukum mewajah dalam bentuk aturan umum yang serba informal. Pada tipe formal – rasional, hukum sudah mengambil sosok dalam bentuk aturan-aturan rinci, khusus dan termodifikasi.20 Dari penggolongan di atas, maka terlihat bahwa hukum adat di Indonesia berada pada tahap kedua yaitu masyarakat yang memiliki hukum dari tradisi masyarakatnya itu sendiri tetapi belum dikodifikasikan. Hal itu yang menjadi ciri khas hukum adat (dan termasuk di dalamnya syari’ah) di mana esensi dari peraturan tentang tingkah laku, etika, benarsalah, perbuatan, sanksi, dan sebagainya tumbuh bersama jiwa bangsa Indonesia tanpa (sebelumnya) dikodifikasikan atau dipositivisasikan ke dalam suatu peraturan perundang-undangan. Gagasan untuk melakukan positivisme hukum adat dan syari’ah dalam suatu Perda bukan tanpa pertimbangan. Di satu sisi, positivisasi hukum adat dan syari’ah dimaksudkan sebagai upaya-upaya konstitusional di mana lembaga-lembaga legislative di daerah mengakomodir hukum adat dan hukum Islam yang cenderung termarjinalkan oleh peraturan perundang-undangan.21 Spesifiknya, kebijakan formalisasi hukum adat melalui peraturan daerah merupakan wujud revitalisasi nilai-nilai adat dan kelembagaannya yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Begitu juga dengan formalisasi hukum Islam, sebab di beberapa daerah yang mayoritas beragama Islam merasa bahwa hukum nasional yang diturunkan dari produk hukum Kolonial Belanda berlandaskan hukum kafir yang tidak bersumber dari Qur’an dan Hadits, sehingga perda syari’at menjadi solusi bagi masyarakat yang mayoritas Muslim untuk mengembalikan nilai-nilai keislaman ke dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakatnya. Atas pemikiran-pemikiran tersebut, penulis memiliki dua buah pertanyaan sebagai refleksi pendapat kodifikasi hukum adat dan hukum Islam ke dalam Perda Adat dan Perda Syari’ah. Pertama, apakah formalisasi hukum adat tidak menyebabkan hilangnya esensi ke-adat-an suatu masyarakat? Kedua, apakah formalisasi hukum Islam akan menjamin 20Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, 2007, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. Kedua, Surabaya: CV. KITA, hlm. 154-155 21 Jawahir Thontowi, Dari Living Law...,hlm. 9
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
151
masyarakat daerah tersebut benar-benar meresapi ajaran Islam ke dalam kehidupannya? 1. Esensi Nilai-Nilai Tradisionil Hukum Adat dalam Bentuk Hukum Formal – Rasional Sejak Prof. Mr. C. Van Vollenhoven mengeluarkan karyanya berjudul Het Adatrecht van Nederland Indie pada tahun 1918 dan disusul oleh muridnya Mr. B. Ter Haar Bzn yang menulis disertasi tentang Het Adat Procesrecht der Inlanders dan karya berjudul Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht, Hukum Adat yang awalnya tidak populer menjadi sasaran perhatian oleh pakar-pakar hukum zaman itu. Karya-karya tersebut menhgambarkan hukum adat asli Bangsa Indonesia yang memiliki pola-pola teratur dan sistem-sistem yang berbeda dengan Hukum Barat.22 Hingga saat ini, hukum adat memiliki struktur yang sangat berbeda dengan hukum nasional yang notabene adalah tipe hukum modern. Hukum nasional memiliki kelengkapan untuk bisa dijalankan secara efektif,mulai dari teks tertulis, aparat penegak hukum, dukungan finansial dan kelengkapan fisik lainnya. Hukum nasional memiliki legitimasi di seluruh negera dan keberlakuannya memiliki “daya paksa” (enforcing power). Meskipun demikian, politik hukum nasional masih menempatkan hukum ada di bawah hukum nasional karena keberlakuannya didasarkan pada legitimasi atau pengakuan keberadannya oleh hukum nasional.23 Hukum nasional sesungguhnya baru satu lapis tipis saja untuk menutupi lapisan tebal di bawahnya yang dinamakan orde okal. Orde lokal ialah tatanan masyaraka yang sudah sejak ratusan tahun lamanya menunjukkan jasa dan kemanfaatannya untuk menciptakan kehidupan yang teratur. Beragam Kitab Undang-Undang serta pepatah-petitih menunjukkan bahwa daerah-daerah di Indonesia sarat dengan bangunan tatanan sosial. Perlu digarisbawahi bahwa ketika hukum nasional diberlakukan pun tatanan dan tat tertib lokal ini tidak hapus di tengah masyarakat. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, hukum hanya bisa berlaku efektif apabila antara aparat dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan mengapa hukum
22 23
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum..., hlm. 130-131 Satjipto Rahardjo, Penegakan..., hlm. 119-120
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
152
harus berbuat begini atau begitu kepada mereka.24 Maka dapat dikatakan bahwa hukum adat itu lestari sebab masih adanya keterikatan antara masyarakat dengan hukum tersebut. Unger dalam bukunya berjudul Law in Modern Society juga mengemukakan bahwa: “...Finally, in ribal society there is mreley possibility, seldom realized, that the communal consensus will be disintegrate, making it pissible for beliefs to emerge that challenge familiar ways. But, for the most part, such change as exists tends to be noncumulative and unconscious. Structural change is an aberration rather than a normal fate.”25 Sebagai tambahan, Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria juga menjelaskan tentang hukum tanah adat bahwa sebagai hukum yang hidup, hukum tanah adat tidak luput dari pengaruh masyarakat lingkungan tempat berlaku dan bertumbuhnya. Masyarakat Hukum Adat itu pada gilirannya juga mengalami pengaruh dari masyarakat dan suasana sekelilingnya yaitu masyarakat modern yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Karena itu, pada kenyataannya hukum tanah adat yang berlaku sudah tidak sepenuhnya murni lagi.26 Artinya, memang disadari atau tidak suatu saat hukum-hukum adat dan masyarakatmasyarakat hukum adat akan berganti dengan hukum-hukum modern dan masyarakat yang modern pula sebagai akibat dari social changes. Di satu sisi, bentuk formalisasi, kodifikasi, atau positivisasi hukum adat ke dalam perda sejatinya hanya bermaksud untuk protecting and sustaining hukum adat dan hak-hak masyarakat hukum adat, tetapi pada saat yang bersamaan tidak menjamin bahwa masyarakat di wilayah tersebut akan terus menghayati nilai-nilai, prinsip-prinsip, makna dasar dari hukum adat seperti nenek moyangnya. Berdasarkan teori Max Weber tentang rasionalitas hukum, akan menjadi anomali jika hukum adat kemudian di-rasional – formal-kan dalam bentuk hukum positif, tetapi masyarakat tersebut masih mengklaim bahwa mereka adalah masyarakat tradisional. Sebab, formalisasi dan rasionalisasi hukum merupakan tahapan masyarakat modern, bukan masyarakat tradisional. Masyarakat 24Ibid,
hlm. 110-113 Mangabeira Unger, Law in Modern Society, Toward A Criticism of Social Theory, (New York: The Free Press, 1976), hlm. 154 26Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 62 25Robert
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
153
tradisional atau masyarakat adat hanyalah menggunakan hukum adat yang tidak tertulis (non-codified) dalam memecahkan persoalanpersoalan hukumnya dibantu oleh tetua adat atau perangkat adat yang sudah ditentukan oleh pemimpin kelompok adat tersebut. Sehingga dalam pelaksanannya dan penegakkannya, hukum adat bersifat flexibel dan kasuistik tidak rigid seperti hukum nasional yang positif. Dengan kata lain, penulis menganggap bahwa bentuk kodifikasi hukum adat di satu sisi akan melindungi dan melestarikan keanekaragaman hukum adat di Indonesia agar tidak tergerus oleh hukum nasional, tetapi di sisi lain kodifikasi tersebut dapat mereduksi esensi (essence), nilai (virtue), dan karakteristik (characteristic) hukum adat tersebut. 2. Perdebatan Postivisasi Hukum Islam dalam Bentuk Hukum Formal – Rasional Secara konsepsional, idiom tentang syari’at Islam masih terus mengalami perdebatan apakah mengikuti pola pandang yang inklusif, eksklusif, atau mungkin sekuler. Dari perdebatan ini muncullah dua tipologi pemahaman tentang bagaimana sepatutnya ajaran Islam diinfiltrasi ke dalam hukum positif. Pertama, tipologi “formalistik” yang merupakan suatu mode pemikiran yang mengutamakan peneguhan dan ketaatan yang ketat pada formatformat ajaran Islam. Dalam konteks politik, pemikiran formalistik menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung meneropong bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islamic politic).27 Kedua, tipologi substansivistik yang menitikberatkan penyerapan nilai-nilai hukum Islam ke dalam masyarakat, bukan formalisme penerapan hukum Islam. Tipologi ini juga disebut dengan pendekatan kultural atau pendakatan normatif – ideologis.28 Aktualisasi Islam di Indonesia tidak harus dengan cara memformalkan ajaran Islam ke dalam suatu peraturan perundangundangan. Hakikanya, Islam adalah ajaran rahmatan lil ‘alamin yang mampu merespon konflik sosial, politik, dan segala persoalan bangsa. Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa: 27M. Syafei Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 144. 28 Ibid, hlm. 155.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
154
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
“kedudukan syariat Islam tidak perlu diperjuangkan secara politik karena dengan sendirinya sudah berlaku seiring dengan dianutnya ajaran Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Syari’at agama menyangkut hukum tertinggi, yaitu keyakinan manusia akan kedaulatan Tuhan Yang Maha Kuasa atas dirinya, sedangkan urusan kenegaraan hanyalah sebagian kecil saja dari urusan manusia. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk dari sistem syari’at Islam, tetapi, sekali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sumber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku umum secara nasional. Namanya adalah hukum nasional berdasarkan Pancasila, meski isi dan esensinya adalah norma syariat Islam.29” Pemikiran yang senada juga dimunculkan oleh KH. M.A. Sahal Mahfudh bahwa untuk menciptakan masyarakat madani, hukum harus menyerap nilai-nilai universal (kejujuran, keadilan, kebebasan, persamaan di hadapan hukum, perlindungan minoritas, menjunjung supremasi hukum Allah SWT) dalam kerangka kemasyarakaan yang proporsional. Dengan istilah penyerapan nilai, berarti bahwa prosesnya bersifat kultural bukan pemaksaan secara normatif. Justru labelisasi produk Syari’at cenderung menimbulkan sikap antipati dan kecurigaan dari kalangan masyarakat.30 Oleh karena itu, ajaran-ajaran Islam yang dikodifikasikan ke dalam peraturan perundang-undangan akan bercampur dengan unsur-unsur politis padahal Islam adalah agama, bukan politik. Menurut penulis, formalisasi hukum Islam ke dalam Perda Syari’ah seperti menimbulkan ketakutan tersirat akan hilangnya nilai-nilai moral yang diajarkan dalam Islam. Padahal keberadaan hukum Islam, baik sebagai sebuah nilai maupun sebagai sebuah peraturan yang berlaku tetap mendapatkan legitimasi yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Tidak mengkodifikasikan ajaran Islam ke dalam peraturan formal akan memberikan ruang gerak bagi berkembangnya proses hukum yang ada di Indonesia untuk 29Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 708-709. 30KH. M. A. Sahal Mahfudh, Peran Hukum Islam dalam ..., hlm 322
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
155
merangsang hukum tersebut leluasa berkembang dinamis sehingga memberikan kontribusi yang dinamis bagi bangsa Indonesia. Cara berfikir yang formalistik untuk mengkodifikasikan hukum Islam sesungguhnya tidak lepas dari aliran positivisme yang digagas oleh Hans Kelsen dan John Austin yang mengakar kuat dalam politik hukum di Indonesia. John Austin dengan analytical legal positivism-nya menjadi penganut utama aliran positivisme yuridis di mana hukum itu adalah tata hukum yang nyata dan berlaku, bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (contra Auguste Comte dan Herbert Spencer), bukan pula karena hukum bersumber pada jiwa bangsa (contra Von Savigny), bukan pula karena cermin keadilan dan logos (contra Socrates), tetapi karena hukum itu mendapat justifikasi dari institusi yang berwenang. Justifikasi hukum ada di segi formal – legalistiknya, baik sebagai wujud perintah penguasa (command of sovereign John Austin) maupun derivasi norma dasar (grundnorm Hans Kelsen).31 Sehingga titik berat hukum positif adalah pada sifat formal-yuridis dari hukum, bukan dari substansi, isi materi dari hukum itu. Penjabaran dari dampak positivisasi hukum juga secara gamblang dijelaskan oleh Gouldner (1954) bahwa dalam suatu sistem yang menggantungkan diri dalam aturan-aturan formal justru sangat mungkin tidak dapat mencapai tujuan dari suatu organisasi sosial (dalam hal ini negara) sebab orang-orang tidak mau melakukan lebih dari apa yang disyaratkan oleh aturan formal. Aturan-aturan formal menentukan taraf minimal apa yng dapat dilakukan seseorang tanpa sanksi. Lebih ironis lagi penjelasan dari Cooley (1919) bahwa aturan-aturan formal mengizinkan orang untuk berbuat “tanpa bayaran pikiran dan perasaan, aturan-aturan formal “tidak memperoleh dan mendisiplinkan jiwa dari si individu, melainkan mengambil lahiriahnya saja dan membiarkan jiwanya mengalami ketumpulan...”32 Dengan demikian, formalisasi hukum Islam ke dalam Perda Syari’ah belum tentu menjamin tujuan dari diformalkan ajaran Islam tersebut tercapai. Maka, sebagai solusi untuk keluar dari ketakutan-ketakutan tercerabutnya nilai-nilai keislaman dalam masyarakat Indonesia adalah dengan menempatkan ajaran agama sebagai sentral Bernard L. Tanya et. al, Teori Hukum..., op.cit, hlm 138-140 AAG Peters dan Koesriani, Hukum dan Perkembangan..., hlm. 467
31 32
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
156
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
membangun ilmu hukum yang religius, sebab agama dipercaya sebagai sistem nilai yang mengandung nilai kebenaran dan keadilan, mendinamisir manusia untuk mengakui dan mematuhi hukum internasional, serta menjadi ruh dan spirit yang mendinamisir hukum nasional.33 Untuk tetap menjaga agar nilai-nilai keislaman tetap tertanam ke dalam jiwa masyarakat Indonesia dapat menggunakan pendekaan konseptual yang mengandung unsurunsur, nilai-nilai dasar yang membentuk suatu kepercayaan yang terdiri dari teori, konsep, dan merode penelitian serta metode analisis hukum yang berdasarkan pada ‘ilmul yaqin (kebenaran ilmu), ‘ainul yaqin (kebenaran faktual) dan haqqul yaqin (kebenaran utuh yang mutlak). Pemikiran yang berlandaskan pada nilai-nilai keislaman inilah yang disebut dengan paradigma profetik.34 Melalui paradigma profetik, kaidah-kaidah moral dan etika dalam Islam tidak perlu dipositifkan dalam hukum yang formalrasional, sebab positivisasi sendiri terbukti gagal untuk menciptakan rasa keadilan di dalam masyarakat. Implementasi paradigma profetik tidak hanya dalam hal pengajaran dan penelitian ilmu hukum di ruang kelas, tetapi sepatutnya mulai diaplikasikan dalam tahap pembentukan hukum sampai tahap penegakan hukum. Dengan paradigma hukum profetik maka nilai-nilai keislaman tidak hanya akan membuat Islam sebagai agama yang inklusif, tetapi juga mampu membuat hukum Islam menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka mencapai tujuan negara Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. E. Penutup Pokok-pokok pikiran mengenai kodifikasi nilai-nilai Hukum Adat dan Islam di atas merupakan kajian kritis penulis terhadap klaim aktualisasi nilai-nilai moral dan etika ke dalam Peraturan Daerah yang dianggap telah tercerabut dari jiwa bangsa Indonesia. Benar bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dan dengan demikian uniformasi hukum adat adalah bentuk pengingkaran terhadap pluralisme di Indonesia. Tetapi Penulis menyimpulkan bahwa bentuk formalisasi Hukum Adat justru akan menghilangkan esensi ke-adat-an dari suatu kelompok masyarakat dan positivisasi Hukum Islam cenderung menjadikan Islam bersifat elitis dan 33Jawahir Thontowi, Pengembangan Ilmu Hukum Berbasis Religious Science: Dekonstruksi Filosofis Pemikiran Hukum Positivistik, Jurnal Pandecta Vol. 7 No. 2 Juli 2012, hlm. 99-100. 34Jawahir Thontowi, Paradigma Profetik dalam Pengajaran dan Penelitian Ilmu Hukum, Jurnal UNISIA Vol. XXXIV No. 76 Januari 2012, hlm. 97.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
157
eksklusif. Meskipun demikian, pemerintah dan pembuat hukum nasional tetap harus berhati-hati dalam membuat dan menegakan peraturan perundang-undangan dengan tidak serta merta menganggap bahwa masyarakat Indonesia benar-benar homogen sehingga hukum nasional tidak mencederai hukum adat. Sedangkan, infiltrasi ajaran agama Islam dalam peraturan perundang-undangan dapat menggunakan paradigma profetik dalam tahap pembentukan hingga penegakan hukum. Biarkanlah nilai-nilai keislaman tersebut tetap bersemayam dan bersemi di dalam kalbu bangsa Indonesia unuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage,2007, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. Kedua, Surabaya: CV. KITA Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Jakarta: Djambatan CST Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. Ke-7, Jakarta: Balai Pustaka Ni’matul Huda, 2014, Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan, Yogyakarta: FH UII Press Robert Mangabeira Unger, 1976, Law in Modern Society, Toward A Criticism of Social Theory, New York: The Free Press Satjitpo Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas Jawahir Thontowi, Dari Living Law Menuju Hukum Lokal: Pembentukan Perda Berbasis Hukum Adat dan Islam, disampaikan dalam Kuliah Umum di Sekolah Tinggi Agama Islam, diselenggaraka Jum’at 16 Mei 2013, di Kampus STAIN, Samarinda, Kalimantan Timur ------------------------, Pengembangan Ilmu Hukum Berbasis Religious Science: Dekonstruksi Filosofis Pemikiran Hukum Positivistik, Jurnal Pandecta Vol. 7 No. 2 Juli 2012 ------------------------, Paradigma Profetik dalam Pengajaran dan Penelitian Ilmu Hukum, Jurnal UNISIA Vol. XXXIV No. 76 Januari 2012, hlm. 97. PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
158
Rizkia Amelia Sania Putri: Telaah Kritis Pembentukan...
Jazim Hamidi, 2007, Perkembangan Teori Hukum Tata Negara (Sebuah Gagasan Kontemplatif), Jurnal Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Vol. 3, No. 1, ISSM 021-969x
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015