Ketahanan
Air Untuk Indonesia:
Pandangan
Akademisi Prof. Robertus Wahyudi Triweko, Ph.D. Guru Besar Teknik dan Manajemen Sumber Daya Air Universitas Katolik Parahyangan, Bandung 1. Pendahuluan Pada tanggal 24 – 26 November 2014, di Jakarta diselenggarakan Indonesia Water Learning Week (IWLW) dengan tema utama Water Security for Indonesia: Examining the Water-Energy-Food Nexus. Pada kesempatan ini saya diminta untuk memberikan pandangan terhadap tema utama tersebut dari sudut pandang akademisi dengan tiga pertanyaan kunci, yaitu: 1. Bagaimana pandangan akademisi terhadap kondisi ketahanan air di Indonesia saat ini? 2. Apa saja yang menjadi permasalahan pokok dan tantangan dalam ketahanan air ini? 3. Bagaimana akademisi berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan air di Indonesia? Uraian di bawah ini merupakan catatan singkat untuk menjelaskan kerangka pikir sebagai jawaban atas tiga pertanyaan kunci tersebut. 2. Ketahanan Air UN-Water (2013) merumuskan pengertian tentang ketahanan air sebagai berikut: ”Water security is defined as the capacity of a population to safeguard sustainable access to adequate quantities of acceptable quality water for sustaining livelihoods, human well-being, and socio-economic development, for ensuring protection against water-borne pollution and water-related disasters, and for preserving ecosystems in a climate of peace and political stability.” Definisi tersebut memberikan pengertian yang sangat komprehensif tentang ketahanan air (water security). Terjemahan bebas atas definisi ketahanan air tersebut adalah (1) kemampuan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan dalam pemenuhan kebutuhan air, baik dalam jumlah yang mencukupi serta mutu yang dapat diterima; (2) Pemenuhan kebutuhan air tersebut dimaksudkan untuk: (a) menjaga keberlanjutan kehidupan, kesejahteraan umat manusia, dan perkembangan sosial-ekonomi; (b) menjamin perlindungan atas pencemaran air dan bencana terkait air; serta (c) melestarikan ekosistem dalam suasana damai dan kondisi politik yang stabil. Pada dasarnya permasalahan ketahanan air sangat kompleks, karena hal itu tidak hanya menyangkut aspek fisik dan teknologi dalam pemenuhan kebutuhan air, tetapi
juga dampaknya terhadap lingkungan serta kondisi sosial, politik, dan ekonomi pada sekelompok masyarakat, yang sering kali terkait dengan kelompok masyarakat lainnya. Perbedaan kepentingan (conflict of interest) antar kelompok masyarakat, dapat berpengaruh terhadap stabilitas sosial dan politik yang turut menentukan ketahanan air itu sendiri. 3. Kondisi Ketahanan Air di Indonesia Sebagai negara kepulauan yang terletak di sepanjang garis katulistiwa, dan di persimpangan antara dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik), serta antara dua benua (Asia dan Australia), Indonesia sebetulnya mempunyai potensi sumber daya air yang luar biasa besar. Tinggi curah hujan tahunan sebesar rata-rata 2.500 mm tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Nusa Tenggara Timur yang hanya mempunyai curah hujan sekitar 700 – 800 mm per tahun. Pada beberapa daerah, seperti Bogor dan Banyumas, curah hujan tahunan tersebut bahkan bisa mencapai 4.000 mm. Di samping itu dapat dikatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia mempunyai tingkat kesuburan tanah yang tinggi, sebagai hasil suplai mineral yang secara berkala dihasilkan oleh letusan gunung berapi. Indonesia juga memiliki potensi listrik tenaga air (hydropower) yang belum sepenuhnya dikembangkan. DFID dan World Bank (2007) mencatat bahwa Indonesia mempunyai potensi listrik tenaga air sebesar 76,7 GW, sedangkan yang sudah dikembangkan baru 4,2 GW. Namun demikian, ketahanan air di Indonesia saat ini menghadapi ancaman, terutama di wilayah Indonesia bagian barat, khususnya di Pulau Jawa.Penyebab utama munculnya ancaman tersebut adalah karena distribusi penduduk dan kegiatan ekonomi yang tidak merata. Sekitar 60% penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah lebih dari 240 juta jiwa tinggal di Pulau Jawa, yang merupakan pulau terkecil dari lima pulau besar di Indonesia. Di samping jumlah penduduk yang besar, Pulau Jawa juga menjadi pusat pemerintahan serta pusat perdagangan dan industri.Hal itu berdampak pada perubahan tata guna lahan, dari hutan berubah menjadi lahan pertanian, dan dari lahan pertanian berubah menjadi permukiman, industry, dan perkotaan. Perubahan tata guna lahan tersebut pada akhirnya berdampak pada meningkatnya limpasan langsung, perubahan kebutuhan air, serta menurunnya kualitas air akibat pencemaran oleh limbah rumah tangga, perkotaan, dan industri.Pada beberapa kota besar, pemenuhan kebutuhan air bersih tersebut mengandalkan penggunaan air tanah. Pemompaan air tanah secara berlebihan pada akhirnya berdampak pada penurunan muka air tanah, dan penurunan permukaan tanah yang menjadi penyebab meluasnya daerah banjir, karena tidak berfungsinya prasarana drainase.Banjir yang terjadi setiap tahun di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa menimbulkan kemacetan yang parah dan mengganggu roda perekonomian. Kota-kota besar di Pulau Jawa menghadapi kesulitan dalam penyediaan air baku untuk pemenuhan kebutuhan air
bersih, karena peningkatan kebutuhan yang sangat tinggi, sementara penyediaan air baku terkendala oleh tingginya tingkat pencemaran pada badan-badan air. Sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki pulau-pulau kecil yang jumlahnya sangat banyak, ada yang berpenghuni dan ada pula yang tidak berpenghuni. Pulau-pulau kecil yang berpenghuni, tentu saja membutuhkan dukungan ketersediaan sumber air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun pertanian.Pulau-pulau kecil ini mempunyai karakteristik hidrologi yang berbeda dengan pulau-pulau yang lebih besar. Dengan ukuran pulau yang kecil, air hujan akan dengan cepat melimpas kembali ke laut. Kondisi topografi dan geologi, yang sangat dipengaruhi oleh proses geologi terbentuknya pulau tersebut, tentu saja sangat berpengaruh pada kemampuan lahan pada pulau tersebut untuk meresapkan air dan menahan limpasan. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan besarnya defisit air di Jawa, sementara di Papua air masih berlimpah. Secara keseluruhan sebetulnya Indonesia tidak mengalami kekurangan air, namun sampai saat ini agaknya tidak mungkin memindahkan kelebihan air secara fisik (blue water) di Papua untuk menutup kekurangan air di Jawa. Salah satu kemungkinan yang masih bisa dilakukan adalah memindahkan sebagian kegiatan ekonomi dari Jawa ke Papua, dan memanfaatkan produk yang dihasilkan, dalam bentuk produk pertanian atau industry, ke Pulau Jawa.Ini berarti, kelebihan air dari Papua dialihkan ke Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya dalam bentuk air maya (virtual water). Tabel 1 Keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan air per pulau
Pulau .
Ketersediaan Air(Jutam3/ th)
Kebutuhan Air (Jutam3/th)
Surplus/Defisit Air (Juta m3/th)
1995
2015
1995
2015
1
Sumatra
111.178
19.165
49.583
91.913
61.494
2
Jawa
30.569
62.928
164.672
-32.358
-134.103
3
Kalimantan
140.006
5.111
23.093
134.894
116.912
4
Sulawesi
34.788
15.258
77.305
19.531
-42.518
5
Bali
1.067
2.574
28.719
-1.507
-27.652
6
NTB
3.509
1.629
2.519
1.880
989
7
NTT
4.251
1.736
8.797
2.515
-4.546
8
Maluku
15.458
236
575
15.222
14.882
9
Papua
350.590
128
1.310
350.461
349.279
Indonesia
691.315
108.763
356.575
582.551
334.739
No
Sumber: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997
Permasalahan lain yang terkait dengan pengembangan sumber daya air di Indonesia adalah terjadinya bencana alam, berupa banjir, gempa bumi, tanah longsor, ataupun letusan gunung berapi. Bencana alam tersebut dapat mengancam keamanan bangunan-bangunan air, yang akan mengancam keandalan dalam penyediaan air. Aliran lahar dingin di lereng gunung berapi, misalnya, akan menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai dan mengurangi kapasitas sungai dalam menyalurkan air banjir. Sedimen yang sama juga berpotensi terbawa ke saluran irigasi yang berarti berkurangnya kapasitas saluran irigasi. Kondisi ini tentu saja akan mengurangi keandalan jaringan irigasi dalam memenuhi kebutuhan air pada suatu daerah irigasi. Salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh beberapa danau dan waduk di Indonesia saat ini adalah terjadinya proses eutrofikasi sebagai akibat meningkatnya pencemar dan zat penyubur (nutrient) yang berasal dari limbah pertanian, rumah tangga, dan industri. Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan pada daerah tangkapan, pada akhirnya terbawa aliran air hujan dan masuk ke dalam danau dan waduk. Demikian juga, belum tersedianya instalasi pengolah air limbah (IPAL) untuk mengolah limbah rumah tangga, perkotaan, ataupun limbah industry menyebabkan zat-zat pencemar tersebut terkumpul di dalam danau dan waduk. Di samping itu, budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) semakin memperparah proses eutrofikasi tersebut, karena pakan ikan yang mengendap di bawah KJA tersebut akan meningkatkan kandungan N dan P yang menyebabkan status trofiknya berkembang dari oligotrofik, menjadi mesotrofik, eutrofik, dan hipereutrofik. Irianto (2014) dalam disertasi Doktornya di Universitas Katolik Parahyangan mencoba mengatasi masalah eutrofikasi yang terjadi pada Waduk Jatiluhur dengan cara mengendalikan pengoperasian Hollow Jet Valve (HJV). 4. Kontribusi Akademisi Dalam Meningkatkan Ketahanan Air di Indonesia Kontribusi akademisi dalam meningkatkan ketahanan air di Indonesia tidak terlepas dari misi utamanya yang dinyatakan dalam Tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di bidang pendidikan, perguruan tinggi mempunyai tanggungjawab dalam mendidik kaum muda agar menguasai dan memahami permasalahan sumber daya air di Indonesia, baik dari aspek teknik maupun manajemennya. Pola curah hujan, kondisi topografi dan geologi, tata guna lahan, sangat berpengaruh pada karakteristik hidrologi suatu daerah.Karakteristik hidrologi tersebut perlu dipahami dengan baik, agar berbagai permasalahan dalam konservasi sumber daya air,pemenuhan kebutuhan air, serta pengendalian daya rusak air dapat dilakukan secara efektif.Untuk itu, materi pembelajaran yang disampaikan kepada para mahasiswa hendaknya relevan dengan kondisi dan permasalahan di Indonesia.
Untuk itu, para dosen perlu terus-menerus melakukan penelitian dan kajian atas berbagai permasalahan sumber daya air di Indonesia untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan menjadikannya bahan pembelajaran yang orisinil di perguruan tinggi. Penyebarluasan hasil-hasil penelitian pada jurnal nasional terakreditasi sangat diperlukan untuk membangun iklim akademik yang kondusif di tingkat nasional, dimana para akademisi, peneliti, praktisi, dan pengambil keputusan bisa saling berkomunikasi dalam mengatasi berbagai permasalahan sumber daya air di Indonesia. Dibentuknya Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi seharusnya mampu mensinergikan potensi yang dimiliki para akademisi di perguruan tinggi dan para peneliti di lembaga penelitian pemerintah dan swasta. Di samping itu, keberanian untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitian pada jurnal internasional bereputasi juga harus terus ditingkatkan agar ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhasil dikembangkan dapat pula diketahui dan diikuti oleh masyarakat akademik di tingkat internasional. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan jumlah penduduk keempat terbesar dan pengaruh ekonomi yang sangat besar di dunia, tidak tertutup kemungkinan hasil-hasil penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sumber daya air tersebut juga menjadi bahan pembelajaran bagi negaranegara lain, khususnya bagi negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pemahaman yang lebih baik atas berbagai permasalahan sumber daya air di Indonesia, tentu akan menjadi modal utama bagi perguruan tinggi untuk secara aktif berpartisipasi dalam penyelesaian berbagai permasalahan sumber daya air di Indonesia. Masing-masing perguruan tinggi hendaknya meningkatkan keterlibatannya dalam penyelesaian permasalahan sumberdaya air di tingkat lokal, regional, dan nasional, sesuai dengan kompetensi dan kapabilitas yang dimilikinya.Untuk meningkatkan keterlibatan tersebut, tentu perlu keterbukaan dan dukungan kebijakan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia. 5. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun sumber daya air di Indonesia melimpah, namun ketahanan air di Indonesia saat ini dalam ancaman. Hal ini terjadi karena tidak meratanya distribusi penduduk dan kegiatan sosial-ekonomi yang sampai saat ini masih terpusat di Pulau Jawa dan Indonesia bagian barat.Semakin meningkatnya pencemaran pada badan-badan air oleh limbah rumah tangga, perkotaan, dan industri menjadi penghalang dalam pemenuhan kebutuhan air yang terus meningkat.Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan memberikan tantangan yang besar dalam pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat yang tinggal di daerah tertinggal, lebihlebih pada pulau-pulau kecil dan terluar. Untuk meningkatkan dan menjaga ketahanan air di Indonesia, perguruan tinggi harus semakin terlibat dalam penyelesaian berbagai permasalahan sumber daya air di tingkat lokal, regional, ataupun nasional, sesuai dengan kompetensi dan kapabilitas
masing-masing. Kerjasama penelitian antara perguruan tinggi dengan lembaga penelitian pemerintah dan swasta perlu ditingkatkan. Melalui keterlibatan tersebut, perguruan tinggi akan mampu mengembangkan metode dan bahan pembelajaran yang relevan, dan pada gilirannya menghasilkan lulusan yang mampu mengatasi berbagai permasalahan sumber daya air pada masa mendatang. Daftar Pustaka 1. DFID and World Bank, Working Paper: Indonesia and Climate Change, Current Status and Policies, March 2007 2. Irianto, E.W., Model Restorasi Proses Eutrofikasi Melalui Pengoperasian Hollow Jet Pada Waduk Jatiluhur, Disertasi, Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2014 3. UN-Water, Water Security & the Global Water Agenda: A UN-Water Analytical Brief, UNU-INWEH, Ontario, Canada, 2013