PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM DALAM KERANGKA INDUSTRIALISASI KELAUTAN
NINA LUCELLIA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku Ekonomi Petani Garam dalam Kerangka Industrialisasi Kelautan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013
Nina Lucellia NIM: I34090033
ABSTRAK NINA LUCELLIA. Perilaku Ekonomi Petani Garam dalam Kerangka Industrialisasi Kelautan. Dibimbing oleh ARIF SATRIA. Kualitas mutu garam rakyat masih belum memenuhi syarat mutu yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Perilaku ekonomi petani garam belum mampu menghasilkan garam yang sesuai dengan kebutuhan industri. Adanya industrialisasi kelautan diharapkan mampu mendorong pengembangan industri usaha garam. Tujuan penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik individu petani garam dengan perilaku ekonomi petani garam serta menganalisis hubungan antara intervensi pihak luar dengan perilaku ekonomi petani garam. Selain itu, penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan karakteristik usaha dengan perilaku ekonomi petani garam, dan menganalisis hubungan perilaku ekonomi petani garam terhadap produksi garam yang sesuai dengan kebutuhan industri. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara karakteristik individu dengan perilaku ekonomi pada variabel tingkat pendidikan dan orientasi mutu. Hubungan signifikan juga terdapat antara perilaku ekonomi dengan kedua variabel intervensi pihak luar. Variabel teknologi dari karakteristik usaha juga memiliki hubungan signifikan dengan perilaku ekonomi. Kata kunci: petani garam, perilaku ekonomi, industrialisasi
ABSTRACT NINA LUCELLIA. Economic Behavior of Salt Producersin Supporting Marine Industrialization. Supervised by ARIF SATRIA. One of critical issues of traditional salt is low quality according to Indonesia National Standar. Economic behavior of salt farmers haven't been able to produce salt in accordance with industry needs. The industrialization of marine is expected to encourage industrial development efforts of salt. The purpose of this research is to analyze the relationship between the individual characteristics with economic behavior of salt producers, to analyze the relationship between intervention from outside with economic behavior of salt producers, to analyze the relationship characteritics salt produvtion with economic behavior of salt producers. The study results showed a significant relationship between behavioral economics to the characteristics of the individual. There are also significant relationships between economic behavior with both the intervention variables outside parties. The characteristics of business also has a significant relationship with behavioral economics. Key words: salt, economic behavior, industrialization
PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM DALAM KERANGKA INDUSTRIALISASI KELAUTAN
NINA LUCELLIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama NIM
: Perilaku Ekonomi Petani Garam dalam Kerangka Industrialisasi Kelautan : Nina Lucellia : 134090033
Disetujui oleh
c/~ Dr Arif Satria, SP MSi Pembimbing
.. DilCet
~
Tanggal Lulus:
_D_4_~__ :-: i)____ = = 13
ui oleh
Judul Skripsi Nama NIM
: Perilaku Ekonomi Petani Garam dalam Kerangka Industrialisasi Kelautan : Nina Lucellia : I34090033
Disetujui oleh
Dr Arif Satria, SP MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perilaku Ekonomi Petani Garam Dalam Kerangka Industrialisasi Kelautan dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Arif Satria, SP, MSi sebagai dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran, kritik dan motivasi selama proses penyusunan skripsi ini. Selain itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Ir. Melani Abdulkadir Sunito, MSc dan Ratri Virianita, S.Sos, MSi sebagai dosen penguji skripsi. Terima kasih juga diucapkan kepada keluarga-keluarga di Rembang, Bapak Mustain, Bapak Pungki, Bapak Sucipto, Ibu Agus, Mbak Fila dan petani garam Desa Tasikharjo, yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama proses penelitian. Penulis juga menyampaikan terima kasih untuk Bapak Agus Dwi Wahyudi beserta Ibu Sugiati, sebagai orangtua yang senantiasa mendoakan dan melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Arif Rachman dan Faiza Libby S.L, teman satu bimbingan yang turut membantu dan memberikan motivasi. Tidak lupa juga terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman, terutama para sahabat yang selalu mendukung, memotivasi, membantu hingga mendampingi penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2013
Nina Lucellia
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
IX
DAFTAR GAMBAR
XI
DAFTAR LAMPIRAN
XI
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
2
Tujuan Penelitian
2
Kegunaan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
5
Sumberdaya Garam di Indonesia
5
Permasalahan Garam di Indonesia
7
Karakteristik Petani Garam di Indonesia
8
Perilaku Ekonomi Petani Garam dan Industrialisasi Kelautan
10
Strategi Menuju Industrialisasi Usaha Garam
12
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis
15
Definisi Konseptual
15
Definisi Operasional
15
PENDEKATAN LAPANG
19
Metode Penelitian
19
Lokasi dan Waktu
19
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
19
Pengumpulan Data
20
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
20
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
23
KARAKTERISTIK INDIVIDU RESPONDEN, KARAKTERISTIK USAHA RESPONDEN, DAN INTERVENSI PIHAK LUAR
31
Karakteristik Individu
31
Karakteristik Usaha
34
Intervensi Pihak Luar
36
PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM DALAM KERANGKA INDUSTRIALISASI KELAUTAN
39
Orientasi Mutu
39
Adaptasi Teknologi
40
vi
Hubungan Sosial
40
Alokasi Ketenagakerjaan
41
Perilaku Konsumsi
42
ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM
43
Hubungan Usia dengan Perilaku Ekonomi
43
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Ekonomi
45
Hubungan Pengalaman Kerja dengan Perilaku Ekonomi
47
Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Ekonomi
49
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Ekonomi
50
ANALISIS HUBUNGAN INTERVENSI PIHAK LUAR DENGAN PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM
53
Hubungan Bantuan Modal dengan Perilaku Ekonomi
53
Hubungan Penyuluhan dengan Perilaku Ekonomi
55
ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK USAHA DENGAN PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM
57
Hubungan Biaya Produksi dengan Perilaku Ekonomi
57
Hubungan Teknologi dengan Perilaku Ekonomi
58
Hubungan Luas Lahan dengan Perilaku Ekonomi
60
Hubungan Kuantitas Hasil Produksi dengan Perilaku Ekonomi
62
SIMPULAN DAN SARAN
65
Simpulan
65
Saran
65
DAFTAR PUSTAKA
67
LAMPIRAN
69
RIWAYAT HIDUP
83
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Syarat mutu garam bahan baku untuk industri garam beryodium Syarat mutu garam konsumsi beryodium Identifikasi permasalahan dalam usaha garam Tipologi Petani Garam Karakteristik petani garam Perilaku produksi petani garam Strategi pengembangan industrialisasi usaha garam rakyat Penggunaan lahan Desa Tasikharjo Jumlah penduduk menurut kelompok usia tahun 2012 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian Produksi dan Luas Lahan Garam Rakyat Kabupaten Rembang Tahun 2007-2012 Jumlah dan persentase usia responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase pengalaman kerja responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase pendapatan responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase tingkat pengetahuan responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan teknologi di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan biaya produki di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kuantitas di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penyuluhan di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
6 6 8 9 10 11 13 23 24 24 25 26
31
32
32
33
33
34
35
35
36
36
x
23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bantuan modal di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 24 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan orientasi mutu di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 25 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan adaptasi teknologi di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 26 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan hubungan sosial di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 27 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan alokasi ketenagakerjaan di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 28 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan orientasi mutu di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 29 Nilai korelasi dan probabilitas antara usia responden dengan perilaku ekonomi 30 Nilai korelasi dan probabilitas antara tingkat pendidikan responden dengan perilaku ekonomi 31 Nilai korelasi dan probabilitas antara pengalaman kerja dengan perilaku ekonomi 32 Nilai korelasi dan probabilitas antara tingkat pendapatan responden dengan perilaku ekonomi 33 Nilai korelasi dan probabilitas antara bantuan modal dengan perilaku ekonomi 34 Nilai korelasi dan probabilitas antara bantuan modal dengan perilaku ekonomi 35 Nilai korelasi dan probabilitas antara biaya produksi responden dengan perilaku ekonomi 36 Nilai korelasi dan probabilitas antara teknologi responden dengan perilaku ekonomi 37 Nilai korelasi dan probabilitas antara luas lahan responden dengan perilaku ekonomi 38 Nilai korelasi dan probabilitas antara kuantitas hasil produksi responden dengan perilaku ekonomi
36
39
40
41
41
42 43 45 47 49 53 55 57 59 60 62
xi
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran 2 Desain alur mina tambak 3 Design teknologi ulir filter
14 28 29
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Lokasi Penelitian 2 Dokumentasi penelitian 3 Crosstabulation
69 70 71
0
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negeri maritim yang memiliki potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang begitu besar. Industrialisasi kelautan dan perikanan saat ini berada dalam proses perubahan yang mengarah pada kebijakan pengelolaan aset dalam rangka meningkatkan nilai tambah secara efisien dan berdaya saing tinggi. Beberapa strategi untuk mendukung industrialisasi perikanan antara lain adalah dengan meningkatkan mutu bahan baku sesuai standar, meningkatkan jumlah ketersediaan ikan dalam negeri, meningkatkan nilai tambah produk hasil perikanan dan mendorong investasi dan meningkatkan pembiayaan usaha perikanan (untuk pengusaha kelas menengah ke atas). Salah satu komoditas unggulan yang menjadi implementasi industrialisasi kelautan dan perikanan tahap pertama yaitu komoditas garam. Garam merupakan salah satu produk kelautan yang memiliki manfaat besar dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Garam juga merupakan komoditi sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang dibutuhkan oleh hampir semua lapisan masyarakat. Walaupun sebagai negara bahari beriklim tropis dengan dua pertiga wilayahnya laut dan garis pantai mencapai 81 000 km, namun produksi garam di Indonesia belum mencapai angka optimal. Hasil produksi garam di Indonesia pada tahun 2012 telah mencapai angka 2.4 juta ton, hal tersebut mampu mencapai target produksi garam tahun 2012 yang sebesar 1.32 juta ton (KKP 2012a). Angka tersebut belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan garam di Indonesia, terutama garam industri. Kebutuhan garam pada Tahun 2012 di Indonesia senilai 1.44 juta ton untuk garam konsumsi dan 1.8 juta ton untuk garam industrialisasi. Tahun 2012 garam industri seratus persen diimpor dari negara lain. Standar kualitas mutu produksi garam yang diproduksi dalam negeri belum dapat memenuhi kualitas yang diinginkan industri. Hal tersebut terjadi akibat produktivitas tambak garam Indonesia masih rendah karena sebagian besar dikelola secara tradisional, harga garam impor umumnya lebih murah daripada garam nasional, akses usaha produksi garam, serta harga garam impor umumnya lebih murah daripada garam nasional. Adanya impor garam memberikan keuntungan bagi pedagang asing, sebaliknya impor garam menyebabkan menurunnya harga garam produksi lokal. Pada musim panen garam tahun 2012, harga garam dalam negeri merosot tajam akibat adanya impor, harga garam di petani mencapai Rp 350 per kg untuk tipe K 1, sementara untuk K 2 dibeli seharga Rp 250 per kg, harga yang sudah ditetapkan sebelumnya harga dasar garam yang nominalnya di patok adalah Rp 750 per kg untuk K 1, sementara untuk K 2 dipatok Rp 550 per kg (KKP 2012b). Hal tersebut tidak meningkatkan semangat petani untuk memperbaiki kualitas produksi garam rakyat, melainkan menjatuhkan semangat petani yang dapat berdampak semakin rendahnya kualitas garam yang diproduksi. Selain itu, kemampuan petani garam untuk meningkatkan harga garam terlalu minim, keterbatasan pengetahuan mengakibatkan kebergantungan petani garam terhadap makelar penetuan harga pasar. Hal tersebut dapat mengancam keberlanjutan usaha garam nasional.
2
Kebutuhan garam akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan industri pengguna garam. Kondisi usaha garam yang terjadi di Indonesia tidak mengalami perubahan selama beberapa tahun. Hal tersebut disebabkan adanya kelemahan dalam industri produksi garam nasional. Tantangan Indonesia dalam pengembangan industri garam salah satunya yaitu peningkatan kualitas hasil produksi yang masih relatif rendah serta ketersediaan lahan. Pengaturan regulasi dan tata niaga garam juga menjadi tantangan dalam permasalahan garam nasional. Tantangan tersebut menuntut adanya strategi untuk memperbaiki pola produksi dalam industri garam. Kondisi garam Indonesia yang masih tidak stabil memberikan dampak terhadap perilaku petani garam dalam pengembangan usaha produksi garam. Faktor internal dari dalam diri petani garam dan faktor internal usaha memengaruhi pengembangan usaha garam di Indonesia. Selain itu, akses pelaku usaha juga turut memicu kurangnya dukungan dalam pengembangan usaha garam. Permasalahan tersebut menyatakan bahwa lemahnya sumberdaya manusia mengembangkan peluang produksi dalam industri usaha garam. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat perilaku ekonomi petani garam yang dipengaruhi oleh karakteristik individu dan usaha. Selain itu melihat bagaimana akses dari luar memberikan pengaruh dalam tantangan industrialisasi kelautan.
Masalah Penelitian Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di bagian latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagi berikut: 1. Bagaimana hubungan antara karakteristik petani garam dengan perilaku ekonomi petani garam? 2. Bagaimana hubungan antara intervensi pihak luar dengan perilaku ekonomi petani garam? 3. Bagaimana hubungan karakteristik usaha dengan perilaku ekonomi petani garam?
Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Adapun tujuan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut : Menganalisis hubungan antara karakteristik petani garam dengan perilaku ekonomi petani garam. Menganalisis hubungan antara intervensi pihak luar dengan perilaku ekonomi petani garam. Menganalisis hubungan karakteristik usaha dengan perilaku ekonomi petani garam.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola-pola perilaku petani garam dalam kerangka industrilisasi dan faktor apa saja yang dapat
3
memengaruhinya. Secara lebih khusus, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah: 1. Petani Garam Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan informasi petani garam sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. 2. Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan (decision maker) dalam menghadapi proses industrialisasi yang terjadi sehingga tepat dalam menyusun strategi perkembangan usaha garam nasional. Pemerintah diharapkan dapat membangun hubungan yang sinergis antara semua pihak yang terlibat. 3. Swasta Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pihak swasta mengenai proses industrialisasi kelautan yang sedang berlangsung. Selain itu, mengingat dalam pencapaian suatu tujuan dibutuhkan adanya kerjasama, pihak swasta juga diharapkan mampu untuk memahami pola-pola perilaku petani garam dan membangun hubungan yang baik dengan petani garam. 4. Bagi kalangan akademisi dan peneliti Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi akademisi lainnya untuk melakukan penelitian yang terkait serta mendukung dan menunjang perilaku petani garam delam kerangka industrialisasi 5. Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan informasi masyarakat mengenai pola perilaku petani garam dalam industri produksi garam.
4
TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Garam di Indonesia Garam merupakan bahan yang mudah ditemui sehari-hari dalam kehidupan manusia. Secara garis besar kegunaan garam adalah sebagai bahan baku konsumsi, bahan pengawetan, serta sebagai bahan baku industri. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa garam merupakan salah satu produk komoditas penting yang menjadi kebutuhan bahan pangan dan juga industri. Garam adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang belum ada subsitusinya atau bahan penggantinya. Jika dillihat secara fisik, garam berupa padatan putih berbentuk kristal yang mengandung senyawa-senyawa kimia dan bersifat mudah menyerap air (PT Garam 2001). Dalam Peraturan Pemerintah (Permen) Perdagangan Republik Indonesia (RI) No. 58/M-DAG/PER/9/2012 dinyatakan bahwa garam merupakan senyawa kimia yang komponen utamanya mengandung natrium klorida (NaCl), dan mengandung senyawa air, magnesium, kalsium, sulfat dan bahan tambahan yodium. Berdasarakan kegunaannya garam dikelompokkan menjadi garam industri dan garam konsumsi. Garam industri merupakan garam yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk kebutuhan industri. Sedangkan garam konsumsi memiliki kegunaan sebagai bahan konsumsi atau bahan pangan. Menurut Kementerian Perdagangan (Kemendag) (2001), setiap jenis garam memiliki standar kualitas mutu yang telah disahkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Kualitas mutu garam dipengaruhi oleh kualitas air laut, struktur lahan, kondisi iklim, teknologi dalam proses produksi, waktu produksi (penguapan), serta faktor sumberdaya masyarakat (SDM). Jenis garam berdasarkan kualitasnya dikelompokkan menjadi K1 dan K2, yang memengaruhi penentuan harga penjualan. Produk garam bahan baku industri yang terdapat di pasar Indonesia terbagi menjadi dua tipe, yaitu garam sebagai bahan baku soda serta garam sebagai bahan penolong industri tekstil, kertas, plastik, alumunium. Sedangkan produk garam konsumsi terbagi dalam garam halus, garam kasar, serta garam sodium rendah. Pengelola garam di Indonesia selama ini dipegang oleh pihak PT. Garam yang berada di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), selain itu juga ada petani garam Indonesia sebagai penghasil garam rakyat. Mengacu ke dalam SNI 01-4435-2000, dinyatakan syarat mutu garam bahan baku untuk industri garam beryodium seperti yang dipaparkan dalam Tabel 1.
6
Tabel 1 Syarat mutu garam bahan baku untuk industri garam beryodium No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan Bau Normal Asin Rasa Putih normal Warna 2. Natrium Klorida (NaCL) % (b/b) adbk Min. 94.7 3. Air (H2O) % (b/b) Maks. 7 4. Bagian yang tidak larut dalam air % (b/b) adbk Maks. 0.5 5. Cemaran logam : mg/kg Maks. 10.0 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 10.0 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.0 Raksa (Hg) 6. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.1 Catatan : (1) b/b = bobot/bobo t Sumber : Badan Standar Nasional. (2000).
(2) adbk = atas dasar bahan kering
Sedangkan kualitas garam konsumsi beryodium mengacu pada SNI 3556-2010 dengan rincian syarat mutu seperti yang disajikan dalam Tabel 2.
No. 1. 2.
3. 4. 5.
6.
Tabel 2 Syarat mutu garam konsumsi beryodium Kriteria Uji Satuan Persyaratan Kadar Air (H2O) (b/b) % Maks. 7 Kadar Natrium Klorida (NaCL) dihitung dari jumlah % Min. 94 klorida (Cr) (b/b) adbk Bagian yang tidak larut dalam % Maks. 0.5 air( b/b) adbk Yodium dihitung sebagai mg/kg Min. 30 kalium iodat (KlO2) adbk Cemaran logam : mg/kg Maks. 10.0 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0.5 Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0.1 Raksa (Hg) Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.1
Catatan : (1) b/b = bobot/bobot Sumber : Badan Standar Nasional. (2010).
(2) adbk = atas dasar bahan kering
Sumber garam berasal dari air laut atau air danau asin, tambang garam atau deposit dalam tanah, serta sumber air dari dalam tanah. Umumnya garam di Indonesia bersumber dari air laut yang diproses secara tradisional tanpa adanya inovasi dan penerapan teknologi (Hernanto dan Kwartatmono 2001). Secara spesifik Rachman (2011) memaparkan bahwa proses produksi garam merupakan proses menguapkan air laut dalam petak-petak di pinggir pantai baik dengan sinar matahari maupun pemanasan dengan api. Produksi garam dengan air laut pada prinsipnya terdiri dari dua tahap, yang pertama adalah proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan yang kedua adalah proses pemisahan garamnya (melalui
7
proses kristalisasi), setelah dikristalkan pada proses akhir akan diperoleh produk garam. Kandungan dalam garam memiliki peran penting dalam tubuh manusia. Garam NaCl berfungsi menjaga pengaturan volume dan tekanan darah, menjaga kontraksi otot dan transmisi sel saraf, serta membantu keseimbangan air, asam dan basa dalam tubuh. Selain itu garam secara efektif dan efisien mampu mengatasi masalah kekurangan yodium. Konsumsi garam berlebih dapat memicu tekanan darah tinggi dalam tubuh. Berbeda populasi berbeda pula kebutuhan konsumsi garam perhari, setiap negara memiliki variasi dalam mengkonsumsi garam. Rata-rata orang Jepang mengkonsumsi 6.9 gram garam perhari, sedangkan orang Amerika Serikat cukup hanya 3.5 hingga 3.9 gram perhari. Konsumsi garam tertinggi berada di Indonesia senilai 9.4 gram perorang perhari (Hartoyo 2011). Permasalahan Garam di Indonesia Indonesia sebagai negara dengan panjang garis pantai terpanjang nomor dua di dunia memiliki potensi lahan garam yang sangat besar. Sejauh ini produksi garam rakyat di Indonesia masih dinyatakan tergolong rendah yaitu dengan ratarata produksi 60 ton/hektar/musim. Kenyataannya data produksi garam tahun 2012 menunjukkan bahwa angka produksi di Indonesia sudah mencapai 2.4 juta ton dan melampaui target produksi yang sebesar 1.32 juta ton (KKP 2012a). Produksi garam rakyat tertinggi di Indonesia diproduksi oleh Kabupaten Sampang dengan angka produksi 314 586.10 ton. Produktivitas terbaik di tahun 2012 berada di Kabupaten Aceh Utara dengan angka produktivitas sebesar 276.71 ton. Angka-angka tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan industri yang ada. Hingga tahun 2012 kebutuhan garam industri di Indonesia masih seratus persen diimpor dari luar, dan garam konsumsi sudah seratus persen dapat dipenuhi oleh produksi garam rakyat. Menurut Rochwulaningsih (2008), garam industri menuntut kualitas yang tinggi, sehingga produksi garam rakyat tidak mampu memenuhi standar kualitas tersebut. Oleh karena itu kebutuhan garam industri hingga saat ini harus diimpor karena teknologi garam rakyat tidak mampu memproduksi garam industri yang berkualitas dengan standar yang tinggi. Menurut Hernanto dan Kwartatmono (2001), kualitas maupun kuantitas hasil produksi garam rakyat yang diproduksi melalui cara tradisional dipengaruhi oleh faktor sumberdaya alam secara dominan. Lokasi menjadi salah satu faktor yang memengaruhi penyediaan air laut yang berdampak pada kualitas ataupun kuantitas garam. Selain itu kualitas dan kuantitas garam juga dipengaruhi juga oleh kondisi lahan, kondisi iklim, serta sumberdaya manusia. Produktivitas lahan garam dipengaruhi oleh kualitas tanah, topografi tanah, kelembaban udara kecepatan angin, serta sistem teknologi yang digunakan. Berdasarkan beberapa studi literatur, diketahui permasalahan apa saja yang memengaruhi hasil produksi garam. Hal tersebut disajikan dalam Tabel 3.
8
Tabel 3 Identifikasi permasalahan dalam usaha garam Aspek Indikator Permasalahan Produktivitas Kurangnya teknologi (KKP 2012bc; Izzaty dan Permana 2011; Manadiyanto dan Nasution 2010; Hernanto dan Kwartatmono 2001) Masalah SDM (KKP 2012b; Manadiyanto dan Nasution 2010; Hernanto dan Kwartatmono 2001) Infrastruktur (KKP 2012b; Izzaty dan Permana 2011; Manadiyanto dan Nasution 2010; Hernanto dan Kwartatmono 2001) Perubahan iklim (Izzaty dan Permana 2011; Hernanto dan Kwartatmono 2001) Penyimpanan garam (Izzaty dan Permana 2011) Kondisi air laut (Hernanto dan Kwartatmono 2001) Pemasaran Ketergantungan petani terhadap tengkulak (Rachman 2011; KKP 2012b) Permainan harga oleh pedagang asing (Izzaty dan Permana 2011) Tidak ada harga dasar dan tata niaga garam (Manadiyanto dan Nasution 2010; KKP 2012bc) Rendahnya pengetahuan (Izzaty dan Permana 2011) Permodalan Keterbatasan aset (KKP 2012b; Izzaty dan Permana 2011) Lahan Mutu lahan (KKP 2012b; Mandiyanto dan Nasution 2010) Produktivitas lahan (Izzaty dan Permana 2011) Perubahan fungsi lahan (KKP 2012b) Kelembagaan Kebijakan (KKP 2012b; Izzaty danPermana, 2011; Manadiyanto dan Nasution 2010) Tidak berfungsinya kelembagaan formal (Manadiyanto dan Nasution 2010)
Karakteristik Petani Garam di Indonesia Kegiatan pengelolaan sumberdaya alam selalu membutuhkan aktor yang terlibat dalam pengolahan produksi sumberdaya, utamanya produsen yang merupakan individu dan/atau badan usaha yang memproduksi, mengedarkan, dan memperdagangkan sumberdaya. Demikian pula dalam pengelolaan sumberdaya garam, terdapat aktor yang memproduksi atau menyediakan produk dalam pemenuhan kebutuhan garam. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bima Nomor 3 Tahun 2009 disebutkan bahwa petani pengumpul garam adalah individu atau kelompok yang melakukan pengambilan dan pengumpulan garam secara tradisional untuk kemudian disetorkan kepada pengepul. Masyarakat petani garam menurut pernyataan Scott (1981) dalam Rochwulaningsih (2008) tidak jauh berbeda dengan petani pada umumnya, yaitu masyarakat miskin yang kehidupannya tidak menetap dengan pendapatan tebatas untuk bertahan hidup. Petani garam di Indonesia merupakan petani tradisional
9
yang memanfaatkan potensi alam dalam proses produksi. Petani garam rakyat adalah produsen garam yang skala kecil bukan industri dan hanya berproduksi pada musim kemarau saja (Rachman 2011). Hingga saat ini, petani garam masih tetap menggunakan cahaya matahari untuk proses penguapan dalam proses produksi. Dalam proses produksi garam, lahan merupakan alat produksi yang sangat penting bagi petani garam karena dengan adanya lahan garam akan menentukan aksesibilitas petani garam terhadap surplus atas produksinya (Rochwulaningsih 2008). Petani garam lahan sempit dan petani tidak memiliki lahan, akses terhadap surplus dari produksinya rendah hingga ada kemungkinan tidak memperoleh surplus. Sebaliknya petani yang menguasai lahan luas memiliki akses untuk dapat menikmati surplus dari produksi garam cukup besar. Berdasarkan beberapa studi literatur, petani garam dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek. Pengategorian garam tersaji dalam Tabel 4.
Aspek Kategori Lahan
Sistem Produksi
Hasil
Tabel 4 Tipologi Petani Garam Pembagian Petani Pemilik (Rachman 2011; Rochwulaningsih 2008) Petani Penyewa (Rachman 2011) Petani Bagi Hasil (Rachman 2011) Petani Buruh (Rochwulaningsih, 2008) Petani garam tradisional (Aisyah et. al 2011; Rachman 2011) Petani garam industri (Aisyah et. al 2011) Petani garam beryodium (YLKI 2001) Petani garam baku (Perda Kab. Bima No. 3/2009) Petani garam konsumsi (KKP 2012b) Petani garam industri (Aisyah et. al 2011)
PT. APROGAKOB dalam Forum Pasar Indonesia (2001) menyatakan sifat petani dalam pemanfaatan lahan dimana fungsi lahan dapat berubah sementara ketika terjadi perubahan harga garam. Fungsi lahan garam akan berubah fungsi menjadi lahan tambak ketika harga garam tidak menguntungkan, sebaliknya fungsi lahan tambak dapat berubah menjadi lahan garam apabila harga garam sedang dalam posisi menguntungkan. Hal tersebut terjadi dipengaruhi oleh sistem produksi yang digunakan petani garam masih tradisional, yaitu bergantung pada keadaan alam. Selain bergantung pada keadaan alam, melihat hasil monitoring KKP (2012) petani garam juga memiliki ketergantungan tinggi terhadap tengkulak. Minimnya pengetahuan petani menyebabkan ketergantungannya terhadap tengkulak yang diakibatkan dari ketidakmampuan petani dalam menetapkan harga penjualan garam. Hal tersebut sering dimanfaatkan oleh para tengkulak untuk mempermainkan harga pasar, sehingga berdampak merugikan petani garam. Melihat permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani garam, dapat dianalisis bagaimana karakteristik petani garam di Indonesia. Petani garam Indonesia pada umumnya tidak terlalu jauh berbeda dengan karakteristik nelayan di Indonesia.
10
Tabel 5 Karakteristik petani garam Aspek Karakteristik Karakter Sikap Terhadap Alam Hakikat Hubungan Antar Sesama Sistem Pengetahuan Peran Wanita
Indikator
Keras tetapi mudah putus asa (Rochwulaningsih 2008) Bergantung pada alam (Aisyah et. al 2011)
Tingginya ketergantungan terhadap tengkulak (KKP 2012b) Berdasar pada warisan (Rochwulaningsih 2007)
Posisi Sosial dan Ekonomi Pendidikan dan Penguasaan Teknologi
Pengelolaan uang
Terlibat sebagai tenaga kerja produksi garam (Hasan 2011) Rendah (Hasan 2011 ) Pendidikan rendah (Hasan 2011; Izzaty dan Permana 2011; Manadiyanto dan Nasution 2011) Kurangnya keterampilan untuk mengadopsi teknologi baru (Izzaty dan Permana 2011; Manadiyanto dan Nasution 2011) Belum dikatakan baik (Hasan 2011)
Menurut Manadiyanto dan Nasution (2010), dalam masyarakat petani garam terdapat kelembagaan yang dapat membantu mengurangi dan memudahkan penanganan oleh pemerintah atau pihak lain. Beberapa lembaga yang terdapat di Indonesia, yaitu Asosiasi Petani Garam Rakyat (APEGAR), Asosiasi Produksi Garam Beryodium (APRO GAB), Aliansi Petani Garam Rakyat Indonesia (A2PGRI).
Perilaku Ekonomi Petani Garam dan Industrialisasi Kelautan Menurut KKP (2012), industrialisasi kelautan dan perikanan merupakan proses perubahan sistem produksi hulu dan hilir sebagai upaya dalam meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan. KKP (2012) mengharapkan Industrialisasi kelautan khususnya garam dapat mendorong pencepatan peningkatan produksi garam konsumsi dan industri untuk mencukupi kebutuhan garam nasional sekaligus meningkatkan taraf hidup pembudidaya garam. Dalam Perpres No.28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dinyatakan bahwa Industri garam merupakan salah satu dari 35 industri yang diprioritaskan. Hanya saja hingga saat ini hasil produksi garam rata-rata di Indonesia hanya mencapai 60 ton/hektar/musim dengan luas lahan 26 975.42 hektar (KKP 2012a). Jika dikalkulasikan, Indonesia hanya mampu menghasilkan 1 618 525.2 ton/tahun, sedangkan kebutuhan garam Indonesia mencapai 3 251 691 ton/tahun.
11
Rendahnya produksi garam di Indonesia diakibatkan oleh sistem produksi yang digunakan oleh para petani garam masih tradisional. Perkembangan ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Berbeda dengan negara-negara lain yang sudah menggunakan ilmu pengetahuan ke dalam sistem produksinya, masyarakat di Indonesia masih sulit untuk melakukannya. Menganalisis perbandingan hasil produksi garam lokal dengan produksi garam di luar negeri seperti USA, Cina, dan Australia dimana negaranegara tersebut telah menerapkan IPTEK ke dalam bagian proses produksinya. Hasilnya dengan potensi alam yang lebih sedikit dibandingkan Indonesia, negara tersebut dapat menghasilkan garam dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik Rachman (2011) menyatakan bahwa proses industrialisasi merupakan kelanjutan dari tahapan pembangunan ekonomi setelah sektor pertanian berkembang. Sektor industri memegang peranan penting sebagai sektor produktif dalam memaksimumkan pembangunan. Pembangunan ekonomi tidak pernah lepas dari pola perilaku pelaku ekonomi yang berperan di dalamnya. Perilaku ekonomi merupakan respon produsen atau konsumen yang ditunjukkan akibat terjadinya perubahan kekuatan pasar, dimana respon tersebut memiliki tujuan kepuasaan individu atau kelompok (Fariyanti 2008). Perilaku ekonomi juga ditunjang oleh pola perilaku konsumen dan produsen dalam kegiatan ekonomi. Perilaku konsumen digunakan dalam kegiatan konsumsi, sedangkan perilaku produsen memiliki pengaruh terhadap respon di dalam kegiatan produksi. Tabel 6 Perilaku produksi petani garam Bentuk Perilaku Perilaku Produksi Orientasi Mutu Kurang memedulikan kondisi lahan (Roosita et al. 2011) Proses penyimpanan (Roosita et al. 2011) Adaptasi Teknologi Diversifikasi lahan (PT Aprogakob 2001) Sistem produksi masih tradisional (Aisyah et al. 2011) Keterbatasan aset (KKP 2012b; Izzaty dan Permana 2011) Tenaga Kerja Diversifikasi pekerjaan (PT Aprogakob) Terlibatnya keluarga sebagai tenaga kerja (Hasan 2011) Hubungan Sosial Ketergantungan petani terhadap tengkulak (Rachman 2011; Roosita et al. 2011) Tabel 6 terlihat bahwa ada pengaruh langsung ataupun tidak langsung dalam perilaku ekonomi petani garam. Secara garis besar permasalahan utama yang memengaruhi perilaku ekonomi petani garam disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh terbatasnya pengetahuan dan keterampilan (KKP 2012b; Hasan 2011; Izzaty dan Permana 2011; Manadiyanto dan Nasution 2011). Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh kondisi alam, terutama perubahan iklim (KKP 2012b; Izzaty dan Permana 2011)
12
Perilaku konsumsi petani garam yaitu menggunakan pendapatan untuk membeli bahan baku produksi (Parulian 2008) serta menghabiskan sebagian besar pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga termasuk pangan (Rachman 2011).
Strategi Menuju Industrialisasi Usaha Garam Sektor industri pengolahan menjadi salah satu sektor andalan pembangunan nasional yang terus mengalami perkembangan secara signifikan dari tahun ke tahun (Parulian 2008). Produk Industri pengolahan di Indonesia meliputi industri besar, industri sedang, industri kecil, dan industri kerajinan rumah tangga. Demikian juga dengan industrialisasi kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun berupaya mencapai target dan rencana jangka panjang. Industrialisasi kelautan dan perikanan bertujuan meningkatkan produksi, produktivitas, dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan yang berdaya saing tinggi berorientasi pasar. Selain itu menurut KKP (2012) tujuan industrialisasi kelautan dan perikanan yaitu mempercepat pembangunan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan melalui modernisasi sistem produksi dan manajemen. Lebih jauh lagi, hal ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Industrialisasi kelautan dan perikanan memiliki landasan konseptual berupa peningkatan nilai tambah, peningkatan daya saing, penguatan pelaku industri perikanan, berkelanjutan, transformasi formal, serta modernisasi sistem produksi hulu dan hilir. Selain itu masih terdapat landasan berbasis komoditas, wilayah dan sistem manajemen kawasan (KKP 2012d). Menurut KKP (2012) dalam upaya mengatasi masalah kebutuhan garam, Indonesia melakukan swasembada garam melalui perbaikan inovasi teknologi dan rekayasa kelembagaan. Kebijakan-kebijakan pemerintah muncul dalam upaya mendukung keberhasilan swasembada garam, salah satunya yaitu kebijakan pemerintah tentang pemberdayaan dan pengembangan garam. KKP melaksanakan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) serta Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR). Kebijakan yang lain adalah Kemendag RI menetapkan Permen Perdagangan RI No. 58/M-DAG/PER/9/2012 mengenai ketentuan impor garam yang mendukung pengaturan pemenuhan kebutuhan garam, tetapi di lain pihak petani garam juga terlindungi. Untuk mencapai keberhasilan upaya tersebut perlu didukung juga dengan strategi-strategi dalam pengembangan industrialisasi garam, seperti yang tertera pada Tabel 7.
13
Tabel 7 Strategi pengembangan industrialisasi usaha garam rakyat Fokus Strategi Bentuk Strategi Teknologi Inovasi teknologi (Roosita et al. 2011) Optimalisasi pemanfaatan sumber kekayaan alam (Hartono 2011) Produksi garam berkualitas melalui proses pengolahan dan kristalisasi bertingkat (Roosita et al. 2011) Sarana-Prasarana Intensifikasi lahan penggaraman (Roosita et al. 2011; Setiono 2011) Ekstensifikasi lahan penggaraman (Setiono 2011; Hartono 2011) Revitalisasi penyediaan sarana dan prasarana (Roosita et al. 2011) Membangun infrastruktur sebagai pendorong kemajuan petani (Roosita et al. 2011) Pengetahuan dan Peningkatan sistem manajemen produksi garam Keterampilan (Roosita et al. 2011) Melaksanakan pelatihan untuk menunjang kemampuan petani (KKP 2012cd) Ekonomi Penetapan harga dasar dan tata-niaga usaha garam (KKP 2012b) Kelembagaan Penegakan hukum secara konsisten terhadap garam yang tidak sesuai syarat SNI (Hartono 2011) Mengembangkan jaringan dalam bidang IPTEK (PD Sumatraco 2001)
14
Kerangka Pemikiran Hasil studi literatur sebelumnya menunjukkan beberapa faktor diduga memengaruhi perilaku ekonomi petani garam, diantaranya adalah karakteristik individu, karakteristik usaha, dan intervensi pihak luar. Karakteristik individu terdiri atas usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, tingkat pendapatan, dan tingkat pengetahuan. Selanjutnya, karakteristik usaha dapat dilihat berdasarkan teknologi yang digunakan, biaya produksi, luas lahan, serta kuantitas. Intervensi pihak luar dapat dianalisis berdasarkan adanya bantuan-bantuan modal serta penyuluhan yang diterima petani garam. Karakteristik individu, karakteristik usaha, dan intervensi pihak luar, dilihat seberapa besar hubungannya dengan perilaku ekonomi yang dilakukan petani garam. Perilaku ekonomi dikaji berdasarkan adaptasi teknologi, orientasi mutu, hubungan sosial, alokasi ketenagakerjaan, serta perilaku konsumsi. Secara kualitatif juga akan dianalisis bagaimana strategi petani garam dalam pencapaian yang sesuai dengan industrialisasi kelautan. Alur kerangka pemikiran dijelaskan dalam Gambar 1 berikut. Intervensi Pihak Luar Bantuan Modal Penyuluhan
Karakteristik Petani Garam Usia Tingkat Pendidikan Tingkat Pengetahuan Tingkat Pendapatan Pengalaman kerja
Karakteristik Usaha
Teknologi Biaya produksi Luas lahan Kuantitas hasil produksi
Perilaku Ekonomi - Orientasi Mutu - Adaptasi Teknologi - Hubungan Sosial - Ketenagakerjaan - Perilaku Konsumtif Keterangan : Hubungan Industrialisasi Kelautan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
15
Hipotesis 1) Terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan perilaku ekonomi petani garam dalam kerangka industrialisasi. 2) Terdapat hubungan antara intervensi pihak luar dengan perilaku ekonomi petani garam dalam kerangka industrialisasi. 3) Terdapat hubungan antara karakteristik usaha dengan perilaku ekonomi petani garam dalam kerangka industrialisasi. Definisi Konseptual 1) Industrialisasi kelautan dan perikanan adalah proses perubahan produksi hulu dan hilir dalam rangka peningkatan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan. Definisi Operasional 1) Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada individu meliputi usia, tingkat pendidikan, jumlah anggota rumahtangga, dan tingkat pendapatan. a) Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Usia diukur menggunakan skala ordinal yang dikelompokkan berdasarkaan rataan dari lapangan. i) Muda (< 42 tahun) ii) Tua (≥ 42 tahun) b) Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah formal tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan diukur dengan menggunakan skala nominal yang akan dokonversikan menjadi skala ordinal yang dikategorikan sebagai berikut: i) Rendah < tamat SMP) ii) Tinggi (≥ tamat SMP) c) Pengalaman kerja adalah waktu yang telah dijalani reponden sebagai petani garam. Pengalaman kerja diukur menggunakan skala ordinal yang dikelompokkan menjadi: i) Rendah (< 19.3 tahun) ii) Tinggi (≥ 19.3 tahun) d) Tingkat pengetahuan adalah pengetahuan dan informasi yang diterima petani garam. Jika jawaban ya, akan diberi skor “2” dan jika jawaban tidak, akan diberi skor “1”. i) Rendah (jika skor antara 9 hingga 13) ii) Tinggi (jika skor antar 14 hingga 18) e) Tingkat pendapatan responden adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan, termasuk penghasilan sampingan yang diperoleh dalam satu bulan. Tingkat pendapatan diukur dengan menggunakan skala rasio yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. i) Rendah (< Rp1 240 000) ii) Tinggi (≥ Rp1 240 000) 2) Intervensi pihak luar adalah peranan pihak luar dalam mepengaruhi ataupun mendukung peningkatan aktivitas petani garam, terutama dalam konteks
16
industrialisasi. Intervensi pihak luar dapat diukur dengan mengunakan skala ordinal. a) Bantuan modal adalah bantuan yang diberikan oleh pihak luar dalam upaya mendukung usaha petani garam. Penggolongan tingkatan bantuan modal akan dilakukan berdasarkan rataan bantuan modal dari seluruh responden. Pengukuran akan diambil dari hasil data yang didapatkan di lapangan. Jika jawaban ya, akan diberi skor “2” dan jika jawaban tidak, akan diberi skor “1”. i) Rendah (jika petani garam tidak menerima bantuan modal) ii) Tinggi (Jika petani garam menerima bantuan modal) b) Penyuluhan merupakan informasi pengetahuan yang didapatkan petani garam dari pihak lain. Jika jawaban ya, akan diberi skor “2” dan jika jawaban tidak, akan diberi skor “1”. i) Rendah (Petani garam tidak mendapat penyuluhan) ii) Tinggi (Petani garam mndapat penyuluhan) 3) Karakteristik usaha petani garam adalah faktor-faktor yang memengaruhi proses petani garam dalam menjalankan usahanya. a) Teknologi produksi adalah teknologi yang digunakan petani garam dalam memproduksi garam. Penggolongan tingkatan penggunaan teknologi akan disesuaikan dengan data di lapangan yang dapat diukur menggunakan skala ordinal. i) Rendah (teknologi tidak lengkap) ii) Tinggi (teknologi lengkap) b) Biaya produksi merupakan modal yang harus dikeluarkan petani garam untuk memproduksi garam dalam sekali produksi. Biaya produksi dapat diukur dengan menggunakan skala ordinal. Penggolongan tingkatan biaya produksi akan disesuaikan dengan rataan data di lapangan. i) Rendah (< Rp181 500) ii) Tinggi (≥ Rp181 500) c) Luas lahan merupakan luas tambak yang dimiliki dan dikelola petani garam. Penggolongan tingkatan kuantitas hasil produksi akan disesuaikan dengan rataan data di lapangan yang dapat diukur menggunakan skala rasio i) Rendah (< 1.325 Ha) ii) Tinggi (≥ 1.325 Ha) d) Kuantitas hasil produksi adalah jumlah garam yang dihasilkan dalam sekali produksi. Penggolongan tingkatan kuantitas hasil produksi akan disesuaikan dengan rataan data di lapangan yang dapat diukur menggunakan skala rasio. i) Rendah (< 3.6 ton) ii) Tinggi (≥ 3.6 ton) 4) Perilaku ekonomi adalah perilaku yang menunjukkan respon individu sebagai produsen dan konsumen terhadap perubahan kekuatan pasar yang terjadi, yang dilandasi dengan tujuan maksimalisasi kepuasan individu ataupun kelompok. Perilaku ekonomi petani garam diukur berdasarkan orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, alokasi ketenagakerjaan, serta perilaku konsumsi. Perilaku ekonomi dapat diukur dengan menggunakan skala ordinal.
17
a) Orientasi mutu adalah perilaku petani garam dalam memandang dan melakukan tindakan untuk menjaga mutu hasil tangkapan (2 jika ya, 1 jika tidak). (1) Rendah (jika skor antara 5 hingga 7) (2) Tinggi (jika skor antara 8 hingga 10) b) Adaptasi teknologi adalah perilaku petani garam dalam penyediaan sarana prasarana usaha garam (2 jika ya, 1 jika tidak). (1) Rendah (jika skor antara 10 hingga 15) (2) Tinggi (jika skor antara 16 hingga 20) c) Hubungan sosial adalah perilaku petani garam dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar (2 jika ya, 1 jika tidak). (1) Rendah (jika skor antara 3 hingga 4) (2) Tinggi (jika skor antara 5 hingga 6) d) Alokasi Ketenagakerjaan adalah perilaku petani garam dalam mengatur strategi pola kerja dan tenaga kerja (2 jika ya, 1 jika tidak). (1) Rendah (jika skor antara 3 hingga 4) (2) Tinggi (jika skor antara 5 hingga 6) e) Perilaku konsumtif adalah perilaku yang dilakukan petani garam dalam membelanjakan uangnya untuk kebutuhan hidup (2 jika ya, 1 jika tidak). (1) Rendah (jika skor antara 3 hingga 4) (2) Tinggi (jika skor antara 5 hingga 6)
18
19
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif didukung pendekatan kualitatif. Metode kuantitatif diperoleh dari hasil survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui karakteristik petani garam dan industrialisasi kelautan. Variabel yang diteliti terdiri karakteristik petani garam (usia, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, dan tingkat pendapatan), intervensi pihak luar (bantuan modal, dan penyuluhan), karakteristik usaha (teknologi, biaya produksi, luas lahan dan kuantitas hasil produksi), dan perilaku ekonomi petani garam (adaptasi teknologi, orientasi mutu, hubungan sosial, alokasi ketenagakerjaan, serta perilaku konsumsi). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan untuk menguatkan data kuantitaif. Metode kualitatif munggunakan instrumen wawancara mendalam, observasi langsung, dan studi literatur. Variabel yang diukur menggunakan pendekatan kualitatif yaitu strategi petani garam dan industrialisasi kelautan. Selain itu, metode kualitatif ini juga digunakan untuk mengetahui lebih jauh kehidupan ekonomi petani garam dan aktivitas-aktivitas petani garam.
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Dusun Ngelak, Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa alasan, diantaranya karena Desa Tasikharjo memiliki luas tambak yang lebih besar dibandingkan luas pemukimannya, yaitu mencapai 103.6 Ha. Selain itu karena Desa Tasikharjo memiliki hasil produksi garam pada tahun 2012 mencapai 1 890 ton. Lokasi desa yang strategis di pinggir jalan utama penghubung antar provinsi dan berbatasan dengan laut Jawa juga menjadi alasan dalam pemilihan lokasi.Waktu pengambilan data dilaksanakan pada bulan April 2013.
Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi dari penelitian ini adalah seluruh petani garam di Dusun Ngelak, Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Unit penelitian yang diteliti adalah individu yang berprofesi sebagai petani garam penggarap. Responden dipilih secara sengaja (purposive) oleh peneliti sebanyak 40 orang. Responden sulit ditemui karena waktu pengambilan data tidak bertepatan dengan musim produksi garam, sehingga banyak petani garam yang sedang tidak berada di lokasi. Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah disusun. Jumlah informan dalam penelitian ini dipilih setelah peneliti mendapatkan data lengkap mengenai populasi penelitian. Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive). Informan dalam penelitian ini adalah
20
orang yang memahami dan memiliki banyak pengalaman dalam usaha produksi garam rakyat. Selain itu, informan yang dipilih adalah para pemangku kepentingan yang terlibat dalam usaha produksi garam di Desa Tasikharjo.
Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti melalui pengamatan langsung. Data primer dapat berupa hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti sendiri. Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan, sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data primer yang akan dikumpulkan adalah: 1) Karakteristik petani garam, yang meliputi usia, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, dan tingkat pendapatan. 2) Intervensi pihak luar, yang meliputi bantuan modal, dan penyuluhan. 3) Karakteristik usaha petani garam, yang meliputi teknologi, biaya produksi, dan kuantitas hasil produksi 4) Perilaku ekonomi yang dilakukan para petani garam, meliputi adaptasi teknologi, orientasi mutu, hubungan sosial, alokasi ketenagakerjaan, serta perilaku produksi. Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari data pribadi milik pemangku kepentingan yang terdapat di lokasi, perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitasnya disekitar kawasan tersebut, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh melalui berbagai metode pengumpulan data, baik itu data kuantitatif maupun kualitatif, selanjutnya akan diproses guna mendapat jawaban atas tujuan dari penelitian ini. Data kualitatif yang telah diperoleh akan diolah langsung di lapangan melalui tiga tahapan yang mengacu pada pengolahan data dari Singarimbun dan Effendi (1989), yaitu memasukkan data dalam file, membuat tabel frekuensi, membaca dan mengoreksi ulang tabel frekuensi. Sedangkan data kuantitatif akan ditabulasi menggunakan Microsoft Excel 2007 dan diolah dengan software SPSS for Windows 16.0 version untuk menguji hubungan antar variabel dengan menggunakan uji Rank Spearman serta dianalisis secara deskriptif. Korelasi positif menunjukkan hubungan yang searah antara dua variabel yang diuji, yang berarti semakin besar variabel bebas (variabel independen) maka semakin besar pula variabel terikat (variabel dependen). Sementara itu, korelasi negatif menunjukkan hubungan yang tidak searah, yang
21
berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat menjadi kecil (Rakhmat 1997). Rumus korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut:
Dimana: ρ atau rs di n
: koefisien korelasi rank spearman : determinan : jumlah data atau sampel
Klasifikasi keeratan hubungan dijelaskan oleh Guilford (1956:145) dalam Rakhmat (1997) sebagai berikut: Kurang dari 0.20 hubungan rendah sekali; lemah sekali 0.20–0.40 hubungan rendah tetapi pasti 0.40–0.70 hubungan yang cukup berarti 0.70–0.90 hubungan yang sangat tinggi; kuat Lebih dari 0.90 hubungan sangat tinggi; kuat sekali, dapat diandalkan Tingkat kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5 persen atau pada taraf nyata α = 0.05, yang berarti memiliki tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai probabilitas (p) yang diperoleh dari hasil pengujian dibandingkan dengan taraf nyata untuk menentukan apakah hubungan antara variabel nyata atau tidak. Bila nilai P lebih kecil dari taraf nyata α = 0.05 maka hipotesis diterima, terdapat hubungan nyata, dan nilai koefisien korelasi γs digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara dua variabel. Sebaliknya bila nilai p lebih besar dari taraf nyata α 0.05 maka hipotesis tidak diterima, yang berarti tidak terdapat hubungan nyata dan nilai koefisien korelasi γs diabaikan.
22
23
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa Desa Tasikharjo merupakan salah satu desa dari Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Propinsi Jawa Tengah. Secara umum kondisi tanah Desa Tasikharjo berdataran rendah dengan ketinggian tanah ± 1.5 m di atas permukaan laut. Secara administratif desa ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah Utara, Desa Purworejo di sebelah Timur, Desa Dresi Kulon, Desa Dresi Wetan, Desa Purworejo di sebelah Selatan, dan Desa Dresi Wetan sebelah Barat. Desa Tasikharjo terbagi menjadi 3 dusun, yaitu Dusun Ngelak, Dusun Wates, Dusun Paloh dengan Luas wilayah Desa Tasikharjo 93.6518 ha. Desa ini terdiri dari 3 Rukun Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT). Jarak dari desa ke ibukota kecamatan kurang lebih 4 km. Lama jarak tempuh dari desa ke ibukota kecamatan dengan kendaraan bermotor adalah 9 menit dan dengan berjalan kaki adalah 30 menit. Jarak desa ke ibukota kabupaten/kota adalah 10 km, dengan jarak tempuh menggunakan kendaraan bermotor sekitar 30 menit dan dengan berjalan kaki sekitar satu jam. Jarak desa ke ibukota provinsi kurang lebih 102 km, dengan lama jarak tempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 3 jam dan dengan berjalan kaki 15 jam. Desa Tasikharjo memiliki topografi di tepi pantai sehingga merupakan kawasan pesisir. Data desa pada tahun 2012 menunjukkan bahwa dari luas wilayah yang dimiliki Desa Tasikharjo sebagian besar merupakan lahan pemukiman dan usaha perikanan. Luas wilayah yang tersedia tidak ada yang dimanfaatkan sebagai lahan persawahan dan perkebunan. Luas wilayah menurut penggunaannya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8 Penggunaan lahan Desa Tasikharjo Penggunaan Pemukiman Persawahan Perkebunan Kuburan Perkantoran Usaha Perikanan Prasarana Umum
Luas Lahan (Ha) 31.12 0.00 0.00 3.50 0.12 22.40 36.51
Persentase (%) 33.23 0.00 0.00 3.75 0.12 23.92 38.98
Sumber: Profil Desa Tasikharjo tahun 2012
Kondisi Demografi Penduduk Desa Tasikharjo pada tahun 2012 ada sebanyak 1 367 jiwa dengan rincian berdasarkan jenis kelamin yaitu jumlah laki-laki sebanyak 698 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 669 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 393 KK. Seluruh penduduk Desa Tasikharjo merupakan Warga Negara
24
Indonesia (WNI). Berdasarkan kepercayaan, hampir seluruh penduduk beragama Islam yaitu dengan jumlah 1 365 jiwa, dan beragama Kristen sebanyak 2 jiwa. Tabel 9 Jumlah penduduk menurut kelompok usia tahun 2012 Jumlah Usia Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) (jiwa) 00 – 09 99 97 196 10 – 19 106 102 208 20 – 29 128 114 242 30 – 39 139 123 262 40 – 49 86 90 176 50 – 59 56 65 121 60 – 69 53 56 109 >70 31 22 53 Sumber: Profil Desa Tasikharjo tahun 2012
Data pada Tabel 9 terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada kisaran usia 30 sampai 39 tahun dengan jumlah total 242 jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia lainnya. Berdasarkan data profil Desa Tasikharjo, angka angkatan kerja paling besar berada pada kisaran usia 18 sampai 56 tahun dengan jumlah sebanyak 412 untuk penduduk laki-laki dan 376 untuk penduduk perempuan. Mayoritas penduduk memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), namun ada beberapa penduduk yang bependidikan hingga tingkat sarjana. Tabel 10 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) TK/KBA 66 4.83 Sedang SD 118 8.63 Tamat SD 290 21.21 Tidak Tamat SD 35 2.56 Sedang SMP 44 3.22 Tamat SMP 282 20.63 Tidak Tamat SMP 268 19.60 Sedang SMA 44 3.22 Sedang D-2 2 0.15 Tamat S-1 51 3.73 Tamat S-2 1 0.07 Tamat SLB-B 2 0.15 Sumber: Profil Desa Tasikharjo tahun 2012
Diketahui dari Tabel 10 bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Tasikharjo masih dapat dikategorikan rendah, terlihat dari angka penduduk tamat SD sebanyak 21.21% dimana angka tersebut merupakan angka tertinggi pada tingkat pendidikan Desa Tasikharjo. Hal tersebut akan memengaruhi kualitas tenaga kerja yang tersedia.
25
Tabel 11 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian Mata pencaharian Laki-laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Petani 149 0 Buruh tani 152 0 PNS 16 12 Pengrajin industri rumah tangga 0 2 Pedagang 1 6 Nelayan 99 0 POLRI 3 0 Pensiunan PNS/TNI/POLRI 4 1 Bidan 0 2 Karyawan Swasta 3 1 Tukang Kayu dan Batu 16 0 Guru Swasta 6 20 Sumber: Profil Desa Tasikharjo tahun 2012
Jumlah penduduk laki-laki yang bekerja lebih besar dibanding angka penduduk perempuan. Penduduk perempuan hanya sebanyak 44 orang yang memiliki mata pencaharian, sedangkan penduduk laki-laki sebanyak 449 orang memiliki mata pencaharian. Tabel 11 menunjukan angka terbesar mata pencaharian penduduk sebagai petani dengan angka 149 orang laki-laki.
Kondisi Ekologi Desa Tasikharjo memilik kondisi topografi yang berada di pesisir laut jawa yang dibatasi oleh hutan mangrove di sepanjang tepi pantai. Desa Tasikharjo terletak di tepian jalur pantura, jalan utama penghubung dua provinsi. Desa Tasikharjo merupakan dataran rendah yang tidak memiliki lahan pekebunan dan persawahan. Suhu rata-rata harian desa tersebut mencapai 33oC. Desa Tasikharjo memiliki tambak hingga mencapai 103.6 Ha. Tambak-tambak di Desa Tasikharjo tidak jauh dari kawasan pemukiman. Desa Tasikharjo juga berbatasan wilayah dengan daerah penghasil garam lainnya, sehingga lebih banyak terlihat tambaktambak garam dengan gudang penyimpanannya dibanding pemukiman penduduk.
Kondisi Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rembang merupakan kawasan pesisir seluas 355.95 km2 dengan panjang garis pantai 63.5 km dengan 6 kecamatan pantai dari 14 wilayah kecamatan yang dimiliki. Berdasarkan letak Kabupaten Rembang, maka perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor unggulan, yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan dan garam. Produksi garam di Kabupaten Rembang sudah ada sejak jaman kolonial penjajahan dan merupakan salah satu centra produksi garam nasional. Produksi garam Kabupaten Rembang tahun 2012 mencapai 186 531.94 ton dengan rincian
26
163 464.37 ton untuk PUGAR dan 23 067.53 untuk hasil non PUGAR. Angka terebut mencapai target produksi garam tahun 2012 yang sebesar 131 850 ton. Tabel 12 Produksi dan Luas Lahan Garam Rakyat Kabupaten Rembang Tahun 2007-2012 Tahun Luas Lahan Produksi (Ton) 2007 1 468.00 90000.00 2008 1 468.00 140000.00 2009 1468.00 140202.00 2010 1468.00 5133.00 2011 1584.42 125 109.44 2012 1714.31 120623.52 Sumber: DKP Rembang tahun 2012
Luas total tambak garam di Rembang sebesar ± 1 998.30 Ha dengan potensi pengembangan ± 283.99 Ha. Penghasil garam di Kabupaten Rembang terdapat pada lima kecamatan, yaitu Kecamatan Kaliori, Kecamatan Rembang, Kecamatan Lasem, Kecamatan Sluke, dan Kecamatan Sarang. Kecamatan Kaliori merupakan wilayah penghasil garam terbesar, dikarenakan 10 desa dari 23 desa di Kecamatan Kaliori merupakan penghasil garam rakyat. Luas tambak yang terdapat di Kecamatan Kaliori pada tahun 2012 mencapai 1 210.79 Ha dengan rincian 840.70 Ha merupakan lahan PUGAR dan 129.54 merupakan lahan Non PUGAR serta luas potensi pengembangan 240.55 Ha. Desa Tasikharjo merupakan salah satu desa penghasil garam yang seluruh hasilnya merupakan garam rakyat PUGAR. Luas lahan tambak di desa Tasikharjo sebesar 103.6 Ha dengan luas potensi pengembangan 8.40 Ha. Tahun 2012 stok garam produksi Desa Tasikharjo mencapai 1 890 ton. Proses penjualan hasil produksi garam petani masih bergantung terhadap tengkulak, pada tahun 2012 angka penjualan di Kabupaten Rembang seharga Rp 400 untuk KP1 dan Rp 300 untuk KP2. Produksi garam terjadi hanya pada musim kering/kemarau. Mayoritas petani garam di rembang melakukan diversifikasi pekerjaan ketika musim penghujan, sehingga ketika tidak sedang produksi garam para petani memiliki pekerjaan lain seperti bertani, menjadi nelayan, ataupun pedagang.
Profil Produksi Usaha penggaraman nasional mengalami perkembangan dari waktu ke wktu sesuai dengan kebutuhan pasar. Melihat sejarah perkembangan usaha garam yang dipaparkan DKP Kabupaten Rembang, tahun 1974 hingga tahun 1998 harga garam masih terpantau stabil dikarenakan tidak ada pihak swasta yang mengimpor garam konsumsi maupun garam industri. Tahun 1999 hingga tahun 2004, Indonesia memiliki iklim kurang bagus sehingga produksi kurang optimal. Selain itu terjadi impor garam, dimana belum ada pengaturan kuota impor sehingga kerugian dialami petani garam nasional. Tahun 2005 meskipun terjadi impor garam, harga garam rakyat meningkat kembali dikarenakan munculnya peraturan kuota impor. Semenjak tahun 2006 hingga tahun 2008 harga garam rakyat stagnan, tidak banyak perubahan. Hal tersebut menimbulkan komplain dari petani
27
garam. Produksi garam rakyat sebagian besar tidak dibeli, dibeli dengan harga yang sangat rendah sehingga terjadi penumpukan produksi di gudang. Hal tersebut memengaruhi tingkat kesejahteraan petani garam. Semenjak saat itu impor garam merupakan hal yang disalahkan dan PT Garam yang diprotes karena dianggap sebagai lembaga yang menangani pergaraman nasional Usaha garam di Indonesia saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan garam industri. Rendahnya kualitas garam yang dihasilkan diakibatkan masih rendahnya sistem produksi yang digunakan. Hingga saat ini, produksi garam masih tetap memanfaatkan cahaya matahari sebagai sumber energi untuk memproduksi garam. Penentuan musim produksi diambil dari rata-rata hasil pengamatan intern data stasiun cuaca di lahan pegaraman maupun extern data dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Iklim di Indonesia secara umum dibagi dalam 2 (dua) musim yaitu musim kemarau (kering) dan musim hujan (basah), dimana batas keduanya kurang jelas sehingga permulaan dan akhir musim tersebut selalu berubah-ubah pada setiap tahunnya. Sehingga saat cuaca tidak mendukung, misalnya hujan atau mendung berkepanjangan, akan sangat mengganggu proses produksi. Sistem produksi garam di Desa Tasikharjo pada tahun 2012 lalu menggunakan mina tambak. Air laut dimasukkan ke tambak menggunakan diesel, meja tambak dibagi menjadi tiga, sawahan, mejanan, dan gentongan. Selama tiga hari pertama air laut yang keluar masuk digunakan untuk membersihkan laban dari air hujan atau air tawar. Mulai hari keempat sesuai dengan perkembangan iklim, air laut mulai ditahan di dalam sawahan. Setelah air di sawahan tua, maka dimulai pengisian mejanan dan gentongan. Pintu-pintu air dari saluran pembuangan segera ditutup. Air dalam meja-meja dijemur hingga kering selama 1-2 hari, kemudian dasarnya digaruk menggunakan garuk kayu. Setelah meja mengalami proses kesap penghabisan dan garuk penghabisan, maka dilakukan proses pengeluaran air tua. Setelah proses pengeluaran air tua terjadi proses kritalisasi dan pemeliharaan kristalisasi dal meja. Garam yang telah mengkristal akan dipanen dan dipindah ke gudang. Proses pemanen garam pada awalnya dengan meratakan garam yang telah mengkristal dalam meja. Perataan garam minimal dilakukan oleh tiga orang dengan menggunakan garuk besi. Setelah diratakan, garam dipungut dan ditumpuk atau ditimbun dengan tujuan menjemur agar garam kering. Setelah proses penjempuran, garam diangkut dan ditimbun di dalam gudang. Garam yang berada di gudang merupakan garam yang siap masuk pasar. Alur distribusi pasar garam adalah dari petani garam dibeli oleh tengkulak. Tengkulak merupakan pedagang kecil yang akan menjual stok garam kepada pengepul/pedagang besar. Harga dari pengepul ke tengkulak pada umumnya berselisih Rp 20/kg. Pengepul yang menjual garam ke pabrik untuk diolah menjadi garam konsumsi. Mina tambak mampu meningkatkan hasil produksi petani garam di Desa Tasikharjo. Namun terdapat kendala mengenai proses pengelolaan yang dilakukan petani garam. Pengelolaan yang dilakukan petani garam belum memenuhi standar kerja produksi garam, proses produksi dari memasukkan air hingga garam mengkristal yang seharusnya membutuhkan waktu 7-10 hari hanya dilakukan 4-6 hari. Orientasi petani garam terhadap kualitas hasil produksi masih sangat rendah, sehingga proses pengelolaan kurang diperhatikan dengan baik. Kuantitas tinggi
28
diyakini petani garam lebih banyak memberikan keuntungan dibandingkan kualitas tinggi.
Gambar 2 Desain alur mina tambak Harga pasar garam disesuaikan dengan tipe garam yang diproduksi. Selain itu harga pasar dipengaruhi oleh harga tengkulak. Hasil produksi petani garam tahun 2012 mencapai harga Rp 320/kg untuk tipe umum, Rp 340/kg untuk tipe UP, Rp 400/kg untuk tipe putih, dan Rp 450/kg untuk tipe super. Kualitas garam super setara dengan mutu garam tipe K1, tipe putih setara dengan tipe K2, serta tipe umum putih setara dengan tipe K3. Mayoritas petani garam di Desa Tasikharjo umum dan umum putih, sedikit bahkan hampir tidak ada petani garam yang mampu memproduksi tipe putih dan super. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penyebab adanya impor di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Tanpa disadari hal tersebut juga menyebabkan turunnya harga pasar garam, sehingga merugikan petani garam Indonesia. Menghadapi kebutuhan industri yang semakin tinggi, pemerintah mencetuskan sistem produksi teknologi ulir filter (TUF) pada musim produksi 2013 yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani garam. Perbedaan TUF dengan sistem produksi sebelumnya sedikit sulit diterapkan oleh petani garam di Desa Tasikharjo. TUF menuntut lahan yang dikelola terpadu seluas minimal 5 Ha yang tertata rapi, sedangkan kondisi sebelumnya lahan kurang tertata rapi. Menerapkan TUF membutuhkan modal yang cukup besar, sehingga sedikit dirasa berat oleh petani garam. Selain itu lahan yang umumnya dikelola sebanyak 6-15 orang diharuskan dikelola cukup 3 orang, sehingga akan mengurangi lapangan pekerjaan. Melalui TUF diharapkan mampu meningkatkan kualitas garam yang diproduksi sehingga menghasilkan garam berkadar NaCL 94.7%. Tujuan TUF
29
adalah mendongkrak efisiensi produksi garam, dan produksi kecil dengan hasil yang meningkat.
Gambar 3 Design teknologi ulir filter
30
31
KARAKTERISTIK INDIVIDU RESPONDEN, KARAKTERISTIK USAHA RESPONDEN, DAN INTERVENSI PIHAK LUAR Karakteristik Individu Kualitas dan kuantitas yang dihasilkan dalam usaha produksi garam salah satunya dipengaruhi oleh karakteristik individu petani garam. Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang melekat pada individu petani garam. Petani garam sebagai pelaku produksi memiliki nilai rata-rata untuk karakteristik individu seperti usia kerja, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, pengalaman kerja dan tingkat pendapatan. Usia Responden Hasil penelitian terhadap 40 reponden petani garam di desa Tasikharjo menunjukkan responden yang tergolong dalam usia muda ada sebanyak 18 orang (45 persen) dan golongan usia tua sebanyak 22 orang (55 persen). Distribusi responden berdasarkan usia dijelaskan pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah dan persentase usia responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Usia Jumlah (jiwa) Persentase (%) Muda 18 45 Tua 22 55 Total 40 100 Usia muda berada pada usia kurang dari 42 tahun, dan usia tua berada pada usia 42 tahun lebih. BPS (2012) mendeskripsikan penduduk usia kerja adalah penduduk usia 15 tahun hingga 64 tahun yang bekerja atau sementara sedang tidak bekerja, dan yang sedang mencari pekerjaan. Usia responden termuda adalah 25 tahun dan usia tertua responden adalah 58 tahun. Berdasarkan definisi usia kerja dapat dinyatakan bahwa 100 persen responden merupakan penduduk usia kerja.
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan diukur berdasarkan pendidikan formal terakhir yang pernah diperoleh dan diselesaikan oleh responden. Tingkat pendidikan dikategorikan dalam kategori rendah dan tinggi. Responden yang berpendidikan sekolah dasar atau tidak sekolah dikategorikan tingkat pendidikan rendah, dengan jumlah 45 persen. Sebanyak 55 persen responden tergolong dalam kategori pendidikan tinggi, dikarenakan berpendidikan tamat SMP hingga lebih .
32
Tabel 14
Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 18 45 Tinggi 22 55 Total 40 100 Responden menyampaikan, usaha penggaraman tidak pernah diajarkan dalam pendidikan formal, sehingga rendah tingginya pendidikan formal tidak memberikan pengaruh besar terhadap usaha penggaraman. Pendidikan formal memberi ilmu pengetahuan secara umum tidak spesifik mengenai ilmu penggaraman, sehingga banyak petani garam yang meremehkan pentingnya pendidikan formal. Kondisi di lapangan penelitian menunjukkan pentingnya pendidikan formal sudah mulai disadari oleh warga desa Tasikharjo. Mayoritas seluruh anak petani garam memiliki pendidikan formal, namun semakin tinggi pendidikan formal yang diperoleh semakin minim keturunan petani garam yang mau untuk meneruskan usaha penggaraman. Sebanyak 40 orang responden penelitian hanya 6 orang rsponden yang memiliki pendidikan tamat SMA atau lebih. Saat ini, petani garam pada umumnya hanya lulusan SD dan SMP. Pengalaman Kerja Pengalaman kerja adalah lama responden menjadi petani garam yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi petani garam sampai dengan penelitian dilakukan. Pengalaman responden sebagai petani garam dilokasi penelitian cukup bervariasi, ada yang baru memulai selama 5 tahun, namun ada juga yang sudah memiliki pengalaman selama 40 tahun dengan rataan pengalaman 19.3 tahun. Pengalaman kerja responden dibawah angka rataan dikategorikan rendah dan responden yang memiliki pengalaman kerja diatas rataan dikategorikan tinggi. Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman kerja sebagai petani garam dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah dan persentase pengalaman kerja responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Pengalaman kerja Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 21 52.5 Tinggi 19 47.5 Total 40 100 Hasil penelitian menunjukkan 52.5 persen tergolong kategori rendah dan sebanyak 47.5% dikategorikan tinggi. Semakin lama pengalaman kerja petani garam maka semakin tinggi pengatahuan usaha penggaraman yang dimiliki. Semakin tinggi pengalaman kerja petani garam maka semakin sulit menerima adanya inovasi baru. Petani garam yang memiliki pengalaman tinggi memiliki kepuasan individu terhadap hasil produksinya.
33
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan yang didapatkan petani garam yang diperoleh dari produksi garam selama satu bulan. Rataan tingkat pendapatan responden dari hasil penelitian adalah Rp1 240 000 Hasil penelitian menunjukkan 4 orang responden (10%) tergolong dalam tingkat pendapatan rendah yaitu dibawah dari rataan tingkat pendapatan. Sebanyak 36 orang responden (90%) tergolong dalam tingkat pendapatan tinggi yaitu diatas rataan tingkat pendapatan. Tabel 16
Jumlah dan persentase pendapatan responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Tingkat Pendapatan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 28 70 Tinggi 12 30 Total 40 100 Tingkat pendapatan bergantung pada musim produksi, ketika musim produksi memiliki panas panjang maka tingkat pendapatan tinggi. Selain itu tingkat pendapatan dipengaruhi oleh hasil produksi dan harga pasar. Kualitas dan kuantitas hasil produksi sangat memengaruhi harga pasar setiap musim. Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan responden dilokasi penelitian mencapai 95 persen responden atau sebanyak 38 orang dikategorikan dalam tingkat pengetahuan rendah, dan hanya 2 orang responden (5%) tergolong dalam kategori tingkat pengetahuan tinggi. Jumlah dan persentase tingkat pengetahuan responden di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Tingkat Pengetahuan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 38 95 Tinggi 2 5 Total 40 100
Tabel 17
Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan di lokasi masih tergolong sangat rendah. Mayoritas petani garam dan pemangku kepentingan yang terlibat kurang mengetahui tentang syarat mutu garam yang ideal. Mayoritas petani garam baik yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maupun rendah tidak mengetahui adanya syarat mutu yang telah ditetapkan oleh BSN. Hal tersebut diperkirakan karena tidak adanya pendidikan khusus tentang penggaraman. Rendahnya pengetahuan yang dimiliki petani garam menyebabkan rendahnya orientasi mutu yang terdapat dalam usaha penggaraman.
34
Karakteristik Usaha Usaha produksi garam di Indonesia masih menggunakan sistem produksi yang tradisonal. Petani garam di Desa tasikharjo masih sangat tergantung pada kondisi air laut dan panas matahari. Petani garam memiliki hasil produksi yang beragam tiap produksinya. Hasil produksi usaha garam dipengaruhi oleh karakteristik usaha, yang meliputi teknologi, biaya produksi, luas lahan, dan kuantitas. Teknologi Produksi penggaraman di Desa Tasikharjo masih tergolong tradisional, berupa penguapan langsung menggunakan sinar matahari. Teknologi penggaraman yang digunakan juga masih sederhana, seperti kincir angin, selender, eboran, keranjang, pompa air, ember, gayung, dan garuk. Jumlah dan persentase responden berdasarkan teknologi dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18
Jumlah dan persentase responden berdasarkan teknologi di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Teknologi Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 33 82.5 Tinggi 7 17.5 Total 40 100
Hasil penelitian menunjukkan rendahnya kelengkapan teknologi yang digunakan dalam usaha penggaraman di Desa Tasikharjo. Sebesar 82.5 persen respon tidak menggunakan teknologi yang lengkap dalam usaha penggaraman, hanya 17.5 persen responden yang menggunakan teknologi lengkap. Sewa lahan atau teknologi banyak dilakukan petani garam di Desa Tasikharjo sehingga tidak menimbulkan keinginan untuk memperbaiki teknologi yang digunkan. Selain itu, terbatasnya alat yang digunakan juga disebabkan oleh rendahnya pengetahuan petani garam. Biaya Produksi Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan produksi untuk sekali panen. Biaya produksi meliputi biaya pengolahan hingga pasca panen memasukkan stok garam ke gudang dengan bantuan kuli. Sekali produksi membutuhkan waktu sekitar satu minggu dan membutuhkan tiga kuli angkut ketika pasca panen.
35
Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan biaya produki di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Biaya Produksi Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 22 55 Tinggi 18 45 Total 40 100 Hasil penelitian menunjukkan dari 40 responden memiliki keragaman biaya produksi yang beragam sehingga menghasilkan rataan Rp181 000. Sebanyak 75 persen responden memiliki biaya produksi dibawah rataan yaitu kurang dari Rp181 000, dan sebanyak 25 persen responden memiliki biaya produksi yang tinggi. Besar biaya produksi berkaitan dengan luas lahan yang dikelola. Semakin besar luas lahan yang dikelola maka semakin besar biaya produksi yang dikeluarkan. Luas Lahan Mayoritas petani garam di Desa Tasikharjo memiliki lahan yang kecil, beberapa orang yang memiliki lahan besar merupakan lahan tambak milik keluarga bukan pribadi. Rataan luas lahan dari 40 responden adalah 1.325 Ha yang dipperoleh dari jumlah total luas lahan dari seluruh responden dan dibagi jumlah responden. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 32 orang memiliki lahan kurang dari 1.325 Ha dan sebanyak 8 orang memiliki lahan lebih dari 1.325 Ha. Tabel 20
Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Luas Lahan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 32 80 Tinggi 8 20 Total 40 100 Mayoritas petani garam di Desa Tasikharjo memiliki luas lahan sekitar 0.5– 1 Ha. Sebagian petani garam mampu mengelola lahan dengan optimal sehingga menghasilkan kuantitas yang tinggi. Lahan seluas 1 Ha pada umumnya dikelola oleh 5-6 orang petani.
Kuantitas Kuantitas merupakan hasil produksi dalam sekali produksi dalam satuan ton. Pada umumnya 1 Ha lahan menghasilkan 1 ton garam dalam sekali produksi. Kuantitas dikategorikan dalam tinggi dan rendah. Berdasarkan kuantitas dari 40 responden diperoleh rataan kuantitas sebesar 3.6 ton. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuantitas yang dihasilkan di Desa Tasikharjo masih rendah karena mencapai 67.5 persen responden memiliki kuantitas dibawah rataan dan 32.5 persen responden memiliki kuantitas lebih diatas rataan.
36
Tabel 21
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kuantitas di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Kuantitas Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 27 67,5 Tinggi 13 32,5 Total 40 100
Intervensi Pihak Luar Penyuluhan Penyuluhan bertujuan menambah dan meningkatkan pengetahuan sesuai dengan pengetahuan terbaru. Sumber penyuluhan berasal dari pemerintah ataupun swasta yang memiliki kepentingan terhadap perkembangan hasil produksi. Berdasarkan hasil penelitian terhdapa 40 orang reponden, sebanyak 27 orang responden pernah mendapatkan penyuluhan selama menjadi petani garam, dan sebanyak 13 orang responden tidak pernah mendapatkan penyuluhan. Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan penyuluhan di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Penyuluhan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 13 32,5 Tinggi 27 67,5 Total 40 100
Bantuan Modal Bantuan modal adalah bantuan yang diberikan oleh pihak luar dalam upaya mendukung usaha pengaraman. Bantuan langsung masyarakat (BLM) dalam program PUGAR merupakan salah satu bentuk bantuan modal yang memiliki tujuan mengembangkan usaha penggaraman. Berdasarkan data DKP Kabupaten Rembang tahun 2012 sebanyak 278 orang petani garam dalam 28 kelompok petani garam di Desa Tasikharjo menerima BLM PUGAR. Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bantuan modal di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Bantuan modal Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 25 62.5 Tinggi 15 37.5 Total 40 100
37
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa sebanyak 62.5 persen responden tidak mendapatkan bantuan. Sebanyak 37.5 persen responden mendapatkan bantuan. Bantuan modal masih tergolong rendah di kalangan petani garam Desa Tasikharjo, hal tersebut disebabkan tidak meratanya bantuan modal yang diberikan. Beberapa petani garam tidak mengetahui adanya program bantuan modal yang diberikan pemerintah. BLM PUGAR Kabupaten Rembang dibagikan kepada kelompok-kelompok petani garam. Waktu pencairan dana dilakukan dalam tiga tahap, tahap pertama terdapat 121 KUGAR, tahap dua terdapat 111 KUGAR, serta tahap tiga terdapat 126 KUGAR. BLM PUGAR dibagikan pada bulan Juli 2012, Desa Tasikharjo masuk dalam tahap tiga. Dana BLM PUGAR bertujuan untuk dimanfaatkan dalam melengkapi sarana prasarana proses produksi garam. Kendala pelaksanaan PUGAR 2012 diantaranya: • Masih banyaknya petani garam dari luar desa yang belum bisa membentuk kelompok karena Kepala Desa masih mengutamakan warganya. Sehingga untuk memperoleh bantuan PUGAR juga kesulitan. • Adanya kelompok aspirasi yang terlambat mengirimkan data kelompok ke Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang sehingga mengganggu pelaksanaan identifikasi, seleksi dan verifikasi kelompok yang akhirnya menyebabkan terlambatnya dalam penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) pada sasaran. • Masih banyak kelompok yang lahannya tidak dalam satu hamparan tetapi dibentuk berdasarkan tempat tinggal
38
39
PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM DALAM KERANGKA INDUSTRIALISASI KELAUTAN Industrialisasi kelautan memiliki tujuan meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan, khususnya dalam usaha penggaraman diharapkan dapat meningkatan produksi garam konsumsi dan industri untuk mencukupi kebutuhan garam nasional sekaligus meningkatkan taraf hidup petani garam. Dalam peningkatan hasil produksi, khususnya peningkatan kualitas garam diperlukan adanya perubahan pola produksi usaha. Dalam proses perubahan pola produksi perlu adanya pemahaman perilaku produksi yang dilakukan petani garam. Memahami hal tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan menganalisis perilaku ekonomi yang dilakukan oleh petani garam. Perilaku ekonomi dijabarkan menjadi lima aspek yaitu orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, ketenagakerjaan, dan perilaku konsumsi. Orientasi Mutu Produksi garam membutuhkan perilaku produksi yang sesuai untuk menghasilkan kualitas yang bagus. Orientasi mutu merupakan salah satu perilaku yang penting dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas hasil produksi usaha garam. Garam memiliki standar mutu yang yang telah ditetapkan oleh SNI sehingga dapat dijadikan acuan produksi, namun masih banyak petani garam yang tidak mengetahui adanya standar mutu. Berdasarkan hasil penelitian dari 40 petani garam, didapatkan bahwa 57.5 persen masih memiliki orientasi mutu rendah dan 425 persen sudah memiliki orientasi tinggi. Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan orientasi mutu dipaparkan dalam Tabel 24. Tabel 24 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan orientasi mutu di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Orientasi mutu Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 23 57.5 Tinggi 17 42.5 Total 40 100 Mutu garam dalam kalangan petani garam Tasikharjo dikelompokkan menjadi empat tipe, umum, umum putih, putih, dan super. Mayoritas petani garam memproduksi garam dengan tipe umum putih, hanya sebagian petani garam yang memproduksi garam tipe putih, dan tidak ada petani garam yang memproduksi garam super. Pemerintah menyosialisasikan standar mutu garam super adalah putih dan kristal besar. Hal tersebut diacuhkan petani garam karena garam konsumsi adalah garam halus, sehingga tidak efisien oleh petani garam. Dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Rembang memaparkan faktorfaktor yang memengaruhi mutu produksi garam yaitu mutu air laut, cuaca, tanah dan pengaturan air. Mutu air laut (terutama dari segi kadar garamnya), sangat memengaruhi waktu yang diperlukan untuk pemekatan (penguapan). Curah hujan (intensitas) dan pola hujan distribusinya dalam setahun rata-rata merupakan
40
indikator yang berkaitan erat dengan panjang kemarau yang kesemuanya memengaruhi daya penguapan air laut. Kecepatan angin, kelembaban udara dan suhu udara sangat memengaruhi kecepatan penguapan air, dimana makin besar penguapan maka makin besar jumlah kristal garam yang mengendap. Sifat porositas tanah memengaruhi kecepatan perembesan (kebocoran) air laut kedalam tanah pada lahan produksi. Bila kecepatan perembesan lebih besar daripada kecepatan penguapannya, apalagi bila terjadi hujan selama pembuatan garam, maka tidak akan dihasilkan garam. Jenis tanah memengaruhi pula warna dan ketidakmurnian (impurity) yang terbawa oleh garam yang dihasilkan. Selain itu, Kadar/kepekatan air tua yang masuk ke meja kristalisasi akan memengaruhi mutu hasil. Pengaturan aliran dan tebal air dalam produksi garam berkaitan dengan faktor-faktor arah kecepatan angin dan kelembaban udara yang merupakan koefisien pemindahan massa.
Adaptasi Teknologi Adaptasi teknologi merupakan penyediaan sarana-prasarana yang dilakukan petani garam untuk menunjang produksi usaha penggaraman. Teknologi berperan besar dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi usaha penggaraman. Prasarana usaha garam meliputi perbaikan lahan, perbaikan saluran, penyediaan/perbaikan galengan, tanggul, pintu air, gudang, irigasi, jembatan penghubung tambak. Sarana usaha garam mencakup penyediaan pompa air, kincir angin, penyediaan bahan additif, bahan dan alat iodisasi, peralatan usaha garam rakyat (cangkul, ember, sepatu boot, selang, pikulan, alat pengais, karung dan terpal), penyediaan alat ukur salinitas, penyediaan gerobak sorong. Tabel 25 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan adaptasi teknologi di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Adaptasi teknologi Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 9 22.5 Tinggi 31 77.5 Total 40 100 Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 22.5 persen petani garam dikategorikan memiliki adaptasi teknologi rendah, dan sebanyak 77.5 persen petani garam dikategorikan memiliki adaptasi teknologi tinggi. Teknologi yang digunakan petani garam di Desa Tasikharjo masih tradisional. Mayoritas petani garam tidak menyediakan alat ukur salinitas, bahan additif, dan alat iodisasi.
Hubungan Sosial Meningkatkan kualitas produksi penggaraman membutuhkan keterlibatan pemangku kepentingan yang terkait dalam usaha penggaraman, seperti petani garam lain, pemerintah, tengkulak, swasta/pabrik-pabrik/pengusaha. Perilaku petani garam dalam usaha penggaraman juga perlu menjalin hubungan sosial
41
dengan pemangku kepentingan yang lain untuk mencapai produktivitas usaha yang diinginkan. Petani garam Tasikharjo tidak dapat menjual hasil produksi langsung ke pabrik, antara petani garam dan pabrik ada perantara berupa tengkulak. Hal tersebut sudah menjadi suatu sistem yang tidak tertulis dan sulit untuk dirubah. Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan hubungan sosial dipaparkan dalam Tabel 26. Tabel 26 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan hubungan sosial di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Hubungan sosial Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 10 25 Tinggi 30 75 Total 40 100 Terlihat bahwa hubungan sosial petani garam sudah tergolong tinggi, karena sebanyak 75 persen memiliki hubungan sosial tinggi dan 25 persen masih memiliki hubungan sosial rendah. Tengkulak tidak pernah memberikan ketentuankententuan secara resmi dalam proses jual beli garam dengan petani garam. Tanpa adanya aturan tertulis petani garam mampu memahami aturan-aturan dalam usaha penggaraman yang telah terbentuk sejak lama.
Alokasi Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan yang dimaksud adalah pola kerja yang digunakan dalam usaha penggaraman. Pola kerja memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas usaha penggaraman. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 77.5 persen petani garam masih memiliki perilaku ketenagakerjaan yang rendah, dan 22.5 persen petani garam sudah memiliki perilaku ketenagakerjaan tinggi. Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan alokasi ketenagakerjaan dipaparkan dalam Tabel 27. Tabel 27
Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan alokasi ketenagakerjaan di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Alokasi Pekerjaan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 31 77.5 Tinggi 9 22.5 Total 40 100
Terlihat bahwa alokasi ketenagakerjaan petani garam di Desa Tasikharjo masih rendah. Mayoritas petani garam tidak melibatkan istri dan anaknya terlibat dalam usaha penggaraman, di Desa Tasikharjo hampir seluruh usaha penggaraman dilakukan oleh laki-laki. Pada umumnya petani garam memiliki pekerjaan yang berbeda ketika musim penghujan, dikarenakan tidak memungkinkan untuk melakukan produksi penggaraman.
42
Perilaku Konsumsi Perilaku konsumsi bertujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadi baik jasmani ataupun rohani secara sadar maupun emosional. Konsumsi yang dibutuhkan dalam bentuk barang atau jasa yang dibutuhkan secara rutin atau tidak memberikan pengaruh terhadap produktivitas usaha penggaraman. Pada umumnya petani garam merupakan perokok aktif, sehingga tingkat konsumsi rokok petani garam cukup tinggi. Hasil penelitian menyatakan sebanyak 52.5 persen petani garam memiliki perilaku konsumsi petani garam rendah. Sebanyak 47.5 persen petani garam tergolong dalam perilaku petani garam tinggi. Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan perilaku ekonomi dapat dilihat dalam Tabel 28. Tabel 28 Jumlah dan persentase petani garam berdasarkan orientasi mutu di Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Perilaku konsumsi Jumlah (jiwa) Persentase (%) Rendah 21 52.5 Tinggi 19 47.5 Total 40 100 Pada musim produksi perilaku konsumsi petani garam dapat meningkat tajam. Petani garam umumnya membeli barang-barang mewah seperti sepeda motor dan alat elektronik rumah tangga pasca musim produksi berakhir. Kesadaran untuk menabung dan memenuhi kebutuhan utama keluarga masih kurang dimiliki oleh petani garam.
ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM Analisis hubungan karakteristik individu dengan perilaku ekonomi petani garam dilakukan untuk mengetahui apakah karakteristik individu (usia, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, dan tingkat pendapatan) memiliki hubungan nyata dengan perilaku ekonomi usaha penggaraman yang meliputi adaptasi teknologi, orientasi mutu, hubungan sosial, alokasi ketenagakerjaan, serta perilaku konsumsi. Karakteristik individu menjadi variabel independen (variabel bebas) dan perilaku ekonomi petani garam merupakan variabel dependen (variabel terikat).
Hubungan Usia dengan Perilaku Ekonomi Usia responden digolongkan ke dalam kategori muda dan tua. Sedangkan perilaku ekonomi terdiri dari orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, ketenagakerjaan, dan perilaku konsumsi. Hasil pengujian hubungan antara usia dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 29. Tabel 29 Nilai korelasi dan probabilitas antara usia responden ekonomi Usia Perilaku Ekonomi p Adaptasi Teknologi 0.125 Orientasi Mutu 0.827 Hubungan Sosial 0.722 Ketenagakerjaan 0.145 Perilaku Konsumsi 0.125
dengan perilaku
s -0.247 -0.287 0.058 -0.235 -0.247
Keterangan: s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan signifikan
Pengujian hubungan usia terhadap perilaku ekonomi petan garam dilakukan dengan uji statistik analisis Rank-Spearman sekaligus dengan variabel independen berupa usia dan variabel dependen terdiri atas orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, ketenagakerjaan, dan perilaku konsumsi. Uji hipotesis pengaruh usia terhadap perilaku ekonomi dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Usia tidak berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Usia berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1.
44
Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut. Hubungan Usia dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara usia petani garam dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.125. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, artinya usia petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi yang dilakukan. Usia muda maupun tua tidak memengaruhi perilaku adaptasi teknologi petani garam, pada umumnya adaptasi teknologi karena adanya kebutuhan teknologi dalam produksi usaha garam. Petani garam usia tua lebih sulit menerima adanya inovasi teknologi dibandingkan dengan petani garam usia muda. Hubungan Usia dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara usia petani garam dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.827. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa usia petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu yang dilakukan. Petani garam usia tua lebih berorientasi kerja pada pengalaman dan sulit menerima pengaruh perkembangan zaman. Sebaliknya petani garam usia muda mudah menerima pengaruh dari luar utamanya yang berhubungan dengan kebutuhan sesuai perkembangan zaman, sehingga mulai berorientasi mutu pada hasil produksinya. Hubungan Usia dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara usia petani garam dengan perilaku konsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.722. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa usia petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Usia muda maupun tua cukup memiliki hubungan sosial yang tinggi, hal tersebut berkaitan dengan usaha penggaraman dalam aspek tata niaga. Tingkat ketergantungan petani garam terhadap tengkulak masih cukup besar, utamanya di Desa Taikharjo. Tanpa tengkulak petani garam tidak dapat menjual hasil produksi ke pabrik-pabrik, sehingga tengkulak memiliki peran besar dalam aspek tata niaga usaha penggaraman. Hubungan Usia dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara usia petani garam dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.145. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa usia petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Seluruh petani garam Desa Tasikharjo memiliki pekerjaan sampingan, baik usia muda maupun usia tua. Usia juga tidak memengaruhi petani garam untuk melibatkan keluarga dalam usaha penggaraman, kesadaran untuk mengutamakan pendidikan anak-anaknya sudah dimiliki petani garam. Hubungan Usia dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara usia petani garam dengan perilaku koonsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.125. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa usia petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan
45
dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Usia tidak memengaruhi tingkat konsumsi petani garam, baik usia muda ataupun tua mayoritas petani garam adalah perokok. Tingkat konsumsi petani garam pada usia muda dan tua tidak jauh berbeda, konsumsi terbesar terdapat pada rokok.
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Ekonomi Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan nyata antara tingkat pendidikan responden dengan perilaku ekonomi petani garam. Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi tinggi dan rendah. Hasil pengujian hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 30. Tabel 30 Nilai korelasi dan probabilitas antara tingkat pendidikan responden dengan perilaku ekonomi Pendidikan Perilaku Ekonomi P s Adaptasi Teknologi 0.145 0.235 Orientasi Mutu 0.093 0.269 Hubungan Sosial 0.069 -0.290 Ketenagakerjaan 0.125 0.047 Perilaku Konsumsi 0.734 0.055 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan signifikan
Uji hipotesis hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Tingkat pendidikan berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Tingkat pendidikan berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan petani garam dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.145. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, artinya tingkat pendidikan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi yang dilakukan. Usaha penggaraman tidak memiliki pendidikan formal, sehingga kemampuan petani
46
garam dalam memproduksi ataupun menggunakan teknologi tidak ada kaitannya dengan pendidikan formal yang pernah diterima. Semakin tinggi pendidikan formal yang dimiliki maka semakin mudah petani garam menerima dan menerapkan teknologi baru. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan petani garam dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.093. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa tingat pendidikan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu. Pendidikan formal tinggi hingga sarjana tidak cukup memberikan pengetahuan petani garam mengenai standar mutu garam. Petani garam yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maupun rendah hampir seluruhnya tidak mengetahui standar mutu garam yang telah ditentukan SNI, sehingga kurang memiliki perilaku orientasi mutu dalam produksinya. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan petani petani garam dengan perilaku konsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.069. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa tingkat pendidikan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Uji korelasi statistik memiliki hasil berbeda dengan uji tabulasi silang (crosstabulation). Berdasarkan data di lokasi diperoleh seorang petani dengan tingkat pendidikan rendah yang memiliki hubungan sosial rendah, dan 26 orang orang berpendidikan tinggi memiliki hubungan sosial tinggi. Dapat dikatakan tingkat pendidikan petani garam memiliki hubungan nyata dengan perilaku hubungan sosial petani garam, meskipun tidak didukung oleh hasil uji statistik. Pendidikan formal yang tinggi memberikan keuntungan bagi petani garam, karena lebih disegani oleh pelaku usaha garam yang lain. Petani garam dengan pendidikan tinggi memudahkan untuk mencari relasi yang mampu membantu meningkatkan produksi usaha penggaraman. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan petani garam dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.125. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa tingkat pendidikan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Perilaku petani garam dalam mengalokasikan tenaga kerja tidak ada kaitannya dengan rendah-tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh. Kepemilikan pekerjaan sampingan lebih dikarenakan adanya kebutuhan dari internal petani garam. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan petani garam dengan perilaku koonsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.734. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa tingkat pendidikan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Petani garam berpendidikan tinggi atau rendah rata-rata memiliki perilaku konsumsi
47
yang relatif sama. Petani garam dengan pendidikan yang lebih tinggi mampu memanajemen keuangan lebih baik. mampu membedakan yang mana keutuhan dan keinginan.
Hubungan Pengalaman Kerja dengan Perilaku Ekonomi Uji hubungan dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan nyata antara pengalaman sebagai petani garam dengan perilaku ekonomi petani garam. Pengalaman kerja dikategorikan ke dalam kategori rendah dan tinggi. Hasil pengujian hubungan antara pengalaman dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 31. Tabel 31 Nilai korelasi dan probabilitas antara pengalaman kerja dengan perilaku ekonomi Pengalaman Kerja Perilaku Ekonomi P s Adaptasi Teknologi 0.594 -0.087 Orientasi Mutu 0.193 -0.210 Hubungan Sosial 0.211 0.202 Ketenagakerjaan 0.890 0.023 Perilaku Konsumsi 0.209 -0.203 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan
Uji hipotesis pengaruh pengalaman sebagai petani garam terhadap perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Pengalaman kerja tidak berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Pengalaman kerja berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut. Hubungan Pengalaman Kerja dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara pengalaman kerja petani garam dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.594. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, artinya pengalaman kerja petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi yang dilakukan. Pengalaman kerja tinggi maupun rendah memiliki perilaku adaptasi teknologi tidak jauh berbeda. Produksi usaha garam memiliki sifat turun menurun dalam keluarga,
48
sehingga perilaku adaptasi teknologi petani garam pada umumnya menggunakan pola produksi keluarga. Hubungan Pengalaman Kerja dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara pengalaman kerja petani garam dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.193. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa pengalaman kerja petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu. Berdasarkan data di lapangan dengan uji tabulasi silang diperoleh 13 orang berpengalaman kerja tinggi dengan orientasi mutu rendah dan 11 orang pertani garam memiliki pengalaman kerja rendah namun berorientasi mutu tinggi. Petani pengalaman kerja tinggi memiliki orientasi mutu rendah, karena lebih berorientasi pada pengalaman sehingga sulit menerima perubahan sesuai kebutuhan zaman. Hubungan Pengalaman kerja dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara pengalaman kerja petani garam dengan perilaku konsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.211. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa pengalaman kerja petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Petani garam yang berpengelaman kerja tinggi pada umumnya memiliki relasi lebih banyak dibanding petani garam dengan pengalaman kerja tinggi. Perilaku hubungan sosial lebih mudah dijalin oleh petani garam dengan pengalaman kerja rendah karena lebih mudah menerima perubahan atau pengaruh dari luar sesuai kebutuhan pasar. Hubungan Pengalaman Kerja dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara pengalaman kerja petani garam dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.890. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa pengalaman kerja petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Perilaku petani garam dalam mengalokasikan tenaga kerja tidak berkaitan dengan seberapa lama petani garam telah bekerja. Mayoritas petani garam tidak melibatkan keluarga dalam produksi, tetapi melibatkan dalam proses pasca produksi. Keterlibatan keluarga disesuaikan dengan keahlian atau pengalaman yang dimiliki. Hubungan Pengalaman Kerja dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara pengalaman kerja petani garam dengan perilaku konsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.209. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa tingkat pendidikan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Perilaku konsumsi petani garam tidak ada kaitannya dengan tinggi rendahnya pengalaman kerja petani garam. Pada umunya petani garam dengan pengalaman kerja rendah ataupun tinggi memiliki kesamaan pada perilaku konsumsi, mayoritas beperilaku konsumsi tinggi.
49
Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Ekonomi Hubungan karakteristik tingkat pendapatan dengan perilaku ekonomi petani garam diuji statistik dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Rank-Spearman. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan nyata antara tingkat pendapatan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hasil pengujian hubungan antara tingkat pendapatan dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 32. Tabel 32 Nilai korelasi dan probabilitas antara tingkat pendapatan responden dengan perilaku ekonomi Tingkat Pendapatan Perilaku Ekonomi P s Adaptasi Teknologi 0.168 0.222 Orientasi Mutu 0.542 0.099 Hubungan Sosial 0.439 0.126 Ketenagakerjaan 0.575 0.091 Perilaku Konsumsi 0.841 0.033 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan signifikan
Uji hipotesis hubungan tingkat pendapatan terhadap perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Tingkat pendapatan tidak berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Tingkat pendapatan berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara tingkat pendapatan petani garam dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.168. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, artinya tingkat pendidikan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi yang dilakukan. Pendapatan tinggi ataupun rendah tidak berkaitan dengan perilaku adaptasi teknologi. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara tingkat pendapatan petani garam dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.542. Nilai signifikansi <0.05
50
maka terima H0 yang berarti bahwa tingkat petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu yang dilakukan. Tingkat pendapatan petani garam yang tinggi menimbulkan kepercayaan bahwa mutu hasil produksinya telah bagus sehingga tidak mempedulikan perubahan kondisi yang terjadi. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara tingkat pendapatan petani garam dengan perilaku hubungan sosial memiliki nilai signifikansi (p) = 0.439. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa tingkat pendapatan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Pendapatan rendah maupun tinggi mayoritas memiliki hubungan sosial tinggi. Meskipun petani garam berpendapatan tinggi tetap memiliki ketergantungan terhadap tengkulak, begitu pula pada petani garam dengan pendapatan rendah. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara tingkat pendapatan petani garam dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.575. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa tingkat pendapatan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Perilaku alokasi ketenagakerjaan tidak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pendapatan petani garam. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara tingkat pendapatan petani garam dengan perilaku koonsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.891. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa tingkat pendapatan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Petani garam dengan pendapatan tinggi atau rendah pada umumnya memiliki perilaku konsumsi yang tidak jauh berbeda.
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Ekonomi Mayoritas petani garam memiliki tingkat pengetahuan rendah. Data di lapangan menunjukkan 95 persen rendah, sehingga tidak dapat uji hubungan secara kuantitatif. Petani garam Desa Tasikharjo tidak mengetahui standar mutu garam yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut memengaruhi perilaku orientasi mutu dalam produksi garam. Kesadaran petani terhadap mutu hasil produksi masih sangat rendah, hal tersebut ditunjukkan oleh rendahnya hasil produksi dengan mutu K1. Petani garam lebih memilih memproduksi garam dengan mutu K3 dengan kuantitas tinggi, dibandingkan memproduksi K1 dengan perilaku produksi khusus. Petani garam merasa rugi apabila harus memproduksi garam dengan mutu K1 karena membutuhkan waktu produki lebih lama. Rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki petani garam mengakibatkan minimnya teknologi yang digunakan. Teknologi yang diadaptasi masih dikatakan tradisional, sehingga memengaruhi hasil produksi usaha penggaraman. Kesadaran petani garam untuk meningkatkan teknologi yang digunakan masih sangat rendah.
51
Hal tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan petani garam memengaruhi rendahnya adaptasi petani garam terhadap inovasi teknologi. Pengetahuan petani garam juga memengaruhi proses produksi, utamanya dalam menentukan musim produksi. Penentuan awal musim pembuatan garam sangat penting dilakukan. Salah satu cara adalah dengan cara mengamati perilaku iklim yaitu curah hujan tahunan mendekati atau melebihi curah hujan tahunan rata-rata pada masingmasing lahan pegaraman. Petani garam tidak memiliki pengetahuan mengenai tata niaga yang baik, sehingga terjadi ketergantungan terhadap tengkulak. Pengetahuan tata niaga berhubungan dengan alur usaha penggaraman yang harus dijalani oleh petani garam. Minimnya pengetahuan tata niaga mengakibatkan tengkulak ataupun pemangku kepentingan dengan mudah mepermainkan harga pasar yang dapat merugikan pihak petani garam. Rendahnya pengetahuan tata niaga petani garam juga memengaruhi perilaku konsumsi. Petani garam belum memiliki kesadaran untuk memanajemen keuangan, sehingga perilaku konsumsi petani garam masih tergolong tinggi.
52
ANALISIS HUBUNGAN INTERVENSI PIHAK LUAR DENGAN PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM Analisis hubungan intervensi pihak luar (penyuluhan dan bantuan modal) dengan perilaku ekonomi petani garam dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan nyata. Perilaku ekonomi yang analisis memliputi variabel orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, alokasi ketenagakerjaan, serta perilaku konsumsi. Intervensi pihak luar menjadi variabel independenden (variabel bebas) dan perilaku ekonomi petani garam merupakan variabel dependen (variabel terikat). Hubungan Bantuan Modal dengan Perilaku Ekonomi Hubungan bantuan modal dengan perilaku ekonomi petani garam diuji secara statistik dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan model uji Rank Spearman. Bantuan modal digolongkan ke dalam kategori rendah dan tinggi. Hasil pengujian hubungan antara usia dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 34. Tabel 33 Nilai korelasi dan probabilitas antara bantuan modal dengan perilaku ekonomi Bantuan Modal Perilaku Ekonomi P s Adaptasi Teknologi 0.007 0.417 Orientasi Mutu 0.000 0.588 Hubungan Sosial 0.855 -0.030 Ketenagakerjaan 0.214 0.201 Perilaku Konsumsi 0.937 -0.013 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan signifikan
Uji hipotesis hubungan bantuan modal dengan perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Bantuan modal tidak berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Bantuan modal berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut.
54
Hubungan Bantuan Modal dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara bantuan modal dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.007. Nilai signifikansi <0.05 maka tolak H0 dan terima H1, artinya bantuan modal yang didapat petani garam memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,417, artinya terdapat hubungan signifikan selaras antar variabel, sehingga semakin tinggi bantuan modal maka semakin tinggi perilaku adaptasi teknologi, berlaku sebaliknya. BLM PUGAR salah satu bentuk bantuan modal yang mendukung pengkitan teknologi pada produksi usaha garam. Hubungan Bantuan Modal dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara bantuan modal dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.000. Nilai signifikansi <0.05 maka terima H1, yang berarti bahwa bantuan modal memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu yang dilakukan. Nilai koefisien korelasi sebesar 0.588, yang berarti semakin tinggi bantuan modal maka semakin tinggi perilaku orientasi mutu, dan semakin rendah bantuan modal maka semakin rendah orientasi mutu yang dilakukan. Adanya bantuan modal menuntut kualitas mutu yang lebih baik, sehingga semakin besar bantuan modal maka semakin besar pula orientasi mutu petani garam. Hubungan Bantuan Modal dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara bantuan modal dengan perilaku hubungan sosial memiliki nilai signifikansi (p) = 0.855. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa bantuan modal yang diperoleh petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Tinggi atau rendahnya bantuan modal tidak menyebabkan petani garam bisa menjual hasil pribadi secara langsung, perang tengkulak masih melekat dalam tata niaga usaha garam. Hubungan Bantuan Modal dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara bantuan modal dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.214. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa bantuan modal tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Besarnya bantuan modal yang diperoleh petani garam tidak memengaruhi perilaku produksi petani garam dalam alokasi ketenagakerjaan. Hubungan Bantuan Modal dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara bantuan modal dengan perilaku koonsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.913. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa bantuan modal tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Besarnya konsumsi yang dikeluarkan petani garam tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya bantuan modal yang didapat.
55
Hubungan Penyuluhan dengan Perilaku Ekonomi Hubungan penyuluhan dengan perilaku ekonomi petani garam diuji secara statistik dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan model uji Rank Spearman. Penyuluhan digolongkan ke dalam kategori rendah dan tinggi. Hasil pengujian hubungan antara usia dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 35. Tabel 34 Nilai korelasi dan probabilitas antara bantuan modal dengan perilaku ekonomi Penyuluhan Perilaku Ekonomi P s Orientasi Mutu 0.002 -0.483 Adaptasi Teknologi 0.017 -0.374 Hubungan Sosial 0.000 0.709 Ketenagakerjaan 0.017 0.374 Perilaku Konsumsi 0.032 0.339 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan signifikan
Uji hipotesis hubungan penyuluhan dengan perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Penyuluhan tidak berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Penyuluhan berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut. Hubungan Penyuluhan dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara penyuluhan dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.002. Nilai signifikansi <0.05 maka tolak H0 dan terima H1, artinya penyuluhan yang didapat petani garam memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi. Koefisien korelasi sebesar -0.483, artinya semakin tinggi bantuan modal maka semakin rendah perilaku adaptasi teknologi, dan semakin rendah penyuluhan maka perilaku adaptasi rendah. Penyuluhan yang diterima petani garam mengenai program usaha penggaraman terbaru sesuai perkembangan zaman. Penyuluhan memengaruhi teknologi yang perlu digunakan petani garam. Semakin banyak penyuluhan yang diterima petani garam maka semakin tinggi tingkat adaptasi teknologi.
56
Hubungan Penyuluhan dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara penyuluhan dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.017. Nilai signifikansi <0.05 maka terima H1, yang berarti bahwa penyuluhan memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu yang dilakukan. Nilai koefisien korelasi sebesar -0.374, yang berarti semakin tinggi bantuan modal maka semakin rendah perilaku orientasi mutu, berlaku sebaliknya. Hasil uji statistik tersebut dikuatkan oleh hasil uji tabulasi silang, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 20 petani garam memiliki penyuluhan tinggi dengan perilaku orientasi mutu rendah. Sebaliknya, sebanyak 10 orang dengan penyuluhan rendah dan perilaku orientasi mutu tinggi. Hubungan Penyuluhan dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara penyuluhan dengan perilaku hubungan sosial memiliki nilai signifikansi (p) = 0.000. Nilai signifikansi <0.05 maka tolak H0 dan terima H1, artinya penyuluhan yang diperoleh petani garam memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Koefisien korelasi dengan nilai 0.709, yang berarti bahwa terjadi hubungan signifikan yang selaras antara penyuluhan dan hubungan sosial. Semakin tinggi penyuluhan yang diterima petani garam maka semakin tinggi hubungan sosial yang dilakukan, begitu sebaliknya semakin rendah penyuluhan yang diperoleh maka semakin rendah hubungan sosial petani garam. Hubungan Penyuluhan dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara penyuluhan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.017. Nilai signifikansi <0.05 maka terima H1 dengan koefisien korelasi 0.374, yang berarti bahwa penyuluhan memiliki hubungan signifikan yang selaras dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi penyuluhan yang diterima petani garam maka semakin tinggi alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Sebaliknya semakin rendah penyuluhan yang diterima maka semakin tinggi perilaku alokasi ketenagakerjaan petani garam. Hubungan Penyuluhan dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara penyuluhan dengan perilaku koonsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.032. Nilai signifikansi <0.05 maka terima H1 dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.339, yang berarti bahwa penyuluhan memiliki hubungan signifikan yang seralas dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Uji statistik tersebut diperkuat dengan hasil uji tabulasi silang, data lapangan mendapat 10 orang petani garam yang tidak memperoleh penyuluhan dengan perilaku konsumsi rendah, dan sebanyak 26 petani garam memiliki penyuluhan tinggi dengan perilaku konsumsi tinggi.
ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK USAHA DENGAN PERILAKU EKONOMI PETANI GARAM Analisis hubungan karakteristik usaha dengan perilaku ekonomi petani garam dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan nyata. Intervensi pihak luar meliputi variabel teknologi, biaya produksi, luas lahan, dan kuantitas menjadi variabel independenden (variabel bebas) dan perilaku ekonomi petani garam meliputi variabel orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, alokasi ketenagakerjaan, serta perilaku konsumsi merupakan variabel dependen (variabel terikat). Hubungan Biaya Produksi dengan Perilaku Ekonomi Hubungan biaya produksi dengan perilaku ekonomi petani garam diuji secara statistik dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan model uji Rank Spearman. Biaya produksi digolongkan ke dalam kategori rendah dan tinggi. Hasil pengujian hubungan antara usia dengan perilaku ekonomi nelayan disajikan secara ringkas pada Tabel 36. Tabel 35 Nilai korelasi dan probabilitas antara biaya produksi responden dengan perilaku ekonomi Biaya Produksi Perilaku Ekonomi P s Adaptasi Teknologi 0.301 -0.168 Orientasi Mutu 0.482 -0.114 Hubungan Sosial 0.283 -0.174 Ketenagakerjaan 0.971 -0.006 Perilaku Konsumsi 0.734 -0.055 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan signifikan
Uji hipotesis hubungan biaya produksi dengan perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Biaya produksi berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Biaya produksi berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut.
58
Hubungan Biaya Produksi dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara biaya produksi dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.301. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, artinya biaya produksi usaha penggaraman tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi petani garam. Besarnya biaya produksi tidak memiliki kaitan dengan tinggi atau rendahnya perilaku adaptasi teknologi. Hubungan Biaya Produksi dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara biaya produksi dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.482. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa biaya tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu yang dilakukan. Biaya produksi yang dikeluarkan petani garam tidak memiliki pengaruh besar terhadap orientasi mutu. Hubungan Biaya Produksi dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara biaya produksi dengan perilaku hubungan sosial memiliki nilai signifikansi (p) = 0.283. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa biaya produksi yang dikeluarkan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Perilaku hubungan sosial tidak ada kaitannya dengan rendah atau tingginya biaya produksi yang dikeluarkan petani garam. Hubungan Biaya Produksi dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara biaya produksi dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.971. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa biaya produksi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan. Perilaku alokasi ketenagakerjaan yang pada umumnya sama tidak ada keterkaitan dengan biaya produsksi yang dikeluarkan. Hubungan Biaya Produksi dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara biaya produksi dengan perilaku koonsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.734. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa biaya produksi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Besarnya konsumsi yang dikeluarkan petani garam tidak ada kaitannya dengan besar kecilnya biaya produksi yang dikeluarkan. Hubungan Teknologi dengan Perilaku Ekonomi Hubungan teknologi dengan perilaku ekonomi petani garam diuji secara statistik dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan model uji Rank Spearman. Teknologi dikategorikan menjadi rendah dan tinggi. Hasil pengujian hubungan antara usia dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 37.
59
Tabel 36
Nilai korelasi dan probabilitas antara teknologi responden dengan perilaku ekonomi Teknologi Perilaku Ekonomi P s Adaptasi Teknologi 0.000 0.855 Orientasi Mutu 0.011 0.396 Hubungan Sosial 0.097 -0.266 Ketenagakerjaan 0.164 -0.225 Perilaku Konsumsi 0.585 -0.089 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan signifikan
Uji hipotesis hubungan teknologi dengan perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Teknologi tidak berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Teknologi berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut. Hubungan Teknologi dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara teknologi dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.000. Nilai signifikansi <0.05 maka tolak H0 dan terima H1, artinya teknologi memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,855, artinya terdapat hubungan signifikan selaras antar variabel, sehingga semakin tinggi teknologi maka semakin tinggi perilaku adaptasi teknologi, berlaku sebaliknya. Perilaku adaptasi teknologi petani garam memiliki keterkaitan dengan teknologi yang dimiliki petani garam. Hasil uji statistik dikuatkan oleh hasil uji tabulasi silang yang sesuai dengan hipotesis. Data di lapangan menunjukkan sebanyak tujuh orang petani garam memiliki teknologi rendah dengan perilaku adaptasi teknologi rendah. Sebanyak 31 petani garam yang memiliki teknologi tinggi dengan perilaku adaptasi tinggi. Hubungan Teknologi dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara teknologi dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.011. Nilai signifikansi <0.05 maka terima H1, yang berarti bahwa teknologi memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu yang dilakukan. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,396, yang berarti semakin tinggi teknologi maka semakin tinggi perilaku orientasi mutu, dan semakin rendah teknologi maka semakin rendah orientasi mutu yang dilakukan.
60
Kualitas mutu hasil produksi berkaitan dengan bagaimana teknologi yang digunakan, semakin sesuai pola produksi yang dilakukan maka akan semakin baik yang dihasilkan. Hubungan Teknologi dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara teknologi dengan perilaku hubungan sosial memiliki nilai signifikansi (p) = 0.097. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa teknologi petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Tinggi atau rendahnya teknologi tidak menyebabkan petani garam bisa menjual hasil produksi tanpa melalui tengkulak. Hubungan Teknologi dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara teknologi dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.164. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa teknologi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Tingginya teknologi petani garam tidak memengaruhi perilaku produksi petani garam dalam alokasi ketenagakerjaan. Hubungan Teknologi dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara teknologi dengan perilaku konsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.585. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa teknologi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Besarnya konsumsi yang dikeluarkan petani garam tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya teknologi dalam usaha penggaraman.
Hubungan Luas Lahan dengan Perilaku Ekonomi Uji korelasi dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan nyata antara luas lahan dengan perilaku ekonomi petani garam. Kategori luas lahan petani garam adalah rendah dan tinggi. Hasil pengujian hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 38. Tabel 37 Nilai korelasi dan probabilitas antara luas lahan responden dengan perilaku ekonomi Luas Lahan Perilaku Ekonomi P s Adaptasi Teknologi 0.093 0.269 Orientasi Mutu 0.642 0.076 Hubungan Sosial 0.374 0.144 Ketenagakerjaan 0.855 0.030 Perilaku Konsumsi 0.086 0.275 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas
61
Uji hipotesis hubungan luas lahan dengan perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Luas lahan tidak berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Luas lahan berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut. Hubungan Luas Lahan dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara luas lahan dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.093. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, artinya luas lahan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adaptasi teknologi. Luasnya lahan yang dikerjakan petani garam tidak berpengaruh pada adaptasi teknologi yang digunakan. Hubungan Luas Lahan dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara luas lahan dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.642. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa teknologi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu yang dilakukan. Standar perbandingan kolam penguapan dengan kolam kristalisasi yang sesuai agar menghasilkan mutu yang baik adalah satu berbanding enam. Mayoritas petani garam tidak mengetahui dan tidak menggunakan perbandingan tersebut. Hubungan Luas Lahan dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara luas lahan dengan perilaku hubungan sosial memiliki nilai signifikansi (p) = 0.374. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa luas lahan petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Hubungan antar petani garam dengan pemangku kepentingan usaha penggaraman tidak ada kaitannya dengan luas atau sempitnya lahan yang dimiliki. Hubungan Luas Lahan dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara luas lahan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.855. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa luas lahan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Pada umumnya lahan seluas satu hektar dikerjakan oleh petani garam sebanyak 15 orang. Semakin luas lahan yang dimiliki tidak memengaruhi perilaku petani garam dalam alokasi ketenagakerjaan.
62
Hubungan Luas Lahan dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara luas lahan dengan perilaku koonsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.086. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa luas lahan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Besarnya konsumsi yang dikeluarkan petani garam tidak dipengaruhi oleh seberapa luas lahan yang dimiliki. Hubungan Kuantitas Hasil Produksi dengan Perilaku Ekonomi Uji korelasi dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan nyata antara kuantitas dengan perilaku ekonomi petani garam. Kategori kuantitas hasil produksi adalah rendah dan tinggi. Hasil pengujian hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku ekonomi petani garam disajikan secara ringkas pada Tabel 39. Tabel 38 Nilai korelasi dan probabilitas antara kuantitas hasil produksi responden dengan perilaku ekonomi Kuantitas Hasil Produksi Perilaku Ekonomi P s Adaptasi Teknologi 0.953 -0.010 Orientasi Mutu 0.326 0.159 Hubungan Sosial 0.570 -0.092 Ketenagakerjaan 0.467 -0.118 Perilaku Konsumsi 0.909 -0.019 Keterangan : s = koefisien korelasi P = nilai probabilitas Cetak tebal: memiliki hubungan signifikan
Uji hipotesis hubungan kuantitas dengan perilaku ekonomi petani garam dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = Kuantitas tidak berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. H1 = Kuantitas berhubungan signifikan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hipotesis di atas diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank-Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank-Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka terima H0, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 maka tolak H0 dan terima H1. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut. Hubungan Kuantitas dengan Adaptasi Teknologi Hasil uji korelasi antara kuantitas dengan perilaku adaptasi teknologi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.953. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, artinya kuantitas tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku
63
adaptasi teknologi. Hasil produksi petani garam tidak memberikan pengaruh terhadap perilaku adaptasi teknologi petani garam. Hubungan Kuantitas dengan Orientasi Mutu Hasil uji korelasi antara kuantitas dengan perilaku orientasi mutu memiliki nilai signifikansi (p) = 0.326. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa kuantitas tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku orientasi mutu yang dilakukan. Petani garam di Desa Tasikharjo pada umumnya lebih mengutamakan hasil produksi dengan jumlah besar dibandingkan dengan kualitas dengan mutu yang bagus. Hubungan Kuantitas dengan Hubungan Sosial Hasil uji korelasi antara kuantitas dengan perilaku hubungan sosial memiliki nilai signifikansi (p) = 0.570. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa kuantitas petani garam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku hubungan sosial. Hubungan antar petani garam dengan pemangku kepentingan usaha penggaraman tidak ada kaitannya dengan besar-kecilnya hasil produksi. Hubungan Kuantitas dengan Alokasi Ketenagakerjaan Hasil uji korelasi antara kuantitas dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan memiliki nilai signifikansi (p) = 0.467. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa kuantitas tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku alokasi ketenagakerjaan yang dilakukan. Hasil produksi yang tinggi tidak memengaruhi petani garam untuk melibatkan keluarga dalam usaha penggaraman. Hubungan Kuantitas dengan Perilaku Konsumsi Hasil uji korelasi antara kuantitas dengan perilaku koonsumsi memiliki nilai signifikansi (p) = 0.909. Nilai signifikansi >0.05 maka terima H0, yang berarti bahwa kuantitas tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku konsumsi yang dilakukan. Perilaku konsumsi petani garam tidak berkaitan dengan banyaknya hasil produksi.
64
65
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perilaku ekonomi petani garam masih tergolong rendah sehingga hasil produksi masih memiliki kualitas yang rendah. Petani garam di Desa Tasikharjo masih tradisional, sehingga sulit menerima adanya informasi dan inovasi terbaru. Hal tersebut menyebabkan belum tercapainya kebutuhan garam industri. Upaya mendongkrak efisiensi produksi diterapkan strategi teknologi ulir filter yang akan mengecilkan volume proses produksi namun meningkatkan hasil produksi. Karakteristik individu petani garam yang terdiri atas usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan pengalaman kerja tidak memiliki hubungan nyata dengan perilaku ekonomi. Rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki petani garam secara kualitatif memiliki hubungan dengan orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, alokasi tenaga kerja, serta perilaku konsumsi. Tingkat pengetahuan dasar yang perlu dimiliki petani garam yaitu pengetahuan standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, petani garam perlu memiliki pengetahuan tata niaga dalam usaha penggaraman. Intervensi pihak luar memiliki hubungan dengan perilaku ekonomi petani garam. Hal ini dapat terlihat pada variabel bantuan modal yang memiliki hubungan dengan variabel orientasi mutu dan variabel adaptasi teknologi. Sedangkan pada variabel penyuluhan memiliki hubungan dengan variabel orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, alokasi tenaga kerja, serta variabel perilaku konsumsi. Bantuan modal yang pernah diberikan berbentuk BLM PUGAR, namun pembagian bantuan modal tidak merata sehingga menyebabkan petani tidak memiliki orientasi mutu yang baik. Bantuan modal yang tinggi menyebabkan terjadinya perilaku adaptasi teknologi yang tinggi juga. Tingkat penyuluhan di kalangan petani garam Tasikharjo tergolong tinggi, hal tersebut tidak memengaruhi perilaku orientasi mutu dan adaptasi teknologi dikarenakan sulitnya petani garam untuk menerima ada informasi dan inovasi baru. Karakteristik usaha memiliki hubungan yang rendah dengan perilaku ekonomi petani garam. Variabel teknologi memiliki hubungan dengan variabel orientasi mutu dan adaptasi teknologi. Tingginya teknologi yang dimiliki petani garam menyebabkan tingginya perilaku orientasi mutu dan adaptasi yang tinggi.
Saran 1.
2.
Saran yang dapat diberikan sesuai dari hasil penelitian ini adalah: Diharapkan segera ada pemerataan inovasi teknologi sehingga seluruh petani garam mampu memproduksi garam di sepanjang musim dengan kualitas yang lebih baik. Perlu adanya pendidikan mengenai penggaraman bagi seluruh pemangku kepentingan, untuk meningkatkan pengetahuan dan penegakan hukum dalam produksi usaha penggaraman.
66
3.
4.
5.
6.
Perlu dibentuk adanya Koperasi Usaha Garam dengan harapan bisa menampung garam rakyat jika bisa yang dapat mencakup sekabupaten Rembang. Diharapkan mampu mencari peluang-peluang pasar, pabrik yang menggunakan garam yang cukup banyak seperti pabrik makanan dan minuman. Pemerintah diharapkan lebih konsisten memantau produksi setiap wilayah, utamanya ketika adanya penerapan program yang menunjang peningkatan hasil produksi. Diharapkan tidak hanya mensosialisasikan program saja, tetapi berlanjut hingga penerapan program dan hasilnya dapat dikatakan berhasil. Peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian ketika musim produksi untuk memperdalam dan mengamati langsung sejauh mana perilaku petani garam dalam bekerja.
67
DAFTAR PUSTAKA Aisyah, Alfi A, Wustoni S. 2011. Inovasi Proses Produksi Garam untuk Kemandirian Indonesia. [tidak diterbitkan]. [BSN] Badan Standar Nasional. 2000. Garam Bahan Baku untuk Industri Garam Beryodium. [Internet]. [diunduh 16 Januari 2013]; Dapat diunduh dari: http://sisni.bsn.go.id/index.php/sni/Sni/download/4830 [BSN] Badan Standar Nasional. 2010. Garam Konsumsi Beryodium. [Internet]. [diunduh 16 Januari 2013]; Dapat diunduh dari: http://sisni.bsn.go.id/index.php/sni/ Sni/download/11011 Desa Tasikharjo. 2012. Format Laporan Profil Desa dan Kelurahan. [tidak diterbitkan] Fariyanti A. 2008. Perilaku ekonomi rumahtangga petani sayuran dalam menghadapapi risiko produksi dan harga produk di Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung. [disertasi]. Bogor [ID]: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hasan TIB. 2011. Identifikasi sosial ekonomi dan ketenagakerjaan petani garam di Kabupaten Bireun. J SAINS Riset. [Internet]. [dikutip 22 November 2012]; Dapat diunduh dari http://ejournal.unigha.ac.id/data /Journal%20%20SAINS%20Riset% 20vol%201%20no%202%207.pdf Hartono S. 2011. Kebijakan dan Program Pembangunan Garam Nasional. Di dalam: Roosita K, Krisnatuti D, Alfiasari, Purwandari H, editor. Prosiding Seminar: Strategi Swasembada Garam. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hal 123-129. Hartoyo. 2011. Arah Kebijakan Menuju Swasembada Garam: aspek Konsumen. Di dalam: Roosita K, Krisnatuti D, Alfiasari, Purwandari H, editor. Prosiding Seminar: Strategi Swasembada Garam. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hal 100-106. Hernanto B, Kwartatmono DN. 2001. Teknologi Pembuatan dan Kendala Produksi Garam di Indonesia. Di dalam: Baharudin S, editor. Proceeding Forum Pasar Garam Indonesia. Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal 15-36. Izzaty, Permana SH. 201. Kebijakan pengembangan produksi garam nasional. J Ekonomi & Kebijakan Publik.[Internet]. [dikutip 22 November 2012]; Dapat diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 2211657680_20866313.pdf [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012a. Data Produksi Garam Tahun 2012. Jakarta [ID]. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012b. Kebijakan Nasional Industrialisasi Kelautan dan Perikanan. Jakarta [ID]. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012c. Kebijakan Industrialisasi Kelutan dan Perikanan. Jakarta [ID]. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012d. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014. [Internet]. [dikutip 06 Januari 2013]; Dapat diunduh dari http://www.kkp.go.id/public/upload/RENSTRA %202012.PDF
68
[Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2001. Kebutuhan dan Keberadaan Garam di Indonesia. Di dalam: Baharudin S, editor. Proceeding Forum Pasar Garam Indonesia. Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal 1-14. Manadiyanto, Nasution Z. 2010. Perspektif Model Minapolitan Berbasis Produk Kelautan (Studi Kasus Usaha Pergaraman di Kabupaten Pamekasan). Di dalam: Zuham A, Purnomo AH, editor. Minapolitan dari Konsep Menuju Implementasi. Jakarta [ID]: Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Hal. 181-199. Parulian Y. 2008. Tingkat efisiensi industriasi garam industri di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur tahun 2002-2007. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. PD Sumatraco. 2001. Pengaruh Produksi Garam Rakyat Terhadap Industri Garam di Indonesia. Di dalam: Baharudin S, editor. Proceeding Forum Pasar Garam Indonesia. Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal 44-55. [Perda] Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pengendalian Peredaran Garam di Kabupaten Bima. [Permen] Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 58/MDAG/PER/9/2012 Tentang Ketentuan Garam Impor. [Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. PT APROGAKOB. 2001. Posisi Pergaraman dan Pengaruh Terhadap IndustriGaram di Indonesia. Dalam: Baharudin S, editor. Proceeding Forum Pasar Garam Indonesia. Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal 46-63. PT Garam. 2001. Teknologi Pembuatan dan Kendala Produksi Garam di Indonesia. Dalam: Baharudin S, editor. Proceeding Forum Pasar Garam Indonesia. Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal 15-36. Rachman A. 2011. Evaluasi kinerja usaha petani garam rakyat (studi kasus di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat). [tesis]. Bogor [ID]: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rakhmat J. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung [ID]: Remaja Rosdakarya. 184 hal. Rochwulaningsih Y. 2008. Marjinalisasi petani garam dan ekspansi ekonomi global: kasus di Kabupaten Rembang. [disertasi]. Bogor [ID]: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor. Roosita K, Krisnatuti D, Alfiasari, Purwandari H. 2011. Prosiding Seminar: Strategi Swasembada Garam. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. 184 hal. Singarimbun M, Effendi S (Ed). 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]:LP3ES. [YLKI] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 2001. Penanggulangan GAKY dan Perlindungan Konsumen. Di dalam: Baharudin S, editor. Proceeding Forum Pasar Garam Indonesia. Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal 64-65.
69
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
70
Lampiran 2 Dokumentasi penelitian
71
Lampiran 3 Crosstabulation
Karakteritik Individu Usia Usia * Orientasi mutu Crosstabulation Orientasi mutu Usia Rendah Tinggi f % f % Muda 10 55.5 8 44.5 Tua 13 59 9 41 Total 23 114.5 17 85.5
Usia * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Alokasi Ketenagakerjaan Usia Rendah Tinggi f % f % Muda 14 50 4 50 Tua 17 80.55 5 19.44 Total 31 77.5 9 22.5
Usia * Adaptasi teknologi Crosstabulation Adaptasi teknologi Usia Rendah Tinggi f % f % Muda 2 100 16 0 Tua 7 52.78 15 47.22 Total 9 57.5 31 42.5
Usia * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Usia Rendah Tinggi f % f % Muda 7 50 11 50 Tua 14 53.78 8 47.22 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 18 22 40
% 100 100 100
Total f 18 22 40
% 100 100 100
Total f 18 22 40
% 100 100 100
Total f 18 22 40
% 100 100 100
72
Usia * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Usia Rendah Tinggi f % f % Muda 5 0 13 100 Tua 5 27.78 17 72.22 Total 10 25 30 75
Total f 18 22 40
% 100 100 100
Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi f % f % Rendah 2 40 3 60 Tinggi 7 20 28 80 Total 9 22.5 31 77.5
Total f 5 35 40
% 100 100 100
Tingkat Pendidikan * Orientasi Mutu Crosstabulation Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi Total
f 4 19 23
Orientasi Mutu Rendah % f 80 1 54.29 16 57.5 17
Tinggi % 20 45.71 42.5
Tingkat Pendidikan * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi f % f % Rendah 1 20 4 80 Tinggi 9 25.71 26 74.29 Total 10 25 30 75
Total f 5 35 40
% 100 100 100
Total f 5 35 40
% 100 100 100
Tingkat Pendidikan * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Alokasi Ketenagakerjaan Tingkat Total Pendidikan Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 4 80 1 20 5 100 Tinggi 27 77.14 8 22.85 35 100 Total 31 77.5 9 22.5 40 100
73
Tingkat Pendidikan * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi f % f % Rendah 3 60 2 40 Tinggi 18 51.43 17 48.57 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 5 35 40
% 100 100 100
Pengalaman Kerja Pengalaman Kerja* Adaptasi TeknologiCrosstabulation Adaptas Teknologi Pengalaman Kerja Rendah Tinggi f % f % Rendah 4 19.05 17 80.95 Tinggi 5 26.32 14 73.68 Total 9 22.5 31 77.5 Pengalaman Kerja * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Alokasi Ketenagakerjaan Pengalaman Kerja Rendah Tinggi f % f % Rendah 15 71.43 6 28.57 Tinggi 16 84.21 3 15.79 Total 31 77.5 9 22.5 Pengalaman Kerja * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Pengalaman Kerja Rendah Tinggi f % f % Rendah 10 47.62 11 52.38 Tinggi 13 68.42 6 31.58 Total 23 57.5 17 42.5 Pengalaman Kerja * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Pengalaman Kerja Rendah Tinggi f % f % Rendah 9 42.86 12 57.14 Tinggi 12 63.16 7 36.84 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 21 19 40
% 100 100 100
Total f 21 19 40
% 100 100 100
Total f 21 19 40
% 100 100 100
Total f 21 19 40
% 100 100 100
74
Pengalaman Kerja * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Pengalaman Kerja Rendah Tinggi f % f % Rendah 7 33.33 14 66.67 Tinggi 3 15.79 16 84.21 Total 10 25 30 75
Total f 21 19 40
% 100 100 100
Tingkat Pengetahuan Tingkat Pengetahuan * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Tingkat Pengetahuan Rendah Tinggi f % f % Rendah 9 23.68 29 76.32 Tinggi 0 0 2 100 Total 9 22.5 31 77.5 Tingkat Pengetahuan * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Tingkat Pengetahuan Rendah Tinggi f % f % Rendah 23 60.53 15 39.47 Tinggi 0 0 2 100 Total 23 57.5 17 42.5 Tingkat Pengetahuan * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Tingkat Pengetahuan Rendah Tinggi f % f % Rendah 10 26.32 28 73.68 Tinggi 0 0 2 100 Total 10 25 30 75
Total f 38 2 40
% 100 100 100
Total f 38 2 40
% 100 100 100
Total f 38 2 40
% 100 100 100
Tingkat Pengetahuan * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Alokasi Ketenagakerjaan Tingkat Total Pengetahuan Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 30 78.95 8 21.05 38 100 Tinggi 1 50 1 50 2 100 Total 31 77.5 9 22.4 40 100
75
Tingkat Pengetahuan * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Tingkat Pengetahuan Rendah Tinggi f % f % Rendah 20 52.63 18 47.37 Tinggi 1 50 1 50 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 38 2 40
% 100 100 100
Tingkat Pendapatan Tingkat Pendapatan * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Tingkat Pendapatan Rendah Tinggi f % f % Rendah 0 0 4 100 Tinggi 9 25 27 75 Total 9 22.5 31 77.5 Tingkat Pendapatan * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Tingkat Pendapatan Rendah Tinggi f % f % Rendah 0 0 4 100 Tinggi 23 63.9 13 36.1 Total 23 57.5 17 42.5 Tingkat Pendapatan * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Tingkat Pendapatan Rendah Tinggi f % f % Rendah 0 0 4 100 Tinggi 10 27.8 26 72.2 Total 10 25 30 75
Total f 4 36 40
% 100 100 100
Total f 4 36 40
% 100 100 100
Total f 4 36 40
% 100 100 100
Tingkat Pendapatan * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Alokasi Ketenagakerjaan Tingkat Pendapatan Total Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 2 50 2 50 4 100 Tinggi 29 80.6 7 19.4 36 100 Total 31 77.5 9 22.5 40 100
76
Tingkat Pendapatan* Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Tingkat Pendapatan Rendah Tinggi f % f % Rendah 2 50 2 50 Tinggi 19 52.8 17 47.2 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 4 36 40
% 100 100 100
Intervensi Pihak Luar Penyuluhan Penyuluhan * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Penyuluhan Rendah Tinggi f % f % Rendah 4 30.7 9 69.2 Tinggi 19 70.4 8 29.6 Total 23 57.5 17 42.5 Penyuluhan * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Penyuluhan Rendah Tinggi f % f % Rendah 3 23.1 10 76.9 Tinggi 20 74.1 7 25.9 Total 23 57.5 17 42.5 Penyuluhan * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Penyuluhan Rendah Tinggi f % f % Rendah 9 69.2 4 30.8 Tinggi 1 3.7 26 96.3 Total 10 25 30 75
Total f 13 27 40
% 100 100 100
Total f 13 27 40
% 100 100 100
Total f 13 27 40
% 100 100 100
Penyuluhan * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Penyuluhan Rendah Tinggi Total
Alokasi Ketenagakerjaan Rendah Tinggi f % f % 13 100 0 0 18 66.7 9 33.3 31 77.5 9 22.5
Total f 13 27 40
% 100 100 100
77
Penyuluhan * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Penyuluhan Rendah Tinggi f % f % Rendah 10 76.9 3 23.1 Tinggi 11 40.7 16 59.3 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 13 27 40
% 100 100 100
Bantuan Modal Bantuan Modal * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Bantuan Modal Rendah Tinggi f % f % Rendah 9 36 16 64 Tinggi 0 0 15 100 Total 9 22.5 31 77.5 Bantuan Modal * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Bantuan Modal Rendah Tinggi f % f % Rendah 20 80 5 20 Tinggi 3 20 12 80 Total 23 57.5 17 42.5 Bantuan Modal * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Bantuan Modal Rendah Tinggi f % f % Rendah 6 24 19 76 Tinggi 4 26.7 11 73.3 Total 10 25 30 75
Total f 25 15 40
% 100 100 100
Total f 25 15 40
% 100 100 100
Total f 25 15 40
% 100 100 100
Bantuan Modal * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Bantuan Modal Rendah Tinggi Total
Alokasi Ketenagakerjaan Rendah Tinggi f % f % 21 84 4 16 10 66.7 5 33.3 31 77.5 9 22.5
Total f 25 15 40
% 100 100 100
78
Bantuan Modal * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Bantuan Modal Rendah Tinggi f % f % Rendah 13 52 12 48 Tinggi 8 53.3 7 46.7 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 25 15 40
% 100 100 100
Karakteristik Usaha Teknologi Teknologi * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Teknologi Rendah Tinggi f % f % Rendah 7 100 0 0 Tinggi 2 6.1 31 93.9 Total 9 22.5 31 77.5 Teknologi * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Penyuluhan Rendah Tinggi f % f % Rendah 7 100 0 0 Tinggi 16 48.5 17 51.5 Total 23 57.5 17 42.5 Teknologi * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Teknologi Rendah Tinggi f % f % Rendah 0 0 7 100 Tinggi 10 30.3 23 67.7 Total 10 25 30 75
Total f 7 33 40
% 100 100 100
Total f 7 33 40
% 100 100 100
Total f 7 33 40
% 100 100 100
Teknologi * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Teknologi Rendah Tinggi Total
Alokasi Ketenagakerjaan Rendah Tinggi f % f % 4 57.1 3 47.9 27 81.8 6 18.1 31 77.5 9 22.5
Total f 7 33 40
% 100 100 100
79
Teknologi * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Teknologi Rendah Tinggi f % f % Rendah 3 42.9 4 57.1 Tinggi 18 54.5 15 45.5 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 7 33 40
% 100 100 100
Biaya Produksi Biaya Produksi * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Biaya Produksi Rendah Tinggi f % f % Rendah 6 25 24 75 Tinggi 3 30 7 70 Total 9 22.5 31 77.5 Biaya Produksi * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Biaya Produksi Rendah Tinggi f % f % Rendah 17 56.7 13 43.3 Tinggi 6 60 4 40 Total 23 57.5 17 42.5 Biaya Produksi * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Biaya Produksi Rendah Tinggi f % f Rendah 9 30 27 Tinggi 1 10 9 Total 10 25 30
Total f 30 10 40
% 100 100 100
Total f 30 10 40
% 100 100 100
Total % 70 90 75
Biaya Produksi * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Alokasi Ketenagakerjaan Biaya Produksi Rendah Tinggi f % f % Rendah 23 76.7 7 23.3 Tinggi 8 80 2 20 Total 31 77.5 9 22.5
f 30 10 40
% 100 100 100
Total f 30 10 40
% 100 100 100
80
Biaya Produksi * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Biaya Produksi Rendah Tinggi f % f % Rendah 17 56.7 13 43.3 Tinggi 4 40 6 60 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 30 10 40
% 100 100 100
Luas Lahan Luas Lahan * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Luas Lahan Rendah Tinggi f % f % Rendah 9 28.1 23 71.9 Tinggi 0 0 8 100 Total 9 22.5 31 77.5 Luas Lahan * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Luas Lahan Rendah Tinggi f % f % Rendah 19 59.4 13 40.6 Tinggi 4 50 4 50 Total 23 57.5 17 42.5 Luas Lahan * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Luas Lahan Rendah Tinggi f % f % Rendah 9 28.1 23 71.9 Tinggi 1 12.5 7 87.5 Total 10 25 30 75 Luas Lahan * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Alokasi Ketenagakerjaan Luas Lahan Rendah Tinggi f % f % Rendah 25 78.1 7 21.9 Tinggi 6 75 2 25 Total 31 77.5 9 22.5
Total f 32 8 40
% 100 100 100
Total f 32 8 40
% 100 100 100
Total f 32 8 40
% 100 100 100
Total f 32 8 40
% 100 100 100
81
Luas Lahan * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Luas Lahan Rendah Tinggi f % f % Rendah 19 59.4 13 40.6 Tinggi 2 25 6 75 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 32 8 40
% 100 100 100
Kuantitas Hasil Produksi Kuantitas * Adaptasi Teknologi Crosstabulation Adaptasi Teknologi Kuantitas Rendah Tinggi f % f % Rendah 6 22.2 21 77.8 Tinggi 3 23.1 10 76.9 Total 9 22.5 31 77.5 Kuantitas * Orientasi Mutu Crosstabulation Orientasi Mutu Kuantitas Rendah Tinggi f % f % Rendah 17 63 10 37 Tinggi 6 46.2 7 53.8 Total 23 57.5 17 42.5 Kuantitas * Hubungan Sosial Crosstabulation Hubungan Sosial Kuantitas Rendah Tinggi f % f % Rendah 6 22.2 21 77.8 Tinggi 4 30.8 9 69.2 Total 10 25 30 75 Kuantitas * Alokasi Ketenagakerjaan Crosstabulation Alokasi Ketenagakerjaan Kuantitas Rendah Tinggi f % f % Rendah 20 47.1 7 52.9 Tinggi 11 84.6 2 15.4 Total 31 77.5 9 22.5
Total f 27 13 40
% 100 100 100
Total f 27 13 40
% 100 100 100
Total f 27 13 40
% 100 100 100
Total f 27 13 40
% 100 100 100
82
Kuantitas * Perilaku Konsumsi Crosstabulation Perilaku Konsumsi Kuantitas Rendah Tinggi f % f % Rendah 14 51.9 13 48.1 Tinggi 7 53.8 6 46.2 Total 21 52.5 19 47.5
Total f 27 13 40
% 100 100 100
83
RIWAYAT HIDUP Nina Lucellia (penulis) merupakan anak perempuan yang lahir di Jember pada tanggal 14 April 1991. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan H. Ir. Agus Dwi Wahyudi dan Hj. Ir. Sugiati. Penulis merupakan keturunan dari suku Jawa-Madura. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-kanak Kusuma Bangsa pada tahun 1995-1997, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar (SD) Karangharjo III Glenmore, Banyuwangi pada tahun 1997-2000. Dikarenakan orang tua penulis dipindahtugaskan ke Banyuwangi Utara, sehingga ketika kelas 4 SD penulis melanjutkan sekolah di SD Negeri Watukebo III pada tahun 20002002. Saat kelas 6 SD, penulis tinggal bersama neneknya di Bondowoso, sehingga penulis melanjutkan sekolah hingga lulus di SD Negeri Dabasah 1 Bondowoso. Setelah lulus, penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bondowoso tahun 2003-2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Jember tahun 2006-2009. Setelah lulus Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) hingga saat ini. Selama masa kuliah penulis aktif di beberapa organisasi dan kegiatan kemahasiswaan serta event-event sosial hingga umum. Penulis merupakan anggota Organisasi Daerah (OMDA) Ikatan Mahasiswa Jember-Bogor (IMJB), selain itu penulis merupakan sukarelawan “Pengajar Keren” dan tim event dari sebuah komunitas peduli anak jalanan yaitu “Save Street Child”. Penulis sempat menjadi pengurus divisi Event Organiser (EO) dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Music Agriculture X-Pression!! (MAX!!), penulis juga terlibat dalam tim marketing majalah Komunitas FEMA. Pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) menjadi anggota divisi Research and Development pun pernah dijabat, selain itu penulis pernah menjadi sukarelawan pengajar kegiatan “Kami Berbakti” putaran ke-2 yang diadakan oleh Youth Act For Indonesia (YAFI).Penulis juga aktif sebagai pengurus divisi Sosial dan Lingkungan dalam Indonesia Youth Act (IYA) regional Bogor.