PANDANGAN PENYAIR WANITA SASTRA JAWA MODERN DI AWAL DASA WARSA 1990-AN TERHADAP KEDUDUKAN DAN PERAN WANITA Dami*
Abstract There are not many poetesses who write about women ’s emancipation, struggle of women ’s role and position in the society. There are only 9 out of 38 poetesses who are concerned with this matter. 7 out the 9 poetesses sup- port women 's emancipation had positive opinions about women emancipation. St. lesmaniasita, a senior poetess and a pioneer of modern Javanese literature expresses her clear and positive opinions and attitudes towards gender equity. Women and men have the same opportunities in all acpects of human life. Even the the matter of love, women have the courage to protest men ’s inconsideration and restrictions imposed on by tradition. On the other hand, men are still reluctant to give full rights that women deserve. In terms of women s role, many poetesses are concerned about the treatment of women as men’s sex object. Keywords: emancipation, positive, negative A. Pendahuluan Penyair wanita baru muncul pada periode yang disebut sastra Jawa modern. Sejak kemunculannya, meskipun secara kuantitatif sedikit, namun penyair wanita senior pada awal pertumbuhan sastra Jawa modern merupakan pelopor. Pada dasawarsa 1990-an, sebagian besar penyair wanita senior sudah tidak muncul lagi. Sebagai penerusnya, banyak bermunculan nama-nama baru yang berbeda sama sekali dengan dasawarsa sebelumnya, yakni 1980-an. Mempertimbangkan banyaknya nama yang muncul, untuk memperoleh hasil yang rinci, penelitian ini difokuskan kepada penyair wanita sastra Jawa modem yang muncul taliun 19901995 pada media berbahasa Jawa di Jawa Timur, yakni majalali Panyebar Semangaf dan Jaya Baya. Tulisan ini akan mengungkap tentang pandangan penyair wanita sastra Jawa modem yang muncul pada kurun waktu 1990-1995 terhadap kedudukan dan peran wanita. Pandangan mereka akan diamati dengan pendekatan kritik sastra feminis yang mengungkap kekhasan tulisan wanita, yakni gynocritic.
* Dra. Darni, M.Hum. staf pengajar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya
115
Darni, Pandangan Penyair Wanita Sastra Jawa Modern di Awal Dasa Warsa 1990-an Terhadap Kedudukan dan Peran Wanita
B. Pembahasan 1. Penyair Wanita Sastra Jawa Modern dan Karya-karyanya Sastra Jawa modem memiliki genre-genre yang berbeda dengan sastra Jawa sebelumnya, seperti sastra Jawa Kuna, Pertengahan, dan Baru. Genre atau bentuk sastra Jawa modern yang dimaksud antara lain meliputi novel, carita cekak, carita sambung, geguritan, dan teater. Bentuk-bentuk tersebut sama dengan bentuk-bentuk sastra Barat modern. Dengan munculnya bentuk-bentuk baru tersebut, dikatakan oleh Utomo (1993:5) bahwa sastra Jawa modern telah mengalami ketidaksinambungan dengan bentuk sastra sebelumnya, yakni sastra Jawa Kuna, Pertengahan maupun sastra Jawa Baru. Buku yang memberi gambaran tentang perkembangan sastra Jawa modern secara lengkap memang sedikit sekali. Hal demikian juga diungkapkan oleh Damono. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitiannya tentang novel Jawa tahun 1950-an, Damono menyebut buku Hutomo pada saat itu yang berjudul Telaah Sastra Jawa Modem sebagai satu-satunya buku yang dapat memberikan gambaran perkembangan sastra Jawa modern sejak pertumbuhannya (1993: 27). Pendapat Hutomo dalam buku tersebut kemudian juga dijidikan acuan oleh beberapa ahli seperti Ras dan Quinn. Berkaitan dengan kemunculan penyair wanita dalam sastra Jawa modem ini Hutono menyebut seorang penyair wanita bernama St. Jesmaniasita. Menurut Hotomo (1975:30), penyair yang lahir di Mojokerto, Jawa Timur itu dikelompokkan sebagai penyair perintis kemunculan genre puisi dalam sastra Jawa modern. Puisinya yang berjudul: Kowe Wis Lega bernada menggugah semangat para penyair seangkatannya untuk bangkit dari lamunan masa silam yakni kejayaan kepujanggaan keraton. Yang diserukan oleh penyair wanita tersebut memang sangat tepat, karena kenyataannya sastra Jawa modem memang bukan sastra keraton. Sastra Jawa sudah mengalami pergeseran dari keraton ke masyarakat. Para pengarang dan penyairnya pun sudah tidak hidup di keraton lagi. Mereka berada di tengah masyarakat pendukungnya dan memiliki kebebasan untuk berekspresi demi seni dan masyarakat. Penyair yang muncul di awal perkembangan sastra Jawa modern, pada tahun 1950-an, selain lesmaniasita tidak banyak. Menurut catatan Hutomo (1975:30'), hanya ada dua nama yakni TS Argarini dan Mantini WS. lesmaniasita bukan hanya perintis saja, la merupakan penyair yang menonjol dan produktif. Ia berhasil mengumpulkan puisi-puisinya dalam sebuah antologi puisi, antara lain Kidung Wetigi ing Gunung Gamping dan Kalimput Ing Pedhut. Di tahun 1970-an selain majalah Jaya Baya dan Panyebar Semangat bermunculan media berbahasa Jawa, seperti Jaka Lodhang, Parikesit, Dharma Nyata, Kunthi, Kumandhang, dan lain-lain. Media tersebut ikut nenyemarakkan
perkembangan puisi Jawa modem. Seiring dengan itu, bermunculan pula penyair- penyair wanita sastra Jawa modem. Karya-karya mereka selain dipublikasikan nelalui media berbahasa Jawa tersebut juga dikumpulkan dalam bentuk antologi, seperti Geguritan Antologi Sajak-sajak Jawi, Napas-napas Tiatan Cengkar, dan Kern bang Cengkeh. Di tahun 1988 Hutomo berhasil mengumpulkan karya-karya penyair wanita sampai tahun 1980-an dalam sebuah antologi yang diberi nama Kalung Barleyan. Ada tiga belas penyair yang karyanya dipilih Hutomo dalam antologi tersebut. Pada dasa warsa 1990-an penulis melihat adanya perkembangan yang sangat pesat mengenai penyair wanita sastra Jawa modem. Perkembangan tersebut dalam hal kuantitas maupun produktifltas. Kalau di tahun 1980-an nama penyair wanita dapat dihitung dengan audah, namun di tahun 1990-an dalam dua majalah berbahasa Jawa yang terbit di Jawa Timur ini muncul sederetan nama-nama baru yang sangat panjang, seperti Eni Kusdarliyah, Rosyidah, Astuti, Diah Handaning, Sri Emyani, Tri Sundari, Dewi Anggraheni, dan maeih banyak lagi. 2. Penelitian terhadap Penyair Wanita Sastra Jawa Modern Penelitian terhadap puisi pada uinumnya dan puisi penyair wanita sastra Jawa modem khususnya belum banyak dilakukan. Di Universitas Negeri Surabaya, satu-satu universitas yang membuka jurusan bahasa Daerah dan berdekatan dengan dua media berbahasa Jawa yang terbit di Jawa Timur, Penelitian terhadap puisi jarang sekali dilakukan baik oleh mahasiswa maupun oleh dosen. Hal tersebut disebabkan, selain berkaitan dengan minat, antara lain berkaitan dengan anggapan bahwa menafsirkan makna puisi itu sulit, di sisi lain mencipta puisi itu sangat roudah. Puisi dibentuk dari kata-kata yang penuh arti dan maknanya pada umumnya sangat tersembunyi. Padahal, dari sisi lain, bahan kajian untuk Penelitian terhadap puisi mudah dicari dan relatif murah. Di balai Bahasa Jawa Timur pun penelitian terhadap puisi jarang dilakukan. Penelitian terhadap puisi sastra Jawa modern, di Universitas Negeri Surabaya, sebagian besar ditujukan kepada puisi karya-karya penults pria. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa dalam bentuk skripsi, penelitian terhadap penyair wanita s&stra Jawa modem baru dilakukan oleh satu orang peneliti. Penelitian itu pun ditujukan kepada karya penyair wanita yang sangat terkenal yaitu, St. lesmaniasita. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh dosen juga banyak ditujukan kepada karya yang berbentuk fiksi atau prosa naratif. Hanya ada satu penelitian yang dilakukan terhadap karya-karya penyair wanita sastra Jawa modem, Penelitian yang dilakukan oleh Bambang Purnomo, dkk. (1998) tersebut mengambil bahan kajian antologi Kalung Barleyan. Antologi tersebut seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu merupakan kumpulan karya-karya penyair wanita sastra Jawa modern sampai tahun 1980-an. Penelitian terhadap penyair wanita sastra Jawa
117
Darni, Pandangan Penyair Wanita Sastra Jawa Modern di Awal Dasa Warsa 1990-an Terhadap Kedudukan dan Peran Wanita
modem di tahun 1990-an, terutama karya-karya mereka yang terbit di maj alah belum pernah dilakukan baik oleh mahasiswa maupun dosen. Sementara itu, majalah merupakan wadah ekspresi dan eksistensi mereka yang utama, karena sastra Jawa modem setelah perang memang merupakan sastra majalah. Secara periodik, penelitian yang akan dilakukan ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya. 3. Kritik Sastra Feninis Kemunculan kritik sastra feminis tidak lepas dari feminisme. Di bidang sastra, pelecehan wanita dapat dilihat dari tulisan sebagian besar penulis pria yang seolaholah menganggap seroua pembacanya laki-laki (Djajanegara, 1987:2000). Mereka cenderung meletakkan wanita sebagai mahluk yang lemah. Oleh karena itu wanita bangkit untuk menciptakan pendekatan yang khas wanita yang tidak terikat oleh pendekatan laki-laki. Menurut Maggie Humm (1986:6-9) semua kritik yang nienamakan diri kritik sastra feminis didasari oleh tiga asumsi. Pertama, bahwa sastra dan kritik sastra sejak awal dimanipulasi oleh gender. Kedua, bahwa ada hubungan antara seks dengan strategi penulisan. Wanita menggunakan bahasa yang berbeda dengan cara yang dipakai oleh pria. Mereka memiliki perbedaan dalam kosa kata dan mereka meletakkan. Kosa kata dalam kalinat yang berbeda pula. Asumsi ketiga, bahwa sekalipun beberapa kritikus pria mengakui dua dalil utana kritik sastra feminis, kelangsungan tradisi dan memakai norma-norma pria digunakan untuk mengabaikan tulisan wanita. Showalter membagi kritik sastra feminis menjadi dua kategori, yaitu woman as reader dan woman as writer (Rice, 1989: 92-93). Kategori pertama, woman as reader, artinya bahwa wanita hanya sebagai konsumen atas karya sastra yang dihasilkan oleh laki-laki. Kategori kedua, woman as writer, artinya wanita sebagai penghasil teks atau penulis. Masih menurut Showalter dalam bukunya A Litera- ture of Their Own (1977) ada perbedaan mendalam antara hasil tulisan perempuan dengan hasil tulisan laki-laki, dan hal itulah yang dilupakan oleh kritikus laki-laki. Perbedaan itu meliputi perbedaan persepsi dan kehidupan emosi. Para wanita tidak melihat sesuatu hal dengan cara yang sama dengan laki-laki, dan wanita juga mempunyai ide dan perasaan yang berbeda dengan laki-laki nengenai yang penting dan tidak penting. Studi tentang gambaran sastra mengenai perbedaan dalam tulisan para wanita ini selanjutnya yang disebut gynokritik. 4. Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Sastra Jawa Modern Tahun 1990-1995 Dari keseluruhan penyair wanita sastra Jawa modern yang muncul pada tahun 1990-1995 memang tidak ada 50 % penyair yang memiliki pandangan khusus berkaitan dengan perjuangan kedudukan dan peran wanita. Di antara mereka ada 4
penyair terproduktif di tahun 1990-1995, yakni Astuti, Diali Ayu Lestari, Sri Sulasmi dan Eny Koesdarlijah. Pandangan mereka ada yang positif, ada pula yang negatif. Positif dalam arti mendukung perjuangan kedudukan peran wanita. Dukungan mereka sebagian ada yang langsung dan ada pula yang hanya ditunjukkan molalui sikap prihatin saja. Sedangkan paiidangan negatif, dalam arti kurang setuju terhadap perjuangan emansipasi wanita. Mereka lebih menghendaki wanita sebagai wanita tradisional: ingin selalu dilindungi dan bergantung kepada pria. Pandangan dan sikap yang jelas terhadap emansipasi wanita ditunjukkaii oleh penyair senior St. lesmaniasita dalam puisi Kirane Kowe Kartini. Puisi tersebut merupakan puisi satu-satunya karya penyair tersebut dalam periode tahun 1990-an. Kita perhatikan kutiban berikut ini. kirane kowe kuwi Kartini kang gemotlang sesorah ngarep mimbar kang tungkul ana menara teknologi tlembok wus tinembus pener punjere pager kandel wus didedel kanggo lawange kebebasan langsung kapasang kayak kencana ana dhauhane sapa wae (PS, No. 29:1993) kiranya kamu Kartini yang bergelora berpidato di atas mimbar yang sibuk di menara teknologi tembok sudah dijebol pas jantungnya kebebasan dipasang seperti lencana di dada siapapun Penyair menunjukkan bahwa pintu emansipasi telah dibuka lebar. Siapapun sudah dapat mengenyamnya. Emansipasi wanita meliputi berbagai bidang kehidupan. Emansipasi dimulai dari wanita yang bekerja sebagai pemikir, yang digambarkan dengan berpidato di atas mimbar, di bidang teknologi, sampai pada para pekeija kasar yang berdesak-desakan di mobil pik up dan truk, para TKW di luar negeri, sampai pada pramuria dan hostes di hotel berbintang. Semua wanita dapat dan bebas untuk bekerja di berbagai bidang kehidupan. Dalam puisi tersebut tidak ditemukan adanya sikap prihatin terhadap pekerjaan yang dikerjakan oleh para wanita tersebut. Penyair justru menyebut para pekerja tersebut adalah Kartini, maksudnya para pejuang emansipasi wanita di jaman ini. Pandangan wanita sebagai wanita pekerja juga diungkapkan oleh penyair wanita Diah Ayu Lestari, salah satu penyair produktifdi tahun 1990-1995. Ada dua puisi dari penyair tersebut yang mengungkapkan pandangan tentang peran wanita, yakni Rajang-rajang dan Sawise Langit SumUak Padhang, yang keduanya dimuat dalam majalah PS, No. 16:1995. Dalam dua puisi tersebut penyair mengungkapkan keprihatinannya terhadap peran wanita yang disaksikannnya selama ini. Di sini penyair menggunakan judul yang
Darni, Pandangan Penyair Wanita Sastra Jawa Modern di Awal Dasa Warsa 1990-an Terhadap Kedudukan dan Peran Wanita
mengarali kepada pekerjaan yang sering dilakukan wanita, yakni rajang- rajang. Diungkapkan bahwa sebenarnya bekerja bagi wanita tidak susah. Namun, wanita memang liarus menghilangkan perasaan khawatir. KJiawatir di sini dapit ditafsirkan dengan kekhawatiran akan keselainatan bekerja. Menurut penyair, keselamatan, keberuntungan, dan kecelakaan itu sudah ada yang mengatur. Dalam bekerja memang ada sedih ataupun gembira. Semua itu juga bergantung kepada wanita sendiri. Jadi, wanita bekerja, bekerja di luar rumali, memang membutuhkan suatu tanggung jawab yang besar. Wanita bekeija harus berani menanggung resiko atas pekerjaan yang dilakukan, termasuk ancaman dari kaum pria. Puisi Sawise Langit Sumilak Padhang dengan jelas ditujukan kepada Ibu Kartini. Dalam puisi tersebut penyair menyampaikan kegusarannya atas keadaan atau pelaksanaan emansipasi wanita di saat ini. Kita perhatikan kutiban berikut ini. gelar khalifah kang wenang nyancihang aiming wongwong lanang sikile pra wanita dikongkon laku gancang nanging lungane dirut kenceng neng bun lawang ing kene kaumku wis kinepung gelang deningpara pecundang (PS.No. 16:1996) gelar khalifah yang berhak memakai hanya para lelaki kaki para wanita disuruh berjalan cepat tetapi tangannya ditali erat di belakang pintu di smi kaumku sudali dikepung oleh para pecundang Seperti judulnya, cuplikan puisi di atas menggambarkan keadaan kaum wanita setelah belenggu terhadap para wanita di jaman Kartini sudah dapat dibuka oleh tokoh emansipasi wanita, Kartini. Meskipun emansipasi sudah dikumandangkan, yang oleh penyair digambarkan dengan sikile pra wanita dikon laku gancang, namun kebebasan yang diberikan kepada wanita sebenarnya hanya semu, yang digambarkan dengan tangane dirut kenceng. Dengan rima akhir yang khas dan kata-kata yang sederhana, digambarkan betapa kebebasan yang diberikan kepada wanita hanya semu belaka. Gelar sebagai pemimpin, pemimpin
di berbagai bidang kehidupan, pada kenyataannya masih dikuasai oleh kaum pria. Dengan sangat marah penyair mengutarakan kekecewaannya, bahwa sebenarnya para wanita saat ini justru sedang bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena berada di tengah-tengah para pria pecundang. Dua puisi Diah Ayu Lestari tersebut memiliki nada yang sama. Keduanya mengeluhkan kebebasan yang diberikan kepada wanita yang tidak sepenuhnya. Para wanita sudah bisa mengenyam kebebasan, namun harus berhati-hati, ada resiko berat yang harus ditanggung oleh wanita pekerja, karena dikelilingi oleh para pria pecundang. Kaum pria memberikan kebebasan kepada wanita hanya pura-pura. Wanita diberi kesempatan bekerja, namun posisi-posisi penting, jabatan pemimpin, tetap dipegang oleh kaum pria. Ungkapan yang keras terhadap kesewenangan kaum pria diungkapkan oleh Astuti dalam puisi Colon Arang (JB,No.1:1992). Calon Arang adalah janda dari suatu cerita yang sangat terkenal. Tokoh wanita tersebut terkenal sangat jahat dan memiliki ilmu teluh yang sangat berbahaya. Namun, melalui puisi tersebut Astuti memanfaatkan keberanian tokoh wanita tersebut untuk menggugat kesewenangan tokoh pria, yakni empu Baradha. Kita perhatikan cuplikan berikut ini. (dudu aku sing gawe onlran-onlran ing tiatah Kahuripan dudu aku sing numpes para kawula dudu aku aku teka nan tang empu Baradha merga dheweke wis •wani mbarang cidra) (PS.No. 1:1992) (bukan aku yang membuat kerusuhan di Kahuripan bukan aku yang menuinpas rakyat bukan aku aku dtang menantang empu Baradha karena dia sudah berani berktiianat) Penggambaran keadaan dalam puisi di atas sangat menarik. Tampaknya Astuti berusaha membuat penggambaran sesuai dengan sudut pandangnya sebagai wanita. Calon Arang di atas, bukan tokoh yang dikenal jaliat karena menyebar teluh. Astuti ingin mendudukkan masalah Calon Arang dalam posisinya sebagai wanita yang ditindas, dikhianati. Empu Baradha memang sudah melakukan pengkhianatan, bertindak sewenang-wenang kepada wanita. Dengan pura-pura menyuruh salah satu muridnya untuk menyunting putri Calon Arang, sebenarnya ia bermaksud membunuh wanita tersebut. Astuti telah memutar jalannya cerita. Calon Arang menyebar teluh, karena ada sebabnya, yaitu dikhianati oleh empu
121
Darni, Pandangan Penyair Wanita Sastra Jawa Modern di Awal Dasa Warsa 1990-an Terhadap Kedudukan dan Peran Wanita
Baradha. Bukan sebaliknya, empu Baradha pura-pura menyunting putri Calon Arang dengan maksud mengembalikan teluhnya. Kalau Iesmaniasita dan Diah Ayu Lestari bicara emansipasi wanita dalam hal pekerjaan, penyair wanita Tiara S., bicara emansipasi wanita dalam hal cinta asmara. Melalui puisi berjudul Nekad ia menunjukkan suatu keberanian wanita yang luar biasa dalam berhadapan dengan cinta. Penyair Tiara S. banyak menggunakan bahasa kiasan untuk menyampaikan maksudnya. Dari kata lawang yang digambarkan: terbuka namun tidak berani keluar, sedangkan pintu belakang tidak mungkin dilewati, dikunci, dapat ditafsirkan bahwa wanita tersebut berada dalam suatu kungkungan. Kita perhatikan cuplikan berikut ini. yen ora ana dalan kanggo mlebu dak bukake cendhelaku... aku arep mlumpat lan mlayu senajan mbebayani (PS,No.4:1992) kalau tidak ada jalan untuk masuk biar kubuka cendelaku... aku akan melompat dan lari meskipun berbahaya Wanita dalam puisi tersebut sedang menghadapi suatu masalah dalam percintaanya. Dengan mengungkap makna lawang yang digunakan dalam puisi tersebut, dapat ditafsirkan bahwa si pria tidak diterima oleh keluarga wanita. Namun si wanita berani menempuh bahaya, melompat dan lari lewat jendela. Si wanita memaksakan diri untuk bertemu, bersatu dengan kekasihnya, meskipun harus melewati jalan yang sulit dan berbahaya. Perjuangan yang dilakukan si wanita berhasil, meskipun harus menempuh jalan yang sulit dan berbahaya. Sikap positif penyair wanita terhadap kedudukan dan peran wanita juga ditunjukkan melalui suatu keprihatinan. Penyair wanita prihatin melihat nasib wanita yang diperiakukan sebagai obyek seks oleh kaum pria. Ada tiga penyair yang mengungkapkan keprihatinannya terhadap nasib wanita sebagai obyek seks. Mereka adalah Astuti, Yunani, dan Satiwi Noer. Astuti dalam Par Avion (PS,No.1:1992) prihatin terhadap birokrasi yang sangat kotor. Bahwa tujuan-tujuan yang sudah ditulis dalam surat, tentunya surat permohonan, tidak bisa berjalan dengan mulus tanpa biaya: uang pelicin. Bahkan, jalannya surat tersebut akan lebih cepat sampai apabila dikirim dengan disertai cinta asmara. Asmara wanita bisa melesat, mengantar surat lebih cepat dibanding uang. Tampak bahwa wanita dijadikan obyek seks, dijadikan alat untuk pemuas nafsu pria, dengan tebusan terkabulkannya suatu tujuan tertentu.
Yunani dalam Nalika Grimis Ing Medura (JB,No.38:1990) menyuarakan keprihatinannya terhadap perilaku pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang membiarkan nasib wanita di pesisir Slopeng. Di tempat tersebut wanita dibiarkan berkeliaran sebagai wanita tuna susila. Tidak ada upaya dari mereka untuk memberikan jalan yang lebih baik terhadap nasib wanita di daerah tersebut. Justru sebaliknya, wanita dijadikan alat untuk menyemarakkan pariwisata di daerah tersebut. Tampak bahwa ada faktor kesengajaan dari pemerintah, yang tentu saja dikuasai oleh kaum pria, untuk menjadikan wanita sebagai obyek seks, pemuas nafsu pria di tempat pariwisata Slopeng. Penyair wanita Satiwi Noer dalam Stasiun Purwodadi juga memprihatinkan nasib kaumnya yang membiarkan dirinya menjadi obyek seks di kawasan stasiun. Stasiun memang merupakan salah satu tempat berkembangnya pelacuran. Penyair prihatin melihat nasib kaumnya yang membiarkan dirinya dijadikan obyek seks oleh kaum pria. Dengan imbalan yang sangat rendah: lembaran ewon, mereka sudah puas. Wanita tidak ada harganya di mata pria, bisa dibeli dengan lembaran-lembaran uang ribuan saja. Hal tersebut sangat memprihatinkan. Eny Koesdarlijah dalam Angrem (PS,No.38:1990) mengutarakan keprihatinannya terhadap kedudukan wranita yang selalu bergantung kepada pria. Ia mengutarakan hal tersebut, melalui pandangannya terhadap peran pria. Disampaikan bahwa pria digariskan, tentu saja oleh nilai-nilai sosial Jawa, hanya melihat. Dari gambaran tersebut dapat ditafsirkan bahwa wanitalah yang sebenarnya banyak bertindak dalam keluarga. Di samping itu wanita menanggung semua perasaan tidak enak seperti: capek dan bosan, dan semua serba diatur oleh adat. Hanya dengan istilah angrem, judul puisi tersebut, pria dapat melihat dan mengindahkan semuanya, termasuk wanita dan anak. Ada dua penyair yang bersikap negatif, dalam arti kurang setuju terhadap perjuangan kedudukan dan peran wanita yang sejajar dengan kaum pria. Dua penyair tersebut adalah: Sri Sulasmi dan Jekti Palupi. Penyair wanita Sri Sulasmi dalam Sang Srikandhi, justru tidak setuju terhadap kebebasan yang diperoleli wanita saat ini. Penyair justru lebih setuju unluk kembali kepada peran wanita tradisional. Kita perhatikan cuplikan berikut ini. wani protes fitroh kang dumudi optimis miyak jaman sanadyan dudu wewenange lho kepriye! kabeh digawe modhel emansipasi (PS,No.36:1995) berani protes terhadap kodrat yang ada optimis menyibak jaman meskipun
123
Darni, Pandangan Penyair Wanita Sastra Jawa Modern di Awal Dasa Warsa 1990-an Terhadap Kedudukan dan Peran Wanita
bukan kewenangannya lho, bagaimana! Semua dibuat model emansipasi Tampak ada suatu sikap tidak setuju dengan adanya tindakan yang dilakukan oleh kaum wanita. Wanita sudah memiliki kodrat sendiri, yang sesuai dengan peran wanita sebagai wanita tradisional. Ketidaksetujuan yang diungkapkan oleh penyair dalam puisi tersebut berkaitan dengan peran wanita sebagai isteri. Penyair memprotes wanita yang menyalahi kodratnya sebagai isteri. Wanita sudah banyak yang meninggalkan kewajiban sebagai isteri, seperti menyambut dan melayani suami dengan penuh kepasrahan dan pengabdian. Penyair memandang bahwa apa yang dilakukan wanita tersebut justru akan menghilangkan jati dirinya sebagai wanita, yaitu wanita utama menurut niali-nilai masyarakat Jawa, yang memang ciptaan kaum pria. Memang, wanita yang digambarkan oleh penyair dalam puisi tersebut adalah wanita yang tidak bekerja, bergantung kepada pria. Hal tersebut dapat dilihat dan cuplikan berikut ini sisihane dhewe wus suwe kapang esem geganlilaning atine yen hali saka ngudi rejeki (PS,No. 36:1995) suami kita sudah lama rindu senyum pujaan hatinya kalau pulang kerja mencari nafkah Cuplikan di atas menggambarkan bahwa yang bekerja dan mencari nafkah adalah suami. Sedangkan istri di rumah menyambut dengan senyum kala suami pulang. Tradisi seperti itu tampaknya hilang. Di samping itu, tidak tampak adanya penggambaran wanita bekerja. Hal tersebut juga dapat dilihat dari judul puisi yang menggunakan tokoh Srikandlii dalani pewayangan. Penyair mendambakan kembali eksistensi tokoh wanita tersebut, yang berarti peran wanita sebagai wanita tradisional, bergantung, dan tidak mandiri. Sikap penyair Sri Sulasmi tentang peran wanita ini menjadi lebih jelas bila diamati puisi-puisinya yang lain. Puisi-puisinya yang lain seperti: Frustasi dan Ibu, memperjelas peran wanita yang dituju, yakni wanita tradisional, yang penuh kepasrahan dan pengabdian kepada suami dan anak-anak. Penyair wanita Jekti Palupi dalam puisi Banyu Sumur Mili Menyang Kali (JB,No.31:1995) mengeluhkan adanya kebebasan wanita dalam mengungkapkan perasaan. Kita perhatikan cuplikan berikut ini.
geneya banyu sumur mili menyang kali geneya pitikpitik babon adreng ngoyak jago ah, kuwi dudu lumunture jaman dudu sawijining kemajuan (JB.No.S1:1995) mengapa air sungai mengalir ke sumur mengapa ayam betina mengejar ayamjantan ah, itu bukan jaman yang luntur bukan suatu kemajuan Puisi tersebut berkaitan dengan pergaulan muda-mudi yang masih memandang tabu adanya ungkapan perasaan cinta oleh wanita kepada pria. Dalam pandangan seperti itu, hanya prialah yang berhak atau pantas mengungkapkan perasaan cinta misalnya. Sedangkan para wanita hanya diam menunggu inisiatif para pria. Apabila si pria tidak berani mengungkapkan perasaannya, maka hubungan cintapun tidak akan terjalin. Dipandang dari emansipasi wanita, wanita juga pantas mendapatkan kebebasan dalam mengungkapkan pendapatnya, termasuk perasaan cinta kepada pria. Tampak bahwa puisi tersebut memandang ungkapan perasaan cinta wanita kepada pria, yang dikiaskan dengan pitik bahon ngoyak pitik jago, merupakan suatu tindakan yang salah, tidak termasuk dalam emansipasi wanita. C. Penutup Karya penyair wanita sastra Jawa modem tahun 1990 -1995 memiliki tema yang beragam, seperti tema budaya, sosial dengan segala kepincangan yang terjadi, religi, cinta, dan emansipasi wanita. Dari tema-tema tersebut, tema sosial menduduki porsi paling banyak. Namun tidak banyak penyiar wanita yang memusatkan karyanya kepada emansipasi wanita, perjuangan peran dan kedudukan wanita. Dari 38 penyair wanita yang muncul hanya 9 penyair yang bicara tentang hal tersebut. Dari sembilan penyair tersebut tidak semuanya memiliki pandangan positif terhadap emansipasi wanita. Namun, dari jumlah tersebut sebagian besar, yakni 7 penyair mendukung emansipasi wanita. Pandangan dan sikap yang positif dan jelas diungkapkan oleh penyair senior, legendaris, dan perintis sastra Jawa modern, yakni St. lesmaniasita. Wanita sudah dapat bekerja di semua bidang kehidupan, tidak berbeda dengan pria. Namun masih tampak adanya kecanggungan pria untuk memberikan hak sepenuhnya kepada wanita. Bahkan dalam hal cintapun, wanita sudah memiliki keberanian untuk memprotes kesewenangan pria dan kungkungan adat. Berkaitan dengan peran wanita, sebagian besar penyair prihatin dengan masih banyaknya wanita yang diperlakukan sebagai obyek seks oleh pria. Hal tersebut memberikan indikasi masih diutamakannya sosok wanita utama dalam konsep emansipasi wanita yang khas Jawa. Sejauh ini belum ditemukan adanya
125
Darni, Pandangan Penyair Wanita Sastra Jawa Modern di Awal Dasa Warsa 1990-an Terhadap Kedudukan dan Peran Wanita
fenomena baru mengenai nilai-nilai kewanitaan yang dimunculkan oleh penyair wanita sastra Jawa modern tahun 1990-1995. Untuk menemukan kemungkinan munculnya hal tersebut penelitian harus dilanjutkan terhadap penyair wanita sastra Jawa modern yang muncul sampai tahun 2000. Daftar Pustaka Aminuddin. 1990 “Metode Kualitatif dalam Penelitian Karya Sastra” dalam Aminuddin. Pengembangan Penelitian Kualilatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan A3. Djajanegara, Sunarjati. 1987. Citra Wanita dalam Lima Novel Sinclair Lewvis. Disertasi UI. Jakarta. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isii, dan Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa Darni. 1997. Citra Wanita dalam Novel Jawa Tahun 1990-an. Penelitian Studi Kajian Wanita. Surabaya: Lemlit Unesa. Ferguson, Mary Anne. 1981. Image of Women in Literature. London: Palo Alto Geertz, Clifford 1988. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Geertz, Hildred, 1982. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers. Hutomo, Suripan Sadi. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Bahasa. 1988. Kalung Barleyan (Antologi Puisi). Surabaya: Pusat Pengabdian Masyarakat IKIP Surabaya. Kartodirdjo, Sartono. 1993. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Koentjaraningrat. 1983.Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Rass, J.J. 1979. Javanese Since Independence. The Hague: Martinus Nijhoff.
Showalter, Elaine. 1989. Modern Literary Theory, A Reader. Great Britain: Chapman and Hall. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Utomo, Trias Yusuf Prasetya. 1993. “Dinamika Sastra Jawa” dalam Poer Adhi Prawoto. Keterlibatan Sastra Jawa Modern. Bandung: Angkasa.
127