| Nomor 10 | Tahun 2005 | Rp6.750 |
DaftarIsi
2 2 3 4 6 15 23 24 26 29 30 31 32
DariRedaksi SuratSurat InfoEksekutif Etalase Fokus Kilas HCPerspektif StrategiHC Kolega TipsPraktis Kiat BursaKerja Rehal
F O K U S
MEMBEDAH
PANDANGAN KARYAWAN INDONESIA
Sebuah survei komprehensif pertama tentang pandangan karyawan perusahaan di Indonesia menunjukkan sejumlah fakta menarik. Merasa puas dengan pekerjaan saat ini, namun tetap ingin ke luar jika mendapat tawaran remunerasi lebih baik. Memahami bahwa penghasilan mereka tergantung kinerja perusahaan, tetapi enggan memotong gaji saat perusahaan lagi kesulitan. Potret budaya orang Indonesia?
BAGAIMANA CARLY FIORINA 24 MEMAKNAI “HP WAY”? halaman
Mega merger Hewlett-Packard Co. (HP) dengan Compaq Computer telah berhasil diselesaikan dan kini mulai menunjukkan hasil. Keputusan merger itu sendiri ditentang habis oleh Walter Hewlett, putera tertua Bill Hewlett, pendiri HP. Di sisi lain, merger semakin melambungkan nama Carly Fiorina sebagai wanita paling berkuasa dalam jajaran bisnis Amerika. Inilah cara baru memaknai “HP Way”. Carly Fiorina: Saya seperti sudah ditakdirkan memimpin HP dan menemukan kembali HP Way ...
N. Krisbiyanto: Karyawan sering menilai pekerjaan dan tanggung jawab pimpinan sama saja dengan bawahan ...
halaman 24
halaman 9
Tika Bisono: Kebijakan perusahaan di Indonesia seringkali tidak jelas, termasuk soal kompensasi dan benefit. halaman 12
Agustomo: Indonesia potensial menjadi pemasok tenaga kerja maritim di dunia.
halaman 23
2
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
D a r i R e d a k s i
KITA BERDUKA ... D
uka menyelimuti kita semua setelah gelombang tsunami merenggut puluhan ribu nyawa manusia di Aceh dan Sumatera Utara 26 Desember silam. Jumlah korban yang meninggal dunia diperkirakan masih bisa terus bertambah hingga lebih dari 80.000 jiwa. Jutaan rumah, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, dan fasilitas umum hancur. Infrastruktur di daerah yang ditimpa bencana nyaris rusak total. Tak terbayangkan bagaimana 80% dari kota Meulaboh yang berpenduduk 40.000 jiwa hancur disapu gelombang katastrofi itu. Kota tersebut benar-benar luluh lantak. Hal yang sama terjadi di sejumlah kota dan kawasan Aceh lainnya. Sebagian kota Banda Aceh hancur tak berbentuk. Mayat-mayat saudara kita bergelimpangan di mana-mana. Sungguh sebuah tragedi kehidupan dan kemanusiaan yang amat dahsyat. Siapapun tidak akan kuat melihat tragedi tersebut. Marahkah Tuhan? Kita tidak pernah tahu. Mungkin juga Tuhan sayang dengan mereka yang telah menjadi korban dan cepat dipanggil ke hadapanNya. Supaya terbebas dari kemunafikan dan dosa yang telah menjadi praktik seharihari sebagian besar bangsa ini. Pastinya Tuhan ingin agar kita memetik hikmah dari bencana ini. Dosa dan kesalahan bangsa kita sudah terlalu besar. Para pemimpin asyik dengan diri dan keluarganya, memupuk kekayaan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran moral dan agama manapun. Mereka melupakan nasib rakyat yang mereka pimpin. Para pengusaha dan konglomerat “merampok” uang negara dengan mengakali atau bekerjasama dengan pejabat yang lemah. Puluhan atau ratusan triliun uang negara dijarah oleh konglomerat hitam, sebagian besar dibawa lari ke luar Indonesia. Tingkah mereka
sungguh menjijikkan. Mereka meminta ijin pembukaan perkebunan, dan setelah hutannya habis dibabat mereka membiarkan lahan terlantar. Ekosistemnya jadi rusak sehingga banjir di mana-mana, yang membuat susah orang kecil. Setelah menjadi kapitalis, para pengusaha itu kini menjadi bagian dari kapitalisme dunia – para investor yang diundang banyak negara (termasuk Indonesia) untuk menanamkan modalnya. Padahal, uang mereka adalah uang negara Indonesia juga. Penguasa dan pengusaha, tak banyak beda. Pemimpin agamapun kini kemaruk, berburu harta dan rente dengan mengatasnamakan umat. Merekapun kini bak selebriti, ke mana-mana pakai mobil mewah tanpa malu kepada umat - yang kebanyakan miskin - dari mana semua kemewahan itu mereka peroleh. Rakyat kecil memang diam saja memperhatikan polah salah kaprah itu. Tapi, jangan pikir mereka tidak mikir. Ketika gelombang tsunami melanda, sebagian besar korbannya juga rakyat kecil. Orang-orang susah yang barangkali tidak pernah tahu kenapa mereka yang harus jadi korban. Sama tidak tahunya kenapa perang di Aceh tidak pernah berhenti. Padahal, kita berperang dengan saudara sendiri. Sesuatu yang aneh, menurut mantan KASAD Wismoyo Arismunandar saat berkunjung ke redaksi, gempa dahsyat justru terjadi di dua ujung kepulauan Nusantara – Nabire di Papua dan pantai Barat Aceh. Dua daerah yang paling ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Misteri apakah di balik hal ini? Mungkinkah Sumpah Palapa dan kesatuan republik dari Sabang sampai Merauke tidak bisa ditawar-tawar? Wallahu alam. Yang pasti, kita harus melakukan introspeksi total untuk melangkah menuju masa depan. Now or never■
S u r a t S u r a t
SUMBANGAN PEDULI ACEH Untuk
kesekian kalinya, Indonesia dirundung duka. Seperti tak berujung, bencana demi bencana mengiringi langkah Indonesia di tahun 2004, bahkan gempa bumi yang diiringi badai tsunami menjadi bencana terbesar yang terjadi di Indonesia dipenghujung tahun ini. Tepatnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara. Tidak terhitung nyawa dan harta yang hilang karenanya. Pasca gempa bumi yang diiring badai tsunami, minggu 26 Desember 2004, kini
meninggalkan isak tangis, penyakit, kelaparan dan berbagai penderitaan yang mungkin menyusul. Kami yakin, segala bentuk bantuan akan dapat meringankan beban saudara-saudara kita yang tengah tertimpa musibah besar
Bagi pelanggan dan pembaca tabloid Human Capital yang terdorong untuk ikut memberikan bantuan, dapat disalurkan atau menghubungi kami di:
ini.
●
Setiabudi Building 2, Lt. 3, Suite 305 Jl. HR. Rasuna Said Kav. 62 Jakarta 12920
Atau transfer melalui rekening : ● A/n PT. PERDANA PERKASA ELASTINDO BANK PERMATA Cab. Atrium Setiabudi Jakarta No. Rek. 0.216322.002 ●
A/n PT. PERDANA PERKASA ELASTINDO Bank Mandiri Cab. Pondok Indah No. rek :101.00.0000407.5
●
●
A/n PT. PERDANA PERKASA ELASTINDO Bank Niaga Cab. Pondok Indah No. Rek : 017.01.29968.00.3 A/n PT. Bina Semesta Giartha Lestari CitiBank No. Rek : 8000494690
Semua bantuan akan kami salurkan bekerjasama dengan Darut tauhid, Media Group, dan Marinir.
Pemimpin Umum: Farid Aidid Pemimpin Perusahaan: Iftida Yasar Pemimpin Redaksi: Syahmuharnis Redaktur Pelaksana: Malla Latif Wakil Pemimpin Perusahaan: P.M.Rizal Redaktur: Ratri Suyani, Vriana Indriasari Kontributor: Indraria Djokomono Artistik: Joel Totok Apriyanto Sekretaris Redaksi: Rizma Maulina Administrasi: Afiantomi Alamat Redaksi/Tata Usaha, Iklan & Promosi: Setiabudi Building 2, 3rd Floor. Suite 305 Jl. H. R. Rasuna Said Kav. 62 Jakarta 12920 Telp. 021-5220575 Fax. 021-52901024 E-mail:
[email protected] Bank: a/n PT. Bina Semesta Giartha Lestari, Citibank No. Rek. 8000494690 Pencetak: PT Temprint.
3
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
I n f o E k s e k u t i f
REVERSE MENTORING
K
ebanyakan dari kita mengalami proses mentor dalam bentuk yang terstuktur, informal, terfokus pada pelatihan, dan seterusnya. Banyak perusahaan besar yang sukses memanfaatkan konsep ini untuk keberhasilan perusahaan dan individu. Kerangka kerja macam PeopleCMM berharap organisasi untuk memiliki sistem mentor yang terdefinisi secara jelas pada tingkat kematangan level 4 (Maturity Level 4). Dalam kasus yang umum, proses mentor secara eksplisit mengharapkan adanya transfer pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan lain-lain akan berlangsung dari orang yang lebih berpengalaman (umumnya lebih tua) kepada orang yang kurang pengalaman (lebih muda). Berjalannya waktu membuat konsep mentor seperti itu mungkin perlu diubah. Alasannya, seperti di India, populasi terbesar di sana adalah generasi muda. Umur median rakyat India kurang dari 24 tahun. Terdapat kecenderungan urbanisasi yang
kuat dan bertambahnya jumlah wanita sebagai angkatan kerja. Secara sosial, tenaga kerja menjadi lebih ekspresif, lebih independen, dan lebih terekspos ke dunia global. Kebanyakan perusahaan teknologi mempekerjakan tenaga-tenaga yang lebih muda. Berbekal teknologi dan Internet mereka berkembang dengan cepat. Dengan fakta ini, sistem mentor perlu dilakukan oleh anak-anak muda itu kepada orang lain yang mungkin lebih tua. Inilah yang disebut sebagai reverse (R) mentoring■
ORIENTASI KARYAWAN BARU
S
eringkali orientasi pegawai baru gagal mencapai sasaran akibat kelemahan manajemen kegiatan. Namun, program orientasi karyawan sangat besar manfaatnya. Selama minggu-minggu per-
tama bekerja, program orientasi karyawan memainkan peran signifikan terhadap perasaan karyawan terhadap lingkungan pekerjaan, dan menghasilkan penilaian terhadap tempat kerja, manajer, karyawan, dan kultur organisasi. The Society of Human Resources Management (SHRM) telah melakukan survei yang mendapatkan 87% partisipan mengindikasikan organisasi mereka melaksanakan program orientasi karyawan baru (1994). Satu studi lebih baru oleh The American Society for Training and Development (ASTD), sebaliknya, memperlihatkan hanya 7% dari anggaran training yang dialokasikan untuk kegiatan orientasi karyawan baru. Setelah demikian lama diabaikan, program orientasi kini kembali menjadi tren. Kline dan Weaver (2000) mendefinisikan orientasi karyawan baru sebagai upaya sosialisasi karyawan. Di situ karyawan belajar dan beradaptasi terhadap pekerjaan baru, peran, dan kultur dari tempat kerja. Riset mereka menunjukkan karyawan yang menghadiri orientasi lebih tersosialisasi, dan lebih loyal terhadap tujuan dan nilai dari organisasi■
4
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
E t a l a s e
MAL CIPUTRA CATAT REKOR MURI Mal Ciputra Jakarta berhasil memecahkan rekor MURI dengan menciptakan pohon natal setinggi 11 meter dan diameter 3 meter, yang dihiasi oleh plush toy boneka Garlfield sebagai pengganti ornamen natal. Pohon natal tersebut menjadi unik karena terdiri dari 747 buah boneka Garfield dengan lama pembuatan 4 hari, lama display 31 hari, dan dikerjakan oleh 7 orang dari Mal Ciputra sendiri serta menghabiskan biaya tak kurang dari Rp90.000.000. Menurut Agus Rusli Ariyanto, Deputy General Manager Mal Ciputra, pemecahan rekor ini berkaitan dengan perayaan Natal di Mal Ciputra yang digelar mulai 9 Desember 2004 – 9 Januari 2005, bekerjasama dengan Paws, Inc selaku pemilik karakter Garfield. Sebelumnya, Mal Ciputra mencatat 16 rekor MURI, termasuk di antaranya sebagai mal yang menciptakan rekor MURI terbanyak tahun 1999 lalu■
BII RANGKUL 12 BUTIK INTERNASIONAL GELAR INTERNATIONAL BRANDED SHOW Sejak tanggal 23 November 2004 hingga 28 Januari 2005, digelar sebuah acara Fashion Show bertemakan “BII International Branded Show”, di Plaza Indonesia, Dharmawangsa Square dan juga FJL Boutique di J1. Kemang Raya no. 25. Ini merupakan hasil kerjasama Bank Internasional Indonesia, Plaza Indonesia, 12 Butik bertaraf intemasional dan juga Profile Management sebagai event organizer. Minggu ini BII International Branded Show memasuki putaran terakhir untuk bulan Desember 2004. Acara akan dilanjutkan kembali pada tangga1 21 Januari 2005 mendatang. Lolita Lempicka adalah nama butik yang pada tanggal 16 Desember 2004 Wi memperlihatkan berbagai produkproduk terbaru mereka, bertempat di Plaza Indonesia level 2 # 69-70. Para wanita terpikat dengan busananya yang modem sekaligus feminim, orisinil dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani
para wanita. Busana-busana Lolita membuat sang wanita laksana puteri kontemporer, dengan pemakaian motif-motif daun ivy, buah-buahan, kupu-kupu, kumbang, burung dan binatang lain. Kesan rapuh, romantis, lembut, anggun, bersemangat dan bergairah menjadi karakter utama dari produk Lolita Lempicka■
telah menjadi ciri dari produk Samsung. Dikatakan Lee Kang Hyun, Direktur PT. Samsung Electronics Indonesia, bahwa ponsel Samsung diciptakan untuk mereka yang berjiwa muda. “Sangat trendi, berkelas dan memiliki sisi kecanggihan teknologi yang toidak perlu diragukan lagi,” terangnya lagi■
beasiswa ini merupakan bentuk komitmen HSBC tidak hanya pada pendidikan di Indonesia, tapi juga pada upaya membantu pelajar-pelajar dengan keterbatasan fisik■
PENGHARGAAN “WARTA EKONOMI SAFETY AWARD FOR INDONESIA’S MOST CARING COMPANIES 2004”
HSBC BERIKAN DIVERSITY SCHOLARSHIP PADA 4 MAHASISWA PENYANDANG CACAT
Di awal tahun 2005, JobsDB.com kembali mensponsori acara untuk mempertemukan para professional dengan para pemberi kerja di Indonesia. Acara bertajuk Pameran Bursa Kerja CAREER 2005 ini akan digelar di Grand Ballroom Hotel Menara Peninsula tanggal 11-12 Februari 2005 mendatang. Acara akbar yang menjadi bagian dari seri pameran CAREER ke-14 ini menawarkan sekitar 2.700 lowongan yang didominasi oleh jenis pekerjaan modern untuk para professional baik dari perusahaan dalam maupun dari luar negeri. Acara kali ini didesain agak berbeda dari pameran sejenis yang banyak digelar oleh penyelenggara lainnya. Selain acaranya digelar di hotel berbintang, calon pekerja juga akan diseleksi lebih ketat melalui system kunjungan yang disiapkan oleh penyelenggara Asia Expo. Diperkirakan sekitar 7.000 profesional terseleksi dengan latar belakang pendidikan minimal D3 atau pengalaman minimal 2 tahun, yang bisa masuk dalam pameran tersebut. Saat ini, 40 stand yang disiapkan untuk para pemberi kerja sudah habis dipesan oleh perusahaan-perusahaan yang akan merekrut para professional. Peserta pameran didominasi oleh perusahaan dari industri modern dan perbankan seperti Bank Danamon, Bank Niaga, Bank Permata, China Trust Bank serta perusahaan nasional dan multinasional yang bergerak di industri advertising, manajemen, finansial, pertambanganenergi dan sebagainya■
Majalah Warta Ekonomi bekerja sama dengan PT. DuPont memberikan penghargaan“Warta Ekonomi Safety Award for Indonesia’s Most Caring Companies 2004” kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap keselamatan kerja para karyawan mereka. Hal ini merupakan wujud apresiasi terhadap upaya-upaya memperhatikan keselamatan karyawan yang merupakan asset terpenting perusahaan. Muncul sebagai pemenang dari kategori manufaktur adalah PT. Showa Indonesia Manufacturing, PT. Cognis Indonesia dan PT. British American Tobacco Indonesia. Pemenang dari kategori pertambangan adalah PT. Apexindo Pratama Duta Tbk. Sedangkan untuk kategori transportasi dan kontruksi tidak menghasilkan pemenang■
SAMSUNG RAMAIKAN PASAR TELEPON SELULAR DI PENGHUJUNG TAHUN 2004 Samsung elektronik kembali meluncurkan lima ponsel canggih yang trendi dan berkelas, sebagai cermin komitmen Samsung yang akan terus berinovasi di bidang teknologi komunikasi wireless. Kelima ponsel tersebut adalah Samsung SGH-E630, SGH-810, SGH-X120, SGH-X460 dan SGHC200. Kelebihan yang ditawarkan Samsung adalah selain ukurannya yang mungil dan ringan, juga penampilan layar warna serta teknologi kamera digital rotasi built in yang
HSBC Indonesia memberikan bantuan sebesar Rp90 juta dalam bentuk Diversity Scholarship HSBC kepada empat mahasiswa penyandang cacat yang tengah menempuh studi sarjana strata 1 (S1) di Universitas Indonesia (UI). Beasiswa ini nantinya akan dikelola oleh pihak UI. Diversity atau keanekaragaman ini telah menjadi bagian dari motto HSBC “Bank Dunia Bertradisi Anda”, yang memfokuskan diri pada pentingnya upaya untuk menghargai segala bentuk keanekaragaman. Menurut Mervyn Fong, Deputy Chief Executive HSBC Indonesia, pihaknya sangat bahagia berkesempatan memberikan diversity scholarship HSBC Indonesia kepada mahasiswa penerimanya. “Kami juga antusias dengan kerjasama yang terjalin dengan pihak UI, yang merupakan institusi pendidikan terkemuka di Indonesia,” tutur Mervyn dalam sambutannya. Pemberian
JOBSDB.COM KEMBALI GELAR PAMERAN BURSA CAREER 2005
5
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
Efisiensi Biaya Lewat e-Learning Mencapai 20%-40% Kendati e-Learning memberikan manfaat yang banyak bagi pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia, namun jumlah perusahaan yang memanfaatkannya secara optimal masih tergolong sedikit.
H
al ini yang menjadi perhatian serius PT Mitra Integrasi Komputindo (MIK) mengingat penyampaian informasi tidak bisa lagi ditunda. Menurut Alfonso Tambunan, Business Development & Marketing Manager PT MIK, pihaknya selama satu setengah tahun telah melakukan upaya sosialisasi ke berbagai perusahaan di Indonesia tentang konsep eLearning. “Meski mereka tertarik dengan konsep ini, pengetahuan mereka masih terbatas sehingga muncul berbagai pertanyaan,” tukas Alfonso. Ada yang menanyakan apakah e-Learning tidak berbeda dengan CD ROM Training, e-Learning selalu membutuhkan jaringan internet dan sebagainya. Atas dasar kenyataan di atas, MIK bekerjasama dengan Intel Indonesia, Daya Dimensi Indonesia, dan Human Capital sepakat menyelenggarakan seminar tentang e-Learning pada tanggal 23 Februari 2005 di Hotel Shangri-La, Jakarta. Tujuannya, adalah untuk melakukan edukasi terhadap pasar, baik perusahaan maupun individu dan masyarakat secara umum. Isu-isu yang akan diangkat dalam seminar nanti berkaitan erat dengan e-Learning, baik secara teknis maupun non teknis. Sementara itu, menurut Alfonso e-Learning masih menjadi wacana di tingkat pemerintahan meskipun ada beberapa institusi yang telah mengimplementasikannya. “Memang belum ada satu kebijakan pusat yang diciptakan pemerintah untuk memayungi e-Learning di Indonesia. Namun dengan hadirnya perwakilan pemerintah dalam seminar nanti, diharapkan masyarakat bisa menyadari bahwa
pemerintah pun kini mulai memiliki perhatian yang besar terhadap e-Learning.” Senada dengan Alfonso, Sandra Sembel, e-Learning Project Instructional Design PT MIK, juga memaparkan bahwa jika sebuah negara ingin maju dan terus berkembang, maka yang perlu dimajukan adalah manusianya. “Fasilitas yang ada sangat terbatas dan hanya terdapat di kota-kota besar. Padahal yang diberdayakan harusnya adalah sumber daya manusia, khususnya para karyawan di berbagai daerah dengan fasilitas kurang memadai,” jelasnya. Praktis, orang daerah lebih banyak ketinggalan dalam penerimaan informasi. Untuk mengembangkan potensi dan skill dalam bekerja, mereka harus pergi ke kotakota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar. Padahal dari sisi biaya dan waktu, ujar Sandra, hal ini sangat tidak efektif. “Waktu bisa singkat, tidak berbulan-bulan. Sementara biaya bisa ditekan antara 20%-40%,” ujar Alfonso. e-Learning merupakan salah satu solusi yang diharapkan bisa menjadi sarana pembelajaran bagi mereka yang tinggal di daerah. Kendati fasilitas berada di kota-kota besar, e-Learning memungkinkan akses belajar lewat pembelajaran jarak jauh (distance learning). Yang menarik, cara belajar melalui e-Learning tidak selalu menggunakan internet. Cara offline lewat Compact Disc (CD) bisa digunakan bagi mereka yang tidak bisa setiap hari harus ke warnet. “Karyawan dapat belajar sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam modul yang ada CD, baru setelah itu hasilnya dikirim ke pusat lewat warnet,” tambahnya kembali. Hal ini jelas berbeda dengan CD ROM Training yang dijalankan di pasar. Menurut Andi Sama, Chief Technology Officer PT MIK, aktivitas ketika training lewat CD ROM tidak bisa diketahui dengan kantor pusat. “Ini yang
Dari kiri-kanan: Sandra Sembel, Alfonso Tambunan, dan Andi Sama membedakan dengan CD ROM e-Learning. Setiap kegiatan bisa dengan mudah diakses kantor pusat melalui piranti lunak e-Learning. Dengan cara demikian, kantor pusat bisa melihat dan mendata langsung karyawan mana yang telah menggunakan materi A atau B, kapan dilakukan, bagaimana skornya dan sebagainya. Tingkat penyampaian knowledge menjadi lebih cepat karena kantor pusat hanya perlu meng up-load content yang ada di server kemudian langsung diakses oleh karyawan. Sebagai contoh, kata Alfonso lagi, jika sebuah bank mau meluncurkan sebuah produk, pihak pelatih atau instruktur bank tersebut harus mengunjungi setiap cabang bank tersebut di seluruh Indonesia untuk mengenalkan dan mengedukasi produk tersebut. Hal ini bisa menghabiskan biaya yang besar dan waktu yang lama. Padahal, cara demikian tidak efektif jika pesaing bisa lebih cepat masuk ke market dengan produk yang sama. Dengan adanya eLearning, mereka dengan mudah tinggal memasukkan produk mereka ke dalam modul e-Learning dan bisa langsung diakses karyawan sehingga karyawan bisa cepat mengerti dan bisa langsung menjual produk tersebut.”
Sandra menambahkan pula, keuntungan lain dengan menggunakan e-Learning adalah kualitas materi akan tetap terjaga jika dibandingkan dengan cara training di dalam kelas. “Kalau seorang instruktur mengajar, biasanya tergantung dari si pengajar. Bisa saja saat mengajar di kelas A dia masih senang, tapi pada saat harus mengajar di kelas B karena ada masalah di rumah, makanya moodnya tidak bagus sehingga kualiatas materi tidak terjaga.” Itu baru satu orang. Sementara eLearning bisa dibuat konsisten, sehingga siapapun yang mengakses materi itu, akan mendapatkan kualitas yang sama dimanapun ia mengakses. Yang harus dilakukan dalam menyiapkan proses implementasi e-Learning adalah melakukan analisa terlebih dulu terhadap bisnis perusahaan, apa yang bisa dilakukan oleh e-Learning atau apakah nanti edukasi terhadap karyawan mencapai target misi tersebut atau tidak. Kemudian dianalisis pula gap terhadap training yang sedang mereka lakukan. Sejauh mana kegiatan training bisa efektif membantu kegiatan bisnis. Setelah analisis, barulah menyusun langkah selanjutnya yaitu dengan memasukkan e-Learning ke dalam kegiatan bisnis. Kalaupun perusahaan tetap ingin mengadakan training dalam kelas, maka pihak MIK dan perusahaan tersebut akan mendiskusikan hal ini. “Kami lakukan blended learning kalau mereka tetap mempertahankan class room learning. Sebab, tidak berarti class room sama sekali tak berguna.” Diakui Andi, class room masih tetap penting peranannya di perusahaan. e-Learning sifatnya hanya compliment, karena e-Learning tidak bisa menggantikan class room learning. “Tapi memang ada juga keunggulan e-Learning. Yang penting, bagaimana cara kita memafaatkan kedua sarana ini sehingga proses edukasi bisa lebih optimal.”■
6
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
F O K U S
MEMBEDAH
PANDANGAN KARYAWAN INDONESIA
Sebuah survei komprehensif pertama tentang pandangan karyawan perusahaan di Indonesia menunjukkan sejumlah fakta menarik. Merasa puas dengan pekerjaan saat ini, namun tetap ingin ke luar jika mendapat tawaran remunerasi lebih baik. Memahami bahwa penghasilan mereka tergantung kinerja perusahaan, tetapi enggan memotong gaji saat perusahaan lagi kesulitan. Potret budaya orang Indonesia?
S
ifat mendua (ambiguity) agaknya telah menjadi ciri khas orang Indo nesia. Sifat mendua itu terekam pula dalam hasil survei yang dilakukan oleh konsultan sumberdaya manusia terkemuka Watson Wyatt dengan tema WorkIndonesia 2004/2005. Inilah sebuah penelitian yang paling komprehensif dan pertama dilakukan di Indonesia dan Asia mengenai komitmen, sikap, dan pandangan karyawan. Survei ini diikuti oleh lebih dari 8.000 responden aktual dari 46 perusahaan di 14 industri utama di Indonesia. Jumlah responden itu menyumbang 9% dari total sampel penelitian WorkAsia, yang dilakukan di 11 negara, meliputi 515 perusahaan, dan 115.000 responden aktual. Berdasarkan riset dan pengalaman global, dalam survei ini Watson Wyatt memfokuskan survei untuk mengukur aspek komitmen (commiment), keselarasan kerja (alignment), dan pemberdayaan karyawan (enablement) – 3 hal yang berdampak besar terhadap fondasi perusahaan. Sifat mendua karyawan Indonesia terlihat dalam aspek komitmen. Sebanyak 85% karyawan merasa bangga bekerja di perusahaan mereka (angka ini melebihi karyawan Asia Pasifik yang hanya 77%), sebanyak 80% karyawan yakin terhadap keberhasilan jangka panjang perusahaan (angka ini melebihi Asia Pasifik yang hanya 72%), tetapi …hanya 35% karyawan Indonesia yang ingin bertahan di perusahaan kendati pekerjaan di perusahaan lain itu hampir sama saja dalam hal gaji, jabatan, dan skop pekerjaan. Bandingkan misalnya dengan hasil survei untuk tingkat Asia Pasifik di mana 57% karyawan memilih untuk bertahan kendati tersedia jabatan serupa di perusahaan lain. Lantas, apa saja faktor yang membuat karyawan ingin pindah kerja? Survei
menemukan bahwa faktor peluang karir yang lebih baik sebagai alasan utama (44%), diikuti oleh paket kompensasi yang lebih baik (40%), perusahaan tersebut memiliki prospek sukses lebih baik di masa depan (25%), menyediakan peluang training dan pengembangan diri yang lebih baik (23%), dan memberikan peluang lebih baik untuk mendayagunakan keahlian (23%). Bagi Direktur PT Gema Muda Perantama Saiful Doena, temuan tersebut sesuatu yang masuk akal. Faktor penyebab kepindahan harus dibedakan antar posisi atau level karyawan dalam perusahaan. Untuk
kategori entry level dan junior manager, dorongan pindah lebih banyak karena faktor jenjang karir, kompensasi, dan upaya mencari pengalaman di industri berbeda. Pada level manajemen senior, lanjut konsultan sumberdaya manusia itu, biasanya penyebab kepindahan terkait dengan kenyamanan kerja dan aktualisasi diri. Dibandingkan dengan hasil survei di Amerika, seperti yang tercantum dalam Strategic Reward 2001 juga oleh Watson Wyatt, faktor penyebab kepindahan karyawan di Indonesia sedikit agak berbeda dengan karyawan di Amerika. Secara umum – untuk
berbagai jabatan maupun jenis kelamin – penyebab kepindahan utama karyawan di Amerika pertama adalah karena faktor kompensasi yang lebih baik. Alasan berikutnya baru benefit yang lebih baik, tersedianya peluang pengembangan keahlian yang lebih baik, adanya peluang untuk promosi, dan adanya fasilitas vakansi/cuti. Bila diperhatikan, karyawan Amerika sangat mengutamakan faktor kompensasi dan benefit sebagai alasan kepindahan utama ke perusahaan lain. Selama jabatan baru tidak memberikan nilai tambah dalam kompensasi dan benefit itu, mereka akan
7
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
F O K U S
ALASAN KARYAWAN INDONESIA PINDAH KERJA
Sumber: WorkIndonesia 2004/2005 berpikir panjang untuk pindah. Faktor peluang berkarir dan prospek perusahaan yang lebih baik – hal yang sangat diperhatikan karyawan Indonesia – tidak begitu jadi perhatian mereka karena rata-rata perusahaan Amerika telah cukup mapan sehingga menyediakan peluang berkarir dan prospek perusahaan yang lebih baik. Dalam perspektif itu, wajar jika karyawan Indonesia akan berusaha keras untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan yang lebih mapan. Indeks komitmen karyawan (Commitment Index) Indonesia, menurut perhitungan Watson Wyatt, hanya 57% - lebih rendah 7 poin dibandingkan Asia Pasifik. Itu berarti, tingkat loyalitas karyawan di Indonesia termasuk paling rendah di kawasan ini. Rendahnya loyalitas itu bukanlah hal yang buruk dewasa ini ketika era loyalitas tunggal (lifetime employment) tidak lagi mendapat tempat. Profesionalisme menyebabkan definisi loyalitas bergeser dan bahkan berubah. “Loyalitas tidak lagi dimaksudkan loyal kepada perusahaan, melainkan loyal terhadap profesi,” tegas N. Krisbiyanto, General Manager Human Resources (HR) Group PermataBank. Sebagai orang HR, Kris – begitu ia sering disapa – akan loyal terhadap profesi HR. “Ke manapun saya pergi, saya akan tetap berada di jalur profesi HR,” tambahnya. Mobilitas karyawan kini telah menjadi ciri dan konsekuensi dari kemajuan ekonomi. Rendahnya ketersediaan tenaga ahli untuk bidang tertentu atau level manajer ke atas sementara di sisi lain permintaannya cukup tinggi menyebabkan perpindahan kerja sebagai sebuah hal yang alami dewasa ini. “Kerja berpindah-pindah bukan lagi sebagai hal yang aneh atau tabu,” ungkap Pri Notowidigdo, seorang head hunter terkemuka di Indonesia. Sebagian kalangan dulu menyebut fenomena profesional yang sering berpindah kerja ini sebagai kutu loncat, yang lebih banyak berkonotasi negatif ketimbang positif. Orang tersebut dianggap tidak loyal dan tidak menghargai investasi perusahaan terhadap dirinya. Dengan semakin majunya dunia bisnis – termasuk globalisasi bisnis akibat the borderless world seperti disitir Kenichi Ohmae – istilah kutu loncat semakin menghilang. Bahkan, menurut Saiful
S
Sumber: Watson Wyatt Doena, si “kutu loncat” itu boleh berbangga karena ia orang yang sangat dibutuhkan karena kompetensi dan pengalamannya. Perusahaan boleh saja merasa rugi dengan kepindahan orang “penting” tersebut, termasuk kerugian berinvestasi terhadap orang tersebut. Toh, hal ini juga bukan berarti kiamat bagi perusahaan. Tak jarang, si manajer atau eksekutif belakangan memutuskan kembali ke peru-
sahaan setelah “bertualang” di luar. “Selama track recordnya baik, kepulangan orang itu juga positif bagi perusahaan,” tutur Julius Aslan, Chief HR Grup Astra yang kini menjabat Direktur PermataBank. Jika ingin si bintang tidak pergi ke perusahaan lain, lanjut Saiful Doena, adalah tugas manajemen dan bagian HR untuk memberikan tantangan dan variasi pekerjaan kepada orang tersebut.
IFAT MENDUA karyawan Indonesia terlihat pula pada tingkat loyalitas yang rendah namun di sisi lain tingkat kepuasan terhadap pekerjaannya tergolong tinggi. Sebanyak 68% dari responden mengatakan puas dengan pekerjaannya – 5% lebih tinggi dari responden lainnya di Asia Pasifik. Semestinya dengan tingkat kepuasan bekerja yang tinggi itu, komitmen karyawan Indonesia juga tinggi. Sebab berdasarkan survei di Asia-Pasifik, kepuasan bekerja memiliki dampak paling besar terhadap komitmen. “Mereka puas dengan lingkungan pekerjaan sekarang, tetapi tetap ingin berkembang dan lebih maju lagi,” jelas Lilis Halim CCP., GRP., Presiden Direktur PT Watson Wyatt Indonesia, tentang fenomena rendahnya loyalitas karyawan Indonesia itu. Survei ini memberikan gambaran lebih jauh kenapa mereka merasa puas dengan pekerjaan sekarang, yakni karena mereka dapat mempelajari hal baru secara berkesinambungan di pekerjaan mereka yang sekarang (82%) dan karena pekerjaan sekarang menggunakan keterampilan kerja (skill) mereka (77%). Angka-angka ini jauh lebih tinggi dari responden dari negara lain. Soal kepuasan bekerja ini, agaknya, tidak bisa dilepaskan dari temuan berikutnya bahwa karyawan puas bekerja dalam tim (teman sekerja). Tampaknya hubungan antar kolega (peer) di perusahaan Indonesia cukup baik. Sebanyak 61% karyawan Indonesia mengatakan perusahaan memfasilitasi terbentuknya kerjasama tim yang baik antar karyawan; 75% mengatakan percaya (trust) dengan kelompok kerjanya; dan 78% setuju mereka bekerja dengan efektif dalam kelompok kerjanya sendiri. Data-data ini lebih tinggi dari pada data Asia Pasifik. Cukup bagus bekerjasama dalam tim tidak otomatis karyawan Indonesia bagus bekerjasama dengan tim dari bagian berbeda. Ego tim terlalu tinggi sehingga menghambat kerjasama dalam perusahaan yang lebih luas. Hambatan tersebut juga terlihat di level negara. “Itu sebabnya di Indonesia diperlukan Menteri Koordinator,” kata pakar ekonomi Dr. Sjahrir terkekeh. Rupanya koordinasi telah lama menjadi barang mewah di Indonesia. Kepuasan bekerja bisa pula disebabkan
8
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
F O K U S
Sumber: WorkAsia 2004/2005 tersedianya program training dan pengembangan serta peluang inovasi yang lebih baik di perusahaan. Responden yang merasa puas dengan program training dan pengembangan yang diadakan perusahaan mencapai 48,6%, sedikit lebih tinggi dari ratarata Asia Pasifik yang berjumlah 45%. Karyawan Indonesia menilai, peluang berinovasi di perusahaan Indonesia lumayan baik, 51,1% - bandingkan dengan Asia Pasifik yang hanya 49%. Perusahaan Indonesia dianggap melakukan upaya yang lebih baik dibanding negara lain di Asia Pasifik dalam mengimplementasikan usulan karyawan di mana layak, dan memberikan penjelasan jika usulan tersebut tidak diterima. Training dan pengembangan erat kaitannya dengan pemberdayaan karyawan (enablement). Yang menarik, 74% karyawan Indonesia tahu keahlian yang dibutuhkan untuk sukses di perusahaan (bandingkan dengan 69% di Asia Pasifik). Hanya saja, 55% responden yang mengatakan bahwa mereka mempunyai akses terhadap training yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan (59% di Asia Pasifik); tetapi … hanya 19% karyawan yang merasa perusahaan telah berbagi informasi secara baik ke seluruh bagian. Berdasarkan temuan ini, indeks pemberdayaan karyawan (Enablement Index) di Indonesia 56%, lebih tinggi dari Asia Pasifik yang hanya 54%.
DARI tiga indikator kunci yang sangat penting bagi perusahaan, karyawan perusahaan Indonesia memiliki kelebihan dalam keselarasan bekerja dan pemberdayaan karyawan. Indeks keselarasan bekerja dan indeks pemberdayaan karyawan Indonesia hasil survei ini lebih tinggi dari level Asia Pasifik. Hanya indeks komitmen di mana karyawan Indonesia di bawah rata-rata Asia Pasifik. Lantas, bagaimana dengan keselarasan bekerja (alignment), yang diukur dengan korelasi antara kinerja perusahaan dan kompensasi yang diterima; korelasi antara pekerjaan dengan pelanggan; masukan rutin yang diterima; penyebaran informasi tentang kinerja dan target keuangan perusahaan. Mayoritas karyawan (87%) yakin bahwa semakin bagus kinerja perusahaan, semakin baik gaji yang bisa diharapkan; 80% karyawan tahu bahwa pekerjaan mereka berdampak terhadap pelanggan; 56% mengatakan mereka menerima masukan secara rutin; 51% setuju bahwa perusahaan telah berbagi informasi secara baik tentang kinerja vs target finansial. Indeks keselarasan bekerja
(Alignment Index) bagi Indonesia 70% dibandingkan dengan 67% untuk level Asia Pasifik.
D
ARI tiga indikator kunci yang sangat penting bagi perusahaan, karyawan perusahaan Indonesia memiliki kelebihan dalam keselarasan bekerja dan pemberdayaan karyawan. Indeks keselarasan bekerja dan indeks pemberdayaan karyawan Indonesia hasil survei ini lebih tinggi dari level Asia Pasifik. Hanya indeks komitmen di mana karyawan Indonesia di bawah rata-rata Asia Pasifik. Indeks keselarasan karyawan Indonesia yang cukup baik menjadi modal yang bagus dalam menghadapi pasar tenaga kerja global. Mereka sadar bahwa kinerja perusahaan akan mempengaruhi besaran gaji mereka. Itulah esensi dari prinsip pay for performance yang diterapkan semakin meluas di perusahaan-perusahaan. Kesadaran karyawan perusahaan Indonesia itu tercermin pula dalam hasil penilaian manajemen kinerja (performance management) karyawan Indonesia yang lebih baik dibandingkan karyawan di negara-negara Asia Pasifik (50,6% dibanding 50%). Contoh lain yang positif adalah kesadaran karyawan Indonesia bahwa pekerjaan mereka berdampak kepada pelanggan perusahaan. Apapun pekerjaan karyawan tentunya bermuara pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction), walaupun pekerjaan tersebut tidak langsung berhubungan dengan layanan pelanggan. Kepuasan pelanggan sejatinya bukanlah sematamata tanggung jawab bagian layanan pelanggan atau bagian pemasaran, tetapi
resultante kinerja dari setiap individu dalam perusahaan. Modal bagus lainnya juga tersedia jika memperhatikan indeks pemberdayaan karyawan. Selaras dengan kesadaran terhadap manajemen kinerja, mayoritas karyawan Indonesia tahu keahlian yang dibutuhkan untuk sukses dalam perusahaan mereka. Hal ini patut dibanggakan karena dengan demikian, mereka paham visi, misi, strategi, situasi persaingan, dan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan. Apa jadinya bila karyawan tidak mengetahui hal yang cukup standar itu? Pemahaman terhadap keahlian perlu dijawab oleh perusahaan dengan menyediakan program training dan pengembangan yang memadai. Akses terhadap program training, seperti yang diakui karyawan, masih sangat terbatas. Keterbatasan akses tersebut bisa karena banyak sebab, seperti perusahaan hanya menyediakan program training dengan materi terbatas, fasilitas training hanya untuk orang atau level tertentu, anggaran training yang terbatas, dan sebagainya. Sungguh naif jika terbatasnya akses terhadap training tersebut karena adanya diskriminasi di dalam perusahaan. Beberapa perusahaan, konon, masih memberi prioritas tinggi kepada orang-orang dari etnis atau agama tertentu. Akan sangat positif bagi kemajuan perusahaan apabila kedua hal di atas – kesadaran karyawan terhadap keahlian yang dibutuhkan dan tersedianya program training – dipertemukan. Bak kata pepatah, ini seperti pucuk dicinta ulam tiba. Hal yang sangat ditunggu-tunggu■
9
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
F O K U S
KERAGUAN TERHADAP
MANAJEMEN SENIOR
Karyawan menilai pemimpin senior di perusahaan Indonesia cukup baik dalam mempertahankan dan memotivasi karyawan. Namun, karyawan tidak begitu percaya dengan manajemen – termasuk kemampuan mereka dalam memimpin dan melakukan perubahan yang diperlukan. Bahkan, karyawan menilai, perilaku manajemen senior tidak konsisten dengan nilai-nilai inti perusahaan. Lho?
A
drianto, sebut saja begitu, adalah seorang manajer di sebuah bank yang telah didivestasi BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Usianya masih 34 tahun dan termasuk brilian untuk ukuran bank tersebut. Setahun lalu ia merasa sangat enjoy dengan posisinya yang sekarang. Kini ia mulai gelisah memperhatikan kompetensi para atasannya yang tergolong manajemen senior. “Saya mempertanyakan kompetensi mereka karena selalu lambat bertindak dan sering membuat keputusan yang keliru,” tukasnya kepada Human Capital. Ia pun merasa gerah dan mulai lemah semangat. “Beberapa kawan saya juga menghadapi masalah yang sama,” ia menimpali. Permasalahan yang dihadapi Adrianto dan teman-temannya itu agaknya bukan hanya masalah mereka. Sedemikian banyak kita melihat jabatan General Manager dan direksi perusahaan diisi oleh orang-orang yang dekat dengan pemilik, namun memiliki kualifikasi profesional yang tidak jelas. Pemandangan seperti ini umum terjadi di perusahaan-perusahaan keluarga dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Posisi manajemen senior telah menjadi tempat untuk menaruh orang-orang kepercayaan pemilik untuk menjaga kepentingan pemilik – dan kalau perlu menjadi tukang stempel pemilik saja. Faktor senioritas dan koneksi dengan pengambil keputusan di pemerintahan (sebagai pemegang saham) sering menjadi pertimbangan seseorang untuk dipromosikan di lingkungan BUMN. Pertimbangan semacam ini masih terus terjadi hingga kini, kendatipun ada upaya untuk melakukan sedikit perbaikan. Praktik kuno tersebut berdampak negatif terhadap banyak hal. Mulai dari kinerja perusahaan yang amburadul hingga meluasnya praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Di sisi lain, hal ini menghambat mobilitas vertikal tenaga-tenaga muda potensial yang sebenarnya bisa dihandalkan. Mereka pun patah semangat, dan kalau perlu pindah kerja. Seiring dengan promosi jabatan menjadi manajemen senior tersebut, gaji besar dan fasilitas komplit telah menanti. Hidup pun
Pasifik); 55% merasa pimpinan mereka dapat memotivasi karyawan dengan baik (15% lebih tinggi dari rata-rata Asia Pasifik). Kendati begitu, Lilis Halim tetap menyimpan kekhawatiran mengingat pentingnya hubungan penyelia dengan karyawan. “Rendahnya nilai kepuasan terhadap hubungan dengan atasan harus menjadi perhatian serius,” tegasnya. “Meskipun hubungan karyawan dengan pimpinan perusahaan secara keseluruhan positif, namun para penyelialah yang berinteraksi sehari-harinya dengan karyawan. Karenanya, untuk dapat mempertahankan karyawan terbaik dalam bursa kerja yang kompetitif ini, penyelia memegang peranan penting
menghormati atasan,” analisa Lilis. Para karyawan Indonesia menilai manajemen cukup jujur, namun minus dalam banyak hal. Misalnya, level kepercayaan antara manajemen senior dengan karyawan tergolong rendah. Karyawan menilai rendah komitmen manajemen senior untuk membuat perubahan yang diperlukan dalam perusahaan untuk bisa berkompetisi secara efektif. Lebih parah lagi, sepertiga karyawan memandang manajemen senior memiliki perilaku yang tidak konsisten dengan nilainilai perusahaan. Penilaian karyawan di atas setidaknya menggambarkan realita yang sebenarnya di dalam setiap perusahaan. Ada perasaan tidak puas dan sedikit ngedumel terhadap manajemen senior, karena satu dan lain hal. Rendahnya komitmen manajemen senior terhadap perubahan ikut berkontribusi terhadap rendahnya kepercayaan terhadap manajemen senior. Kebanyakan manajemen senior meminta karyawan untuk melakukan perubahan tanpa mereka menunjukkan perubahan yang diperlukan, terutama bila perubahan itu mengganggu privilese mereka sebagai bos. Sikap seperti ini jelas keliru, sebab perubahan yang paling efektif harus dimulai dari atas – ditunjukkan dengan tindakan nyata oleh para pimpinan. Sifat munafik para bos N. Krisbiyanto, GM HR Group PermataBank. “Tanggung jawab pimpinan jauh lebih besar” ini berujung pada penilaian bahwa manajemen senior dalam menjembatani kebijakan perusahaan memiliki perilaku yang tidak konsisten si karyawan lumayan baik. Karyawan Indodan harapan karyawan.” dengan nilai-nilai perusahaan. Pernyataan nesia menilai pemimpin mereka lebih baik Gambaran tentang manajemen senior ini, jika benar-benar demikian adanya, dari rata-rata Asia Pasifik dalam menarik, sebetulnya tidak terlalu positif. Dari banyak sungguh membahayakan keutuhan dan mempertahankan, dan memotivasi karnegara yang disurvei, hanya karyawan Thaikelangsungan perusahaan. Nilai-nilai yawan. Sebanyak 58% responden menilai land yang benar-benar menghormati manamerupakan pembentuk budaya perusahaan. pimpinan perusahaan melakukan tugasnya jemen senior. “Mungkin karena kebanyakan Ia ibarat perekat bagi seluruh komponen dengan baik dalam mempertahankan mereka beragama Budha sehingga sangat perusahaan. karyawan (20% lebih tinggi dari rata-rata Asia berubah bak siang dengan malam. Tetapi, apakah kinerja dan kompetensi mengikuti perubahan tersebut, inilah yang jadi soal. Survei WorkIndonesia 2004/2005 memberikan gambaran yang cukup jelas tentang persepsi karyawan terhadap para bosnya. Hanya 23% responden yang puas dengan penyelia (atasan) mereka – 18% di bawah rata-rata Asia Pasifik dan terendah untuk kawasan ini. Hanya 23% karyawan yang menyatakan bahwa para penyelia telah melaksanakan kebijakan dan prosedur dengan adil, dan hanya 30% yang merasa bahwa mereka diperlakukan dengan hormat oleh penyelia mereka. Namun, dari sisi kepemimpinan, persep-
10
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
F O K U S
PERSEPSI DI ASIA HAMPIR MERATA Persepsi karyawan di Asia relatif sama dengan persepsi karyawan Indonesia. Karyawan di Asia kurang puas terhadap kompensasi dan benefit, kepemimpinan, dan supervisi. Mereka paling puas dengan lingkungan kerja dan kepuasan dalam bekerja. Dari 10 kategori yang diukur, kompensasi dan benefit menempati posisi terendah (posisi ke-10) di seluruh negara yang disurvei. Posisi terendah ke-2 (posisi ke-9) umumnya faktor kepemimpinan dan efektivitas manajemen, dengan pengecualian di Indonesia, India, Jepang, Filipina, Australia, dan Singapura. Karyawan Indonesia memilih supervisi di posisi ke-9, dan menempatkan faktor kepemimpinan pada ranking ke-8. Hanya karyawan Thailand yang tidak merasa bermasalah soal kepemimpinan ini, dan menempatkannya pada ranking ke-4. Sebaliknya, karyawan Thailand menilai inovasi menjadi masalah terburuk kedua setelah kompensasi. Berbeda dengan banyak negara lain, karyawan di negara yang lebih maju industrinya – Jepang dan Korea Selatan – justru tidak merasa masalah dengan supervisi. Kedua negara itu bahkan merasa sangat puas dengan supervisi. Persepsi ini sangat cocok dengan sistem manajemen sumberdaya manusia perusahaan Jepang dan Korea Selatan yang menempatkan supervisor pada posisi yang sangat strategis. Karyawan Jepang merasa tidak puas dengan masalah training dan pengembangan di perusahaan mereka (ranking ke-9). Begitu pula dengan kerjasama tim (ranking 7) dan komunikasi (ranking 6). Kepuasan dalam bekerja menempati ranking 1 untuk hampir seluruh negara Asia Pasifik yang disurvei, dengan pengecualian di Cina, Filipina, dan Taiwan. Tingkat kepuasan bekerja di Cina hanya berada di ranking ke-5, dan karyawan Cina menempatkan faktor kerjasama tim sebagai hal yang paling memuaskan (ranking 1). Baik karyawan di Filipina maupun di Taiwan menjadikan lingkungan kerja sebagai hal yang paling memuaskan (ranking 1), dan menempatkan kepuasan bekerja dalam posisi ke-2 yang paling memuaskan. Membandingkan hasil antar negara harus dilakukan secara hati-hati. Ranking ini sifatnya relatif, tidak berarti kondisi di satu negara lebih baik atau lebih buruk dibandingkan negara lainnya. Karena, sekali lagi, ini adalah survei persepsi■
Memang masih jadi pertanyaan apakah penilaian karyawan tersebut benar-benar jujur, bukan karena faktor iri. N. Krisbiyanto, General Manager HR PermataBank, tak menampik kemungkinan adanya faktor iri dan tidak senang terhadap manajemen senior. “Itu sebuah hal yang normal saja,” ucapnya santai, sambil menambahkan, “Karyawan sering menilai pekerjaan dan tanggung jawab pimpinan sama saja dengan bawahan. Sebenarnya jauh sekali perbedaannya.” Sikap tertutup manajemen senior paling banyak dikeluhkan karyawan Indonesia. Hanya 19% karyawan responden yang merasa perusahaan telah berbagi informasi secara baik ke seluruh jajaran. Mayoritas karyawan justru merasa perusahaan tidak cukup transparan. Berkembangnya praktik Good Corporate Governance diharapkan bisa mengatasi masalah transparansi ini. Kekesalan terhadap manajemen senior bisa juga disebabkan perbedaan gaji dan fasilitas yang begitu jauh dengan para karyawan. Karyawan merasa pekerjaan manajemen senior terlalu enak, tidak setimpal dengan penghasilan mereka. “Padahal, yang kerja juga kita-kita ini,” ungkap seorang manajer yang minta tidak dituliskan namanya. Tidak seperti di Amerika
Sumber: WorkAsia 2004/2005 atau negara maju lainnya, di mana perbedaan gaji tertinggi dan terendah mungkin hanya 1:10-20, di Indonesia perbedaan tersebut bisa mencapai 1:100-an. Ada sebuah perusahaan asuransi milik Pertamina yang gaji karyawan terendahnya sekitar Rp 1 juta, sedangkan gaji bosnya bisa mencapai Rp 200 juta sebulan. Secara logika, perbedaan mencolok ini memang
sulit dijelaskan. Pertanyaannya, apakah kompetensi si bos sebegitu dahsyatnya sehingga gap gaji menganga sebesar itu? Temuan survei ini memang menunjukkan karyawan Indonesia paling tidak puas dengan kompensasi dan benefit yang mereka peroleh. Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Asia Pasifik, namun secara persentase Indonesia paling rendah (22,1%
BAGAIMANA PENELITIAN INI DILAKUKAN Penelitian tentang perilaku karyawan, menurut Watson Wyatt, sangat penting untuk kemajuan perusahaan dan imbal hasil (return) bagi pemegang saham. Konsultan global dengan pendapatan US$1,1 miliar itu menilai, perilaku karyawan yang positif akan meningkatkan 3 indikator kunci yang sangat vital, yaitu komitmen karyawan, keselarasan dalam bekerja, dan pemberdayaan karyawan. Pada akhirnya, hal itu berdampak pula pada imbal hasil bagi pemegang saham. Penelitian mengenai perilaku karyawan telah dilakukan perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Saham New York sejak belasan tahun lalu. Penelitian dimulai di Amerika sejak 1987 dengan nama WorkUSA, dan sampai saat ini survei telah dilakukan untuk yang ke-7 kalinya. Survei melibatkan 12.750 karyawan di semua level pekerjaan sehingga menghasilkan data statistik paling komprehensif tentang perilaku karyawan di Amerika. Dari Amerika, penelitian dikembangkan ke negara lain. Pertama adalah Canada yang dilakukan mulai 1991 (WorkCanada). Survei telah dilakukan untuk yang ke-5 kalinya dengan melibatkan 2.300 karyawan dari berbagai institusi sebagai responden. Selanjutnya, survei meluas ke Asia, pertama kali di Cina tahun 2003 (WorkChina). Sekitar 10.000 karyawan terpilih sebagai responden survei. Mereka berasal dari perusahaan domestik, perusahaan patungan, perusahaan asing, dan perwakilan perusahaan asing di lebih dari 20 industri. Berdasarkan pengalaman di atas, tahun 2004 Watson Wyatt mengembangkan penelitiannya untuk meneliti
perilaku karyawan perusahaan di Asia Pasifik dengan nama WorkAsia. Karyawan perusahaan yang dipilih sebagai responden adalah perusahaan multinasional, perusahaan domestik terkemuka (1 st-tier), dan perusahaan menengah-besar lainnya. Survei dilakukan di 11 negara (Australia, Jepang, Singapura, Indonesia, Taiwan, Korea Selatan, Cina, India, Malaysia, Filipina, dan Thailand) melibatkan 115.000 responden aktual dari 515 perusahaan. Mereka berasal dari berbagai sektor industri (18 industri). Jumlah keseluruhan karyawan 515 perusahaan itu 460.000 orang. Survei ini sendiri memang tidak didesain untuk seluruh karyawan perusahaan, tetapi masing-masing perusahaan memiliki keterwakilan yang baik. Sifat dari survei ini adalah sukarela sehingga tidak ada patokan jumlah karyawan yang harus mengisi formulir isian. “Semuanya diserahkan kepada kerelaan karyawan untuk mengirim jawabannya, meskipun sebagai pelaksana penelitian kami tetap memiliki target responden dari masingmasing perusahaan,” ungkap Lilis Halim CCP., GRP., Presiden Direktur PT Watson Wyatt Indonesia. Jumlah responden survei di Indonesia sekitar 8.000 karyawan dari 46 perusahaan yang mewakili 14 bidang industri. Indonesia menyumbang 9% dari populasi sample penelitian WorkAsia. Keikutsertaan perusahaan juga bersifat sukarela, tidak wajib. Manfaat utama bagi perusahaan yang ikut, mereka memperoleh kompilasi hasil survei yang bisa menjadi masukan berharga bagi manajemen. Lilis mengakui peserta penelitian umumnya perusahaan
menengah-besar, sehingga sangat sedikit responden dari perusahaan menengah ke bawah. Diharapkan persepsi karyawan perusahaan menengah ke bawah tentang isu-isu dalam survei ini juga tidak jauh berbeda. Ada 10 pokok bahasan seputar sumberdaya manusia dibahas dalam penelitian ini, mencakup kompensasi dan benefit, komunikasi, pelatihan dan pengembangan karyawan, kepuasan kerja, kepemimpinan dan efektivitas manajemen, supervisi, manajemen kinerja, lingkungan kerja, inovasi, dan kerjasama tim yang kemudian dikelompokkan dalam 3 indeks, yaitu komitmen, keselarasan kerja, dan pemberdayaan karyawan. Sebagian besar survei dilakukan dengan mengisi formulir melalui Internet. Hanya sedikit yang dilakukan berupa jawaban tertulis. Pengisian formulir secara manual disediakan karena tidak semua perusahaan menyediakan fasilitas Internet dan tidak semua karyawan terbiasa dengan e-mail. Marjin error penelitian kurang dari 1%, “Sehingga sangat valid,” tukas Lilis. Ia mengingatkan, survei karyawan ini hanya mengukur persepsi karyawan, dan tidak mengukur secara khusus (kualitatif dan kuantitatif) setiap pokok bahasan penelitian. Skor penilaian dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti budaya, kondisi ekonomi, Gross Domestic Product (GDP), dan lain-lain. Untuk memudahkan pelaporan, Watson Wyatt membagi hasil penelitian dalam 3 kategori: favorable, neutral, unfavorable■
11
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
F O K U S
TIGA FAKTOR PENTING FONDASI PERUSAHAAN
ini bermakna karyawan Indonesia tidak mau berkorban? “Belum tentu juga. Mungkin karena gajinya sudah kecil, mau dipotong bagaimana lagi?” ujar Saiful Doena setengah bertanya. Boleh jadi, karyawan perusahaan Indonesia merasa telah lama berkorban dengan mau menerima gaji kecil selama ini. Temuan dari hasil survei WorkIndonesia 2004/2005 ini adalah masukan yang berharga bagi perusahaan dalam mengelola sumberdaya manusia sebagai aset terpenting perusahaan. Seyogyanya temuan ini ditindaklanjuti dengan strategi dan langkah yang tepat. Watson Wyatt mengusulkan beberapa langkah aksi yang bisa diambil perusahaan
Sumber: WorkAsia 2004/2005 dibanding 30% di Asia Pasifik). Gaji yang mereka peroleh dianggap kurang memadai, termasuk bila dibandingkan dengan gaji jabatan serupa di perusahaan luar negeri. Lebih sakit lagi jika membandingkan kompensasi dan benefit yang diterima manajemen senior. Bagaimanapun tertutupnya soal gaji dan fasilitas yang diterima manajemen senior, tetap saja ada bocoran yang menjadi acuan mereka. Ketidakpuasan dalam soal kompensasi dan benefit ini tentunya kontradiktif dengan temuan lainnya bahwa karyawan puas dengan pekerjaan saat ini. Bekerja dan pindah kerja hanya soal kesempatan. Mereka bertahan di satu perusahaan boleh jadi karena belum ada tawaran yang lebih
baik. Barangkali itu sebabnya, karyawan tetap ingin pindah ke perusahaan lain bila kesempatan itu datang. Benar juga, karena puas belum tentu betah. Merasa gaji mereka tergolong kecil, karyawan Indonesia paling tidak rela gajinya dipotong untuk membantu perusahaan melewati masa-masa sulit. Hanya 15% karyawan rela dipotong gajinya menghadapi masa-masa sulit, sementara untuk level Asia Pasifik mencapai 30%. Uniknya, karyawan Indonesia sadar sepenuhnya bahwa kinerja perusahaan yang baik akan menjadikan gaji mereka lebih baik pula (87%). Mereka mau berbagi hasil di saat perusahaan jaya, namun berkeberatan berkorban di saat masa-masa sulit. Apakah
Saiful Doena, Direktur PT Gema Muda Perantama. “Gaji karyawan sudah kecil”
Indonesia untuk merespons hasil temuan tersebut. Pertama, tingkatkan kualitas supervisi dan kepemimpinan. Termasuk di antaranya memotivasi dan membimbing karyawan, memfasilitasi pengembangan karir dan profesional, membangun kepercayaan dengan tindakan nyata, dan mengimplementasikan kebijakan dan prosedur secara adil. Kedua, tingkatkan kerjasama lintas fungsi dan aliran informasi. Ketiga, tingkatkan komunikasi tentang bagaimana gaji pokok, bonus, dan promosi ditetapkan. Survei seharusnya menjadi dasar bagi perusahaan untuk melakukan perubahan yang diperlukan. Laporan riset Watson Wyatt 2002 berjudul Weathering the Storm, yang mengukur total imbal hasil terhadap pemegang saham selama 3 tahun (3-Year Total Return to Shareholders/TRS), menunjukkan perusahaan yang melakukan survei dan menindaklanjutinya dengan perubahan yang konstruktif memberikan TRS tertinggi, yakni 28%. TRS pada perusahaan yang melakukan survei namun tidak melakukan perubahan konstruktif hanya 14%, namun tetap lebih baik daripada TRS perusahaan yang sama sekali tidak melakukan survei sama sekali yang hanya 11%. Survei mampu mengidentifikasi secara cermat permasalahan yang dihadapi dan merekomendasikan solusi mengatasinya. Bila survei WorkIndonesia ini memberikan banyak masukan, maka saatnya bagi perusahaan untuk melakukan langkahlangkah perbaikan. Lebih baik merespons temuan tersebut secepatnya sebelum segalanya terlanjur parah. Anda ‘kan juga tidak ingin bukan?■
PT. BHP Billiton Indonesia KOMPENSASI TIDAK MENJAMIN KARYAWAN AKAN LOYAL Training & development, jenjang karir dan kompensasi & benefit menjadi faktor utama di BHP Billiton Indonesia untuk menekan turn over karyawan dan membuat karyawan loyal terhadap perusahaan.
P
aparan survei Watson Wyatt Indone sia akhir tahun 2004 terhadap sikap dan opini karyawan di Indonesia mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Muliawan Margadana. Menurut HR Manager PT. BHP Billiton Indonesia ini, Dari sisi metodologi, secara pribadi ia menilai bahwa survei sikap dan opini karyawan tersebut
sifatnya lebih subyektif. “Dalam pertanyaan yang diajukan, 3 komponen dari sikap yaitu pikiran, perasaan dan motorik tidak ada secara lengkap, sesuai kaidah survei psikologi ” ungkap Muliawan. Kemudian, lanjutnya, tidak dipaparkan pula white collar-nya mulai dari level mana sampai apa. Ini yang membuatnya beranggapan bahwa survei itu subyektif. “ Jenis responden ini untuk menjaga agar konsistensi harus dilihat dulu hingga hasil survei bisa valid dan reliable.” Contoh lain, dari hasil survei tersebut, menyatakan 85% karyawan merasa bangga bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja, 80% merasa nyaman bekerja untuk jangka waktu yang lama, tapi hanya 35% karyawan Indonesia yang bersedia tetap bekerja di perusahaan mereka walaupun gaji, jabatan dan jenjang karir lebih menarik yang ditawarkan di perusahaan lain. “Buat saya pribadi, ini kontradiktif. Bagaimana bisa
karyawan yang puas dan bangga di tempat mereka bekerja tapi hanya 35% yang loyal kepada perusahaan tersebut,” katanya balik bertanya. Ia juga menanggapi hasil survei yang menyebutkan bahwa dua dari tiga karyawan Indonesia menyatakan akan pindah ke perusahaan lain bahkan bila tawaran jabatan, bidang pekerjaan dan kompensasinya sama dengan perusahaan yang sekarang. Diakuinya, biasanya untuk karyawan yang masih muda, mereka tidak terlalu menekankan ke sisi gaji atau kompensasi. Karir semata, merupakan hal utama bagi karyawan yang masih muda. Sementara mereka yang berusia 35-40 tahun, lebih mementingkan karir dan penghasilan. Usia 45 tahun ke atas, selain dua hal tersebut, memikirkan juga tentang dana pensiun. “Sayangnya di Indonesia, masih banyak orang yang menilai besarnya pendapatan per bulan, bukan per tahun.
Mereka hanya melihat cash income semata, tidak menilai keseluruhan benefits yang diterima . Mereka juga belum banyak yang memikirkan tentang dana pensiun.” BHP Billiton Indonesia sendiri pernah melakukan Job Satisfaction Survei terhadap karyawan beberapa tahun yang lalu. dari survei itu diketahui bahwa gaji bukanlah hal yang utama. Justru training dan pengembangan yang dipilih karyawan perusahaan tersebut menempati urutan pertama. Sementara urutan kedua adalah kejelasan karir atau career path disusul kompensasi dan benefit. “Bicara puas terhadap gaji, pada umumnya pasti setiap karyawan dengan gaji besar sekalipun mengatakan hal itu bukanlah satu-satunya komponen untuk menjamin karyawan bisa tetap loyal dengan perusahaan.” Menurut Muliawan, survei tersebut dilakukan sebagai pengembangan karyawan dan umpan balik dari pihak HRD apakah pro-
12
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
F O K U S gram pengembangan karyawan yang dilakukan pihak manajemen berjalan dengan sesuai dan baik atau tidak. “Kebetulan waktu itu kami akan membuka operasi, makanya kami lakukan survei tersebut,” ungkap Muliawan yang mengaku bekerjasama dengan lembaga independen untuk survei tersebut serta menelan biaya sekitar US$2500. Pentingnya training dan pengembangan, ditambahkan Muliawan, karena karyawan merupakan aset utama perusahaan. Program training dan pengembangan yang dilakukan BHP Billiton Indonesia adalah Graduate Development Program bagi fresh graduate / high potential employee yang sifatnya on the job training selama 2 tahun, international mentoring program, yaitu program mengirimkan karyawan High Professionals ke luar negeri selama 3 – 6 bulan untuk belajar di operasi tambang BHPBilliton lainnya yang sudah lebih matang . Ada pula Supervisory Training Program , program khusus para supervisor atau penyelia. “Program ini diberikan kepada para penyelia, karena tidak semua penyelia bisa menjalankan fungsinya dengan baik dan sesuai. Mungkin ini yang menyebabkan hasil survei Watson Wyatt tersebut menyatakan bahwa hanya 23% responden puas dengan penyelia mereka,” ujarnya kembali. Selama dua tahun, para penyelia dibekali
Muliawan Margadana, HR Manager PT. BHP Billiton Indonesia pengetahuan soft skill yang harus mereka miliki. Mereka diajarkan bagaimana cara menjadi decision maker, melakukan couching and konseling dan sebagainya. Sehingga bila terjadi perselisihan dengan karyawan sehingga penyelia bisa mengatasi dengan baik. Mereka juga dapat dan wajib melakukan konsultasi dengan HRD namun
tanggung jawab utama tetap di tangan penyelia masing-masing Tim HRD berperan sebagai policy maker, proffesional advisor, regulator sedangkan penyelia sebagai “polisi”. Dari sisi jenjang karir, Muliawan mengaku BHP Billiton Indonesia menerapkan rencana suksesi dengan cara mendeteksi
setiap tahun karyawan yang memiliki tergolong high potential, high professional dan young talent. Setiap manajer idealnya perlu memiliki 3 suksesor yang ready now, ready in 1 year dan ready in 2 year. “Kami juga berikan tantangan baru bagi karyawan, secondment, managing specific project kami berikan kesempatan untuk pindah ke departemen lain sehingga karyawan tidak jenuh. Kalau kami hanya berkutat di seputar kompensasi dan benefit, bisa jadi karyawannya malah lari ke kompetiter.” Strategi lain untuk menghindari karyawannya “kabur” ke kompetitor, pihak manajemen perlu mengetahui market survey di bidang kompensasi dan benefit. Seperti apa yang menjadi benefit bagi jabatan tertentu, apakah perlu diberikan tunjangan pembelian mobil, kepemilikan rumah, kesehatan, tunjangan pensiun, tunjangan cuti dll . Ditegaskan lagi, komunikasi antara atasan dengan bawahan juga tak kalah penting. Salah satunya melalui safety tools box meeting yang dilakukan setiap hari di lapangan , atau mingguan di kantor dimana para supervisor sebelumnya continous quality improvement untuk menekan jumlah kecelakaan kerja sesuai dengan motto kami “Safety first, production will follow”,” ia menukaskan■
Tika Bisono SENIOR PARTNER PT. SOLUSI DUA SISI K eadaan ekonomi yang semakin sulit tercermin pula dari semakin bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah tenaga kerja yang sering datang ke bursa-bursa kerja yang marak diselenggarakan. Namun demikian masih banyak juga tenaga kerja yang telah memiliki pekerjaan tetapi tetap ingin berpindah kerja meski dengan berbagai alasan yang berbeda. Salah satu orang yang sering berpindah kerja adalah Tika Bisono. Untuk mengetahui apa sebenarnya latar belakang wanita sukses ini melakukan semua hal tersebut, berikut tanya jawab dengan Tika:
1. Apa alasan Anda sering berpindah kerja? Itu bukannya tanpa alasan, namun merupakan salah satu career planning strategy saya. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak ingin menjadi seorang pernsiunan. Misalnya suatu saat ia ingin mempunyai usaha sendiri, strategi dia adalah terus pindah, jadi tidak sampai belasan tahun untuk mempelajari banyak hal. Jadi strategi itu ia terapkan, pada akhirnya ia akan mempunyai karir yang tinggi. Begitu semua selesai, semua pengalaman akan dia terapkan di perusahaannya sendiri. 2. Apa sejak dulu pekerjaan Anda selalu dalam jalur yang sama?
3. Apa tidak ada complain dari perusahaan yang Anda tinggalkan? Selama ini tidak ada. Makanya kita jangan lupa dengan kontribusi. Kita jangan berwawasan perusahaan yang berinvestasi kepada kita, tapi juga what can you give to the company. Saya selalu berpikir untuk memberikan big ideas untuk perusahaan. Kalau ide itu belum jadi, itu tidak apa-apa. Tapi kita bisa merasa during our time sebuah ide besar itu bisa digulirkan. Jadi saat saya tinggalkan, orang akan lihat itu, we are not just an ordinary employee. Itu yang selalu saya kejar. Jadi saya tidak pernah pindah kerja hanya karena iming-iming gaji yang besar. 4. Bagaimana pendapat Anda tentang alasan gaji dan jabatan yang digunakan untuk berpindah kerja? Menurut saya falsafah karirnya itu tidak benar. Falsafah karir itu sangat penting bagi mereka yang sedang meniti karir.
Saya selalu melihat semua pekerjaan itu ada aspek psikologinya. Semua hal yang saya geluti selalu baru tetapi tidak kehilangan hubungan dengan psikologi, itu merupakan syarat utama saya. Saya merencanakan ini sebenarnya sejak lulus S1, tahun 1985. Rencana saya adalah saat itu saya masih berusia 24 tahun, saya menghitung enam tahun, hingga usia 30 tahun itu adalah proses belajar di perusahaan sambil berjualan kompetensi. Dan
perusahaan yang saya masuki itu harus MNC untuk mengejar relasi di tingkat internasional juga. Usia 30-40 itu harus yang mulai naik, start doing-doing something. Harusnya usia 40-50 itu adalah masa usaha sendiri. Nah baru sekarang hal itu terwujud, so far in place meski agak mulur waktunya. Yang penting grand plan berjalan. Nah ini selalu saya beritahu kepada teman-teman muda, make a vision for your own career.
5. Seringnya orang berpindah kerja, mengakibatkan ia mendapat julukan ‘kutu loncat’. Apa keuntungan dan kerugian yang diakibatkan dengan julukan ‘kutu loncat’? Tergantung ‘kutu loncat’ yang seperti apa dia. Jadi sebagai masukan bagi mereka yang baru bekerja. Ada beberapa tipe misalnya tipe yang bermain aman, dia tidak akan kemana-mana, itu juga berarti dia
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
13
14
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
F O K U S berniat ingin menjadi pensiunan dari situ, tidak ada peningkatan karir juga tidak apaapa. Ada juga tipe yang di satu tempat tapi ia harus mencapai level CEO atau top management. Ada juga tipe yang tidak keduaduanya, jadi mau diapain aja ia ikut saja. Susah kalau kita kerja seperti itu karena hidup itu kan pendek. Ini sangat merugikan kita sendiri. Jadi jalur pekerjaan itu salah satu alat Bantu untuk kita bisa planning di jalur pribadi. Misalnya rencana kearah memilih pasangan hidup, keluarga, masa depan anak. Itu butuh suatu perencanaan yang matang. 6. Bagaimana jika perusahaan Anda telah melakukan investasi manusia yang besar, namun setelah itu harus kehilangan orang tersebut? Mungkin kualat kali ya. Tapi in my case, bagaimana mereka memandang seseorang, itulah pandangan mereka terhadap perusahaan saya. Jadi saya anggap mereka adalah
public relations agent dari perusahaan saya. So if they are good, seperti itulah juga pandangan terhadap perusahaan saya. Jadi kalau ada yang keluar dari sini, saya memandang mereka sebagai my PR agents. Artinya investasi itu tidak akan kemanamana, tidak akan hilang. Saya tidak ingin mereka do things like I did, they should do things differently than I did. Buat saya second best is not ok, it’s got to be the best, it’s got to be number one. 7. Apakah fenomena karyawan kontrak menjadi salah satu akibat seringnya karyawan berpindah kerja? Ini seperti buah simalakama, kalau kita melihat global ekonomi memang sedang tidak menyenangkan. Dampaknya terhadap uang perusahaan itu sangat besar. Untuk memilih terus tutup juga tidak mungkin, jadi yang harus dilakukan adalah saling mensiasati. Salah satunya adalah meminimalisir permanen dan memaksimalisir kontraktor atau outsource. Tapi ada juga yang tidak suka
kontraktor. Di Indonesia itu masih sangat kekurangan competitiveness. Makanya jangan pernah berpikir cari kerja itu gampang 8. Mana yang lebih baik, menetap di perusahaan atau terus berpindah? Sebenarnya semua tergantung pada orientasi mereka bekerja. Ada tiga motivasi, pertama cari uang, tidak peduli hal lain kecuali setiap bulan kita dapat uang. Kedua sosialisasi, mereka bekerja untuk sekedar cari teman, dia tidak akan punya peningkatan, bahkan uang pun mereka tidak peduli. Ketiga yang paling benar yaitu untuk aktualisasi diri. Ini yang akan membuat semua yang ia lakukan menjadi bermotif. Berinisiatif, naik pangkat, menjadi center of attention selalu dengan motif. 9. Menurut survey yang dilakukan Watson Wyatt, bahwa loyalitas dan komitmen karyawan Indonesia itu sangat rendah. Menurut Anda, bagaimana dampaknya terhadap perusahaan?
Pengaruhnya cukup besar. Misalnya ada pembantu di rumah, kalau harus terus mengajarkan lagi pembantu baru kan tidak mengenakkan. Tapi juga di Indonesia kebijakan perusahaan itu seringkali tidak jelas. Seperti sistem kompensasi dan benefit kita masih belum layak. Jika hal-hal yang mendasari perkembangan itu tidak terpenuhi, bagaimana sebuah perusahaan dapat mengharapkan karyawan itu memberikan prestasi yang memuaskan. Corporate values itu sangat menentukan apakah seorang karyawan itu akan menetap atau pergi. 10. Apa yang harus dilakukan perusahaan untuk dapat mempertahankan karyawannya? Take and givenya harus benar. Orang akan senang jika jenjang pendidikannya, pengalaman di belakangnya dihargai. Jika ini belum terjadi, yang penting good will perusahaan sudah dapat dirasakan■
Bambang Cahyono MARKETING MANAGER PT. FAJAR DATA UTAMA K etika orang banyak tengah sulit mencari kerja, ada beberapa orang yang tergolong beruntung. Dikatakan beruntung karena mereka dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan. Terbukti dengan seringnya mereka berpindah tempat kerja. Cukup mencengangkan untuk kondisi Indonesia seperti sekarang. Bambang Cahyono, Marketing Manager PT. Fajar Data Utama, juga sempat sering berpindah kerja. Pada awalnya ia bekerja sebagai front office di sebuah club, namun
dengan alasan mencari penghasilan dan jabatan yang lebih baik, ia lalu beralih sebagai supervisor di sebuah hotel ternama di Jakarta. Dan dengan alasan yang berbeda ia mencoba bidang baru, yaitu marketing sebuah Developer perumahan. Diakui Bambang, meski sering berpindah kerja, semua bidang yang ia geluti memiliki kemiripan. “Semua pekerjaan yang saya geluti bergerak di bidang hospital-
Aryanto Nugroho ASSOCIATE ACCOUNT DIRECTOR LEO BURNETT K emudahan mencari kerja mungkin bisa saja terjadi bagi mereka yang memiliki keahlian. Dengan keahliannya, orang bisa saja memiliki posisi tawar yang membuat perusahaan akan terus mengejarnya. Beruntunglah orang-orang yang memiliki keahlian tersebut. Setelah berpindah kerja, ternyata Aryanto Nugroho, Associate Account Director Leo Burnett, tetap kembali ke perusahaan tempatnya dulu bekerja. Ketika berpindah kerja, diakui Arya latar belakangnya adalah faktor tantangan meski faktor gaji juga menjadi pertimbangan. “Saya melihat
tantangannya, meski gaji dan jabatan juga harus dipertimbangkan,” jelasnya. “Saya harus berpikir apa yang saya harapkan dan kontribusi apa yang bisa saya berikan terhadap perusahaan,” tambahnya lagi. Dikatakan Arya, dalam bekerja itu harus ada passion, tidak hanya melulu uang. Selain itu ketika pindah harus dengan cara yang baik. Sepertinya julukan ‘kutu loncat’ sangat dihindari oleh Arya. Menurutnya ‘kutu loncat’ itu sangat merugikan, karena loyalitasnya dipertanyakan. “Sedangkan loyalitas bagi perusahaan itu sangat penting,” ujarnya mengakhiri■
ity,” ujarnya. “Jadi semua pekerjaan tersebut membuat saya harus berhubungan langsung dengan konsumen,” tambahnya lagi. Pengalaman yang ia peroleh selama bekerja, kini ia jadikan sebagai pegangan untuk memulai usaha barunya yang bergerak di bidang Communication Data Service. Meski ia mengaku pengalaman yang diperolehnya belum cukup, tetapi dengan alasan mengalami kebosanan dan lelah bekerja pada orang lain, ia yakin akan mampu membesarkan usahanya tersebut■
15
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i l a s
REKAMAN SAJIAN
“FOKUS” HC 2004
Tahun 2004 sudah kita lewati, berganti dengan tahun 2005. Untuk mengingat sekilas perjalanan Human Capital sepanjang 2004, berikut kami tampilkan ringkasan sajian rubrik Fokus sejak edisi perdana (Maret 2004) hingga No. 9 (Desember 2004).
HC 01 (MARET 2004): SURVEI DAN TREN GAJI 2004 A pa yang membuat seseorang berlomba bekerja di perusahaan besar? Alasan pertama pasti karena gajinya gede dan fasilitasnya oke. Menyusul seabreg alasan lainnya, seperti jenjang karir yang lebih jelas, fasilitas trainingnya bagus, lingkungan kerjanya enak, dan seterusnya. Tapi, tunggu dulu. Jangan berharap orang yang berkemampuan rata-rata atau paspasan bisa mendapatkan posisi di perusahaan besar dan menikmati gaji dan fasilitas yang oke itu. Sebab, gaji dan fasilitas tersebut hanya bisa dinikmati oleh orang-orang terbaik saja. Mereka yang tergolong mediocre harus mencari pekerjaan di perusahaan lain. Begitulah. Gaji dan fasilitas (compensation and benefit) merupakan alat perusahaan untuk mendapatkan dan mempertahankan talenta terbaik. Selain itu, gaji dan fasilitas penting untuk meningkatkan kinerja karyawan. Perusahaan yang hebat selalu mengaitkan gaji dan fasilitas dengan kinerja karyawan (link rewards to performance). Makin tinggi kinerja karyawan, semakin tinggi penghasilannya sekaligus makin besar peluang untuk dipromosikan. Begitu pula sebaliknya. Pentingnya sistem kompensasi dan benefit (kombinasi keduanya disebut remunerasi) menyebabkan perusahaan besar selalu menjaga agar sistem remunerasi yang mereka terapkan bersaing dengan perusahaan besar lainnya, baik di industri sejenis maupun di industri berbeda. Maklum, persaingan untuk jabatan tertentu tidak hanya terjadi antara jabatan yang sama di industri sejenis, tetapi juga dengan perusahaan di industri berbeda. Jangan sampai perusahaan mereka menawarkan remunerasi yang kalah bersaing dengan perusahaan lain. Kalau itu terjadi, karyawan atau eksekutif yang begitu berharga buat perusahaan bisa hengkang
ke perusahaan lain. Sehingga menyebabkan kinerja perusahaan terancam. Supaya selalu bisa bersaing, perusahaan besar menggunakan hasil survei gaji (salary survey) sebagai referensi, baik yang dilaksanakan sendiri oleh perusahaan maupun dilaksanakan oleh konsultan independen terkemuka macam Watson Wyatt, Hey Management, dan Hewitt Associates. Dari survei gaji tersebut perusahaan bisa mengetahui perkembangan remunerasi di pasar, dan menjadikannya sebagai dasar dalam penyusunan sistem remunerasi. PT Astra International Tbk., holding company dari Grup Astra, melakukan survei gaji sendiri setiap 2 tahun sekali, di samping juga menggunakan hasil survei gaji dari Watson Wyatt. Menurut Julius Aslan, Chief HR Astra, perusahaannya melakukan survei gaji dengan partisipan sejumlah anak perusahaan Grup Astra dan sekitar 10 perusahaan non-Astra. Kesediaan perusahaan-perusahaan non-Astra ikut serta dalam survei gaji yang dilakukan Astra tersebut karena hasil survei ini juga akan dibagikan kepada mereka. Namun akhir-akhir ini, Julius mengaku, jumlah partisipan non-Astra yang mau ikut survei cenderung menurun. “Kami tidak tahu kenapa terjadi penurunan minat tersebut,” tukasnya. Karena pengolahan hasil survei gaji itu juga tidak mudah sehingga menyita waktu dan tenaga, rencananya mulai 2004 Grup Astra sepenuhnya mengandalkan hasil survei dari konsultan independen – di mana selama ini Astra juga telah ikut serta. Watson Wyatt adalah salah satu perusahaan konsultan yang secara rutin melakukan survei gaji di Indonesia. Setiap tahunnya, tutur Presiden Direktur Watson Wyatt Indonesia Lilis Halim CCP., GRP., perusahaannya melakukan survei gaji di berbagai industri utama 3 kali, yaitu bulan
April, Juli, dan Oktober. Biasanya perusahaan menaikkan gaji bulan Januari, namun ada juga yang menaikkan gaji pada bulan April dan Juli. Sehingga kenaikan gaji pada bulanbulan itu terekam oleh survei. Sedangkan survei pada bulan Oktober digunakan untuk memperbarui data gaji sepanjang tahun. GAMBARAN MENARIK Survei gaji 2003 yang dilakukan Watson Wyatt memberikan banyak gambaran menarik. Pertama, pertumbuhan gaji di berbagai level jabatan relatif stabil beberapa tahun terakhir. Kenaikan gaji terjadi karena perusahaan harus melakukan penyesuaian akibat kenaikan inflasi dan biaya-biaya (regular increase). Secara rata-rata di semua industri, kenaikan gaji 2003 dibandingkan 2002, berkisar antara 9,8% hingga 17,7%. Kedua, industri yang mencatat kenaikan gaji paling tinggi 2003 adalah bidang distribusi (17,7%) disusul oleh industri teknologi informasi (TI)/telekomunikasi 16,3%, asuransi umum 15,27%, asuransi jiwa 14,9%, farmasi 14,08%, dan lainnya. Tingginya kenaikan gaji usaha distribusi berkaitan dengan kinerja bisnis produk konsumer yang mencatat pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan industri lainnya. Waktu awal krisis ekonomi, tingkat
remunerasi usaha distribusi sempat anjlok, namun pemulihannya cukup cepat. Ketiga, kenaikan gaji level manajemen di tahun-tahun terakhir lebih tinggi daripada level non-manajemen. Sebelumnya, kenaikan gaji level manajemen biasanya lebih rendah dari level non-manajemen. Hal ini, menurut Lilis, karena permintaan terhadap manajemen atas lebih tinggi dibandingkan level di bawahnya. Keempat, perbedaan gaji antara perusahaan besar nasional dan perusahaan asing untuk level yang sama semakin mengecil. Namun, untuk level bawah, gaji karyawan perusahaan asing lebih tinggi 2030% dari gaji level yang sama di perusahaan nasional. Lilis menilai hal ini terkait dengan standar gaji awal perusahaan asing yang lebih tinggi sehingga kalaupun ada kenaikan UMP (Upah Minimum Propinsi) merek tetap tenang-tenang saja. Kelima, tren kenaikan gaji 2004 cenderung melambat, kendatipun gaji tetap naik. Laju pertumbuhan gaji diperkirakan 9,7% hingga 14,95%, tergantung industrinya. Kenaikan terbesar diperkirakan terjadi pada industri TI/telekomunikasi sebesar 14,95%, disusul industri konsumer (13,96%), bank lokal (12,32%), dan seterusnya■
16
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i l a s
HC 02 ● 2004: PRO-KONTRA OUTSOURCING P
raktik outsourcing sebetulnya bukan hal baru di dunia. Sebelum Perang Dunia II, Kerajaan Inggris telah menerapkan hal ini dengan merekrut serdadu Gurkha yang terkenal dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950, Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk keperluan perang. Praktik outsourcing kemudian berkembang luas di perusahaan multinasional sejalan dengan perlunya mereka beroperasi secara efisien dan fokus terhadap bisnis mereka. Perancis kini merupakan negara yang paling berkembang dalam menerapkan outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis, dalam berbagai skala, menerapkan praktik outsourcing dalam menjalankan usaha. Ada banyak hal yang mendorong berkembangnya kegiatan outsourcing. Alasan utama, tentu saja, untuk efisiensi usaha. Pakar manajemen Charles T. Fote, misalnya, mengatakan untuk bisa efisien, perusahaan jangan mengerjakan semua hal sendiri. Selain lebih efisien, praktik outsourcing juga mengurangi panjang dan rumitnya mata rantai kendali manajemen usaha. Tanpa outsourcing, perusahaan akan semakin tambun sehingga tidak lincah bergerak. Di sisi lain, perusahaan juga harus semakin fokus pada bidang-bidang yang dinilainya strategis, seperti dikatakan pakar manajemen Al Ries. Fokus pada bidang keahlian utamanya dan tidak lari kemanamana, termasuk mengurusi hal-hal tetek bengek. Kecuali karena beberapa alasan di atas, tidak dapat dipungkiri, ada juga perusahaan multinasional yang menerapkan outsourcing dalam upaya menekan biaya buruh atau tenaga kerja. Praktik global outsourcing yang terjadi pada industri sepatu maupun industri TPT (tekstil dan produk tekstil) – dua industri yang sering disebut sebagai sunset industry karena selalu mencari
lokasi dengan biaya produksi termurah – tergolong pada kategori di atas. Merekmerek global itu selalu mencari negaranegara dengan biaya buruh murah untuk basis produksi. Produk akhirnya dijual dengan dolar, yang harganya bisa 10 kali lipat dari harga pembelian merek tersebut dari para produsen. Sementara, gaji tenaga kerja tetap dibayar mengikuti standar minimum macam UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimum Propinsi). Namun demikian, melimpahnya pasokan tenaga kerja dibandingkan lapangan
kerja yang tersedia, menyebabkan para tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain, selain menerima fakta tersebut. Itu pulalah yang terjadi di Indonesia, saat pengangguran makin menjadi-jadi pasca krisis ekonomi 1997. Dewasa ini, tingkat pengangguran telah mencapai 44 juta orang lebih akibat lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan terus bertambahnya tenaga kerja baru. Artinya, rata-rata di setiap rumah tangga, yang bekerja penuh hanya satu orang saja. Sisanya menganggur. Hukum ekonomi menyebut fakta ini sebagai seller’s market, di mana pasokan buruh terlalu besar dibandingkan permintaan, sehingga harga buruh cenderung tertekan. Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, outsourcing sangat membantu mengurangi pengangguran tersebut. Para pekerja bisa mendapatkan pekerjaan, meskipun dalam
bentuk kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu (PKWT/Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Upah yang diterima mungkin lebih rendah dan tanpa jaminan-jaminan tambahan lain seperti yang diperoleh pegawai tetap. Pilihan bagi pencari kerja adalah, menerima semua kondisi ini atau tetap menjadi pengangguran. “Saya kira, pilihan pertama jauh lebih baik,” tukas Kemalsjah Siregar, Managing Partner Firma Hukum Kemalsjah Chemby & Avriline. Dengan bekerja, lanjutnya, karyawan bisa bersosialisasi dengan baik dan mengasah keterampilannya. Jika ada lowongan yang sesuai dan bisa memberikan gaji serta fasilitas yang diharapkan, ia bisa melamar untuk mengisi lowongan tersebut. Daripada jadi pengangguran dan tinggal di rumah, jelas ini sebuah pilihan yang jauh lebih baik. “Manfaat utama outsourcing akan sangat dirasakan oleh para lulusan baru yang kesulitan untuk memasuki dunia kerja,” kata Ismaila Tyastanto, Managing Director PT HITSS Sumberdaya Nusantara Konsultan, sebuah perusahaan jasa outsourcing. Melalui perusahaan jasa outsourcing, mereka bisa bekerja di perusahaan-perusahaan besar, meskipun bukan menjadi karyawan perusahaan besar itu. Dalam situasi normal, peluang bekerja di perusahaan besar itu belum tentu tersedia. Apalagi, setelah krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan kini sangat berhatihati menambah karyawan. Mereka ingin seramping mungkin dan terhindar dari kompleksitas aturan ketenagakerjaan. Konsekuensi dari penambahan karyawan permanen tidak hanya menyangkut gaji dan fasilitas, tetapi juga dana pensiun dan jenjang karir. Oleh sebab itu, mereka menyiasati kebutuhan tenaga kerja akibat tuntutan perkembangan usaha diisi melalui outsourcing. Tidak semua kalangan internal perusahaan menerima praktik outsourcing ini dengan tangan terbuka. Serikat Pekerja (SP) dan karyawan tetap, misalnya, cenderung
menolak gagasan outsourcing ini. Mereka khawatir praktik ini akan mengancam posisi karyawan tetap dan mengacaukan sistem remunerasi perusahaan. “Karyawan tetap merasa was-was, setiap saat mereka bisa saja diganti karyawan outsourcing atau bagiannya di-outsourcing ke luar,” ujar seorang karyawan senior sebuah bank yang enggan disebutkan namanya. Tentang tuduhan praktik outsourcing sebagai bentuk perbudakan baru atau modern? “Itu jelas tidak berdasar,” tukas Iftida Yasar, Presiden Direktur PT Perdana Perkasa Elastindo (Persaels), salah satu perusahaan outsourcing terkemuka. Meski mengaku ada juga perusahaan outsourcing yang nakal, mereka menilai tuduhan itu muncul dari orang yang tidak paham tentang manajemen bisnis. Sebab, sebelum bekerja, pekerja maupun perusahaan telah membuat kesepakatan yang jelas dan saling menguntungkan. “Lagi pula, sebagian besar perusahaan jasa outsourcing dimiliki atau dikelola oleh orang-orang yang telah lama bergerak di bidang SDM sehingga tidak mungkin mereka semena-menanya,” ungkap mereka. Sejatinya, Indonesia belum memiliki Undang-Undang atau Peraturan Hukum yang secara jelas mewadahi kegiatan outsourcing. Menurut Purbadi Hardjoprajitno, SH., dari Firma Hukum Purbadi & Associates, satu-satunya referensi hukum tentang outsourcing adalah UU N0. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 64,65, dan 66. UU itu tidak menyebutkan outsourcing, melainkan hanya tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. Dengan demikian, sebuah perusahaan bisa memborongkan sebagian pekerjaan atau pekerjaan tertentu kepada perusahaan pemborong pekerjaan. Atau menyerahkan tenaga pengelola kepada perusahaan jasa penyedia tenaga kerja. Meski tidak letterlijk menyebut outsourcing, kedua hal itu kiranya bermakna outsourcing■
HC 03 ● 2004: RAHASIA MEMBANGUN BUDAYA KORPORAT K onsep budaya perusahaan mulai populer dalam literatur manajemen pada akhir 70-an dan awal 80-an. Adalah Dean dan Kennedy yang secara khusus mempopulerkan istilah budaya perusahaan tahun 1982, sebagai sebuah “cara kita mengerjakan segala sesuatu…sebuah sistem aturan informal yang menjelaskan bagaimana orang berperilaku sepanjang waktu.”
Dalam buku The Corporate Culture Audit, budaya didefinisikan sebagai satu kumpulan nilai (value) dan keyakinan (belief) bersama yang bisa mendukung dan tidak mendukung dalam lingkungan tertentu. Dengan berjalannya waktu, keyakinan ini mempengaruhi praktik-praktik organisasi dan asumsi-asumsi yang mengarahkan pekerjaan. Sebagai contoh, keyakinan bersama dari sebuah perusahaan menen-
tukan perilaku mana yang dianggap sesuai dan mana yang tidak. Keyakinan juga mengoreksi cara pandang orang yang serba cuek terhadap dunia mereka dan respons terhadap hal itu. Umpamanya, keyakinan pengembangan orang berdasarkan pengalaman dalam perusahaan akan mempengaruhi pandangan mereka tentang bagaimana cara menjadi terdepan dalam organisasi. Satu budaya bisa
saja memiliki keyakinan bahwa kerjasama tim adalah kunci sukses, sementara perusahaan lain memiliki keyakinan hanya orang-orang yang fokus terhadap kontribusi independen yang bisa mencapai posisi puncak. Orang yang ambisius dalam kedua budaya itu akan menunjukkan sejumlah perilaku yang sangat beda berdasarkan keyakinan tersebut. Budaya, oleh sebab itu, meliputi nilai-
17
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i l a s atkan kekuatan unik dari organisasi. Dengan perkataan lain, dengan memahami budaya, manajemen bisa memanfaatkannya sebagai sebuah sumber keunggulan kompetitif. Ia bisa pula melaksanakan perubahan tanpa harus menciptakan resistensi yang tidak perlu. Bahkan, kekuatan budaya bisa dipergunakan untuk merubah budaya bila diperlukan. Di era yang menempatkan perubahan dan kecepatan adalah faktor kunci untuk mempertahankan keunggulan kompetitif, memahami budaya korporat akan menyediakan dasar akselerasi perubahan di seluruh bagian organisasi. Sebagai perangkat manajemen bisnis yang hebat, budaya yang ada di setiap perusahaan perlu diaudit. Menurut penulis buku The Corporate Culture Audit, ada tiga cara mendasar dalam memahami pentingnya budaya bagi manajemen untuk meningkatkan kemampuan menerapkan perubahan. Ketiga hal ini menegaskan perlunya audit budaya dilakukan. nilai, keyakinan, dan norma-norma yang bermanifestasi dalam bentuk kebiasaan anggota organisasi dalam menyelesaikan pekerjaan, berhubungan dengan orang lain, memecahkan masalah yang dihadapi, dan menerjemahkan lingkungan sosial mereka. Tidak dapat dipungkiri, budaya sangat mempengaruhi berbagai aspek korporasi, seperti strategi, produktifitas, efisiensi, inovasi, pelatihan, motivasi, dan kemampuan beradaptasi. Bila seorang pemimpin memahami budaya sebuah perusahaan, ia bisa menyusun strategi untuk memanfa-
HINDARI MENIMBULKAN RESISTENSI TAK PERLU TERHADAP PERUBAHAN Kendati kebanyakan gaya dan keahlian manajemen bisa diterapkan di berbagai organisasi berbeda, tidak seluruh keahlian itu bisa diterapkan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, atau bahkan dari satu divisi perusahaan ke divisi lainnya. Gaya dan keahlian manajemen harus disesuaikan dengan kondisi-kondisi unik dari budaya masing-masing. Jika tidak, pimpinan akan mendapatkan resistensi bila ingin melakukan perubahan atau menggunakan pende-
katan yang tidak sesuai dengan budaya korporat. Itu sebabnya, audit budaya korporat sangat diperlukan. HINDARI MERUSAK SUMBER KEBERHASILAN ANDA Hindari untuk merusak nilai-nilai budaya terpenting yang selama ini membuat perusahaan berhasil. Misalnya, seorang CEO baru ingin mendorong inovasi dengan memberikan penghargaan kepada individu di depan publik. Padahal, selama ini inovasi dibuat sebagai upaya bersama, di mana setiap individu bangga berkontribusi dalam setiap pengembangan ide dan produk baru oleh tim. Sistem penghargaan yang lebih individualistik ini merusak kekuatan perusahaan selama ini. GUNAKAN BUDAYA UNTUK MENDORONG DAN MENGINFORMASIKAN PERUBAHAN Pemahaman utuh terhadap budaya perusahaan bisa menjadi alat yang efektif dalam mendorong dan menginformasikan perubahan. Perubahan signifikan pasti menimbulkan resistensi karena resistensi merupakan reaksi alamiah setiap manusia. Hanya saja, jangan sampai yang muncul resistensi yang tidak perlu. Pemahaman terhadap budaya memungkinkan pemimpin melakukan perubahan dengan lebih mudah, termasuk jika harus merubah budaya yang ada. Menurut kajian konsultan manajemen terkemuka Hewitt, budaya korporat menjadi kontributor terpenting kinerja usaha. Mengabaikannya berarti risiko kehilangan daya saing. Belakangan ini, siklus strategi perusahaan makin memendek. Pada satu
saat, perusahaan bisa fokus pada upaya tiada henti untuk meningkatkan pangsa pasar, dan beberapa bulan berikutnya, bisa saja pertumbuhan dilupakan sejalan dengan fokus perusahaan pada laba usaha. Begitu banyak hal yang mempengaruhi organisasi dan membuatnya harus terus berubah – kompetisi, konsumen, globalisasi, inovasi teknologi, perebutan tenaga handal, tenaga kerja yang kian menua, dan perbedaan aspirasi karena beda generasi. Semuanya ini bermuara pada perlunya eksekusi strategi secara excellence. Itulah yang membedakan satu organisasi dengan yang lain. Bila bicara eksekusi yang excellence, Hewitt menyimpulkan bahwa faktor budaya korporat menjadi sangat sentral. Oleh sebab itu, disarankan kepada para eksekutif dan manajer untuk sejenak berpikir tentang budaya perusahaan yang ada saat ini. James C. Collins dan Jerry I. Porras, penulis buku Built to Last dan Good to Last, perusahaan tangguh dan berumur panjang (visionary company) memiliki budaya perusahaan yang juga kuat. Budaya tersebut disusun, disosialisasikan, dilaksanakan, dan diawasi melalui sebuah proses yang panjang. Pada beberapa perusahaan, prosesnya bisa mencapai puluhan tahun. Sakit kuatnya budaya tersebut ditanamkan, budaya perusahaan sudah menjadi sebuah keyakinan yang begitu melekat (cult) – bahkan mirip agama. Kalau tidak percaya, baca kisah budaya perusahaan IBM, GE, Unilever, Bank Niaga, BII, MLC Life, Perum Pegadaian, dan lainnya■
HC 04 ● 2004: REKRUTMEN, KUNCI KEBERHASILAN ORGANISASI K etika menerima seorang karyawan untuk bagian penagihan, perusahaan A yang bergerak dalam jasa keuangan tidak pernah membayangkan betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena salah rekrut. Ternyata, karyawan berinisial AB itu memiliki karakter kepribadian yang tidak kondusif bagi pencapaian kinerja perusahaan. Ia sangat egois, emosional, dan yang lebih parah sering menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan diri sendiri. Itu diketahui setelah 2 tahun ia bergabung dengan perusahaan. Saat bukti-bukti memadai, dan melalui serangkaian proses sesuai aturan perusahaan, ia akhirnya dikeluarkan. Manajer Sumberdaya Manusia (SDM) perusahaan mencoba berhitung tentang kerugian akibat salah rekrut si AB. Ternyata, kerugian yang ditimbulkannya cukup besar. Selain tagihan yang disalahgunakan, perusahaan juga telah memberikan program pelatihan dan sejumlah fasilitas lain. Kehadirannya menghambat upaya membangun nilai dan budaya perusahaan karena perilakunya berpengaruh pula terhadap yang
lain. Di luar itu, perusahaan kehilangan peluang mendapatkan keuntungan (opportunity cost) akibat tagihan yang dikorupsi itu. “Kami pening mengurusi orang seperti itu,” ujar si manajer itu seperti menyesali kesalahan rekrutmen itu. Kasus yang dihadapi perusahaan A itu masih lebih mudah diatasi dibandingkan dengan kasus perusahaan B, yang juga menyadari telah salah rekrut. Karakter kepribadian si OR yang direkrut tidak masalah. Ia tidak tergolong rajin, juga tidak pemalas. Skill dasarnya juga oke. Setelah 5 tahun, OR yang diproyeksikan kelak menjadi manajer, ternyata tidak berkembang. Kemampuannya mentok. Perusahaan serba salah. Membiarkan OR terus bekerja menimbulkan biaya – di luar biaya besar yang selama ini telah diberikan - dan risiko. Bagaimanapun, perusahaan tidak ingin mempertahankan deadwood. Tetapi, memberhentikan orang itu juga tidak mudah. Ada aturan hukum yang harus dipenuhi, dan dalam hal ini sulit diperoleh pembenarannya. Meski mencoba melakukan “provokasi” untuk mengganggu
18
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i l a s ketenangan bekerja si OR, baik secara halus maupun agak kasar, dia bergeming. Akhirnya, perusahaan hanya bisa berharap dan berdoa semoga si OR memutuskan untuk berhenti saja. Permasalahan seperti yang dihadapi kedua perusahaan di atas – dan berbagai bentuk lainnya - jamak terjadi. Intinya, salah rekrut menimbulkan biaya besar, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, di samping menyebabkan manajemen perusahaan sakit kepala. Salah-salah, si manajer SDM maupun atasan yang bersangkutan menjadi tidak nyaman sendiri sehingga stress. Pada gilirannya, kinerja perusahaan secara keseluruhan akan ikut terganggu. Dalam bukunya Topgrading, Bradfort Smart mencoba menghitung biaya akibat salah rekrut. Ia menyimpulkan adanya dua kategori biaya yang muncul, yakni biaya yang nyata dan biaya kurang nyata. Termasuk biaya nyata, antara lain, fee merekrut eksekutif, bonus yang dijanjikan, kompensasi bagi seseorang yang tidak menunjukkan kontribusi berarti, dan paket pesangon. Sedangkan yang tergolong biaya kurang nyata adalah biaya gangguan terhadap perusahaan dan kehilangan waktu. Hasilnya, sebuah kesalahan dalam level gaji US$100.000-250.000 per tahun menimbulkan biaya rata-rata US$4,7 juta atau puluhan kali lipat dibandingkan gajinya. Sebaliknya, biaya kehilangan seseorang yang memberikan kontribusi besar bagi perusahaan jauh lebih besar lagi. Memiliki beberapa talenta di posisi yang tepat akan menghilangkan kerugian US$4,7 juta itu. Perusahaan yang mayoritas posisinya diisi
oleh orang-orang yang tepat melahirkan siklus bisnis tak terputus untuk menjamin profitabilitas, kesuksesan, dan munculnya kandidat berkualitas dalam kehidupan perusahaan. Talenta yang tepat bisa mengubah kinerja finansial perusahaan menjadi luar biasa sehingga menarik orang-orang berkinerja hebat untuk ikut bergabung. Berikutnya, dengan semakin banyaknya talenta bintang mengisi posisi perusahaan, maka perusahaan akan naik kelas ke level yang lebih tinggi. Profitabilitas dan pertumbuhan yang dihasilkannya memungkinkan lahirnya program kompensasi dan peluang karir yang lebih hebat. Pada akhirnya, program mendapatkan dan meretensi talenta hebat akan berjalan secara alamiah. “Merekrut orang yang tepat merupakan kunci sukses awal bagi setiap organisasi yang sukses,” tegas Mick Bennett dan Andrew Bell dalam bukunya Leadership & Talent in Asia. Ada dua pertanyaan yang muncul berkaitan dengan pentingnya rekrutmen itu: siapa orang yang tepat itu, dan bagaimana cara mendapatkannya? Dalam bukunya Good to Great, Jim Collins melihat hal itu bukanlah sebuah proses semata, melainkan titik awal yang kritis. Tanpa strategi dan proses yang hebat, rekrutmen akan menjadi tidak efektif dalam membantu mewujudkan sebuah perusahaan yang hebat (Great Company). Tantangan untuk mendapatkan talenta yang cocok kini semakin besar mengingat dua hal. Pertama, bisnis berkembang dengan cepat. Kompetisi sangat keras, adu cerdas, dan datang dari berbagai arah. Perusahaan-perusahaan yang sukses,
menurut pakar manajemen SDM Bruce N. Pfau dan Ira T. Kay, pada akhirnya adalah mereka-mereka yang berhasil menempatkan talenta yang tepat dalam organisasi perusahaan. Perusahaan yang tidak memiliki kreatifitas, kinerja, dan pemecahan masalah untuk setiap level organisasi tidak akan pernah menguasai permainan. Alasan kedua, pasokan talenta yang cocok itu tidak banyak di pasar. Sebagai hasilnya, rekrutmen seringkali tidak bisa menunjukkan hasil yang signifikan dalam kinerja final organisasi namun berdampak besar terhadap internal organisasi. Perusahaan yang mendapatkan orang yang tepat tidak bisa memastikan berapa tinggi laba usaha yang akan diraih. Akan tetapi, bila mereka salah dalam memaknai modal SDM (human capital), konsekuensinya perusahaan bisa tinggal nama. Tak selamanya penyebab persoalan karyawan berkinerja pas-pasan bersumber dari karyawan itu sendiri. Gap antara retorika rekrutmen dan pengalaman sehari-hari para karyawan di banyak organisasi sangat lebar sehingga menciptakan ketidakpuasan dan frustrasi yang besar. Sebagai pemberi pekerjaan, lebih baik bersikap jujur tentang pengalaman bekerja ketimbang menciptakan ekspektasi yang sumbang. Para karyawan dengan cepat segala janji-janji kosong itu dengan cepat. Salah satu solusinya, bila Anda pemimpin dalam sebuah organisasi, luangkanlah waktu terhadap proses rekrutmen. Perhatikan janji-janji yang dibuat organisasi. Setelah si karyawan diterima bekerja, sisihkan pula waktu untuk bersama-sama
karyawan itu dan menanyakan pandangan mereka tentang seberapa bagus perusahaan menunaikan janji-janjinya. Tentu saran seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh pemimpin perusahaan yang karyawannya ribuan, puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu. Pada perusahaan semacam ini, proses tersebut telah didelegasikan ke unit-unit kerja terkecil. Satu hal yang harus disadari adalah, rekrutmen bukanlah akhir dari pekerjaan bidang SDM, melainkan awal dari proses pekerjaan SDM yang lebih besar. Oleh sebab itu, tak ada pilihan lain bagi perusahaan kecuali berinvestasi dalam bentuk waktu, biaya, dan perhatian untuk rekrutmen. Riset Human Capital Index oleh konsultan Watson Wyatt menunjukkan perusahaan yang hebat dalam rekrutmen memiliki tingkat ke luar-masuk karyawan (turnover) yang rendah, memungkinkan karyawan yang ada memberikan masukan dalam proses rekrutmen, dan dikenal sebagai tempat bekerja yang bagus. Selain itu, perusahaan tersebut juga menempatkan upaya rekrutmen untuk mendukung rencana bisnis dan strategi perusahaan. Sering terjadi, rencana pengembangan perusahaan tidak diartikulasikan secara tepat atau kurang diinformasikan kepada bagian rekrutmen. Bila hal ini dilakukan secara benar dan sistematis, maka perusahaan juga akan memperoleh talenta terbaik untuk mendukung atau menjalankan strategi itu. Alhasil, rekrutmen benar-benar memiliki posisi strategis dalam siklus perjalanan setiap organisasi untuk meraih keberhasilan■
HC 05 ● 2004: AYO MEMBANGUN ‘CORPORATE UNIVERSITY’ J
ohn F. Welch alias Jack Welch baru saja berhenti sebagai Chairman dan CEO konglomerat General Eelectric (GE), namun nama besarnya – berikut segala kontribusi pentingnya – begitu sulit dilupakan orang-orang GE. Namanya diabadikan pada Crotonville Learning Center (pusat pelatihan GE yang sangat prestisius dan sering juga disebut sebagai GE University) sehingga berubah menjadi The John F. Welch Leadership Development Center mulai 6 September 2001. Sukses besar yang diraih Welch di GE, tak pelak, karena ia sadar betapa pentingnya kualitas sumberdaya manusia dalam menjalankan organisasi. Ia memberi perhatian sangat besar terhadap Crotonville, bukan hanya sebagai tempat untuk mendidik karyawan menjadi lebih baik, namun juga sebagai medium memperluas perubahan dalam kultur dan pemikiran yang membuat GE terus maju. Hampir 20 tahun Welch mengajar di Crotonville, yang berarti hampir sepanjang waktunya 20 tahun sebagai Chairman dan CEO GE. Hebatnya lagi, Crotonville tidaklah eksklusif bagi para karyawan GE, melainkan
juga bagi para pelanggan GE ataupun orang-orang lain yang beruntung. Seperti disampaikan Satya Heragandhi, Country Leader GE Transportation untuk Indonesia dan Vietnam, Crotonville memiliki program ACFC (At the Customer for the Customer), di mana GE berbagi tentang ilmu manajemen GE kepada para pelanggan GE. Pesertanya adalah calon pimpinan potensial di berbagai pelanggan perusahaan dunia (umumnya level General Manager, belum direksi, red). Secara bisnis, langkah ini mungkin tidak menguntungkan jangka pendek. Namun, GE melihatnya dalam perspektif jangka panjang. Bila pelanggan semakin maju dan orang itu menjadi pimpinan, GE tentu juga akan kecipratan maju. “Hitunghitung, GE ikut membangun komunitas,” ujar Satya. Lain lagi dengan McDonald’s Corporation, perusahaan makanan cepat saji terdepan di dunia. Mereka memiliki Hamburger University, kawah candradimuka bagi penggodokan orang-orang McDonald’s di seluruh bidang. Seluruh karyawan baru McDonald’s
maupun pemegang hak waralaba McDonald’s di seluruh dunia harus ditraining di Hamburger University. Mereka dilatih untuk memahami prinsip dan nilai-nilai perusahaan agar bisa memberikan layanan, kebersihan, dan nilai-nilai berkualitas tinggi bagi konsumen. Hingga kini lebih dari 65.000 manajer restoran McDonald’s telah lulus dari Hamburger University. Mereka berasal dari berbagai ras dan negara di dunia, saling memperkuat nilai-nilai kebersamaan yang dianut Ray Kroc, pendiri McDonald’s. Seperti dikatakannya: “None of us is as good as all of us.” Meski hanya menjual hamburger, McDonald’s sangat serius dalam membangun dan mengembangkan sumberdaya manusia berkualitas. Bagi Ray Kroc, berbisnis hamburger lebih dari sekedar membikin hamburger, tetapi tentang orang, baik karyawan maupun konsumen. Kroc secara tegas mengatakan: “We take the hamburger business more seriously than anyone else”. Simak pula ucapannya yang lain dan telah menjadi prinsip perusahaan: “Don’t worry about making money. Love what you’re doing and always put the customer first. And success will be yours”.
19
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i l a s Crotonville dan Hamburger University hanyalah contoh dari corporate university (CU) yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan global terkemuka. Bahkan, di institusi pendidikan ini korporasi besar menggantungkan harapan tentang masa depan perusahaan, selain bidang R&D (Research & Development). Berdiri tahun 1956, Crotonville, yang kini berubah nama menjadi The John F. Welch Leadership Center, menjadi model bagi penerapan CU secara luas di dunia. Istilah CU sendiri mulai dipergunakan akhir 80-an sebagai peningkatan dari departemen training tradisional. Kemunculannya dimaksudkan untuk menyelaraskan upaya training perusahaan dengan visi dan strategi organisasi. Menurut Shelly Prochaska dalam tulisannya berjudul Is a Corporate University in Your Organization’s Future?, CU adalah alat untuk merapihkan dan mensistematikan upaya pendidikan perusahaan dalam sebuah unit yang kohesif. Program pendidikan tinggi manajemen maupun MBA dikritik karena kurang menyentuh persoalan bisnis sehari-hari. Itu sebabnya, beberapa perusahaan menginginkan pendekatan training yang lebih paralel dengan bisnis riil. Di sisi lain, kompetisi bisnis yang ketat menimbulkan dampak pula pada pengurangan karyawan (downsizing) dan pengetatan bujet training. Sebagai jawabannya, semakin banyak perusahaan yang kian menyatukan upaya training dalam satu payung: corporate university. Mereka mendirikan CU sebagai pusat
pendidikan manajemen, bukan hanya untuk mendapatkan manajer di masa depan tetapi juga untuk meningkatkan nilai finansial saat ini. Perkembangan CU di Amerika merupakan yang paling cepat di dunia. Menurut Stuart Crainer dalam SHRM, diperkirakan lebih dari 1.000 CU kini beroperasi. Mereka tersebar dalam berbagai ukuran dan bentuk industri. Kecuali beberapa nama CU yang telah disebut di atas, beberapa CU lainnya, antara lain, Dana University (milik produsen komponen otomotif Ohio Dana Corporation), Heavy Truck University (milik Ford di Detroit), Intel University (milik Intel di Santa Clara), Sun U (milik Sun Microsystems), Apple University (milik Apple di Cupertino, California). CU juga berkembang ke Inggris, seperti Unipart University milik Unipart. Sedikitnya ada 3 hal yang mendorong tumbuhnya CU, menurut pandangan Crainer. Pertama, masih derasnya kritik terhadap sekolah bisnis yang menuduh mereka terlalu jauh dari denyut nadi dunia bisnis. Kelemahan itulah yang ingin dipecahkan melalui CU. Sekolah bisnis mencoba mengatasi hal ini dengan lebih banyak membawa “dunia nyata” ke dalam programprogramnya melalui pekerjaan berbasis proyek dan membuat program yang telah disesuaikan. Kedua, meningkatnya kesadaran bahwa pengembangan manusia adalah kunci survival di masa depan; sesuatu yang terlalu penting untuk diserahkan kepada pihak lain. CU jelas sebuah prioritas bagi perusahaan yang mencoba menjadi organisasi pembela-
jaran. Sebuah riset di Amerika menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki CU menghabiskan dana 2,5% dari gaji untuk pembelajaran – dua kali lipat dari rata-rata perusahaan Amerika. Ketiga, pemanfaatan teknologi termutakhir dalam CU memungkinkan pembelajaran jarak jauh dan e-Learning dengan lebih efisien dan efektif. Otomatis, pembelajaran bisa diadakan secara terus menerus dan segera. Kebanyakan CU memang berbasis di dalam dan sekitar Lembah Silikon. Daya tarik CU bagi pihak luar sangat tergantung kepada kebutuhan peserta. Jika tujuannya untuk mendapatkan gelar akademik tertentu, mengikuti CU jelas tidak pas. CU hanya memberikan pengakuan kualifikasi secara internal. Lulus dari Hamburger University mungkin orang-orang masih terkesan. Bagaimana dengan CU lain yang belum begitu terkenal? Sebagai solusi, semakin banyak CU yang berafiliasi dengan institusi akademik tradisional. Sebagai contoh, seseorang yang mengikuti pendidikan di National Semiconductor University bisa mendapatkan gelar associate, bachelor, atau Master dari berbagai universitas. Hanya saja, membangun CU juga tidak murah. Riset yang dilakukan oleh Jeanne Meister di Amerika, bujet operasional ratarata untuk sebuah CU mencapai US$12,4 juta, kendati 60% melaporkan US$5 juta ke bawah. Biaya membangun Intel University tahun 1996 sebesar US$150 juta. Intel menyediakan 2.600 kursus yang telah diikuti oleh 400.000 peserta. Tak bisa dipungkiri, CU masih “makanan” perusahaan
HC 06 ● 2004: MENYONGSONG PENGADILAN HI K asus PHK ribuan karyawan PT Dirgantara Indonesia (DI) belum hilang dalam ingatan kita. Ribuan karyawan yang menolak di-PHK secara spartan melakukan berbagai perlawanan untuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka gigih melakukan demo di Jakarta dan di kantor pusat PT DI di Bandung. Beberapa kali mereka dalam rombongan besar naik mobil dan motor serta tidur di taman kota Jakarta. Perjuangan para karyawan itu memang tidak sepenuhnya berhasil. Mereka harus menerima kenyataan untuk di-PHK, sebagian karena lelah dan sebagian karena keterdesakan ekonomi yang mengharuskan mereka untuk menerima uang pesangon.
Perdebatan yang terjadi dalam kasus PT DI antara pihak perusahaan dengan karyawan adalah contoh klasik perselisihan ketenagakerjaan di Indonesia. Masingmasing pihak menyampaikan argumentasi sesuai dengan pemahaman dan aspirasi mereka. Perusahaan menilai mereka adalah karyawan yang tidak produktif dan bermasalah. Sementara, karyawan menilai perusa-
haan telah bertindak semena-mena.Upaya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea untuk menengahi kedua pihak juga tidak membuahkan hasil. Suprastruktur pemerintah menghadapi kasus-kasus perburuhan terbukti tidak bisa bekerja cukup adil di mata pihak-pihak yang berselisih. Apalagi, bila perselisihan industrial itu terjadi di BUMN, di mana di satu sisi pemerintah bertindak sebagai regulator dan pembuat kebijakan di bidang ketenagekerjaan (Depnakertrans) dan di sisi lain bertindak sebagai pemegang saham perusahaan (Depkeu) dan pembina manajemen (Menneg BUMN). Situasi yang dilematis pun terjadi. Menyediakan pesangon yang terlalu besar akan memberatkan pemerintah. Namun, memberi pesangon yang kecil dianggap tidak pro kepada rakyat kecil. Mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia memiliki riwayat yang cukup berliku. Pada mulanya berlaku UU 22 Tahun 1957, yang menegaskan
multinasional. Fakta itu tidak mesti membuat ciut manajemen perusahaan Indonesia untuk membangun CU. Dalam segala hal, Amerika memang lebih mahal. Bank-bank besar di Indonesia, macam Mandiri, BRI, BNI, BCA, Danamon, dan banyak lagi, telah memiliki pusat pelatihan sendiri dengan bangunan yang memadai. Begitu pula Matsushita Gobel dan Ericsson Indonesia. Tinggal dikemas dalam bentuk visi, rencana, dan implementasi program serta dukungan SDM memadai, mereka bisa memproklamirkan diri sebagai CU. Apalagi Astra Group dengan AMDI (Astra Management Development Institute)-nya. Menilik program pendidikan dan pelatihan Astra yang begitu komplit dan sistematis, tak ayal lagi, Astra sesungguhnya telah memiliki CU. Sebuah solusi lain kini juga tersedia di pasar. Bila membangun CU dianggap mahal dan pengelolaannya tidak gampang, maka sebuah perusahaan berbasis di Singapura PSB siap menerima oursourcing CU secara total, mulai dari fisik bangunan hingga pengajar dan kurikulumnya (tentu setelah digali dari perusahaan klien). Sebagai spesialis, PSB akan bisa beroperasi lebih efisien dan memiliki kompetensi di dalam pengajaran. Perusahaan ini juga bisa mendesain CU sesuai kebutuhan perusahaan atau mengelola CU perusahaan di bangunan milik perusahaan. Anda tinggal pilih sesuai kebutuhan dan kemampuan. Selamat menyongsong era CU!■
bahwa keputusan P4P bersifat final. Kalau ada hambatan dalam eksekusi keputusan P4P, maka Pengadilan Negeri akan memberikan viat eksekusi (persetujuan untuk melaksanakan keputusan P4P). Kemudian muncul UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Karena banyak sekali perundangundangan dan peraturan yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka lahirlah UU No.25 Tahun 1997 sebagai pengganti UU yang sebelumnya berlaku. Menurut Purbadi Hardjoprajitno, SH, salah satu tokoh pengacara ketenagakerjaan senior, kelahiran UU No. 25 itu mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan sehingga pelaksanaan UU itu ditunda dan harus diganti dengan UU yang baru. UU itu dikritik tidak membela kepentingan buruh, penuh kolusi, dan sebagainya. Dalam pada itu, lahirnya UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yaitu UU No. 5 tahun 1996 menyebabkan keputusan P4P tidak lagi bersifat final. Meskipun hakim P4P berjumlah 15 orang (masing-masing 5 orang mewakili pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja), dengan ketuanya berasal dari Depnakertrans,
20
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i l a s keputusan P4P tidak lagi bersifat final. Keputusan P4P dianggap keputusan pejabat negara, sehingga salah satu pihak yang tidak menerima keputusan P4P bisa menggugat di PTUN. Sabar Sianturi, Tim Asistensi Mennakertrans/Ketua P4P, mengatakan proses penyelesaian sengketa perburuhan menjadi panjang dengan adanya PTUN itu. Bila PTUN memberikan sebuah keputusan, PTUN akan memerintahkan lagi P4P untuk membuat keputusan baru. Repotnya, P4P bisa saja tidak setuju dengan keputusan PTUN itu karena memiliki pertimbangan sendiri sehingga masalahnya jadi panjang dan makan waktu. KRITIK TERHADAP semua UU yang berlaku di bidang ketenagakerjaan – termasuk No. 25 Tahun 1997 - terjawab dengan lahirnya 3 UU baru sebagai penggantinya: UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). UU terakhir mengkoreksi berbagai hal terkait dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Salah satu langkah drastis akibat UU No. 2 Tahun 2004 adalah berdirinya Pengadilan Hubungan Industrial (HI) dengan menggabungkannya ke dalam sistem peradilan umum (dalam hal ini Pengadilan Negeri) sehingga secara organisasi berada di bawah Mahkamah Agung. Penggabungan ini lebih memberikan kepastian dan kekuatan hukum
sehingga setiap keputusan yang diambil akan terlaksana secara efektif. Selain itu, penyelesaian persoalan perburuhan dibatasi maksimal 30 hari di tingkat Pengadilan Negeri maupun di tingkat MA. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) akan ditangani majelis hakim yang terdiri dari 3 Hakim, yaitu Hakim karir di Pengadilan Negeri (bertindak sebagai Ketua) dan 2 Hakim Ad-hoc (masing-masing 1 orang mewakili serikat pekerja dan perusahaan). Kombinasi antara Hakim karir dan Hakim Ad-hoc ini di mata Purbadi merupakan kombinasi yang baik. Hakim dari peradilan umum menguasai masalah-masalah hukum formal, dan para Hakim Ad-hoc dianggap mengerti dan memahami hukum perburuhan dengan baik. Sebab, menurutnya, masalah perburuhan tidak hanya soal hukum an sich, tetapi melibatkan faktor sosiologis, ekonomi, politik, dan sebagainya. Ada sejumlah hal lain yang perlu dicermati dan dikritisi dari PPHI yang baru. Purbadi, misalnya, mempertanyakan mekanisme pelaksanaan dari proses peradilan mengingat kasus perburuhan bukan tergolong perkara biasa. Ia mencakup perkara perdata, yang mengharuskan karyawan mengerti pula hukum acara perdata. Belum lagi adanya unsur intimidasi dari salah satu pihak terhadap pihak lainnya dan kebutuhan pengamanan yang besar bila kasusnya melibatkan ratusan atau ribuan karyawan. “Hal ini tidak diantisipasi oleh konseptor UU tersebut,”ungkapnya. Kelemahan lain menyangkut ketentuan
sita jaminan pada pasal 96. Di situ disebutkan, sita jaminan karena pengusaha tidak membayar uang skorsing dapat dikeluarkan oleh pengadilan tapi tidak boleh ada perlawanan dan upaya hukum yang lain. “Ini ‘kan aneh,” tukas Purbadi lagi. Bagaimana jadinya kalau asset yang disita itu adalah milik orang lain, misalnya agunan bank, bank akan kehilangan haknya. Ia menyimpulkan, UU ini tidak bisa dilaksanakan karena ada tabrakan dengan UU yang lain. Inilah konsekuensi lain dari keinginan untuk mengedepankan azas hukum dalam PPHI yang baru. Supaya tidak menjadi korban, para karyawan dituntut untuk menjaga tindakannya agar tidak di-PHK secara semena-mena. Padahal, kalau dipikirpikir, para pimpinan perusahaan lebih sering dan banyak melakukan pencurian di perusahaan dibandingkan karyawan biasa. Namun karena prinsip bos bisa melakukan apa saja dan selalu benar, mereka sulit dijerat hukum. Seharusnya, UU No. 2 Tahun 2004 mulai berlaku pada tanggal 14 bulan Januari 2005. Itu berarti sekitar 3 bulan lagi. Dalam waktu yang singkat itu, persiapan-persiapan yang dilakukan berbagai pihak terkait terkesan masih minim. Pemerintah sendiri baru siap sebatas konsep. Implementasinya memang masih gelap. Rasanya, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2004 mengendor mengingat belum pastinya pemerintahan mendatang. Lantas, bagaimana dengan Hakim Ad-
HC 07 ● 2004: MENGUPAS RENCANA SUKSESI A pa perasaan Anda sebagai CEO bila puluhan tenaga potensial perusahaan Anda minggat ke perusahaan lain? Anda pasti cemas, gondok, dan entah apa lagi perasaan tidak enak lainnya. Robby Djohan, saat menjabat Presiden Direktur Bank Niaga, pernah mengalami langsung hal ini ketika 52 manajer Bank Niaga dibajak pesaing sejalan dengan tingginya kebutuhan tenaga pimpinan akibat Paket Deregulasi Perbankan Oktober 1988. Eksodus itu kembali terulang saat organisasi BPPN dibentuk 1998-1999. Kali ini yang eksodus lebih banyak. “Dalam setahun ke luar 200 karyawan lebih,” ungkap C. Heru Budiargo, Executive Director Compliance, Risk Management Bank Niaga. Rupanya, bankir Bank Niaga sangat laku di pasar. Sebagai perusahaan yang telah membangun sistem kaderisasi yang cukup baik, Bank Niaga tetap kelimpungan ketika eksodus itu terjadi. Itu karena jumlah yang ke luar sangat banyak. Konsekuensinya, banyak posisi yang kosong dan harus segera diisi. “Terpaksa karyawan yang belum siap dikarbit,” lanjut Heru. Bagaimana jadinya jika hal semacam itu terjadi di perusahaan yang tidak sesiap Bank Niaga? Orang sekaliber Bill Gates pun tak urung
khawatir dengan masa depan raksasa piranti lunak Microsoft bila 20 orang terbaiknya cabut ke tempat lain. “Microsoft akan menjadi perusahaan yang tidak penting lagi,” ujarnya suatu kali. Ketika bertemu dengan Chandra Purnama, Wakil Direktur Utama Bank Permata yang membawahi sumberdaya manusia, bulan lalu, persoalan suksesi juga menjadi salah satu fokus perhatiannya. Kebetulan beberapa manajer level menengah Bank Permata baru saja pindah ke perusahaan lain karena dibajak. Yang membuatnya risau, mereka yang pindah itu adalah tenagatenaga penting di unit bisnis Bank Permata, khususnya di bidang ritel yang menjadi salah satu fokus bisnis bank tersebut. Kepindahan mereka mengancam pencapaian target bisnis yang telah disusun. Selama ini banyak orang yang menilai wacana suksesi hanya dalam konteks proses regenerasi pucuk pimpinan, semisal Presiden Direktur maupun Direktur. Fakta di atas menunjukkan proses suksesi di levellevel kunci di bawah manajemen sama pentingnya dengan suksesi manajemen itu sendiri. Posisi manajerial menengah dalam organisasi tak kalah penting dibandingkan posisi direksi. Kedua posisi itu saling berbagi dan melengkapi dalam menjalankan roda
perusahaan. Para eksekutif berperan dalam menyusun strategi dan kebijakan organisasi, sementara manajer lebih berperan pada aspek operasional yang bersifat teknis dan detil. Karenanya, penyusunan rencana suksesi untuk posisi kunci di bawah direksi tidak kalah pentingnya. Joseph Bataona, HR Director PT Unilever Tbk., menegaskan, suksesi tidak selalu berhubungan dengan posisi yang bisa dikatakan tinggi. Di level bawah pun, suksesi itu juga terjadi dan perlu dibuatkan perencanaan suksesinya. Sebagai contoh, bulan lalu Unilever merayakan dan memberikan penghargaan kepada karyawan yang telah bekerja paling tidak 15 tahun, 25 tahun, dan sudah akan pensiun. Total 282 orang. Dari jumlah itu, jumlah karyawan yang akan pensiun tahun ini 54 orang. Berarti Unilever harus sudah siap dengan orang-orang pengganti. Jumlah karyawan dengan masa kerja 25 tahun 214 orang,
hoc dari kalangan pengusaha dan serikat pekerja? “Kami baru akan bertemu dengan para anggota untuk merumuskan berbagai hal terkait dengan Hakim Ad-hoc dan sistem PPHI yang baru,” ungkap Stephen Z. Satyahadi, Ketua Komite Bank dan Asuransi Asosiasi Perusahaan Indonesia (APINDO). Ketua APINDO yang juga Ketua Tim Perumus RUU Ketenagakerjaan APINDO/ KADIN DR. H. Hasanuddin Rahman memperkirakan APINDO harus merekrut 150 orang Hakim Ad-hoc di seluruh Indonesia. Jumlah yang sama tentunya juga harus disediakan oleh kalangan serikat pekerja. Semua pihak menaruh harapan terhadap mekanisme PPHI yang baru. Harapan tersebut mungkin akan sulit terwujud bila melihat ketidaksiapan pemerintah menjalankan UU No. 2 Tahun 2004 itu. “Saya tidak akan terkejut bila pemerintah akhirnya menyatakan penundaan berlakunya UU itu,” tegas Kemalsyah Siregar, praktisi hukum ketenagakerjaan dari Kemalsyah Cembyn & Affriline Attorneys At Law. Penundaan ini akan melengkapi beberapa kejanggalan perundang-undangan tenaga kerja yang dibuat pemerintah sekarang. Contoh lain disampaikan Lusi Adrilina, Employee and Industrial Relations Head Bank Danamon. Ia menilai UU No. 13 Tahun 2003 juga cacat karena harus berlaku Mei 2004. Padahal, lembaga PPHI-nya belum ada. “Hal ini jelas merugikan pekerja dan perusahaan,” tukasnya■
21
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i l a s berarti orang itu akan segera memasuki pensiun sehingga perusahaan harus sudah siap pula dengan penggantinya. Merancang suksesi, mengembangkan sumberdaya manusia pengganti, dan mengeksekusi pergantian orang sebanyak itu akan menjadi persoalan besar bagi perusahaan yang tidak memiliki perencanaan suksesi yang berkualitas. Prinsip “gimana nanti sajalah”, jelas tidak bisa lagi diterapkan karena kompetisi bisnis sudah sangat tajam dan kebutuhan terhadap sumberdaya manusia berkualitas tidak bisa ditawar. “Rencana suksesi penting karena perusahaan beroperasi untuk jangka panjang. Bukan hanya untuk satu atau dua tahun saja,” lanjut Bataona. Penyusunan rencana suksesi menuntut keterlibatan penuh manajemen perusahaan. Tanpa visi dan komitmen yang kuat dari jajaran manajemen, sebuah rencana suksesi tidak akan pernah terwujud. Kalaupun rencana suksesi itu jadi, hasilnya hanya sebatas oret-oretan di atas kertas, tidak bakal terlaksana di lapangan. Setiap organisasi wajib menyiapkan rencana suksesi tersebut karena jumlah orang yang berpotensi besar itu tidaklah banyak. Pada beberapa keahlian spesifik, bahkan jumlahnya sangat langka. Di industri perbankan, posisi kunci yang termasuk langka, di antaranya, teknologi informasi, treasury atau dealer pasar uang, dan bagian hukum. Pekerjaan-pekerjaan tersebut, menurut C. Heru Budiargo, sangat spesifik dan membutuhkan pendidikan khusus. Rencana suksesi juga diperlukan karena proses kaderisasi di level manapun selalu butuh waktu. Tidak ada jalan pintas atau proses karbit. Kita berbicara selang waktu 10-15 tahun dengan sebuah proses yang runtut dimulai dari seleksi, identifikasi, dan pengembangan orang tersebut. Wajar bila Heru bergumam: “Mengembangkan lebih sulit daripada membeli.” Rencana suksesi juga penting bagi para karyawan karena menyangkut kepastian karir ke depan. Mereka yang bekerja profesional akan bisa memastikan bahwa sekian tahun lagi bakal menduduki posisi tertentu, begitu seterusnya. Kepastian semacam ini memang lebih banyak disediakan oleh perusahaan-perusahaan dengan manajemen kuat. Kepentingan bisnis banyak melatarbelakangi keputusan perusahaan merekut atau membajak para professional dari luar organisasi. Citibank, yang selama ini dikenal sebagai school of bankers dan pemasok kebutuhan eksekutif finansial, justru merekrut Barry Lesmana dari saingannya BCA yang bank lokal untuk memimpin unit perbankan konsumer yang sangat vital bagi Citibank di sini. Barry dikenal cukup sukses mengembangkan usaha perbankan konsumer semasa di BCA. Ia kini menjadi pemimpin tertinggi perbankan konsumer Citibank di Indonesia namun tetap melapor kepada 2 atasannya: pemimpin perbankan konsumer Citibank regional dan Country Manager Citibank Indonesia yang tetap diisi orang bule. Hal yang sama dilakukan Pertamina ketika merekrut Alfred Rohimone, eks Citibanker, untuk menjadi Direktur Keuangan melalui jasa executive search.
Kompleksitas aspek keuangan Pertamina mengharuskan BUMN itu untuk mendatangkan orang yang lebih ahli dari luar. Terlepas dari plus-minus merekrut dari luar itu, sebagian besar perusahaan besar lebih menyukai proses kaderisasi dari dalam dengan menyusun rencana suksesi yang komprehensif dan berjangka panjang. PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), misalnya, memiliki sistem suksesi yang sangat baku, dimulai dengan penyeleksian High Potentials (Hipot), perencanaan pengembangan pegawai, dan penempatannya oleh PDC (Personnel Development Committee). Menurut GM HR CPI, Iwan Djalinus, PDC bertugas untuk melakukan penilaian dan pemilihan kandidat untuk posisi eksekutif dan posisi kunci lainnya. CPI adalah satu dari sedikit perusahaan raksasa migas yang posisi CEOnya sudah diisi oleh eksekutif lokal sejak lama. Mengidentifikasi calon pemimpin hal yang sangat penting dalam sebuah rencana suksesi. Kalau CPI mengenal istilah Hipot, maka Citibank memiliki apa yang disebut dengan talent inventory review – program penelaahan tim kepemimpinan organisasi kini dan mendatang. Apapun istilahnya, perusahaan profesional memiliki kumpulan orang-orang istimewa yang diharapkan menjadi pemimpin di masa depan. Bank Niaga memperkenalkan istilah karyawan pimpinan untuk orang-orang semacam itu. Mereka diseleksi dari lulusan universitas terkemuka dengan standar indeks prestasi tertentu. Jalur karyawan pimpinan diseleksi melalui program management trainee, yang juga berlaku di perusahaan-perusahaan lain. Karenanya, berbicara rencana suksesi, keberhasilannya ditentukan sejak saat proses rekrutmen staf dimulai. Mengawali penyusunan rencana suksesi, pertama kali perusahaan harus mengidentifikasi posisi-posisi kunci di perusahaan kini dan mendatang. Identifikasi ini akan melahirkan semacam peta posisi kunci. Posisi kunci itu lajimnya dihubungkan dengan visi, misi, fokus, dan strategi bisnis perusahaan. Setelah posisi kunci diketahui atau ditetapkan, tahap berikutnya adalah mengidentifikasi suksesor atau kader-kader terbaik di setiap unit itu. Mereka adalah karyawan yang memiliki kompetensi dan kinerja kerja yang bagus serta bisa dikembangkan. Mungkin karena pengalaman buruk selama ini, Bank Niaga bahkan membuat sistem suksesi berlapis dengan 3 orang suksesor yang siap menggantikan atasannya. Jadi, bila seorang pemimpin cabang Bank Niaga pergi karena satu dan lain hal, maka setiap hari sudah ada setidaknya 3 orang suksesor yang siap menggantikannya. Peringkat suksesor itu pun telah disusun, meskipun tidak mesti peringkat 1 langsung menggantikan sang pemimpin yang pergi. Menurut Dachriyanti, konsultan dari Andrew Tani & Co., konsultan tidak bisa dilibatkan dalam implementasi rencana suksesi. “Keterlibatan konsultan hanya sebatas menyusun rencana suksesi dan memberikan saran tentang persiapan suksesi, apa saja yang dibutuhkan, dan sebagainya,” lanjutnya■
HC 08 ● 2004: KOMPETENSI, RESEP AJAIB?
K
ompetensi lagi naik daun? Ini adalah hal yang patut disyukuri. Kompetisi bisnis yang semakin keras – baik dalam lingkup lokal maupun regional dan global – mengharuskan perusahaan untuk selalu ada di depan yang lain. Hal itu hanya mungkin diraih dengan dukungan sumberdaya manusia berkompetensi tinggi. Perusahaan mengharapkan para karyawannya untuk memiliki kinerja lebih tinggi, lebih responsif terhadap pelanggan, lebih berorientasi pada proses, lebih terlibat dalam kepemimpinan, dan lebih bertanggung jawab dalam menciptakan pengetahuan yang memberi nilai tambah bagi kemampuan perusahaan. Untuk bisa mewujudkan harapan perusahaan itu, profesional human resources (HR) harus bisa membantu organisasi untuk mengidentifikasi dan menentukan kompetensi karyawan yang diperlukan. Sudah menjadi strategi bagi perusahaan terkemuka untuk menerapkan dan mengintegrasikan kompetensi dalam seluruh bidang HR, termasuk rekrutmen, seleksi, evaluasi, pengembangan, penilaian, dan pemberian imbalan. Sejatinya, kompetensi bisa dihubungan dengan seluruh aspek dari bisnis. Ia bisa dihubungkan dengan misi/visi, objektif, dan nilai-nilai perusahaan. Sebaliknya, kompetensi bisa dihubungkan pula dengan aspek praktik/operasional perusahaan yang akhirnya berkaitan dengan nilai-nilai perusahaan. Untuk itu, perusahaan harus memberikan dukungan konsisten untuk menginstitusionalisasikan kompetensi ke seluruh bagian organisasi. Lyle M. Spencer, Jr. dan Signe M. Spencer menulis dalam bukunya Competence at Work, Models for Superior Performance (1993), kompetensi adalah karakteristik dasar dari seseorang yang biasanya terkait dengan kinerja efektif menurut kriteria tertentu dan/atau kinerja superior dalam
sebuah pekerjaan atau situasi. Selanjutnya, Lyle dan Signe menjelaskan, karakteristik dasar tersebut mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, berlaku dalam berbagai situasi dan bertahan hingga batas waktu yang lama. Mereka membagi karakteristik kompetensi menjadi 5 tipe, yaitu motives, traits, self-concept, knowledge, dan skill. Kenneth H. Pritchard, CCP., mendefinisikan kompetensi sebagai kombinasi pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), kebisaan (abilities), karakteristik personal (personal characteristics) dan faktor-faktor individual lainnya yang membedakan kinerja superior dari kinerja rata-rata pada situasi spesifik tertentu. Ia menggarisbawahi kompetensi terkait erat dengan pekerjaan dan pekerja. Definisi kompetensi yang lebih sederhana – dan mungkin lebih mudah dicerna – diuraikan oleh Steven Moulton, SPHR, dalam tulisannya di SHRM berjudul “Competency Development, Integration and Application”. Bagi organisasi, katanya, kompetensi bisa didefinisikan sebagai kemampuan teknikal yang membedakan perusahaan dengan pesaing. Sementara bagi individu, kompetensi bisa didefinisikan sebagai kombinasi pengetahuan, keahlian, dan kebisaan yang mempengaruhi kinerja kerjanya. Ia mengaku, definisi kompetensi bisa sangat beragam dan berbeda dari satu orang ke orang lainnya. Drs. Budiman Sanusi Mpsi, Direktur Psikologi dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (PPSDM), mengatakan kompetensi adalah keseluruhan pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan sikap yang ditampilkan oleh orang-orang yang sukses/ berhasil dalam mengerjakan suatu tugas dengan prestasi kerja yang optimal. Dengan demikian, meski kalimatnya agak berbeda-beda, komponen kompetensi terdiri dari pengetahuan, keahlian, kebisaan,
22
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i l a s dan karakteristik personal. Seluruh komponen itu bersatu pada diri seseorang saat ia menyelesaikan sebuah pekerjaan/tugas ataupun menghadapi situasi apa saja. Artinya, orang yang punya pengetahuan saja, belum bisa dikatakan memiliki kompetensi, kalau ia tidak memiliki keahlian untuk mewujudkan pengetahuan itu. Sebagai praktisi, Setia Wijaya, HRD Director Agung Podomoro Group – kelompok usaha properti terkemuka – mencoba menempatkan kompetensi sebagai faktor yang menentukan seseorang sukses dalam pekerjaan. Ia menilai, kompetensi terdiri dari 4 komponen, yaitu kemauan, kemampuan, kesempatan, dan kesehatan. “Empat hal inilah yang membuat orang sukses,” ujarnya. Orang tidak akan sukses bila hanya mempunyai kemauan dan kemampuan, tapi tidak memiliki kesempatan dan kesehatan. “Di grup kami, jika ingin sukses, setiap orang harus mempraktikkan excellent atti-
tude,” tambahnya. Sebelum menentukan kompetensi yang diharapkan perusahaan terhadap para karyawan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan kompetensi perusahaan terlebih dahulu. Kompetensi tersebut sebaiknya tidak bersifat umum, melainkan sudah dalam bentuk kompetensi inti (core competencies). Setiap perusahaan yang mengetahui secara persis kompetensi intinya bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan strategik. Terlebih pula, bila perusahaan memahami benar keberagaman kompetensi organisasi yang diperlukan untuk menjalankan misinya. Gabungan kompetensi inti dan organisasi ini akan melahirkan kultur apa dan bagaimana organisasi berharap bisa beroperasi. Kompetensi organisasi mencerminkan daftar kompetensi yang menguraikan bagaimana organisasi mengharapkan karyawan menyelesaikan pekerjaannya.
Kombinasi misi, visi, nilai, kultur, dan kompetensi inti menentukan cara bekerja dalam organisasi. Setiap karyawan harus mendemonstrasikan hal tersebut dalam berbagai aspek pekerjaan. Lajimnya, setiap perusahaan menyusun banyak kompetensi organisasi – idealnya 15-25 kompetensi – dalam upaya menjelaskan secara umum bagaimana perusahaan berharap karyawannya bertindak. Kompetensi yang umum dikemukakan adalah sebagai berikut: pengambilan keputusan, pengambilan risiko, pengembangan relasi, pemecahan masalah, analisis, perhatian terhadap detil, inovasi, kelenturan, layanan pelanggan, perspektif strategik, kerjasama tim, dan kepemimpinan. Tersusunnya kompetensi organisasi selanjutnya ditindaklanjuti dengan penentuan kompetensi di tingkat individu. Di sini kompetensi penting untuk menjelaskan
HC 09 ● 2004: SAKTINYA ‘ASSESSMENT CENTER’ D alam sebuah pertemuan, Vina G. Pendit, Direktur PT Daya Dimensi Indonesia (DDI) bertemu dengan seorang ekspat asal Amerika yang menjabat Presiden Direktur perusahaan telekomunikasi bergerak di Indonesia. Berceritalah si ekspat bahwa sepanjang karir profesionalnya, ia sudah tiga kali menjalani asesmen: saat menjadi management trainee, junior manager, dan senior manager. “Saya sangat percaya dengan metode asesmen, dan bila dilakukan dengan benar akan memberikan data yang sangat bagus. Saya adalah contoh hidup dari akurasi metode asesmen,” ujar si ekspat dengan semangat kepada Vina. Cerita ini dikemukakan Vina saat bertemu redaksi Human Capital. Setidaknya ada dua hal yang bisa disimpulkan dari cerita tentang pengalaman hidup si bule itu. Pertama, metode asesmen telah menjadi pilihan utama banyak perusahaan dalam mengevaluasi potensi dan kompetensi kandidat pimpinan. Kedua, metode ini memiliki akurasi yang sangat baik. Artinya, korelasi hasil penilaian asesmen dengan kinerja kerja (performance) orang itu dalam berbagai jabatan yang diemban sangat tinggi. Penggunaan metode asesmen berkembang luas di Amerika. Metode ini pertama kali diperkenalkan tahun 1920-an, di mana asesmen didesain untuk memilih dan mempromosikan personil dalam berbagai jabatan, dari insinyur dan ilmuwan hingga sekretaris; personil militer; bahkan matamata. Metode ini mendapatkan penerimaan yang luas di Amerika selama era 1950-an dan 1960-an. Dewasa ini, berbagai organisasi memandang asesmen sebagai alat yang diterima luas untuk merekomendasikan program pengembangan personil di berbagai jabatan. Mayoritas perusahaan raksasa Amerika yang tergabung dalam daftar Fortune 500
memanfaatkan metode asesmen, baik sendirian maupun berkombinasi dengan metode lain. Misalnya, berkombinasi dengan metode 360 degrees feedback. “Biasanya metode 360 degrees itu diguna-
kan untuk mengumpulkan informasi masukan. Informasi itu kemudian dibawa ke Assessment Center,” ujar Prof. George Thornton III, pakar psikologi industri dari Colorado State University yang juga ahli asesmen yang berpartisipasi dalam penulisan sejumlah panduan etika pelaksanaan asesmen internasional. Dengan kombinasi itu, tingkat akurasi penilaian akan sangat tinggi. Di Indonesia sendiri, PT Telkom merupakan perusahaan pertama yang membangun Assessment Center dan menerapkan secara holistik metode asesmen ini. Ide pendirian Assessment Center bermula dari keyakinan manajemen baru Telkom bahwa sumberdaya manusia adalah hal yang utama, sementara teknologi bisa dibeli. Kemudian Telkom mengeksplorasi ide-ide yang akan dilakukan, yang terfokus pada pengelolaan sumberdaya
manusia. “Salah satunya adalah ide Assessment Center yang disampaikan senior kami Bapak Fadjar,” kata Pandji Darmawan, Kepala Pusat Career Development Support/ CDSC Telkom. Ide itu kemudian digali, dan bahkan Telkom mengirim 15 orang ke Singapura untuk mempelajari Assessment Center. Akhirnya, Telkom mulai membangun Assessment Center tahun 1989, dan diresmikan tahun 1991. Sejak itu, Assessment Center dijadikan satu alat penilaian yang terintegrasi dengan manajemen SDM Telkom. “Setiap orang Telkom yang akan menempati posisi kunci harus melalui Assessment Center untuk dinilai,” tuturnya. Jumlah karyawan Telkom yang telah dievaluasi dengan metode asesmen kini telah mencapai ribuan orang. Langkah Telkom itu baru beberapa tahun kemudian diikuti oleh perusahaan maupun organisasi lainnya. Saat ini, perusahaan maupun organisasi yang telah memiliki Assessment Center, antara lain, Toyota Astra Motor, Pos Indonesia, Bank BNI, BTN, Peruri, Newmont Nusa Tenggara, Gillette Indonesia, Gobel International, RCTI, Pertamina, Astra International, Bank Indonesia, Auto 2000, Tugu Pratama, Citibank, ASEI, BCA, Gulf Indonesia Resources, Indosat, PPM, PermataBank, dan lainnya. Bank Mandiri, menurut SVP HR/ Deputy Group Head I Nengah Rentaya, sedang mempersiapkan pendirian Assessment Center di Cikini, Jakarta. “Kami melakukan benchmarking dengan Astra dan Telkom. Diharapkan tahun 2005 Assessment Center Bank Mandiri sudah diresmikan,” ujarnya didampingi AVP HR Group Sri Mumpuni, Haryoko Poerwo-
cakupan jabatan/pekerjaan. Fokusnya terletak pada kompetensi teknikal dan kinerja, dua hal yang sangat vital untuk sukses. Kompetensi kinerja individu adalah kompetensi organisasi yang diterapkan kepada setiap individu. Karyawan akan berjuang menerjemahkannya ke dalam aplikasi pekerjaan tertentu. Perjuangan bagi setiap karyawan ini diperlukan karena keahlian ini diterapkan secara berbeda dan seringkali tidak konsisten. Esensi kompetensi kinerja adalah bagaimana pekerjaan dikerjakan. Sebagai contoh, akuntan membutuhkan kompetensi kinerja terkait pada aspek detil dan pemecahan masalah secara analitikal. Sedangkan, untuk orang-orang HR, berlaku hal yang lebih fleksibel – mungkin karena lebih banyak berurusan dengan aspek kualitatif■
riono, dan Budirahayu. Tingginya animo perusahaan Indonesia untuk mendirikan dan memanfaatkan Assessment Center – memang masih terbatas pada perusahaan berskala besar – sungguh satu hal yang menggembirakan. “Hal ini menunjukkan perhatian terhadap manusia sebagai aset utama organisasi semakin besar,” tegas Vina. “Orang juga percaya bahwa mengadakan asesmen merupakan investasi,” tambah Nenny Lasmanawati, Head of Assessment Center DDI. Tingginya animo tersebut tentu tidak bisa lepas dari tingginya akurasi metode asesmen. Soal akurasi ini memang bervariasi, namun secara keseluruhan tetap paling tinggi dibandingkan metode evaluasi lainnya. Pakar Lyle M. Spencer dan Signe M Spencer – penulis buku Competence at Work – mendapatkan akurasinya 0,65. Akurasi yang sama dikemukakan oleh British Psychological Association. Bandingkan misalnya dengan metode ‘modern’ personality test yang hanya memiliki tingkat akurasi 0,39. Berdasarkan pengalaman, Telkom menilai akurasinya mencapai 0,76. Beberapa penelitian lain, seperti disitir Sri Ilmijani, Head of Recruitment and Assessment Center, dan Indu Dewi, Manager Assessment Center PermataBank, memperkirakan tingkat akurasi metode asesmen mencapai 0,8. Betapapun beragam tingkat akurasi metode asesmen, akurasi metode asesmen tetap paling tinggi. Tingkat akurasi lebih dari 0,5 dalam ilmu sosial sudah dianggap akurat. “Tidak ada satu pun metode yang memiliki akurasi 100%,” Pandji Darmawan mengingatkan. Itu sebabnya, rekomendasi yang didasarkan pada hasil asesmen tidak bisa menjadi satu-satunya pertimbangan dalam mengambil keputusan tentang orang itu■
23
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
H C P e r s p e k t i f
PELUANG SDM MARITIM D
i laut kita jaya… Semboyan kebanggaan para pelaut kita itu semakin jarang terdengar. Bukannya kita makin jaya, kemunduran besar kini terjadi di bidang kelautan. Wilayah perairan Indonesia menjadi santapan empuk para nelayan dari negara-negara lain. Armada kapal lokal Indonesia terus menyusut. Angkutan laut untuk barang-barang domestik sebagian dikuasai oleh kapal-kapal berbendera asing. Lebih parah lagi, angkutan barang untuk tujuan internasional dengan petikemas, 97% dikuasai oleh angkutan kapal asing. Kemunduran ini tak ayal membuat prihatin Drs. Agustomo, MPM., Anggota Dewan Maritim Indonesia, yang juga praktisi kepelabuhan di Indonesia. Ia menilai, Indonesia sebetulnya memiliki potensi besar di bidang kelautan. Salah satunya adalah sebagai pemasok pelaut ke pasar global. Kebutuhan terhadap Anak Buah Kapal (ABK) di dunia saat ini sekitar 352.000 orang per tahun. Dari jumlah itu, Indonesia memasok sekitar 70.000 orang per tahun. Pemasok terbesar adalah Cina, disusul oleh Filipina. Dibandingkan pelaut dari negara lain, para pelaut Indonesia termasuk paling disukai oleh perwira kapal asing. Pelaut Indonesia biasanya cukup pandai, rajin bekerja, tidak suka mabuk-mabukan, loyal, punya paspor, dan lumayan dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan karakter pelaut Cina: pandai, loyal, namun tidak punya paspor dan bahasa Inggrisnya minim. Sedangkan karakter pelaut Filipina, pandai, cakap berbahasa Inggris, namun suka mabuk-mabukan dan kurang loyal. Kelemahan pelaut Indonesia, menurut pengakuan pemilik kapal asing, sangat rindu pulang kampung (homesick) terutama saat hari raya tiba. Saking rindunya, mereka bisa kabur begitu saja seminggu sebelum hari raya. Kebiasaan ini sangat mempengaruhi kontrak kerja. Bila sebuah kapal memiliki 30 ABK, separuhnya saja kabur, kapal tidak bisa jalan. “Tapi, persoalan homesick ini tidak begitu sulit diatasi,” ujarnya. Masalah lain yang belakangan ini banyak dikeluhkan perwira kapal asing adalah ditemukannya banyak pelaut yang berijazah aspal (asli tapi palsu). Akibatnya, beberapa kali pelaut kita diturunkan golongannya dari posisi sebenarnya. Soal ijazah aspal ini terkait dengan sumber pasokan ABK yang memang belum terlalu jelas. Diperkirakan pasokan ABK berasal dari lembagai pendidikan Pertamina (untuk kebutuhan sendiri) dan perusahaan pengerah tenaga kerja. Jumlah lulusannya pun hanya sekitar puluhan per tahun. “Padahal, ini pasar yang sangat potensial,” katanya. Perbaikan mutu pendidikan dan jumlah lulusan akan menghasilkan pendapatan yang besar bagi Indonesia. Biasanya pendidikan ABK berlangsung selama 3 bulan, khususnya untuk mengambil basic safety training. Satu orang pa-
ling tidak menghabiskan biaya Rp 12 juta per 3 bulan. Kalau sudah jadi dan berkualifikasi bagus, kapal asing mau membeli mereka dengan harga dua kali lipat dengan gaji minimal US$600 hingga ribuan dolar per bulan. Setelah mereka ditransfer/ direkrut, kapal asing itu akan rutin mengirimkan fee $10-20 per ABK kepada agen yang mengirimnya. Dengan memasok 70.000 ABK dan fee $20, maka jumlah komisi yang masuk ke agen setiap bulannya sudah mencapai US$1,5 juta. Ditambah biaya transfer yang bisa mencapai Rp 30 juta per orang dan gaji bulanan mereka, maka devisa yang bisa diperoleh dari kegiatan sangat besar. Dampak ekonomi ini akan semakin besar dengan semakin tingginya kemampuan memasok ABK tersebut. Itu baru untuk ABK kapal pesiar maupun barang. Belum termasuk ABK kapal penangkap ikan, yang selama ini sebagian besar berasal dari Taiwan dan Thailand. Agustomo menilai, sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga pendidikan maritim yang bisa menggandeng pihak terkait dalam penyediaan tenaga kerja maritim berkualitas. Sehingga ijazah aspal yang dikeluhkan pengelola kapal tidak akan ditemukan lagi. Hingga saat ini, hal itu belum tersedia. Padahal, lanjutnya, hal ini tidak terlalu sulit untuk diwujudkan. Berbeda dengan lembaga pendidikan ABK, lembaga pendidikan untuk perwira kapal relatif lebih baik. Lembaga pendidikan resmi untuk perwira ada di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Selain itu, terdapat 26 perguruan tinggi swasta yang mencetak perwira. Kelemahan perguruan tinggi swasta ini adalah tidak memiliki alat simulasi sehingga para mahasiswa langsung praktik di lapangan. Konsekuensinya, kualitas para perwira ini tidak terlalu bagus, khususnya pada saat mulai bekerja di kapal. Menurut Agustomo, praktik simulasi di bangku sekolah itu penting. Selain pelaut, tenaga kerja yang penting untuk ditingkatkan adalah dalam bidang manajemen transportasi laut, yaitu karyawan freight forwarding. Kelemahan Indonesia di bidang ini terjadi karena belum ada yang punya kemampuan distribusi satu atap (pemerintah maupun swasta) yang kuat. Kelemahan ini menyebabkan begitu banyak devisa yang hilang. Sekarang ini, 97% barangbarang Indonesia untuk rute internasional melalui petikemas diangkut oleh kapal-kapal asing. Jumlah barang eksporimpor Indonesia 5 juta TEUs per tahun. Biaya angkut ke Eropa dan Amerika rata-rata US$3000 per TEU, dan biaya angkut ke Jepang dan Korea rata-rata US$2000 lebih per TEU. Bila dipukul rata biaya angkut US$2500 per TEU dan total ekspor 2,5 juta Agustomo
TEUs per tahun (separuh dari total volume ekspor-impor Indonesia), maka jumlahnya sudah US$7 miliar. “Itulah uang kita yang hilang ke luar negeri. Seharusnya uang itu bisa masuk ke pihak Indonesia,” tegas Agustomo. Kehilangan devisa itu terjadi karena si pengumpul adalah orang-orang Indonesia yang bekerja di perusahaan freight forwarding asing. Menurutnya, orang-orang itu bisa dikumpulkan untuk mendiskusikan bagaimana cara terbaik mengatasi kelemahan ini. Volume arus barang ekspor diperkirakan terus meningkat mengingat perluasan kawasan industri kini terus berlangsung. Luas kawasan industri di Jawa Barat kini hampir 50.000 hektar, di Jawa Timur 25.000 hektar, di Jawa Tengah 15.000 hektar, dan ribuan hektar lagi di daerah-daerah lain. Diperkirakan kebutuhan ahli freight forwarding Indonesia dalam beberapa tahun lagi mencapai 5 kali lipat dari jumlah sekarang. Mereka diharapkan bisa mengkonsolidasikan barang-barang Indonesia dengan perlindungan pemerintah untuk memakai kapal dan tenaga kerja dalam negeri. Dengan UU perlindungan pemerintah, setidaknya 50% dari US$7 miliar bisa diraih kembali. Peluang untuk meraih kembali devisa yang hilang itu cukup terbuka, meskipun Indonesia tidak punya kapal. Agustomo telah menjajaki kemungkinan tersebut dalam World Port Investor Forum di London tahun lalu. “Saya bilang kepada mereka, memang Indonesia tidak punya kapal. Tetapi kami ‘kan punya barang. Bisa dong dipakai ketentuan 50% FOB dan 50% CIF. Dan, mereka setuju dengan syarat Indonesia harus mempersiapkan tenagatenaga freight forwarding dan pendukung lainnya. Pendapatannya kelak dibagi dua,” ungkap satu dari sedikit ahli manajemen pelabuhan di Indone-
sia itu. Berarti dalam waktu singkat Indonesia bisa meraih peluang yang sangat besar dengan cara mengkonsolidasikan kargo ekspor oleh tenaga freight forwarder Indonesia. Manajemen barang sepenuhnya di tangan orang Indonesia, meskipun kapalnya milik orang asing. Ini baru dari freight forwarder, belum lagi pemasukan dari terminal handling charge dan jasa-jasa pendukung lain macam angkutan truk. Bila kegiatan ini berlangsung rutin, maka kita bisa memperoleh keagenan dari mereka. Setelah menjadi agen, dalam waktu tertentu, bisa saja pemilik kapal memberikan hak sewa-pakai (leasing) kapal sehingga suatu saat Indonesia bisa mempunyai kapal sendiri. “Cukup dengan mengkonsolidasikan seluruh barang dan SDM, Indonesia nantinya bisa punya kapal. Kalau barang sudah terkumpul, sangat mudah untuk memilih kapal. Lama kelamaan, posisi tawar Indonesia akan semakin baik. Tidak seperti sekarang, negara maritim tetapi tidak punya kapal,” tambahnya dengan nada prihatin■
24
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
S t r a t e g i H C
BAGAIMANA CARLY FIORINA
MEMAKNAI “HP WAY”?
Mega merger Hewlett-Packard Co. (HP) dengan Compaq Computer telah berhasil diselesaikan dan kini mulai menunjukkan hasil. Keputusan merger itu sendiri ditentang habis oleh Walter Hewlett, putera tertua Bill Hewlett, pendiri HP. Di sisi lain, merger semakin melambungkan nama Carly Fiorina sebagai wanita paling berkuasa dalam jajaran bisnis Amerika. Inilah cara baru memaknai “HP Way”.
T
anggal 15 Juli 1999 adalah hari bersejarah bagi Carly Fiorina dan HP karena hari itu Carly menandatangani kontrak sebagai CEO HP. Wanita dengan nama asli Cara Carleton Sneed (kelahiran 1954) ini terpilih menggantikan Lew Platt. Jabatan Chairman untuk sementara waktu masih dipegang oleh Platt. Begitu “mendarat” di kantor pusat HP Palo Alto, Carly memulai langkahnya untuk merevolusikan HP, perusahaan yang sedang terengahengah karena penuaan. Sebagai contoh, divisi komputing terus merugi. Beberapa dewan direksi bahkan berencana menjual divisi tersebut. HP tampaknya kedodoran merespons era New Economy. Langkah awal Carly dalam merevolusikan HP adalah mengontrol semua aspek manajemen perusahaan. Berbeda dengan pendahulunya yang terlalu memberikan otonomi kepada masing-masing divisi, yang membuat arah perusahaan tidak fokus, ia memilih proses sentralisasi kebijakan manajemen. Strategi perusahaan harus disatukan dan diterapkan secara utuh oleh unit bisnis printing, komputing, dan jasa HP. Langkah ini akan menghilangkan proses duplikasi yang selama ini terjadi. “Kita bertumbuh tidak cukup cepat. Juga tidak cukup menguntungkan,” tukasnya akhir 1999. Menurutnya, bisnis perusahaan memiliki potensi besar untuk membantu yang lainnya, akan tetapi itu tidak terjadi. “We’re leaving diamonds on the floor,” ujarnya serius. Secara tidak langsung, Carly ingin menegaskan kepada seluruh jajaran HP bahwa perusahaan harus berubah. Reorganisasi tak terelakkan. Ide-ide perubahan jelas bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan di HP. Carly memasuki perusahaan dengan personalitas yang berbeda dari dirinya. Berdasarkan skala personalitas Myers-Briggs (ini sebuah tes personalitas yang sangat banyak dipergunakan di Amerika, red) Carly termasuk tipe ENFP: seorang yang extroverted, intuitive, feeling, dan perceiving. Psikolog industrial menyebut orang seperti ini penuh energi atau juara dan memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain. Sebaliknya, tipikal karyawan HP dikenal dengan ISTJs: orang yang introverted, sensing, thinking, dan judging. Orang-orang macam ini harus diorganisasikan dan bertindak berdasarkan metode; mereka adalah pakar di bidangnya namun resisten terhadap pendekatan baru yang tidak masuk akal menurut mereka. Interaksi antara kedua tipe manusia ini sangat menentukan
keberhasilan HP di tangan Carly. Carly, misalnya, meminta orang-orang HP terbiasa bergerak cepat, termasuk dalam peluncuran dan pengiriman produk baru. Selama ini, HP tidak akan pernah meluncurkan dan mengapalkan produk sebelum produk itu benar-benar sempurna.
Kadang-kadang, saat diluncurkan, peluang pasar dari produk sudah hilang. “Ini jelas sebuah kesalahan. Lebih cepat lebih baik ketimbang lebih lambat. Selalu begitu,” tegasnya. Carly memperkenalkan istilah baru “perfect enough” untuk menggambarkan kondisi seperti ini. Artinya, produk tidak usah terlalu sempurna karena ia akan bisa mengalahkan pesaing selama diluncurkan dengan kecepatan dan strategi yang tepat. TANTANGAN SANGAT BESAR Tantangan yang dihadapi Carly memang sangat besar, tidak hanya secara internal tetapi juga eksternal. Ekonomi Amerika dan dunia memburuk sejak 2000, dan selama musim dingin 2001, New Economy benarbenar macet. Harga saham HP yang tadinya US$68 per saham dipecah menjadi dua menjadi US$30 per saham bulan Desember
2000. Harga saham bergerak pada angka US$38 di awal tahun dan terus turun setelah itu. Harga saham sektor teknologi tinggi malah lebih buruk lagi. Harga saham Cisco dan Sun anjlok 70% atau lebih. Pada 11 Januari 2001, Carly berkata kepada para reporter bahwa kinerja HP tidak
seperti yang diharapkannya. Penurunan pendapatan terus terjadi. Carly menghadapi krisis serius pertama setelah ia bergabung di HP. Ia yang secara implisit membawa janji perbaikan tentu menjadi target bila keadaan terus memburuk. Secara internal, Carly berusaha keras mengatasi penurunan tersebut. Sejak hari pertama ia datang, ia meyakini bahwa total gaji HP kegedean sehingga pemotongan akan membuat perusahaan lebih produktif dan kompetitif. Dalam rapat temu muka, manajer level bawah setuju untuk mengikuti apa saja yang digariskannya. Beberapa bulan berlalu, kondisi tetap saja tidak membaik. Carly menghadapi masalah yang dulu juga dihadapi Lew Platt pada masa akhir jabatannya: birokrasi, letargi, dan keyakinan bahwa “HP Way” harus menjadi pegangan siapa saja di HP – dari karyawan hingga bos. Pada 26 Juli 2001, akhirnya HP meng-
umumkan PHK 6.000 karyawan sebagai upaya memotong biaya US$500 juta setahun. PHK oleh HP ini menambah suram kondisi bisnis teknologi tinggi yang telah mem-PHK 25.000 karyawan. PHK ini membuat karyawan HP shocked. Pengurangan karyawan mungkin hal yang biasa pada banyak perusahaan besar, tetapi bagi HP ini adalah hal yang baru dan menakutkan. Tangisan dan kepedihan mewarnai karyawan yang pergi maupun yang tinggal. Tapi, bagi Carly tidak ada waktu untuk bersikap cengeng. Ia ingin segalanya selesai dengan cepat dan bangkit kembali karena PHK massal ini memberikan trauma bagi organisasi. Reaksi terkeras dari PHK ini justru datang dari alumni terkemuka HP di Lembah Silikon, yang memiliki keterikatan batin dengan masa-masa jaya HP 50-an hingga 80-an. Mereka menyebut Carly telah menghancurkan semangat tim – dan nilai saham HP yang mereka miliki. Mereka tidak kenal sepenuhnya Carly dan informasi terkini tentang operasi HP, tetapi mereka yakin Carly tidak memahami “HP Way” di mana mereka ikut membuatnya. Sesuai dengan prinsip “HP Way” yang ditulis Dave Packard, HP berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan PHK. Kondisi kini sangat berbeda sehingga memaksa PHK dilakukan. Perlukah “HP Way” ditulis ulang? TUMBUH DENGAN AKUISISI Di sisi lain, upaya untuk meningkatkan posisi HP dalam persaingan terus berlangsung sejak 1999. Salah satu opsi yang paling menarik adalah peluang untuk melakukan akuisisi raksasa – sesuatu yang mungkin tidak akan dilakukan oleh Dave Packard dan Bill Hewlett. Sebetulnya tidak juga, mengingat salah satu prinsip HP yang termaktub dalam “HP Way” adalah bertumbuh dengan akuisisi. HP melakukan akuisisi pertama tahun 1958 terhadap F.L. Moseley Co., produsen perekam X-Y dan instrumen lainnya. Akuisisi terbesar HP tahun 60-an adalah membeli Sanborn Co. di Waltham, Massachusetts, produsen elektrokardiograf dan instrumen tes/pengukuran lainnya. Bedanya, rencana akuisisi HP kali ini jauh lebih dahsyat. Target awal adalah mengembangkan bisnis pencetakan fotografi dan gambar digital. Target akuisisi bisa saja dengan membeli Eastman Kodak – sebuah deal yang berbiaya US$30 miliar atau lebih. Setelah mempelajari secara seksama, rencana akuisisi Kodak ini bukanlah cara terbaik. Dengan membeli
25
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
S t r a t e g i H C Kodak tidak berarti hanya membeli aset operasional semata, tetapi termasuk juga berbagai hal lain, termasuk pensiun dan program benefit karyawan. Carly kemudian menegaskan: “Perubahan pemikiran ini juga karena bisnis Kodak berubah ke era digital. Kami merasa, tanpa mereka, HP bisa memiliki bisnis digital sendiri.” Rencana berikutnya adalah mengakuisisi Indigo N.V., sebuah perusahaan Belanda-Israel yang membuat printer untuk materi komersial macam katalog, brosur, flyer, dan seterusnya. Biaya akuisisi US$882 juta. Sebelumnya HP telah memiliki 13% saham perusahaan ini. Rencana akuisisi ini akhirnya batal gara-gara Walter Hewlett bercerita kepada temannya telah membeli saham Indigo untuk keperluan dirinya. Upaya dewan direksi untuk berburu perusahaan masih terus berlanjut. Kegagalan akuisisi sebelumnya mendorong para direktur untuk fokus pada peluang dan tantangan HP di industri komputer. Mereka mensurvei setiap segmen di mana bisnis HP berada. Dell dan sampai batas tertentu Compaq adalah perusahaan yang harus dikalahkan dalam bisnis PC. Sun Microsystems adalah lawan berat dalam produk server, workstations, dan komputer kelas bisnis lainnya. EMC dan Network Appliance menarik perhatian karena sukses dalam produk penyimpanan data. Sementara industri outsourcing dan jasa komputer sangat terfragmen dan penuh persaingan, mulai dari EDS hingga perusahaan auditkonsultansi Big Five. Dari jumlah itu, hanya IBM yang tidak terusik. Sulit bagi HP untuk menyentuh IBM. Nilai pasar saham IBM di pertengahan 2000 sekitar US$200 miliar dan bakal meraih pendapatan tahunan US$88 miliar. Nilai kapitalisasi pasar dan pendapatan HP kurang dari separuh jumlah itu. Akuisisi yang tepat membuat posisi HP bisa mendekati posisi IBM. Hanya saja, HP punya pengalaman buruk dalam akuisisi. Lihat saja akuisisi Apollo Computer senilai US$476 juta tahun 1989 dan Verifone – perusahaan pembayaran elektronik – senilai US$1,18 miliar tahun 1997. Sejak kegagalan tersebut, para manajer dan eksekutif HP telah memutuskan bahwa semua jenis akuisisi perlu dihindarkan. Sekarang, Carly dan seluruh direksi HP harus membuktikan hal yang sebaliknya. Bulan September 2000, Carly melihat peluang setelah bersama direksi lainnya mengidentifikasi bahwa jasa komputer tumbuh cepat dan relatif memiliki marjin laba tinggi. Untuk mempercepat pengembangan bisnis, HP memilih untuk mengakuisisi perusahaan penyedia jasa komputer utama. Mereka melirik EDS sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada divisi konsultansi PricewaterhouseCoopers (PwC), salah satu dari firma akuntansi Big Five yang telah berdiversifikasi secara cepat ke dalam jasa komputer. Sebanyak 35.000 konsultan PwC membantu perusahaan besar memasang, memperbarui, dan mengelola sistem komputer. Divisi yang sama di HP hanya memiliki 6.000 konsultan. Sayangnya, pejabat PwC mematok harga US$17 atau $18 miliar, yang menurut Carly terlalu mahal. Rencana akuisisi divisi PwC itu disambut pasar dengan skeptis. Harga saham HP
HP WAY FILOSOFI MANAJEMEN HP Andreas R. Diantoro dan istri bersama Carly Viorina, CEO HP
turun 3%. Manajemen HP berusaha meyakinkan pasar dan investor tentang akuisisi ini, namun upaya menawar harga lebih murah ditolak PwC. Pertengahan November 2000, Carly memutuskan mundur dari rencana tersebut. Manajemen HP kembali memutar akal. Carly meminta bantuan konsultan strategi McKinsey & Co. untuk mengkaji posisi kompetitif HP agar ia mendapatkan gambaran yang lebih dalam tentang HP dan pesaing. Pada saat yang hampir bersamaan, Compaq juga sedang berjuang karena kinerja bisnisnya menurun. Investor menilai akuisisi Tandem Computer senilai US$3 miliar dan Digital Equipment senilai US$8,5 miliar serta mengintegrasikannya dengan Compaq adalah keputusan yang salah. Harga saham Compaq per 31 Maret 2001 tinggal US$20 per saham, turun lebih dari 60% dari harga tertinggi. Sebagai solusi, Compaq melihat merger dengan perusahaan lain sebagai solusi mengatasi keterpurukan ini. Dan, merger tersebut sebaiknya dilakukan dengan HP. Awal 2001, para direktur Compaq memberi wewenang kepada CEO mereka Michael Capellas untuk berunding dengan HP. Capelas beberapa kali mencoba berbicara dengan Carly sebelum akhirnya Carly mau membicarakan tawaran itu dengan serius. Dibutuhkan beberapa bulan bagi Carly untuk mendapatkan dukungan dari para direksi lainnya tentang rencana ini. Seperti biasa, Walter Hewlett menentang keras rencana merger ini. Begitu pula para karyawan senior yang bersama-sama Walter merasa Carly telah membawa HP melenceng jauh dari “HP Way”, selain khawatir merger menimbulkan gelombang PHK baru. PRO-KONTRA MERGER Ujian terberat mewujudkan rencana merger adalah meyakinkan para pemegang saham HP. Prosesnya sangat melelahkan karena harus mengerahkan seluruh pikiran, uang, energi, dan strategi untuk memenangkan perebutan suara. Pertarungan antara kubu pro dan kontra merger menghabiskan dana yang jauh lebih besar dari biaya kampanye Presiden Amerika. Walter Hewlett akan menghabiskan dana US$36 juta untuk kampanye menolak merger. HP sendiri harus mengeluarkan uang US$75 juta untuk kontes proxy dan pengeluaran merger lainnya. Kombinasi keduanya bisa menghabiskan dana US$100 juta lebih. Bandingkan misalnya dengan kampanye Presiden Carter dan Ford yang masingmasing menghabiskan dana US$34 juta tahun 1976.
Suasana semakin tegang saat voting diselenggarakan 18 Maret 2002 di Flint Center, Cupertino, sebuah auditorium dekat Lembah Silikon berkapasitas 2.400 tempat duduk. Kebanyakan pemegang saham menggunakan hak suara secara elektronik sehingga mereka tidak perlu hadir. Namun ribuan pemegang saham individual akan datang, dan sebagian besar pendukung Walter. Walter hadir pula di sana. Carly yang memimpin rapat benar-benar dibuat stres oleh serangan bertubi-tubi pemegang saham yang menolak rencana merger. Beberapa kali dia tampak hampir menangis. Toh dengan tegar ia kembali bangkit. Ketika suara dihitung, rencana merger HP-Compaq disetujui dengan marjin yang tipis. “Slim margin but sufficient,” gumam Wilson Sonsini, pengacara HP. Didorong rekan-rekannya, Walter memperkarakan rencana merger ini ke pengadilan seminggu kemudian. Dalam perhitungan penasehatnya, menghentikan merger akan menambah US$5 untuk setiap harga saham HP, yang berarti penambahan US$500 juta aset tambahan bagi Hewlett Foundation. Biaya pengadilan dan terkait sekitar US$4 juta. Kendati peluang menang kecil, hasilnya cukup menarik untuk diperjudikan. Langkah Walter ke pengadilan ini membuat hati seluruh direksi HP tertutup menerima dirinya kembali di jajaran direksi HP. Dalam pertarungan di pengadilan yang sensional, juri memenangkan rencana merger HP-Compaq itu. Maka, akuisisi Compaq senilai US$20 miliar telah memiliki kekuatan hukum yang cukup. Inilah transaksi terbesar sepanjang sejarah dalam bisnis teknologi informasi (TI). Seluruh karyawan Compaq – 65.000 orang – bergabung dengan karyawan HP membentuk HP baru. HP kini menjadi raksasa TI nomor dua setelah IBM. Kepemimpinan Carly yang kuat menjadikan proses integrasi menyeluruh HPCompaq berlangsung sesuai rencana – maksimal satu tahun sejak merger dilaksanakan. Posisi kunci dalam divisi bisnis HP tidak seluruhnya diborong oleh orangorang eks HP, tetapi berbagi dengan eksekutif eks Compaq. Capellas yang menempati posisi Wakil CEO dalam struktur HP yang baru 6 bulan kemudian mundur dan memilih menjadi CEO WorldCom yang sedang dalam proses pemailitan. Merger ini membuat posisi HP semakin kuat di bisnis PC dan jasa, di samping makin memantapkan bisnis printing dan imaging yang sudah memimpin di pasar – dengan total pendapatan US$70 miliar. Tawaran dari PwC yang datang lagi tahun 2002 mereka
Hewlett-Packard Co. didirikan oleh dua orang insinyur kelistrikan lulusan Stanford Bill Hewlett dan David (Dave) Packard tahun 1937 dengan modal awal US$538. Mulanya mereka hanya mengerjakan pekerjaan pertukangan sederhana. Usaha tersebut kemudian terus berkembang menjadi besar berkat kehebatan dan keuletan mereka. Dave Packard kemudian menuliskan sistem nilai dan prinsip manajemen HP dalam sebuah buku berjudul The HP Way tahun 1995. Nilai dan prinsip tersebut, antara lain, bertumbuh dari laba usaha, komitmen pada inovasi, percaya kepada sumberdaya manusia, mengembangkan organisasi dengan akuisisi, mengutamakan promosi pimpinan dari dalam, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Kedua pendiri ini juga penganut sejati Management by Objective dan Management by Walking Around. Tidak seluruh prinsip dalam HP Way tersebut dinilai baik oleh investor. Perhatian yang terlalu besar terhadap masyarakat salah satunya (HP memiliki 2 yayasan, yaitu Packard Foundation dan Hewlett Foundation yang memiliki modal besar). Investor menilai, hal ini menyebabkan profitabilitas dan return investasi saham HP menjadi lebih rendah■
abaikan sama sekali. Akhirnya divisi konsultansi PwC itu diakuisisi IBM dengan harga hanya US$3,5 miliar. Untung dulu HP tidak jadi membeli dengan harga US$17 miliar. Merger juga membuat struktur organisasi dan manajemen HP Indonesia berubah. Elisa Lumbantoruan (mantan Direktur Pemasaran Compaq Computer Indonesia) dipilih menjadi Presiden Direktur HP Indonesia dibantu 2 veteran eksekutif HP: Andreas R. Diantoro dan Johannes A. Gianto – masing-masing sebagai Managing Director. Ketiga eksekutif HP Indonesia ini mengaku sangat senang atas asimilasi budaya yang terjadi antara kedua perusahaan. “Kami saling belajar dan melengkapi,” ungkap Elisa dan Andreas di tempat terpisah. Keberhasilan HP mengembangkan bisnis pasca merger ini menentukan apakah keputusan merger sebuah langkah yang brilian atau sebuah blunder; apakah upaya merevitalisasi “HP Way” berhasil dilakukan atau tidak. Orang-orang yang peduli terhadap HP menginginkan nilai-nilai warisan itu dimodernisasi, dan berharap banyak Carly bisa melakukannya. Manajemen klasik memuji HP karena komitmennya terhadap management excellence – seperti Theory Z dan Built to Last – kendati perusahaan mulai kehilangan jalan di pasar. “Saya seperti sudah ditakdirkan memimpin dan menemukan kembali HP dan ‘HP Way’,” ucap wanita yang selalu berpakaian rapih dan berselera tinggi tersebut■
26
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K o l e
g a
Edhie Sarwono
Niat Ikhlas
B
Seorang Manusia Indonesia
ertemu dengan Edhie Sarwono pertama kali seperti bertemu dengan teman lama. Arek Suroboyo kelahiran 4 November 1966 itu teman berbincang yang menyenangkan. Bukan hanya ramah, santun dan low profile, ayah dua putra ini juga berwawasan luas dan tak pelit informasi. Edhie, demikian nama panggilannya, yang kini menjabat Kepala Divisi Environment & Social Responsibility PT. Astra International Tbk. menerima HC di tengah kesibukannya mengkoordinir kegiatan sosial korporasi Grup Astra, salah satunya berhubungan dengan bencana alam Aceh. Padahal saat itu grup usaha papan atas Indonesia itu sebenarnya sedang dalam masa libur akhir tahun. “Seperti namanya, Corporate Responsibility adalah ungkapan tanggungjawab perusahaan pada lingkungannya. Performance dalam cakupan Social Responsibility yang berkutat di area kepedulian dengan sendirinya menjadi media strategis bagi pembentukan reputasi perusahaan. Namun demikian, ada hal penting yang selalu saya tekankan dalam menjalankan program dalam scope ini, yaitu niat yang ikhlas dalam memberikan nilai tambah bagi lingkungan sekitar,” demikian ungkap Edhie, yang awal desember 2004 baru mencanangkan program Astra Friendly Company sebagai tema payung Social Responsibility Grup Astra. Peduli dengan niat ikhlas bagi Edhie bukan sekedar ungkapan kosong. Insinyur Teknik Mesin lulusan Universitas Brawijaya ini ketika lulus tahun 1990 sempat bekerja 3 bulan di Grup Multinasional dari Jepang. “Ketika saya hendak diangkat menjadi pegawai tetap, saya dipanggil oleh Astra. Dan saat saya mengajukan resignation, bersamaan saya juga mengajukan keberatan resmi pada perusahaan mengenai perlakukan yang tidak seimbang mereka pada karyawan lokal,” Edhie tertawa. Apakah Edhie memang idealis dan nasionalis? Edhie tertawa lagi, “wah bukan saya yang menilai itu,” ujarnya. Tapi ia tak menampik ada nilainilai idealisme dan nasionalisme yang tertanam pada anak dari dokter yang dulu bertugas di angkatan itu. “Waktu SMP saya juga senang membaca novel Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis yang benar-benar berkesan hingga saat ini,” begitu tambah pria yang sejak SMP telah banyak aktif di berbagai organisasi itu. Edhie bergabung dengan Grup Astra sejak Februari 1991. “Saya ikut manajemen training selama 6 bulan dan menjadi pegawai tetap di Astra Agustus 1991,” katanya. Di awal Edhie bergabung di departemen Process Engineering divisi Pengembangan Teknologi. Tahun 1992 Astra mengembangkan quality management di saat ramai perusahaan Indonesia menargetkan seri sertifikasi ISO 9000. “Saat proyek itu ditawarkan, oleh kepala divisi, waktu itu Bapak Leo Susilo, tidak ada yang mau take charge, akhirnya saya lah satusatunya yang bersedia,” ungkap Edhie. Jadilah Edhie belajar banyak mengenai quality, menelusuri manajemen manufaktur,
menyusun sistem operasi standar untuk best product yang bermuara pada implementasi best product & efficiency. Pada pertengahan 1993, divisi tempat ia berada menjadi Astra Consulting Services untuk manajemen mutu dan pada tahun 1994 berubah lagi menjadi Efficiency Division dengan lingkup tanggungjawab lebih dalam untuk meningkatkan kualitas produksi perusahaan dalam Grup Astra. Di situ Edhie ditugasi menjadi team leader sehingga banyak melakukan perjalanan ke seluruh Indonesia mengunjungi pabrik-pabrik dan sentra-sentra usaha Astra. “Ada idealisme saya juga dalam menjalankan itu. Saat itu Astra berhasil memperoleh sertifikasi ISO 9001 dan 9002 yang boleh dikatakan diraih dengan upaya sendiri. Tanpa merendahkan konsultan asing yang sering dimanfaatkan oleh banyak perusahaan untuk sertifikasi ISO, saat itu kami percaya bahwa proses produksi dalam lingkup kami ya mestinya kami sendiri yang tahu pasti. Kami juga yang menyadari bahwa ini bukan hanya sekedar mendapatkan sertifikasi yang meningkatkan reputasi. Manajemen mutu yang baik akan meningkatkan performa perusahaan karena kualitas produk yang baik akan meningkatkan kepuasan pelanggan, di samping juga berarti penghematan besar di sisi proses produksi yang akan menguntungkan perusahaan. Saya tidak memungkiri bahwa pengetahuan tentang manajemen mutu dan pengembangannya juga kami peroleh dari beberapa expert asing, namun sifatnya lebih kepada advising per kasus, bukan keseluruhan,” tutur Edhie.
Tahun 1997 Edhie menangani proyek Environment Astra dalam rangka meraih sertifikasi ISO 14001. Apakah karena Astra banyak bergerak di sektor manufaktur maka perlu sertifikasi ini? Edhie menjawab dengan serius: “untuk reputasi, memang lebih banyak perusahaan di sektor manufaktur memerlukan ini. Namun untuk moral dan kebaikan secara makro, seluruh perusahaan wajib mengelola lingkungannya.” Edhie mencontohkan berapa banyak listrik yang terbuang di perkantoran yang pegawainya enggan mematikan komputer saat pergi atau mematikan lampu ruang rapat. Berapa banyak air minum yang terbuang di ruang rapat atau di meja kerja yang tidak dihabiskan. “Di kantor ini kami mendaur ulang air yang terbuang dari kamar kecil untuk menyiram tanaman,” katanya. Bukankah itu perlu investasi lagi? “Itulah kesalahan yang kerap dilakukan engineer kita. Pada saat mengajukan usulan proyek, tidak melengkapi datanya dengan analisa bisnis agar pemodal paham kapan dan bagaimana modalnya kembali. Kalau tidak dalam bentuk uang lagi, mungkin dalam efektivitas produksi ke depan yang membantu penghematan besar bagi biaya operasional,” katanya bersemangat. Edhie sendiri mendapat kepercayaan mengelola divisi Safety & Environment pada tahun 1998. Meski ditawari jabatan kepala divisi, ia tak urung bimbang. “Mengelola proyek dengan divisi pastinya beda. Dan bidang ini bukan bidang yang saya tahu banyak. Saya sampai minta waktu dulu untuk mikir, pakai berkonsultasi dengan istri segala, hingga akhirnya saya menerima
tawaran itu,” Edhie yang senang membaca dan berjalan-jalan di udara terbuka itu tergelak. Memimpin divisi yang sempat dipandang ‘sekedar ada’ oleh beberapa kalangan, Edhie menetapkan tekad untuk terus maju dan memberi nilai lebih bagi tempatnya bekerja. “Saya harus belajar dari buku, internet, teman, relasi, bahkan dari bawahan saya mengenai lingkungan dan keamanan kerja,” ujarnya. Hasilnya, setahun kemudian ia meluncurkan Astra Green Company, program sadar lingkungan bagi Grup Astra dengan program 3in1, yaitu Environment, Safety & Health. Edhie boleh berbesar-hati karena program ini bukan hanya gerakan philanthropic belaka, melainkan mendapat dukungan penuh manajemen dan direalisasikan secara konsekuen sehingga membuahkan hasil yang tidak kecil bagi grup usaha ternama itu. “Kami membukukan progres progam yang bisa dilihat oleh siapa saja. Tapi contoh paling dekat adalah bagaimana hal itu telah membuat bengkel Astra sempat memenangkan tender besar karena dinilai sangat concern terhadap lingkungan dan keamanan dibanding kompetitor. Gerakan kesehatan yang diterapkan pada karyawan dan perusahaan juga ternyata berhasil menghemat biaya penggantian obat hingga ratusan juta rupiah. Kami juga menggelar beberapa program community develoment, salah satu yang paling dekat adalah upaya pencegahan banjir di wilayah kantor pusat Astra yang mencakup pembangunan prasarana dan pendidikan sadar kebersihan bagi masyarakat, pemberdayaan apotik hidup, pupuk kompos bekerjasama dengan institusi akademis dan organisasi non profit seperti UI dan Unesco” demikian ungkap Edhie yang saat ini juga aktif di yayasan-yayasan pengembangan komunitas yang di bangun oleh Grup Astra. Akhir tahun 2004 ini Edhie mengemban satu lagi tugas dalam divisinya, ”Environment, Safety & Health menjadi Environment & Social Responsibility. Terus terang saya harus belajar banyak lagi berkaitan social responsibility. Namun saya melihat, di tahap awal area tanggungjawab terdekat bagi perusahaan adalah karyawan dan lingkungan sosial sekitarnya. Dengan berpegang pada 3 prinsip utama, yaitu tumbuh bersama, pemberdayaan lingkungan serta pengembangan spiritual, kami berharap bisa memberi nilai tambah bagi semua. Tentu saja masih banyak homework bagi Astra Friendly Company program, tetapi saya percaya bahwa dengan tekad kuat, keyakinan dan kebersamaan, Astra bisa menjadi Good Corporate Citizen bagi seluruh stakeholdernya,” demikian Edhie. Setidaknya, tanpa disadari Edhie sudah membuktikan, tekad kuat, keyakinan dan kebersamaan yang senantiasa ia terapkan dalam kehidupannya telah menjadikan ia seorang manusia Indonesia yang atensi dan kepeduliannya terhadap sesama sering memberi arti bagi yang lain■
27
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K o l e
g a
Ignatius Rusli Agus Ariyanto
Akuntan Yang Fasih Marketing
Bergabung dengan shopping center seperti Mal Ciputra, bukanlah cita-cita kecil bapak dua anak ini. Meski mengangan-angankan menjadi seorang novelis, ia malah asyik menggeluti dunia finance dan akhirnya terdampar di shopping center.
T
idak mudah meyakinkan pria kelahiran Jakarta, 1 Januari 1961 agar mau membuka pribadinya. Apalah arti saya, begitulah kira-kira yang ia lontarkan kepada anak buahnya sebelum dihubungi HC. Padahal, sosoknya sebagai Deputy General Manager di PT. Ciputra Sentra, selaku pengelola Mal Ciputra di kawasan barat Jakarta, tidak kalah pentingnya dengan posisi lainnya. Sebagai seorang Deputy GM, ia bertanggung jawab penuh terhadap marketing dan leasing Mal Ciputra. Pria yang mengawali karirnya sebagai konsultan di Arthur Andersen ini memang mengakui merasa tertantang dengan menjabat posisi yang berbeda dari bidang sebelumnya. “Bagaimana tidak, saya kan berlatar belakang akuntansi, yang komunikasinya hanya dengan angka. Eh, sekarang malah ditawari posisi deputy GM, dimana
saya harus berkomunikasi dengan banyak orang,” gelak Agus, sapaan akrab bapak dari Brian Leonardo (9 tahun) dan Sergio
Leonardo (1 tahun). Sebelum menjabat Deputy GM, ia memang ditawari Ciputra Group bekerja di Mal Ciputra dengan posisi Financial Controller. “Saat itu saya oke saja karena masih masuk dengan keahlian saya,” ujar suami Elni Lo (39 tahun) mengomentari. Namun siapa sangka, saat posisi Deputy GM di Mal Ciputra kosong, justru ia yang ditawari oleh Ciputra Group. Bersyukur, jelasnya, dukungan dari berbagai pihak khususnya dari jajaran direktur Ciputra, membuat ia pantang mundur menjalani pekerjaan tersebut. Sebagai orang bertanggung jawab terhadap marketing dan leasing, ia harus berhasil mempromosikan Mal Ciputra kepada masyarakat luas serta memasarkan tenant. Menurutnya, sebuah tim yang sukses disebabkan kekompakan tim. “Saya berusaha dekat dengan anak buah, tidak ‘jaim’ (jaga image, red), sehingga komunikasi bisa lancar,” tukas penggemar wangi body shop ini. Meski sering terjadi benturan dengan anak buah terutama dalam hal ide, ia tidak mempermasalahkan hal tersebut. “Yang penting bagaimana perbedaan ini bisa satu visi.”
Tak heran dari hasil kerja keras timnya, Mal Ciputra berhasil meraih penghargaan MAXI Merit Award dari International Council of Shopping Center (ICSC), Amerika Serikat karena melakukan bakti sosial pemberantasan nyamuk demam berdarah akhir tahun 2004 lalu. Meski Mal Ciputra sudah beberapa kali mendapat penghargaan tersebut, namun untuk mempertahankannya memang tidak mudah. Dibutuhkan kreativitas dan kerjasama tim yang solid. Sibuk dengan rutinitas kantor, bukan berarti ia melupakan keluarga. Penggemar olahraga badminton, tennis dan voli ini kerap meluangkan waktu bersama keluarga ke villa pribadi mereka di puncak, Bogor atau sekedar berenang dan shopping di Jakarta. “Sekalian survei di mal lain ada kegiatan apa untuk menjadi bahan perbandingan bagi kami.” Hobi lainnya, ia beberapa kali menulis cerita yang masih tersimpan dalam arsipnya. “Saya sedang mengumpulkan beberapa tulisan fiksi saya yang nantinya akan saya buat menjadi buku,” papar Agus yang memang bercita-cita menjadi novelis di hari tuanya■
Manajemen & Karyawan Human Capital, Persaels, dan EXIS
Ikut belasungkawa atas musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh dan Sumatera Utara. Semoga bangsa Indonesia dilimpahkan kekuatan dalam menghadapi semua musibah ini.
28
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K o l e
g a
I Putu Surya Negara
B
Fokus Dalam Kesenangan
ekerja adalah bersenang-senang. Setidaknya itu yang dipercaya I Putu Surya Negara, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis PT. Bank NISP Tbk., sebuah bank swasta nasional yang tengah berkembang pesat. Pria asal Pulau Dewata kelahiran 1 Desember 1967 yang sempat dikategorikan sebagai rising star oleh sebuah majalah bisnis lokal ini meyakini bahwa bekerja tidak sepatutnya stress. “Sebaiknya bekerja itu mengandung semangat menghibur. Kreatifitas dan extra miles dalam bekerja umumnya hadir dari keinginan menyenangkan orang lain atau lingkungan di mana kita berada. Dengan begitu, mudahmudahan kompensasi kerjanya juga akan menghibur kita…,” ujar ayah satu putri dan satu putra yang berpenampilan tenang ini sambil tersenyum. Putu berkiprah di dunia perbankan setahun sejak lulus dari Fakultas Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada tahun 1990. “Sebelumnya sejak masih kuliah saya bekerja di Hotel Ambarukmo, jadi bellboy dan resepsionis. Modal saya tentu saja bahasa Inggris. Saya sebenarnya menikmati kerjaan saya di hotel, tapi sejak awal saya ingin kerja kantoran,” katanya. Tahun 1991 Putu mulai bekerja di American Express di Yogya. “Saya mengurus merchant-merchant Amex. Jadi
pekerjaan saya mengamati label-label bank atau jaringan kartu kredit di tokotoko untuk kemudian mengajak mereka menjadi merchant Amex,” jelasnya. Karier Putu di Amex melesat cepat. Tahun 1993 ia menjadi territorial manager untuk Yogya dan Jawa Tengah. Setahun kemudian ia bertanggungjawab untuk jawa Tengah dan Jawa Barat. Tahun 1996 Putu ditarik ke Jakarta sebagai Regional Coordinator. Setahun kemudian ia menjabat Manager Akusisi hingga akhirnya pada tahun 1999 ia hijrah ke NISP. “Tahun 1998 ada krisis moneter, kemudian ada program rasionalisasi di Amex di mana saya ikut. Saya lalu ke NISP, bergabung di divisi Business Development hingga sekarang,” ujar pria yang mengaku menganut keterbukaan, cenderung memberi delegasi penuh pada ba-
wahan dan tak suka mengurusi perintilan dalam bekerja. Konsisten berkarier di dunia perbankan, bagaimana pandangan Putu terhadap industri perbankan Indonesia saat ini? “Menurut saya semakin menyenangkan. Tantangannya semakin besar, tapi itu bukan sesuatu yang mengancam kan? Perbankan juga sudah punya blue print sekarang. Sudah ada arsitekturnya sehingga pengembangan perbankan sudah lebih jelas dan terarah sekarang,” jelas Putu. Ketika ditanyakan apa rencananya ke depan, Putu hanya tertawa. “Tentu saja saya punya rencana, tapi saat ini saya masih fokus dulu saja dengan pekerjaan saya…,” katanya. Apakah rencana itu masih dengan semangat bersenang-senang lagi Putu? Putu tertawa kecil, “gak salah kan?” katanya. Tentu saja tidak, karena di balik ketenangan dan semangat bersenangsenang pria yang suka menyanyi untuk menghibur orang ini tersirat tekad yang kuat dan konsistensi yang tinggi. Kalau tidak, mana mungkin Putu bisa meraih prestasinya saat ini?■
29
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
T i p s P r a k t i s
HASIL PENILAIAN KERJA DI LUAR DUGAAN? APA REAKSI ANDA? Akhir tahun umumnya identik salah satunya dengan penilaian kerja yang biasa dikenal dengan Performance Appraisal (PA). Penilaian kerja tak dapat dipungkiri merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh karyawan karena itulah laporan pencapaian karyawan yang akan mempengaruhi peningkatan karier, kompensasi serta bonus yang biasa diberikan perusahaan di akhir atau awal tahun.
P
enilaian kerja meski saat ini tlah menggunakan metode yang canggih seperti balance score card atau lainnya, kerap tak terhindar dari opini si penilai. Bagus atau buruk penilaian Anda, bisa jadi tergantung dari sudut pandang penilai yang umumnya terdiri atas atasan langsung dan atasannya lagi. Tapi apakah ini cukup obyektif bagi Anda yang mendapat nilai? Bagaimana jika penilaian Anda di luar dugaan? Beberapa kutipan di bawah ini mungkin bisa mewakili jawaban Anda.
BURHAN, CORPORATE PLANNING OFFICER Tidak terduga! Saya happy sekali dengan penilaian yang diberikan pada saya. Tidak mengira atasan saya begitu menghargai kerja saya, padahal selama ini saya tidak merasa bekerja terlalu keras. Memang, saya selalu berusaha menepati target kerja yang sudah ditetapkan dan disepakati bersama. Tapi bukannya itu hal yang seharusnya kejadian? Saya juga membantu beberapa proyek di luar pekerjaan utama saya di kantor. Dan saya tidak mengira itu juga diberi nilai. Percaya gak? Saya diangkat menjadi supervisor dan gaji saya meningkat hingga 30%. Bonus? Wah kalau itu sih rahasia saya… yang pasti, saya bisa beli komputer baru yang sudah lama saya inginkan. YUSNITA, CUSTOMER SERVICE Katanya sekarang kantor saya pakai metode baru untuk penilaian karyawan. Saya tidak tahu pasti apa namanya. Tapi menurut saya hasilnya tidak memuaskan. Dulu waktu penilaian masih dengan cara lama, saya selalu dapat hasil yang bagus. Saya pernah dapat outstanding, minimal saya dinilai melebihi standar. Kok yang sekarang malah jadi hanya memenuhi standar. Padahal saya merasa saya tetap mempertahankan kinerja saya. Gaji sih tetap naik, tapi ya tentu porsinya jadi lebih kecil. Sampai sekarang sih saya belum berpikir mau keluar. Mau lihat dulu. Biasanya tengah tahun ada penilaian lagi. Kalau masih begitu juga ya…
mugkin mending saya keluar lah. SHIVA, PRODUCT MANAGER Saya sangat kecewa dengan penilaian kerja tahun ini. Entah kenapa perusahaan kok jadi scarcity begitu? Kenaikan pangkat dipersulit dengan alasan tidak masuk akal. Tidak ada tempat lagi lah. Di divisi itu sudah kebanyakan manager lah. Saya curiga demi penghematan di gaji, karyawan harus difreeze kenaikan pangkatnya. Padahal setiap kali kami selalu dituntut untuk memberikan yang lebih karena persaingan di bisnis juga meningkat. Kerja sudah setengah mati. Bikin riset, analisa, proposal sampai packaging produk itu kan tidak mudah untuk bisa langsung dilirik pasar. Dan saya tahu pasti bahwa perusahaan tempat saya kerja itu penjualannnya meningkat, mestinya punya cukup budget untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan. Masa’ demi pengembangan infrastruktur dan teknologi, karyawan yang dikalahkan? Saya kan punya anak buah
juga yang harus saya pertanggungjawabkan masa depan kariernya. Saya mesti bilang apa? Kayaknya kalau begini mending saya terima tawaran kantor lain saja.
kok kerjanya. Kerja keras kan memang sudah seharusnya bagi semua orang, jadi ngapain pindah cuma gara-gara gaji? Lagian cari kerja sekarang juga tak gampang.
DANDUNG, MERCHANDISER Tahunini saya naik gaji. Waktu saya gabung dengan tempat kerja saya dua tahun lalu, saya sudah tahu betul keadaannya. Perusahaan ini milik keluarga.Perusahaan ini baru berkembang dan masih bertahan mempertahankan eksistensi di industrinya. Jadi sudah dua tahun saya kerja, baru sekarang saya naik gaji sebesar kira-kira 15%. Padahal penilaian saya selalu bagus. Tapi untuk komplain atau keluar, belum terpikir lah. Saya senang dengan pekerjaan saya. Boss saya baik dan perhatian dengan anak-anak buahnya. Bahkan selama dua tahun ini baru sekitar 2 orang dari team kerja yang mengundurkan diri, pindah kerja. Selebihnya memilih tetap tinggal. Mungkin mereka berpikir seperti saya, sudah enak
DIAH, PR OFFICER Penilaian kerja saya dil luar dugaan? Wah bukan saya tuh. Saya sih biasa saja tuh. Selama atasan saya masih sama, kayaknya jangan pernah berharap nilai bakal bagus banget. Atasan saya sih baik. Cuma standarnya tinggi banget. Bisa kasih nilai bagus kalau memang semua perfect di mata dia. Saya pernah dengar katanya ada metode penilaian yang bolak-balik. Artinya bukan atasan saja yang berhak menilai bawahan, tapi bawahan ikut serta menilai performance atasannya. Asyik juga tuh. Tapi balik ke kondisi sekarang, saya sih memilih stay aja, gak keluar. Kalau gak dapat pangkat atau gaji tinggi, minimal saya mencuri ilmu dari atasan saya yang memang top banget di bidangnya■
30
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
K i a t
11 RESOLUSI DI TAHUN BARU
bukan advis ataupun pemecahan masalah. Kesediaan Anda untuk mendengar memberdayakan mereka untuk memecahkan masalah sendiri. Apabila mereka merasa benar-benar didengarkan, mereka akan berubah dari pasif menjadi aktif dalam bekerja. Dalam istilah Stephen Covey, mencobalah pertama kali untuk memahami, berikutnya baru untuk dipahami.
Tahun baru telah datang. Inilah saat yang tepat untuk membangun tekad meraih kesuksesan selama setahun ini. Awali langkah Anda dengan membuat resolusi baru agar kesuksesan berhasil digapai. Berikut 11 resolusi yang bisa Anda jadikan panduan.
1.
Kerjakan segala sesuatu yang Anda sukai, dan bisa dikerjakan dengan baik, setiap hari. Dalam bukunya yang terkenal, First Break All the Rules: What the World’s Greatest Managers Do Differently, Marcus Buckingham dan Curt Coffman dari organisasi Gallup menemukan faktor kritikal ini dalam wawancara dengan 80.000 manajer. Dalam wawancara tersebut, mereka menyusutkan pertanyaan menjadi 12 pertanyaan tentang bagaimana mereka mendefinisikan lingkungan kerja yang menyenangkan, memotivasi, dan produktif. Pertanyaan itu disusutkan menjadi 3 buah: Apakah saya tahu apa yang diinginkan dari saya dalam bekerja? Apakah saya punya material dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan secara benar? Di tempat kerja, apakah saya memiliki peluang untuk mengerjakan hal yang terbaik setiap hari? Orang yang bisa menjawab pertanyaan dengan mantap akan menjadi lebih bahagia dan produktif.
2.
Kerjakan segala sesuatu untuk kepuasan Anda setiap hari. Sebagai manajer atau profesional bisnis, Anda bisa terperangkap mengerjakan hal lain selama bekerja. Jika Anda memiliki anggota keluarga yang menyita waktu libur, masalahnya makin bertambah. Atur waktu untuk kepentingan diri pribadi Anda setiap hari untuk berolahraga ringan, rileks, melakukan refleksi, memasak makanan malam, makan es krim, menulis jurnal, berkebun, berjalan
8.
bersama-sama binatang peliharaan, dan berbagai kegiatan lain yang membuat Anda merasa bebas.
Gunakan catatan perencanaan dan susun tujuan hidup Anda, keterlibatan Anda sehari-hari dan daftar pekerjaan yang Anda harus lakukan. Menggunakan catatan perencanaan membantu meringankan pikiran Anda sehingga Anda bisa memikirkan hal-hal lain yang lebih penting. Misalnya dengan membeli PDA/ponsel dan menikmati kenyamanannya dalam mencatat tugas harian secara elektronik. Apakah secara tertulis atau menggunakan alat bantu elektronik yang sesuai dengan kebutuhan Anda, mencari tahu kegiatan harian vs tujuan prioritas adalah satu hal yang sangat penting. Anda tentu ingin menjamin keberhasilan menyelesaikan prioritas terpenting, bukan?
3.
Berilah diri Anda sesuatu yang berharga dan simpanlah baik-baik bila Anda layak mendapatkannya. Dalam studi Gallup, pertanyaan ini dianggap sebagai lingkungan kerja yang paling produktif. Orang yang memperoleh pujian atau pengakuan atas karyanya dalam seminggu terakhir lebih merasa gembira dan produktif. Salah satu caranya adalah dengan menyimpan catatan positif, ucapan terima kasih dan apa saja yang mengingatkan upaya sukses Anda. Berhentilah menelaah sukses setelah setiap proyek diselesaikan.
9.
4.
Rajinlah membaca untuk terus belajar dan bertumbuh. Anda terbiasa membaca sejumlah buku bisnis setiap bulan dan secara periodik membaca jurnal online serta koran bisnis. Mungkin saja hal tersebut tidak selalu tercapai, namun bacaan itu akan sangat membantu. Cobalah membaca berbagai bacaan dengan topiktopik yang lebih luas. Cobalah sekali-kali ke luar dari buku bisnis untuk mendapatkan bagaimana subjek lain meningkatkan cakrawala pandang Anda.
Berusahalah untuk mempelajari segala sesuatu yang baru setiap hari. Hidup akan merasa datar dan menjemukan bila Anda terperangkap pada hal-hal rutin dan cara-cara lama. Bacalah artikel, diskusikan pendekatan baru dengan para kolega, lakukan riset apa yang dilakukan organisasi lain di Web. Peluang pembelajaran berlipat ganda di abad informasi saat ini.
5.
Buatlah kontak profesional. Coba lihat siapa saja kolega yang Anda sudah kehilangan kontak. Pastikan Anda menghadiri sedikitnya satu pertemuan profesional setiap bulannya. Anda akan meraih manfaat dari persahabatan dan hubungan yang telah dikembangkan melalui partisipasi aktif. Tidaklah cukup hanya sekedar bergabung. Anda perlu berpartisipasi untuk meraih hasil dari kolaborasi profesional. Cobalah baca buku tentang jejaring (networking), misalnya karya raja jejaring Harvey McKay: Dig the Well Before You ‘re Thirsty: The Only Networking Book You ‘ll Ever Need.
6.
Praktikkan nilai-nilai profesional dengan ke luar dari zona kenyamanan Anda. Bila Anda berada di kawasan nyaman (comfort zone), seringkali pikiran Anda memaafkan tindakan Anda karena tidak mau memikirkan sesuatu atau menghindarkan diri terlibat pada satu isu yang akan
10. membuat Anda “menjadi kesusahan”. Dalam keadaan seperti ini, jelaskan apa yang sebenarnya Anda pikirkan. Orang lain akan memuji Anda jika mau mengambil sikap dan membuat keputusan yang dinilai lebih sulit namun hasilnya sangat dirasakan, misalnya dalam upaya memuaskan pelanggan.
7.
Mendengar lebih banyak ketimbang bicara. Adagium lama bahwa kita punya satu mulut dan dua telinga sangat benar. Sebagai seorang manajer, Anda menghabiskan waktu terutama untuk memecahkan masalah. Rencanakan tahun ini untuk mendengarkan apa yang dikatakan rekan kerja. Mungkin saja mereka hanya ingin didengar,
Cobalah hobi atau aktivitas baru tahun ini. Barangkali tahun ini adalah kesempatan untuk mulai menambah koleksi Anda, mencoba hobi dan minat baru. Terutama hal-hal yang selama ini mengandung intrik dan menyita perhatian Anda. Ini akan menambah dimensi pemahaman terhadap dunia Anda.
11.
Cobalah untuk tidak selalu serius. Selama ini, Anda lebih banyak berhubungan dengan hal yang serius demi kesuksesan bisnis. Sisihkan waktu. Cobalah untuk tertawa, mencium arom kue, atau memasak kue. Tersenyumlah jika Anda mendengar cerita kegilaan yang pernah dilakukan karyawan dalam bekerja. Anda tidak mesti selalu menjadi “ayah” atau “ibu” setiap hari. Nikmati semuanya itu sebagai sedikit hiburan dan keunikan kehidupan■
31
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
B u r s a K e r j a
| S TA R T |
YOUR CAREER WITH US We are global leader in outsourcing company. Our client is one of Indonesia’s premier banking industry, the company is seeking ‘Innovative and Driven Individuals’ to fill this challenging positions:
VERIFICATION (VER) As Verification Staff, You will be responsible to verify data, based on incoming application. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2,75. Ideally, you have min. 2 years experience as verificator, preferably in banking industry. You must have excellent communication skill and good analytical thinking.
ADMINISTRATION (ADM) / DATA ENTRY (DE) You will be responsible to creates or set up file management system, input data, and manage all relevant data and records. You should hold min. D1 degree from reputable university, with min GPA of 2.75. You should have high attention to detail and hands on with standard computer packages.
The successful candidate will be offered competitive remuneration package and opportunity to work for well-known company. To apply, please submit your complete application with brief description about your achievement & job description, within 2 weeks to:
CALL CENTER (CC) You will be responsible to handle incoming call and complain from customer. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 2 years experience as call center, preferably in banking industry. You must have excellent communication skill with pleasant voice, high tolerance for stress, and willing to work on shift schedule.
PO BOX 8231 JKS SB
CREDIT OFFICER (C0) As Credit Officer, you will responsible for processing loan transaction (e.g appraisal, document verification, loan agreement and disbursement, provide reporting internal & BI). You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 1 years experience demonstrated top performance in mass market credit management role in fields such as BPR, BRI unit Desa, mass market consumer goods (low end electronic). You should be a team player, concern for excellent, following procedure and able to building relationship. CUSTOMER SERVICE (CS) You will responsible to serve and handle complain from customer. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. You should have excellent communication and interpersonal skill, good administration skill and high attention to detail. You should also have excellent customer orientation. MARKETING / SALES (MKT/SLS) Your main responsibility will be to offer and sell our client’s product. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 2 years experience in the same position, preferably for banking industry. You should also have excellent communication and negotiation skill. An open-minded professional with high initiative and creativity are highly preferred.
PT. Perdana Perkasa Elastindo Please indicate the position applied on upper left of your envelope.
Urgently required An established hospital located in Surabaya, is inviting qualified and professional applicants for the following job opening:
PR & MARKETING MANAGER With requirements: a. Knowledge and experience in healthcare environment b. Male/female, age max 45 years old c. Good educational background in marketing d. Have experience in the same position min 3 years e. Have a good leadership and managerial skill f. Have a good communication, assertive, pleasant and hard worker g. High interest in development about Marketing h. Able to operate computer, fluent in speaking and writing English If you meet the above requirements, please submit your application, CV and latest photograph not later than 2 weeks to: Hospital CEO Jl. Raya Gubeng no. 70 SURABAYA 60281
MARI BERBUAT PAHALA, PARTISIPASI ANDA DITUNGGU!!! HC berencana untuk menampilkan rubrik baru JOKES AT WORK pada edisi-edisi mendatang untuk menghilangkan stress di tempat kerja. Rubrik ini berisi lelucon segar yang diharapkan membuat gembira para pembacanya. Kami mengundang partisipasi seluruh pembaca setia HC untuk mengirimkan l e l u c o n ( j o k e s) k e p a d a r e d a k s i H C m e l a l u i e m a i l :
[email protected] , faks. (021) 52901024, atau dikirim via pos ke alamat redaksi HC: Gedung Setiabudi 2 Lt. 3 (ruang 305), Jl. HR Rasuna Said Kav. 62, Kuningan, Jakarta Selatan. Lelucon tersebut syaratnya harus lucu (membuat ketawa), tidak porno maupun berbau SARA. Panjangnya mulai dari beberapa baris hingga beberapa paragraf maksimal 500 kata. Pemuatan lelucon menjadi hak penuh redaksi. Lelucon yang lulus seleksi akan dimuat, dan nama pengirimnya akan diterakan dalam setiap lelucon yang dimuat. Pada waktunya, pembaca akan dipersilakan menilai lelucon yang paling lucu. Dan, lelucon yang dinilai paling lucu, akan mendapatkan hadiah dari HC. Pemberitahuan mengenai hadiah menyusul. Bukankah membuat orang lain senang itu berpahala? Selamat mengirim…Kami tunggu. REDAKSI HC
32
| HumanCapital | Nomor 10 | Tahun 2005 |
R e h a l
LOVE ‘EM OR LOSE ‘EM ditawarkan, masing-masing terdiri lusinan ide kecil yang gampang dilakukan. Adalah tugas para eksekutif, manajer, dan atasan untuk memilah-milah strategi yang ingin diterapkan. Secara keseluruhan, inti pesan dari kedua penulis terungkap dalam 4 kata berikut ini: Love = Perlakukan karyawan dengan layak dan penuh hormat. Ucapkan terima kasih kepada mereka. Berikan tantangan dan kembangkan mereka. Usahakan untuk melibatkan dan mempertahankan mereka. Lose = Karyawan berbakat yang berhenti bekerja merupakan sebuah kehilangan yang serius bagi perusahaan. Apalagi bila ia bergabung dengan perusahaan pesaing.
Judul Love ‘Em or Lose ‘Em Penulis Beverly Kaye dan Sharon Jordan-Evans Penerbit Berret-Koehler Publishers Inc., terjemahan diterbitkan Penerbit Erlangga Halaman 267 halaman
P
entingnya karyawan terbaik bagi pencapaian sukses perusahaan tak perlu diragukan lagi. Bersama-sama kepemimpinan senior, karyawan menjadi motor dalam mewujudkan visi, misi, dan target perusahaan. Itu sebabnya, upaya mempertahankan karyawan terbaik sama saja artinya dengan menyelamatkan masa depan perusahaan. Banyak strategi dan taktik yang bisa diterapkan untuk mempertahankan karyawan terbaik. Buku yang ditulis Beverly Kaye dan Sharon Jordan-Evans ini bisa menjadi salah satu referensi terpercaya soal ini. Mereka menulis 26 strategi untuk menjadikan karyawan terlibat penuh (engaged) dalam memajukan perusahaan. Menurut kedua penulis, perusahaan membutuhkan orang-orang terbaik untuk tetap bertahan
(stay) dalam perusahaan, terlepas dari kondisi ekonomi yang turun-naik. Yang dimaksud bertahan di sini adalah, karyawan berbakat tersebut tidak hanya sekedar datang ke kantor (checked in), tetapi juga merasa nyaman (tuned in), bersemangat (turned on), dan terlibat penuh dalam bisnis perusahaan. Ke-26 strategi yang
Good = Perhatikan seluruh karyawan yang tergolong baik, tidak hanya mereka yang berpotensi tinggi. Para bintang ada di setiap level perusahaan. Stay = Dorong para karyawan yang berbakat untuk bertahan di perusahaan. Bantulah mereka agar tetap bersemangat dan terlibat penuh. Meski bersifat praktis, buku ini ditulis berdasarkan penelitian terhadap puluhan ribu manajer perusahaan besar dan kecil di dunia. Mereka melakukan wawancara terhadap manajer, kelompok fokus, dan internet dengan mengajukan pertanyaan “Apa yang membuat Anda bertahan?”. Wajar bila buku ini disebut-sebut sebagai buku retensi karyawan terlaris di dunia■
THE CONTRARIAN’S GUIDE TO LEADERSHIP Judul The Contrarian’s Guide to Leadership Penulis Steven B. Sample
TUNGGU EDISI BERIKUTNYA
Nomor
11 Th. 2004 SURVEI DAN TREN GAJI 2005
Tahun 2005 segera kita masuki. Tentu kita mengharapkan adanya kinaikan gaji, setidaknya bisa mengkompensasi laju inflasi. Tetapi, bagaimana sebetulnya peluang kenaikan gaji tersebut? Apa rencana perusahaan tentang penggajian 2005? Bagaimana mereka menyusun standar gaji, dan seberapa kompetitif gaji mereka dibandingkan industri sejenis? Seperti apakah tren gaji 2005? Dapatkan jawaban semuanya dalam rubrik informasi.
HC TREND FOKUS. Jangan ketinggalan BERLOMBA MERAIH SERTIFIKASI PROFESIONAL
Para professional semakin rajin mencari sertifikasi professional untuk kesuksesan karir. Aneka pendidikan professional bersertifikat tersedia untuk setiap profesi. Apa saja program bersertifikasi favorit? Bagaimana cara mendapatkannya, dan seberapa mahal? Sejauh mana hal itu menambah bobot professional mereka?
MEDIA SATU-SATUNYA MENGUPAS TUNTAS MASALAH SDM
Penerbit Jossey-Bass (Wiley Imprint) Halaman 197, termasuk indeks
J
udul buku ini cukup menantang karena mengandung intrik. Sepintas penulis buku ini – Prof. Steven B. Sample menjelaskan ketidaksetujuannya terhadap pemahaman tentang pemimpin dan kepemimpinan yang selama ini ada. Benarkah? Sample mengaku, istilah kontra itu tidak berarti ia membantah seluruh pemahaman konvensional tentang kepemimpinan. Sebab, lanjutnya, banyak pemahaman konvensional terhadap kepemimpinan benar sepenuhnya. Istilah kontra diajukan untuk melihat kepemimpinan dalam perspektif berlawanan. “Dari sudut pandang yang lebih segar dan orisinal,” ungkap profesor bidang teknik listrik tersebut. Penulis mengingatkan, seseorang tidak bisa menjadi pemimpin yang efektif dengan meniru pemimpin terkenal di masa lalu karena hal itu menyebabkan ia tidak bisa mengembangkan secara penuh potensinya. Juga dengan memberi apresiasi tinggi terhadap seni kepemimpinan dengan mengikatkan diri terhadap pemahaman konvensional. Kuncinya, menurut Sample, adalah untuk bertindak bebas dari pemahaman konvensional agar kreativitas alamiah dan independensi intelektual. Lantas, seperti apakah prinsip kepemimpinan berlawanan tersebut? Sample menyarankan untuk berpikir dengan cara berbeda, tidak percaya sepenuhnya kepada
pakar, baca apa yang tidak dibaca pesaing, jangan ambil keputusan bila hal itu secara logika bisa didelegasikan, abaikan pembengkakan biaya, bekerjalah kepada mereka yang bekerja untuk Anda, ketahui apa tujuan akhir Anda, tembaklah kuda milik sendiri, kadang-kadang biarkan kesempatan memimpin pemimpin, dan pahami perbedaan menjadi pemimpin dengan sedang bekerja jadi pemimpin. Mau tahu lebih jauh, sebaiknya Anda membaca langsung buku yang terpilih sebagai best-seller menurut Los Angeles Times ini■
Buku ini bisa diperoleh antara lain di QB World, red