Implementasi Program Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah (LARASITA) Terhadap Pendaftaran Tanah di Kabupaten Sleman dalam Rangka Kepastian Hukum Perspektif Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah By: Iswantoro Abstract For Indonesia, land is a vital element in the life of the nation. Indonesian nation relationship with the land is a relationship which is eternal. The whole territory of the Republic of Indonesia (NKRI) is the homeland of the overall unity of Indonesia. Soil is the glue Homeland. Therefore, the soil needs to be managed and regulated nationally to maintain the sustainability of the system life of the nation. In this framework, the mandate of the constitution asserts that political and land policy are to create land for "the greatest welfare of the people". Although it has been mandated in 1945 that the land is the source of prosperity for the people, but the number of poor people in Indonesia is quite large (about 39 million). This happens because they happen imbalances control, ownership, use, and use of land (P4T). P4T inequality and inequality against other production resources causes more difficulty efforts to reduce poverty and unemployment. P4T inequality can also encourage the destruction of soil resources and the environment, an increasing number of disputes, conflicts and land matters. Furthermore, this land issue will affect the fragility of food security, which in turn will affect the national defense. In order to carry out the constitutional mandate and resolve land issues exist, then the government through BPN RI develop strategies and national land policy that is fundamentally capable of creating social structures and national political order which is more robust that the people of the land certification services.
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail:
[email protected].
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
26
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
Abstrak Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan unsur vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi. Seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kesatuan tanah air dari keseluruhan Bangsa Indonesia. Tanah merupakan perekat NKRI. Oleh karena itu tanah perlu dikelola dan diatur secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka ini, amanat konstitusi menegaskan agar politik dan kebijakan pertanahan diarahkan untuk mewujudkan tanah untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Meskipun telah diamanatkan dalam UUD 1945 bahwa tanah merupakan sumber kemakmuran rakyat, namun jumlah rakyat miskin Indonesia masih cukup besar (sekitar 39 juta jiwa). Hal ini terjadi karena masih terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T). Ketimpangan P4T dan ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan semakin sukarnya upaya penurunan kemiskinan dan pengangguran. Ketimpangan P4T juga dapat mendorong terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan lingkungan hidup, peningkatan jumlah sengketa, konflik dan perkara pertanahan. Lebih lanjut, permasalahan pertanahan ini akan berdampak terhadap rapuhnya ketahanan pangan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional. Dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut dan menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan yang ada, maka pemerintah melalui BPN RI menyusun strategi dan kebijakan pertanahan nasional yang secara fundamental mampu menciptakan struktur sosial dan tatanan politik nasional yang lebih kokoh yakni layanan rakyat sertifikasi tanah. Kata Kunci: Pendaftaran Tanah, Kepastian Hukum dan HAM. A. Pendahuluan Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan unsur vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi. Seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kesatuan tanah air dari keseluruhan Bangsa Indonesia. Tanah merupakan perekat NKRI. Oleh karena itu tanah perlu dikelola dan diatur secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka ini, amanat konstitusi menegaskan agar politik dan kebijakan
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
27
pertanahan diarahkan untuk mewujudkan tanah untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.1 Meskipun telah diamanatkan dalam UUD 1945 bahwa tanah merupakan sumber kemakmuran rakyat, namun jumlah rakyat miskin Indonesia masih cukup besar (sekitar 39 juta jiwa). Hal ini terjadi karena masih terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T). Ketimpangan P4T dan ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan semakin sukarnya upaya penurunan kemiskinan dan pengangguran. Ketimpangan P4T juga dapat mendorong terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan lingkungan hidup, peningkatan jumlah sengketa, konflik dan perkara pertanahan. Lebih lanjut, permasalahan pertanahan ini akan berdampak terhadap rapuhnya ketahanan pangan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional.2 Dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut dan menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan yang ada, maka pemerintah melalui BPN RI menyusun strategi dan kebijakan pertanahan nasional yang secara fundamental mampu menciptakan struktur sosial dan tatanan politik nasional yang lebih kokoh yakni layanan rakyat sertifikasi tanah.3 LARASITA merupakan wujud inovasi pelayanan publik di bidang pertanahan yang bertujuan untuk mendekatkan tugas dan fungsi Kantor Pertanahan kepada masyarakat dengan konsep Kantor Pertanahan bergerak. Namun pada kenyataannya di Kabupaten Sleman, konsep tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena faktanya telah terjadi pendegradasian tugas dan fungsi LARASITA. Selain itu kehadiran LARASITA ternyata menimbulkan berbagai kontroversi yang mempertanyakan kinerja LARASITA yang dianggap hanya hebat dalam konsep dan misi, namun sangat miskin dalam implementasi. Salah satu tugas LARASITA di Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman yang pada umumnya dilaksanakan adalah kegiatan dalam rangka meningkatkan dan
1Badan
Pertanahan Nasional, Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2010-2014, (Jakarta: BPN RI, 2010), hlm.1. 2Ibid.,hlm.2. 3Ibid.,
hlm.3.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
28
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
mempercepat legalisasi asset tanah masyarakat (kegiatan pendaftaran tanah).4 Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa LARASITA telah berkontribusi secara nyata dalam upaya percepatan pendaftaran tanah, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah permohonan pendaftaran tanah pertama kali setelah adanya LARASITA, sehingga secara tidak langsung dapat mempercepat pendaftaran terhadap bidang tanah yang belum terdaftar di Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam hal ini LARASITA berkontribusi melalui fungsinya sebagai front office untuk menerima berkas permohonan pendaftaran tanah pertama kali serta sebagai media konsultasi dan informasi bagi masyarakat.5 Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal, tempat bekerja dan hidup, tempat dari mana mereka berasal, dan akan kemana pula mereka pergi. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik, dan ekologis.6 Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural. Tak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tak hentihentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit.7 Menurut pakar pertanahan Djuhaendah Hasan, tanah memiliki kedudukan istimewa dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia sampai sekarang. Hal itu terlihat dari sikap bangsa Indonesia sendiri yang memberikan penghormatan kepada kata tanah, seperti kata lain untuk kata negara adalah tanah air. Pada masyarakat yang hidup dalam tatana feodalisme, seperti Indonesia, tanah bukan hanya bermakna komoditas, sebagaimana dimaknakan pada masyarakat kapitalistik. Banyak orang Indonesia, mulai dari kaum petani hingga kaum bangsawan dan elit politik, memaknai tanah sebagai simbol status sosialnya. Bagi mereka, tanah
4Lihat http://www.perpustakaan-stpn.ac.id/buku/?id=5780/accest at 05/08/2014, Pukul 16.00 WIB. 5Lihat http://kab-sleman.bpn.go.id/accest at 05/08/2014, Pukul 16.00 WIB. 6Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, (Jakarta: Magaretha Pustaka, 2012), hlm.1. 7Ibid.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
29
merupakan akar sosio-kultural dan dijadikan simbol eksistensi diri sehingga nilai tanah lebih dari sekedar harga sebagai komoditas.8 Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis subtansial di dalam Konstitusi, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kesadaran akan kedudukan istimewa tanah dalam alam pikiran bangsa Indonesia juga terungkap dalam UUPA yang menyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah. Namun, kata ‘dikuasai’ dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak menunjukkan negara adalah pemiliknya. Pada penjelasan umum UUPA Tahun 1960, dinyatakan bahwa negara (pemerintah) hanya menguasai tanah. Pengertian tanah ‘dikuasai’ bukan berarti ‘dimiliki’, tetapi kewenangan tertentu yang diberikan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal (2) Ayat (2) UUPA bahwa kewenangan negara adalah:9 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Masalah pertanahan muncul ketika kewenangan (hak menguasai negara) dihadapkan dengan hak asasi negara, khususnya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat). Mencermati konflik pertanahan di Indonesia yang terus meningkat dalam satu dasawarsa terakhir, akan masalahnya terletak pada benturan antara hak menguasai negara dengan hak asasi warga negara yang memiliki kewenangan tunggal yang sangat besar untuk mengelola pembagian, penguasaan, pemanfaatan, dan peruntukan tanah harus berhadapan dengan hak-hak asasi yang melekat pada dirinya sejumlah hak asasi seperti hak hidup, hak ekonomi, hak politik, hak sosial, hak budaya, dan hak ekologi. Persoalan sistem 8Ibid,
hlm.2. Pasal (2) Ayat (2) UUPA.
9Lihat
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
30
penguasaan tanah di Indonesia saat ini sarat ambiguitas yang cukup banyak menimbulkan konflik. Konflik tersebut dipicu oleh berbagai persoalan, antara lain belum adaya keseragaman tentang pengaturan tanah, kekurang lenkapan pengaturannya dan terbatasnya sumber daya manusia serta kesadaran hokum masyarakat yang masih rendah.10 Hubungan manusia dengan tanah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, dalam arti manusia pasti akan membutuhkan tanah untuk hidup serta kehidupannya. Persediaan tanah bersifat terbatas dalam memenuhi kebutuhan mansia yang sifatnya tidak terbatas. Secara alamiah, kebutuhan manusia akan terus berkembang, hal ini berpengaruh terhadap persoalan-persoalan social. Persoalan ini timbul dipicu oleh adanya kesenjangan untuk melakukan akses dengan tanah. Disatu sisi ada orang yang bias melakukan akses langsung dengan tanah, tetapi disisi lain sebagian orang tidak bias terakses langsung dengan tanah. Salah satu untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, terkait dengan adanya kepastian hokum bidang pertanahan adalh dengan pendaftaran tanah. Tujuan pendaftaran tanh adalh untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegan dengan dimungkinkannya diadakan pembukuan bidang-bidang tanah yang mana data fisik dan data yuridisnya belum lengkap. Kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia yang diselenggarakan mulai tanggal 24 September 1961 berdasar ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Sedangkan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang sejak 8 Oktober 1997 disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (LNRI 1997-59, TLNRI 3696.11 Dalam pasal 19 UUPA disebutkan bahwa untuk menjamin kepastian administratif oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayar Republik Indonesia yang diatur dengan Peratiran Pemerintah (PP). Undang-undang Pokok Agraria menjelaskan pendaftaran tanah meliputi: a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 10Bernhard
Limbong, Konflik...,hlm.4. Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungannya Dengan Tap MPR RI IX/MPR/2001, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2002), hlm. 83. 11Boedi
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
31
Dengan demikian terdapat 2 (dua) pengertian yaitu: pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan pemerintah untuk mengukur, memetakan dan membukukan tanah-tanah yang terdapat diwilayah Republik Indonesia dan kegiatan pendaftaran terhadap hak-hak atas tanah seorang berikut memelihara pendaftarannya serta menyelenggarakan administrasi peralihan hak atas tanah tersebut.12 Surat tanah sebagia bukti hak atas tanah menurut PP No. 10 tahun 1965 jo. PP No. 24 tahun 1997 disebut dengan sertifikat yang merupakan salinan/kutipan dari buku tanah. Sertfikat sesuai dengan arti harafiah adalh suatu tulisan yang menunjukkan tanda bukti yang diberikan terhadap sesuatu yang sudah melalui suatu penelitian/proses tertentu. Hasil dari pendaftaran tanah adalh sertifikat juga menunjukkan hasil penilaian tertentu juga merupakan kutipan /salinan dari buku tanah yang merupakan catatan terdaftarnya suatu kekayaan (tanah) seseorang. Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasar Peraturan Pemerintan Nomor 10 Tahun 1961, selama lebih dari 35 tahun belum cukup menghasilakan dan belum memuaskan. Dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah didaftar. Dalam pada itu, melalui pewarisan, pemisahan dan pemberian-pemberian hak baru, jumlah bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar selama Jangka Panjang kedua diperkirakan akan meningkat menjadi 75 juta.13 Untuk mencapai kepastian hukum seperti yang dikehendaki dalam pendaftara tanah diperlukan sarana dan prasarana, sumber daya manusia dan lai-lain agar nantinya ketika tanah sudah didaftar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari, yang berujung pada sengketa. Dengan kata lain, pendaftaran tanah yang dilakukan benar-benar memenuhi syarat fisik, administrasi dan yuridis. Oleh karena itu keberadaan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka pokok-pokok tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta cara melaksanaknnya mendapat pengaturan juga dalam peraturannya. Program Larasita dilaksanakan dengan berpedoman kepada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang LARASITA Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sementara itu larasita sendiri memerlukan mobilisasi 12Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan (Rangkaina Tulisan dan Materi Ceramah), (Bandung; CV Mandar Maju, 2007), hlm. 25. 13Lihat Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
32
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
yaitu Mobil Larasita yang berfungsi sebagai loket pelayanan bergerak (mobile front office) dan kendaraan untuk kegiatan penyuluhan pertanahan, menerima pengaduan dan lainnya yang secara langsung dilayani oleh petugas dari kantor pertanahan setempat misalnya Kantor Pertanahan Sleman untuk daerah kerja Kabupaten Sleman, Petugas dari Kantor Pertanahan Bantul untuk daerah kerja Pertanahan Kabupaten Bantul, Petugas dari Kota Yogyakarta untuk wilayah kerja daerah Kota Yogyakara, Petugas dari Kantor Pertanahan Kulon Progo untuk daerah kerja Pertanahan Kabupaten Kulon Progo dan tidak ketinggalan juga Petugas Pertanahan dari Kantor Pertanahan Gunung Kidul untuk daerah Pertanahan Kabupaten Gunung Kidul. Kegiatan pendaftaran tanah melalui program larasita di Kabupaten Sleman mulai dilaksnakan Tahun 2009 dengan tujuan agar akses-akses yang berkaitan dengan kepatian hukum hak-hak atas tanah, khususnya bagi masyarakat kecil atau ekonomi lemah mendapat perlakuan dan status yang sama dengan masyarakat yang berekonomi lebih. Kegiatan ini dilaksanakan engan memperhatikan kondisi geografis dan topografi wilayah serta dengan mempertimbangkan aspek kondisi ekonomi sosila masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan tujuan diselenggarakan larasita adalah: 1. Mendekatkan layanan pertanahan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat lebih mudah mendapatkan pelayanan dan informasi pertanahan. 2. Mengurangi beban biaya transportasi masyarakat saat mendaftar dan mengambil sertipikat. 3. Menghilangkan campur tangan pihak ketiga yang berkaitan dengan pelayanan pertanahan yang disinyalir sebagai salah satu bagian yang turut merusak citra Badan Pertanahan Nasional. 4. Memberikan kepastian pelayanan pertanahan yang bertanggung jawab. Adapaun kendala dalam pelaksanaan Larasita yaitu menyangkut aturan mengenai anggaran operasional, terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia, dan keterbatasan penggunaan teknologi. Kedua, Perbedaan legalisasi aset tanah masyarakat melalui larasita dengan legalisasi aset tanah masyarakat secara rutin di Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman hanya terdapat pada kegiatan front office. Pada kegiatan larasita, petugas mengambil berkas permohonan yang telah disiapkan Tim kecil di kantor desa/kecamatan untuk diproses sesuai dengan kegiatan rutin di kantor pertanahan. PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
33
Tulisan ini merupakan gambaran terhadap program pemerintah di kantor pertanahan Kabupaten Sleman dalam kerangka kepastian hukum dan keadilan. Tulisan ini merupakan tulisan lanjutan atas tulisan terdahulu yang mengarahkan perhatian pada cara penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan dalam kerangka mencapai kepastian hukum dan keadilan yang dilakukan pada Kantor Pertanahan Sleman melalui program Larasita. Penulisannya didasari fenomena meningkatnya sengketa konflik pertanahan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. B. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Universal Declaration Of Human Right (UDHR) atau disebut pula Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) telah diadopsi menjadi hukum nasional banyak negara tak terkecuali Indonesia. Sebenarnya sebelum lahirnya DUHAM, Indonesia telah memasukan ketentuanketentuan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum amandemen, seperti Pasal 27 mengenai setiap orang sama dimata hukum dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat dan berpendapat, Pasal 29, kemerdekaan beragama dan menjalankan peribadatan, dan Pasal 31 hak mendapatkan pendidikan. Kesemua itu adalah perihal yang diatur dalam UDHR dan UUD 1945 sebelum amandemen. Artinya para perumus UUD 1945 telah mengetahui konsep-konsep dari Hak Asasi Manusia dan memasukannya kedalam Konstitusi yang menjadi dasar negara sebelum UDHR diproklamirkan oleh Majelis Umum, Persatuan Bangsa-Bangsa (General Asembly, United Nation) pada tanggal 10 Desember 1948. Kini Konstitusi Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 pun mengalami perubahan yang signifikan pasca reformasi. UUD 1945 telah diamandemen sebanyak 4 kali. Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia pun diberikan ruang khusus. Ketentuan mengenai HAM diatur dalam Bab Hak Asasi Manusia yang mana sebelumnya tidak ada bab khusus yang dinamai Hak Asasi Manusia, Bab XA Hak Asasi Manusia. Bab HAM yang terdapat dalam Konstitusi ini ditambahkan pada amandemen ke II yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 2000. Berbagai macam ketentuan yang terdapat didalam UDHR dimasukan kedalam UUD 1945, termasuk juga perlindungan atas harta milik pribadi yang tidak boleh dirampas oleh siapapun secara sewenangPANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
34
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
wenang. Ketentuan ini terdapa didalam Pasal 17 ayat (1) UDHR yang menyatakan “Everyone has the right to own property alone as well as in association with others.” Selanjutnya pada ayat (2) “No one shall be arbitrarily deprived of his property.” Sedangkan di dalam UUD 1945 terdapat dalam Pasal 28 H ayat (4), “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapapun.” Sementara itu Indonesia merupakan negara yang juga menganut pemahaman komunalistik, mengatur kepemilikan pribadi atas suatu benda, dalam hal ini tanah, tidak hanya berfungsi bagi pemiliknya namun juga memiliki fungsi sosial. Hal ini termaktub secara eksplisit dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA), “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Dengan ketentuan ini, Negara dengan alasan kepentingan umum bisa “mengambil alih” tanah-tanah masyarakat untuk dibangun guna kepentingan bersama. Saat UDHR dideklarasikan oleh General Asembly, United Nation, walau tidak ada negara yang menolak, namun ada 8 Negara yang abstain atas UDHR. Negara-negara tersebut diantaranya: Arab Saudi, Belarusia, Cekoslavakia, Ukraina, Polandia, Uni Soviet, Yugoslavia, dan Afrika Selatan.Arab Saudi dan negara-negara Islam lainya keberatan dengan dengan adanya Pasal 16 ayat (1) UDHR, “Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution.” Dalam ajaran Islam nikah diantara perempuan muslimah dengan lelaki non muslim adalah terlarang, atas alasan ini Saudi sebagai negara yang berlandaskan Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits keberatan dengan adanya ketentuan Pasal 16 ayat (1) UDHR karena UDHR menghapuskan batasan agama untuk menikah. Selain itu, Arab Saudi juga keberatan dengan adanya Pasal 18 UDHR yang menyatakan, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.” Di dalam Islam memang diajarkan tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam agama Islam, namun Islam melarang setiap orang yang telah memeluk agama Islam utuk keluar dari ajaran yang mulia ini. Keluarnya seseorang dari ajaran Islam disebut dengan murtad dan memiliki ancaman tersendiri baik di dunia maupun di akhirat. Atas alasan ini pula Arab Saudi berkeberatan untuk menerima UDHR. Nampak jelas dari Pasal 18 UDHR yang berlandaskan PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
35
sekularisme, memisahkan kehidupan agama dan dunia, atau mengenyampingkan ajaran agama dalam urusan kehidupan dunia. Padahal ajaran Islam tidak hanya mengatur perkara ritual peribadatan namun juga mengatur kehidupan dunia. Bagi negara-negara sosialis keberadaan Pasal 17 menjadi alasan bagi mereka untuk abstain. Pasal 17 UDHR menyatakan “(1) Everyone has the right to own property alone as well as in association with others.” Dan ayat “(2) No one shall be arbitrarily deprived of his property.” Keberadaan Pasal ini bertentangan dengan ajaran sosialis-komunis, yang mengedepankan kepentingan bersama daripada pribadi. Oleh mereka, negara-negara sosialis, Pasal 17 UDHR ini dianggap sebagai manivesto dari paham individualis yang menjunjung tinggi hak pribadi. Sedangkah ajaran sosialis lebih mengedapankan ajaran komunalistik. Sementara itu, di Indonesia, UUD 1945 telah mengakomodir ketentuan Pasal 17 UDHR dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapapun.” Pasal ini melindungi kepemilikan setiap orang dari rasa tidak aman, dari pihakpihak yang ingin merampas secara sewenang-wenang. Walau Indonesia mengadopsi ketentuan Pasal 17 UDHR dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, namun dalam Pasal 6 UUPA juga mengadopsi paham yang menjunjung tinggi kepentingan bersama atau sosial, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Dalam Penjelasan Umum II angka 4 UUPA menjelaskan maksud dari Fungsi Sosial yakni: “bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3). Keberadaan Pasal 6 UUPA mengatur bahwa semua hak tanah yang dimiliki oleh masyakat tidaklah semata-mata hanya dipergunakan untuk PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
36
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
kepentingan pribadi tetapi juga harus memperhatikan kepentingan orang banyak. Prinsip fungsi sosial ini diambil dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, walaupun pasal ini tidak meyatakan secara eksplisit istilah dari fungsi sosial. Dengan Prinsip itu, tanah tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan umum, dan untuk menjaga kepentingan umum pemerintah dapat melakukan intervensi atas kepemilikan tanah seseorang. Keberadaan Pasal 6 UUPA ini mengambil jalan kompromi antara dua paham, yaitu individualisme dan komunalisme atau antara kepentingan pribadi dengan masyarakat secara bersama. Menurut Sutiknyo yang disampaikan oleh Mahfud MD, UUPA pada awalnya UUPA mendapat kritik dari dua kubu ekstrem yang menuduh UUPA berpaham Individualisme-liberal dan bertentangan dengan Pancasila karena membolehkan kepemilikan tanah meskipun dengan batasan tertentu, sedangkan kubu yang lain menuding UUPA berwatak komunistik karena meskipun memperbolehkan pemilikan atas tanah oleh perorangan tetapi memberikan batasan yang melaggar hak-hak perorangan. Menurut sejarahnya, fungsi sosial yang lahir di Barat sebagai suatu reaksi terhadap pelaksanaan/ penggunaan hak milik secara berlebihan sehingga menimbulkan kerugian bagi kepentingan orang lain. Sejarah hukum mengenalnya sebagai suatu penyalahgunaan hak (misbruik van eigendomsrecht). Sementara itu, konsep hak milik lahir dalam situasi liberalism. Oleh sebab itu hak milik mencerminkan karakter dari masyarakatnya. Bagi masyarakat yang mengikuti paham liberal tentu berlainan dengan masyarakat yang mengikuti paham sosialis. Menurut Mahfud MD, konsekuensi dari fungsi sosial adalah jika ada tanah yang terlantar maka hak atas tanah tersebut kembali kepada “hak menguasai dari negara.” Disamping itu dapat juga berkonsekuensi bagi kewenangan negara untuk menentukan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dijadikan hak milik, serta mencabut hak atas tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Terkait hal diatas, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) telah menggabungkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 6 UUPA. Menggabungkan perlindungan atas hak milik individu dengan fungsi sosial atas suatu benda. Pasal 36 UU HAM: (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
37
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang- wenang dan secaramelawan hukum. (3) Hak milik mempunyai fungsi sosial. Ketentuan ini menunjukan hasil kompromi dari dua paham yang berbeda. Di satu sisi mengakui hak individu, di sisi lain hak individu bisa dikesampingkan bila kepentingan sosial menghendakinya. Pengaturan yang semacam ini bukanlah pengaturan yang individualistik maupun komunalistik. Menurut Mahfud MD, pengaturan semacam ini adalah bersifat prismatik. Konsep prismatik adalah konsep yang mempertemukan sis baik indivisdualisme (menghargai hak kebebasan perseorangan) dan sisi baik komunalisme (menghormati kesamaan martabat manusia). Hak yang dipunyai seseorang tidak bersifat bebas (tidak tak terbatas), karena selalu dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas, baik yang dilakukan oleh pemerintah dengan alasan kepentingan umum, maupun oleh pihak lain untuk berbagai kegiatan pembangunan. Oleh karena itu pengambil alihan hak itu harus dilaksanakan seuai dengan peraturan perundang-undangan yang diikuti dengan kompensasi yang adil, baik terhadap kerugian fiksik (kehilangan tanah, bangunan, tanaman, dan lain-lain) maupun kerugian nonfisik (kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan/ manfaat tertentu, dan lain-lain). Dalam penjelasan Pasal 36 ayat (3) UU HAM diterangkan: “Hak milik mempunyai fungsi sosial” adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Menurut Boedi Harsono, kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan asas hukum yang berlaku bagi terselenggaranya berkehidupan bersama dalam masyarakat. Tetapi biarpun demikian kepentingan individu juga tidak diabaikan, karena hak individu atas tanah dihormati dalam dilindungi oleh hukum. Maka jika kepentingan umum ingin megenyampingkan kepentingan pribadi yang berakibat pada kerugian individu, maka harus ada kompensasi atas itu semua. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembagunan Untuk Kepentingan Umum (UU No. 2/ 2012) menyatakan bahwa “Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Dengan adanya ketentuan ini, PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
38
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
kepemilikan seseorang terhadap hak-hak atas tanah dibatasi oleh kepentingan umum. Pasal 5 UU No. 2/2012 memperjelas lagi seperti apa fungsi sosial itu yakni, dalam konteks pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kepemilikan individu atas tanah bisa dikesampingkan apabila kepentingan umum mengkhendakinya. Di dalam Pasal 10 UU No 2/2012 diatur bahwa tanah untuk kepentingan umum dipergunakan untuk pembangunan: a. Pertahanan dan keamanan nasional; b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. Fasilitas keselamatan umum; k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. Cagar alam dan cagar budaya; n. Kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat p. Berpenghasilan rendah dengan status sewa; q. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; r. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan s. Pasar umum dan lapangan parkir umum. Sedangkan fungsi sosial yang diatur dalam Pasal 6 UUPA dan Pasal 36 ayat (3) UU HAM, sebagai landasan yuridis kepentingan sosial tidak dapat membuat negara bisa mengambil tanah masyarakat dengan sewenang-wenang, namun ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi seperti membayar tanah dengan harga yang wajar saat mengambil tanah masyarakat untuk kepentingan umum. Dalam Pasal 33 UU No. 2/2012 menyatakan Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi: a. tanah; PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
b. c. d. e. f.
39
ruang atas tanah dan bawah tanah; bangunan; tanaman; benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai besarnya kompensasi yang diberikan merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum. Nilai besaran kompensasi yang dirancang penilai menjadi dasar untuk dimusyawarahkan dengan pemilik tanah. Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: a. Uang; b. Tanah pengganti; c. Permukiman kembali; d. Kepemilikan saham; atau e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Untuk melakukan pembayaran ganti rugi, mesti didahului dengan musyawarah. Bila musyawarah tidak tercapai maka badan peradilan lah yang memutuskan besaran ganti rugi yang harus dibayar atas pengadaan tanah untuk kepetingan umum. Dengan pengaturan semacam ini, hak kepemilikan masyarakat atas tanah-tanahnya sangat tidak mudah untuk “diambil” oleh negara. Adanya persyaratan-persyaratan yang ketat ini, menunjukan bahwa pembentuk undang-undang menghormati dan melindungi kepemilikan tanah masyarakat. Pengakuan kepemilikan tanah yang dikonkretkan dengan sertifikat sejak lama terjadi pada zaman kekhalifahan Turki Usmani sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1737 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam. Demikian juga di negara lainnya seperti Inggis, sertifikat merupakan pengakuan hak-hak atas tanah seseorang yang diatur dalam Undang-undang Pendaftaran Tanah (Land Registrations Act 1925).14 Di Indonesia, sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang kini 14Pasal
1737 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam (Zaman Kekhalifahan Turki Usmani Versi Mazhab Hanafi), hlm.432. Baca juga Adrian Sutedi, Sertifikat...,hlm.1.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
40
telah dicabut dan ditegaskan kembali. Kajian mengenai kekuatan berlakunya sertifikat sangat penting setidak-tidaknya karena pertama, sertifikat memberikan kepastian hukum pemilikan tanah bagi orang yang namanya tercantum dalam sertifikat. Penerbitan sertifikat dapat mencegah sengketa tanah pemilikan sertifikat akan memberikan perasaan tentang dan tenteram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang oleh siapapun. Kedua, pemberian sertifikat dimaksudkan untuk mencegah sengketa kepemilikan tanah. Ketiga, dengan pemilikan sertifikat, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selain itu, sertifikat mempunyai nilai ekonomi dimana tanah yang bersertifikat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi apabila dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan atas tanah.15 Meskipun telah mendapatkan pengakuan dalam UUPA, sertifikat belum menjamin kepastian hukum pemiliknya karena dalam peraturannya sendiri memberi peluang di mana sepanjang ada pihak lain yang merasa memiliki tanah dapat menggugat pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat secara keperdataan ke Peradilan Umum, atau menggugat Kepala BPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau gugatan yang menyangkut tekhnis administrasi penerbitannya.16 Gugatan kepada pengadilan tersebut dikarenakan sertifikat mempunyai 2 sisi, yakni di satu sisi secara keperdataan sertifikat merupakan alat bukti pemilikan, di sisi lain sertifikat merupakan bentuk keputusan yang bersifat penetapan (beschiking) yang diterbitka oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, yang bersifat beschiking merupakan bentuk pengakuan hak milik atas tanahbagi pemiliknya. Sertifikat yang diterbitkan juga bersifat deklaratoir, yakni keputusan untuk mengakui suatu yang telah ada dan diberikan karena telah memenuhi syarat yang ditentukan. Pemberian keputusan deklaratoir dilakukan untuk mewujudkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang
15Bachsan
Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif, (Bandung: Remaja Karya, 1988), hlm.57. Baca juga Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya Dalam Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 46. 16Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.56. Baca juga Munsyarif dkk, Kebijakan Pengaturan Pertanahan Daerah Yogyakarta, ( Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN-RI, 2010). hlm.1-4. Ni'matul Huda, Beberapa Kendala Dalam Penyelesaian Status Tanah Bekas Swapraja di DI Yogyakarta, Jurnal hukum UII No.13 Vol. 7 April 2000.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
41
masih bersifat abstrak ke dalam bentuk peristiwa konkret, misalnya penerbit sertifikat.17 Adanya gugatan oleh pihak lain yang merasa memiliki tanah ke pengadilan dikarenakan pendaftaran tanah dalam UUPA menggunakan sistem publikasi negatif dan negara tidak memberikan jaminan. Adapun dalam sistem pendaftaran positif kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara. Di dalam sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Pendaftaran tanah dengan menggunakan sistem publikasi negatif dilatarbelakangi oleh hukum tanah di Indonesia yang memakai dasar hukum adat, di mana jika seorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah hak untuk menuntut kembali tanah tersebut.18 Dari beberapa masalah tersebut setidaknya ada 3 masalah pokok yang melatarbelakangi terbitnya sertifikat palsu. Pertama, kesalahan memahami, mengenal dan menerapkan posisi kasus terbitnya sertifikat palsu. Kedua, masalah tersebut diperkuat dengan ketidakpahaman tentang lembaga hak milik atas tanah, atau lembaga peralihan hak milik atas tanah serta mengabaikan titik taut di dalam lembaga hukum antartata hukum. Ketiga, terjadi tindakan melegalkan dokumen mutasi cacat hukum, pembuatan akta peralihan hak yang tidak dilakukan PPAT. Keempat, sistem administrasi pertanahan yang tidak baik, sehingga tidak mampu mencegah lahirnya sertifikat palsu.19 Untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya pemalsuan sertifikat, maka setidak-tidaknya harus dilakukan beberapa hal antara lain:20 1. Pencetakan blangko sertifikat yang baik, sehingga sulit dipalsukan. 2. Sebelum dilakukan pembuatan akta pemindahan hak melakukan pengecekan lebih dahulu terhadap sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan tersebut.
17Sadu
Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bandung: Alqaprint Jatinangor, hlm. 27, lihat juga dalam Agung Hendarto, Nazar Suhendar (eds), Good government dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), 2002, hlm. 2-3. 18Phillipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, (Surabaya: Yuridika, 1993), hlm. 2. 19Ibid. 20 Adrian Sutedi, Sertifikat...,hlm.10.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
42
3. Pengamanan arsip warkah-warkah pertanahan terutama arsip buku tanah dan gambar situasi/surat ukur. 4. Meningkatkan kecermatan dan ketelitian aparat yang menerbitkan sertifikat. Adapun sertifikat ganda, yaitu sebidang tanah mempunyai lebih dari satu sertifikat, terjadi tumpang tindih seluruhnya atau sebagian sertifikat ganda terjadi karena sertifikat tidak dipetakan dalam peta pendaftaran tanah atau peta situasi pada daerah tersebut. Apabila peta pendaftaran atau peta situasi pada setiap Kantor Pertanahan dibuat, dan atau gambar situasi/surat ukur dibuat dalam peta, maka kemungkinan terjadinya sertifikat ganda akan kecil sekali. Namun bila terjadi sertifikat ganda, maka harus ada pembatalan dari salah satu pihak dengan memeriksa dokumen pendukung. Hal ini bisa berlangsung lama, apalagi jika terjadi gugatan sertifikat ke pengadilan, untuk meminta pembatalan bagi pihak yang dirugikan. Namun demikian, sertifikat ganda harus dilihat kasusnya, karena bisa disebabkan berbagai hal, apakah digandakan oleh pihak luar atau karena sudah terbit diterbitkan lagi. Lahirnya sertifikat ganda, tidak lepas dari tindakan pejabat Kantor Pertanahan itu sendiri, seperti membatalkan sebuah sertifikat yang lama menerbitkan sertifikat yang baru untuk dan atas nama orang lain tanpa sepengetahuan pemilik yang namanya tercantum dalam sertifikat tanah yang lama.21 Masalah pertanahan dari tahun ke tahun berkembang dan kompleks, kompleksitas dan permasalahan maupun kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, social dan politik. Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat dipilah menjadi lima kelompok, yakni22 1. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanahyanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain; 2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan Landreform; 3. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah tanah untuk pembangunan; 4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; 5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat. Salah satu cara untuk mengantisipasi berbagai permasahan atas hak atas tanah adalah dengan cara pendaftaran tanah sebagai upaya menciptakan kepastian hokum dan menguatkan hak atas tanah. Seiring 21Ibid. 22Maria SW Soemardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, , 2008), hlm. 2
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
43
dengan perkembangan ekonomi, social, dan politik maka “hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya di samping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-undang.23 C. Pendaftaran Tanah Melalui Larasita Sebagai Upaya Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Kabupaten Sleman 1. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah Peraturan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, dan sejak 8 Oktober 1977 disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah diberlakukan mulai tanggal 24 September 1961berdasarkan pasal 19 UUPA. Alasan diubahnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 didasarkan kepada beberapa hal, seperti yang tersebut dalam konsiderans menimbang: a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan jaminan kepastian hokum di bidang pertanahan; b. bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria ditugaskan kepada pemerintah merupakan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hokum yang dimaksudkan; c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 temntang Pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan. Sehubungan dengan itu maka dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang Undang Pokok Agraria dalam pasal 19 dengan jelas memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hokum dalam hak atas tanah. Jadi pendaftaran tanah dibuat untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang selengkap-lenkapnya mengenai bidang tanah yang data fisik dan data 23Urip
Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 89.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
44
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
yuridisnya belum lenkap dan terbuka untuk menjadi sengketa. Dengan model ini diharapkan kepastian ukum dalam bidang pertanahan terwujud. 2. Kegiatan Pendaftaran Tanah Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa dengan mengacu kepada peraturan-peraturan yang dimaksud, bahwa pendaftaran tanah adalah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dalam bidang pertanahan. Dengan dasar ini maka kegiatan pendaftaran tanah adalah dengan menhimpun data-data baik data fisik, data administerasi dan data yuridis. Data-data tersebut dipakai sebagau bahan untuk menghimpun keseluruhan mengenai bidang-bidang tanah. Data-data itu dimasukkan dalam buku tanah yang sebelumnya didahului dengan pengukuran tanah yang terwuijud dalam surat ukur. Output pendaftaran tanah adalah menghasilkan tanda bukti hak yaitu sertifikat hak atas tanah sebagai realisasi salah satu tujuan UUPA, yaitu menjamin kepastian hokum 3. Pokok-pokok Penyelenggaraan Pendafftaran Tanah Berbicara mengenai pokok-pokok penyelenggaran pndaftaran tanah maka berdasar Bab III Bagian kesatu tentang Penyelenggara Dan Pelaksana Pendaftaran Tanah berdasar pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menyatakan “Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional”. Dengan ini maka berdasar pasal 6, kegiatan pelksanaan pendaftaran tanah Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Mengingat pendaftaran tanah dilakukan secara sistematis dan umumnya masal maka Kepala Kantor Pertanahan dibantu Panitia khusus atau Ajudikasi. Ajudikasi terdiri dari: a) Seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang pendaftaran tanah; b) Seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang hak-hak atas tanah; c) Kepala Desa/Kelurahan yang bersangkutan dan atau seorang Pamong Desa/Kelurahan yang ditunjukknya. Jadi bila kegitan diatas sudah dilakukakan maka Kantor Pertanahan akan mengeluarkanSertifikat hak atas tanah berisi :
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
45
1. data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bangunan 2. data yuridis (status tanah dan bangunan yang didata, pemegang hak atas tanah dan beban-beban yang lain yang ada diatasnya. Sedangkan anfaat sertifikat Hak Atas Tanah: 1) Mengurangi kemungkinan timbulnya sengketa dengan pihak lain, hal ini disebabkan dalam kegiatan pendaftaran dilakukan dengan tahapan menghimpun data fisik, administerasi dan data yuridis mengenai bidang tanah. 2) Memperkuat posisi tawar menawar apabila hak atas tanah diperlukan pihak lain untuk kegiatan pembangunan. 3) Mempersingkat proses peralihan serta pembebanan hak, karena apa yang tertera dalam sertifikat dianggap benar sampai denga dibuktikan sebaliknya dan tahapan peralihan haknya tidak melalui mekanisme konversi untuk tanahtanah yang belum bersertifikat. Pendaftaran tanah meliputi: a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. D. Sistem Publikasi dalam Menjamin Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah. Yang dimaksud dengan system publikasi dalam Pendaftaran Tanah adalah mempermasalahkan sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data yg disajikan oleh negara sehingga hasil kegiatan pendaftaran yg dilaksanakan dan apaakibat hukumnya apabila dalam melaksanakan perbuatan hokum dengan tanah tsb tidak terbukti benar. Pendaftaran yg diselenggarakan system publikasmya negatif yg mengandung unsure positif, yaitu ps 19 (2) huruf c UUPA yg menyatakan pendaftaran meliputi; pemberian surat2 tanda bukti hak, yg berlaku sebagai alat pembuktian yg kuat. Hal ini juga dikuatkan dalam ps 23, 32, 38 bahwa: pendagtaran merupakan alat pembuktian yg kuat. Ada 2 macam system publikasi pendaftaran tanah: 1. Dalam Sistem Publikasi Yang Positif Dalam sistem ini, negara menjamm kebenaran data yang disajikan. Hal ini sebagai perwujudan ungkapan: "title by registration (dengan pendaftaran tanag diciptakan hak ). dan pendaftaran PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
46
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
menciptakan suatu " indefeasible title " (hak yang tidak dapat diganggu gugat dan the register is everything (untuk memastikan adanya suatu hak, dan pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya). Penerapan system diatas yaitu sekali didaftar dalam pendaftaran tanah maka dianggap pasti benar, dan bila pendaftaran tanah ternyata ada kesalahan dan diketahui dikemudian hari maka yang berkepentinga dengan tanah tersebut hanya bisa menuntut pemberian ganti kerugian atau compensation berupa uang. Jadi negara menyediakan "assurance found.” Hal ini tidak dikenal dalam Undang-Undang Pokok Agraria. 2. Dalam Sistem Publikasi yang Negatif Jika system pendaftaran dengan system publikasi negatif yang murni menggunakan "Sitem Pendaftaran Akta"/Regitration of deeds, jadi akta merupakan tanda bukti haknya. Kalau dalam Peraturan Pemerintah Nomor10Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun1997, sebagai halnya pendaftaran dengan dengan system publikasi positif, maka menggunakan yg disebut "sistem pendaftaran Hak" atau Registration Of Title". Jadi akta hanya merupakan sumber data yuridis. Pembukuan dilaksanakan dalam bentuk dokumen yang disebut buku tanah (register). Dokumen tanda buktinya berupa Sertifikat "Certificate Of Title " yg menurut Peratura Pemerintah Nomor 10 Tahun1961 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terdiri salinan buku tanah dan surat ukur. Kelemahan sistem publikasi negatif yaitu walaupun bidang tanah sudah didaftar, dan ditrbitkan sertifikat hak atas tanah, bila digugat oleh pemegang yang sebenarnya, dimungkinkan. Dan dibatalkan. Sedangkan dalam system publikasi Positif , hal diatas tidak mungkin terjadi, karena pendaftaran tanah tidak menciptakan hak yang dapat diganggu gugat. Cara mengatasi kelemahan Publikasi Negatif seperti yang dianut belanda dan jaman Hindia Belanda yaitu dengan lembaga verjaring, Pada jaman Hindia Belanda, yaitu ada pada pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo 1963. Pasalpasal yang mengatur lembaga verjaring sudah dicabut oleh UUPA dan ini hanya berlaku pada waktu itu untuk tanah dengan hak barat. Yang dimaksud lembaga verjaring adah pihak yang menguasai tanah karena lampaunya waktu menjadi pemiliknya. Sedangkan lembaga rechtsverwerking yaitu tanah karena lampaunya waktu kehilangan hak untuk memperolehnya kembali, misalnya orang yang menelantarkan PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
47
tanahnya maka dia kehilangan haknya. Lembaga rechtswerking dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 menjadi pelengkap untuk mengatasi system publikasi negatif. Diadaknnya ketentuan ini tidak akan meniadakan eksistensinya dalam hokum adat. Peningkatan system publikasi menjadi positif secara bertahap, yaiti melalui penerapan ps 32 ay 1,2 PP 24/1997 yaitu HAT hasil pendaftaran yang tidak mengalami gugatan, gugatan tidak diterima hakim, maka setelah 5 tahun se j ak diterbutkan sertifikat, maka oleh UU diterbitkan sehingga terdaftar dengan system publikasi positif. E. Penutup Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu mengenai Implementasi Program LARASITA Terhadap Pendaftaran Tanah di Kabupaten Sleman dalam Rangka Kepastian Hukum Perspektif Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, kegiatan pendaftaran tanah yang diakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman melalui program larasita berlandaskan kepada cita-cita bangsa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu "mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Cita-cita para pendiri bangsa ini, kemudian dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa " Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat". Cita-cita bangsa dan amanat konstitusi tersebut, kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sebagai peraturan dasar, UUPA memerlukan peraturan-peraturan lainnya yang akan menyempurnakan dan melengkapi ketentuan-ketentuan yang telah ada. Oleh karena itu, dalam beberapa pasal UUPA menyatakan perlunya pengaturan lebih lanjut baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan perundangan lainnya. UUPA sejatinya dimaksudkan sebagai landasan pengaturan berbagai undang-undang dalam mengatur sumberdaya agraria, namun dalam perjalanannya, semangat, konsepsi dan asas-asas dasar dari undang-undang yang mengatur sumberdaya agraria banyak yang tidak sesuai dengan UUPA. Bahkan banyak diantaranya yang tidak sinkron dan tidak harmonis serta tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Undang-undang yang mengatur sumberdaya agraria, antara lain: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
48
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Kedua, dengan pendaftaran tanah melalui program larasita maka kepastian hukum dalan hak-hak atas tanah lebih terjamin karena dengan melaui pentahapan-pentahapan dan penghimpunan data fisik, data adminisrasi dan data yuridis memberikan peluang lebih kecil untuk terjadinya gugata disbanding dengan status tanah yang belum bersertifikat dan ini harus dilakukan konversi hak -hak atas tanah.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
49
DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pengembangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. ___________, Sertifikat Hak Atas Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Agung Hendarto, Nazar Suhendar (eds), Good government dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), 2002. Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Keistimewaan Yogyakarta yang di Ingat dan Dilupakan, Yogyakarta: Mitra Amanah Publishing, 2011. Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif, Bandung: Remaja Karya, 1988. Badan Pertanahan Nasional, Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2010-2014, Jakarta: BPN RI, 2010. Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, Jakarta: Magaretha Pustaka, 2012. Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungannya Dengan Tap MPR RI IX/MPR/2001, Jakarta: Universitas Trisakti, 2002. Eko Budi Wahyono, dkk, Kebijakan Pertanahan Pada Tanah-Tanah Pasca Tambang Timah di Provinsi Bangka Belitung (Studi di Kabupaten Bangka Tengah), Yogyakarta: STPN, 2012. Maria SW Soemardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008. Maria SW Soemardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Cet kedua, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, , 2008. Muhammad Arafah Sinjar “Hukum Agraria di Indonesia: Pendekatan Filosofis Pertanahan Islam Yogyakarta: Diva Press, 2010. Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara dalam Hubungannya dengan Hak Ulayat dan Hak Perseorangan Atas Tanah, Jakarta: Grafindo, 2013. Munsyarif dkk, Kebijakan Pengaturan Pertanahan Daerah Yogyakarta, Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN-RI, 2010. Ni'matul Huda, Beberapa Kendala Dalam Penyelesaian Status Tanah Bekas Swapraja di DI Yogyakarta, Jurnal hukum UII No.13 Vol. 7 April 2000. Phillipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Yuridika, 1993.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015
50
Iswantoro: Implementasi Program Larasita...
Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya Dalam Praktik, Bandung: Mandar Maju, 1997. _____________, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan (Rangkaina Tulisan dan Materi Ceramah), Bandung; CV Mandar Maju, 2007. Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bandung: Alqaprint Jatinangor. Sarjita, Penyelesaian Sengketa Tumpangtindih Tanah HGU, Kawasan Hutan, Areal Pertambangan, HPL, Tanah Hak Adat, dan Tanah Bekas Swapradja, Yogyakarta: Mitra Amanah Publishing, 2011. Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Sutaryono, dkk, Perjuangan Untuk Menjadi Bagian Dari Proses Perubahan Agraria yang Menguntungkan, Yogyakarta: STPN, 2012. Udiyo Basuki dalam Jurnal Sosiologi Religia yang berjudul “Coruption And Forestry: Upaya Mencegah dan Memberantas Illegal Logging Dalam Kejahatan Kehutanan”, Vol.10, No.3, Agustus 2012. Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group, 2005. ___________, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2011.
PANGGUNG HUKUM Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.1, Januari 2015