PANDANGAN DAN PERILAKU RELIGIUS PETANI DALAM AKTIVITAS EKONOMI (Studi Kasus Petani Banjar; Kajian Strukturasionistik) Oleh: Taufiqurrahman٭ Abstrak Perilaku religius petani ini tampak pada aktivitas pertanian yang diwarnai, gotong-royong, kekeluargaan, dan memakai nilai agama dan nilai budaya setempat, dengan shalat hajat, pembacaan ayat al-Qur’an dan shalawat serta do’a-do’a selamat yang mengawali aktivitas pertanian dalam praktik menentukan kesepakatan waktu, tanggal hari dan bulan mulai pertanian, yakni mulai memilih paung padi, memalai, atau menaradak, melacak, membalur, menanjang, mengatam padi, dan menyimpan padi, selalu dibarengi dengan adat-istiadat dan ritual agama, simbol dan benda yang bermakna. Implikasi dari perilaku religius berupa kepedulian beragama yang berbasis lingkungan, berupa pengeluaran zakat, infaq, shadaqah, membangun fasilitas sosial, berupa mesjid, langgar, madrasah, jalan, jembatan, serta kepedulian sosial berupa kas wakaf untuk membantu fakir miskin, dan anak yatim, honor guru Madrasah serta pengobatan orang sakit yang tak mampu. Sedangkan etos kerja petani meliputi kerja keras, sedang, dan malas serta perilaku tekun, cermat, disiplin, hemat, rasional dan penuh perhitungan, dan tipologi kerja termasuk subsistem konsumtif dan produktif konsumtif. Kata Kunci: Perilaku, religius, aktifitas dan ekonomi
A. Latar Belakang Masalah ٭
Dosen Fakultas Tarbiyah Prodi MPI Keahlian: Sejarah Peradaban
Islam.
141
142 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 Manusia dalam dimensi sosial merupakan makhluk sosial dan makhluk ekonomi serta makhluk religius yang selalu mempunyai rasa keterkaitan terhadap norma agama dan adat istiadat yang berlaku pada kelompok masyarakatnya. Adapun bentuk norma dan adat-istiadat tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ialah kondisi geografis, kemampuan kelompok masyarakat tersebut untuk beradaptasi dengan alam lingkungannya, serta pengalaman-pengalaman yang berbenturan dan bersentuhan dengan kelompok masyarakat lain di luar sistem sosial ekonomi serta agama mereka. Suku Banjar di Kalimantan Selatan bedasarkan kerangka teori tersebut dapat dikelompokan menjadi sub etnik Banjar Kuala, sub etnik Banjar Batang Banyu dan sub etnik Banjar Pahuluan, Menurut M. Edwar Saleh,1 etnik Banjar Kuala memiliki wilayah geografis di daerah Banjarmasin dan Kabupaten Banjar. Masing-masing kelompok dari suku Banjar memiliki ciri budaya yang sama-sama dilatar belakangi Agama Islam, yang telah masuk di Kalimantan Selatan ini sejak abad ke-16. Namun demikian pada masing-masing sub etnik masyarakat Banjar terdapat perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan praktik dan prilaku keagamaan. Salah satu contoh kasus yang diangkat sebagai obyek penelitian adalah bahwa orang Banjar masih kental dengan ritual keagamaannya, namun prilaku keagamaannya masih belum berbasis lingkungan secara komprehensif, hal ini ada relevansinya dengan aktivitas kehidupan ekonominya, baik sebagai petani maupun sebagai pedagang dan pekerjaan lainnya (hasil studi eksplorasi April 2006). Pada umumnya pertanian di Kabupaten Banjar, khususnya Kecamatan Gambut, Kecamatan Kertak Hanyar dan Kecamatan Aluh-Aluh, berupa tanah tadah hujan. Produksi padi sebagai makanan pokok, hanya panen sekali setahun. Jenis Padi yang ditanam adalah padi lokal, masyarakat menyebutnya banih tahun. Selain padi ini juga dihasilkan tanaman palawija seperti 1
M. Edwar Saleh, Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Ekonominya, (Banjarmasin: Proyek Pembinaan Permesiumanan Kalimantan Selatan, 1984), h. 12.
Taufiqurrahman, Pandangan dan 143 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi labu, ubi, sayur dan sebagainya. Hasil pertanian hanya dapat memenuhi keperluan-keperluan hidup sehari-hari, termasuk untuk menjalankan syari’at Agama Islam, dan tujuan akhir dari kehidupan hasil pertanian hanyalah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tidak untuk membangun suatu industri pertanian yang lebih modern. Seluruh masyarakat desa di tiga Kecamatan merupakan pemeluk Agama Islam. Namun sebagian masyarakatnya masih percaya pada roh dan semangat gaib dari padi yang harus dipenuhi oleh para petani, agar pertanian menjadi lebih subur dan menghasilkan buah yang melimpah-ruah serta berkah dari Tuhan Maha Pencipta, dengan kata lain di samping taat menjalankan Agama Islam, juga masih memakai nilai-nilai budaya, seperti percaya dengan kekuatan gaib dan hakekat suatu makna yang diyakini masyarakat, selamatan-selamatan kecil, sebagai pendukung pekerjaan mereka sebagai petani, masih dilaksanakan upacara-upacara bertani yang terorganisir dan terpola secara alami serta diikuti oleh masyarakat petani Banjar sebagai suatu kesepakatan dan kebersamaan yang sangat sakral di desa-desa lingkungan petani Banjar, di samping itu berbagai simbol, prilaku, nilai dan norma ikut mewarnai aktivitas kerja para petani yang sudah terstruktur, meskipun masih bersifat alamiah dan belum benar-benar terorganisir secara efektif dan efisien. Pada dasarnya yang dimaksud dengan aktivitas petani dalam konteks penelitian ini ialah persepsi dan prilaku keagamaan petani yang penyelenggaraannya menurut aturan ritual yang sudah terpola dalam perilaku keagamaan dari berbagai komponen aktivitas, seperti tempat upacara, urutan dan nama upacara, benda dan simbol serta organisasi-organisasi keagamaan yang turut mendukung perilaku religius para petani serta implimentasinya dalam kehidupan bermasyarakat para petani tersebut. Pada pandangan dan perilaku dalam aktivitas ekonomi pertanian dimotori oleh jiwa keagamaan para petani, yang masing-masing para petani mempunyai pandangan dan maknamakna penafsiran yang kompleks. Namun meskipun mereka tampaknya taat melaksanakan ritual keagamaan secara rutin dan
144 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 kontinu, sepertinya kurang berimplikasi pada kehidupan bermasyarakat yang Islami dan berbasis lingkungan, atas dasar pemikiran inilah penulis mencoba mengangkat permasalahan ini dalam bentuk suatu penelitian dengan judul: PANDANGAN DAN PERILAKU RELIGIUS PETANI DALAM AKTIVITAS EKONOMI (Studi kasus petani Banjar; Kajian Strukturasionistik) B. Penegasan Judul Sesuai dengan topik penelitian di atas, penulis merasa perlu memberikan beberapa penegasan pada beberapa istilah untuk memperjelas interprestasi judul penelitian. Pandangan yang dimaksud disini adalah pandangan hidup yang terkristal serta memperlihatkan sifat yang holistic dan religius yang tumbuh dan dijadikan dasar pijakan oleh para petani dalam perilaku dan etos kerjanya sebagai masyarakat petani di Kabupaten Banjar (Kecamatan Gambut, Kertak Hanyar dan AluhAluh). Perilaku Religius yang dimaksud di sini adalah konsep kerja itu sendiri, juga fenomena religius yang pemenuhannya bergantung pada konstruksi sosial dan budaya setempat yang mungkin tampak relevan dengan tradisi pemikiran substantif sebagai rancangan pemikiran untuk memahami perilaku kerja ekonomi petani Banjar. Aktivitas ekonomi adalah tipologi budaya kerja petani berdasarkan praktik sosial budaya kerja petani berdasarkan praktik sosial ekonomi dari sistem kategori setempat, apakah memiliki kesesuaian dengan ide dasar etos kerja, atau etos kerja yang dimaksud merupakan perpaduan dari paham asketik dalam menyikapi kerja, yang memunculkan perilaku seperti kerja keras, tekun, cermat, rasional, penuh perhitungan, dan sebagainya. Dari batasan istilah judul tersebut maka yang dimaksud dengan judul penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan petani Banjar terhadap konsep kerja, tujuan bekerja, dan manfaat bekerja yang diaplikasikan pada perilaku religius petani dalam aktivitas ekonomi, selanjutnya mencari suatu bentuk kerja yang mungkin tertruktur menurut teori Giddens. C. Permasalahan 189
168 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013
Taufiqurrahman, Pandangan dan 145 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi Berdasarkan penegasan judul tersebut di atas maka rumusan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pandangan religius petani Banjar dalam aktivitas ekonomi? 2. Bagaimana perilaku religius petani Banjar dalam aktivitas ekonomi? 3. Apakah aktivitas ekonomi petani Banjar terbentuk dalam struktur yang memenuhi kategori teori strukturionistik seperti teori yang dicanangkan oleh Giddens atau hanya merupakan struktur sosio religius yang bersifat alami dan monoton saja. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas maka penelitian ini diharapkan: 1. Mengungkapkan fakta yang komperehensif tentang pandangan dan perilaku religius petani Banjar dalam aktivitas ekonomi, yang mungkin menunjukkan berlangsungnya strukturasi budaya kerja yang tidak keluar dari orbit etos kerja kultural-religius yang diwarisi secara turun-temurun atau sudah terpengaruh dengan akulturasi budaya ekonomi industri. 2. Temuan penelitian ini menawarkan sesuatu yang tidak ternilai harganya dan pantas untuk dikaji dan dipertimbangkan, termasuk oleh para pemikir dan ilmuan ekonomi, untuk menyikapi pembangunan ekonomi masyarakat petani Banjar. 3. Mengungkapkan secara ilmiah rasional realitas kondisi perilaku religius masyarakat petani Banjar, untuk menyikapi pengamalan agamanya yang berbasis lingkungan. E. Metode Penelitian Penelitian Lapangan (Field Research) ini menggunakan pendekatan empirik kualitatif. Yakni dikenal pula dengan pendekatan inkuiri-kualitatif atau natural setting atau alamiah sebagai sumber data langsung, untuk dapat memahami secara
146 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 mendalam berbagai pandangan dan perilaku religius berbagai rupa aktivitas ekonomi masyarakat petani Banjar, termasuk juga struktur budaya kerja dan etos kerja petani Muslim menjadi pusat perhatian penelitian ini. Karakteristik pokok dari pendekatan ini ialah mementingkan makna, konteks, dan perspektif emik; proses penelitian lebih berbentuk siklus dari pada linear, dimana pengumpulan data dan analisis data berlangsung secara simultan, lebih mementingkan kedalaman makna dari pada kualitas cakupan penelitian; observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam proses pengumpulan data; serta peneliti sendiri sebagai instrument kunci/utama. Dalam pengembangan teori pada dasarnya mengacu pada konsep dasar the discovery of grounded theory. 1. Subyek Penelitian Subyek penelitian dalam konteks ini dipakai teknik purposive sampling, variabelnya adalah petani muslim di Kecamatan Gambut, Kecamatan Kertak Hanyar dan Kecamatan Aluh-Aluh Kabupaten Banjar, yang bekerja sebagai petani dengan mempunyai sawah sendiri, beragama Islam, mempunyai tata aturan pertanian yang terorganisir secara tradisional. Tiga kecamatan ini dijadikan sebagai lokasi penelitian dianggap sudah cukup refresentatif, karena mempunyai banyak kesamaan atau homogenitas data, dari aspek banyaknya lahan pertanian yang dihuni oleh petani muslim, dan pekerjaannya adalah bekerja sebagai petani pemilik sawah, bukan petani penggarap, dan mempunyai tata aturan pertanian yang kental sebagai aktivitas pertanian sepanjang tahun. Subyek diteliti secara berkelanjutan sesuai dengan informasi yang diperoleh di lapangan dengan menggunakan teknik snowball, berdasarkan informasi dan pemahaman yang relevan dan mendalam di lapangan. Pemilihan banyaknya subyek didasarkan atas kejenuhan informasi, jika penambahan subyek memperoleh informasi yang sama, berarti jumlah subyek sudah dianggap cukup refresentatif untuk mengangkat suatu kasus tunggal. Dengan kata lain dalam satu kecamatan peneliti menemukan sejumlah subjek dan informan, jika menuturkan data yang sama atau homogen, maka cukup mewakilkan data pada satu atau dua orang subjek saja, tetapi jika
Taufiqurrahman, Pandangan dan 167 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi Greeth, Clifford, 1989, Religion of Java, diterjemahkan oleh Aswab, Jakarta; Pustaka. Idris, Z. H. 1997, Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta; Karunika. Koentjaraningrat, 1980, Beberapa Pokok Anthropology Sosial, Jakarta; Dian Rakyat. Ryan, M. 1993, Dua Jenis Internalisasi Agama dan Hubungannya Dengan Orientasi Agama dan Kesehatan Mental, Journal of Personality and Sosial Psychology, Vol. 65. Number 3. Sianturi, L.T. 1983. Ekonomi dan Koperasi. Jakarta: Dasar Ilmu. Semiawan, Courny R, Agama dan Kebudayaaan, Menghadapi Tahap-Tahap Pembangunan Ditinjau dari Aspek Pendidikan Agama, Kebudayaan dan Pembanguhnan Menyongsong Era Industrialisasi, Yogyakarta, IAIN, Sunan Kalijaga Press. Saleh, Edwar, M. 1984, Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Ekonominya, Proyek Pembinaan Permesiumanan Kalimantan Selatan. Suparlan, Parsudi, 1986, Perubahan Sosial Manusia Indonesia, Individu, Keluarga dan Masyarakat, Jakarta; Akademika Presindo. Suroso, P. C. 1994. Perekonomian Indonesia. Jakarta; Gramedia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Weber, M. 1978, Economy and Society; An Outline of Interpresive Sociology, Berklay, University California Press. …….., 1998, Sekte-sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme, dalam Taufik Abdullah (Ed), Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta, LP3ES.
166 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 DAFTAR PUSTAKA Anwar, Saifuddin, 1988, Seri Psikologi, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta, Reberty. Bogdan, Robert, dan Taylor Steven J 1975. Introduction to Qualitative Research Methods. New York; John Willey and Sons. Brush, S.B. 1997, “The Mith of Idle Peasant: Employment in a Subsistence Economy” dalam Halperin, Rhoda dan James Dow, (Eds), Peasant Liverhood: Studies in Economic Anthropology and Cultural Ecology, New York: St. Martin Press. Chayanov, A. V. 1986. The Theory of Pleasant Economy, disunting Thorner, Medison Winconsin: The University Winconsin Press. Dalton, G. (Ed), 1971, Economic Development and Sosial Change: The Modernization of Village Communities. New York: The Natural History Press. Daniel Show, R, 1999, Cultural Concept, Cultural Methods, and Cultural Change, Transculturation Chs, 1&2 Anthropology Insight, for Mission in Indonesia. Cruib, Lan, 1997, Teori-teori sosial modern dari Parsont sampai Hiberman, diterjemahkan oleh Paul S, dan T Effendi, Jakarta, CV Rajawali. Dimyati, M. 1997, Metodologi Psikologi P)enelitian Kuantitatif, Paradigma Pendekatan Metode dan Terapan, Malang, PPS IKIP Malang dan IPTPI. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP MPR No. II Tahun 2003. Giddens, A. 1984, The Constitution of Society; Outline of The Theory of Structuration, Berkly; University of California Press. Glaser, B. G. dan Strouss, A. L. 1967, The Discovery of Grounded Theory, Chicago; Aldine.
Taufiqurrahman, Pandangan dan 147 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi datanya ada keberbedaan atau heterogen maka diambil data dan sumber data dari beberapa orang, dengan jumlah informasi subjek yang tidak sama diantara tiga kecamatan tersebut. Dengan demikian untuk tiga kecamatan memungkinkan hanya menampilkan beberapa orang subjek saja sebagai sampel sumber data. 2. Obyek Penelitian Adalah pandangan hidup dan perilaku religius masyarakat petani dalam aktivitas ekonomi dengan variabel data. Pertama; Pandangan hidup petani tentang konsep kerja praktik ekonomi yang terpola sebagai rutinitas dalam kehidupan petani muslim sepanjang tahun yang berkaitan sebagai etos kerja dikalangan petani. Kedua; Dimensi yang sifatnya kultural-religius guna bisa memahami sistem kepercayaan, nilai dan norma, yang terstruktur dan melingkupi perilaku religius pelaku praktek ekonomi, yakni memahami perilaku religius praktek ekonomi pertanian dan organisasi ekonomi komunitas petani, untuk mengenali dimensi kultural yang terstruktur dikalangan petani. Ketiga; Menempatkan religius petani dalam aktivitas ekonomi, dilacak melalui analisis tindak strategis, alasan-alasan dan pertimbangan para petani beretos kerja tertentu, termasuk bias religius, yakni apakah prilaku keberagamaannya sudah berbasis lingkungan atau belum. Keempat; Menerapkan prosedur hermeutika ganda, penafsiran peneliti bertitik tolak berdasarkan pernyataan dan penafsiran para petani muslim pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri secara alamiah. Bukan pendapat, tafsiran atau persepsi dari peneliti untuk menghindari biasnya data. 3. Penentuan Informan Dalam menentukan informan, sama dengan menentukan subjek penelitian, yaitu dengan menggunakan teknik snowball atau teknik bergulir, yang dijadikan informan penelitian ini adalah mereka yang terlibat dalam latar konteks penelitian, yang memiliki kecakapan bertutur dan memberikan informasi dengan
148 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 lancar, yaitu kepala desa, pemuka agama, dan tokoh masyarakat petani. 4. Teknik Penggalian Data Teknik penggalian data pertama, dengan memakai instrument wawancara bebas dan terarah sesuai dengan variabel data yang relevan dengan pokok permasalahan dan konteks judul penelitian. Dan kedua, dengan teknik observasi partisipan, dimana peneliti melihat secara langsung sepanjang aktivitas berlangsung yang dapat dilihat, dan berbagai simbol dan benda serta makna yang digunakan petani dalam aktivitas pertanian. Data direduksi secara mendalam sesuai tuturan subjek penelitian sampai mencapai kejenuhan data. 5. Pengolahan Data Data di editing, dikoding, diklasifikasi dan disajikan secara diskriftif kualitatif berbentuk uraian, kemudian di trianggulasi ke lapangan pada subjek petani yang sudah menuturkan datanya, jika sesuai dengan pendapat mereka, maka data dianggap sudah valid, tetapi jika data belum lengkap atau berbeda dengan apa yang dituturkan dan diinginkan oleh penutur data, maka data dilengkapi dan disempurnakan lagi kelapangan. 6. Analisis Data Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yakni waktu reduksi data dilapangan, waktu penyajian dan analisis data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Untuk memenuhi standar truthworthiness yakni; kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan korfirmabilitas, pada dasarnya mengacu pada patokan yang ditujukan Lincoln dan Guba (1985:117), dengan melakukan beberapa perlengkapan penambahan data.
F. Temuan Hasil Penelitian
Taufiqurrahman, Pandangan dan 165 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi hari dari petani muslim itu sendiri, yang menurut Giddens, para pelaku aktivitas ekonomi sebagai knowledgeable agents, dan menekankan hermeunitika ganda yang penuh dengan dunia makna.
164 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 rasional dan penuh perhitungan, dan tipologi kerja termasuk subsisten konsumtif dan produktif konsumtif. 3. Strukturasionistik Aktivitas Ekonomi Petani Banjar Berdasarkan kajian teori strukturasionistik dari Giddens, masyarakat petani Banjar meskipun tergolong tunggal dalam etnis, agama dan atribut sosial budaya, tetapi petani aktif dan melibatkan interpretasi yang jamak dalam bertindak, karena ada patokan umum yang sudah terbentuk dalam masyarakat petani dalam aktivitas kerja agrikultural, apa yang seharusnya dikerjakan, kapan oleh siapa, untuk tujuan apa, bagaimana seharusnya bekerja, tentunya tidak terlepas dari aturan-aturan yang terstruktur sedemikian rupa, sesuai dengan religi dan bias budaya setempat. Pengalaman dan pengetahuan petani sehari-hari merupakan peta kognitif dan memori para petani, dan struktur sendiri dibentuk oleh petani pelaku ekonomi, dengan adanya pandangan yang bersifat religius kultural, pemimpin ritual aktivitas pertanian, aturan-aturan agama dan budaya yang mengikat serta sangsi bagi pelanggar aturan, dan jiwa ketaqwaan yang tinggi, serta ekonomi yang bersifat kekeluargaan, sifat suka bergotong-royong dan musyawarah mufakat dalam menentukan aktivitas ekonomi pertanian, menunjukkan bahwa kenyataan ini amat sesuai dengan teori strukturasi A.Giddens. Teori dualitas strukturasi menunjukkan adanya implikasi berupa; Praktik– praktik ekonomi petani Banjar sudah terpola dalam regularitas dalam kehidupan sehari-hari, dan berkaitan dengan pandangan religius dan etos kerja petani. Dimensi kerja yang bersifat religius-kultural dapat memahami sistem kepercayaan, nilai dan norma yang terstruktur dan melingkupi para petani pelaku ekonomi. Para petani Banjar sebagai pelaku ekonomi, mempunyai alasan-alasan dan pertimbangan berbudaya kerja tertentu sesuai dengan bias agama dan budayanya. Para petani Banjar sebagai pelaku ekonomi mampu memaknai kerjanya. Atas dasar keempat implikasi dari teori strukturalistik ini perilaku religius dalam aktivitas ekonomi para petani Banjar dilaksanakan menurut perspektif emik, yakni petani beraktivitas berdasarkan pertimbangan makna, nilai, dalil, dan definisi sehari-
Taufiqurrahman, Pandangan dan 149 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi 1. Pandangan Religius Petani Banjar dalam Aktivitas Ekonomi a. Latar Belakang Pendidikan dan Latar Keberagamaan Petani Untuk melihat lebih jauh bagaimana pandangan religius petani dalam aktivitas ekonomi, peneliti perlu sekali melihat latar pendidikan dan keberagamaan responden petani, responden I suami-isteri berpendidikan madrasah Ibtidaiyah swasta 6 tahun, dan mengikuti pengajian Kitab-Kitab Agama berbahasa melayu, sedangkan responden II suaminya berpendidikan Diploma 2 guru agama dan isterinya lulusan madrasah Aliyah, kedua responden berasal dari kecamatan Kertak Hanyar. Responden III suami berpendidikan Madrasah Aliyah Pesantren Ibnul Amin Pemangkih, dan isterinya berpendidikan Madrasah Ibtidaiyah swasta. Dan responden IV berpendidikan Sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Antasari, sedang isterinya berpendidikan Madrasah Aliyah Swasta, kedua responden berasal dari Kecamatan AluhAluh. Responden V berpendidikan Diploma 2 guru umum, sedang isterinya berpendidikan Madrasah Aliyah swasta. Responden ke VI suami isteri berpendidikan Sekolah Rakyat. Dilihat dari pengalaman pendidikan Dasarnya, sebagian besar telah mengalami pendidikan Madrasah Agama, ditambah dengan mengikuti pengajian-pengajian Kitab Agama dilingkungan Desanya masing-masing. Untuk pengalaman pendidikan dasar keagamaan dapat dikatakan memadai sebagai pekerja pertanian Desa, hal ini terlihat alasan-alasan yang mereka kemukakan, bahwa bertani adalah bekerja untuk ibadah kepada Allah SWT, bekerja sebagai petani untuk memenuhi berbagai kewajiban pada agama, memberi nafkah keluarga, mendidik anak, menunaikan kewajiban agama seperti zakat, infaq, shadaqah, ibadah haji, mendirikan tempat ibadah, membantu fakir miskin dan berbagai kemaslahatan sosial kemasyarakatan. Dari berbagai pernyataan keenam responden ini terlihat bahwa pandangan keagamaan responden tentang konsep kerja bertolak dari dasar rasa keagamaan, hal tersebut juga dilihat dari alasan beberapa ayat dan hadits yang mereka jadikan sandaran dalam konsep kerja,
150 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 pada sisi lain keenam responden mendasari fikirannya bahwa mereka bekerja karena tuntutan kehidupan, orang harus bekerja jika ingin mencapai suatu kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun keselamatan akhiratnya. Dari ke enam responden ini terdapat responden yang berpendidikan Madrasah Aliyah, Diploma 2 dan Sarjana Agama, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat petani juga tidak menutup mata terhadap pendidikan, dan mereka lebih mengutamakan Pendidikan agama sebagai dasar yang dipegangi dalam pendidikan, hal ini menunjukkan bahwa responden petani Banjar memandang bahwa aturan-aturan agama yang dipeluknya merupakan acuan dalam kerja ekonomi pertanian, dan bertani merupakan bagian dari ibadah beragama, keenam responden ini menyatakan petani bekerja keras justru untuk memenuhi berbagai kewajiban yang disyari’atkan oleh agama. Untuk kesejahteraan hidup keluarga dunia dan kesejahteraan akhirat. Menurut ke enam responden bahwa hasil pertanian yang mereka peroleh tergolong tinggi, sedang dan rendah yang ada relevansinya dengan etos kerja mereka yang tergolong tinggi, sedang dan rendah. Dan agama yang dipeluk sangat memotivasi untuk bekerja keras, jujur, sabar, dan tidak berputus asa dan selalu berharap dengan usaha dan do’a. Dengan kata lain bertani disamping memenuhi kebutuhan jasmani secara konsumtif, juga untuk kehidupan rohani, kesejahteraan pada kehidupan akhirat kelak. b. Latar Budaya Petani Banjar Pada sisi lain tampak bahwa petani Banjar selain berpedoman pada ajaran agama Islam dan mempunyai pandangan yang Islami, masih mengambil dasar dan pandangan budaya secara turun temurun, yang semua ini mereka lakukan masih berorientasi pada kepercayaan kebudayaan, hal ini terlihat dari adanya ritual pertanian yang masih mengharapkan suatu berkah dengan berbagai istilah dan simbol serta benda yang dipergunakan dengan berbagai pengharapan dan keyakinan, yang dibarengi dengan acara selamatan agama. Latar budaya ini ternyata juga ada relevansinya dengan faktor usia responden dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini terlihat dari responden I, beliau berusia 85 tahun dan isterinya berusia 80 tahun lulusan madrasah Ibtidaiyah,
Taufiqurrahman, Pandangan dan 163 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi adat-istiadat yang dijadikan sebagai acuan dalam perilaku kerja pertanian. Hal ini ada relevansinya dengan faktor tingkat pendidikan dan pengalaman agama serta faktor usia petani. Pada para petani yang berpendidikan dan pengalaman agama yang rendah dan usia yang tua cenderung memakai adat-istiadat dan budaya bertani yang tradisional yang diwarisi secara turuntemurun dengan memakai berbagai ritual budaya dengan menggunakan benda, simbol, dan keyakinan yang bersifat sinkritisme, sedangkan petani yang berpendidikan tinggi dan pengalaman agama yang mendalam lebih mengutamakan praktik bertani yang Islamis dan rasional, serta lebih dapat menerima pembaruan dalam aktivitas pertanian. Perilaku religius petani ini tampak pada aktivitas pertanian yang diwarnai, gotong-royong, kekeluargaan, dan memakai nilai agama dan nilai budaya setempat, dengan shalat hajjat, pembacaan ayat al Qur’an dan shalawat serta do’a-do’a selamat yang mengawali aktivitas pertanian dalam praktik menentukan kesepakatan waktu, tanggal hari dan bulan mulai pertanian, yakni mulai memilih paung padi, memalai, atau, menaradak, melacak, membalur, menanjang, mengatam padi, dan menyimpan padi, selalu dibarengi dengan adat-istiadat dan ritual agama, simbol dan benda yang bermakna. Implikasi dari perilaku religius berupa kepedulian beragama yang berbasis lingkungan, berupa pengeluaran zakat, infaq, shadaqah, membangun fasilitas sosial, berupa, mesjid, langgar, madrasah, jalanan, jembatan, serta kepedulian sosial berupa kas wakaf untuk membantu fakir miskin, dan anak yatim, honor guru madrasah serta pengobatan orang sakit yang tak mampu. Sedangkan perilaku yang bersifat sinkritisme Islam berupa selamatan yang melambangkan penghormatan pada tanaman padi yang dilambangkan dengan simbol, benda dan makna atau nilai yang mengikuti setiap praktik pertanian, yakni memilih bibit padi, menaradak, melacak, menangkar dan membalur anak padi serta memotong padi, sebagai praktik budaya turun temurun. Sedangkan etos kerja petani meliputi kerja keras, sedang, dan malas serta perilaku; tekun, cermat, disiplin, hemat,
162 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 peneliti bertitik tolak berdasarkan penafsiran para petani pelaku budaya itu sendiri. Kenyataan diatas menunjukkan bahwa nilai filosofis atau pandangan dan perilaku religius petani dalam aktivitas ekonomi sejalan dengan kategore teori strukturasionistik dalam bentuk yang sederhana dan tradisional sebagai realitas cultural religius dikalangan masyarakat petani Banjar telah terstruktur secara alamiah. G. Simpulan Berdasarkan perspektif pembahasan hasil penelitian, sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini menemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pandangan religius petani Banjar dalam aktivitas ekonomi Para petani Banjar memberikan makna, bahwa bekerja adalah suatu usaha atau ikhtiar yang wajib untuk memenuhi kebutuhan hidup selama di dunia, dan bekerja adalah salah satu dari menjalankan ibadah kepada Allah SWT, karena dengan bekerja kita dapat memenuhi berbagai kewajiban ibadah kepada Allah, dan bekal kesejahteraan untuk akhirat. Dan pekerjaan bertani (mazra’ah), merupakan bahagian yang dibahas dalam hukum fiqih, dan agama menyuruh umatnya untuk bekerja keras, jujur, sabar, halal, tawakkal dan syukur kepada Allah. Selanjutnya para petani Banjar menyatakan bahwa pekerjaan bertani erat sekali dengan aqidah, ibadah dan akhlak, sebab dalam pertanian ada kepercayaan dan keyakinan bahwa Allah-lah tempat memohon segala keberhasilan usaha pertanian, dan banyak ibadah yang dapat dikerjakan dari hasil pekerjaan pertanian, seperti ibadah zakat, puasa dan haji, infaq, shadaqah, serta berbagai ibadah sosial kemasyarakatan lainnya, di samping itu seorang petani juga dituntut berperilaku yang baik dalam berbagai aktivitas sosial pertaniannya, tidak melaksanakan monopoli dan persaingan yang tidak sehat dalam praktik ekonomi pertanian. 2. Perilaku religius petani Banjar dalam aktivitas ekonomi Para petani Banjar dalam melaksanakan aktivitas ekonomi pertanian. Tidak terlepas dari aturan-aturan hukum agama dan
Taufiqurrahman, Pandangan dan 151 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi keduanya sangat memegang berbagai tradisi budaya bertani yang diwarisi secara turun temurun dari orang tuanya, masih kental dengan benda dan simbol berupa batungkal atau tapung tawar padi dengan minyak bubureh, sajian nasi kuning, bubur merahputih dengan segala maknanya yang digunakan petani dalam setiap ritual aktivitas pertanian, demikian pula responden VI, pendidikan sekolah rakyat dengan usia 63 tahun dan isterinya 60 tahun, masih kuat memegang tradisi budaya pertanian berupa simbol, dan benda yang diwarisi secara turun temurun dari datuk neneknya. Mereka berpandangan bahwa jika tradisi ini ditinggalkan, maka usaha pertanian dan hasil pertanian akan kurang berhasil, sehingga perilaku budaya mereka pegangi dengan kuatnya. Sebaliknya petani pada generasi muda berikutnya seperti pada responden II, III, IV dan V, dengan pendidikan agama yang lebih tinggi dan usia yang lebih muda, memandang budaya pertanian sebagai tradisi biasa dengan pandangan yang lebih rasional, dan orientasi ritual keagamaan lebih diarahkan pada selamatan atau ritual keagamaan dengan harapan bahwa dengan melaksanakan tradisi yang di arahkan pada pengamalan beragama, pertanian akan terlaksana dengan baik dan menghasilkan panen padi yang melimpah ruah dan penuh berkah. Dari realitas pandangan keberagamaan para petani ini terlihat bahwa tingkat pendidikan, pengalaman keagamaan, pengalaman budaya, dan faktor usia sangat berpengaruh pada filsafat hidup dan etos kerja para petani Banjar, dimana para petani Banjar khususnya generasi tua dengan pendidikan dan pengalaman keagamaan yang rendah, masih mempercayai beberapa tradisi budaya bertani tradisonal yang kurang Islami dan bersifat mubazir, sementara pada para petani dengan pendidikan dan pengalaman keagamaan yang lebih tinggi dan usia yang lebih muda, sudah mulai meninggalkan tradisi budaya bertani yang dianggap kurang rasional dan kurang Islami, namun tetap menganggap bahwa usaha ekonomi bertani adalah sebahagian dari pengamalan ibadah beragama yang perlu dilestarikan. 2. Perilaku Religius Petani Banjar dalam Aktivitas Ekonomi
152 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 Perilaku religius para petani, tidak terlepas dari filsafat hidup para petani itu sendiri, yang mana filsafat hidup para petani ini terbina dari tradisi budaya bertani yang diwarisi berabad-abad secara turun-temurun dari oang tua mereka, disamping itu pengalaman pendidikan, dan pengalaman beragama juga sangat memicu terhadap perilaku para petani dalam aktivitas ekonomi pertaniannya. Hal ini dapat dilihat dari bentuk aktivitas petani berikut: a. Terbinanya organisasi pertanian secara tradisional Dilihat dari praktik-praktik ekonomi yang dilaksanakan oleh enam orang responden dengan tiga wilayah Kecamatan, yakni Gambut, Kertak Hanyar, dan Aluh-Aluh, terdapat organisasi pertanian yang terpola secara tradisional sebagai regularitas aktivitas pertanian dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari adanya suatu kesepakatan bersama menuakan atau menjadikan pimpinan dan panutan yang disegani untuk memimpin dan menentukan kalender aktivitas jalannya pekerjaan pertanian yang harus diikuti oleh para petani di setiap Desa dalam aktivitas pertanian yang dilaksanakan. Seperti responden I dan V, mereka dipercaya untuk memimpin dan menentukan kapan waktu yang tepat untuk mulai melaksanakan aktivitas pertanian secara berurutan, dari sejak menentukan hitungan bulan dan tanggal serta hari yang tepat untuk menanam, yang disepakati bersama, sampai urutan aktivitas pertanian pada pelaksanaan panen hasil pertanian, dan upacara mengeluarkan zakat hasil pertanian, serta sangsi yang dikenakan pada petani yang tidak mematuhi aturan aktivitas pertanian, selanjutnya pemimpin aktivitas pertanian ini memimpin ritual budaya secara alamiah yang diikuti oleh masyarakat petani di lingkungan desanya. Selanjutnya ada lagi organisasi keagamaan yang ketuanya memimpin acara ritual keagamaan dalam aktivitas pertanian, seperti responden II, III, dan IV. Mereka secara alamiah karena dianggap kuat dan ahli dalam agama, maka ditunjuk sebagai pemimpin ritual keagamaan dalam aktivitas pertanian di wilayah desanya. Selanjutnya mereka ini bertugas untuk memimpin pembacaan do’a dalam setiap urutan aktivitas selamatan pertanian, Amil penerima zakat hasil pertanian, ketua Mesjid,
Taufiqurrahman, Pandangan dan 161 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi dipeluknya, adalah tindak strategis aktivitas petani yang terstruktur. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman beragama, serta tinggi rendahnya tingkat usia responden ternyata sangat berpengaruh pada kemampuan pelaku ekonomi bertani pada penafsiran dan pemaknaan terhadap nilai-nilai budaya bertani dan nilai agama yang dipeluknya. Responden petani yang berpendidikan rendah dan berusia tua, lebih kuat memegang nilai tradisi atau budaya bertani yang telah diwarisi secara turuntemurun dari nenek moyangnya, pandangan, perilaku dan pemaknaan mereka terhadap nilai, simbol dan benda yang dipergunakan dalam aktivitas bertani ditafsirkan menurut persepsi dan pengalaman petani sendiri, selanjutnya responden petani yang berpendidikan dan pengalaman agama yang lebih tinggi, dan berusia yang lebih muda, cendrung melepaskan dan meninggalkan berbagai simbol, benda, dan nilai budaya tradisional, dan lebih berorientasi pada nilai dan praktik keberagamaan menurut pemahamannya sendiri, meskipun aktivitas yang dilaksanakan oleh responden petani ini tidak terpola dalam ajaran agama Islam secara khususnya, seperti bacaan wirid dan selamatan yang rutin dilaksanakan oleh responden petani dalam aktivitas ekonominya. Namun implikasi keberagamaan responden petani pada sosial kemasyarakatan sudah sangat baik, dengan kata lain keberagamaan mereka sudah berbasis lingkungan, terbukti dengan terbentuknya beberapa organisasi sosial kemasyarakatan yang mengelola perbaikan jembatan, jalanan, lembaga pendidikan madrasah swasta, perbaikan tempat ibadah, bantuan terhadap fakir miskin dan orang sakit dari sumber dari dana infaq hasil pertanian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh A.Giddens (1964:288), bahwa alasan-alasan dan pertimbangan para petani berbudaya kerja tertentu dilacak melalui analisis strategik ini, termasuk juga alasan dan pertimbangan yang bersumber dari bias budaya setempat dan bias atau implementasi dari ajaran agama Islam yang sudah membumi, dengan menerapkan prosedur hermeneutika ganda,yakni penafsiran
160 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 memenuhi kebutuhan hidup yang sangat sederhana dan bersifat konsumtif. Menelusuri para pelaku praktik ekonomi di tiga Kecamatan ini, bahwa praktik ekonomi dalam kehidupan petani kesehariannya selalu didasari oleh filsafat hidup dan pandangan yang memuat nilai-nilai kultural religius, para petani masih terpola dengan aturan-aturan budaya lama yang tradisional, di samping memahami agama masih bersifat doktrinis, sehingga belum bisa membedakan antara nilai budaya yang positif dan rasional dengan nilai agama yang dinamis, terbukti pelaku praktik ekonomi bertani ini masih melaksanakan ritual kultural religius yang kurang menguntungkan para petani itu sendiri dalam prediksi hitungan ekonomi. Sistem bertani masih sangat tradisional, pemasaran hasil pertanian masih bersifat lokal, dan termasuk petani yang konsumtif untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga. Menurut A.Giddens;2 aspek atau dimensi yang sifatnya kultural religi, dapat memahami sistem kepercayaan, nilai dan norma yang terstruktur dan melingkupi para pelaku praktik ekonomi di kalangan masyarakat petani setempat. Keenam responden dan juga para petani setempat memegang teguh sistem budaya bertani setempat yang telah diwarisi secara turun temurun, pengalaman pendidikannya kurang berimplikasi pada prilaku aktivitas ekonomi bertani yang lebih modern, hal ini mungkin ada relevansinya dengan sifat qana’ah dan mensyukuri nikmat apa adanya dari pemahaman doktrin agama yang terlalu sempit dari pelaku ekonomi atau para petani setempat, namun bagaimanapun juga keenam responden petani ini mempunyai pandangan dan filsafat hidup bahwa pekerjaan bertani tersebut merupakan bahagian dari pengamalan agama yang dipeluknya untuk kebahagiaan keluarga dunia dan akhirat. Menurut A. Giddens; alasan-alasan dan pertimbangan petani pelaku ekonomi, termasuk budaya kerja tertentu dari argumentasi budaya dan religi, bersumber dari bias budaya dan agama yang 2
A. Giddens, The Constitution of Society; Outline of The Theory of Structuration, (Berkly; University of California Press, 1984), h. 284.
Taufiqurrahman, Pandangan dan 153 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi Penghulu perkawinan, Imam Mesjid, Penyelenggara Pengajian Agama dan berbagai aktivitas yang dilaksanakan oleh para petani dalam pekerjaan pertanian yang tidak terlepas dari perilaku keagamaan para petani. b. Berbagai aktivitas pertanian yang dilaksanakan para petani Dilihat dari berbagai aktivitas keenam responden petani, terdapat dua jenis aktivitas pertanian di tiga wilayah Kecamatan ini, yakni ada aktivitas pertanian yang dilaksanakan secara tradisional budaya petani secara turun-temurun, dan ada pula yang bersumber dari perilaku keagamaan yang sudah membumi di kalangan masyarakat. 1) Aktivitas yang berasal dari tradisi budaya petani Ada beberapa tradisi aktivitas pertanian yang dilaksanakan dan disepakati secara sakral oleh para petani di lingkungannya, dan mewajibkan bagi mereka untuk mentaati peraturan aktivitas pertanian tersebut, seperti yang dilaksanakan oleh responden I, II dan VI, aktivitas pertanian dilakukan dengan urutan sebagai berikut: Pemilihan bibit padi atau paung banih Menurut responden, tiga hari sebelum padi dipotong, bibit padi harus ditungkali, atau ditapung tawari lebih dahulu dengan minyak buburih yang dicampur dengan minyak wangi dan air pandan, sambil membaca shalawat atas Nabi, dan tidak boleh memandang wilayah padi orang lain, yang maknanya agar padi diberi kesegaran dan semangat dan hakekat hati yang punya padi mendapat keberkahan dari pertaniannya, dan kalau memandang padi orang lain waktu menapung tawari itu sama hukumnya dengan mencuri berkah padi orang lain di sekitar sawahnya. Dicari rumpun padi yang subur dan merunduk berhadapan empat penjuru, kemudian memberi salam dengan lafaz; Assalamu’alaikum yaa Abul Bashar, dalam hati; umpat maambil banih pitutu sagar maulah paung, kemudian membaca shalawat atas Nabi tujuh kali sambil memotong padi tujuh jangkum atau sebelas jangkum sesuai keperluan paungnya, dimasukkan ke
154 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 dalam bakul kayang yang sudah dilapis dengan kain kuning atau kain putih, untuk dibawa pulang kerumah, maknanya seperti menjemput bayi dari tempatnya menghormati semangat padi, dengan kepercayaan ini padinya tumbuh subur serta menghasilkan panen padi yang banyak. Menyemai bibit padi atau menaradak Menurut responden untuk menaradak ini harus ditentukan pada empat hari sampai empat belas hari bulan qamariah, dan tanggal hitungan sesuai dengan nama malaikat Jibril hari senin, atau kamis atau ahad, dan pantangan pada hari Selasa dan Sabtu, untuk itu tiga hari sebelumnya bibit padi ditapung-tawari dengan minyak buburih dan air shalawat kamilah serta disajikan nasi lamak ketan putih bahinti, dan di bacakan do’a selamat, dengan makna agar padi tumbuh subur dan terhindar dari gangguan binatang dan penyakit. Kemudian diatas padi yang telah ditaradak ditaburkan irisan gadang batang pisang, dan pada empat sudut taradakan ditancapkan batang kambat kuning gading, sebagai penjaga padi taradak tersebut. Menangkar anak banih Setelah taradak berumur satu, bulan dipindahkan ke sawah yang berair, agar menjadi cepat besar, waktu memindah dipagi hari menghadap matahari hidup, dengan maksud agar mendapat cahaya matahari yang dingin. Sebelum menangkar anak banih, diselamati dengan nasi ketan putih balamak dan bahinti, dengan makna menghantarkan anak banih agar tumbuh subur. Membalur atau melacak anak banih. Membalur anak banih dilaksanakan apabila anak banih yang ditangkar berusia satu bulan, anak padi di lacak dengan membalur panjang sampai seratus atau dua ratus meter dan lebarnya lima puluh meter, agar padi semakin besar mengembang. Di tengah baluran padi ditanam bunga tawar dan hundayang nyiur sebagai pendingin anak banih. Menanjang atau menabur anak banih
Taufiqurrahman, Pandangan dan 159 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi 3. Aktivitas Ekonomi Petani Banjar dalam pandangan Teori Strukturasionistik Dilihat dari pandangan dan filsafat hidup masyarakat petani Banjar, bahwa para petani Banjar menempatkan agama dan budaya petani setempat sebagai acuan dan pemicu dalam regularitas kehidupan petani sehari-hari, hal ini terlihat dari pernyataan dan perilaku responden dari ketiga wilayah Kecamatan dari Kabupaten Banjar. Struktur masyarakat petani terbentuk secara alamiah oleh masyarakat petani, karena mereka hidup dalam sosial kemasyarakatan dengan adat-istiadat dan dalam lembaga keagamaan yang homogen, orang tua yang berpengalaman tentang budaya bertani ditokohkan secara kharismatis sebagai tetuha masyarakat yang memimpin adat-istiadat ekonomi pertanian, demikian pula orang tua yang berpendidikan agama yang tinggi dan mendalam ditokohkan sebagai ketua yang mengurusi dan memimpin acara keagamaan. Kepemimpinan ini terlihat pada adanya anggota masyarakat petani yang mendukung dan mematuhi peraturan yang tidak tertulis, tetapi sangat kuat dan adanya sangsi yang diberikan pada pelanggar aturan tersebut. Semua responden menyatakan adanya strata perilaku dan aktivitas pertanian yang disepakati masyarakat petani, seperti musyawarah dalam menentukan tanggal hari serta bulan yang baik dan tepat untuk memulai aktivitas pertanian, bentuk-bentuk aktivitas kerja bertani seperti: menentukan mulai menyamai bibit padi, menangkar anak padi, membalur anak padi, menanam padi, memotong padi sampai mengeluarkan zakat padi secara massal. Semua aktivitas pertanian ini dianggap sakral dan kental dengan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama sangat memotivasi para petani untuk bekerja keras dan pantang menyerah, responden menggunakan beberapa ayat al Qur’an dan Hadits serta Shalawat sebagai sandaran yang dapat mengokohkan suatu ikatan kekeluargaan dalam aktivitas pertanian, menurut A.Giddens (1994:284), praktik ekonomi ini terstruktur dengan baik meskipun dalam pola agraris yang sangat tradisional, dan etos kerja keras pun hanya dalam lingkup aktivitas ekonomi bertani untuk
158 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 Menurut keenam responden petani ini, meskipun mereka sibuk dalam aktivitas bertani, mereka selalu aktif melaksanakan shalat lima waktu, shalat jum’at, puasa dan membayar zakat, dan jika rezekinya banyak maka mereka menunaikan ibadah haji, di samping ibadah sosial kemasyarakatan. Dari beberapa aktivitas keagamaan yang dikerjakan oleh para petani tersebut sehubungan dengan aktivitas pertanian, sebenarnya bukan berasal dari anjuran ajaran agama, karena perilaku ini tidak ada petunjuknya dalam ajaran agama Islam, syariat Islam hanya mewajibkan mengerjakan rukun Islam dan akhlak sesama mereka, sedang perilaku yang dikerjakan oleh para petani ini merupakan unsur inisiatif yang mereka anggap baik dalam ukuran masyarakat petani dan dianggap tidak menyalahi ajaran agama, atau dapat pula dikatakan semacam manifestasi dari ajaran Islam yang sudah membumi, yang disebut oleh petani sendiri sebagai do’a hasanah. Sedang dalam Sunnah Nabi, setiap pekerjaan dimulai dengan membaca basmalah dan diakhiri dengan membaca hamdalah. Setiap pekerjaan baik dimulai dengan shalat hajat dan diakhiri dengan sujud syukur atas keberhasilan pekerjannya. Demikian pula etos kerja keras untuk memenuhi keperluan hidup dan sifat bertawakkal para petani merupakan perilaku yang Islami. Dari perilaku religius dalam aktivitas ekonomi masyarakat petani Banjar ini, tidak terlihat sistem persaingan bebas tanpa batas (free fight liberalism) atau sistem etatisme serta persaingan monopoli atau monopsoni yang merugikan masyarakat petani yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial yang mempengaruhi kesejahteraan rakyat (Rusli Lizwari, 1997:18). Realitas aktivitas religius ekonomi pertanian masyarakat Banjar lebih berorientasi kepada; ketaqwaan yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan bersifat kekeluargaan, suka bergotongroyong serta terbudaya sifat suka bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam aktivitas ekonomi yang telah terstruktur dalam kehidupan para petani sehari-hari di masyarakat petani Banjar ini.
Taufiqurrahman, Pandangan dan 155 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi Pekerjaan menanjang ini dikerjakan secara bergotong royong, dihadiri oleh semua anggota keluarga dengan acara selamatan, dan sajian dengan kueh bubur merah dan bubur putih, kueh cucur, apam putih dan apam merah, kueh cincin, dan cengkaruk ketan manis, selanjutnya sebelum menanjang dibacakan do’a selamat oleh kepala rumah tangga dengan makna agar keluarga petani mendapat selamat selama dalam proses pertanian dan padi padi yang ditanam, tumbuh subur dan banyak buahnya. Batungkal mengatam banih hanyar Menurut responden, jika padi sudah matang menguning, tiga hari sebelumnya dilaksanakan acara adat mengangin-angin asap api, yakni membakar rumput,daun janar, daun laos, dan kuku kerbau atau kuku sapi, di sore hari, selanjutnya sebelum dipotong padi di tungkali atau di tapung tawari dengan minyak buburih bercampur minyak wangi, maksudnya sebagai penghormatan pada semangat banih, berikutnya padi yang dipotong dimasukkan ke bakul kayang untuk dibawa pulang ke rumah. Pemberkatan padi dan peralatan pertanian Setelah padi dirapai atau diirik, padi ditakar dengan belik dan dizakati serta dikeluarkan infaknya. Kemudian dimasukkan ke dalam kindai atau lumbung padi, selanjutnya semua peralatan yang pernah digunakan sebagai alat dalam pertanian dikumpulkan ditempatkan diatas tikar purun, seperti tajak, cangkul, parang mandau, tutujah, ranggaman, dan arit, dilengkapi dengan sisir, paung padi, rokok, cupak beras, dan air tawar dingin, serta lampu sumbu minyak tanah yang dinyalakan selama tiga hari tiga malam sampai padam, lalu ditapung tawari dengan minyak likat dan minyak harum, semua itu dimaknai petani sebagai adat kebiasaan untuk memberikan keberkatan pada padi dan semua alat yang pernah digunakan oleh petani, dan sekaligus sebagai acara warisan secara turun temurun yang tabu atau pemali untuk ditinggalkan petani selama beraktivitas secara adat dalam pertanian.
156 Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013 Dari ketujuh perilaku tradisi bertani ini termasuk budaya tradisional petani Banjar yang sudah melembaga, dan ditambah dengan simbol dan benda serta kepercayaan budaya yang bukan berasal dari ajaran syari’at agama Islam, karena pekerjaan tersebut berbentuk sinkritisme atau semacam amaliah orang muslim yang bercampur dengan budaya nenek moyang yang beragama Hindu yang bersifat syirik. Dengan kata lain dalam perilaku budaya petani Banjarmasih terdapat perbuatan para petani yang bersifat bid’ah dan bertentangan dengan syari’at agama Islam. 2) Aktivitas yang bernilai Agama pada petani Banjar Dalam aktivitas ekonomi pertanian pada masyarakat petani Banjar terdapat implementasi dari pandangan religius para petani sebagai berikut: Responden I, waktu sebelum memotong padi untuk bibit atau paung, memberi salam dengan lafaz; Assalamu’alaikum yaa abul bashar, kemudian membaca shalawat atas Nabi sebanyak tujuh kali baru memotong padi tujuh tangkai atau sebelas kali membaca dengan memotong padi sebelas tangkai atau seberapa bibit padi yang diperlukan, dengan makna agar mendapat berkah dari pemberi rezeki yakni Tuhan. Selanjutnya waktu menanam padi responden membaca salam seperti diatas tujuh kali, kemudian shalawat tiga belas kali, atau seberapa mampu membacanya. Selanjutnya semalam sebelum memotong padi responden melaksanakan shalat magrib berjama’ah di Mesjid, shalat sunat magrib dua rakaat, baru salat hajat dan membaca surah yasin, al waqi’ah, al muluk dan membaca shalawat kamilah sebelas kali, lalu membaca do’a selamat, maknanya sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas nikmat-Nya. Dan pagi harinya sebelum memotong padi responden membaca Fatihah empat dan shalawat nabi tujuh belas kali selanjutnya membaca do’a selamat. Dan setiap tahunnya responden mengeluarkan zakat hasil pertanian yang diberikan pada fakir miskin, selain itu diwakafkan lagi sepuluh belik padi untuk kepentingan sosial kemasyarakatan, seperti perbaikan jalanan, memperbaiki madrasah, membayar honor guru agama madrasah, membantu berobat warga yang sakit
Taufiqurrahman, Pandangan dan 157 Perilaku Relegius Petani dalam Aktivitas Ekonomi dan untuk guru penceramah di Mesjid yang dikelola oleh organisasi keagamaan desa. Responden II, selain apa yang dilakukan oleh responden I,sewaktu akan memotong padi pagi hari disawah responden membaca ayat empat, membaca surah at-Taubah ayat 28-29 sebanyak tujuh kali, membaca do’a selamat dan waktu memotong padi membaca shalawat atas Nabi seberapa mampunya. Responden ke III, selain apa yang dikerjakan oleh responden I, waktu sebelum memalai atau meneradak bibit padi membaca;surah at taubah ayat 28-29, yakni: laqad jaa akum rasuulun min anfusikum aziizun alaihi maa ‘anittum hariisun ‘alaikumu bil mu miniina raufurrahiim, fain tawallau fakul hasbiyallahu laa ilaaha illa huwa tawakkaltu wahuwa rabbul arsil aziim,waman yattakillaha yaj’alahu makhraja wayarzukuhu min hanitsu laayahtasibu, waman yatawakkal alallaah fi huwa hasbuh, innallaaha baalighu amrih, qad ja’allaahu likulli syai’in qadra. Sebanyak tujuh kali selanjutnya waktu meneradak dibaca shalawat atas Nabi semampunya, dan jika selesai dibacakan do’a selamat. 2.4. Responden IV, selain yang dikerjakan responden I, waktu meneradak atau memalai bibit padi dan menanam padi, membaca surah al-Lukman ayat 16 sebanyak tujuh kali, surah atTaubah ayat 28-29 tujuh kali, kemudian shalawat atas Nabi tujuh kali, selanjutnya dibacakan do’a selamat, dan responden IV ini setiap kali akan mengerjakan aktivitas pertanian selalu dimulai dengan shalat hajat dan berdo’a, selanjutnya jika panen padi dengan sujud syukur. Responden V dan VI, selain apa yang dikerjakan oleh responden I, tiga hari sebelum meneradak atau memalai bibit padi, bersama-sama para petani lainnya di tengah padang/sawah membaca shalawat burdah dan empatpuluh satu kali membaca shalawat kamilah, selanjutnya membaca surat at Taubah ayat 2829 tujuh kali, yang ditiupkan ke air tawar untuk menapung-tawari bibit padi yang akan di teradak, dan shalawat atas Nabi tujuh kali sampai semampunya.