Panduan Praktikum: Menyusun Disain Penelitian Dengan kemampuan yang baik dalam memahami ruang lingkup kajian Tafsir Hadis, maka seorang peneliti akan dapat menentukan konsern utama yang menandai ketertarikannya terhadap bidang kajian ini. Kemampuan untuk memilih konsern utama berguna dalam menentukan permasalahan yang ingin dibahas guna dicarikan solusi dan jawabannya dalam penelitian yang akan dilakukan. Setelah memilih konsern utama penelitian, maka peneliti kemudian dituntut untuk memilih pendekatan yang cocok. Kedua langkah awal penelitian yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, akan dapat berguna dalam menentukan arah penelitian bila dirumuskan dalam sebuah disain penelitian. Bab ini berupaya mengulas panduan praktis dalam menyusun disain penelitian. Fokus perhatian yang menjadi titik berat bab ini adalah tentang langkah-langkah lanjutan apa saja yang harus ditempuh oleh seorang peneliti dalam menyusun sebuah disain penelitian yang menarik. Dilihat dari urgensinya, upaya yang dilakukan dengan memahami ruang lingkup bidang kajian Tafsir Hadis mencakup usaha-usaha mengenai perkenalan seseorang dengan perangkat ilmiah dan teori-teori yang berlaku dalam kajian alQur’an, Tafsir dan metode penafsiran, serta kajian hadis dan ulumul hadis yang menandai lingkup akademik Tafsir Hadis secara generik. Karakteristik masingmasing kajian yang terkadang bersifat multi-disipliner menjadikan penguasaan terhadap salah satu elemen generik bidang ini tidaklah mencukupi dalam melaksanakan penelitian di bidang ini. Untuk itu penguasaan yang memadai tentang ketiga unsur utama dalam kajian Tafsir Hadis menjadi prasyarat yang harus dipenuhi sebelum memulai langkah penelitian. Apalagi dalam perkembangannya, tuntutan terhadap penelitian yang bersifat interdisipliner, yaitu dengan mengikusertakan pendekatan-pendekatan yang berasal dari luar bidang ilmu Tafsir dan Hadis itu sendiri, seperti pendekatan yang memakai paradigma ilmu-ilmu sosial, lingusitik, filsafat, dan humaniora; menjadikan penelitian di bidang kajian Tafsir Hadis mengharuskan pula penguasaan terhadap metodologi penelitiana melalui teori-teori sosial, sejarah, bahasa, dan bahkan filsafat. Tuntutan terhadap diikutsertakannya pendekatan yang bersifat interdisiliner dalam penelitian Tafsir Hadis merupakan konsekuensi langsung dari perkembangan yang terjadi dalam kajian Islam kontemporer. Pendekatan semacam itu dibutuhkan
dalam memberikan solusi bagi beragam problematika yang dihadapi oleh masyarakat modern, termasuk di dalamnya fenomena post-modernisme. Untuk itu, penelitian yang ideal menuntut penguasaan metode penelitian secara benar, wawasan yang luas, serta metodologi keilmuan kontemporer yang memadai agar bisa mencermati perkembangan baru yang terjadi, sehingga dapat memberi respon terhadap perkembangan tersebut secara lebih baik lagi. Penguasaan seseorang peneliti terhadap teori-teori dasar yang berkembang dalam kajian Tafsir Hadis sendiri menjadi suatu keniscayaan. Selain berguna dalam memapas bentangan akademik menjadi ruang lingkup kajian yang bernaung di bawah istilah yang dirujuk dengan kata Tafsir dan Hadis, penguasaan materi juga merupakan langkah preliminary research, riset pendahuluan, yang secara signifikan memberi manfaat bagi keberhasilan langkah-langkah yang akan ditempuh, baik dalam persiapan sebelum melakukan penelitian, ataupun dalam menjalani fase-fase pelaksanaan penelitian nantinya. Dalam hal ini, penguasaan yang baik tentang teoriteori dasar menyangkut bidang keilmuan Tafsir dan Hadis juga akan memudahkan seorang peneliti dalam menuangkan gagasan-gagasannya dalam sebuah disain penelitian yang mencerminkan kerangka dasar penelitian yang menjadi arah ke mana penelitian tersebut akan dibawa. Bab ini hanya akan membahas tiga aspek persoalan yang menjadi perhatian utama dalam mempersiapkan langkah-langkah penelitian dalam menyusun disain penelitian yang menarik: bagaimana merumuskan sebuah permasalahan, kemudian menimbang signifikansi dan feasibilitas penelitian terhadap masalah tersebut, serta bagaimana menentukan metode yang tepat dalam sebuah disain penelitian yang menarik. Sebuah pokok bahasan ditambahkan dalam hal ini untuk menguraikan elemen-elemen perencanaan lain apa saja yang biasanya juga turut diberikan uraiannya dalam sebuah disain penelitian. Merumuskan Permasalahan Dengan memahami ruang lingkup bidang keilmuan yang dicakup oleh jurusan tafsir hadis, maka langkah awal yang harus ditempuh dalam merumuskan permasalahan adalah dengan menentukan objek yang akan dikaji dan kemudian merumuskan permasalahannya
dalam
bentuk
pertanyaan
penelitian
(research
question).
Menentukan objek kajian merupakan sebuah pilihan yang harus dilakukan berdasarkan konsern utama yang mendasari ketertarikan seseorang terhadap sebuah kajian keilmuan. Perhatian utama ini tercurahkan ketika seseorang menemukan
banyak permasalahan, yang melalui perangkat akademik yang dimiliki, ia merasa dirinya mampu memberikan solusi dan jawaban bagi persoalan tersebut melalui aktivitas penelitian yang dilakukannya. Memilih salah satu persoalan dari sekian banyak objek permasalahan yang ada dalam lingkup kajian tertentu terkadang menjadi sebuah persoalan tersendiri. Ketidakmampuan seseorang dalam menentukan objek yang akan ditelitinya adalah sebuah faktor yang menandai ketidakmampuan orang tersebut dalam menaruh perhatian serius terhadap aspek mana dan objek permasalahan apa yang menjadi perhatian utama yang menarik hati dan minatnya. Memperluas wawasan dengan banyak membaca apa yang menjadi lingkup generik bidang kajian Tafsir Hadis dapat menguragi problematika semacam itu, ketika dengan semakin mengenal bidang kajian yang digelutinya, seseorang akan sering menemukan ruang-ruang kosong yang menandai minimnya penelitian terhadap sebuah objek kajian tertentu. Melalui penguasaan metodologi penelitian yang cukup, penemuan ruang-ruang kosong tersebut dapat mengarahkan seseorang dalam menemukan permasalahan yang menggugah minatnya untuk melakukan penelitian. Semakin diteliti, sebuah objek kajian akan senantiasa memberikan ruang yang cukup untuk penelitian lanjutan, karena penelitian yang dilakukan seseorang bersifat unik. Sebuah penelitian biasanya dilakukan melalui sudut pandangan tertentu, sehingga hal ini kemudian memberi ruang bagi tumbuhnya perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Untuk itu, sebuah penelitian terhadap objek kajian tertentu selalu
akan menawarkan daya tariknya
ketika kita mampu melihatnya dari beragam sudut pandangan yang berbeda. Satu hal yang perlu dijadikan pertimbangan dalam mencari dan memilih sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam sebuah penelitian
adalah dengan
mempersepit ruang gerak pilihan pada salah satu konsentrasi saja dari 4 kelompok kajian yang ada dalam bidang kajian Tafsir Hadis ini. Dalam kata lain, kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri apakah akan memilih kajian al-Qur’an, aspek tafsirnya, ataukan kita akan memilih Hadis Nabi SAW dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya sebagai objek kajian yang akan kita teliti. Jika kita sudah bisa memilih salah satu konsentrasi utama, maka pilihan selanjutnya adalah untuk memilih salah satu dari sekian banyak literatur yang menandai karya-karya dan hasil-hasil penelitian para pendahulu di bidang kajian tersebut. Jumlah literatur yang tersedia sangat banyak sebagai hasil karya dan penelitian di bidang Tafsir Hadis semestinya memberikan
jaminan akan kekayaan sumber dan material pembahasan yang tidak akan pernah habis. Walhasil, seorang peneliti bisa dengan bebas menyelami materi-materi kajian, baik dengan membuka lembaran-lembaran teks al-Qur’an; atau teks-teks hadis yang tertuang dalam kitab-kitab hadis; atau hasil karya lainnya yang menjadi bagian dari literatur tafsir al-Qur’an guna mendapatkan tema dan pokok persoalan yang menggelitik perhatiannya, untuk kemudian memunculkan minat guna membahasnya dalam sebuah proyek penelitian. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan memilih salah satu hasil karya yang sudah ada dan kemudian mengembangkan daya kritis kita untuk menelaah kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalam karya tersebut, sehingga selain kita dapat mengungkapkan watak dan karakter intelektualitas mengenai karya itu maupun pemikiran tokoh yang menyusunnya, kita juga bisa mengembangkan penelitian kritis dengan menimbang kualifikasinya dalam takaran standar keilmuan yang berkembang pada zamannya, dan mengaitkannya dengan kebutuhan-kebutuhan para pembaca di masa sekarang. Sebuah contoh praktis yang bisa memandu kita mendapatkan objek kajian penelitian dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini. Bagi seseorang yang menaruh minat untuk meneliti bidang kajian al-Qur’an dan ulum al-Qur’an, misalnya, maka ia dapat memupuk minat untuk melakukan kajian di bidang kajian al-Qur’an dengan cara mengembangkan daya kritisnya terhadap fakta historis yang terkait dengan kitab suci umat Islam ini. Sebagai contoh, dengan membuka lembar demi lembar yang tertulis dalam mushaf al-Qur’an, misalnya, seorang akan menemukan sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa al-Qur’an yang berada dihadapannya telah tereduksi sedemikian rupa menjadi sebuah teks yang tertulis dalam mushaf, dengan struktur tulisan dan tata urutan yang secara resmi terstandarisasi secara baku. Dengan menelaah cara dan bentuk penulisan huruf-hurufnya, maka seseorang akan mendapati sebutan rasm usmani yang memiliki karakter khusus dan sedikit berbeda dengan perkembangan penulisan dalam bahasa Arab yang berkembang saat ini. Di sini, kita sudah menemukan sebuah permasalahan yang bisa dijadikan sebagai objek penelitian. Bila diteruskan dengan menyadari keberadaan al-Qur’an sebagai sebuah teks yang tertulis dalam sebuah mushaf standar, seseorang bisa mengembangkan daya nalar kritisnya untuk mencari tahu proses sejarah apa saja yang telah terjadi sehingga tercipta sebuah mushaf al-Qur’an. Bukankah al-Qur’an diwahyukan secara lisan melalui perantaraan Jibril? Lalu bagaimanakah upaya-upaya yang ditempuh telah mengarah kepada proses
penulisan, pengumpulan catatan-catatan itu, dan akhirnya kodifikasinya menjadi sebuah mushaf standar. Berbagai persoalan dengan sendirinya akan mengemuka, sejauh mana proses kodifikasi al-Qur’an telah mereduksi kekayaan khazanah alQur’an dari segi variasi bacaan-bacaan yang dimungkinkan sebagai konsekuensi dari 7 ahruf yang mendasari pewahyuan al-Qur’an. Beberapa asumsi tentang kodifikasi alQur’an, seperti yang dilontarkan oleh peneliti Orientalis Barat, tentang motif politik Usman RA dalam proses standarisasi bacan al-Qur’an menjadi bacaan dalam ragam dialek Quraisy dan penempatan varian-varian pembacaan yang lain sebagai aspek pembacaan yang berada di luar kategori “bacaan resmi” dapat pula mejadi bahan telaah secara seksama. Persoalan lingkup kajian bisa lebih melebar pada bentukbentuk dan varian bacaan mana saja yang tercakup dalam 7 huruf yang diizinkan dalam membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya. Dengan melihat mendasarkan pada sebuah teks standar al-Qur’an, maka seorang peneliti juga bisa menyalurkan minat penelitiannya lebih jauh dengan meneliti aspek kebahasaan yang dikandung oleh Al-Qur’an. Kitab suci kaum muslimin yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas, tentu saja selalu menarik untuk dikaji dari sisi gramatikal (nahw), saraf, maupun juga gaya bahasanya (balâghah) dalam berbagai macam disiplin cabangnya seperti ilmu ma‘âni, bayân, dan badî‘. Fakta ini akan lebih menarik lagi bila kemudian didapatkan sebuah kenyataan bahwa gramatika bahasa Arab sendiri pada hakikatnya berkembang melalui kajian-kajian linguistik terhadap ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri. Walhasil, minat untuk mengadakan pelitian juga akan bertambah besar ketika didapati sebuah doktrin bahwa teks al-Qur’an memiliki aspek i’jaz, kekuatan yang melemahkan para penentangnya, kemu’jizatan dan ketinggian yang dikandung dalam bahasa dan gaya bahasa yang dibawakannya. Sejauh manakah aspek i’jaz al-Qur’an, misalnya, menjadi pesona utama dalam menggali aspek-aspek ulum al-Qur’an yang lebih luas lagi? Di luar aspek al-Qur’an sebagai sebuah teks standar dalam mushaf, kajian tentang al-Qur’an juga menawarkan beberapa aspek yang berkaitan dengan ayat-ayat yang sempat turun, tetapi kemudian dibatalkan (mansûkh) oleh ayat dan ketetapan yang datang sesuadahnya. Dari sudut pandang nâsikh dan mansûkh ini kajian alQur’an tidak saja menyangkut ayat-ayat yang tertulis di dalam mushaf, tetapi juga mengikutsertakan keberadaan ayat-ayat yang telah dibatalkan sehingga harus pula ditanggalkan dari mushaf. Meskipun begitu, ada pula yang bacaannya masih tetap ada di dalam mushaf walaupun hukumnya telah dibatalkan. Beberapa aspek yang terkait
dengan pembatalan aspek bacaan, dan pembatalan aspek hukum merupakan aspekaspek kajian yang menjadi bahan kontroversi di kalangan ulama muslim sendiri. Dalam kaitan yang lebih luas, selain aspek tekstual al-Qur’an, kajian al-Qur’an juga membuka kemungkinan untuk mengangkat aspek-aspek pembahasan yang berkenaan dengan konteks pewahyuan, yaitu dengan menyoroti lebih rinci status alQur’an sebagai sebuah discourse dalam proses pewahyuannya; atau peristiwaperistiwa yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat, asbâb nuzûl, serta aspek-aspek lain yang berkaitan dengan ketetapan hukum atas dasar argumentasi lafaz umum maupun sebab khusus yang kesemuanya menciptakan kaitan yang erat antara teks alQur’an dengan konteks sosio-historis pada zamannya. Aspek-aspek kajian lain yang berkait dengan diskursus turunnya wahyu al-Qur’an merupakan kenyataan yang menempatkan al-Qur’an bukan saja sebagai teks yang terikat dengan konteksnya, dalam arti sebagai teks yang membumi, tetapi juga berkaitan dengan aspek yang lebih fundamental lagi ketika al-Qur’an dipercaya sebagai bagian dari kalamullah yang azali dan tidak berubah. Untuk itulah dalam memahami definisi tentang kajian alQur’an tidak bisa sesederhana rumusan tentang apa itu al-Qur’an, dan kemudian ditetapkanlah batasan-batasannya, akan tetapi juga mengikutsertakan aspek-aspek lain yang saling terkait, yang pada gilirannya membuka cakrawala pandang yang lebih luas tentang apa yang sebenarnya bisa diterapkan sebagai definisi bagi kata “alQur’an” itu sendiri. Keluasan lingkup disiplin ulumul Qur’an juga memberi bukti akan keterbukaan al-Qur’an untuk dikaji dari beragam aspek yang berkenaan dengannya. Bila kemudian kita mendapati kenyataan bahwa semua persoalan yang sudah diungkapkan di muka merupakan pembahasan yang sudah dikaji sejak dahulu dan menandai hasil-hasil penelitian tentang ulumul Qur’an hingga sekarang, maka kenyataan inipun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya penelitian terhadap aspek pembahasan yang sama, mengingat pandangan-pandangan tentang hal-hal yang menyangkut problematika yang disebutkan di muka sama sekali tidak tunggal, karena selalu saja ada perbedaan di antara pemikiran satu sarjana dengan sarjana yang lain. Kenyataan tentang keragaman pandangan ulama merupakan kekayaan yang luar biasa yang
tidak
akan
habis
bagi
dimungkinkannya
penelitian
melalui
analisis
perbandingan. Begitu pula pembahasan-pembahasan lain yang dilakukan dengan pisau bedah penelitian yang tidak mungkin bisa disebutkan satu per satu di sini.
Walhasil,
kekayaan
khazanah
intelektual
yang
melahirkan
dan
mengembangkan disiplin keilmuan Tafsir Hadis tidak akan pernah kehabisan bahan untuk bisa dijadikan objek kajian dalam penelitian. Menimbang Signifikansi Penelitian Sebuah penelitian dikatakan signifikan jika aktivitas penelitian yang dilakukan merupakan kerja ilmiah yang penting, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian akademik di bidangnya. Signifikansi penelitian juga bisa dinilai dari sejauh mana penelitian yang akan dilakukan memberikan faedah bagi dilakukannya penelitian pada saat itu. Oleh karena itu, ketika seseorang menemukan sebuah objek kajian yang menjadi konsern utama dan minatnya dalam penelitian Tafsir Hadis, sebuah pertanyaan yang sangat krusial untuk dijawab dalam melakukan langkah-langkah selanjutnya guna mempersiapkan penelitian terhadap hal itu adalah seberapa penting masalah tersebut sehingga mengharuskan dilakukannya sebuah penelitian. Oleh karena itu, permasalahan yang akan diteliti haruslah terdiri dari sebuah rumusan persoalan yang memang memiliki arti penting untuk dikaji secara ilmiah. Dalam hal ini, tema persoalan yang dibahas haruslah sesuatu yang menarik perhatian. Ukuran dari kemenarikan ini paling tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang menarik minat pribadi sang peneliti itu sendiri untuk mengungkapkan lebih jauh pembahasan berkenaan dengan persoalan tersebut. Beberapa faktor yang mendasari pentingnya sebuah persoalan agar bisa dipandang layak untuk dibahas dan diteliti lebih lanjut, di antaranya adalah: 1. Bahwa persoalan itu belum dibahas sama sekali oleh peneliti lain. Kualitas yang menandai belum adanya pembahasan sebelumnya tentang sebuah masalah penelitian menandai tingginya orisinalitas materi yang akan diteliti, yang pada gilirannya akan memberi bobot lebih bagi aktivitas penelitian yang diajukan. Nilai “baru” dalam sebuah penelitian bisa dilihat dari kenyataan faktual, apakan permasalahan yang akan diteliti tersebut benar-benar materi yang belum diteliti, dan belum pernah dilakukan penelitian sejenis sebelumnya, atau bisa juga sebuah masalah spesifik yang terlewatkan, atau sebuah porsi pemikiran yang tertinggal dan tidak dibahas oleh peneliti sebelumnya. Dalam kajian ini, sebuah masalah yang cenderung terlalu luas memiliki kemungkinan untuk bisa diteliti oleh peneliti yang datang
sesudahnya jika memang masih menyisakan sudut pandangan (angle) yang cukup untuk bisa membedakan titik tekan antara sebuah kajian penelitin dengan karya yang telah ada sebelumnya. 2. Sebuah persoalan menjadi penting untuk dibahas, meskipun sudah ada penelitian yang mendahuluinya, jika sang peneliti merasa bahwa apa yang diungkapkan oleh peneliti pendahulu tersebut mengandung beberapa kesalahan atau kekeliruan, baik kesalahan dan kekeliruan menyangkut data yang disajikan, maupun kekeliruan menyangkut kesimpulan yang diambil oleh peneliti pendahulu dengan data yang sama lantaran pemakaian pisau analisis yang berbeda. Dalam hal ini, orisinalitas yang ditawarkan oleh seorang peneliti yang akan membahas sebuah topik atau tema yang sudah pernah dibahas oleh orang lain sebelumnya menjadi sebuah nilai lebih yang dianggap penting sekiranya sang peneliti ingin mengajukan sebuah teori baru, baik berupa data atau kesimpulan yang berbeda dari penelitian yang sudah ada sebelumnya. Di sinilah nilai orisinalitas penelitian ini juga akan bergantung sejauh mana perbedaan antara penelitian terdahulu dan yang akan dilakukan menemukan ketidaksamaannya. Dari dua faktor yang mendasai signifikansi sebuah penelitian, kita bisa mengukur manfaat dan kegunaan yang menjadi tujuan penelitian ini diadakan. Sehingga dari aspek signifikansi terhadap permasalahan yang akan dikaji dalam sebuah penelitian, maka kita dituntut pula untuk dapat merumuskan dan menjelaskan aspek-aspek signifikansi penelitian ini dalam tempatya yang tepat. Arti penting penelitian, berupa uraian yang menyajikan latar belakang secara umum yang mendasari pentingnya penelitian dilakukan dapat dituangkan ke dalam latar belakang permasalahan. Latar belakang ini merupakan pijakan awal yang akan dibaca oleh peminat kajian tafsir pada awal rumusan penelitian yang hendak diajukan. Menyadari posisi ini, persoalan yang akan diteliti seyogianya dituangkan dalam bahasa yang jelas, dengan demikian signifikansinya bisa dinilai secara tepat. Sementara aspek signifikansi yang memuat tujuan dan manfaat penelitian dapat dituangkan dalam sub-pembahasan tersendiri, baik dalam disain penelitian maupun pengantar sebuah kajian dalam bentuk sebuah bab pendahuluan. Dengan
memperhatikan
kedua
faktor
signifikansi
yang
menentukan
originalitas penelitian ini, seorang peneliti dituntut untuk bisa memformulasikan persoalan penelitian yang akan dibahasnya untuk bisa mengungkapkan signifikansi
mengapa sebuah persoalan itu menjadi penting utnuk diteliti, atau sejauh mana persoalan tersebut bisa diletakkan dalam kerangka penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya agar tidak terjadi hal yang naif, di mana seorang peneliti mengulang sebuah penelitian yang sudah dilakukan oleh orang lain dengan kesimpulan yang sama sehingga bisa menarik pihak yang terlibat belakangan sebagai pelaku forgery dalam bentuk plagiarism. Mengukur Feasibilitas Penelitian Aspek feasibilitas, atau kelayakan, dalam sebuah penelitian merupakan faktor penting bagi keberhasilan dan tercapainya tujuan penelitian. Masalah feasibilitas terkait dengan ketersediaan sumber dan waktu pengerjaan yang ditimbang dengan tujuan dan manfaat diadakannya penelitian tersebut. Oleh karena itu, jika kita bermaksud mengadakan sebuah penelitian, maka hal penting yang turut menjadi pertimbangan adalah untuk tujuan apa penelitian tersebut dilakukan. Jika pencapaian target tujuan memberi ruang dan waktu yang singkat saja dalam melakukan penelitian, maka kita juga diharuskan untuk menentukan sumber-sumber apa saja yang memungkinkan untuk diteliti sesuai dengan jangka waktu yang diberikan tadi. Hal yang sama juga menyangkut dana. Jika sebuah penelitian memerlukan kajian lapangan yang luas, atau perjalanan yang cukup jauh untuk mendapatkan sebuah data empiris, atau manuskrip yang tersimpan di sebuah tempat yang berjarak sangat jauh, sementara waktu dan dana yang diberikan tidak mencukupi, maka dapat dikatakan bahwa penelitian yang digagas tadi tidak memenuhi unsur kelayakan (feasibilitas) sehingga perlu dipertimbangkan kembali mengenai metode penelitian yang ditempuh dan juga sumber rujukan utama yang akan dijadikan acuan. Persoalan feasibiltas ini pada dasarnya mengemuka ketika dikehendaki sebuah keseimbangan antara tujuan dan manfaat penelitian di satu sisi, dengan ketersediaan waktu dan sumber yang cukup di sisi lain. Keseimbangan antara dua hal di atas dimaksudkan sebagai tolok ukur agar jangan sampai penelitian yang akan dilakukan memakan waktu terlalu lama, atau menemui jalan buntu akibat kelangkaan sumber dan bahan-bahan rujukan yang tidak dapat diakses sehingga mengakibatkan tidak tercapainya tujuan penelitian yang dicanangkan. Sebagai contoh, penelitian yang dimaksudkan sebagai prasyarat untuk mendapatkan gelar akademik dalam bentuk ijasah yang berupa penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah skripsi, thesis, maupun disertasi, misalnya;
memiliki keterbatasan waktu dalam pengerjaannya. Hal ini selaras dengan keterbatasan yang diberikan dalam hal waktu studi dalam sebuah jenjang pendidikan formal. Untuk itu, penelitian yang akan dilakukan dalam mencapai target akademik seperti gelar kesarjanaan tersebut diharapkan untuk tetap bisa paralel dengan ketersediaan sumber-sumber dan dana yang mencukupi. Kelangkaan sumber dan keterbatasan dana membuat seseorang tidak akan bisa maksimal mendapatkannya bila ia harus melakukan perjalanan keliling dunia guna mendapatkan sumber yang memadai. Begitu juga, penelitian yang singkat mengharuskan pula objek penelitian yang bersifat khusus dan memiliki batasan-batasan yang sesuai dengan kelayakan waktu yang diberikan. Dengan selalu mempertimbangkan waktu penyelesaian, ketersediaan sumber-sumber, dan dalam beberapa kasus juga dana yang mencukupi, maka sebuah penelitian akan dapat dilaksanakan dan dapat mencapai tujuan yang dicanangkan sesuai dengan tenggat waktu pelaksanaan yang diberikan. Di sinilah aspek feasibilitas menjadi unsur pertimbangan penting dalam mengukur keberhasilan penelitian yang akan dilakukan. Menguraikan Metodologi Penelitian Metodologi penelitian menjadi unsur selanjutnya yang harus diungkapkan dalam sebuah disain penelitian. Metodologi merupakan istilah yang lebih generik yang mengacu pada logika umum dan perspektif teoretis untuk sebuah proyek penelitian.1 Dalam kasus penelitian Tafsir Hadis, selain mengandalkan analisis secara multidisipliner, yaitu analisis yang dikembangkan melalui disiplin-displin ilmu cabang yang masih terkait dalam lingkup ilmu keislaman, misalnya, penelitian tafsir dan hadis juga bisa dilakukan dengan pendekatan interdisipliner dengan menyertakan penelitian berdasarkan asumsi-asumsi teoretis yang dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, humaniora, sejarah, filsafat, atau dengan mengandalkan metodologi kritik yang berkembang dewasa ini. Perspektif teoretis ini terutama dipakai bila kita menginginkan sebuah kajian dalam bidang tafsir dan hadis yang bersinggungan dengan aspek kultural baik menyangkut pelaku penafsiran terhadap al-Qur’ân atau hadis,
mengingat tafsir
adalah sebuah produk dari sebuah gagasan dan
persinggungannya dengan budaya melatarbelakangi sang penafsir.
1
Robert C. Bogdan, Sari Knopp Biklen. Quakitative Research for Education, an Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, 1998, edisi ke-III, hal. 31.
Sebuah ilustrasi tentang keterkaitan perspektif interdisipliner dalam kajian ini adalah lantaran sebuah pemikiran pada dasarnya bukanlah sebuah gagasan yang berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh konteks yang membentuknya secara sosial, historis, maupun perkembangan ilmiah yang terjadi kala itu. Ibn Jarîr Tabarî,2 misalnya, menerapkan metode tafsir bil ma’tsûr karena dia memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang tafsir al-Qur’ân yang terkandung dalam hadis-hadis termasuk sanad yang meriwayatkannya. Begitu juga Ibn Katsîr yang menyertakan analisis ma’tsûr meski tanpe menyertakan isnad dari riwayat-riwayat yang dikemukakannya. Akan tetapi Sahl al-Tustarî, atau Sulamî, dan Qusyairi merupakan tokoh sufi, maka corak penafsirannya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Jarîr maupun Ibn Katsîr. Ini terjadi lantaran kapasitas keilmuan yang cenderung sifat sufistik menjadi dasar mengapa ia menyusun tafsirnya bukan dengan menjelaskan alQur’an melalui ketetapan hukum yang diberikan oleh Nabi SAW seperti tertuang dalam hadis-hadis, tetapi mereka lebih menekankan bagaimana sebuah ayat al-Qur’an bisa ditafsirkan berbeda dari makna lahiriahnya yang dikenal dalam hal ini. Penonjolan aspek esoteris, dan aspek kedalaman makna batin yang mendasari sebuah ayat menjadi konsern utama para mufassir sufi ini. Begitu juga hal-hal yang dilakukan oleh mufassir-mufassir lain seperti: Zamakhsyarî, Baghawî, Nasafî, Farrâ’, Muqâtil b. Sulaiman, Alûsî, Syaltut, Mustafâ al-Marâghî, Quraish Shihab, dan tokoh lainnya; di mana mereka menyusun kitab tafsir berdasarkan kapasitas intelektual yang mereka miliki, serta dibarengi dengan kecenderungan yang berlaku dalam tradisi intelektual dan kondisi sosial yang melatarbelakangi sejarah pada masanya. Hal yang sama juga terjadi dalam kajian hadis, khususnya dalam hal corak penyusunan kitab hadis yang mendominasi periode tertentu dan penjelasan tentang hadis-hadis itu dalam kitab-kitab syarah yang dituliskan berdasarkan kebutuhan zamannya. Di sini, Ibn Hajar al-Asqallâni dengan Fath al-Bârî, atau kitab hadis ahkâm, Nawâwî. Semua kitab hadis yang berupaya menerangkan makna yang dikandung sebuah hadis, maka itu juga disebut sebagai upaya penafsiran. Oleh karena itu, pendekatan dengan memakai perspektif teori modern dalam penelitian tentang tafsir al-Qur’ân atau hadis, atau aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan persinggungan antara doktrin yang terkandung di dalam al-Qur’ân dan hadis dengan 2
Lihat karyaTabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl ây al-Qur’ân. Dengan mengaitkan kualifikasi keilmuan yang dimiliki seorang pengarang, maka kita juga akan mendapatkan jawaban mengapa ia melakukan analisis yang sesuai dengan kualifikasi keilmuan yang dimilikinya. Hal ini merupakan sikap profesional yang menandai para tokoh dan pengkaji yang melakukan penelitian di bidangnya.
singgungan budaya lokal yang melatarbelakangi seorang pemikir yang melakukan penafsiran akan sangat berguna dalam menggali elemen-elemen persinggungan itu dalam wilayah akademik dengan muatan analisis yang kaya. Walhasil, apapun pendekatan
yang dipakai: sejarah,
analisis
gender,
hermeneutik,
sosiologi,
antropologi, kritik sastra dan sebagainya, kesemuanya bertujuan untuk memberikan kerangka struktural yang diinginkan agar bisa fokus secara metodologis. Bila metodologi emmbahsa alur logika umum yang mendasari pemakaian teori dan perspektif tertentu dalam penelitian, maka maih ada elemen praktis yang harus diungkapkan, yaitu metode penelitian yang merujuk aspek-aspek teknis menyangkut teknik-teknik khusus yang dipakai dalam penelitian, seperti survey, observasi, dan lain-lain.3 Aspek metodis ini juga perlu diungkapkan sehingga didapatkan kejelasan tentang bagaimana penelitian yang dicanangkan ini akan dilakukan nantinya.
Beberapa Elemen Perencanaan Lainnya Masih ada beberapa lemen perencanaan yang lazimnya dicantumkan dan diuraikan dalam sebuah disain penelitian yang menarik. Dalam sebuah rumusan masalah yang dipandang masih terlalu luas, misalnya maka langkah penting yang harus diterapkan sebagai salah satu elemen perencanaan dalam disain penelitian adalah pembatasan masalah. Upaya ini dilakukan denga membatasi sebuah persoalan agar tidak menjadi terlalu melebar dan menjadi terfokus pada inti permasalahan tentang objek yang akan diteliti, pembatasan-pembatasan perlu pula dinyatakan secara tegas. Dalam hal pembatasan masalah, langkah ini juga diperlukan bagi penelitian yang memaparkan sebuah tema yang dianggap masih terlalu luas, sehingga diharapkan juga dapat menjelaskan batas-batas yang menjadikannya sebagai sebuah tema kajian penelitian yang begitu lebar. Penelitian yang seringkali mengambil judul sebagai sebuah perspektif al-Qur’an, perspektif Hadis, ataupun Islam, akan lebih baik dibatasi dengan mengemukakan lingkup batasan yang menjelaskan partikularitasnya, seperti dengan membatasi pada kelompok-kelompok ayat tertentu saja, bila itu menyangkut perspektif al-Qur’an; mengingat al-Qur’an sendiri memiliki cakupan yang sangat luas. Begitu juga bila menyangkut tafsir. Sementara itu, jika sebuah judul penelitian mengkaji sesuatu yang menyebut diri sebagai perspektif Islam, maka akan lebih baik bila disebutkan pembatasan dari sudut pandang madzhab, aliran pemikiran, atau
3
Robert C. Bogdan, Sari Knopp Biklen. Quakitative Research for Education, hal. 31.
kajian pemikiran individual tokoh yang menggagasnya, mengingat persoalan tafsir agama telah begitu banyak memiliki ragam pemikiran individual yang menandai kekhususannya antara satu dengan yang lainnya. Di sini, kajian penelitian yang akan dilakukan akan lebih baik jika menampilkan seorang tokoh pemikir tertentu, dengan demikian pokok pembahasannya bisa menjadi sebuah kajian partikular yang tidak terlalu luas sehingga lebih feasibel untuk dilakukan. Elemen lain yang tidak kalah penting untuk dicantumkan dalam sebuah disain penelitian adalah tujuan dan manfaat penelitian tersebut. Biasanya tujuan penelitian terkait dengan aspek formal yang menjadi hasil yang ingin dicapai, seperti penyelesaian tugas akhir studi, atau hal-hal formal lainnya. Selain itu, tujuan penelitian juga merefleksikan hasil-hasil akademik yang ingin dicapai seperti kontribusi ilmiah yang ingin diberikan, atau pengembangan konsep yang ingin digagas, dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi manfaat penelitian, di mana kegunaan penelitian tersebut baik langsung maupun tidak langsung diungkapkan sebagai salah satu aspek yang juga ingin dicapai dalam akhir pelaksanaan penelitian tersebut. Hal yang terkadang ditambahkan dalam sebuah disain penelitian adalah kajian teoretis yang menjelaskan term-term yang ingin dibahas (biasanya direfleksikan dengan judul penelitiannya) secara ilmiah berdasarkan definisi-definisi yang secara baku disepakati, atau cenderung dipakai oleh penelitinya dalam kasus kata-kata yang memiliki lebih dari satu pengertian. Uraian yang lebih luas jufga diberikan menyangkut teori-teori yang mungkin akan dipakai dan menjadi alat bantu analisis. Di sini, penguasaan teori sebenarnya tidak terlalu mutlak, terutama dalam penelitian tentang isu-isu baru yang belum pernah diteliti sebelumnya, atau penelitian yang dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari teori yang sama sekali baru. Bila isu yang akan diteliti merupakan persoalan yang sudah mendapatkan banyak perhatian khalayak yang telah melakukan penelitian sebelumnya, maka ulasan yang menyangkut kajian pustaka mungkin ada baiknya dilakukan, dengan demikian, dapat direka perbedaan apa saja yang ingin dicapai seorang peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Bagian selanjutnya dari apa yang harus dijabarkan dalam sebuah disain penelitian adalah sistematika penulisan. Dalam hal ini, peneliti mengungkapkan garisgaris besar pokok bahasan yang akan ia tuangkan dalam laporan penelitian nantinya. Harap diingat, bahwa tema-tema pembahasan yang dicantumkan bersifat sementara
dan bisa berubah selama berlangsungnya penelitian sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan. Dengan demikian, kegunaan sistematika penulisan ini hanya sekedar mengarahkan penelitian kepada hasil yang ingin dicapai, agar seseorang yang membaca disain penelitian juga mengetahui kemana arah penelitian ini akan dibawa, dan dapat menilai relevansinya berdasarkan aspek-aspek lain yang disebutkan di dalam disain penelitian tersebut, mislanya, apakah tema-tema yang disodorkan selaras dengan metode yang dipakai, dan sebagainya. Di bagian akhir disain penelitian, peneliti biasanya mencantumkan daftar literatur yang ia butuhkan dan akan ia pakai dalam penelitian yang akan dilakukannya. Selain daftar bacaan yang tentu saja bersifat sementara, elemen lain yang juga sering dituntut untuk dicantumkan adalah jadwal kerja penelitian, untuk berapa lama penelitian etrsebut akan diselesaikan, di tempat mana saja, dan kapan waktunya. Hanya saja, elemen yang berupa jadwal ini sering tidak dipersyaratkan, sehingga keberadaannya tidak mutlak, terutama jika menyangkut rentang waktu yang memang sudah disepakati bersama.