Volume 8. Nomor 1. Januari 2013
Pandecta http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta
Praktik Poligami Pegawai Negeri Sipil Ditinjau dari Sistem Hukum Perkawinan Eko Wahyu Budiharjo Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel: Diterima Oktober 2012 Disetujui November 2012 Dipublikasikan Januari 2013
Salah satu permasalahan yang selama ini banyak memicu ketidakharmonisan hubungan suami istri adalah karena tidak mendapatkan anak. Permasalahan ini pula yang mendorong suami untuk melakukan Poligami. Pada prinsipnya, poligami diperbolehkan dan tidak dilarang, tetapi harus memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan. Peraturan Poligami ada di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana proses Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan poligami; dan apa saja yang mempengaruhi PNS untuk melakukan poligami tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu Pegawai Negeri Sipil (Guru) golongan IIIA melakukan poligami. Pada dasarnya Poligami tidak dilarang karena Pelaku (Guru) sudah memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan didalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, terbukti dengan dikeluarkannya surat izin Poligami dari Bupati Nomor: 474.2/774/XIII/2008. Faktor-faktor dikabulkannya izin poligami karena selama 12 Tahun pernikahannya tidak mempunyai anak dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang menyatakan si Istri tidak dapat melahirkan keturunan karena mandul. Tahapan permintaan izin yang harus dilakukan oleh PNS yang berpoligami adalah: mendapat Istri, Bupati melalui BKD, Pengadilan Agama, dan KUA. Diharapkan Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan Poligami tidak menyimpang dari aturan yang berlaku, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 45 1990 dan Masyarakat diharapkan turut memberikan dorongan supaya Pegawi Negeri Sipil tidak melakukan penyimpangan dari peraturan.
Keywords:
Civil; Polygamy; Polygamy Permit.
Abstract One issue that has sparked a lot of disharmony marital relationship is because they do not have children. This problem also encourages the husband to perform Polygamy. In principle, polygamy is allowed and not prohibited, but must meet the requirements that have been defined. Polygamy regulations in Act No. 1 Year 1974 and Government Regulation No. 45 Year 1990. This study aims to analyze how the Civil Service in polygamous, and what are the factors that influences the civil servants who commit polygamy. The results showed that one of the Civil Servants (Master) class IIIA polygamous. Basically Polygamy is not prohibited by actors (teachers) already meet the requirements that have been defined in the Act and Regulations, as evidenced by the issuance of permits polygamy of Regents Number: 474.2/774/ XIII/2008. Factors granting permission for polygamy as a 12-year marriage had no children and is evidenced by a medical certificate stating the wife is due to give birth to offspring sterile. Stages permit request must be made by civil servants who practice polygamy are: Wife gets, the Regent through BKD, the Religious, and KUA. Civil Servants are expected to be doing Polygamy does not deviate from the rules, the Law no. 1 of 1974 and Law no. 45, 1990 and are expected to give a boost community that Civil Affairs Pegawi not deviating from the rules. Alamat korespondensi: Kampus Sekaran, Gedung C-4, Gunungpati, Semarang Jawa Tengah-Indonesia, 50229 E-mail :
[email protected]
© 2013 Universitas Negeri Semarang ISSN 1907-8919
Pandecta. Volume 8. Nomor 1. Januari 2013
1. Pendahuluan Poligami muncul karena sering terjadi pertengkaran dan ketidak harmonisan dari suatu hubungan perkawinan. Dilihat dari Tujuan melakukan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan memperoleh keturunan. Kewajiban suami maupun istri setelah memiliki keturunan harus menciptakan suasana yang harmonis, memelihara, mengasuh, dan memberikan pendidikan yang layak kepada keturunannya (Sudarsono, 2005:9). Sebenarnya tujuan dari perkawinan sudah jelas, apalagi jika mengkaji pengertian dari Perkawinan. Menurut menurut Hazairin (Ramulyo, 2004:2) perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau itu tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untuk menikahi lagi bekas istri itu dengan laki-laki lain. Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suamiistri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tetapi dalam menjalani sebuah keluarga itu tidak semudah seperti penjelasan dan tujuan dari perkawinan, pada kenyataanya sebuah keluarga itu tidak berjalan lurus tanpa ada perselisihan. Perselisihan atau perbedaan pendapat yang tidak kunjung selasai bisa memunculkan konflik rumah tangga, selain itu ketidak harmonisan tersebut bisa memunculkan perselingkuhan dari salah satu pasangan, baik suami maupun istri. Perselingkuhan dari kedua pasangan atau salah satu pasangan tersebut bisa memunculkan pertengkaran rumah tangga yang berlarut-larut dan tidak kunjung reda. Konflik rumah tangga ada berbagai macam, yang salah contohnya Poligami. Kasus-kasus Poligami seperti ini sering terjadi dilingkungan masyarakat, tidak terkecuali bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bahkan Poligami juga bisa terjadi kepada siapa saja. Disini kedudukan Pegawai Negeri 68
Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan menata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah, dan pembangunan. Pegawai Negeri Sipil juga dituntut memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Menyadari akan status dan kedudukan tersebut, sebagai aparatur Negara, abdi Negara dan abdi Masyarakat, serta sebagai anggota KORPRI yang harus menjadi pelopor, pejuang dan teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan, maka Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan keluarga (rumah tangga) (Norasega, 2010:1). Sementara itu untuk menunjang kehidupan keluarga yang harmonis dan sejahtera, diperlukan kehadiran seorang anak sebagai pelengkap. Kehadiran anak didalam keluarga bisa membawa semangat baru di aktifitas pekerjaannya. Kedudukan anak disuatu keluarga sangat diharapkan bagi pasangan yang sudah menikah. Anak merupakan harta yang paling besar dan sangat dinantikan kehadirannya disemua keluarga baik Pegawai Negeri Sipil, Swasta, maupun Pengusaha. Banyak keluarga rela untuk melakukan apa saja demi anak, Siapa lagi yang akan menjadi penerus disuatu keluarga, kalau tidak anak. Sering terjadi permasalahan di kehidupan rumah tangga yang timbul karena ketidak hadiran anak. Dari permasalahan tidak mendapatkan anak ini yang mendorong suami untuk melakukan Poligami. Sudah tidak asing lagi Pegawai Negeri Sipil melakukan Poligami. Pada prinsipnya Poligami dikalangan Pegawai Negeri Sipil itu diperbolehkan tetapi harus memenuhi syaratsyarat yang telah ada dan ditentukan di dalam undang-undang. Persyaratan Poligami ada didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990. Peraturan tersebut didalamnya juga mengatur tentang tata cara dan izin poligami yang harus dipatuhi dan dilaksanakan, tetapi dalam praktiknya kenapa ada Pegawai Negeri Sipil yang tidak mengikuti atau melaksanakan
Pandecta. Volume 8. Nomor 1. Januari 2013
syarat-syarat yang ada didalam pasalpasal tersebut. Kemungkinan dari masalah perizinan, izin dari istri pertama maupun izin dari pejabat / atasan yang terlalu susah untuk memperoleh izin, atau bahkan dari si pelakunya (Pegawai Negeri Sipil) yang ingin melakukan poligami secara diam-diam (Siri), supaya tidak ada orang yang mengatahui. Permasalahan poligami yang sering muncul, seperti : Masalah pembagian harta, pembagian waktu, tidak terpenuhinya kewajiban dan hak-hak dari pelaku poligami dan apakah bisa berbuat adil ke istri-istrinya. Berdasarkan dasar uraian di atas menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana proses pelaksanaan Poligami yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Grobogan; (2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Praktik Poligami Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Grobogan. Pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Mengetahui bagaimana proses pelaksanaan Poligami yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil; (2) Mengetahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi Praktik Poligami Pegawai Negeri Sipil.
2. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Menurut (Marzuki, 2005:87) Metode pendekatan yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang menitik beratkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dalam hukum. Penelitian dilakukan di Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Pengadilan Agama (PA), dan Pelaku. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode wawancara, dan studi pustaka. Menurut Moleong (2011:186) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memeberikan jawaban atas pertanyaan itu. “Studi Pustaka”, Dengan cara meriview pustaka, hasil penelitian terdahulu, jurnal, text
book, data online yang berkaitan poligami. Keabsahan data dilakukan dengan teknik trianggulasi. Trianggulasi teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan sebagai pembanding terhadap data itu” (Moleong, 2011:330).
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Proses Pelaksanaan Pegawai Negeri Sipil
Proses pelaksanaan Poligami Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Grobogan memang benar ada dan pernah terjadi. Beberapa Pegawai Negeri atau bahkan masyarakat tidak mengetahui, bahwa Pegawai Negeri Sipil itu diperbolehkan untuk melakukan Poligami. Rasa ketidaktahuan tersebut menjadikan Poligami Pegawai Negeri Sipil dipandang sebelah mata, dan lebih memilih melakukan perkawinan diam-diam atau siri, karena tidak mengetahui tata cara dan prosesnya melaksanakan poligami. Sebenarnya proses pelaksanaan Poligami itu tidak dilarang, karena didalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 memperbolehkan untuk poligami tetapi ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Terbukti ada 1 kasus Praktik Poligami Pegawai Negeri Sipil yang dilakukan oleh Guru yang bekerja disalah satu Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Grobogan, yang telah mendapatkan izin poligami dari Bupati. Permohonan Pengajuan izin ke Bupati ditujukan ke kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Di perbolehkannya Pegawai Negeri Sipil melakukan Poligami dan Izin pejabat atau atasan di sebutkan dalam PP dan UU. Pasal 4 PP No. 45 Tahun 1990, yaitu: 1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat; 2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua / ketiga / keempat; 3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diajukan secara tertulis; 4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud 69
Pandecta. Volume 8. Nomor 1. Januari 2013
dalam Ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang. Kemudian di Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974, menyebutkan sebagai berikut : 1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 Ayat (2) Undangundang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya; 2) Pengadilan dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Menurut penjalasan diatas mengenai izin poligami ke atasan / pejabat dan harus mengajukan permohonan poligaminya ke Pengadilan Agama. Adapun cara untuk memperoleh izin poligami dari Pejabat / Atasan dalam hal ini Bupati, sebagai berikut : Pegawai Negeri Sipil Pria yang ingin melakukan Poligami harus meminta izin kepada atasan dilingkungan dia bekerja dahulu, contohnya kalau Pegawai Negeri Sipil ini bekerja menjadi Guru Sekolah Dasar (SD), Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), Guru Sekolah Menengah Atas (SMA) harus meminta izin tertulis kepada Kepala Sekolahnya masing-masing, atau Pegawai Negeri Sipil Bekerja di lingkungan Kecamatan harus meminta izin tertulis kepada Camat, jika di izinkan oleh pejabat dilingkungannya bekerja. Kemudian mengajukan permohonan izin poligami ke Dinas / Instansi sesuai bidang masing-masing, contohnya Dinas Pendidikan. Pegawai Negeri Sipil tersebut mengajukan permohonan Poligami kepada Bupati melalui kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Bupati dalam menerima permohonan tersebut, tidak mungkin bekerja sendiri, dan menyerahkan kembali pengajuan permohonan poligami kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk proses penanganannya. Badan Kepegawai Daerah (BKD) akan melakukan pengecekan identitas secara komplit, akan terjun langsung ke lingkungan Pegawai Negeri Sipil tinggal, dan menanyakan 70
kepada warga dilingkungan sekitar supaya mendapatkan data-data yang akan dijadikan bahan pertimbangan dan untuk memperkuat data. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) melakukan panggilan Kepada Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan Poligami, kemudian dimintai keterangan, penjelasan, dan alasan yang terkait dengan permasalahanpermasalahan poligami. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) melakukan panggilan kembali kepada Pegawai Negeri Sipil, beserta Istri pertama dan calon Istri kedua untuk dimintai keterangan terkait masalah poligami. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) melakukan Mediasi terhadap Pegawai Negeri Sipil, Istri pertama dan calon Istri kedua, menjelaskan tentang resiko-resiko yang akan terjadi didalam poligami, alasan-alasan apa saja melakukan poligami, pembagian waktu, pemberian nafkah, dan mampu berbuat adil kepada keduanya. Selanjutnya membuat surat pernyataan dan persetujuan yang ditandatangani oleh para pihak (Istri pertama, Istri kedua dan Pegawai Negeri Sipil Pria). Badan Kepegawai Daerah (BKD) memeriksa semua syarat-syarat alternatif, kumulatif, izin dari atasnya dilingkungan bekerjnya dan dinas terkaitnya, untuk kemudian diserahkan kepada Bupati disertai hasil mediasi, untuk dikabulkan atau tidak oleh Bupati. Setelah mendapatkan izin dari atasan / pejabat seperti yang sudah dijelaskan diatas, kemudian pegawai negeri sipil yang akan melakukan praktik poligami mengajukan permohonan poligami ke Pengadilan Agama, untuk diproses dan disidangkan dimuka pengadilan, menunggu keputusan permohonannya dikabulkan atau tidak oleh hakim. Kalau dikabulkan secara otomatis poligami tersebut mendapatkan perizinan dari pejabat pengadilan. Disini pengadilan dalam menyelesaikan perkara tidak pernah memandang status pekerjaan para pemohon (Pegawai Negeri Sipil) , karena Peraturan dari Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 bukan hukum acara atau hukum materiil di Pengadilan Agama. Peraturan Pemerintah tersebut berhubungan langsung dengan
Pandecta. Volume 8. Nomor 1. Januari 2013
Pegawai Negeri Sipil dengan Pemerintah atau Negara. Sumber hukum dari Pengadilan Agama yaitu : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1990, Kompilasi Hukum Islam, dll, jadi pada intinya Pengadilan Agama bukan harga yang pasti untuk Peraturan Pemerintah tersebut. Jika ada kasus seperti yang diangkat penulis ini, Pengadilan tidak melihat status Pegawi Negeri Sipilnya (Peraturan Pemerintah mengenai Pegawai Negeri), tetapi hakim akan melihat landasan hukumnya dari para pihak yang berperkara, kalau memang sudah tepat dan benar syarat-syaratnya atau keterangan yang lain, kalau bisa di kabulkan Izin poligaminya, ya di Izinkan, kalau landasan hukumnya atau persyaratan yang diajukan oleh pengadilan kurang, hakim berhak tidak mengizinkan. Mengenai izin dari atasan atau pejabat Pengadilan Agama Cuma menyarankan saja, karena izin dari atasan / pejabat dari lingkungan Pegawai Negeri Sipil tidak menjadi syarat utama dari pengajuan perkara di pengadilan agama. Setelah melakukan sidang, pengadilan agama akan memberikan surat yang ditujukan kepada atasan Pegawai Negeri Sipil tersebut, yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil tersebut sudah melakukan perkara hukum (Poligami) dan telah disetujui oleh Hakim. Semua tergantung dari atasannya, mau menanggapi surat izin tersebut dengan cara apa. Apa mau diberikan sanksi atau tidak, semua tergantung atasannya. Prosedur mendapatkan izin poligami Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan yaitu : Mengajukan perkara, seperti mana yang biasa dalam mengajukan perkara, menunggu hari sidang, nanti dalam persidangan ada jawabmenjawab, ada pemeriksaan alat bukti dan dari saksi-saksi, kalau dari pemeriksaan alat bukti saksi, suami, istri dan calon istri sudah sepakat dan tidak yang dirugikan, tinggal menunggu hasil putusan dari hakim untuk dikabulkan oleh pengadilan. Hakim dalam memutus sebuah perkara tidak hanya melihat syarat-syarat Alternatif dan syarat kumulatifnya yang ada di Kompilasi Hukum Islam dan PP No. 45 Tahun 1990. Kedua syarat tersebut harus terpenuhi, syarat tersebut bersifat Normatif,
tetapi nanti pada saat persidangan hakim karena pertimbangan keadilan tidak akan memakai alasan hukum lapis, jadi hakim akan berfikir dan melihat kedepan apakah akan membawa madorot yang besar atau manfaat terhadap istri pertama dan istri kedua. Hakim mengabulkan izin poligami tidak serta merta memakai dan berpedoman kepada alasan atau syarat-syarat alternatif dan kumulatif saja, tetapi lebih menekankan kepada Hati Nurani yang dipakai hakim dalam mengabulkan dan memutus, yang lebih ditekankan pada sisi keadilan. Syarat alternatif dan kumulatif ada di dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, yaitu sebagai berikut : 1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan Ayat (3) Pasal ini. 2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ialah : a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ialah : a) ada persetujuan tertulis dari isteri; b) Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan, c) ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanaknya. 4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila : a) bertentangan dengan ajaran / peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; b) tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam Ayat (3); c) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d) alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau; e) ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan. Permintaan / pengajuan Izin untuk beristri dari seorang (poligami) tidak akan 71
Pandecta. Volume 8. Nomor 1. Januari 2013
diberikan oleh atasan / pejabat, apabila : a) Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; b) Tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam Ayat (3); c) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d) Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat, dan / atau; e) Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan. Setelah mengetahui persyaratan poligami dan sudah mendapatkan izin dari Bupati maupun izin dari Pengadilan Agama seperti yang dijelaskan di atas. Berikut ini penulis menjelaskan kembali proses pelaksanaan poligami Pegawai Negeri Sipil yang dilakukan oleh Pelaku (Guru), dari pertama izin dari istri sampai pencatatan perkawinan di KUA membutuhkan waktu 2 Tahun : (1) Pelaku (PNS) meminta izin kepada istrinya; (2) Pelaku datang keatasan / pejabat untuk meminta izin (Kepala Sekolah); (3) Meminta izin ke Dinas / Instansinya (Dalam khasus ini Dinas Kependidikan); (4) Setelah dari Dinas pendidikan, surat Izin ditujukan kepada Bupati melalui BKD; (5) BKD memproses dan melakukan pemanggilan terhadap Pelaku; (6) Surat izin poligami diserahkan ke Bupati untuk di sahkan; (7) Datang ke Pengadilan Agama, untuk mendapatkan izin dari pengadilan; (8) Mencatatkan perkawinan di KUA. Lamanya proses perizinan sampai pencatatan di KUA, itu merupakan wujud dari kesabaran dan kegigihan Pelaku sebagai Pegawai Negeri Sipil yang taat kepada peraturan perundang-undangan. Pelaku poligami (Guru) ini harusnya menjadi contoh untuk para Pegawai Negeri Sipil yang lain, supaya bisa mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan oleh negara. Bukan malah melanggar dengan melakukan Poligami Siri atau Perkawinan Siri.
b. Status PNS Berpoligami
Sebenarnya poligami siri atau perkawinan siri sah menurut agama, karena sudah ada syarat-syarat rukun agamanya, sesuai pendapat Anshary (2010:25), menyebutkan nikah siri adalah nikah rahasia, 72
lazim juga disebut dengan nikah dibawah tangan atau nikah liar. Tetapi perkawinan siri atau poligami siri dimata negara itu tidak sah, karena hukum yang ada di negara mewajibkan sebuah perkawinan harus dicatatkan menurut perundang-undangan yang berlaku, hal ini sesuai dengan Pasal 2 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jadi jika ada seseorang yang melakukan poligami khususnya Pegawai Negeri Sipil, akan mendapatkan sanksi yang tegas. Pengadilan Agama memberikan pandangan yang berbeda mengenai Perkawinan siri atau poligami siri, dirancangannya peraturan mengenai perkawinan siri atau poligami siri, jika ada seseorang yang melkukan perkawinan siri atau poligami kemudian mau melakukan Isbat nikah, ada hukumannya, hukuman denda atau hukuman badan,. Hukuman seperti ini diharapkan mampu memberikan rasa keadilan dari satu sisi perkawinannya yang sah. Sebenarnya terdapat sanksi-sanksi jika Pegawai Negeri Sipil melanggar salah syarat poligami, “Sanksi yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang tidak memenuhi salah satu syarat poligami sesuai yang ditentukan didalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 45 Tahun 1990, tetapi masih tetap melaksanakan poligami dengan siri, sanksi yang akan dikenakan yaitu sanksi Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang ada di PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri. Di Pasal 14 dan 15 PP No. 45 Tahun 1990 sudah dijelaskan tentang peraturan yang mengacu di PP Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pasal 14 sebagai berikut : “Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah”. Berikut ini Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1974, menyebutkan juga jika pegawai negeri sipil melanggar ketentuan yang ada di UU khususnya perkawinan siri, yaitu : 1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban / ketentuan Pasal 2 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 3 Ayat (1), Pasal 4 Ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya
Pandecta. Volume 8. Nomor 1. Januari 2013
dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua / ketiga / keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; 2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil; 3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (2), dan Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Perkawinan siri dikalangan Pegawai Negeri Sipil memang benar ada, tetapi membuktikan atau memberi sanksi kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan poligami itu susah. Bagaimana cara menindak lanjuti permasalahan perkawinan siri jika tidak ada laporan dari salah satu pihak yang merasa dirugikan akibat perkawinan siri tersebut. Sanksi yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang melanggar atau melakukan Poligami dengan siri yaitu penjatuhan sanksi Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksinya yang ada di dalam Pasal 7 PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yaitu : Pertama, Tingkat hukuman disiplin terdiri dari : a. hukuman disiplin ringan, b. hukuman disiplin sedang, c. hukuman disiplin berat. Kedua, Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a terdiri dari : a. teguran lisan, b. teguran tertulis, c. pernyataan tidak puas secara tertulis. Ketiga, Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b terdiri dari : a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun, b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun, c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. Keempat, Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf c terdiri dari : a. penurunan pangkat setingkat lebih
rendah selama 3 (tiga) tahun, b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, c. pembebasan dari jabatan, d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan e. pemberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Poligami
Faktor-faktor yang mempengaruhi Poligami akan dijabarkan oleh Penulis menurut keterangan yang bersumber dari Pelaku (Guru) : Pertama, Faktor Intern. Faktor ini dipicu oleh karena yang bersangkutan tidak punya keturunan karena istri mandul (dibuktikan dengan surat keterangan Dokter). Kedua, Faktor Ekstern, yaitu karena adanya dorongan-dorongan dari orang lain atau dari lingkungan yang menyebabkan Pelaku untuk melakukan poligami, yaitu : a. Ibu dari beliau yang mendorong untuk melakukan poligami, dengan alasan karena tidak mempunyai anak; b. Murid-murid sewaktu mengajar Kejar Paket C, yang mendorong pelaku untuk melakukan poligami, alasannya juga sama, karena tidak mempunyai anak. Sebenarnya pelaku tidak pernah berfikir ke arah poligami, dorongan-dorongan tersebut yang mengakibatkan pelaku berubah pikiran, dan alasan untuk mendapatkan anak, dari beberapa orang yang mendorong pelaku, yang mengakibatkan pelaku mau melakukan poligami. Alasan Pelaku mau melakukan poligami yaitu ingin mendapatkan keturunan, sesuai dengan syarat beristri lebih dari satu (Poligami) yang ada di dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf C, menyatakan bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. Ini yang dijadikan alasan pelaku untuk melakukan poligami. Alasan dari pelaku juga diperkuat dengan bukti dari surat dokter yang menyatakan bahwa si istri tidak dapat melahirkan keturunan / mandul. Berikut ini keuntungan dan kerugian dari perkawinan poligami. Keuntungannya adalah Mendapatkan keturunan, apabila si istri tidak bisa memberi keturunan; Hidup jadi semangat lagi; Rejeki juga bertambah, karena dari Allah; Menjadi contoh terhadap 73
Pandecta. Volume 8. Nomor 1. Januari 2013
Pegawi Negeri Sipil lainnya; Lebih bahagia, harapannya semua keturutan; Menambah kinerja waktu melaksanakan tugas, Mengurangi beban pikiran; dan Mengurangi tingkat perselingkuhan. Sedangkan kerugiannya adalah Tidak berlaku adil, memihak pada salah satu istri; Mendapatkan cemoohan dari orang; Memalsukan suratsurat nikah; Akte kelahiran; KTP; dan Identitas lain dalam poligami siri.
4. Simpulan Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Praktik Poligami Pegawai Negeri Sipil Ditinjau Dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, di lokasi penelitian yang sudah ditentukan, dapat disimpulkan bahwa : Proses Pelaksanaan Poligami Pegawai Negeri Sipil yang dilakukan oleh Pelaku (Guru) sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Tetapi ada penambahan syarat yang harus dilampirkan di perizinan ke Bupati, yaitu : Foto copy SK CPNS dan SK PNS; Foto copy DP3; Foto copy Kartu Pegawai Negeri (Karpeg); Foto copy Kutipan Akta Nikah; Foto copy Surat Keterangan Dokter; Surat pernyataan istri memberikan izin suami untuk poligami; Foto copy Kartu Keluarga; Slip Gaji; Foto copy surat Nikah. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Poligami, yaitu : Faktor Intern, Istri tidak dapat melahirkan keturunan dengan
74
dibuktikan hasil pemeriksaan dari Dokter. Hal ini sesuai dengan ketentuan persyaratan yang ada di dalam Pasal 4 Ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan di Pasal 10 Ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Faktor Ekstern, Pelaku melakukan poligami karena mendapatkan pengaruh dari lingkungan, yaitu dari Ibu dan Murid-muridnya, yang mempengaruhi pelaku supaya melakukan poligami dan mendapatkan keturunan.
Daftar Pustaka Anshary, M. MK. 2010. Hukum Perkawinan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Marzuki, P. M. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Moleong, L. J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Muhadjir, N. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin Ramulyo, M. I. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Bumi Aksara Sagita, K. N. 2010. Perceraian Pegawai Negeri Sipil Di Pengadilan Agama Jepara. Semarang : Unnes (Skripsi Hukum Unnes) Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta : Asdi Mahasatya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil