PANGAN ITU HARGA MUTLAK! (Krisis) Pangan dan (Mitos) Budaya Pangan di Indonesia Essay Disusun dalam Rangka Mengikuti Lomba “Essay Competition” Divisi Pendidikan Penalaran Himalogista Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Semester Genap 2014
Disusun oleh: Grace Maria Ulfa 125100402111004
THP „12
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang 2014
PANGAN ITU HARGA MUTLAK! (Krisis) Pangan dan (Mitos) Budaya Pangan di Indonesia Copyleft © 2014 By Grace Maria Ulfa
Jumlah penduduk tinggi menimbulkan kecemasan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Permintaan pangan yang tinggi apabila tidak diimbangi dengan produksi pangan yang mencukupi, akan menimbulkan permasalahan kerawanan pangan. Padahal pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2013, angka kerawanan pangan Rakyat Indonesia tahun 2012 adalah sebesar 47.64 juta penduduk dengan status “rawan pangan”. Indonesia merupakan bentangan luas kemajemukan yang anyam-menganyam membentuk suatu ―peradaban multikultural‖. Oleh karena itu, seberapa majemuk Indonesia adalah pertanyaan yang harus ditemukan jawabannya oleh siapapun yang ingin menelaah kerumitan pada bangsa Indonesia. Berdasarkan data berikut, barangkali pertanyaan tersebut sedikit bisa terjawab: sekurang-kurangnya terdapat penduduk berjumlah 205.843.196 jiwa (Sensus Penduduk 2000), dengan rerata pertumbuhan sebesar 1.78% per tahun sejak tahun 1930. Penduduk ini menghuni ± 13.000 pulai besar dan kecil dari Sabang hingga Merauke, serta bisa dikelompokkan menjadi ± 1.072 etnis dan subetnis. Fakta itu menjadi berkah sekaligus kekhawatiran bagi bangsa Indonesia. Jumlah penduduk yang tinggi menimbulkan kerumitan baru yang secara bimbang dinilai sebagai kekayaan potensi ataukah petaka disintegrasi, yang segera memunculkan pertanyaan lanjutan: bagaimana mungkin dari perbedaan yang sedemikian pelik dapat diwujudkan sebuah negara yang berdaulat, adil, dan makmur? Pertanyaan ini bahkan melandasi perumusan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta menjadi latar penting bagi siapapun yang menulis tentang Indonesia. Nusatara sebagai kesatuan ―peradaban multikultural‖ —dibingkai dengan eksotisme kemelimpahruahan alam, jutaan tubuh berkulit sawo matang, dan sopan santun kepribumian, yang mampu memikat hati para pelancong, pedagang, kolonialis, misionaris, dan etnolinguis Eropa sejak abad ke-16. Bukan hanya sekedar meninjau, meneliti, dan membeli, rasa ingin memiliki muncul dengan begitu kuatnya hingga membuka jalan bagi kolonialisme eksploitatif beratus-ratus tahun hingga abad ke-20. Jejak dan peninggalannya begitu kuat melekat menimbulkan paradoks demi paradoks, dilema demi dilema baru bagi ―sang terjajah‖ tatkala
harus bersiasat mengelola semua warisan budaya demi suatu cita-cita bernama ―negara modern yang berdaulat‖. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Sesuai amanat UUD 1945, pangan adalah hak asasi manusia. Apabila pangan tidak dipenuhi oleh negara, maka negara melanggar hak asasi manusia. Ini juga menjadi landasan berpikir pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah kerawanan pangan. Sayangnya, langkah yang diambil untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak langsung membuat negara bebas dari resiko kelaparan serius. Berdasarkan data Global Food Security Index tahun 2012, yang dirilis Economic Intelligent Unit, indeks keamanan pangan Indonesia berada di bawah 50 (0-100). Posisi Indonesia jauh lebih buruk dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tiga faktor yang disoroti dalam penelitian ini yaitu angka kekurangan gizi, berat badan anak dan tingkat kematian anak di suatu negara. Indikasi keberadaan masyarakat kurang gizi menandakan ketahanan pangan Indonesia memasuki zona merah. Apabila permasalahan ini tidak segera diatasi, maka akan timbul bencana kelaparan pada bangsa Indonesia.
(Krisis) Pangan di Indonesia Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka memilih beras sebagai makanan pokok. Setiap hari, konsumsi beras merupakan sebuah ―kewajiban‖ bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika pada tahun 2008 yaitu total konsumsi karbohidrat bangsa Indonesia mencapai 86.6% berasal dari beras, disusul dengan ubi-ubian 7.1%, terigu 6.3%, dan jagung 0.7%. Indonesia sebagai negara ―agraris‖ sebenarnya mampu mewujudkan swasembada beras. Namun, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras yang mencapai US$ 226.4 juta/ tahun, dengan volume impor 432.8 juta kilogram yang berasal dari Vietnam, Thailand, India, Pakistan, dan Myanmar. Hal ini dikarenakan jumlah permintaan terhadap beras yang tinggi tidak mampu dipenuhi oleh petani lokal. Bukan hanya beras, Indonesia masih mengandalkan impor kebutuhan pokok lainnya seperti teh, kentang, jagung, kedelai, garam, gula, rempah-rempah, ubi, dll. Kebijakan impor pemerintah tentang kebutuhan pokok semakin mendesak petani lokal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun waktu Januari hingga November 2013, tercatat pemerintah Indonesia mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok
senilai US$ 8.6 miliar atau setara rupiah (kurs: Rp. 104.9 triliun). Sungguh sebuah ironi karena sebagian kebutuhan pokok yang diimpor adalah bahan yang dapat dihasilkan di negeri sendiri. Permintaan domestik yang melampaui jumlah produksi melatarbelakangi impor kebutuhan pokok. Langkah tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya kelangkaan pangan di bumi pertiwi. Celakanya, harga kebutuhan pokok yang diimpor lebih murah dibandingkan dengan kebutuhan pokok yang diproduksi oleh petani lokal. Selain itu, kualitas produk impor lebih unggul dibandingkan produk dalam negeri. Alhasil, produk dalam negeri kurang diminati. Apabila masalah ini terus berlanjut, maka dapat mematikan semangat petani untuk bercocok tanam. Padahal, semakin banyak impor yang dilakukan, semakin berkurang devisa negara. Apabila mata uang rupiah ingin diperkuat, maka optimasi ekspor sangat diperlukan, bukan impor. Masalah lain yang muncul adalah konversi lahan pertanian ke penggunaan lain (non pertanian). Sulitnya penerapan UU No. 41 tahun 2009 tentang lahan pertanian berkelanjutan diyakini hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama. Berdasarkan evaluasi RPJMN tahun 2010–2014, rencana perluasan areal pertanian sebanyak 2 juta hektar terhambat. Sampai sekarang hanya sekitar 37.000 ha lahan terlantar yang telah ditetapkan dengan SK Kepala BPN Republik Indonesia. Semakin meningkatnya konversi lahan diikuti dengan semakin tingginya jumlah penduduk. Ketersediaan infrastruktur pertanian saat ini berada pada kondisi belum layak. Hal tersebut dapat diketahui dari ± 52% saluran irigasi di daerah-daerah pertanian mengalami kerusakan. Kurangnya dukungan infrastruktur budidaya pertanian dan perikanan tangkap, serta baru terdapat 60% saja jalan kabupaten yang layak dalam mendukung kemudahan transportasi hasil pertanian. Padahal transportasi dan penanganan pasca panen mentukan total loss dari produk. Semakin besar total loss dari produksi, maka semakin sedikit produk diterima konsumen, yang artinya semakin sia-sia pula usaha petani lokal yang mencurahkan waktunya untuk bercocok tanam. Sangat disayangkan apabila Indonesia dengan sumber daya alam melimpah harus mengalami masalah kerawanan pangan. Meskipun upaya untuk menjaga ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional telah dijabarkan melalui RPJMN 2010–2014. Kebijakan tersebut berisi prioritas ketahanan pangan sebagai salah satu dari 11 prioritas nasional dengan target surplus beras 10 juta ton, peningkatan PDB sektor pertanian 3,7% per tahun, dan Nilai
Tukar Petani (NTP) 115–120 pada tahun 2014. Ironi lain yang membayangi petani lokal adalah, adanya oknum-oknum tidak bertanggung jawab, seringkali berdalih mengenai harga dan produk yang beredar di masyarakat. Praktek KKN dari terkecil hingga terbesar dan dari sebelum panen hingga setelah panen, dapat ditemui dalam sistem peredaran kebutuhan pokok di Indonesia. Sebelum panen, mafia industri obat-obatan maupun pupuk sudah mengorientasikan bisnis mereka terhadap keuntungan tanpa mempedulikan nasib petani maupun lingkungan. Setelah panen, tengkulak mulai memainkan perannya yang mampu mematikan harga serendah mungkin dan mendapatkan untung sebesar-besarnya. Kemudian dari tangan tengkulak, oknum-oknum yang memiliki kuasa tinggi di pemerintahan mulai memainkan harga demi keuntungan pribadi. Demikian siklus tersebut terjadi secara terus menerus. Permasalahan hama, iklim, ilmu bercocok tanam, penyediaan lahan yang semakin berkurang, dan politisasi dalam impor kebutuhan pokok merupakan faktor penyebab ketidakmampuan petani lokal memenuhi permintaan konsumen. Apabila hal ini terus berlanjut, maka kedaulatan dan kemandirian pangan serta kesejahteraan dan kemakmuran petani dipertaruhkan. Lantas, apakah bangsa Indonesia hanya diam mengetahui hal ini?
(Mitos) Budaya Pangan di Indonesia Selain masalah krisis pangan, banyak mitos tentang budaya pangan yang berkembang di masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah kalimat ―kalau belum makan nasi belum kenyang‖. Kalimat tersebut menjadi ―mantra‖ yang berkembang di masyarakat sehingga bangsa ini kurang mampu menerima bahan pokok pangan lain pengganti beras. Padahal, Indonesia merupakan negara yang kaya sumber bahan pokok pangan lain seperti ubi, jagung, sagu, sukun, dll. ―Mantra‖ yang berkembang tersebut harus mulai dihentikan. Hal ini dikarenakan rasa kenyang berasal dari karbohidrat dan serat yang terkandung dalam beras tersebut. Karbohidrat dan serat tidak hanya terdapat pada beras, namun juga ubi, jagung, sagu, sukun, dll, sehingga rasa kenyang juga dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan tersebut. Sejatinya, Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam. Namun, ketergantungan terhadap beras yang tinggi menghalangi potensi komoditas lain untuk menjadi sumber bahan pangan. Salah satu bahan pangan tersebut adalah ubi. Oleh Asosiasi Nutrisionis Amerika Serikat, ubi jalar dinobatkan sebagai juara nutrisi dalam kelompok sayur-sayuran.
Ada 3 jenis ubi jalar, yakni ubi putih, ubi kuning/merah dan ubi ungu. Karbohidrat dalam ubi jalar lebih lama meningkatkan gula darah karena memiliki kadar GI rendah yakni 54. Kandungan vitamin A-nya hampir dua kali lipat dari yang disarankan dikonsumsi setiap hari. Ubi mudah dicerna dan kandungan seratnya yang tinggi dapat mencegah sembelit dan cocok untuk menjaga berat badan. Sementara kandungan vitamin C dalam ubi dapat mencukupi 60% kebutuhan harian tubuh terhadap vitamin C. Dan warna ungu pada ubi jalar ungu merupakan sumber zat antioksidan paling lengkap. Dalam 100 gram ubi jalar terkandung kalori 123 kkal, air 62.24 gram, karbohidrat 27.9 gram, lemak 0.7 gram, protein 1.8 gram, kalisum 30 miligram, fosfor 49 miligram, zat besi 1 miligram, betakaroten 260 mkg, vitamin A 60 IU, vitamin B1 0.09 miligram, dan vitamin C 22 miligram. Indonesia juga kaya akan komoditas kentang. Kentang sudah sering dikonsumsi sebagai bahan pangan, namun belum sepenuhnya difungsikan sebagai pengganti beras. Bahkan banyak yang mengkonsumsinya justru dengan cara yang kurang sehat, seperti digoreng. Proses penggorengan membuat kentang mengandung lemak, apalagi jika ditambah garam bisa memicu kegemukan dan hipertensi. Cara mengolah yang salah dapat membuat kandungan gizi kentang menjadi tidak optimal bahkan berbalik menjadi kolesterol jahat. Kandungan GI kentang juga cukup tinggi, sehingga cara terbaik untuk mengolahnya adalah dengan direbus. Namun dibanding nasi, kentang lebih banyak variasi nutrisi dan serat dengan kalori yang lebih kecil. Kentang juga mengandung vitamin C yang cukup baik. Dalam 100 gram kentang mengandung kalori 70 kkal, karbohidrat 15.9 gram, protein 1,89 gram, lemak 0.1 gram, kalsium 10 miligram, besi 0.73 miligram, vitamin K 2.9 mcg dan vitamin C 11.49 miligram. Selain ubi dan kentang, Indonesia juga merupakan negara yang mengandalkan sukun sebagai pengganti beras. Apabila dibandingkan ubi jalar maupun kentang, sukun memiliki kandungan karbohidrat dan protein yang lebih tinggi, namun kalorinya lebih rendah sehingga sesuai untuk diet. Selain bergizi tinggi, sukun mengandung senyawa flavonoid yang baik untuk kesehatan jantung dan ginjal. Sukun memiliki komposisi nutrisi yang lengkap dan merupakan bahan pangan dengan GI rendah sehingga dapat berperan membantu mengendalikan kadar gula darah pada tingkat aman. Dalam 100 gram sukun terdapat karbohidrat sebesar 27.12 gram, kalori 103 kkal, magnesium 17 miligram, lemak 0.2 gram,
vitamin C 29 miligram, vitamin C 29 miligram, sodium 2 mg, kalsium 17 miligram, fosfor 30 miligram dan kalium 490 miligram. Selain ubi, kentang, dan sukun, Indonesia masih memiliki beragam sumber bahan pangan lainnya seperti singkong, jagung, kedelai, dll. Namun, hingga detik ini belum ada diantara komoditas tersebut yang mampu menggantikan fungsi nasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, penelitian-penelitian dan kampanye diversifikasi pangan dengan komoditas-komoditas tersebut semakin marak dilakukan. Selain mitos tentang beras, banyak mitos yang berisi tentang hal yang kurang tepat beredar di masyarakat. Contohnya adalah konsumsi alpukat yang dapat menyebabkan obesitas. Memang ada benarnya juga, tapi lemak yang terkandung dalam buah ini adalah lemak baik (HDL) yang dapat mencegah penyakit jantung. Alpukat juga mengandung mineral dan vitamin yang penting bagi tubuh. Selain alpukat, ada mitos tentang kacang dan coklat yang dapat menyebabkan jerawat. Sebah riset dari Colorado State University Departement of Health and Exercise membuktikan bahwa bukan kacang atau coklat yang menyebabkan jerawat, namun konsumsi gula berlebih yang meningkatkan kadar insulin yang memicu produksi hormon androgen. Hormon Androgen dapat menyebabkan kulit berminyak dan timbulnya jerawat. Mitos lainnya berkaitan dengan keamanan pangan yang beredar di masyarakat, yaitu ―makanan yang jatuh 5 menit masih aman dinikmati‖. Faktanya makanan yang jatuh tidak dapat ditoleransi walau hanya 1 detik saja. Bakteri yang ada di permukaan lantai yang terkontaminasi sangat cepat masuk ke dalam makanan yang jatuh, bahkan lebih cepat dari gerak refleks manusia. Hal tersebut dipaparkan dalam sebuah penelitian seorang ahli pangan di Clemson University, Paul Dawson, Ph.D., bersama siswanya tentang makanan yang sengaja dijatuhkan pada permukaan lantai yang telah dikontaminasi oleh bakteri Salmonella. Bangsa Indonesia juga kurang memperhatikan adab makan dengan baik dan benar. Padahal, sedari taman kanak-kanak, masyarakat sudah dilatih adab makan yang baik dan benar. Adab tersebut dimulai dengan berdoa, makan dengan tangan kanan, makan sambil duduk, dan setelah selesai makan, sampah harus dibuang di tempat sampah.
Menunda ataukah Mengatasi Krisis dan Mitos Pangan? Lantas, dapatkah krisis dan mitos pangan tersebut diperbaiki? Tentu saja hal tersebut dapat dilakukan, hanya saja, semua pihak harus saling bekerjasama untuk memperbaiki sistem ini.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan tersebut timbul dikarenakan banyak faktor yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, diperlukan strategi-strategi yang solutif untuk mengatasinya. Pertama, swasembada bahan pokok dan mengurangi impor, bahkan menghentikannya. Hal ini perlu dilakukan untuk mengembalikan nilai bahan pokok produksi lokal pada pasar. Selain itu, pengurangan impor perlu dilakukan secara bertahap untuk mengurangi ketergantungan, hingga bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang mandiri. Perlu juga dilakukan formulasi strategi pemasaran terhadap kebijakan ekspor impor pemerintah. Kedua, diversifikasi pangan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah dan menghindari ketergantungan masyarakat terhadap beras. Kota Medan pernah menerapkan diversifikasi pangan sukun sebagai pengganti beras secara besar-besaran dan hal tersebut mendapatkan respon positif dari masyarakat. Demi mewujudkan hal tersebut, diperlukan edukasi yang lebih baik dan kerjasama dari berbagai pihak terutama pemerintah, petani, dan lembaga pendidikan yang terkait untuk mewujudkan diversifikasi pangan yang teratur dan berkelanjutan. Ketiga, menghentikan politisasi kebutuhan pokok. Tindakan-tindakan tegas perlu dilakukan untuk menghentikan praktek KKN kecil maupun besar pada tubuh kedaulatan pangan di Indonesia. Pemerintah dapat berkerjasama dengan badan independen untuk menetapkan jalannya transaksi jual beli sesuai dengan standar yang telah ditentukan bersama. Masyarakat juga harus ikut dalam mengawasi dan mengevaluasi setiap kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, memulai penyuluhan dan penelitian terhadap komoditas baru yang memiliki potensi. Langkah ini dapat mendukung diversifikasi pangan yang gencar dilakukan. Selain itu dukungan dari pemerintah, ahli pangan, petani, konsultan pangan, dan pihak yang terkait juga diperlukan untuk melaksanakan program ini. Kelima, mengidentifikasi faktor penentu dan pemicu lonjakan harga pangan seperti supply, demand pasar, kelembagaan dengan aspek spekulasi perdagangan, terutama pada harihari besar. Identifikasi ini perlu dilakukan secara berkala dan berkelanjutan untuk memastikan program yang ada berjalan dengan semestinya. Apabila terjadi keganjilan juga dapat segera diatasi dan dicari penyebab sekaligus solusinya. Keenam, inisiatif dari pemerintah pusat, provinsi, maupun daerah diperlukan untuk mengatur regulasi pangan, koordinasi kelembagaan, pengendalian inflasi, dan menjamin stabilitas harga pangan bersama dengan kelompok tani setempat. Beberapa daerah yang sudah
menerapkan hal ini adalah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Ketujuh, pengembangan kelembagaan pangan secara struktural maupun secara kultural wajib menjadi prioritas peningkatan ketahanan dan kedaulatan pangan. Keolompok tani harus terus didampingi agar menjadi wadah bagi petani dan masyarakat dalam menyampaikan keinginannya. Kedelapan, kebijakan stabilisasi harga pangan dengan memunculkan suara petani, pengendalian impor, dan penentuan visi jarak panjang untuk membangun pilar pertanian Indonesia yang lebih maju. Kebijakan ini perlu didampingi dengan kebijakan non-teknis seperti pendampingan petani di lapangan serta reformasi agrarian yang dilengkapi dengan kemudahan akses pasar, teknologi, transportasi, dan komunikasi. Kesembilan, memperbaiki adab dan senantiasa bersyukur terhadap segala karunia yang telah diberikan kepada bangsa Indonesia. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi telah menyebabkan akulturasi dan asimilasi budaya yang sangat kuat pada bangsa Indonesia. Namun sebagai bangsa yang memiliki jati diri, bangsa ini harus mampu memilah prilaku yang baik dan buruk. Apabila kesembilan hal tersebut dapat dipraktekkan, tentu permasalahan pangan di Indonesia dapat diatasi. Seperti tahun 1984, Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia melakukan swasembada beras ke berbagai negara. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. Prestasi besar bagi Indonesia tersebut didapatkan ketika era pemerintahan Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Bukti tersebut mampu memperkuat potensi Indonesia sebagai negara yang berdaulat, adil, dan makmur meskipun memiliki banyak perbedaan. Memang, tidak mudah untuk menjadi sebuah negara yang ideal. Dukungan dan kerjasama dari pemerintah, swasta, masyarakat, dan segenap pihak terkait diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut Langkah tersebut dapat dimulai dari diri sendiri, dimulai dari sarapan hingga jajanan yang dikonsumsi. Semoga apapun yang masyarakat konsumsi berasal dari sumber yang baik, halal, serta menjadi darah dan daging yang baik. Semua itu diperlukan demi kemajuan Indonesia. Pangan adalah harga mutlak! ***
Daftar Pustaka
Amelie, Siska. 2014. Daftar 29 Bahan Pangan yang Diimpor RI sampai November. Liputan 6: Ekonomi Fajar, Adi, Nugraha. 2013. Sebuah Kisah: Antara Beras dan Petani (Menuju Kemandirian Pangan),
diakses
pada
tanggal
7
Juni
2014,
http://pemudaindonesiamerdeka.blogspot.com/2013/06/sebuah-kisah-antara-berasdan-petani.html George, Susan. (terj. Sandria Komalasari). 2007. Pangan dari Penindasan dampai ke Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Insist. Izzet, Hamas. 2014. Stop Impor, Indonesia Maju!, diakses pada tanggal 7 Juni 2014, http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/378/214996/stop-imporindonesia-maju Kuntaraf, Dr. Jonathan., dan dr. Kathleen, Liwijaya Kuntaraf. 1991. Makanan Sehat. Bandung: Indonesia Publishing House. Pemerintah Provinsi Sulawsi Tengah. 2013. Penguatan Ketahanan Pangan Daerah di Sulawesi
Tengah,
diakses
pada
tanggal
7
Juni
2014,
http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajianekonomiregional/sulteng/Documents/54f436cd 12a3438d96fe287f2d1fe48aBoks2PenguatanKetahananPanganProvSulteng.pdf Priyono, 2014. 4 Pilar Selamatkan Kerawanan Pangan, diakses pada tanggal 7 Juni 2014, http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/380/213656/4-pilarselamatkan-kerawanan-pangan Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Tim Vemale.com. 2013. 8 Sumber Karbohidrat Pengganti Nasi, diakses pada tanggal 7 Juni 2014, http://www.vemale.com/relationship/keluarga/24879-8-sumber-karbohidratyang-lebih-sehat-dari-nasi-7.html