PANDANGAN HUKUM NEGARA TERHADAP EKSISTENSI SIMBOL BENDERA BINTANG KEJORA Navy Sasmita Tien Handayani Nafi Lidwina Inge Nurtjahyo Program Studi Ilmu Hukum, Kekhususan Hukum tentang Kesejahteraan Masyarakat dan Masalah Sosial, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Abstrak Hak atas identitas budaya merupakan salah satu hak yang seharusnya mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara. Namun realitanya banyak terjadi bentukbentuk pelarangan oleh negara terhadap eksistensi suatu simbol budaya. Penelitian ini akan mengkaji bentuk pelarangan tersebut. Objek dari penelitian ini adalah mengenai pandangan hukum negara terhadap eksistensi simbol bendera Bintang Kejora. Simbol bendera Bintang Kejora kerap dikaitkan dengan gerakan separatis yang muncul di Papua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pelarangan terhadap simbol bendera Bintang Kejora tersebut berakar dari perbedaan paradigma antara Pemerintah dan Masyarakat Asli Papua terhadap makna simbol bendera Bintang Kejora. Kata kunci: Simbol, Bendera Bintang Kejora, Hak Budaya Abstract The right to own a cultural identity is one of the human rights that should be acknowledged and protected by the state. In reality, however, the state imposes numerous prohibitions against the existence of certain cultural symbols. This research analyzed that form of prohibition. The object of this research is the legal point of view of the state toward the existence of the Morning Star flag. The symbol of the Morning Star flag is frequently associated with the separatist movement in Papua. This research found that the ban of the Morning Star flag stemmed from the disparity of the Government’s and the Papuans’ perceptions about the symbolic meaning of the Morning Star flag. Keywords: Labour Protection; Morning Star flag, Cultural Right
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora di tanah Papua kerap dianggap sebagai bentuk tindakan kriminal.1 Hal ini terlihat dari sejumlah kasus penangkapan terhadap kelompok masyarakat yang melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora. Pada rentang waktu hingga pertengahan tahun 2012 saja, tercatat sudah terjadi satu kali peristiwa penangkapan terhadap 13 orang yang diduga sempat mengibarkan bendera Bintang Kejora saat menggelar demo di Lapangan Makam Theys Eluay di Sentani, Kabupaten Jayapura.
2
Pada tahun 2011 juga tercatat terjadinya peristiwa
penangkapan terhadap 96 warga sipil pada pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan yang dilaksanakan antara tanggal 17 hingga tanggal 19 Oktober 2011. Penangkapan 96 warga sipil ini didasarkan pada tuduhan makar yang terkait erat dengan adanya kegiatan pengibaran bendera Bintang Kejora selama kongres berlangsung. Sementara itu pada tahun 2010 setidaknya terdapat 32 orang pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora yang diselidiki dengan tuduhan makar.3 Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku pengibaran bendera Bintang kejora tersebut adalah pasal 106 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang memuat mengenai sanksi pidana terhadap pelaku makar. Pasal 106 Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. 1
Neles Tebay, “Neles Tebay: Menyelesaikan Konflik Papua,”
, diakses pada 8 Agustus 2012 2 N.N., “Kibarkan Bintang Kejora, 13 Pendemo Ditangkap, ”
, diakses pada 8 Agustus 2012 3 N.N., “Hak Asasi Manusia di Papua 2010/2011,”, diakses pada 8 Agustus 2012
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
Beberapa diantaranya telah dijatuhi vonis penjara oleh Pengadilan. Pada tanggal 1 April 2010, Nataniel Runggumusi dan Yance Mumbuai dijatuhi vonis dua setengah tahun penjara oleh Pengadilan Distrik Jayapura karena keterlibatan mereka dalam peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Terbang Kasepo di Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua pada Mei 2009. Masih pada tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 23 April 2010, Septinus Rumere juga dijatuhi vonis enam bulan penjara akibat tindakannya mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan rumahnya sendiri di Biak Timor pada 1 Desember 2009.4 Pada tahun 1999 Mantan Presiden Abdurahman Wahid pernah memberi pernyataan yang mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai simbol kultural Papua.5 Juwono Sudarsono, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan era 2004-2009, juga pernah menyebutkan bahwa TNI (Tentara Nasional Indonesia) tidak perlu terlibat dalam penanganan kasus-kasus pengibaran bendera Bintang Kejora. Beliau juga menyatakan bahwa pengibaran bendera Bintang Kejora mungkin saja dilakukan hanya demi menarik perhatian dari pemerintah daerah setempat dan tidak dilatarbelakangi niat yang terlalu jauh seperti keluar dari NKRI.6 Realitasnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah memberikan legalitas bagi Papua untuk memiliki Lambang Daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Hal ini dimuat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun demikian, keleluasaan Papua dalam memiliki Lambang Daerah ini ternyata justru dipersempit dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pada pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 4
Ibid, hal. 23 N.N., ”Gus Dur: Bintang Kejora Itu Lambang Kultural”, , diakses pada 22 September 2012 6 Amril Amarullah,”Menhan: TNI Tak Urusi Bendera Bintang Kejora”,< http://nasional.news.viva.co.id/news/read/71706-menhan__tni_tak_urusi_bendera_bintang_kejora>, diakses pada 6 Maret 2013 5
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
2007 tentang Lambang Daerah disebutkan adanya larangan terhadap desain logo dan bendera daerah yang memiliki persamaan pada pokok atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera dari organisasi separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut pada penjelasan Pasal 6 Ayat (4) PP Nomor 77 Tahun 2007 disebutkan adanya larangan bagi penggunaan bendera Bintang Kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua. Frasa “gerakan separatis” pada penjelasan pasal tersebut kemudian menimbulkan pemahaman bahwa bendera Bintang Kejora adalah bendera yang digunakan oleh gerakan separatis dan bukannya bendera yang memang menjadi simbol budaya masyarakat asli Papua. Penjelasan pasal ini lah yang dijadikan dasar oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk melihat kegiatan pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai bentuk tindakan makar. Pemahaman demikian ini nyatanya telah dijadikan sebagai dasar hukum bagi maraknya kasus penangkapan warga sipil yang melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua oleh pihak kepolisian. Rentetan kasus penangkapan yang terjadi dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai eksistensi bendera Bintang Kejora tentunya bermuara pada pertanyaan besar mengenai bagaimana sesungguhnya makna bendera Bintang Kejora bagi masyarakat asli Papua. Karena kemudian hal ini menyiratkan adanya bentuk pertentangan antara hukum negara dengan hukum yang berlaku pada masyarakat asli Papua yang mengancam perlindungan terhadap hak yang dimiliki oleh masyarakat asli Papua. B. Permasalahan Pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
pengaturan
bendera
daerah
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan terkait eksistensi Bendera Bintang Kejora di Papua? 2. Bagaimanakah perspektif masyarakat asli Papua terhadap bendera Bintang Kejora? 3. Bagaimanakah upaya perlindungan terhadap eksistensi bendera Bintang Kejora sebagai simbol budaya ?
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui eksistensi penggunaan Bendera Bintang Kejora menurut peraturan perundangan-perundangan yang berlaku. 2. Mengetahui pandangan masyarakat asli Papua mengenai bendera Bintang Kejora. 3. Memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk perlindungan yang dapat ditempuh dalam rangka mempertahankan eksistensi bendera Bintang Kejora sebagai simbol budaya TINJAUAN TEORITIS Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan skripsi ini terdiri atas kajian Legal Pluralism (Pluralisme Hukum) dan Acces to Justice (Akses menuju Keadilan). Kajian Pluralisme Hukum digunakan untuk menganalisis adanya friksi yang timbul antara Hukum Positif di Indonesia yang terealisasi dalamUndang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah dengan hukum kebiasaan yang berlaku di dalam Masyarakat Asli Papua. Kajian pluralisme hukum adalah suatu kajian yang mengedepankan cara pandang dalam menyikapi keberagaman hukum yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Griffith mendefiniskan pluralisme hukum sebagai suatu keadaan di mana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang bekerja secara berdampingan dalam suatu lapangan kehidupan sosial tertentu.7 Kajian pluralisme hukum secara umum menggabarkan adanya dikotomi antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum lain seperti hukum agama, hukum keluarga dan sistem hukum lain yang hidup di dalam masyarakat. Suatu pandangan yang menempatkan hukum negara sebagai satu-satunya sistem hukum yang diakui dalam masyarakat dikenal dengan istilah sentralisme hukum (legal centralism). Secara ideologi dapat dilihat bahwasanya cara pandang sentralisme hukum ini secara nyata telah mengabaikan keberagaman sistem hukum yang hidup di 77
John Griffith, “What is Legal Pluralism”, , diakses pada 22 September 2012
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
tengah masyarakat yang bisa jadi lebih ditaati oleh masyarakat daripada hukum negara itu sendiri. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan sentralisme hukum ditengah-tengah masyarakat yang memiliki keberagaman hukum adalah suatu bentuk tindakan yang sia-sia. Sebagaimana meminjam istilah dari Griffith menyebutkan bahwa sentralisme hukum tersebut adalah suatu bentuk ilusi belaka.8 Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Senada dengan pernyataan dari Griffith, Marc Galanter juga mengemukakan pandangannya yang menentang eksistensi dari sentralisme hukum.9 Galanter menyangkal adanya pandangan yang menyatakan bahwa keadilan hanya dapat dihasilkan atau setidaknya didistribusikan oleh negara. The view that the justice to which we seek acces is aproduct that is produced or at least distributed exclusively by the state, a view which i shall for convenience label “legal centralism” is not an uncommon on among legal professionals.10 Lebih jauh lagi Sally Falk Moore mengaitkan pluralisme hukum dengan suatu teori yang dikenal dengan istilah bidang sosial semi otonom (Semi Autonomous Social Field). Teori ini menggambarkan adanya kaitan antara berbagai lapangan sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Pada berbagai bidang sosial semi otonom itulah berbagi bentuk sistem normatif
diciptakan, dilaksanakan kemudian juga
ditegakkan.11 Kajian teori yang digunakan untuk membahas mengenai keberadaan simbol Bintang Kejora sebagai identitas bagi Masyarakat Asli Papua akan menggunakan teori dari Sheldon Stryker. Teori identitas Stryker menitikberatkan kajiannya hubungan saling mempengaruhi diantara individu dengan masyarakat di dalam suatu struktur sosial.12 Teori Stryker juga mengombinasikan konsep peran dan konsep diri. 8
Ibid Marc Galanter, “Justice in Many Rooms: Courts, Private Ordering and Indigenous Law”,www.jlp.bham.ac.uk/volumes/19/galanter-art.pdf, diakses pada 2 Mei 2013 10 Ibid 11 Sally Falk Moore,” Law as An Proccess: an Anthropological Approach (New Introduction)”, Hamburg: LIT, hal.54-81 12 Sheldon Stryker dan Peter J. Burke,”The Past, Present, and Future of an Identity Theory”, , hal.286, diakses pada 10 April 2013 9
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
Dari setiap peran yang ditampilkan dalam interaksi dengan orang lain maka akan melahirkan suatu definisi tentang diri setiap individu atau kelompok yang berbeda dengan yang lain. Hal ini yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Perilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok meruapakan suatu bentuk interaksi yang juga dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas individu atau kelompok.13 Kajian ini penting untuk mengamati bagaimana asal mula dan perkembangan simbol Bintang Kejora sebagai bagian dari simbol identitas Masyarakat asli Papua. METODE PENELITIAN Tipe penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.14 Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara yang terutama dilakukan dengan pendekatan penelusuran sejarah. PEMBAHASAN A. Pengaturan
Peraturan
Perundang-undangan
Mengenai
Eksistensi
Bendera Bintang Kejora Pengaturan mengenai kebolehan bagi Papua untuk memiliki lambang daerah tertuang dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pasal 2 (1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan. (2) Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. 13
Ibid. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.8.
14
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
(3) Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pada ayat (2) pasal tersebut disebutkan bahwasanya Papua, dalam hal ini terdiri atas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dapat memiliki lambang daerah sebagai simbol kultural dalam bentuk bendera daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Jean Bodin menjeaskan bahwasanya kedaulatan dapat dijabarkan sebagai kekuasaan tertinggi dalam negara yang tidak berasal dari kekuasaan lain.15 Berdasar pada definisi tersebut maka dapat dijabarkan bahwasanya ruang lingkup kedaulatan yang dimaksud dalam ayat (2) merupakan kedaulatan yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan mengurai unsur-unsur pada pasal 2 maka dapat diperhatikan adanya perbedaan antara simbol daerah dan simbol kedaulatan. Pada pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menggunakan bendera Sang Merah Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dari pernyataan pada ayat (1) tersebut dapat dilihat bahwasanya dalam hal ini simbol kedaulatan yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas bendera Sang Merah Putih dan lagu kebangsaan yaitu lagu Indonesia Raya. Bendera Sang Merah Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam hal ini juga merupakan simbol kedaulatan dari Papua karena wilayah Papua berada di bawah kedaultan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Simbol kedaulatan ini juga berlaku di seluruh wilayah di Indonesia tanpa terkecuali. Kemudian pada ayat (2) pasal 2 dinyatakan bahwasanya Papua dapat memiliki lambang daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. 15
Retno Listyarti dan Setiadi, Pendidikan Kewarganegaraan Kelas X, (Jakarta:Erlangga, 2008), hal. 11. Lebih jauh lagi Jean Bodin membagi kedaulatan suatu negara ke dalam dua bentuk yaitu kedaulatan ke dalam dan kedaulatan keluar. Kedaulatan kedalam didefinisikan sebagai kewenangan negara untuk mengatur sendiri urusan intern (rumah tangganya) tanpa ada campur tangan dari negara lain. Sedangkan kedaulatan keluar memiliki definisi sebagai kebijaksanaan negara untuk mengadakan kerja sama dengan negara lain dengan tidak harus tunduk pada kekuatan negara lain tersebut.
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
B. Pengaturan Pada Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang memuat secara lebih spesifik pengaturan mengenai lambang daerah merupakan peraturan turunan dari Undangundang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pengaturan mengenai ketentuan pembuatan Lambang Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Peraturan pemerintah tersebut terdiri dari 8 (delapan) bab yang diantaranya memuat mengenai jenis, kedudukan dan fungsi serta desain lambang daerah. Pengaturan mengenai desain lambang daerah berada pada bab VI. Pada bab VI pasal 6 Peraturan Pemerintah tersebut memuat pengaturan mengenai desain bendera dan logo daerah beserta larangan-larangan dalam pembuatan desain bendera dan logo daerah. Salah satu larangan tersebut adalah larangan pembuatan desain bendera dan logo daerah yang memuat persamaan dengan organisasi separatis yang berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007. Pasal 6 (1) Desain bendera daerah berbentuk segi empat panjang dengan ukuran panjang dan lebar 3 (tiga) berbanding 2 (dua) yang memuat logo daerah. (2) Desain logo daerah disesuaikan dengan isi logo yang menggambarkan potensi daerah, harapan masyarakat daerah, serta semboyan untuk mewujudkan harapan tersebut. (3) Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera daerah lain, partai politik, organisasi kemasyarakatan, atau negara lain. (4) Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada kutipan pasal 6 di atas hanya dijabarkan mengenai gambaran umum tentang desain dan lambang daerah. Catatan penting pada isi pasal di atas sebetulnya terletak
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
pada ayat (4) di mana terdapat larangan untuk membuat desain logo atau bendera daerah yang memiliki kesamaan dengan logo atau desain bendera organisasi terlalrang atau organisasi separatis. Masalahnya, seperti sudah dijelaskan pada awal tulisan ini, Bintang Kejora terlanjur sudah dikaitkan dengan gerakan separatis Papua Merdeka. Padahal sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini, lambang Bintang Kejora tersebut merupakan simbol kultural yang memuat cita-cita dan pengharapan bagi rakyat Papua. Penjabaran lebih lanjut mengenai larangan yang dimuat dalam pasal 6 ayat (4) dapat dilihat pada Penjelasan pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007, berbunyi sebagai berikut: Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku. Pada penjelasan pasal 6 ayat (4) tersebut dapat disimpulkan adanya larangan secara spesifik dalam rangka pembuatan desain logo dan bendera daerah. Menurut penjelasan pasal tersebut dinyatakan adanya larangan penggunaan logo dan desain bedera dari organisasi separatis. Separatis dalam konteks penjelasan pasal ini memiliki definisi sebagai golongan atau kelompok orang yang memakai paham memecah-belah persatuan golongan atau bangsa dengan maksud untuk mendapat dukungan.16Kemudian secara lebih lanjut disebutkan beberapa contoh logo dan bendera dari beberapa organisasi yang desainnya dilarang digunakan dalam pembuatan desain logo dan lambang daerah. Visualisasi dari lambang yang dilarang untuk digunakan dalam pembuatan desain antara lain disebutkan mengenai larangan penggunaan desain bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Papua. Dari penjelasan pasal tersebut dapat dilihat bahwasanya dalam hal ini Negara melalui instrumen peraturan perundang-undangan telah melakukan kategorisasi terhadap 16
Sudarsono, Kamus Hukum (Edisi Baru), (Jakarta:PT Rineka Cipta,2005), hal.434
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
simbol daerah tertentu sebagai simbol gerakan separatis. Dalam melakukan upaya kategorisasi yang menjadi pertanyaan peneliti adalah apakah Negara dalam melakukan upaya kategorisasi telah melakukan penelusuran sejarah sebelumnya terhadap bagaimana sejarah dan kedudukan simbol tersebut di dalam masyarakat sehingga kategorisasi tidak hanya berdasar pada stigma belaka. C. Pertentangan Antara Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 dalam Mengatur Eksistensi Bendera Bintang Kejora Pada hakikatnya Undang-undang telah memberi keleluasaan bagi setiap daerah di Indonesia untuk memiliki lambang daerah yang mencerminkan identitas dan harapan masing-masing daerah. Khusus untuk provinsi Papua, hak untuk memiliki lambang daerah tersebut telah tertuang dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Namun pada kenyataannya, hak serta keleluasaan untuk memiliki lambang daerah ini ternyata bertentangan dengan munculnya ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah yang secara gramatikal menyebutkan adanya larangan penggunaan bendera Bintang Kejora karena dianggap sebagai simbol dari gerakan separatis. Pertentangan semacam ini kerap terjadi dalam pengaturan hukum positif di Indonesia. Dimana yang terjadi adalah peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang memiliki hierarki lebih tinggi. Pada tataran pelaksanaannya ternyata Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2207 lebih efektif dalam pemberlakuannya di dalam masyarakat. Hal ini tercermin dari adanya penangkapan terhadap pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora. D. Hak Warga Masyarakat Untuk Melestarikan Tradisi Budayanya Berhadapan dengan Ketentuan Hukum Negara Penggunaan bendera Bintang Kejora oleh organisasi separatis, menurut hemat penulis, tidak dapat secara sepihak digunakan sebagai alasan untuk melakukan pelarangan terhadap penggunaan simbol-simbol bendera ini dalam berbagai kondisi.
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang di dalamnya antara lain memuat mengenai larangan penggunaan simbol bendera Bintang Kejora menunjukkan adanya dominasi hukum negara terhadap local wisdom (kearifan lokal) yang tertuang dalam bentuk simbol budaya tertentu yang dalam hal ini adalah bendera Bintang Kejora. Dengan munculnya peraturan sedemikian rupa tersebut maka sesungguhnya secara tidak langsung masyarakat Indonesia secara luas dibuat yakin bahwasanya memang bendera Bintang Kejora adalah bendera yang murni semata-mata digunakan hanya sebagai simbol untuk mengakomodir kegiatan separatisme tanpa masyarakat paham dan tahu benar mengenai sejarah dari munculnya bendera ini. Tamanaha menyatakan bahwa dominasi hukum yang berjalan begitu lama, sebagaimana keberlakuan hukum negara melalui beragam instrumen peraturannya, dapat menghilangkan kesadaran masyarakat mengenai sejarah dari adanya pluralisme hukum. Demikian juga yang berlaku pada masalah bendera Bintang Kejora ini. The long dominant view that law is a unified and uniform system administered by the state has erased our consciousness of the extended history of legal pluralism17 Dalam kasus pelarangan penggunaan bendera Bintang Kejora melalui peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 ini dapat dilihat adanya bentuk weak legal pluralism atau pluralism hukum yang lemah. Griffiths menjelaskan bahwa pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralism hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki di bawah hukum negara.18 Pandangan lain yang juga membahas mengenai pluralisme hukum yang lemah dikemukakan oleh Hooker. “The term legal pluralism refers to 17
Brian Tamanaha, “Understanding Legal Pluralism: Past to Present, Local to Global,” hal.2 Sulistyowati Irianto, “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya” dalam Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisiplin, (Jakarta:Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), 2005), hal.59 18
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
the situation in which two or more laws interact”. Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, namun masih terjadi pertentangan antara municipal law (hukum negara) yang bersifat dominan dengan servient law yang antara lain mencakup kebiasaan dan hukum agama.19 Pluralisme hukum yang lemah dalam kasus pelarangan penggunaan bendera Bintang Kejora muncul ketika Pemerintah mengesahkan peraturan yang dibuat secara sepihak oleh Pemerintah tanpa terlebih dahulu mengkaji bagaimana sejarah dari bendera tersebut. Selain itu, peraturan dibuat juga tanpa mengindahkan suara dari masyarakat Papua. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya penolakan Masyarakat Papua terhadap pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007.20 Di sisi lain, secara hierarki peraturan perundang-undangan, keberadaan penjelasan pasal 6 ayat (4) dalam Peraturan Pemerintah ini ternyata bertentangan dengan pasal 2 Undangundang Nomor 21 Tahun 2001 yang memberi keleluasaan bagi Papua untuk memiliki lambang daerah sepanjang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Berdasarkan adanya pertentangan antara dua peraturan perundang-undangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwasanya pluralisme hukum tidak hanya terjadi pada sistem-sistem peraturan dari sumber hukum yang berbeda. Sebagaimana adanya perbedaan antar hukum negara dengan hukum agama ataupun antara hukum negara dengan hukum adat. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pluralisme hukum tidak hanya terjadi secara horizontal namun juga secara vertikal yang berupa perbedaan pengaturan antar peraturan yang berasal dari sumber hukum yang sama, dalam hal ini, yaitu hukum negara. Berdasarkan data-data sejarah yang telah dikemukakan diatas dapat dilihat bahwasanya sedari awal sejarahnya, bendera Bintang kejora tidak pernah diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Hal ini dapat dilihat dari Gouvernementsblad yang menjelaskan tentang tata cara pengibaran bendera Bintang Kejora. Dalam 19
Ibid, hal .59 Siswanto,“Rakyat Papua Desak Presiden Cabut PP 77/2007,”
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
Gouvernementsblad tersebut dijelaskan bahwa bendera Bintang Kejora harus dikibarkan sesudah bendera Kerajaan Belanda, diturunkan sebelum bendera Kerajaan Belanda dan ditempatkan di sebelah kiri lebih rendah dari bendera Kerajaan Belanda.21 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwasanya bendera Bintang Kejora bukan lah sebagai bendera yang melambangkan simbol kedaulatan tertinggi. Dari Gouvernementsblad tersebut dapat ditinjau bahwa kedaulatan tertinggi disimbolkan pada bendera Kerajaan Belanda yang
dikibarkan lebih tinggi dari
bendera Bintang Kejora. Jika pada masa tersebut kedaulatan tertinggi berada pada pemerintah Kerajaan Belanda maka saat ini kedaulatan tertinggi berada pada pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan
bendera
negara yaitu Sang Merah Putih. Pluralisme hukum juga muncul dikarenakan adanya perbedaan cara pandang Pemerintah terhadap eksistensi simbol Bendera Bintang Kejora. Pemerintah memandang simbol Bendera Bintang Kejora sebagai suatu simbolisasi dari gerakan makar sedangkan Masyarakat Asli Papua memandang simbol Bendera Bintang Kejora ini sebagai suatu simbolisasi dari pengharapan akan kehidupan yang dicitacitakan atau kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Simbol Bintang Kejora yang terdapat di dalam bendera Bintang Kejora sebagaimana telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya sesungguhnya memiliki filosofi yang mendalam. Di dalam keseharian Masyarakat Papua, simbol ini digunakan pula sebagai bagian dari kreasi seni. Salah satunya adalah bentuk kreasi ukiran pada rumah penduduk yang terbuat dari kayu. Larangan bagi Masyarakat Papua untuk mengekspresikan harapan dan citacitanya dalam wujud simbol bendera Bintang Kejora ,terkait dengan identitas, merupakan bentuk tindakan represi yang dilakukan oleh Negara. Hal tersebut bertentangan dengan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau yang lazim dikenal dengan istilah Hak EKOSOB (Ekonomoi, Sosial dan 21
Agus Bhakti, “Menjawab Tantangan Papua Dalam Bingkai NKRI (Bagian I),” , diakses pada 26 Februari 2012
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
Budaya). Konvenan ini diratifikasi oleh Indonesia melalui terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Kovenan tersebut memuat mengenai hak-hak penduduk suatu Negara di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta kewajiban Negara untuk menjamin pemenuhan terhadap hak-hak tersebut. Hak-hak tersebut antara lain terdiri dari hak atas pekerjaan, hak atas perumahan, hak atas jaminan sosial serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya. Adanya tindakan represif yang dilakukan oleh Negara tersebut selain muncul sebagai bentuk pengabaian terhadap hak budaya juga menjadi suatu hambatan tersendiri bagi Masyarakat Papua untuk mengakses keadilan terutama dalam aspek pengakuan Negara. Kemudian Indonesia juga melakukan ratifikasi terhadap Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant On Civil And Political Rights) yang yang termuat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Salah satu pasal dalam kovenan tersebut ,yaitu pada pasal 27, secara jelas mewajibkan negara untuk memberikan bentuk perlindungan terhadap hak-hak atas identitas budaya. Pasal 27 Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri. Dalam konteks masalah bendera Bintang Kejora, maka kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa dalam hal ini adalah Masyarakat Asli Papua. Kemudian terkait hak untuk menikmati budaya adalah hak dari Masyarakat Asli Papua untuk bisa dengan leluasa menggunakan simbol bendera Bintang Kejora dalam keseharian mereka. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, selain terdapat adanya bentuk pluralisme hukum vertikal antara Undang-undang dan Peraturan Pemerintah ternyata berdasarkan pembahasan diatas juga terdapat adanya bentuk pluralisme hukum
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
horizontal antara hukum negara yang terejawantah dalam bentuk Peraturan Pemerintah dengan Konvensi yang telah diratifikasi oleh Pemerintah. Pluralisme hukum ini terbukti dari adanya pertentangan pengaturan antara Peraturan Pemerintah yang melarang penggunaan simbol budaya tertentu dengan kovenan, yang telah diratifikasi, yang justru memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas tertentu untuk menikmati hak budayanya yang tertuang dalam suatu simbol budaya. Gejala pluralisme hukum juga ditemukan pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pluralisme hukum tersebut muncul karena jauh sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 ternyata Indonesia telah
melahirkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang
memberikan pengakuan terhadap identitas budaya sebagai bagian dari Hak yang harus dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah. Pasal 5 (1) Dalam rangka penegakkan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,selaras dengan perkembangan zaman Berdasar isi pasal tersebut maka dalam hal ini penulis melihat bahwasanya hak untuk memiliki identitas budaya seharusnya memperoleh perlindungan dari negara. Secara lebih luas hak tersebut merupakan hak dari seluruh warga negara tanpa terkecuali. Perlindungan terhadap identitas simbol bendera Bintang Kejora nyatanya tidak dapat diwujudkan karena kemudian lahir pengaturan dari Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang secara gamblang menyatakan pelarangan terhadap simbol bendera Bintang Kejora tersebut.
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas akhirnya telah sampailah penelitian ini pada beberapa hal yang menjadi kesimpulan atas pembahasan pokok permasalahan yang telah diteliti yaitu sebagai berikut: 1. Peraturan perundang-undangan yang memuat pengaturan mengenai eksistensi bendera Bintang Kejora terdapat pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 memuat pengaturan yang memberikan keleluasaan kepada Provinsi Papua untuk memiliki lambang daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 memuat pengaturan yang menyatkan bahwa bendera Bintang kejora tidak dapat dijakdikan lambang daerah karena dianggap sebagi bendera yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua. 2. Bahwa adanya perbedaan persepsi antara negara dan masyarakat dalam memandang bendera Bintang Kejora dalam hal ini telah memberikan dampak pada tidak diakuinya bendera bintang kejora sebagai bentuk simbol budaya. Hal ini dibuktikan dari lahirnya Peraturan Pemerintah yang memuat larangan terhadap penggunaan simbol bendera Bintang Kejora. Hal ini membuktikan bahwa adanya perbedaan persepsi negara dalam memandang suatu simbol budaya dapat berujung pada pencederaan terhadap hak masyarakat. 3. Pada realitanya telah terdapat peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam memberikan perlindungan terhadap eksistensi bendera Bintang Kejora sebagai simbol budaya. Peraturan tersebut terdiri atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional
tentang
Hak-hak
Ekonomi,
Sosial
dan
Budaya (International Convenant on Economic, Social and Cultural Right) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan pengesahan
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
terhadap Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant On Civil And Political Rights). Perlindungan yang diberikan ini dalam rangka memenuhi hak-hak warga negara atas identitas budayanya.
KEPUSTAKAAN . Buku Irianto,Sulistyowati. “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya” dalam Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisiplin. Jakarta:Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat Listyarti,
Retno
dan Ekologis (HuMa), 2005 dan
Jakarta:Erlangga,
Setiadi.
Pendidikan
Kewarganegaraan
Kelas
X.
2008.
Waluyo,Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,2006.
Artikel Moore,Sally Falk. ” Law as An Proccess: an Anthropological Approach (New Introduction).” Kamus Sudarsono. Kamus Hukum (Edisi Baru). Jakarta:PT Rineka Cipta,2005.
Internet Amarullah,
Amril.”Menhan:
TNI
Tak
Urusi
Bendera
Bintang
Kejora.”<
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/71706menhan__tni_tak_urusi_bend
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
era_bintang_kejora>. Diakses pada 6 Maret 2013 Bhakti, Agus. “Menjawab Tantangan Papua Dalam Bingkai NKRI (Bagian I).” .
Diakses pada 26 Februari 2012
Galanter ,Marc.“Justice in Many Rooms: Courts, Private Ordering and Indigenous Law.”<www.jlp.bham.ac.uk/volumes/19/galanter-art.pdf>. Diakses pada 2 Mei 2013 Griffith,
John.
“What
is
Legal
Pluralism.”
. Diakses
pada 22 September 2012
Siswanto.“Rakyat
Papua
Desak
Presiden
Cabut
PP
77/2007.”
.Diakses pada 10 April
2013 Tamanaha, Brian “Understanding Legal Pluralism: Past to Present, Local to Global.”. Diakses pada 19 Desember 2012 Tebay,
Neles.
“Neles
Tebay:
Menyelesaikan
Konflik
Papua.”
“Kibarkan
konflikBintang
papua/>. Diakses pada 8 Agustus 2012 Kejora,
13
Pendemo
Ditangkap
”
Pendemo-Ditangkap->, diakses pada 8 Agustus 2012 “Hak
Asasi
Manusia
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
di
Papua
2010/2011,”, diakses pada 8 Agustus 2012 ______
“Gus
Dur:
Bintang
22
Kejora
Itu
Lambang
Kultural”,
07/artikel.php?id=105899>. Diakses September
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013
2012
Pandangan hukum...,Navy Sasmita, FH UI, 2013