PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh: BIER JANNAH 105034001236
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H/2010 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul “Pandangan AL-TÛSÎ Terhadap Ayat-ayat Hukum Dalam Tafsir AL-TIBYÂN” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi Tafsir Hadis.
Ciputat,17 Juni 2010 Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. M. Suryadinata, M.Ag (19600908 198903 1 005)
Rifqi Muhammad Fathi, M.A (1977012 200312 1 003)
Anggota
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.Ag (19711003 199903 2 001)
Drs. A. Rifqi Mukhtar, MA (19690822 199703 1 002)
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan hidayah-Nya, serta tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul“PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN.”
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan, dan kontribusi dari banyak pihak. Ucapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga, penulis haturkan kepada yang teristimewa Papi dan Mami tersayang. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. 2. Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis khususnya dalam bidang hadis. 3. Rifqi Muhammad Fathi, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. 4. Dr. Suryadinata, M.A., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah membimbing penulis dan memberikan banyak masukan dalam penulisan skripsi ini. 5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada Program Studi Tafsir Hadis (TH) atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman
ii
yang mendorong penulis selama menempuh studi. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama. 7. Papi dan Mami tercinta yang selalu menjadi Inspirasi dan mendampingi penulis lewat doa-doanya, yang telah merawat penulis dengan kelembutan dan cinta kasihnya, serta selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. 8. Untuk Keluargaku, dr Anas, dr Erna, Erni, Alfi, Atul, Habibie, Raya yang selalu memberi support. Keceriaan dan keusilan kalian yang membuat semangat. Makasih ya… 9. Keponakanku Juan, Radja, Daffa, Sultan, Jela, Ghia, Azka, Ihkam yang selalu bikin semangat dan Bahagia. Cinta sayang kalian… 10. Laode Muhammad Aswin yang telah memberikan dukungan, semangat, dan selalu sabar dalam menghadapi penulis. 11. Seluruh teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2005. (Ulfah, Sasha, Nophy, Ziah, Sri, Amar, Zulkarnain, Muhsin, Ummi, Nouval, Day, Afif, Hadi, Hafid, Irfan, Lukman, Sahid, Suryadi, Syamsul, Wasih, Tezar, dan Yasir…). Makasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun. 12. Dan pihak-pihak yang telah membantu penulis, tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga Allah swt. membalasnya.
iii
Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang masih sedikit, referensi, dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari sempurna. Namun, penulis telah berusaha menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis sebagai manusia. Oleh karena itu, mohon saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis berharap semoga Allah swt. memberikan balasan yang lebih baik kepada semua pihak pada umumnya. Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar, semoga skripsi ini bermanfaat untuk para pembaca, dan semoga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah swt.. Hanya kepada Allah penulis memohon, semoga jasa baik yang kalian sumbangkan menjadi amal shaleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah swt.. Amin…
Ciputat, 17 Juni 2010
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI................................................................................................... i KATA PENGANTAR.................................................................................... ii DAFTAR ISI................................................................................................... v PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... vii BAB I
PENDAHULUAN................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................ 6 C. Pembatasan Masalah ........................................................... 7 D. Perumusan Masalah............................................................. 7 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................ 7 F. Metodologi Penelitian.......................................................... 8 G. Sistematika Penulisan.......................................................... 11
BAB II
RIWAYAT HIDUP AL-TÛSÎ............................................... 13 A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karirnya ......... 13 B. Karya Ilmiah al-Tûsî............................................................ 15 1. Kitab al-Tahdzîb .............................................................. 15 2. Kitab al-Istibsâr ............................................................... 16 3. Kitab al-abwâb................................................................. 16 4. Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’an ......................................... 16 C. Profil Tafsir al- Tibyân........................................................ 17 1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan ............................. 17
v
2. Metode Penafsirannya ..................................................... 18 3. Pandangan al-Tûsî dalam Tafsir al-Tibyân...................... 19 D. Al- Tûsî dan Fiqh Syi’ah..................................................... 23 BAB III
METODE
DAN
PRINSIP AL-TÛSÎ DALAM
MENAFSIRKAN AL-QUR’AN............................................ 26 A. Metode Penafsiran Al-Tûsî ................................................. 26 B. Prinsip Penafsiran Al-Tûsî .................................................. 29 1. Al-Qur’an mempunyai makna zahir dan makna batin..... 29 2. Hakikat Muhkamat dan Mutasyabihat............................. 33 3. Ta’wil yang Hakiki dalam al-Qur’an............................... 37 4. Al-Qur’an dan Nasikh - Mansukh .................................. 42 BAB IV
PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN ........................................... 45 A. Hukum Ibadah ..................................................................... 45 1. Shalat Qasar ................................................................... 45 2. Shalat Jama’ ................................................................... 46 3. Shalat Jum’at.................................................................. 47 4. Puasa .............................................................................. 48 5. Wudhu’........................................................................... 49 6. Zakat dan Khûmus ......................................................... 50 B. Hukum Mu’amalah.............................................................. 52 1. Nikah Mut’ah ................................................................. 52 2. Riba’............................................................................... 55
vi
3. Pernikahan dengan Perempuan Ahli Kitab .................... 55 4. Thalaq............................................................................. 57 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 61 B. Saran-saran......................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin Huruf Arab
Huruf Latin
ا
Keterangan tidak dilambangkan
ب
B
Be
ت
T
Te
ث
Ts
te dan s
ج
J
Je
ح
H
ha dengan garis di bawah
خ
Kh
ka dan ha
د
D
De
ذ
Dz
de dan zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
ش
Sy
es dan ye
ص
S
es dengan garis di bawah
ض
D
de dengan garis di bawah
ط
T
te dengan garis di bawah
ظ
Z
zet dengan garis di bawah
ع
‘
koma terbalik ke atas dengan menghadap ke kanan
viii
غ
G
Ge
ف
F
Ef
ق
Q
Ki
ك
K
Ka
ل
L
El
م
M
Em
ن
N
En
و
W
We
هـ
H
Ha
ء
Apostrof
’
ي
Y
Ye
Vokal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
أ
A
Fathah
إ
I
Kasrah
أ
U
ḏammah
Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab يأ وأ
Tanda Vokal Latin
Keterangan
Ai
a dan i
Au
a dan u
ix
Vokal Panjang (Mad) Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
أا
Â
a dengan topi di atas
إي
Î
i dengan topi di atas
أﻮ
Û
u dengan topi di atas
Ta Marbūtah No
Kata Arab
Alih Bahasa
1
ﻄﺮﻴﻗﺔ
Tarîqah
2
اﻠﺠﺎﻤﻌﺔ اﻹﺴﻼﻤﻴﺔ
al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3
ﻮﺤﺪة اﻠﻮﺠﻮﺪ
wahdat al-wujûd
x
BAB I PENDAHULUAN PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah firman Allah yang dibawa oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Secara istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah yang menjadi mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir dan dinilai ibadah ketika membacanya. 1 Ia merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menduduki peringkat teratas, serta seluruh ayat-ayatnya berstatus qat‘iy alwurûd yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah swt. 2 Dengan demikian,
autentisitas
serta
orisinalitas
Al-Qur’an
benar-benar
dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena ia merupakan wahyu Allah swt, baik dari segi lafaz maupun dari segi maknanya. 3 Dalam tradisi pemikiran Islam, Al-Qur’an telah melahirkan sederatan teks turunan yang demikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan tersebut merupakan teks kedua yang menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di dalamnya. Teks kedua ini dikenal sebagai literatur tafsir Al-Qur’an
1
Amir ‘Abd al-‘Aziz, Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Furqân, 1983), h. 10. Lihat juga Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran Antara Tafsir Sunni dan Tafsir Syi‘i Terhadap Lafaz-Lafaz Musytarak Lafdzi Dalam Al-Qur’an, selanjutnya dinamai Perbandingan Penafsiran, (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 1. 2
‘Abd al-Wahâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1968), cet. ke- 8, h. 21. 3
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, h. 23.
1
2
yang ditulis oleh para ulama dengan kecenderungan dan karateristik masing-masing. Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an memiliki susunan indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui oleh sastrawan Arab. Mereka melihat, bahwa Al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz Arab, akan tetapi ia bukan puisi, prosa, atau sya’ir. Bahasa atau kalimat-kalimat Al-Qur’an merupakan kalimat-kalimat yang menakjubkan yang berbeda dengan kalimat-kalimat selain Al-Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang nyata. Ia merupakan wahyu Allah yang mempergunakan berbagai macam bentuk redaksi. Redaksi yang dipergunakan tersebut merupakan salah satu kemukjizatan yang dimilikinya. 4 Sehubungan dengan hal itu, manusia dituntut agar berusaha mencurahkan segala potensi insaninya untuk menggali isi kandungan Al-Qur’an melalui penafsiran terhadap lafaz-lafaznya. Hasil usaha manusia dalam memahami dan menjelaskan makna serta maksud firman Allah swt tersebut dikenal dengan istilah tafsir. Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman. Tanpa tafsir, seorang muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Allah swt yang terkandung dalam Al-Qur’an.
4
Mutawalli Sya‘rawi, Mu‘jizât al-Qur’an, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1998), h. 54.
3
Upaya penafsiran Al-Qur’an telah berjalan sejak kitab suci ini masih diturunkan kepada Rasulullah saw. Dialah orang pertama yang menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw wafat, maka usaha penafsiran Al-Qur’an dilanjutkan oleh para sahabat, kalangan ulama tabi’in dan seterusnya hingga generasi umat Islam berikutnya. 5 Tafsir merupakan suatu kajian ilmiah yang sangat luas. Ia memiliki berbagai macam segi dan makna. Seorang mufasir hanya mampu menafsirkan AlQur’an sesuai dengan kemampuan dan hak otoritas keilmuannya. Dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh seorang mufasir tersebut, maka lahirlah suatu tafsir yang mempunyai kecenderungan terhadap bidang-bidang tertentu sebagai indikator adanya spesialisasi para mufasir itu sendiri. Berdasarkan kondisi seperti ini, maka aliran teologi, mazhab dalam fiqh dan aliran tasawuf yang dianut oleh mufasir, sangat berpengaruh terhadap cara penafsiran mereka. Dengan demikian, lahirlah tafsir-tafsir yang bercorak teologi, hukum, tasawuf, dan lain-lain. 6 Sejalan dengan minat dan semangat kaum muslimin untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al-Qur’an, maka upaya penafsirannya terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf pada masa sekarang. Pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, pemahaman dan penafsiran terhadap AlQur’an, tidaklah mendapat suatu kesulitan. Hal ini disebabkan karena segala persoalan
dapat
ditanyakan
langsung
kepada
5
Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 6.
6
Lihat Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 6.
Rasulullah
saw.
Dalam
4
perkembangan selanjutnya, ketika Islam semakin menyebar dan meluas, maka semakin banyak pula tantangan dan permasalahan yang timbul. Salah satu di antara permasalahan yang timbul pada masa perluasan dan penyebaran Islam adalah tragedi suksesi kekhalifaan ‘Usman r.a kepada ‘Ali r.a yang diwarnai dengan persaingan politik. Peristiwa tersebut mengakibatkan munculnya berbagai aliran dalam Islam serta menimbulkan penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan corak dan warna serta latar belakang doktrin aliran masing-masing. Setiap kelompok mengklaim bahwa pendapat dan keyakinannyalah yang Qur’ani, walaupun pendapatnya tersebut hanya berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an saja. Di antara corak dan warna penafsiran Al-Qur’an yang muncul sebagai akibat dari peristiwa tersebut adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Syi’i dan ulama Sunni. Ulama Syi’i berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kapasitas mereka sebagai ahlul bait. Di antara mereka banyak muncul ulama dan mufasir yang terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut antara lain, Syi’i Zaidiyah, Ismailiyah, Bathiniyyah, Nizariyah, Musta’liyah, Duquqiyah, Muqanna’ah, Isnâ ‘Asyariyah, dan lain-lain. 7
7
Syi’ah adalah golongan atau pengikut Ali bin abi Thalib. Aliran yang dianut oleh AlTûsî adalah Isnâ ‘Asyariyyah. Syi‘i tidak mengalami timbulnya sesuatu golongan selama masa keimaman ketiga imam, yaitu Ali, Hasan, dan Husain. Setelah kesyahidan Husain, aliran Syi‘i terbagi ke dalam beberapa kelompok. Hal ini disebabkan karena perbedaan pandangan terhadap keimaman (kepemimpinan). Mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) menerima keimaman Ali bin Husain al-Sajjâd sebagai imam keempat, sedangkan sekelompok minoritas berpandangan bahwa yang berhak menjadi imam adalah Muhammad bin Hanafiyah (putra khalifah Ali yang ketiga). Kelompok ini disebut dengan Syi‘i Kisâniyyah. Selain itu, mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) menerima Muhammad al-Bâqir sebagai imam yang kelima, sedangkan minoritas Syi‘i berkeyakinan bahwa yang harus menjadi imam yang kelima adalah Zaid al-Syâhid. Kelompok ini disebut dengan Syi‘i Zaidiyah. Semenatara itu, perpecahan kelompok Syi‘i semakin bertambah setelah sampai pada pengangkatan imam yang ketujuh. Mayoritas Syi‘i (Isnâ ‘Asyariyyah) berpandangan bahwa yang berhak menjadi imam yang ketujuh adalah Musa al-Kâzim, sedangkan minoritas Syi‘i lainnya berkeyakinan bahwa yang harus menjadi imam yang ketujuh adalah Isma’il (putra imam keenam yang tertua). Kedua kelompok Syi‘i ini, baik minoritas (Zaidiyah dan
5
Sementara itu, ulama Sunni juga berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka. Mereka berpedoman pada keyakinannya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, kedua aliran mufasir (Sunni-Syi’i) tersebut memiliki banyak perbedaan dan persamaan, baik dalam masalah aqidah, hukum,
mu‘amalah, dan lain-lain. Kedua aliran mufasir ini
berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Al-Tûsî merupakan salah seorang mufasir Syi’i yang pertama kali menafsirkan Al-Qur’an di kalangan Syi’i secara menyeluruh. Ia juga merupakan mufasir Syi’i yang mempelopori penolakan pandangan akan penambahan dan pengurangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dianut oleh sebahagian mufasir Syi’i sebelumnya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî bersumber pada AlQur’an itu sendiri, penafsiran Nabi saw, pandangan imam ahlul bait, serta hadishadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya. Tafsir al-Tibyân merupakan tafsir yang paling monumental dan berpengaruh di kalangan Syi’i. Banyak mufasir Syi’i yang menjadikan tafsir alTibyân ini sebagai rujukan utama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah al-Tabarsî dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, al-Taba’tabai dengan tafsirnya al-Mîzân, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga banyak mencontoh metode dan sistematika al-Tûsî dalam menafsirkan ayat-ayat AlQur’an. Ismailiyah), maupun mayoritas (Isna ‘Asyariyyah) masih ada hingga sekarang. Adapun Syi’ah minoritas selain Zaidiyah dan Isma’ilyah semuanya telah lebur dalam waktu yang singkat. Lihat Islam Syi’ah; Asal-usul dan Perkembangannya, terjemahan dari al-Tabâtabâi, Shi’te Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1989), cet. ke-1, h. 79-91. Lihat Juga Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 7.
6
Tafsir al-Tibyân yang disusun oleh al-Tûsî merupakan tafsir Syi’i pertama yang moderat. Hal ini disebabkan karena al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an, selain mengambil riwayat-riwayat dari imam ahlulbait, ia juga mengambil riwayat para sahabat yang bukan Syi’i. Tafsir ini memiliki kesamaan dengan jumhur ahli tafsir, kecuali dalam masalah riwayat imam yang disejajarkan dengan nabi. Dalam tafsir ini pula, al-Tûsî menempatkan riwayat-riwayat imam di atas periwayatan para sahabat. Adapun di antara alasannya adalah karena para imam mendapatkan riwayat dari Ali r.a dan Ali mendapatkannya langsung dari Rasulullah saw. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, al-Tûsî juga tetap menempatkan riwayat imam ahlulbait di atas periwayatan para sahabat lainnya, dan apabila riwayat-riwayat para sahabat yang bukan Syi’i tersebut bertentangan dengan riwayat imam ahlulbait, maka riwayat tersebut tidak dipakai oleh al-Tûsî. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merasa terpanggil guna berperan aktif mencoba meneliti “Pandangan al-Tûsî Terhadap AyatAyat Hukum Dalam Tafsir Al-Tibyân”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka identifikasi masalah yang penulis teliti dalam skripsi ini adalah: 1.
Bagaimana penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan hukum ibadah;
2.
Bagaimana penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan hukum mu‘amalah;
7
3.
Bagaimana prinsip al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an;
4.
Bagaimana metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an;
5.
Apa yang menjadi sumber al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an;
6.
Bagaimana pendapat al-Tûsî terhadap para sahabat selain ahlul bait yang menafsirkan Al-Qur’an.
1. Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalaha pada hukum ibadah, hukum mu‘amalah, dan Bagaimana prinsip dan metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur'an.
2. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan pokok yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana metodologi penfsiran al-Tûsî dan bagaimana pandangannya terhadap ayat-ayat ahkam dalam tafsir Al-Tibyân.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dari serangkaian penelitian dan penulisan skripsi ini, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisa secara mendalam tentang penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an. 2. Untuk mengkaji prinsip-prinsip al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an.
8
3. Untuk mengkaji metode al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an.
2. Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk pengembangan ilmu lebih lanjut dan lebih mendalam. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi umat Islam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ayat-ayat hukum. 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi umat Islam dalam memahami penafsiran al-Tûsî sebagai mufasir Syi’i. 4. Penulis dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai dorongan dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.
D. Metodologi Penelitian Ada dua aspek metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu: 1) Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, penulis melakukan penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang relevan dengan pokok masalah, penulis juga meneliti dengan menggunakan sumber tertulis, baik primer maupun sekunder. Adapun sumber primer, yaitu: kitab suci Al-Qur’an. Mushaf yang penulis gunakan sebagai pegangan adalah
9
mushaf al-Qur’ân al-Karîm yang diterbitkan oleh Dâr al-Salâm, (Kairo: cet. ke-1, 1994). Dan kitab tafsir al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur'an oleh al-Tûsî (w. 460 H). 8 . Sedangkan sumber sekunder, yaitu: kitab ‘ulûm al-Qur’an, baik dari Sunni maupun Syi’i yang dianggap representatif mewakilinya. Adapun di antara kitab yang penulis pergunakan dalam membahas tentang metode dan prinsip penafsiran al-Tûsî adalah sebagai berikut: a. Al-Qur'an fi al-Islâm oleh al-Taba’tabai. b. Shi'te Islam oleh al-Tabâ’tabâi. c. A‘yân al-Syi‘ah oleh Sayyid Muhsin al-Amin. d. Haqîqah al-Syî‘ah oleh Abdullah bin Abdullah al-Musuli. e. Al-Tafsîr wa Manâhijuh oleh Mahmud Basuni Auda' (Sunni). f. Ma‘a al-Syi‘ah al-Isnâ ‘Asyariyyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ Dirâsah Muqâranah fî al-‘Aqâ‘id wa al-Tafsîr oleh ‘Ali Ahmad al-Salus (Sunni). g. Al-Syi‘ah al-Isnâ al-‘Asyariyyah wa Manhajuhum fî Tafsîr al-Qur'an alKarîm oleh Muhammad Muhammad Ibrahim al-‘Assal. h. The Shiites: Ritual and Populer Piety in a Muslim Community oleh David. 2. Metode Pembahasan Dalam penulisan pembahasan skripsi ini, penulis mempergunakan pendekatan ilmu tafsir. Hal ini disebabkan karena obyek studinya adalah ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam ilmu tafsir dikenal empat metode penafsiran Al-Qur’an, yaitu:
8
Untuk mengetahui alasan penulis terhadap pemilihan akan kitab tafsir tersebut dapat dilihat pada halaman 25.
10
tahlili, 9 metode ijmâli, 10 metode muqârin, 11 dan metode maudu’i. 12 Keempat metode ini diterapkan oleh para mufasir Sunni dan mufasir Syi’i. Adapun dalam kajian ini, penulis menggunakan metode ijmâli dan maudu’i. Hal ini disebabkan karena kajian skripsi ini menyangkut penafsiran al-Tûsî tentang ayat-ayat hukum. Kemudian, penulis juga menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan atau memaparkan secara umum mengenai penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat hukum dan menganalisanya dengan cara mengumpulkan dan menginterpretasikan data yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005/2006.
9
Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an Mushaf ‘Ustmani. Lihat Zahir ibn Awad al-Alma‘i, Dirâsât fi Tafsir al-Maudhu‘i li Al-Qur’ân al-Karim, (Riyadh: tp, 1984), h. 18. 10
Tafsir metode ijmâli adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Melalui metode ini, mufasir menjelaskan maknamakna ayat-ayat Al-Qur’an secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surat-surat AlQur’an. Lihat ‘Abd al-Hay al-Farmawi, selanjutnya disebut al-Farmawi, al-Bidâyah fi Tafsir alMaudhu‘i: Dirâsât Manhajiyyah Maudhû‘iyyah, selanjutnya disebut al-Bidâyah, (t.tp: tp, 1977), h. 23. 11
Tafsir muqârin adalah tafsir yang menggunakan cara perbandingan (komparasi). Objek kajiannya terdiri dari tiga macam, yaitu: pertama, perbandingan ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain; kedua, perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadis; ketiga, perbandingan mufasir dengan mufasir lainnya. Lihat al-Farmawi, al-Bidâyah, h. 45. 12
Secara semantik, tafsir maudhu‘i berarti tafsir tematis. Metode ini mempunyai dua bentuk, yaitu: pertama, tafsir yang membahas satu surat Al-Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain; kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu bahasan tema tertentu. Lihat al-Farmawi, alBidâyah, h. 52.
11
E. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang global tentang isi skripsi ini, maka berikut dikemukakan isi dari skripsi dalam garis-garis besarnya. Skripsi ini terbagi dalam lima bab yang masing-masing utuh dan integral sekaligus mendukung kesimpulan yang diketengahkan. Bab I berupa pendahuluan. Bab ini harus diletakkan pada awal skripsi, karena ia berisi tentang hal-hal yang akan memberikan gambaran umum dari penelitian ini. Bab ini dibagi dalam sub-sub bagian yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Pada bab II, penulis akan membahas tentang latar belakang al-Tûsî. Pembahasan ini mutlak dimasukkan untuk mengemukakan perjalanan ilmiah dari penulis tafsir al-Tibyân. Dalam bab ini, penulis membaginya dalam sub-sub bagian yang menjelaskan tentang latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan dan karirnya, karya ilmiah al-Tûsî, serta profil tafsir al-Tibyân. Pada bab III, penulis akan menguraikan tentang metode dan prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pembahasan ini mutlak dimasukkan untuk mengetahui cara penafsiran al-Tûsî terhadap Al-Qur’an. Pada bab ini, penulis menguraikan tentang metode dan prinsip al-Tûsî terhadap penafsiran Al-Qur’an dalam hal muhkam dan mutasyabih, zahir dan batin, ta'wil, serta nasikh dan mansukh. Pada bab IV, penulis membahas tentang penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-
12
ayat hukum. Pembahasan ini merupakan inti penelitian dari skripsi ini. Dalam bab ini, penulis mengklasivikasikan penafsiran al-Tûsî tersebut ke dalam sub-sub bagian yang meliputi penafsiran bidang hukum ibadah dan hukum mu‘amalah. Dalam bab V, penulis mengakhirinya dengan penutup. Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran penulis kepada para pembaca pada khususnya dan kaum muslimin pada umumnya.
BAB II RIWAYAT HIDUP AL-TÛSÎ
A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karirnya Nama lengkap al-Tûsî adalah Syaikh Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali al-Tûsî dan dalam perjalanan hidupnya dikenal dengan sebutan Syekh alTûsî. Ia dilahirkan di Tus (Khurasan) pada bulan Ramadhan tahun 385 H. Syekh al-Tûsî pertama kali menerima pendidikannya di Iran. Ketika berumur 23 tahun (408 H), ia pergi ke Irak dan menetap di Baghdad. Pada masa itu, Baghdad di bawah pemerintahan dinasti Abbasyiah dan menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Baghdad adalah pusat peradaban dan para sarjana serta kaum intelektual dunia berdatangan ke kota itu untuk menuntut ilmu. Sosok terkemuka yang hidup di Baghdad ketika al-Tûsî berada di kota tersebut adalah Syekh Mufîd yang tinggal di lingkungan kaum Syi’ah di Karkah sebuah tempat elit dan kaya raya. Syekh Mufîd merupakan sosok yang memiliki pengaruh
dan
terhormat
di
masyarakat.
Ia
seorang
intelektual
yang
berpengetahuan luas dan mendalam tentang segala bidang kehidupan. Dia juga seorang penyair dan kritikus kesusastraan. Pada syekh Mufîd inilah, al-Tûsî memulai
pelajarannya.
Al-Tûsî
masuk
dan
belajar
pada
kelas
yang
diselenggarakan oleh Syekh Mufîd. 1 Syekh al-Tûsî belajar di bawah bimbingan Syekh Mufîd selama lima tahun. Selama itu, ia tidak pernah mengabaikan pelajaran gurunya walaupun 1
Muhammad Ja‘far, Al-Ishtibshâr, (Teheran: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 390 HQ), h. 45-
48.
13
14
sesaat. Dia juga mengikuti pelajaran yang diberikan para sarjana lainnya, seperti Ibnu Abu Junaid al-Baghdadi, Ibn Sultan Ahwazi, Abdullah Ghazairi, dan Ibnu Abduh. Al-Tûsî belajar dari para sarjana tersebut tentang ilmu hukum Islam dan ilmu periwayatan hadis. Pada usia 25 tahun, Syekh al-Tûsî menulis sebuah uraian tentang karya Syekh Mufîd yang berjudul al-Muqnâ. Al-Muqnâ adalah sebuah buku tentang ilmu hukum agama. Kitab ini berisikan kumpulan hadis-hadis Syi’ah. Kitab ini pula yang banyak memberikan inspirasi kepada al-Tûsî dalam menyusun karyakaryanya. Syekh al-Tûsî merupakan sosok yang cerdas dan sangat mengagumkan. Ia memiliki prestasi yang sangat luar biasa. Gelar yang dianugerahkan kepadanya adalah gelar yang layak didapatkan oleh seorang pakar yang usianya sudah tua. Ia belajar pada berbagai syekh yang ternama ketika itu, terutama Syekh Mufîd. Setelah Syekh Mufîd meninggal dunia, al-Tûsî belajar di bawah bimbingan seorang fâqih Syi’i (Muhammad bin Nu‘man) yang terkenal dengan sebutan Sayyid al-Murtadhâ. Ia hidup bersama Syaikh Muhammad bin Nu‘man selama 13 tahun. Dari Sayyid Murtadâ ini, al-Tûsî belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan Syi’ah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Pada tahun 468 H, al-Tûsî meninggalkan Baghdad dan menetap di Najaf Asyraf yang ketika itu Najaf merupakan sebuah dusun kecil. Setelah al-Tûsî berada di Najaf, lambat laun Najaf menjadi pusat pembelajaran bagi orang Syi’ah serta banyak kalangan yang dari segala penjuru dunia yang berdatangan ke Najaf
15
untuk menimba ilmu agama. Syekh al-Tûsî juga mendirikan perguruan tinggi agama pertama di Najaf. Di kalangan Syi’i, al-Tûsî termasuk ulama besar yang paripurna dan mujtahidnya kaum muslimin. Hampir semua rujukan Syi’i berujung padanya dan dalam masa yang lama, kaum Syi’i memandang bahwa hadis-hadis yang diriwayatkannya dijadikan sebagai prinsip-prinsip yang mereka terima secara utuh. 2 Ia adalah seorang yang jujur, faqîh, berpengatahuan luas, ahli dibidang usûl, ilmu kalam, ilmu hadis, dan lain-lain. Ia terkenal dengan sebutan Syaikh alTâifah yang terus menerus memberikan pelajaran dan menulis sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada tahun 460 H dalam usia 75 tahun.
B. Karya Ilmiyah Al-Tûsî Imam al-Tûsî merupakan mufasir yang produktif. Ia banyak melahirkan karya-karya yang sangat bermanfaat, diantaranya: 1. Kitab al-Tahdzîb Kitab ini berisikan kumpulan dari 13.590 hadis. Pada permulaan buku ini, al-Tûsî menuliskan tentang hadis-hadis menurut riwayat Syi’ah kemudian menguraikan tentang penolakan-penolakan golongan Ahli Sunnah terhadap hadis tersebut. Penjelasan hadis-hadis tersebut juga sekaligus merupakan penjelasan kritikan terhadap riwayat-riwayat dalam kitab-kitab golongan Ahli Sunnah yang dianggap bertentangan.
2
Lihat Mahmûd Bashûni Faudâ', al-Tafsir wa Manâhijuh, (Kairo: Matba‘ah al-Amânah, 1397 H), h. 147-145.
16
Dalam kitab ini pula, al-Tûsî menjawab penolakan-penolakan golongan Ahli Sunnah terhadap hadis-hadis Syi’ah. Dalam penolakannya, al-Tûsî menjelaskan bahwa keragu-raguan dari golongan Ahli Sunnah hanyalah membuai mereka yang kurang sempurna pengetahuannya dan mereka yang tidak mampu memahami arti kalimat-kalimat hadis dari berbagai sudut. Maka dari itu, mereka tidak mampu untuk memahami jenis perbedaan-perbedaan. 2. Kitab al-Istibsâr. Kitab ini membahas sebanyak 5511 hadis. Kitab ini merupakan kumpulan dari hadis-hadis Syi’ah. Kita ini merupakan kitab yang dijadikan sebagai salah satu rujukan utama dari kalangan Syi’ah. Kualitas kitab ini berada satu tingkat di bawah kitab al-tahdzîb. Kedua kitab ini dipandang sebagai sumber-sumber yang tidak tertandingi dalam masalah fiqh dan termasuk dalam empat kitab fiqih yang menjadi tumpuan kajian kaum Syi’i Isnâ ‘Asyariyyah. 3. Kitab al-abwâb Dinamakan dengan al-abwâb karena kitab tersebut tersusun dari urutanurutan bab sebanyak bilangan sahabat Nabi Muhammad saw dan sahabat dari tiap-tiap dari para imam yang dua belas. Kitab ini juga membahas tentang prinsip-prinsip akidah, membahas masalah tauhid, dan masalah keadilan. 4. Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’an, dan lain-lain. Kitab ini merupakan penafsiran seluruh ayat Al-Qur’an mulai dari alFâtihah
sampai
dengan
al-Nâs.
Kitab-kitabnya
tersebut
memenuhi
perpustakaan-perpustakaan Syi’i, sehingga nama beliau menjulang tinggi.
17
C. Profil Tafsir al-Tibyân 1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan Tafsir al-Tibyân merupakan kitab tafsir lengkap paling awal di kalangan kaum Syi’i Isnâ ‘Asyariyyah. Hal ini diisyaratkan sendiri oleh al-Tûsî dalam muqaddimah al-Tibyân. Kitab tafsir ini pertama kali dicetak di kota Najaf alAsyraf dan saat ini telah beredar di beberapa negara. Dalam penulisan kitab tafsirnya ini, al-Tûsî selain mengambil riwayat dari imam-imam Syi’i, juga mengambil riwayat-riwayat dari imam Bukhari dan Muslim. Dalam tafsir ma’tsûr-nya, terdapat riwayat dari jalur ‘Aisyah dan Abu Hurairah. Adapun tujuan penulisan tafsir al-Tibyân adalah seperti yang dikemukakan oleh al-Tûsî dalam muqaddimah al-Tibyân-nya: “Tujuan kitab ini adalah untuk mengetahui makna-makna Al-Qur’an dan ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Adapun pembicaraan tentang adanya penambahan dan pengurangan di dalamnya, maka tidaklah patut untuk dikemukakan. Hal ini disebabkan karena telah terdapat kesepakatan ( ijmâ‘ ), bahwa isu tentang adanya penambahan atau kekurangan dalam Al-Qur’an adalah isu yang batil serta jelas ditentang oleh semua mazhab kaum muslimin. Isu tersebut juga tidak sejalan dengan pandangan yang sahih dari mazhab Syi’i. Seandainyapun isu tentang adanya pengurangan dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu memang ada, ia tidaklah dapat menggoyahkan kandungan Al-Qur’an”. 3 Selain itu, al-Tûsî juga mengatakan: “Ketahuilah telah jelas dari khabarkhabar sahabat kita bahwa penafsiran Al-Qur’an tidak boleh dilakukan kecuali dengan atsar yang sahih dari Rasulullah saw dan juga dari para imam r.a. Perkataan imam adalah hujjah bagaikan perkataan nabi saw, dan bahwa penafsiran yang berdasarkan akal itu tidaklah boleh”. Menurut ia, bahwa dalam firman Allah swt. dan sabda Rasul-Nya tidak akan ada perselisihan dan pertentangan. Hal ini 3
Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid I, h. 8.
18
didasarkan pada firman Allah swt yang terdapat dalam surat Ibrâhîm/14: 4:
ْﻦ َﻟ ُﻬﻢ َ ن َﻗﻮْ ِﻣ ِﻪ ِﻟ ُﻴ َﺒ ﱢﻴ ِ ﻻ ِﺑِﻠﺴَﺎ ل ِإ ﱠ ٍ ْﺳﻮ ُ ﺳﻠْﻨَﺎ ِﻣﻦْ ﱠر َ َْوﻣَﺎ َأر “Kami tidak mengutus rasul seorangpun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”.
2. Metode Penafsirannya Dalam tafsir al-Tibyân, al-Tûsî menempuh metode tahlili dengan membagi pembahasannya dalam tujuh bahagian. Setiap bahagian dimulai dengan sebuah ayat Al-Qur’an atau lebih kemudian dilanjutkan dengan pembahasan beberapa topik masalah satu demi satu. Pembahasan topiknya dimulai dengan pembahasaan qira’at, lalu dilanjutkan dengan argumentasi ( hujjah ), bahasa, nuzum (urutan), nuzûl, i‘râb, lalu diakhiri dengan makna ayat. Al-Tûsî sangat ahli dalam setiap bahagian tersebut. Dalam membahas makna-makna lughawi dari setiap kata, pembahasannya sangat mendalam, keterangannya sangat jelas dalam menjelaskan ayat-ayat yang mujmal, serta apabila ia membahas tentang asbab nuzul keterangan-keterangan yang diberikannya sangat jelas dan mencapai sasaran. Dalam tafsir ini pula, al-Tûsî menghimpun riwayat-riwayat dan pandangan-pandangan dalam beragam masalah kemudian menghubungkan masalah-masalah tersebut dengan cabang ilmu pengetahuan yang menunjang penafsiran tentang Al-Qur’an.
19
3. Pandangan al-Tûsî dalam Tafsir al-Tibyân Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Tûsî menjelaskan bahwa makna-makna Al-Qur’an itu mempunyai empat bahagian, yaitu:4 a. Bagian yang hanya Allah swt saja yang mengetahui akan makna-maknanya. Di antara contoh ayat yang termasuk dalam bahagian ini adalah surat alA‘râf/7: 187:
ﻻ ُه َﻮ ﺠﱢﻠﻴْﻬَﺎِﻟ َﻮﻗْ ِﺘﻬَﺎ ِإ ﱠ َ ﻻ ُﻳ َ ﻋﻨْ َﺪ رَﺑﱢﻲ ِ ﻋﻠْ ُﻤﻬَﺎ ِ ن ُﻣﺮْﺳَﻬَﺎ ُﻗﻞْ إِ ﱠﻧﻤَﺎ َ ﻋ ِﺔ َأﻳﱠﺎ َ ﻦ اﻟﺴﱠﺎ ِﻋ َ ﻚ َ َﻳﺴَْﺄُﻟﻮْ َﻧ “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: Bilakah terjadinya ? Katakanlah: sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia”. b. Ayat yang Zahir-nya sesuai dengan maknanya. Pada bagian ini, setiap orang yang mengerti dan menguasai bahasa Arab serta dapat berdialog dengan bahasa tersebut, maka ia akan mengetahui makna AlQur’an. Di antara contohnya adalah surat al-An‘âm/6: 151:
ﻖ ﺤﱢ َ ْﻻ ﺑِﺎﻟ ﷲ ِإ ﱠ ُ ﺣ ﱠﺮ َم ا َ ﺲ اﱠﻟﺘِﻲ َ ْﻻ َﺗﻘْ ُﺘُﻠﻮْا اﻟ ﱠﻨﻔ َ َو “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar”. c. Bagian yang global yang Zahir-nya tidak menunjukkan rinciannya. Di antara contohnya adalah surat al-Baqarah/2: 43:
ﻦ َ ْﺼﻠَﻮ َة َوءَا ُﺗﻮْا اﻟ ﱠﺰآَﻮ َة وَارْ َآ ُﻌﻮْا َﻣ َﻊ اﻟﺮﱠا ِآ ِﻌﻴ َ َوَأ ِﻗﻴْ ُﻤﻮْا اﻟ
4
Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid I, h. 4-7.
20
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orangorang yang ruku’. Ayat tersebut hanyalah menerangkan tentang perintah melaksanakan shalat, dan zakat. Adapun tentang rincian jumlah shalat dan jumlah rakaatnya, rincian syarat-syarat dan ukuran nisab zakat tidak mungkin untuk diketahui kecuali melalui keterangan dari Rasulullah saw. d. Lafaz Al-Qur’an memiliki makna ganda atau lebih. Pada bahagian ini, setiap satu makna dari sebuah lafaz memiliki kemungkinan benar dan makna yang dimaksud. Pada bahagian ini pula, seseorang tidak boleh untuk mengedepankan salah satu kemungkinan dari makna suatu lafaz, kecuali apabila hal tersebut dikatakan oleh nabi atau imam yang ma‘sum. Pada saat demikian, seseorang harus mengambil sikap bahwa dari zahir-nya, suatu lafaz mengandung beberapa kemungkinan, dan setiap dari kemungkinan tersebut terbuka untuk menjadi makna yang dimaksud secara terperinci. Apabila sebuah lafaz memiliki makna ganda atau lebih kemudian di dukung dengan sebuah dalil yang menegaskan bahwa makna yang dimaksud adalah hal tersebut, maka pada saat itu boleh dikatakan bahwa itulah makna yang dimaksud. Selain itu, pandangan lain dari al-Tûsî yang menarik untuk dijelaskan dalam tafsir al-Tibyân ini adalah sebagai berikut: a. Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pertama setelah Rasulullah Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an pada tafsir al-Tibyân, al- Tûsî selain mengambil riwayat-riwayat dari para imam, ia juga mengambil riwayat-
21
ن َ ْن اﻟ ﱠﺰآَﻮ َة َو ُهﻢْ رَا ِآ ُﻌﻮ َ ْﺼﻠَﻮ َة َو ُﻳﺆْ ُﺗﻮ َ ن اﻟ َ ْﻦ ُﻳ ِﻘﻴْ ُﻤﻮ َ ْﻦ ءَاﻣَ ُﻨﻮْا وَاﱠﻟ ِﺬﻳ َ ْﺳﻮُْﻟ ُﻪ وَاﱠﻟ ِﺬﻳ ُ ﷲ َو َر ُ ِإ ﱠﻧﻤَﺎ َوِﻟﻴﱡ ُﻜ ُﻢ ا “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orangorang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. Dalam menafsirkan kata ﻦ ءَاﻣَ ُﻨﻮْا َ ْ وَاﱠﻟ ِﺬﻳtersebut, al-Tûsî mengerahkan segala kemampuannya untuk menjadikan ayat di atas sebagai dasar bagi ke-imam-an Ali r.a. Dalam tafsir al-Tibyân, al- Tûsî menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan perbuatan Ali r.a yang ketika itu beliau menyedekahkan cincinnya sementara beliau sedang ruku’. Al- Tûsî mengatakan bahwa: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya ayat ini merupakan salah satu dalil yang jelas mengenai ke-imam-an Ali bin Abi Thalib a.s sesudah nabi Muhammad saw secara langsung tanpa terputus. Adapun pendalilan (wajh dalâlah) nya adalah bahwa pengertian َوِﻟﻴﱡ ُﻜ ُﻢdalam ayat tersebut adalah “ yang lebih utama ” atau “yang paling berhak”. Adapun yang dimaksud dengan firman Allah SWT: ﻦ ءَا َﻣ ُﻨﻮْا َ ْ وَاﱠﻟ ِﺬﻳtersebut adalah Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib. Apabila dua pokok persoalan tersebut telah ditetapkan
22
b. Semua imam Syi‘i adalah ma’sûm. Di antara prinsip pokok kaum Syi‘i adalah pendapat mereka tentang ‘ismah para imam. Mereka memandang bahwa para imam Syi‘i yang dua belas itu seperti para nabi Allah SWT yang tidak mungkin mereka terjatuh dalam kesalahan. Al- Tûsî dalam tafsir al-Tibyân berupaya menguatkan pendapat tentang ‘ismah ini dengan jalan pen-ta’wil-an ayat-ayat Allah SWT
sesuai dengan
riwayat-riwayat para imam dengan menundukkan ayat-ayat tersebut agar sesuai denga keyakinan mazhabnya. Demikianlah mengenai firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah/2: 124:
ل ُ ﻻ َﻳﻨَﺎ َ ل َ ل َو ِﻣﻦْ ُذ ﱢر ﱠﻳﺘِﻰ ﻗَﺎ َ س ِإﻣَﺎﻣًﺎ ﻗَﺎ ِ ﻚ ﻟِﻠﻨﱠﺎ َ ﻋُﻠ ِ ل ِإﻧﱢﻰ ﺟَﺎ َ ﺖ َﻓَﺄ َﺗ ﱠﻤ ُﻬﻦﱠ ﻗَﺎ ٍ َوِإذِاﺑْ َﺘﻠَﻰ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ َرﺑﱡ ُﻪ ِﺑ َﻜِﻠ َﻤ ﻦ َ ْﻈِﻠ ِﻤﻴ ﻋﻬْﺪِى اﻟ ﱠ َ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".
5
Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz III, h. 558-564.
23
Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim". Setelah menjelaskan ayat ini dari segi bahasa dan gramatikanya, al- Tûsî menjelaskan bahwa berdasarkan ayat-ayat tersebut, sahabat-sahabat kita berdalil bahwa imam itu mestilah ma‘sûm dari keburukan-keburukan. Hal ini disebabkan karena Allah SWT tidak memberlakukan janji-Nya ( imamah ) bagi orang yang zalim. Seseorang yang tidak ma‘sûm pastilah seorang yang zalim yang dapat terjadi pada dirinya sendiri maupun zalim terhadap orang lain. Al- Tûsî juga menjelaskan bahwa ayat tersebut tidaklah berarti bahwa janji Allah SWT itu tidak berlaku bagi seseorang yang sedang berada dalam keadaan zalim saja atau berlaku apabila ia telah bertaubat saja. Ayat tersebut menurutnya wajib dipahami sebagai sesuatu yang menyangkut keumuman waktu dan bahwa janji Allah SWT itu tetap tidak berlaku bagi seseorang yang pernah melakukan kezaliman sekalipun ia telah bertaubat. Selain itu, al-Tûsî juga beragumentasi bahwa jabatan imamah itu bertalian dengan jabatan kenabian. Hal ini disebabkan karena Allah SWT berbicara kepada nabi Ibrahim a.s tentang masalah imamah tersebut dalam kedudukan beliau sebagai seorang nabi. 6
D. Al- Tûsî dan Fiqh Syi’ah Kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah mempunyai fiqh tersendiri yang dinamai dengan fiqh Ja‘fari. Dalam beberapa masalah, fiqh ini berbeda dari mazhabmazhab fiqh yang besar. Perbedaan antara fiqh Syi’ah dengan mazhab-mazhab
6
Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz I, h. 445-446.
24
fiqh di lingkungan Ahlu Sunnah tidaklah besar. Perbedaan tersebut serupa besarnya dengan perbedaan antara mazhab fiqh Hanafi dengan fiqh Maliki atau Syafi’i. Atau seperti perbedaan antara mereka yang beramal dengan ketentuanketentuan lahiriyah nas dengan mereka yang mengambil apa yang tersirat di dalamnya. Apabila seseorang memperhatikan kandungan kitab-kitab fiqh mereka, ia akan menjumpai pandangan-pandangan fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang sejalan dengan pendapat jumhur ulama fiqh. Seseorang tidak dapat menyatakan bahwa terdapat pendapat-pendapat dalam fiqh Ja’fari yang menyebabkannya keluar dari lingkungan Islam. Perbedaan pendapat antara fiqh Ja’fari dengan fiqh Ahlu Sunnah menunjukkan suburnya kemerdekaan berpikir dalam Islam dalam kerangka Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam fiqh mazhab Ja’fari terdapat pendapat-pendapat lurus yang sahih untuk diambil. Dalam kenyataannya, Undang-undang ( qânûn ) Mesir telah mengambil pendapat-pendapat Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah. Di antaranya adalah menjatuhkan talak tiga sekaligus hanya berarti talak satu. Dalam pandangan ini, Majelis Muzâkarah Tafsir Mesir menyatakan bahwa pendapat tersebut diambil dari Ibnu Taimiyah, tetapi Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa pendapat tersebut diambilnya dari pendapat-pendapat para imam ahl al-bait. Dalam masalah fiqh, Syi’ah bersandar pada empat sumber, yaitu Al-Qur’an, sunnah, akal, dan ijma’. 7 Al-Tûsî termasuk salah seorang fuqahâ’ kenamaan kaum Syi’ah, bahkan ia termasuk pendiri mazhab Ja’fari. Ia telah berupaya membela pendapat-pendapat
7
Ahmad Bashûni Faudâi, Nasy’ah al-Tafsir wa Manâhijuh, h. 162-163.
25
mazhabnya dalam masalah fiqh. Dalam masalah fiqh, ia mengemukakan dalildalil yang menunjukkan kuatnya akal beliau, keluasan pikirannya, dan luasnya bacaannya.
BAB III METODE DAN PRINSIP PENAFSIRAN AL-TÛSÎ DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
A. Metode Penafsiran Al-Tûsî Berdasarkan dalil Al-Qur’an, al-Tûsî berkeyakinan bahwa sabda nabi Muhammad saw merupakan dasar yang tepat dalam menafsirkan Al-Qur’an. AlTûsî juga berkeyakinan bahwa sabda (pendapat) para ulama ahlulbait merupakan suatu dasar yang dapat dijadikan hujjah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena sabda para ulama ahlulbait mengikuti sabda nabi Muhammad saw. Adapun prinsip al-Tûsî terhadap pendapat para sahabat dan tabi’in, ia berpandangan bahwa pendapat para sahabat dan tabi’in tidak dapat dijadikan hujjah kecuali pendapatnya tersebut memiliki dukungan dari hadis nabi Muhammad saw. Hal ini disebabkan karena menurut al-Tûsî, kedudukan para sahabat 1 dan tabi’in adalah sama seperti kaum muslim lainnya. Dengan demikian,
1
Syi‘i termasuk Al-Tûsî membagi sahabat menjadi tiga golongan, yaitu: pertama, golongan sahabat yang beriman kepada Allah swt, nabi Muhammad saw, serta mengorbankan diri mereka demi kepentingan Islam. Mereka adalah golongan yang paling utama. Golongan sahabat ini selalu membantu dan senantiasa bersama-sama nabi. Mereka tidak pernah melanggar perintahnya dalam setiap hal dan tidak pula mengatakan bahwa nabi berdusta. Di antara para sahabat yang termasuk dalam golongan ini adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Abû Zar al-Ghiffâri, Salmân al-Fârisi, Miqdâd, Ammar bin Yasir, dan Jâbir bin ‘Abd Allâh; kedua, golongan orangorang yang mengingkari Islam, tetapi perbuatan mereka tidak sungguh-sungguh. Di antara sahabat yang termasuk dalam golongan sahabat ini adalah Ab- Bakr dan ‘Umar bin al-Khattâb; ketiga, golongan orang-orang yang mengingkari Islam setelah nabi Muhammad saw wafat sebagaimana yang dicatat oleh al-Bukhâri. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengutamakan nabi Muhammad saw, dan berusaha menyusup ke dalam Islam agar dimasukkan ke dalam golongan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang munafik, seperti AbSufyân, Mu’âwiyyah bin Abi Sufyân, dan Yazid bin Mu’âwiyah. Lihat Rofik Suhud, dll, Antologi
26
27
dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî menggunakan metode periwayatan dari hadis-hadis nabi Muhammad saw, hadis imam ahlulbaitnya, dan dari hadis-hadis sahabat. Menurut al-Tûsî, mufassir Syi’i dalam menafsirkan Al-Qur’an terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu: 2 Kelompok pertama adalah mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan penafsiran Rasulullah saw dan para imam ahlulbait. Dalam hal ini, para mufasir Syi’i menempuh metode dengan memasukkan hadis-hadis Rasulullah dan hadis-hadis para imam ahlulbait ke dalam karangan-karangan mereka. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah Zurarah, Muhammad bin Muslim, Ma‘ruf, Jarir, dan lain-lain 3 . Kelompok kedua adalah ulama yang mula-mula menulis kitab tafsir, seperti Furat bin Ibrahim, Abu Hamzah al-Samali al-‘Iyasyi (w. 320 H), ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. 329 H), dan al-Nu‘man. 4 Metode yang mereka pergunakan
Islam: Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi terjemahan dari Encyclopedia of Shia, (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 345. 2
Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70-72. Lihat juga Sâlim al-Safâr al-Baghdâdi, selanjutnya dinamai al-Baghdâdi, Naqd Manhaj al-Tafsir wa al-Mufassirin al-Muqâran selanjutnya disebut Naqd Manhaj, (Beirût: Dâr al-Hâdi, 2000), h. 348-350. Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 227. 3
Zurârah bin A‘yun adalah seorang ulama ahli fiqh Sy‘i. Ia merupakan pilihan dari dua imam, yaitu imam Muhammad bin ‘Ali al-Bâqir dan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Ma‘rûf bin Khurbûz dan Jarir merupakan murid pilihan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Lihat Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70. Lihat juga al-Baghdâdi, Naqd Manhaj, h. 348. Furât bin Ibrâhim adalah pengarang kitab tafsir yang terkenal ( ) رﻳﺤﺎﻧﺔ اﻷدب. Ia merupakan guru dari ‘Al bin Ibrâhim al-Qummi. Ia berasal dari Kufah. Ab- Hamzah al-samâli adalah ahli fiqh Syi‘i dan murid pilihan imâm ‘Ali al-Sajjâd dan imam Muhammad bin ‘Ali alBâqir. Al-‘Iyâsyi adalah mufasir Syi‘i abad ketiga dan keempat Hijriyah. Ia wafat pada tahun 320 H. ‘Ali bin Ibrâhim al-Qummi adalah salah seorang guru hadis mazhab Syi‘i. Ia hidup pada akhir abad ketiga Hijriyah dan permulaan abad keempat Hijriyah. Al-Nu‘mân Muhammad bin Ibrâhim adalah salah seorang tokoh dan ulama Syi‘i. Ia adalah murid kepercayaan al-Kulaini. Ia hidup pada 4
28
dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw dan hadis-hadis dari para imam ahlulbait dengan menyebut dan meringkas sanadnya. Selain itu, mereka juga dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak mengemukakan pendapat dan pandangannya terhadap suatu masalah yang dibahas. Kelompok ketiga adalah ulama yang memiliki berbagai cabang ilmu pengetahuan. Mereka menulis kitab tafsir menurut spesialisasinya dan sesuai dengan ilmu yang dikuasainya., seperti al-Syarif al-Rida (w. 404 H) dengan tafsirnya yang bercorak sastra ( nahj al-balâghah). Al-Tûsî (w. 460 H) dengan tafsirnya yang bercorak teologi masuk dalam kelompok ini. Selain itu, mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Mubaidi al-Kunabadi dan ‘Abd alRazzaq al-Kasyani (w. 730 H) dengan tafsirnya yang bercorak tasawuf, Syaikh ‘Abd ‘Ali al-Huwaizi (w. 1112 H) dengan tafsirnya Nur Saqalain, Sayyid Hasyim al-Bahrani (w. 1107 H) dengan tafsirnya al-Burhan, al-Faid al-Kasyyani (w. 1091 H) dengan tafsirnya al-Safi, dan lain-lain. 5 Adapun metode yang mereka tempuh dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw dan hadis-hadis dari para
5
Al-Syârif al-Ridhâ Muhammad bin Husain al-Musâwi adalah salah seorang ahli hukum Syi‘i imâmiyah yang terkemuka. Pada masanya, ia menjadi orang yang paling ahli dalam bidang sya’ir dan sastra. Di antara karangan-karangannya adalah kitab al-Nahj al-Balâghah. Ia wafat pada tahun 404 Hijriyah. shadr al-Din Muhammad bin Ibrâhim al-Syirâzi adalah seorang filosof yang terkenal. Ia adalah pengarang kitab Majma‘ al-Tafâsir. Ia wafat pada tahun 1050 Hijriyah. ‘Abd al-Razzâq al-Kâsyâni adalah mufasir Syi‘i yang wafat pada tahun 730 H. Di antara karanganya adalah tafsir Ta'wilât al-Qur'ân. Sayyid Hasyim al-Bahrâni adalah salah seorang mufasir Syi‘i yang berpengaruh pada masanya. Ia wafat pada tahun 1107 Hijriyah. Al-Fâidh al-Kâsyâni Maulânâ Muhammad Muhsin bin al-Murtadhâ adalah mufasir Syi‘i yang wafat pada tahun 1112 Hijriyah. Lihat Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 72.
29
imam ahlulbait dengan menyebutkan sanadnya. Mereka juga mengemukakan pendapat dan pandangannya dalam menafsirkan Al-Qur’an terhadap suatu masalah yang dibahas. Kelompok keempat adalah para mufasir yang mengemukakan berbagai ilmu pengetahuan dalam kitab tafsir mereka, seperti bahasa, gramatika, qira’ah, teknologi, dan lain-lain. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Tabarsi (w. 552 H) dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, dan lain-lain.
B. Prinsip Penafsiran Al-Tûsî Adapun prinsip-prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap penafsiran Al-Qur’an adalah sebagai berikut: 1) Al-Qur’an mempunyai makna zahir dan makna batin Dalam menjelaskan tujuan-tujuan agama dan memberikan perintahperintah kepada manusia terhadap masalah doktrin dan tindakan, Al-Qur’an telah menjelaskannya melalui kata-katanya yang zahir. Selain itu, Al-Qur’an juga telah menerangkan akan masalah tersebut melalui makna-maknanya yang batin. Imam al-Tûsî (w. 460 H) menjelaskan bahwa makna-makna batin Al-Qur’an tersebut hanya dapat dipahami oleh kaum khawwadz (elite spiritual) yang mempunyai kebersihan hati. 6 Dalil yang menjelaskan tentang adanya makna batin Al-Qur’an adalah tercermin dalam sabda Rasulullah saw:
6
DJohan Efendi, Islam Syi’ah; Asal Usul dan Perkembangannya selanjutnya disebut Islam Syi'ah terjemahan dari Muhammad Husain Tabâtabâi, Shi’te Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1989), h. 104. Lihat juga al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 34-35.
30
ﻦ ٍﻄ ُ ْﺳﺒْ َﻌ ِﺔ َأﺑ َ ﻄﻨًﺎ ِإﻟَﻲ ْ ﻇﻬْﺮًا َو َﺑﻄْﻨًﺎ َوِﻟ َﺒﻄْ ِﻨ ِﻪ َﺑ َ ِن ﻟِﻠْ ُﻘﺮْﺁن ِإ ﱠ “Sesungguhnya Al-Qur’an itu mempunyai arti lahir dan batin (dimensi kedalaman). Dan dimensi kedalaman itu masih mempunyai dimensi kedalaman lagi hingga sampai tujuh dimensi kedalaman”. Selain dari hadis tersebut, dalil yang menjadi penunjang utama akan makna batin Al-Qur’an adalah suatu bahasa kiasan yang disebutkan oleh Allah swt dalam surat al-Ra‘d/13: 17:
ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎ ِر َ ن َ ْﻞ َز َﺑﺪًارﱠا ِﺑﻴًﺎ َو ِﻣﻤﱠﺎ ُﻳﻮْ ِﻗ ُﺪو ُ ْﻞ اﻟﺴﱠﻴ َ ﻦ اﻟﺴﱠﻤﺂ ِء ﻣﺂ ًء َﻓﺴَﺎَﻟﺖْ َأوْ ِد َﻳ ٌﺔ ِﺑ َﻘ َﺪ ِرهَﺎ ﻓَﺎﺣْ َﺘ َﻤ َ ل ِﻣ َ َاﻧْ َﺰ ﺟﻔَﺎ ًء َوَأﻣﱠﺎ ﻣَﺎ ُ ﺐ ُ ﻞ ﻓَﺄَﻣﱠﺎ اﻟﺰﱠ َﺑ ُﺪ َﻓ َﻴﺬْ َه َﻃ ِ ﻖ َواﻟْﺒَﺎ ﺤﱠ َ ْﷲ اﻟ ُ با ُ ﻚ َﻳﻀْ ِﺮ َ ع َز َﺑ ٌﺪ ﻣﱢ ْﺜُﻠ ُﻪ َآ َﺬِﻟ ٍ ﺣﻠْ َﻴ ٍﺔ َأوْ َﻣﺘَﺎ ِ ا ْﺑ ِﺘﻐَﺎ َء ل َ ﻷﻣْﺜَﺎ َ ْﷲ ا ُ با ُ ﻚ َﻳﻀْ ِﺮ َ ض َآ َﺬِﻟ ِ ْﻷر َ ْﺚ ﻓِﻰ ا ُ س َﻓ َﻴﻤْ ُﻜ َ َﻳﻨْ َﻔ ُﻊ اﻟﻨﱠﺎ “Allah swt telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buah arus itu. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaanperumpamaan”. Dalam ayat tersebut, karunia Allah swt dilambangkan (dikiaskan) dengan hujan yang turun dari langit dan dari hujan itulah tergantung kehidupan bumi dan penduduknya. Dengan turunnya hujan, airpun mengalir, dan setiap sungai menerima air hujan tersebut menurut kemampuannya. Selain itu, sekalipun air
31
mengalir dan menutupi permukaan sungai, namun di bawahnya tetap mengalir air yang sama yang dapat memberikan kehidupan dan manfaat pada umat manusia. Seperti telah diisyaratkan oleh cerita kiasan di atas, kemampuan untuk memahami pengetahuan ketuhanan yang menjadi sumber kehidupan batin manusia sangatlah berbeda-beda. Di antara manusia ada yang hanya menerima pengetahuan ketuhanan pada tingkat percaya secara sederhana, dan ada pula di antara manusia yang karena kesucian fitrahnya, ia mampu memahami lambanglambang ciptaan yang tersembunyi. Dengan kesucian jiwa yang dimilikinya, ia mengamati dalam suatu penglihatan rohani cahaya yang tidak terhingga dari Keagungan dan Kebesaran Allah swt. Hati mereka sepenuhnya tertambat dengan penuh kerinduan untuk mencapai hakekat pesan-pesan Allah swt yang sesungguhnya. 7 Allah swt berfirman dalam surat al-Nisâ’/4: 36:
ﺷﻴْﺌًﺎ َ ﻻ ُﺗﺸْ ِﺮ ُآﻮْا ِﺑ ِﻪ َ ﷲ َو َ وَاﻋْ ُﺒ ُﺪوْا ا “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. Secara zahir-nya, ayat ini menunjukkan bahwa ia melarang akan penyembahan berhala, seperti dijelaskan dalam surat al-Hajj/22: 30:
ن ِ ﻷوْﺛَﺎ َ ْﻦ ا َ ﺲ ِﻣ َ ْﻓَﺎﺟْ َﺘ ِﻨ ُﺒﻮْا اﻟ ﱢﺮﺟ “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu”. Adapun secara batinnya, ayat ﺷﻴْﺌًﺎ َ ﻻ ُﺗﺸْ ِﺮ ُآﻮْا ِﺑ ِﻪ َ ﷲ َو َ وَاﻋْ ُﺒ ُﺪوْا اmenunjukkan bahwa manusia tidak boleh mentaati siapapun selain Allah swt. Hal ini disebabkan karena taat berarti sujud di hadapan seseorang dan mengabdi 7
DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 105.
32
Begitu pula dengan firman Allah swt, surat al-‘Ankabût/29: 45:
ﻦ اﻟْ َﻔﺤْﺸَﺂ ِء وَاﻟْ ُﻤﻨْ َﻜ ِﺮ ِﻋ َ ن اﻟﺼﱠﻠ َﻮ َة ﺗَﻨْﻬَﻰ َوَأ ِﻗ ِﻢ اﻟﺼﱠﻠ َﻮ َة ِإ ﱠ “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”. Secara zahir-nya, ayat tersebut memerintahkan manusia untuk mendirikan shalat dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu. Adapun secara batinnya, ayat tersebut memerintahkan kepada manusia untuk memuja dan mentaati Allah swt dengan seluruh hati dan jiwanya. Di balik itu, ayat tersebut secara batin mengisyaratkan bahwa di hadapan Allah swt, manusia harus menganggap dirinya tidak bernilai sama sekali dan harus selalu mengingat kepada-Nya. 9 Dari kedua contoh tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur’an memiliki aspekaspek lahir (zahir) dan aspek-aspek batin (tersirat). Aspek batin dari Al-Qur’an tidak menghilangkan atau mengurangi nilai arti zahir-nya. Bahkan ia bagaikan nyawa yang menghidupi badan. Makna zahir tidak menafikan maksud makna
8
DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 106. Lihat juga al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h.
34-35. 9
DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 107.
33
batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna zahir, serta makna batin mempunyai berbagai tingkatan pengertian. 10 2) Hakikat muhkamat dan mutasyâbihat Pembahasan Al-Qur’an yang berhubungan dengan ayat muhkamat dan mutasyâbihat tercantum dalam tiga surat, yaitu: 1. Surat Hûd/11: 1:
ﺧ ِﺒﻴْ ٍﺮ َ ﺣ ِﻜﻴْ ٍﻢ َ ْﺼَﻠﺖْ ِﻣﻦْ َﻟ ُﺪن آِﺘَﺎبٌ ُأﺣْ ِﻜ َﻤﺖْ ءَا َﻳ ُﺘ ُﻪ ُﺛﻢﱠ ُﻓ ﱢ “Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”. 2. Surat al-Zumar/39: 23:
ْن َر ﱠﺑ ُﻬﻢ َ ْﺸﻮ َ ْﻦ َﻳﺨ َ ْﺟُﻠﻮْ ُد اﱠﻟ ِﺬﻳ ُ ﺸ ِﻌ ﱡﺮ ِﻣﻨْ ُﻪ َ ْﻰ َﺗﻘ َ ﺚ ِآﺘَﺎﺑًﺎ ﱡﻣ َﺘﺸَﺎ ِﺑﻬًﺎ ﱠﻣﺜَﺎ ِﻧ ِ ْﺤ ِﺪﻳ َ ْﻦ اﻟ َﺴ َ ْل َأﺣ َ ﷲ َﻧ ﱠﺰ ُ َا “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya”. 3. Surat Âli ‘Imrân/3: 7:
ﻦ ﻓِﻰ َ ْﺖ َﻓَﺄﻣﱠﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ ٌ ﺸ ِﺒ َﻬ َ ﺧ ُﺮ ُﻣ َﺘ َ ﺐ َوُأ ِ ﺖ ُهﻦﱠ ُأمﱡ اﻟْ ِﻜ َﺘ ٌ ﺐ ِﻣﻨْ ُﻪ ءَاﻳَﺖٌ ﱡﻣﺤْ َﻜ َﻤ َ ﻚ اﻟْ ِﻜ َﺘ َ ْﻋَﻠﻴ َ ل َ ُه َﻮ اﱠﻟﺬِى َأﻧْ َﺰ ن ﻣَﺎ َﺗﺸَﺎ َﺑ َﻪ ِﻣﻨْ ُﻪ َ ُْﻗُﻠﻮْ ِﺑ ِﻬﻢْ زَﻳْﻎٌ َﻓ َﻴ ﱠﺘ ِﺒ ُﻌﻮ “Dialah yang menurunkan al-kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyâbihat. Adapun orang-orang yang dalam
10
DJohan Efendi, Islam Syi'ah, h. 108.
34
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat”. Ayat pertama (surat Hûd/11:1) menegaskan bahwa seluruh kandungan AlQur’an adalah muhkam. Adapun maksud ke-muhkam-annya adalah bahwa keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah kuat, kokoh, rapih, indah susunannya, dan sama sekali tidak mengandung kelemahan dan kebatilan, baik dalam lafazlafaznya, rangkaian kalimatnya, maupun maknanya. Ayat kedua (surat al-Zumar/39: 23) menegaskan bahwa seluruh kandungan ayat-ayat Al-Qur’an adalah mutasyâbih. Maksudnya adalah bahwa ayat-ayatnya berada dalam satu ragam keindahan gaya bahasa, i‘jaz, dan memiliki daya ungkap yang luar biasa. Ayat ketiga (surat Âli ‘Imrân/3: 7) menjelaskan bahwa ayat-ayat AlQur’an terbagi kepada dua bahagian, yaitu sebagian ayat yang bisa dipahami secara mandiri yang dikenal dengan muhkamat dan sebagaian ayat yang memerlukan penjelasan ayat lain dalam cara memahaminya yang dikenal dengan mutasyâbihat. 11 Adapun prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat muhkamat dan mutasyâbihat adalah sebagai berikut: Pertama, ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maksud petunjuknya jelas, tegas, dan tidak rancu, serta tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman. Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya.
11
Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 42.
35
Kedua, ayat-ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya, tetapi makna hakikinya dijelaskan dengan penta’wil-an. Ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak wajib untuk diamalkan. Al-Tûsî berpandangan bahwa nabi Muhammad saw dan para imam ahlulbaitnya mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyâbih tersebut. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an merupakan um al-kitab (pokok-pokok isi Al-Qur’an). Hal ini berarti bahwa untuk mengetahui ayat-ayat mutasyâbih harus merujuk kepada ayat-ayat muhkam. Ayat-ayat mutasyâbih harus dirujuk kepada ayat-ayat muhkam guna mengetahui maknanya yang hakiki. Berdasarkan hal tersebut, al-Tûsî berpendapat bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin tidak diketahui maknanya. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat mutasyâbih dapat diketahui makna-makna hakikinya dengan perantara ayat-ayat lain. Inilah yang dimaksud dengan ketergantungan ayat muhkam kepada ayat mutasyâbih. 12 Di antara contohnya adalah firman Allah swt yang terdapat dalam surat Tâhâ/20:5: ﺳ َﺘﻮَى ْ شا ِ ْﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻌﺮ َ ﻦ ُ اَﻟﺮﱠﺣْ َﻤ “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di atas ‘Arasy”, dan ayat lain yang terdapat dalam surat al-Fajr/89:22:
ﻚ َ َوﺟَﺂ َء َر ﱡﺑ “Dan datanglah Tuhanmu”.
12
Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 43-46. Lihat juga Andrew Rippin selanjutnya disebut Rippin (Ed), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân, selanjutnya disebut Aproaches, (London: Clarendon Press, 1988), h. 189.
36
Secara zahir-nya, kedua ayat tersebut menunjukkan jismiyyah (memiliki jasad) dan menggambarkan seakan-akan Allah swt itu adalah benda. Kedua ayat tersebut apabila dihubungkan dengan firman Allah swt yang terdapat dalam surat al-Syûrâ/42: 11:
ﺼﻴْ ُﺮ ِ ﺴ ِﻤﻴْ ُﻊ اﻟْ َﺒ َ ﺲ َآ ِﻤﺜِْﻠ ِﻪ ﺷَﻰْءٌ َو ُه َﻮ اﻟ َ َْﻟﻴ “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, maka jelaslah bahwa “bersemayam” itu bukan berarti menetap, dan “datang” itu bukan berarti pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Inilah makna batin yang terkandung dalam ayat ﻚ َ َوﺟَﺂ َء َر ﱡﺑdan ayat ﺳ َﺘﻮَى ْ شا ِ ْﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻌﺮ َ ﻦ ُ اَﻟﺮﱠﺣْ َﻤ. Untuk menguatkan pandangan al-Tûsî tentang makna batin Al-Qur’an, ia menyandarkan keyakinannya pada dalil-dalil sebagai berikut: 13 1. Sabda Rasulullah saw:
ﻋ َﺮﻓْ ُﺘﻢْ ﻓَﺎﻋْﻤَُﻠﻮْا َ ﻀ ُﻪ َﺑﻌْﻀًﺎ ﻓَﻤَﺎ ُ ْق َﺑﻌ َ ﺼ ﱢﺪ َ ل ِﻟ ُﻴ َ ﻀ ُﻪ َﺑﻌْﻀًﺎ َوَﻟ ِﻜﻦْ ُﻧ ﱢﺰ ُ ْب َﺑﻌ َ ن َﻟﻢْ ُﻳ َﻨ ِﱠﺰلْ ِﻟ ُﻴ َﻜ ﱢﺬ َ ن اﻟْ ُﻘﺮْﺁ َوِإ ﱠ ﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢْ ﻓَﺂﻣِ ُﻨﻮْا ِﺑ ِﻪ َ ِﺑ ِﻪ َوﻣَﺎ َﺗﺸَﺎ َﺑ َﻪ “Sesungguhnya Al-Qur’an itu tidaklah diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lain. Akan tetapi ia diturunkan agar sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kalian ketahui, amalkanlah; dan apa yang samar bagi kalian, maka imanilah”.
13
Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 47-48.
37
2. Perkataan imam ‘Ali karram Allah wajhah:
ﺾ ٍ ْﻋﻠَﻲ َﺑﻌ َ ﻀ ُﻪ ُ ْﻀ ُﻪ َﺑﻌْﻀًﺎ َو َﻳﺸْ َﻬ ُﺪ َﺑﻌ ُ ْﻖ َﺑﻌ ُﻄ ِ َْﻳﻨ “Beberapa ayat Al-Qur’an saling mengisi dengan bagian-bagian yang lain yang mengungkapkan maknanya kepada kita. Beberapa bagian mengokohkan makna bagian yang lain”. 3. Perkataan imam Rida a.s:
ط ُﻣﺴْ َﺘ ِﻘﻴْ ٍﻢ ٍ ﺻﺮَا ِ ي ِإﻟَﻰ َ َﻣﻦْ َر ﱠد ُﻣ َﺘﺸَﺎ ِﺑ َﻪ اﻟْ ُﻘﺮْﺁنِ ِإﻟَﻲ ُﻣﺤْ َﻜ ِﻤ ِﻪ ُه ِﺪ “Barang siapa mengembalikan ayat-ayat mutasyabih kepada ayatayat muhkam, maka dia telah ditunjukkan kepada jalan yang lurus”. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, mufasir Syi’i menjelaskan bahwa ayatayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang tidak mandiri dalam madlul-nya. Oleh karena itu, untuk mengetahui hakikat makna ayat-ayat mutasyâbih harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkam. Dengan demikian, dalam ayat-ayat AlQur’an tidak ada satu ayatpun yang tidak diketahui maksudnya. 3) Ta’wil yang hakiki dalam Al-Qur’an Kata ta’wil dalam Al-Qur’an tercantum pada tiga ayat, yaitu: a. Surat Âli ‘Imrân/3: 7:
ﻻ ن ﻣَﺎ َﺗﺸَﺎ َﺑ َﻪ ِﻣﻨْ ُﻪ اﺑْﺘِﻐَﺂءَ اﻟْ ِﻔﺘْ َﻨ ِﺔ وَاﺑْ ِﺘﻐَﺂ َء َﺗﺄْ ِوﻳِْﻠ ِﻪ َوﻣَﺎ َﻳﻌَْﻠ ُﻢ َﺗﺄْ ِوﻳَْﻠ ُﻪ ِإ ﱠ َ ْﻦ ﻓِﻰ ُﻗُﻠﻮْ ِﺑ ِﻬﻢْ زَﻳْﻎٌ َﻓ َﻴ ﱠﺘ ِﺒ ُﻌﻮ َ َْﻓَﺄﻣﱠﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ ﻋﻨْ ِﺪ رَ ﱢﺑﻨَﺎ ِ ْﻞ ﱢﻣﻦ ن ءَا َﻣﻨﱠﺎ ِﺑ ِﻪ ُآ ﱞ َ ْﺨﻮْنَ ﻓِﻰ اﻟْ ِﻌﻠْ ِﻢ َﻳ ُﻘﻮُْﻟﻮ ُ ِﷲ وَاﻟﺮﱠاﺳ ُ ا “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wil-nya, padahal tidak ada
38
b. Surat al-A‘râf/7: 53:
ﻖ ﺤﱢ َ ْﻞ َر ﱢﺑﻨَﺎ ﺑِﺎﻟ ُﺳ ُ ﻞ َﻗﺪْ ﺟَﺂ َءتْ ُر ُ ْﺴﻮْ ُﻩ ِﻣﻦْ َﻗﺒ ُ ﻦ َﻧ َ ْل اﱠﻟ ِﺬﻳ ُ ْﻻ َﺗﺄْ ِوﻳَْﻠ ُﻪ َﻳﻮْ َم َﻳﺄْﺗِﻰ َﺗﺄْ ِوﻳُْﻠ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮ ن ِإ ﱠ َ ْﻈ ُﺮو ُ َْهﻞْ َﻳﻨ “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’w³lnya.
Pada hari
datangnya ta’wilnya itu berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: “sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami dengan haq". c. Surat Yûnus/10: 39:
ﻄﻮْا ِﺑ ِﻌﻠْ ِﻤ ِﻪ َوَﻟﻤﱠﺎ َﻳﺄْ ِﺗ ِﻬﻢْ َﺗﺄْ ِوﻳُْﻠ ُﻪ ُ ﺤ ْﻴ ِ َﺑﻞْ َآ ﱠﺬ ُﺑﻮْا ِﺑﻤَﺎ َﻟﻢْ ُﻳ “Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wilnya”. Dari beberapa ayat tersebut, mufasir Syi’i berpandangan bahwa keseluruhan ayat dalam Al-Qur’an adalah mempunyai ta’wil dan tidak hanya terbatas pada ayat-ayat mutasyâbihat saja. Menurut mereka, ta’wil (makna tersirat) yang terdapat dalam Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt, para nabi, dan orang-orang suci 14 di antara wali-wali Allah yang bebas dari kotoran ketidaksempurnaan manusia. Para wali ini dapat merenungi makna-makna Al14
Orang-orang suci yang dimaksudkan oleh mufasir Syi‘i tersebut adalah para imam Syi‘i dan ahlulbait lainnya. Pandangan Syi‘i tersebut berdasarkan ayat yang terdapat dalam surat alAhzâb(Md) /33: 33: ﻄ ِﻬ ْﻴﺮًا ْ ﺖ وَ ُﻳﻄَﻬﱢ ُﺮ ُآﻢْ َﺗ ِ ْﻞ اﻟْ َﺒﻴ َ ْﺲ َأه َ ْﻋﻨْ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱢﺮﺟ َ ﺐ َ ﷲ ِﻟ ُﻴﺬْ ِه ُ ( ِإ ﱠﻧﻤَﺎ ُﻳ ِﺮﻳْ ُﺪ اsesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian hai ahlulbait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya).
39
Qur’an sekalipun hidup dalam kenyataan masa kini. Mereka juga beranggapan bahwa pada hari kebangkitan, ta’wil Al-Qur’an akan diungkapkan. Pendapat tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa pendalaman yang memadai tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dari ahlulbait menunjukkan dengan jelas bahwa kitab suci Al-Qur’an dengan bahasa yang menarik serta pengungkapannya yang fasih dan terang, tidak pernah mempergunakan cara pengemukaan yang penuh teka-teki. Ia selalu memaparkan setiap persoalan dengan bahasa yang serasi dengan persoalannya. Menurut mufasir Syi’i, ta’wil atau penafsiran Al-Qur’an, tidaklah sekedar pengertian kata-kata secara harfiah, melainkan ia berkaitan dengan kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataaan tertentu yang berada di luar batas pemahaman manusia biasa. Dari kebenaran dan kenyataan ini, ia melahirkan prinsip-prinsip ajaran dan perintah-perintah amaliah dari Al-Qur’an. 15 Para mufasir Syi’i menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa ta’wil adalah sama dengan tafsir. Mereka juga menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa ta’wil mempunyai makna yang berbeda dengan makna lahir suatu ayat. Selain itu, para mufasir Syi’i juga menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai ta’wil dan ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt. Adapun alasan penolakan mufasir Syi’i terhadap pandangan ini adalah sebagai berikut: 16 Pertama, pendapat para ulama tersebut bertentangan dengan surat Yûnus/10: 39: 15
Djohan Effendi, Islam Syi'ah, h. 109. Al-Tabâtabâi, al-Qur'ân fi al-Islâm, h. 51-53.
16
40
ن َ ﻒ آَﺎ َ ْﻈﺮْ َآﻴ ُ ْﻦ ِﻣﻦْ َﻗﺒِْﻠ ِﻬﻢْ ﻓَﺎﻧ َ ْب اﱠﻟ ِﺬﻳ َ ﻚ َآ ﱠﺬ َ ﻄﻮْا ِﺑ ِﻌﻠْ ِﻤ ِﻪ َوَﻟﻤﱠﺎ َﻳﺄْ ِﺗ ِﻬﻢْ َﺗﺄْ ِوﻳُْﻠ ُﻪ َآ َﺬِﻟ ُ ْﺤﻴ ِ َﺑﻞْ َآ ﱠﺬ ُﺑﻮْا ِﺑﻤَﺎ َﻟﻢْ ُﻳ ﻦ َ ْﻈِﻠ ِﻤﻴ ﻋ ِﻘ َﺒ ُﺔ اﻟ ﱠ َ “Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wil-nya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka
telah
mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu”. Menurut mufasir Syi’i, ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa keseluruhan ayat di dalam Al-Qur’an itu mempunyai ta’wil, dan tidak hanya terbatas pada ayat mutasyâbihat. Kedua, pendapat para ulama Sunni tersebut mengakibatkan pada ketidakjelasan makna hakiki secara keseluruhan dalam Al-Qur’an, apabila yang mengetahuinya hanya Allah swt. Pandangan seperti ini sangatlah tidak jelas maksudnya dan bukanlah merupakan perkataan yang fasih dalam suatu ilmu balaghah. Ketiga, berdasarkan pendapat para ulama Sunni tersebut, maka argumentasi Al-Qur’an menjadi kurang sempurna. Hal ini bertentangan dengan firman Allah swt yang tercermin dalam surat al-Nisâ’/4: 82:
ﻼﻓًﺎ آَﺜِﻴْﺮًا َ ﺟ ُﺪوْا ِﻓﻴْ ِﻪ اﺧْ ِﺘ َ ﷲ َﻟ َﻮ ِ ﻏﻴْ ِﺮ ا َ ﻋﻨْ ِﺪ ِ ْن ِﻣﻦ َ ن َوَﻟﻮْآَﺎ َ ن اﻟْ ُﻘﺮْﺁ َ ْﻼ َﻳ َﺘ َﺪ ﱠﺑ ُﺮو َ َأ َﻓ “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukanlah dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.
41
Berdasarkan ayat ini, mufasir Syi’i berpandangan bahwa seandainya diasumsikan bahwa ayat-ayat mutasyâbih berbeda dengan ayat-ayat muhkam, lalu perbedaan tersebut dihilangkan dengan mengatakan bahwa arti lahirnya bukanlah yang dimaksud, dan yang dimaksudkannya adalah arti lain yang hanya diketahui oleh Allah swt, maka menghilangkan perbedaan dengan cara seperti ini tidak menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu bukan perkataan manusia. Keempat, tidak ada bukti sama sekali bahwa yang dimaksud dengan ta’wil dalam ayat muhkam dan mutasyâbih adalah makna yang berbeda dengan arti zahir. Di antara contoh Al-Qur’an yang menjelaskan pandangan ini adalah sebagai berikut: Dalam kisah nabi Yusuf a.s sangatlah jelas bahwa ta’wil mimpi bukanlah sesuatu yang berbeda dengan makna lahiriah mimpi itu, akan tetapi ta’wil atas mimpi tersebut merupakan kenyataan lahiriah yang dilihat ketika tidur dalam bentuk tertentu. Dalam kisah nabi Musa a.s dan nabi Khidir a.s, yaitu ketika nabi Khidir merusak perahu, membunuh bocah, dan memperbaiki dinding yang roboh. Pada kisah ini, setiap kali nabi Khidir a.s melakukan perbuatan tersebut, maka saat itupula dikritik oleh nabi Musa a.s. Kritikan yang dilakukan oleh nabi Musa a.s disebabkan karena ia belum mengetahui hakikat dan makna perbuatan yang dilakukan oleh nabi Khidir a.s. Dengan keadaan seperti ini, akhirnya nabi Khidir a.s menjelaskan kepada nabi Musa a.s tentang rahasia yang tersembunyi di balik perbuatan-perbuatannya tersebut. Penjelasan seperti ini dinamakan dengan ta’wil.
42
Dalam masalah timbangan dan ukuran, Allah swt berfirman dalam surat al-Isrâ’/17:35:
ﻼ ً ْﻦ َﺗﺄْ ِوﻳ ُﺴ َ ْﻚ ﺧَﻴْﺮٌ َوَأﺣ َ س اﻟْ ُﻤﺴْ َﺘ ِﻘﻴْ ِﻢ َذِﻟ ِ ﻞ ِإذَا ِآﻠْ ُﺘﻢْ َو ِز ُﻧﻮْا ﺑِﺎﻟْ ِﻘﺴْﻄَﺎ َ َْوَأوْ ُﻓﻮْا اﻟْ َﻜﻴ “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama dan lebih baik ta’wilnya”. Dari ayat ini jelaslah bahwa ta’wil yang dikehendaki Allah dalam masalah timbangan dan ukuran adalah posisi ekonomi, terutama perekonomian yang terjadi di pasar-pasar dengan perantaraan jual-beli. Ta’wil dengan makna ini tidak bertentangan dengan makna zahir-nya dari ukuran dan timbangan tersebut. Selain itu, ta’wil dengan makna ini merupakan hakikat luar dan jiwanya yang terdapat dalam ukuran dan timbangan dengan perantaraan jujur dan adil dalam mu‘amalah.
4) Al-Qur’an dan nasikh-mansukh Dalam ayat-ayat hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menggantikan kedudukan ayat-ayat hukum yang turun sebelumnya. Ayat yang turun terdahulu disebut mansukh (yang dihapus), dan ayat yang turun kemudian disebut nasikh (yang menghapus). Ayat-ayat nasikh berfungsi untuk mengakhiri berlakunya hukum sebelumnya. Di antara contohnya adalah antara surat al-Baqarah/2: 109:
ﷲ ِﺑَﺄﻣْ ِﺮ ِﻩ ُ ﻰا َ ﺤﻮْا ﺣَﺘﱠﻰ َﻳﺄْ ِﺗ ُ َﻓَﺎﻋْ ُﻔﻮْا وَاﺻْﻔ “Maka maafkan dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya”, dengan surat al-Taubah/9: 29:
43
ﻦ َ ْن ِدﻳ َ ْﻻ َﻳ ِﺪﻳْ ُﻨﻮ َ ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َو ُ ﷲ َو َر ُ ﺣ ﱠﺮ َم ا َ ن ﻣَﺎ َ ْﺤ ﱢﺮ ُﻣﻮ َ ﻻ ُﻳ َ ﺧ ِﺮ َو ِﻷ َ ْﻻﺑِﺎﻟْ َﻴﻮْ ِم ا َ ﷲ َو ِ ن ﺑِﺎ َ ْﻻ ُﻳﺆْ ِﻣ ُﻨﻮ َ ﻦ َ ْﻗَﺘُِﻠﻮْا اﱠﻟ ِﺬﻳ ﺐ َ ﻦ ُأوْﺗُﻮا اﻟْ ِﻜ َﺘ َ ْﻦ اﱠﻟ ِﺬﻳ َ ﻖ ِﻣ ﺤﱢ َ ْاﻟ “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengaharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang yang diberikan AlKitab kepada mereka”. Pada surat al-Baqarah ayat 109, terdapat hukum yang memerintahkan kaum muslimin untuk bersikap lunak kepada golongan ahlul kitab, namun setelah beberapa hari kemudian, hukum tersebut dicabut. Sebagai penggantinya, Allah swt. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memerangi mereka (surat alTaubah ayat 29). Penetapan hukum ini disebabkan karena ahlul kitab tidak beriman kepada Allah swt, serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Mufassir Syi’i isnâ ‘asyariyyah berpendapat bahwa nasakh dalam AlQur’an adalah berakhirnya waktu berlakunya hukum yang di-nasakh (mansukh) tersebut. Mufasir Syi’i juga berpendapat bahwa hukum yang pertama (mansukh) memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh sementara yang terbatas, dan hukum yang pertama ini berakhir apabila ada ayat hukum yang datang kemudian (nasikh). Mereka berpandangan bahwa menetapkan hukum sementara sebelum ada tuntutan-tuntutan untuk menetapkan hukum yang abadi, kemudian menetapkan hukum yang abadi dan mengganti hukum yang sementara merupakan
44
sesuatu yang bisa diterima dan tidak mengandung kemusyrikan. 17 Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah falsafah nasakh, di antaranya adalah surat al-Nahl/16: 101-102:
(101) ن َ ْﻻ َﻳﻌَْﻠ ُﻤﻮ َ ْﺖ ُﻣﻔْ َﺘ ٍﺮ َﺑﻞْ َأآْ َﺜ ُﺮ ُهﻢ َ ْل ﻗَﺎُﻟﻮْا ِإ ﱠﻧﻤَﺎ َأﻧ ُ ﷲ َأﻋَْﻠ ُﻢ ِﺑﻤَﺎ ُﻳ َﻨﺰﱢ ُ ن ءَا َﻳ ٍﺔ وَا َ َوِإذَا َﺑ ﱠﺪﻟْﻨَﺎ ءَا َﻳ ًﺔ ﱠﻣﻜَﺎ (102) ﻦ َ ْﺸﺮَى ِﻟﻠْ ُﻤﺴِْﻠ ِﻤﻴ ْ ﻦ ءَاﻣَ ُﻨﻮْا وَ ُهﺪًى َو ُﺑ َ ْﺖ اﱠﻟ ِﺬﻳ َ ﻖ ِﻟ ُﻴ َﺜ ﱢﺒ ﺤﱢ َ ْﻚ ﺑِﺎﻟ َ س ِﻣﻦْ ﱠر ﱢﺑ ِ ح اﻟْ ُﻘ ُﺪ ُ ُْﻗﻞْ َﻧ ﱠﺰَﻟ ُﻪ ُرو “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-ada saja”, bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui” (101). Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk menguhkan hati orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (102). Al-Tûsî (w. 460 H) menjelaskan bahwa nasakh dalam Al-Qur'an terbagi tiga bahagian, yaitu: pertama, di-nasakh hukumnya tanpa di-nasakh lafaznya. Di antara contohnya adalah surat al-Baqarah ayat 240, surat al-Mujâdalah ayat 21, dan surat al-Anfâl ayat 65. Kedua, di-nasakh lafaznya tanpa di-nasakh hukumnya, seperti ayat rajam; dan ketiga, di-nasakh lafaz dan hukumnya, seperti surat alQasas ayat 12. 18
17
Al-Tabâabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 61. Lihat juga Rippin (Ed), Aproaches, h. 188. Tûsî, al-Tibyân, Juz I, h. 13.
18Al-
BAB IV PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN
A. Hukum Ibadah 1. Shalat Qasar - Surat al-Nisâ’/4: 101:
ﻦ َ ْﺧﻔْ ُﺘﻢْ َأنْ ﻳﱠ ْﻔ ِﺘ َﻨ ُﻜ ُﻢ اﱠﻟ ِﺬﻳ ِ ْﺼﻠَﻮ ِة ِإن ﻦ اﻟ ﱠ َ ﺼ ُﺮوْا ِﻣ ُ ْﺟﻨَﺎحٌ َأنْ َﺗﻘ ُ ْﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢ َ ﺲ َ ْض َﻓَﻠﻴ ِ ْﻷر َ ْﺿ َﺮﺑْ ُﺘﻢْ ﻓِﻲ ا َ َوِإذَا ﻋﺪُوًّا ﱡﻣ ِﺒ ْﻴﻨًﺎ َ ْﻦ آَﺎ ُﻧﻮْا َﻟ ُﻜﻢ َ ْن اﻟْ َﻜ ِﻔ ِﺮﻳ آَﻔَ ُﺮوْا ِإ ﱠ “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Tûsî menjelaskan bahwa seseorang boleh dan tidak berdosa untuk menqashar shalatnya. Menurutnya, shalat qasar wajib dilakukan apabila seseorang sedang bepergian dan dalam keadaan takut. Jarak yang dipersyaratkan oleh al-Tûsî adalah delapan farâsakh 1 . Apabila tidak dalam keadaan takut, maka ia tidak wajib qasar shalat. Ia hanya diwajibkan mengerjakan
1
Farâsakh adalah jarak yang ditempuh seseorang dalam melakukan perjalanan. Satu farâsakh sama dengan satu mil. Lihat al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Jogjakarta: Pustaka Peantren, 2004), h. 125.
45
46
shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan itu tidak dinamai dengan shalat qasar. 2 Selain itu, al-Tûsî juga menjelaskan pandangan beberapa ahli tafsir atau ta’wil tentang menqasar shalat sebagai berikut: a. Shalat qasar hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian sekalipun tidak dalam keadaan takut. Pendapat ini disponsori oleh Yu‘la bin Umayyah dan Umar bin Khattab. b. Shalat qasar hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berpergian dan dalam keadaan takut. Pendapat ini dianut oleh al-Sadi, Abdulllah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Ka‘ab.
2. Shalat Jama’ - Surat al-Isrâ’/17: 78:
ن َﻣﺸْ ُﻬﻮْدًا َ ن اﻟْ َﻔﺠْ ِﺮ آَﺎ َ ن ُﻗﺮَْا ن اﻟْ َﻔﺠْ ِﺮ ِإ ﱠ َ ﻖ اﻟﱠﻠﻴْﻞِ َو ُﻗﺮَْا ِﺴ َﻏ َ ﺲ ِإﻟَﻰ ِ ْﺸﻤ ك اﻟ ﱠ ِ ْﺼﻠَﻮ َة ِﻟ ُﺪُﻟﻮ َأ ِﻗ ِﻢ اﻟ ﱠ “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. Al-Tûsî menjelaskan bahwa makna ayat ﺲ ِ ْﺸﻤ ك اﻟ ﱠ ِ ْ ِﻟ ُﺪُﻟﻮadalah shalat zuhur dan shalat asar. Adapun makna ﻞ ِ ْﻖ اﻟﱠﻠﻴ ِﺴ َﻏ َ adalah shalat maghrib dan isya’, sedangkan makna ayat ن اﻟْ َﻔﺠْ ِﺮ َ َو ُﻗﺮَْاadalah shalat subuh. Melalui ayat ini, al-Tûsî menjelaskan bahwa shalat zhuhur dan ashar pelaksanaannya dilakukan secara
2
Syaikh al-Tâifah Abû Ja‘far Muhammad bin al-Hasan al-Tûsî, al-Tibyân fi Tafsir alQur’ân, (Teheran: Maktab al-A‘lâm al-Islâmi, 1409 HQ), Jilid III, h. 307-310.
47
Al-Tûsî juga menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat jama’ tersebut dikerjakan pada saat muqim, dan apabila dalam keadaan musafir, maka seseorang harus shalat jama’ qasar. 3. Shalat Jum’at
ِﺼﻠَﻮ ِة ِﻣﻦْ ﱠﻳﻮْ ِم اﻟْ ُﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ ﻓَﺎﺳْﻌَﻮْا ِإﻟَﻰ ِذآْﺮِاﷲ ى ﻟِﻠ ﱠ َ ﻦ ءَاﻣَ ُﻨﻮْا ِإذَا ُﻧﻮْ ِد َ َْﻳَﺄ ﱡﻳﻬَﺎاﱠﻟ ِﺬﻳ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah”. Al-Tûsî dan Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah menjelaskan bahwa shalat jum’at harus dilaksanakan oleh sultan (penguasa) yang adil atau penggantinya. Sultan yang dimaksud di sini adalah Rasulullah saw atau salah satu dari dua belas imam yang ma’sûm. Adapun yang dimaksud dengan pengganti sultan, al-Tûsî mensyaratkan harus orang mukmin yang mengakui imâmah dua belas. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa shalat jum’at diwajibkan kepada seluruh mukallaf, kecuali yang mempunyai uzur, seperti musafir, sakit, buta, tuli, pincang, dan semacamnya. Ia juga menguraikan bahwa syarat pelaksanaan shalat jum’at adalah minimal tujuh orang. 4 Dari penjelasan al-Tûsî tersebut nampaklah bahwa terdapat perbedaan antara pelaksanaan shalat jum’at oleh Syi‘i dengan mayoritas Sunni kecuali mazhab Hanafi. Dalam mazhab Hanafi dijelaskan bahwa shalat jum’at harus dipimpin oleh seorang sultan, baik adil maupun zalim. Dalam mazhab ini juga dijelaskan bahwa ada empat hal yang menjadi hak para penguasa, di antaranya adalah shalat jum’at. Apabila dalam shalat jum’at tidak disyaratkan harus 3
Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid VI, h. 508-510. Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz X, h. 8-9.
4
48
dipimpin sultan, maka pelaksanaannya akan mengarah pada kekacauan. Hal ini disebabkan karena manusia akan saling berlomba datang lebih dahulu ke masjid lalu melaksanakan shalat jum’at untuk tujuan mereka. Dengan demikian, orangorang selain mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengkoordinir kegiatan shalat jum’at. Dalam keadaan seperti ini pasti terjadi kekacauan. Oleh karena itu, menurut mazhab Hanafi, pelaksanaan shalat jum’at harus diserahkan kepada sultan yang kepadanya diserahkan berbagai urusan manusia dan berlaku adil di antara mereka. 5 4. Puasa Surat al-Baqarah/2: 183-184:
( َأﻳﱠﺎﻣًﺎ183) ن َ ْﻦ ِﻣﻦْ َﻗﺒِْﻠ ُﻜﻢْ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜﻢْ َﺗ ﱠﺘ ُﻘﻮ َ ْﻋﻠَﻰ اﱠﻟ ِﺬﻳ َ ﺐ َ ﺼﻴَﺎ ُم َآﻤَﺎ ُآ ِﺘ ﻋَﻠﻴْ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱢ َ ﺐ َ ﻦ ءَا َﻣ ُﻨﻮْا ُآ ِﺘ َ َْﻳَﺄ ﱡﻳﻬَﺎاﱠﻟ ِﺬﻳ (184) ﺧ َﺮ َ ﺳ َﻔ ٍﺮ َﻓ ِﻌ ﱠﺪ ٌة ِﻣﻦْ َأﻳﱠﺎ ٍم ُأ َ ﻋﻠَﻰ َ ْن ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ َﻣ ِﺮﻳْﻀًﺎ َأو َ ت َﻓ َﻤﻦْ آَﺎ ٍ ﱠﻣ ْﻌ ُﺪ ْودَا “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (183). (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (184)”. Al-Tûsî menafsirkan bahwa kata ﺼﻴَﺎ ُم اﻟ ﱢyang tercantum dalam ayat tersebut bermakna puasa Ramadhan. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa bagi orang musafir dan bagi orang sakit, maka wajib hukumnya untuk tidak berpuasa dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan puasa. Apabila seseorang berpuasa 5
‘Ali Ahmad al-Sâlûs, Ma‘a al-Isnâ ‘Asyariyyah fi al-shûl wa al-Furû‘, (Qatar: Dâr alTsaqâfah, 2002), h. 992-1002.
49
5. Wudhu’ Surat al-Mâidah/5: 6:
ﺤﻮْا ُﺴ َ ﻖ وَا ْﻣ ِ ﺟﻮْ َه ُﻜﻢْ َوَأﻳْ ِﺪ َﻳ ُﻜﻢْ ِإﻟَﻰ اﻟْ َﻤﺮَا ِﻓ ُ ﺼﻠَﻮ ِة ﻓَﺎﻏْﺴُِﻠﻮْا ُو ﻦ ءَا َﻣ ُﻨﻮْا ِإذَا ُﻗﻤْ ُﺘﻢْ ِإﻟَﻰ اﻟ ﱠ َ َْﻳَﺄ ﱡﻳﻬَﺎاﱠﻟ ِﺬﻳ ﻦ ِ ْﺟَﻠ ُﻜﻢْ ِإﻟَﻰ اﻟْ َﻜﻌْ َﺒﻴ ُ ْﺳ ُﻜﻢْ َوَار ِ ِْﺑ ُﺮ ُءو “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. Al-Tûsî menafsirkan ayat ْﺟﻮْ َه ُﻜﻢ ُ ﺴُﻠﻮْا ُو ِ ْ ﻓَﺎﻏdalam ayat tersebut adalah membasuh muka mulai dari batas rambut kepala sampai dengan dagu. Ia juga menjelaskan bahwa bahagian dalam dari mulut, hidung, dan mata bukan merupakan bahagian dari wajah. Oleh karena itu, hal-hal tersebut tidak wajib dibasuh. Ayat ﻖ ِ َوَأﻳْ ِﺪ َﻳ ُﻜﻢْ ِإﻟَﻰ اﻟْ َﻤﺮَا ِﻓia tafsirkan dengan makna membasuh tangan mulai dari siku sampai dengan ujung jari-jari tangan. Al-Tûsî menjelaskan bahwa dalam membasuh tangan tidak boleh dimulai dari ujung jari sampai ke siku, karena harf ِإﻟَﻰdalam ayat tersebut bermakna ﻣﻊ. Pandangan ini berbeda dengan mazhab Sunni. 7
6
Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid II, h. 115-117. Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 447-450.
7
50
Ayat ْﺳ ُﻜﻢ ِ ْﺤﻮْا ِﺑ ُﺮ ُءو ُﺴ َ ْ وَاﻣia tafsirkan dengan makna mengusap bahagian depan kepala dan tidak mengusap secara keseluruhan. Dalam membahas ayat ﺟَﻠ ُﻜﻢْ ِإﻟَﻰ ُ َْوَار ﻦ ِ ْ اﻟْ َﻜﻌْ َﺒﻴmenjelaskan bahwa kata ْﺟَﻠ ُﻜﻢ ُ ْ‘ َوَارataf pada ْﺳ ُﻜﻢ ِ ْ ِﺑ ُﺮ ُءو. Oleh karena itu, kata tersebut harus dibaca kasrah ( ْﺟِﻠ ُﻜﻢ ُ ْ) َوَار. Al- Tûsî menjelaskan bahwa makna ayat ﻦ ِ ْﺟَﻠ ُﻜﻢْ ِإﻟَﻰ اﻟْ َﻜﻌْ َﺒﻴ ُ ْ َوَارmengusap (bukan membasuh) kaki yang dimulai dari ujung jari kaki sampai dengan mata kaki. Ia juga menjelaskan bahwa aturan mengusap kepala berlaku juga dalam mengusap kaki. Aturan tersebut adalah bahwa kaki yang diusap adalah sebahagiannya saja (tidak mesti telapak kaki). 8 6. Zakat dan Khumûs Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara al-Tûsî sebagai mufasir dan fuqahâ’ Syi‘i dengan mazhab Sunni dalam hal kewajiban dan kadar zakat. Yang membedakan menurut al- Tûsî dan fuqahâ’ Syi‘i lainnya adalah di samping zakat dan sedekah, masih ada kewajiban terhadap harta, yaitu khumûs (seperlima). Menurut al-Tûsî, khumûs merupakan kewajiban bagi yang memperoleh hal-hal sebagai berikut: a. Harta rampasan perang terhadap non muslim b. Barang tambang (emas, perak, besi, minyak, dan semacamnya) c. Harta tersembunyi yang ditemukan di bawah tanah (apa saja) d. Yang ditemukan di laut atau sungai selain ikan e. Keuntungan usaha, apabila melebihi kebutuhan seseorang dan keluarganya selama satu tahun f. Harta yang bercampur dan tidak terpisahkan antara yang halal dan yang haram
8
Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 452-453.
51
g. Tanah yang dibeli oleh seorang zimmî dari seorang muslim. Hal ini terjadi apabila setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu h. Khumûs (seperlima) dari pendapatan atau harta-harta tersebut dibagi kepada enam bahagian, yaitu mereka yang tersebut dalam surat al-Anfâl/8: 8:
ﻦ ِ ْﻦ وَاﺑ ِ ْﺴ ِﻜﻴ َ ل َوِﻟﺬِى اﻟْ ُﻘﺮْ َﺑﻰ وَاﻟْﻴَﺘَﻤَﻰ وَاﻟْ َﻤ ِ ْﺳﻮ َ ﺴ ُﻪ َوﻟِﻠ ﱠﺮ َ ﺧ ُﻤ ُ ﷲ ِ ِن ﺷﻲْ ٍء َﻓِﺄ ﱠ َ ْﻏ ِﻨﻤْ ُﺘﻢْ ِﻣﻦ َ وَاﻋْﻠَ ُﻤﻮْا َأ ﱠﻧﻤَﺎ ﻞ ِ ْﺴ ِﺒﻴ َ اﻟ “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”. Al-Tûsî menjelaskan bahwa fayi’ itu diperuntukkan kepada Allah SWT, Rasul-Nya Muhammad saw, imam ahlul bait dan kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil yang semuanya berasal dari ahli bait Rasulullah saw dari Bani Hasyim dan bukan untuk secara umum. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa hak Allah SWT dan hak Rasul saw setelah wafatnya Nabi Muhammad saw diserahkan kepada imam. Apabila imam belum muncul – dalam hal ini imam ke-12 atau imam Mahdi , maka hak-hak Allah SWT dan Rasulullah saw itu diserahkan pada para mujtahid 9 yang adil untuk digunakan bagi kebutuhan agama dan bantuan kepada fakir miskin. Separuh dari pajak keagamaan yang diserahkan kepada otoritas agama yang diakui itu, dewasa ini digunakan pada halhal yang dianggap perlu dan bermanfaat oleh otoritas yang diakui tersebut. Ia bertindak sebagai wakil imam yang belum lagi hadir dan separuh lainnya dibayarkan kepada keturunan nabi Muhammad saw, terutama yang membutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kehormatan mereka dari kehinaan akibat kesulitan keuangan dan sekaligus sebagai ungkapan cinta dan penghargaan kepada mereka. 10
9
Para Mujtahid yang dimaksud tersebut adalah para Mujtahid yang berada di Iran, seperti Khomeini, Syari’at Madari, Ali Khamanei, dan sebagainya. 10 Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz V, h. 122-125.
52
B. Hukum Mu‘amalah; 1. Nikah Mut’ah Surat al-Nisâ’/4: 24:
ﻀ ًﺔ َ ْﺟﻮْرَ ُهﻦﱠ َﻓ ِﺮﻳ ُ َﻓﻤَﺎاﺳْ َﺘﻤْ َﺘﻌْ ُﺘﻢْ ِﺑ ِﻪ ِﻣﻨْ ُﻬﻦﱠ َﻓ ْﺄ ُﺗ ْﻮ ُهﻦﱠ ُأ “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban”. Sebelum penulis menguraikan pandangan al-Tûsî terhadap nikah mut’ah, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang pengetian nikah mut’ah. Dalam paham Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah mengenal dua macam perkawinan, yaitu: (1) perkawinan mutlak tanpa batas waktu yang ditetapkan. Model ini sama dengan paham Ahlu Sunnah. (2) perkawinan mut’ah. Perkawinan mut’ah adalah perkawinan yang bersifat sementara dan temporer. Perkawinan mut’ah tidak dibenarkan oleh Ahlu Sunnah sekalipun mereka mengakui bahwa Rasulullah saw pernah mengizinkannya dan sahabat-sahabatnya banyak yang melakukannya. Menurut Ahlu Sunnah, izin tersebut telah dibatalkan sekalipun
mereka
berbeda
pendapat
tentang
kapan
dan
siapa
yang
membatalkannya. Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah tidak mengakui adanya pembatalan dari Nabi Muhammad saw., sehingga mereka masih membolehkannya sampai saat ini. Dalam hal mut’ah, Syi’ah berpandangan bahwa ijma’ kaum muslimin menyatakan
53
bahwa kawin mut’ah itu pernah disyari’atkan dan telah dilakukan. Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama dan mufasir-mufasir Syi’ah adalah bahwa menetapkan bolehnya perkawinan mut’ah akan membantu kaum muslim yang dalam perjalanan panjang, baik pelajar-pelajar maupun tentara yang masih muda belia supaya tidak terjerumus pada perzinahan. 11
Perkawinan mut’ah mempunyai empat rukun, yaitu: 12 Pertama, shighat, yaitu akad nikah dengan menggunakan salah dari tiga lafaz, seperti zawwajtuka (saya kawainkan kamu), ankahtuka (saya nikahkan engkau), dan matta‘tuka (saya mut’ahkan engkau). Kedua, al-zaujah (mempelai perempuan). Perempuan disayaratkan harus seorang muslimah atau ahli kitab dan tidak sah mut’ah dengan perempuan musyrik. Ketiga, mahar. Dalam hal mahar, mempelai laki-laki harus menyebutkan jumlah mahar yang akan diberikan. Mahar tersebut ditentukan atas dasar kerelaan kedua belah pihak walaupun hanya segenggam gandum. Keempat, jangka waktu. Rukun ini merupakan syarat utama dalam akad yang ditentukan atas dasar suka sama suka, seperti sehari, sebulan, atau setahun. Jangka waktu ini harus ditetapkan dengan pasti.
11
Muhammad Kâzim al-Tabâtabâi, al-Urwah al-Wutsqâ, (Teheran: Dâr al-Kutub alIslâmiyyah, 1388 H), h. 632. Lihat juga al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 166-167. 12 Mahmûd Bashûni Faudâi, Nasy’ah Tafsir wa Manâhijuh, (Kairo: Mathba‘ah alAmânah, 1997), h. 192-193.
54
Dalam hukum perkawinan mut’ah akan muncul beberapa masalah, di antaranya: 13 1. Perkawinan akan rusak atau batal apabila memisahkan antara penyebutan mahar dengan penyebutan jangka waktu yang ditentukan. Selanjutnya, menyebutkan mas kawin tanpa menentukan jangka waktu akan merubah status perkawinan menjadi perkawinan permanent (nikah da’im). 2. Secara ijma’, tidak ada talak dalam perkawinan mut’ah. 3. Dalam perkawinan mut’ah tidak waris mewarisi antara suami-isteri. 4. Tidak sah memperbaharui akad sebelum berakhir jangka waktu yang telah ditentukan. 5.
Apabila telah habis jangka waktu yang telah ditentukan, maka ‘iddah perempuan adalah dua kali haid. Apabila suami meninggal, maka ‘iddahnya adalah 4 bulan sepuluh hari.
Al-Tûsî berpegang teguh pada pendapatnya bahwa firman Allah swt. dalam surat al-Nisâ’ ayat 24 tersebut diturunkan sehubungan dengan masalah perkawinan mut’ah. Ia menjelaskan bahwa makna ayat َﻓﻤَﺎاﺳْ َﺘﻤْ َﺘﻌْ ُﺘﻢْ ِﺑ ِﻪ ِﻣﻨْ ُﻬﻦﱠadalah nikah mut’ah.
13
Mahmûd Bashuni Faudâ’, Nasy’ah Tafsir, h. 193-194.
55
2. Riba Surat Âli ‘Imrân/3: 130:
ﻋ َﻔ ًﺔ َ ﻻ ﺗَﺄْ ُآُﻠﻮْا اﻟ ﱢﺮﺑَﻮ َأﺿْﻌَﺎﻓًﺎ ﱡﻣﻀَﺎ َ ﻦ ءَاﻣَ ُﻨﻮْا َ َْﻳَﺄ ﱡﻳﻬَﺎاﱠﻟ ِﺬﻳ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. Al-Tûsî menjelaskan bahwa segala macam riba adalah haram, baik riba nasi’ah, riba fadli, maupun riba yad. Menurutnya segala tambahan dalam hal pinjam meminjam perhutangan, maka hukumnya adalah haram.
3. Pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab Baik Syi‘i maupun Sunni menyepakati bahwa perkawinan seorang muslim dengan seorang perempuan musyrik adalah tidak sah. Dalam perkawinan dengan perempuan bersama Ahlu Kitab, para fuqahâ’ mazhab Sunni 14 berpendapat bahwa hukumnya adalah sah. Adapun pendapat di kalangan Syi‘i Isnâ ‘Asyariyyah, maka mereka terbagi dua, yaitu: pertama, ada yang membolehkan, dan kedua, tidak membolehkan. Pendapat-pendapat yang membolehkan kawin dengan perempuan Ahlu Kitab menguraikan bahwa ayat yang melarang perkawinan dengan perempuanperempuan musyrik itu tidaklah meliputi perempuan-perempuan Ahlu Kitab. Adapun mengenai firman Allah SWT yang tercantum dalam surat al-Mumtahanah ﺼ ِﻢ اﻟْ َﻜﻮَا ِﻓ ِﺮ َ ﺴ ُﻜﻮْا ِﺑ َﻌ ِ ﻻ ُﺗ ْﻤ َ ( َوdan janganlah kalian tetap mempertahankan
ayat 10:
ikatan perkawinan dengan wanita-wanita kafir ) telah di-nasakh oleh surat alMâidah ayat 5 yang menyatakan kebolehan mengawini perempuan-perempuan 14
Para fuqahâ’ yang dimaksud adalah Syâfi‘i, Mâliki, Hanbal, Hanafi.
56
Di kalangan Syi‘i, mayoritas fuqahâ’-nya berpandangan bahwa kaum muslimin dilarang untuk mempertahankan perkawinan yang langgeng dengan perempuan Ahlu Kitab. Al-Tûsî
telah
mengemukakan
masalah
ini
dan
menyatakan
ketidakbolehannya. Berkenaan dengan firman Allah SWT dalam surat alMumtahanah ayat 10, beliau menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah “janganlah berpegang erat-erat pada ikatan perkawinan dengan perempuanperempuan kafir”, sedangkan arti semula pada ‘ismah adalah mencegah. Pernikahan dalam ayat tersebut dinamai ‘ismah karena perempuan yang dikawini tersebut berada dalam ikatan suami dan pemeliharaannya. Menurut al-Tûsî, pada ayat ini terdapat indikasi akan tidak diperbolehkan akad nikah dengan seorang perempuan kafir, baik kafir Harbi maupun kafir Dzimmi dan dalam segala situasi. Al-Tûsî menjelaskan bahwa nas tersebut bersifat umum bagi semua perempuan kafir, dan seseorang tidak bisa mengkhususkan nas tersebut dengan penyembahan kepada berhala saja, tetapi juga pada hal-hal lain yang berhubungan dengan kemusyrikan dan kekafiran. Hal ini disebabkan karena asbâb al-nuzûl dari ayat tersebut berkenaan dengan kaum perempuan. 4. Talak Apabila seseorang menyimak fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah, maka jelaslah bahwa terdapat pendapat-pendapat fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang berharga dan dapat diterima kebenarannya menurut Ahlu Sunnah. Di antara pendapat tersebut
57
adalah pendapat mengenai talak. Jumhur kaum muslimin sangat menghargai pendapat fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah dalam masalah ini. Ustaz Musa Jarullah sebagai seorang tokoh besar yang dikenal sebagai musuh bebuyutan fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah menyatakan bahwa banyak orang sangat menghargai pendapat Syi’ah dalam masalah adab talak dan aturannya. 15 Undang-undang Mesir telah mengadopsi pendapat-pendapat fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah dalam masalah talak. Dalam fiqh fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah dijelaskan bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus, maka ia berarti hanya jatuh talak satu. Dalam tafsir al-Tibyân, al-Tûsî menafsirkan surat al-alâq/96 1:
ﻦ ﻄﻠﱢ ُﻘﻮْ ُهﻦﱠ ِﻟ ِﻌ ﱠﺪ ِﺗ ِﻬ ﱠ َ ﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء َﻓ َ ﻲ ِإذَا َﻳَﺄ ﱡﻳﻬَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”. Al-Tûsî menjelaskan bahwa pada masa iddah mereka hendaklah suami menceraikan isterinya itu dalam keadaan suci yang tidak digaulinya. Inilah yang disebut talak pada iddah, karena masa suci, isteri ditalak itu dihitung sebagai termasuk iddahnya yang terjadi sebagai akibat talak. Oleh karena itu, ayat tersebut bermakna “hendaknya suami mentalak mereka pada masa sucinya yang dihitung sebagai termasuk iddahnya, dan suami tidak diperbolehkan untuk menceraikan mereka pada waktu haid mereka, yang tidak akan dihitung sebagai qurû‘ mereka”. Atas dasar inilah, saat mulainya iddah itu adalah masa suci mereka. Inilah menurut pendapat para sahabat kami. Zâhir ayat tersebut menuntut bahwa apabila suami mentalak isterinya pada masa haid atau pada masa suci yang digaulinya, maka tidaklah jatuh talak. Hal ini disebabkan karena perintah dalam ayat tersebut menuntut pelaksanaan. Pendapat ini dipegang juga oleh Sa‘id bin al-Musayyib dan kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah. 15
Mûsâ Jâr Allâh, al-Wasyi‘ah fi Naqd ‘Aqâid al-Syi‘ah, (Teheran: al-Maktabah alIslâmiyyah, 1987), h. 52.
58
Sebahagian fuqahâ’ berpendapat bahwa telah jatuh talak sekalipun hal itu merupakan bid’ah menyalahi apa yang diperintahkan. Demikian pula menyatukan talak tiga itu dalam satu waktu adalah bid’ah, meskipun hal tersebut banyak dilakukan orang. Talak dalam syari’at adalah ibarat melepaskan perempuan dari tali ikatan nikah, terkadang perpisahan suami-isteri dapat terjadi tanpa adanya talak, seperti dalam kasus irtidâd, li‘ân, dan khulû‘. Ketiga hal ini tidak dinamai talak. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat petunjuk bahwa hal yang wajib dalam pernyataan talak adalah menjatuhkannya secara terpisah (satu demi satu) dan tidak diperbolehkan mengumpulkan antara tiga talak. Hal ini disebabkan karena Allah SWT telah mengukuhkan firman-Nya dalam ayat surat al-alâq ayat satu tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa ayat tersebut mengukuhkan akan garis-garis ketentuan Allah SWT mengenai talak dan sebagai pemberitahuan bahwa hak ruju’ tidaklah hilang dengan disekaliguskannya talak yang tiga. Melalui ayat ini menurutnya seakan-akan Allah berkata: “Jadilah kalian orang-orang yang mengharapkan manfaat ruju’ itu, karena terkadang memperbaharui rasa cinta suami setelah ia menjatuhkan talak”. Apabila mereka berkata bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT telah memerintahkan talak iddah, maka talak sunnah itu adalah talak iddah. Al-Tûsî menjelaskan bahwa para sahabat Ahlu Bait mengistilahkan talak yang tidak ditambah lagi sesudah ruju’ itu disebut dengan talak sunnah, sedangkan talak yang ditambah dengan syarat terjadinya ruju’ (sesudah talak yang pertama) disebut dengan talak iddah. Dalam menjelaskan ayat tersebut, al-Tûsî juga mengutip riwayat dari Abû Ja‘far. Abû Ja‘far menjelaskan bahwa yang dinamakan talak adalah menceraikan isteri pada masa suci yang tidak dilakukan persetubuhan di dalamnya. Talak disaksikan oleh dua orang laki-laki yang adil. Selanjutnya, suami masih berhak
59
untuk merujuki isterinya selama belum melampaui tiga qurû’. Inilah talak yang sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan aturan Rasulullah saw dalam sunnahnya. Adapun talak tanpa iddah tidaklah dapat dikatakan talak. Dalam jalur riwayat yang lain, al-Tûsî juga mengutip penjelasan Zarârah. Zarârah menjelaskan: Suatu saat dia bertanya kepada Abu Ja‘far: terangkanlah kepadaku tentang talak sunnah dan talak iddah. Ia menjawab: Talak sunnah adalah apabila seorang laki-laki menghendaki untuk menceraikan isterinya, maka ia menanti sampai isterinya haid dan suci kembali. Apabila haidnya telah berhenti, maka ia lalu metalaknya satu kali dan tidak mengadakan persetubuhan serta disaksikan oleh dua orang laki-laki yang adil dan dibiarkannya isterinya tersebut sampai habis masa iddahnya, maka berarti ia telah menceraikan isterinya tersebut. Apabila ada seorang laki-laki yang melamarnya, maka bolehlah perempuan yang diceraikan itu kawin dengannya apabila ia mau. Selama perempuan tersebut masih dalam iddahnya, maka suami berkewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal kepadanya. Selain itu, keduanya juga tetap boleh saling waris-mewarisi sehingga berakhir masa iddahnya. Adapun talak iddah adalah apabila seorang laki-laki ingin menceraikan isterinya, maka ia menunggunya sampai datang haid dan kemudian suci kembali, lalu ia mentalaknya dengan talak satu dengan tidak mengadakan persetubuhan, serta dengan mendatangkan dua saksi yang adil. Setelah itu apabila suami ingin damai, maka ia boleh ruju’ kembali kepadanya pada hari berikutnya atau setelah beberapa hari. Apabila perempuan itu haid lagi dan kemudian habis haidnya, lalu suami tersebut mentalaknya lagi dengan talak satu dengan tidak melakukan persetubuhan serta disaksikan oleh dua orang saksi, lalu ia ruju’ kepadanya dengan dipersaksikan, maka bolehlah suami menyetubuhinya dan tinggal bersamanya sampai haid yang ketiga. Apabila perempuan tersebut telah selesai
60
dari haidnya yang ketiga, lalu suaminya tersebut mentalaknya lagi untuk ketiga kalinya dengan dipersaksikan dan tidak melakukan persetubuhan, maka berarti perempuan tersebut telah cerai darinya dan tidak halal lagi baginya untuk mengawininya kembali sampai perempuan tersebut kawin dengan laki-laki lain. Selanjutnya al-Tûsî dalam tafsir al-Tibyân menjelaskan bahwa mengenai firman Allah SWT: ْل ﱢﻣﻨْ ُﻜﻢ ٍ ْﻋﺪ َ ْ( َوَأﺷْ ِﻬ ُﺪوْا َذ َويdan persaksikanlah ruju’ itu dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian), para mufasir menjelaskan bahwa suami isteri diperintahkan untuk mempersaksikan talak dan ruju’ dengan dua saksi yang adil sehingga tidak terjadi penyangkalan dari perempuan yang dirujuki tersebut setelah selesai masa iddahnya. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan agar laki-laki atau suaminya tidak bisa menyangkal talaknya. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah “dan persaksikanlah pelaksanaan talak itu oleh kalian sebagai penjagaan bagi agama yang dianutnya. Penjelasan maksud ini adalah yang diriwayatkan para imam ahlul bait. Penjelasan ini menurutnya lebih cocok dengan Zâhir ayat tersebut. Hal ini disebabkan karena apabila dikaitkan dengan talak, maka ayat tersebut merupakan sebuah perintah yang menuntut pelaksanaan dan merupakan salah satu syarat bagi sahnya talak. 16 Inilah pendapat kaum Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah dalam masalah talak, dan ini pulalah pendirian al-Tûsî dan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan talak berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah.
16
Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz X, h. 28-34.
64 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim ‘Abd al-‘Aziz, Amir , Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirût: Dâr al-Furqân, 1983. Al-‘Ak, Khâlid ‘Abd al-Rahmân, Usûl Tafsir wa Qawâ‘iduh, Beirût: Dâr alU
Nafâis, 2003. Ali Ja‘far, Musâ’id ‘Abd Allâh, Asar al-Tatawwur al-Fikri fi al-Tafsir fi al-‘Asr al-‘Abbâsi, Beirût: Muassah al-Risâlah, 1984. Al-‘Arabiyyah, Majma‘ al-Lughah, Mu‘jam al-Fâzh al-Qur’ân al-Karim, Kairo: al-Hayi’ah al-Misriyyah, t.th., jilid I. Al-‘Assâl, Muhammad Muhammad Ibrâhim, al-Syi‘ah al-Itsnâ al-‘Asyariyyah wa Manhajuhum fi Tafsir al-Qur'ân al-Karim, Kairo: Dâr al-Salâm, 1427 H. Al-Asfahâni, al-Râghib, Mu‘jam Mufradât al-Fâzh al-Qur’an, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th. ‘Awwâd, Muhammad Hasan, Dirâsât fi Lughah al-Qur’ân, Tanâwub Hurûf alJar fi Lughah al-Qur’ân, Yordania: Dâr al-Furqân, 1982. Al-Baghdâdi, Sâlim al-Tsafâr, Naqd Manhaj al-Tafsir wa al-Mufassirin alMuqâran, Beirût: Dâr al-Hâdi, 2000. Al-Bannâ, Kamal, Tafsir al-Qur’ân al-Karim baina al-Qudamâ’ wa alMuhaddisîn: Kairo, Dâr al-Fikr, 2003. Al-Bâqî, Muhammad Fuâd ‘Abd, al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’ân al-
64
65 Karim, Kairo: Dâr al-Hadis, 2001. Al-Bûti, Muhammad Sa‘id Ramadân, Mabâhis al-Kitâb wa al-Sunnah min ‘Ilm al-Usûl, Damaskus: tp, 1975. Faudâ', Mahmûd Basuni, al-Tafsir wa Manâhijuh, Kairo: Mathba‘ah al-Amânah, 1977. Golziher, Ignaz, Mazhâhib al-Tafsir al-Islâmi, Bierût: Dâr al-Iqrâ', 1983. Al-Haidari, Kamâl, Ta'wil al-Qur'ân; al-Nazariyyah wa al-Mu‘tiyât, Iran: Dâr Farâqid, 2005. _________, al-‘Ismah; Bahs Tahlili fi al-Dau' al-Manhaj al-Qur'ân, Iran: t.p, 1997. Hakim, Muhammad Bâqir, ‘Ulûm al-Qur'ân, Qom: Majma‘ al-Fikr al-Islâmi, 1427 H. Hasan, ‘Usmân ‘Ali, Manhaj al-Istidlâl ‘alâ Masâ’il al-I‘tiqâd ‘inda Ahl alSunnah wa al-Jamâ‘ah, Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1418 H. Al-Hasyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‘âni wa al-Bayân wa al-Badi‘, Mesir: al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ, 1960. Al-Hasyimi, Muhammad Kâmil, ‘Aqâ‘id al-Syi‘ah fi al-Mizân, Beirût: Dâr alFikr, 1979. Hawting, G. R. dan A. Shareef, ‘Abdul Kader, Approaches to the Qur’ân: London dan New York: Routledge, 1993. Kassâr, Jawwâd ‘Ali, Buhûst Haul al-Imâmah, Iran: Dâr Farâqid, t.th.
66 Mahdi, ‘Abd al-Nabi, al-Manhaj al-Sahih fi Tafsir al-Qur'ân, Teheran: Markaz Munir, 1385 . Ma‘rifah, Muhammad Hâdi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Qom: al-Jâmi‘ah alRidawiyahli al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, 1383 HS. _________, Târîkh al-Qur'ân, Qom: tp, t.th. Al-Mushuli, ‘Abdullah bin ‘Abdullah, Haqîqah al-Syî‘ah, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990. Al-Najafî, ‘Alî al-Fâdhil al-Qâiyanî, ‘Ilm al-ûsul; Târîkhan wa Tatawwuran, Iran: Maktab al-I‘lâm al-Islâmî, 1376 HS. Al-Najâr, ‘Amir, fi Mazâhib al-Islâmiyyîn, Kairo: al-Haiah al-Misriyyah al‘Âmmah li al-Kuttâb, 2005. Al-Nahwi, Abî al-Hasan ‘Alî bin ‘Îsâ al-Rumânî, Kitâb Ma‘ânî al-Hurûf, Mesir: Dâr al-Syurûq, t.th. Al-Namlah, ‘Abd al-Karîm ibn ‘Ali ibn Muhammad, al-Muhazzab fî ‘Ilm Usûl alFiqh al-Muqâran, Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2004, Jilid III. Nasab, Ridâ Husainî, al-Syî‘ah Tujîb, Iran: Muassasah Imâm ‘Alî, 1426 H. Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân, tt: Mansyûrât al-‘Asr alHadîs, 1973. Al-Qurtubî, Abû ‘Abd Allâh, ibn Ahmad al-Ansârî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Sya‘b, t.th., jilid VII. Ibn Qutaibah, Ta'wîl Musykil al-Qur'ân, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1981.
67 Qutub, Sayyid, fî Zilâl al-Qur'ân, Kairo: Dâr al-Syurûq, 2005. Rippin, Andrew, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân, New York: Clarendon Press, 1988. Al-Sabt, Khâlid bin ‘Usmân, Qawâ‘id al-Tafsîr, Jam‘an wa Dirâsah, Kairo: Dâr Ibn Ghiffân, 1421 H. Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Damaskus: Maktabah al-Ghazalî, 1991. Al-Sâif, Muhammad ‘Abd al-Rahmân, al-Syî‘ah wa Tahrîf al-Qur'ân, Iskandariyyah: Dâr al-´mân, t.th. Sâlih, ‘Abd al-Qâdir Muhammad, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Asr al-Hadîs, Beirût: Dâr al-Ma‘rifah, 2003. Al-Sâlus, ‘Ali Ahmad, Ma‘a al-Isnâ al-‘Asyariyyah fî al-Usûl wa al-Furû‘; Dirâsah Muqâranah fi al-‘Aqâid wa al-Tafsîr wa al-Hadîs wa alFiqh Usûlih, Kairo: Maktabah Dâr al-Qur'ân, 2006. Saqar, al-Sayyid Ahmad, Syarah Ta’wîl Musykil al-Qur’ân li ibn Qutaibah, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1981. Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996. Al-Subhânî, Ja‘far, Usûl, al-Fiqh al-Muqâran; fîmâ lâ Nâss fîh, Qom: Muassasah U
al-Imâm al-sâdiq, 1425 H. _________, al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah‘alâ Dau' Madrasah Ahl al-Bait, Qom: Muassasah al-Imâm al-sâdiq, 1425 H.
68 _________, al-Insâf fî Masâil Dâm fîhâ al-Khilâf, Qom: Muassasah al-Imâm alsâdiq, 1423 H. _________, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî wa Dawâruh, Qom: Muassasah al-Imâm alsâdiq, 1427 H. Surachmad, Winarno, Dasar, Metode dan Teknik Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito. 1995. Al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Muhammad dan Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Hadîs, 2004. Syâhîn, ‘Abd al-Sabûr, al-Minhaj al-Sautî li al-Bunyah al-‘Arabiyyah, Ru’ya Jadîdah fi al-Sarf al-‘Arabî, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1980. Al-Syintanawî, Ahmad, Dâirah al-Ma‘ârif al-Islâmiyyah, Beirût: Dâr alFikr,1977, Jilid VII. Al-Tabâtabâî, Sayyid Muhammad Husain, Shi’te Islam, Houston: Free Islamic Literature, 1979. ___________, al-Qur’ân fî al-Islâm, Beirût: Jâmi‘iyyah al-Saqafah alIjtimâ‘iyyah, 1973. ___________, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, Qom: Mansyûrât Jâmi‘ah alMudarrisîn fî al-Hauzah al-‘Ilmiyyah, t.th. ___________, fî Rihâb al-‘Aqîdah, Iran: Dâr al-Hilâl, 2004. Al-Tawâb, Ramadân ‘Abd, Fusûl fî Fiqh al-‘Arabiyyah, Kairo: al-Nâsyir Maktabah al-Khânajî, 1987.
69 Al-Ta’lîf Muassasah al-Balâgh, Lajnah, Ahl al-Bait: Maqâmuhum wa Manhajuhum wa Masâruhum, Iran: Râbi¯ah al-Sâqâfah wa al‘Alaqah al-Islâmiyyah Mudîriyyah al-Tarjumah wa al-Nasyr, 1996. Al-Tûsî, Abû Ja‘far Muhammad ibn al-Hasan, al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur'ân, Qom: Maktabah al-A‘lâm al-Islâmî, 1409 HQ. ‘Umar, Muhammad al-Râzî Fakhr al-Dîn ibn Diyâ’ al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1985, Jlid XV. ________, al-Mahsl: Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1997, Juz I. Yusuf Ali, Abdullah, The Holy Qur’an, Translation and Commentary, Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1989. Al-Zahabî, Muhammad Husain, al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur’ân alKarîm, Dawâfi’uhâ wa Daf’uhâ, Mesir: Mustafâ al-Bâb al-Halabî, t.th. ________, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000. Zahiri, Ihsân Ilahi, al-Syî‘ah wa al-Sunnah, Lahore: tp, 1974. Ibn Zakariyâ’, Abû Husain Ahmad ibn Fâris, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Mesir: Mustafâ al-Bâb al-Halabî, 1972, jilid II.