PANDUAN PELAYANAN MEDIK Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
PB PAPDI
KONTRIBUTOR Departemen Umu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Prof.Dr. Dasnan Ismail, SpPD-KKV Dr. Idrus Alwi, SpPD-KKV Dr. Muin Rahman, SpPD-KKV Prof.DR.Dr. SarwonoWaspadji, SpPD-BCEMD Dr. Pradana Soewondo, SpPD-KEMD Dr. Imam Subekti, SpPD-KEMD Dr. Gatut Semiardji, SpPD-KEMD Prof.Dr. RHHNelwan, SpPD-KPTI Prof. Dr. H. Iskandar Zurkanain, SpPD-KPTI Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI Dr. HerdimanT. Pohan, SpPD-KPTI Dr. Budi Setiawan, SpPD-KPTI Dr. Suhendro, SpPD-KPTI Dr. Leonard Nainggolan, SpPD-KPTI Dr. Khie Chen, SpPD-KPTI Prof.Dr. Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM DR. Dr. Djumhana Atmakusuma, SpPD-KHOM Dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM DR. Dr. Harry Isbagio, SpPD-KR Dr. Yoga I Kasjmir,SpPD-KR DR. Dr. Zulkifli Amin, SpPD-KP Dr. Anna Uyainah Z.N, SpPD-KP Dr. Chudahman Manan, SpPD-KGEH Dr. Dadang Makmun, SpPD-KGEH Dr. Ari F. Syam, SpPD-KGEH Dr. Murdani Abdullah, SpPD-KGEH ProfDr. H. Ali Sulaiman, PhD, SpPD-KGEH Dr. Irsan Hasan, SpPD-KGEH Prof DR.Dr. Endang Susalit, SpPD-KGH Dr. Ginova Nainggolan, SpPD, KGH Dr. E. Mudjadid, SpPD-KPsi Dr. Hamzah Shatri, SpPD-KPsi Dr. Lukman Hakim, SpPD-KKV-KGer Dr. Siti Setiati, MEpid, SpPD-KGer iii Dr. Czeresna Heriawan Soedjono, MEpid, SpPD-KGer
Dr. Nina Kemala Sari, SpPD Dr. Arya Govinda, SpPD Dr. Hem Sundaru, SpPD-KAI Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI Prof. Dr. A. Dinajani Mahdi, SH, SpPD-KAI Dr. Nanang Sukmana, SpPD-KAI Dr. Iris Rengganis, SpPD-KAI Dr. Teguh H. Karyadi, SpPD-KAI Dr. Evy Yimihastuti, SpPD PAPDI Cabang Bogor PAPDI Cabang Yogyakarta PAPDI Cabang Malang
PENYUSUN DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD-KEMD Dr. Anna Uyainah Z.N, SpPD-KP Dr. Hanafi B. Trisnohadi, SpPD-KKV DR. Dr. Djumhana Atmakusuma, SpPD-KHOM Dr. Idnis Alwi, SpPD-KKV Dr. Teguh H. Karyadi, SpPD-KAI Dr. Suharko Soebadri, SpPD Dr. HilmanTadjoedin, SpPD Dr. Muhammad Syafiq Dr. Ariani Intan Wardhani Dr. Johannes Poerwoto Dr. Ikhwan Rinaldi Dr. Purwita Wijaya Laksmi Dr. Dyah Pumamasari Dr. Emi Juwita Nelwan
iv
DAFTAR ISI
Daftar isi
v
Kata Pengantar
xi
Sambutan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Rl Sambutan Ketua Umum PB PABDI
>w
Langkah-langkah Penyusunan Panduan Pelayanan Medik PAPDI BAB I
BAB II
xiii
: Pendahuluan Latar Belakang
xvii 3 3
PengertiandanTujuan
3
Ruang Lingkup
3
: Panduan Pelayanan Medik PAPDI 2.1. Metabolik Endokrinologi:
5 7
�Diabetes Melitus -y
8
Tirotoksikosis
16
�Ketoasidosis Diabetikum
20
Hipoglikemia
23
Dislipidemia Struma Nodosa Non Toksik
26
Kista Tiroid
35
31
2.2. Kardiologi: Bradiaritmia
39 41
Edema Ram Akut (Kardiak)
44
Endokarditis Infektif
47
Fibrilasi Atrial
51
�Gagal Jantung Kronik
54
Takikardia Atrial Raroksismal
58 V
Perikarditis �Sindrbm KoronerAkut Renjatan Kardiogenik
-
60 63 67
Takikardia Ventrikular
70 72
Ekstrasistol Ventrikular
74
Fibrilasi Ventrikular
2.3. Pulmonologi: �Hemoptisis Efusi Pleura Pneumotoraks Pneumonia didapat di Masyarakat Pneumonia Atipik Gagal Napas 7Penyakit Paru Obstruktif Kronik '�Tuberkulosis Paru Karsinoma Paru Emboli Paru
2.4. Reumatologi; Artritis Pirai Artritis Reumatoid v/Lupus Eritemat(�us Sistemik Artritis Septik Osteoartritis Sklerosis Sistemik 2.5. Tropik Infeksi: Demam Berdarah Dengue DemamTifoid' Leptospirosis Sepsis dan Renjatan Septik Feverof unknown Origin Malaria Intoksikasi Opiat Intoksikasi Organofosfat
T7 79 82 87 90 100 103 105 109 112 117 121 123 125 127 129 131 133 135 137 139 142 144 146 148 151 153
vi
2.6. Ginjal Hipertensi: PenyakitGinjal Kronik �Sindroma Nefrotik Penyakit Glomerular
155 157 160 162
Gagal Ginjal Akut �Hipertensi Krisis Hipertensi Infeksi Saluran Kemih Batu Saluran Kemih Nefritis Lupus 2.7. Hematologi Onkologi Medik : Llmpoma non-Hodgkin Anemia Aplastik Leukemia Akut Sindrom Lisis Tumor
165 168 171 174 179 181 183 185 187 189 192 194
Idiophatic Thrombocytopenia Purpura Trombosis Vena Dalam Koagulasi Intravaskular Diseminata
197 201
Trombositosis Primer/Esensial Sindrom Vena kava Superior
203 205
Hiperkalsemia
207
Hiperurisemia
209
Terapi Suportif pada Pasien Kanker Polisitemia Vera
211
2.8. Geriatri:
216 219
Pengkajian Geriatri PafipurnalComprehensif Geriatric 221 Assessment (CGA) Sindrom Delirium Akut Instabilitas dan Jatuh Gangguan Kognitif Ringan dan Demensia Imobilisasi Inkontinensia Urin Dehidrasi Konstipasi Pneumonia pada Geriatri
229 231 237 244 248 250 253 256 Vll
•�Infeksi Saluran Kemih Ulkus Dekubitus Malnutrisi
258 260 263
2.9. Psikosoma tik:
267
Depresi
269
Dispepsi Fungsional Sindrom Leiah Kronik
271
Ansietas Sindrom Hiperventilasi
275
Nyeri Psikogenik Sindrom Kolon Iritabel
279
Penyakit Jantung Fungsional (Neurosis Kardiak)
283
273 277 281
2.10. Alergi Imunologi: Infeksi HIV/AIDS Renjatan Anafilaksis
287
"�Asma Bronkial
291
Urtikaria karena Obat 2.11. Gastroenterologi: Ulkus Peptikum
285 289 294 297 299
Dispepsia Karsinoma Kolon
301
Karsinoma Rekti
303
Karsinoma Gaster
304
Hematemesis Melena
305
Diare Kronik
307
Pankreatitis Akut
309
Ileus Paralitik
311
Hematoskezia
313
2.12. Hepatologi: Sirosis Hati
302
315 317
Hepatoma Hepatitis Virus Akut
318
Hepatitis Virus Kronik Abses hati
320
319 321
viii Kolesistitis Akut Perlemakan Hepatitis non alkoholil<
323 325
BAB III
: Panduan Prosedur Tindakan Penyakit Dalam PAPDI 3.1. Kardiologi Kardioversi Kateterisasi Jantung dan Angiografi Koronaria
327 329 331 333
Pacu Jantung Sementara Perikardiosentesis (Pungsi Perikard)
340
Manajemen Perioperatif pada Operasi Nonkardiak
342
Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty
347
Tes Treadmill
350
3.2. Pulmonologi »�ungsi Cairan Biopsi Aspirasi Jarum Haius Pleurodesis Bronkoskopi Spironnetri Biopsi Pleura
337
353 355 357 359 362 369 372
3.3. Reumatologi Penyuntikan intra-artikular Aspirasi Cairan Sendi/artrosentesis
375 377
3.4. Ginjal Hipertensi Biopsi Ginjal Peritoniai Dialisis Akut Peritonial Dialisis Mandiri Berkesinambungan
383 385
3.5. Hematologi Onkologi Medik Aferesis Pungsi Sumsum Tulang
395
Biopsi Sumsum Tulang \/Transfusi Darah Pemasangan Nutricath Fiebotomi
380
388 391
397 400 403 405 408 411
ix
3.6. Alergi Imunologi Tes Tempel {Patch Test) Tes Tusuk {Skin Prick Test)
413 415 417
Tes Provokasi Bronkus
419
Tes Provokasi Obat
421
3.7. Gastroenterologi Skleroterapi dan Ligasi Varises Esofagus Skleroterapi Hemoroid Businasi
BAB IV
423 425 428
Kolonoskopi
430 431
Pemasangan Selang Nasogastrik
433
Esofago-Gastro-Duodenoskopi
435
3.8. Hepatologi Biopsi Aspirasi Jarum Halus � Parasentesis Abdomen
441
: Penutup
443
Lampiran Surat Keputusan Ketua Umum PB PAPDI No. 172ISK. PB. PAPDIIIXI04
437 439
447
X
KATA PENGANTAR Dalam rangka menghadapi era globalisasi dan memberikan pelayanan dan perawatan pasien secara optimal dan bertanggung jawab sesuai dengan
profesionalisme dokter penyakit dalam, maka Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) telah menginventarisasi dan menyusun panduan pelayanan medis (PPM) PAPDI dan panduan operasional prosedur tindakan dalam pelayanan. Buku PPM PAPDI ini sebagian merupakan naskah dari buku Pedoman Diagnostis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam dan buku Prosedur Tindakan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam yang telah diterbitkan oleh Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo. Harapan kami buku ini dapat diterapkan oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam Seluruh Indonesia sebagai panduan keija yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material. Tujuan dari penyusunan PPM PAPDI adalah agar buku ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk seluruh Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang bekeija di rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas pelayanan kesehatan lainnya seluruh Indonesia, disesuaikan dengan sarana yang tersedia Pada kesempatan ini, Tim Penyusun berterima kasih kepada para Ketua Divisi dan Staf Departemen Ilmu Penyakit FKUI/RSCM serta anggota Cabang PAPDI di Indonesia yang telah memberikan masukan/saran untuk perbaikan/revisi konsep SPM PAPDI. Penghargaan juga diberikan kepada Dr. Anna Uyainah Z.N, SpPD-KP beserta timnya Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, Dr. Nafrialdi, SpPD, Dr. Arif Mansjoer, Dr. Muhammad Syafiq, Dr. Ikhwan Rinaldi, Dr. Johannes Poerwoto, Dr. Purwita Wijaya Laksmi, Dr. Ariani Intan Wardhani, Dr. Dyah Pumamasari dan Dr. Emi Juwita Nelwan serta para tenaga sekertariat atas usahanya dalam penyusunan buku ini. Semoga buku Panduan Pelayanan Medik ini dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya.
Jakarta, April 2005 Tim Penyusun
Prof. PR Dr. Sidartawan Soegondn. SpPD. KEMP. FACE Ketua XI
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN MEDIK DEPARTEMEN KESEHATAN Rl
Assalamuialaikum Wk JVb Kita patut bersyukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) telah dapat menyelesaikan Panduan Pelayanan Medis Penyakit Dalam. Dengan demikian kita telah maju selangkah lagi dalam menyediakan pelayanan yang bermutu dan profesional. Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam merupakan suatu panduan keija Dokter Spesialis Penyakit Dalam di seluruh Indonesia dalam menjalankan tugas keprofesian di sarana pelayanan kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Akhir-akhir ini pengaduan masyarakat akan medical error dan mal praktek sudah banyak kita temukan baik lewat media massa maupun lewat penyelesaikan hukum, hal ini disebabkan karena telah meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan haknya untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu. Arus globalisasi yang kita hadapi memacu terjadinya persaingan ketat agar bisa survive. Dengan demikian bekerja secara profesional merupakan kunci dari penyelesaian masalah ini. Panduan profesi dan panduan pelayanan medik ini menjadi sangat penting agar hak masyarakat terlindungi untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu serta tenaga pemberi pelayanan pun terlindungi. Saya menyambut gembira dan menghargai upaya yang telah dilakukan oleh PAPDI ini dengan demikian profesi telah ikut mendorong pencapaian Indonesia Sehat2010. Dengan dicetaknya buku Pelayanan Medik Penyakit Dalam ini maka asset perangkat lunak kita dalam memberikan rambu-rambu bekerja secara profesional telah bertambah lagi. Buku ini tidak hanya bermanfaat bagi profesi tetapi juga bagi pemerintah dalam pengembangan pelayanan di sarana kesehatan. xni
Akhir kata saya ucapkan selamat bekerja semoga Allah SWT selalu membimbing dan meridhoi segala upaya yang kita buat.
Wassalammuialaikum Wr. Wb.
Dr. Sri Astuti S. Suparmanto. M.Sc (PH1 Direktur Jenderal Pelayanan Medik
XIV
SAMBUTAN KETUA UMUM PB PAPDI Assalamuialaikum Wr. Wh Fuji syukurkitapanjatkankehadirat Allah SWT atas keberhasilan penyusunan buku Panduan Pelayanan Medik (PPM) PAPDI. Dengan terbitnya buku Standar
Pelayanan Medik PAPDI ini, diharapkan akan semakin jelas rujukan/panduan segala sesuatu yang berhubungan dengan prosedur standar operasional dalam pelayanan dan perawatan kepada pasien. Seiring dengan arus kemajuan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam serta dalam rangka meningkatkan profesionalisme dokter penyakit dalam dan mencegah terjadinya ikekeliruani dalam perawatan kepada pasien, diharapkan Buku Panduan Pelayanan Medik PAPDI ini menjadi acuan/panduan dalam menjalankan tugas profesi seorang dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas pelayanan kesehatan lain di seluruh Indonesia, disesuaikan dengan sarana yang tersedia. Untuk mencapai keberhasilan pelayanan dan perawatan kepada pasien yang berkualitas dan bertanggung jawab, di samping mengacu pada buku Panduan Pelayanan Medik PAPDI yang sudah dirancang dengan sebaik-baiknya sebagai panduan keija yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan, juga harus didukung sumberdayamanusia(SDM) yang berkualitas dalam pengetahuan dan bertanggung jawab secara moral dalam sikap dan perilaku serta sarana prasarana yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu dokter spesialis penyakit dalam harus selalu berupaya memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan terutama dalam hubungannya dengan pasien baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Tim Penyusun buku Panduan Pelayanan Medik PAPDI dan kepada Tim PPDS Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang telah membantu terbitnya buku ini serta kepada para mediator dari Divisi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dan anggota cabang PAPDI di Indonesia yang telah berpartisipasi dalam penyusunan buku ini. XV
Semoga buku Panduan Pelayanan Medik PAPDI ini dapat membantu dalam melaksanakan tugas sehari-hari dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian masyarakat, dan semoga Allah SWT memberikan bimbingan dan meridhoi segala aktivitas para dokter penyakit dalam seluruh Indonesia. Amiin.
Wassalammuialaikum Wr. Wb.
Prof. Dr. H-A. Atiz Rani. SpPD. KCEH KetuaUmum
xvi
LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PANDUAN PELAYANAN MEDIK PAPDI
Dalam penyusunan Panduan Pelayanan Medik (PPM) Penyakit Dalam PAPDI ada beberapa langkah yang di tempuh untuk mencapai hasil yang maksimal, sebagai berikut: 1.
Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) membentuk Tim Penyusun dan menetapkan SK Penugasan Penyusunan PPM Penyakit Dalam tahun 2004 oleh Ketua Umum PB PAPDI (No. 126/SK.PB,
PAPDIAai/04) 2.
Penyusunan Buku Panduan Pelayanan Medik PAPDI a. Menentukan latar belakang penyusunan PPM b. Menentukan topik-topik yang perlu dimasukkan ke dalam PPM Topik-topik ditentukan berdasarkan: • Sepuluh penyakit terbanyak dari setiap divisi penyakit dalam • Penyakit-penyakit yang dianggap penting walaupun angka kej adian kecil • Penyakit-penyakit yang memerlukan tindakan emergensi c, Topik-topik tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Penyakit: Metabolik Endokrinologi : - Diabetes melitus Tirotoksikosis - Ketoasidosis diabetikum - Hipoglikemia - Dislipidemia Struma nodosa non toksik - Kista tiroid Kardiologi : - Bradiaritmia - Edema paru akut (kardiak) - Endokarditis infektif - Fibrilasi atrial - Gagal jantung kronik - Takikardia atrial paroksimal - Perikarditis - Sindrom koroner akut - Renjatan kardiogenik - Fibrilasi Ventrikular Takikardia Ventrikular - Ekstrasistol ventrikular
Pulmonologi : Hemoptisis - Efiisi pleura - Pneumotoraks - Pneumonia didapat di masyarakat - Pneumonia atipik - Gagal napas - Penyakit paru obstruktif kronik - Tuberkulosis paru - Karsinoma paru - Emboli paru Reumatologi: - Artritis pirai - Artritis reumatoid - Lupus eritematosus sistemik
xvii
- Artritis septik - Osteoartritis - Sklerosis sistemik Tropik Infeksi : - Demam berdarah dengue - Demam tifoid - Leptospirosis - Sepsis dan renjatan septik - Fever of unknown origin - Malaria - Intoksikasi opiat - Intoksikasi organofosfat Ginjal Hipertensi ; - Penyakit ginjal kronik - Sindromnefrotik - Penyakit glomerural - Gagal ginj al akut - Hipertensi - Krisis hipertensi - Infeksi saluran kemih - Batu saluran kemih - Nefritis lupus Hematologi Onkologi Medik : - Limfoma Non Hodgkin - Anemia aplastik - Leukemia akut Leukemia kronik Sindrom lisis tumor -
Ideopatic Thrombositopenic Purpura Trombosis Vena Dalam Koagulasi intravaskular diseminata Trombositosis primer/esensial Sindrom vena cava superior Hiperkalsemia Hiperurisemia Terapi suportif pada pasien kanker Polisitemia vera
Geriatri : Pengkajian Geriatri paripuma/Cow;?re/ie«5(/'Geriatric Assesment (CGA) - Sindrom Delirium Akut - Instabilitas dan Jatuh - Gangguan kognitif ringan dan demensia - Imobolisasi - Inkontinensia urin - Dehidrasi Konstipasi
-
-
Pneumonia pada geriatri Infeksi saluran Kemih Ulkus dekubitus Malnutrisi
Psikosomatik; -
Depresi Dispepsi fungsional Sindrom lelah kronik Ansietas Sindrom hiperventilasi Nyeri psikogenik Sindrom kolon iritabel Penyakit jantung fungsional (Neurosis kardiak)
Alergi Imunologi : - Infeksi HIV/AIDS - Renjatan anafilaksis - Asma bronkial - Urtikaria karena obat Gastroenterologi : - Ulkus peptikum - Dispepsia - Karsinoma kolon - Karsinoma rekti
-
Karsinoma gaster Hematemesis Melena Diare kronik Pankreatitis akut Ileus paralitik Hematoskezia
Hepatologi : - Sirosis hati - Hepatoma Hepatitis virus akut - Hepatitis virus kronik - Abses hati - Kolesistitis akut - Perlemakan hepatitis non alkoholik Tindakan/prosedur: Kardiologi: - Kardioversi - Kateterisasi jantung dan angiografi koronaria - Pacu jantung sementara - Perikardiosentesis (pungsi perikard) - Manajemen perioperatif pada operasi nonkardiak
xix
-
PTCA Tes Treadmill
Pulmonologi : - Pungsi cairan pleura Biopsi aspirasi jarum halus - Pleurodesis - Bronkoskopi - Spirometri - Biopsi pleura Reumatologi: - Penyuntikan intra-artikular - Aspirasi cairan sendi/artrosentesis Ginjal Hipertensi: - Biopsi ginjal - Peritonial dialisis akut - Peritonial dialisis mandiri berkesinambungan Hematologi Onkologi Medik : - Aferesis - Pungsi sumsum tulang - Biopsi sumsum tulang -
Transfiisi darah Pemasangan nutricath Flebotomi Alergi Imunologi : - Tes temple (patch test) ~ Tes tusuk {skin prick test) - Tes provokasi bronkus - Tes provokasi obat Gastroenterologi : Skleroterapi dan ligasi VE - Skleroterapi hemoroid - Businasi - Kolonoskopi Pemasangan selang nasogastrik (NGT atau Flocare) Esofago-gastro-duodenoskopi Hepatologi : Biopsi aspirasi jarum halus - Parasentesis abdomen 3. 4.
Pembagian tugas penulisan PPM Menyusun sistematika penulisan PPM (Penyakit dan Prosedur Tindakan) yaitu sebagai berikut: 1. Penyakit terdiri dari:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pengertian Diagnosis Diagnosis banding/diferensial Pemeriksaan Penunjang Terapi Komplikasi Prognosis Wewenang Unit Yang Menangani UnitTerkait
n. Tindakan/prosedur terdiri dari: 1. Pengertian 2 Tujuan 3. Indikasi 4. Kontra Indikasi 5. Persiapan 6. Prosedur Tindakan 7. Lama Tindakan 8. Komplikasi 9. Wewenang XXI
10. Unit Yang Menangani 11. UnitTerkait 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Mendistribusikan PPM yang telah disusun ke divisi-divisi penyakit dalam FKUI/RSCM untuk di revisi Menyusun PPM yang telah dibuat mencakup di dalamnya PPM yang telah dikoreksi oleh masing-masing divisi terkait. Mengirimkan PPM yang telah disusun ke anggota cabang PAPDI di In¬ donesia untuk mendapatkan masukan/saran Memperbaiki dan meyusun kembali PPM yang telah dikoreksi oleh anggota cabang PAPDI. Ketua Umum PAPDI menyetujui PPM yang telah diperbaiki dengan dikeluarkannya SK Pemberlakuan No, 172/SK.PB. PAPDI/IX/2004 Sosialisasi PPM kepada seluruh anggota cabang PAPDI di Indonesia. Pelaksanaan PPM dilaksanakan oleh seluruh dokter spesialis penyakit dalam
BAB I
PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Seiring dengan kemaj uan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam, perlu adanya panduan/acuan kerja yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun mate¬ rial meny angkut pelayanan dan perawatan kepada pasien di rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas kesehatan lainnya di Indonesia, agar tidak terjadi "kekeliruan" dalam bertindak yang mengakibatkan kerugian tidak hanya bagi pasien tetapi juga seluruh praktisi kesehatan yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pelayanan dan perawatan kepada pasien seorang dokter penyakit dalam hams selalu menjunjung tinggi sikap hamanisme, profesionalisme, bertanggung jawab moral, memegang teguh etika kedokteran, etika sosial dan etika nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) berusaha menyusun suatu buku Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam sebagai acuan/panduan dalam melaksanakan pelayanan dan perawatan kepada pasien, sehingga tercapai tujuan pelayanan kesehatan yang optimal, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material.
1.2
PENGERTIAN DAN TUJUAN
Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam adalah panduan prosedur standar operasional dalam pelayanan dan perawatan kepada pasien yang harus diketahui dan dijalankan oleh seorang dokter penyakit dalam untuk melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan secara optimal, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam ditetapkan oleh PB PAPDI dengan tujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan dan perawatan kepada pasien secara lebih optimal, berkesinambungan, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material.
1.3
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup standar pelayanan medik penyakit dalam mencakup : • Sepuluh penyakit terbanyak dari setiap divisi penyakit dalam • Penyakit-penyakit yang dianggap penting walaupun angka kejadian kecil • Penyakit-penyakit yang memerlukan tindakan emergensi • Tata laksana tindakan/prosedur penyakit dalam
3
BAB II PANDUAN PELAYANAN MEDIK PAPDI
2.1 METABOLIK ENDOKRINOLOGI
Metabolik Endokrinobgi
Diabetes melitus PENGERTIAN Diabetes melitus merupakan suatu kelompokpenyakit metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia akibat defekpada: 1. kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di jaringan perifer (otot dan lemak) 2, sekresi insulin oleh sel beta pankreas 3. atau keduanya Kiasiflkasi Diabetes Melitus (DM) 1. DM tipe 1 (destruksi sel P, umumnya diikuti defisiensi insulin absolut): • Immune-mediated, • Idiopatik n. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif sampai predominan defek sekretorik dengan resistensi insulin) III. Tipe spesifik lain: • Defek genetik pada fungsi sel [i • Defek genetik pada kerj a insulin • Penyakit eksokrin pankreas • Endokrinopati • Diinduksi obat atau zat kimia • Infeksi • Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM • Sindrom genetik lain, yang kadang berkaitan dengan DM IV DM gestasional
DIAGNOSIS Terdiri dari: • Diagnosis DM • Diagnosis komplikasi DM • Diagnosis penyakit penyerta • Pemantauan pengendalian DM Anamnesis: • Keluhan khas DM: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. • Keluhan tidak khas DM: lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita. Faktor risiko DM tipe 2: • Usia > 45 tahun, • Berat badan lebih: > 110 % berat badan idaman atau indeks massa tubuh (IMT) > 23 kg/m�
Panduan Pelayanan Medik PAPDI • • • • • •
9
Hipertensi (TD > 140/90 mmHg) Riwayat DM dalam garis ketumnan Riwayat abortus bemlang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4.000 gram Riwayat DM gestasional Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) Penderita penyakit jantung koroner, tuberkulosis, hipertiroidisme
•
Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
Pemeriksaan fisiklengkap, termasuk • Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang. • Tanda neuropati • Mata (visus, lensa mata dan retina) • Gigi mulut • Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glu kosa: 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dL, atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) > 126 mg/dl, atau 3. Kadar glukosa plasma >200mg/dL pada2jamsesudahbeban glukosa 75 gram pada TTGO
DIAGNOSIS BANDING Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu (TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium: • Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah • Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan • Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur, kreatinin • SGPT, Albumin/Globulin • Kolesterol Total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida • A,C • Albuminuri mikro Pemeriksaan penunjang lain: EKG, foto toraks, flinduskopi
TERAPI Edukasi meliputi pemahaman tentang: Penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan, cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
10
Metabolik Endokrinobgi
Perencanaan Makan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat 60 - 70 %, protein 1 0 - 1 5 % , dan lemak 20 - 25 % Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidakjenuh (MLJFA = Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA {Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut.
Jumlah kalori basal per hari: • Laki-laki; 30 kal/kg BB idaman • Wanita : 25 kal/kg BB idaman Penyesuaian (terhadap kalori basal / hari); • Status gizi: - BB gemuk - BBlebih BBkurang • Umur > 40 tahun: • Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): • Aktivitas: - Ringan - Sedang - Berat • Hamil: trimester I, II - trimester III / laktasi
- 20 % -10% +20% - 5 % + (10 s/d 30 %) +10% + 20 % + 30 % +300kal +500kal
Rumus Broca: Berat badan idaman = (tinggi badan-100 ) - 10 % * Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi. -> BB kurang : < 90 % BB idaman BB nomial : 90 - 110 % BB idaman BBlebih : 110-120% BB idaman Gemuk : > 120 % BB idaman Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Prinsip: Continuous-Rythmical-Interval-Progressive-Endurance Intervensi Farmakologis Obat Hipoglikemia Oral (OHO): • Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue); sulfonilurea, glinid • Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion • Penghambat absorpsi glukosa ; Penghambat glukosidase alfa Insulin Indikasi; • Penurunan berat badan yang cepat 11
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, strok) Kehamilan dengan DM / diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan Gangguan ftingsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, unluk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya. Pengelolaan DM tipe 2 Gemuk; —> evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Non-farmakologis Sasaran tidak tercapai:
Penekanan kembali tata laksana non-farmakologis. —> evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
+1 macam OHO Biguanid / Penghambat glukosidase a / G litazon —> evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
kombinasi 2 macam OHO, antara: Biguanid / Penghambat glukosidase a / Glitazon —> evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
kombinasi 3 macam OHO: Biguanid + Penghambat glukosidase a + Glitazon atau Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam —> evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai: kombinasi 4 macam OHO: Biguanid + Penghambat glukosidase a + Glitazon + Secretagogue atau Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai: Insulin atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam
12
Metabolik Endokrinologi Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai: [nsulin Bila sasaran tercapai: teruskan terapi terakhir. Pengelolaan DM tipe 2 Tidak Gemuk: —� evaluasi 2 — 4 minggu (sesuai keadaan klinU): Non-farmakologis Sasaran tidak tercapai:
Non-farmakologis + secretagogue —> evaluasi 2 — 4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
kombinasi 2 macam OHO, antara: Secretagogue + Penghambat glukosidase aJ Biguanid / Glitazon —> evaluasi 2 — 4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
kombinasi 3 macam OHO: Secretagogue + Penghambat glukosidase a+Biguanid / Glitazon, atau Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam —� evaluasi 2 — 4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai: kombinasi 4 macam OHO: Secretagogue + Penghambat glukosidase a +Biguanid + Glitazon, atau Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam —> evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai: Insulin, atau Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam Sasaran Terapi Kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai: Insulin Bila sasaran tercapai: teruskan terapi terakhir Penilaian hasil terapi 1. Pemeriksaan glukosa darah 2. Pemeriksaan AIC 3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri 4. Pemeriksaan glukosa urin 5. Penentuan Benda Kriteria Keton pengendalian DM (Lihat tabel)
13
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Tabel:
Kriteria Pengendalian DM Baik
GD puasa (mg/dL) GD 2 jam pp (mg/dL) AiC (%) Kolesterol total ( mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dl)
Sedang
80-109 IMT (Kg/m�) 80 - 144 Tekanan darah (mm < 6,5 Hg) <200 < 100 > 45 < 150
Buruk
18,5-22,9 < 130/80
110-125 145-179 6,5-8 200- 239 100-129
> 126 > 180
150-199 23-25
> 200 > 25
> 8
> 240 > 130
130-140
> 140/90
80-90
KOMPLIKASI A. Akut: • Ketoasidosis diabetik • Hiperosmolar non ketotik • Hipoglikemia B. Kronik: • Makroangiopati: - Pembuluh koroner - Vaskular perifer - Vaskular otak • Mikroangiopati; - Kapiler retina - Kapiler renal • Neuropati • Gabungan: - Kardiopati: penyakitjanting koroner, kardiomiopati • Rentan infeksi • Kaki diabetik • Disflingsi ereksi
PROGNOSIS Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
14
Metabolik Endokrinobgi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam divisi ginjal-hipertensi, divisi kardiologi, dan Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.
•
RS non pendidikan; Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.
REFERENSI 1. 2. 3.
4.
PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2002. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2002. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification ofDiabetes MelUtus. Report o f The Expert Committee on The Diagnosis and Classification o f Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan 2003;26(Suppl. ]):S5-20. '�uyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a p-Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002: The Recent Management in Diabetes and Its Complications : From Mo¬ lecular to Clinic. Jakrta, 2-3 Nov 2002.Simposium Current Treatment in Internal Medi¬ cine 2000. Jakarta,11-12 November 2000:185-99.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
15
TIROTOKSIKOSIS PENGERTIAN Tirotoksikosis merupakan suatu keadaan di mana didapatkan kelebihan hormon tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Tirotoksikosis dibagi dalam 2 kategori:
1. 2.
Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme
Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan.Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena penyakit Graves, struma multinodosa toksik (Plummer), dan adenoma toksik. Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblastik, pemakaian yodium berlebihan, obat hormon tiroid, dll. Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau Struma [multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus: infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi, penghentian obatanti-tiroid, terapi I'�\ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, pemyakit serebrovaskular/strok, palpasi tiroid terlalu kuat.
DIAGNOSIS Gejala dan tanda tirotoksikosis: hiperaktivitas, palpitasi, berat badan turun, nafsu makan meningkat, tidak tahan panas, banyak keringat, mudah lelah, sering buang air besar, oligomenore / amenore dan libido turun, takikardia, fibrilasi atrial, tremor halus, refleks meningkat, kulit hangat dan basah, rambut rontok, bruit. Gambaran klinis penyakit Graves: struma difus, tirotoksikosis, oftalmopati/ eksoftalmus, dermopati lokal, akropaki Laboratorium: TSHs rendah, meningkat
atau fT� tinggi. Pada
toksikosis;
atau fT�
Penderita yang dicurigai krisis tiroid • Anamnesis: Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun, perubahan suasana hati, bingung, diare, amenorea • Pemeriksaan fisik: - Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves atau penyakit lain - Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma - Demam tinggi sampai 40�C - Takikardia sampai 130-200 x/menit Dapat terjadi gagal jantung kongestif, ikterus 16
Metabolik Endokrinobgi •
•
Laboratorium: TSHs sangat rendah, / fT� / tinggi, anemia normositik normokrom, limfositosis relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat, azotemia prerenal EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.
DIAGNOSIS BANDING •
•
Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor TSH, obat: kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow) Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi
•
tiroid (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia) Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional
PEMERIKSAAN •
• • •
PENUNJ ANG
Laboratorium: TSHs, T� atau fT�, T3, atau fT�, TSH RAb, kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid) Sidik Tiroid / thyroidscan: terutama membedakan penyakit Plummer dari penyakit Graves dengan komponen nodosa EKG Foto toraks
TERAPI Tata laksana Penyakit Graves: ObatAntitiroid • Propiltiourasil (PTU) dosis awal 300- 600 mg / hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari. • Metimazol dosis awal 20 - 30 mg / hari. • Indikasi: - Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringan - sedang dan tirotoksikosis - Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif - Persiapan tiroidektomi - Pasien hamil, lanjut usia - Krisis tiroid Penyekat adrenergik P pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40 200 mg dalam4 dosis. Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab. FT� TyT3 dan TSHs.Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikuxangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan, Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps. 17
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Tindakan bedah Indikasi:• Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid • Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi • Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium radioaktif • Adenoma toksik, struma multinodosa toksik • Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul Radioablasi Indikasi; • Pasien berusia > 35 tahun
• • • •
Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
Tatalaksana Krisis tiroid: (terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid) 1. Perawatan suportif: • Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen) • Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit; infus Dextrose 5%danNaC10,9% • Mengatasi gagal jantung: diuretik, digitalis 2. Antagonis aktivitas hormon tiroid; • Blokade produksi hormon tiroid; PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Altematif; Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO. Pada keadaan sangat berat; dapat diberikan melalui pipa nasogastrik (NOT) PTU 600 — 1.000 mg atau metimazol 60-100 mg. • Blokade ekskresi hormon tiroid:Solutio Lugol {saturatedsolution ofpotas¬ sium iodida) 8 tetes tiap 6 jam • Penyekat P; Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target: firekuensi jantung < 90 x/m). • Glukokortikoid: Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12jam. • Bila refrakter terhadap terapi di atas; plasmaferesis, dialisis peritoneal. 3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi; antibiotik, dll.
KOMPLIKASI
• •
Penyakit Graves; penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid. Krisis tiroid: mortalitas
PROGNOSIS
• •
Dubia ad bonam. Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15%.
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
18
MetabotDc Endoknnobgi
sUNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
•
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi ginjal-hipertensi, divisi kardiologi, dan Departemen Neurologi, Radiologi/Kedokteran nuklir, Patologi Klinik, Bedah/tumor. RS non pendidikan: Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.
REFERENSI 1. Sumual A, Pandelaki K. Hipertiwidisme. In: Waspadji S, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: BalaiPenerbH FKULp. 766-72. 2. Jameson JL, Weetman AP Disorders o f the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine. 15'� ed. New York: McGraw-HiU:2001 .p. 2060-84. 3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di BidangIlmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16April 2000:78-82. 4. Suyono S, Subekti /. Patogenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 5. Waspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
19
KETaASIDOSlS�DIABETIKUM P E N G E RTI A N Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis utama ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik, faktor pencetus: infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, pengguna an obat golongan steroid, penghentian atau pengurangan dosis insulin.
DIAGNOSIS Klinis; • Keluhan poliuri, polidipsi • Riwayat berhenti menyuntik insulin • Demam / infeksi • Muntah • Nyeri perut • Kesadaran: kompos mentis, delirium, koma • Pemapasan cepat dan dalam (Kussmaul) • Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering) • Dapat disertai syok hipovolemik Kriteria diagnosis: Kadar glukosa
pH HC03Anion gap Keton serum
>250mg/dL <7,35 rendah tinggi positif dan atau ketonuria
PIAGNOSiSI BANDING Ketosis diabeti�hiperglikemi hiperosmolar non ketotik / hyperglycemic hyperosmolar state, ensefalopati uremikum, asidosis uremikum, minum alkohol, ketosis alkoholik, ketosis hipoglikemia, ketosis starvasi, asidosis laktat, asidosis hiperkloremik, kelebihan salisilat, drug-induced acidosis, ensefalopati karena infeksi, trauma kapitis. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan cito; gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, aseton darah, urin rutin, analisis gas darah, EKG Pemantauan: • Gula darah: tiapjam, • CI": tiap 6 jam selama24 jam, selanjutnya sesuai keadaan. Na�, • Analisis gas darah: bilapH < 7 saat masuk diperiksa setiap 6 jam s.d. pH > 7,1. Selanjutnya setiap hari sampai stabil.
20
Metabolik Endokrinobgi
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi); kultur darah, kultur urin, kultur pus
�
TERAPI Akses intravena (iv) 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way: L Cairan: • NaCl 0,9 % diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1 L pada jam kedua, lalu± 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25 Lpadajamkelimadan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan. • Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L. • Jika Na"� > 155 mEq/L —> ganti cairan dengan NaCl 0,45 %. • Jika GD < 200 mg/dL ganti cairan dengan Dextrose 5 %.
BL
Insulin (regular insulin = RI): • Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan • RI bolus 180mU/kgBB IV, dilanjutkan: • RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9% • Jika GD < 200 mg/dL: kecepatan dikurangi —> RI drip 45 mU/kgBB/j am dalam NaCl 0,9% • JikaGDstabil 200-300mg/dLselama 12jam �RI drip l-2U/jamIV,disertai sliding scale setiap 6 jam: GD � RI (mg/dL) (Unit, subkutan) <200 0 200-250 5 250-300 10 300-350 15 >350 20 • Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dL: drip RI dihentikan • Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari —> dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan).
nL Kalium • Kalium (K CI) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq / 6 jam. Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat. • Bila kadar pada pemeriksaan elektrolit kedua: <3,5 dripKCl 75 mEq/6jam 3,0-4,5 —> dripKCI 50mEq/6jam — —> 4,5 6,0 dripKCl 25mEq/6jam > 6,0 drip dihentikan • Bila sudah sadar, diberikan oral selama seminggu. IV. Natrium bikarbonat <7,0, disertaiKC126mEqdrip. Drip 100 mEq bila pH 50mEqbilapH 7,0-7,1, disertaiKCl 13mEqdrip. Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam. Panduan Pelayanan Medik PAPDI
21
TatalaksanaUmum: • Oksigen bila PO� < 80 mmHg • Antibiotika adekuat • Heparin: bila ada KID satau hiperosmolar (>380 mOsm/L) Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis; • Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pemapasan, temperatur setiap jam, • Kesadaran setiap jam, • Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam, • Produksi urin setiap j am, balans cairan • Cairan infus yang masuk setiap jam, Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang).
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak, hipokalsemia
PROGNOSIS Dubia ad malam, tergantung pada usia, komorbid, adanya infark miokard akut, sepsis, syok.
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik
REFERENSI PERKENl. PetunjukPraktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2002. Waspadji S. Kegawatanpada Diabetes Melitus. In: Presiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8. 3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In:Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:89-96. 4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA, Malone JI, et al. Management o f Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes. Diabetes Care, Jan
J. 2.
2001;24(1):131-5L
22
Metabolik Endokrinologi
HIPOGUKEMIA PENGERTIA U Hipoglikemiaadalahkeadaandimanakadarglukosadarah <60 mg/dL, ataukadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis.Hipoglikemia pada DM teijadi karena: • Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral • Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan • Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat • Kegiatan jasmani berlebihan.
DIAGNOSIS Gejala dan tanda klinis : • Stadium parasimpatik; lapar, mual, tekanan darah turun • Stadium gangguan otak ringan; lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara • Stadium simpatik; keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar • Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang Anamnesis: • Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis. • Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi • Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya • Lama menderita DM, komplikasi DM • Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll • Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik P, dll. Pemeriksaan fisik: pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal transien Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum: 1, Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia 2 Kadar glukosa plasma rendah 3. Gejala'mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
DIAGNOSIS BANDING Hipoglikemia karena • Obat: - (sering): insulin, sulfonilurea, alkohol, (kadang): kinin, pentamidine (jarang): salisilat, sulfonamid • Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel P jenis lain, sekretagogue Panduan Pelayanan Medik PAPDI • • • •
23
(sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik Penyakit kritis: gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis, starvasi dan inanisi Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin Tumor non-sel P: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma, melanoma Pasca-prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol
PEMERIKSAAN
PEN UNJ ANQ
Kadar glukosa darah (GD), tes flingsi ginjal, tes fungsi hati, C-peptide
TERAPI Stadium permulaan (sadar) • Berikan gula mumi 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula mumi (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang
• • • •
mengandung karbohidrat Hentikan obat hipoglikemik sementara, Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar) Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipogUkemia): 1. Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus intra vena, 2. Diberikan cairan Dekstrosa 10 %per infus, 6jamperkolf, 3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer: • Bila GDs <50 mg/dL —> + bolus Dekstrosa40 % 50 mL IV • Bila GDs < 100 mg/dL —> + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV 4, Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 % : • Bila GDs < 50 mg/dL —> + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV • Bila GDs <100 mg/dL —> + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV • Bila GDs 100-200 mg/dL—> tanpa bolus Dekstrosa 40 % • Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa
10% Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %. 6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %. 7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam: GD � RI (mg/dL)_(Unit, subkutan) <200 0 200-250 5 250-300 10 300-350 15 >350 20
5.
24
MetBbolik Endokiinobgi
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti: adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya insulin) 9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12jamatauDeksametason lOmg IVbolus dilanjutkan2 mgtiap 6jamdan Manitol 1,5-2 g/kgBB IV setiap6-8jam. Can penyebab lain penurunan kesadaran menurun
KOMPLIKASI Kerusakan otak, koma, kematian
PROGNOSIS Dubia.
WEWENANG •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Medical High Care / ICU RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, ICU
R E FE R E N S I : PERKENL Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2002. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam Presiding Simposium Penatalaksanaan 2. Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8. 3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principles o f Internal MedicineJ 5'� ed. New York: McGrawHill: 2001.p. 2138-43. /.
25
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
D I S L I PI D E M I A PENGERTIAN Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan (peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolesterol HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan, sehingga dikenal sebagai triad lipid. Secara klinis dislipidemia diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: Hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, dan campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia
DIAGNOSIS Klasifikasi kadar kolesterol: Kolesterol LDL:
Klasifikasi: Kolesterol total:
Kolesterol HDL
< lOOmg/dL 100-129mg/dL 130-159mg/dL 160- 189mg/dL > 190mg/dL
Optimal Hampir optimal Borderline tinggi Tinggi Sangat tinggi
<200mg/dL 200-239 mg/dL > 240 mg/dL
Idaman Borderline tinggi Tinggi
<40 mg/dL > 60 mg/dL
Rendah Tinggi
Untuk mengevaluasi risiko penyakit jantung koroner (PJK), perlu diperhatikan faktorfaktor risiko lainnya: • Faktor risiko positif: Merokok - Umur (pria > 45 tahun, wanita > 55 tahun) Kolesterol HDL rendah - Hipertensi ( TD > 140/90 atau dalam terapi antihipertensi) - Riwayat penyakit jantung koroner dini dalam keluarga {first degree: pria < 55 tahun, wanita < 65 tahun) • Faktor risiko negatif: - Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor risiko dari perhitungan total. ATP III menggunakanFramfrtg/�awi Risk Score (FRS) untuk menghitung besamya risiko penyakit jantung koroner (PJK) pada pasien dengan > 2 faktor risiko, meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka persentase risiko PJK dalam 10 tahun. Ekivalen risiko PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan kejadian PJK, yakni > 20 % dalam 10 tahun, terdiri dari:
26 Metabolik EndokrinolDgi • • •
Bentuk klinis lain dari aterosklerosis: penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri karotis yang simptomatis, Diabetes Faktor risiko multipel yang mempunyai risiko PJK dalam 10 tahun > 20 %.
Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida: Obesitas, berat badan lebih Inaktivitas fisik Merokok Asupan alkohol berlebih Diet tinggi karbohidrat ( > 60 % asupan energi), Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik-beta dosis tinggi Kelainan genetik (riwayat keluarga)
Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia Normal : <150mg/dL : Borc/erline-iinggi 150-199mg/dL Tinggi : 200 - 499 mg/dL > 500 mg/dL : Sangat tinggi
DIAGNOSIS BANDING
•
•
•
Hiperkolesterolemia sekunder , karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi, sindrom nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin, siklosporin, thiazide) HipenriHliseridemia sekunde r, karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik, lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis, kehamilan, obat (estrogen, isotretinoin, penghambat beta, glukokortikoid, resin pengikat bile-acid� thiazide), hepatitis akut, lupus eritematosus sistemik, gammopatimonoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS: inhibitor protease HDL rendah sekunder , karena malnutrisi, obesitas, merokok, penghambat betasteroid anabolik
PEMERIKSAAN PENUNJANG Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia 20 tahun, setiap 5 tahun sekah: Kadar kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, glukosa darah, tes fiingsi hati, urin lengkap, tes flingsi ginjal, TSH, EKG
TERAPI Untuk hiperkolesterolemia: Penatalaksanaa n Non-famiakolopi s (Perubahan Gaya Hidup): • Diet, dengan komposisi: - Lemakjenuh < 7 % kalori total - PUFA hingga 10% kalori total - MUFA hingga 10% kalori total - Lemak total 25-35 % kalori total Panduan Pelayanan Medik PAPDI -
Karbohidrat Protein Serat Kolesterol
27
50 - 60 % kalori total hingga 15 % kalori total 20-30 g / h a r i <200 m g / h a r i
Latihanjasmani Penurunan berat badan bagi yang gemuk Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di bawah ini), pemantauan setiap 4-6 bulan. • Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai: intensifkan penurunan lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, tingkatkan konsumsi serat, dan kerjasama dengan dietisien. • Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihanjasmani.
Terapi Farmakologis: • Golongan statin: - Simvastatin 5-40 mg - Lovastatin 10-80mg - Pravastatin 10-40mg - Fluvastatin 20-80mg - Atorvastatin 1 0 - 8 0 m g ♦ Golongan bile acid sequestrant. - Kolestiramin 4 - 16 g • Golongan nicotinic acid: - Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5 - 3 g Target Kolesterol LDL (mg/dL) : Target Kadar LDL Kategori LDL untuk mulai PGH Risiko <100 >100 PJK atau Ekivalen PJK (100-129: opsional) (FRS > 20 %) <130 >130 Faktor risiko > 2 (FRS < 2 0 % ) <160 >160 Faktor risiko 0-1
Kadar LDL untuk mulai terapi farmakologis 130 >130 (FRS 10-20% (160-189: opsional) >190 (160-189: opsional)
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai; intensifkan/ naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan, 28
Metabolik Endokrinobgi
Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dL. Pasien dengan hipertrigliseridemia: • Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas. • Penatalaksanaaan farmakologis:
Target terapi: - Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL. - Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder adalah kadar kolesterol non-HDL, yakni sebesar 30 mg/dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL (lihat tabel di atas). - Pendekatan terapi obat: 1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau 2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat terdiri dari: • Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg • Fenofibrat 1 x 200 mg Penyebab primer dari dislipidemia sekunder Juga hams ditatalaksana.
KOMPLIKASI Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, strok, pankreatitis akut
PROGNOSIS Dubia ad Bonam
WEWE NANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan peserta PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi / Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi Kardiologi, Departemen Patologi Klinik, Gizi RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, Gizi
REFERENSI 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pa da Diabetes Melitus di Indonesia. 1995. 2.
Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment o f High Blood Cholesterol in Adults. Executive Summary o f the Third Report o f the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment o f High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel 111). JAMA, May 16, 2001;285(19):2486-97.
29 Panduan Pelayanan Medik PAPDI 3. Semiardji G National Cholesterol Education Program - Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III): Adakah hal yang baru? Makalah Slang Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, 2002. 4. Ginsberg HN, Goldberg IJ. Disorders of Lipoprotein Metabolism. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine. 15'� ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p. 2245-57. 5. Suyono S. Terapi Dislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai Kapan? Prosiding Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,11-12 November 2000:185-99.
30
MetaboUk Endokrindogi
STRUMA NODOSA NON TOKSIK PENGERTIAN Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.Berdasarkan jumlah nodul, dibagi: • Struma mononodosa non toksik • Struma multinodosa non toksik Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi: nodul dingin, nodul hangat, nodul panas Sedangkan berdasarkan konsistensinya, nodul dibedakan menjadi; nodul lunak, odul kistik, nodul keras, nodul sangat keras
DIAGNOSIS Anamnesis: • Sejak kapan benjolan timbul
• • •
Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap Cara membesamya: cepat, atau lambat Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja
• • • • • •
Riwayat keluarga Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda Perubahan suara Gangguan menelan, sesak napas Penurunan berat badan Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan fisik: • Umum • Lokal: - Nodul tunggal atau majemuk, atau difus - Nyeri tekan - Konsistensi - Permukaan - Perlekatan pada j aringan sekitamya - Pendesakan atau pendorongan trakea - Pembesaran kelenjar getah bening regional
-
Pemberton � sign
Penilaian risiko keganasan; Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid: • Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difiisa jinak
Panduan Pelayanan Medik PAPDI • • • • •
31
Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun. Gejala hipo atau hipertiroidisme. Nyeri berhubungan dengan nodul. Nodul lunak, mudah digerakkan. Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid: • Umur < 20 tahun atau > 70 tahun • Gender laki-laki • Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan napas • Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu - bulan) • Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa Quga meningakatkan insiden penyakit nodul tiroidjinak) • Riwayat keluarga kanker tiroid meduler • Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan • Paralisis pita suara, • Temuan limfadenopati servikal • Metastasis jauh (paru-paru, dll) LangkahdiagnostikI: TSHs, FT4
Hasil; Non-toksik —> Langkah dia��ostik II: BAJAH nodul liroid Hasil: A. Ganas B. Curiga C. Jinak D. Tak cukup/sediaan tak representatif(dilanjutkan di kolom Terapi)
DIAGNOSISI BANDING
•
Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin saat masa pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan, menopause, infeksi, stres lain. Tiroiditis akut Tiroiditis subakut Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel) Simple goiter Struma endemik Kista tiroid, kista degenerasi Adenoma Karsinoma tiroid primer, metastatik Limfoma
PEMERIKSAAN! P E NUNJANG Laboratorium: T4 atau fT4, T3, dan TSHs Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid: - Bila hasil laboratorium: non-toksik - Bilahasillab. (awal) toksik, tetapi hasil scan: menjadi eutiroid, 32
•
•
• •
syarat: sudah
Metabolik EndokmiolDgi
USGtiroid; - Pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi - Pemandu pada BAJAH Sidik tiroid: - Bila klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2 kali): jinak, - Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid medular, diperiksakan kalsitonin) Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit Hashimoto.
TERAPI Sesuai hasil BAJAH, maka terapi: A- Ganas —> Operasi Tiroidektomi near-total B, Curiga —> Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC): Bila hasil = ganas —> Operasi Tiroidektomi near-total. Bila hasil = jinak—> Operasi Lobektomi, atau Tuo\dQVXom\ near-total. —� Altematif: Sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule —> Operasi C. Tak cukup/sediaan tak representatif • Jika nodul Solid (saat BAJAH): ulang BAJAH. Bila klinis curiga ganas tinggi —> Operasi Lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah Observasi Jika nodul Kistik (saat BAJAH): aspirasi. Bilakistaregresi —> Observasi Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah —> Observasi Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi —> Operasi Lobektomi D. Jinak —> terapi dengan Levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis. • dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari), • dilanjutkan 3 x 25 ug (3 4 hari), • bila tidak ada efeksamping atau tandatoksis: dosis- menjadi2x lOOug sampai 4 - 6 minggu, kemudian evaluasi TSH (target 0,1 - 0,3 ulU/L) • supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan • evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil bila mengecil > 50% dari volume awal) - Bila nodul mengecil atau tetap —> L-tiroksin dihentikan dan diobservasi: - Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1-0,3 uIU/L). - Bila setelah l-tiroksin dihentikan, struma tidak berubah, diobservasi saja. - Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi —> obat dihentikan dan operasi Tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi —> hasil PA: - Jinak: terapi dengan L-tiroksin: target TSH 0,5-3,0 uIU/L - Ganas: terapi dengan L-tiroksin - Individu dengan risiko ganas tinggi: •
Panduan Pelayanan Medik PAPDI -
33
target TSH <0,01-0,05 uIU/L Individu dengan risiko ganas rendah: target TSH 0,05-0,1 uIU/L
KOMPLIKASI Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut / subakut
PROGNOSIS Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis.
WEWE NANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Radiologi / Radiodiagnostik/ Kedokteran nuklir, Bedah Tumor, Patologi Anatomik RS non pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah, Patologi klinik, Patologi Anatomik
R E FE R E N S I I. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. In: Waspadji S, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p. 757-65. 2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S, Setiati S, Gani RA, Alwi I, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam; }997.p. 207J3. 3. Subekti I Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, GaniRA, MansjoerA ,eds. PedomanDiagnosis dan TerapidiBidangllmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.187-9. 4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 5. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15'� ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p. 2060-84.
34
Metabolik Endokrinologi
KISTA TIROID PENGERTIAN Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10 - 25% dari seluruh nodul tiroid.Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan. Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid.
DIAGNOSIS Anamnesis • Sejakkapanbenjolantimbul • Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap • Cara membesamya: cepat, atau lambat • Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja • Riwayat keluarga • Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda • Perubahan suara • Gangguan menelan • Sesak napas • Penurunan berat badan
•
Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan fisik: • Umum • Lokal: Nodus tunggal atau majemuk, atau difus - Nyeri tekan - Konsistensi: kistik Permukaan - Perlekatan pada jaringan sekitamya - Pendesakan atau pendoiongan trakea - Pembesaran kelenjar getah bening regional - Pemberton's sign Penilaian risiko keganai�an: Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid: • Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difiisa jinak • Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun. • Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme. • Nyeri berhubungan dengan nodul. • Nodul lunak, mudah digerakkan. • Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
35
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid: • Umur < 20 tahun atau > 70 tahun • Gender laki-laki • Nodul disertai disfagia, serak, atau obstruksi jalan napas • Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu bulan) • Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa meningkatkan insidens penyakit nodul tiroid jinak) • Riwayat keluarga kanker tiroid modular • Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkanParalisis pita suara, • Temuan limfadenopati servikal • Metastasis jauh (paru-paru, dll) Langkahdiagnostikawal: TSHs, FT4 BilaHasil :Nontoksik � Langkah diagnostik II: —> Pungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid
DIAGNOSIS BANDING Kista tiroid, kista degenerasi, karsinoma tiroid
PEMERIKSAAN PENUNJANG •
USG tiroid:
dapat membedakan bagian padat dan cair, - dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid. = gambaran USG kista kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding tipis. Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin. Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH): pada bagian yang solid.
• •
TERAPI Pungsi aspirasi seluruh cairan kista: • Bila kista regresi —> Observasi • Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah —> pungsi aspirasi dan observasi • Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi operasi lobektomi
KOMPLIKASI Tidak ada.
PROGNOSIS Dubia ad bonam, tergantung tipe dan jenis histopatologinya.
36
Metabolik Endokrinologi
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah tumor RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah
REFERENSI Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p. 757-65. 2. Suyono S. Pendekatan Pasien dertgan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, EffendyS, SetiatiS, GaniRA, Alwileditors. NaskahLengkapPertemuanllmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta:Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 1997.p. 207-13. 3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I. Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A,editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 187-9. 4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 1.
37
2.2 KARDIOLOGI
K�diologi
BRADIARITMIA PENGERTIAN Bradiaritmia adalahperlambatan denyut jantung di bawah 50 kali/menit yang dapat disebabkan oleh disfungsi sinus node, hipersensitivitas/ kelainan sistem persarafan dengan dan atau adanya gangguan konduksi atrioventrikular. Dua keadaan yang sering ditemukan:
1. 2.
Gangguan pada sitms node (sick sinus syndrome) Gangguan konduksi atrioventrikular/blokAV {AVblock) :blokAVderajatsatu, blokAVderajatdua, blokAV total.
DIAGNOSIS Gangguan pada sinus node {sick sinus syndrome) Keluhan: • Penurunan curah jantung yang bermanifestasi dalam bentuk letih, pening, limbung, pingsan • Kongesti pulmonal dalam bentuk sesak napas • Bila disertai takikardia disebut braditakiaritmia; terdapat palpitasi, kadang-kadang disertai angina pektoris atau sinkop (pingsan) • Dapat pula menyebabkan kelainan/perubahan kepribadian, lupa ingatan, dan emboli sistemik EKG: • EKG monitoring baik selama dirawat inap di RS maupun dalam perawatan jalan (ambulatory/holter ECG monitoring), dapat menemukan kelainan EKG berupa bradikardia sinus persisten. BlokAV • BlokAV Derajat Satu Irama teratur dengan perpanjangan interval PR melebih 0,2 detik
I -�lok AV Derajat dua
Mobitz tipe I {Wenckebach)� Gelombang P bentuk normal dan irama atrium yang teratur, pemanjangan PR secara progresif lalu terdapat gelombang P yang tidak dihantarkan, sehingga terlihat interval RR memendek dan kemudian siklus t�rsebutberulang kembali
-
Mobitz tipe II, Irama atrium teratur dengan gelombang P normal. Setiap gelombang P diikuti gelombang QRS kecuali yang tidak dihantarkan dan bisa lebih dari 1 gelombang P berturut-turut yang tidak dihantarkan. Irama QRS bisa teratur atau tidak teratur tergantung pada denyut yang tidak dihantarkan. Kompleks QRS bisa sempit bila hambatan teijadi pada berkas his, namun bisa lebar seperti pada blok cabang berkas bila hambatan ini pada cabang berkas
41 Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
BlokAV Total {Comply A\�Block): terjadi hambatan total konduksi antara atrium dan ventrikel. Atrium dan ventrikel masing-masing mempunyai frekuensi sendiri (frekuensi ventrikel < frekuensi atrium) Keluhan :Sinkop, vertigo, denyut jantung (< 50 kali/menit) EKG : Disosisasi atrioventrikularDenyut atrium biasanya lebih cepat
DIAGNOSIS I BANDING
PEMERIKSAAN PENUNJANG •
EKG 12 sadapan, Rekaman EKG 24 jam (Holler ECG Monitor), Ekokardiografi, Angiografi koroner, Pemeriksaan elektrofisiologi (Electrophysiology Study)
TERAPI Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) Pada keadaan gawat darurat berikan sulfas atropin (SA) 0,5-1 mg IV (total (0,04 mg/ kgBB) jika tidak tidak ada respons berikan drip isoproterenol mulai dengan dosis 1 ug/menit sampai 10 ug/kg /menit secara bertahap. Kemudian lanjutkan dengan pemasangan pacu jantung, sesuai dengan sarana yang tersedia (transcutaneus temporary pace mak er dan tran sv enous te mporar y p a c e maker). Pada penatalaksanaan selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. BlokAV Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang simtomatik. Walaupun demikian etiologi penyakit dan riwayat alamiah penyakit ikut menentukan tindakan selanjutnya. Bila penyebabnya obat-obatan maka harus dihentikan. Demikian pula bila penyebabnya oleh karena faktor metabolik yang reversibel maka faktor-faktor tersebut juga harus dihilangkan (seperti hipotiroidisme, asidosis, gangguan elektrolit dan sebagainya). Bila penyebab yang mendasarinya diketahui dan bila hal itu bersifat sementara, maka mungkin hanya perlu diberikan pengobatan sementara (pacu jantung sementara) seperti halnya pada infark miokard akut inferior. Pada penderita yang simptomatik, perlu dipasang pacu jantung permanen. BlokAV total Pada keadaan gawat darurat (simptomatik/asimptomatik) berikan sulfas atropin (SA) 0,5-1 mg IV (total 0,04 mg/kgBB), atau isoproterenol. Bila obat tidak menolong, pasang alat pacu jantung sementara, selanjutnya dilakukan pemasangan pacujantung permanen.
KOMPLIKASI Sinkop, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung.
PROGNOSIS Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi 42
KaidiolDgL
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam—Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Medical High Care / ICCU
•
RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, ICCU
R E FE R E N S I /. Panggabean MM. Bradiaritmia. Dalam. In: Simadibraia M, Setiaii S, Alwi I, Maryantoro, GaniRA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1999.p. 161-5. 2. Karo KS. Disritmia. In: Rilantono LI, Baraas F, Kara KS, Roebiono PS, editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 275-88. 3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. In: SJaifoellah N, Wdspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid /, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1996. p. 100514.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
43
EDEMA � R U J A KU T (KARDIAK) PENGERTIAN Edema paru akut (kardiak) adalah Akumulasi cairan di pam-paru secara tiba-tiba akibat peninggian tekanan intravaskular
DIAGNOSIS Riwayat sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa kemerahan
�emeriksaan flsik: • Sianosis sentral • Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih • Ronki basah nyari di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru; kadang-kadang disertai ronki kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut asma kardial • Takikardia dengan gallop S3 • Murmur bila ada kelainan katup Elektrokardiografi • Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung • Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan Laboratorium • Analisi gas darah pO� rendah, pCO� mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia • Enzim kardiospesifik meningkat j ika penyebabnya infark miokard Foto toraks Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian makin ke arah apeks paru kadangkadang timbul efusi pleura Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung; Kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormality (penyakit jantung koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri
DIAGNOSIS BANDING Edema paru akut non kardiak, emboli paru, asma bronkial
PEMERIKSAAN P E NUNJANG Darah rutin, ureum, kreatinin, analisis gas darah, elektrolit, urinalisis, foto toraks, EKG, Enzimjantung (CK-CKMB, Troponin T), ekokardiografi transtorakal, angiografi koroner
44 Kardioloy
TERAPI 1. Posisi Vi duduk 2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien makin sesak, takipnu, ronki bertambah, Pa02 tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dangan 0 2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi C02, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator/bipep 3, Inflis emergens! 4. Monitor tekanan darah, monitor EKQ oksimetri bila ada 5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital 6. Morfin sulfat: 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg 7. Diuretik: flirosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/ jam 8. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hipoperfiisi): Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis atau keduanya. 9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard 10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen 11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi 12. Operasi pada komplikasi akut infarkjantung akut, seperti regurgitasi, VSD, dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendinae.
KOMPLIKASI Gagal napas
PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respons terapi
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
45
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNITTERKAIT
• •
RS pendidikan: ICCU, Departemen Anestesi, Bedah toraks RS non pendidikan: Bagian Anestesi, ICCU/ICU, Bedah
\
�
R E F E RE N S I Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. In: SimadibrataM, SetiatiS, Alwil, Maryantoro, GaniRA, Mansjoer A, eds. PedomanDiagno¬ sis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 140-54.
46 Kardiologi
ENDOKARDITI�INFEKTIF PENGERTIAN Endokarditis' infektif adalah Inflamasi pada endokard yang biasanya melibatkan katup dan jaringan sekitamya yang terkait dengan agen penyebab infeksi
DIAGNOSIS Kriteria Klinis Duke untuk Endokarditis Infektif (EI): EI definite:
•
Kriteria Patologis Mikroorganisme ; ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi yang
mengalami emboli atau dalam suatu abses intrakardiak Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan endokarditis aktif •
Kriteria klinis : menggunakan defmisi spesiflk, yaitu :Dua kriteria mayor atau satu mayor dan tiga kriteria minor atau lima kriteria minor Kriteria Mayor: 1, Kultur darah positif untuk endokarditis Infektif (EI) A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari 2 kultur darah terpisah seperti tertulis di bawah ini: (i) Streptococci viridans, streptococcus bovis atau grup HACEK atau (ii) Community acquired Staphylococcus aureus atau enterococci tanpa ada fokus primer atau B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif persisten didefinisikan sebagai: (i) > 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah > 12 jam atau (ii) Semua dari 3 atau mayoritas dari > 4 kultur darah terpisah (dengan sample awal dan akhir diambil terpisah > 1 jam) 2. Bukti keterlibatan kardial A. Ekokardiografi positif untuk EI didefinisikan sebagai: (i) Massa intrakardiak oscilating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur aliran jet regurgitasi atau pada material yang diimplantasikan tanpa ada altematif anatomi yang dapat menerangkan, atau (ii) Abses, atau (iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau B. Regurgitasi valvular yang baru teijadi (memburuk atau berubah dari murmur yang ada sebelumnya tidak cukup) Kriteria Minor: 1. Predisposisi: predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena 2. Demam: suhu > 3 8�C
47 Panduan Pelayanan Medik PAPDI Fenomena vaskular: emboli arteri besar, infark pulmonal septik, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway. 4. Fenomena imunologis : glomerulonefritis. Osier's nodes. Roth Spots, dan faktorreumatoid. 5. Bukti mikrobiologi: kultur darah positiftetapi tidak memenuhi kriteria mayor seperti tertulis diatas atau bukti serologis infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI 6. Temuan kardiografi: konsisten dengan EI tetapi tidak memenuhi kriteria seperti tertulis di atas 3.
EI possible Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi kriteria rejected E l Rejected Diagnosis altematif tidak memenuhi manifestasi endokardits atau resolusi
manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotik selama < 4 hari atau Tidak ditemukan bukti patologis EI pada saat operasi atau autopsi setelah terapi antibiotik > 4 hari
DIAGNOSIS BANDING Demam rematik akut dengan karditis, sepsis tuberkulosis milier, lupus eritematosus sistemik, glomerulonefritis pasca streptokokus, pielonefritis,poliarteritis nodosa, reaksi obat
PEMERIKSAAN P E NU NJ A NG Darah rutin, EKQ foto toraks, ekokardiografi, transesofageae ekokardiografl, kultur darah
TERAPI Prinsip terapi adalah oksigenasi, cairan intravena yang cukup, antipiretik, antibiotika. Regimen yang dianjurkan (AHA) 1. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Str. Bovis : • Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam ivkontinu atau 6 dosis terbagi selama 4 minggu atau seftriakson 2 g Ikali/hari iv atau im selam 4 minggu • Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau 6 dosis terbagi selama 2 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 2 minggu Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu 2. Endokarditis katup asli karena Str. Viridans dan Str Bovis relatif resisten terhadap Penisilin G • Penisilin G kristal 18 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 2 minggu • Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu •
48
K�diologi 3.
Endokarditis karena Enterococci • Penisilin G kristal 18-30 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4-6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu • Ampisilin 12 g/24 jam/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 - 6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu • Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam selama 4-6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu 4. Endokarditis karena Stafilokokus tanpa materi prostetik. a Regimen untuk Methicilin Succeptible Staphylococci - Nafsilin atau oksasilin 2 g IV tiap 4 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 3-5 hari b. Regimen untuk pasien alergi beta laktam
•
•
Cefazolin (atau sefalosporin generasi I laian dalam dosis setara) 2 g iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamisin sulfat Img/kgBB imatau iv tiap 8jam selama 3—5 hari Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama 4-6 minggu
Operasi dilakukan bila Bakteremia yang menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat, gagal jantung kongestifyang tidak responsif terhadap terapi medis, vegetasi yang menetap setelah emboli sistemik, dan ekstensi perivalvular
KOMPLIKASI Gagal jantung, emboli, aneurisma nekrotik, gangguan neurologi, perikarditis
PROGNOSIS Tergantung beratnya gejala dan komplikasi
WE WEN ANG •
•
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Bedah RS non pendidikan: Bagian Bedah
R E F E RE N S I Alwi /. Diagnosis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektifpada Penyalah guna Obat Intravena. In: SetiatiS, Sudoyo AW, Alwi I, Bawazier LA, Soejono CH, LydiaA, etal, editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Umu Penyakit Dalam 2000. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Umu Penyakit Dalam FKUI;2000. p.171-86
49
50
Kaidiologi
�IBRILASI ATRIAL PENGERTIAN FIBRILASl ATRIAL (FA) adalah Adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang "P" dengan frekuensi antara 350-650 permenit.
DIAGNOSIS Gambaran EKG berupa adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang "P" dengan frekuensi antara 350-650 per menit Klasifikasi FA Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari: 1. Primer : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia. 2. Sekunder : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia
Klasifikasi FA berdasarkan waktu timbulnya Fibrilasi atrial (FA) serta kemungkinan keberhasilan usaha konversi ke irama sinus : 1. Paroksismal, bila FA berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun 2 Persisten, bila FA menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan intervensi pengobatan atau tindakan. 3. Pennanen bila FAberlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi pengobatan AF tetap tidak berubah FA dapat pula dibagi menjadi: 1. FAAkut, bila timbul kurang dari 48 jam 2 FA Kronik, bila timbul lebih dari 48 jam
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• • •
EKG bila perlu gunakan Holter Monitoring pada pasien AF paroksismal. Foto toraks, ekokardiografi untuk mengetahui adanya penyakit primer Pemeriksaan elektrofisiologi tidak diperlukan kecuali untuk kepentingan akademik
TERAPI Fibrilasi Atrial Paroksismal 1. Bila asimptomatik, tidak diberikan obat antiaritmia, hanya diberi penerangan saja. 2 Bila menimbulkan keluhan yang memerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jantung atau disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta atau obat antiaritmia kelas IC seperti propafenon atau flekainid. 3. Bila obat tersebut tidak berhasil, dapat diberikan amiodaron. 4. Bila dengan obat-obat itu juga tidak berhasil, dipertimbangkan terapi ablasi atau obat-obat antiaritmia lain. 5. Bila disertai kelainan jantung yang signifikan, amidaron mempakan obat pilihan.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
51
Fibrilasi atrial persisten 1. Bila FA tidak kembali ke irama sinus secara spontan kurang dari 48 jam, perlu dilakukan kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan (farmakologis) atau elektrik tanpa pemberian antikoagulan sebelumnya. Setelah kardioversi diberikan obat antikoagulan paling sedikit selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kelas IC (propafenon dan flekainid) 2. Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat antikoagulan secara oral paling sedikit 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis atau elektrik. Selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat seperti digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium untuk mengontrol laju irama ventrikel. Altematif lain pada pasien tersebut dapat diberikan heparin dan dilakukan pemeriksaan TEE untuk menyingkirkan adanya trombus kardiak sebelum kardioversi. 3. Pada FApersisten episode pertama, setelah dilakukan kardioversi tidak diberikan obat antiaritmia profilaksis. Bila terjadi relaps dan perlu kardioversi pada pasien ini dapat diberikan antiaritmia profilaksis dengan penyekat beta, golongan kelas IC (propafenon, flekainid), sotalol atau amiodaron.
Fibrilasi Arial Permanen 1. Kardioversi tidak efektif 2. Kontrol laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium. 3. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan ablasi nodus AV atau pemasangan
4.
pacu jantung permanen. FA resisten, perlu pemberian antitromboemboli
KOMPLIKASI Emboli, strok, trombus intrakardiak
PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
WE WENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS pendidikan: Departemen Bedah toraks, ICCU, Anestesi RS non pendidikan : ICCU, Departemen Anestesi, Bedah
52
Kardiobgi REFERENSI 1. IsmailD. FibrilasiAtrial: AspekPencegahan TerjadinyaStrok. In: SetiatiS, SudoyoAW, Alwil, Bawazier LA, Kasjmir Y, MansjoerA, editors. Naskah Lengkap Perfemuart Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2001. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000. p.97-114 2. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, editors.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 275-88. 3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. In: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 1996. p. 100514. 4. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: SimadibrataM, SetiatiS, Alwil, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 1999. p. 155-60.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
GAGAL JANTUNG KRONIK P E N G E RTI A N Gagal jantung kronik merupakan Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan fungsi atau struktural jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk berfungsi sebagai pompa
DIAGNOSIS Anamnesis : Dispnea d' effort', orthopnea', paroxysmal nocturnal dispnea', lemas; anoreksia dan mual; gangguan mental pada usia tua Pemeriksaan Fisik: Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan/ekstensi venajugularis , refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi basah halus di basal paru, dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal jantung berat, edema pretibial pada pasien yang rawat jalan, edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri. Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif, hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dangan hipertensi vena
53
sistemik, ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin, ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat.
KRITERIA DIAGNOSIS Kriteria Framingham : Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor Kriteria Mayor • Paroxysmal nocturnal dispnea • Distensi vena-vena leher • Peningkatan vena jugularis • Ronki • Kardiomegali • Edema paru akut • Gallop bunyi jantung III • Refluks hepatojugular positif
Kriteria Minor Edema ekstremitas • Batukmalam • Sesak pada aktivitas • Hepatomegali • Efusi pleura • Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal • Takikardia (>120 denyut per menit)
Mayor atau minor Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari terapi
DIAGNOSIS BANDING
• • •
Penyakit paru : pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat misalnyaARDS, emboli paru Penyakit ginjal: gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik Penyakit hati: sirosis hepatis
54 K�diologi
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Penunjang • Foto rontgen dada : Pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan redistribusinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks) , peningkatan tekanan vaskular pulmonar, kadang-kadang ditemukan ellisi pleura. • Elektrokardiografi :Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofl, dan Iain-lain) Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan Iain-lain Laboratoratoiium • Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah • Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria. Ekokardiografi Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup dan perikard.Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah < 35-40% atau normal, kelainan katup (stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis trikuspid atau regurgitasi trikuspid), hipertrofl ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, atau perikarditis
TERAPI Non farmakologi • Anjuranumum: a. b.
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan Aktivitas sosial dan pekeijaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan c. Gagal jantung berat hams menghindari penerbangan panjang d. Vaksinasi terhadap infeksi influensa dan pneumokokus bila mampu e. Kontrasepsi dengan lUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon dosis rendah masih dapat dianjurkan.
•
Tindakan umum: a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan. b. Hentikan rokok c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya d. Aktivitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/ minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang) e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut
•
Farmakologi a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
b.
c.
d. e. f
55
jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoproloL Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik. Angiotensin II antagonis reseptor dapat diguna kan bila ada kontraindikasi penggunaan penghambat ACE Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal j antung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, penghambat ACE, penyekat beta. g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan em¬ boli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel. h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I hams dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III temtama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak, L Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
KOMPLIKASI Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit
PROGNOSIS Tergantung klas fiingsionalnya
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
56 Kardiologi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : ICCU / medical High Care RS non pendidikan; ICCU / ICU
REFERENSI 1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal JantungAkut dan Gagal Jantung Kronik. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maiyantoro , Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;I999.p. 140-54. 2. A CC/AHA. ACC/AHA Guidelinesfor the Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in Adult: Executive Summary. A Report o f The American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for the Evaluation and Management o f Heart Failure). Circulation 2001; 104:2996-3007.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
57
TAKIKARDIA ATRIAL PAROKSISMAL PENGERTIAN Takikardia atrial paroksismal adalah takikardia yang teijadi karena perangsangan yang berasal dari AV node di mana sebagian rangsangan antegrad ke ventrikel sebagian ke atrium
DIAGNOSIS Gelombang P dapat negatif di depan kompleks QRS, terletak di belakang kompleks QRS atau sama sekali tidak ada karena berada dalam kompleks QRS.Jarak R-R teraturKompleks QRS langsing, kecuali pada rate ascendent aberrant conduction
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• • • • •
EKG 12 sandapan Rekaman EKG 24jam Pemeriksaan Elektrofisiologi Ekokardiografi Angiografi koroner
•
TEE (Transesofageal Echocardiografi)
TERAPI Manipulasi saraf autonom dengan manuver valsava, eye ballpressure� pemijitan sinus karotikus dan sebagainya 2. Pemberian obat yang menyekat node AV a. Adenosin atau adenosin Tri Phosphate (ATP) IV. Obat ini harus diberikan secara intrvena dan cepat (flush) b. Verapamil intravena c. Obat penyekat beta d. Digitalisasi Pilihan utama adalah ATP dan verapamil. 3. Bila sering berulang dapat dilakukan ablasi dengan terlebih dahulu EPS untuk menentukan lokasi bypass tract atau ICD {Defibrillator Intra Cardial) 1.
KOMPLIKASI Emboli, kematian mendadak
PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
58 Kardiobgi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian l|mu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan; ICCU / medical High Care, Departemen Anestesi RS non pendidikan: ICCU / ICU, Bagian Anestesi
REFERENSI Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. In : Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta:Balai Penerbit FKUI :1996. p. 100514. 2. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, MansjoerA, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidangllmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: I999.p. 155-60. 1.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
59
PERIKARDITIS PENGERTIAN Perikarditis peradangan pada perikard parietalis, viseralis atau kedua-duanya, yang dapat bermanifestasi sebagai : perikarditis akut, efusi perikard tanpa tamponade, efusi perikard dengan tamponade, perikarditis konstriktif
DIAGNOSIS Tergantung manifestasi klinis perikarditis : Perikarditis akut Sakit dada tiba-tiba substernal atau prekordial, yang berkurang bila duduk dan bertambah sakit bila menarik napas (sehingga perlu dibedakan dengan pleuritis).Pada pemeriksaan fisik ditemukan friction rub. EKG menunjukkan ST elevasi cekung (bedakan dengan infark jantung akut dan repolarisasi dini). Foto jantung normal atau membesar Tamponade Pada fase awal terjadi peninggian tekanan vena jugularis dengan cekungan x prominen dan hilangnya cekungan y (juga terlihat pada kateter vena sentral). Pada
fase selanjutnya timbul tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada saat inspirasi), pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 12-15 mmHg pada inspirasi, terlihat pada arterial line atau tensimeter). Penurunan tekanan darah. Umumnya tamponade disertai: pekak hati yang meluas, bunyi jantung melemah, friction rub, takikardia.Foto toraks menunjukkan: • paru normal kecuali bila sebabnya kelainan paru seperti tumor • Jantung membesar membentuk kendi (bila cairan > 250 ml) • EKG low voltage, elektrikal ahemans (gelombang QRS saja, atau P, QRS dan T) • Ekokardiografi ; efusi perikard moderat sampai berat, swinging heart dengan kompresi diastolik vena kava inferior, atrium kanan dan ventrikel kanan • Kateterisasi; peninggian tekanan atrium kanan dengan gelombang x prominen serta gelombang y menurun atau menghilang. Pulsus paradoksus dan ekualisasi tekanan diastolik di ke-4 ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiri dan PCW) Perikarditis Konstriktif • Kelelahan, denyut jantung cepat, dan bengkak. • Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda gagal jantung seperti peningkatan tekanan vena jugularis dengan cekungan x dan y yang prominen, hepatomegali, asites dan edema • Pulsus paradoksus (pada bentuk subakut) • End diastolic sound {knock) (lebih sering pada kronik) • Tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada inspirasi) terutama pada yang kronik. • Foto toraks; kalsifikasi perikard, jantung bisa membesar atau normal. • Echo CT Scan dan MRI bisa mengkonfirmasi foto toraks. Bila CT Scan/MRI
60 Kardiologi
•
normal maka diagnosis perikarditis konstriktif hampir pasti sudah bisa disingkirkan. Kateterisasi menunjukkan perbedaan tekanan atrium kanan, diastolik ventrikel kanan, ventrikel kiri, dan rata-rata PCW < 5 mmHg. Gambaran dip dan platen pada tekanan ventrikel.
DIAGNOSIS BANDING
• • •
Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru, pleuropneumonia, diseksi aorta, akut abdomen Eflisi pcrikard/tamponade: kardiomiopati dilatasi atau gagal jantung, emboli paru, Perikarditis konsirikiiva: kardiomiopati restriktif
PEMERIKSAANi PE NU NJANG EKG, foto toraks, ekokardiografi (terutama bila tersangka pericardial efusion), Kateterisasi, CT Scan, MRI
TERAPI Perikarditis Akut • Pasien hams dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan diagnosis banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade • Simptomatik dengan aspirin 650 mg/4 jam atau GAINS indometasin 25- 50 mg/6 jam. Dapat ditambahkan morfin 2-5 mg/6jam atau petidin 25-50 mg/4jam, hindarkan
•
steroid karena sering menyebabkan ketergantungan. Bila tidak membaik dalam 72 jam, maka prednison 60-80 mg/hari dapat dipertimbangkan selama 5-7 hari dan kemudian tapering off. Cari etiologi/kausal
Efusi Perikard • Sama dengan perikarditis akut, disertai pungsi perikard untuk diagnostik �mponade Jantung • Perikardiosentesis perkutan • Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500 ml dalam 30-60 menit disertai dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit atau isoproterenol 220 ug/menit • Kalau perlu membuat j endela perikardial dengan: a. Dilatasi balon melalui perikardiostomi j arum perkutan b, Pembedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) untuk membuat j endela perikardial dapat dilakukan bila : tidak ada cairan yang keluar saat perikardiosentesis, tidak membaik dengan perikardiosentesis, kasus trauma • Pembedahan yang dapat dilakukan : 1. Bedah sub-xyphoidperikardiostomi 2. Reseksi perikard lokal dengan bantuan video 3. Reseksi perikard anterolateral j antung • Pengobatan kausal; bila sebabnya antikoagulan, harus dihentikan; antibiotik, antituberkulosis, atau steroid tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard bila etiologinya tumor. Panduan Pelayanan Medik PAPDI
61 Perikarditis Konstrikitiva • Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba GAINS • Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi
KOMPLIKASI • •
Perikarditis akut: chronic relapsing pericarditis, efusi perikard, tamponade, perikarditis konstriktiva Efusi perikard/ tamponade: henti jantung, aritmia : fibrilasi atrial atau flutter, perikarditis konstriktiva.
P RO GN OS I S Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yang terjadi
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan; ICCU / medical High Care, Departemen Bedah RS non pendidikan : ICCU / ICU, Bagian Bedah
R E FE R E N S I Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis. In: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA, WldodoD, IsbagioH, etal, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid A edisi ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUJ ;l996.p. IQ77-SL 2. Panggabean MM, Mansjoer H. Perikarditis, Dafam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryxwtoro . Gani RA. Maiisjoer A, editors, Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerhitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999. p. 173-77 I.
62 Kardiologi
BINDROM KORONER AKUT PENGERTIAN Sindrom koroner akut suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Sindrom koroner akut mencakup : 1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST 2. Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST 3. Angina pektoris tak stabil {unstable angina pectoris)
DIAGNOSIS Anamnesis Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal, retrostemal, dan prekordial. Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat, rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir. Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/ interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obatnitrat, atau tidak. Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Dapat disertai gejala mual, muntah, sulit bemapas, keringat dingin, dan lemas. �lektrokardiogram • Angina pektoris tidak stabil : depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak
• •
dijumpai gelombang Q Infark miokard ST elevasi: hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q inversi gelombang T Infark miokard non ST elevasi: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam.
Petanda Biokimia • CK, CKMB, Troponin-T, dll • Enzim meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal
DIAGNOSIS BANDING
• •
Angina pektoris tak stabil: infark miokard akut Infark miokard akut: diseksi aorta, perikarditis akut, emboli paru akut, penyakit dinding dada, Sindrom Tietze, gangguan gastrointestinal seperti: hiatus hernia dan refluks esofagitis, spasme atau ruptur esofagus, kolesistitis akut, tukak lambung, dan pankreatitis akut.
PEMERIKSAAN pENUNJANg EKG Foto rontgen dada Petanda biokimia: darah rutin, CK, CKMB, Troponin T, dll Profil lipid, gula darah, ureum kreatinin Ekokardiografi Panduan Pelayanan Medik PAPDI • •
Tes Treadmill (untuk stratifikasi setelah infark miokard) Angiografi koroner
TERAPI • • • • •
Tirah baring di ruang rawat intensif jantung (ICCU) Pasang infiis intravena dengan N a d 0,9% atau dekstrosa 5% Oksigenisasi dimulai dengan 2 liter /menit 2-3 jam, dilanjutkan bila sarurasi oksigen arteri rendah (< 90%) Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung. Pasang monitor EKG secara kontinu
Atasi nyeri dengan • Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia. atau • Morfm 2,5 mg (2-4 mg)intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
Antitrombotik • Aspirin (160-345 mg), bila alergi atau intoleransi/ tidak responsif diganti dengan tiklopidin atau klopidogrel. Trombolitik dengan streptokinase 1,5 jutalJ dalam 1 jam atau aktivator plasmino¬ gen jaringan (t-PA) bolus 15 mg, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit jika elevasi segmen ST > 0,1 mv pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mv pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan, waktu mulai nyeri
63
dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun. Blok cabang (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut. Anti koagula n Heparin dir eko me nda sika n untuk pasien yang menjalani revaskularisasi perkutan atau bedah, pasien dengan risiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark miokard anterior atau luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus ventrikel kiri yang tidak ada kontraindikasi heparin. Heparin diberikan dengan target aPTT 1 , 5 - 2 kali kontrol.Pada angina pektoris tak stabil heparin 5000 unit bolus intravena, dilanjutkan dengan drip 1000 unit/jam sampai angina terkontrol dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontroL Pada infark miokard akut yang ST elevasi > 12 jam diberikan heparin bolus intravena 5000 unit dilanjutkan dengan inflis selama rata-rata 5 hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontroL Pada infark miokard anterior transmural luas antikoagulan diberikan sampai saat pulang rawat. Pada penderita dengan trombus ventrikular atau dengan diskinesi yang luas di daerah apeks ventrikel kiri antikoagulan oral diberikan secara tumpang tindih dengan heparin sejak beberapa hari sebelum heparin dihentikan. Antikoagulan oral diberikan sekurang-kurangnya 3 bulan dengan menyesuaikan nilai INR (2-3)
64 Kardiologi
Atasi rasa takut atau cemas Diazepam 3 X 2-5 mg oral atau IV Pelunak tinja laktulosa (laksadin) 2 X 15 ml
• * •
Penyekat Beta diberikan bila tidak ada kontraindikasi Penghambat ACE diberikan bila keadaan menizinkan terutama pada infark miokard akut yang luas, atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard Antagonis kalsium : verapamil untuk infark miokard non ST elevasi atau angina pektoris tak stabil bila nyeri tidak teratasi
Atasi komplikasi: 1. Fibrilasi atrium • Kardio versi elektrik untuk pasien dengan gangguan hemodinamik berat atau iskemia intraktabel • Digitalisasi cepat • Penyekat Beta • Diltiazem atau verapamil bila penyekat beta dikontraindikasikan • Heparinisasi 2. Fibrilasi ventrikel DC Shock unsynchronized dengan energi awal 200 J, jika tak berhasil harus diberikan 5/20cA:kedua 200-300 J dan jika perlu �//oc�ketiga 360 J. 3. Takikardia ventrikel • VT polimorfik menetap (> 30 detik) atau menyebabkan gangguan hemodinamik : DC Shock unsynchronized dengan energi awal 200 J, jika gagal harus diberikan shock kedua 200-300 J dan jika perlu shockkQiigdi 360 J
•
VT monomorfik yang menetap diikuti anina, edema paru atau hiptensi harus diterapi dengan DC shock synchronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal. • VT monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru atau hipotensi dapat diberikan: Lidokain bolus 1-15 mg/kg BB. Bolus tambahan 0,5- 0,75 mg/kg BB tiap 5-10 menit sampai dosis loading total maksunal 3 mg/kgBB. Kemudian loading dilanjutkan dengan infiis 2-4 mg/menit (30-50 ug/kgBB/menit); atau Disopiramid: bolus 1-2 mg.kgBB dalam 5-10 menit dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mg/kg BB/jam; atau Amiodaron 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB20-60 menit dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliha raan 0,5 mg/menit; atau Kardioversi Q\QkXn](. synchronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya) 4. Bradiaritmia dan blok • Bradikardia sinus simtomatik (frekuensi jantung < 50 kali/menit disertai hipotensi, iskemia aritmia ventrikel escape) • Asistol ventrikel • Blok AV simtomatik terjad pada tingkat nodus AV (derajat dua tipe 1 atau derajat tiga dengan ritme escape kompleks sempit) • Terapi dengan sulfas atropin 0,5-2 mg. Isoproterenol 0,5-4 ug/menit bila atropin gagal, sementara menunggu pacu jantung sementara Panduan Pelayanan Medik PAPDI
65
5.
Gagal jantung akut, edema paru, syok kardiogenik diterapi sesuai standar pelayanan medis mengenai kasus ini 6. Perikarditis • Aspirin (160-325 mg/hari) • Indometasin, • Ibuprofen • Kortikosteroid 7. Komplikasi mekanik • Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel ditatalaksana operasi.
KOMPLIKASI 1.
Angina pektoris tak stabil : payah jantung, syok kardiogenik, aritmia, infark miokard akut 2. Infark miokard akut (dengan atau tanpa ST elevasi) : gagal jantung, syok kardiogenik, ruptur korda, ruptur septum, ruptur dinding bebas, aritmia gangguan hantaran, aritmia gangguan pembentukan rangsang, perikarditis, sindrom dresler, emboli paru.
PROGNOSIS Tergantung daerah jantung yang terkena, beratnya gejala, ada tidaknya komplikasi
WEWE NANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: ICCU / medical High Care RS non pendidikan: ICCU / ICU
REFERENSI 1. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut. In: Bawazier LA, Al��i 1, SyamAF, Gustaviani R, Mansjoer A, editors. Presiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUf; 2001. p. 32-42. 2. Harun S, Aiwi I, Rasyidi K. Infark Miokard Akut. In: Simadibrata M. Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:1999.p. 165-72 3. Santoso T Tatalaksana Infark MiokardAkut. In: Subekti I, LydiaA, Rumende CM, Syan AF, Mansjoer A, Suprohaita, editors. Prosiding Simpsosium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000.p. 1-10.
66 K�diologi
RENJATAN KARDIOGENIK PENGERTIAN Renjatan kardiogenik adalah kegagalan sirkulasi akut karena ketidakmampuan daya pompa jantung
DIAGNOSIS Trias renjatan: tekanan darah < 90 mmHg, takikardia, dan oliguria Pemeriksaan fisik 1. Tanda-tanda gagal jantung 2. Kemungkinan: komplikasi infark miokard akut seperti ruptur septum interventrikel atau muskulus papilaris. Infark ventrikel kanan pada infark inferior dimana denyut jantung rendah karena blok AV, tanda gagal jantung kanan dengan paru yang tidak kongestif.Murmur : regurgitasi akut aorta, mitral, stenosis aorta berat, atau trombosis katup prostetik Elektrokardiografl 1. Tanda iskemia, infark, hipertrofi, low voltage 2. Aritmia: AVblok, bradiaritmia, takiaritmia Foto toraks opsifikasi hilus dan bagian basal paru, kemudian makin ke arah apeks paru. Kadangkadang efusi pleura Ekokardiografi Kontraktilitas ventrikel kiri atau ventrikel kanan yang buruk, dilatasi ventrikel kiri
atau atrium kiri atau arteri pulmonalis, Regurgitasi katup, Miksoma atrium, Efusi perikard dengan tamponade, Kardiomiopati hipertrofik, Perikarditis konstriktiva
DIAGNOSIS BANDING Syok hipovolemik Syok obstruktif (emboli paru, tension pneumotoraks) Syok distributif (syok anafilaksis, sepsis, toksik, overdosis obat Infark j antung kanan
• • •
PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah rutin, ureum, kreatinin, AGD, elektrolit, foto toraks, EKQ Enzimjantung (CKCKMB, Troponin T), Angiografi koroner
TERAPI 1. 2.
Posisi Vi duduk bila ada edema paru kecuali hipotensi berat Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: • pasien makin sesak, takipnu, ronki bertambah, Pa02 tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dangan konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO�, hipoventilasi,
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10,
11.
67
atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator Infus emergensi Bila ada tension pneumotoraks segera diidentifikasi dan ditatalaksana imtuk dekompresi dengan chest tube torakotomi Atasi segera aritmia dengan obat atau DC Jika ada defisit volume yang ikut berperan berikan normal salin 250-500 ml kecuali ada edema paru akut. Jika terapi cairan gagal pasang kateter Swan Ganz. EKG prekordial kanan untuk deteksi gagal jantung kanan bila ada infark akut inferior Penilaian cukup tidaknya volume paling baik dengan kateter Swan Ganz untuk mendapatkan PAWR Jika pemberian cairan kontraindikasi atau tidak efektif berikan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah sistolik 1 GO mmgHg. Dopamin dimulai dengan 5 ug/kgBB/menit dititrasi sampai tercapai target mempertahankan tekanan darah atau sampai 15 ug/kgBB/menit. Tambahkan norepinefrin bila tekanan darah < 80 mmgHg dengan dosis 0,1 - 30 ug/kgBB/ menit. Jika tidak respons dengan dopamin dapat juga ditambahkan dobutamin dengan dosis titrasi 2,5 - 20 ug/kgBB/menit. Atau milrininon/amrinon lABP {Intra Aortic Ballon Pump) bila tidak responsif dengan terapi adekuat sambil menunggu tindakan intervensi bedah. Jika tekanan darah sudah stabil dapat diberikan vasodilator untuk mengurangi afterload dan memperbaiki fiingsi pompa terutama berguna pada : hipertensi berat, edema paru, dekompensasi katup. Nitrolgliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/ menit bila tidak memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
12. Bila perlu: Diberikan Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/ menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis 13. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard 14. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen 15. Atasi aritmia atau gangguan konduksi 16. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendinae
KOMPLIKASI Gagal napas
PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
68 Kardiologi
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: ICCU / medical High Care, Departemen Bedah toraks / Jantung. RS non pendidikan: ICCU / ICU, Bagian Bedah, Anestesi
REFERENSI 1. Panggabean MM, SuryadiprajaRM. GagalJantungAkut dan GagalJantungKronik. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbiian Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;I999. p. 140-54. 2. Trisnohadi HB. Syok kardiogenik. In: Prosiding Simpsosium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000.p. 11-16. 3. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut. In: Bawazier LA, Alwi I, SyamAF, Gustaviani R, Mansjoer A, editors. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2001. p. 32-42.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
69
FIBRILASI V E N T R I K U L A R PENGERTIAN Fibrilasi ventrikular adalah kelainan irama jantung dengan tidak ditemukan depolarisasi ventrikel yang terorganisasi sehingga ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan dengan irama yang sangat kacau serta tidak terlihat gelombang P, QRS maupun T
DIAGNOSIS EKG: kompleks QRS sudahberubah sama sekali, amplitudo R sudah mengecil sekali.
PEMERIKSAAN PENUNJANG EKG 12 sandapan, rekaman EKG 24 jam, ekokardiografi, angiografi koroner
TERAPI 1.
DC shock dengan evaluasi dan shock sampai 3 kali j ika perlu dimulai dengan 200 Joule, kemudian 200-300 Joule dan 360 Joule. 2. Resusitasi jantung paru selama tidak ada irama jantung yang efektif (pulsasi di pembuluh nadi besar tidak teraba). 3. Bila teratasi penatalaksanaan seperti takikardia ventrikular.
KOMPLIKASI Emboli paru, emboli otak, henti jantung
PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
WEWENANG •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
•
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : ICCU / medical High Care RS non pendidikan: ICCU / ICU
R E F E RE N S I 1.
Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. In: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilidl, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. p. 100514.
70 Kardiologi 2.
Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1999. p 155-60.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
71
TAKIKARDIAVENTRIKULAR PENGERTIAN Takikardia ventrikular adalah kelainan irama jantung berupa tiga atau lebih kompleks yang berasal dari ventrikel secara berurutan dengan laj u lebih dari 100 per menit.
DIAGNOSIS EKG: frekuensi kompleks QRS meningkat, 150-200 kali/menit, kompleks QRS melebar, hubungan gelombang P dan kompleks QRS tidak tetap
DIAGNOSIS BANDING Supraventrikular takikardia dengan konduksi aberans
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG EKG 12 sandapan, Rekaman EKG 24 jam, Ekokardiografi, Angiografi koroner, Pemeriksaan elektrofisiologi
TERAPI • •
Atasi penyakit dasar : bila iskemia maka dilakukan revaskularisasi koroner, bila payah jantung maka diatasi payah jantungnya Pada keadaan akut: Bila mengganggu hemodinamik: dilakukan DC shock Bila tidak mengganggu hemodinamik : dapat diberikan antiaritmia dan bila tidak berhasil dilakukan DC shock DC 5/;oc� diberikan dan dievaluasi sampai 3 kali (200 Joule, 200-300 Joule, 360 Joule atau bifasik ekuivalen) jika perlu. Antiaritmia yang diberikan: lidokain atau amiodaron. Lidokain diberikan mulai dengan bolus dosis 1 mg/kgBB (50-75 mg dilanjutkan dengan rumatan 2-4 mg/kgBB). Bila masih timbul bisa diulangi bolus 50mg/kgBB. Untuk amiodaron dapat diberikan 15 mg/kg BB bolus 1 jam dilanjutkan 5 mg/kg BB bolus /drip dalam 24 jam sampai dengan 1000 mg/24 jam.
Untuk jangka panjang Bila selama takikardia tidak terjadi gangguan hemodinamik maka dapat dilakukan tindakan ablasi kateter dari ventrikel kiri maupun ventrikel kanan. Hal ini terutama untuk ventrikular takikardia reentran cabang berkas. Bila selama takikardia terjadi gangguan hemodinamik perlu dilakukan tindakan konversi dengan defibrilator, kalau perlu pemasangan defibrilator jantung otomatik.
KOMPLIKASI Emboli paru, emboli otak, kematian
PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi 72 Kardiologi
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : ICCU / medical High Care RS non pendidikan: ICCU / ICU
REFERENSI Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. In: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. p. 100514. 2. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, MansjoerA, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.p 155-60. 1.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
73
EKSTRASISTOL VENTRIKULAR PENGERTIAN Ekstrasistol ventrikular adalah suatu kompleks ventrikel prematur timbul secara dini di salah satu ventrikel akibat cetusan dini dari suatxi fokus yang otomatis atau melalui mekanisme reentri.
DIAGNOSIS •
P sinus biasanya terbenam dalam kompleks QRS, segmen ST atau gelombang T, kompleks QRS muncul lebih awal dari seharusnya, QRS melebar (> 0,12 detik), gambaran QRS wide and bizzare, segmen ST dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS, bila karena mekanisme reentri maka interval antara kompleks QRS normal yang mendahuluinya dengan kompleks ekstrasistol ventrikel akan selalu sama. Bila berbeda maka asalnya dari fokus ventrikel yang berbeda
Pemeriksaan Penunjang EKG 12 sandapan, rekaman EKG 24 jam, ekokardiografl, angiografi koroner
TERAPI •
Tidak perlu diobatijikajarang, timbul padapasien tanpa/tidak dicurigai kelainan jantung organik •. Perlu pengobatan bila terjadi pada keadaan iskemia miokard akut, bigemini, trigemini, atau multifokal, alvo ventrikel. •. Koreksi gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan hipoksia • Obat: xilokain intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB dilanjutkan infus 2-4 mg/ menit. Obat altematif; prokainamid, disopiramid, amiodaron, meksiletin. Bila pengobatan tidak perlu segera, obat-obat tersebut dapat diberikan secara oral,
KOMPLIKASI VT/VF, kematian mendadak
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terap
WEWENANG • •
RS pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
74 K�diobgi
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: ICCU / medical High Care RS non pendidikan: ICCU / ICU
REFERENSI Trisnohadi HB. Kelainan GangguanlramaJantung Yang Spesifik, In: SjaifoellahN, Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam JilidI, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1996. p. 1005-14.
15
2.3 PULMONOLOGI Pulmonologi
HEMOPTISIS P E N G E RTI A N Hemoptisis adalah ekspektorasi darah dari saluran napas. Darah bervariasi dari dahak disertai bercak/lapisan darah hingga batuk berisi darah saja. Batuk darah masif adalah batuk darah lebih dari 100 mL hingga lebih dari 600 mL darah dalam 24 jam.
DIAGNOSIS •
Anamnesis - batuk, darah berwama merah segar, bercampur busa, - batuk sebelumnya, dahak (jumlah, bau, penampilan), demam, sesak, nyeri dada, riwayat penyakit paru, penurunan berat badan, anoreksia - penyakit komorbid, riwayat penyakit sebelumnya - kelainan perdarahan, penggunaan obat antikoagulan / obat yang dapat menginduksi trombositopenia - kebiasaan: merokok
•
• •
• • •
Pemeriksaan fisik - orofaring, nasofaring: tidak ada sumber perdarahan. - paru : ronk basah atau kering, pleuralfriction rub, - jantung : tanda-tanda hipertensi pulmonal, mitral stenosis, gagal jantung Foto toraks : Menentukan lesi paru (lokal/difus), kardiak Laboratorium - DPL, LED, ureum, kreatinin, urin lengkap - Hemostasis (aPTT): bila perlu - Sputum: pemeriksaan BTA langsung dan kultur, pewamaan Gram, kultur MOR Bronkoskopi: Menentukan lokasi sumber perdarahan dan diagnosis CT scan toraks: Menemukan bronkiektasis, malformasi AV Angiografi: Menemukan emboli paru, malformasi AV
DIAGNOSIS BANDING Sumber trakeobronkial: - Neoplasma (karsinoma bronkogenik, tumor metastasis endobronkial, dll) - Bronkitis (akut dan kronik) Bronkiektasis Bronkiolitiasis Trauma - Benda asing Sumber parenkim paru: - Tuberkulosis paru � Pneumonia - Abses paru - Mycetoma {fungus hall) -
•
Sindrom Goodpasture
Panduan Pelayanan Medik PAPDI -
Granulomatosis Wegener Pneumonitis lupus Sumber vaskular Peningkatan tekanan vena pulmonal (stenosis mitral) Emboli paru MalformasiAV Hematemesis Perdarahan nasofaring Koagulopati, pengobatan trombolitik/antikoagulan
Pemeriksaan penunjang • Foto toraks • Laboratorium: - DPL, LED, ureum, kreatinin, urine lengkap - Hemostasis: bila perlu - Sputum: pemeriksaan BTA, pewamaan Gram, kultur MOR, • Bronkoskopi: bila perlu • CT Scan toraks: bila perlu
79
TERAPI Hemoptisis masif: Tujuan terapi adalah mempertahankan jalan napas, proteksi paru yang sehat, menghentikan perdarahan. • Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh miring ke sisi sakit • Oksigen • Infus, bila perlu transfusi darah • Medikamentosa: - Antibiotika - Kodein tablet untuk supresi batuk - Koreksi koagulopati: Vitamin K intravena • Bronkoskopi: diagnostik dan terapeutik topikal (bilas air es, instilasi epinefrin), • Intubasi selektif pada bronkus paru yang tidak berdarah (bila perlu)
Indikasi operasi • Batuk darah • Batuk darah • Batuk darah berhenti
pada pasien batuk darah masif: > 600 cc/24 jam, dan pada observasi tidak berhenti 100 - 250 cc/24 jam, Hb < 10 g/dL, dan pada observasi tidak berhenti 100-250cc/24jam,Hb> 10 g/dL, dan pada observasi 48 jam tidak
Hemoptisis non-masif: Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar. Terapi konservatif sesuai penyakit dasar
KOMPLIKASI Asfiksia, atelektasis, anemia 80
Puhnonobgi
PROGNOSIS Tergantung pada penyebabnya.
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam ,Paru
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Bedah / Toraks, Radiologi, Patologi Klinik RS non pendidikan: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru
REFERENSI 1.
Uyainah A. Hemoptisis. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapl di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.p.
215-6. 2. Approach to the Patient. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, editors. Fishman s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3"� ed. New York: McGraw-Hill; 2002.p. 16-21. 3. Weinberger SE, Braunwald E. Cough and Hemoptysis. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison j Principles of Internal Medicine.15'� ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p. 203-7.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
81
EFUSI PLEURA PENGERTIAN Eflisi pleura adalah adanya cairan di rongga pleura > 15 mL, akibat ketidakseimbangan gaya Starling, abnormalitas stniktur endotel dan mesotel, drainase limfatik terganggu, dan abnormalitas site of entry (defek diafragma) Tipe efusi pleura 1. Efusi transudatif: cairan pleura bersifat transudat (kandungan konsentrasi protein atau molekul besar lain rendah). Efusi transudatif teijadi karena perubahan faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Penyebab; • gagal j antung kongestif, • sindrom nefrotik, • sirosis hati, • sindrom Meigs, • hidronefrosis, • dialisis peritoneal, • efusi pleura maligna / paramaligna: karena atelektasis pada obstruksi bronkial,
atau stadium awal obstruksi limfatik, 2 Efusi eksudatif: cairan pleura bersifat eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi dari transudat). Efusi eksudatif terjadi karena perubahan faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Penyebab • Tuberkulosis • Efusi parapneumonia; eflisi pada pneumonia • Keganasan; metastasis (karsinoma paru, kanker mammae, limfoma, ovarium, dll), mesothelioma • Emboli paru • Penyakit abdomen: penyakit pankreas, abses intraabdominal, hernia diafragmatika, • Penyakit kolagen (LES, dll) • Trauma • Chylothorax • Uremia • Radiasi • Sindrom Dressier • PascaCABG • Penyakit pleura diinduksi obat: amiodarone, bromocriptine, • Penyakit perikardium Chylothoraks: timbul bila terjadi disrupsi ductus thoracicus dan akumulasi chylus di rongga pleura keadaan ini disebabkan trauma, atau tumor mediastinum. Hemothoraks: cairan pleura mengandung darah, dan Ht cairan pleura > 50 % Ht darah tepi keadaan ini disebabkan trauma atau ruptur pembuluh darah atau tumor. 82 PulinonolDgi Efusi pleura maligna: dapat ditemukan sel-sel ganas yang terbawa pada cairan pleura atau ditemukan pada jaringan pleura saat biopsi pleura Efusi paramaligna: eflisi yang disebabkan keganasan, tetapi sel-sel neoplasma tidak dapat ditemukan pada cairan pleura atau jaringan pleura. Efusi paramaligna dapat berupa cairan transudat.
DIAGNOSIS Anamnesis: Nyeri, Sesak, Demam Pemeriksaan flsik Restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dadaBila > 300 mL cairan: • Bagian bawah / daerah cairan : : redup perkusi fremitus taktil dan fokal : menghilang suara napas : melemah s.d. menghilang,fremitus (saat awal) : terdorong ke kontralateral trakea Di atas dari cairan ; penekanan paru/konsolidasi
Foto torak • PA: sudut kostofrenikus tumpul (bila > 500 mL cairan)* • Lateral: sudut kostofrenikus tumpul (> 200 mL cairan)• PA / Lateral: gambaran perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah, biasanya relatif radioopak, permukaan atas cekung USG: menentukan adanya dan lokasi cairan di rongga pleura, membimbing aspirasi eflisi terlokulasi (terutama bila ketebalan efusi < 10 mm atau terlokulasi), CT scan (bila perlu): menunjukkan efusi yang belum terdeteksi dengan radiologi konvensional, memperlihatkan parenkim paru, identifikasi penebalan pleura dan kalsifikasi karena paparan asbestos, membedakan abses paru perifer dengan empy¬ ema terlokulasi. Pungsi pleura (torakosentesis) dan analisis cairan pleura: melihat komposisi cairan pleura dan membandingkan komposisi cairan pleura dengan darah. Dinilai secara: Makroskopis: • Transudat = jemih, sedikit kekuningan • Eksiidat = wama lebih gelap, keruh, = • Empiema opak, kental = • Eflisi kaya kolesterol berkilau seperti satin • Efusi = chylous seperti susu Mikroskopis: • Sel leukosit < 1.000/mm3 : transudat • Sel leukosit meningkat, predominasi limfosit matur: neoplasma, limfoma, TBC • Sel leukosit predominasi PMN: pneumonia, pankreatitis Panduan Pelayanan Medik PAPDI Kimiawi • Protein • LDH • Cairan disebut eksudat bila memenuhi salah satu dari 3 kriteria: - Rasio kadar protein total cairan pleura / serum > 0,5" - Rasio kadar LDH cairan pleura / serum > 0,6 - Kadar LDH > 200 lU atau > 2/3 batas atas nilai normal serum • Jika eflisi pleura eksudat , selanjutnya diperiksakan: - Kadar glukosa Kadar amilase - PH Hitungjenis Kadar lipid: trigliserida - Pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi. - Amilase - Tes bakteriologi: pewamaan Gram, kultur MOR, pemeriksaan BTA langsung dan kultur BTA - Sitologi
83
DIAGNOSIS BANDING Transudat, eksudat, chylothorax, empiema (lihat di atas)
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG
• • • • • •
Foto toraks PA, lateral dan lateral dekubitus, Analisis cairan pleura Pemeriksaan cairan pleura; BTA langsung, kultur BTA, kultur mikroorganisme + resistensi Sitologi cairan pleura (dengan atau tanpa cytospin) USG toraks CT scan
TERAPI Efusi karena gagal jantung • Diuretik. • Torakosentesis diagnostik bila: - Efusi menetap dengan terapi diuretik - Efusi unilateral Efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna - Efusi + febris - Efusi + nyeri dada pleuritik Efusi Parapneumonia/ Empiema Torakosentesis +Antibiotika± drainase (lihat lampiran algoritme). Efusi pleura liarena pleuritis Tuberkulosis Obat anti Tuberkulosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid dosis 0,75 -1 mg/kgBB/ hari selama 2-3 minggu, setelah ada respons diturunkan bertahap + torakosentesis terapeutik, bila sesak atau efusi > tinggi dari sela iga III
84 Pubnonologi Efusi pleura keganasan* • Drainase dengan chest tube + pleurodesis kimiawi. Kandidat yang baik untuk pleurodesis ialah: Terjadi rekurens yang cepat Angka harapan hidup: minimal beberapa bulan - Pasien tidak debilitasi - Cairan pleura dengan pH > 7,30• Altematif pasien yang tidak dapat dilakukan pleurodesis ialahpleuroperitoneal shunt. • Terapi kanker paru (lihat PPM kanker paru). Kemoterapi sistemik pada limfoma, kanker mammae dan karsinoma paru small cell Radioterapi pada limfoma dan chylothorax limfomatous dengan keterlibatan KGB mediastinum. • Pasien dengan lama harapan hidup pendek atau keadaan buruk: torakosentesis terapeutik periodik. Chylothoraks Chest tube/thoracostomy sementara, selanjutnya dipasang pleuroperitoneal shunt
Hemotoraks Chest tube/thoracostomy, Bila perdarahan > 200 mL/jam, pertimbangkan torakotomi Efusi karena penyebab lain: Atasi penyakit primer
KOMPLIKASI Efusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal napas
PROGNOSIS
• •
Dubia: tergantung penyebab, dan penyakit komorbid. Prognosis buruk pada efusi pleura maligna.
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan: Departemen Bedah / Toraks, Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Patologi Anatomi RS non pendidikan ; Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi, Mikrobiologi klinik
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
85
REFERENSI 1.
Uyainah A. Efusi Pleura. In: Simadibraia M, Setiati S, Alwi 1, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUl, 1999:2101.
2.
Rosenbluth DB. Pleural Effusions: Nonmalignant and Malignant. In: FishmanAP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, editors. Fishman j Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3"� ed. New York: McGraw-Hill, 2002: 487-506. 3. Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison 5 Principles of Internal Medicine.15'� ed. New York: McGraw-Hill, 2001:1513-6.
86
Pulmonologi
PNEUMOTORAKS PENGERTIAN Pneumotoraks adalah akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru. Pneumotoraks spontan : terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas: • Pneumotoraks spontan primer: Pada orang sehat. Faktor risiko; merokok. Penyebab : umumnya ruptur bleb subpleural atau bullae. • Pneumotoraks spontan sekunder: pada penderita PPOK, tuberkulosis paru, asma, cysticfibrosis� pneumonia Pneumocystis carinii, dll. Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang didahului trauma, termasuk : biopsi transtorakal, ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral, torakosentesis, biopsi transbronkhial, dll. Menurut jenis flstulanya, dibagi atas: 1. Pneumotoraks ventil 2. Pneumotoraks terbuka 3. Pneumotoraks tertutup
DIAGNOSIS Gejala: nyeri dada, akut, terlokalisir, dispnea (pada pneumotoraks ventil: tiba-tiba, makin hebat), batuk, hemoptisis Pemeriksaan Fisik: • Takipneu, • Sisi terkena (ipsilateral): - Statis: lebihmenonjol - Dinamis: pergerakan berkurang/tertinggal - Fremitus: menghilang - Perkusi: hipersonor - Auskultasi: suara napas melemah - menghilang • Tanda pneumotoraks tension: - Keadaan umum sakit berat Denyut jantung > 140 x/m - Hipotensi Takipneu, pemapasan berat - Sianosis - Diaforesis - Deviasi trakea ke sisi kontralateral - Distensi vena leher Foto toraks: • Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen • PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding dada pada apeks, 87
Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinal shift, depresi diafragma, ekspansi rib cage
CT Scan: membedakan pneumotoraks terlokulasi dari kista atau bullae AGD : hipoksemia, mungkin disertai hipokarbia (karena hiperventilasi) atau hiperkarbia.
DIAGNOSIS BANDING Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi akut, eflisi pleura, kanker paru
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG Foto toraks CT scan toraks Analisis gas darah : bila diperlukan
TERAPI • • •
Pneumotoraks unilateral kecil ( < 20 % ) dan asimtomatik: observasi, foto toraks serial. Aspirasi: anestesi lokal di sela iga II anterior (garis midklavikula) aspirasi dengan kateter 16F atau 18F, hingga tidak ada gas lagi keluar. Jika tidak resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: konsul Bagian Bedah/Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan pemasangan
thoracostomy tube. Tube disambungkan ke water sealed chamber� dapat disertai suction untuk 24 jam pertama atau selama masih ada kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak terjadi pneumotoraks lagi: tube dapat dicabut. Jika pneumotoraks rekurens: - Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau: - Konsul Bagian Bedah / Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan: - Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping atau pleura parietal), Torakoskopi, atau Open thoracotomy. Indikasi: - Kebocoran udara memanj ang, - Reekspansi paru tidak sempuma - Bullae besar - Risiko pekeij aan Indikasi relatif: - Pneumotoraks tension - Hemopneumotoraks - Bilateral pneumotoraks - Rekurens ipsilateral / kontralateral
•
KOMPLIKASI Gagal napas, pneumotoraks tension, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks, penebalan pleura, atelektasis, pneumotoraks rekurens, emfisema mediastinum, edema paru reekspansi 88
PulinonolDgi
PROGNOSIS Dubia: tergantung tipe penyakit dasar, faktor pemberat/ komorbid.
WEWE NANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan: Departemen Bedah / Toraks, Radiologi / Radiodiagnostik RS non pendidikan: Bagian Bedah, Paru, Radiologi
REFERENSI L
Bahar A. Pneumothoraks. In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PusatInformasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.p.22l2. 2. Rosenbluth DB. Pneumothorax. In Fishman AP. Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kai¬ ser LR, Senior RM, editors. Fishman's Manual ofPulmonary Diseases andDisorders. 3"� ed. New York: McGraw-Hill: 2002.p. 507.
3. Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. IS"" ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p. 1513-6.
89 Panduan Pelayanan Medik PAPDI
PNEUMONIA DIDAPAT Dl MASYARAKAT
P E N G ERTIA N Pneumonia adalah Inflamasi parenkim paru yang disebabkan mikroorganisme selain Mikobakterium tuberkulosis. Pneumonia Didapat Di Masyarakat {Community-acquiredPneumonia, CAP) • Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit • infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa infeksi gejala akut, disertai adanya gambaran inflltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara napas dan atau ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama > 14 hari sebelum timbulnya gejala (IDSA 2000) Etioiogi penyebab Grup I: rawat jalan, tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi • Streptococcus pneumoniae • Mycoplasma pneumoniae
• • • •
Chlamydia pneumoniae (tunggal atau infeksi campuran) Hemophilus influenzae Respiratory viruses Lain: Legionella spp., Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik
Grup 11: rawat jalan, dengan penyakit kardiopulmonal, dan / atau faktor modifikasi • Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP ) • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae • Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik atau virus) • Hemophilus influenzae • Enterik gram negatif • Respiratory viruses • Lain: Moraxella catarrhalis, Legionella spp, aspirasi ( anaerob ), Mycobacte¬ rium tuberculosis, fungi endemik Grup 111: rawat inap Non-lCU a. Dengan penyakit kardiopulmonal dan / atau faktor modifikasi (termasuk penghuni pantijompo) • Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP) • Hemophilus influenzae • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae • Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik )
90 Pulmanobgi • • •
• • b.
Enterik gram negatif Aspirasi (Anaerob) Vitus
Legionella spp Lain: Mycobacterium tuberculosis,�mgi endemik, Pneumocystis carinii
Tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi • Streptococcus pneumoniae • Hemophilus influenzae • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae • Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik ) • Vnus • Legionella spp • Lain; Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik, Pneumocystis carinii
Grup r v : RawatlCU a. Tanpa resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa • Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP ) • Legionella spp • Hemophilus influenzae • Enterik gram negatif • Staphylococcus aureus • Mycoplasma pneumoniae • Respiratory Virus • Lain: Chlamydiapneumoniae,Mycobacterium tuberculosis, f\mg\ endemik
b.
Ada resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa • Semua patogen diatas (IV.a) • + Pseudomonas aeruginosa
DIAGNOSIS Rencana diagnostikbertujuan: 1. Diagnostik adanya CAP: • Foto paru terdapat infiltrat baru atau infiltrat yang bertambah • Terdapat 2 dari 3 gejala berikut: demam, batuk + sputum produktif, leukositosis (pada penderita usia lanjut: gejala dapat tidak khas/tersamar, seperti lesu, tidak mau makan, dll) 2
Pengkajian awal derajat berat penyakit dengan The Pneumonia PORT prediction rule atau Pneumonia Severity o f Illness Index (PSI): Berdasarkan proses dua langkah yang mengevaluasi faktor demografis, penyakit komorbid, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologis, pasien distratifikasi menjadi lima kelas risiko mortalitas dan outcome: • Pasien dengan kondisi berikut dimasukkan dalam kelas risiko II-V - Usia di atas 50 tahun Terdapat riwayat penyakit komorbid: > keganasan > gagal jantung kongestif Panduan Pelayanan Medik PAPDI
• 3.
• • • •
> penyakit serebrovaskular > penyakit ginjal > penyakit hati - Terdapat kelainan pada pemeriksaan fisis: > perubahan status mental > nadi > 125 kali/menit > pemapasan >30 kali/menit > tekanan darah sistolik < 90 mmHg > suhu <3 O�C atau > 40�C Selain kondisi di atas pasien dimasukkan dalam kelas risiko I Identifikasi penyebab mikrobiologis (lihat tabel 4): pewamaan Gram sputum kultur sputum kultur darah pemeriksaan serologis, pemeriksaan antigen, pemeriksaanpolymerase chain reaction (PGR), dan tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum transtorakal, biopsi paru terbuka dan torakoskopi): bila diperlukan.
DIAGNOSIS BANDING Tuberkulosis paru, jamur
PEMERIKSAAN P E NUNJANG • •
91
foto toraks pulse oxymetry
•
Laboratorium Rutin; DPL, hitung jenis, LED, Glukosa darah, Ureum, Creatinin, SGOT,SGPT Analisis gas darah, elektrolit Pewamaan Gram sputum Kultur sputum Kultur darah Pemeriksaan serologis Pemeriksaan antigen Pemeriksaan polymerase chain reaction ( PGR), Tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi
• • • • • • • •
TERAPI Tata laksana Umum: Rawatjalan: • Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan • Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol • Ekspektoran�mukolitik • Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan • Kontrol setelah 48 j am atau lebih awal bila diperlukan 92 Pulmonobgi •
Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto toraks
Keputusan mcrawat pasien di RS ditentukan oleh: • Derajat berat CAP (lihat di atas) • Penyakit terkait, • Faktor prognostik lain, • Kondisi dan dukungan orang di rumah • Kepatuhan, keinginan pasien. Raw at inapdi RS : • Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi. Tujuannya: mempertahankan PaOj > 8 kPa dan SaO� > 92 % • Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal napas dituntun dengan pengukuran analisis gas darah berkala • Cairan: bila perlu dengan cairan intravena • Nutrisi • Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol • Ekspektoran/mukolitik" Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan Rawat dilCU : • Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial. Terapi Antibiotika • Pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin, berdasarkan perkiraan etiologi yang menyebabkan CAP pada kelompok pasien tertentu, sesuai pedoman terapi empirik inisial ATS 2001. Syarat untuk alih terapi (ATS 2001):
-
berkurangnya keluhan batuk dan sesak napas, suhu afebris (< 100 ""F) pada dua pengukuran yang terpisah 8 jam lamanya, leukosit berkurang / menjadi normal, - saluran gastrointestinal berfungsi baik, masukan oral adekuat, Syarat untuk pemulangan dapat merujuk pada kriteria Weingarten atau Ramirez (lihat tabel 6).
KOMPLIKASI •
CAP berat: Bila memenuhi satu kriteria mayor (dari 2 kriteria modifikasi) atau dua kriteria minor (dari 3 kriteria minor modifikasi). Kriteria minor yang dikaji saat masuk RS: 1. gagal napas berat (PaO�/FIO� < 250), 2. Foto toraks: pneumonia multilobaris, 3. TD sistolik < 90 mmHg, Kriteria mayor yang dikaji saat masuk RS atau dalam perjalanan penyakit: L perlunya ventilator mekanis, 2. syok sepsis. Gagal napas
•
93 Panduan Pelayanan Medik PAPDI • • • •
Sepsis, syok sepsis Gagal ginjal akut Efusi parapneumonik Bronkiektasis
PROGNOSIS Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit komorbid, status imunologis, dll.
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru
UNIT TERKAIT
•
•
RS Pendidikan: Divisi Tropik- Infeksi, Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Parasitologi, Anestesi / ICU RS non pendidikan : Bagian Paru, Patologi Klinik, Radiologi, Parasitologi, Mikrobiologi klinik, Anestesi / ICU
R E FE R E N S I 1. American Thoracic Society. Guidelinesfor the Management of Adults with CommunityAcquired Pneumonia: Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am JRespir Crit Care Med, 2001;163:1730-54. 2. British Thoracic Society Standards o f Care Committee. British Thoracic Society Guide¬ linesfor the Management ofCommunity Acquired Pneumonia in Adults. Thorax 2001:56
(suppl IV): 1-64. Available at lJRL:http://tharax. hmjiournals,com /cgi/content/full/56/ suppl_4/... 3. Rhew DC, Weingarten SR. Achieving A Safe and Early Discharge for Patients With Community-Acquired Pneumonia. Medical Clinics of North America, November 2001;85(6):1427'40. 4. Bartlett JG, Dowell SF, Mandell LA, File Jr TM, Musher DM, Fine MJ Guidelinesfrom the Infectious Diseases Society of America: Practice Guidelinesfor the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical Infectious Diseases 2000;31:34782.
94
I II III IV V
<70 71-90 91-130 >130
Rawat Inap 0,5 0,9 1,2 9,0 27,1
Rawat jalan 0,0 0,4 0,0 12,5 0,0
Semua pasien 0,1 0,6 0,9 9,3 27,0
Rawat jalan Rawat jalan Rawat inap singkat Rawat inap Rawat inap Pulmondogi
Tabel 2. Langkah kedua sistem Skor Rumus Prediksi Pneumonia Karakteristik pasien Faktor demografik : Usia Laki-laki Perempuan Penghuni panti jompo Penyakit ko-morbid: Neoplasma Penyakit hati Gagal jantung kongestif Penyakit serebrovaskular Penyakit ginjal Temuan pemeriksaan fisik: Perubahan status mental Frekuensi pemafasan > 30 / menit Tekanan darah sistolik < 90 mmHg Suhu < 3 5 ° C atau > 4 0 " C Frekuensi nadi > 125 / menit Hasil laboratorium dan radiologis : AGD: pH<7,35 Blood Urea Nitrogen > 30 mg/dl ( 11 mmol/L)
Nilai
Umur ( tahun ) Umur ( tahun ) - 10 + 10 +30 -1-20 0 -H10 +10 +20 +20 +20 +15 +10 +30 +20
Natrium < 130 mmol/L +20 +10 > Glukosa 250 mg/dl +10 Hematokrit < 30 % +10 AGD; P a 0 2< 6 0 m mH g Efusi pleura_+10_ Tabel 3. Stretifikasi Pneumonia Berdasarkan Skor Risiko, Angka Kematian dan Rekomendasi Tempat Rawat Kelas Risiko
Jumlah nilai
Mortalitas
Penatalaksanaan
Cohort validasi Pneumonia
95
PORT (%)
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
Tabel 4. Perbandingan Pemeriksaan Diagnostik CAP ATS 2001 Rawat ialan: pasien yang masih mungkin dirawat RS, > 65 th, komorbid Rawat inan: semua pasien
Lab. rutin
BTS 2001 Rawat ialan: tak perlu untuk mayoritas pasien, Rawat inao harus
pulse oximetry
,
Pemeriksaan oksigenasi: analisa gas darah
Folo thoraks
Gram sputum
Kultur sputum
Kultur darah
Rawat inao: bila tersedia Rawat ialan: dipertimbangkan
Rawat ialan: penyakit dasar jan tung/paru Rawat inao: semua
Rawat inao: harus Rawal ialan: tidak respons thd AB cmpiris Rawat inao: CAP berat, komplikasi (-I-)
;
Rawat ialan: tidak respons thd AB empiris Rawat inao: bukan CAP berat + dahak purulen + belum AB, CAP berat, tidak respons thd AB empiris Rawat inao : direkomendasikan Rawat inan: CAP berat, tak respons thd beta lactam, faktor resiko, wabah
Rawat ialan: jika klinis/ro mengarah ke prognosis buruk, Rawat inan / Datane ke IGD; direkomendasikan Rawat ialan & inao: PPOK
Rawal ialan: direkomendasikan bila memungki nkan, Rawat inao: harus Rawat ialan: mayoritas tidak direkomendasikan Rawat inao: direkomendasikan
Rawat inao: £A1 CAP berat
96 Penyakit Tampa Tanpa penyakil Rawat inao: risiko risiko Kardiopulmonal Kardiopulmonal, faktor atau P.aeruginosa direkomendasikan +/P.aeruginosa tanpa modifikasi faktor modikasi
Rawat inao fA.S.K): CAP berat, faktor resiko, wabah Rawat ialan: Batuk produktif persisten,
Rawat inao: Pasien tertentu
Rawat inao: Pasien tertentu
Rawat ialan & inao: Harus
Rawat ialan:
optional Rawat inao: direkomendasikan
optional
Rawat inan: direkomendasikan
Rawat inao: direkomendasikan
Rawat inao : direkomendasikan
Rawat inao : direkomendasikan
Tidak direkomendasikan
Tidak direkomendasikan
direkomendasikan
Rawat inan: CA) CAP berat
Rawat inao CA.K") CAP berat. > 40 th, tak respons thd beta lactam,
Immunocompromized
Bila klinis sesuai, faktor resiko
B B GrupHI IV Grup
PiimonolDgi
Rawat ialan:
Rawat inan: CAP berat
Pneumococcal (tytttcrcp tfvt
Pemeriksaan sputum BTA + langsung
Rawat ialan: tak perlu untuk mayontas pasien,
Rawat ialan & inao: Bila cariga bakleri resisten, atau bakteri tak sensitif thd AB yang biasa Rawat ialan & inan: Bila curiga bakteri resisten, atau bakleri tak sensitif thd AB yang biasa
Rawat inan: Tidak rutin direkomendas ikan
Legionella
Rawat inan: SaO; <92 %, CAP berat
Rawat inan:
Tcs i�rologis
Tes antigen (A), serologis (S), kultur (K)
Rawat inao: semua
peny. berat, peny. Paru kronis Rawal ialan & inao: Hams
Rawat inao direkomendas ikan
1DSA2U00
IMA IV A GrupGrup
CRP Pemeriksaan oksigenasi:
:
CIDS 2000 Rawat ialan: jika klinis/ro mcngarah ke prognosis buruk, Rawat inao / Datanp ke IGD: direkomendasikan
. kecarigaan klinis. wabah Rawat inao Pasien tertentu: batuk > 1 bulan,
IslBlaksana rawal Jalan
Tatalakssna Rawal Inap
CAP
Tanpa Penyakit Kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi
Riwayat penyakit Kardiopulmonal, / atau faktor TnodiUkasI
Grup I
Grup II
Sakil nngan-sedang
Severe CAP
Gambar 2. Stratiflkasi Pasien CAP (ATS 2001) Z
Grup
Karakteristik
I
Rawat jalan, penyakit kardiopulmonal (-) faktor modifikasi (-) Rawat jalan, penyakit kardiopulmonal (+) Dan/atau Faktor modifikasi (+)
II
III A
Rawat inap, penyakit kardiopulmonal (+) Dan/ atau faktor modifikasi (+)
IIIB
Rawat inap penyakit kardiopulmonal (-) faktor modifikasi (-) Rawat ICU Tanpa resiko Ps.
IV A
Aeruginosa
IV B
Rawat ICU Dengan resiko Ps aeruginosa
Antibiotik
Pilihan
(kedua pilihan ini setingkat)
MAKROLID GENERASI BARU
p- lactam oral: Cefpodoxime, Cefiiroxime, Amoxicillin dosis tinggi, Amoxicillin/clavulanat. Atau Darenteral: diikuti Ceftriaxone, Cefpodoxime oral Dikombinasi dengan: Makrolid atau doxvcvcline B- lactam IV: Cefotaxime, Ceftriaxone, Ampicillin/sulbactam, Ampicillin dosis tinggi Dikombinasi dengan: Makrolid IV atau oral Atau doxvcvcline Azithromvcin IV Atau: Doxvcvcline dan B- lactam B- lactam IV Cefotaxime Ceftriaxone Dikombinasi dengan: Makrolid IV (Azithromvcin) Atau Fluoroauinolon IV p- lactam antipseudomonas IV tertentu Cefepime Imipenem Meropenem Piperac i Hi n/tazobactam Dikombinasi dengan : Ouinolon antipseudomonas IV ciprofloxacin
DOXYCYCLINE
Fluoroquinolonantipneumococcus
Fluoroauinolonantipieumococcus IV
Fluoroquinolonantipneumococcus
P" lactam antinseudomonas IV tertentu Cefepime Imipenem Meropenem Piperacillin/tazo bactam Dikombinasi dengan: Aminoslikosida IV Dikombinasi dengan: Makrolid IV (Azithromycin) atau Fluoroauinolon nonnseudomonas IV
Tabel 5,6.Rekomendasi KHteria AlihTerapi dan Permulangan Tabel (ATS 2001) Pasien (Weingarten dan Ramirez) TerapiEmpiris Ramirez
Weingarten Kriteria alih terapi
Tidak ada alasan yang jelas untuk tetap dirawat; TD sistolik < 1 0 0 mmHg, dehidrasi seperti ditunjukkan oleh hipematremia (Na >1 55 mmol/1), rasio BUN: creatinin > 20 : 1, perubahan TD sistolik ortostatik > 20mmHg, perubahan mental akut, hipoksia (saturasi gas darah arteri pada udara kamar < 90 % atau PO2 < 55 mmHg), asidosis respiratorik akut den gan pH < 7,30, ketidakmampuan mimum obat atau cairan per oral, penjalaran infeksi (meningitis), penyakit komorbid yang tak stabil.
Perbaikan batuk dan sesak napas Absorpsi gastrointestinal adekuat Suhu menjadi normal selama minimal (< 37,8 8 jam) Leukosit menjadi normal
Tidak ada pathogen berisiko tinggi: Stapylococcus aureus , aspirasi, pasca-obstruksi, mycobacterial� fungi. Tidak ada komplikasi fatal selama perawatan: infark miokard akut, fibrilasi ventrikular, takikardia ventrikular, asystole, blok jantung total, fibrilasi atrial tak stabil atau baru, flutter atrial tak stabil atau baru, takikardia supraventrikular, pneumotorak, gagal jantung kongestif
Waktu alih terapi Kriteria pulang
Tidak ada imunosupresi, atau infeksi HIV Hari ke-3 Tidak ada
Jika kriteria alih terapi terpenuhi Kandidat terapi oral Tak perlu tata laksana kondisi komorbid (CHF, dll) Tak perlu tindakan
Waktu Dulane 1
Hari ke-4 *-•
diagnostik (bronkoskopi untuk massa paru) Tak ada indikasi sosial untuk melanjutkan perawatan ( kondisi rumah tak stabil) Jika kriteria pulang terpenuhi A
Pulmonobgi
DIAGNOSIS BANDING Pneumonia didapat di masyarakat (CAP) bronkitis kronik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: DPL, retikulosit, LED, SCOT, SGPT, serologis Foto toraks
TERAPI
Antibiotik: pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin: • • Makrolid: Eritromisin Claritomisin 2 X 500 mg - Azitroniicin 1 x 500 mg - Roksitromisin 2x500 mg• Doksisiklin • Respiratory -Fluorokuinolon • + Rifampisin (bila curiga Legionella) Tata laksana umum pneumonia ( = tata laksana umum CAP): Rawatjalan • Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan • Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol • Ekspektoran/mukolitik • Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan • Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan • Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto toraks Keputusan merawatpasien di RS ditentukan oleh • derajatberat • penyakit terkait • faktor prognostik lain • kondisi dan dukungan orang di rumah • kepatuhan, keinginan pasien RawatinapdiRS • Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi. Tujuannya: mempertahankan PaO� � 8 kPa dan SaO� � 92 %. • Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal napas dituntun dengan pengukuran AGD berkala • Cairan: bila perlu dengan cairan intravena • Nutrisi • Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol • Ekspektoran/mukolitik • Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan
101
Panduan Pelayanan Medik PAPDI RawatdilCU • Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial.
KOMPLIKASI Efusi pleura, empiema, abses paru, atelektasis, gagal napas, kor pulmonal, pneumotoraks, septikemia, herpes labialis, penyakit tromboemboli
PROGNOSIS Dubia: tergantung derajat berat penyakit, penyakit terkait, faktor prognostik lain
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi klinik RS non pendidikan; Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Mikrobiologi klinik
R E F E RE N S I 1. Bahar A. Diagnosis Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. 25 Maret 1999. 2. Suwondo A. Penatalaksanaan Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/RSUPN CM, 25 Maret 1999. 3. American Thoracic Society. Guidelinesfor the Management o f Adults with CommunityAcquired Pneumonia: Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am JRespir Crit Care Med, 2001;163:1730-54. 4. British Thoracic Society Standards o f Care Committee. British Thoracic Society Guide¬ linesfor the Management o f Community Acquired Pneumonia in Adults. Thorax 2001;56 (suppl IV):l-64. Available at URL:http://thorax.bmi/ournals. com/cgi/content/full/56/ suppl_4/...
102 Pulmonoliogi
GAGAL NAPAS PENGERTIAN Gagal napas adalah Ketidakmampuan mempertahankan nilai pH (keasaman), oksigen
(O�), dan karbondioksida (CO�) darah arteri supaya tetap dalam batas normal. Etiologi • Penyakit saluran napas: bronkitis kronik, emfisema, asma bronkial, bronkietasis • Penyakit paru parenkim: pneumonia, edema paru, aspirasi, inhalasi asap, gas • Gangguan hiperpermeabilitas: edema paru, ARD S • Penyakit pembuluh darah: emboli paru, syok kardiogenik, fistula A. V pulmoner • Trauma; dada, leher, kepala • Gangguan neuromuskular: poliomielitis, sindrom tetanus, Guillain Barre, paralisis diafragma • Obat-obat: barbiturat, narkotik, sedatif, obat-obat relaksasi • Kelainan dinding dada: kifoskoliosis, ankylosing spondylitis • Lain-lain: hipotermia
DIAGNOSIS Sesak napas berat, batuk , sianosis, pulsus paradoksus, stridor, aritmia, takikardia, konstriksi pupil Gagal napas tipe I • PCO2 normal atau meningkat • PO� turun • Umumnya kurus • Wama kulit: pinkpuffer • Hiperventilasi • Pemapasan; purse-lips Gagal napas tipe 11: • PCO2 meningkat • PO2 menurun • Sianosis • Umumnya kegemukan • Hipoventilasi • Tremor CO� • Edema
DIAGNOSIS BANDING Edema paru, ARDS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
Analisis gas darah Foto toraks
Panduan Pelayanan Medik PAPDI • •
Kateter Swan Ganz dengan monitor - tekanan kapiler paru (PCWP) EKG
TERAPI Tahapl • Perbaiki gangguan hipoksemia dengan terapi • Bronkodilator nebulizer
103
• • •
Humidifikasi Fisioterapi dada Antibiotika
Tahapn • B ronkodilator arenteral p • Kortikosteroid Tahapin: • Stimulan pemapasan • Mini trakeostomi ika retensi j sputum TahapIV • Ventilasi Mekanik
KOMPLIKASI Mortalitas
PROGNOSIS Malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi/ICU RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi/ICU
REFERENSI BaharA. GagalNapas. In :SimadibrataM, SetiatiS, Alwil, Maryantoro, GaniRA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.p. 213-4.
104 Pulmonobgi
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK PENGERTIAN Penyakit paru obstruktif kronik Penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Perlambatan aliran udara umumnya
bersifat progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikelatau gas iritan (GOLD 2001).
DIAGNOSIS
•
•
•
•
• •
Keluhan: sesak napas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala Anamnesis riwayat paparan dengan faktor risiko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktivitas-dll, kemungkinan mengurangi faktor risiko Pemeriksaan fisik Pemapasan pursed lips, Takipnea, - dada emfisematous atau barrel chest dengan tampilan fisik pink puffer atau blue bloater bunyi napas vesikuler melemah - eksirasimemanjang - ronki kering atau wheezing - bunyi j antung j auh. Diagnosis pasti dengan uj i spirometri: FEV,/FVC <70% Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan): FEVj pasca bronkodilator < 80 % prediksi Uj i coba kortikosteroid Analisis gas darah pada: - Semua pasien dengan VEP, < 40% prediksi - Secara klinis diperkirakan gagal napas atau payah jantung kanan.
PPOK Eksaserbasi Akut Gejala eksaserbasi: bertambahnya sesak napas, kadang-kadang disertai mengi, bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih purulen atau berubah wama, Gejala non-spesifik: malaise, insomnia, fatigue, depresi Spirometri: flingsi paru sangat menurun Etiologi eksaserbasi Infeksi mukosa trakeobronkial, terutama Streptococcus pneumonie, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Pajanan polusi udara Kiasifikasi PPOK mGnnrniNationalHeart, Lung and Blood Institute dan WHO Stadium 0 Deraj at Berisiko PPOK Spirometri normal Kelainan kronik (batuk, sputum prioduktif) Stadium I PPOK ringan VEP,/KVP<70% > VEP| 80%prediksi dengan/tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif)
105
Stadium II
Stadium III
PPOK sedang VEP/KVP<70% 30% < VHP, < 80% prediksi (II A: 50% < VHP, < 80% prediksi) (IIB: 30 % < VEPj < 50%prediksi) dengan/tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif) PPOK berat VEP,/KVP<70% < < + VEP| 30% prediksi atau YEP � 50% prediksi gagal napas
DIAGNOSIS BANDING Asma bronkial, bronkiektasis, gagal jantung kongestif, pneumonia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• • •
Spirometri Foto toraks Bila eksaserbasi akut: analisis gas darah, DPL, sputum Gram, kultur MOR
TERAPI Usaha mengurangi faktor risiko • Edukasi-motivasi berhenti merokok • Farmakoterapi stop merokok Terapi PPOK Stabil • Terapi Farmakologis a. Bronkodilator - Secara inhalasi ( MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak terjangkau - Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermiten) - 3 golongan: - agonis �-2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol, - antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi p-2 dan steroid belum memuaskan - Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi 106
Pulmonologi b.
Steroid, pada: - PPOK yang menunjukkan respons pada uji steroid - PPOK dengan FEV1 < 50 % prediksi (stadium IIB dan III) Eksaserbasi akut c. Obat-obat tambahan lain - mukolitik (mukokinetik, mukoregulator); ambroksol, karbosistein, gliserol iodida - antioksidan: N-asetil-sistein imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator); tidak rutin - antitusif; tidak rutin - vaksinasi: influenza, pneumokok
•
Terapi Non-farmakologis. a. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance� latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial b. Terapi oksigen jangka panjang ( > 15 jam sehari): Pada PPOK stadium III, AGD = < < PaO� 55 mmHg, atau SaO� 88 % dengan / tanpa hiperkapnia < PaO� 55 60 mmHg, atau SaO� 88 % disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, polisitemia. c. Nutrisi d. Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fiingsi paru atau gerakan mekanik paru)
Terapi PPOK Eksaserbasi Akut Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah: bronkodilator seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari.Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 hari. Bila infeksi: diberikan antibiotika spektrum luas (termasuk Spneumonie, H influenzae, M catarrhalis). Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit: • Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask. • Bronkodilator; inhalasi agonis p2 (dosis & frekuensi ditingkatkan) + antikolinergik, Pada eksserbasi akut berat: + aminofilin (0,5 mg/kgbb/jam) • Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. Steroid intra vena: pada keadaan berat
Antibiotika terhadap Spneumonie, H influenzae, M catarrhalis. • Ventilasi mekanik pada: gagal napas akut atau kronik,
KOMPLIKASI Gagal napas, kor pulmonal, septikemia
PROGNOSIS Dubia, tergantung dari stage, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
107
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan: Departemen Rehabilitasi Medik, Radiologi / Radiodiagnostik, Anestesi / ICU RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi / ICU
REFERENSI
Uyainah A. Standardisasi Baru dalam Diagnosis dan Terapi PPOK. In: Setiati S, AIwi I, Kasjmir YI, Bawazier LA, Lydia A, Syam AF, et al, editors. Prosiding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,2002.p. 55-64.
108 Pulmondogi
frUBERKULOSISlPARU t>ENGERTIAN •
•
Tuberkulosis paru adalah infeksi paru yangmenyerang jaringanparenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TB dibagi dalam: 1. TB paru BTAposilif: sekurangnya2dari3 spesimen sputum BTAposilif 2. TB Paru BTA negalif, dari 3 spesimen sputum BTA negatif, fqlo tor�s�sitif Berdasarkan lingkatkeparahanpenyakilyangdiiunjukkanoleh foto toraks, TB paru dibagi dalam:
1. TB Paru dengan kelainan paru luas 2. TB Paru dengan kelainan paru sedikit Berdasarkan organ selain paru yang terserang, TB paru dibagi dalam: 1. TBEksU'a Paru Ringan: TB kelenjar limfe, TB tulangnon-vertebra, TB sendi, TB�drenal 2. TB Ekslra Paru Berat: meningitis, TB milier, TB diseminata, perikarditis, pleuritis, peri ton ftlsTTB verlebra, TB usus, TB genitourinarius Berdasarkan riwayat pengobatannya, TB paru dibagi dalam: 1. Kasus baru 2. Kambuh (relaps) 3. Drop-out / default 4. Gagalterapi 5. Kronis
•
•
DIAGNOSIS Keluhan (tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): batuk-batuk > 3 minggu, baluk berdarah, sesak napas, nyeri dada. malaise, lemah, berat badan turun, nafsu makan lurun, keringat malam, demam Gejala yang ditemukan (tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): keadaan umum lemah, kakeksia, takipnea, febris, paru: tanda-tanda konsolidasi (redup, fremitus mengeras/ melemah, suara napas bronkhial/ melemah, ronkhi basah / kering) Laboratorium: LED meningkat Mikrobiologis: • BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS, • Kultur Mycobacterium tuberculosis positif ( diagnosis pasti) Radiologis: • Foto toraks PA ± lateral (hasil bervariasi): infiltrat, pembesaran KGB hilus/ KGB paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung Imuno- Serologis: • uji kulit dengan tuberkulin (Mantoux) positif > 15 mm pada orang Indonesia yang imunokompeten
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
109
•
tes PAP, ICT-TB ; positif PCR- TB dari sputum (hanya menunjang klinis)
DIAGNOSIS BANDING Pneumonia, tumor/keganasanparu, jamurparu, penyakit paru, akibatkerja
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG Laboratorium: LED Mikrobiologis: BTA sputum, kultur resislensi sputum Lerbadap M tuhercnlosis, • Pada kategori 1 dan 3: sputum BTAdiulangi pada akhir bulan ke 2,4 dan 6. • Pada kategori 2: sputimi BTA diulangi pada akhir bulan ke 2,5 dan 8. • Kultur BTA sputum diulangi pada akhir bulan ke 2 dan akhir terapi. Radiologis; foto loraks PA, lateral pada saat diagnosis awal dan akhir terapi.
Selama terapi: evaluasi foto selelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan. Imuno- Serologis; • uji kulit dengan tuberkulin (Mantoux) • tes PAP, ICT-TB PCR- TB dari sputum
TERAPI Terapi umum: istirahat, stop merokok, hindari polusi, tata laksana komorbiditas, nutrisi, vitamin Medikamentosa obat anti TB ( OAT): Kategori 1: untuk • penderita baru TB Paru, sputum BTA positif • penderita TB Paru, sputum BTA negatif, rontgen positif dengan kelainan paru luas • penderita TB Ekstra Paru berat diterapi dengan • 2 RHZE / 4 RH-2 RHZE /4 R3H3-2 RHZE / 6 HE Kategori 2 : untuk: • penderita kambuh • penderita gagal • penderita after default diterapi dengan: - 2 RHZES /1 RHZE / 5 RHE - 2 RHZES /1 RHZE / 5 R3H3E3 Kategori 3 : untuk: • penderita baru TB Paru, sputum BTA negatif, rontgen positif dengan kelainan paru tidak luas • penderita TB Ekstra Paru ringan diterapi dengan : - 2RHZ/4RH - 2RHZ/4R3H3 - 2RHZ/6HE
110
Pulmonologi Kategori 4 : untuk: • penderita TB kronik diterapi dengan: - H seumur hidup, - Bila mampu: OAT lini kedua
KOMPLIKASI
•
• •
Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks, gagal napas, TB eskstra paru: pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe, kor Pulmonal
PROGNOSIS Dubia: tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi, status
imun, komorbiditas
WEWENANG •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT •
•
RS Pendidikan : Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB, Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Patologi Anatomi, Bedah / toraks dan Bagian lain yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TBRS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi, Mikrobiologi klinik dan Bagian lain yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
111
KARSINOMAPARU PENGERTIAN Karsinoma paru umumnya berarti tumor yang berasal dari epitel pernapasan (bronkus, bronkiolus, alveolus ). Tipe sel yang paling sering ditemukan menumt klasifikasi WHO untuk neoplasma paru primer: 1. Karsinoma sel skuamosa {epidermoid) 2. Karsinoma sel kecil {oat cell carcinoma) 3. Adenokarsinoma (termasuk bronkioloalveolar ) 4. Karsinoma sel besar Faktor risiko: • Merokok(aktif, pasif),
•
• • •
Polusi lingkungankerja: - asbestos (galangan kapal, konstruksi, pertambangan - arsenik (kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam), hidrokarbon aromatikpolisiklik (industribaja) kromat dan kromium (pekerj a industri, pelapis krom) - silika (penemuan baja), pabrik gas beracun, penyulingan nikel tambang uranium, radon, dan turunannnya Polusi udara : gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidrokarbon aromatik polisiklik Radiasi non-ionisasi (telepon selular), radiasi prosedur diagnostik
DIAGNOSIS Gambaran klinis: • Asimptomatis • Klinis lokal: Batuk, hemoptisis, wheezing, stridor, abses, atelektasis • Klinis invasi lokal: Nyeri dada, dyspnea karena efusi pleura, aritmia (invasi ke pericardium), sindrom vena cava superior, sindrom Homer {facial anhidrosis, ptosis, miosis ), suara serak ( penekanan pada n. laryngeal recurrent), sindrom Pancoast (invasi pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis ) • Metastasis : Nyeri tulang, sakit kepala, ikterus, perubahan neurologis, suara serak, sulit menelan, sesak napas, pembesaran kelanjar getah bening • Sindrom paraneoplastik: ala sistemik: penurunan berat badan, anoreksia, demam Gej Hematologi: leukosistosis, anemia, hiperkoagulasi Neurologik: demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer, - Endokrin: sekresi PTH (hiperkalsemia), - Dermatologi: eritema multiform, hiperkeratosis, iari tabuh, - Renal :SIADH, Osteoartropati hipertrofi 112 Pulmonologi
Diagnostik pada pasien dengan kanker paru terdiri dari: 1. Diagnosis adanya kanker paru 2. Diagnosis tipe histologis kanker paru 3. Staging kanker paru 4. Anatomic staging : penentuan lokasi tumor 5. Physiologic staging : pengkajian kemampuan pasien menerima berbagai terapi anti-tumor 6. Terutama untuk kanker paru non-small cell: resektabilitas (apakah tumor dapat diangkat seluruhnya dengan prosedur bedah standar seperti lobektomi atau pneumonektomi) dan operabilitas (apakah pasien dapat mentoleransi prosedur bedah)
DIAGNOSIS BANDING Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain.Tumor jinak paru: tersering ialah
adenoma bronkial dan hamartoma. Yang lebih jarang kondroma, fibroma, lipoma, hemangioma, leiomyoma, teratoma, endometriosis. Infeksi (TB paru, infeksi nonspesifik), granuloma.
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG
• •
• • •
•
/
Pemeriksaan sitologi sputum merupakan pemeriksaan rutin pada pasien dengan batuk dan gambaran klinis dicurigai suatu keganasan. Pemeriksaan sitologi lain dapat dilakukan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening, biopsi transthorakal, transbronchial needle aspiration ( TBNA), bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas, dilakukan melalui cara: bronkoskopi, thorakoskopi, mediastinoskopi, thorakotomi. Foto toraks : untuk penapisan pasien dengan risiko tinggi, menentukan adanya massa di paru, melihat adanya efusi pleura. CT Scan toraks : memastikan adanya lesi di paru, menentukan lokasi dan ukuran lesi secara tepat, menilai KGB hilus dan mediastinum, mencari metastasis paru supra renalis dan hepar, menilai respons terapi, mendeteksi kekambuhan tumor. Pencitraan lain: CT Scan abdomen, USG abdomen, CT kepala, bone scan, bone survey, angiografi, MRl.
Prosedur Staging untuk pasien kanker Paru A. Untuk semua pasien • Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik lengkap • Penentuan status tampilan • Laboratorium.: DPL, elektrolit, glukosa, kalsium, fosfat, fungsi ginjal, fungsi hati • EKG • Tes kulit untuk tuberkulosis • Foto toraks • CT scan toraks • CT scan abdomen atau USG abdomen • CT scan otak • Bone scan
Panduan Pelayanan Medik PAPDI • • • •
113
Bone survey atau foto daerah tulang yang dicurigai berdasarkan bone scan atau klinis Foto Barium bila ada keluhan esofagus Fungsi paru/ spirometri dan analisis gas darah bila ada gangguan pemapasan Biopsi dari lesi yang dicurigai kanker yang dapat dijangkau : - Lesi sentral ; bronkoskopi dengan bilasan bronkus, sikatan bronkus,
TBNA, biopsi forsep Lesi perifer: biopsi aspirasi jarum halus transthorakal dengan atau tanpa bimbingan USG/CT scan, biopsi dengan thorakoskopi • Sitologi cairan pleura bila ada efusi pleura B. Untuk pasien dengan NSCLC tanpa kontraindikasi untuk pembedahan kuratif atau radioterapi: • Seperti butir A. ditambah; • Tes koagulasi • Jika rencana bedah; evaluasi mediastinum oleh bag. Bedah pada saat -
mediastinoskopi atau thorakotomi C. Untuk pasien dengan SCLC : • Seperti butir A. ditambah; • Aspirasi sumsum tulang dan biopsi
TERAPI Berdasarkan tipe histopatologis dan staging TNM menurut lUCC 1997: NSCLC: Stagel A-B,II A-B,beberapaIII A: St. I A-B & II A-B : Reseksi St. Ill A dengan keterlibatan N2 minimal (ditentukan saat torakotomi atau mediastinoskopi): Reseksi + Diseksi KGB mediastinum lengkap + pertimbangkan kemoterapi neoajuvan Keterlibatan N2 (bila tidak diberikan Kemoterapi Neoajuvan): Radioterapi pascaOP Kemoterapi / Ajuvan: diskusikan risiko / keuntungan bagi pasien Non-operabel: Radioterapi berpotensi kuratif Stage III A dengan tipe tertentu dari tumor stage T3 : Invasi dinding dada ( T3 ): Reseksi en blockiumoi + dinding dada yang terlibat, pertimbangkan Radioterapi pasca-op Tumor Pancoast ( T3 ): Radioterapi pre-op (30-45 Gy) dilanjutkan Reseksi en blockiwmox + dinding dada yang terlibat, pertimbangkan Radioterapi pasca-op atau Brakiterapi intra-op Keterlibatan saluran napas proksimal ( < 2 cm dari karina) tanpa KGB mediasti¬ num : Reseksi sleeve (jika mungkin mempertahankan paru distal yang normal), atau Pneumonektomi Stage III A "lanjut, bulky, klinis terbukti N2 (pre-op), & Stage III B yang toleran terhadap Radioterapi port: Radioterapi potensial kuratif+ Kemoterapi (jika status tampilan dan kondisi umum memungkinkan), atau Radioterapi saja (bila tidak memungkinkan Kemo terapi) 114 PulitionDlogi Stage III A dengan N2 lanjut Pertimbangkan Kemoterapi Neoajuvan dan Reseksi Stage III B dengan invasi karina (T4) tanpa adanya N2 rPertimbangkan Pneumonektomi dengan Reseksi sleeve trakea dan Reanastomosis langsung ke bronkus mainstem kontralateral St age W dan III B yanglebihlanjut: Radioterapi pada daerah lokal yang simtomatik Kemoterapi untukpasien rawatjalan Drainase chest tube untuk efusi pleura maligna yang banyak Pertimbangkan Reseksi tumor primer / metastasis untuk kasus metastasis otak atau adrenal yang terisolasi SCLC: Limited stage (status tampilanbaik): Kemoterapi Kombinasi + Radioterapi toraks Extensive stage (status tampilan baik ):Kemoterapi Kombinasi Respons tumor komplit (semua�/age ):Radioterapi kranial profilaktik
Status tampilan buruk (semua stage): Kemoterapi Kombinasi dengan modifikasi dosis Radioterapi paliatif Semua pasien: Radioterapi untuk: • metastasis otak, • kompresi medulla spinalis, • lesi litik pada tulang penahan beban, • lesi lokal simptomatik ( paralysis nervus, obstruksi saluran napas, hemoptisis pada NSCLC dan SCLC yang tidak respons terhadap Kemoterapi) Diagnosis dan tata laksana masalah medis lain dan supportive care selama Kemoterapi Mendorong stop merokok
KOMPLIKASI
• • • • • • • • • • • • • •
Obstruksi jalan napas Gagal napas Perdarahan / hemoptisis Abses Atelektasis Nyeri kanker Efusi pleura Aritmia Sindrom vena cava superior Sindrom Homer Dysphonia Sindrom Pancoast Metastasis ke organ: otak, tulang, hepar, limfatik Sindrom paraneoplastik: - penurunan berat badan, anoreksia, demam,
Panduan Pelayanan Medik PAPDI -
115
leukosistosis, anemia, hiperkoagulasi, hiperkalsemia SIADH demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer,
PROGNOSIS Tergantung tipe histologi, staging, resektabilitas dan operabilitas.
WE WE NAN G • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Hematologi-Onkologi Medik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik/ Radioterapi, Patologi Anatomi, Bedah / toraks/ Onkologi RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi.
REFERENSI 1.
Uyainah A.PendekatanDiagnostikKankerParu. IniAlwil, SetiatiS, Kasjmir YI, Bawazier LA, Syam AF, Mansjoer A, editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2002. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2002.p. 91-8. 2. Minna JD. Neoplasms of the Lung. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles o f Internal Medicine. IS''' ed. New York: McGraw-Hill; 200Lp.562~7L
116
PulinonDLogi
EMBOLI
PARU
PENGERTIAN Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan oleh embolus pada arteri pulmonalis paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri pulmonalis, merupakan komplikasi trombosis vena dalam (DVT) yang umumnya terjadi pada kaki atau panggul. Faktor predisposisi trombosis vena, dikaitkan dengan Trias Virchow, yaitu • Stasis: Imobilitas, tirahbaring, anestesi, gagaljantungkongestif/korpulmonal, trombosis vena sebelumnya • Hiperkoagulabilitas: keganasan,antibodi antikardiolipin, sindrom nefrotik, trombositosis esensial, terapi estrogen, heparin-induced thrombocytopenia, inflammatory bowel disease� Paroxys m al nocturnal hemoglobinuria, koagulasi intravaskular diseminata, defisiensi protein C dan S, defisiensi antitrombin III
•
Kerusakan dinding pembuluh darah: trauma, pembedahan
Manifestasi klinis terbagi atas;
• •
Akut: oklusi masif, infark paru, emboli paru tanpa infark Kronik: emboli paru unresolved
DIAGNOSIS
• •
•
•
• • •
• •
Keluhan; sesak napas, nyeri dada, hemoptisis Pemeriksaan fisik : takipneu, takikardia,p/ewra/ rub, tanda-tanda efusi pleura, tanda-tanda gagal jantung kanan akut (JVP meningkat, bunyi P2 mengeras, mur¬ mur sistolik daerah katup pulmonal). EKG: terutama menyingkirkan penyakit lain, perubahan ST-T tidak spesifik. Inversi gelombangT di VI - V4, kadang-kadang dijumpai RBBB, AF. Pada em¬ boli paru masif dapat dijumpai RAD, P pulmonal, S1 Q3 T3. Foto toraks: menyingkirkan penyebab lain berupa emboli paru infiltrat, eflisi, atelektasis, gambaran khas emboli paru Hamptons sign, Westermark's sign, Palla s sign, pada sebagian kasus: tidak tampak kelainan AGD : hipoksemia, alkalosis respiratorik D-dimer plasma: meningkat (sensitif, tidak spesifik). Bila > 500 ng/mL, dilanjutkan dengan pemeriksaan: Ventilation / Perfusion Lung Scan: (sensitif, tidak spesifik) - Pada emboli paru: kelainan perfusi tidak disertai kelainan ventilasi, atau kelainan perfusi lebih menonjol - Berdasarkan adanya, ukuran, dan hubungan defek ventilasi-perfusi, hasil dibagi atas : high-probability lung scan, non-high probablity lung scan (= low dan intermediate probability lung scan ), normal lung scan. USG kompresi kaki. Indikasi: hasil scan menunjukkan non-high probablity lung scan, sedangkan klinis sangat mengarah ke emboli paru. Jika hasil scan adalah high-probability lung scan, atau USG kaki positif DVT; diterapi sebagai emboli paru,
Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
117
Angiografi pulmoner: baku emas. Indikasi: hasil diagnostik lain tidak jelas, dan dibutuhkan diagnosis pasti ( seperti pada pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki risiko tinggi bila diterapi antikoagulan atau trombolitik).
DIAGNOSIS BANDING Pneumonia, bronkitis, asma bronkial, bronkitis kronis eksaserbasi akut, infark miokard, edema paru, kanker paru, pneumotoraks, kostokondritis, aorta dissekans, tampon¬ ade, fraktur iga, hipertensi pulmoner primer, nyeri muskukoskeletal, anksietas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
•
♦ • • •
Lab.; DPL, AGD, D-dimer plasma, hemostasis ( FT, aPTT, INR, aktivitas protrombin, kadar fibrinogen), kadar protein C dan S, ACA, urin lengkap, Ventilation / Perfusion Lung Scan. USGDoppler EKG Angiografi pulmoner:
TERAPI Terapi Primer Obat trombolitik diindikasikan pada emboli paru masif yang menyebabkan instabilitas hemodinamik atau gagal napas, streptokinase: dosis loading 250.000 lU drip IV dalam 30 menit. Dilanjutkan 100.000 lU perjam drip IV, selama total 24 jam. Terapi Preventif Antikoagulan:
•
Unfractionated heparin secara intravena, diberikan kontinyu atau intermiten, bolus inisial IV 80 lU/kgBB atau sekitar 5.000 lU, dilanjutkan dengan drip 18 lU/ kgBB/jam IV Pemantauan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam: target 1,5 - 2,5 x kontrol. Bila hasil aPTT > 2,5 x kontrol: dosis diturunkan 100-200 lU/jam, bila hasil aPTT <1,5 X kontrol; dosis dinaikkan 100-200 IU/jam,bila aPTT 1,5-2,5 x kontrol: dosis dipertahankan. Pemantauan aPTT hari II setiap 12 jam, hari III setiap 24 jam. - Setelah 7 hari heparinisasi: ditambahkan {overlapping) antikoagulan oral selama ± 5 hari, hingga tercapai target INR pada 2 kali pemeriksaan berturut -turut. Selama pemberian antikoagulan, perlu diperhatikan lesi fokal di tempat lain, prosedur invasif yang direncanakan, dipantau jumlah trombosit. Low Molecular Weight Heparin (LMWH) diberikan subkutan tiap 12 jam. Dosis LMWH, yaitu enoxaparin 1 mg/kgBB sedangkan nadroparin 0,1 mL/kgBB. Pada obesitas, BB < 50 kg, gagal ginjal kronik, kehamilan, dapat diperiksakan anti faktorXa: target 0,3 -0,7 lU.
Antikoagulan oral ( warfarin ) dimulai sesudah 7 hari pemberian heparin dengan dosis awal 5 mg / hari. Pemantauan dengan pemeriksaan INR tiap 1-3 hari: target INR 2 - 3. Bila INR < 2: dosis dinaikkan I/2 tablet /hari, bila INR > 3 : dosis diturunkan, bila INR 2 - 3 : dosis dipertahankan
118 Pulmonologi TerapiSuportif • Oksigen • Infus cairan • Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi, atau tanda-tanda gagal jantung akut lain • Vasopresor sesuai indikasi • Anti aritmia sesuai indikasi • Analgetik
KOMPLIKASI Komplikasi emboli paru: gagal napas, gagal jantung kanan akut, hipotensi / syok kardiogenik.Komplikasi diagnostik; reaksi alergi terhadap zat kontrasKomplikasi terapi: perdarahan (termasuk intra-kranial), heparin-induced thrombocytopenia, nekrosis kulit, warfarin embriopati.
PROGNOSIS Malam
WEWENANG • •
RS pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT •
•
RS Pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik, Bedah/ toraks RS non pendidikan: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi
REFERENSI 1. BaharA. Diagnostik Klinik dan Diagnosis Banding Emboli Paru. Prosiding Simposium Cardiovascular Respiratory Immunology: From Pathogenesis to Clinical Application 2003. Jakarta,2003:16-8. 2. Fishman AP. Pulmonaiy Thromboembolic Disease. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, KaiserLR, Senior RM (eds). Fishman's Manual o f Pulmonary Diseases and Disorders. 3"� ed. New York: McGraw-Hill;2002.p. 461-8. 3. Goldhaber SZ. Pulmonary Thromboembolism. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Mauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles o f Internal Medicine. 15'� ed. New York: McGraw-Hill:2001.p. 1508-13. 4. Bahar A. Emboli Paru. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.p. 211-2. 5. Tambunan KL. Deteksi dan Tata Laksana Trombosis Vena Dalam. Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta, 2002:28-33.
119 Panduan Pelayanan Medik PAPDI 6. Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism. N E n g l J Med, July 9,1998:339(2):93~104. 1. Agnelli G. Anticoagulation in the Prevention and Treatment ofPulmonary Embolism. Chest, Jan 1995;107(1):39S-44S. 8. Hyers TM, Agnelli Q Hull RD, Morris TA, Samama M, Tapson V, et al. Antithrombotic Therapy f o r Venous Thromboembolic Disease. Sixth ACCP Consensus Conference on Antithrombotic Therapy. Chest, Jan 2001;119(l):176-93S.
120
2.4 REUMATOLOGI IftRTRITIS
PIRAI
Reumatologi
PENGERTIAN artritis pirai adalah penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal-monosodium urat (MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik.
DIAGNOSIS Kriteria ACR (1977): A. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam cairan sendi, atau B. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam toflis, atau C Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut: 1. Inflamasi maksimal pada hari pertama 2. Serangan artritis akut lebih dari 1 kali 3. Artritis monoartikular 4. Sendi yang terkena berwama kemerahan 5. Pembengkakan dan sakit pada sendi MTP I 6. Serangan pada sendi MTP unilateral 7. Serangan pada sendi tarsal unilateral 8. Tofus 9. Hiperurisemia lO.Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologik 11. Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologik 12. Kultur bakteri cairan sendi negatif
DIAGNOSIS BANDING Pseudogout, artritis septik, artritis reumatoid
P E M E R I K S A � PENUNJANG LED, GRP. Analisis cairan sendi. Asam urat darah dan urin 24 jam. Ureum, kreatinin, CCT. Radiologi sendi.
TERAPI 1. 2.
Penyuluhan Pengobatan fase akut; a. Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi perbaikan inflamasi atau terdapat tanda-tanda toksik atau dosis tidak melebihi 8 mg/24 jam. b. Obat antiiflamasi non-steroid. c. Glukokortikoid dosis rendah bila ada kontraindikasi dari kolkisin dan obat antiinflamasi non-steroid.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI 3.
123
Pengobatan hiperurisemia: a. Diet rendah purin b. Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih), misalnya allopurinol
c.
Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah) Obat antihiperurisemik tidak boleh diberikan pada stadium akut.
KOMPLIKASI
• • •
Tofus Deformitas sendi Nefropati gout, gagal ginjal, batu saluran kencing
PROGNOSIS Bonam
WEWE NANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Rematologi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
124
RaimatolDgi
ARTRITIS REUMATOIP PENGERTIAN
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui.
DIAGNOSIS Kriteria Diagnosis (ACR, 1987)
1. 2. 3.
Kakupagi, sekurangnya 1 jam Artritis pada sekurangnya 3 sendi Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP) dan Proxi¬ mal Interphalanx (PIP) 4. Artritis yang simetris 5. Nodul reumatoid 6. Faktor reumatoid serum positif 7. Gambaran radiologik yang spesifik Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di atas. Kriteria 1-4 hams minimal diderita selama 6 minggu.
DIAGNOSIS BANDING Spondiloartropati seronegatif, sindrom Sjogren
PemeriksaanI penunjang
• • •
•
•
LED, GRP.Faktor reumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian besar kasus (85%), sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan adanya AR. Analisis cairan sendi. Dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit di atas 2.000/ mm� Analisis ini sekaligus digunakan untuk menyingkirkan adanya artropati kristal. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articidar dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondral Biopsi sinovium/nodul reumatoid.
JERAP! •
• • •
Penyuluhan
Proteksi sendi, terutama pada stadium akut Obat antiinlamasi non-steroid Obat remitif (DMARD), misalnya; - Klorokuin dengan dosis 1 x250 mg/hari - Metotreksat dosis 7,5-20 mg sekali seminggu, Salazopirin dosis 3-4 x 500 mg/hari, - Garam emas per oral dosis 3-9 mg/hari, atau subkutan dosis awal 10 g,
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
•
125
dilanjutkan seminggu kemudian dengan dosis 25 mg/minggu, dan dinaikkan menjadi 50 mg/minggu selama 20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai dosis kumulatif2 g.* Glukokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat mungkin, untuk mengatasi keadaan akut atau kekambuhan. Dapat diberikan prednison dengan dosis 20 mg dosis terbagi dan segera tappering off.
•
• •
Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid intraartikular seperti triamcinolon acetonide 10 mg atau metilprednisolon 20-40 mg. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. Operasi untuk memperbaiki deformitas
KOMPLIKASI
• •
Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar) Sindrom terowongan karpal
PROGNOSIS Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Rematologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS pendidikan; Departemen Bedah - Orthopedi RS non pendidikan : Departemen Bedah
126
RaimatDlogi
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK PENGERTIAN Lupus eritematosus sistemik adalah Penyakit autoimun yang ditandai produksi antibodi lerhadap komponen-komponen inti sel yang mengakibaikan manifestasi
klinis yang luas.
DIAGNOSIS Kriteria Diagnosis ACR 1982. Diagnosis ditegakkan bila didapatkan 4 dari 11 kriteria di bawah ini. Ruam malar 2. Ruam diskoid 3. Fotosensitivitas 4, Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Artritis I 6. Serositis (pleuritis atau perikarditis) 7. Kelainan ginjal (proteinuria >0,5g/hari, atau silinder sel) 8. Kelainan neurologi, kejang-kejang atau psikosis. 9. Kelainan hematologi, anemia hemolitik, atau leukopenia, atau limfopenia, atau 1
trombopenia. 10. Kelainan imunologik, sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif, tes serologis untuk sifilis positif palsu. 11. Antibodi antinuklear (ANA) positif.
DIAGNOSIS BANDING Mixed connective tissue disease� sindrom vaskulitis
PEMERIKSAANIPENUNJANG LED,CRP C3danC4 ANA, ENA (anti dsDNA dsb) Coomb test, bila ada AIHA Biopsi kulit
TERAPI • • • • • •
Penyuluhan Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, dan sinar fluoresein Pada manifestasi non-organ vital (kulit, SQn6x,fatigue) dapat diberikan klorokuin 4 mg/kgBB/hari. Bila mengenai organ vital, berikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu, kemudian tapp.iring off Bila terdapat peradangan terbatas pada 1 -2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid intraartikular Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan metilprednison 1 gr/ hari IV selama 3 hari berturut-turut, lalu prednison 40-60 mg/hari per oral 127
Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
•
Bila pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak memuaskan, maka dimulai pemberian imunosupresiflain, misal siklofosfamid 500-1000 mg/m� sebulan sekali selama 6 bulan, kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun Imunosupresan lain yang dapat diberikan adalah azatioprin, siklosporin-A
KOMPLIKASI Anemia hemolitik, trombosis, lupus serebral, nefritis lupus, infeksi sekunder, osteonekrosis
PROGNOSIS Dubia
WEWE NANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS pendidikan: Divisi Alergi, Ginjal, Pulmonologi, Hematologi dan Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin RS non pendidikan: Bagian Kulit-Kelamin
128
Reumatologi
ARTRITIS SEPTIK PENGERTIAN Artritis septik adalah artritis yang disebabkan oleh adanya infeksi berbagai mikroorganisme (bakteri, non-gonokokal)
DIAGNOSIS
• • •
Nyeri sendi akut, umumnya monoartikular Umumnya terdapat penyakit lain yang mendasari Ditemukan bakteri dari kultur cairan sendi
DIAGNOSIS BANDING Artritis gonokokal, bursitis septic
PEMERIKSAAN PE NUNJANG • • • • •
Analisis cairan sendi Pewamaan Gram dan kultur cairan sendi Radiografi sendi yang terserang LED, CRP, leukosit darah Kultur darah, bila ada tanda-tanda sepsis
TERAPI • • • •
Aspirasi cairan sendi Antibiotik berspektrum luas sebelum ada hasil kultur dan diubah setelah hasil kultur diperoleh Drainase sendi yang terinfeksi Indikasi tindakan bedah adalah infeksi koksa pada anak-anak, infeksi mengenai sendi yang sulit dilakukan drainase secara adekuat, terdapat bukti osteomielitis, infeksi berkembang ke jaringan lunak sekitamya
KOMPLIKASI Osteomielitis, sepsis
PROGNOSIS Dubia
WE WENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Bedah - Orthopedi RS non pendidikan : Departemen Bedah
129
130 RaimatDbgi
OSTEOARTRITIS PENGERTIAN Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit)
DIAGNOSIS Osteoartritis sendi lutut: 1. Nyeri lutut, dan
2. Salah satu dari 3 kriteria berikut; a. Usia>50tahun b. Kaku sendi < 30 menit c. Krepitasi + osteofit Osteoartritis sendi tangan: 1. Nyeri tangan atau kaku, dan 2. Tiga dari 4 kriteria berikut: a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III kiri dan kanan, CMC I ki dan ka) b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP c. Pembengkakan pada < 3 sendi MCP d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu Osteoartritis sendi pinggul: 1. Nyeri pinggul, dan 2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut: a. LED <20 mm/jam b. Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum c. Radiologi: terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial)
DIAGNOSIS BANDING Artritis rematoid, artritis gout, artritis septik, spondilitis ankilosa
PEMERIKSA� PE NUNJA NG
• • • •
LED ( pada OA inflamatif, LED akan meningkat) Analisis cairan sendi Radiografi sendi yang terserang Artroskopi
TERAPI • • • •
Penyuluhan Proteksi sendi, terutama pada stadium akut Obat antiinflamasi non-steroid, diantaranya : sodium diklofenak 50 mg t.i.d, piroksikam 20 mg o.d, meloksikam 7.5 mg o.d, dan sebagainya Steroid intraartikular untuk OA inflamasi
Panduan Pelayanan Medik PAPDI • •
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan ortosis Operasi untuk memperbaiki deformitas
KOMPLIKASI Deformitas sendi
PROGNOS I S Dubia
WEWENANG •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam & PPDS Penyakit Dalam
131
•
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Reumatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : Departemen Bedah-Orthopedi RS non pendidikan : Bagian Bedah
132
Reucnatologi
SKLEROSIS SISTEMIK PENGERTIAN Sklerosis sistemik merupakan penyakit kronik yang mengenai berbagai sistem organ dan terutama ditandai dengan penebalan kulit. Penyakit ini dapat difus, terbatas, atau berupa sindrom tumpang tindih.
DIAGNOSIS A-
Kriteria mayor Skleroderma proksimal B. Kriteria minor
1. Sklerodaktil 2. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari 3. Fibrosis basal di kedua paru Diagnosis ditegakkan bila didapat 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor atau lebih
DIAGNOSIS BANDING Mixed Connective Tissue Disease
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
• • • •
LED, CRP.Peningkatan hasil menunjukkan proses inflamasi aktif ANA, anti topo-1 (Scl-70), antibody antisentromer, anti SS-A, anti SS-B, anti RNP. Diharapkan hasil tersebut positif, terutama anti-topoisomerase 1, RNA polymerase I,III, dan U3 RNP Radiologi tangan, toraks. Uji fungsiparu Ureum dan kreatinin Biopsi kulit
TERAPI Penyuluhan dan dukungan psikososial • Proteksi terhadap suhu dingin untuk mengatasi fenomena Raynaud. • Bila terdapat ulkus atau gangren, harus dirawat dengan baik dan diberikan antibiotik yang adekuat. • Dapat dicoba D-penisilamin 3x250 mg. Bila gagal dapat dicoba DMARD lain seperti metotreksat. • Bila didapatkan gangguan gastrointestinal, dapat diberikan antagonis, omeprazol, dan obat-obat prokinetik • Pada keadaan krisis renal, dapat diberikan kaptopril. Bila fungsi ginjal memburuk, dapat dilakukan dialisis, • Pada pneumonitis, dapat diberikan glukokortikoid atau siklofosfamid.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
133
KOMPLIKASI Hipertensi yang tidak terkontrol, krisis renal, pneumonitis, refluks esofagitis, divertikulosis
PROGNOSIS Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Daiam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Rematologi
•
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi Alergi, Ginjal, Pulmonologi, Hematologi dan Departemen Ilmu Kulit kulit-kelamin RS non pendidikan: Bagian Kulit-Kelamin
134
=
2.5
TROPIKINFEKSI
TropiklnfeksL
PEMAM IBERDARAH DENGUE PENGERTIAN Demam Berdarah Dengue menipakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk demam berdarah dengue (DBD)
DIAGNOSIS Kriteria diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memenuhi; • Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik • Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini: - Uji torniquet positif (>20 petekie dalam 2,54 cm�) - Petekie, ekimosis, atau purpura - Perdarahan mukosa, saluran cema, bekas suntikan, atau tempat lain - Hematemesis atau melena • Trombositopenia (<100.000/mm�) • Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage: - Hematokrit meningkat >20% dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin, dan populasi yang sama - Hematokrit turun hingga >20% dari hematokrit awal, setelah pemberian cairan - Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites, dan hipoproteinemia Derajat I ; Demam disertaigejalakonstitusional yang tidakkhas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji torniquet positif dan/atau mudah memar n Derajat I disertai perdarahan spontan ni : Terdapat kegagalan sirkulasi: nadi cepat dan lemah atau hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah IV : Renjatan: tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III dan IV digolongkan dalam sindrom renjatan dengue
DIAGNOSIS BANDING Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia
pEMERIKSAANi P E NUNJANG Hb, Ht, lekosit, trombosit, serologi dengue
TERAPI Nonfarmakologis: tirah baring, makanan lunak Farmakologis: • Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam • Tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiran protokol tatalaksana DBD - Cairan intravena; Ringer Laktat atau ringer asetat 4-6 jam/kolf Koloid/plasma ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan
Panduan Pelayanan Medik PAPDI -
137
Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III atau IV dengan koagulasi intravaskular diseminata (KID)
KOMPLIKASI Renjatan, perdarahan, KID
PROGNOSIS Bonam
WE WEN ANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
RS pendidikan: Divisi Hematologi-Onkologi Medik, PMI
138 TropikMeksi
DEMAM TIFOID PENGERTIAN Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella partatyphi
DIAGNOSIS
•
•
•
Anamnesis: demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/ malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare. Pemeriksaan Fisis: febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1 °C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia). Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal, aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis.Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagno¬ sis.
Hepatitis Tifosa Bila memenuhi 3 atau lebih kriteria Khosla (1990) : hepatomegali, ikterik, kelainan laboratorium (antara lain; bilirubin >30,6 umol/1, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks FT), kelainan histopatologi. Tifoid Karier Ditemukannya kuman Salmonella typhi dalam biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid.
DIAGNOSIS BANDING Infeksi virus, malaria
PEMERIKSA�PENUNJANG Darah perifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu)
TERAPI Nonfarmakologis: tirah baring, makanan lunak rendah serat Farmakologis: • Simtomatis • Antimikroba: - Pilihan utama: Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
139
Altematiflain: - Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan kloramfenikol) - Kotrimoksazol 2x2 tablet selama 2 minggu Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu - Sefalosporin generasi III; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama 'A jam per-inflis sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2 x 1 gram - Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV): - Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari - Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari - Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari - Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari - Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari •
• •
Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg. Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, renjatan septik. Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami renjatan septik dengan dosis 3x5 mg
Kasus tifoid karier: • Tanpa kolelitiasis -> pilihan rejimen terapi selama 3 bulan: - Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari - Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari - Kotrimoksazol 2x2 tablet/hari • Dengan kolelitiasis -> kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari atau kolesistektomi + salah satu rejimenberikut: - Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari - Norfloksasin 2 x 400 mg/hari • Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada traktus urinarius -> eradikasi Schistosoma haematobium: - Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau - Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu Setelah eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas Perhatian: Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimoksazol tidak boleh digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester I. Obat yang dianjurkan golongan beta laktam: ampisilin, amoksisilin, dan sefalosporin generasi III (seftriakson)
140
TropiklnfeksL
KOMPLIKASI Intestinal: perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis. Ekstra-intesdnal: kardiovaskular (kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosls, iromboflebilis), hematologik (anemia hemolitik, trombosilopenia, KID), paru (pneu¬ monia, empiema, pleurilis), hepatobilier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis» pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondi litis, artritis), neuropsikiatrik{ioksik lifoid)
PROGNOSIS Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat, prognosis meragukan/buruk
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Bedah digestif RS non pendidikan: Departemen Bedah
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
141
LEPTOSPIROSIS PENGERTIAN Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili Leptospiraceae
DIAGNOSIS
• • •
Anamnesis: demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare. Pemeriksaan Fisis: injeksi konjungtiva, ikterik, fotofobia, hepatomegali, splenomegali, penurunan kesadaran Laboratorium; dapat ditemukan leukositosis, peningkatan amilase, lipase, dan CK, gangguan fiingsi had, gangguan fungsi ginjal. Serologi leptospira positif (titer > 1 /100 atau terdapat peningkatan >4 kali pada titer ulangan)
DIAGNOSIS BANDING Hepatitis tlfosa, ikteru�obstruktif, malaria, kolangitis, hepatitis flilminan
PemeriksAan] penunjang DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amilase, lipase, serologi leptospira MAT ( mikoaglutinasi test)
TERAPI Nonfarmakologis Tirah baring, makanan/cairan tergantung pada komplikasi organ yang terlibat Parmakologis • Simtomatis • Antimikroba pilihan adalah pilihan utama: Penisilin G 4 x 1,5 juta unit selama 5-7 hari. altematifnya tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III, fluorokuinolon
KOMPLIKASI Gagal ginjal, pankreatitis, miokarditis, perdarahan masif, meningitis aseptik
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
142 Tropiklnfieksi
UNIT YANG M EN A N G A N I
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT T E R K A IT
• •
RS pendidikan : Divisi ginjal-hipertensi RS non pendidikan : -
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
143
SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK PENGERTIAN
• •
•
Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi. Renjatan (syok) septik: sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS <90 mmHg atau penurunan >40 mmHg dari TD awal, tanpa adanya obatobatan yang dapat menurunkan TD Sepsis berat :gangguan fungsi organ atau kegagalan flingsi organ termasuk penurunan kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik
DIAGNOSIS SEPSIS SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut: • Suhubadan>38°C atau<36°C • Frekuensi denyut jantung >90x/menit • Frekuensi pemapasan >24x/menit atau PaCO� <32 • Hitung leukosit > 12.000/mm� atau <4.000/nini\ atau adanya >10% sel batang 2. Ada fokus infeksi yang bermakna 1,
DIAGNOSIS BANDING Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit, kultur darah dan infeksi fokal (urin, pus, sputum, dll) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti mikroba, foto toraks
TERAPI • •
Eradikasi fokus infeksi Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman penyebab, profll antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati
Antimikroba deflnitif diberikan bila hasil kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme • Suportif: resusitasi ABC, oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya - Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respons klinis (respons terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan perbaikan kesadaran) dan perlu diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan tekanan vena jugularis, ronki, galop S�, dan 144 TrqjiklrifeksL penurunan saturasi oksigen).
Sebaiknya dievaluasi dengan CVP
-
-
-
(dipertahankan 8-12 mm Hg), dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori perhari. Oksigenasi sesuai kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang progresif, hiperkapnia, gangguan neurologis, atau kegagalan otot pemapasan Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk mencapai tekanan darah sistolik >90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dipertahankan >30 ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis >8 |ig/kgBB/menit, norepinefrin 0,03-1,5 |ig/kgBB /menit, fenilefrin 0,5-8 |ig/kgBB/menit, atau epinefrin 0,1-0,5 �g/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti dobutamin dengan dosis 2-28 �ig/kgBB/menit, dopamin 3-8 mcg/kgBB/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinondanmilrinon). Transfusi komponen darah sesuai indikasi Koreksi gangguan metabolik: elektrolit, gula darah, dan asidosis metabolik (secara empiris dapat diberikan bila pH<7,2 atau bikarbonat serum <9 mEq/1, dengan disertai upaya perbaikan hemodinamik) Nutrisi yang adekuat Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis 100 lU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 lU/ kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya
KOMPLIKASI Gagal napas, gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel
PROGNOSIS Dubia ad malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi pulmonologi, ginjal-hipertensi, hematologi-onkologi, dan medical high care / ICU RS non pendidikan: ICU
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
FEVER OF UNKNOWN ORIGIN
145
PENGERTIAN
•
•
•
•
•
•
•
Fever of Unknown Origin (FUO) klasik adalah demam >38,3°C selama lebih dari 3 minggu, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab; infeksi, neoplasma, penyakit kolagen dan vaskular FUO pada pasien HIV adalah demam >38,3°C selama 4 minggu atau lebih pada pasien rawat jalan atau minimal 4 hari pada pasien yang dirawat dengan hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi. Penyebab: infeksi, obat, sarkoma, limfoma FUO pada pasien netropenia (jumlah lekosit PMN<500/mm�)adalah demam >38,3°C, dalam 3 hari perawatan pertumbuhan mikroorganisme masih negatif dari dugaan fokus infeksi. Penyebab: infeksi FUO pada geriatri adalah demam >38,3°C, dalam 3 hari perawatan atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan belum dapat ditentukan penyebab dari demam. Penyebab: neoplasma, penyakit kolagen, infeksi FUO pada pasien pediatri (usia
38,3°C selama lebih dari 8 hari, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab: infeksi, penyakit kolagen, neoplasma FUO pada pasien nosokomial demam >38,3°C timbul pada pasien yang dirawat di RS dan pada saat mulai dirawat serta pada masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi, penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi. Penyebab: infeksi FUO iatrogenik adalah demam >38,3°C akibat penggunaan obat: penisilin, sefalosporin, sulfonamida, atropin, fenitoin, prokainamida, amfoterisin, inter¬ feron, interleukin, rifampisin, INH, makrolida, klindamisin, vankomisin, aminoglikosida, allopurinol
DIAGNOSIS Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis: • riwayat penyakit secara terperinci: pola demam, ada tidaknya infeksi saluran napas atas, infeksi saluran napas bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit pinggang, diare, abses atau radang tonsil dan otot, nyeri dan pembengkakan sendi, atau tanpa kelainan spesifik • riwayat pekerjaan, perjalanan, kontak dengan orang sakit atau hewan, trauma fisik atau bedah, obat-obatan (termasukrokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit pasien, kelenjar getah bening, lubang orifices pasien Laboratorium: sesuai mikroorganisme dan organ terkait
DIAGNOSIS BANDING Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat
146 TropikMeksi
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG Pemeriksaan hematologi, kimia darah, UL, mikrobiologi, imimologi, radiologi, EKG, biopsi jaringan tubuh, pencitraan, sidikan {scanning), endoskopi/peritoneoskopi,
angiografi, limfografi, tindakan bedah (laparatomi percobaan), ujipengobatan
TERAPI • •
Simtomatis Uji terapeutik dengan antibiotika, kortikosteroid, atau obat antiinflamasi non¬ steroid tidak dianjurkan kecuali bila penyakit progresif dan potensial fatal sehingga terapi empirik diperlukan
KOMPLIKASI Sepsis, renjatan sepsis
P RO GN OS I S Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan; Divisi pulmonologi, hematologi-onkologi. RS non pendidikan: -
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
MALARIA PENGERTIAN
147
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium falsiparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, stiau Plasmodium malahae dan ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles
DIAGNOSIS Anamnesis: riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah endemik malaria, trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian timbul keringat yang banyak; pada daerah endemik malaria, trias malaria mungkin tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama) Pemeriksaan Fisis: konjungtivapucat, sklera ikterik, splenomegali Laboratorium: sediaan darah tebal dan tipis ditemukan Plasmodium, serologi ma¬ laria (+) [sebagai penunjang] Malaria berat: ditemukannya P falciparum dalam stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala berikut; 1. Malaria serebral: koma dalam yang tak dapat/sulit dibangunkan dan bukan disebabkan oleh penyakit lain 2. Anemiaberat(normositik)padakeadaanhitungparasit>10.000/ul; (Hb<5 g/dl atau hematokrit < 15%) 3. Gagal ginjal akut (urin <400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mg/dl) 4. Edema "pdju!acute respiratory distress syndrome (ARDS) 5. Hipoglikemia (gula darah <40 mg/dl) 6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70 mmHg, disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa > 1 °C) 7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cema, dan/atau disertai gangguan koagulasi intravaskular 8. Kejang berulang lebih dari 2 kali dalam 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia 9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mEq/1) 10. Hemoglobinuria makroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek sampihg obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD) 11. Diagnosis pasca-kematian dengan ditemukannya P. Falciparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan otak Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis daerah setempat: 1. Gangguan kesadaran 2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan) 3. hiperparasitemia >5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria 4. Ikterus (bilirubin >3 mg/dl)5.Hiperpireksia (suhu rektal >40°C) 148 TropiklnfeksL
DIAGNOS IS I BANDING |nfeksi|virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, ensefalitis
PEMERIKSAAN] PENUNJANG Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati,
gula darah, UL, AGD, elektrolit, hemostasis, rontgen toraks, EKG
JERAPI 1
Infeksi E, vivax atau P, ovale a. Daerah sensitifklorokuin: Klorokuin basa 150 mg: Hari 1:4 tablet+ 2 tablet (6jamkemudian), Hari II dan III; 2 tablet atau Hari I dan II: 4 tablet, Hari III: 2 tablet Terapi radikal: ditambah primakuin 1x15 mg selama 14 hari. Bila gagal dengan terapi klorokuin, kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari b.
Daerah resisten klorokuin Kina 3 x 400-600 mg selama 7 hari Terapi radikal: ditambah primakuin 1x15 mg selama 14 hari EL Infeksi R ringan/sedang, infeksi campur/? falciparum vivax • Artemisin Hari 1:4 tablet (200 mg) Hari II; 4 tablet (200 mg) Hari III: 4 tablet (200 mg) • Amodiaquin Hari 1:4 tablet (600 mg) Hari II: 4 tablet (600 mg) Hari III: 2 tablet (600 mg) • Klorokuin basa 150 mg: Hari 1:4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian), Hari H: 2 tablet Hari HI; 2 tablet atau Hari 1:4 tablet Hari II; 4 tablet Hari HI: 2 tablet • Bila perlu ditambah terapi radikal: ditambah primakuin 45 mg (3 tablet) (dosis tunggal); infeksi campur: primakuin 1x15 mg selama 14 hari->bila resisten dengan pengobatan tersebut: SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari in. Malaria berat • Artesunate iv/im 2,4 mg/kgBB diberikan pada jam ke-0, 12,24, dilanjutkan satu kali per hari.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
•
149
Drip kina HCl 500 mg (10 mg/kgBB) dalam 250-500 ml D5% diberikan dalam 68 jam (maksimum 2000 mg) dengan pemantauan EKG dan kadar gula darah tiap 8-12 jam sampai pasien dapat minum obat per oral atau sampai hitung parasit malaria sesuai target (total pemberian parenteral dan per oral selama 7 hari dengan dosis peroral 10 mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali sehari) Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan dengan tetrasiklin 94 mg/
kgBB diberikan 4 kali sehari atau doksisiklin 3 mg/kgBB sekali sehari Perhatian SP tidakboleh diberikan padabayi dan ibuhamil Primakuin tidakboleh diberikan pada ibu hamil, bayi, dan penderita defisiensi G6PD. Klorokuin tidakboleh diberikan dalam keadaan perut kosong. Pada pemberian kina parenteral, bila obat sudah diterima selama 48 jam tetapi belum ada perbaikan dan atau terdapat gangguan flingsi ginjal, maka dosis selanjutnya diturunkan sampai 30-50%. Kortikosteroid merupakan kontraindikasi pada malaria serebral. Pemantauan pengobatan: hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada H1 50% HO dan H3 <25% HO. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut. Pencegahan: klorokuin basa 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg/minggu diminumtiap minggu sejak 1 minggu sebelum masuk daerah endemik sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemik atau doksisiklin 1,5 mg/kgBB/hari dimulai 1 (satu) hari sebelum pergi ke daerah endemis malaria hingga 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemis
KOMPLIKASI Malaria berat, renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut
PROGNOSIS Malaria falsiparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam. Malaria berat: dubiaadmalam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi RS non pendidikan: Bagian llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS pendidikan: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Pulmonologi dan Departemen Neurologi RS non pendidikan : Bagian Neurologi
150
TropikliifeksL
INTOKSIKASI OPIAT PENGERTIAN Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat yaitu morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan
DIAGNOSIS
•
•
•
Anamnesis: informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada Pemeriksaan Fisis: pupil miosis-/?/� point pupil, depresi napas, penurunan kesadaran, nadi lemah, hipotensi, tanda edema paru, needle track sign, sianosis, spasme saluran cema danbilier, kejang Laboratorium: opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi
DIAGNOSIS BANDING Intoksikasi obat sedatif; barbiturat, benzodiazepin, etanol
PEMERIKSAAN PENUNJANG Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks
TERAPI Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C {airway, breathing, circulation) dengan memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan jalan napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan sesuai kebutuhan. B. Pemberian antidotnalokson 1. Tanpa hipoventilasi: dosis awal diberikan 0,4 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan 2. Dengan hipoventilasi: dosis awal diberikan 1-2 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan 3. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg intravena tiap 5 - 1 0 menit hingga timbul respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pemapasan, dilatasi pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang, 4. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6 jam 5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks 6. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila: pemapasan tak adekuat setelah pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal 7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik,
A-
151
Panduan Pelayanan Medik PAPDI bila diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada intoksikasi opiat oral 8. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan 240 ml cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram 9. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-10 mg dan dapat diulang bilaperlu
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.
KOMPLIKASI Aspirasi, gagal napas, edema paru akut
PROGNOSIS Dubia
WE WENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi dan Departemen Psikiatri, Departemen Anestesi/ICU RS non pendidikan: Bagian Psikiatri
152
Tropiklnfeksi
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT PENGERTIAN Intoksikasi organofosfat merupakan intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat
DIAGNOSIS
• • •
Anamnesis: riwayat minum/kontak dengan zat yang mengandung organofosfat, muntah Pemeriksaan Fisis: bradikardia, pupil miosis, penurunan kesadaran, tanda-tanda aspirasi Laboratorium: pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat
PEMERIKSAAN P E NUNJANG DPL, elektrolit, rontgen toraks, EKG, pemeriksaan organofosfat
TERAPI • •
Bilas lambung melalui NGT Atropinisasi
KOMPLIKASI Gagal napas, blok AV
PROGNOSIS Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi Pulmonologi, Psikosomatik RS non pendidikan: Bagian Psikiatri
153
2.6 GINJAL HIPERTENSI
GinjalHipeitensi
PENYAKIT GINJAL KRONIK PENGERTIAN Kriteria penyakit ginjal kronik adalah: 1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), berdasarkan: • kelainan patologik atau • petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan 2. LFG <60 ml/menit/1,73 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
DIAGNOSIS • • •
Anamnesis: lemas, mual, muntah, sesak napas, pucat, BAK berkurang Pemeriksaan Fisis; anemis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru' Laboratorium: gangguan fungsi ginjal
Batasan dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik LFG (ml/menit/1,73 m�)
>90 60-89 30-59 15-29 <15 (atau dialisis)
Dengan Kerusakan _Ginjal_ Dengan Tanpa hipertensi Hipertensi 1 1 2 2
3 4 5
Tanpa Kerusakan Ginjal Dengan hipertensi
Tanpa Hipertensi
Hipertensi Hipertensi
'Normal'
3 4 5
+ iL F G
3 4 5
diagnosis! b a n d i n g Gagal ginjal akut
Pe meriksaan! penunjang DPL, ureum, kreatinin, UL, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, elektrolit (Na, K, CI, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat senun, gula darah, AGD, SI, TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG, ekokardiografi, biopsi ginjal, HBsAg,
iLFG
3 4 5
AntiHCV,AntiHIV.
TERAPI Nonfarmakologis: • Pengaturan asupan protein:
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
157
-
• • • • • • • • • • •
pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien - pasien hemodialisis 1 -1,2 gram/kgBB ideal/hari pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari Pengaturan asupan kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total Garam (NaCl); 2-3 gram/hari Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari Fosfor: 5-lOmg/kgBB/hari. Pasien HD: 17mg/hari Kalsium: 1400-1600 mg/hari Besi: 10-18 mg/hari Magnesium: 200-300 mg/hari Asam folat pasien HD: 5 mg Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml {insensible water loss), Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan berat badan di antara waktu HD <5% BB kering.
Farmakologis: • Kontrol tekanan darah: Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II - > evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan - Penghambat kalsium Diuretik • Pada pasien DM, kontrol gula darah -> hindari pemakaian metformin dan obatobat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbAlC untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6% • Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl • Kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat • Kontrol osteodistrofi renal: Kalsitriol • Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO� 20-22 mEq/1 • Koreksi hiperkalemi • Kontrol dislipidemia dengan target LDL< 100 mg/dl, dianj urkan golongan statin • Terapi ginjal pengganti
KOMPLIKASI Kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan elektrolit, osteodistrofi renal, anemia
PROGNOSIS Dubia
158
GinjalHipertensi
WEWENANG • • •
RS pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Hemodialisis ; wewenang Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi hemodialisis
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal-Hipertensi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT T ERKAIT • •
RS pendidikan: Unit Hemodialisis, ICU / Medical High Care, Departemen Bedah Urologi RS non pendidikan: Unit hemodialisis, ICU
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
159
SINDROM NEFROTIK PENGERTIAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24 jam/1,disertai liipoalbuminemia, edema anas�a, fifpernpidemii*,lipldm hiperkoagMlabiliias.
DIAGNOSIS • • •
Anamnesis: benukak seluruh lubuh, buang air kecil kcruh Pcmeriksaan edema anasarka, asites Laboratorium: proteinuria masif >3,5 gram/24 jam/1,73 m�, hiperlipidemia, hipoalbuminemia (<3,5 gram/dl), lipiduria, hiperkoagulabilitas. Diagnosis etiologi berdasarkan bj.opsi.,giajal
DIAGNOSIS BANDING Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG Urinalisis, ureum, kreatinin, tes fungsi hati, profil lipid, DPL, elektrolit, gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, protein urin kuantitatif
TERAPI Nonfarmakologis: • Istirahat • Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam • Diet rendah kolesterol <600 mg/hari • Berhenti merokok • Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema Farmakologis: • Pengobatan edema: diuretik loop • Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE dan/atau antagonis reseptor Angiotensin II • Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin • Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah <125/75 mmHg. Penghambat ACE dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama • Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular)
KOMPLIKASI Penyakit ginjal kronik, tromboemboli
160 Ginjalffipertensi
PROGNOSIS Tergantung jenis kelainan glomerular
WEWENANG • •
RS pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal-Hipertensi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomik RS non pendidikan: -
•�.0-0
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
161
Fenyakit glomerular PENGERTIAN Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau sekunder. Penyakit glomerular primer: 1. Kelainan minimal 2. Glomerulosklerosis fokal segmental 3. Glomerulonefritis (GN) difiis: a. GN membranosa (nefropati membranosa) b. GN proliferatif (terdapat sedimen aktif pada urinalisis: sedimen eritrosit (+), hematuri); - GN proliferatifmesangial GN proliferatif endokapiler GN membranoproliferatif (mesangiokapiler) GN kresentik dan necrotizing c. GN sclerosing 4. Nefropati IgA Penyakit glomerular sekunder: 1. Nefropati diabetik 2. Nefritis lupus 3. GN pasca infeksi 4. GN terkait hepatitis 5. GN terkait HIV Keterangan: • Difus: lesi mencakup >80% glomerulus. • Fokal: lesi mencakup <80% glomerulus. • Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus. • Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus.
DIAGNOSIS Manifestasi klinis penyakit glomerular dapat berupa: 1. Sindromnefrotik 2. Hematuria persisten 3. Proteinuria persisten 4. Sindrom nefritik (hipertensi, hematuria, azotemia) 5. Rapidprogressive glomerulonephritis (RPGN)
DIAGNOSIS BANDING Etiologi dari penyakit glomerular
162 GinjalHipertensL
Femeriksaaim] penunjang Urinalisis, ureum, kreatinin, protein urin kuantitatif/24 jam, pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, gula darah, tes flingsi hati
TERAPI Sesuai etiologi, penyakit glomerular primer: 1. l�lainan minimal: • Steroid yang setara dengan prednison 60 mg/m� (maksimal 80 mg) selama 46 minggu • Setelah 4-6 minggu dosis prednison diberikan 40 mg/m� selang sehari selama 4-6 minggu - Bila terjadi relaps: dosis prednison kembali 60 mg/m� (maksimal 80 mg) setiap hari sampai 3 hari bebas protein dalam urin, kemudian kembali selang sehari dengan dosis 40 mg/m� selama 4 minggu - Bila sering relaps ( > 2 kali ): prednison selang sehari ditambah dengan siklofosfamid 2 mg/kgBB atau klorambusil 0,15 mg/kgBB selama 8 minggu. Bila gagal, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan - Bila tergantung steroid (relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 2 minggu pasca obat sudah dihentikan, 2 kali berturut-turut): siklofosfamid 2 mg/kgBB selama 8-12 minggu. Bila gagal, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan Bila resisten terhadap steroid, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan 2.
iGlomerulonefritisfokallsegmental: • Steroid yang setara dengan prednison 60 mg/hari selama 6 bulan. - Bila resisten atau tergantung steroid: siklosporin 5 mg/kgBB selama 6 bulan - Bila terjadi remisi, dosis siklosporin diturunkan 25% setiap dua bulan - Bila gagal, siklosporin dihentikan
3,
Nefropati membranosa: • Metil prednisolon bolus intravena 1 gram/hari selama 3 hari • Kemudian diberikan steroid yang setara dengan prednison 0,5 mg/kgBB/ hari selama 1 bulan lalu diganti dengan klorambusil 0,2 mg/kgBB/hari atau siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari selama 1 bulan • Prosedur kedua diulang kembali sampai seluruhnya dari prosedur kedua sebanyak 3 kali
4.
Glomerulonefritismembranoproliferatif ♦ Steroid tidak terbukti efektif pada pasien dewasa. • 325 Dianjurkan pemberian aspirin mg/hari atau dipiridamol 3 x 75-100 mg/hari atau kombinasi keduanya selama 12 bulan. Bila dalam 12 bulan tidak memberikan respon, pengobatan dihentikan sama sekali
5.
Nefropati IgA • Bila proteinuria < 1 gram, hanya observasi • Bila proteinuria 1-3 gram, dengan fungsi ginjal normal, hanya observasi. Bila dengan gangguan fungsi ginjal, diberikan minyak ikan 163
Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
•
Bila proteinuria >3 gram dengan CCT >70 ml/menit, diberikan steroid yang setara dengan prednison 1 mg/kgBB selama 2 bulan lalu tappering off secara perlahan sampai dengan 6 bulan. Bila CCT<70 ml/menit, hanya diberikan minyak ikan Suplementasi kalsium selama terapi dengan steroid
KOMPLIKASI Penyakit ginjal kronik
PROGNOSIS Tergantung jenis kelainan glomerular
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal-Hipertensi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : Departemen Patologi Anatomik RS non pendidikan : -
164
GinjalHipertensi
GAGAL GINJAL AKUT PENGERTIAN Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindrom yang ditandai oleh penunman laju filtrasi glomerulus secara mendadak dan cep�(hitungan jam-minggu) yang mengakibatkan terjadinya retensi produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreatinin. Peningkatan kreatinin serum 0,5 mg/dl dari nilai sebelumnya, penurunan CCT hitung sampai 50% atau penurunan fungsi ginjal yang mengakibatkan kebutuhan akan dialisis.
DIAGNOSIS Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan GGA: 1. Pre-renal: akibat hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan, penurunan curah jantung dan hipotensi oleh sebab lain) 2. Renal; akibatkerusakanakutparenkim ginjal (obat, zat kimia/toksin, iskemi ginjal, penyakit glomerular) 3. Post-renal: akibat obstruksi akut traktus urinarius (batu saluran kemih, hipertrofi prostat, keganasan ginekologis) Fase gagal ginjal akut adalah anuri�(produksi urin<100 mg/24jam), oliguria (produksi urin <400 ml/24 jam), poliuria (produksi uiin >3,500 ml/24 jam)
DIAGNOSIS BANDING Episode akut pada penyakit ginjal kronik
PEMERIKSAAN P E NUNJANG Tes fungsi ginjal, DPL, urinalisis elektrolit, AGD, gula darah
TERAPI •
Asupan nutrisi - Kebutuhan kalori 30 Kal/kgBB ideal/hari pada GGA tanpa komplikasi; kebutuhan ditambah 15-20% pada GGA berat (terdapat komplikasi/stres) - Kebutuhan protein 0,6-0,8 gram/kgBB ideal/hari pada GGA tanpa komplikasi; 1-1,5 gram/kgBB ideal/hari pada GGA berat - Perbandingan karbohidrat dan lemak 70:30 Suplementasi asam amino tidak dianjurkan • Asupan cairan - > tentukan status hidrasi pasien, catat cairan yang masuk dan keluar tiap hari, pengukuran BB setiap hari bila memungkinkan, dan pengnkuran tekanan vena sentral bila ada fasilitas. Hipovolemia: rehidrasi sesuai kebutuhan - Bila akibat perdarahan diberikan transflisi darah PRC dan cairan isotonik, hematokrit dipertahankan sekitar 30% - Bila akibat diare, muntah, atau asupan cairan yang kurang dapat diberikan cairan kristaloid - Normovolemia: cairan = seimbang {input output) - Hipervolemia: restriksi cairan {input < output) 165 Panduan Pelayanan Medik PAPDI
-
Fase anuria/oliguria: cairan seimbang; Fase poliuria; 2/3 dari cairan yang keluar Dalam keadaan insensible water loss yang normal, pasien membutuhkan 300500 ml electrolyte free water perhari sebagai bagian dari total cairan yang
diperlukan - Koreksi gangguan asam basa - Koreksi gangguan elektrolit: Asupan kalium dibatasi <50 mEq/hari. Hindari makanan yang banyak mengandung kalium, obat yang mengganggu ekskresi kalium seperti penghambat ACE dan diuretik hemat kalium, dan cairan/nutrisi parenteral yang mengandung kalium Bila terdapat hipokalsemia ringan diberikan koreksi per oral 3-4 gram per hari dalam bentuk kalsium karbonat, bila sampai timbul tetani, diberikan kalsium glukonas 10% IV Bila terdapat hiperfosfatemia, diberikan obat pengikat fosfat seperti alu¬ minium hidroksida atau kalsium karbonat yang diminum bersamaan dengan makan - Pemberian furosemid bersamaan dengan dopamin dapat membantu pemeliharaan fase nonoligurik, tapi terapi harus dihentikan bila tidak memberikan hasil yang diinginkan - Indikasi dialisis: - Oliguria - Anuria - Hiperkalemia (K >6,5 mEq/1) Asidosis berat (pH <7,1) - Azotemia (ureum >200 mg/dl) - Edema paru Ensefalopati uremikum Perikarditis uremik - Neuropati/miopati uremik - Disnatremia berat (Na > 160 mEq/1 atau <115 mEq/1) -
Hipertermia Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracunan)
KOMPLIKASI Gangguan asam basa dan elektrolit, sindrom uremik, edema paru, infeksi
PROGNOSIS Dubia ad bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam Hemodialisis: wewenang Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi hemodialisis
166 GinjalHpertensi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal-Hipertensi, Unit hemodialisis RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam , unit Hemodialisis
UNIT TERKAIT
•
RS pendidikan: ICU, unit dialisis Klasifikasi
Normal Pre-hipertensi Hipertensi stage 1 Hipertensi stage 2
TD sistolik (mmHg) <120 120-139 140-159 >160
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
dan atau atau atau
•
TD diastolik (ramHu) <80 80-89 90-99 >100
RS non pendidi kan: -
167
HIPERTENSI P E N G E RTIA N Hipertensi adalah keadaaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat antihipertensi. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee VII:
/ -
)
Diagnosis • Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuffyang meliputi minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahat 5 menit. • Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5 • Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan pembuluh darah perifer • Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll) • Faktor risiko kardiovaskular: Hipertensi Merokok Obesitas (IMT>30) Inaktivitas fisik - Dislipidemia
Diabetes melitus Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit Usia (laki-laki >55 tahun, perempuan >65 tahun) Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki <55 tahun atau perempuan <65 tahun) Kerusakan organ sasaran: - Jantung: hipertrofi ventrikel kiri, angina atau riwayat infark miokard, riwayat revaskularisasi koroner, gagal jantung Otak: strok atau transient ischemic attack (TIA) - Penyakit ginj al kronik - Penyakit arteri perifer - Retinopati Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi; sleep apnea, akibat obat atau
•
•
168 GinjalHipertensi
berkaitan dengan obat, penyakit ginjal kronik, aldosteronisme primer, penyakit renovaskular, terapi steroid kronik dan sindrom Cushlng, feokromositoma, koarktasi aorta, penyakit tiroid atau paratiroid
DIAGNOSIS BANDING Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri, peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll
PEMERIKSAAN PENUNJANG tes fungsi ginjal, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; Sesuai penyakit penyerta; asam urat, aktivitas renin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi
Urinalisis, Berulang__
TERAPI •
•
•
•
Modifikasi gaya hidup dengan target tekanan darah < 140/90 mmHg atau <130/ 80 pada pasien DM atau penyakit ginjal kronis. Bila target tidak tercapai maka diberikan obat inisial. Obat inisial dipilih berdasarkan: 1. Hipertensi tanpa compelling indication a. Pada hipertensi stage I dapat diberikan diuretik. Pertimbangkan pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor beta, penghambat kalsium., atau kombinasi. b. pada hipertensi stage II dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik, tiazid dan penghambat ACE atau antagonis reseptor All atau penyekat reseptor beta atau penghambat kalsium. 2. Hipertensi dengan compelling indication. Lihat tabel petunjuk pemilihan obat pada compelling indication. Obat antihipertensi lain dapat diberikan bila dibutuhkan misalnya diuretik, antagonis reseptor All, penghambat ACE, penyekat reseptor beta, atau penghambat kalsium. Bila target tidak tercapat maka dilakukan optimalisasi dosis atau ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai. Pertimbangkan untuk berkonsultasi pada spesialis hipertensi. Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor All: evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan Kondisi khusus lain: - Obesitas dan sindrom metabolik (terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang laki-laki >102 cm atau perempuan >89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa >110 mg/dl, tekanan darah minimal 130/ 85 mmHg, trigliserida tinggi >150 mg/dl, kolesterol HDL rendah <40 mg/dl pada laki-laki atau <50 mg/dl pada perempuan) - > modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi utama golongan penghambat ACE. Pilihan lain adalah antagonis reseptor All, penghambat kalsium, dan penghambat a - Hipertrofi ventrikel kiri - > tatalaksana tekanan darah yang agresif termasuk penurunan berat badan, restriksi asupan natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi kecuali vasodilator langsung, hidralazin danminoksidil 169
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
Petunjuk pemilihan obat pada compelling indications Risiko Tinggi
Diuretik
dg compelling indication V
Reseptor p
Penyekat
Penghambat ACE
Reseptor AH
V
V
�
V
V
Gagal Jantung Pasca Infark Miokard Risiko Tinggi
V
V
V
Peny. Koroner DM
V
V
V
Penyakit Ginjal Kronik Pcncegahan Stroke
�
-
-
Antagonis
Penghambat Kalsium
Antagonis Aldosteron V %/
V V
V
V V
V
Penyakit arteri perifer - > semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko pemberian aspirin Lanjut usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi -> diuretika (tiazid) sebagai lini pertama, dimulai dengan dosis rendah 12,5 mg/hari. Penggunaan obat antihipertensi lain dengan mempertimbangkan penyakit penyerta Kehamilan ->pilihan terapi adalah golongan metildopa, penyekat reseptor P, antagonis kalsium, dan vasodilator. Penghambat ACE dan antagonis reseptor All tidak boleh digunakan selama kehamilan.
KOMPLIKASI Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis pembuluh darah, retinopati, strok atau TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung ,
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG • •
X \W
'
"
�
�
-
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam ~ Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: ICCU, Departemen mata, Neurologi RS non pendidikan : ICCU / ICU, Departemen mata, neurologi
170
ffinjalffipertensi
KRISIS HIPERTENSI
PENGERTIAN Krisis hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. Dibagi menjadi dua: 1. Hipertensi emergency: situasi di mana diperlukan penurunan tekanan darah yang segera dengan obat anlihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau progresif 2. Hipertensi urgency: situasi di mana terdapat peningkatan tekanan darah yang bermakna tanpa adanya gejala yang berat atau kerusakan organ target progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam bebcrapajam.
DIAGNOSIS
•
•
•
Anamnesis: Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat pasien, tekanan darah rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan ste¬ roid, kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung, dan gangguan penglihatan Pemeriksaan fisis: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan, funduskopi, dan status neurologis. Laboratorium: sesuai dengan penyakit dasar, penyakit penyerta, dan kerusakan organ target
DIAGNOSIS BANDING Penyebab hipertensi emergency: Hipertensi maligna terakselerasi dan papiledema • Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik dengan hipertensi berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, dan trauma kepala • Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard akut, pasca operasi bypass koroner • Kondisi ginjal: GN akut, hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit kolagen-vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal • Akibat katekolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau obat dengan MAO inhibitor� penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme re¬ bound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis • Eklampsia • Kondisi bedah; hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera, hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular • Luka bakar berat • Epistaksis berat • Thrombotic thrombocytopenic purpura 171
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, urinalisis, ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, EKG. Pemeriksaan khusus
sesuai indikasi: foto toraks, ekokardiografi, aktivitas renin plasma, aldosteron, metanefrin/katekolamin, USG abdomen, CT scan, dan MRI.
TERAPI Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah diastolik kurang lebih 110 mmHg atau berkurangnya mean arterial bloodpressure 25% (pada strok penurunan hanya boleh 20% dan khusus pada strok iskemik, tekanan darah baru diturunkan secara bertahap bila sangat tinggi >220/130 mmHg) dalam waktu 2 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperflisi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam 12-16 jam selanjutnya sampai mendekati normal.Penurunan tekanan darah pada hipertensi urgency dilakukan secara bertahap dalam waktu 24 jam.
Hipertensi urgency: Obat
Dosis
Awitan Lama
_Kerja Kaptopril
6,25-50 mg per oral atau sublingual bila tidak dapat menelan
15 menit
4-6 jam
Klonidin
Dosis awal per oral 0,15 mg, selanjutnya 0,15 mg tiap jam dapat diberikan sampai dengan dosis t otal 0,9 mg
0,5-2 jam 6-8 jam
Labetalol
100-200 mg per oral
0,5-2 jam 8-12 jam
Furosemid
20-40 mg per oral
0,5-1 jam 6-8 jam
ObatHipertensi emergency Dosis
Awitan
Lama Kcrja
5-15 menit
2-3 jam
•
Diuretik: Furosemid
Vasodilator: Nitrogliserin
20-40 mg, dapat diulane. Hanva dibcrikan biia terdanat retensi cairan
•
Inftis 5-100 mcg/menit. Dosis awal 5 mcg/meni t, dapat ditingkatkan 5 mcg/menit tiap 3-5 menit
Diltiazem
Bolus IV 10 mg (0,25 mg/kgBB), dilanjutkan infus 5-10 mg/jam
Klonidin
6 ampul dalam 250 ml cairan inflis, dosis diberikan dengan titrasi
Nitroprusid
Infus 0,25-10 mcg/kgBB/menit, (maksimum 10 menit)
2-5 menit
segera
5-10 menit
1-2 menit
PROGNOSIS Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginj al-Hipertensi
172
Ginjalffipertensi
•
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : Medical High Care, ICU RS non pendidikan: ICU
173
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
INFEKSI SALURAN KEMIH PENGERTIAN Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat terbentuknya koloni kuman di saluran kemih. Kuman mencapai saluran kemih melalui cara hematogen dan asending. Faktor risiko: kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstriksi arteri-vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM, atau pengaruh obat-obat estrogen. ISK sederhana / tak berkompUkasi: ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat disfungsi struktural ataupun ginjal ISK berkomplikasi: ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil
DIAGNOSIS
�
•AnamnesisMSK bawali frekuensi, disuria terminal, polakisuiia, nyeri suprapubik. ISK atas.nyeri ping�ang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria Pemeriksaan fisis: febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra Laboratorium: lekositosis, lekosituria, kultur urin (+): bakteriuria>10Vml urin
DIAGNOSIS BANDING
ISK sederhana, ISK berkomplikasi
Dosis
Antimikroba Trimetoprim- Sulfametoksazol Trimetoprim Siprofloksasin Levofloksasin Sefiksim Sefpodoksim proksetil Nitrofurantoin makrokristal Nitrofurantoin monohidrat makrokristal Amoksisilin/klavulanat
2 X 160/800 mg 2 X 100 mg 2 X 100-250 mg 2 X 250 mg 1 X 400 mg 2 X 100 mg 4 X 50 mg 2 X 100 mg 2
X
500 mg
Lama Terapi 3 3 3 3 3 3 7 7
hari hari hari hari hari hari hari hari
7 hari
Tabel 2, Obat parenteral pada ISK atas akut berkomplikasi Interval Dosis Antimikroba Sefepim Siprofloksasin Levofloksasin Ofloksasin Gentamisin (+ ampisilin) Ampisilin (+gentamisin) Tikars i lin -kl avul anat Piperasilin-tazobaktam Imipenem-silastatin
1 gram 400 mg 500 mg 400 mg 3-5 mg/kgBB 1 mg/kgBB 1-2 gram 3,2 gram 3,375 gram 250-500 mg
12 jam 12 jam 24 jam 12 jam 24 jam 8 jam 6 jam 8 jam 2-8 jam 6-8 jam
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG DPL, urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah, foto BNO-IVP, USG ginjal
TERAPI Nonfarmakologis: • Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik • Menjaga higiene genitalia ekstema Farmakologis: • Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan
174 GinjalHipertensi
Tabel 1. Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi
-
CelQc/olovo
175
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
ISK pada Perempuan
Pasien dengan reinfeksi berulang
Infeksi kuman resistensi antimikroba
1 Calon untuk terpai jangka panjang dosis rendah
* • • •
Infeksi kuman peka antimikroba
; Terapi 3 hari untuk kuman yang peka
Terapi dosis tinggi selama 6 minggu
ISK tak bergejala pada perempuan menopause tidak perlu pengobatan ISK pada perempuan hamil tetap diberikan pengobatan meski tidak bergej ala Pengobatan untuk ISK pada laki-laki usia <50 tahun harus diberikan selama 14 hari; usia >50 tahun pengobatan selama 4-6 minggu Infeksi jamur kandida diberikan flukonazol 200-400 mg/hari selama 14 hari. Bila infeksi teijadi pada pasien dengan kateter, kateter dicabut lalu dilakukan irigasi kandung kemih dengan amfoterisin selama 5 hari
176 GinjalHiperterisi
ISK Berulang Riwayat ISK berulang
T
Pengobatan 3 hari
I Follow up selama 4-7 hari
Pengobatan berhasil
Pengobatan gagal
tiga kali seminggu setiap malam, fluorokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi.
KOMPLIKASI Batu saluran kemih, obstniksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multiresisten, gangguan flingsi ginjal
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal-Hipertensi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Radiologi, Departemen Mikrobiologi RS non pendidikan: Bagian Radiologi, Bagian Mikrobiologi
177
178 GinjalHipertensL
BATU SALURAN KEMIH PENGERTIAN Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika urinaria.
DIAGNOSIS • •
Anamnesis: nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih, hematuria, riwayat keluarga Pemeriksaan fisis: nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian
•
bawah, terdapat tanda balotemen Laboratorium: hematuria, bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP atau pielografi antegrad/retrograd, gambaran batu di ginj al atau kandung kemih serta hidronefrosis pada USG
DIAGNOSIS BANDING • • •
Nefrokalsinosis Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG Urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, elektrolit darah (kalsium, fosfor) dan urin 24 jam (kalsium, sitrat, oksalat, asam urat), asam urat darah, honnon paratiroid, foto BNO-IVP, USG abdomen, pielografi antegrad/retrograd, renogram, analisis batu
TERAPI Nonfarmakologis: • Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani • Batu urat: diet rendah asam urat • Minum banyak (2,5 1/hari) bila fungsi ginjal masih baik Farmakologis: • Antispasmodik bila ada kolik • Antimikroba bila ada infeksi • Batu kalsium: kalium sitrat • B atu urat: alopurinol Bedah: • Pielotomi • ESWL • Nefrostomi
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
179
KOMPLIKASI Kolik, obstmksi, infeksi saluran kemih, gangguan fungsi ginjal
PROGNOSIS Bonam
WE WE N A N G • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal-Hipertensi
•
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Bedah / Urologi RS non pendidikan: Bagian Bedah
Kelas I
Glomeruli normal
Hanya proteinuria, kelainan sedimen urin tidak ada
Kelas II
Perubahan pada mesangial
Kelas II kelainan Kelas II dan/atau
a; hanya proteinuria, sedimen urin tidak ada b: hematuria mikroskopik
proteinuria, tanpa hipertensi, tidak pemah terjadi SN atau gangguan fungsi ginjal Kelas III
Glomerulonefritis fokal segmental
Hematuria dan proteinuria pada seluruh pasien. Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal pada sebagian pasien
Kelas IV
Glomerulonefritis difus
Hematuria dan seluruh pasien. dan penurunan hampir selumh
Kelas V
Glomerulonefritis membranosa difus
SN pada seluruh pasien, sebagian dengan hematuria atau hipertensi, namun fiingsi ginjal masih normal atau sedikit menurun
Kelas VI
Glomerulonefritis sklerotik lanjut
Penurunan fungsi ginjal yang lambat dengan kelainan urin yang relatif normal
proteinuria pada Hipertensi, SN, fungsi ginjal pada pasien
Qnjalffipertensi
NEFRITIS LUPUS PENGERTIAN Lupus eritematosus sistemik (LES) yang disertai keterlibatan ginjal
DIAGNOSIS • •
Memenuhi kriteria LES menurut ACR1982. Diagnosis klinis ditegakkan bila pada pasien LES terdapat proteinuria 1 grani/24
180
•
jam dengan/alau hematuria (>8 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi, untuk menentukan pilihan pengobatan berdasarkan kelas nefritis lupus.
Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO 1995)
181
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
DIAGNOSIS BANDING Glomerulonefritis oleh sebab lain
PEMERIKSAAN P E NUNJANG Nefritis Lupus
Histopatologi__Gcjala Klinis
Urinalisis, protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, biopsi ginjal, albumin serum, profil lipid, komplemen C�, C�, anti ds-DNA
TERAPI Tujuan pengobatan untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya , mempertahankan fungsi ginjal agar tidakbertambahburuk. Penatalaksanaan Umum: • Diet rendah garam bila terdapat hipertensi, rendah lemak bila terdapat dislipidemia atau sindrom nefritik, rendah protein sesuai derajat penyakit • Diuretik dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan • Tatalaksana hipertensi dengan baik • Pemeriksaan rutin periodik meliputi: sedimen urin, protein urin kuantitatif 24 jam, anti ds-DNA tes fungsi ginjal, albumin serum, komplemen • Monitor efek samping steroid dan imunosupresan serta komplikasi selama pengobatan. Suplementasi kalsium untuk mengurangi efek samping osteoporo¬ sis karena steroid • Hindari pemberian salisilat dan obat anti-inflamasi nonsteroid yang akan memperberat fungsi ginjal. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada sindrom •
antifosfolipid Hindari kehamilan bila nefritis lupus masih aktif
KOMPLIKASI Gagal ginjal
PROGNOSIS Tergantung kelas nefritis lupus. Kelas I dan II prognosis baik. Kelas III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Kelas V prognosis cukup baik.
WEWENANG •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
•
RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal-Hipertensi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
RS pendidikan: Unit hemodialisis, Divisi Rematologi, Divisi Alergi-imunologi, Departemen Patologi Anatomik • RS non pendidikan: Unit hemodialisis 182
2.7 HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK
Hematobgi Onkobgi Medik
UMFOMAINON-HODGKIN PENGERTIAN Limfoma non-hodgkin merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid padat
DIAGNOSIS
• • • • •
Riwayat pembesaran kelenjar getah bening / massa tumor di tempat lain (tulang, intra abdomen, hidung, lambung dsb) Riwayat demam tanpa sebab yang jelas Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai dengan limfoma non Hodgkin (LNH)
DIAGNOSIS BANDING Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor padat
yang lain
Pemeriksaan I penunjang
• • • •
• • • •
Pemeriksaan sitologi kelenjar/ massa tumor untuk mengetahui LNH tersebut serta keterlibatan kelenjar lain yang membesar Laboratorium: darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal Aspirasi dan biopsi sumsum tulang CT scan atau USG abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran kelenjar getah bening (KGB) paraaorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen Foto toraks untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum Pemeriksaan telinga hidung tenggorok (THT) untuk melihat keterlibatan cincin Waldeyer Gastroskopi bila perlu untuk melihat keterlibatan lambung Bone scan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat keterlibatan tulang
TERAPI Derajat keganasan rendah • Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral. • Radioterapi paliatif Derajat keganasan menengah • Stadium I s.d. Ila: radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi. • Stadium lib s.d. IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliatif. Derajat keganasan tinggi • Selalu kemoter�i parenteral kombinasi (lebih agresif) • Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif Panduan Pelayanan Medik PAPDI
185
Rcevaluagj hasiL pengobatan : • Setelah siklus kemoterapi kedua, keempat • Setelah selesai pengobatan lengkap
KOMPLIKASI Akibat iangsung penyakitnya: • Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dan saraf • Mudah terjadi infeksi, bisa fatal Akibat efek samping pengobatan: • Aplasia sumsum tulang • Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin • Gagal ginjal oleh obat sisplatinum • Neuritis oleh obat vinkristin
P RO GN OS I S Bergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky mass, keadaan umum pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang mempengaruhi pengobatan.
• • •
Derajat keganasan rendah: Tidak dapat sembuh, namun dapat hidup lama. Derajat keganasan menengah: Sebagian dapat disembuhkan. Derajat keganasan tinggi: Dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati.
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan: Departemenllmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
• •
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi RS non pendidikan : Bagian THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi
RE FE RE NS I 1. Reksodiputro, AH. Irawan C. Limfoma non Hodgkin. In: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, /. Setiati, S. Sundaru, H. dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilidll Edisi III Jakarta :Balai Penerbit FKUI;2001 .p. 607-21. 2. Non-Hodgkin s Lymfomen. Hematologie Klapper. 8'� ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni 1999:82-98. 3. Abdulmuthalib. Limfoma non-Hodgkin. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM: 1999. p. 113-4.
186
Hematobgi Onkobgi Medik
ANEMIA APLASTIK PENGERTIAN Anemia aplastik adalah anemia akibat aplasia sumsum tulang di mana jaringan he¬ mopoiesis diganti oleh jaringan lemak, dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Anemia aplastik berat Selularitas sumsum tulang < 25% dan terdapat 2 dari 3 gejala berikut • granulosit < 500/ul • trombosit < 20.000/ul • retikulosit< 10%o 2. Anemia aplastik • Sumsum tulang hipoplastik • Pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan darah seperti pada anemia aplastik berat
DIAGNOSIS
•
Anamnesis;
-
Riwayat paparanterhadap zattoksik (obat, lingkungankeija, hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir (hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah Gejala anemia: rasa lemas/ lemah, pucat, pusing, sesak napas/ gagal jantung, berkunang-kunang - Tanda-tanda infeksi: seringdemam - Akibat trombositopenia; perdarahan (menstmasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah) Pemeriksaan fisik: konjungtiva pucat, takikardi, tanda perdarahan Pemeriksaan penunjang: darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, serologi virus (hepatitis, parvovirus) Diagnosis pasti: sitologi dan histopatologi sumsum tulang
• • •
DIAGNOSIS BANDING Mielofibrosis, anemia hemolitik, anemia defisiensi, anemia karena penyakit kronik, anemia karena penyakit keganasan sumsum tulang, hipersplenisme, leukemia akut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
TERAPI Terapi penunjang: • Transfusi komponen darah (PRC dan/atau TC) sesuai indikasi transfusi darah) • Menghindari dan mengatasi infeksi • Kortikosteroid: prednison 1 -2 mg/ kgBB/ hari
(pada topik
187
Panduan Pelayanan Medik PAPDI • •
Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/ kgBB/ hari, maksimal diberikan selama 3 bulan Splenektomi dilakukan bila tidak respons dengan steroid. Bila pasien menolak splenektomi dapat diberikan terapi imunosupresif: - Siklosporin 5 mg/ kgBB/ hari - ATG {anti thymocyte globulin) 15 mg/ kgBB/ hari intravena selama 5 hari - Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang cocok
Respofis terapi; • Komplit: granulosit > 1000/ul, trombosit > 100.000/ul, Hb normal • Parsial: granulosit >500/ul, tidak membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit • Minimal: granulosit > 500/ul, membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit • Tidak berespons: anemia aplastik berat menetap
KOMPLIKASI Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat
PROGNOSIS
• •
Dubia, tergantung tingkat hipoplasianya Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi, perdarahan atau komplikasi transfusi darah
■
WEWENANG • •
RS pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi - Onkologi Medik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi
REFERENSI ; 1. Salonder, H. Anemia aplastic. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, /. Setiati, S. Sundant, H dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2001:501-8. 2. Aplastische anemie. Hematologie Klapper. 8'� ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni 1999:12-16. 3. Widjanarko A. Anemia aplastik. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmau penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSCM; 1999. p. 102-3.
188
Hematologi Onkologi Medik
I.EUKEMIAIAKUT PENGERTIAN Leukemialakut merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan sel induk darah (sel bias dan atau satu tingkat di atasnya). leukemia akut dibagi dua yaitu; leukemia mieblastik akut, leukemia limfoblastik akut
DIAGNOSIS •
•
Anamnesis: Gejala anemia: rasa lemas/ lemah, pucat, pusing, sesak napas/ gagal jantung, berkunang-kunang - Tanda-tanda infeksi: sering demam - Akibat trombositopenia: perdarahan (menstniasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah) Pemeriksaan fisik: pucat, demam, pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
•
superflsial, organomegali, petekie/ purpura/ ekimosis Pemeriksaan penunjang: Aspirasi sumsum tulang: hitung jenis sel bias dan/ atau progranulosit > 30%
DIAGNOSIS BANDING Sindrom mielodisplasia (MDS), reaksi leukemoid, leukemia kronis
PEMERIKSAAN I PENUNJANG • •
Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH, asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV) Sitologi aspirasi sumsum tulang, sitogenetik
TERAPI Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun: Persiapan pcnKobatan sitoreduksi: • Akses vena sentral • Anti emetik • Profllaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup > 2000 ml/ 24 jam, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat oral 4 x 500-1000 mg/ hari (target pH urin >7) • Tunda haid (lynestrenol) • Antibiotika dekontaminasi parsial • Profllaksis streptokokus (benzylpenicilline 4x1 gr) • Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg per oral • Asam folat 1 x5 mg/hari dan vit B12 1000 ug/minggu • Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit > 100.000/uL dikombinasi metilprednisolon 5 mg/kg/hari
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
189
Pemeriksaan rutin: • Turn over rate sel tumor (LDH, asam urat) • Elektrolit (Na, K, Ca) • Hemostasis lengkap • Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) • Keasaman urin • Fungsi hati (bilirubin direk/ indirek, SGOT/SGPT, ALP) • Gula darah • Serologi virus • Surveillance bakteriologi • Foto dada • Pungsi lumbal diagnostikjangkitan otak Kuratif: • Sitoreduksi dengan sitostatika mulai dari yang ringan hingga yang agresif dengan membutuhkan rescue sel induk darah pasien dari darah perifer untuk penyelamatan pada ablasi sumsum tulang • Transplantasi sel induk darah alogenik atau autogenik dari darah perifer, sumsum tulang atau tali pusar
Paliatif Respons terapi Komplit: • Hitung jenis sel bias dan atau progranulosit < 5% pada sitologi aspirat sumsum tulang • Pada darah tepi tidak ditemukan bias, leukosit > 3000/ul, granulosit > 1500/ul dan trombosit > 100.000/ul Partial: • Hitung jenis sel bias dan atau progranulosit 5 10% pada sitologi aspirat sumsum tulang • Pada darah tepi dapat ditemukan sel bias Tidak respon: Hitung jenis sel bias dan atau progranulosit > 10% pada sitologi aspirat sumsum tulang
KOMPLIKASI Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia / koagulasi intravaskular diseminata
PROGNOSIS Malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
190 Hematologi OnkobgiMeclik
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT T ERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi
REFERENSI 1. Acute leukemic algemeen. Hematologie Klapper. 8'� ed Leids Universitair Medisch Cen¬ trum Leiden. Juni 1999:20-1. 2. Abdulmuthalib. Leukimia akut. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSCM: 1999. p. 110-3.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
191
SINDROM LISIS TUMOR PENGERTIAN Sindrom
lisis tumor adalah sindrom yang ditandai berbagai kombinasi antara hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat dan hipokalsemia yang disebabkan oleh pengrusakan sejumlah besar sel neoplasma yang sedang berproliferasi secara cepat.
DIAGNOSIS
•
•
•
Anamnesis: Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita (limfoma burkitt, leukemia limfoblastik akut dan limfoma derajat tinggi lainnya) Pemeriksaan fisik: Tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya: pemapasan kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/ anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada hiperkalemia) Laboratorium: Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah,
penurunan kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinahsa menunjukkan pH urin < 7 dan/ terdapat kristal asam urat
DIAGNOSIS BANDING Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain
PEMERIKSAAN P E NUNJANG Laboratorium: DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam urat, AGD, urinalisis
TERAPI • • • • • •
Mencegah dan mendeteksi faktor risiko lebih penting Hidrasi adekuat 3000 ml/m� per hari Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat Allopurinol 300 mg/m� per hari Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut (K>6meq/1, asam urat > lOmg/dl, kreatinin > lOmg/dl, F>10mg/dl atau semakin meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka dilakukan hemodialisa
KOMPLIKASI Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak
PROGNOSIS Malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
192
UNIT YANG MENANGANI
• •
Hematobgi Onkobgi Medik
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
193
IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIA PURPURA DIAGNOSIS Untuk menyingkirkan kemungkinan idiophatic thrombocytopenia purpura (IT?) sekunder • Anamnesis; - Riwayat obat-obatan (heparin, alkohol, sulfonamides, kuinidin/ kuinin, aspirin) dan bahan kimia - Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan - Gejala penyakit autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok - Riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), risiko infeksi HIV, status kehamilan, riwayat transfusi, riwayat pada keluarga (trombositopenia, gejala perdarahan dan kelainan autoimun), Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan risiko perdarahan (kelainan gastrointestinal, sistem saraf pusat dan Urologi) - Kebiasaan/ hobi; aktivitas yang traumatik
•
jPemeriksaan .fisik; - Perdarahan (lokasi dan beratnya) - Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice atau stigmata penyakit hati kronik - Tanda infeksi (bakteremia/ infeksi HIV) - Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis) pemeriksaan penunjan� - Darah tepi: hitung trombosij; < 150.000/uL dengan tidak dijumpai sitopenia lainnya, pemeriksaan morfologi darah tepi dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran lebih besar. Laboratorium kimia rutin dan enzim hati - Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella) - Pemeriksaan ACA, Coomb s test, C3, C4, ANA, anti dsDNA - Pemeriksaan imunoelektroforesis protein - Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada komplikasi, kecuali masa
•
perdarahan yang memanj ang Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat Pemeriksaan autoantibodi trombosit.
DIAGNOSIS BANDING •
Berkurangnya produksi trombosit/ aplasia megakariosit baik yang kongenital atau didapat Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme, hipotermia) Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced, kehamilan dll) Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada spesimen darah tepi
• • •
194
Hematobgi Onkotogi Medik
PEMERIKSAAN PENUNJANg
• •
Laboratorium: darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA, Comb test, C3, C4, ANA, anti ds DNA, serologi virus, anti HIV, antibodi antitrombosit Sitologi aspirasi sumsum tulang
TERAPI �TP akut: (anak-anak, selflimiting) • I Trombosit > |�0.000/ul,|asimtomatik/ purpura minimal —> tidak diterapi rutin Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan bermakna atau < 10.000/ul dengan Steroid (- prednison 1-2 mg/kgBB/hari). purpura minimal • Mengingat ITP pada anak bersifat selflimiting, maka lama terapi dibatasi selama 21 hari. Dapat juga diberikan IV Ig 1 gr/kg 1 hari. • Perdarahan dirawat, steroid injeksi dosis tinggi yang mengancam jiwa (metilprednisolon 30 mg/kg/hari) atau steroid oral dosis tinggi (- prednison 4-8 mg/kg/hari) dan transfusi trombosit ITP kronik (dewasa) Terapi suportif: • Membatasi aktivitas yang berisiko trauma • Menghindari obat-obat yang mengganggu fungsi trombosit • Transfusi PRC sesuai kebutuhan
•
Transfusi trombosit bila: - Perdarahan masif Adanya ancaman perdarahan otak/ SSP - Persiapan untuk operasi besar
Perawatan RS untuk pasien dengan: • Perdarahan berat yang mengancam j iwa • Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna • Trombosit > 50.000/ul asimtomatik/ dengan purpura minimal —> tidak diterapi • Trombosit < 30.000/ul dengan/ tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan bermakna, kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa —> diterapi: Steroid prednison 1-2 mg/kg/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tapp down, maksimal selama 6 bulan. Prednison tidak boleh diberikan dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak respon. Splenektomi Indikasi: • Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6 bulan observasi • Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi • Adanya kontraindikasi / intoleransi terhadap steroid �ilihan terapi yang lain: • Obat-obatan imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin, vinkristin) • Preparat androgen (danazol) • Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan sakit berat • Hormonal anovulatoir 195
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
KOMPLIKASI Infeksi, IT? berat, D M induced steroid, hipertensi, immunocompromised
PROGNOSIS
• •
IT? akut: bonam IT? kronik: dubia ad malam
WEWENANG • •
RS pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•
•
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
R E F E RE N S I
1. Idiopatische irombocytopenischepurpura. Hematologie Klapper. 8'� ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni ]999:}J3'7. 2. Djoerban Z. Immune trombocytopenic purpura. In: Simadibrata M, Setiati S, AIwi I, Oemardi M, Gani RA. Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 1999. p. 104-8.
196
Hematologi Onkobgi Medik
TROMBOSIS VENA DALAM PENGERTIAN Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama pada vena tungkai bawah
DIAGNOSIS Gejala klinik bervariasi (90% tanpa gejala klinis) Pasien dengan risiko tinggi yaitu apabila; • Riwayat trombosis, strok • Pasca tindakan bedah terutama bedah ortopedi • Imobilisasi lama terutama paska trauma/ penyakit berat • Luka bakar • Gagal j antung akut atau kronik • Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi • Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok • Penggunaan obat-obatan yang mengandung homion estrogen • Kelainan darah bawaan atau didapat yg menjadi predisposisi untuk trombosis Anamnesis
Nyeri lokal, bengkak, perubahan wama dan flingsi berkurang pada anggota tubuh yang terkena Pemeriksaan fisik • Edem, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, pembuluh darah vena teraba, Homan's sign (+) • Berdasarkan data tersebut di atas sering ditemukan negatif palsu • Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi Pemeriksaan penunjang; • Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N: 85-125%) • Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat • Titer D-dimer meningkat
DIAGNOSIS BANDING Sindrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks vena, selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan dengan sumbatan kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitis kontak, eritema nodosum, kehamilan, flebitis superfisial, paralisis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
Radiologi: venografi/ flebografi, USG vena-B mode atau colour doppler Laboratorium: kadar AT III, protein C, protein S, antibodi antikardiolipin, profil lipid, agregrasi trombosit
197
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
Tersangka DVT Ultrasonografi DVT
ada 3 pilihan
Pertimbangan klinis Rendah
Sedang/tinggi
D-dimer� � 1 minggu ultrasonografi
DVT dapat disingkirkan Diagram Pendekatan Diagnosis DVT
TERAPI Non farmakologis:
DVT dapat disingkirkan
obati
• • •
Medik aliran darah vena Hematobgi Onkologi Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular Warfarin Latihan lingkup gerak sendi {range ofmotion) seperti gerakan fleksi-ekstensi, • Warfarin tindakan sesudah pemberian ini akan aliran darah di vena-vena segera heparin dengan dosis menggegam dll,dapat dimulai meningkatkan yanghari 16-10 mg(patent) malam hari, hari II ditumnkan. masih terbuka • INR kaus kaki setelah • Pemakaian 4-5 haristocking), kemudianalat ini dapat aliran 2-3 diperiksa elastik {elastic dengan target meningkatkan Bila INR darah vena target tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam berikutnya • Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor risiko. - Bila tidak ada faktor risiko, dapat distop dalam 3-6 bulan Farmakologis: - Bila ada faktor risiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan seumur 1, Antikoagulan Heparin (unfractionated) hidup • •Bolus INR intravena 100 lU/kg Cara dosis dilanjutkan drip mulai 1000 lU/ jam penyesuaian • - INR Target ApTT1,1-1,4 1,5 2,5 x kontrol, bila - aPTT< naikkan dosis-100-200IU/jam Hari Il,5xkontrol, 10-20% dari total dosis mingguan - aPTT 1,5- 2,5x naikkandosis 10-20% tetapdari total dosis mingguan Mingguan —>kontrol, - aPTT > Kembali 2,5x1 kontrol, minggu dosis 100 - 200 lU/jam • Hari- I INR ; aPTT 1,5-1,9 diperiksa tiap 6 jam I diperiksa Harill Hari : aPTT 12 dari naikkan tiap 5-10% jam total dosis mingguan —> naikkan 5-10% Hari III: aPTT diperiksa tiap 24 jam dari total dosis mingguan Mingguan Kembali 2 minggu LMWH {lowmolecular INR 2,0-3,0 weight heparin) • Tidak ada perubahan NadroparinOjl ml/kg/ 12jam • 1 Kembali Enoksaparin 1 mg/minggu kg/12 jam - IN R3,l -3 , 9 • Tidak perlu pemantauan Hari I —> kurangi 5-10% dari dosis total mingguan 198 Mingguan —> kurangi 5-15% dari dosis total mingguan Kembali 2 minggu - INR 4,0-5,0 Hari I tidak dapat obat Mingguan —> kurangi 10-20% dari dosis total mingguan Kembali 1 minggu - INR>5,0 Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0 Mulai dengan dosis kurang 20-50% Kembali tiap hari 2. Trombolisis (streptokinase, tPA) * Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu setelah pembentukan thrombus (trombosis vena iliaka atau vena femoralis akut atau subakut) • Tidak dianjurkan untuk trombus yang berusia lebih dari 4 minggu 3, Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon) • Bukan merupakan terapi utama • Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar he¬ parin atau warfarin
KOMPLIKASI Perdarahan akibat antikoagulan/ antiagregasi trombosit, trombositopenia akibat heparin, osteoporosis pada pasien yg mendapat heparin > 6 bulan dengan dosis 10.000 U/hari Panduan Pelayanan Medik PAPDI
199
P RO GN OS I S Tergantung pada penyebab, pada yang tidak disertai komplikasi baik
WEWENANG • •
RS pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Radiologi, Bedah / Vaskular RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
R E FE RE N S I 1. Supandiman, I. Trombosis. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. AIwi, L Setiati,
S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Jlmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2001:588-91. 2. Tambunan, KL. Terapi antikoagulan pada trombosis vena dalam. Dalam: Setiati, S. Bawazier, LA. Atmakusuma, D. Kasjmir, YL Syam, AF. Gustaviani, R. Current treatment in internal medicine 2000. PIP IPD FKUI Jakarta 2000:19-22. 3. Atmakusuma, D. Perbedaan trombosis vena dalam dan trombosis arteri akut dalam hal diagnosis dan tatalaksana. Dalam: Prodjosudjadi, W. Setiati, S. Alwi, 1. Pertemuan Ilmiah Nasional PB PAPDI2003, therapeutic update and workshop in internal medicine. PIP IPD FKUI Jakarta 2003:193-205. 4. Tambunan, KL. Peran terapi medicamentosa pada DVT kronik. Dalam: Simadibrata, M. Alwi, I. Kasjmir, YI. Bawazier, LA. Syam, AF. Mansjoer, A. Penyakit kronik dan degeneratif, penatalaksanaan dalam praktek sehari-hari. PIP IPD FKUI Jakarta 2003: 9-13.
200
Hematologi Onkotogi Medik
KOAGULASIINTRAVASKULAR DISEMINATA
PENGERTIAN Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi pada waktu yang bersamaan Pemeriksaan
Kompensasi
Hiperkompensasi
Dekompensasi
N n/T
i t t
N N N N +/t
Trombosit PTT PT Fibrinogen D Dimer
N/t N/t +/t
DIAGNOSIS Klinis: • Gejalagejala umum seper ti demam, hipoten
++/tt
si, asidosis, hipoks
ia, proteinuria. • Tanda-tanda perdarahan (petekie, purpura, ekimosis, hematoma, hematemesismelena, hematuria, epistaksis) • Manifestasi trombosis —> gagal organ (paru, ginjal, hati) • KID dari kausa primer yang lain: merupakan akibat obstetri Bidang (emboli cairan amnion, kematian janin intra-uterin, abortus septik) Bidang hematologi (reaksi transflisi, hemolisis berat, leukemia) - Infeksi (septikemia, gram negatif, gram positif; virus HIV, hepatitis, dengue; parasit malaria) - Trauma, penyakit hati akut, luka bakar Pemeriksaan penunjang
• •
Darah tepi: trombositopenia atau nomial, burr cell (+) Pemeriksaan hemostasis pada KID
DIAGNOSIS BANDING Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID
PEMERIKSAAN P E NUNJANG Laboratorium:
DPL,
hemostasis
lengkap
(PT,
aPTT,
fibrinogen,
d-dimer) 201
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
TERAPI •
• •
Suportif - Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik - Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah - Membebaskan jalan napas Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa - Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolkit Mengobati penyakit primer Menghambat proses patologis Antikoagulan Heparin inytavena bolus tiap 6 jam dosis 5000 lU, evaluasi aPTT dengan target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan keempat Bila pada jam kedua; aPTT < 1,5 X kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap aPTT> 2,5 xkontrol, evaluasiAPTT pada jam keempat, bila: aPTT < 1,5 X kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U aPTT > 2,5 X kontrol, heparin dikurcingi menjadi 2500 U - Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC, TC, FFP, kriopresipitat)
KOMPLIKASI Gagal organ, syok/hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminan
PR OG NO S I S Malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RE FE RE NS I Tambunan, KL. Koagulasi intravascular diseminata. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilidll. Edisilll. Jakarta :BalaiPenerbitFKUI; 2001:555-64. 2. Tambunan, KL. Diagnosis dan penatalaksanaan koagulasi intravascular diseminata. In: Suberkti, 1. Lydia, A. Rumende, CM. Syam, AF. Mansjoer, A. Suprohita. Penatalaksanaan kegawatdaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. PIP IPD FKUI Jakarta 200}: 25-31. 1.
202
Hematologi OnkDlogi Medik
TROMBOSITOSIS PRIMER/SENSIAL PENGERTIAN
• •
Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah normal tertinggi (450.000/ul) Trombositosis primer adalah kelainan klonal dari stem sel multipotensial hemopoietik
DIAGNOSIS
•
•
•
Anamnesis: - Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta berdenyut, cenderung timbul kembali disebabkan panas, pergerakan jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan (eritromialgia). Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak spesifik seperti sakit kepala, pusing, defisit neurologi fokal, serangan iskemia sepintas, kejang atau oklusi arteri retina. - Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan fetus terhambat Pemeriksaan fisik: Splenomegali (40%), tanda-tanda perdarahan atau trombosis sesuai lokasi yang terkena. Pemeriksaan laboratorium: - Jumlah trombosit seringkali > 1 juta/ml - Laj u endap darah normal - Variasi bentuk trombosit abnormal (raksasa, hipogranular), fragmen trombosit - Masa perdarahan normal - Faktor VIII/ von Willebrand normal
DIAGNOSIS BANDING Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, morfologi trombosit, laju endap darah, masa perdarahan, faktor VIII/ von willebrand, tes agregasi trombosit dengan epinefrin
TERAPI Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan flingsi trombosit • Untuk menurunkan trombosit: 1. Hydroxyuria {hydrea)'. 15 mg/kgBB/hari 2. Anagrelide (agrylin); 4 kali 1,5-2,5 mg sehari, dimulai dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap tiap minggu 3. Thromboreduction
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
203
•
4. Interferon alfa: 3 juta lU, tiga kali satu minggu 5. Fosforous-32 Untuk menurunkan flingsi trombosit: 1. Aspirin 2. Tiklopidin 3. Klopidogrel
KOMPLIKASI
•
•
•
Perdarahan (memar kebiruan, epistaksis, perdarahan saluran cema, perdarahan pasca operasi). Risiko terbesar bila trombosit > 1 juta/ml dan mendapat aspirin. Trombosis (eritromialgia, iskemia ginjal, infark miokard, strok, iskemi mesenteric, infark plasenta, sindrom Budd Chiari). Risiko terbesar bila sebelumnya ada riwayat trombosis, umur lebih dari 60 tahun dan sudah lama mengalami trombositosis. Trombosis esensial dapat mengalami transformasi menjadi mielofibrosis (4%), polisitemia vera (2,7%), leukemia mielositik akut (0,6-5%)
PROGNOSIS
• • •
Advitam: dubia Ad fungsionam; dubia Ad sanasionam; malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI Tambunan, KL. Trombositosis dan irombositosis esensial. In: Atmakusuma, A. Uyainah, A. Irawan, C. Suhendro. Current diagnosis and treatment in internal medicine 2003. PIP IPD FKUIJakarta 2003:94-9. 2. Essentiele trombocytemie. Hematologic Klapper. 8'� ed. Leids Universitair Medisch Cen¬ trum Leiden. Juni 1999:50-1. /.
204
Hematobgi Onkobgi Medik
SINDROM VENA KAVA SUPERIOR PENGERTIAN Sindrom vena kava superior adalah kumpulan gejala yang disebabkan obstruksi vena kava superior oleh sebuah tumor mediastinum.
DIAGNOSIS • • •
Anamnesis: keluhan sakit kepala, mual, muntah-muntah, gangguan penglihatan, sinkop, suara serak, sesak napas, disfagia dan sakit punggung Pemeriksaan fisik: distensi tubuh sebelah atas, edema muka, leher, lengan dan dada atas,sianosis. Pemeriksaan penunjang: - Foto dada menunjukkan massa paratrakeal atau di mediastinum - CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya massa
DIAGNOSIS BANDING •
Tumor mediastinum: tumor ganas, teratoma, limfoma malignum Tumor paru
PEMERIKSAAN PE NUNJANG Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT scan toraks
TERAPI •
•
Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan gejala pada 70% kasus. dosis harian dimulai dengan dosis tinggi (400 cGy) untuk mendapatkan pengeciian masa tumor yg dibutuhkan Pada limfoma malignum atau kanker paru jenis SCLC, kemoterapi akan sama efektifhya dengan radioterapi.
KOMPLIKASI Trombosis vena jugularis dan otak
PROGNOSIS
• • •
Ad vitam: dubia ad malam Ad fungsionam; malam Ad sanasionam: malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT YANG MENANGANI
205
• •
RS pendidikan: Departemen llmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik, Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah / toraks RS non pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI 1. Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam: Wdspadji, S. Gani, RA. Setiaii, S. Alwi, I. Bunga rampai llmu penyakit dalam. Balaipenerbit FKUI Jakarta 1996: 97-110. 2. Kaiser, LR. Putnam, JB. The mediastinum: overview, anatomy and diagnostic approach. In: Fishman, AP. Elias, JA. Fishman, JA. Grippi, MA. Kaiser, LR- Senior, RM. Fishman's manual o f pulmonary disease and disorders. 3 rd ed. McGraw-Hill USA 2002:521-34
206
Hematobgi Onkobgi Medik
HIPERKALSEMIA
PENGERTIAN Hiperkalsemia merupakan kedaruratan onkologi yang sering ditemukan sebagai akibat metabolik dari keganasan
DIAGNOSIS
• •
Anamnesis: anoreksia, mual, muntah-muntah, polyuria Pemeriksaan fisik; penurunan kesadaranPemeriksaan penunjang:Kadar kalsium serum meningkat
DIAGNOSIS BANDING PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan kadar kalsium darah, fungsi ginjal
TERAPI 1.
Diuresis paksa dengan larutan salin (200-250 ml/jam) dan furosemide disertai monitor ketat balans cairan dan fungsi kardiopulmoner 2. Mithramycin 25 ug/kg intravena. Tidak boleh digunakan pada gagal ginjal dan trombositopenia 3. Kortikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari pengobatan. Berguna pada hiperkalsemia pada limfoma malignum, mieloma multiple dan karsinoma payudara. 4. Bisfosfonat (penghambat osteoklas) bila hiperkalsemia refrakter terhadap caracara sebelumnya atau terdapat kontraindikasi 5. Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia adalah kemoterapi yang efektif
KOMPLIKASI Gagal ginjal akut
PROGNOSIS
• •
Ad vitam: dubia Ad fungsionam: dubia ad malam Ad sanasionam: malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik
207
REFERENSI : Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. In: Waspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, 1. Bunga rampai Ilmupenyakit dalam. Jakarta : Balaipenerbit FKUI1996; p. 97-110.
208
Hematobgi Onkologi Medik
HIPERURISEMIA PENGERTIAN
Hiperurisemia merupakan kelainan yang terjadi akibat pengobatan pada leukemia, gangguan mieloproliferatif, limfoma atau mieloma yaitxi ketika sel-sel tumor mengalami penghancuran selama kemoterapi di mana purin akan dilepaskan dalam jumlah banyak untuk kemudian mengalami katabolisme menjadi asam urat
DIAGNOSIS • •
•
Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya batu ginjal Kadar asam urat melebihi 10 mg/dl dan rata-rata 20 mg/dl. Oliguria atau anuria dengan atau tanpa adanya kristal asam urat. Kadar nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung menurut sampel acak, mendukung diagnosis nefropati akibat hiperurisemia
PEMERIKSAAN P E NUNJANG Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis
TERAPI 1. 2.
Alopurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada sindrom lisis tumor Hemodialisis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar asam urat dan memperbaiki fungsi ginjal
KOMPLIKASI
• •
Batu ginjal Gagal ginjal
PR OG NO S I S • • •
Advitam:malam Ad fungsionam: malam Ad sanasionam: malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
209
UNIT TERKAIT Unit hemodialisis, Departemen Patologi klinik
REFERENSI : Djorban, Z. Kedaruratan onkologL In: Waspadji, S. Gani, RA. Seiiati, S. Alwi, Bunga rampai
Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balaipenerbit FKUI }996.p. 97-110.
210
Hematobgi Onkologi Medik
TERAPI SUPORTIF PADAPASIEN KANKER PENGERTIAN
Terapi suportif pada pasien kanker merupakan hal yang amat penting, sehingga tidak jarang lebih penting daripada pengobatan pembedahan, radiasi maupun kemoterapi karena pengobatan suportif ini justru sering berkaitan dengan usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat mengancam jiwa. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan pada pasien kanker yang menjalani pengobatan kuratif tetapi juga pada pengobatan paliatif Pengobatan suportif ini meliputi: 1. Masalah nutrisi dan gangguan saluran cema 2. Penanganan nyeri 3. Penanganan infeksi 4. Masalah efek samping sitostatika terutama efek mielosupresi
DIAGNOSIS Masalah Nutrisi • Anamnesis: penurunan berat badan yang cepat • Antropometri: tebal lemak kulit (M deltoideus lengan atas), indeks masa tubuh (di bawah 1,5 menunjukkan katabolisme berlebihan), penilaian terhadap masa otot • Laboratorium: Hitung limfosit (bila menurun berarti ada gangguan respons imun), - Kadar albumin dan prealbumin (albumin < 3 g/dl dan prealbumin < 1,2 g/dl menunjukkan malnutrisi), - Kadar urea nitrogen urin (> 24 g/ 24 jam menunjukkan katabolisme protein berlebihan), kadar feritin darah Penanganan Nyeri • Anamnesis: waktu timbul nyeri, lokasinya, intensitasnya dan faktor yang menambah atau mengurangi nyeri. • Anamnesis yang teliti dapat diketahui jenis nyeri pada pasien, apakah nyeri viseral, somatik atau neuropatik. ■ Dari anamnesis dapat juga diketahui tingkatan nyeri, menggunakan alat bantu VAS {visual analog scale) yaitu skala dari nol sampai sepuluh (nol menunjukkan tidak ada nyeri sama sekali, sepuluh menunjukkan nyeri yang paling hebat). Angka yang ditunjuk pasien kemudian dapat dibagi menjadi empat kelompok: - Angka 0 menyatakan tidak ada nyeri - Angka 1 -3 menyatakan nyeri ringan - Angka 4-6 menyatakan nyeri sedang - Angka 7-10 menyatakan nyeri berat Hal yang paling menentukan untuk memulai pengobatan adalah jenis tingkatan nyeri.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
211
Penanganan Infeksi Masalah Efek Samping Sitostatika 1. Penekanan sumsum tulang (infeksi neutropenia, trombositopenia, leukopenia, anemia) 2. Mual dan muntah 3. Toksisitasjantung (kardiomiopati, perimiokarditis)
4. Toksisitas ginjal (nekrosis tubular ginjal) 5. Ekstravasasi 6. Sindrom lisis tumor
PEMERIKSAAN PENUNJANG •
Masalah Nutrisi - Antropometri: tebal lemak kulit, indeks masa tubuh dan masa otot Laboratorium; Hitung limfosit, albumin dan prealbumin darah, urea nitrogen urin, feritin darah Penanganan Nyeri - Pemeriksaan radiologi: foto, USG, bone scan, CT scan, MRI untuk mengetahui jenis nyeri dan lokasinya Penanganan Infeksi - Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung jenis, kultur darah, kultur urin, kultur sputum, swab tenggorok untuk mencari fokus infeksi, pemeriksaan terhadap koloni jamur - Foto toraks Masalah Efek Samping Sitostatika Pemeriksaan fisik; luas permukaan tubuh, tingkat kemampuan berperan, mencari sumber infeksi - Pemeriksaan laboratorium DPL dengan hitung jenis, fungsi ginjal, urinahsis, asam urat darah, fungsi hati, kultur pada tempat-tempat tertentu secara berkala Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ekokardiografi
•
•
•
TERAPI Masalah Nutrisi • Indikasi terapi: 1. pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per hari 2. bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB sebelum sakit 3. kadar albumin serum < 3,5 gr/dl 4. terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh • Perhitungan kebutuhan kalori: Rumus perhitungan kebutuhan kaloriKalori basal + aktivitas sehari-hari + keadaan hiperkatabolik Kalori basal laki-laki: 27-30 kalori/kgBB ideal/hari Kalori basal perempuan: 23-26 kalori/kgBB ideal/hari Perhitungan kebutuhan protein : Protein yg dibutuhkan adalah 0,6-0,8 g/kgBB ideal/hari 212
•
Hematologi Onkobgi Medik Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan tambahan 0,5 g/kgBB ideal/hari Carapemberian: 1. Enteral melalui saluran cema peroral, lewat selang nasogastrik, j ejunostomi, 2.
gastrostomi Parenteral diberikan bila melalui enteral tidak bisa atau pasien tidak mau dilakukan gastrostomi/jejunostomi. Nutrisi sebaiknya melalui vena sentral karena dapat diberikan cairan dengan osmolalitas tinggi dan dalam waktu
lama (6 bulan-1 tahun), Hati-hati terhadap bahaya infeksi dan trombosis Penanganan Nyeri Pengobatan medikamentosa/ farmakologi • Pada nyeri ringan pengobatan dimulai dengan asetaminofen atau GAINS, kemudian dievaluasi dalam 24-72 jam, bila masih nyeri ditambahkan amitriptilin 3x25 mg atau opioid ringan kodein sampai dengan 6 x 3 0 mg/ hari. • Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan opioid ringan kemudian dievaluasi dalam 24 jam, bila masih nyeri obat diganti dengan opioid kuat, biasanya dipakai morfin. Pemberian morfin intravena dimulai dengan, dosis dititrasi sampai pasien bebas nyeri. • Pada nyeri berat pengobatan morfm intravena sej ak awal dan dievaluasi sampai hitungan jam sampai nyeri terkendali baik. Setelah didapat dosis optimal maka pemberian morfin intravena diganti dengan morfm oral masa kerja pendek 4-6 jam dengan perbandingan 1:3, artinya jika dosis injeksi 20 mg/24 jam maka dosis
•
oralsebanyak3x20mg/24jam(60mg),diberikan6x lOmgatau4x 15mg/hari. Bila setelahnya nyeri terkendali baik maka diganti morfin oral kerja lama dengan dosis 2x30 mg/ hari. Bila nyeri belum terkendaH, morfm dinaikkan dosisnya menjadi dua kali lipat dan dievaluasi lebih lanjut serta berpedoman pada VAS. Obat adjuvan diberikan sesuai pengkajian, bila penyebabnya neuropatik maka selain obat-obat tersebut ditambahkan GABA (gabapentin), bila nyeri somatik akibat metastasis tulang sedikit dapat ditambahkan OAINS dan bisfosfonat, bila metastasis luas dan multipel maka pilihan utamanya adalah radioterapi dan dapat ditambahkan bisfosfonat.
Pengobatan Non Medikamentosa: 1. Penanganan psikiatris 2. Operasi bedah saraf 3. Blok anestesi 4. Rehabilitasi medik Penanganan Infeksi • Infeksi oleh bakteri gram negatif Kombinasi antibiotik beta laktam dengan aminoglikosida Monoterapi dengan seftazidim, sefepim, imipenem, meropenem • Infeksi oleh bakteri gram positif. Staphylococcus epiderrnidis sering resisten pada berbagai macam antibiotika, diberikan vankomisin dan teikoplanin • Infeksi jamur. Pemberian amfoterisin B dianjurkan pada pasien neutropenia dengan demam berkepanjangan setelah pemberian antibiotika spektrum luas untuk 213 Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
beberapa hari tanpa adanyabakteremia. Infeksi virus dapat terjadi pada pasien neutropenia tanpa imunosupresi, sehingga beberapa pusat menganjurkan pemberian asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan akan mengalami neutropenia berat untuk waktu yang lama.
Masalah Efek Samping Sitostatika 1. Penekanan sumsum tulang • Pemilihan dan penjadwalan obat sitostatika yang tepat • Pencegahan infeksi pada pasien neutropenia berupa dekontaminasi saluran
•
•
cema, kulit dan rambut bila akan mandapat kemoterapi agresif Pengobatan infeksi, bila hasil kultur belum ada, diberikan pengobatan empiris yang dapat menjangkau Gram positif dan�negatif, anti jamur, bila perlu antivirus \ G-CSF saat ini dapat diberikan pada keadaan granulositopenia, terutama
yang mendapat kemoterapi agresif Mual dan muntah Meliputi fenotiazin, haloperidol, metoklopropamid, antagonis serotonin (ondansetron, granisetron dan tropisetron), kortikosteroid, benzodiazepin, nabilon, antihistamin dan kombinasi obat-obat antiemetik di atas. Dianjurkan kombinasi tersebut meliputi deksametason diikuti antagonis serotonin atau difenhidramin dan metoklopropamid Toksisitas jantung Pasien dengan risiko tinggi (EF< 50%)harus menjalani ekokardiografi setiap satu atau dua siklus pengobatan, sedangkan pada yang tidak berisiko tinggi ekokardiografi diulang setelah dosis kumulatif 350-400 mg/m2. Hal yang paling penting pada pemantauan adalah dosis kumulatif (epirubisin 950 mg/m-, daunorubisin 750 mg/m� mitomisin 160 mg/m� dan doksorubisin 550 mg/m�) Toksisitas ginjal Kerusakan ginjal dapat dicegah dengan hidrasi adekuat, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dan diuretik Ekstravasasi obat-obat kemoterapi yang bersifat vesikan dapat dicegah dengan memastikan jalan infus intravena lancar dan setelah kemoterapi diberikan, cairan infus tetap diberikan Sindrom lisis tumor Untuk mencegah hal ini, mulai 48 jam sebelum kemoterapi sampai dengan 3-5 hari setelahnya diberikan hidrasi intravena 3000 ml/m�, alopurinol 500 mg/m�per oral, bila kadar asam urai > 7 mg/dl diberikan alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dengan mempertahankan pH urin di atas 7
2.
3.
4.
5.
6.
KOMPLIKASI Hati-hati dengan efek samping morfin
PROGNOSIS • • •
Advitam: malam Ad flingsionam: malam Ad sanasionam: malam
214
Hanatologi Onkobgi Medik
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
:
1. Harsal, A. Tatalaksana nyeri hanker. Dalam: Setiati, S. Alwi, I. Kasjmir, YI, Bawazier, LA. Lydia, A. Syam, A F dkk. Current diagnosis and treatment in internal medicine 2002. PIP IPD FKUIJakarta 2002:15-20. 2. Sutandyo, N. Harryanto, A. Peran nutrisipada keganasan. Dalam: Setiati, S. Soewondo, P Pitoyo, CW. Syam, AF. Mansjoer, A. Periemuan Ilmiah Tahunan Perkembangan mutakhir IPD. PIP IPD FKUIJakarta 2003:130-3. 3. Reksodiputro, AH. Sutandyo. N. Nafrialdi. Yunihastuti, E. Beberapa aspekpengobatan suportif pada pasien kanker Dalam: Alwi, I. Setiati, S. Sudoyo, AW. Bawazier, LA. Kasjmir, YI. Mansjoer, A. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu penyakit dalam. PIP IPD KFUIJakarta 2001:123-38.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
215
POLISITEMIA VERA PENGERTIAN Polisitemia merupakan kelainan sistem hemopoesis yang dihubungkan dengan peningkatan j umlah dan volume sel darah merah (eritrosit) secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa
memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal (tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya). Berbeda dengan polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin meningkat secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin.Perjalanan klinis ; 1. Fase eritrositik atau fase polisitemia Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal. 2. Fase burn out atau spent out Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi, kadang timbul anemia. 3. Fasemielofibrotik Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai mielofibrosis dan metaplasia mieloid 4. Fase terminal
DIAGNOSIS International Polycythemia Study Group II Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria a. A1+A2+A3 atau b. A1+A2+ 2 kategori B
KategoriA 1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr-51. Pada pria > 36 ml/kg dan pada wanita > 32 ml/kg. 2. Saturasi oksigen arterial > 92% (pada polisitemia vera, saturasi oksigen tidak menurun) 3. Splenomegali Kategori B 1. Trombositosis: trombosit > 400.000/ml 2. Leukositosis; leukosit > 12.000/ml(tidakadainfeksi) 3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas/infeksi) 4. Kadar vitamin B12 > 900 pg/ml dan atau UB12BC dalam serum > 2200 pg/ml
216
Hematologi Onkobgi Medik
DIAGNOSIS BANDING Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
Laboratorium; eritrosit, granulosit, trombosit, kadar B12 serum, NAP, saturasi Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan kelainan mieloproliferatifyang lain.
TERAPI Prinsip pengobatan: 1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal dan mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi 2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum terkendali 3. Menghindari pengobatan berlebihan 4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda 5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas 40 tahun blla didapatkan: - trombositosis persisten di atas 800.000/ml terutama jika disertai gejala trombosis - leukositosis progresif splenomegali simtomatik atau menimbulkan sitopeniaproblematic gejala sistemik yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi. A. Flebotomi Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pada wanita dan 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Indikasi flebotomi terutama untuk untuk semua pasien pada permulaan penyakit dan yang masih dalam usia subur. Indikasi: L Polisitemia vera fase polisitemia 2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55%) 3. Psolisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate B. Kemoterapi sitostatika Tujuannya adalah sitoreduksi Indikasi; • Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV) • Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan • Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis • Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin • Splenomegali simtomatik/ mengancam ruptur limpa
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
217
Cara pemberian: • Hidroksiurea 800-1200 mg/m�ari atau 10-15 mg/kg/kali diberikan dua kali sehari. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untukpemeliharaan • Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/hari selama 3-6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu. • Busulfan 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m2/hari. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan. C. Fosfor radioaktif P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi/m2 intravena, bila per oral dinaikkan
25%. Selanjutnyabila setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama: • mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang j ika diperlukan • tidakberhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah 10-12 minggu dosis pertama Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil D. Kemoterapi biologi (sitokin) E. • • • •
Pengobatan suportif Hiperurisemia: allopurinol 100-600 mg/hari Pruritus dengan urtikaria: antihistamine PUVA Gastritis/ ulkus peptikum: antagonis reseptor Antiagregasi trombosit anagrelid
KOMPLIKASI Trombosis, perdarahan, mielofibrosis
PROGNOSIS • • •
Ad vitam: dubia ad malam Ad fungsionam; malam Ad sanasionam: malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan; Departemen Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi RS non pendidikan: Bagian Penyakit Dalam
REFERENSI : 1. AbdulMuthalib. Effendy, S. Polisitemia vera. Dalam: Suyono. S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. JilidIL EdislIIL Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.p. 541-6 2. Polycythemia vera. Hematologie Klapper. 8'� ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden, Juni 1999:48-9. 218
2.8
GERIATRI
Geriatii
PENGKAJIAN GERIATRI PARIPURNA/ COMPREHENSIVE GERIATRIC ASSESSMENT {CGA) Pendekatan dalani evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun atau lebih) berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki karakteristik multipatologi, daya cadangan faali yang rendah, gejala dan tanda klinis yang menyimpang, menurunnya status fungsional, dan gangguan nutrisi. Selain itu, perbaikan kondisi medis kadangkala kurang dramatis dan lebih lambat timbulnya. Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu pasien terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah menurunnya daya cadangan faali, yang menyebabkan pasien geriatri amat mudah jatuh dalam kondisi gagal pulih {failure to thrive). Hal ini terjadi akibat penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ sesuai dengan bertambahnya usia, yang walaupun normal untuk usianya namun menandakan menipisnya daya cadangan faali. Ketiga adalah penyimpangan gejala dan tanda penyakit dari yang klasik, misalnya pada pneumonia mungkin tidak akan dijumpai gejala khas seperti batuk, demam, dan sesak, melainkan terdapat perubahan kesadaran atau jatuh. Keempat adalah terganggunya status fungsional pasien geriatri. Status fungsional adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Status fungsional menggambarkan kemampuan umum seseorang dalam memerankan fungsinya sebagai manusia yang mandiri, sekaligus menggambarkan kondisi kesehatan secara umum. Kelima adalah adanya gangguan nutrisi, gizi kurang, atau gizi buruk. Gangguan nutrisi ini secara langsung akan mempengaruhi proses penyembuhan dan pemulihan. Jika karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti pneu¬ monia, maka pasien geriatri juga seringkali muncul dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi, dan inkontinensia (sindrom geriatri). Kondisi tersebut akan semakin kompleks jika secara psikososial terdapat hendaya seperti pengabaian {neglected) atau kemiskinan (masalah fmansial). Berdasarkan uraian di atas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien geriatri mutlak hams bersifat holistik atau paripuma yang tidak semata-mata dari sisi biopsiko-sosial saja, namun juga hams senantiasa memperhatikan aspek kuratif, rehabilitatif, promotif, dan preventif Komponen dari pengkajian paripuma pasien geriatri meliputi status fungsional, status kognitif, status emosional, dan status nutrisi. Selain itu, anamnesis yang dilakukan adalah anamnesis sistem organ yang secara aktif ditanyakan oleh dokter (mengingat seringkali pasien geriatri memiliki hambatan dalam menyampaikan keluhan atau tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu keluhan) dan pemeriksaan fisik lengkap yang mencakup pula pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal.
STATUS FUNGSIONAL
Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi akutnya Panduan Pelayanan Medik PAPDI
221
sudah teratasi, tetapi pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum mampu duduk, apalagi berdiri dan berjalan, pasien belum mampu makan dan minum serta membersihkan diri tanpa bantuan. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi berbagai hendaya menjadi penting, bahkan seringkali menjadi prioritas penyelesaian masalah. Nilai dari kebanyakan intervensi medis pada orang usia lanjut dapat diukur dari pengaruhnya pada kemandirian atau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan secara keseluruhan. Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan instrumen tertentu untuk membuat penilaian menjadi obyektif, antara lain dengan indeks aktivitas kehidupan sehari-hari {activity of daily //vmg/ADL) Barthel dan Katz. Pasien dengan status fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih, mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pasien.
STATUS KOGNITIF Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisikjustru terlihat lebih menonjol temtama saat mereka sakit. Faal kognitif yang paling sering terganggu pada pasien geriatri yang dirawat inap karena penyakit akut antara lain memori segera dan jangka pendek, persepsi, proses pikir, dan fungsi eksekutif. Gangguan tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melaksanakan program yang telah direncanakan sehingga pada akhimya pengelolaan secara keseluruhan akan terganggu juga. Gangguan faal kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan {mild cognitive impoinnent/MCl dan vascular cognitive iwpairment/WCI) maupun yang lebih berat (demensia ringan, sedang, dan berat). Hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan terapeutik tersendiri. Penapisan adanya gangguan faal kognitif secara obyektif antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti Abbreviated Mental Test, the Mini-Mental State Examination (MMSE), the Global Deterioration Scale (GDS), dan the Clinical Dementia Ratings (CDR).
STATUS EMOSIONAL Kondisi psikologik, seperti gangguan penyesuaian dan depresi, juga dapat mempengaruhi hasil pengelolaan. Pasien yang depresi akan sulit untuk diajak bekerja sama dalam kerangka pengelolaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif atau apatis terhadap berbagai program pengobatan yang akan diterapkan. Hal ini tentu akan menyulitkan dokter dan paramedik untuk mengikuti dan mematuhi berbagai modalitas yang diberikan. Keinginan bunuh diri secara langsung maupun tidak, cepat atau lambat akan mengancam proses penyembuhan dan pemulihan. Instrumen untuk mengkaji status emosional pasien misalnya Geriatric De¬ pression Scale (GDS) yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya gangguan depresi atau gangguan penyesuaian. Pendekatan secara profesional dengan bantuan psikiater amat diperlukan untuk menegakkan
diagnosis pasti,
222
Geriatri
STATUS NUTRISI Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada seorang pasien geriatri. Gangguan nutrisi akan mempengamhi status imun dan keadaan umum pasien. Adanya gangguan nutrisi seringkali terabaikan mengingat gejala awal seperti rendahnya asupan makanan disangka sebagai kondisi normal yang terjadi pada pasien geriatri. Sampai kondisi status gizi turun menjadi gizi buruk baru tersadar bahwa memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya sudah terlambat atau setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi buruk. Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis asupan), pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Dari anamnesis harus dapat dinilai berapa kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak yang rata-rata dikonsumsi pasien. Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter cairan yang dikonsumsi. Jumlah vitamin dan mineral biasanya dilihat secara lebih spesifik sehingga memerlukan perangkat instrumen lain dengan bantuan seorang ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai untuk kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara biokimiawi. Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, dan emosional dapat dilihat pada lampiran.
223
Panduan Pelayanan Medik PAPDI No
Fungsi
Skor
Keterangan
1
Mengendalikan rangsang pembuangan tinja
0 1 2
Tak terkendali/tak teratur (perlu pencahar) Kadang-kadang tak terkendali (Ix seminggu) Terkendali teratur
2
Mengendalikan rangsang berkemih
0 1 2
Tak terkendali atau pakai kateter Kadang-kadang tak terkendali (hanya Ix/ 24 jam) Mandiri
3
Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut, sikat eigi)
0 1
Butuh pertolongan orang lain Mandiri
4
Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram)
0 1
2
Tergantung pertolongan orang lain Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang Iain Mandiri
5
Makan
0 1 2
Tidak mampu Perlu ditolong memotong makanan Mandiri
6
Berubah sikap dari berbaring ke duduk
0 1 2 3
Tidak mampu Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk (2 orang) Bantuan minimal 1 orang Mandiri
0 1 2 3
Tidak mampu Bisa (pindah) dengan kursi roda Berjalan dengan bantuan 1 orang Mandiri
7
Berpindah / berjalan
Nilai Skor
LAMPIRANI
INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARTHEL (AKS BARTHEL)
tahun
9
Naik turun tangga
10
Mandi
0. Salah
1. Benar
1 2
Sebagian di bantu (misalnya mengancing baju) Mandiri
0 1
Tidak mampu Butuh pertolongan
0 Tergantung orang lain 1 Mandiri TOTAL S K O R
Keterangan :
Skor AKS BARTHEL
20
: Mandiri
12-19
: Ketergantungan ringan
9-11
: Ketergantungan sedang
0. Salah
5-8 : Ketergantungan berat 0-4 : Ketergantungan total
224 Geriatii 8
0
Memakai baju
Tergantung orang lain
LAMPIRAN 2 ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT) _Status mental_Nilai_ A. Umur...................... B.
Waktu / jam sekarang
0. Salah
1. Benar
C.
Alamat tempat tinggal
0. Salah
1. Benar
E.
Saat ini berada di mana
0. Salah
1. Benar
F.
Mengenali orang lain (dokter, perawat, penanya)
0. Salah
1. Benar
G.
Tahun kemerdekaan RI
0. Salah
1. Benar
0, Salah
1. Benar
H. Nama Presiden RI I.
Tahun kelahiran pasien atau anak terakhir..........
1. Benar
J.
Menghitung terbalik (20 s/d 1)
0. Salah
1. Benar
A. Baik
B. Labil
C. Depresi
D. Gelisah
K. Perasaan hati (afeksi)
E. Cemas Total Skor : (diisi oleh petugas)
Keterangan:
Skor AMT 0-3 : Gangguan ingatan berat 4-7 : Gangguan ingatan sedang 8-10 : Normal
Narna Responden :
Nama Pewawancara :
Umur Responden :
Tanggal Wawancara :
Pendidikan
:
Nilai Maksimum
Nilai Responden
Jam mulai
5
(
)
5
(
)
3
(
)
ORIENTASI Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa? Sekarang kita berada dimana? (Nama nimah sakit atau instansi, nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)
REGISTRAS I Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda, misalnya : Satu detik untuk t iap benda Kemudian mintalah responden mengulang ke tiga nama benda terscbut. Berilah nilai 1 untuk riap jawaban yang benar, bila masih salah, ulangi penyebutan ke tiga nama benda tersebut sampai responden dapat mengatakannya dengan benar: {bola, kursi, sepalu) Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah :
5
(
)
jalan,
kali.
ATENSI DAN KALKULASl berturut-turut Hitunglah selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah. Berhenti setelah 5 kali hitungan (93 -86-79-72-65). Kemungkinan lain, ejalah kata ' dengan lima huruf, misalnya DUNIA' dari akhir ke awal / dari kanan ke kiri : 'AINUD'. Satu (1) nilai untuk setiap jawaban yang benar.
3
9
(
)
(
)
MENG INGAT nama kembali ke Tanyakan tiga benda yang telah disebut di atas. Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. BAHASA a. Apakah nama benda ini? Pcrlihatkanlah pinsil dan arloji b. Ulangi kalimat berikut: "JIKATIDAK, DAN ATAU TAPI"
(2 nilai) (I nilai)
c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini: Peganglah selembar kertas dengan tangan kananmu, lipatlah kertas itu pada pertengahan dan letakkan di lantai. ( 3 nilai) d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut: " PEJAMKAN MATAANDA"
(I nilai)
e. Tulislah sebuah kalimat!
(1 nila
i)
Jumlah nilai;
{
) Tandailah tingkat kesadaran responden pada garis absis di bawah ini dengan huruf 'X'
SADAR
SOMNOLEN
STUPOR
KOMA
Jam selesai Tempat wawancara :
225
Panduan Pelayanan Medik PAPDI LAMP IRAN 3
MINI M E N TAL STATE E X A M I N ATI O N (MMSE)
No.
Pertanyaan
1. 2.
Apakah anda sebenamya puas dengan kehidupan anda? Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau kesenangan anda? Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? Apakah anda sering merasa bosan? Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan? Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran bahwa anda tidak dapat keluar dari pikiran anda? Apakah anda mera sa mempunyai semangat yang baik setiap saat? Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda? Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda? Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Apakah anda sering merasa resah dan gelisah? Apakah anda lebih senang berada di rumah daripada pergi ke luar rumah dan melakukan hal-hal yang baru? Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa depan anda? Apakah anda merasa memiliki banyak masalah dengan daya ingat anda dibandingkan kebanyakan orang? Apakah menurut anda hidup anda saat ini menyenangkan? Apakah anda sering merasa sedih? Apakah saat ini anda merasa tidak berharga? Apakah anda sangat mengkhawatirkan masa lalu anda? Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24, 25. 26. 27. 28. 29. 30.
menyenangkan? Apakah sulit bagi anda untuk memulai sesuatu hal yang baru? Apakah anda merasa penuh semangat? Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan? Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan yang lebih baik dari anda? Apakah anda sering merasa sedih terhadap hal-hal kecil? Apakah anda sering merasa ingin menangis? Apakah anda mempunyai masalah dalam berkonsentrasi? Apakah anda merasa senang ketika bangun di pagi hari? Apakah anda lebih memilih untuk tidak mengikuti pertemuan-pertemuan sosial/ bermasyarakat? Apakah mudah bagi anda untuk membuat keputusan? Apakah pikiran anda secerah biasanya?
Jawaban YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA YA
TIDAK TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA YA YA
TIDAK TIDAK TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
YA
TIDAK TIDAK
YA
TIDAK
YA YA YA
TIDAK TIDAK TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA YA
TIDAK TIDAK
Panduan Pelayana n Medik PAPDI
226 Geriatii
LAMPIRAN 4
Skor: hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal • Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1. •
Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
•
Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi
228 Geiiatri
SINDRONI DELIRIUM AKUT PENGERTIAN Sindrom delirium akut (acute confusional state/ACS) adalah sindrom mental organik yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi.
DIAGNOSIS
•
•
Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual o f Mental Dis�r(:yer�(DSM-IV-TR) meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif (gangguan daya ingat, disorientasi, atau gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang bukan akibat demensia, gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum maupun akibat intoksikasi, efek samping, atau putus obat/zat. Harus dicari faktor pencetus dan faktor risikonya - Pencetus yang sering: gangguan metabolik (hipoksia, hiperkarbia, hipo atau hiperglikemia, hiponatremia, azotemia), infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi saluran kemih), penurunan cardiac output (dehidrasi, kehilangan darah akut, infark miokard akut, gagal jantung kongestif), strok (korteks kecil), obatobatan (terutama antikolinergik), intoksikasi (alkohol, dll), hipo atau hipertennia, lesi sistem sarafpusat, psikosis akut, pemindahan ke lingkungan yang baru/tidak familiar, impaksi fekal, danretensi urin - Faktor risiko: riwayat gangguan kognitif, berusia lebih dari 80 tahun, mengalami fraktur saatmasukperawatan, infeksi yang simtomatik, jenis kelamin pria, mendapat obat antipsikotik atau analgesik narkotik, penggunaan pengikat, malnutrisi, penambahan 3 atau lebih obat, dan penggunaan kateter unn.
DIAGNOSIS BANDING Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis
PEMERIKSAAN P E NUNJANG Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan penyebab/ pencetus: • Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal, adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack, lakukan brain CTscanjikSL ada indikasi • Darah perifer lengkap • Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah • Analisis gas darah • Urin lengkap dan kultur resistensi urin 229 Panduan Pelayanan Medik PAPDI
• •
Foto toraks EKG
TERAPI • • • • •
• •
Berikan oksigen, pasang infus dan monitor Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah selanjutnya; tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus. Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik Kateter urin dipasang teaitama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia urin Awasi kemungkinan imobilisasi (lihat topik imobilisasi) Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika memang diperlukan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau benzodiazepin dan monitor status neurologisnya; pertimbangkan penggunaan antipsikotik atipikal. Kaji ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah penghentian obat antipsikotik dan pembatasan penggunaan obat tidur secepatnya Kaji status hidrasi secara berkala Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapat jam dan kalender yang besar dan jika memungkinkan diletakkan barang-barang yang familiar bagi pasien dari rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya sesering mungkin mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis sudah memungkinkan pakai alat bantu dengar atau kacamata yang biasa digunakan oleh pasien sebelumnya, motivasi untuk berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga dan tenaga kesehatan, evaluasi strategi orientasi realitas; beritahu kepada pasien bahwa dirinya sedang bingung dan disorientasi namun kondisi tersebut dapat membaik
KOMPLIKASI Fraktur, hipotensi sampai renjatan, trombosis vena dalam, emboli pani, sepsis
PR OG NO S I S Dubia
WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Geriatri
UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan etiologi ACS, Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Bidang Keperawatan, Departemen Neurologi
230 Geriatii
INSTABILITAS DAN JATUH
PENGERTIAN Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh dalam ruang meruapakan suatu interaksi kompleks sistem saraf dan muskuloskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol postural. Jatuh terjadi manakala sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang (kaki, saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kondisi ini seringkali merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat (keluhan utama dari penyakit-penyakit yang juga bisa mencetuskan sindrom delirium akut)
DIAGNOSIS Subyektif: terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizzi¬ ness, vertigo, rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri; atau terdapat riwayat jatuh Obyektif: terdapat faktorrisiko intrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinyajatuh. Faktor intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal: osteoartritis genu/vertebra XxxvcibdiX,plantarfascitis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi, hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal. Faktor intrinsik sistemik; penyakit paru obstruktifkronik (PPOK), pneumonia, infarkmiokardakut, gagal jantung, infeksi saluran kemih, gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, strok, dan transient ischemic attact/TlA), diabetes melitus dan/atau hipertensi (terutama jika
tak terkontrol), paresis inferior, penyakit atau sindrom parkinson, demensia, gangguan saraf lain serta gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia, dan hipoksia. Faktor risiko ekstrinsik/lingkungan antara lain: alas kaki yang tidak sesuai, kain/pakaian bagian bawah tubuh yang terjuntai, lampu ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata, fumitur yang terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandi/ closet terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali atau kabel yang berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang membuat seseorang terantuk. Penyebab Jatuh
Keterangan
Kecelakaan
Kecelakaan mumi (terantuk, terpleset, dll) Interaksi antara bahay a di lingkungan dan faktor yang meningkatkan kerentanan
Sinkop Drop attacks
Hilangnya kesadaran mendadak
Dizziness dan/atau
Penyakit vestibular, penyakit sistem saraf pusat
Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran
vertigo Hipotensi ortostatik
Hipovolemia atau kardiak output ya ng rendah, disfungsi otonom, gangguan aliran darah balik vena, tirah baring lama, hipotensi akibat obat-obatan, hipotensi postprandial
Obat-obatan
Diuretika, antihipertensi, antidepresi golongan trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemia, alkohol
Proses penyakit
Berbagai penyakit akut Kardiovaskular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta), sinkop sinus karotid Neurologis; TIA, strok akut, gangguan kejang, penyakit Parkinson, spondilosis lumbar atau servikal (dengan kompresi kit serebelum, pada korda spinalis atau cabang saraf), penya hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya berjalan), lesi sistem saraf pusat (tumor, hematom subdural) Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi
Idiopatik
PEMERIKSAAN PENUNJANG Beberapa pemeriksaan seperti the timed up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional (functional reach test), dan uji keseimbangan Berg {the Berg balance sub-scale of the mobility index) dapat untuk mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu mengidentifikasi faktor risiko; menemukan penyebab/pencetus:
Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal,
231
• • • • • • • •
adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack, lakukan brain CTscan]\k3i ada indikasi Darahperifer lengkap Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah Analisis gas darah Urin lengkap dan kultur resistensi urin Hemostase darah dan agregasi trombosit Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi) EKG Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)
Tabel 1. Penyebab Jatuh
232 Geriatri Tabel 2. Evaluasi pada Pasien Usia Lanjut yang Jatuh Cvaluasi
Anamnesis
Keterangan
Riwayat medis umum Tingkat mobilitas Riwayat jatuh sebelumnya Obat-obatan yang dikonsumsi
Terutama obat antihipertensi dan psikotropika
Apa yang dipikirkan pasien sebagai penyebabjatuh?
Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh?; Apakah kejadian j a tub tersebut satna sekaU tak terduga?; Apakah pasien terpleset atau terantuk?
Lingkungan sekitar tempat jatuh
Waktu dan tempat jatuh; Saksi; Kaitannya dengan perubahan postur, batuk, buang air kecil, memutar kepala
Gejala yang terkait
Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo; Palpitasi, nyeri dada, sesak; Gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan sensorik, disartria, ataksia, bingung, afasia); Aura; Inkontinensia urin atau alvi Hilangnya kesadaran
Pemeriksaan Fisik: Tanda vital
Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh? Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat bangkit setelah jatuh? Apakah adanya hilangnya kesadaran dapat dijelaskan oleh saksi?
Demam, hipotermia, frekuensi pemapasan, frekuensi nadi dan tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri
Kulit
Turgor, trauma, kepucatan
Mata
Visas
Kardiovaskular
Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus karotis
Ekstremitas
Penyakit sendi degeneratif, lingkup gerak sendi, deformitas, fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang tidak sesuai, kesempitan/kebesaran, atau rusak)
Status mental, tanda fokal, otot (kelemahan, rigiditas, spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi), proprioseptif, refleks, fiingsi saraf kranial, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke tulang kering), mor saat istirahat, gejala ekstrapiramidal: tre involunter bradikinesia, gerakan lain, keseimbangan dan cara berjalan dengan mengobservasi cara pasien _berdiri dan berjalan (uji 2et up and 20) Neurologis
233
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Tabel 3. Penilaian Klinis dan Tatalaksana yang Direkomendasikan bagi Orang Usia Lanjut yang Berisiko Jatuh Penilaian dan Faktor Risiko
Tatalaksana
Lingkungan saat jatuh sebelumnya
Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk mengurangi kemungkinan jatuh bemlang
Konsumsi obat-obatan Obat-obat berisiko tinggi (benzodiazepin, obat tidur
Review dan kurangi konsumsi obat obatan
lain, neuroleptik, antidepresi, antikonvulsi, atau antiaritmia kelas lA) Konsumsi 4 macam obat atau lebih Penghhatan Visus <20/60 Penurunan persepsi kedalaman {depth perception) Penurunan sensitivitas terhadap kontras Katarak
Penerangan yang tidak menyilaukan; hindari pemakaian kacamata multifokal saat beijalan; rujuk ke dokter spesialis mata
Tekanan darah postural (setelah >5 menit dalam posisi berbaring/�wpme, segera setelah berdiri, dan 2 menit setelah berdiri) tekanan sistolik turun > 20 mmHg (atau > 20%), dengan atau tanpa gejala, segera atau setelah 2 menit berdiri
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; review dan kurangi obat-obatan; modifikasi dari restriksi garam; hidrasi yang adekuat; strategi kompensasi (elevasi bagian kepala tempat tidur, bangkit perlahan, atau latihan dorsofleksi); stoking kompresi; terapi farmakologis jika strategi di atas gagal
Keseimbangan dan gaya berjalan Laporan pasien atau observasi adanya ketidakstabilan Gangguan pada penilaian singkat (uji get up and go atau performance-oriented assessment ofmobility)
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; kurangi obat -obatan yang mengganggu keseimbangan; intervensi lingkungan; rujuk ke rehabilitasi medik untuk alat bantu dan latihan keseimbangan dan gaya berjalan
Pemeriksaan neurologis Gangguan proprioseptif Gangguan kognitif Penurunan kekuatan otot
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; tingkatkan input proprioseptif (dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai, berhak rendah dan bersol tipis); kurangi obat-obatan yang mengenai adanya defisit kognitif; kurangi faktor mengganggu fiingsi kognitif; kewaspadaan pendamping risiko lingkungan; rujuk ke rehabilitasi medik untuk latihan gaya berjalan, keseimbangan, dan kekuatan_
234 Geriatri Pemeriksaan muskuloskeletal: pemeriksaan tungkai (sendi dan lingkup gerak sendi) dan pemeriksaan kaki
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; rujuk ke rehabilitasi medik untuk latihan kekuatan, lingkup gerak sendi, gaya berjalan, dan keseimbangan serta untuk
alat bantu; gunakan aijuk ke podiatrist Pemeriksaan kardiovaskular Sinkop Aritmia (jika telah diketahui adanya penyakit kardiovaskular, terdapat EKG yang abnormal, dan
alas kaki yang sesuai;
Rujuk ke konsultan kardiologi; pemijatan sinus karotis (pada kasus sinkop)
sinkop) Evaluasi terhadap "bahaya"* di rumah setelah dipulangkan dari rumah sakit
Rapikan karpet yang terlipat dan gunakan lampu malam hari, bathmats yang tidak licin, dan pegangan tangga; intervensi lain yang
_diperlukan_
TERAPI ■
■
■
Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah identifikasi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang tidak licin, dan sebagainya. Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik (penguatan otot, fleksibilitas sendi, dan keseimbangan), latihan Tai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk perlahan-lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk keseimbangan, dan teknik bangun setelah jatuh) perlu dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat instabilitas dan jatuh berikutnya, Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan untuk mencegah jatuh bemlang karena lingkungan tempat orang usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga upaya perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan mereka agar kejadian jatuh dapat dihindari.
KOMPLIKASI Fraktur, memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasi
PROGNOSIS Dubia
WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik
UNIT TERKAIT
235
Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan kelerlibaian etiologi/ faktor risiko instabilitas, Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Bidang Keperawatan, Departemen Neurologi, Departemen Bedah Ortopedi
236
Geriatri
G A N G G U A N KOGNITIF RINGAN DAN DEMENSIA
PENGERTIAN Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas, terdapai sualu kondisi penumnan fungsi kognitif ringan yang disebut dcngan mild cognitive inipairmeni (MCI) dan vascular cognitive impairment (VCl), yang sebagian akan berkembang menjadi demensia, baik penyakii Alzheimer maupun demensia lipe lain. Mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu kondisi "sindrom predemensia" (kondisi iransisi fungsi kognisianlarapenuaan nonnal dan demensia ringan), yang pada berbagai studi lelah dibiiktikan sebagian akan berlanjut menjadi demensia (terutama demensia Alzheimer) yangsimtomatik. Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pada keadaan penurunan fungsi kognilif ringan dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat penyakit vaskular dan aterosklerosis. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual (berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa. praksis, dan visuospasial) dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran, sehingga mempengaruhi aklivitas kerja dan sosial secara bermakna. Demensia Alzheimer merupakan demensia yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer; munculnya gejala perlahan-lahan namun progresif. Demensia vaskular merupakan demensia yang lerjadinya berhubungan dengan serangan strok (biasanya teijadi 3 bulan pasca slrok); munculnya gejala biasanya berlahap sesuai serangan strok yang mendahului (step ladder). Pada satu pasien pasca strok bisa terdapai kedua jenis ini (lipe campuran). Pada kedua tipe ini lazim lerdapat faklor risiko seperti: hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, dan faklor risiko aterosklerosis lain. Demensia dapat disertai behavioral and psychological symptoms o f dementia (BPSD) yang lazim disebut sebagai perubahan periiaku dan kepribadian. Gejala BPSD dapal berupa depresi, wandering/pacings pertanyaan berulang aiau manerism, kecemasan, alau agresivitas.
DIAGNOSIS Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk MCI dan VCI Mild Cognitive Impairment (MCI) • Keluhan memori, yang diperkuat oleh informan ♦ Fungsi memori yang tidak sesuai untuk umur dan pendidikan • Fungsi kognitif umum masih baik • Aktivitas sehari-hari masih baik • Tidak demensia
237
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Vascular Cognitive Impairment (VCI) • Gangguan kognitif ringan sampai sedang, terutama fiingsi eksekutif • Tidak memenuhi kriteria demensia • Mempunyai penyebab vaskular berdasarkan adanya tanda iskemia atau infark jaringan otak
• Bukti lain adanya aterosklerosis • Hachinski Ischemic Score (HIS) yang tinggi
Tabel 2. Kriteria Diagnosis untuk Demensia (Sesuai dengan DSM IV) A. Munculnya dcllsit kognTiirrruiltipel yang bennanifestasi pada kedua keadaan berikut 1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi bam atau untuk mengingat informasi yang baru saja dipelajari) 2.
Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut a. Afasia (gangguan berbahasa) b. c.
Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun flingsii motorik masih normal) Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentiflkasi benda walaupun fungsi sensorik masih normal)
Gangguan fiingsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganisasi, berpikir mnut, berpikir abstrak) B. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium. d.
DIAGNOSIS BANDING Acute confusional state, depresi, Penyakit Parkinson Catatan; demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan/atau Penyakit Parkinson
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG •
Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini-Mental State Examination (MMSE), The Global Deterioration Scale (CDS), dan The Clinical Dementia
Ratings (CDR). Nilai MMSE dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksa harus mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan MMSE. • Fungsi tiroid, hati, dan ginjal • KadarvitaminB12 • Kadar obat dalam darah (terutama yg bekerja pada susunan saraf pusat) • CT scan, MRI 238 Geriatri Tabel 3. Kriteria untuk Diagnosis KJinis Penyakit Alzheimer menurut the National Institute ofNeurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer �s Disease and Related Disorders Association (ADRDA) 1.
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup: Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the mini-mental test, Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan
2.
3.
4.
5.
6.
sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis Defisit pada dua atau lebih area kognitif Tidak ada gangguan kesadaran Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun Tidak adanya kelainan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh: Penurunan progresif ftingsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara neuropatologi Hasil laboratorium yang menunjukkan Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas slow-wave Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh pemeriksaan serial Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer; Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau) Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal katastroflk, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut, seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gait disorder) Kejang pada penyakit yang lanjut Pemeriksaan CT normal untuk usianya Gambaran yang membuat diagnosisprafeaii/e penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah: Onset yang mendadak dan apolectic Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kejang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit Diagnosis possible penyakit Alzheimer: Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, dan adanya variasi pada awitan, gajala klinis, atau perjalanan penyakit Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk menyebabkan demensia, namun penyebab primem ya bukan merupakan penyebab demensia Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah: Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau autopsi
Panduan Pelayanan Medik PAPDI 7.
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus yang mungkin m em pakan subtipe penyakit Alzheimer, seperti: Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama Awitan sebelum usia 65 tahun Adanya trisomi-21 Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson
239
la be l 4. Penatalaksanaan terhadap Faktor Risiko Timbulnya Gangguan Kognitif pada Usia Lanjut Faktor Risiko
Hipertensi
Penatalaksanaan Kurangi asupan garam Obat antihipertensi: awal dengan diuretik, dapat dikombinasikan dengan ACE-inhibitor, ARB, penyekat p ((3 -blocker), atau antagonis kalsium Target; TDS <130 mmHg, TDD
Dislipidemia <80 mmHg. Kurangi asupan makanan berlem ak Obat antidislipidemik Target: trigliserida < 150 mg/dL,
Diabetes Melitus
HDL kolesterol > 40 mg/dL untu k laki-laki dan > 50 mg/dL untuk perempuan serta LDL kolesterol < 100 mg/dL).
5 pilar penatalaksanaan DM: edukasi, perencanaan makan (die
Obesitas Gagaljantungf fibrilasi atniitfty hiperkoagulasiy
240
t), latihan flsik, obat hipoglikemik oral, dan insulin Perhatian pada pemilihan OHO dan insulin, disesuaikan dengan penurunan flingsi organ Target: GDP <120 mg/dL, pada usia lanjut GDP <160 mg/dL masih diterima
Penatalaksanaan sejak usia dini Target: IMT <25 kg/m' Identifikasi etiologi yang bisa dikoreksi Terapi farmakologis dan
Keterangan Rekomendasi JNC VII dan penelitian ALLHATT
•
DM tipe 2 oleh PERKENI
Dislipidemia yang dikeluarkan oleh PERKENI dan NCEP-ATP III •
Konsensus
•
Pengendalian
Karakteristik
Beberapa penulis melaporkan statin dapat menurunkan fungsi kognitif (terutama memory loss) Konsensus Penatalaksanaan
♦
Penggunaan insulin sering menimbulkan efek hipoglikemia pada usia lanjut yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan kognitif
Nama Obat
Galantamin Donepezil Rivastigmin Inhibitor Inhibitor Inhibitor 0,5-2 0,5-1 kolinesterase kolinesterase kolinesterase 3-7
Mekanisme kerja 3-5 mencapai konsentrasi maksimal (jam)
Memantin Antagonis reseptorNMDA
Absorpsi dipengaruhi makanan
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Waktu-paruh serum (jam) Metabolisme
70-80
2
5-7
60-80
Sitokrom P450
Non-hepatik
Sitokrom P450
Non-hepatik
Dosis (inisial/maksimal)
1 X 5 mg/ 1 X 10 mg
2 X 1,5 mg/ 2x6 mg
2x4 mg 2x12 mg
2x5 mg/ 2 X 10 mg
Geriatri hiperagregasi tf'ombosit, hiperhomosisteinemia,
•
nonfarmakologis yang sesuai untuk mengendalikan dan mengatasinya Rujuk ke konsultan yang sesuai
Keterangan: A.CE=angiotensin-converting-enzyme, angiotensin receptor blocker , TDS=tekanan darah sistolik, TDD=tekanan darati diastolik, HDL=high -density-lipoprotein, LDL=low-density-Upoprotein, JNC VII= the seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment ofHigh Blood Pressur, PERKENI=Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, DM= diabetes melitus, OHO=obat hipoglikemik oral, GDP=gula darah puasa, IMT=indeks massa tubuh Tabcl 5. Obat'Obatan yang Dipergunakan untuk Menghambat Penurunan dan Memperbaiki Fungsi Kognitif pada Demensia dan Gangguan Kognitif
TERAPI
Faklor tisiko: • Hipertensi • Diabetes melitus • Dislipidemia
• Gagal jantung • Hiperkoagulasi • Hipetagregasi
• Mcrokok • Obesitas • PPOK
trombosit • Ncurosifilis &HIV
•
Libatkan seorang usia lanjut pada kehidupan sosi al yang lebih intensif serta partisipasi pada aktivitas yang menstimulasi flin gsi kognitif dan stimulasi mental maupun emosional untuk menurunkan ri
Ringan* »da Modtfikasi/lcrapibila
siko penyakit Alzheimer dan memperlambat munculnya manifestasi klinis gangguan kognitif. • Latihan inemori multifaset dan latihan relaksasi • Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan orientasi realitas, rehabilitasi, dukungan kepada keluarga, manipulasi lingkungan, program harian untuk pasien, reminiscence, terapi musik, psikoterapi, modifikasi perilaku, konsultasi untuk pramuwerdha, jaminan nutrisi yang optimal • Pemberian obat pada BPSD ditujukan untuk target gejala tertentu dengan pembatasan waktu. Tentukan target gejala yang hendak diobati, identifikasi pencetus gejala; psikoterapi dan konseling diberikan bersama dengan obat (risperidon, sertralin, atau haloperidol, sesuai dengan gejala yang muncul 241
Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
Tatalaksana pada demensia berat terutama modalitas non-farmakologi *Modifikasi dari 'HMDK�'H-methyl i:>-aspartate I fatalaksana faktor risikoCummings gangguan(2004). fcognil|if
Pasien usia lanjut dengan keluhan memori subyektif / dilaporkan keluarga
Anamnesis: • Lama keluhan • Awitan • Progresivitas • Aktivitas hidup sehari-hari
• Riwayat keluarga • Penggunaan obatobatan dan alkohol • Riwayat CABG
Laboratorium: • Fungsi tiroid • Fungsi hati • Fungsi ginjal
MMSE <24 Dusaan Dcmcnsin
MMSE 24-2�� Dut�iiunMCI /\ CI
• Kadar vitamin B12 • Kadar obat dalam darah (terutama yg bekeija pada SSP) Tcrapi scsuai penycbab bila abnormal
Kek�a semua faktor risiko sesegera & seoptimal mungkm
MMSE >28 NormaK?)
Lanjulkan
pengetdsan faktor nsJko : • Terapi antihtporiensi • Injek&t/obat
Optimalisa&i per>g€loiaan faktor risiko •
Hdukasi Rujuk SpKJ / SpS / IConsultun Oeriatri
Inhibitor fcolincstcrase(masili kontrovcisi) Kcrjasama dengan SpcsialL*; tcrkait
Evalitosj funifsi kognttif tiop 6 bulan •
RkorMMSE tctap / turun
V Bvaluusi 6 biilan
hipogiikeniik Obat PQnurun
SkorMMSU mcniniikat
•
•
• •
kadar lemak AnilkoagLilan Olahraga yang teratur
•
saral larut air Asupan katorf yang baik
Si/plementasi asam folat & Vt. G12 Kon�Limsi
(propor cahric IntakB)
BerhenJi merokok
Gambar 1. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Usia Lanjut dengan Penurunan Fungsi Kognitif
KOMPLIKASI Jatuh, msaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi
PROGNOSIS Tergantung stadium diagnosis
242 Geriabi
WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Psikiater-Geriatri; NeurologGeriatri
UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri, Departemen Neurologi
UNIT TERKAIT Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri, Departemen Neurologi, Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Perawat Gerontik
243
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
I MO B I L I SA SI PENGERTIAN Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi, ketrampilan motorik, kondisi fisik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variabel ekstemal seperti keberadaan sumber-sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural (kondisi lingkungan), dan kebijaksanaan institusional. Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat perubahan fungsi fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tempat tidur, transfer, atau ambulasi selama lebih dari 3 hari. Imobilisasi menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan ''deconditiomng'\
FAKTOR RISIKO Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi Gangguan
pada Usia Lanjut muskuloskeletal
Artritis
Gangguan neurologis
Penyakit kardiovaskular
Osteoporosis Fraktur (terutama panggul dan femur) Problem kaki (bunion, kalus) Lain-lain (misalnya penyakit Paget) Strok Penyakit Parkinson Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati) Gagal jantung kongestif (berat) Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering) Penyakit vaskular perifer (klaudikasio yang sering) Penyakit paru obstruktif kronis (berat)
Penyakit paru Faktor sensorik Penyebab lingkungan
Nyeri akut atau kronik Lain-lain
Gangguan penglihatan Takut (instabilitas dan takut akan jatuh) Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau panti werdha) Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat Dekondisi (setelah tirah baring lama pada keadaan sakit akut) Malnutrisi Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada keganasan) Depresi Efek samping obat (misalnya kekakuan yang disebabkan obat antipsikotik) Perjalanan lama yang menyebabkan seseorang tidak
244
bergerak
Genatri
PEMERIKSAAN
PE NUNJANG
Pengkajian genatri paripuraa diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status flingsional, status mental, status kognitif, dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
Tabei 2. Evaluasi Pasien Evaluasi Anamnesis
Status Fungsional Status Mental Status Kognitif
Tingkat Mobilitas
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Usia Lanjut yang Mengalami Tmobi lisasi Keterangan dan lama disabilitas/i Riwayat mobilisasi - Kondisi medis yg merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi - Kondisi premorbid - Nyeri - Obat-obatan yang dikonsumsi - Dukungan pramuwerdha - Interaksi sosial - Faktor psikologis - Faktor lingkungan
-
Status kardiopulmonal Kulit Muskuloskeletal: kekuatan dan to
sendi, lesi dan defcrmitas kaki Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik Gastrointestinal Genitourinarius Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) Barthel Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatric depression scale (GDS) Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT) Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat bergerak Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut, ekokardiografi, dll) dan komplikasi akibat imobiHsasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dll)
nus otot, lingkup gerak
TERAPI Tatalaksana Umum • Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha
Panduan Pelayanan Medik PAPDI •
•
•
•
• •
245
Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien Dilakukan pengkajian geriatri paripuma, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi Temukenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terj adi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguatan otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik), latihankoordinasi/keseimbangan (misalnyaberjalanpada satugaris lurus), transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas.
• •
Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet
Tatalaksana Khusus Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat Tabel 1) • Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi • Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten • Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lebih lanjut • Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen
KOMPLIKASI Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi motorik.
PROGNOSIS Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit dasamya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan kematian
246 Genatri Tabel 3. Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ Organ/Sistem
Muskuloskeietal
Kardiopulmonal dan pembuluh darah
fntegumen Metabolik dan endokrin
Neiitologi dan psikiatri
Perubahan yang Terjadi Akibat Imobilisasi
Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktur, degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi miokard, intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan oksigen maksimal (VO2 max), deconditioning jantung, penurunan volume plasma, perubahan uji fiingsi paru, atelektasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agregasi trombosit, dan hiperkoagulasi_ Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan maserasi kulit Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa), hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme vitamin/mineral Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, gangguan keseimbangan, penurunan fiingsi kognitif, neuropati kompresi, dan rekrutmen
Traktus gastrointestinal dan urinarius
neuromuskular yang tidak efisien Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih, pembentukan batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempuma dan distensi kandung kemih, impaksi feses, dan konstipasi, penurunan motilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran napas, dan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal
WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik
UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik
UNIT TERKAIT Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri, Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Bidang Keperawatan
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
247
INKONTINENSIAURIN PENGERTIAN
•
•
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah higiene dan sosial. Inkontinensia urin mempakan masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh, depresi, dan isolasi sosial. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik, dan skibala. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan berbagai modalitas terapi
DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui penyebab dan tipe inkontinensia urin. Terdapat 2 masalah dalam sistem saluran kemih yang dapat memberikan gambaran inkontinensia urin yakni masalah saat pengosongan kandung kemih dan masalah saat pengisian kandung kemih. • Untuk inkontinensia urin yang akut, perlu diobati penyakit atau masalah yang
mendasari, seperti infeksi saluran kemih, obat-obatan, gangguan kesadaran, skibala, prolaps uteri. Biasanya, pada inkontinensia urin yang akut, dengan mengatasi penyebabnya, inkontinensianya juga akan teratasi. Inkontinensia urin yang kronik dapat dibedakan atas beberapa jenis: inkontinensia tipe urgensi atau overactive bladder, inkontinensia tipe stres, dan inkontinensia urin tipe overflow. - Inkontinensia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih (frekuensi lebih dari 8 kali), keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi), sering berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang tidak terkendali yang didahului oleh keinginan berkemih yang tidak tertahankan. - Inkontinensia urin dpe stres dicirikan oleh keluarnya urin yang tidak terkendali pada saat tekanan intraabdomen meningkat seperti bersin, batuk, dan tertawa. Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung post-void residu (PVR) >100 cc.
•
PEMERIKSAAN P E N UN JA N G Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium darah dan urin, perineometri, urodynamic study.
TERAPI Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pada penyebab inkontinensi urin. • Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan otot dasar panggul, bladder training, schedule toiletting, dan obat yang bersifat antimuskarinik (antikolinergik) seperti tolterodin atau oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilih seyogianya yang bersifat uroselektif. 248 Geiiatri •
•
Untuk inkontinensia urin tipe stres, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan utama, dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa (hati-hati pemberian agonis alfa pada orang usia lanjut). Untuk inkontinensia tipe overflow� perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan, perlu diatasi sumbatannya.
KOMPLIKASI Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.
PROGNOSIS
• • •
Inkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul, prognosis cukup baik. Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik. Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatan/ retensi urin).
WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi
Medik, Dokter Spesialis Urologi, Dokter Spesialis Uroginekologi.
UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Urologi, Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi
UNIT TERKAIT Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Urologi, Bidang Keperawatan, Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
249
DEHIDRASI PENGERTIAN Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak daripada air (dehidrasi hipotonik). Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mmol/Liter) dan peningkatan osmolalitas efektifserum (lebih dari 285 mosmol/ Liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum (135-145 mmol/Liter) dan osmolalitas efektifserum (270-285 mosmol/Liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 135 mmol/Liter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mosmol/Liter). Penting diketahui perubahan fisiologi pada usia lanjut. Secara umum, terjadi penurunan kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi penurunan respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan respons ginjal terhadap vasopresin,
DIAGNOSIS Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut tak jelas, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, penurunan turgor dan mata cekung sering tidak jelas. Gejala klinis paling spesifik yang dapat dievaluasi adalah penurunan berat badan akut lebih dari 3%. Tanda klinis obyektif lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi ortostatik. Berdasarkan studi di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, bila ditemukan aksila lembab/basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, d iuresis berkurang, berat jenis (BJ) urin lebih dari atau sama dengan 1,019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta rasio Blood Urea M�roge�/Kreatinin lebih dari atau sama dengan 16,9 (tanpa adanya perdarahan aktif saluran cema) maka kemungkinan terdapat dehidrasi pada usia lanjut adalah 81%. Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat-obat sitostatik, tidak ada perdarahan saluran cema, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• • • • •
Kadar natrium plasma darah Osmolaritas serum Ureum dan kreatinin darah BJ urin Tekanan vena sentral {central venous pressure)
250
Geriatii
TERAPI Lakukan pengukuran keseimbangan (balans) cairan yang masuk dan keluar secara berkala sesuai kebutuhan. Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500 ml/24 jam (30 ml/ kg bcral badan/24 jam) uniuk kebuluhan dasar, ditambah dengan penggantian defisil cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, lermasuk jtimlah insensible wafer loss sangat pcrlu dilakukan setiaphari. Perhalikan tanda-tanda kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola lidur, alau con/itsion. Cairan yang diberikan secara oral lergantung jenis dehidrasi, • Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air alau minuman dengan kandungan sodium rendah, jus buah sepeni apel, jeruk, dan anggur • Dehidrasi isoionik: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang mengandung sodium (jus tomaljjuga dapat diberikan lanitan isotonikyang ada di pasaran • Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar sodium yang lebih tinggi Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum per oral, selain pemberian cairan enleral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh yang hilang terutama adalah air, maka jumlah cainin rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan nimus:
Defisit cairan (liter) = Cairan badan total (CBT) yang diinginkan - CBT saat ini CBT yang diinginkan = Kadar Na serum x CBT saat ini 140 CBT saat ini (pria) = 50% x berat badan (kg) CBT saat ini (perempuan) = 45% x berat badan (kg) Jenis cairan kristaloid yang digunakan unluk rehidrasi tergantung dari jenis dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan Na CI 0,9% atau Dekstrosa 5% dengan kecepaian 25-30% dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi hipertonik digunakan cairan Nad 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan mengatasi pcnyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu pemberian cairaji hipertonik.
KOMPLIKASI Gagal ginjal, sindrom delirium akut
PROGNOSIS Dubia ad bonam
WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Geriatri
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
251
UNIT YANG M E N A N G A N I Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT T E R K A I T Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan etiologi dehidrasi, Bidang Keperawatan
252 Geriatri
KONSTIPASI PENGERTIAN Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit, Konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar (BAB), biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkala disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.
DIAGNOSIS Konstipasi menurut Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan: a. konsistensi feses yang keras b. mengej an dengan keras saat BAB c. rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB d. frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang. Konstipasi menurut International Workshop on Constipation dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel
1. Deflnisi Konstipasi Menurut International Workshop on Constipation Kriteria
Tipe 1.
Konstipasi fungsional (akibat waktu perjalanan yang lambat dari feses)
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan: ~ mengejan keras 25% dari BAB - feses yang keras 25% dari BAB ~ rasa tidak tuntas 25% dari BAB ~ BAB kurang dari 2 kali per minggu
2.
Penundaan pada muara rektum (terdapat disfungsi ano-rektal)
� hambatan pada anus lebih dari 25% BAB waktu untuk BAB lebih lama � perlu b antuan jari -jari untuk mengeluarkan feses
PEMERIKSAAN P E NUNJANG
• • • • • •
Darah perifer lengkap Glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan kalsium) darah Fungsi tiroid CEA Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi unluk menemukan adakah fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan) Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang 253
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
•
terjadinya akut untuk mendeteksi adanya impaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjuikan dengan barium enema uniuk memastikan lempal dan sifal sumbatan. Pemeriksaan yang iniensif dikeijakan sccara selektifseielah 3-6 bulan pengobaian konstipasi kurang berhasii dan dilakukan hanya pada pusal-pusat pengelolaan konslipasi terlenlu. Uji yang dikerjakan dapai bersifal anatomis (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologis (waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manomelri, dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konslipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum, Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluamya darah dari rektum aiau adanya riwayal keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi. Waklu persinggahan sualu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan lersebut. Bila limbunan zai ini teiiiLamaditemukandi rektum menunjukkankegagalan ilingsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluaih. Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorekiai uniuk nienilai evakuasi feses secara lunias, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi oiot rektum. Uj i ini memakai semacam pasta yang konsistensinya niirip feses, dimasiikkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang dilelakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebui. Dinilai kelainan anorekiai saat proses berlangsung. Uji manomeiri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahai dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
-
Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakali atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingier yang lerhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non-spesifik.
TERAPI • ■ •
•
Aktivitas dan olahraga teratur Asupan cairan dan serat (25-30 gram/hari) yang cukup Latihan usus besar; Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besamya. Dianjurkan waktu ini adalah 510 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini. Jika modifikasi perilaku kurang berhasii, ditambahkan terapi farmakologi, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar: a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain: -
Cereal Methyl selulose
254
•
Geiiatii Psilium b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya antara lain; Minyak kastor - Golongan docusate c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain: - Sorbitol - Lactulose Glycerin d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai, Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus mesenterikus danberakibat dismotilitas kolon. Contohnya antara lain; - Bisakodil - Fenolptalein Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan caracara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
KOMPLIKASI Sindrom delirium akut, aritmia, ulserasi sterkoraseus, perforasi usus, retensio urin, hidronefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia urin, inkontinensia alvi, dan vol¬
vulus daerah sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rektum
PROGNOSIS Dubia ad bonam
WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, dan Konsultan GastroEnterologi
UNIT YANG MENANGANI Divisi/Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT Departemen Rehabilitasi Medik, Bidang Keperawatan, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
255
PNEUMONIA PADA GERIATRI PENGERTIAN Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri (Gram-posilifmaupun Gram-negatif, tipikal maupun atipikal), virus, jamur dan parasit. Terdapatbeberapa jenis pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi: pneu¬ monia komunitas {community-acquiredpneumonia, CAP), pnemonia yang didapat di rumah sakit {hospital-acquiredpneumoma, HAP), dan pneumonia yang didapat di ICU {ventilator-associatedpneumonia, VAP).
DIAGNOSIS Infiltrat baru atau perubahan infiltrat progresif pada foto toraks, dengan disertai sekurang-kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor berikut: :l.batuk Gejala Mayor 2. sputum produktif 3. demam (Suhu >37,8�C) : 1. sesak napas Gejala Minor 2. nyeri dada 3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik 4. j umlah leukosit >12.000/|iL Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium), tidak maumakan, jatuh, dan inkontinesiaakut.
DIAGNOSIS BANDING Emboli paru, gagal jantung, tuberkulosis paru.
PEMERIKSAAN P E NUNJANG Darah lengkap dengan hitung jenis, ureum dan kreatinin, analisis gas darah dan saturasi oksigen, c-reactive protein, albumin, foto toraks, EKG, kultur sputum mikroorganisme dan resistensi.
TERAPI • •
Suportif: oksigen, cairan, nutrisi, mukolitik-ekspektoran, bronkodilator. Farmakologis; - Antibiotika empirik segera diberikan sejak awal sesuai dengan jenis pneu¬ monia yang terjadi (CAP, HAP, atau VAP). Pada CAP dapat diberikan antibiotika golongan b-laktam/anti b-laktamase dan sefalosporin generasi II atau III yang dikombinasi dengan makrolid atau doksisiklin, atau fluorokuinolon saluran napas (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin) sebagai obat tunggal. Pada HAP atau VAP dipilih antibiotika yang bekerja terhadap kuman Pseudomonas dan kuman nosokomial lain, seperti sefalosporin generasi III anti-pseudomonas, sefalosporin generasi IV,
256
•
Geiiatd piperacillin-tazobaktam, kuinolon anti-pseudomonas (ciprofloksasin), atau aminoglikosida. - Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan biakan kuman dan uji resistensi. - Pemilihan antibiotika juga harus memperhatikan penurunan flingsi organ yang mungkin sudah terjadi pada usia lanjut. Program rehabilitasi medik (fisioterapi dada dan program lain yang terkait).
KOMPLIKASI Empiema, efusi pleura, gagal napas, sepsis sampai syok sepsis.
PROGNOSIS Dubia WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Geriatri
UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Bidang Keperawatan, Departemen Gigi-Mulut.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
257
INFEKSI SALURAN KEMIH PENGERTIAN Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang melibatkan struktur saluran kemih, yaitu dari epitel glomerulus tempat mulai dibentuk urin sampai dengan muara urin di meatus urethrae externae. Secara mikrobiologi definisi infeksi saluran kemih (ISK) adalah terdapatnya mikroorganisme pada struktur saluran kemih dan baru dapat dipastikan setelah didapatkannya bukti adanya koloni mikroorganisme dalam pemeriksaan kultur urin. ISK pada usia lanjut dapat timbul sebagai akibat dari kondisikondisi yang sering menyertai orang usia lanjut, seperti inkontinensia urin dan hipertrofi prostat yang memerlukan pemakaian kateter menetap, imobilisasi, dan menurunnya fungsi imunitas baik non-spesiflk maupun spesifik.
DIAGNOSIS
•
•
Meningkatkan kecurigaan adanya ISK bila didapatkan kondisi-kondisi akut pada usia lanjut tanpa memperhatikan gejala khas dari ISK atau mengenali faktorfaktor risiko ISK pada usia lanjut adalah merupakan pendekatan diagnosis yang tepat. Hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk memeriksakan sampel urin untuk dianalisis dan dibiak serta melakukan pemeriksaan penunjang lain guna mengetahui adanya kelainan anatomi maupun struktural. Kriteria diagnosis bakteriuria berdasarkan gambaran klinis dan cara pengambilan sampel urin: >102 Colony Forming Unit (CFU) coliform/ml urin atau >105 CFU noncoliform/ml urin, pada wanita dengan gejala ISK - >103 CFU bakteri/ml urin, pada pria dengan gejala ISK - >105 CFU bakteri/ml urin (2 kali pemeriksaan dengan jarak 1 minggu),pada wanita dan pria tanpa gejala ISK
> 102 CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan kateter Berapapun jumlah CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan gejala ISK dengan pengambilan sampel urin dari kateterisasi suprapubik PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Laboratorium • Darah tepi lengkap • Urin lengkap • Biakan urin dengan tes resistensi kuman • Fungsi ginjal (ureum, kreatinin, bersihan kreatinin) • Gula darah B. Non Laboratorium • BNO/IVP • USG ginjal TERAPI Non Farmakologi • Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
258 Geriatri
•
Menjaga kebersihan daerah genetalia bagian luar.
Farmakologi • Antibiotika sangat dianjurkan danperlu segera diberikan pada V�Y�simtomatik, sesuai dengan tes resistensi kuman atau pola kuman yang ada atau secara empiris yang dapat mencakup Escherichia coli dan gram negatif lainnya. • Pada ISK asimtomatik antibiotika hanya diberikan pada pasien dengan risiko tinggi untuk lerjadinya komplikasi yang serius (seperti tranplantasi ginjal atau pasien dengan granulositopenia) dan pasien yang akan menjalani pembedahan. • Antibiotika oral direkomendasikan untuk ISK tak berkomplikasi dengan lama pemberian 7-10 hari pada perempuan dan 10-14 hari pada laki-laki. Antibiotika parenteral untuk ISK berkomplikasi dengan lama pemberian tidak kurang dari 14 hari. • Antibiotika golongan fluorokuinolon masih digunakan sebagai pengobatan pilihan pertama. Kadang pengobatan kombinasi masih digunakan pada infeksi yang sulit dikendalikan, terutama infeksi \�'asQr\3L Enterococcus d?inPseudomonas. Golongan lain yang biasa digunakan adalah aminoglikosida, sefalosporin generasi ke-3 dan ampisilin. • Keberhasilan pengobatan pada ISK sirntomatik ditentukan oleh hilangnya gejala dan bukan hilangnya bakteri. • Evaluasi ulang dengan kecurigaan adanya kelainan anatomi atau struktural dapat mulai dipertimbangkan bila terjadi ISK berulang > 2 kali dalam waktu 6 bulan.
KOMPLIKASI Sepsis, gagal ginjal, pielonefritis akut, inkontinensia urin, ISK berulang.
PROGNOSIS Bila tak ada komplikasi; baik
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI Unit /Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNITTERKAIT
Departemen Rehabilitasi Medik, Bidang Keperawatan, Urologi, Departemen ObstetriGinekologi
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
259
ULKUS DEKUBITUS PENGERTIAN Ulkus dekubilus adalah lesi yang disebabkan oleh tekanan yang menimbulkan kerusakan jaringan di bawahnya.
DIAGNOSIS Biasanya terdapat faktor-faktor hsiko: imobilisasi, inkontinensia, fraktur, defisiensi nutrisi (terutama vitamin C dan albumin), kulit kering, peningkatan suhu tubuh, berkurangnya tekanan darah, usia lanjut. Stadium Klinis:
• •
•
Stadium I: Respons inflamasi akut terbatas pada epidemiis, tampak sebagai daerah eritema indurasi dengan kulit masih utuh atau lecet. Stadium II: Luka meluas ke dennis hingga lapisan lemak subkutan, tampak sebagai ulkus dangkal dengan tepi yang jelas dan perubahan wama pigmen kulit, biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari sampai beberapa minggu. Stadium III: Ulkus lebih dalam, menggaung, berbatasan dengan fasia dan otototot. Stadium IV: Perluasan ulkus menembus otot hingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang dan sendi.
Luka tekan biasa teijadi di daerah tulang yang menonjol seperti sakrum dan kalkaneus karena posisi terlentang, trokanter mayor dan maleolus karena posisi miring 90" dan tuberositas iskial karena posisi duduk.
DIAGNOSIS BANDING Pada ulkus dekubitus stadium IV, bila luka tidak membaik, foto tulang terdapat kelainan, hitung leukosit > 15.000/|il, atau LED 120 mm/jam kemungkinan 70% sudah ada
osteomielitis yang mendasari.
PEMERIKSAAN PE NUNJANG DPL, kuUur plus (MOR), kadar albumin serum, foto tulang di regie yang dengan ulkus dekubitus dalam.
TERAPI Umum • Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal faktor-faktor risiko untuk terjadinya dekubitus serta eliminasi faktor-faktor risiko tersebut. • Perhatikan status nutrisi pada semua stadium ulkus dekubitus. Pemberian asam askorbat 500 mg 2 kali sehari dapat mengurangi luas permukaan luka sebesar 84%. Asupan protein juga merupakan prediktor terbaik untuk membaiknya luka dekubitus.
260 Geiiatri
Antibiotik sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, sepsis, atau osteomielitis. Klindamisin dan gentamisin dapat berpenetrasi ke dalam jaringan di sekitar ulkus. Pemberian antibiotik spektrum luas untuk batang gram negatif dan positif, anaerob, dan kokus gram positif dilakukan pada pasien sepsis karena ulkus dekubitus. Debridement semua jaringan nekrotik hams dilakukan untuk membuang sumber bakteremia pada pasien tersebut. Tempat tidur khusus; Penggunaan kasur dekubitus yang berisi udara serta reposisi 4 kali sehari menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus dibandingkan penggunaan tempat tidur biasa dengan reposisi setiap 2 jam. Perawatan luka: tujuan perawatan luka adalah untuk mengurangi jumlah bakteri agar proses penyembuhan tidak terhambat. Hal ini dapat dilakukan dengan de¬ bridement jaringan nekrotik secara pembedahan atau dengan menggunakan kompres kasa dengan NaCl dua hingga tiga kali sehari. Antiseptik seperti povi¬ done iodine, asam asetat, hidrogen peroksida, dan sodium hipoklorit (larutan Dakin) bersifat sitotoksik terhadap fibroblas sehingga mengganggu proses penyembuhan. Antibiotik topikal seperti silver sulfadiazin dan gentamisin tidak menunjukkan sifat sitotoksik. Bila sangat diperlukan seperti pada luka dengan pus atau sangat bau, antiseptik dapat digunakan dalam waktu singkat dan segera dihentikan begitu luka bersih. Zat-zat pembersih enzimatik seperti kolagenase, fibrinolisin, dan deoksiribonuklease serta streptokinase-streptodornase bisa membantu untuk debridement jaringan nekrotik namun zat-zat ini juga akan merusak proses penyembuhan bila digunakan setelah luka bersih. Bila luka telah bersih, harus dipelihara suasana luka yang lembab untuk merangsang penyembuhan. Dari penelitian diketahui bahwa kompres yang tertutup rapat dapat membantu penyembuhan pada luka superfisial tapi tidak pada luka yang dalam. Kompres ini harus dibiarkan selama beberapa hari untuk memfasilitasi migrasi epidermis (epitelisasi). Luka dalam yang bersih harus dikompres kasa steril yang dibasahi dengan larutan NaCl atau RL. Kasa lembab ini harus dijauhkan dari jaringan kulit sekitar luka agar jaringan normal tidak teriritasi. Tindakan medik berdasarkan derajat ulkus:
a. Dekubitus) derajat I: Kulit yang kemerahan dibersihkan dengan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimasase 2-3 kali/hari. b. Dekubitus derajat II: Perawatan luka memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Dapat diberikan salep topikal. Pergantian balut dan salep jangan terlalu sering karena dapat merusak pertumbuhan jaringan yang diharapkan. c. Dekubitus] derajat III: Usahakan luka selalu bersih dan eksudat dapat mengalir ke luar. Balutan jangan terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara dapat masuk dan penguapan berjalan baik. Dengan menjaga luka agar tetap basah akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit. d. gemua llangkah jii atas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan karena akan menghalangi epitelisasi. Penilaian tindak lanjut diulang minimal seminggu sekali. Evaluasi yang diperlukan adalah mengenai lokasi, stadium, ukuran, dan karakteristik lainnya yang perlu dicatat. Dalam waktu 2 hingga 4 minggu ulkus harus menunjukkan perbaikan. Panduan Pelayanan Medik PAPDI
26]
Berkurangnya ukuran ulkus dalam waktu 2 minggu memberi gambaran akan terjadinya penyembuhan sempuma.
KOMPLIKASI Sepsis
PROGNOSIS Dubia ad bonam
UNIT YANG MENANGANI Unit/Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Bedah Ortopedi, Bedah Plastik, Bedah Vaskular
UNIT TERKAIT Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin
262
Genatri
MALNUTRISI PENGERTIAN Malnutrisi energi-protein adalah keadaan yang disebabkan ketidakseimbangan antara asupan kalori dan protein dengan kebutuhan tubuh. Pada orang usia lanjut, malnutrisi sulit dikenali karena terjadi berbagai perubahan fisiologis seiring peningkatan usia, termasuk perubahan akan kebutuhan zat gizi, serta adanya berbagai penyakit kronik. Malnutrisi yang terjadi pada usia lanjut sering dipengaruhi berbagai hal seperti keadaan gigi-geligi, gangguan menelan, masalah neuropsikologis (depresi, demensia), keganasan, dan imobilisasi.
DIAGNOSIS Komponen penilaian status gizi pada usia lanjut mencakup: anamnesis, pemeriksaan fisis dan antropometrik, serta laboratorium. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat menentukan ada-tidaknya malnutrisi, namun setidaknya dapat menentukan apakah seorang usia lanjut berisiko atau diduga mengalami malnutrisi. • Anamnesis: Asupan zat gizi sehari-hari (food recall), penurunan berat badan, . gangguan mengunyah, gangguan menelan, status fungsional (aktivitas hidup sehari-hari terutama yang berhubungan dengan penyiapan dan proses makan), penyakit kronis yang diderita (termasuk ada-tidaknya diare kronik), adanya depresi atau demensia, serta penggunaan obat-obatan. • Pemeriksaan fisis: Higiene rongga mulut, status gigi-geligi, status neurologis (gangguan menelan), kulit yang kering/bersisik, rambut kemerahan, massa otot, edema tungkai. • Antropometrik: Lingkar lengan atas, hngkar betis, tebal lipatan kulit triseps, indeks massa tubuh. • Laboratorium: Hemoglobin, jumlah limfosit, albumin, prealbumin, kolesterol darah, kadar vitamin/mineral dalam darah. Saat ini tersedia beberapa instrumen pengkajian status nutrisi pada usia lanjut yang
mengobyektifkan paduan komponen tersebut di atas, seperti The Mini Nutritional Assessment (MNA), Nutrition Screening Index (NSI), atau Subjective Global As¬ sessment (SGA).
DIAGNOSIS BANDING
PEMERIKSAAN P E N U N J A N G Darah perifer lengkap dengan hitung jenis leukosit, serum albumin, prealbumin, kadar kolesterol, kadar vitamin/mineral, elektrolit, bioelectrical impendance analysis.
263
TERAPI Evaluasi umum dan kebutuhan nutrisi • Evaluasi penyebab dan faktor risiko timbulnya malnutrisi yang pada usia lanjut umumnya merupakan kombinasi dari berbagai penyebab, mulai dari faktor sosialekonomi (kemiskinan, pengetahuan rendah), neuropsikologis (adanya demensia atau depresi), dan kondisi fisik-medik (gangguan fungsi organ pencemaan serta adanya penyakit-penyakit akut dan kronis). • Evaluasi status fungsional, terutama yang berhubungan dengan penyiapan dan proses makan. • Menentukan umlah j energi dan komposisi zat gizi yang akan diberikan. Jumlah kebutuhan energi dapat ditentukan dengan menghitung total energy expendi¬ ture (TEE). Selain jumlah kalori, kebutuhan cairan, protein/asam amino, serta mineral dan vitamin perlu juga ditentukan. Penentuan kebutuhan dan komposisi nutrisi dan cairan ini juga memerlukan evaluasi kondisi medik termasuk penurunan
fungsi organ yang terjadi (adanya gagal jantung, penyakit ginjal kronik, hepati¬ tis kronis dan sirosis hati, diabetes melitus, keganasan, dan fungsi absorbsi saluran cerna). Terapi/dukungan nutrisi • Secara umum, dukungan nutrisi pada usia lanjut yang mengalami malnutrisi dapat dilakukan melalui cara enteral atau parenteral. • Dukungan nutrisi enteral harus menjadi pilihan utama, mengingat hal ini merupakan cara yang fisiologis, Pemberian nutrisi secara enteral akan mempertahankan fungsi mencema, absorbsi, dan barier imunologis saluran cema. Bila berbagai faktor risiko dan kondisi medik dapat diatasi, umumnya pasien diharapkan dapat makan secara normal. Pada usia lanjut yang dapat makan secara normal, jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi setiap hari penting untuk dipantau karena mereka cenderung untuk mengurangi makannya. Pada beberapa keadaan, nutrisi enteral dapat diberikan melalui pipa nasogastrik, pipa nasoduodenum, pipa nasoileum, maupun dengan gastrostomi. Dukungan nutrisi enteral semacam ini umumnya berupa makanan cair, sehingga overload cairan harus menjadi pertimbangan (misalnya dengan mengentalkan). • Dukungan nutrisi parenteral dipilih bila secara enteral nutrisi tidak mungkin
dilakukan, Umumnya digunakan pada pasien usia lanjut di rumah sakit yang dalam keadaan akut atau sakit berat (critically ill), dimana fungsi saluran cema terganggu atau terdapat kontraindikasi pemberian nutrisi enteral (seperti adanya perdarahan saluran cerna, pankreatitis, atau ileus). Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dukungan nutrisi parenteral dilakukan untuk jangka panjang dan dilakukan di rumah atau fasilitas perawatan jangka-panjang lain. Saat ini telah banyak tersedia berbagai jenis dan komposisi zat nutrisi (kalori, asamamino, lipid, mineral/vitamin) dalam bentuk cairan parenteral. Penggunaan dukungan nutrisi parenteral memerlukan teknik khusus dan pemantauan yang ketat. Terapi lain • Pada pasien-pasien keganasan atau keadaan lain dimana terdapat anoreksia, dapat diberikan peningkat nafsu-makan (appetite stimulant) seperti megesterol asetat.
264
KOMPLIKASI Status imunitas menurun, pemulihan dari penyakit menjadi lambat.
PROGNOSIS Dubia
UNIT YANG MENANGANI Unit / Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Gizi Klinik.
UNIT TERKAIT Instalasi gizi, Bidang Keperawatan.
265
2.9
Wkosamadk
DEPRESI PENGERTIAN Depresi nierupakan Gangguan afektif yang ditandai adanya mood depresi (sedih), hilang minal, dan mudah ielah. Pada umumnya pasien datang ke klinik penyakit dalam dengan keluhan somaiik,
DIAGNOSIS GejalaA • Perasaan sedih (depresif)> tidak bisa menikmati hidup • Kurang atau tidak ada perhatian pada lingkungan • Mudah lelah Gejala B • Konsentrasi dan perhatian kurang • diri dan Harga kepercayaan diri kurang • Perasaan bersalah/tidak berguna • masa Pandangan depan suram/pesimis • Tidur terganggu • Nafsu makan kurang/bertambah Diagnosis ditegakkan apabila ada gejala-gejala tersebut dengan ataupun tanpa gejala
somatik. Derajat depresi: 1. Ringan; 2 gejala A dan 2 gejala B 2. Sedang; 2 gejala A dan 3 gejala B 3. Berat : 3 gejala A dan 4 gejala B
DIAGNOSIS BANDING Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi)
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fiingsi hati, urin lengkap AGD, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi Foto toraks, bila perlu EKQ elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu Endoskopi", kolonoskopi, USG, bila perlu
TERAPI Nonfarmakologis: edukasi, reassurance, psikoterapi Farmakologis: • Antidepresan: maprotilin, amineptin; moklobemid; dan obat golongan SRRI seperti sertralin, paroksetin dan Iain-lain • Simtomatik, sesuai indikasi 269 Panduan Pelayanan Medik PAPDI
KOMPLIKASI Kurang / tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG ■ •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam RS non pendidikan; -
R E F E RE N S I L
MudjaddidE, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M. Setiati S, Alwi /, Matytwtoro, Gatu RA, Mansjoer A. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian flmu Penyakit Dalam
FKUI; 1999.p. 193-4. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical ofPsycho physiologic Reaction. 3'''� Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual ofmental disorder. 4'� edition. American Psychiatric Assosiation. Washington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4'� Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation.: Molecular aspects, integrative system and clinical advances. In: McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW, Smith CC editors. Annal o f New York Academy o f Sciences. 1998; 840. 2.
270
Wkosomatik
DISPEPSI FUNGSIONAL PENGERTIAN Dispepsi fungsional adalah perasaan dispepsia tanpa disertai adanya kelainan organik
DIAGNOSIS • • • • • •
Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati Perih, mual, kembung, cepat kenyang , muntah, sering bersendawa, regurgitasi. Keluhan dirasakan terutama berhubungan / dicetuskan dengan adanya stres Berlangsung lama dan sering kambuh Sering disertai gejala gejala ansietas dan depresi Pemeriksaan endoskopi normal
DIAGNOSIS BANDING
• • •
Dispepsia oleh sebab organik misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif dsb. Gangguan pada sistem hepato-bilier. Dispepsi yang disebabkan penyakit kronik lain misalnya Gagal ginjal, diabetes melitus dsb.
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG
•
Hb, Ht, leukosit, kreatinin, ureum, gula darah, tes flingsi hati, urin lengkap.
• • •
Radiologis : Foto lambung dan duodenum dengan kontras. Endoskopi Pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi untuk menyingkirkan diagnosis banding
TERAPI •
• •
Simptomatik diberikan antasida, obat-obatan H2 antagonis, seperti: simetidin, ranitidin, famotidin; penghambat pompa proton seperti omeprazol dan obatobatan prokinetik. Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan ansiolitik atau anti depresan yang sesuai. Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku.
KOMPLIKASI Dehidrasi bila muntah berlebihan, gangguan gizi.
PROGNOSIS Dubia ad Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Panduan Pelayanan Medik PAPDI
271
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan : -
REFERENSI 1. MudjaddidE. Sindrom Kolon Ihtabel. In :Simadibrata M, SetiaiiS, AlwiI, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUJ; I999.p. 197-8. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical ofPsychophysiologic Reaction. 3th Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual o f mental disorder. 4'� edition. American Psychiatric Assosiation. Washington J994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour 4'� Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation.: Molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM, Upton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, GoldPW, Smith CC editor. Annal of New York Academy o f Sciences. 1998;840.
212
ftakosomatik
SINDROM LELAH KRONIK PENGERTIAN Sindrom lelah kronik adalah rasa lelah yang berlangsung lama dan tidak hilang dengan istirahat tanpa penyebab organik yang jelas.
DIAGNOSIS
•
•
Gejala utama: rasa lelah kronis yang dirasakan terus menerus atau berulang. Rasa lelah bertambah bila melakukan aktivitas atau saat mengalami stres emosi dan tidak pulih sepenuhnya dengan istirahat. Gejala tambahan yang dapat menyertai ialah mialgia, sefalgia, nyeri sendi, nyeri tenggorok (faringitis), demam, limfadenopati terutama daerah leher atau aksila.
Juga didapatkan adanya gejala-gejala neuropsikologis seperti depresi, kecemasan, insomnia Gejala utama dalam 6 bulan atau lebih disertai minimal 4 gejala tambahan dan tidak didapatkan penyakit kronis lain yang spesifik.
DIAGNOSIS BANDING Chronic fatigue, fibromialgia, keganasan, infeksi kronis, penyakit autoimun, penyalahgunaan obat (drug abuse)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik Pemeriksaan penunj ang sesuai dengan gej ala yang dominan dan bila diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosis
TERAPI • • • •
Terapi simtomatik sesuai gejala yang dominan Antidepresan Latihan (rehabilitasi) psikis dan fisik Terapi penunjang lain, diet rendah lemak, vitamin, tidak merokok, tidak minum alkohol
KOMPLIKASi Isolasi sosial, tidak mampubekerja
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
273
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam RS non pendidikan : -
REFERENSI: 1. MudjaddidE. ChronicFatiqueSyndrome. In: SimadibrataM, SetiatiS, Alwil, Maryantoro, Gani RA, MansjoerA, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; I999.p. 198-9. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical ofPsychophysiologic Reaction. 3th Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4'� edition. American Psychiatric Assosiation. Washington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour 4'� Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation.: Molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, GoldPW, Smith CC editor. Annal of New York Academy o f Sciences. 1998; 840.
274
Rakosomatik
ANSIETAS PENGERTIAN Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebihbersifat subyektif. Pada umumnya pasien datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik.
DIAGNOSIS 1. Perasaan cemas berlebihan, subyektif, tidak realistis 2. Terdapat keluhan dan gejala-gejala sbb: • Ketegangan motorik: kedutan otot, kaku, pegal, sakit dada, sakit persendian • Hiperaktif otonom: sesak napas, jantung berdebar, telapak tangan basah, mulut kering, rasa mual, mules, diare dan Iain-lain. • Bila ditemukan adanya kelainan organis pada umumnya keluhan tidak sebanding dengan kelainan organ yang ditemukan. • Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang : mudah terkejut, cepat tersinggung sulit konsentrasi, sukar tidur dan Iain-lain. 3. Aktivitas sehari-hari terganggu : kemampuan kerja menurun, hubungan sosial terganggu, kurang merawat diri, dan lain-lain.
DIAGNOSIS BANDING Gangguan campuran ansietas dan depresi, deptresi, gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi)
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG
• •
Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap Analisis gas darah, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi
• • •
F oto toraks, bila perlu EKQ elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu
TERAPI Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi Farmakologis: • Benzodiazepin: Diazepam, Alprazolam, clobazam • Non benzodiazepim: Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas otonom menonjol x" • Simtomatik, sesuai indikasi
KOMPLIKASI Kurang/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja).
PROGNOSIS Bonam Panduan Pelayanan Medik PAPDI
275
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
•
RS Pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS non pendidikan : -
REFERENSI 1. MudjaddidE, Shatri H. Ansietas Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A,editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1999.p. 192-3. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical ofPsychophysiologic Reaction. 3'�'' Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4'� edition. American Psychiatric Assosiation. Washington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4'� Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation.: Molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM, Upton JM, Sternberg EM. CHrousos GP, GoldPW, Smith CC editor Annal o f New York Academy o f Sciences. 1998; 840.
276
Mkosamatik
SINDROM HIPERVENTILASI PENGERTIAN Sindrom hiperventilasi adalah sesak napas disertai adanya takhipnu tanpa kelainan organik
DIAGNOSIS 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Sesak napas tidak khas Merasa adanya kekurangan udara sehingga harus menarik napas panjang Sering disertai adanya takhipneu dan rasa sempit di dada Kadang-kadang disertai adanya keluhan pada jantung Parestesi Badan terasa enteng, melayang, penglihatan kabur Gejala-gejala fisik lain yang tidak khas Kejang pada tangan dan kaki seperti keadaan histerik Adanya gangguan emosional terutama rasa takut Stresor psikososial
DIAGNOSIS BANDING Angina pektoris, terutama pada orang tua, proses lokal di otak, gangguan elektrolit dan asam-basa, hipoparatiroidisme, tetanus, ansietas panik,
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG
• • • •
Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fiingsi hati, urin lengkap AGD,K,Na,Ca Foto toraks, EKG, sesuai diagnosis banding Hormon paratiroid
TERAPI Nonfarmakologis: istirahat, psikoterapi suportif Farmakologis: 1. Sungkup dan oksigen nasal 2. Ansiolitik golongan benzodiazepin 3. Koreksi bila ada gangguan elektrolit dan asam-basa 4. Simptomatik sesuai keperluan
KOMPLIKASI Sesuai dengan penyakit organik yang menyertai
PROGNOSIS Bonam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
277
WEWENANG • •
RS pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan: Divisi Pulmonologi, Kardiologi RS non pendidikan : -
REFERENSI 1. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, MansjoerA. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidangllmu Penyakit Dalam. Jakarta: Piisat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 195-6. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical ofPsychophysiologic Reaction. 3'''� Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4''� edition. American Psychiatric Assosiation. Washington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4'� Edition. 1991.Neuroimmunomodulation. : Molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, GoldPW, Smith CC editor. Annal of New York Academy of Sciences. 1998;840
278
Mkosomatik
NYERI PSIKOGENIK PENGERTIAN Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit organik
DIAGNOSIS 1.
Adanya nyeri tanpa kelainan organik yang jelas, misalnya nyeri kepala, migren, mialgia, artralgia, kolik abdomen dll. 2. Stresorpsikososial (+) 3. Sering disertai adanya gejala-gejala depresi atau ansietas
DIAGNOSIS BANDING Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, urin lengkap Foto roentgen, EKG dll sesuai diagnosis banding nyeri organik
TERAPI Nonfarmakologis : istirahat, psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku Farmakologis: Analgetik, NSAID, antispasmodik, ansiolitik dan anti depresan simtomatik lain bila perlu, analgetik narkotik, obat yang menghambal saraf lokal
KOMPLIKASI Kurang/tidak mampu melakuk�n aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
RS Pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam • RS non pendidikan: 279 Panduan Pelayanan Medik PAPDI
REFERENSI: 1. Shatri H. Nyeri Psikogenik. In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1999:199-200. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical o f Psychophysiologic Reaction. 3th Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4'� edition. American Psychiatric Assosiation. Washington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour 4'� Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation.: Molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCannSM, Upton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, GoldPW, Smith CC editor. Annal o f New York Academy of Sciences. 1998:840.
280
Rsikosamatik
SINDROM KOLON IRITABEL PENGERTIAN Sakit perut disertai gangguan buang air besar tanpa dijumpai kelainan organik
DIAGNOSIS • • • • • • • • •
Rasa nyeri/ tidak enak di perut disertai diare dan atau konstipasi Perut kembung yang tampak dengan jelasRasa nyeri di perut hilang setelah buang air besar Buang air besar lebih sering pada saat timbulnya rasa sakit Keluhan-keluhan psikis menonjol seperti gejala-gelaja ansietas atau depresi Feses lembek pada saat timbulnya rasa sakit Feses campur lendir dan tidak berdarah Penurunan berat badan tidak lebih dari 5% dalam satu tahun terakhir Pemeriksaan feses tidak ditemukan parasit Pemeriksaan barium enema maupun kolonoskopi normal
DIAGNOSIS BANDING • • •
Penyakit kolon inflamasi (kolitis) Laktosa intolerans Karsinoma kolon
PEMERIKSAAN PENUNJANG • • • •
Laboratorium rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati Faeses lengkap (cacing, amuba) Barium enema Kolonoskopi
TERAPI •
Diet tinggi serat untuk memperbaiki konstipasi, sedangkan laksatif diberikan
• • • •
bila perlu dan hanya dalam jangka pendek Untuk nyeri yang mengganggu dapat diberikan antispasmodik seperti mebeverin hidroklorid, atau obat-obat anti kolinergik Keluhan diare diobati dengan loperamid 2-4 mg empat kali sehari Bila gejala psikis menonjol diberikan ansiolitik atau anti depresan yang sesuai Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
KOMPLIKASI
• •
Rasa sakit yang sulit dikendalikan sehubungan faktor psikis yang menonjol Sosial: Kurang atau tidak mampu melakukan pekerjaan sehari-hari
PROGNOSIS Bonam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
281
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS non pendidikan : -
REFERENSI l.
2. 3. 4. 5.
MudjaddidE. Sindrom Kolon Iriiabel In: Simadibrata M, SetiatiS, AlwiI, Maryantoro, Gani RA, MansjoerA. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1999:1978. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical o f Psychophysiologic Reaction. 3th Edition. London 1957. Diagnostic and statistical manual o f mental disorder. 4'� edition. American Psychiatric Assosiation. Washington 1994. Carlson NR. Physiology of Behaviour 4'� Edition. 1991. Neuroimmunomodulation.: Molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM, LiptonJM, Sternberg EM, CHrousos GP, GoldPW, Smith CC editor Annal o f New York Academy of Sciences. 1998;840.
282
RsikDsomatik
PENYAKIT JANTUNG FUNGSIONAL (NEUROSIS KARDIAK) PENGERTIAN Penyakit jantung fungsional (neurosis kardiak) adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit jantung tanpa disertai kelainan organik
DIAGNOSIS
•
• • • •
•
Nyeri dada menyerupai 'angina pektoris' biasanya dicetuskan oleh suatu stressor tertentu Berdebar-debar/ palpitasi, sesak napas atau napas terasa berat Adanya keluhan-keluhan vegetatif seperti kesemutan, tremor, sakit kepala, tidak bisa tidur dsb. Terdapat keluhan psikis seperti rasa takut, risau/waswas, gelisah dsb. Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunangkunang, lemas Stresorpsikososial (+). Pemeriksaan EKG, ekokardiografi maupun tes treadmil normal
DIAGNOSIS BANDING Penyakit jantung koroner (angina pektoris, infark miokard).
PEMERIKSAAN PENUNJANG Elektrokardiografi, ekokardiografi dan tes treadmil.
TERAPI • • •
Analgetik untuk rasa nyeri. Pemberian ansiolitik yang sesuai, biasanya untuk ansietas panik Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
KOMPLIKASI
•
Merasa memiliki penyakit jantung organik sehingga menghindari aktivitas/ kerja sehari-hari
•
Pada orangtua dengan faktor psikis yang menonjol dapat mencetuskan timbulnya penyakit jantung organik Timbulnya aritmia
•
PROGNOSIS Dubia ad Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
283
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan: Divisi Kardiologi RS non pendidikan : -
REFERENSI: Shatri H. Penyakit Jantung Fungsional (Functional Heart Disease). In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Ganl RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 194-5. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical o f Psychophysiologic Reaction. 3th Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual o f mental disorder. 4'� edition. American Psychiatric Assosiation. Washington 1994. 4. Carlson NR. Physiology ofBehaviour. 4'� Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation. : Molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM, LiptonJM, Sternberg EM, CHrousos GP, GoldPW, Smith CC editor Annal ofNew York Academy o f Sciences. 1998:840. 1.
284
Infeksi
2.10 ALERGIIMUNOLOGI
AlergilmunolDgi
INFEKSI HIV/AIDS t PENGERTIAN Pasien dinyatakan terbukti terinfeksi HIV bila dari pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS Adanya faktor risiko penularan Diagnosis HIV: tes ELISA 3 kali raktif dengan reagen yang berbeda StodiumWHO: • Stadium 1; asimtomatik, limfadenopati generalisata • gtadium 2j - Beratbadanturun<10% - Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis) - Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir D-Stadium 3� saluran napas atas rekuren Berat badan turun > 10%
-
Diare yang tidak diketahui penyebab, >1 bulan Demam berkepanjangan (intermitena atau konstan), >1 bulan Kandidiasis oral Oral hairy leucoplakia Tuberculosis paru Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis) Stadium 4. HIV wasting syndrome Pneumonia Pneumocystis carinii Toksoplasma serebral Kriptosporidiosis dengan diare >1 bulan Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening (misalnya retinitis CMV) - Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral Progressive multifocal leucoencephalopathy Mikosis endemic diseminata Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus - Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru Septikemia salmonela non-tifosa - Tuberkulosis ekstrapulmonar Limfoma - Sarkoma kaposi - Ensefalopati HIV
•
DIAGNOSIS BANDING Penyakit imunodefisiensi primer 287
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• ♦ • • • •
Anti-HIVELISA Anti-HIV Western Blot Antigen p-24 Hitung CD4 Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik.
TERAPI • • • • • • • •
Konseling Terapi suportif Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik Terapi antiretrovirus kombinasi, efek samping dan penanganannya Vaksinasi pada peneerita HIV/AIDS Terapi pasca paparan HIV {post-exposure prophylaxis) Penatalaksanaan infeksi HIV pada kehamilan Penatalaksanaan koinfeksi HIV dengan hepatitis C dan hepatitis B
KOMPLIKASI Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain
PROGNOSIS Tergantung stadium penyakit
WEWE NANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Alergi-Imunologi RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Kardiologi, Tropik-Infeksi, ICUfmedical High Care, Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS RS non pendidikan: ICU
REFERENSI I. 2. 3.
Bartlett JQ Gallant JE. 2004 Medical Management o f HIV Infection. Maryland: John Hopkins University School ofMedicine, 2004. Goldman L, Ausiello D, editors. Cecil Textbook ofMedicine, 22"'� edition.Philadelphia: Saunders, 2004 WHO. Scaling up antiretroviral therapy in resource-limited settings: treatment guide¬ lines f o r a public heatlh approach, 2003 revision.
288 Alergilmunobgi
RENJATAN ANAFILAKSIS PENGERTIAN Renjatan anafilaksis adalah keadaan gawat damrat yang ditandai dengan (hipotensi) penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmHg akibat respons hipersensitivitas tipe I (adanya reaksi antigen dengan antibodi Ig E)
DIAGNOSIS Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat disertai gejala klinis lain berupa: • Reaksi sistemik ringan : rasa geli/gatal serta hangat, rasa penuh di mulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair, bersin-bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen • Reaksi sistemik sedang; seperti reaksi sistemik ringan, ditambah spasme bronkus dan atau edema saluran napas, sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria menyeluruh, mual, muntah, gatal, badan terasa hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaktik ringan • Reaksi sistemik berat: terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik ringan dan sedang yang ber ta m bah berat. Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sesak napas, sianosis, henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran
cerna sehingga sakit menelan, kejang perut, diare dan muntah. Kejang uterus, kejang umum. Gangguan kardiovaskular, aritmia jantung, koma
DIAGNOSIS BANDING Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah, EKG
TERAPI A.
Untuk renjatan: 1. Adrenalin larutan 1: 1000, 0,3 - 0,5 ml subkutan/intramuskular pada lengan atas atau paha. Bila renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan suntikan andrenalin kedua 0,1 -0,3 ml pada tempat sengatan kecuali bila sengata di kepala, leher, tangan dan kaki. Terapi dapat dilanjutkan dengan infus adrenalin 1 ml (1 mg) dalam dekstrosa 5% 250 cc dimulai dengan kecepatan I ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai keadaan tekanan darah. Hati-hati pada orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan kardiovaskular lainnya. 2. Pasang tourniqet proksimal dari suntikan atau sengatan serangga, dilonggarkan 1-2 menit setiap 10 menit. 3. Oksigen bila sesak, mengi, sianosis 3-5 1/menit dengan sungkup atau kanul nasal 4. Antihistamin intravena, intramuskular atau oral.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
289
Rawatpasien di ICU bila dengan tindakan di atas tidak membaik, dilanjutkan dengan terapi: 1. rVFD Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl 2-3 1/ permukaan tubuh 2. Dopamin 0,3-1,2 mg/kg BB/jambila tekanan darah tidak membaik 3. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kgBB intravena dilanjutkan 5 mg/kgBB tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam. B. Bila disertai spasme bronkus maka pada pasien diberikan inhalasibeta-2 agonis. Jika spasme bronkus menetap aminofllin 4-6 mg/kg BB dilarutkan dalam NaCl 0,9% 10 ml diberikan perlahan-lahan dalam 20 menit, bilaperlu dilanjutkan dengan inflis aminofilin 0,2-1,2 mg/kgBB/j am. C. Bila disertai edema hebat saluran napas atas maka pada pasien dilakukan intubasi dan trakeostomi D. Pemantauan paling sedikit 24 jam
KOMPLIKASI Renjatan ireversibel, kegagalan multi organfailure
PROGNOSIS Tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - DivisiAlergi-imunologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS pendidikan : ICU / medical High Care RS non pendidikan : ICU
REFERENSI 1. DJauzi S. Syok anafilakiik. In: Subekti /, Lydia A, Rumende CM, Syam AF, Suprohaita, Mansjoer A, editors. Penatalaksanaan kedaruratan di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2000.p. 97-100. 2. Mahdi AD. Syok anafilaktik. Jn:Setiati S, Alwil, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 8-10.
290 AlergilmunolDgi
ASMA BRONKIAL. PENGERTIAN Asma bronkiaL adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel
DIAGNOSIS Episode berulang sesak napas, dengan atau tanpa mengi dan rasa berat di dada akibat faktor pencetus. Asma brokial dibagi menjadi: 1. Asma intermiten, gejala asma < 1 kali/minggu, asimptomatik, APE diantara serangan normal, asma malam < 2 kali/bulan, APE > 80%, variabilitas < 20% 2. Asma persisten ringan, gejala asma> I kali/minggu, < 1 kali/hari, asma malam > 2 kali/bulan, APE > 80%, variabilitas 20-30% 3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari menggunakan beta2 agonis kerja singkat, aktivitas terganggu saat serangan, asma malam > 1 kali/ minggu, APE > 60% dan < 80% prediksi atau variabilitas > 30%) 4. Asma persisten berat, gejala asma terus menerus, asma malam sering, aktivitas terbatas, dan APE < 60% prediksi atau variabilitas > 30%). Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada semua tingkatan derajat asma
DIAGNOSIS BANDING Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal jantung
PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium ; jumlah eosinofil darah dan sputum, foto toraks, spirometri, uji tusuk kulit (skin prick /e�//SPT), uji bronkodilator atas indikasi, uji provokasi bronkus atas indikasi, analisis gas darah atas indikasi TERAPI 1. Asma jntermitenltidak memerlukm obat pengendali 2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali kortikosteroid inhalasi (500 ug BDP atau ekuivalennya) atau pilihan lainnya: teofilin lepas lambat, kromolin, antileukotrien. 3. Asma persisten sedang memerlukan obat pengendali bempa kortikosteroid inhalasi (200-1000 ug BDP atau ekuivalennya) ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama (LABA) atau pilihan lain kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + teofilin lepas lambat atau kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + LABA oral atau kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan (> 1000 ug BDP atau ekuivalennya) atau kortikosteroid inhalasi 5001 OOOug BDP atau ekuivalennya)+ antileukotrien. 4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid Inhalasi (> 1000 ug BDP atau ekuivalennya) + LABA Panduan Pelayanan Medik PAPDI
291
inhalasi + salah satu pilihan berikut: • teofil in lepas lambat • antileukotrien • LABA oral BDP= Budesonide propionat. Sedangkan untuk penghilang sesak pada pasien diberikan inhalasi beta-2 agonis kerja singkat tetapi tidak boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Inhalasi antikolinergik, agonis beta-2 kerja singkat oral dan teofllin lepas lambat dapat diberikan sebagai pilihan lain selain agonis beta-2 kerja singkat inhalasi. Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut: 1. Oksigen 2, Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya tergantung respons terapi awal 3. Inhalasi antikolinergik (ipatropium bromida) setiap 4-6 jam terutama pada obstruksi berat (atau dapat diberikan bersama-sama dengan agonis beta-2) 4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 40-60 mg/hari setara prednison 5. Aminofilin tidak dianjurkan (bila diberikan dosis awal 5-6 mg/kgBB dilanjutkan infus aminofilin 0,5-0,6 mg/kg BB/jam) 6. Antibiotik bila ada infeksi sekunder 7. Pasien diobservasil l-3|iam kemudian dengan pemberian agonis beta-2 tiap 60 menit. Bila setelah masa observasi terus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari) : inhalasi agonis beta-2 diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan, antibiotik diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat.
8. Bila setelah bbservasi l-2|iam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan risiko tinggi; pemeriksaan fisik tambah berat, APE (arus puncak ekspirasi) > 50% dan < 70% dan tidak ada perbaikan hipoksemia (dari hasil analisis gas darah) pasien harus dirawat. Pasien dirawat di ICU bila tidak berespons terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat atau bertambah beratnya serangan/buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya penurunan kesadaran atau tanda-tanda henti napas, hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dengan kadar p 0 2 < 60 mmHg dan/atau pC02 > 45 mmHg walaupun mendapat pengobatan oksigen yang adekuat.
KOMPLIKASI Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal jantung, Pada keadaan eksaserbasi akut dapat terjadi gagal napas dan pneumotoraks.
PROGNOSIS Tergantung beratnya gejala
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
292 AlergilmunolDgi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Alergi-imunologi, Divisi Pulmonologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : ICU / medical High Care RS non pendidikan: ICU
D�O-I
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
293
URTIKARIA KAREN A OBAT PENGERTIAN Urtikaria karena obat adalah kelainan kulit dan mukosa yang diinduksi obat berupa papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan.
DIAGNOSIS Riwayat minum obat sebelumnya yang dapat menginduksi penyakit, misal: GAINS, sulfonamida, antikonvulsan, penisilin, dan tetrasiklin. Gejala prodromal berupa gejala radang saluran napas atas: demam, batuk, sakit kepala, malaise, nyeri menelan. Papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan. Dalam beberapa hari terjadi erosi multipel pada membran mukosa, lepuhan, makula purpura. Daerah yang terkena lepuhan dan pelepasan kulit <10%.
DIAGNOSIS BANDING Toxic epidemal necroticans (TEN), eritema multiformis
PEMERIKSAAN PENUNJANG Hitung eosinofil, elektrolit, foto toraks, kultur pus dari kulit, kultur sputum.
TERAPI 1. Hentikan obat penyebab 2. Rawat di pusat luka bakar, skin graft dini untuk mencegah invasi bakteri 3. Monitor cairan dan elektrolit, termasuk monitor jumlah urin
4 Monitor infeksi sekunder dengan melakukan kultur berkala dari darah dan mukokutan 5. Pemberian makanan tinggi kalori 6. Penggantian cairan dan elektrolit 7. Suction, postural drainage, nebulizer, terapi infeksi paru segera 8. Konsultasi mata 9. Irigasi mata dengan salin hangat, cairan lubrikan mata 10. Antasida cairan dan antagonis bila ada ulserasi gastrointestinal hasil kultur 11. Antibiotika tergantung
KOMPLIKASI Sepsis, syok hipovolemik, syok septik
PROGNOSIS Tergantungnya beratnya gejala
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
294 Alergilmunologi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam ~ Divisi Alergi-imunologi, Divisi Pulmonologi RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: \C\JIMedical High Care� Unit Luka Bakar, Departemen Kulit Kelamin RS nonpendidikan: ICU, Unit Luka Bakar, Bagian Kulit-Kelamin
295
2.11
GASTROENTEROLOGI
Gastroenterologi
ULKUS PEPTIKUM PENGERTIAN Ulkus peptikum adalah salah satu penyakit saluran cema bagian atas yang kronis
DIAGNOSIS
•
Faktor risiko : umur, penggunaan obat-obatan aspirin atau OAINS, kuman Helicobacter pylori
•
Anamnesis : terdapat nyeri epigastrium, dispepsia, nausea, vomitus, anoreksia dan kembung.
DIAGNOSIS BANDING Ulkus gaster, ulkus duodenum, dispepsia non ulkus
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
Barium dobel kontras Endoskopi saluran cema bagian atas
TERAPI Tanpa komplikasi • Suportif; nutrisi • Memperbaiki / menghindari faktor risiko • Pemberian obat-obatan : antasida, antagonis reseptor H2, proton pump untuk obat-obatan inhibitor, pemberian mengikat asam empedu, prokinetik, pemberian obat untuk eradikasi kuman Helicobacter pylori, pemberian obatobatan untuk meningkatkan faktor defensif. Dengan kompUkasi Pada tukak peptik yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum atau suportif sesuai dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum Penatalaksanaan/lBndakanlkhusus; • Tindakan / terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan heat probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe. • Pemberian obat somatostatin jangka pendek. • embolisasi arteri melalui Terapi arteriografi. • bedah atau bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan Terapi operasi, tetap masuk dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk dalam indikasi operasi
KOMPUKASI Perdarahan ulkus, perforasi
299 Panduan Pelayanan Medik PAPDI
P RO GN OS I S Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : ICU / medical High Care, Departemen Bedah Digestif RS non pendidikan: ICU, Departemen Bedah
300 Gastroenterologi
DISPEPSIA PENGERTIAN Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa
DIAGNOSIS Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas
DIAGNOSIS BANDING
• • • •
Penyakit refluks gastroesofageal Irritable Bowel Syndrome Karsinoma saluran cema bagian atas Kelainan pankreas dan kelainan hati
PEMERIKSA� PE NUNJA NG Endoskopi saluran cema bagian atas dan biopsi, pemeriksaan terhadap adanya infeksi Helicobacter pylori, pemeriksaan fungsi hati, amilase dan lipase, fosfatase alkali dan gamma GT, USG Abdomen
TERAPI • • •
Suportif: nutrisi Pengobatan empirik selama 4 minggu Pengobaan berdasarkan etiologi
KOMPLIKASI Tergantung etiologi dispepsia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan : Divisi Psikosomatik ( RS tertentu) RS non pendidikan: -
301
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
KARSINOMA KOLON PENGERTIAN Karsinoma kolon merupakan keganasan pada saluran cema bagian bawah (kolon)
DIAGNOSIS
•
Perubahan pola defekasi, konsistensi, seringkali didapatkan hematokezia, dapat dijumpai adanya tanda obstniksi saluran cema bawah baik parsial maupun total. Berat badan turun tanpa sebab Pemeriksaan fisik: tidak ada yang spesifik.
Laboratorium; Feses lengkap dan tes benzidin Berat badan kurang. Pemeriksaan colok dubur untuk melihat adanya perdarahan saluran cema bagian bawah.
DIAGNOSIS BANDING •
Polipkolitis, karsinoma rekti, hemoroid
PEMERIKSAAN] PE NUNJA NG DPL, analisis feses lengkap, petanda tumor, endoskopi saluran cema bagian bawah dan biopsi, USG abdomen
TERAPI Berdasarkan staging : kemoterapi atau bedah
KOMPLIKASI Obstmksi saluran cema, metastasis, perdarahan
P RO GN OS I S Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi Hematologi - Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care RS non pendidikan: ICU
302 Gastroenterologi
KARSINOMA REKTI PENGERTIAN Karsinoma rekti merupakan keganasan pada rektum
DIAGNOSIS Perubahan pola defekasi, berat badan tumn tanpa sebab, seringkali pada pemeriksaan colok dubur didapatkan massa
DIAGNOSIS BANDING
Hemoroid, polip
PEMERIKSAAN P E N U N J A N G Pemeriksaan DPL, feses lengkap, endoskopi saluran cema bagian bawah dan biopsi
TERAPI Berdasarkan staging, kemoterapi atau bedah
KOMPLIKASI Obstruksi saluran cema bagian bawah, perdarahan
PROGNOSIS Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi Hematologi—Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
303
KARSINOMA GASTER PENGERTIAN Karsinoma gaster merupakan keganasan pada lambung
DIAGNOSIS Anamnesis dapat ditemukan adanya sindrom dispepsia, rasa tidak enak pada perut bagian atas yang bersifat difus, cepat kenyang, sampai nyeri yang hebat dan terusmenerus. Anoreksia yang disertai dengan mual sering dikeluhkan namun tidak selalu.
Keluhan sulit menelan dapat pula terjadi. Berat badan turun tanpa penyebab. Pemeriksaan fisik : pada awal penyakit, biasa tidak didapatkan kelainan apapun. Pada keadaan lanjut didapatkan adanya pembesaran pada pemeriksaan abdomen.
DIAGNOSIS BANDINQ Karsinoma esofagus, esofagitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, endoskopi saluran cema bagian atas dan biopsi, USG abdomen. CT scan abdomen
TERAPI Berdasarkan staging, bedah atau kemoterapi
KOMPLIKASI Obstruksi saluran cema bagian atas
PROGNOSIS Dubia
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS pendidikan; Divisi Hematologi - Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah
304 Gastioenterologi
H E M AT E M E � M E L E N A PENGERTIAN Hematemesis adalah muntah darah berwama hitam ter yang berasal dari saluran cema bagian atas. Melena adalah buang air besar (BAB) berwama hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cema bagian atas adalah saluran cema di atas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus,
DIAGNOSIS Muntah dan BAB darah wama hitam dengan sindrom dispepsia, bila ada riwayat makan obat GAINS, jamupegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum, riwayat sakit kuning/hepatitis. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan kesadaran (prekoma/koma hepatikum), dapat terjadi syok hipovolemik
DIAGNOSIS BANDING Hemoptoe, hematoskezia
PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, hemostasis lengkap atau masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, elektrolit (Na, K, CI), pemeriksaan Fungsi hati (cholinesterase, albumin/globulin, SGOT/SGPT, petanda hepatitis B dan C), endoskopi SCBA diagnostik atau foto rontgen OMD, USG hati.
TERAPI Nonfarmakologis : tirah baring, puasa, diet hati/lambung, pasang NOT untuk dekompresi, pantau perdarahan Farmakologis: • Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises transflisi sampai dengan Hb 10gr%, pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb 12gr%. • Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnya dekstran/ hemacel) atau NaCl 0,9% atau RL • Untuk penyebab non varisgs: 1. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton 2. Sitoprotektor: Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab 3. Antasida 4. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati • Untuk penyebab varises : 1. Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 |ig/jam intravena atau okreotide (sandostatin) 0,1 mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varises esofagus.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
305
Propanolol, dimulai dosis 2 x1 0 mg dosis dapat ditingkatkan hingga tekanan diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil hematemesis melena (-) 3. Isosorbid dinitrat/mononitrat 2 x 1 tablet/hari hingga keadaan umum stabil 4. Metoklorpramid 3x10 mg/hari Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan Pada pasien dengan pecah varises/penyakit hati kronik/sirosis hati diberikan : 1. Laktulosa 4 x 1 sendok makan 2. Neomisin 4 x 500 mg Obat ini diberikan sampai tinja normal. 2.
• •
Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif. Bedah emergensi
di indikasikan bila pasien masuk dalam keadaan gawat I-II
KOMPLIKASI Syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum, anemia karena perdarahan
PROGNOSIS Dubia
WE WENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
•
RS pendidikan: Divisi Hematologi - Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah
306
Gastroenterobgi
DIAREIKRONIK PENGERTIAN Diare kronik adalah Diare yang berlangsimg lebih dari 15 hari sejak awal diare
DIAGNOSIS Diare dengan lama lebih dari 15 hari
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan pankreas, kelainan usus halus dan usus besar, kelainan PEM dan tirotoksikosis, kelainan hati, sindrom kolon iritabel tipe diare
PEMERIKSA� PENUN JA NG Pemeriksaan tinja Pemeriksaan darah: DPL, kadar feritin, SI-IBC, kadar vitamin B12 darah, kadar asam folat darah, albumin serum, eosinofll darah, serologi amuba (IDT), widal, pemeriksaan imunodefisiensi (CD4, CDS), feses lengkap dan darah samar Pemeriksaan anatomi usus : Barium enema/co/o« in loop (didahului BNO), Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis, ERCP, USG abdomen, CTScan abdomen Fungsi usus dan pankreas : tes fungsi ileum dan yeyunum, tes flingsi pankreas, tes Schillings CEA dan Ca 19-9
JERAPI •
•
Non farmakologis: diet lunak tidak merangsang, tinggi kalori, tinggi protein, bila tidak tahan laktosa diberikan rendah laktosa, bila maldigesti lemak diberikan rendah lemak. Bila penyakit Crohn dan kolitis ulserosa diberikan rendah serat pada keadaan akut. Pertahankan minum yang baik, bila perlu inflis untuk mencegah dehidrasi Farmakologis: - Bila sesak napas dapat diberikan oksigen, inflis untuk memberikan cairan dan elektrolit. - Antibiotika bila terdapat infeksi. - Bila penyebab amuba/parasit/giardia dapat diberikan metronidazol. Bila alergi makanan/obat/susu, diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab alergi tersebut, Keganasan/polip diobati dengan pengangkatan kanker/polip - TB usus diobati dengan OAT - Diare karena kelainan endokrin, diobati dengan kelainan endokrinnya - Malabsorsi diatasi dengan pemberian enzim - Kolitis diatasi sesuai jenis kolitis
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
307
KOMPLIKASI Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/ gas darah, gagal ginjal akut, kematian
PROGNOSIS Dubia ad bonam
WE WENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNlTTERKArr • RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care • RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah
308
Gastroenterologi
PANKREATITIS AKUT PENGERTIAN Pankreatitis akut adalah reaksi peradangan pankreas yang akut
DIAGNOSIS
• •
Keadaan umum pasien seperti dispepsia sedang sampai berat, gelisah kadang diserlai gangguan kesadaran Demam, iktems, gangguan hemodinamik, syok dan takikardia, bising usus menurun (ileus paralitik)
•
Penyakit penyerta yang meningkatkan risiko : batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, diabetes melitus, hipertiroidisme, alkoholisme, ulkus peptikum, leptospirosis, demam berdarah dengue
DIAGNOSIS BANDING Perforasi ulkus peptikum, kolangitis akut, kolesistitis akut, apendisistis akut, nefrolitiasis kanan akut, infark miokard akut inferior.
PEMERIKSAAN] PENUNJANG DPL, amilase serum, lipase serum, gula darah, kalsium serum, LDH serum, fungsi ginjal, SGOT/SGPT, analisis gas darah, elektrolit
TERAPI Non farmakologis : Puasa dan pemasangan inflis untuk nutrisi parentral total sampai amilase dan lipase serum normal/mendekati normal dan pada selang nasogastrik cairan lambung < 300 cc, dan pasien tak merasakan nyeri ulu hati. Farmakologis: • Analgesik dan sedatif, infus cairan, pasang selang lambung • Antibiotika bila ada infeksi • Penghambat sekresi enzim pankreas • Prosedur bedah pada infeksi berat berupa drainase cairan
KOMPLIKASI Pseudokista pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik, nekrosis organ sekitar, pembentukan fistel, ulkus duodenum, ikterus obstruksi, asites, sepsis
PROGNOSIS Dubia ad bonam (tergantung berat ringannya pankreatitis akut, gunakan kriteria RANSOM)
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan: Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah
309
310 Gastroenterologi
ILEUS PARALITIK PENGERTIAN Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung/distensi usus karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismotilitas), pasien tidak dapat buang air besar.
DIAGNOSIS
• • • •
Perut kembung (distensi), bising usus menurun dan menghilang Muntah, bisa disertai diare, tak bisa buang air besar Dapat disertai demam Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan
• •
kesadaran, syok Pada colok dubur: rektum tidak kolaps, tidak ada kontraksi Adanya penyakit yang meningkatkan risiko; batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, DM, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneu¬ monia, dan semua jenis infeksi tubuh
Pemeriksaan fisik : Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan kesadaran, demam, tanda dehidrasi, syok. Pada pemeriksaan abdomen diadaptkan distensi, bising usus yang menurun sampai hilang.
DIAGNOSIS BANDING Ileus obstruktif
PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, amilase-lipase, gula darah, kalium serum, dan analisis gas darah. Foto abdo¬ men 3 posisi
TERAPI •
•
•
Nonfarmakologis: - Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang angin melalui dubur Pasang selang lambung dan dekompresi Pasang kateter urin Farmakologis: - Inflis cairan, rata-rata 2,5-3 liter/hari disertai elektrolit - Natrium dan kalium sesuai kebutuhan / 24 jam - Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal ditambah kebutuhan lain Terapi etiologi
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Syok hipovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi
PROGNOSIS Dubia ad bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNTTYANGMENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi • RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNITTERKAIT • RS pendidikan: Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
311
•
RS non pendidikan: Bagian Bedah, ICU
,
I''
312 Gastroenterobgi
HEMATOSKEZIA PENGERTIAN Hematoskezia adalah buang air besar bempa darah segar berwama merah yang berasal dari saluran cema bagian bawah
DIAGNOSIS
• • •
• • •
Buang air besar berupa darah merah segar sampai merah tua Demam bila penyebabnya infeksi usus Nyeri perut di atas umbilikus seperti kejang/kolik, atau perut kanan bawah yang hilang timbul dapat akut atau kronik, dapat ditemukan massa Dapat disertai diare sampai dehidrasi, dapat terjadi syok hipovolemik Bising usus menurun atau menghilang Berat badan dapat mentirun
•
Ada riwayat kontak dengan pasien lain, memakan makanan yang tidak biasanya, mendapat terapi antibiotik, penyakit kardiovaskular, dapat disertai gejala ekstraintestinal seperti kelainan kulit, sendi dan radang mata.
Diagnosis banding Melena, hemoroid, infeksi usus, penyakit usus inflamatorik. Divertikulosis kolon dan/atau usus halus, angiodiplasia, tumor kolon dan/atau usus halus, kolitis iskemik, kolitis radiasi
PemeriksaM] penunjang Laboratorium: - DPL tiap 6 jam, anaUsis gas darah, elektrolit - Pemeriksaan hemostasis lengkap Pemeriksaan etiologi: Kultur Widal-Gall, serologi amuba, serologi IDT amuba, kultur Salmonella-Shigella feses-urin, pemeriksaan mikroskopik parasit di feses. Kolonoskopi, ileoskopi, jejunoskopi dan biopsi. Pada demam tifoid kolonoskopi sebaiknya dilakukan bila demam sudah menghilang dan keadaan umum membaik Foto abdomen 3 posisi Colon in loop kontras ganda USG abdomen CT Scan abdomen / foto usus halus Foto dada EKG
TERAPI • • •
Non fannakologis: puasa, perbaikan hemodinamik.Jika hemodinamik stabil dapat nutrisi enteral Farmakologis; Transfusi darah PRC/WB sampai dengan Hb > 10 gr% 313
Panduan Pelayanan Medik PAPDI • •
Infus cairan. Pengobatan infeksi sesuai penyebab Bila ada kelainan hemostasis diobati sesuai penyebabnya
KOMPLIKASI Syok hipovolemik, gagal gitijal akut, anemia karena perdarahan
P RO GN OS I S Dubia ad bonam
WEWENANG •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi
•
RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi Hematologi - Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah
314
2.12 HEPATOLOGI
Hepatdogi
SIROSIS HATI PENGERTIAN Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya nekrosis, pembentukan jaringan ikat disertai nodul
DIAGNOSIS
•
•
Pemeriksaan fisik; stigmata sirosis ( palmar eritema, spider nevi) vena kolateral dinding perut, ikterus, edema pretibial, asites, splenomegali Laboratorium: rasio albumin dan globulin terbalik
DIAGNOSIS BANDING Hepatitis kronik aktif
PEMERIKSAAN P E N UN JA N G (DPL, SGOT,SGPT, fosfatase alkali, albumin, kolin esterase, PT, seromarker hepati¬ tis), USG, biopsi hati, endoskopi saluran cema bagian atas, analisis cairan asites
TERAPI • • • •
Istirahat cukup Diet seimbang (tergantung kondisi klinis) Roboransia Mengatasi komplikasi
KOMPLIKASI Hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, hematemesis melena, sindrom hepatorenal, gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum
PROGNOSIS Dubia ad malam
WEWENANG • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi gastroenterologi, hematologi-onkologi dan Departemen Bedah digestif RS non pendidikan : Departemen Bedah
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
HEPATOMA
317
PENGERTIAN Hepatoma merupakan tumor ganas hati primer
DIAGNOSIS
•
• •
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas Pemeriksaan fisik: hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik. Laboratorium: peningkatan AFP, PIVKAII, fosfatase alkali USG: lesi fokal/ dilus di hati
DIAGNOSIS BANDING Abses hati
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG • • •
AFP, PIVKA II, fosfatase alkali, SGOT, SGPT, seromarker hepatitis USG: lesi fokal/ difus CT scan, biopsi hati
TERAPI • • • •
Pembedahan/reseksi tumor (bila tumor mengenai 1 lobus, ukuran < 3 cm) Injeksi etanol perkutan dengan tuntunan USG (bila tumor < 3 buah, ukuran < 3 cm, tumor yang residif pasca reseksi hati, tumor residual pasca embolisasi) Transplantasi hati Kemoembolisasi pada a. hepatika
KOMPLIKASI Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan hati
PR OG NO S I S Malam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan ; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi gastroenterologi, hematologi-onkologi dan Departemen Bedah digestif RS non pendidikan; Departemen Bedah
318 HqBtologi
HEPATITIS VIRUS AKUT
PENGERTIAN Hepatitis virus akut inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama < 6 bulan
DIAGNOSIS
• • •
Anamnesis; mual, malaise, anoreksia, urin berwama gelap Pemeriksaan fisik: ikterus, hepatomegali Laboratorium; ALT dan AST meningkat > 3 kali normal
DIAGNOSIS BANDING Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG Laboratorium: SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin, seromarker (IgM anti HAV, HBsAg, IgM anti HBc, anti HCV, Ig M anti HEV)
TERAPI Tirah baring, diet seimbang, pengobatan suportif
KOMPLIKASI Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Divisi gastroenterologi, hematologi-onkologi dan Departemen Bedah digestif RS non pendidikan: Departemen Bedah
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
HEPATITIS VIRUS KRONIK
319
PENGERTIAN Hepatitis virus kronik adalah suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi, ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati
DIAGNOSIS
• • • • •
Anamnesis; umumnya tanpa keluhan Pemeriksaan fisik: bisa ditemukan hepatomegali Laboratorium: petanda virus hepatitis B atau C positif USG: hepatitis kronik Biopsi hati: peradangan dan fibrosis pada hati
DIAGNOSIS BANDING Perlemakan hati
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG
• • •
pemeriksaaan laboratorium seperti pada hepatitis akut USG hati Biopsi hati
TERAPI Hepatitis B kronik: lamivudin Hepatitis C kronik: interferon a + ribavirin
KOMPLIKASI Sirosis hati, karsinoma hepatoselular
PROGNOSIS 20% akan berkembang menjadi sirosis hati
WE WENANG • •
RS pendidikan: Dokter SpesiaUs Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
320
H�tologi
ABSES HATI
PENGERTIAN Abses hati adalah rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi amuba atau bakteri
DIAGNOSIS
• • • • •
Anamnesis; demam, perasaan nyeri perut kanan atas Pemeriksaan fisik: ikterus, hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri tekan perut kanan atas Laboratorium: leukositosis, gangguan fungsi hati USG: rongga dalam hati Aspirasi: pus (+)
DIAGNOSIS BANDING Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinomikosis hati
PEMERIKSAAN P EN U N JA NG DPL, SGPT, bilirubin, serologi amuba; USG, kultur cairan pus
TERAPI • •
•
Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein Pada abses amuba: metronidazol 4 x 500-750 mg/hari selama 5-10 hari. Pada abses piogenik: antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman. Pada abses campuran: kombinasi metronidazol dan antibiotika Drainase cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi konservatif atau bila abses berukuran besar (> 5 cm)
KOMPLIKASI Ruptur abses (ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit), perdarahan dalam abses, sepsis
PROGNOSIS Bonam
WE WE NAN G • •
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT TERKAIT
•
RS pendidikan; Departemen Bedah digestif
321
•
RS non pendidikan: Departemen Bedah
322 Hepatologi
KOLESISTITIS AKUT
PENGERTIAN Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan
DIAGNOSIS
• •
• •
Anamnesis: nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah skapula kanan, demam. Pemeriksaan fisik ; Teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tandatanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunj ukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik Laboratorium: leukositosis USG: penebalan dinding kandung empedu, sering ditemukan pula sludge atau batu
DIAGNOSIS BANDING Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik perforasi, pankreatitis akut, obstruksi intestinal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• •
Laboratorium: DPL, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin, kultur darah USGhati
TERAPI • • • • •
Tirah baring Puasa sampai nyeri berkurang / hilang Pengobatan suportif(antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi kelainan elektrolit) Antibiotika parenteral Kolesistektomi bila diperlukan
KOMPLIKASI Gangren / empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula, peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronik
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
323 Panduan Pelayanan Medik PAPDI
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS pendidikan: Departemen Bedah digestif RS non pendidikan: Departemen Bedah
324 Hepatobgi
PERLEMAKAN HEPATITIS NONALKOHOLIK
PENGERTIAN Perlemakan hepatitis non alkoholik merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati
DIAGNOSIS
• • • •
Anamnesis: rasa mengganjal di perut kanan atas Pemeriksaan fisik: kelebihan berat badan, hepatomegali USG: gambaran bright liver Biopsi hati : ditemukan perlemakan hati, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin Mallory dengan atau tanpa fibrosis.
DIAGNOSIS BANDING Hepatitis virus kronik
PEMERIKSAAN PE NUNJA NG
•
Laboratorium: gula darah, profil lipid, SCOT, SGPT, fosfatase alkali, gamma GT, seromarker hepatitis, ANA, anti ds DNA Biopsi hati
TERAPI Mengoreksi faktor risiko (penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki profil lipid dan olah raga)
KOMPLIKASI Sirosis hati
PROGNOSIS Bonam
WEWENANG • •
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS non pendidikan: Bagian Imu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT 325
BAB III PANDUAN PROSEDUR TINDAKAN PAPDI
3.1 KARDIOLOGI Kardiologi
KARDIOVERSI PENGERTIAN Kardioversi adalah upaya konversi secara elektrik pada aritmia atrial atau ventrikular memakai DC {Direct Current) shock yang synchronized dan DC shock nonsynchronized yang juga disebut defibrillation. Saat kejutan yang synchro¬ nized yaitu pada awal gelombang T kira-kira 30 ms sebelum apeks gelombang T.
TUJUAN Menghentikan aritmia yang mengancam menjadi irama sinus yang normal
INDIKASI
• • •
Fibrilasi ventrikular, fluter atrial atau fibrilasi atrial yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan terapi farmakologis Takikardia supraventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan obat antiaritmia atau manuver vagal Takikardia ventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan obat antiaritmia.
KONTRAINDIKASI
• • • •
Fibrilasi atrial kronik pada stenosis mitral atau regurgitasi mitral dan tirotoksikosis Fibrilasi atrial dengan slow ventricular rate Hipokalemia Keracunan digitalis
PERSIAPAN 1. Penjelasan seperlunya kepada pasien dan keluarga 2. Alat kardioversi dan monitor jantung berfungsi baik 3. Sebaiknya puasa untuk menghindarai regurgitasi/asfiksia 4. Pemakaian digitalis dihentikan 1 -2 hari sebelum tindakan 5. Kadar elektrolit serum harus optimal 6. Oksigen terpasang 7. Premedikasi meperidin 100 mg atau diazepam 5 mg IV
P R O S E D U R TINDAKAN •
Fluter atrial dimulai dengan dosis 20 Joule bila gagal diulang memakai 50 atau lOOJoule, Fibrilasi atrial diawali dengan dosis 100 Joule bila gagal bisa 200-300 Joule. Sehari sebelumnya pasien diberi kuinidin oral tiap 6 jam kadangkala obat ini diperlukan untuk jangka waktu lama. Prokainamid dapat dipakai bila pasien tak toleran dengan kuinidin. Takikardia supraventrikular 10 Joule biasanya efektif. 100 Joule hampir selalu efektif Fibrilasi ventrikular dosis awal 200joule bila gagal segerapakai 360 Joule.
•
• •
331
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
PENILAIAN
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASl
• •
Bradiaritmia atau asistol sehitigga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu janlung sementara. Takiaritmia ventrikular atau fibrasi ventrikular, pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca tindakan.
WEWENANG •
•
RS Pendidikan : Internist cardiologist / Cardiologist PPDS Penyakit Dalam / Kardiologi yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi dengan konsultasi kepada konsultan Divisi Kardiologi RS Non Pendidikan ; Internist
UNIT YANG MENANGANI
* •
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog
UNIT TERKAIT
REFERENSI Gitnmvwtg I. Kardioversi hi: Sumaryono, Ahvi I, Sudnyo AlV. Simadihruta M, Setiati S, Guni RA. Mamjoer A, editors. Prosedur Tindakan Di Bidon}� Penyakii Dalam. Jakarta : Pusat hiformasi dun Penerbifan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2001 p. 149-50.
332
Kardiologi
KATETERISASI JANTUNG DAN ANGIOGRAFI KORONARIA PENGERTIAN Kateterisasi jantung adalah tindakan memasukkan kateter ke dalam arteri arteri atau vena perifer sampai ke jantung untuk mendapatkan gambar arteri koronaria dan niang jantung, juga untuk mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak). Angiografi koroner adalah tindakan menyuntikkan kontras ke dalam arteri koronaria untuk memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk keperluan diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut.
TUJUAN • • •
mendapatkan gambar arteri koronaria dan ruang jantung mengukur Ickanan mang janlung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak). mein visuaiisasikan dan mcmbuai gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk keperluan diagnosiik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut.
INDIKASI
•
Dugaan penyakit jantung koroner :
-
-
•
• • • • • • •
angina awitan baru angina pektoris tidak stabil evaluasi preoperative tindakan bedah mayor
iskem\2L silent
positive ETT
atypical chest pain
Infarkjantung: - angina pasca infark, - kegagalan trombolisis - renjatan - defek septum ventrikel - ruptur m. papilaris.
Sudden cardiac death
Penyakit katup jantung Penyakit jantung bawaan Diseksi aorta Perikarditis konstriktif dan tamponade Kardiomiopati Persiapan dan pasca transplantasi jantung
KO NTRA IND IK ASI Kontraindikasi absolut: fasilitas dan peralatan laboratorium yang tidak memadai Kontraindikasi relatif: • Gagal jantung yang belum terkontrol,
333 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI • • • • • • • • • •
Tekanan darah tinggi, dan Aritmia Penyakit serebrovaskular (kurang dari 1 tahun) Demam atau infeksi yang belum diketahui penyebabnya Ketidakseimbangan elektrolit Anemia dan perdarahan gastrointestinal Kehamilan Pengobatan dengan antikoagulan (diatesis hemoragik yang sudah diketahui) Pasien yang tidak kooperatif Intoksikasi obat (digitalis, fenotiazin)
PERSIAPAN Bahan dan alat: • Unit kateterisasi yang terdiri dari fluoroskopi U, atau C arm, meja kateterisasi, dan monitor TV • Alat perekam data flsiologis (EKG, tekanan intrakardiak, transduser, kertas perekam dan Iain-lain) • Injektor kontras • Defibrilator dan perlengkapan resusitasi kardiopulmonar {Air Viva 0 2 dan obatobat emergens i) • Perlengkapan tindakan operasi steril Pasien: • Identifikasi pasien dan izin operasi dengan penerangan tujuan, cara dan risiko
• •
Puasa 4-6 jam sebelum kateterisasi, obat-obat penting diteruskan. Profilaksis antibiotik. Resume klinis, laboratorium, EKG, foto dada, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya: - Riwayat alergi, obat-obatan yang digunakan saat ini Pemeriksaan j asmani - Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium: Hb, leukosit, - Ureum, kreatinin, masa protrombin, dan masa tromboplastin parsial, natrium, kalium dan gula darah - Bila mendapat insulin diberikan hanya setengah dosis - Foto dada - EKG istirahat maupun hasil test treadmill. Bila ada, hasil ekokardiografi atau hasil kateterisasi sebelumnya
PROSEDUR TINDAKAN 1. 2. 3. 4 5.
Kateterisasi dilakukan di ruang kateterisas Memasang pemantau EKG Infus emergensi tangan kiri Premedikasi; petidin 25 mg IM, antistin 1 ampul IM Proteksi radiasi (apron Pb lebal 0,50 mm atau yang seiara menutup badan sampai lutut dan leher) bagi operator atau pada pasien hamil serta badge pengukur radiasi yang diperiksa setiap bulan 6. Aseptik dan antiseptik serta prosedur steril seperti pada tindakan operasi (bagi
334
Kardiolo g i
operator maupun pasien) 7. Pungsi pembuluh darah atau arteriotomi untuk akses pembuluh darah. Pungsi vena/arteri dengan jarum perkutan dengan teknik Seldinger paling sering dilakukan. Guidewire dimasukkan ke dalam pembuluh darah melalui jarum pungsi disusul oleh sheat. Heparin 2500 - 5000 unit disuntikan melalui sheat ke dalam pembuluh darah. Kateter dapat dimasukkan dalam pembuluh darah dengan mudah dan aman melalui sheat. Arteri/vena femoralis paling sering digunakan, namun pembuluh brachialis atau radialis juga dapat digunakan. Arteriotomi dan venaseksi (membuka arteri dan vena serta menjahit kembali) saat ini sudah jarang dilakukan 8. Pengukuran tekanan intrakardiak, pengambilan sampel saturasi darah dan penyuntikkan kontras pada proyeksi tertentu 9. Evaluasi hasil sementara kateterlsasi 10. Setelah dianggap cukup maka sheat dicabut, melakukan hemostatik dan pembalut untuk mencegah perdarahan. 11. Mengisi formulir hasil sementara dan instruksi pasca kateterisasi yang berisi: • Istirahat di tempat tidur (tidak menggerakkan daerah • kateterisasi selama 8 jam), • Tekanan darah dan nadi setiap 15 • menit selama 4 jam, dan selanjutnya setiap jam • selama 8 jam, • Hipotensi biasanya disebabkan oleh diuresis akibat kontras. • Takikardia akibat perdarahan harus dilaporkan pada operator. * Periksa adanya hematoma pada pembuluh yang mengalami pungsi, hilangnya denyut nadi pada bagian distal
• •
Ekstremitas yang dingin bisa karena trombus, spasme atau vasokonstriksi. Bila ada trombus dapat diberi aspirin 325 mg dan heparin bolus 5000 U dilanjutkandrip 1000 U/jam. • Bila ada iskemia ekstremitas, perlu intervensi bedah vaskular. • Mencatat produksi urin (sekitar 3 0 ml/j am) 12. Menyimpulkan hasil akhir kateterisasi dan mendiskusikannya dengan pasien
PENILAIAN
L A M ATI N D A K A N
K OM P L IK AS I Kematian, infark jantung, strok, aritmia ventrikel yang serius, trombosis, perdarahan yang memerlukan transfusi, pseudoaneurisma, diseksi aorta, perforasi jantung, tamponad, reaksi kontras, anafilaksis/nefropati, reaksi protamin, infeksi, gagal jantung, reaksi vasovagal
335 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
WEWENANG •
•
RS Pendidikan : Internist-cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen.PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi: mempersiapkan danmembantupelaksanaan. RS Non Pendidikan : Internist /YjdiX&ioXog yang telah mempunyai sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam/Kardiologi
UNIT TERKAIT
REFERENSI Panggabean M. Kateterisasi Jantung Kiri dan Kanan dan Angiografi Koronaria. Dalam : Sumaryono, Alwi 1, Sudoyo AW. Simadihrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Jnformasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2001. p. 151-61
336
Kardiologi
PACU JANTUNG SEMENTARA P E N G E RTI A N Pacu jantung sementara merupakan teknik memberikan rangsangan listrik pada jantung kanan dengan elektroda endokardial perkutan
TUJUAN • •
Terapeutik Diagnosis penatalaksanaan siaga pada infark miokard akut, kateterisasi jantung dan tindakan bedah.
INDIKASI Terapeutik • Bradikardia simptomatik pada kondisi: sick sinus syndrome, fibrilasi atau fluter atrial dengan blok AV derajat tinggi, blok AV total • Takikardia simptomatik pada takikardia ventricular intermitem, fibrilasi ventrikular intermiten yang memerlukan obat-obatn yang potensial menimbulkan bradiaritmia. • Malfungsi pacu jantung permanen • Sinkop sinus karotis Diagnostik • Penelitian fungsi jaras His • Penelitian fungsi nodus SA • Identifikasi ritme pada analisis aritmia
Indikasi pencegahan dan penatalaksanaan siaga : • Infark miokard akut dengan kondisi; asistol, bradikardia simptomatik, BBB bilat¬ eral, blok fasikular baru atau tidak tergantung usia (RBBB dengan LAFB atau LPFB) dengan blok AV derajat satu, Blok AV derajat dua Mobitz tipe II • Selama operasi dengan kondisi; bradikardia berat (frekuensi jantung < 40 kali/ menit), bradikardia sinus (frekuensi jantung < 60 kali/menit) dengan penurunan respons nodus S A treadmill test dan/ atau atropin IV (laju sinus meningkat < 90 kali/menit setelah bolus SA 1 mg IV), Blok AV Mobitz II atau blok AV total, blok fasikular kronik yang dihubungkan dengan sinkop, angina tidak stabil atau infark miokard akut.
KONTRAINDIKASI Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang
P E R S I A PAN 1. 2. 3. 4.
Periksa EKG dan foto dada Periksa hitung trombosit, PT dan APTT Pasang IV line Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien termasuk risiko penyulit serta informed consent
337 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI 5. 6. 7. 8. 9.
Akses vena: jalur femoral: jarum Potts-Coumand, set kateter, scalpel nomor 11, klem mosquito. P Pacemaker : elektroda pacu bipolar (5-7 F) dan generator, fluoroskopportable dan lead aprons Desinfektan dan duk steril : solusio antiseptik, sarung tangan steril, masker, tutup kepala, dan kasa steril Anestesi: lidokain (1% 10 ml, siring 10 ml dan jarum 23 G Resusitasi: defibrillator, oksigen
PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien pada posisi telentang dengan kaki sedikit abduksi 2. Identifikasi anatomi vena femoralis yang akan dilakukan pungsi vena. Letaknya medial dari A. femoralis dan sekitar 1 atau 2 inchi di bawah lipat inguinal. 3. A dan antisepsis daerah pungsi dan sekitamya 4. Anestesi kulit dan jaringan subkutan sekitar tempat pungsi 5. Lakukan pungsi vena. Buat insisi kecil pada kulit dengan pisau skapel nomor 11. Masukkan jarum Potts-Coumand dengan membentuk sudut 60 derajat. Aspirasi untuk memastikan daerah vena 6. Kanulasi vena dengan menggunakan teknik seldinger 7. Masukkan elektroda pacu jantung 8. Alur posisi fluoroskopi mengikuti elektroda. Kateter terus didorong sampai vena kava inferior kemudian masuk atrium kanan. Selanjutnya kateter akan melalui permukaaan atas katup trikuspid dan masuk ke ventrikel kanan. 9. Hubungkan elektroda distal dengan bagian negatif generator dan elektroda proksimal dengan bagian positif generator. 10. Tentukan threshold (ambang) pacu jantung. Nilai threshold adalah miliamper terendah dimana pacu jantung akan pace. Setelah wire pada posisinya maka : Tahap 1: set miliamper pada 5 mA.
-
Tahap 2: Putar mode pacu jantung tetap pada rate lebih tinggi dari rate pasien Tahap 3: putar miliamper turun 1 maA sampai iramapacing hilang. Kemudian miliamper dinaikkan sampai timbul irama pacing. Level ini menunjukkan ambang. - Tahap 4: set mA 2 kali ambang 11. Buat dokumen EKG 12 sadapan untuk melihat gambaran LBBB; jika terlihat gambaran RBBB berarti posisi elektroda tidak tepat
PENILAIAN
LAMA TINDAKAN
338
Kardiologi
KOMPLIKASI Infeksi, flebitis, emboli udara, hidrotoraks, pneumotoraks, perforasi mikokard, kegagalan pacing (pacingfailwe) dislokasi lead endokardial, stimulasi diafragma
WEWENANG •
•
RS Pendidikan : Internist-cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen.PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi: mempersiapkan dan membantu pelaksanaan. RS Non Pendidikan : Internist / Cardiologist yang telah mempunyai sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
Bedah vaskular, Pulmonologi bila terjadi komplikasi
REFERENSI Harun S. Alwi I. Rasjidi K. Pacu Jantung Semefitara. Dalam : Sumaryono, Ahvi I, Sudoyo A W. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbifan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2001. p. 162-5.
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
339
PERIKARDIOSENTESIS (PUNGSI PERIKARD) P E N G ERTI A N Perikardiosentesis (pungsi perikard) adalah tindakan aspirasi eflisi perikard
TUJUAN • •
Konfirmasi dan mencari etiologi Terapi
INDIKASI Efusi perikard
KONTRAINDIKASI Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang
P E R S I A PAN 1, Penjelasan kepada pasien tentang tujuan, cara dan risiko tindakan disertai in¬ form consent. 2. Pemeriksaan PT, APTT 3. EKG 4. Xilocain 2% 5. Spuit 20 atau 50 ml 6. Jarum pungsi nomor 16-18 7. Trokar
PROSEDUR TINDAKAN
� 1. Pasien disandarkan pada sadapan dengan sudut 45 2. Dilakukan dengan ekokardiografi untuk melihat posisi cairan perikard. 3. Dilakukan a dan antiseptis pada lokasi pungsi (sudut antara prosesus sifoideus dengan arkus iga kiri atau sela iga 5, kira-kira 2 cm medial dari perkusi pekak atau sela iga 5 atau 6 garis sternal kiri atau sela iga 4 kanan, kira-kira 1 cm medial dari perkusi pekak, sela iga 5—6 garis sternal kanan atau sela iga 7-8 belakang, garis 4. 5.
6.
7. 8.
midskapula kiri) Anestesi dengan xilokain 2% atau prokain 2% di lokasi pungsi Jarum nomer 16-18 dihubungkan dengan spuit 20-50 ml dihubungkan dengan EKG (sadapan prekordial) melalui aligator atau hemostat, diarahkan ke � posterosefalad, membentuk sudut 45 dengan permukaan dinding dada Jarum ditusukkan dengan mantap 2-4 cm sampai terasa tahanan. Bila jarum pungsi menembus perikard dan kontak dengan otot jantung akan timbul elevasi segmen ST (injury) dan ekstrasistol ventrikel dengan amplitude linggi. Bila hal ini terjadi, maka jarum pungsi harus ditarik sedikit dan diarahkan ke tempat lain. Apabila cairan perikard , dapat dipakai trokar yang lebih besar. Pada pungsi di sela iga depan diusahakan agar tusukan jarum tepat di atas iga
340 Kardiologi agar terhindar dari arteri interkostal yang berada tepat dibawah iga yang berada di atasnya. 9. Apabila tidak diperoleh cairan yang mengalir,jarum ditarik perlahan-lahan dan ditusuk kembali ke arah Iain atau lebih dalam sedikit. Hindarkan tusukan yang tiba-tiba, kasar, atau pemindahan arah tusukan secara kasar. 10. Perubahan arah tusukan harus dilakukan secara perlahan-lahan tapi konstan sambil diisap secara kontinyu. Pada aspirat berdarah sering sulit dibedakan dengan tusukan intraventrikula oleh karena itu periksa hematokrit, mekanisme pembekuan cairan aspirat dan darah arterial bersamaan. Bisa juga diperiksa analisis gas darah
PENILAIAN
LAMATINDAKAN
KOMPLIKASI Laserasi dinding ventrikel, pneumotoraks, laserasi arteri mammaria interna
WEWENANG •
•
RS Pendidikan: Internist-cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen.PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi: mempersiapkan dan membantu pelaksanaan. RS Non Pendidikan : Internist / Cardiologist yang telah mempunyai sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
•
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi
•
RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan: Divisi Pulmonologi dan Departemen Bedah / Toraks RS Non Pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bedah, Pulmonologi
REFERENSI IsmailD, Panggabean MM. Perikarditis.. Dalam: NoerS, WaspadjiA, Rachman M, Lesmana LA, WidodoD, IsbagioH, etal, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, BalaiPenerbit FKUI1996:p.1077-81.
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
341
MANAJEMEN PERIOPERATIF PADAOPERASI NONKARDIAK PENGERTIAN Manajemen perioperatif pada operasi nonkardiak adalah usaha untuk menilai, memonitor dan memperbaiki kondisi jantung sebelum, saat maupun setelah operasi nonkardiak guna mengurangi risiko operasi terhadap jantung
TUJUAN • • •
• • •
Mengevaluasi status kesehatan pasien terkini Membuat rekomendasi tentang evaluasi, manajemen dan risiko masal ah jantung selama periode operasi Memberikan profil risiko klinik sehingga pasien, dokter, anestesiologi, dan ahli bedah dapat membuat keputusan penatalaksanaan yang berpengaruh pada jantung Jangka pendek maupun jangka panjang Identifikasi pemeriksaan dan strategi penalataksanaan yang paling sesuai untuk mengoptimalkan perawatan pasien Memberikan pengkajian risiko jantung jangka pendek dan jangka panjang Menghindari pemeriksaan yang tidak perlu
INDIKASI Operasi nonkardiak
KONTRAINDIKASI
PERSIAPAN
Penilaian preoperative 1. Anamnesis untuk menilai riwayat penyakit 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan EKG 4. Pengkajian; • Identifikasi kelainan jantung yang serius : penyakit jantung koroner (misal infark miokard akut dan angina pektoris, gagal jantung, aritmia simptomatik, adanya pacemaker atau defibrilator yang ditanam, atau riwayat intolerasi ortostatik, adanya anemia. • Menilai berat penyakit, stabilitas penyakit dan terapi sebelumnya • Kapasitas fungsional • Usia • Kondisi komorbid (diabetes melitus, penyakit pembuluh darah perifer, disfungsi ginjal, dan penyakit para kronik) • Tipe operasi ; (prosedur vaskular dan prosedur yang lama, prosedur sulit dada, perut, kepala dan leher risiko lebih tinggi) 342 5,
Kardiolo gi
Pengkajian tentang prediktor klinik peningkatan risiko kardiovaskular perioperatif (infark miokard, gagal jantung, kematian) Mayor: • Sindromkoronertakstabil Infark miokard akut atau recent dengan bukti risiko iskemia yang penting baik simptommaupun pemeriksaan non invasif - Angina tak stabil atau angina berat {Canadian Clas III atau IV • Gagal j antung dekompensata • Aritmia bermakna • BlokAVderajat tinggi • Aritmia ventrikular simptomatik dengan dasar • penyakit jantung • Aritmia supraventrikular dengan rate vetrikel yang tidak terkontrol. • Penyakit katup berat Intermediate: • Angina pektoris ringan {Canadian Class I atau 11) • Infark miokard lama diketahui dengan anamnesis atau adanya Q patologis • Gagal jantung sebelumnya atau kompensata • Diabetes melitus (terutama yang tergantung insulin) • Insufisiensi ginjal Minor : • Usia lanjut • EKG abnormal (LVH, left bundle-branch block, abnormalitas ST-T) • Irama selain sinus (misal fibrilasi atrial) • Kapasitas fungsional yang rendah (misal : tidak mampu memanjat tangga dengan tas punggung) • Riwayat strok • Hipertensi sistemik tidak terkontrol
6.
Pengkajian stratiflkasi risiko jantung untuk prosedur operasi nonkardiak Tinggi (risiko jantung yang dilaporkan selalu > 5%) • Operasi mayor emergensi (terutama pada usia lanjut) • Operasi aorta atau operasi pembuluh darah besar lainnya • Operasi pembuluh darah perifer • Prosedur operasi yang diantisipasi memanjang sehubungan dengan hilangnya darah dan atau pergantian cairan dalam jumlah besar Intermediate (Risiko jantung yang dilaporkan < 5%) • Endarterektomi karotis • Operasi leher dan kepala • Operasi intratoraks dan intraperitoneal • Operasi ortopedi • Operasi prostat
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
343
Rendah (Risikojantungyang dilaporkanumumnya < 1%) • Prosedur endoskopi • Prosedur superfisial • katarak Operasi • Operasi payudara 7. Penilaian kapasitas fungsional Dengan memperkirakan energi yang dibutuhkuan untuk berbagai aktivitas IMET • Merawat diri • Makan, berpakaian, menggunakan toilet • Berjalandalamrunah • Berjalan satublok atau dua tingkat dengan kecepatan 3,2 sampai 4,8 km per jamatau2-3 mph 4 MET • Bekerja di sekitar rumah seperti mencuci atau membersihkan debu 4 MET • Memanjat tangga atau berjalan ke bukit • Berjalan datar dengan kecepatan 4 mph atau 6,4 km per jam • Bekerja berat di rumah seperti membersihkan lantai atau mengangkat atau menggerakkan fumitur yang beratlkut serta dalam aktivitas rekreasi yang sedang seperti golf, bowling, dansa, tenis ganda atau melempar bola basket atau bola sepak bola >10 MET • Ikut dalam olahraga seperti berenang, tenis tunggal, sepak bola, bola basket, atau ski Risiko jantung dan jangka panjang perioperatif meningkat pada pasien yang tidak dapat mencapai 4 MET pada waktu kebanyakan aktivitas normal seharihari
P R O S E D U R TINDAKAN
•
Tahap 1. Apakah operasi nonkardiak merupakan sesuatu yang urgensi? Jika keadaan emergensi maka tidak ada waktu untuk evalusi jantung preoperatif. Stratifikasi risiko postoperatif sesuai untuk pasien yang tidak dinilai sebelumnya, Tahap 2. Apakah pasien menjalani revaskularisasi koroner 5 tahun terakhir ? Jika ya dan jika status klinik tetap stabil tanpa gejala rekuren/tanda-tanda iskemia, uji jantung lebih jauh secara umum tidak dibutuhkan. Tahap 3. Apakah pasien telah menjalani evaluasi koroner 2 tahun terakhir? Jika risiko koroner telah dikaji secara adekuat dan penemuannya memuaskan, biasanya tidak diperlukan uji ulang kecuali pasien mempunyai pengalaman perubahan atau gejala baru iskemia koroner sejak evaluasi sebelumnya. Tahap 4. Apakah pasien mempunyai sindrom koroner tak stabil atau risiko prediktor klinik mayor? Ketika operasi nonkardiak elektif dipertimbangkan, adanya penyakit koroner tak stabil, gagal jantung dekompensasi, aritmia simtomatik, dan atau penyakit jantung katup yang berat biasanya menunda operasi sampai masalah teridentifikasi dan diobati
•
•
•
344 Kardiologi •
•
•
•
Tahap 5. Apakah pasien mempunyai risiko prediktor klinik intermediate? Ada atau tidak adanya infark miokard sebelumnya dari riwayat atau EKG, angina pektoris, gagal jantung terkompensasi atau gagal jantung sebelumnya, kreatinin preoperatif > 2 mg/dl, dan atau diabetes melitus membantu untuk menstratifikasi risiko kejadian koroner perioperatif lebih jauh lagi. Pertimbangan kapasitas fungsional dan tingkat risiko operasi spesifik memberi pendekatan rasional untuk mengidentifikasi pasien untuk mencapai manfaat dari uji noninvasif yang lebih jauh. Tahap 6. Pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor tapi intermediate dan kapasitas fungsional moderat atau baik dapat menjalani operasi risiko intermediate dengan sedikit risiko kematian atau infark miokard perioperatif Sebaliknya, uji noninvasif selalu dipertimbangkan untuk pasien dengan kapasitas fungsional yang buruk atau moderat tapi operasi risiko lebih tinggi, terutama untuk pasien dengan 2 atau lebih prediktor risiko intermediate. Tahap 7. Operasi non kardiak umunya aman untuk pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor atau intermediate dan kapasitas fungsional moderat atau baik (4 METs atau lebih). Uji tambahan mungkin dipertimbangkan secara individual untuk pasien tanpa petanda klinik tapi kapasitas fungsionalnya buruk yang terpajan dengan risiko operasi yang lebih tinggi, terutama untuk mereka dengan beberapa prediktor risiko klinik minor yang dijadualkan menjalani operasi vaskular. Tahap 8. Hasil uji noninvasif dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan uji tambahan preoperatif dan pengobatan. Pada beberapa pasien dengan CAD, risiko intervensi koroner atau operasi koreksi jantung mungkin mendekati atau melebihi risiko operasi nonkardiak. Pendekatan ini sesuai, meskipun tidak secara signifikan memperbaiki prognosis jangkapanjang.
PENILAIAN
L A M ATI N D A K A N
K OM PL I KA S I
• • •
Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu jantung sementara. Takiaritmia (TV atau FV) Emboli (Pasien perlu dimonitor kira-kira 8 j am pasca tindakan)
WEWEMANG • •
RS Pendidikan : Internist-cardiologist dan PPDS Penyakit Dalam . RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG M EN A N G A N I • •
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Kardiologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
345 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
UNIT TERKAIT
•
Tiap Departemen / Bagian / Divisi pelaksana operasi: Bedah, Kebidanan, THT, Bedah Saraf dll.
R E F E RE N S I Eagle KA, Berger PB, Calkins H, Chaitman BR, Ewy GA, Fleischmann KE, et al Perioperative Cardiovascular Evaluation For Cardiac Surgery Update. A Report of the American College of Cardiology/American HeartAssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee to Update the 1996 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery)
346 Kardiologi
PERCUTANEUS TRANSLUMINAL CORONARY ANGIOPLASTY P E N G E RTI A N Percutaneus transluminal coronary angioplasty adalah Tindakan revaskularisasi koroner di mana lesi stenotik dilebarkaii dengan menggunakan balon
TUJUAN Melebarkan lesi stenotik dengan menggunakan balon
INDIKASI
•
•
•
Single vessel disease : angina persistcn, kapasitas jasmaninya rendah, tidak dapat bekeija normal, dibutuhkan pengobatan polifamiasi jangka panjang Multivessel disease : gejala sinitomatik dengan angina kelas II-IV yang tak dapat dikontrol dengan obat-obatan atau bila pasien tidak dapat mentoleransi obat - Bila tidak mempunyai keluhan, indikasi bila ada daerah iskemia miokardium luas (dengan tes non invasii") disenai salah satu dari : iskemia berat pada tes noninvasif, pasca resusitasi henti janiung aiau takikardia venihkel tanpa adanya infark, pasien hams menjalani operasi nonkardmk risiko tinggi, adanyu riwayat infark jantung, hiperiensi dan depresi ST pada EKG Sindrom koroner akut, temiasuk infark janiung akut
KONTRAINDIKASI
• •
• •
Alergi zat kontras, aspirin Kardiovaskular: gagal janHmg beral (syok kardiogenik akibal infark jantung akutkadang-kadang juslru nierupakan indikasi), hipertensi berat. aritmia mayor, seperti takikardia ventrikei yang berulang, takikardia airium dengan respons ventrikcl cepat. Diabetes mellitus berat tak terkontrol Gangguan elektrolit; hipokalemia, hiponatremia
• • • • •
Gastrointestinal; hepatitis akut, perdarahan saluran cema Hematologi: trombositopenia < 50000/dl, leukositosis tanpa sebab jelas, Hb < 10 g/dl) Neurologis : penyakit serebrovaskular dalam 2-4 bulan Renal; gagal ginjal Sistemik: infeksi bakterial, demam tanpa sebab yang jelas
Persiapan • Evaluasi adanya indikasi dan kontraindikasi • Laboratorium rutin : darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, gula darah,. • EK.G dibuat pada liari yang sama sebelum Percutaneus Transluminal Coronary
Angioplasty (PICA) 347 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI • • •
Bila ada kecurigaan gagal jantung atau kelainan paru perlu dibuat foto dada Film angiografi terakhir hams dinilai sebelum menentukan slrategi tindakan Aspirin dan tiklopidin diberikan minimal 3 hari sebelum tindakan.
PROSEDUR TINDAKAN L Akses pembuluh darah dapat melalui arteri femoralis atau radialis 2. Akses melalui arteri brakhialis jarang dilakukan 3. Heparin (150 U/kgBB) diberikan inlravena atau intraarteri dan selanjutnya diberikan tiap jam 2500 U untuk mempertahankan nilai ACT > 300 detik 4. Pemasangan alat pacu jantung sementara tidak rutin dilakukan dan dilakukan bila dikhawatirkan akan terjadi penyulit gangguan hantaran atrioventrikular yang berat 5. Melalui kateter (guiding catheter) dimasukkan kawat penuntun {giudewire) melewati lesi. Dipilih balon dengan diameter sesuai dengan pembuluh yang akan didilatasi. Balon dikembangkan dengan alat indeflator sampai stenosis terbuka 6. Balon dikempiskan dan ditarik. Dinilai dengan penyuntikan kontras, apakah dilatasi telah cukup 7. Bila hasil masih suboptimal atau terjadi diseksi dapat dilakukan dilatasi ulang atau dipasang stent 8. Pada akhir lindakan harus diyakini bahwa pasien secara klinis stabil dan angio¬ gram memperlihatkan hasil optimal dengan stenosis residual < 20%, aliran lancar, tak ada diseksi bermakna atau trombus. 9. Selama tindakan PTCA, nitrat atau verapamil dapat diberi intrakoroner bila diperlukan. Abciximab dapat diberikan pula 10. Pasca tindakan pasien dipantau di ICCU, minimal sehari. 11. Sheath ditarik pada hari yang sama bila waktu pembekuan darah nonnal atau ACT kurang dari 150 detik. 12. Heparin tidak rutin diberikan pasca PTCA. Tiklopidin dibeirkan terutama bila dilakukan pemasangan stent 13. Aspirin diberikan seterusnya bila tidak ada kontraindikasi 14. Obat-obat antiiskemik seperti nitrat dan antagonis kalsium umumnya diberikan, kecuali bila ada kontraindikasi obat-obat tersebut, Bila tidak ada penyulit pasien dipulangkan 2 hari pasca PTCA.
PENILAIAN
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
• •
Bila ada nyeri dada berulang, teliti apakah hal tersebut bukan angina dan juga apakah ada perubahan EKG Hipotensi karena : dehidrasi, perdarahan, obat-obatan (nitrat, sedatif, antagonis kalsium), tamponade jantung sekali), infark jantung akut akibat oklusi
348
• • • • • • • •
Kardiolo gi
akut pembuluh yang didilatasi atau sepsis. Insufisiensi ginjal akut Fistula AV Pseudoaneurisma Hematoma Oklusi trombotik Diseksi Gangguan neurologis Infeksi
WE WENANG
•
RS Pcndidikan : Intenmt-caniiologist/cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleli limPTCA. PPDS Penyakit Dalam / Kardiologi yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi: mempersiapkan dan iiiembantu pelaksanaan. RS Non Pendidikan : Internist/ Cardiologist yang lelah mempunyai sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Divisi Kardiologi RS Non Pendidikan: Bagian Penyakit Dalam / Kardiologi
UNIT TERKAIT
•
Bedah Jantung
REFERENSI Santoso T. Pemasangan Stent Infrakoroner. In: Sumatyono, Alwi /, Sudoyo A W. Simadibrata M. Sefiati S, Gani RA, MansjoerA, editors. Prosedur Tindakan Dt Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: Pitsat Injhnnasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 200}. p. 1668.
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
349
TES TREADMILL P E N G E RTI A N Tes treadmill merupakan salah satu modalitas noninvasif yang digunakan unluk menilai pasien dengan dugaan atau terbukti menderita penyakit jantung.
TUJUAN Memperkirakan prognosis dan menentukan kapasitas fungsional.
INDIKASI
• • •
•
Untuk diagnosis penyakit jantung koroner. Penilaian risiko dan prognosis pada pasien dengan gejala atau riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Pada pasien dengan IMA untuk menilai prognosis, toleransi aktivitas, evaluasi terapi medis dan rehabilitasi jantung. Evaluasi pasien dengan gejala berulang yang disertai iskemia pasca revaskularisasi.
KONT RA INDIKASI Absolut: • Infark miokard akut. • Angina pektoris tidak stabil yang belum stabil dengan terapi medis • Aritmia yang tidak terkendali yang menyebabkan keiuhan atau gangguan hemodinamik. • Stenosis aorta berat simtomatik. • Gagal jantung simtomatik yang belum terkendali. Emboli paru akut atau infark paru, • Miokarditis atau perikarditis akut. • Diseksi aorta akut. Relatif: • Stenosis arteri koroner "left main ". • Penyakit jantung katup stenotik moderat. • Gangguan elektrolit, • Hipertensi berat. • Bradiaritmia dan takiaritmia,
• •
Kardiomiopati hipertropik dan bentuk obstruksi "outflow tract Penurunan fisik dan mental yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan latihan secara adekuat. Blok AV derajat tinggi.
•
350
Kardiologi
PERSIAPAN
• • • •
Pasien tidak makan atau merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum tes. Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan kontraindikasi tes. Menanyakan obat-obat yang masih diminum. EKG 12 standar pasien terlentang dan berdiri sebelum dilakukan tes.
P R O S E D U R TINDAKAN 1. Perekaman elektrokardiografi dilakukan sebelum, selama dan setelah tes tread¬ mill diakhiri 2. Sebelum tes treadmill, perekaman EKG dilakukan pada pasien dengan posisi tidur, posisi yang sesuai dengan posisi saat tes treadmill, dan setelah pasien diminta untuk bemapas dalam dan cepat (hiperventilasi). 3. Selama tes treadmill gambaran EKG diambil melalui osiloskop, sedangkan perekamannya dikerjakan 10-30 detik terakhir dari setiap beban tes treadmill, setelah tes treadmill diakhiri, dan dalam interval-interval tertentu selam 6 menit berikutnya atau setelah abnormalitas menghilang. 4. Biasanya minimal dikerjakan 1 perekaman baku dengan exploring electrode diletakkan di posisi V5, sedangkan reference electrode disesuaikan dengan posisi listrikjantung. 5. Indikasi penghentian tes Absolut: Tekanan darah sistolik turun (menetap di bawah baseline) walaupun dengan peningkatan beban latihan. • Nyeri dada angina baru atau meningkat. • Gejala susunan saraf pusat (pusing, hampir sinkop, ataksia). • Tanda perfusi perifer menurun (sianosis atau pucat). • A ri ti mi a serius ( v e n t r ik u l a r derajat tinggi seperti mu lt i fo r m,
• •
triplet, danVT/SVT). Kesulitan teknis dalam pemantauan EKG atau tekanan darah sistolik. Pasien minta berhenti.
Relatif: • Perubahan ST atau QRS seperti perubahan segmen ST > 3-4 mm, depresi junctional atau perubahan aksis QRS. • Peningkatan rasa tidak enak di dada. • Lelah, sesak napas, wheezing. • Target HR 100% sudah tercapai.
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI • • •
Penurunan tekanan darah. Angina sedang sampai berat. Pusing, sinkop sebagi akibat peningkatan gejala sistem saraf. 351
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI • • • • •
Sianosis atau pucat, Takikardia ventrikular, Aritmia. Gangguan konduksi. Iskemia miokard,
WEWENANG • •
RS Pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam/PPDS Penyakit Dalam yang sudah melalui Divisi Kardiologi dengan supervisi dari konsultan kardiovaskular RS Not! Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT ICCU
REFERENSI : }.
2.
Sugiri. Elektrokardiografi Pada Uji Latih Jantung. In: Noer S, Waspadji A, Rachaman M.Lesmana LA, WidodoD, IsbagioH, etal, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I. edisi ketiga. Jakarta, Balai Penerbit FKUI; 1996. p.934-8. Chaitman Exercise Stress Testing. In : Braunwald E, eds. Heart Disease, 6'� ed.
352
3.2 PULMONOLOGI
Pulmonologi
PUNGSI CAIRAN PLEURA P E N G ERTIA N Pungsi cairan pleura adalah tindakan aspirasi cairan pleura dari rongga pleura dengan jarum perkutan (= torakosentesis)
TUJUAN Diagnostik efusi pleura atau terapeutik / drainase.
INDIKASI Efusi pleura
K ON TRA INDIKASI Keadaan sepsis
P E R S I A PAN 1. Menerangkan prosedur lindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikjLsi, dankomplikasi yangmungkin timbul, sertakemungkinanyang akan lerjadi bila tidak dilakukan prosedur tersebut. 2. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menigisi dan menandatangani surat ijin tindakan.
3. Pme riksaan hemodinamik (tekanandarah.nadi, frekuensipemapasan,siihu). 4, Menentukan lokasi cairan pleura dengan klinis dan radiologis. Efusi pleura yang sedikil diperiksa foio loraks lateral dekubiius, bila mungkin dengan ullrasonografi yang lebih baik mcmbedakan cairan yang mengambang bebas dan lerlokulasi. 5. Menyediakan alat dan bahan yang diperlukan; Lidocain 2 % ampul (4 ampul), Spuit (5 ml, 20 ml, 50 ml), Abocath no 16 G / no 14 G, three way, dan blood set.
PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien berada dalam posisi duduk tegak, kedua lengan ke depan, sebaiknya kepala dan kedua lengan ditopang meja. 2. Lokasi yang akan dipungsi diperiksa ulang dan diberi tanda dengan pen. Lokasi harus bebas dari penyakit lokal. Untuk efusi yang besar, lokasi pungsi ialah di satu iga di bawah batas atas perkusi pekak, di linea aksilaris posterior atau media. Pendapat lain ialah di sela iga VI atau VII linea aksilaris posterior atau media. Pada efusi yang kecil, sebaiknya dengan dibimbing USG 3. Menggunakan sarung tangan steril. 4. A dan antisepsis daerah kulit di atas efusi pleura. 5. Bila aspirasi diagnostik hanya akan mengambil sedikit cairan, anestesi lokal umumnya tidak diperlukan. Pada pasien yang tidak gemuk, digunakan jarum untuk pungsi vena ukuran 21-G dengan syringe 50 ml. 6. Jarum ditusukkan tegak lurus terhadap dinding dada, sedikit superior dari tepi atas tulang iga (= di bagian bawah ruang inter-kosta) untuk menghindari berkas neurovaskular. Seraya menusukkan jarum, dilakukan penghisapan dengan syringe sampai cairan pleura teraspirasi. Lalu ujung jarum.diarahkanke inferior.
355 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI 7. Bila volume cairan lebih besar akan dikeluarkan, digunakan anestesi lokal ( Lidocaine 2 % 2-4 ml), three-way Zap, dan kanul inlravena (Abocath) 16-G, 8. Luka bekas pungsi ditutup kassa steril yang ditetesi iodium povidone (Betadine). 9. Contoh cairan dikirim untuk pemeriksaan analisis cairan pleura, sitologi, mikrobiologi sesuai indikasi. 10. Hemodinamik dimonitor sesuai dengan banyaknya cairan yang diambil, dan reaksi tubuh pasien terhadap prosedur.
LAMA TINDAKAN Tergantung tujuan dan volume cairan: untuk diagnostik : 5 menit, terapeutik : 15-60 menit
KOMPLIKASI Pneumotoraks, hemotoraks, edema paru re-ekspansi (terutama bila drainase terlalu cepat, dan > 1 L cairan dikeluarkan pada satu saat), emboli udara
WEWENANG •
•
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi .PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor RS Non Pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Departemen Pulmonologi RS Non Pendidikan; Bagian Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Departemen Bedah / Bedah Toraks RS Non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI 1.
2. 3.
4.
5. 6.
Rosenbluth DB. Pleural Effusions: Nonmalignant and Malignant. Jn Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR. Senior RM (eds). Fishman s Pulmonary Dis¬ eases and Disorders.S"' ed. New York: McGraw-Hill; 2002.p. 487-506. Colt HQ Mathur PN. Manual of Pleural Procedures. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; J999.p. 155-161. Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles o f Internal Medicine. 15'� ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p. 1513-6. Woodcock A, Viskum K. Pleural and other investigations. In Brewis RAL, Corrin B, Geddes DM. Gibson GJ (eds). Respiratory Medicine. 2"'� ed. London: WB Saunders; 1995.p. 383-91. Karlinsky JB, Lau J, Goldstein RH. Decision making in Pulmonary Medicine. Philadel¬ phia: BC Decker; 1991 .p. 12-3. Sahn SA. Pleural diseases. In American College o f Chest Physicians. 11''� National ACCP Pulmonary Board Review. Illinois: ACCP,1996:243-53.
Pulmonologi
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS P E N GERTIA N Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) ataufine needle aspiration biopsy (FNAB) adalah pengambilan material jaringan kelenjar getah bening untuk dilakukan pemeriksaan sitologi dan mikrobiologi. Kelenjar getah bening yang dimaksud di sini ialah kelenjar getah bening (KGB) daerah submandibula, leher, atau supraklavikula.
TUJUAN Mengambil bahan jaringan kelenjar getah bening untuk pemeriksaan sitologi dan mikrobiologi.
INDIKASI Pembesaran kelenjar getah bening di daerah submandibula, leher, supraklavikula, dengan kecurigaan kelainan paru yang berhubungan dengan KGB tersebut.
KONTRAINDIKASI • •
Mutlak : tidak ada, Relatif; gangguan koagulasi berat,
P E R S IA PAN Persiapan pasien; 1. Pemeriksaan DPL, masa perdarahan, masa pembekuan
2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, 3. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan. 4. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (TD, nadi, frekuensi pemapasan, suhu). 5. Pasien diminta untuk buang air besar/kecil sebelum mulai tindakan Bahan dan alat: 1. Jarumsuntikukuran23G atau25G 2. Syringe 2,5 mL atau 5 mLtanpajarum 3. Kaca obyek 3 buah 4. Kasa steril 5. Larutan povidon iodine 6. Sarung tangan steril
PROSEDUR TINDAKAN 1. Memakai sarung tangan Steril 2. Daerah benjolan/KGB, dan sekitamya, dibersihkan dengan kasa steril yang telah dibasahi dengan antiseptik, secara sentrifugal 3. Benjolan difiksasi dengan tangan kiri ( bila pemeriksa merupakan pengguna tangan kanan ). 357
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI 4. Jarum tanpa syringe ditusukkan ke benjolan dari pinggir ke tengah benjolan, 5. Setelahjarum masuk, ditarik sedikit lalu ditusukkan lagi ke arah kiri dan kanan arah sebelumnya, kira-kira 3-7 kali tusukan 6. Jarum ditarik keluar sambil menutup lubang pangkal jarum 7. Syringe tanpa jarum mengaspirasi udara bebas 8. Jarum dipasangkan kepada syringe 9. Dekatkan ujung jarum ke tengah kaca obyek, lalu disemprotkan ( syringe dikosongkan) 10. Kaca obyek yang ada bahan aspirasi ditempelkan kepada kaca obyek bersih, sehingga didapatkan 2 buah kaca obyek dengan bahan aspirasi 11. Kedua kaca obyek dibiarkan mengering di udara, lalu diberi tanda identitas dan segera dikirim ke laboratorium 12. Bekas luka tusukan jarum ditutup dengan kasa steril yang telah dibubuhi cairan antiseptik
LAMA TINDAKAN 5-10 menit
KOMPLIKASI Perdarahan
WEWENANG •
•
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi .PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Departemen Pulmonologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan: Patologi Anatomi, Mikrobiologi RS Non Pendidikan: Bagian Patologi Anatomi, Mikrobiolgi
REFERENSI Syafei S, Prayogo N. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH). In: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, editors. Prosedur Tindakan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;i999.pJ03~4.
358 Pulmonologi
PLEURODESIS P E N G ERTI A N Penyatuan permukaan pleura viseralis dan parietalis, secara permanen dengan cara kimiawi, mineral, atau mekanik. Pleurodesis disebut jugapleural sclerosis.
TUJUAN 1. 2.
Mencegah berulangnya efusi pleura, Menghindari torasentesis berikutnya, menghindari diperlukannya insersi chest tube berulang, 3. Terapi simptomatisjangka panjang, 4. Menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efiisi pleura atau pneumotoraks berulang ( trapped lung, atelektasis, pneumonia, insufisiensi respirasi, tension pneumothorax ), 5. Meningkatkan kualitas hidup dan aktitvitas kehidupan sehari-hari.
INDIKASI 1. Efusi pleura keganasan atau non-keganasan yang cepat berulang walaupun telah dilakukan torasentesis volume besar, atau tidak respons terhadap terapi sistemik. Kandidat ideal mempunyai tingkat tampilan yang memuaskan ( skor Karnofsky > 40 ), memiliki perkiraan kesintasan > 3 bulan, dan menunjukkan perbaikan gejala setelah thoracentesis sebelumnya. 2. Pneumotoraks spontan atau sekunder yang berulang, atau pneumotoraks pertama kali pada pasien dengan risiko tinggi untuk rekurens atau dimana pneumotoraks berikutnya dapat mengakibatkan morbiditas atau mortalitas yang
bermakna
KONT RA INDIKASI 1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan, 2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura, 3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik dengan teerapi sistemik ( kanker mammae, dll), 4. Pasien yang menolak dirawat di RS atau keberatan terhadap rasa tidak nyaman di dada karena slang torakostomi, 5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak sempuma setelah pengeluaran semua cairan pleura ( trapped lung ),
P E R S I A PAN •
Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga mengisi dan menandatangani surat ijin tindakan. Foto toraks dilakukan sebelum pleurodesis untuk memastikan bahwa paru-paru telah mengembang sepenuhnya. Mediastinum dilihat untuk menilai tekanan pleura pada sisi efusi dan kontra lateral,
• •
359 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI • * • * *
•
■
•
Bila memungkinkan dilakukan bronkoskopi sebelum pleurodesis untuk menilai adakah obstruksi di bronkus yang memerlukan radioterapi alau terapi laser. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ulang Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pemapasan, suhu ). Hasil laboratoriuin dilihat ulang Insersi chest tube bila belum terpasang. Semua cairan pleura dibiarkan keluar sampai habis, atau produksi cairaii m�ikt�imal 100 cc per 24 jam. Idealnya slang berada pada posisi posterior-inferior. Alat-alat: Klem chest tube 2 buah, catheter tip syringe (60 mL ) 1 buah, mangkuk steril 1 buah, sarung tangan steril, drape/duk steril, kassa steril, Bahan-bahan: Larutan povidon-iodine, 10 ampul lidocaine 2 %, 1 ampul pethidin 50 mg, cairan NaCl 0,9 % steril, Bahan sclerosing ( salah satu ): Agen sitotoksik: bleomisin 40 80 unit, atau mitoxantron 30 mg (20 mg/m-), dicampurdengan30- lOOmL NaCl 0,9%, - Tetrasiklin dan turunannya: tetrasiklin 1.000 mg (35 mg/kgBB) atauminosiklin 300 mg (7 mg/kgBB) atau doksisiklin 500 - 1.000 mg, dicampur dengan 30 100 mL NaCl 0,9 % dan 20 mL lidokain 2 %, - Talk: 3- 10 gbubuk talk steril dilarutkandalam lOOmLNaCl 0,9 % steril. Talc disterilkan dengan radiasi sigma atau dalam autoclave dengan suhu 270''F. Bubuk dimasukkan dalam kolf NaCl 0,9 %, dikocok , lalu dituang dalam mangkuk steril.
P R O S E D U R TINDAKAN
•
Tindakan dilakukan di ruangan pasien.
• • • • • • • • • • •
Dipasang jalur infus NaCl 0,9 % Disiapkan Posisi pasien setengah lateral dekubitus pada sisi kontra-lateral (sisi yang ada chest tube berada di atas), tempatkan handuk di antara pasien dan tempat tidur Petidin 50 mg IM, 15-30 menit sebelum memasukkan zat pleurodesis Chest tube di-klem dengan 2 klem, lalu dilepaskan dari adaptor / WSD Klem dibuka sesaat, agar paru sedikit kolaps dalam rongga pleura Lidokain 2 % 20 mL diinjeksikan melalui chest tube, kemudian klem kembali dipasang. Posisi pasien diubah-ubah agar merata di seluruh permukaan pleura Dengan menggunakan teknik steril, agen sclerosing dicampur dengan larutan salin di mangkuk steril. Campuran diaspirasi dengan syringe Syringe dipasangkan pada chest tube, kedua klem dibuka, larutan diinjeksikan melalui chest tube. Bilas dengan NaCl 0,9 % Pasien diminta bemapas beberapa kali agar larutan tertarik ke rongga pleura Klem segera dipasang kembali dan chest tube dihubungkan dengan adaptor / WSD Hindari suction negatif selama 2 jam setelah pleurodesis. Pasien diubah-ubah posisinya ( supine, decubitus lateral kanan-kiri) selama 2 jam, lalu klem dicabut. - 20 Rongga pleura dihubungkan dengan suction bertekanan cmH�O
360 Pulmonologi •
Pasca tindakan: - Dilakukan foto toraks AP ulang untuk meyakinkan reekspansi paru, bila perlu setiap hari - Awasi tanda vital Monitor drainase chest tube harian - Monitor kebocoran udara - Perban diganti tiap 48 j a m - Kendalikan nyeri dengan analgetik - Bila perlu spirometri insentif - Mobilisasi bertahap, cegah thrombosis vena dalam Pertimbangkan mencabut chest tube bila drainase pleura harian < 100 mL atautidak terlihat lagi fluktuasi pada botol WSD
LAMA TINDAKAN ±3 jam
KOMPLIKASI
• • • • • •
Nyeri Takikardia, takipnea, pneumonitis atau gagal napas (terutama setelah pemberian talc slurry), edema paru reekspansi. Umumn ya reversibel. Demam. Berkaitan dengan pleuritis, hilang dalam < 4 8 jam. Ekspansi paru inkomplit dan partially trapped lung. Reaksi terhadap obat Syok neurogenik
WEWENANG •
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi. PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor
•
RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI ♦ •
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dala m - Divisi Pulmonologi, Departemen Pulmonologi RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan: Departemen Bedah/Toraks, RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI L
Colt HQ MathurPN Manual of Pleural Procedures. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins:1999.p.l55'l6L 2. Rasmin M, Rogayah R, Wihasluti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan: Diagnostik dan Terapi. Jakarta: Bag. Pulmonologi FKUI; 2001p. 91-2. 361
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
BRONKOSKOPI P E N G ERTI A N Bronkoskopi merupakan proses visualisasi langsung dari percabangan trakeobronkial, menggunakan alat bronkoskopflexible atau rigid.. • Bilasan bronkus = {Bronchial washing) tindakan membilas daerah bronkus dan cabang-cabangnya dengan cairan normal saline via bronkoskop, pada permukaan lesi. Bronchoalveolar lavage (BAL) merujuk pada pengambilan sampel dari daerah yang tidak tervisualisasi - parenkim paru yang lebih distal - dengan ujung bronkoskop menutup suatu saluran subsegmental, kemudian normal sa¬ line diinjeksikan untuk mendapatkan sel dan organisme dari ruang alveolar. Sikatan bronkus {Bronchial brushing) = tindakan menyikat daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. • = Biopsi forsep tindakan biopsi dengan menggunakan alat biopsi forsep melalui bronkoskop. • Biopsi aspirasi jarum transbronkial (transbronchial needle aspiration / TBNA) = tindakan biopsi menembus trakeobronkus dengan jarum melalui bronkoskop untuk lesi/kelainan yang menekan trakeobronkial. • = Pengangkatan benda asing pengambilan benda asing dalam saluran napas •
menggunakan bronkoskop. Biopsi Paru Transbronkial {Transbronchial Lung BiospylTBh� ) karena membutuhkan fluoroskopi C-arm, terapi laser, atau pemasangan stent trakeobronkial tidak dimasukkan disini.
TUJUAN Tujuan Umum: 1. menilai keadaan percabangan bronkus 2. mengambil spesimen untuk diagnostik 3. melakukan tindakan terapeutik
Tujuan Khusus: Bilasan bronkus : untuk mendapatkan spesimen untuk diagnostik ( sitologi dan mikrobiologi) dan membersihkan bronkus dari sekret, darah, atau bekuan darah. • Sikatan bronkus : untuk mendapatkan spesimen untuk pembuatan sediaan apus sitologi dan pemeriksaan mikrobiologi, • Biopsi forsep : untuk mengambil spesimen dari mukosa trakeobronkial untuk
• •
pemeriksaan histopatologi. TBNA : untuk mendapatkan spesimen sitologi dari lesi yang menekan trakeobronkial. Pengangkatan benda asing : untuk membebaskan saluran napas
INDIKASI Diagnostik: 1. Nodul paru soliter 2. Penyakitkankerparu
362 Pulmonologi 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13, 14. 15.
Penyakit pam interstisial (ILD) TB endobronkial Batuk menetap atau Lerdapat keluhan perubahan sputum Kelainan foto toraks yang belum jelas penyebabnya Pneumoloraks: bila paru tidak mengembang Hemoptisis Sputum sitologi positif, tetapi foto toraks normal Pengambilan spesimen pasien dengan ventilasi mekanik Paralisis n. recurrens / diafragma Suara serak yang belum jelas penyebabnya Wheezing\dk2i\ Cedera inhalasi akut Perioperatif
Terapeutik: 1. Lavage 2. Pengeluaran benda asing 3. Penanganan hemoptisis masif 4. Abses paru 5. Terapi paliatif untuk kanker
•
•
Bilasanbronkus; Diagnostik: penyakit paru infeksi, penyakit paru kerja, ILD, keganasan Terapeutik : evakuasi bahan yang ter-aspirasi / inhalasi - Pasca operasi Sikatanbronkus: - Kelainan di daerah trakeobronkial: jaringan infiltratif Curiga TB endobronkial Infeksi saluran napas bawah Biopsiforsep: - Kelainan di daerah trakeobronkial; massa keganasan, jaringan granulomatosaBenda asing kecil
•
TBNA: Lesi yang mendesak dari luar trakea dan bronkus utama atau pembesaran KGB paratrakea, subkarina, tetapi tidak ditemukan lesi intralumen - Karina tumpul karena desakan dari luar Tumor intralumen yang mudah berdarah, atau tidak memberikan hasil dengan sikatan bronkus.
Pada sebagian besar kasus, digunakan bronkoskop flexible, Bronkoskop rigid unluk kasus dimana diperlukan palensi saluran napas dan ventilasi yang lebih baik (saluran napas yang kecil), pengambilan darah/ sekret/ jaringan tumor/ benda asing.
KONTRA-INDIKASI (relatif): 1. Hipoksemia ireversibel (PO� � 60 mmHg) 2. Aritmia 363
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI 3. Penyakitjantung iskemik 4. Asma 5. Obstruksi vena cava superior 6. Diathesis perdarahan, termasuk thrombositopenia dan gagal ginjal kronik 7. pasien tidak kooperatif
PERSIAPAN Pasien: • Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, • Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan. • Pemeriksaan DPL, BT, CT, ureum, elektrolit, AGD • Foto toraks PA dan lateral • Spirometri • EKG • Pada pasien asma diberikan nebulisasi dengan beta 2 agonis 30 menit sebelum • • • •
tindakan. Pasien dengan gangguan perdarahan/pembekuan diberikan trombosit atau FFP segera sebelum tindakan. Puasa, minimal 4 jam sebelum tindakan. PasanglVFD. Pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pemapasan, suhu ).
Ruangan: Dilakukan di ruang tindakan Divisi Pulmonologi, kecuali darurat. Alat: 1 set peralatan bronkoskopi • Sumber dengan aparatusnya • Month piece • Larutan povidon iodine diencerkan untuk membersihkan bronkoskop • Kassa steril
• • • •
Kain penutup mata pasien Pulse oxymeter Mucus corrector I Wadah penampung cairan bilasan Untuk Sikatanbronkus: sikat tanpa selubung, sikat dengan selubung, sikatkateter ganda lertutup polieiilenglikol, gelas obyek 6 buah, alkohol 96 % Untuk Biopsi forsep; alat biopsi foi�ep, wadah berisi formalin 40 % Untuk TBNA: alat jaaim TBNA, syringe 10 inl, syringe 20 mL, wadah berisi formalin 40 %
• •
Bahan: • Sulfas atropin ( SA) 0,25 mg, 1-2 ampul • Diazepam 5 mg, 1 ampul • Lidokain 2 %, 2 ampul @ 20 mL • Syringe 5 cc, 3 buah
364
Pulmonologi • • • •
Syringe 20 cc, 3 buah Cairan NaCl 0,9 % Xilokain spray 10 % Obat resusitasi: Adrenalin ampul, dexamethason ampul, SA ampul, Na-bikarbonat ampul, bronkodilator ampul).
PRO SE DUR TINDAKAN
• • • •
• • • • • • • • • • •
Periksa tanda vital, status paru dan jantung Premedikasi dengan Sulfas Atropin 0,25 - 0,5 mg IM, 1 jam sebelum bronkoskopi Sesaat sebelum tindakan; Diazepam 5 mg IM Anestesi lokal; - Kumur tenggorok dengan lidokain 2 % 5 mL selama 5 menit dalam posisi duduk Xilokain spray 10 % 5 — 7 semprot daerah laringo-faring dan pita suara ( menggunakan kaca laring) - Bila viahidung: semprotkan 30 mg lidokain 4 %atau 10 % ke ostium nasal - Instilasi lidokain 2 % 2 mL ke trakea via pita suara Pasien terlentang, tubuh bagian atas / punggung disangga, membentuk sudut 45° Ditempatkan bantal di belakang kepala, supaya otot leher menjadi lemas Bronkoskopi diinspeksi dan kejemihan gambar diperiksa Sensor oxymeter ditempelkan pada jari telunjuk pasien 3-4 L/m melalui kanul nasal Kedua mata pasien ditutup dengan kain penutup untuk mencegah lerkena larutan lidokain / cairan pembilas Diletakkan mouth piece di antara gigi atas dan bawah untuk melindungi bronkoskop Bronkoskop mulai dimasukkan melalui celah mouth piece Faring diinspeksi Instrument dimasukkan ke dorsal/epiglottis, mobilitas pita suara dilihat pada saat pasien menyebutkan "ii" Pita suara diinstilasi dengan lidokain 1 -2 mL melalui saluran di bronkoskop. Sebelum
diinstilasi, pasien diberitahu bahwa hal itu dapat merangsang batuk. Instilasi lidokain dengan jumlah yang sama dapat diulangi bila pasien terbatuk selama dilakukan tindakan. Lidokain yang berlebihan diaspirasi dari sekitar laring Instrument dimasukkan melalui bagian terlebar dari glotis pada saat inspirasi tanpa menyentuh pita suara. Sebelumnya pasien diberitahu bahwa hal ini dapat menimbulkan sensasi tercekik yang segera hilang Trakea, karina, dan percabangan bronkus dinilai dan dianestesi dengan lidokain 2 % 2 mL, maksimal 6 kali. Lobus superior paru kanan dan kiri dianestesi dengan injeksi langsung lidokain (dosis maksimal instilasi lidokain 400 mg) Inspeksi menyeluruh dilakukan pada semua percabangan bronkus sampai bronkus subsegmental Bila pandangan terhalang oleh sekret pada lensa distal, semprot dengan 5 mL NaCl 0,9 % yang diaspirasi kembali saat pasien batuk. Alternatif adalah mem-fleksikan ujung bronkoskop dan dengan hati-hati diusapkan pada mukosa trakea atau bronkus
•
•
• •
365 \
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI Untuk bilasan bronkus:
• • •
setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai, dimasukkan cairan NaCl 0,9 % hangat 5 mL, cairan segera diaspirasi lagi dan ditampung dalam wadah penampung khusus yang dipasang pada alat bronkoskop. Tindakan ini diulangi sampai cukup bersih atau didapat spesimen
Untuk sikatan bronkus:
• • •
•
•
setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan, alat sikat dimasukkan melalui bronkoskop dilakukan sikatan bebefapa kali sampai dirasa cukup setelah selesai melakukan sikatan, alat sikat ditarik ke dalam kanal bronkoskop dan dikeluarkan dari trakeobronkial bersama bronkoskop setelah berada di luar, sikat dikeluarkan dari ujung bronkoskop sepanjang ± 5 cm, kemudian sikat dijentikkan pada gelas obyek dan dibuat sediaan apus (bila sikat tanpa selubung, untuk pemeriksaan kanker paru) atau ujung sikat digunting dan dimasukkan ke dalam pot steril berisi media transpor / media kultur (sikat kateter ganda untuk pemeriksaan mikroorganisme) sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi direndam dalam wadah berisi alkohol 96%
Untuk biopsi:
• •
• • •
setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan, ujung bronkoskop ditempatkan ± 4 cm di atas daerah tersebut alat biopsi forsep dimasukkan melalui maneuver channel sampai terlihat keluar dari ujung bronkoskop. Asisten membuka forsep, lalu forsep didorong sampai terbenam di massa, forsep ditutup, lalu ditarik sambil melihat jaringan yang didapat (jaringan nekrotik dihindari) setelah biopsi selesai, forsep bersama material yang didapat ditarik keluar dari
bronkoskopi spesimen direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40 % bronkoskop dilanjutkan untuk evaluas i, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan
•
Untuk TBNA:
•
Setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan, ujung bronkoskop diiempalkan ± 4 cm di atas daerah tersebut. • Alat biopsi jarum dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar dari ujung bronkoskop • Jarum dikeluarkan dari selubungnya, bronkoskop didorong ke sasaran sampai jarum menembus mukosa bronkus atau menembus bronkus pada lesi yang menekan bronkus • Operator melakukan biopsi dengan cara menekan dan menarik jarum, sementara asisten melakukan aspirasi dari ujung proksimal jarum dengan syringe 10-20 mL beberapa kali • Bila sediaan dianggap cukup, pengisapan dengan semprit dihentikan dan j arum dimasukkan kembali ke dalam selubungnya 366
Pulmonologi • •
• •
Jarum dikeluarkan dari bronkoskop Setelah berada di luar, jarum dikeluarkan dari selubungnya dan ditempatkan di atas gelas obyek dan dengan menggunakan syringe 10-20 mL yang dihubungkan denganujung jarum TBNA, material didorong ke gelas objekuntuk dibuat sediaan apus Sediaan apus direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40 % bronkoskop dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan
Untuk Pengambilan benda asing, • digunakan: Graspingforceps untuk mengeluarkan benda pipih atau tipis anorganik (pin), atau organik tapi keras (tulang) - Basket untuk benda berukuran besar dan bulky Magnet untuk benda logam yang kecil, jarum, klip • Setelah spesimen sitologi, mikrobiologi dan biopsi atau benda asing diambil, sekret berlebihan diaspirasi, hemostasis diyakinkan, dan instrumen dicabut • Pasca tindakan diterangkan kepada pasien kemungkinan adanya sedikit darah saat batuk, yang akan hilang dalam 48 jam. Dianjurkan tidak makan atau minum selama 2 jam setelah tindakan karena efek anestesi topikal
LAMA TINDAKAN i Ijam
KOMPLIKASI
• • •
Yang berhubungan dengan premedikasi: depresi pemapasan, hipotensi transien, sincope, hipereksitabilitas. Yang berhubungan dengan analgesia topikal (jarang dengan lidocaine ):Henti napas, konvulsi, kolaps kardiovaskular, laryngospasme, metHemoglobinemia. Yang berhubungan dengan bronkoskopi :Laryngospasme, respiratory comprowwe/depresi napas, bronkospasme, demam pasca bronkoskopi, epistaksis ( bila
• •
via nasal), henti jantung, aritmia, syncope, pneumonia, infeksi silang. Yang berhubungan dengan biopsi transbronkial:pneumotoraks, perdarahan. Yang berhubungan dengan lavage / BAL ; demam.
WEWENANG •
•
RS Pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam Divisi Pulmonologi dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan. RS Non Pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi, Pulmonologist.
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Departemen Pulmonologi RS Non Pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi 367
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan: Departemen Radiologi / Radiodiagnostik Departemen Bedah / Bedah Toraks, Patologi Anatomi RS Non Pendidikan; Bagian Radiologi, Bedah, Patologi Anatomi
REFERENSI 1. Halpin D, Collins J. Invasive Techniques: Bronchoscopy and Lavage. In Brewis RAL, Corrin B, Geddes DM, Gibson GJ (eds). Respiratory Medicine. 2"'� ed. London: WB Saunders; 1995.p.362~73. 2. Rasmin M, Rogayah R. Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan BidangParu dan Pernapasan: Diagnostik dan Terapi. Jakarta: Bag. Pulmonologi FKUI; 2001.p. 2-15. 3. StermanDH. Bronchoscopy, Transthoracic Needle Aspiration, and Related Procedures. InFishmanAP, EliasJA, FishmanJA, GrippiMA, KaiserLR, SeniorRM(eds). Fishman's Manual ofPulmonary Diseases and Disorders.3"� ed. New York: McGraw-Hill; 2002.p. 75-91. 4. Weinberger SE, Drazen JM. Diagnostic Procedures in Respiratory Disease. In: Braunwald E, Fauci AS. Kasper DL. Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine. 15'� ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p. 1455.
368
Pulmonologi
SPIROMETRI • • • •
Normal nilai FEV 1/FVC % >69% Obstruksi Ringan 61-69% Obstruksi Sedang 45-60% Obstruksi Berat <45%
Katefsori Restriksi berdasarkan rasio VC didapat / VC prediksi: • Normal VC% >81%, • Restriksi Ringan 66-80% • Restriksi Sedang 51-65% • < 50 % Restriksi Berat ri 2 atau lebih volume).
P E N G E RTI A N Spirometri adalah pemeriksaan untu k mengukur volume paru statik da n dinamik dengan alat spirometer. Volume udar a total di paruparu terbagi atas kompartemen (volume) dan kapasitas (kombinasi da
Volume dalam keadaan statis: • Tidal volume =TV • reserve volume =ERV Expiratory • Inspiratory reserve volume =IRV • Residual volume =RV • Vital =VC capacity • Force vital =FVC capacity • =IC Inspiratory capacity Functional residual capacity=PRC • Total =TLC lung capacity Volume dinamik: • Volume = expired in the first second FEV1 • Maximal = MVV voluntary ventilation Interpretasi; klasiflkasi pola abnormal terdiri atas; 1. Pola obstruksi (karena penyempitan jalan napas dan perlambatan arus udara) 2. Pola restriksi (karena penyakit parenkim paru, dinding dada, rongga pleura, neuromuskular yang mengurangi kapasitas vital dan volume-volume paru)
3. Pola campuran obstruksi-restriksi (karena proses patologis yang mengurangi volume udara, kapasitas vital, dan arus udara, dan termasuk penyempitan jalan napas) 4. Transfer udara abnormal (abnormaitas membran alveolus-kapiler)
369 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
Tujuan 1. Menilai status faal paru: normal, hiper inflasi, obstniksi, restriksi, atau campuran 2. Menilai manfaat intervensi/pengobatan 3. Evaluasi perkembangan penyakit 4. Menentukan prognosis 5. Menentukan toleransi tindakan bedah : - Menentukan risiko ringan, sedang, atau berat - Menentukan apakah dapat dilakukan reseksi paru
INDIKASI 1. Penderita sesak napas 2. Penderita asma dalam keadaan stabil untuk nilai/FVC berdasarkan FEVl Obstruksi mendapatkan dasar,%: selanjutnya Kate�ori pen�ukuran setiap 6 bulan 3. Penderita PPOK dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar PPOK dan penyakit obstruksi lainnya, selajutnya setiap 3-6 bulan 4. Penderita asma dan PPOK setelah pemberian bronkodilator untuk melihat efek pengobatan Penderita yang akan mengalami tindakan bedah dengan anestesi umum 6. Penderita yang akan mengalami tindakan bedah torakotomi 7. Pemeriksaan berkala pada orang-orang yang merokok: sekali setahun
5.
KONT RA INDIKASI • •
Absolut: tidak ada Relatif : hemoptisis, pneumotoraks, infark miokard, emboli paru, status kardiovaskular tidak stabil, aneurisma cerebri, pasca bedah mata, infeksi viral ( 23 minggu terakhir)
P E R S I A PAN
Alat: • Spirometri • Mouth piece 1 buah Penderita • tidak menggunakan obat bronkodilator minimal 8 jam ( keija singkat) atau 24 jam (kerjapanjang) • tidak merokok atau makan kenyang dalam 2 j am sebelum pemeriksaan • tidak berpakaian ketat • diterangkan tujuan dan cara pemeriksaan, serta contoh cara melakukan pemeriksaan diukur tinggi badan, berat badan
•
PROSEDUR TINDAKAN
• •
Posisi berdiri tegak, kecuali j ika tidak memungkinkan: dalam posisi duduk Penderita menghirup udara semaksimal mungkin, kemudian meniup melalui mouth piece sekuat-kuatnya dan sampai semua udara dapat dikeluarkan sebanyakbanyaknya, dengan tidak ada udara yang bocor melalui celah antara bibir dan mouth piece
370
Pulmonologi •
Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan 3 nilai yang reproduksibel (beda antara 2 nilai terbesar dari ketiga percobaan < 5 % atau < 100 mL )
LAMATINDAKAN ± lOmenit
KOMPLIKASI Pneumotoraks, peningkatan tekanan intrakranial, sinkope, sakit kepala, pusing, nyeri dada, batuk, infeksi nosokomial, desaturasi oksigen.
WEWENANG • •
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi, Divisi Alergi-Imunologi RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Divisi AlergiImunoligi RS Non Pendidikan: Bagian Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT
REFERENSI 1. 2.
Grippi MA, Bellini LM. Pulmonary Function and Cardiopulmonary Exercise Testing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.p.3J-40. Yunus F Pemeriksaan Spirometri. Presiding Workshop on Respiratory Physiology and Its ClinicalApplicaation. Jakarta, 28-29 Juni 1997.
3.
Rasmin M, Rogayah R, Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan BidangParu danPernapasan: Diagnostik dan Terapi. Jakarta: Bag. Pulmonologi FKUI; 200I.p.28-32.
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
371
BIOPSI PLEURA P E N G E RTI A N Biopsi pleura adalah tindakan untuk mengambil spesimen jaringan pleura parietal secara trans-torakal
TUJUAN Untuk mendiagnosis penyakit-penyakit pleura seperti tuberkulosis dan keganasan.
INDIKASI • •
Bila torasentesis sebelumnya tidak memberikan hasil diagnostik yang diharapkan Untuk meningkatkan ketepatan diagnostik pada saat torasentesis inisial pada pasien dengan efusi pleura yang belum dapat diterangkan atau penebalan pleura, terutama jika dicurigai karsinomatosis pleura atau tuberkulosis.
KONTRA-INDIKASI Gangguan fungsi koagulasi yang belum teratasi, pneumotoraks, pasien tidak kooperatif, pasien yang mendapatkan positive pressure ventilation (PPV)
P E R S I A PAN Bah an dan Alat • Jarum biopsi • Skalpel no. 11 • Klem Kelly • Cairan antiseptik, sarung tangan steril, kasa, handuk steril • Lidokain 1 % 20 ml • Spuit2 ccdan lOcc • Jarum no. 25. inci20. 1 inci
•
Tempat spesimen dengan larutan formalin 10%
Persiapan pasien: 1. Pemeriksaan DPL, BT, CT 2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, 3. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan. 4. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pemapasan, suhu ).
PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien duduk dengan posisi santai 2. Tetapkan lokasi biopsi, pada sela iga linea aksilaris posterior 3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum Abrams 4. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan
372 Pulmonologi 5. Anestesi daerah tindakan dengan jarum no. 25 untuk bagian luar dan jarum no. 20 untuk bagian dalam 6. Dilakukan sayatan 3 mm dengan skalpel pada kulit/jaringan interkostal yang dipilih 7. Dorong jarum Abrams dengan gerakan memutar dalam posisi tertutup sampai terasa ada hambatan. Putar alat ke dalam posisi terbuka dan aspirasi dengan spuit. Adanya cairan membuktikan pemotongan berada di ruang pleura 8. Letakkan pemotongan pada posisi jam 6. Pemotongan dikeluarkan bila pleura parietal telah diperoleh, jarum pemotong diputar di posisi tertutup dan keluarkan 9. Letakkan spesimenpada kaldu untukM. tuberkulosis dan kulturjamur, sedangkan yang lainnya diletakkan dalam formalin 10% untuk pemeriksaan histologi 10. Ulang prosedur ini sampai 5 kali dengan jarum pemotong dan diarahkan ke bawah antara posisi jam 2 dan jam 10. Jarum pemotong jangan diarahkan ke atas oleh karena dapat merusak saraf dan pembuluh darah interkostal 11. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura gunakan jarum torakosentesis atau jarum Abrams 12. Luka ditutup dengan verban dan jika diperlukan dapat dijahit Teknik Memakai Jarum Cope 1. Pasien duduk dengan posisi santai dan nyaman 2. Tetapkan lokasi biopsi, pada sela iga linea aksilaris posterior 3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum Cope 4. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan 5. Anestesi daerah tindakan 6. Buat insisi pada kulit sepanjang 3 mm 7. Masukkan ujung trokar ke dalam kanula luar, tusukkan ke dinding dada dan tarik trokar dengan gerakan memutar sampai cairan teraspirasi 8. Keluarkan trokar dari kanula luar dan masukkan kaitan trokar biopsi dalam. Untuk mencegah udara memasuki ruang pleura ketika trokar dikeluarkan dari kanula luar pasien dianjurkan untuk menahan napas 9. Tempatkan pemotong kait trokar biopsi antara jam 2 dan jam 10, gunakan
10. 11.
12.
13.
penutup metal pada proksimal trokar biopsi sebagai tuntunan biopsi Cabut perlahan-lahan trokar biopsi dan kanula bersama-sama sampai kait trokar terangkat Masukkan kanula luar ke dalam dada dengan gerakan memutar sambil tetap berusaha menarik trokar biopsi.Kanula luar memotong jaringan pleura yang kuat pada trokar biopsi. Tarik trokar biopsi dari kanula luar dan keluarkan hasil biopsi Trokar dapat dimasukkan ulang ke dalam kanula luar dan dapat dilakukan biopsi tambahan." 3 sampai 6 spesimen dapat diperoleh dari kait biopsi dengan arah yang berbeda-beda. Letakkan 1 jaringan spesimen pada kaldu M. tuberkulosis dan kultur jamur. Sedangkan lainnya dapat diletakkan pada cairan formalin 10 % untuk pemeriksaan
histologi 14. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura, dapat melalui kanula luar 15. Tutup tempat pungsi dengan verban. Jika perlu dapat dijahit.
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
373
Evaluasi Pasca-Biopsi Pleura • Observasi tanda-tanda pneumotorak • Foto dada PA
LAMA TINDAKAN 10-15 menit
KOMPLIKASI Pneumotoraks, perdarahan, kerusakan saraf interkostal dengan gejala nyeri sisa dan berkurangnya sensibilitas, nodul tuberkulosis pada lokasi biopsi, emfisema subkutan, reaksi vasovagal
WEWENANG • •
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam subspesialis Pulmonologi. PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Pulmonologi,
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Pulmonologi, Departemen Pulmonologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan : Departemen Radiologi / RadiodiagnostikDepartemen Bedah / Bedah Toraks, Patologi Anatomi. RS Non Pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah, Patologi Anatomi
REFERENSI 1. Bahar A. Biopsi pleura. In: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, et al (eds). Prosedur Tindakan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbiian Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; J999.p.211-5.
2.
Colt HQ Mathur PN. Manual o f Pleural Pmcedures. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 1999:105-114.
374
3.3 REUMATOLOGI Reumatologi
PENYUNTIKAN INTRA-ARTIKULAR P E N G E RTI A N Penyuntikan intra-artikular merupakan suatu terapi lokal dengan tujuan memberikan efek analgesik anti inflamasi di daerah sendi
TUJUAN Memberikan efek analgesik antiinflamasi di daerah sendi
INDIKASI 1.
Aspirasi cairan sendi: tindakan ini penting dalam rangka memastikan diagnosis jika penyebab efusi sendi berupa sepsis, deposit kristal atau pendarahan. Juga berguna dalam membedakan kelainan sendi inflamatif atau non inflamatif. Aspirasi
juga mempunyai arti terapeutik dengan jalan mengeluarkan darah, pus, cairan sendi yang lerlalu banyak atau yang mengandung kristal 2. Suntikan/pemberian obat : penyuntikan bahan tertentu ke dalam ruang sendi merupakan prosedur terapeutik, dan dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut, dengan syarat infeksi harus telah disingkirkan : a. Hanya 1 atau beberapa sendi yang meradang b. Hanya 1 atau beberapa sendi yang lebih meradang dari yang lain c. Jika terapi sistemik dikontra-indikasikan d. Sebagai pelengkap terapi sistemik terhadap kelainan/keradangan sendi yang sulit diatasi e. Membantu mobilisasi dan mencegah deformitas sendi, bersama-sama dengan program rehabilitasi f. Keluhan reumatik ekstra-artikular: bursitis, tenosinovitis, nerve entrapement syndrome dsb g. h.
Menghilangkan nyeri dengan cepat Biasanya tidak diberikan pada osteoartritis, kecuali pada kasus tertentu yaitu untuk menghilangkan nyeri pada osteoarthritis yang menunjukkan tanda inflamasi lokal.
KONTRAINDIKASI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Infeksi lokal Hipersensitifitas terhadap bahan yang disuntikkan Diatesis hemoragik Sendi yang tidak stabil Fraktxir intra-artikular Sendi yang tidak dapat dicapai Osteoporosis juksta-artikular yang berat Kegagalan suntikan terdahulu Tidak ada indikasi yang tepat Lesi yang mungkin tidak akan memberikan respons terhadap suntikan
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
377
11. Psikologis: penderita neurosis mungkin akan bergantung kepada suntikan 12. Pasien yang takut disuntik
PERSIAPAN Semua perlengkapan yang dipakai hams steril. Umumnya dipakai spuit dan jarum yang disposable. Ukuran jarum yang dipakai disesuaikan dengan besar sendi yang akan disuntik. Misalnya jarum nomor 19 atau 21 untuk sendi besar, sedangkan untuk sendi kecil jarum nomor 23 atau 25. Perlengkapan lain ialah bolpen untuk menandai titik yang akan disuntik, anestetik lokal (lidokain atau spray etilklorida), kapas alkohol, kain kasa dan larutan pembersih kulit (misalnya larutan yang mengandung yodium). Juga tak boleh dilupakan botol kecil tempat menampung aspirat guna pemeriksaan cairan sendi lebih lanjut.
P R O S E D U R TINDAKAN Sebaiknya penyuntikan dilakukan dalam lingkungan yang aseptik. Hendaklah ditimbulkan kesan pada penderita bahwa prosedur ini bukan prosedur yang sulit. Jarang diperlukan obat penenang. Penentuan tempat yang tepat sangat penting.
Keberhasilan suntikan lokal sangat bergantung kepada pengetahuan anatomis daerah yang bersangkutan. Sebelum melakukan penyntukan, dokter harus mempunyai gambaran yang jelas tentang tempat yang akan disuntik (diperjelas dengan penekanan ujung ballpoint atau diberi tanda dengan kuku) dan jalur yang akan dilakui oleh jarum suntik. Penderita harus dalam posisi sedemikian rupa, sehingga struktur disekitar sasaran suntikan dalam keadaan rileks. Kemudain dilakukan pembersihan serta tindakan asepsis dan antisepsis pada tempat yang akan disuntik. Draping hanya diperlukan pada penderita imunokompromis atau jika diperkirakan prosedur akan berlangsung lama atau sulit. Tindakan untuk mengurangi sensasi tusukan jarum (misalnya semprotan etilklorida atau anestesi lokal dengan infiltrasi lidokain melalui jarum yang sangat halus ) kadang-kadang diperlukan
LAMA TINDAKAN lOmenit
KOMPLIKASI Komplikasi suntikan lokal: 1. Infeksi, dengan insidens 1 dari 1000-16000 pada dokter yang berpengalaman. 2. Perdarahan, jika merata harus dicurigai trauma atau gangguan mekanisme perdarahan. Lalu lakukan aspirasi, dan jangan lakukan penyuntikan 3. Kerusakan rawan sendi, dapat terjadi akibat trauma oleh ujung jarum suntik. 4. Nekrosis aseptik, terjadi akibat infark tulang subkhondral 5. Atrofi kulit dan jaringan subkutan 6, Sinovitis kristal 7. Ruptur tendo/ligament Supresi korteks adrenal
378
Reumatologi
WEWENANG • •
RS Pendidikan : Dokler Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Rematoiogi RS Non Pendidikan: Dokler Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan :Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan: Departemen Bedah / Ortopedi RS Non Pendidikan: Bagian Bedah
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
379
ASPIRASI CAIRAN SENDI/ ARTROSENTESIS PEN GERTIAN Aspirasi cairan scndi/arlroseniesis merupakan lindakan yang sering dilakukan di bidang reumatologi. Tindakan aspirasi dan analisis cairan sendi sangal penting artinya dalani diagnosis dan tala laksana beberapa penyakit sendi seperti arlritis sepuk dan artrilis gout, Sendi-sendi lerteniu sepeni sendi lulut lebili sering mengalami eflisi daripada sendi lainnya
TUJUAN
INDIKASI Diagnostik 1. Membantu diagnosis artritis 2 Memberikan konfinnasi diagnosis klinik 3. Selama pengobaian arthritis seplik, dilakukan secara serial untuk menghitung
jumlah leukosit, pengecaian gram, dan kultur cairan sendi. Terapeutik 1. Artrosentesis - evakuasi krislal untuk mengurangi inflainasi pada pseudogout akut dan cry�stal induced artritis yang lain- evakuasi serial pada arthritis septik uniuk mengurangi desiruksi {drainase) 2 Pemberian kortikosteroid intraariikular- mengontrol inflamasi sleril pada sendisendi secara maksinial merupakan kunci diniana obat anti-inHamasi nonsteroid telah gagal, kemungkinan akan gagal atau merupakan kontraindikasimempersingkai periode kesakilan, pada inOamasi y?ix\g self limited (goul)menghilangkan nyeri inltlamasi dengan cepat- membantu terapi fisik pada kontraktur sendi
KONTRAINDIKASI Diagnostik : Infeksi jaringan lunak yang mcnutupi sendi, bakteremia, anatomis tidak bisa dilakukan, pasien tidak kooperatif Terapeutik : Kontraindikasi diagnostik, instabilitas sendi, nekrosis avaskular, artritis seplik, osteonekrosis, sendi neurolropik.
P E R S IA PAN Bahan dan alat; • Spuit sesuai keperluan • Jarum spuit: no.25 untuk sendi kecil, no.21 untuk sendi lain, no.15-18 untuk efusi yang padat (pus). • Desinfektan iodine (betadine), alkohol • Kasa steril • Anestesi lokal
380 Reumatologi
• • • • • •
Sarung tangan pulpen (untuk penanda) Plester tabung gelas tabung steril untuk kultur Iain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid.
P R O S E D U R TINDAKAN Umum: 1. Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi- lakukan pemeriksaan fisis sendi dan bila diperlukan periksa foto sendi yang akan dilakukan aspirasi- hams dikuasai anatomi regional sendi yang akan diaspirasi untuk menghindari kerusakan struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan saraf. Hati-hati jangan sampai mencongkel rawan sendi karena tidak dapat sembuh sendiri 2. Harus dilakukan teknikyang�rL'�iI untuk menghindari terjadinya arthritis septik. Untuk desinfeksi perlu dipakai iodine dan alkohol. Dokter harus memakai sarung tangan unluk menghindari kontak dengan darah dan cairan sendi pasien. 3. Uniukmengurangi nyeri dapai digunakan semprotan etilklorida. Bila diperlukan dapat digunakan prokain unluk aneslesi lokal 4. Selama dilakukan prosedur aspirasi, harus diingatkan 5. Kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak menggerakkan sendi
Khusus: 1. Sendi lutut, pada efusi yang besar, tusukan dari lateral secara langsung pada tengah-tengah tonjolan supra patella lebih mudah dan lebih enak untuk pasien. Tonjolan pada kantung supra patella ini dapat diperjelas dengan menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan ujung bullpen dilakukan pemberian tanda pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas patella {cephalad border o f patella). Tanda ini akan masih tetap terlihat dalam waktu yang cukup untuk mealukan desinfeksi, anestesi dan artrosentesis. Pada efusi sendi yang sedikit, lebih baik dilakukan tusukan dari medial di bawah titik tengah patella. 2. Bahu» pada pasien duduk, lakukan palpasi pada tonjolan korakoid. Pada 45 derajat inferior dan lateral dari tonjolan tersebut akan didapalkan sendi glenohumeral. Pada lokasi tersebut tusukan jarum lurus ke posterior ke ruang sendi 3. Subtalar, pada pasien posisi terlentang kaki 90 derajat terhadap tungkai bawah, tusukan jarum secara horizontal ke ruang sendi di inferior dari ujung maleolus lateral dan posterior dari sinus tarsus. 4. Metatarsofalangeal, untuk mengidentifikasi garis sendi ini dapat dilakukan dengan fleksi dan ekstensi sendi. Untuk mempermudah memasuki sendi ini dilakukan tarikan dan plantar fleksi 30 derajat. Tusukan jarum pada garis sendi pada posisi 90 derajat. 5. Pergelangan tangan, sendi pergelangan tangan terletak di antara prosesus stiloideus radius dan ulna. Ruang sendi ini dapat dicapai melalui salah satu sisi pada bagian dorsal yaitu sedikit di sebelah distal radius atau sedikit distal ulna.
LAMA TINDAKAN 15 menit 381
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
KOMPLIKASI
•
Infeksi iatrogenik, perdarahan pada tempat aspirasi, hemartrosis, luka pada rawan sendi, episode vasovagal pada saat atau setelah tindakan
WEWENANG • •
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Rematologi RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan :Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan; Departemen Bedah / Ortopedi RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
382
3.4 GINJAL HIPERTENSI
Ginjal Hipertensi
BIOPSI GINJAL P E N G E RTI A N
Biopsi Ginjal adalah pengambilan contoh jaringan ginjal
TUJUAN Untuk mengetahui dan mengevaluasi penyakit ginjal
INDIKASI 1. Untuk mengevaluasi dan mengikuti perjalanan penyakit yang diduga mempunyai sindrom glomerular, interstisial, atau vaskular, seperti; a. sindrom nefrotik b. proteinuria dan hematuria yang tidak jelas penyebabnya 2. Gagal ginjal akut yang tidak jelas penyebabnya atau perjalanan penyakitnya cepat 3. Penyakit sistemik yang diduga melibatkan ginjal (lupus eritematosus sistemik) 4. Resipien transplantasi ginjal yang mengalami rejeksi atau penyakit yang rekuren
KONTRAINDIKASI 1. Kelainan pembekuan darah 2. Ginjal tidak berfungsi atau ginjal melisut 3. Hipertensi yang tidak terkontrol 4. Penderita tidak kooperatif 5. Kecurigaan adanya tumor ginjal 6. Infeksi saluran kemih 7. Uremia 8. Deformitas tulang vertebra berat 9. Ginjal tunggal Kontraindikasi ini sebagianbesar relatif, karena dengan cara biopsi terbuka sebagian dap at dikerjakan
P E R S I A PAN 1. Ij in tindakan medik tertulis 2. Dokter ruangan mengisi fonnulir biopsi ginjal sebagai syarat penjadwalan biopsi. Bila formulir ini tidak diisi, maka biopsi tidak bisa dijadwalkan 3. Buatperjanjian jadwal biopsi di Subbagian Ginjal-Hipertensi 4. Periksa hitung trombosit, bleeding time, clotting time, prothrombine time, dan activated partial prothrombine time 5. Pinjam termos dengan es kering ke Bagian Patologi Anatomi 6. Jarum suntik 5 cc, jarum eksplorasi, jarum biopsi USG {Tru-Cut needle), duk steril, kasa steril, plester, botol untuk penyimpanan jaringan biopsi 7. Lidokain 2%, alkohol, Betadine, formalin 10%, gel untuk fiksasi pemeriksaan imunofluoresensi jaringan ginjal 8. Isi status biopsi ginjal divisi Ginjal-Hipertensi dan catat data pada buku biopsi 9. Isi formulir PA untuk dikirim ke Patologi Anatomi
385 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
P R O S E D U R TINDAKAN 1.
Pasien dalam posisi tengkurap dengan bantal diletakkan di bawah perut untuk memfiksasi ginjal terhadap punggung 2. Kedua ginjal diperiksa dengan bantuan USG dan ditentukan pada ginjal yang mana akan dilakukan biopsi, tandai titik biopsi dengan spidol
3.
Tempat biopsi biasanya 1 jari di bawah iga terakhir (XII), kira-kira 7-8 cm dari vertebra 4. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis 5. Dengan probe biopsi USG steril, tentukan lokasi yang tepat untuk titik biopsi 6. Dilakukan anestesi lokal pada daerah biopsi 7. Dilakukan biopsi perkutan dengan bantuan probe biopsi USG dengan menggunakan jarum biopsi Tru-Cut, sebelumnya tempat biopsi dilebarkan dengan jarum eksplorasi 8. Pada saat biopsi pasien harus menahan napas (inspirasi dalam) 9. Setelah dilakukan biopsi, pada tempat biopsi diberi pembalut tekan, penderita tetap dalam posisi tengkurap 10. Jaringan biopsi dibagi dua, sebagian dimasukkan ke dalam larutan formalin 10% untuk pemeriksaan mikroskop cahaya, sebagian lagi diberi gel dan disimpan dalam termos es untuk pemeriksaan imunofluoresen 11. Pasca biopsi pasien tetap dalam posisi tengkurap selama + 6 jam dan selama periode itu diobservasi kemungkinan timbulnya perdarahan ginjal
INSTRUKSI PAS C A TINDAKAN
• •
• •
Tidur tengkurap sampai 6 jam pasca biopsi, setelah itu boleh telentangIstirahat di tempat tidur sampai 24 j am pasca biopsi Awasi tanda vital dan perdarahan: - 4 jam pertama pasca biopsi: tekanan darah, nadi, dan pemapasan tiap jam - 4 jam kedua pasca biopsi: tekanan darah, nadi, dan pemapasan tiap 2 jam Selanjutnya sampai 24 jam pasca biopsi: tekanan darah, nadi, dan pemapasan tiap 4 jam 24jam pasca biopsi periksaurin untuk melihat perdarahan Periksa daerah sekitar biopsi, apakah ditemukan: nyeri, bengkak, hematom
KOMPLIKASI Hematuria (mikroskopik atau gross), hematom perirenal, infeksi, aneurisma
WEWENANG •
RS Pendidikan: Dokter Spesiahs Penyakit Dalam - Subspesialis Ginjal Hipertensi, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi.PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginj al Hipertensi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
386 Ginjal Hipertensi
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan: Departemen Bedah - Divisi Bedah Urologi RS Non Pendidikan: Bagian Bedah
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
387
PERITONEAL DIALISIS AKUT P E N G E RTI A N Peritoneal dialisis akut adalah salah satu bentuk dialisis di mana membran peritoneal digunakan sebagai membran semipermiabel pada pasien dengan gagal ginjal
TUJUAN Dialisis dalam keadaan darurat
INDIKASI Pasien gagal ginjal dengan keadaan umum buruk yangmemerlukan tindakan dialisis segera
KONTRAINDIKASI • • • •
Pasca-operasi organ abdomen, ileus, hernia Penyakit paru yang menimbulkan hipoksia berat Gangguan pembekuan darah Tidakkooperatif
P E R S I A PAN Pasien: • Penjelasan mengenai peritoneal dialisis • Informed consent Alat: Set bedah minor, kateter dialisis peritoneal, cairan perisolution dan giving set, hep¬ arin, antibiotika, lidokain 2%, KCl injeksij blood set, besturi, jarum suntik disposable (3 cc, 5 cc), sarung tangan
PROSEDUR TINDAKAN 1.
= Siapkan 2 kolf ( 1 kolf 1 liter) cairan perisolution, hangatkan dengan direndam dalam air panas sampai suhu + 37°C - Kolf I: tambah 500 unit heparin, 3 mEqKCl, dan lOmgGentamisin - Kolf II: tambah 250 unit heparin, 3 mEq KCl, dan 10 mg Gentamisin
2, Operator menggunakan sarung tangan 3. A dan aijtisepsis lapangan operasi: daerah umbilikus dan sekitamya dibersihkan dengan betadin kemudian alkohol 70% 4. Pasang duk steril 5. Anestesi lokal dengan lidokain +2 ml sekitar 2 cm di bawah umbilikus: kutis, subkutis, peritoneum 6. Kira-kira 2 cm di bawah umbilikus dibuat insisi membujur dengan besturi sesuai diameter kateter 7. Bebaskanjaringan dengan klem arteri secara tumpul sampai teraba lapisanperi¬ toneal
388 Ginjal Hipertensi 8. Bila peritoneal sudah dicapai: - Ambil jarum infus dari blood set, tusuk sampai menembus peritoneum - Ambil konektor karet dari blood set, hubungkan dengan jarum yang tertanam pada rongga peritoneum, ujung yang satu lagi hubungkan dengan kateter cairan perisolution yang telah disiapkan pada tiang infus 9. Isi rongga peritoneum dengan cairan perisolution 1 liter (kolf I), Bila tepat masuk rongga peritoneum aliran akan lancar 10. Cabut jarum dari rongga peritoneum 11. a. Kateter peritonealdialisis dengan stilet; Tembus dinding peritoneal dengan
hati-hati, kateter kemudian belokkan menyusur dinding peritoneum ke arah SIAS sampai mentok b. Kateter peritonealdialisis tanpa stilet: Ujung kateter ini tumpul, terlebih dulu dibuat insisi kecil pada dinding peritoneum dengan besturi sesuai diameter kateter 12. Bila posisi kateter dinilai sudah betul, tes dulu dengan memasukkan cairan pada kolf II dan mengeluarkannya sedikit. Bila cairan lancar berarti posisi kateter sudah baik 13. Jahit kulit sekitar kateter, benang diikat pada kateter sedemikian rupa sehingga kateter tertanam cukup baik 14. Tutup luka dengan kasa yang diberikan betadin
INSTRUKSI PASCA TINDAKAN
1. Siapkan siklus terdiri dari 2 kolf (1 kolf = 1 liter cairan perisolution) 2. Sebelum digunakan, cairan peritonealdialisis direndam dalam air panas sampai suhu + 37°C. Tiap kolf (1 liter) ditambah heparin 250 unit, KCl 3 niEq, dan Gentamisin 10 mg 3. Setelah cairan masuk semua, diamkan di dalam rongga peritoneum 30 menit, setelah itu cairan dikeluarkan. Jadi setiap siklus akanmemerlukan waktu selama 60 menit dengan perincian; - Memasukkan cairan 2 liter : 10 menit - Lama cairan tinggal di rongga ; 3 0 menit - Mengeluarkan cairan : 20 menit 4. Lakukan tindakan 1 -3 sampai siklus XII 5. Catat jam masuk dan keluar cairan serta jumlah cairan yang masuk dan keluar pada formulir balans cairan 6. Pada siklus XII, cairan yang dikeluarkan hanya 1 liter. Sisakan 1 liter dalam rongga peritoneum 7. Buat balans cairan dialisis peritoneal setiap hari. Balans ini ikut diperhitungkan dengan balans keseluruhan 8. Keesokan harinya ulang tindakan 1 -7
LAMA TINDAKAN Satu siklus memakan waktu 60 menit, dilakukan 12 siklus tiap hari
KOMPLIKASI Peritonitis, exit site infection, perdarahan, hernia, hidrotoraks
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
389
WEWENANG •
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam - Subspesialis Ginjal Hipertensi, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi.PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Ginjal Hipertensi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan; Departemen Bedah - Divisi Bedah Urologi RS Non Pendidikan: Bagian Bedah
390
Ginjal Hipertensi
PERITONEAL DIALISIS MANDIRI BERKESINAMBUNGAN P E N G E RTI A N Peritonealdialisis mandiri berkesinambungan atau continuous ambulatory perito¬ neal dialysis (CAPD) adalah proses dialisis berkesinambungan yang menggunakan selaput peritoneal sebagai membran alami yang dilakukan secara mandiri
TUJUAN
Dialisis yang adekuat
INDIKASI Pasien gagal ginjal terminal, terutama yang mengalami: • DM dengan komorbiditas tinggi • Ketidakstabilan kardiovaskular akibat penyakit kardiovaskular atau usia lanjut dengan hemodinamik tidak stabil • Kesulitan/kegagalan pembentukan akses vaskular karena proses aterosklerosis dan Iain-lain pada pasien HD • Kecenderungan perdarahan (trombositopenia/trombopati) • Strok baru • Alergi terhadap bahan dialisat/asetat • Pasien gagal ginjal terminal dengan HD reguler yang mengalami: gangguan serebral akut (perdarahan intrakranial), gagal jantung kongestif, kardiomiopati, penyakit jantung iskemik berat, atau gangguan irama jantung dengan kelainan hemodinamik
KONTRAINDIKASI Mutlak: permukaan selaput peritoneum sempit (akibat adhesi peritoneal yang berlebihan/peritonitis berulang) Relatif: • Ostomi (kolostomi, ileostomi, nefrostomi) • Peritonitis lokal (tuberkulosis/jamur) • Sangat gemuk • Ginjal polikistik masif (rongga perut sempit akibat massa tumor) • Fistel abdominal/sepsis abdominal • Ketidakmampuan pasien untuk menjalankan program sendiri (buta, hemiparesis/kuadriplagia) • Retardasi mental/psikosis • Motivasi rendah
P E R S I A PAN Bahan dan Alat: • Larutan dialisis • Volume larutan 1 -2 liter 391
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI • •
• • • • •
Susunan elektrolit tergantung pabriknya Konsentrasi dekstrosa: a. Standar (dekstrosa 1,5%) b. Hipertonis (dekstrosa 2,5% atau 4,25%) Cww transfer set Variasi sambungan untuk CAPD Modifikasi konektor pada CAPD Kateter peritoneum (yang bisa dipakai di Indonesia) Standard double-cuff tenckhoff
1. Obat-obatan harus diberikan intraperitoneal selama 10-14 hari sebagai tindakan pencegahan penyulit:
-
Heparin (1000 unit untuk setiap kantong dialisat) Antimikroba (biasanya golongan aminoglikosida/sefalosporin 100 mg untuk ' setiap kantong dialisat) 2. Resep program CAPD Volume cairan dialisis: Pergantian cairan 4 kali sehari, masing-masing 2 liter (2 liter untuk 4 kali pertukaran = 8 liter/hari) - Jam pertukaran: 08.00,12.00,16.00,22.00-24.00 (sebelumtidur) Ultraflltrasi. Untuk 3 kali pertukaran pertama, dialisat standar (1,5%), untuk malam sebelum tidur, dialisat hipertonis (4,25%) Komposisi cairan dialisat;Na 132 mEq/1, CI 98 mEq/1, Ca 3,5 mEq/1, Mg 0,5 mEq/1, laktat 40 mEqA - Urea klirens yang diharapkan perminggu: 57 liter klirens Kreatinin klirens yang diharapkan perminggu: 47 liter klirens
P R O S E D U R TINDAKAN Perawatait exit site Perawatan tempai lubang keluarnya kaleter tenckhoff. dilakukan setiap hari oleh pasien sendiri atau bantuan anggota keluarga, untuk mencegah infeksi. Alat dan obat yang dibuluhkan: kasa steril, plester, guniing, immohilber untuk kateter, betadin/NaCl 0,9% Cara: 1. Sebelum bekerja cuci tangan dengan sabun/desinfektan 2. Memakai masker penutup mulut 3. Bersihkan daerah exit site dengan kasa yang dibasahkan betadin (gunakan NaCl 0,9% bila pasien tidak tahan terhadap betadin dengan cara memutar dari bagian dalam ke luar) 4. Gunakan satu sisi kasa steril setiap kali pemakaian 5. Bersihkan kateter 6. Fiksasi kateter dengan immobilizer, sehingga tidak mudah tertarik 7. Observasi daerah kateter untuk memeriksa apakah terdapat kebocoran, robek, atau rusak 8. Jika pasien merasa sakit, kemerahan, bengkak, atau ada nanah pada daerah exit site, lakukan pemeriksaan kultur dan melapor ke dokter untuk mendapatkan pengobatan 392
Ginjal Hipertensi 9. Anjurkan pasien untuk tidak memakai pakaian yang ketat 10. Jika banyak berkeringat dianjurkan untuk membersihkan exit site sesering mungkin Penggantian transfer set pada sistem "O" set Alat yang dibutuhkan: transfer set, betadin, out post klem, disconrtet shildklem, on of tray (3 buah kain steril + kasa steril), mini cup, klem kaLeter, masker Cara: 1. Dilakukan di ruang tertutup dan bersih 2. Pakai masker dan siapkan alat-alat di atas 3. Cuci tangan dengan memakai sabun/desinfektan 4. Pasien dianjurkan telentang
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Buka on of tray, transfer set, mini cup, klem kateter Taruh betadin pada kain yang kering Ambil duk yang berlubang di tengahnya dengan menggunakan pinset Letakkan pada perut pasien Pakai sarung tangan Ambil dua duk yang tidak berlubang dan letakkan pada perut pasien Ambil kasa steril, letakkan pada titanium Gosok titanium dengan kasa steril + betadin selama 5 menit Rendam antara titanium dan transfer set dengan betadin Ambil klem kateter lalu letakkan transfer set d?in titanium selama 5 menit Rendam titanium dengan betadin selama 5 menit Sambungkan dengan transfer set Ambil mini cup lalu pasangkan pada transfer set Ambil "O'' set lalu sambungkan sampai membentuk "O" Tusukkan ujung lancip pada kantong yang kosong Rapihkan pasien Ganti balutan pada exit site
KOMPLIKASI Mekanik, infeksi, kardiovaskular, paru, neurologik, metabolik
WEWENANG •
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam - Subspesialis Ginjal Hipertensi, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan ; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Ginjal Hipertensi RS Non Pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan: Departemen Bedah - Divisi Bedah Urologi RS Non Pendidikan: Bagian Bedah 393
3.5
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK
Hematologi-Onkologi Medik
AFERESIS P E N G E RTI A N Aferesis adalah prosedur pemisahan komponen darah seseorang secara langsung dengan menggunakan mesin pemisah komponen darah
TUJUAN Mengeluarkan sebagian komponen darah, dapat berupa sel {cytopheresis) atau plasma (plasmaferesis//>/a5wa exchange)
INDIKASI Terapeutik: • Sitoferesis • Eritrositoferesis: Sickle cell anemia, malaria dg parasitemia • Tromboferesis: Trombositemia simtomatik • Leukoferesis: Leukemia dengan hiperleukositosis, arthritis rheumatoid (dim keadaan tertentu) • Plasmaferesis: Kelainan paraprotein (sindrom hiper\nskositas, krioglobuhnemia, cold penyakil agglutinin), iCeiainan akibal metabolik loksik (penyakii Refsum, penyakit Fabry, hiperkolesterolemia familial), Kelainan imunologis (sindrom goodpaslure. miastenia gravis, sindrom eaton-lamben, sindrom guilain-barre, pemfigus, ITP, inhibitor faktor koagulasi), Vaskuliii (SLE, glomerulonefriitis mesangiokapiler, granulomatosis wagener), Defisiensi faktor plasma (TTP), keracunan obat atau bahan racun lainnya. Donor: Untuk memenuhi kebutuhan komponen darah pasien: • Tromboferesis • Plasmaferesis • Leukoferesis, untuk mendukung program PBSCT
K O N T R A INDIKASI
• • • • • • • •
Aferesis terapeutik Pasien dengan kondisi buruk dan gangguan hemodinamik Aferesis donor Kadar trombosit/ leukosit/ albumin/ hemoglobin/ hematokrit di bawah normal Golongan ABO-Rh tidak cocok, cross matching hasil (+) Mengandung HbsAg/ anti HCV/ HIV/ VDRL dan malaria Herat badan kurang, usia tua, anak-anak Menderita penyakit jantung, paru-paru, gagal ginjal kronik atau penyakit akut lainnya
397 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
PERSIAPAN Bahan dan alat; • Mesin aferesis • Set aferesis disposable, set trombaferesis, set plasmaferesis, set leukaferesis, set eritositaferesis • Antikoagulan ACD-A • Akses intravena • AV fistula • Heparin injeksilnfus salin 0,9% • Albumin (untuk plasmaferesis) • Obat-obat darurat; injeksi Ca glukonas, inj adrenalin, inj kortikosteroid, inj antihistamin, nftise salin, plasma expander, oksigen, alat resusitasi dan obat darurat untuk resusitasi Pasien: • Penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalani • PemeriksaaniFisik: hemodinamik, beral badan, tinggi badan • Laboratorium: gol darah ABO-Rh. cro.s,s-maiching, DPL, HbsAg, anti HCV • Informed consent • Menelan tablet kalsium sehari sebelumnya
P R O S E D U R TINDAKAN •
•
• *
• •
Mesin aferesis dihidupkan dan dinilai apakah layak beroperasi, memasang set aferesis disposable (set tunggal atau ganda) pada mesin aferesis, beserta infus NaCl 0,9%. antikoagulan ACD-A Melakukan koleksi koinponen darah dari donor via vena di lengan kanan, kiri (set ganda) aiau satu lengan, mengisi data donor pada komputer mesin, menghubungkan mesin set dan set aferesis disposable dcngan donor, memulai prosedur Prosedur donor trombosii dan plasma berlangsung 100 menit, sedangkan prosedur donor sel asal darah dalam darah lepi berlangsung 4-8 jam Bila prosedur selesai dilakukan, start rinseback mode, kemudian lepaskan set aferesis dari donor, trombosit yang dikoleksi segera diberikan ke pasien atau bila disimpan harus diatas blood rotator (yg bergoyang) selama maksimal 5 hari Selama prosediu' aferesis beijalan, dokter dan perawat harus mengawasi keluhan, dan bila perlu menilai hemodinamik Untuk aferesis terapeulik, prosedumya sama dengan aferesis donor, namun khusus untuk plasmaferesis, awasi kemungkinan syok hipovolemik dan lidak lupa memberikan infus albumin saat pertengahan prosedur serta awasi 1-2 jam seielah prosedur unluk mencegah kemungkinan syok
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
398
Hematologi-Onkologi Medik
Hipokalsemia (kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, pandangan gelap), gangguan hemodinamik dan penurunan kesadaran
WEWENANG •
•
RS Pendidikan; Dokter spesialis Penyakit Dalam Subbagian Hematologi-Onkologi, PPDS Penyakit Dalam tahap yang sedang / sudah melalui kepaniteraan Hematologi. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Penyakit Dalam - Divisi Hematologi-Onkologi RS Non Pendidikan: Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT •
Bank darah
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
399
PUNGSI SUMSUM TULANG T U JU A N • • • •
Diagnosis sitomorfologi/ evaluasi produk pematangan sel asal darah {stem cell) Penilaian terhadap simpanan besi Pengumpulan colonyforming unit (CFU-GM) pada transplantasi sumsum tulang M endapa tkan spesimen untuk pemeriksaan bakteriovirologis (biakan mikrobiologi)
INDIKASI • • •
Anemia dan sitopenia lainnya yang tidak dapat diterangkan Leukositosis dan/ atau trombositosis yang tidak dapat diterangkan Dugaan leukemia atau mieloptisis
KONTRA INDIKASI Keadaan umum yang buruk
PERSIAPAN Bahan dan alat • Bahan tindakan antiseptik • Povidone iodine • Kapas lidi steril dan kapas steril • Prokain/ lidokain 3% dan spuit 5 cc, spuit 20 cc danjarumhipodermik 23-25 gaus • Sarung tangan steril dan duk bolong steril • Set jarum aspirasi sumsum tulang (14-16 G) yang sesuai dengan tempat yang akan dilakukan dan spuit yang sesuai dengan jarum aspirasi sumsum tulang. Tempat aspirasi: • Spina iliaka posterior superior (SIPS) • Krista iliaka Spina iliaka anterior superior (SIAS) • Sternum di antara iga 2 dan 3 garis mid sternal atau sedikit di kanannya (jangan lebih dari 1 cm) Spina dorsalis / prosesus spinosus vertebra lumbalis (jarang dilakukan karena alatnya tidak ada, sekitar 18 gaus) • Botol bersih untuk koleksi aspirat, gelas obyek untuk bloodfilm • Antikoagulan titriplex, heparin atau EDTA • Perlengkapan untuk mengatasi renjatan neurogenik dan renjatan anafilaksis seperti adrenalin, atropin sulfat dan cairan set infuse
PROSEDUR TINDAKAN
•
Pasien diminta untuk buang air besar/ kecil sebelum tindakan
• •
Periksa kelengkapan dan kelayakan bahan dan alat tindakan Cuci tangan yang bersih dan keringkan
400 • •
• • • *
* * *
• * '
•
Hematologi-Onkologi Medik Pakai samng tangan steril Periksa kelengkapan dan kesesuaian jarum aspirasi dan spuitnyaisi spuit untuk aspirasi tersebut dengan sedikit antikoagulan titriplex/ EDTA untuk pemeriksaan sitologi dan imunologi atau heparin tanpa pengawet untuk sitogenetik Lakukan tindakan a dan antiseptik daerah tindakan dan prosedur terjaga aseptik. Tentukan titik tindakan Lakukan anestesi lokal tegak lurus permukaan mulai dari subkutis sampai peri¬ osteal Lakukan penetrasi jarum aspirasi tegak lurus dengan diputar kiri kanan secara lembut menembus kulit sampai membentur tulang/ periosteum kemudian perhatikan tingginya jarum, untuk jarum stemal sesuaikan pembatas/ pengaman - 0,5 cm dari kulit, kemudian setinggi ± 0,3 lanjutkan penetrasi jarum untuk menembus tabula ekstema dengan memberikan tekanan lebih besar secara mantap dan lembut setelah terasa seperti menembus kertas pada saat menembus diploe dan perbedaantinggijarumyangmasuk + 0,3-0,5 cm untuk sternum, ±0,5 -1,5 cm untuk SIPS/ SIAS/ krista iliaka, selanjutnya cabut mandrein dan pasang spuit 20 cc yang sudah dibilas antikoagulan tadi kemudian lakukan aspirasi perlahan tapi mantap (pasien akan merasa sakit) sebanyak ± 1 - 2 cc (untuk sitomorfologi saja), 2 cc dengan heparin (untuk pemeriksaan sitogenetik), jika terlalu banyak akan terencerkan dengan darah perifer yang akan menyulitkan penilaian, kemudian spuit dicabut, jarumkan biarkan saja. ' Teteskan aspirat secukupnya ke gelas obyek, diratakan diatas kaca slide, maka akan terlihat partikel sumsum tulang Sisanya masukkan ke dalam botol koleksi kemudian dikirim ke laboratorium Jika diperlukan untuk alasan lain dapat dilakukan aspirasi dengan spuit yang lain yang telah dibasahi antikoagulan, kemudian dikoleksi pada tempat Iain yang telah diisi antikoagulan Setelah selesai jarum aspirasi dicabut pelan-pelan tetapi mantap dengan cara diputar seperti ketika memasukkannya Daerah perlukaan dilakukan penutupan luka {dressing) dengan kassa yang telah diberi antiseptik jika diperlukan. Bila ada trombositopenia atau fragilitas kapiler yang meningkat (defisiensi hemostasis primer) dilakukan penekanan dulu sekitar 10 - 15 menit, setelah yakin tidak ada perdarahan baru dilakukan dressing. Daerah perlukaan jangan dibasahi selama 3 hari dan dressing dibuka setelah 3 hari
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI Pneumomediastinum jika dilakukan pada sternum, perdarahan
WEWENANG •
RS Pendidikan : Dokter spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap
•
yang sedang / sudah melalui kepaniteraan Hematologi. RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
401
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi-Onkologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAI T
402
Hematologi-Onkologi Medik
BIOPSI SUMSUM TULANG TUJUAN • • •
Menilai selularitas sumsum tulang Menentukan adanya keganasan hematologi dan nonhematologi (metastasis) Menentukan adanya fibrosis sumsum tulang
INDIKASI Kecurigaan adanya gangguan produksi sel darah, menentukan stadium keganasan nonhematologi
KONTRA INDIKASI
• • •
Tidak ada kontraindikasi mutlak Pada trombositopenia berat (<20.000) pemberian transfusi trombosit sebelum tindakan akan lebih baik Melakukan biopsi sumsum tulang pada sternum
PERSIAPAN Bahan dan alat • Jarum biopsi jamshidi atau sejenis • Perlengkapan standar minor set sederhana yaitu antiseptik, alkohol 70%, kapas lidi, duk bolong, semprit 5 cc, lidokain, sarung tangan steril, kasa steril, plester, botol kaca, formalin 10%
P R O S E D U R TINDAKAN
• • • • • • • • •
Pasien diminta untuk buang air kecil/ besar sebelum tindakan dimulai Pasien pada posisi tengkurap A dan antisepsis pada daerah sekitar lokasi yaitu krista iliaka superior posterior Setiap tindakan dilakukan secara steril Pasang duk bolong Anestesi dengan lidokain 2% pada krista iliaka posterior 3 - 6 cc sampai mencapai periosteum Suntikan jarum biopsi dengan cara twisting morion sambil melakukan penekanan sampai terasa menembus tulang dan dilanjutkan sepanjang 1-2 cm Melakukan gerakan 4 arah (atas, bawah, kiri, kanan) setelah itu jarum diangkat Luka biopsi ditutup dengan kasa steril yang dibasahi povidone iodine dan tidak boleh dibasahi selama 3 hari.
Pembuatan preparat Gosokkan bahan/ jaringan sumsum tulang yang didapat pada kaca obyek (slide) sebanyak 2-3 buah dan biarkan kering dengan pewamaan.Pewamaan bisa berupa pewarnaan wright atau giemsa.
403 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
LAMATINDAKAN
KOMPLIKASI Perdarahan, infeksi
WEWENANG • •
RS Pendidikan: Dokter spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang sedang/sudah melalui kepaniteraan Hemalologi. RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS Pendidikan: Departemen Penyakit Dalam — Divisi Hematologi-Onkologi RS Non Pendidikan; Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT •
RS Pendidikan / RS Non Pendidikan : Patologi Anatomi
404
Hematologi-Onkologi Medik
TRANSFUSI DARAH PENGERTIAN Transfusi darah adalah tindakan memasukkan sel darah merah (darah segar, pack red cell) ke dalam tubuh melalui vena
TUJUAN Memberikan kebutuhan sel darah merah sesuai indikasi
INDIKASI Sesuai dengan komponen darah yang ditransfusikan; • Darah lengkap {whole blood) 250-300 cc/unit: meningkatkan volume darah merah dan volume plasma pada petdarahan akut dan pada kehilangan darah > 25% volume darah total * Darah merah pekat {packed red blood cells) 150-250 cc/unit: meningkatkan massa sel darah merah dan kapasitas oksigen pada anemia normovolemik simtomatik termasuk anemia kronik pada kelainan ginjal kronik dan kanker • Darah merah dicuci {saline washed red blood cells) 180 cc/unit: meningkatkan massa sel darah merah, mengurangi risiko reaksi alergi terhadap protein plasma • Trombosit konsentrat {platelet concentrate) 50 cc/unit:Perdarahan karena atau trombositopenia trombopati • Trombosit aferesis {platelet aferesis) 300 cc/unit;Perdarahan karena trombositopenia atau trombopati, kecocokan HLA • Plasma beku {fresh frozen plasma) 220 cc:Pengobatan beberapa gangguan • • •
koagulasi Kriopresipitat (cryoprecipitate / anti hemophilifactor) 15 cc/unit: Defisiensi faktor VIII, faktor XIII, fibrinogen, pengobatan penyakil von willebrand Darah merah minim leukosit {leucocytepoor RBC) 200 cc/unit: Meningkatkan massa sel darah merah, mencegah reaksi demam karena antibodi leukosit, menurunkan kemungkinan aloimunisasi terhadap leukosit atau antigen HLA
K ONT R AI ND IK A S I Sesuai dengan komponen darah: • Darah lengkap;Anemia kronik normovolemik yang hanya memerlukan peningkatan massa sel darah merah. • Darah merah dicuci:Bila sudah lebih dari 24 jam karena teknik pencucian sistem terbuka menyebabkan penggunaannya terbatas 24 jam (risiko kontaminasi • •
bakerial) Darah merah pekat dan darah merah minim leukosit:Hati-hati risiko reaksi transfusi hemolitik, transmisi infeksi virus, reaksi alergi dan demam Trombosit konsentrat dan trombosit aferesis:Tidak efektif untuk pasien dengan destruksi trombosit yang cepat, termasuk ITP dan KID yang tidak diobati (kecuali pada perdarahan aktif), septikemia dan hipersplenisme
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI • •
405
Plasma beku: Jangan diberikan bila tujuannya menambah volume darah KiiopresipitatiUntuk kasus selain indikasi
PERSIAPAN Bahan dan alat • Untuk transfusi darah lengkap, darah merah pekat, darah merah dicuci, plasma beku dan kriopresipitat, gunakan set transftisi khusus dengan penyaring/ filter atau blood set • Untuk transfusi trombosit konsentrat atau trombosit aferesis, gunakan infus set khusus untuk transfusi trombosit • Hanya infus NaCl 0,9% yang diizinkan untuk diberikan bersama darah/ komponen darah • Bila tersedia, dapat digunakan alat pemompa darah elektronik untuk transfusi darah
PROSEDUR TINDAKAN Permintaan darah atau komponen • Formulir permintaan darah diisi lengkap, lemiasuk golongan arah A BO- Rh yang selamaini diketahui, namapasien daii nama orang tuaalau suaini, reakiii transfusi yang pemah dialami, indikasi dan Iain-lain • Formulir tersebut ditandatangani oleh dokter yang meminta, sedangkan perawat ruangan menilai ulang kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir tersebut • Perawat mengambil sampel darah minimal 2 cc, paling baik 5 cc. Pada sampel darah ini hams ditempelkan label yang kuat bertulisan nama lengkap (sesuai formulir), jenis kelamin, umur, nomor rekam medik, tanggal pengambilan dan ruang perawatan Pemberian transfusi darah atau komponen • Identifikasi secara benar dan cermat bahwa nama pasien dan data lainnya cocok dengan label pada darah/ komponen darah yang akan diberikan, begitu juga kebenaran indikasi transfusi pada pasien ini. • Pada saat dimulai pemberian transfusi, pasien hams diawasi selama 5-10 menit pertama, kemudian diawasi secara periodik sampai tindakan transfusi selesai. • Dokter hams berada di area yang terjangkau (di RS) selama pemberian transfusi, sehingga bila timbul keadaan darurat dapat segera hadir menanganinya • Bila alatnya tersedia, darah/ komponen darah dihangatkan dulu dengan alat blood warmer� temtama pada kasus-kasus khusus antara lain pasien dewasa yang menerima transfusi cepat dan bemlang (> 50 cc/kg/jam), exchange transfu¬ sion pada bayi, anak-anak yang menerima transfusi dengan volume besar (> 15 ml/kg/jam) dan infus cepat melalui kateter vena sentral. • Pada orang dewasa kecepatan transfusi darah/ komponen jangan melebihi 100 ml/ menit, karena berkaitan dengan risiko tinggi hentijantungJangan menyimpan darah pada suhu kamar lebih lama. • Bila kondisi klinik memerlukan waktu transfusi lebih dari 4 jam, darah/ komponen hams dicicil pengambilannya, sisanya disimpan di bank darah rumah sakit sampai saat yang diperlukan. • Jangan menambah obat-obat ke dalam darah/komponen. Juga jangan memberikan obat suntik bersamaan dengan pelaksanaan transfusi darah. 406
Hematologi-Onkologi Medik
LAMATINDAKAN Tergantung banyaknya komponen darah yang ditransfusikan
KOMPLIKASI
•
•
Reaksi transfusi cepat: Reaksi hemolitik kuat, reaksi demam, reaksi alergi Hipervolemia, edema paru non kardiogenik - Hemoiisis non-imun, sepsis bakterial Reaksi transfusi lambat: - Reaksi hemolitik lambat - Penyakit infeksi (hepatitis B, C, HIV, EBV, HTLV-1, CMV, malaria, toksoplasmosis) Reaksi lambat laimiya
WEWENANG • •
RS Pendidikan: Dokter spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam, Perawat terlatih. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Pen yakit Dalam, perawat terlatih
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam—Divisi Hematologi-Onkologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT •
Bank darah
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
407
PEMASANGAN NUTRICATH INDIKASI
• •
Kebutuhan akses vena jangka lama untuk terapi atau nutrisi Pengukuran tekanan vena sentral
KONTRA INDIKASI •
•
•
Gangguan hemostasis yang berisiko perdarahan masif apabila dilakukan tindakan (misalnyakoagulasi intravaskular diseminataberat, defisiensi faktor pembekuan tingkat sedang-berat) Trombositopenia (< 50.000/ul: absolut, 50.000-100.000/ul: relatif) Kelainan lokal disekitar vena subklavia: massa tumor, paska radioterapi karena seringkali terjadi penekanan terhadap vena subklavia sehingga menjadi sempit) Kelainan (tidak utuhnya) permukaan kulit di tempat insersi kateter (misalnya pada luka bakar/ infeksi lokal, (sindrom Steven Johnson)
PERSIAPAN Alat yang diperlukan; • Kateter vena sentral dengan diameter lumen yang sesuai untuk usia dan bentuk tubuh pasien Benangjahit, misalnyaproleneno2,0Lidokain2%, 10-20cc • Heparin • Beberapa alat suntik; spuit 5 cc 1 buah, spuit 20 cc 2 buah • Pinset sirurgis, 2 buah kom kecil dan I buah bengkok (kidney basin) • Klem anatomis kecil (dengan ujung yang membengkok) • Mata bedah pisau • Kain steril (duk), ukuran minimal 60 cm x 60 cm, berlubang memanjang di bagian •
tengah Larutan inflis NaCl, infus set three way 2 buah mbber slopper 2 buah, extension tube 1 buah
Jenis-jenis kateter vena sentral untuk vena subklavia: • Pada umumnya berukuran pa-njang 30-35 cm * Untuk yang dipasang dengan guide wire berukuran panjang 20 cm Nutricath (merk vygon) no 16 atau 14 Pemilihan lokasi vena subklavia • Diutamakan sebelah kanan, karena kemungkinan penyulit lebih kecil daripada kiri • Apabila ada kelainan paru yang sedang sampai berat (infeksi, eflisi pleura, tu¬ mor dll) pada satu sisi atau bila paska bedah MRM/ axillary dissection, dipilih vena subklavia kontralateral
408
Hematologi-Onkologi Medik
P R O S E D U R TINDAKAN
• • • • •
•
• •
•
Posisi pasien telentang, dengan letak kepala datar tanpa bantal dan menoleh ke arah yang berbeda dengan lokasi pemasangan kateter Dilakukan tindakan a dan antisepsis di daerah sekitar klavikula Siapkan NaCl 0,9% sekitar 100-200 cc Isi alat suntik 10 cc (sekitar 2 buah) dengan larutan NaCl 0,9% hingga terisi setengahnya, agar masih ada ruang untuk melakukan aspirasi Pada kulit kira-kira 1 cm di sebelah bawah pertengahan klavikula yang dipilih, dilakukan penyuntikan lidokain 2% berturut-turut secara subkutan, masuk mengenai tulang klavikula, kemudian menyusur tepi bawah tulang klavikula sampai jarum suntik masuk habis ke dalam kulit. Ingat tiap kali menyuntik lidokain diaspirasi dulu, keluar darah atau tidak. Pada waktu jarum menyisir tepi bawah klavikula tersebut, alat suntik didorong pada posisi mendatar dengan mengarah ke tepi proksimal dari ujung medial klavikula, sambil melakukan aspirasi, sehingga apabila ujung jarum masuk ke dalam vena akan diketahui dengan adanya darah vena yang teraspirasi ke dalam alat suntik Pasang kanula plastik dengan jarum logam di dalamnya (merupakan bagian dari set CVP) pada alat suntik yang berisi NaCl 0,9% Masukkan ujung jarum tersebut dengan cara dan arah yang sama seperti yang diterangkan sebelumnya sampai menyentuh tulang klavikula, kemudian mulai menyusur tepi bawah klavikula sambil dilakukan aspirasi. Apabila ujung jarum masuk ke dalam vena, akan ditandai terhisapnya darah vena ke dalam alat suntik. Pada tahap ini masukkan kanula plastik dengan mendorong sejauh 0,5 cm sambil menahan pangkal jarum logamnya, dengan demikian maka ujung kanula diharapkan sudah berada di dalam vena. Tariklah pangkal jarum logam ke luar kanula, kemudian pasang alat suntik berisi heparin dan lakukan aspirasi. Apabila darah masuk ke dalam alat suntik, berarti ujung kanula telah berada di dalam vena. Pada saat ini posisi kepala pasien kembali melihat ke depan, tidak menoleh lagi, hal ini untuk mengurangi kemungkinan kateter nanti masuk ke vena jugularis. Masukkan kateter CVP/ nutricath ke dalam kanula tersebut sejauh yang diperlukan yaitu dengan ujung kateter mencapai atrium kanan. Untuk prosedur pemasangan CVP cukup sampai di sini, sedangkan untuk pemasangan nutricath setelah prosedur ini dilanjutkan dengan tunelisasi subkutis yaitu memasang kateter di bawah kulit sejauh kira-kira 10 cm, baru kemudian dilakukan prosedur selanjutnya. Tunelisasi subkutis: - Lakukan sayatan menggunakan mata pisau bedah sepanjang 0,75 cm ke arah lateral, dengan kedalaman 0,3 cm dimulai dari lokasi kateter ke luar dari kulit Longgarkan jaringan bawah kulit secara tumpul menggunakan klem anatomis berukuran kecil, lebih baik bila ujungnya agak bengkok. Bebaskan jaringan ikat di sekitar kateter sehingga kateter dapat digerakkan longgar di lubang tersebut. Suntikkan secara subkutan, lidokain 10 cc pada titik sejauh 10 cm di bawah sayatan tersebut, ke arah bawah (untuk menjahit kepala kateter nantinya) dan ke arah atas menuju lokasi sayatan untuk memasang kanula nanti. Masukkan kanula (beserta jarum logam di dalamnya) di titik penyuntikan
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
409
lidokain tadi, kemudian ke arah atas (lokasi sayatan) secara subkutan sampai
menembus lubang sayatan pada posisi lateral dari kateter. Cabut jarum logam, tinggalkan kanula di tempatnya. Masukkan kateter ke dalam kanula dari arah atas sehingga keluar pada ujung kanula sebelah bawah. Lakukan penjahitan luka sayatan tadi. Lakukan jahitan fiksasi kateter tepat di tempat keluamya dari kulit dengan jahitan fiksasi kepala kateter (yang akan disambungkan dengan T-way dan selang infus) Sambungkan kepala kateter dengan selang infus ataupun extension tube dengan -
• • •
perantaraan T-way
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI Pneumotoraks, ruptur vena subklavia
WE WENANG • •
RS Pendidikan: Dokter spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang sedang / sudah melalui kepaniteraan Hematologi. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi-Onkologi RS Non Pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
410
Hematologi-Onkologi Medik
FLEBOTOMI
PENGERTIAN Suatu tindakan menuninkan volume darah dengan cara mengeluarkaimya melalui pembuluh vena secara bertahap dan cepat
TUJUAN Menghilangkan gejala-gejala distress dan fletora
INDIKASI Polisitemia vera, eritrositosis, hemokromatosis, porfiria cutanea tarda
KONTRA INDIKASI Gagaljantung
PERSIAPAN Bahan dan alat • Tensimeler dan steloskop untuk memantau status hemodinamik sebelum, selama dan sesudah lindakan dan juga untuk membendung vena pada vena seksi • Tempal tidur unluk berbaring pasien • Set donor • Bolol (plabooft atau kantong penampung darah dengan skala volume • Set infus/ kateier intravena dan cairan plasma atau dekslran (scbagai persiapan) terutama pada pasien di atas usia 65 tahun atau adanya penyakit/ penyulit kardiovaskuier atau gejala-gejala hiperviskositas • Perangkat standar antiseptik antara lain gauge steril, povidone iodine, alkohol dan plester
P R O S E D U R TINDAKAN
• •
• •
•
•
Pasien diminta untuk buang air besar atau kecil sebelum tindakan Pasien dalam posisi berbaring dilakukan evaluasi status hemodinamik, sedang untuk pasien di atas usia 65 lahun sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dilakukan dalam posisi duduk/ berdiri karenamencerminkan tekanan daiah ytmg sebenamya Bila status hemodinamik stabil, pasien berbaring di tempal tidur Dilakukan tindakan a dan antisepsis pada lengan daerah venaseksi yang dilanjutkan dengan pembendungan vena dengan tensimeter tekanan 60 mmHg (atau dianiara sistolik dan diastolik) Pada orang tua di atas 65 tahun atau pasien dengan kecenderungan penyakit kardiovaskuier, di sisi lengan yang satunya dipasang infus set dengan cairan pengganti plasma (plasma expander) atau dekstran yang dimulai secara bersamaan dengan tindakan flebotomi dengan jumlah yang sama seperti darah yangdikeluarkan Kebanyakan pasien dapal menerima pengeluaran darah sebanyak 3 unit (kirakira 450-600 cc) per minggu, bahkan ada yang melakukan sebanyak 500 cc dengan
411 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI interval 1-3 hari. Untuk usia lanjut dan pasien dengan penyakit kardiovaskuler
•
dianjurkan sckiiar 200-300 cc. Selelah tercapai target pengobalan yaitu hemalokrit anlara 40-45%, maka kekerapan tlebotomi biasanya dapat diturunkan anlara 1 aiau 2 kali tiap 3-4 bulan lerganUing evaluasi rutin yailu nilai hematokrii atau seuim ferilin dalam batas normal rendah 10-40 ug/ml uniuk pasien-pasien dengan hemokromatosis.
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI Perdarahan/ hematom, gangguan hemodinamik
WEWENANG • •
RS Pendidikan : Dokter spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang sedang / sudah melalui kepaniteraan Hematologi. RS Non Pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi-Onkologi RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
412
3.6 ALERGI
IMUNOLOGI Alergi Imunologi
TES TEMPEL {PATCH TEST) PENGERTIAN Tes tempel (parch test) adalah tes kulit yang pada umumnya dilakukan di punggung dengan menempelkan piester khusus dan dibaca setelah 48 jam( reaksi hipersensitivitas tipe IV)
TUJUAN Mengetahui adanya kontak penyebab alergi
INDIKASI Dermatitis kontak
KONTRAINDIKASI Daerah yang dites bebas dari dermatitis, pasien yang sedang minum obat antihistamim dan steroid
PERSIAPAN Bahan dan alat: • Berbagai alergen yang sering menimbulkan alergi kontak • Piester khusus Pasien: Tidak minum antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash outperiod (3 hari sampai 1 bulan tergantung dari jenis obat yang diminum)
P R O S E D U R TINDAKAN
• • •
Tes tempel dilakukan di punggung Siapkan semua piester yang telah ditaruh alergen lalu tempelkan satu persatu di punggung Diamkan selama48 jam, pasien tidak boleh mandi
•
Setelah 48 jam piester dibuka dan tunggu 'A-1 jam, baru dibaca
PENILAIAN tak ada reaksi reaksi lemah (nonvesikular) reaksi kuat (vesikular atau edematous) reaksi ekstrim (bulosa atau ulseratif)
(-) + ++
LAMA TINDAKAN 48 jam
415 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
KOMPLIKASI
WEWENANG •
•
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Siibspesialis Alergi-Imunologi (konsulen) dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi-Imunologi dibawah bimbingan konsulen. RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•
Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi-Imunologi
UNIT TERKAIT •
Departemen Kulit dan kelamin
REFERENSI Rengganis I. Tes Tempel (Tatch Test�. Dalam : Sumaryono, Aiwi I, Sudoyo AW. Simadihrata M, Sefiali S, Gani RA, Mansjoer A, editors. Prosedw tindakan di bidofig penyakit dohnn. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKU!;2(}0I.p. IO-J.
416 Alergi Imunologi
TES TUSUK {SKIN PRICK TEST) PEN GERTIAN Tes tusuk (skinprick test) adalah tes kulit yang pada umumnya dilakukan di bagian volar lengan bawah dengan memasukkan alergen melalui tusukan jarum di kulit
TUJUAN Mengetahui adanya sensitisasi terhadap alergen
INDIKASi Pasien asma, rhinitis, konjungtivitis alergi, dermatitis atopi, dan urtikaria
KONTRAINDIKASI Pasien dalam serangan asma, pasien yang sedang minum obat antihistamim dan steroid
P E R S I A PAN • •
Bahan dan alat rEkstrak alergen yang sering menimbulkan alergi, jarum khusus skin prick test atau dapatjuga jarum G 26X0,5, kapas dan alkohol 70% Pasien :Tidak minum antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period {3 hari sampai 1 bulan tergantung dari jenis obat yang diminum)
PROSEDUR TINDAKAN
• • •
• • •
Tes dilakukan di voler lengan bawah. Bersihkan bagian bawah yang akan dites dengan alkhol 70% tunggu sampai kering. Gambar batas tiap alergen dengan pulpen sebanyak jumlah alergen yang akan dites. Teteskan alergen ditempat yang telah ditandai. Jarak tiap tetesan alergen 1,5-2,5 cm untuk menghindari bercampumya dua alergen yang kemungkinan bereaksi positif. Tes dibaca setelah 15 menit.
PENILAIAN (-) -t++ -H-h
Mil
tak ada reaksi indurasi indurasi indurasi indurasi
l-2mm 3-5 mm 6-9 mm > 9 mm
LAMA TINDAKAN 15-30 menit
417
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
KOMPLIKASI Reaksi alergi berupa asma, rinitis, urtikaria, syok anafilaksis
WEWENANG •
•
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi-Imunologi (konsulen) dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi-Imunologi dibawah bimbingan konsulen. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•
Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi-Imunologi
UNIT TERKAIT
•
Departemen Kulit dan kelamin
R E F E RE N S I Rengganis 1. Tes tusuk fSkin Prick Test�. In: Svmaryono, Alwi I, Sudoyo A W, Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, MansjoerA, editors. Prosedur tindakan di bidangpenyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:200Lp. 12-3.
418 Alergi Imunologi
TES PROVOKASI BRONKUS PENGERTIAN Tes provokasi bronkus adalah tes untuk mengetahui adanya hipeireaktivitas bronkus
TUJUAN Mendiagnosis asma bronkial
INDIKASI Pasien asma bronkial yang tidak terdiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan non invasif
KONTRAINDIKASI Adanya obstruksi saluran napas
PERSIAPAN Bahan dan alat: • Histamin dalam konsentrasi 5%; 2,5%; 1,25%; 0,625%NaCl 0,9% • Spirometri • Obat bronkodilator (adrenalin, beta-2 agonis, aminofilin) • Tabung oksigen Pasien :Pasienbebas asmaselama 12 jam
P R O S E D U R TINDAKAN 1. 2. 3. 4, 5. 6,
Pasien menjalani pengukuran spirometri pertama Kemudian diminta membuka mulut lebar-lebar dan disemprotkan ke dalamnya NaCl 0,9% sebanyak 3-5 kali semprot lalu dihisap ke dalam pani-paru Ditunggu selama 1 menit lalu dilakukan spirometri kedua Ulang kembali spirometri ketiga setelah 1 menit kemudian Tunggu beberapa saat (1-2 menit) ulangi tindakan nomor 2-4 dengan menggunakan histamin 0,625% Lakukan hal yang sama pada konsentrasi histamin 1,25% dan seterusnya sampai
dicapi konsentrasi histamin yang memberikan hasil provokasi positif
PENILAIAN Positif: bila pada pengukuran menilai FEVl setelah dilakukan provokasi dengan histamin dosis tertentu terdapat perbedaan sebesar > 20% dibandingkan FEV1 awal Negatif ; bila pada pengukuran spirometri setelah dilakukan provokasi dengan histamin sampai konsentrasi 5% tidak didaptkan perbedaan FEVl sebesar > 20% dibandingkan dengan spirometri awal
419 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
LAMATINDAKAN 30-60 menit
KOMPLIKASI Serangan asma bronkial
WEWENANG •
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (konsulen ) dan PPDS yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi di bawah bimbingan konsulen Alergi Imunologi
UNIT YANG MENANGANI •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi-Imunologi
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan; Divisi Pulmonologi RS Non Pendidikan: Bagian Paru, Penyakit Dalam, ICU
REFERENSI Karjadi TH. Tes provokasi bronkus. In: Sumaryono, Alwi J, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, penyunting. Prosedur tindakan di bidangpenyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2001.p. 3-4
420 Alergi Imunologi
TES PROVOKASI OBAT PEN GERTIAN Tes provokasi obat adalah les yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan dosis yang lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, keniudian dosis ditingkatkan dan diberikan jarak terlenlu sampai tercapai dosis penuh sesLiai dengan yang diharapkan
TUJUAN Mengeiahui adanya sensitivitas terhadap obal tersebut. Bila terjadi reaksi, masih dalam uihap ringan sehingga prosediirdiheniikan dan gejaladapatdiobali. Biasanya digunakan unluk menguji obat ancstesi lokal sebelum digunakan dosis penuh.
INDIKASI Jika dalam riwayat penyakit ada tanda-tanda yang mengarah ke alergi obat
KONTRAINDIKASI
• • •
Pasien yang sudah jelas diketahui alergi terhadap obat tertentu tidak perlu dilakukan tes lagi Pasien yang sedang minum obat antihistamin dan steroid Pasien penyakit jantung dan penyakit berat lainnya
P E R SI A PAN Bahan dan a la t: Kit anafilaksis, infus set, obat/bahan yang akan dites. Pasien : Tidak minum obat antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period
PROSEDUR TINDAKAN
•
• • •
Tes dilakukan dengan jumlah yang sesuai dengan kadar yang akan digunakan dan jangan menggunakan bahan yang mengandung epinefrin Mula-mula dilakukan prick lesl dengan anestesi yang lidak diencerkan sebanya satu leles Bila negatif,lanjutkan dengan 0,1 mllarutan 1:100 subkutan Bila negatif, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1: 10 subkutan
• • • •
Bila negatif, lanjutkan dengan 0,5 ml tidak diencerkan subkutan Bila negatif, lanjutkan dengan 1 ml larutan tidak diencerkan subkutan Bila negatif, lanjutkan dengan 2 ml larutan tidak diencerkan subkutan Suntikan diberikan dengan jarak 15 menit
PENILAIAN Dianggap negatif bila pasien telah menerima 3 ml anestesi lokal tanpa reaksi yang berarti, tidak menunjukkan risiko yang lebih besar dibanding dengan populasi dalam niasyarakat
421
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
LAMATINDAKAN 1/2-2 jam
KOMPLIKASI Reaksi alergi ringan, sedang, berat. Anafilaksis sampai kematian
WEWENANG •
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (konsulen) dan PPDS yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi dibawah bimbingan konsulen Alergi Imunologi
UNIT YANG MENANGANI
•
RS Pendidikan; Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi-Imunologi
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan: Divisi Pulmonologi. RS Non Pendidikan : Bagian Paru, Penyakit Dalam, ICU
R E FE R E N S I Renggams 1. Tesprovokasi obat. Dalam : Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, penyunting. Prosedur tindakan di bidang penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2001; 149-50
422
3.7 GASTROENTEROLOGI Gastroenterologi
SKLEROTERAPI DAN LIGASI VARISES ESOFAGUS PENGERTIA N Skleroterapi dan ligasi varises esofagus merupakan prosedur invasif dengan menggunakan endoskopi yang dimasukkan ke dalam saluran cema dilanjutkan dengan pengikatan dan penyuntikan varises pada esofagus/gaster
TUJUAN Melakukan eradikasi varises esofagus dengan cara melakukan prosedur berulang dengan rata-rata sebanyak 3-4 kali,
INDIKASI Perdarahan akibat pecahnya varises esofagus/gaster
KONTRAINDIKASI
•
•
Gagal jantung akut, infark jantung akut, gangguan hemodinamik, syok hipovolemik, gangguan pernapasan {respiratory distress), koagulasi intravaskular diseminala akut (gangguan hemostasis). Prekoma dan koma hepatikum merupakan kontraindikasi relatif
P E R S IA PAN
• •
DPL, masa perdarahan, masa pembekuan Puasa6-8 jam
PROSEDUR TINDAKAN •
•
•
Prosedur ini harus dilakukan secara legeartis oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman, Sebab risiko tindakan ini akan meningkat bila dilakukan oleh operator yang tidak berpengalaman dan sebaliknya risiko akan menjadi kecil atau tanpa risiko bila dikerjakan oleh operator yang berpengalaman. Sifat prosedur ini bisa elektif atau emergensi. Khususnya untuk prosedur emergens! persiapan sebelum tindakan dilakukan dengan sebaik mungkin, dengan memperhatikan risiko yang dapat terjadi pada saat tindakan maupun sesudah tindakan. Langkah-Iangkah tindakan Skleroterapi: 1. Pasien telah dijelaskan dan dimotivasi sehingga menyetujui tindakan untuk mendapatkan hasil yang optimal 2. pemeriksaan fungsi hati, hemostasis, HBsAg dan Anti HCV 3. kadar hemoglobin diusahakan lebih dari 10gr% 4. Puasa minimal 6 jam sehari sebelum tindakan 5. Pagi hari sebelum skleroterapi dianjurkan untuk pasang infus cairan. 6. Premedikasi: a. Sedasi berupa diazepam i.v. 5- lOmg atau midazolam 5mg, 15 menit sebelum tindakan
425
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI b. c.
Gascon 15cc per oral 5-10 menit sebelum tindakan Spray xilokain 10% merata ke seluruh faring, sekitar uvula, dan hipofaring 5-10 menit sebelum pemeriksaan d Hyoscine-N-butylbromide (buscopan) i.m. 1 -2 ampul (20-40mg) 7. Alat yang dipakai: a. Endoskopi dengan pandangan samping maupun depan b. Jarum khusus untuk skleroterapi serta obat sklerosan yang bisa dipakai: i. Polidocanol (ethxysclerol) 1 %, 2%, dan 3% ii. Etanolamin 5% iii. Sodium tetradesil sulfat 0,5-1,5% (trombovar) iv. Kinin V. Dextrosa 50% vi. Alkohol absolute 96% vii. Jumlah sampai total sebanyak 5-30mL untuk setiap skleroterapi •
Langkah-langkah tindakan ligasi; 1. Pemeriksaan fungsi hati, hemostasis, HbsAg dan Anti HCV 2. Kadar hemoglobin diusahakan lebih dari 1 Ogr%
3. 4.
Puasa minimal 6 j am sehari sebelum tindakan Premedikasi: a, Sedasi bempa diazepam i.v. 5-1 Omg atau midazolam 5mg, 15 menit sebelum tindakan b. Gascon 15cc per oral 5-10 menit sebelum tindakan c. Spray xilokain 10% merata ke seluruh faring, sekitar uvula, dan hipofaring 5-10 menit sebelum pemeriksaan d. Hyoscine-N-butylbromide (buscopan) i.m. I -2 ampul (20-40mg) 5. Persiapan alat: a. Endoskopi pandan depan (GIF IT20, Evi GIF 100) b. Ligator endoskopik Stiegmann-Goffyang terdiri dari beberapa bagian: i Overtube panjang 25cm ii. Adaptor ukuran kecil dan besar (friction-fit adaptor) iii. Inner cylinder iv. Ligator dari karet berbentuk "o" v. Tali pengait {trip wire)
•
Evaluasi: hasil prosedur ini hams dilakukan evaluasi secara klinis dan endoskopi. Prosedur endoskopi dilakukan tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu satu minggu (untuk skleroterapi) dan tenggang waktu dua minggu (untuk tindakan ligasi), setelah itu satu bulan setelah prosedur ke tiga dan selanjutnya dengan tenggang waktu 1-6 bulan tergantung hasil evaluasi endoskopi. Tindakan ini dapat dilakukan diluar jadwal bila terdapat tanda-tanda klinis perdarahan dalam bentuk melena dengan atau tanpa hematemesis, penurunan Hb akibat perdarahan samar, disfagia akibat strikturpasca skleroterapi.
•
KOMPLIKASI Hipoksia, refleks vagal, perdarahan ulang, demam, pleuritis, empiema dan disfagia
426 Gastroenterologi
LAMATINDAKAN SOmenit
WEWENANG •
♦
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis, PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan pelaksanaan. RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Gastroenterologi RS Non Pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan; Departemen Bedah / Digestif RS Non Pendidikan: Bagian Bedah
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
427
SKLEROTERAPI HEMOROID PENGERTIAN Skleroterapi hemoroid adalah prosedur tindakan terapetik untuk mengobati hemoroid dengan cara menyuntikkan obat sklerosan dengan bantuan anoskop/endoskopi dan j arum suntik.
TUJUAN • •
Mengobati hemoroid menj adi sklerotik Menghentikan perdarahan aktif hemoroid
INDIKASI
Hemoroid interna derajat I - III dengan keluhan perdarahan, benjolan
KONTRAINDIKASI
• • •
Infeksi akut/ abses pada hemoroid Pasien tidak kooperatif Keadaan um um buruk
PERSIAPAN
• •
DPL, masa perdarahan, masa pembekuan Diazepam 5-10 mg IV dan tidur dengan posisi miring ke kiri (posisi Sim s) (tidak diberikan secara rutin)
P R O S E D U R TINDAKAN Cara I: - Setelah dioleskan jeli, kolonoskop dimasukkan kedalam anus - Untuk melihat posisi skop dapal langsung lurus fore ward view atuu melaliii U lum. ICanuljarum sklerosingdimasukkankedalam chanel biopsy. - Setelah ujung kanul sklerosing ditempelkan ke hemoroid iniema sasaran di atas hnea dentate, jarum dikeluarkan dan obat etoksisklerol disuntikkan sebanyak 0,5-1 cc intra hemoroid - Jarum dicabut atau dimasukkan dan kanul tetap pada hemoroid selama 1 -2 menit - Setiap hemoroid dapat di suntik obat etoksisklerol dengan cara yang sama, Penyuntikan etoksisklerol sebaiknyajangan diberikan para/peri hemoroid karena dapat menimbulkan stenosis/striktur anus. Pasca tindakan : selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid suppositoria/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang tiap 1-2 minggu sampai hemoroid sklerotik. Cara II; - Setelah dioleskan jeli pada anus dan anuskopnya, lalu anoskop dimasukkan ke dalam anus. 428
Gastroenterologi -
-
Jarum suntik berisi etoksisklerol ditusukkan ke dalam hemoroid. Setelah di suntik, bekas suntikan di tekan dengan kasa steril yang telah dicelup betadin selama 12 menit. Hemoroid lain dilakukan tindakan yang sama. Penyuntikan etoksisklerol sebaiknyajangan diberikan para/peri hemoroid, karena dapat menimbulkan stenosis/striktur anus.
Pasca tindakan : selama 5 hari hams diberikan antibiotika oral, obat hemoroid supositoria/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang tiap 1 - 2 minggu sampai hemoroid sklerotikEvaluasi: tigapuluh menit sesudah tindakan harus dipastikan bahwa tidak ada perdarahan peranum. Tujuh hari kemudian dilakukan endoskopi ulang untuk melihat hasil skleroterapi.
KOMPLIKASI Perdarahan, abses anus, demam, rasa sakit di dubur, bakteremia, ulkus ano-rektal, stenosis/striktur anus.
LAMA TINDAKAN 15 menit
WEWENANG •
•
RS Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasiPPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan pelaksanaan. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Gastroenterologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT • •
TERKAIT
RS Pendidikan; Departemen Bedah / Digestif RS Non Pendidikan: Bagian Bedah
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
BUSINASI P E NG ERTI AN Businasi adalah tindakan dilatasi esofagus
TUJUAN Dilatasi striktur esofagus
INDIKASI Striktur esophagus, spasme esofagus, akalasia
KONTRAINDIKASI Keadaan umum buruk
P E R S I A PAN Puasa 6-8 jam
429
PROSEDUR TINDAKAN Dilatasi dengan menggunakan busi
KOMPLIKASI
LAMA TINDAKAN 30 menit
WEWENANG • •
RS Pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Gastroenterologi RS Non Pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
430 Gastroenterologi
KOLONOSKOPI P EN G ERTI A N Kolonoskopi adalah suatu tindakan untuk mengadakan observasi keadaan lumen usus besar secara langsung dengan menggunakan endoskop
TUJUAN Identifikasi lesi dalam lumen usus besar
INDIKASI
• • • • • • •
Mengevaluasi kelainan yang di dapat pada pemeriksaan Colon in loop Perdarahan peranum yang tidak diketahui penyebabnya Diare kronik Obstipasi Menegakkan diagnosis keganasan kolon / untuk mendapatkan jaringan biopsy dari kolon Evaluasi pasca anastomosis Surveilance : kelompok risiko tinggi untuk kanker kolon, tindak lanjut sesudah
•
operasi pengangkatan polip atau kanker Terapeutik: polipektomi, pengambilan benda asing, terapi laser
KONTRAINDIKASI Mutlak: Pasien tidak kooperatif, perforasi usus, peritonitis, kehamilan trimester III, infark jantung baru, pasien dalam keadaan syok Relatif : Semua proses peradangan akut dan berat yang akan memperbesar kemungkinan perforasi • Divertikulitis akut dengan gejala sistemik • Kehamilan trimester I dan penyakit peradangan panggul • anal dan Penyakit perianal akut • Obstruksi intestinal / distensi perut akut • Demam • Aneurisma aorta abdominal atau aneurisma iliakal • Baru menjalani operasi • Visualisasi terganggu : perdarahan akut gastrointestinal masif, persiapan tidak baik
P E R S I A PAN • •
Informed concent Persiapan usus besar : 1. Sejak 2 hari sebelum tindakan, pasienmakanbuburkecap atau makanan cair. Minum yang banyak 2-3 liter/hari. Jika sulit buang air besar minum laktulosa 2x1 sendok makan atau bisacodyl 2x1 tab/hari 2. Malam hari sebelum tindakan, puasa. Makan terakhir jam 20.00, setelah itu puasa tetapi minum tetap boleh kecuali susu. Pukul 21.00 minum garam Inggris 30 gram atau Dulcolax4 tab 431
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI 3.
Pukul 05.00 pagi (3 jam sebelum tindakan) dilakukan klisma (untuk pasien yang dirawat), atau bisacodyl 1 buah suppositoria atau larutan enema 1 botol
PROSEDUR TINDAKAN 1. Meniup (inflasi) udara diusahakan senilnimal mungkin 2. Sedapal mungkin hams melihat lumen kolon dengan baik dengan menarik alat atau memulamya ke kiri atau ke kanan serta menghindari timbulnya loops. Kadang-kadang alat pcrlu di dorong menyusuh dinding kolon tanpa melihat iiimennya, Hal ini dapal dilakukan tanpa risiko selama alat lersebul menyusur dengan mudah tanpa paksaan. Bila ada tahanan, apalagi pasien merasa sakil, sebaiknya alat di larik mundur, 3. Rasa sakit merupakan suatu landa bahwa kita harus hati-hati menarik alat dan niemendekkan kolon dengan cara menghisap merupakan salah satu cara keberhasilan mencapai caecum. Langkah-langkah tindakan: 1. Surat persetujuan tindakan 2. Persiapan kolon 3. memakai celana khusus yang mempunyai lobang berukuran (> 14cm) untuk jalannya skop
KOMPLIKASI Gangguan kardiovaskular dan pemapasan, perforasi kolon, perdarahan, distensi pasca kolonoskopi, reaksi vasovagal, flebitis, infeksi, volvulus
LAMA TINDAKAN 30-60 menit
WEWENANG •
•
RS Pendidikan ; Dokter Spesiaiis Penyakit Dalam dengan sertifikasi, PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan pelaksanaan. RS Non Pendidikan ; Dokter Spesiaiis Penyakit Dalam dengan sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI • •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Gastroenterologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT
• •
TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah / Digestif RS Non Pendidikan: Bagian Bedah
432 Gastroenterologi
PEMASANGAN SELANG NASOGASTRIK P E N G E RTIA N Pemasangan selang nasogastrik (�GUflocare) ke dalam lambung melalui hidung pada keadaan pasien tidak dapat menelan makanan oleh berbagai sebab untuk menjamin pemberian nutrisi enteral. Pemasangan NGT juga dilakukan pada pasien dengan perdarahan saluran cema bagian atas, pankreatitis akut ileus paralitik/ obstruksi -> untuk tujuan dekompresi
TUJUAN • • •
Pemberian nutrisi enteral pada pasien yang tidak dapat menelan oleh berbagai sebab. Dekompresi / menyalurkan cairan lambung keluar pada ileus paralitik/obstruktif dan pankreatitis akut Bilas lambung pada perdarahan SCBA
INDIKASI Pasien tidak dapat menelan oleh berbagai sebab, perdarahan saluran cema bagian
atas, pankreatitis akut, ileus obstruktif/paralitik
KONTRAINDIKASI Pasien tidak kooperatif
P E R S I A PAN
PROSEDUR TINDAKAN 1.
Pasien posisi terlentang atau miring ke kiri/kanan dengan kepala sedikit di tekuk ke depan 2. Selang dimasukkan ke hidung setelah ujungnya diberi jeli 3. Setelah mencapai lambung, biasanya pada tanda 3 strip hitam yaitu kira-kira 50 cm dari lambung dimasukkan udara melalui selang. Hal ini bisa menimbulkan suara yang dapat di dengar dengan stetoskop yang ditempelkan kira-kira di atas lambung (perut kiri atas/sedikit di atas epigastrium). Jika terdapat banyak cairan lambung, biasanya cairan lambung keluar melalui selang.
KOMPLIKASI Erosi pada esofagus dan lambung
LAMA TINDAKAN + ISmenit
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
433
WEWENANG •
•
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi, dibantu oleh perawat terlatih. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Gastroenterologi RS Non Pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT • •
RS Pendidikan: Departemen Bedah / Digestif RS Non Pendidikan: Bagian Bedah
434
Gastroenterologi
ESOFAGO-GASTRO-DUODENOSKOPI P E N G E RTI A N Esofago-gastro-duodenoskopi adalah pemeriksaan intralumen esophagus, gaster, dan duodenum dengan menggunakan alat endoskop (serat optik atau EVIS)
TUJUAN Identifikasi lesi mukosal intralumen di esofagus, gaster dan duodenum
INDIKASI Dispepsia, disfagia, perdarahan gastrointestinal, konfirmasi abnormalitas pada pemeriksaan radiologic penapisan keganasan saluran cema bagian atas, muntah hebat, berat badan turun tanpa sebab, dispepsi yang menetap setelah terapi empirik, occult bleeding, anemia tidak diketahui penyebabnya
INDIKASI Terapeutik: ligasi / STE varises esofagus, mengambil benda asing
KONTRAINDIKASI Mutlak: takkooperatif ataupsikotik, infark miokard akut
Relatif: kesadaran menurun, divertikulum Zenker, gagal jantung, pneumonia berat, asma akut, aneurisma aorta torakal, gastritis korosif akut
P E R S I A PAN
• • •
Persiapan psikologis dan penjelasan tentang tujuan {informed concent) Puasa 6-8 j am sebelum tindakan Persiapan alat; L Memastikan semua tombol-tombol berflingsi baik, baik itu airfeeding, wa¬ terfeeding, dan suction (knop) 2. pompa isap 3. botol air cukup isinya 4. sumber cahaya 5. alat foto tersedia dan cairan formalin (5-10%) serta botol-botol kecil apabila direncakan biopsi
PROSEDUR TINDAKAN 1. 2. 3. 4. 5.
Melalui mouth piece, ujung skop diinsersikan ke dalam mulut, faring, sfmgter esophagus superior dan masuk ke dalam esophagus Esophagus di evaluasi, kemudian melalui sfmgter esofagus bawah, skop dimasukkan ke dalam gaster Evaluasi dilakukan di daerah kardia, fundus, korpus dan antrum Melalui pilorus skop dimasukkan ke dalam bulbus dan pars desenden duodenum Skup ditarik kembali sambil melihat keadaan mukosa dengan mengisap udara dan cairan selama ditarik
435 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
KOMPLIKASI Refleks vaso-�agal, perdarahan, aspirasi, perforasi
LAMA TINDAKAN + 30menit
WEWENANG •
•
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan pelaksanaan, RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Gastroenterologi RS Non Pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• •
RS Pendidikan : Departemen Bedah / Digestif RS Non Pendidikan: Bagian Bedah
436
3.8 HEPATOLOGI
Hepatologi
BIOPSIASPIRASI JARUM HALUS PENGERTIAN Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) alau fine needle aspiration biopsy (FNAB) adalah sualii tindakan untuk meneiapkan diagnosis jaringan dengan menggunakan
jarum halus tanpa melalui prosedur pembedahan
TUJUAN • •
Untuk menetapkan diagnosis lesi-lesi maligna organ intra abdomen seperti hati, pankreas dan limpa Untuk menentukan stadium suatu keganasan
INDIKASI
• • •
Terdapat lesi fokal di hati Terdapat dugaan adanya keganasan pada korpus dan kauda pankreas Limfadenopati peripankreatik atau para aorta
KONTRA INDIKASI Gangguan hemostasis, pasien tidak kooperatif, asites
PERSIAPAN Bah an dan alat: • Alat USG yang dilengkapi dengan probe yang khusus digunakan sebagai penuntun biopsi aspirasi • Jarum chiba no, 22 G - 23 G dengan panjang 15 atau 20 cm • Gelas obyek • Lidokain 2% 5 ampul • Alcohol 96% • Spuit Betadine disposable 10 cc dan 20 cc masing-masing 1 buah • Aspirator • Sarung tangan steril • Kain duk steril Pasien: • Pasien rawat inap • Pasien tidak dipuasakan • Diperiksa masa perdarahan, masa pembekuan dan masa protrombin • Vitamin K10 mg intra muskular mulai 1 hari sebelum tindakan • Terpasang infus NaCl 0,9% atau Dextrose 5% • Surat persetujuan tindakan
P R O S E D U R TINDAKAN Tindakan dilakukan secara lege artis meliputi: 1. Persiapan periksa kembali kelengkapan bahan dan alat periksa pasien tidak ada kontraindikasi sudah ada persetujuan tindakan 439 Panduan Prosedur Tindakan PAPDI 2
Teknik puncture • a dan antisepsis lapangan kerja dengan larutan betadine • tentukan titik puncture USG • infiltrasi anestesi local local dengan lidokain 2% 6-10 cc dari titik puncture yang diteniukan sampai daerah kapsul hati atau peritoneum • lakukanpuncture dengan jarum chiba dengan dipandu USG sampai ke daerah sasaran 3. Teknik aspirasi
• •
setelah jaruin mencapai sasaran yang dituju lepaskan mandrin di dalamnya lakukanlah aspirasi dengan spuii disposable 20 cc dengan cara membual lekanan negalif serta menarik dan mendorong jarum ke alas dan ke bawah • seielah didapat aspirat, lekanan negatif spuil dinelralkan kembaii dan jarum kemudian ditarik 4. Pembuatan slide • keluarkan aspirat dari jarumnya dengan mendorongnya dengan mandrin atau spuit disposable ke atas gelas obyek • buatlah sediaan apus preparat direndam dalam alkohol 96% selama 5 menit 5. Pengawasan pasca tindakan • setelah luka dirawat periksa tekanan darah dan pulsasi
LAMA TINDAKAN 30 menit
KOMPLIKASI Perdarahan, nyeri daerah tusukan, peradangan, seeding sepanjang tract jarum
WEWENANG •
•
RS Pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam Yang sudah mendapat sertifikasiPPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Hepatologi ; mempersiapkan dan membantu pelaksanaan. RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• •
RS pendidikan :Departemen Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS Non Pendidikan: Bagian Penyakit Dalam
UNIT
TERKAIT
440 Hepatologi
PARASENTESIS ABDOMEN PENGERTIAN Parasentesis abdomen adalah suatu tindakan untuk mengeluarkan cairan asites
TUJUAN •
Untuk membantu menegakkan diagnosis
•
Sebagai terapi, bila pengobatan dengan medikamentosa tidak memberi respons
Indikasi • Diagnostik: untuk memastikan penyebab asites atau menentukan asites yang terinfeksi seperti SBP pada pasien sirosis hati • Untuk mengatasi distensi abdomen atau sesak napas akibat tekanan asites
KONTRA INDIKASI
•
•
Gangguan pembekuan darah, masa protrombin memanjang > 5 detik kontrol, trombosit < 50.000/mm, ileus obstmktif, infeksi pada dinding perut Relatif: pasien tidak kooperatif, riwayat operasi laparotomi berulang
PERSIAPAN Bahan dan alat: • Sarung tangan steril • Betadine, alkohol • Kasa steril • Kain duk steril • Lidokain 1 % (10 cc) • Spuit disposable 10 cc (2 buah), 50 cc (2 buah) * IV cath no. 14 atau 16 • Blood set • Tabung steril Pasien: • Diperiksa darah perifer lengkap, masa perdarahan, masa pembekuan dan masa protrombin (paling lama 48 jam terakhir) • Surat persetujuan tindakan
P R O S E D U R TINDAKAN
• • • • • •
Vesika urinaria harus kosong Pasien tidur berbaring dengan posisi kepala 45-90 Identiflkasi tempat aspirasi : Hindari vena-vena kolateral, pembuluh darah epigastrika inferior, lokasi bekas operasi dan limpa yang membesar Pakai sarung tangan steril Bersihkan lokasi tindakan dengan antiseptik Pasang duk steril
Panduan Prosedur Tindakan PAPDI • • • • •
441
Anestesi lokal dengan lidokain 1% sampai dengan peritoneum Pasang IV-cath no 14 atau 16 secara zigzag, sedot cairan dengan spuit 10 cc dan 50 cc untuk pemeiksaan Untuk tujuan terapi pasang set infus, lalu alirkan cairan keluar Tidak adabatas pasti jumlah maksimal yang boleh dikeluarkan, rata-rata 3-4 liter masih cukup aman Pada pasien sirosis hati sebaiknya ditambahkan 6-8 g albumin intravena untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan.
LAMA TINDAKAN
• •
Parasentesis diagnosis: 15 menit Parasentesis terapeutik: tergantung jumlah cairan asites yang dikeluarkan
KOMPLIKASI
• •
Local: Perdarahan, infeksi dinding penit, peritonitis, perforasi usus atau vesika urinaria Umum; Hipovolemia, hipotensi, gagal ginjal, ensefalopati portosistemik
WEWENANG • •
RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Hepatologi RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI • •
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hepatologi RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT
TERKAIT
442
BAB IV
PENUTUP PENUTUP Sebagaimana kita ketahui kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran/kesehatan khususnya ilmu penyakit dalam, sedemikian cepat dan luas seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia yang semakin banyak serta kemajuan dan perubahan pola pikir masyarakat tentang pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dengan adanya Buku Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam PAPDI ini dapat membantu sejawat dalam memberikan pelayanan dan perawatan kesehatan kepada masyarakat secara lebih optimal, berkesinambungan, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan, Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam ini meliputi standar operasional yang bermutu dalam pelayanan dan perawatan kesehatan kepada masyarakat yang diperuntukkan bagi semua sarana pelayanan kesehatan yang telah dan akan menggunakan panduan pelayanan medik ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusuan Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam PAPDI ini kami menerima masukan dari sejawat untuk revisi selanjutnya.
445
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN NO. 172/SK.PB.PAPDI/IX/04 Mengingat • Anggaran Dasar PAPDI Pasal VIII Bab Organisasi, ayat 3 yang berbunyi Badan Khusus yang dapat dibentuk menurut keperluan. • Buku Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam (PPM) yang telah dibuat oleh Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Menimbang • Hasil Keputusan Rapat PB PAPDI tanggal 19 Maret 2004, agar buku Panduan Pelayanan Medik (PPM) dijadikan rujukan untuk Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang bekerja di Rumah Sakit seluruh Indonesia, seyogyanya diterbitkan atas nama PAPDI. MEMUTUSKAN Menetapkan: Pertama : Memberlakukan Buku Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam PAPDI, hasil kerja Tim, sebagai pedoman dalam pelayanan medik bagi dokter spesialis penyakit dalam khususnya seluruh anggota cabang PAPDI di rumah sakit pemerintah dan swasta serta seluruh fasilitas kesehatan lainnya di Indonesia, yang akan disempurnakan/disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu kedokteran/kesehatan. Kedua
: Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan catatan segala sesuatu akan dirubah, ditinjau kembali sebagaimana mestinya apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Sural Keputusan ini. : di Jakarta Ditetapkan
Pada tanggal KetuaUmum
: 27 September 2004
Sekretaris Jenderal
Prof. Dr. H.A.Aziz Rani, SpPD, KGEH
DR. Dr. Sidartawan Soe�ondo, SpPD, KEMD
Tembusan Yth. 1. Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam 2. Koordinator Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam 3. Para Ketua Divisi Ilmu Penyakit Dalam 4. Para Ketua PAPDI Cabang 5. Sejawat yang bersangkutan 6, Arsip
449
Panduan Pelayanan liedik Se iring
*uku
kemajuan dan perkembangan Umu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran khususnya Umu Penyakit Dalam serta dalam rangka meningkatkan profesionaUsme dokter penyakit dalam dan mencegah terjadinya kekeliruan dalam perawatan pasien, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB.PAPDl) menerbitkan buku Panduan Pelayanan Medik dengan harapan dapat menjadi rujukan/panduan dalam menjalankan tugas profesi seorang dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas pelayanan lain di Seluruh Indonesia sesuai dengan sarana yang tersedia.
dengan
ini membahas
tentang
pedoman
pelayanan
medik
di bidang Penyakit Metabolik Endokrin, Kardiologi, Pulmonologi, Reumatologi, Tropik Infeksi, Ginjal Hipertensi, Hematologi Onkologi Medik, Geriatri, Psikosomatik, Alergi Immunologi, Gastroenterologi, dan hepatologi serta prosedur tindakan di bidang-bidang tersebut.
Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unlversitas Indonesia
ISBN: 979-9455�57-X