PAKISTAN Dari Era Ayub Khan sampai Era Bhutto
B. Musidi Abstract Ayub Khan’s coup d’etat signed muhajir’s politicians loosed their position in the Pakistan politic to military and indigneus people. The Pakistan politic was dominated by Pakistan military which jointed with Punjabi and Sindhi landlords. East Pakistan began moved to upheaval and succeeded to gain independence, and West Pakistan faced rivalry between military and civil as a manifestation of anciety from military and civil domination of Punjabi and Sindhi. The fall of Zulfikar Ali Bhutto signed the military domination again in Pakistan.
Pengantar Keberagaman penduduk Pakistan (Burki, 1991, p. 39-42) diawali dengan membanjirnya gelombang pengungsi pertama yang berdatangan dari Delhi, the United Provinces (Uttar Pradesh), the Central Provinces (Madhya Pradesh), Bombay, Gujarat, wilayah-wilayah kerajaan: Bhopal, Hyderabad dan Junagadh, dan gelombang kedua dari Punjab Timur. Di Punjab dan Benggala Timur didapati orang-orang Hindu. Kondisi Punjab diperumit dengan adanya orang Sikh yang mencapai separoh dari jumlah penduduk propinsi itu. Ketika garis perbatasan dibuat untuk memisahkan India dari Pakistan, sejumlah besar kaum Muslim berada di Punjab dan Benggala India, demikian juga orang Hindu berada di kedua propinsi tersebut. Mohammad Ali Jinnah menerima pemilahan (Bolitho, 1954, p. 181) dengan keyakinan bahwa baik India maupun Pakistan akan tetap memiliki minoritas besar Muslim dan Hindu. Ia menghimbau kaum Muslim untuk pindah dari India ke Pakistan, terutama dari mereka yang memiliki ketrampilan yang tidak dimiliki Pakistan secara melimpah. Kedua sayap Pakistan ekonominya berbasis agraris, sementara tingkat urbanisasi dan melek huruf rendah. Itu berarti bahwa sumber daya manusia tidak mungkin memenuhi tuntutan sebuah negara baru, karenanya perlu mendatangkan dari luar. Jinnah mendorong para pedagang, pengusaha perbankan, dokter, pengacara, dan pegawai negeri sipil Muslim dari berbagai propinsi minoritas untuk pindah ke Pakistan, tetapi ia tidak menghendaki perpindahan penduduk demi alasan keagamaan Pada tanggal 11 Agustus 1947 jutaan orang sedang bergerak dalam dua arah yang berlawanan: orang Hindu dan Sikh ke India, dan orang-orang Islam ke Pakistan. Perpindahan pnduduk itu memecahkan permasalahan politik bahwa Pakistan akan menghadapi sejumlah besar orang Hindu dan Sikh yang tinggal di Punjab dan Sindh. Akibat dari perpindahan itu secara keagamaan Pakistan menjadi homogin. Selama ini tidak ada catatan dalam sejarah yang menunjukkan adanya perpindahan penduduk sebesar 14 juta orang. Sebagai pembanding adalah perpindahan orang-orang Benggali Drs. B. Musidi, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
ke India pada tahun 1971, orang-orang Ethiopia ke Somalia pada tahun 1970-an, orangorang Kamboja ke Thailand juga pada tahun 1970-an, orang-orang Afghan ke Pakistan pada awal tahun 1980-an tidak melibatkan sebegitu banyak orang atau terjadi pada suatu periode dalam waktu yang singkat. Setelah gerakan itu Pakistan Barat hanya memiliki sedikit penduduk non Muslim (95%). Arus pengungsi (Burki, 1991, p. 139) yang dari perkotaan (propinsi-propinsi Uttar Pradesh, Madhya Pradesh, Bombay, Gujarat) dan dari pedesaan (daerah-daerah sebelah timur Punjab) sangat mempengaruhi perekonomian dan politik Pakistan. Migrasi tahun 1946-1951 akan memperkenalkan unsur pertama dari perubahan yang berkelanjutan ke dalam sebuah masyarakat yang adalah tetap sungguh berubah-ubah untuk suatu waktu selanjutnya. Perkembangan politik Pakistan dapat dimulai dari datangnya kaum Muslim perkotaan. Mayoritas pengungsi dari wilayah kota India ditarik ke kota-kota Pakistan barat daya, kebanyakan di Karachi (tempat lahir Jinnah) dan Hyderabad. Kebanyakan dari pengungsi itu memilih kedua kota itu karena alasan ekonomi. Pada tahun 1947 Karachi bukan kota besar, lebih kecil dari Lahore dan tidak memiliki prasarana untuk sebuah perkotaan yang besar. Kaum pendatang yang tidak tertampung di kota itu lalu memilih Hyderabad, Sukkur, dan kota-kota lain di daerah pedalaman. Pada tahun 1951, tahun sensus pertama bagi Pakistan, para pengungsi berjumlah 57% dari penduduk Karachi, 65% dari Hyderabad dan 55% dari Sukkur. Secara keseluruhan para pengungsi itu berjumlah 46% dari gabungan penduduk 12 kota besar Pakistan. Kebudayaan pengungsi berbeda secara signifikan dari kebudayaan penduduk setempat (pribumi). Kaum pengungsi (muhajir) itu datang dari sebuah wilayah yang pasca the Indian Mutiny tahun 1857 telah melihat kematian politik dari kebanyakan kelompok elite. The Mutiny dan sesudahnya meninggalkan para nawab (para gubernur propinsi) dan para tuan tanah menjadi sengsara dan tanpa kekuasaan politik. Dampak terpenting adalah terbentuknya sebuah struktur masyarakat egalitarian, Kongres dengan cepat berubah menjadi sebuah organisasi politik yang didukung oleh massa. Kaum Muslim perkotaan dari India utara dan tengah sedang mencari identitas mereka sendiri. Liga Muslim yang dibangun oleh para nawab dan tuan tanah, dengan cepat diambil alih oleh kelas-kelas profesional perkotaan. Struktur, konstitusi, dan prosedur kerjanya semuanya didemokratisasi. Akibatnya dengan dibentuknya Pakistan, kaum pengungsi yang telah datang dari kota-kota India utara dan tengah mulai bekerja untuk pembangunan sebuah bentuk dalam sebuah sistem perwakilan. Kendati the Mutiny tahun 1857 telah membantu membawa modernisasi sosial dan politik bagi banyak orang di India utara dan tengah, tetapi tidak untuk kawasan India barat laut. Punjab tetap setia kepada Inggris dan membantu Inggris mengembalikan tata tertib. Kompensasi yang diberikan oleh Inggris berupa tanah lungguh (jagir) bagi orang-orang Punjab. Dampaknya berupa para tuan tanah Sindhi. Sistem pemerintahan yang dikembangkan bersifat paternalistik untuk menangani persoalan-persoalan politik dan ekonomi. Itu berarti bahwa kepemimpinan pengungsi dan pribumi amat berbeda. Kaum pengungsi menghendaki suatu pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Ada unsur yang kuat di kalangan pribumi untuk mengalihkan sentimen di propinsi-propinsi Punjab, Sindh dan Propinsi Barat Laut menuju ke Pakistan, yang sesuai dengan perintah-perintah Quran dan Sunnah. Dalam
sektor ekonomi para pengungsi minatnya kecil untuk mengembangkan pertanian, menekankan usaha perorangan, menyukai perekonomian bebas. Di daerah Punjab, Sindh, dan Propinsi Barat Laut, Inggris telah membangun irigasi dan prasarana pemasaran pertanian dan the Land Alienation Act of 1901, telah membatasi aktivitas wiraswasta di bidang pertanian. Dengan demikian ada pertentangan antara kultur pengungsi dan pribumi. Kaum pengungsi meyakini sekularisme, politik liberal, perdagangan bebas; pribumi meyakini pembangunan sebuah negara Islam dan sebuah perekonomian yang diurus oleh negara. Pertentangan terjadi pada saat reorganisasi Liga Muslimin dan pertentangan berikutnya adalah penyusunan sebuah konstitusi bagi negeri yang baru. Liga Muslimin terpecah (Mahmud, 1998, p. 273-274) menjadi tiga faksi. Ketika Jinnah dan Liaqat masih hidup, dari ketiga faksi itu yang paling berpengaruh adalah faksi yang didominasi oleh kaum pengungsi dan dipimpin oleh Liaqat. Jinnah telah menahan dirinya dari persaingan yang terjadi dalam partainya. Liaqat adalah seorang tokoh politik yang kurang terkenal dan sepeninggal Jinnah kedua faksi lainnya menunjukkan identitas mereka sendiri. Salah satunya adalah faksi dari Benggala yang kurang kompak dan kekalahannya pada pemilu 1954 memudarkan faksi dari Benggala. Pada tataran nasional terjadi persaingan antara kaum pengungsi, para tuan tanah dan pimpinan keagamaan. Antara tahun 1951-1954 kekuatan politik berada di bawah Liaqat, kemudian antara tahun 1954-1957 bandul politik berayun makin lebar, tetapi pada tahun 1958 mulailah muncul tokoh-tokoh pribumi, ketika wakil mereka, Malik Feroz Khan Noon menjadi perdana menteri. Munculnya militer dalam kancah politik tidak memudarkan peran dari kaum pribumi. Pertentangan antara kedua kultur juga terjadi di tingkat Dewan Konstituante. Selama empat tahun, Dewan telah memperdebatkan prinsip-prinsip dasar konstitusi. Fokus perdebatan terjadi atas isu peranan agama yang dianut penduduk, sementara di Pakistan Timur menahan minoritas Hindu yang cukup besar. Karenanya tidak dapat menjadi solusi yang mudah bagi Islamisasi, di samping itu kaum pengungsi telah memberi mereka sebuah pendekatan sekular terhadap politik dan itu selanjutnya memperkeruh isu. Pada akhirnya ketiga faksi diakomodasi. Mukadimah konstitusi menerima kedaulatan Allah atas manusia; semua perundang-undangan di Pakistan adalah untuk menyesuaikan diri dengan Quran dan Sunnah; dan negara tidak pernah akan menempatkan atas buku undang-undang yang mengotori entah kitab suci atau untuk menerima praktek Nabi. Masalah melindungi hak-hak propinsi-propinmsi federasi menghadapi gangguan yang mungkin oleh pemerintah pusat dipecahkan dengan menggabungkan sejumlah ketentuan khusus dalam konstitusi. Konstitusi banyak mengambil dari praktek yang dibangun pada the India Act of 1935. Pokok-pokok perhatian pemerintah pertama dirumuskan dan kemudian dibagi ke dalam kategori-kategori pusat, propinsi, dan tanggung jawab bersama. Ada sedikit hal baru dalam konstitusi selain ketentuan Islamisasi, yaitu bahwa Pakistan tetap menjadi anggota Persekemakmuran Inggris Raya di bawah seorang presiden. Para anggota badan pembuat undang-undang pusat dan propinsi dipilih setiap lima tahun. Kekuasaan efektif yang berada di pusat ada di tangan perdana menteri, yang dipilih oleh sebuah mayoritas sederhana dari badan pembuat undang-
undang nasional; para menteri utama propinsi dengan cara yang sama dipilih dan diberi tanggung jawab untuk hal-hal atas mana konstitusi memberi mereka yurisdiksi. Jendral Iskander Mirza menjadi presiden pertama di bawah konstitusi baru dan Chaudhri Muhammad Ali dipilih menjadi perdana menteri. Chaudhri Mohammad Ali adalah seorang pengungsi dari Jullundur, Punjab Timur, seorang anggota birokrat sipil yang berpengaruh dan telah dilibatkan dalam menyusun struktur administrasi dari negara baru Pakistan. Dalam kapasitas itu ia telah bekerja erat dengan Liaqat Ali Khan, perdana menteri pertama. Ia dianggap tepat untuk menduduki posisi itu dari sistem yang didominasi oleh kaum pengungsi ke tangan para pemimpin pribumi. Tetapi proses pribumisasi tidak berjalan lancar karena konstitusi 1956 lebih bernuansa politik dan ekonomi dari pada komunitas pengungsi. Transisi diperkuat oleh formasi partai Republik pada tahun 1956, yang membawa bersama-sama sejumlah politisi pribumi berpengaruh ke Pakistan Barat dan yang telah tinggal di luar kekuasaan oleh Liga Muslimin. Presiden Iskander Mirza adalah pelindung partai baru. Kaum Republik berhasil menyingkirkan Liga Muslim pimpinan Chaudhri Muhammad Ali. Choudhri Mohammad Ali mengundurkan diri, digantikan oleh Malik Feroz Khan Noon, yang menjadi perdana menteri. Proses pribumisasi berjalan lebih cepat daripada yang dapat diterima oleh mereka yang mempunyai ingatan yang hidup akan cara kebanyakan pemimpin partai Republik telah menentang pembentukan Pakistan. Kekacauan politik berikutnya diakhiri oleh kudeta Jendral Ayub Khan dan masuknya militer ke dalam politik disambut dengan perasaan dibebaskan oleh aneka lapisan penduduk yang telah menjadi lelah karena kasak-kusuk para politisi. Pertanyaannya adalah bagaimana lika-liku proses pribumisasi itu berjalan. Untuk keperluan itu perlu dirunut secara cermat bagaimana sepak terjang militer dalam mengatur negeri.
1. Era Ayub Khan a. Konstitusi II Penyelesaian masalah pengungsi (Burki,1991, p. 46-52), pembentukan Demokrasi Dasar (Basic Democracies), pembentukan Liga Muslimin Pakistan, dan pemindahan ibu kota dari Karachi yang didominasi oleh kaum pengungsi, ke pasukan garnisun di Rawalpindi mengantar ke perencanaan konsitusi Pakistan II. Komisi kecil pengacara yang ditunjuk berhasil menyusun sebuah dokumen yang amat berbeda dari konstitusi 1956, dengan cabang eksekutif di bawah pengawasan langsung dari presiden yang dipilih secara tidak langsung, bernama badan pemilih presiden. Kekuasaan badan pembuat undang-undang pusat dan propinsi sangat dibatasi sehingga hanya memiliki yuridiksi terbatas atas RUU Keuangan. Presiden dapat memveto sebuah undangundang yang dibuat badan pembuat undang-undang, tetapi badan membuat undangundang tidak diberi kekuasaan untuk menolak vetonya. Dua hal dari konstitusi lama masih tetap dipertahankan dalam konstitusi yang baru, yaitu sistem keseimbangan bagi badan pembuat undang-undang dibagi sama antara Pakaistan Barat dan Pakistan Timur, dan semua undang-undang harus mengikuti prinsip-prinsip dasar Islam (Mahmud, 1988, p. 278-286). Sistem politik Ayub memiliki sejumlah fleksibilitas yang cukup elastik untuk mengakomodasi kelompok-kelompok yang mendapat untung dari kemajuan ekonomi
dan melanjutkannya sampai ambil bagian dalam keputusan politik. Lembaga Demokrasi Dasar (bukan partai-partai politik baru, bahkan bukan Konstitusi 1962) memberi sistem Ayub banyak elastisitasnya. Fleksibilitas ini menjadi lenyap ketika Ayub mulai mencari dukungan dari Demokrasi Dasar dan berpaling lagi ketika sudah mengerjakannya selama tahun pertama pemerintahannya, ke birokrasi sipil yang tetap elitis, tidak hanya dalam komposisinya tetapi juga dalam pandangannya. Ada tiga set lingkungan yang mengubah filsafat politik Ayub Khan. Pertama pemilu presiden tahun 1964, Partai Oposisi Gabungan (COP) menetapkan Fatima Jinnah sebagai calon mereka. Ternyata Fatima Jinnah adalah seorang petarung yang ulet. Tetapi kalah dalam perolehan suara. Kedua setelah Ayub dipilih ulang Pakistan dibiarkan terlibat dalam konflik bersenjata dengan India atas isu Kashmir. Konflik bersenjata ini berlangsung selama 17 hari dengan beberapa konsekuensi yang tidak diharapkan seperti ketidakpuasan terbuka dari para jendral muda dengan kondisi perang. Ketiga, merosotnya kesehatan Ayub Khan. Memburuknya kesehatan Ayub Khan menyebabkan ia harus berobat keluar negeri dan menyerahkan sebagian besar kekuasaannya kepada para pegawai sipil. Permassalahan-permasalahan politik di atas ditambah dengan kemerosotan di bidang ekonomi. Gerakan menentang Ayub mulai bermunculan. Pada musim semi tahun 1968 ketidakpuasan mulai berkembang. Pada tahun 1969 gerakan diambilalih oleh Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan Barat dan Mujib-ur-Rahman di Pakistan Timur. Ketika keduanya menolak berkompromi militer masuk ke arena politik, lalu menuntut pengunduran di Ayub Khan, menyatakan keadaan darurat, membatalkan konstitusi, dan menunjuk Jendral Yahya Khan sebagai presiden. Sebelum pembahasan peristiwaperistiwa pada pemerintahan militer kedua, perlu mencermati lebih dulu periode Ayub Khan secara rinci. Jendral Ayub Khan, pada tanggal 7 Oktober 1958 memecat perdana menteri dan kabinetnya, membubarkan Majelis Nasional, membatalkan konstitusi, membubarkan semua partai politik, melarang semua kegiatan politik, dan mengangkat dirinya sebagai diktator dengan gelar administrator utama keadaan darurat, dua puluh hari kemudian memecat Jendral Iskander Mirza sebagai presiden. Tanggal 27 Oktober 1958 menandai awal pemerintahan seseorang yang berakhir untuk beberapa dekade. Selanjutnya Ayub Khan bergerak cepat dalam berbagai fron, seperti menangani nasib para pengungsi di Punjab Barat dan Sindh. Penyelesaian masalah pengungsi di Punjab Timur itu tidak hanya menghidupkan kembali sektor pertanian, tetapi juga memperkenalkan sebuah unsur baru dalam peta politik yang sudah ruwet. Hubungan dekat kelompok ini dengan militer, terutama kelompok opsir, memberinya sebuah keunggulan politik yang tidak akan datang pada struktur politik lama yang dibiarkan berkepanjangan. Struktur politik yang ada belum mengakomodasi kepentingan Ayub Khan dan para pendukungnya, karenanya Ayub Khan lalu mengambil empat langkah yang dirancang dan dilaksanakan dengan hati-hati. Sementara itu Ayub Khan membangun sistem pemerintahan lokal yang representatif, mmenciptakan sebuah partai politik baru dengan para anggota yang kebanyakan diambil dari para pendukungnya, memindah ibu kota dari Karachi ke Rawalpindi, dan memberlakukan konstitusi yang kedua.
Langkah pertama adalah menciptakan sebuah sistem pemerintahan lokal dengan seruan yang jelas kepada kaum tuan tanah kecil dan para petani menengah dari Punjab dan Propinsi Barat Laut. Meskipun penyelesaian beberapa pengungsi di pedesaan Sindh, para tuan tanah besar tetap yang terpenting di propinsi itu. Demokrasi Dasar yang dilancarkan pada tahun 1960, menyusun sebuah sistem dewan-dewan lokal yang berhubungan. Dewan-dewan Uni dijadikan dasar sistem. Keanggotaannya rata-rata sepuluh, dipilih atas dasar hak pilih dewasa, tiap uni melayani para pemilih kira-kira 1000 orang. Distrik pemilihan dewan uni mencakup beberapa desa. Tidak mudah para tuan tanah besar membangun sebuah pengawasan pribadi atas sebuah wilayah yang luas. Bagi para politisi yang berpengaruh atas suatu wilayah yang luas, Ayub Khan menggunakan Peraturan Diskualifikasi Badan-Badan Pemilihan (EBDO), mengumumkan adanya pemberantasan korupsi dan penipuan dari politik dalam negeri agar para politisi yang tidak dikehendaki tidak memanfaatkan sistem yang baru. Para anggota dewan uni memilih perwakilan-perwakilan untuk dewan-dewan tehsil, sebaliknya, mengirim perwakilan-perwakilan untuk dewan-dewan tehsil, dan selanjutnya untuk dewan-dewan divisi dan propinsi. Mengingat dewan-dewan uni, termasuk para ketua mereka, semua perwakilan yang dipilih oleh rakyat, dewan tingkat atas menggambarkan suatu campuran dari anggota yang dipilih dan yang ditunjuk. Anggota-anggota yang ditunjuk kebanyakan para birokrat yang bekerja di bidang itu. Birokrat juga mengatuai tehsil, distrik, divisi dan propinsi. Sistem Demokrasi Dasar melayani dengan baik maksud untuk mana ia telah dibangun, ia tidak hanya memberi sebuah suara untuk para petani menengah dari Punjab dan Propinsi Barat Laut tetapi juga mengubah birokrasi sipil yang terkenal dari sebuah alat untuk mempertahankan tata tertib ke sebuah kendaraan yang penting untuk mempromosikan perkembangan. Meskipun pemilu pertama bagi sistem Demokrasi Dasar diselenggarakan tanpa partai-partai politik, Ayub Khan segera mendapat kesimpulan yang jelas bahwa sebuah sistem politik tidak dapat berjalan tanpa partai-partai. Tetapi dengan mencabut larangan pembentukan partai, akan berarti menghidupkan kembali partai-partai yang telah menunda kekacauan pada saat-saat sebelum kudeta. Para pemilih Ayub Khan dari para tuan tanah kecil, petani menengah, dan industrialis baru dari Punjab dan Propinsi Perbatasan Barat Laut akan sulit untuk mencapai pintu masuk, membiarkan pengaruh dari partai-partai lama. Ayub Khan adalah seorang politisi yang terlalu cerdik untuk membiarkan kebangunan kembali partai-partai lama tanpa pertama-tama menempatkan sebuah payung politik untuk menghimpun para pengikutnya sendiri, caranya dengan memanggil sebuah konvensi para pemimpin politik untuk membentuk kembali Liga Muslim. Undangan disebarluaskan tidak hanya kepada para pemimpin tua tetapi juga para wakil dari aneka unsur dari para pemilih Ayub Khan. Dengan cepat para pemimpin tua membentuk the Convention Muslim League dan kemudian membentuk Dewan Liga Muslimin. Akibatnya partai Liga Muslimin Ali Jinnah pecah menjadi dua, bukan lagi dua faksi yang berada dalam kerangka kerja sebuah partai tetapi dua partai ideologi dan struktur yang berbeda. Dewan Liga Muslimin adalah sebuah sempalan dari faksi Liaqat Ali Khan dan faksi dari para bangsawan tuan tanah yang telah membantu pembentukan Pakistan. Itu berarti Liga Muslimin lama dengan nama dan wajah yang baru. Konvensi Liga Muslimin adalah sebuah gejala baru yang menjadi sebuah gambaran tetap dalam suasana Pakistan, sebuah partai politik tanpa ideologi
yang nyata yang dapat bersandar untuk mendukung koalisi kelompok-kelompok dalam kekuasaan. Langkah ketiga berupa usaha pemindahan ibu kota Pakistan dari Karachi ke Rawalpindi dengan dalih alasan ekonomi. Dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah federal telah tumbuh dan berkembang dan keputusan untuk menempatkan ibu kota negeri di Karachi telah tidak diimbangi oleh suatu perencanaan fisik. Datangnya pengungsi telah memenuhi kota, sehingga pemekaran kota akan menjadi sangat mahal, di samping itu infrastruktur Karachi relatif sedikit. Bagi kota yang berpenduduk dua juta ini untuk memenuhi kebutuhan air minum perlu dipasok dari jarak 60 mil dari pedalaman, tidak didukung oleh pertanian dari pedalaman dan kebutuhan bahan makanan harus dipasok dari ratusan mil jauhnya. Apapun alasan yang dipakai sebagai pertimbangan, Kasrachi jaraknya 100 mil dari Rawalpindi, markas angkatan perang Pakistan. Karachi didominasi oleh kelas pedagang industri, yang pada awalnya amat dimusuhi oleh Ayub Khan dan para kolega militernya. Daerah para pemilih Ayub Khan ingin bertani di sekitar Rawalpindi. Distrik Rawalpindi dan daerah sekitarnya telah menjadi wilayah perekrutan pasukan Inggris pada abad ke 19 dan 20. Angkatan perang Pakistan yang dengan cepat mekar sudah berbalik ke tempat yang sama dalam usaha untuk perekrutan. Karenanya bagi sebuah pemerintahan militer, Rawalpindi menjadi sebuah kota yang ideal bila dibandingkan dengan Karachi. Jendral Yahya Khan ditunjuk oleh Jendral Ayub Khan untuk menyelidiki sebuah lokasi baru bagi tempat pemerintah pusat. Ia telah memberikan banyak alasan ekonomi guna merekomendasikan sebuah situs dekat Rawalpindi, tetapi alasan yang lebih tepat adalah alasan politik. Dengan demikian Pakistan memindahkan ibu kotanya dari tempat kelahiran Jinnah ke sebuah kota yang letaknya hanya 40 mil dari kota Rehana, tempat lahir Ayub Khan. Dengan cara ini Ayub Khan memberi tanda pemutusan yang jelas dengan masa silam, sebuah dokumen baru sedang digelar untuk menutupi dan memperdalam keretakan. Langkah-langkah itu (penyelesaian masalah pengungsi, pembentukan sistem pemerintahan lokal, dan pemindahan ibu kota) mengarah kepada langkah keempat strategi Ayub Khan yaitu pengumuman konstitusi baru yang diselesaikan pada tanggal 23 Maret 1962 telah dapat memenangkan dukungan rakyat untuk sebuah konstitusi baru. Ide pokok di balik konstitusi yang baru itu adalah untuk menjauhkan pemerintah dari rakyat. Model parlemen Inggris digantikan dengan model presidensial Perancis. Cabang eksekutif menjadi amat berkuasa. Presiden dipilih secara tidak langsung oleh rakyat tetapi oleh 80.000 Demokrat Dasar (Basic Democrats), dan sekali dipilih, ia tidak dapat dengan mudah diganti. Cabang legislatif yaitu Dewan Nasional, para anggotanya juga dipilih secara tidak langsung, dapat mngusulkan RUU tetapi tidak dapat memberlakukannya menjadi undang-undang tanpa persetujuan presiden. Sementara presiden mempunyai kekuasaan untuk meragukan kehendak badan legislatif terhadap hal-hal yang dianggap penting; ada ketentuan-ketentuan bahwa presiden dapat memberlakukan perundang-undangan bahkan jika tidak disetujui oleh Dewan Legislatif. b. Jatuhnya Ayub Khan Kendati Ayub Khan itu seorang administrator yang efisien dan fokus pada pembangunan ekonomi tetapi ia tidak populer. Jendral Ayub Khan digusur oleh Jendral Yahya Khan lewat sebuah kudeta militer kedua dalam sejarah Pakistan, pada tanggal 23
Maret 1969. Kudeta Ayub Khan sebagai akibat dari kekacauan politik akibat kaum politisi telah gagal dalam kewajiban mereka sebuah sistem politik yang dapat berjalan secara berkelanjutan. Kemapanan militer telah mencapai sebuah reputasi buat kejujuran, integritas, dan efisiensi (kebajikan ini tidak dimiliki oleh kaum politisi), sehingga ketika militer campur tangan dalam politik pada bulan Oktober 1958 mendapat dukungan dari rakyat yang mencemaskan tingkah laku para politisi (Burki, 1991, p. 52-56). Sayangnya sejak militer itu berkuasa reputasi untuk kejujuran, integritas, dan efisiensi menjadi makin pudar. Ayub Khan membiarkan anak-anaknya untuk meninggalkan angkatan perang guna memasuki dunia industri dan salah seorang di antaranya terbukti berhasil. Sejumlah opsir senior diberi kesempatan untuk menggarap tanah pertanian yang luas yang baru saja diberi irigasi di Propinsi Sindh, dan banyak pegawai sipil senior dicurigai memperkaya diri sendiri dengan ijin-ijin yang dibagikan secara selektif untuk impor-impor industri dan untuk pembangunan perusahaanperusahaan baru. Setelah enam tahun berjalan kesegaran pemerintah mulai surut; tuntutannya untuk mengadakan pembersihan ternyata tidak terwujud. Ayub Khan mungkin dapat bertahan dalam pemerintahan jika ia tidak berperang dengan India pada akhir tahun 1965 dan jika ia tidak mendapat serangan jantung pada musim semi tahun 1968 Perang India-Pakistan pada tahun 1965 telah mengganggu momentum penting perkembangan ekonomi yang dimulai sejak Ayub Khan berkuasa, bahkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Pakistan pernah berada di antara yang tertinggi di negaranegara berkembang. Perang tidak hanya mengalihkan militer menuju perkembangan, tetapi ia juga mengakibatkan suatu kemerosotan tajam dalam aliran bantuan asing. Bangsa Pakistan diminta mengencangkan ikat pinggang, dan barang kali telah memiliki kehendak demikian jika capaian-capaian nyata telah terjadi dalam medan pertemupuran. Tetapi perang telah mendatangkan kekacauan. Kedua negara yang berperang mendaku memperoleh kemenangan. Ketika akhirnya perdamaian ditandatangani dengan India di kota Tashkent, Soviet selatan, syarat-syaratnya telah meninggalkan kesan bahwa keuntungan pada akhirnya berada di pihak India (Ganguly, 1986, p. 91). Kehidupan politik pemerintahan Ayub Khan mengalami titik balik dengan adanya Deklarasi Tashkent (Wolpert, 2009, p. 394-397; Kulke, 1986, p. 337). Zulfikar Ali Bhutto, menteri luar negeri Ayub Khan mundur dari pemerintahan dengan memberi kesan kuat bahwa apa yang tidak hilang di medan perang diserahkan di Tashkent. India akan mengubah sikapnya terhadap Pakistan yaitu dari konfrontasi ke kerja sama, kepada semangat Tashkent. Zulfikar Ali Bhutto akan berusaha mengalihkan Pakistan ke satelitnya dengan menahan perangkap kerja sama damai. Rakyat menganggap itu sebuah peringatan serius. Kata-katanya bergema untuk waktu yang lama di telinga mereka yang selalu percaya bahwa Pakistan harus selalu berjaga jika itu untuk melindungi integritas nasionalnya. Deklarasi Tashkent digunakan oleh Zulfikar Ali Bhutto untuk menarik rakyat yang telah kecewa terhadap rezim militer. Pada awal tahun 1968 otoritas Ayub Khan menghadapi pukulan terakhir berupa serangan jantung yang fatal yang menyebabkannya berada di luar kantor untuk beberapa bulan. Ini merupakan suatu kesempatan bagi pimpinan militer untuk memakai konstitusinya sendiri, yaitu Konstitusi 1962. Dalam kasus presiden sedang
sakit keras tugas menjalankan pemerintahan diambilalih oleh juru bicara Dewan Nasional. Ketika itu juru bicaranya adalah Abdul Jabbar Khan, seorang poltisi dari Benggala yang telah memperlihatkan loyalitas istimewa terhadap Ayub Khan. Dengan membiarkan Jabbar Khan menjadi presiden dua hal diselesaikan yaitu akan memberi sebuah tes bagi konstitusi baru selama suatu periode krisis, dan hal itu akan meyakinkan orang-orang Benggali bahwa mereka tidak dihukum untuk selamanya menjadi partner politik yunior pada tingkat nasional. Bahkan ketika Ayub Khan pelanpelan sembuh, kendali pemerintahan diambilalih oleh kalangan pegawai sipil kecil. Situasi politik telah berubah secara dramatis ketika Ayub Kan kembali berkuasa. Zulfikar Ali Bhutto sudah mendirikan sebuah partai baru – the Pakistan People party dengan tujuan untuk mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dalam kerangka ekonomi dan sosial berdasarkan Sosialisme Islam. Untuk keperluan itu Zulfikar Ali Bhutto tidak dapat mengharapkan bahwa Ayub Khan akan secara suka rela menyerahkan kekuasaannya kepada para politisi seperti dirinya sendiri. Bila Ayub Khan dipaksa menyerahkan kekuasaan, barang kali akan menyerahkannya kepada para jendral dan berarti militer akan kembali berkuasa. Zulfikar Ali Bhutto cukup cerdik. Setelah meninggalkan pemerintahan ia berkeliling ke seluruh negeri guna mencari informasi tentang kemauan rakyat, dan hasilnya ia mengetahui bahwa kemerosotan ekonomi telah mempengaruhi rakyat terutama penduduk pedesaan sebagai akibat kemerosotan yang tajam akan hasil-hasil pertanian. Berdasarkan temuan-temuan di lapangan Zulfikar Ali Bhutto kemudian merumuskan program partai politiknya. Ia juga menjadi tahu bahwa antipati terhadap India, kendati sudah menjadi sentimen umum, tetapi tidak dirasa cukup kuat bahwa mereka akan mengurbankan hidup mereka. Di samping itu isu-isu lainnya juga mendapat perhatian dari rakyat. Ayub Khan dinilai gagal mengantarkan Pakistan kepada janji-janji untuk mengembalikan negeri ke sebuah negara yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, juga gagal untuk membagikan keuntungtan-keuntungan dari adanya pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi selama sepuluh tahun pemerintahannya. Hal itu semua mendukung kampanye Bhutto. Ketika Ayub Khan, dua gubernur propinsi, dan para menteri pusat dan propinsi telah menjelajahi negeri mempromosikan kemajuan ekonomi yang penting yang dibuat pada dekade 1958-1968. Bhutto dan para koleganya mengikti mereka ke mana-mana, sambil memperingatkan rakyat betapa kecil mereka telah diuntungkan dari semua yang dikatakan oleh pemerintah telah diselesaikan. Tepat pada pertengahan dekade, Mahbub ul Haq, ekonom utama pemerintah mengumumkan hipotesis 22 keluarga. Dalam sebuah pidato yang disampaikan di Karachi, Haq mengumumkan bahwa keuntungan-keuntungan pokok dari unjuk kerja perekonomian Pakistan yang istimewa adalah tidak perlu rakyat pada umumnya tetapi 22 keluarga industri khususnya. Pidato 22 keluarga Haq muncul pada saat Bhutto sudah mulai memusatkan perhatian rakyat kepada pembagian yang tidak adil dari tambahan-tambahan bagi kemakmuran nasional. Pidato 22 keluarga Haq persis yang dibutuhkan oleh Bhutto. Kampanye melawan ketidakadilan Bhutto mendorong pimpinan orang Benggali menyuarakan tuntutan-tuntutan mereka bagi otonomi propinsi. Orang Benggali selalu merasa didiskriminasi . Partai Benggali, Liga Awami mencanangkan program enam butir yang diarahkan untuk membatasi kekuasaan-kekuasaan pemerintah pusat pada bidang pertahanan, politik luar negeri dan mata uang. Program enam butir itu
diumumkan oleh Mujibur Rahman di Lahore, kota tempat the Pakistan Resolution yang hampir tiga dekade sebelumnya dilancarkan oleh politisi Benggali lainnya. Agitasi melawan Ayub Khan memperoleh dimensi baru dengan diumumkannya program enam butir. Langkah kampanye oposisi makin cepat; apa yang dimulai sebagai kampanye ekonomi di kota-kota kecil dan pedesaan Pakistan berubah menjadi sebuah ketidaktaatan sipil massa. Pemimpin demi pemimpin ditahan, tetapi gerakan berlanjut sehingga mencapai sebuah momentum. Pada bulan-bulan awal tahun 1969, Ayub Khan mengundang para pemimpin oposisi setelah mengakui bahwa Konstitusi 1962-nya harus diserahkan untuk kepentingan sebuah sistem yang lebih representatif. Ia berusaha keras untuk memperoleh persetujuan, tetapi Zulfikar Ali Bhutto menolak untuk bekerja sama Zulfikar Ali Bhutto menghendaki pengunduran diri Ayub Khan, yang akhirnya muncul pada tanggal 25 Maret 1969, ketika Jendral Yahya Khan mengambil alih kedudukan presiden di Rawalpindi. Dengan perkembangan-perkembangan itu mulailah kepemimpinan militer yang kedua di Pakistan. Keadaan ini bertahan selama 30 bulan dan penuh dengan kejadian, selama itu kedua sayap terlibat dalam perang saudara yang sangat berdarah mendahului kebangkitan sayap sebelah timur sebagai negara Bangladesh merdeka. Pada tahun 1968, tuntutan enam butir Liga Awami buat otonomi propinsi nampaknya tidak masuk akal bagi para pemimpin di sayap barat. Pada bulan Desember 1971, para pemimpin yang sama adalah untuk mengakui jauh lebih.
2. Era Yahya Khan Sistem politik yang dibangun oleh Ayub Khan dibongkar oleh Yahya Khan dan para kolega militernya. Pendekatan politik mereka sangat kontradiktif. Ayub Khan telah menempatkan suatu kepercayaan terhadap kaum politisi, paling tidak bagi mereka yang telah disiapkan untuk menerima sistem Demokrasi Dasar, sebuah tingkat sentralisasi yang tinggi, dan keseimbangan kedua sayap negeri. Para penggantinya menyingkirkan para politisi, dengan keyakinan bahwa misi yang dibangun mereka adalah untuk menyelesaikan hanya dapat dikerjakan jika militer bekerja sendiri dan tanpa sejumlah besar kontak yang dekat dengan para politisi. Dalam administrasi yang baru para pegawai sipil diberi peran kedua; sejumlah orang sipil yang dipercayai oleh Ayub khan dirumahkan dalam rangka pembersihan birokrasi sipil. Marsekal Udara Nur Khan, Laksamana Abdul Alam, dan Jendral S.G.M. Pirzada dan Abdul Hamid semuanya mempunyai kekuasaan politik yang besar daripada yang diberikan oleh Ayub Khan kepada kolega-kolega militernya( Burki, 1991, p. 56-61; Mahmud, 1988, p. 28). Pendekatan Yahya Khan juga kontradiktif. Ketika ia memiliterkan politik, ia juga mengenalkan sejumlah perubahan yang membelokkan negeri ke situasinya sebelum 1955, ketika para politisi dan demokrasi parlementer sudah menduduki kekuasaan tertinggi. Kontradiksi mengarah kepada sebuah konflik yang serius antara militer politisi. Untuk memfasilitasi pengembalian ke demokrasi parlementer, Yahya Khan melembagakan sejumlah perubahan yang sangat penting dalam penyelesaian politik. Cakupan dan kepentingan perubahan-perubahan itu harus melepaskan kepemimpinan militer baru. Prinsip keseimbangan adalah fundasi pada mana konstitusi 1956 dan 1962
dibangun. Penduduk Pakistan Timur yang lebih besar adalah sebuah alasan mengapa itu telah membuat para politisi hampir satu dekade untuk menyetujui konstitusi 1956. Satu orang satu suara akan berarti bahwa suatu perwakilan yang lebih besar harus diberikan kepada Pakistan Timur dalam Badan Konstituante Nasional. Para elite politik kenamaan dari Pakistan Barat ini tidak dipersiapkan untuk menerima. Sebuah jalan yang mungkin adalah prinsip keseimbangan yang memberi perwakilan yang sama untuk kedua sayap negeri. Tetapi Pakistan Barat pada awal tahun 1950-an masih bukan sebuah sayap. Pakistan Barat cukup dibuat menjadi tiga propinsi) Perbatasan Barat Laut, Punjab dan Sindh), sejumlah negara kerajaan (Bahawalpur, Kalat, dan Khairpur yang terbesar di antara kerajaan-kerajaan itu), dan wilayah Balochistan yang diurus dari pusat. Dewan dari semua bagian administratif yang berbeda itu menjadi sebuah Unit atau satu sayap, oleh karena itu sebuah prakondisi untuk penerimaan prinsip keseimbangan. Pada tanggal 30 September 1955, banyak kesatuan-kesatuan administratif Pakistan Barat digabung untuk membentuk sebuah propinsi. Satu setengah dekade kemudian, Yahya Khan memutuskan untuk menerima tuntutan Benggala bagi perwakilan atas dasar jumlah penduduk. Sejak tuntutan itu diterima, pemeliharaan sebuah unit dari Pakistan Barat tidak pernah sangat dibuat dengan rencana sebuah unit; bagi mereka keduanya adalah ketidaknyamanan administratif dan sebuah gangguan politik. Lagi pula, jika prinsip keseimbangan tidak menjadi dasar konstitusi baru yang dijinkan oleh Yahya Khan, ingatan akan sebuah unit dari Pakistan Barat juga lebih lama perlu. Pemerintah militer menerima alasan sebuah Komisi Pembubaran Sebuah Unit, dibentuk untuk reorganisasi Pakistan Barat menjadi empat propinsi: Balochistan, Perbatasan Barat Laut, Punjab dan Sindh. Propinsi-propinsi itu sejajar dengan Pakistan Timur, terdiri dari lima unit, yang mana memberi kekuasaan kepada pemerintah federal di bawah ketentuan dari sebuah konstitusi baru. Sebuah Legal Framework Order, diumumkan pada tanggal 30 Maret 1970, membuat garis besar dalam mana Dewan Nasional yang baru akan disusun dan kewajiban-kewajiban pembuat konstitusinya akan ada. Dewan 300 dipilih secara langsung oleh rakyat, dengan 162 dipilih oleh Pakistan Timur dan 138 dipilih oleh keempat propinsi Pakistan Barat. Pemilu diselenggarakan pada tanggal 5 Oktober 1970 dan Dewan Nasional hanya diberi waktu 120 hari untuk menghasilkan sebuah konstitusi baru. Jika dewan tidak dapat melengkapi rancangan konstitusi pada waktu yang sudah ditetapkan, dewan itu akan dibubarkan dan putaran pemilu lain akan diselenggarakan. Presiden memiliki hak untuk membuktikan konstitusi demikian sehingga dokumen yang disiapkan oleh dewan tidak berlawanan dengan lima prinsip dasar dalam the Legal Framework Order. The Framework menghendaki agar Pakistan menjadi sebuah negara Islam; berdemokrasi yang didasarkan atas sistem pemilihan yang bebas dan jujur; mempertahankan integritas wilayahnya; berusaha untuk memperkecil ketidakseimbangan ekonomi antara kedua sayap negeri; dan propinsipropinsi memperoleh otonomi maksimum tanpa melemahkan pemerintah federal. Pemilu diselenggarakan pada tanggal 7 Desember 1970, akibat terjadinya bencana angin siklon di Pakistan Timur. Mujib-ur-Rahman memperjuangkan otonomi bagi Pakistan Timur. Pemilu bulan Desember itu merupakan titik balik. Pemerinatah pusat telah lamban mengambil tindakan perbaikan, bantuan baru tiba setelah bantuan internasional berdatangan. Bagi orang Benggali hal itu merupakan bukti lain kelalaian
dari Pakistan Barat. Program Enam Butir Mujib-ur-Rahman yang menuntut otonomi propinsi yang lengkap memperoleh arti baru dan mendesak (Wolpert, 2009, p. 408-412). Pemilu menghasilkan akibat yang tidak diduga sebelumnya, yaitu berupa bangkitnya para pemimpin politik dengan dua mandat yang berbeda. Mandat Mujib-urRahman adalah untuk membahas suatu tingkatan otonomi bagi Pakistan Timur (Barnds, 1972, p. 240-241). Bagi rakyat Pakistan Barat setelah pemilu bulan Desember 1970, orang Benggali tidak mencapai titik temu kembali dengan orang Pakistan Barat. Pemilu itu telah mengantar orang Benggali menuju ke kemerdekaan setahun kemudian. Sebuah kampanye politik yang sama sekali berbeda memenangkan Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan Barat. Program politik Bhutto mengarah kepada restrukturisasi total ekonomi Pakistan. Rakyat dijanjikan sosialisme: negara menguasai puncak-puncak ekonomi yang berwibawa kuat dan akses yang sama bagi seluruh rakyat untuk bahan-bahan kebutuhan pokok seperti makanan, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan. Mujibur-Rahman telah memenangkan dukungan atas dasar sebuah program yang menuntut ekonomi individual dan persamaan sosial. Mujib-ur-Rahman pada dasarnya adalah seorang politisi propinsi dengan beberapa minat dari hal-hal yang berhubungan dengan para pemilihnya. Ia bukan orang yang canggih; ia tidak memahami ekonomi dan tidak menaruh perhatian tentang masalah-masalah luar negeri. Tujuan utamanya adalah kemakmuran Benggala Timur. Dalam mengejar tujuan ini, ia telah bergabung dengan Mohammad Ali Jinnah dan mengambil bagian yang aktif dalam pergerakan Pakistan. Bertahun-tahun ketika ia memulai untuk proyek kepentingan Pakistan Timur, untuk para pemilihnya meluas secara luar biasa. Inisiasi politik Zulfikar Ali Bhutto telah terjadi jauh lebih kemudian dari pada Mujib dan di bawah lingkungan yang amat berbeda; ia sudah dipilih dengan amat teliti oleh Jendral Ayub Khan untuk mewakili Sindh dalam kabinet. Ketika Bhutto diperkenalkan kepada politik, ia tidak mempunyai pemilih pribadinya sendiri dan tidak mengembangkan sesuatu paling lama ia tetap berada dengan Ayub Khan. Hanya setelah mengundurkan diri dari tugasnya sebagai menteri luar negeri dan mulai berkeliling ke seluruh negeri bahwa ia mengembangkan pengikut pribadi. Seperti Mujib, ukuran pengikut Bhutto naik tajam, berlawanan dengan Mujib, rakyat ditarik ke Bhutto karena sesuatu yang baru dari sebab bahwa ia telah mulai mendukung. Jenis populisme Bhutto bukan suatu gejala baru dalam perpolitikan di Dunia Ketiga. Dengan sengaja ia telah membuat gaya dan idiomnya setelah para pemimpin Dunia Ketiga seperti Sukarno, Nkrumah, Peron dan Castro. Tetapi untuk Pakistan Barat, pendekatan populis ini adalah sebuah perkembangan baru. Sampai saat itu para politisi Pakistan Barat telah mengikuti sebuah pendekatan kunci yang amat rendah, lebih suka berunding di antara mereka sendiri agaknya daripada untuk menggunakan dukungan rakyat untuk lebih lanjut tujuan-tujuan dan ambisi-ambisi mereka. Bhutto adalah seorang model pemimpin baru. Dengan demikian para pemilih yang telah digarapnya untuk dirinya sendiri adalah baru. Sejak pemimpin baru naik pentas, para pemilih masih tetap bertahan. Tabrakan antara kekuatan Bhutto dan Mujib segera setelah pemilu diumumkan tidak dapat dihindari. Pasca pemilu Pakistan Barat dan Pakistan Timur masing-masing telah memperoleh pemimpin mereka sendiri, mandat mereka yang amat berbeda telah
disahkan oleh rakyat. Mujib menghendaki otonomi untuk Pakistan Timur, sementara Bhutto menghendaki pemulihan pemerintahan sipil dan suatu pengaturan kembali perekonomian. Keduanya tidak bersedia duduk bersama selama 120 hari di Dewan Nasional guna merancang sebuah konstitusi yang sejajar dengan prinsip-prinsip luar yang telah diletakkan dalam the Legal Framework Order-nya Yahya Khan. Setelah pemilu kejadian-kejadian begitu cepat berlalu. Dewan Nasional yang baru diundang bersidang pada tanggal 3 Maret 1971, tetapi Bhutto memutuskan untuk memboikot sidang, dengan berdalih bahwa ia sedang berusaha mencari kesepahaman dengan Mujib atas isu-isu konstitusional penting sebelum ia dan kolega-koleganya dapat masuk ke Dewan Nasional. Yahya Khan menjawabnya dengan menunda sidang Dewan Nasional dan tindakan itu mendorong Mujib memerintahkan para pengikutnya untuk tidak bekerja sama dengan pemerintahan militer. Pada minggu pertama bulan Maret bendera Pakistan mulai diganti dengan bendera Liga Awami (Wolpert, 2009, p. 404-405). Pada tanggal 7 Maret, Mujib-ur-Rahman mulai mengajukan syarat-syarat baru untuk menghadiri sidang Dewan Nasional. Itu berarti Jendral Yahya Khan dan para koleganya harus lebih dulu mengakomodasi Liga Awami, menerimanya sebagai mayoritas dalam Dewan Nasional dan Mujib-ur-Rahman sebagai perdana menteri. Syarat-syarat yang diajukan oleh Mujib tidak diterima dan setelah perundingan selama dua minggu akhirnya Jendral Yahya Khan melancarkan operation searhlight untuk melawan Liga Awami. Mujib-ur-Rahman ditahan dan dibawa ke Pakistan Barat, sejumlah besar pengikutnya lari ke Calcutta, India, guna membentuk pemerintahan di pengasingan. Operasi dilancarkan pada tanggal 25 Maret dan berakhir sampai 17 Desember, ketika Mukti Bahini dengan dibantu oleh angkatan perang India memaksa pasukan Pakistan secara resmi menyerah dalam sebuah upacara resmi pengambilan Dhaka dan membangun negara Bangladesh merdeka (Ganguly, 1986, p. 107; 135).
Era Bhutto a. Munculnya Bhutto Zulfikar Ali Bhutto telah bergabung ke pemerintah Yahya Khan sebagai pembantu perdana menteri segera sebelum menyerahnya pasukan Pakistan kepada pasukan India di Dhaka. Dalam kapasitas itu ia berkunjung ke New York untuk merundingkan pemecahan sebuah solusi damai bagi krisis yang terjadi di Pakistan Timur. Sehari sebelum pasukan Pakistan menyerah, ia telah datang pada sidang Dewan Keamanan, ia merobek-riobek resolusi yang diajukan oleh Polandia untuk mengakhiri pertempuran di Pakistan Timur. Ia bersumpah untuk melancarkan perang selama seribu tahun dengan India ketika ia meninggalkan ruangan Dewan Keamanan. Kejadian ini dilihat oleh jutaan rakyat di televisi Pakistan, sehingga terbentuk dalam benak rakyat Pakistan sebagai seorang patriot kenamaan dengan menolak untuk menyerahkan bahkan ketika pasukannya sendiri menyerah kepada pasukan penyerbu. Pertunjukan ini memenangkan dukungan bagi Bhutto bahkan dari mereka yang dulunya tidak memilihnya dalam pemilu bulan Desember tahun 1970. Para opsir muda yang merasa dihina oleh sikap para jendral juga terkesan akan sikapnya. Ketika Bhutto berkunjung ke Rawalpindi, para opsir itu diam-diam mengadakan kudeta menentang kolega-kolega
senior mereka. Jendral Yahya Khan didesak untuk mengundurkan diri dan Bhutto sebaliknya disumpah sebagai presiden dan administrator utama keadaan darurat.
b. Konstitusi 1973 Era Bhutto berlangsung selama lima setengah tahun, selama itu perekonomian diatur kembali, sektor publik diberi sejumlah besar keunggulan, pendekatan Pakistan ke dunia luar dirumusulang atas dasar suatu hubungan dengan India yang tidak lebih lama mencari kesamaan dengannya, dan sebuah konsensus baru dikembangkan dan atas dasar isu-isu konstitusional di kalangan para pemain politik yang berbeda. Pada tanggal 5 Juli 1977, Bhutto disingkirkan oleh militer, yang mengambil kontrol sekali lagi tidak keluar dari ambisi politik, tetapi karena adanya ketegangan-ketegangan akibat perlakuan Bhutto terhadap para pemimpin politik lainnya, partai-partai mereka, dan program-program mereka (Burki, 1991, p. 61-65; (Mahmud, 1998, p. 289-293) . Prisip kesamaan antara kedua sayap secara garis besar sama yaitu dasar konstitusi 1956 dan 1962. Dengan sekarang Pakistan dibagi menjadi empat bagian yang tidak sama, adalah bukan pemecahan yang mudah untuk masalah membagi kekuasaan antara pusat dan propinsi-propinsi. Dominasi Punjab ditakuti oleh propinsi-propinsi yang lebih kecil. Punjab hampir memiliki 60% penduduk dan sebuah perwakilan yang besar dalam angkatan perang; juga menghasilkan separoh dari GNP. Berikutnya adalah Sindh dilihat dari luasnya dan kesejahteraan, memiliki sebuah potensi pertanian luar biasa yang tidak digunakan, kendati irigasi sudah sampai di Punyab pada awal dekade abad keduapuluh. Pertanahan di Sindh masih dalam proses dekolonisasi oleh para petani, entah imigran dari Punjab atau pensiunan para opsir tentara. Sindh juga mengakomodasi kelompok imigran yang berasal dari India utara dan tengah pasca pemisahan. Kaum migran (muhajir) menetap di kota-kota besar Sindh (di Karachi, Hyderabad, Sukkur, dan Khairpur) dan memiliki sedikit hubungan dengan budaya politik Sindh pedesaan. Kebuyaan pedesaan Sindh didominasi oleh para tuan tanah besar (weidara), misal Zulfikar Ali Bhutto. Propinsi Barat Laut sama heterogennya seperti Sindh, dalam perbatasan-perbatasannya hidup suku Pathan sama seperti Punjabi. Orang Pathan dibagi menjadi dua kelompok (yang berasal dari wilayah suku dalam mana pukhtunwali masih ditakuti). Orang-orang Punjabi memiliki kehadiran ekonomi yang penting di kota-kota Peshawar dan Abbotabad. Akhirnya propinsi Balochistan kendati penduduknya paling sedikit, luas wilayahnya dua kali lipat besarnya Punjab. Balokistan paling miskin dari keempat propinsi tetapi memiliki kekayaan potensial, misalnya gas dan deposit yang besar akan batu bara dan marmer, mungkin besi, emas dan tembaga. Orang Balochistan tidak seperti orang-orang Pathan, adalah orang yang amat bebas. Mereka juga menolak civilisasi pemerintah Inggris, lebih menyukai hidup di bawah hukum mereka sendiri. Tetapi ada suatu perbedaan penting dan kepentingan politik besar anatara orang-orang Pathan dan Balochis: suku Pathan hidup dalam komunitas-komunitas sedikit bebas yang egaliter, pada hal orang Balochis dibagi menjadi suku-suku, masing-masing di bawah pengawasan sirdar (ketua suku) yang amat kuat. Karenanya, Pakistan yang muncul pada tahun 1971 adalah sebuah mosaik warna-warni dari banyak penduduk yang berbeda. Mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda – Punjabi, Sindhi, Baruhi, Saraiki – dan memiliki banyak budaya yang
berbeda. Perbedaan-perbedaan itu tetap berada di bawah selama Benggala masih menjadi bagian dari Pakistan, lalu masalah mendapatkan sebuah solusi yang dapat berjalan untuk kesertaan kekuasaan antara dua sayap yang menyibukkan semua perhatian politik. Dengan Benggala sekarang memisahkan diri, fokus berubah ke perbedaan-perbedaan internal Pakistan Barat. Trauma kekalahan di Pakistan Timur telah dapat membuatnya mungkin bagi para politisi Pakistan Barat untuk menyetujui sebuah konstitusi baru. Pada tanggal 4 April 1972 Bhutto mengundang Dewan Nasional untuk bersidang di Islamabad. Anggotanya sebanyak 139 orang. 138 dipilih dari Pakistan Barat dan Nurul Amin salah seorang dari dua orang non Liga Awami yang sudah kembali ke Pakistan Timur. Pada tanggal 20 Oktober 1972, hanya enam bulan setelah sidang pertama Dewan sebuah catatan konstitusional ditandatangani oleh para pemimpin dari partai-partai politik yang berbeda. Konstitusi disahkan oleh Presiden Bhutto pada tanggal 12 April 1973. Itu berarti Pakistan pada hari lahirnya yang ke 26 memperoleh konstitusinya yang ketiga. Konstitusi mewakili sebuah konsensus atas tiga hal: peranan Islam dalam politik, kesertaan kekuasaan antara pemerintah federal dan propinsi-propinsi federasi, dan pembagian tanggung jawab antara presiden dan perdana menteri. Bhutto lebih menyukai model pemerintahan presidensiil (seperti model Ayub Khan), tetapi ia didesak untuk menerima sebuah sitem parlementer yang dimodifikasi. Modifikasi dimaksudkan untuk melindungi perdana menteri dari perubahanperubahan yang tidak teratur dalam kesetiaan partai dari model yang telah melumpuhkan pemerintah pada periode sebelum Ayub Khan. Di bawah prosedurprosedur konstitusi baru, pemakaian kehendak politik yang sungguh-sungguh diperoleh untuk mengganti perdana menteri. Sebuah mosi tidak percaya melawan perdana menteri dibuat sungguh tidak mungkin, pada akhirnya untuk sepuluh tahun. Sejak konstitusi diberlakukan, Bhutto mengundurkan diri sebagai presiden dan menjadi perdana menteri. Fazal Elahi Chaudhurry, ditunjuk menjadi presiden. Ketakutan-ketakutan dari propinsi-propinsi kecil mengenai dominasi Punjab ditenangkan dengan pembentukan sebuah badan pembuat undang-undang yang bikameral – sebuah Senat dengan perwakilan propinsi yang sama dan sebuah Dewan dengan kursi-kursi yang dibagi sesuai dengan jumlah penduduk –sama seperti kata Bhutto yang serius bahwa ia tidak akan campur tangan pada kerja dari pemerintah propinsi dalam mana PPP tidak mempunyai suatu mayoritas. Ketika konstitusi berlaku ada dua pemerintahan non PPP berjalan di Peshawar ibu kota Propinsi Barat Laut, dan di Quetta, ibu kota Balochistan. Konsensus ketiga meletakkan Pakistan jauh dari maksud yang ditambahkan dalam Konstitusi 1956 dan Konstitusi 1962. Konstitusi yang baru juga meletakkan jalan aksi untuk diikuti oleh negara dalam hubungannya dengan dunia luar. Secara khusus konstitusi memperoleh Negara akan berusaha memelihara dan memperkuat hubungan persaudaraan di antara negara-negara Muslim yang didasarkan atas kesatuan Islam. Segera setelah pengambilan kosntitusi, menjadi jelas bagi oposisi bahwa Bhutto tidak sungguh-sungguh bermaksud menerima konsensus yang telah dicapai dengan mereka. Pemerintah oposisi di Bochistan dan Propinsi Barat Laut secara terbuka didiskriminasi, para pemimpin mereka sering dikritik tidak patriotik, dan akhirnya pada tanggal 12 Februari 1974, pemerintah Balochistan dibubarkan atas tuduhan telah
menghasut rakyat propinsi itu memberontak melawan penguasa pusat. Pemerintah di Propinsi Barat Laut mengundurkan diri karena simpati dengan mereka yang berada di Balochistan. Pada tanggal 24 Mei sebuah amandemen terhadap konstitusi memberi eksekutif kekuasaan untuk menyatakan ilegal partai politik yang ditemukan bekerja sama dalam cara merugikan kedaulatan atau integritas negeri. Kekuasaan ini dilaksanakan dengan persetujuan MA, dan seperti didemonstrasikan oleh kejadiankejadian berikutnya, mahkamah sudah mengharuskan. Kekuasaan ini digunakan untuk melarang partai Liga Awami, yang sekarang menjadi oposisi efektif satu-satunya bagi PPP, dan sebuah langkah lain diambil terhadap tujuan Bhutto yang tidak dinyatakan tetapi sekarang merupakan tujuan yang jelas untuk tujuan terakhir akan menjadi pemilu yang lain, yang mana akan menempatkan PPP dalam seluruh komando Dewan Nasional. Pemilu untuk Dewan Nasional dicatat untuk tanggal 7 Maret 1977, dan untuk keempat propinsi akan diselenggarakan pada tanggal 10 Maret.
c. Pemilu 1977 Pada tanggal 7 Maret 1977 Zulfikar Ali Bhutto menyatakan maksud pemerintahnya guna menyelenggarakan pemilu bagi Dewan Nasional dan Dewan Propinsi. Tanpa diperkiranakan sebelumnya pihak oposisi mampu membuat koalisi bernama the Pakistan National Alliance (PNA) untuk bergabung dalam pemilu. Oposisi berhasil menetapkan program bersama yang menarik banyak orang dan dimungkinkan untuk menangguk sejumlah kursi baik di tingkat nasional maupun di tingkat propinsi. Tetapi setelah hasil pemilu diumumkan pada tanggal 8 Maret, dari 192 kursi yang diperebutkan hanya 36 kursi yang direbut oleh PNA, di Punjab PNA hanya memperoleh 8 dari 116 kursi yang diperebutkan. Dampak dari pengumuman hasil pemilu mudah ditebak, demonstrasidemonstrasi terjadi setiap hari, situasi menjadi makin buruk. Untuk mengatasi hal itu Bhutto lalu mengundang para politisi untuk berunding, dan sekali lagi militer turun tangan. Bhutto dan para pemimpin PNA ditahan, dan Jendral Zia-ul-Haq mengumumkan akan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu 90 hari. Tindakan yang diambil oleh militer ini disebut fair play.
d. Jatuhnya Bhutto Selama 21 bulan berikutnya Bhutto masih mendominasi perpolitikan di Pakistan setelah pengusirannya pada tanggal 5 Juli 1977. Selama waktu ini ia tetap dalam penjara. Penahannya yang pertama adalah dalam penjagaan perlindungan yang telah diperintahkan oleh Jendral Zia-ul-Haq untuk menyelamatkan Bhutto dari kemarahan rakyat dalam suatu suasana yang jelas-jelas berlawanan dengan perdana menteri sebelumnya. Kemudian iklim politik membaik, pada tanggal 17 Juli, dua minggu setelah coup d’etat, ia mengundang para pengikutnya di lapangan rumput tempat ia dipenjarakan. Segera setelah dibebaskan ia bermaksud untuk bertarung dalam pemilu yang dijanjikan akan dielenggarakan pada bulan Oktober 1977 seperti yang telah diumumkan oleh penguasa militer yang telah mngambil alih pemerintahan (Wolpert,
2009, p. 428; Burki, 1991, p. 66-67). Peristiwa-peristiwa setelah Bhutto keluar dari tahanan kemudian berubah arah. ketika ia berkunjung ke Karachi dan kemudian ke Lahore, media cetak memuji-mujinya, tetapi kemudian mulai muncul berita-berita yang mengungkap penyalahgunaan kekuasaan ketika ia berkuasa. Setelah diadakan penyelidikan-penyelidikan kemudian mulailah seruan-seruan untuk meminta pertanggungjawabannya berupa sebuah kasus yang diajukan ke Mahkamah Tinggi di Lahore yang menuduh Bhutto ikut serta dalam persekongkolan untuk membunuh seorang lawan politiknya. Mahkamah tidak hanya fokus kepada tuduhan kriminal bagi Bhutto tetapi juga pada bagaimana ia telah mengatur negara selama masa pemerintahannya. Kemudian pemerintah mengeluarkan buku putih yang merinci kesalahan-kesalahan pemerintahannya. Penyelidikanpenyelidikan dan reaksi rakyat memperlihatkan bagaimana rakyat telah dipojokkan Pendapat Bhutto bahwa waktu akan membersihkan namanya terbukti keliru. Mahkamah Lahore memutuskan pada tanggal 19 Maret 1978 mendapatinya bahwa Bhutto menjadi dalang penyergapan bulan November 1974, untuk membunuh Ahmad Raza Kasuri, seorang pelindung politik yang berbalik menjadi lawan politiknya. Mahkamah memerintahkan untuk mengeksekusi Bhutto. Keputusan hukum final muncul pada tanggal 31 Maret 1979, ketika Mahkamah Tinggi Negeri menolak untuk meninjau kembali putusan mereka sebelumnya dan pada tanggal 4 April 1979 Zulfikar Ali Bhutto dihukum gantung di Rawalpindi.
Penutup Perkembangan politik di Pakistan mulai Ayub mengambil kekuasaan sampai dengan jatuhnya Zulfikar Ali Bhutto ditandai oleh makin kuatnya kerjasama antara sipil dan militer pribumi. Kelompok pengungsi (muhajir yang pada awal berdirinya Pakistan sangat mendominasi perpolitikan di Pakistan pada dekade kedua pasca merdeka sudah bergeser ke tangan pribumi. Kerja sama dari kaum pribumi itu terjadi antara kaum tuan tanah, khususnya Punjab dan Sindh, dengan militer sangat mewarnai perpolitikan mulai akhir tahun 1960-an sampai Jendral Zia-ul-Haq merebut kekuasaan, kendati kerjasama ini lebih didominasi oleh militer. Arus pengungsi dari Uttar Pradesh, Madhya Pradesh, Bombay, Gujarat dan daerah-daerah sebelah timur Punjab merupakan titik awal terjadi perubahan politik yang berkelanjutan di Pakistan. Para pengungsi itu mayoritasnya tinggal di barat daya, khususnya di Karachi dan Hyderabad. Mereka memilih tempat itu karena alasan ekonomi. Secara signifikan kultur pengungsi dan pribumi amat berbeda. Sistem pemerintahan di Punjab dikembangkan secara paternalistik untuk menangani politik dan perekonomian. Kaum pengungsi menghendaki suatu pemisahan yang nyata antara agama dan negara. Di kalangan pribumi ada kecenderungan kuat di Punjab, Sindh dan Propinsi Barat Laut menuju ke Pakistan yang sesuai dengan perintah-perintah Quran dan Sunnah. Kaum pengungsi meyakini sekularisme, politik liberal, perdagangan bebas, sementara kaum pribumi meyakini pembangunan sebuah negara Islam dan sebuah perekonomian yang diurus oleh negara. Pertentangan antara pribumi dan pengungsi mulai mencuat pada saat reorganisasi Liga Muslimin, di tingkat Dewan Konstituante.
Hal baru dalam konstitusi selain Islamisasi, juga bahwa Pakistan masih tetap bergabung menjadi anggota Negara-Negara Persekemakmuran Inggris. Proses pribumisasi tidak berjalan lancar karena konstitusi 1956 lebih bernuansa politik dan ekonomi daripada komunitas pengungsi. Mulai tahun 1960-an dominasi militer menjadi makin signifikan, kendati ada usaha untuk kembali kepada sipil yang dilancarkan oleh Zulfikar Ali Bhutto. Perkembangan yang terjadi selanjutnya rupanya lebih merupakan tarik ulur di kalangan pribumi itu sendiri, yaitu antara militer dan kaum politisi sipil.
Daftar Pustaka Barnds, William, J. 1972, India, Pakistan and the West, New York, Praeger Books. Bolitho, Hector, 1954, Jinnah, Creator of Pakistan, London, John Murray, Albermale Street. Brecher, Michael, 1959, Nehru, A Political Biography, London, Oxford University Press. Burki, Shahid Javed, 1991, Westview Press.
Pakistan, The Continuing Search for Nationhood, Oxford,
Ganguly, Summit, 1986, The Origins of War In South Asia, Indo-Pakistani Conflicts Since 1947, London, Westview Press. Kulke, Hermann & Ruthermund, Dietmar, 1986, A History of India, New Jersey, Barners Noble Books. Mahmud, S.F., 1988, A Concise History of Indo-Pakistan, Oxford, Oxford University Press. Wolpert, Stanley, 2009, A History of India, Oxford, Oxford University Press.