PAKEPUNG 1790
Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya K. Subroto
Laporan Khusus
SYAMINA
Edisi 14 / Oktober 2016
PAKEPUNG 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya K. Subroto
Laporan Khusus Edisi 14 / Oktober 2016
ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
[email protected]. Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
2
SYAMINA
Laporan Khusus
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY
Daftar Isi — 3
Sunan Paku Buwono IV naik takhta pada usia 20 tahun. Usia yang begitu muda dan belum matang kalau dibandingkan dengan kondisi pemuda 20 tahun pada zaman ini. Namun, pada usia yang begitu muda ia mempunyai keberanian dan idealisme yang tinggi sebagai seorang raja dan pemimpin yang berilmu karena ia telah dididik oleh para ulama yang mumpuni. Ia berusaha meluruskan berbagai penyelewengan dan penyimpangan dari ajaran Islam yang terjadi di Keraton Surakarta. Ia juga berusaha menerapkan aturanaturan Islam di Keraton Surakarta.
Executive Summary — 3 PAKEPUNG 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam — 5 di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya —5 Kondisi Politik pada Masa Pakubuwana IV — 6 1.
Habisnya Kedaulatan Mataram Digerogoti VOC — 6
2.
Bangkrutnya VOC, Berkuasanya Pemerintah Belanda dan Kedatangan Inggris — 9
Menyadari berbagai kekurangannya sebagai seorang raja muda, Sunan meminta beberapa ulama untuk mendampinginya. Ulama yang dipilih adalah yang mereka yang mumpuni ilmunya dan juga zuhud dalam kesehariannya. Harapannya, ulama bisa mendampingi dan menjadi penasihatnya dalam memimpin Kasunanan Surakarta sebagai sebuah kerajaan islami penerus Mataram.
Biografi dan Tulisan Karya Pakubuwana IV — 10 Pengaruh Ulama di Sekitar Raja — 13 Usaha Penerapan Hukum Islam — 14 Pengadilan Agama (Surambi) Menjadi Pengadilan Tertinggi — 15
Setelah naik takhta Sunan berusaha meluruskan arah kebijakan sesuai dengan syariat Islam. Sunan membuat berbagai aturan—baik berupa kebijakan maupun aturan tertulis—untuk merombak tata kelola di Keraton. Para pejabat yang melanggar aturan yang dibuat Sunan akan dimutasi atau bahkan dipecat. Hal itu membuat beberapa pejabat yang tersingkir dari jabatannya berusaha melawan Sunan.
Hukum Kisas dan Hudud — 16 Bukti-Bukti Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa Pakubuwana IV — 17 Pengepungan Keraton oleh Pasukan Belanda dan Sekutunya — 18 Perjuangan Bersenjata Pakubuwana IV dan Kerja Sama dengan Hamengkubuwana II — 20 Gagal dengan Perlawanan Perlawanan Pena — 20
Fisik,
Edisi 14 / Oktober 2016
Beralih
ke
Kebijakan Sunan yang bernuansa Islam juga tidak disukai Penjajah Belanda. Belanda memandang bahwa para ulama yang ada di sekitar Sunanlah yang menjadi penyebabnya.
Kesimpulan — 21
3
Laporan Khusus
SYAMINA
Belanda kemudian berkolaborasi dengan para pejabat Keraton yang tidak menyukai kebijakan Sunan untuk melawan Sunan. Mereka kemudian melontarkan berbagai isu yang memojokkan Sunan untuk memperoleh dukungan dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Usaha mereka membuahkan hasil setelah hasutan dari musuh-musuh. Sultan Yogyakarta dan Mangkunegaran kemudian sepakat untuk melakukan kerja sama atau persekutuan dengan Belanda. Koalisi tersebut membuat pasukan sekutu untuk mengepung Karaton Surakarta. Mereka sepakat bahwa para ulama yang menjadi penasihat Sunan adalah orang yang jahat dan mempengaruhi raja untuk menerapkan aturan-aturan Islam. Pengepungan dilakukan dengan ribuan pasukan untuk mengepung Keraton Surakarta yang hanya berisi beberapa ratus orang saja. Setelah terjadi pengepungan Belanda mengultimatum Sunan. Ia diminta menyerahkan para ulama penasihatnya atau Keraton akan diserang dan Sunan diturunkan dari takhta secara paksa. Pengepungan ini dikenal dengan peristiwa Pakepung. Sunan berusaha untuk menerapkan aturanaturan hukum Islam secara damai, tidak ada usahausaha yang signifikan untuk membangun kekuatan militer yang kuat. Hal itu karena Sunan terikat perjanjian dengan Belanda dalam membangun militernya dan merekrut para prajuritnya. Saat itu kekuatan militer Keraton ada dalam kontrol Belanda. Namun, walau Sunan berusaha menerapkan aturan syariat Islam di negerinya sendiri, bahkan di dalam keratonnya sendiri, tetapi Belanda dan sekutunya menganggap itu sebagai ancaman yang serius yang akan membahayakan kepentingan mereka. Walaupun Sunan Pakubuwana IV berusaha menegakkan syariat Islam secara damai, tetapi musuh-musuhnya tetap menganggapnya sebagai ancaman dan kejahatan yang harus dicegah dan dihentikan sebelum tumbuh dan berkembang.
4
Edisi 14 / Oktober 2016
SYAMINA
Laporan Khusus
Edisi 14 / Oktober 2016
PAKEPUNG 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya
S
ejarah Kerajaan Mataram pada masa lampau banyak diwarnai oleh sengketa di antara para pangeran, lebih-lebih jika menyangkut persoalan suksesi. Walaupun raja yang sedang memerintah telah menyiapkan calon penggantinya, tetapi sesudah raja mangkat, pergantian tahta sering berlangsung secara tidak mulus.
tidak terbatas dan segala keputusannya tidak dapat ditentang karena dianggap kehendak dari Tuhan.2
Posisi raja yang sedemikian penting dan “menguntungkan” membuat setiap raja berusaha dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan kedaulatannya. Sering terjadi perang saudara di antara keluarga kerajaan Banyak faktor yang sendiri. Saat itulah VOC menyebabkan terjadinya tampil seolah-olah 1 Gb. Sunan Paku Buwono IV peristiwa di balik pergantian menjadi penengah. Melalui takhta tersebut. Namun, perjanjian-perjanjian yang faktor yang sangat menonjol adalah konsep difasilitasi oleh VOC, konflik antarkeluarga kerajaan kekuasaan dalam pemikiran kebudayaan Jawa. ini tampak mulai reda. Namun, di balik itu mulai Konsep kekuasaan yang berdasarkan Wahyu muncul pihak-pihak yang mulai memanfaatkan Cakraningrat atau Wahyu Keraton masih berakar situasi tersebut untuk mencari keuntungan pribadi, kuat dalam memilih calon yang dapat menjadi termasuk VOC sendiri. pengganti raja. Perjanjian Giyanti menandai babak baru dalam Di kalangan masyarakat tradisional Jawa, kekuasaan itu berkaitan dengan turunnya wahyu sehingga raja merupakan pengejawantahan dari Tuhan, sebagaimana disinyalir oleh Dr. Purwadi (2003). Akibatnya raja memiliki kekuasaan
1
perjalanan sejarah Dinasti Mataram. Wafatnya Pakubuwana II, dilanjutkan dengan pengangkatan putra mahkota menjadi Pakubuwana III, ternyata memunculkan persoalan baru di kalangan istana. Hal ini dikarenakan sebelum upacara penobatan putra mahkota menjadi Pakubuwana III, pengikut Pangeran Mangkubumi telah mengangkat 2
Diambil dari: http://rodvoid.org/1/10/P.B.IV.jpg
5
Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng. Ronggowarsito, Jogjakarta: Persada, 2003, hlm. 5-6.
Laporan Khusus
SYAMINA
Edisi 14 / Oktober 2016
Pangeran Mangkubumi menjadi raja.
Perundingan damai antara Raden Mas Said dengan Belanda berlangsung pada tanggal 24 Persoalan ini membuat Februari 1757 di Grogol, sebelah VOC segera mengambil selatan Surakarta. Kemudian keputusan untuk mencoba dilanjutkan dengan perundingan dan merundingkan suatu kedua pada tanggal 17 Maret 1757 penyelesaian sebagai upaya di Salatiga. Dalam perundingan melepaskan diri dari peperangan tersebut diperoleh kesepakatan, yang berpotensi membuat bahwa Raden Mas Said mendapat VOC bangkrut. Pangeran wilayah kekuasaan yang meliputi Mangkubumi pun siap untuk Matesih, Keduwang, Nglaroh, mengadakan perundingan. dan Surakarta bagian tenggara. Akhirnya pada tanggal 13 Akhirnya perjuangan panjang Februari 1755 Perjanjian Giyanti 4 Raden Mas Said membuahkan Gb. Sultan Hamengku Buwono ditandatangani. VOC mengakui hasil yang ditandai dengan Pangeran Mangkubumi sebagai berdirinya Pura Mangkunegaran. Sultan Hamengkubuwana I yang menguasai setengah wilayah Mataram.3
Kondisi Politik pada masa Pakubuwana IV
Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda atas kedudukan Sultan Hamengkubuwana I belum menyelesaikan persoalan di kalangan istana. Salah satu keturunan Pangeran Mangkunagara (putra tertua Amangkurat IV), yaitu Raden Mas Said, belum menghentikan perlawanan terhadap Belanda.
1. Habisnya Kedaulatan Mataram Digerogoti VOC Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan dari Kasunanan Kartasura. Kasunanan Kartasura merupakan kelanjutan dari Kasultanan Mataram. Kasultanan Mataram berdiri pada tahun 1588 M dengan Sutawijaya sebagai Sultan yang bergelar Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama yang bermakna ‘Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama’.
Gb. Peta Wilayah Kekuasaan Mataram Islam5 3 4
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terjemahan Dharmono Hardjopuspito, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 148-149. Diambil dari: https://galeriilmiah.files.wordpress.com/2012/01/hb1. jpg
5
6
Diambil dari: http://4.bp.blogspot.com/-Tbesh3L0K8k/ VVlh8g8JMUI/AAAAAAAAArE/qN_yX_be8uI/s1600/ markijar. com%2B-%2Bwilayah%2Bmataram%2Bislam.png
Laporan Khusus
SYAMINA
Kasultanan Mataram runtuh akibat pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677. Kemudian ibu kotanya dipindahkan ke Kartasura oleh Sunan Amangkurat II. Pada masa Sunan Pakubuwana II (1742) Mataram mendapat serbuan dari orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti-VOC.
5. Sunan memberi gaji kepada 4.000 orang Kompeni yang bertugas menjaga keamanan di Kartasura sebesar 24.000 real setahun; 10.000 real dan 1000 koyan beras kepada Kompeni, juga 500 koyan kacangkacangan. 6. Sunan memberikan hak monopoli dagang di daerah Mataram kepada Kompeni.
Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu pun mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat—yang merupakan sekutu VOC—dalam keadaan rusak parah. Kemudian Sunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota Kerajaan Mataram yang baru.6
Selain perjanjian di atas, sesudah pindah ke Surakarta (1746), Sunan juga menandatangani perjanjian dengan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Dalam hal ini Belanda meminta seluruh daerah pesisiran. Perjanjian ini dianggap sebagai pembaruan perjanjian tahun 1743 di atas. Surat ini dibuat pada tanggal 18 Mei 1746. Sejak saat itu seluruh daerah Pesisiran diberikan kepada Kompeni. Daerah-daerah tersebut adalah Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Juwana, Kudus, Pati, Tuban, Sedayu, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, sebagian daerah Malang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura.7
Sebagai imbalan karena telah membantu merebut Kartasura dari pemberontak, VOC menginginkan penandatanganan perjanjian. Isi perjanjian itu sangat merugikan pihak Keraton. Namun, karena kondisi Kasunanan yang lemah, akhirnya Sunan dengan terpaksa menyetujui perjanjian itu. Hal itu terjadi ketika Sunan kembali menduduki tahta Kerajaan Kartasura (1742). Perjanjian itu dilakukan Sunan dengan Komisaris Kompeni Hoego Verijssel. Isi perjanjian itu antara lain:
Pada tahun 1749 kondisi kesehatan Sunan memburuk sejak perginya Pangeran Mangkubumi dari Keraton. Sebaliknya, situasi ini justru digunakan Kompeni untuk melaksanakan ambisinya. Pada saat Sunan jatuh sakit datanglah Hegendrop ke Surakarta dengan membawa surat perjanjian.
1. Patih dan para bupati daerah Pesisiran, sebelum mereka memegang kekuasaan, harus sepengetahuan dan mendapat persetujuan Kompeni.
Pada waktu itu, dalam keadaan sakit, sambil dibangunkan dari tempat pembaringan, Sunan dipaksa menyerahkan mahkota dan kedaulatan Kerajaan Mataram kepada Kompeni serta menyerahkan nasib putranya, Pangeran Adipati Anom. Sejak saat itulah Kompeni berkuasa penuh atas Kerajaan Mataram sebab tidak lama kemudian Sunan Pakubuwana II meninggal dunia dan dimakamkan di Laweyan.8
2. Sunan menyerahkan Madura, Sumenep, dan Pamekasan. 3. Sunan menyerahkan Sedayu kepada salah seorang keturunan Pangeran Cakraningrat dari Madura dan Sedayu berada di bawah pengawasan Kompeni.
Pada saat perlawanan Pangeran Mangkubumi semakin bersemangat dan memperoleh beberapa
4. Sunan menyerahkan daerah-daerah Bang Wetan, yaitu: Gresik, Panarukan, dan sekitarnya, Surabaya, Rembang, serta Semarang.
6
Edisi 14 / Oktober 2016
7
8
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830–1939, Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa, 1989, hlm. 66.
7
“Serat Perjanjian Dalem Nata”, Surakarta: Radyapustaka, No. 297/D, hlm. 26-43, dalam: Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 70. Edy S. Wirabhumi, Op. Cit., hlm. 71. Lihat: Buminata, Serat Kuntharatama, Yogyakarta: t.p., 1932, hlm. 21: “Serat Perjanjian Dalem Nata”, Op. Cit., hlm. 42–44.
SYAMINA
Laporan Khusus
hasil—seperti penguasaan wilayah pesisiran kulon—di dalam Keraton terjadi proses pergantian tahta. Pada hari Senin Wage, 4 Sura, Alip 1675 atau 1749 Masehi, putera mahkota kerajaan Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sunan Pakubuwana III. Dalam kaitan ini posisi Sunan adalah “wakil” Kompeni dalam memerintah Mataram.
Edisi 14 / Oktober 2016
nagari diperparah dengan semakin meningkatnya dominasi pihak pemerintah kolonial terhadap persoalan intern Keraton Surakarta. Masalah ini sebenarnya sudah dimulai sejak pengangkatan Sunan Pakubuwana III sebagai raja Mataram. Sejak saat itu setiap raja yang dinobatkan harus menandatangani surat perjanjian yang di antara isinya menegaskan bahwa tahta yang diduduki oleh Sunan diakui sebagai jasa baik Kompeni dan Sunan harus setia pada perjanjianperjanjian yang telah dibuat oleh raja-raja pendahulunya.11
Setelah acara penobatan diadakan perjanjian dengan Kompeni tanggal 11 November 1749. Perjanjian itu berisi butir-butir kesepakatan, antara lain: 1. Sunan mengakui bahwa kekuasaannya diperoleh atas kebaikan hati pemerintah Kompeni. 2. Segala isi perjanjian yang dibuat oleh leluhur Sunan tahun 1707, 1743, 1746, dan 1749 tetap berlaku.9 Kasunanan Surakarta kembali mengalami penurunan legitimasi dan kewibawaan akibat Perjanjian Giyanti 1755. Mulai saat itu Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Gb. Peta Mataram Islam setelah Perjanjian Giyanti12
Melihat kondisi tersebut, Sunan Pakubuwana IV sebagai pewaris tahta Kasunanan Surakarta, wajar jika mempunyai keinginan untuk mengembalikan kejayaan Mataram Islam. Menurut pandangan Sunan Pakubuwana IV, ada dua faktor yang menyebabkan Kasunanan Surakarta mengalami penurunan kewibawaan, yaitu pecahnya Mataram sebagai akibat Palihan Nagari 1755 dan terlalu dalamnya campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan intern Keraton.13 Berdasarkan pandangan Sunan Pakubuwana IV tersebut maka dapat dipahami jika kebijakan politik diarahkan untuk menyatukan kembali Mataram dengan
Gb. Naskah Perjanjian Giyanti10
Penurunan kewibawaan Kasunanan Surakarta sangat dirasakan oleh Sunan PB IV sebagai pewaris tahta Kasunanan Surakarta. Kondisi turunnya kewibawaan Kasunanan Surakarta akibat palihan 9 10
11
Soekanto, Sekitar Yogyakarta (1755–1825), Djakarta: t.p., 1952, hlm. 178. Diambil dari: http://image.slidesharecdn.com/ kratonsurakartahadiningrat-131223212855-phpapp02/95/kotasolokraton-surakarta-hadiningrat-4-638.jpg?cb=1387834174
12 13
8
Supariadi, Kyai dan Priyayi di Masa Transisi, Surakarta: Pustaka Cakra, 2001, hlm. 226. Diambil dari: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/83/ Jawa_Setelah_Perjanjian_Giyanti.png/ 640px-Jawa_Setelah_ Perjanjian_Giyanti.png Supariadi, Kiyai dan Priyayi di Masa Transisi, Surakarta: Pustaka Cakra, 2001, hlm. 27.
Laporan Khusus
SYAMINA
Edisi 14 / Oktober 2016
merangkul Kasultanan Yogyakarta dan melepaskan diri dari tekanan pemerintah kolonial.
mempertahankan pulau Jawa agar tidak dikuasai Inggris.15
Politik untuk menyatukan Mataram yang jaya dan berwibawa sudah menjadi citacita Pakubuwana III dan mulai dirintis oleh Pakubuwana IV. Namun, belum terlihat hasilnya, walaupun pada masa Pakubuwana IV Belanda sangat lemah. Meski demikian, pihak Mataram juga belum bisa mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk melawan Belanda, apalagi mengusirnya dari Tanah Jawa.
Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia diangkatlah Gubenur Jenderal Daendels. Daendels tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808. Kemudian Daendels mengadakan banyak tindakan. Salah satu tindakan Daendels yang terkenal adalah dalam bidang sosial ekonomi. Beberapa tindakan itu antara lain sebagai berikut.
Pada Pemerintahan Pakubuwana IV (17881820) di pusat pemerintahan kolonial terjadi peristiwa politik yang signifikan dan berpengaruh ke Surakarta. Bubarnya VOC (1799), Pemerintahan Republik Bataaf (1799-1808), Pemerintahan Hindia Belanda (1808-1811), pendudukan tentara Inggris (1811-1816), dan kembali kepada Pemerintahan Kolonial Belanda.14
zz Meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia.
zz Meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak.
zz Rakyat masih diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya. zz Penjualan swasta.
kepada
pihak
zz Membangun Jalan Anyer (Jawa Barat)– Panarukan (Jawa Timur).
2. Bangkrutnya VOC, Berkuasanya Pemerintah Belanda dan Kedatangan Inggris
Tindakan Daendels yang dikenal dengan kerja paksa telah menyebabkan kesengsaraan rakyat. Kesewenang-wenangan Daendels dan penderitaan rakyat itu telah menimbulkan protes dan perlawanan rakyat.
Kejayaan VOC ternyata tidak bertahan lama. Dalam perkembangannya VOC mengalami masalah yang besar, yakni kebangkrutan. Kebangkrutan VOC ini terutama terjadi karena para pegawainya banyak yang korupsi. Waktu itu VOC sudah sangat merosot, kas kosong, utang menumpuk, dan tidak mampu lagi menciptakan pengawasan dan keamanan atas wilayah Indonesia sehingga pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan.
Di Mataram Daendels membuat aturan baru dalam penyambutan residen di Surakarta dan Yogyakarta. Residen di kedua kerajaan harus diberi penghormatan sebagai wakil dari kekuasaan yang tertinggi dan sejajar dengan raja sehingga kedua raja menjadi raja bawahan pemerintah kolonial. Aturan itu ditentang oleh Sultan Hamengkubuwana II. Tindakan ini menyebabkan sultan dipaksa turun tahta oleh Dandeles dengan ekspedisi militer.
Sementara itu di Belanda terjadi perubahan. Pemerintah Raja Williem V digulingkan kaum republik yang didukung oleh Prancis. Hal ini membuat Belanda menjadi negara jajahan Prancis. Akibatnya, Kerajaan Belanda diubah menjadi Republik Bataaf. Pemerintahan baru ini kemudian yang membubarkan VOC pd tgl 31 Desember 1799. Setelah kejadian itu Louis Napoleon Bonaparte— yang berkuasa di Belanda sebagai wakil Prancis— menunjuk Herman Williem Daendels (orang Belanda pro-Prancis) untuk memerintah Hindia Belanda (Indonesia) dengan tugas utama 14
tanah-tanah
Pada tahun 1812 Inggris merebut Jawa dari tangan Pemerintah Belanda. Dalam Kondisi seperti itu Raja Surakarta dan Yogyakarta berusaha memulihkan kekuasaannya seperti semula. Di Yogyakarta Sultan Hamengkubuwana II berhasil naik tahta lagi setelah diturunkan pada masa Daendels. Sultan Hamengkubuwana II dan Pakubuwana IV Surakarta bersama-sama 15
Soeprijadi, Reorganisasi Tanah Serta Keresahan Petani dan Bangsawan di Surakarta (1911–1940), Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 1996, hlm. 9.
9
---, Cross-Colonial Cooperation In Nineteenth-Century Java: Examining The Sepoy Conspiracy of 1815 in A World History Context, The Middle Ground Journal, Number 6, Spring, 2013, hlm. 8.
Laporan Khusus
SYAMINA
Edisi 14 / Oktober 2016
Gb. Peta Jalan yang dibuat16
berperang melawan Inggris. Tetapi, perlawanan berhasil dipatahkan Inggris yang kemudian menyerbu Yogyakarta dan memaksa Sultan turun tahta kembali serta mengasingkannya. Peristiwa ini berhasil memaksa Sunan dan Sultan yang baru untuk menandatangani perjanjian baru pada tanggal 1 Agustus 1812, yang antara lain berisi penyerahan Kedu, sebagian Semarang, Rembang, dan Surabaya kepada Inggris.17
Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820), adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian.19 Sunan Pakubuwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja dan ulama yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jumat dan mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda dan masih berstatus sebagai putra mahkota.
Biografi dan Tulisan Karya Pakubuwana IV Nama kecil Pakubuwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Ia lahir dari permaisuri Sunan Pakubuwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana (Rara Beruk), pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768. Putra Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Pakubuwana III nomer 17 ini memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820). Wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820.18
Pakubuwana IV dikenal sebagai raja Surakarta yang paling religius dalam mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi maupun kerajaan. Kegemarannya menimba ilmu agama dari kiai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam. Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang Dalem, dan Wulang Brata Sunu. Sebagian besar isi Serat Piwulung Sunan Pakubuwana IV menerangkan ajaran Islam. Tidak jarang dalam serat karyanya tersebut ia mengutip langsung ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits demi memperkuat nasihat yang disampaikannya.
Sri Susuhunan Pakubuwana IV, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, mewarisi darah kaprabon dan kapujanggan ramandanya. Ia mendapat gelar demikian karena memang memiliki wajah yang tampan. Dalam usia 20 tahun, Sunan Bagus naik tahta menggantikan ayahandanya, Pakubuwana III. Berbeda dengan 16
Dari: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f7/ Java_Great_Post_Road.svg/1000px-Java_Great_Post_Road.svg.png 17 Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, Cetakan IV, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2010, hlm. 57–58. 18 Andi Harsono, S.TP., M.Pn., Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, Yogyakarta: Puri Pustaka, 2005, hlm. 9.
19 Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng. Ronggowarsito, Jogjakarta: Persada, 2003, hlm. 69.
10
Laporan Khusus
SYAMINA
Pakubuwana IV juga dikenal sebagai sebagai seorang pujangga. Sejak ia memimpin di Kasunanan Surakarta telah banyak karyakarya besar yang ia ciptakan, di antaranya: Serat Wulangreh, Serat Wulangsunu, Serat Wulangputri, Serat Wulang Tatakrama, Donga Kabula Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Dhadhap, Panji Raras, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah MunaMuni.20
Edisi 14 / Oktober 2016
disimpan di kepustakaan Rekso Pustaka, Istana Mangkunegaran.22 Serat Wulang Putra karya Susuhunan Pakubuwana IV ini isinya lebih mengacu pada Serat Wulangreh, terdiri sembilan pupuh. Seperti Naskah serat piwulang lainnya, Serat Wulang Putra mengajarkan nasihat tentang cara memilih Guru yang baik, pergaulan, menghindari watak Adigang, Adigung, Adiguna, tata krama, akhlak terpuji dan akhlak tercela, serta ajaran taat terhadap agama. Pada tahun 1980 Serat Wulang Putra dialihbahasakan oleh Surasa dalam huruf Latin dan disimpan di kepustakaan Rekso Pustaka, Istana Mangkunegaran.
Serat Wulangsunu adalah karya Pakubuwana IV yang berisi tentang ajaran moral seperti serat piwulang lainnya. Bendelan aslinya berada di kepustakaan Surakarta yang memuat lima pupuh. Pesan moral dalam Serat Wulangsunu adalah pemahaman terhadap dharmaning gesang (tugas kehidupan di dunia) pamedaring wasitaning ati (lahirnya kata hati/niat). Akan tetapi, Serat Wulangsunu tidak sepopuler Serat Wulangreh dan belum banyak yang mengkaji secara luas.
Panji Raras adalah salah satu karya Pakubuwana IV yang berbentuk buku atau waosan yang terkenal. Karya-karyanya yang berbentuk waosan antara lain Panji Sekar, Panji Dadhap, dan Panji Blitar. Keempat waosan tersebut—yang berupa tulisan carik—semuanya disimpan di kepustakaan Radyapustaka nomor carik 189, 190, 191, 192, yang ditulis pada tahun 1732.23
Berikutnya adalah Serat Cipta Waskitha. Tidak berbeda dengan serat piwulang lainnya, Serat Cipta Waskitha terdiri dari tiga pupuh, yang mengajarkan tentang budi pekerti, memilih guru, pengertian ilmu dan ngelmu, bawono ageng lan bawono alit. Menurut Dr. H. M. Muslich, Serat Cipta Waskitha ini pernah digarap oleh Ki Hudoyo Djoyodipuro dengan judul Cipta Waskitha Ngelmu Mistik Terapan. Teks serat ini tersimpan di kepustakaan Surakarta. Dengan terciptanya Serat Cipta Waskitha diharapkan manusia dapat memahami hidup, tidak memandang rendah orang lain, memahami hukum benar dan salah (halal dan haram).21
Dari beberapa karya besar Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Serat Wulangreh adalah karya yang paling fenomenal di kalangan masyarakat Jawa dan pengikut Kasunanan Surakarta. Serat Wulangreh selesai ditulis oleh Sunan Pakubuwana IV pada tahun 1735 Jawa yang bertepatan dengan tahun 1808 Masehi. Serat Wulangreh berasal dari tiga kata, yaitu serat, wulang, dan reh. Menurut Dojosantoso dalam bukunya Unsur Religius dalam Sastra Jawa, Serat berarti surat atau tulisan, Wulang berarti piwulang atau mengajarkan, sedangkan Reh mempunyai arti laku atau tingkah laku.24
Serat Wulang Putri karya Susuhunan Pakubuwana IV berisi lima pupuh. Serat Wulang Putri ini berisi tentang piwulang yang dipersiapkan untuk kepentingan putra-putri Sunan. Naskah Serat Wulang Putri masih tersimpan baik di kepustakaan Surakarta dan Istana Mangkunegaran; dijadikan satu dengan Serat Piwulang Pakubuwana IV yang masih berupa tulisan Jawa. Kemudian pada tahun 1994 dialihbahasakan oleh Dra. Darweni dengan kode transkrip naskah A 344 dan
22 23
20 Darusuparta, Serat Wulangreh Angitan Dalem Wedhatama Winardi, Surabaya, 1982, hlm. 14. 21 Dr. H. M. Muslich K.S., M.Ag., Moral Islam dalam Serat Piwulang Pakubuana IV, 2006, hlm. 175.
24
11
Ibid, 28. Dr. H. M. Muslich K.S., M.Ag., Moral Islam dalam Serat Piwulang Pakubuana IV, 2006, hlm. 177. Djojosantosa, Unsur Religius dalam Sastra Jawa, Semarang: Aneka Ilmu, 1989, hlm. 55.
SYAMINA
Laporan Khusus
Edisi 14 / Oktober 2016
Serat Wulangreh Sunan mengajarkan berbagai hal tentang memahami kehidupan agar tidak tersesat. Di antaranya ia menulis bagaimana memilih seorang guru. Sunan menulis agar tidak sembarangan memilih guru. Pilihlah guru yang tidak saja berilmu tapi juga baik akhlaknya, ibadahnya, serta zuhud atau sederhana. Jangan memilih guru yang kelihatannya berilmu tetapi tidak melaksanakan syariat dengan alasan telah mencapai maqam yang tinggi karena hal itu akan merusak semua aturan agama. Demikian juga pendapat Sunan yang mencerminkan pemahaman keislamannya yang baik adalah nasihatnya dalam ilmu dan menghukumi sesuatu. Ia menulis agar jangan mengambil ilmu yang tidak memenuhi empat syarat, yaitu Dalil (Al-Qur’an), Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas.26 Masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788) merupakan masa kebangkitan karawitan Keraton. Pada masa ini kehidupan karawitan mengalami kemajuan yang luar biasa, yaitu banyak gending tercipta, baik gending dengan komposisi yang panjang (seperti gending ketuk 4 arang, 4 kerep), sampai gending prenes27 dan gecul.28 Masa pemerintahan Pakubuwana IV juga ditandai dengan berkembangnya gending bonang.29 Hal ini diduga karena pada masa tersebut merupakan kebangkitan gending Sekaten yang ditandai dengan pembuatan gamelan Sekaten Kyai Guntur Madu. Seperti diketahui bahwa gamelan sekaten menempatkan bonang sebagai main instrument sehingga dirasa perlu menciptakan gending bonang untuk keperluan musikal Sekaten maupun keperluan lainnya.30
Gb. Serat Wulangreh25
Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku dalam hal pergaulan, tingkah laku dalam hal menghadap Raja atau melaksanakan tugas Istana, tingkah laku dalam kehidupan dunia, tingkah laku putra Raja terhadap bawahannya atau orang kaya terhadap orang miskin. Semua ditulis dalam karya sastra Serat Wulangreh Sri Susuhunan Pakubuwana IV. Sri Susuhunan Pakubuwana IV, dengan Serat Wulangreh, ingin menyampaikan petuah yang mengandung nasihat dan unsur-unsur religi (keagamaan) terhadap putra (anak), wayah (cucu keturunannya), serta kepada masyarakat umum, supaya tajam pemikiranya dalam menghadapi kehidupan dunia serta dalam menangapi kehendak ilahi. Mampu memilih mana yang baik dan buruk, benar dan salah, serta haram dan halal, seperti yang di kehendaki Yang Sukma (Allah). Misalnya, dalam 25
Sunan Pakubuwana IV wafat pada usia 53 tahun, tepatnya pada Senin Paing, 23 Besar 1747 Jawa atau 1 Oktober 1820, dengan lama jabatan sebagai raja 26 27 28 29 30
Dari: http://4.bp.blogspot.com/-1AAJKPHNkRQ/TkKtwUaotjI/ AAAAAAAAAFk/NA_5xxcvcwI/s1600/ Serat+Wulangreh+150+dpi.jpg
12
Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma, hlm. 411. Bentuk gending yang memiliki karakter dinamis dan lincah yang ditandai dengan permainan teknik kendang ciblon. Bentuk gending yang memiliki karakter lucu dengan ekspresi permainan (improvisasi) “seakan-akan” sekenanya. Komposisi karawitan dengan main instrument boning. Bambang Sosodoro, Karawitan Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran Pasca Perjanjian Giyanti, Jurnal Keteg, Vol. 13 No. 1, Mei 2013, hlm. 54.
Laporan Khusus
SYAMINA
selama kurang lebih 33 tahun. Sri Pakubuwana IV mempunyai 24 istri dan meninggalkan putra-putri yang semuanya berjumlah 56. Kepimpinannya digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana V yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Handoyo, putri Bupati Pamekasan Adipati Cakraningrat. Karya-karya Sri Pakubuwana IV hingga sekarang masih menyebar dan berakar kuat di lingkungan kebudayaan Jawa.31
pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang penjajah Kompeni. Salah satu tokoh perjuangan yang dibuang ke Cape Town adalah Syekh Yusuf Al-Makassari, seorang ulama besar sekaligus guru Tarekat Naqsyabandiyah.33 Dalam Babad Pakepung disebutkan bahwa Pakubuwana IV juga mengangkat empat kiai dan santri—Kiai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh—sebagai Abdi Dalem Kinasih (abdi dalem terpercaya).34 Sumber lain menyebutkan, para Abdi Dalem Ngulama itu berjumlah enam orang, yaitu R. Santri, R. Panengah, R. Wiradigda, R. Kanduruhan, Kiai Balkan, dan Kiai Nur Saleh.35
Pengaruh Ulama di Sekitar Raja Sunan Pakubuwana IV terkenal sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama dan mempunyai hubungan yang akrab dengan santri, kiai, dan haji. Keakraban hubungan dengan kiai dan haji menjadikan kolonial selalu menyoroti dan mengawasi raja Surakarta ini. Ketika Gubernur Thomas S. Reffles akan mengunjungi Keraton Kasunanan pada tahun 1812, Residen Surakarta membuat daftar ulama dan haji di Surakarta yang diduga mempunyai hubungan yang dekat dengan Sunan. Dari pendataan ini tercatat 51 ulama dan 24 haji yang perlu mendapatkan perhatian karena dekatnya hubungan dengan Sunan.32
Pada saat itu, di daerah Surakarta masih penuh adat istiadat Hindu dan aliran-aliran animisme. Penyebaran Islam lebih banyak menghadapi kendala adat istiadat Jawa-Hindu. Sunan Pakubuwana IV pun mendatangkan para ulama di Surakarta. Di antara para ulama tersebut ialah Kiai Jamsari yang datang dari Banyumas, dan bertempat tinggal di sebelah barat daya dari Keraton Surakarta. Ia mendirikan sebuah masjid dan surau-surau serta mengajarkan Islam kepada masyarakat umum, para bangsawan, dan pejabatpejabat Istana. Ajaran-ajaran Islam dapat diterima dengan baik, berkembang merata di seluruh Surakarta dan sekitarnya.
Kiai Imam Syuhodo Apil Quran (1745-1843) dari Pesantren Wonorejo, Bekonang, Surakarta adalah salah seorang ulama yang dipercaya sebagai salah satu guru ngaji (agama) Sunan Pakubuwana IV. Ia adalah seorang kiai yang menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Bahkan, pada saat Kiai Imam Syuhodo akan mendirikan pesantren, ia mendapat bantuan dari Sunan Pakubuwana IV yang berupa umpak (penyangga tiang), soko (tiang), mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol.
Kampung kediaman Kiai Jamsari dikenal dengan nama Kampung Jamsaren hingga sekarang. Kemaksiatan-kemaksiatan dan kejahatan di Surakarta semakin berkurang dan akhirnya Kota Surakarta menjadi sejahtera dan aman. Demikian seterusnya hingga Kiai Jamsari wafat, kemudian diganti dan diteruskan oleh putranya Kiai Jamsari II.36
Ketika masih berstatus putra mahkota, sikap keagamaan Sunan Pakubuwana IV banyak dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yang anti-Kompeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, yang pada masa itu menjadi tempat 31
32
Edisi 14 / Oktober 2016
Hubungan Pakubuwana IV dengan Yasadipura I juga mengalami gangguan karena ia tidak setuju 33
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1992, hlm. 34–42. 34 “Serat Babad Pakepung”, alih aksara: Sri Sulistyowati, Museum Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS# 60 – Reel 101 #2 dalam Babad Pakepung: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Resepsi, Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 1990. 35 Dwi Ratna Nurhajarini, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999, hlm. 133. 36 Ali Darokah, 1983, Riwayat Berdirinya Pondok Pesantren Jamsaren Solo, Solo: C.V. Ramadhani, hlm. 2.
Widayati, Karya-Karya Sastra Klasik Jawa yang Menyandang Pendidikan Jender yang Masih Hidup di Masyarakat: Relevansinya dengan Pendidikan di Tingkat Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Negeri Surabaya, 2001, hlm. 3. Lihat: Surat Residen Surakarta Kolonel Adams kepada Raffles tertanggal 17 Juni 1812 dalam Bendel Surakarta No. 28.
13
Laporan Khusus
SYAMINA
dengan sikap Pakubuwana IV yang konfrontatif terhadap Belanda. Yasadipura I lebih dekat dengan Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom Mangkunegara III) dan kelompok kasepuhan lain seperti Pangeran Buminata dan Pangeran Hangabehi. Anthony Day mensinyalir bahwa beberapa tulisan Yasadipura I lebih banyak menyanjung putra mahkota daripada Pakubuwana IV. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh putranya, yaitu Yasadipura II.37
Pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820) masih mewarisi hasil perjanjian dari pendahulunya, yaitu sebagai bawahan pemerintah Belanda. Satu hal yang menarik, pada masa Pakubuwana IV pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi dan menjadi pengadilan tingkat banding bagi pengadilan Pradata dan Balemangu. Sebagai konsekuensinya, hukuman Kisas masih diberlakukan pada masa itu.40 Pakubuwana IV sebagai penguasa ketika itu menginginkan Keraton Kasunanan Surakarta terbebas dari pengaruh penjajahan Belanda dan tetap menjadi kiblat dari kebudayaan yang berlaku di Tanah Jawa. Selain itu, Sunan ingin menyatukan kembali Mataram yang terpecah akibat Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga. Pakubuwana IV melihat bahwa potensi besar merespons hal tersebut dimiliki oleh kaum santri, yang mana ia sendiri sangat dekat dengan komunitas santri. Pada masa pemerintahannya, peraturan yang terkait dengan masalah pengaturan administrasi kenegaraan yang mengangkat kesejahteraan masyarakat tinggalan Sultan Agung sungguhsungguh dipertahankan dan dijalankan.
Usaha Penerapan Hukum Islam Pertama kali di Mataram diadakan perubahan di dalam tata hukum di bawah pengaruh Islam oleh Sultan Agung (1613-1645). Perubahan itu pertamatama diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan Pradata diubah namanya menjadi pengadilan Surambi karena pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat persidangan di Sitinggil, melainkan di serambi Masjid Agung. Perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan ini dinamakan Kisas, padahal istilah ini tidak sesuai dengan arti kata yang sebenarnya di dalam hukum Islam.38
Setiap ibu kota kabupaten, kawedanan, dan desa harus mempunyai masjid sebagai pusat perkembangan agama Islam. Masjid Besar di ibu kota kabupaten dipimpin oleh seorang penghulu yang bertugas sebagai penyelenggara urusan agama baik di bidang ibadat dan muamalat. Di bidang pengadilan kegamaan dia bekerja sama dengan jaksa yang bertugas sebagai hakim. Dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh 40 orang pembantu. Untuk masjid kawedanan dipimpin oleh seorang naib dengan 11 pembantunya, sedangkan untuk masjid desa dipimpin oleh modin dengan 4 orang pembantunya. Pembantu-pembantunya dibagi menjadi 4 golongan: juru tulis, khatib, muazin, dan marbot.41
Konsep dewa-raja atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan islami tidak menempatkan raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai Khalifatullah, wakil Allah di dunia. Namun, penurunan derajat ini tidak mengubah atau mengurangi kekuasaan raja terhadap rakyat. Dalam hal ini rakyat tetap dituntut untuk tunduk kepada rajanya. Kerajaan Mataram mendapat pengaruh hukum Barat pada tahun 1709 melalui perjanjian dengan Pemerintah Belanda. Dalam perjanjian tersebut Sunan Pakubuwana I harus menyerahkan pelaksanaan pengadilan dan tanah di sebelah timur Gunung Merapi dan Merbabu kepada Pemerintah Belanda.39 37 38
39
Edisi 14 / Oktober 2016
S. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 208. Dr. Th.W. Juynball, “Handleiding tot de kennis van de Mohammedaansche wet” dalam Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 17. Serat Perjanjian Dalem Nata, Surakarta: Radya Pustaka, 1940, hlm. 19. Lihat: Sugiarti, Pengadilan Surambi Pasca Palihan Nagari, Op. Cit., hlm. 52.
40
41
14
T. Roorda, Wetten de Nawala Pradata, de Angger Sadasa, de Angger Ageng, de Angger Gunung, de Angger Aru Biru, Amsterdam: Muler, 1844, hlm. 64. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 53. Kusniatun, Dinamika Keraton dalam Pengembangan Budaya Islam dan Kebudayaan Jawa, Makalah Suplemen Seminar Nasional “ Peran Keraton dalam Pengembangan Islam”, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2007, hlm. 14.
Laporan Khusus
SYAMINA
Selain harus ada masjid dan pesantren sebagai tempat ibadah, pengajian kitab juga harus diselenggarakan. Pimpinan pesantren diserahkan kepada pengelola masjid dan mereka mendapatkan gelar sesuai dengan kedudukannya. Seorang penghulu mendapatkan gelar Kiai Sepuh, atau Kanjeng Kiai untuk para pembantunya, atau tingkatan di bawahnya mendapat gelar Kiai Anom.
hanya berwenang mengadili perkara yang berasal dari kerabat Sunan.43 Pada masa Pakubuwana IV (1788-1820) pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi dan menjadi bandingan dari pengadilan Pradata. Pada masa Pakubuwana IV juga didirikan dua pengadilan bagi kerabat Raja yang bersalah, yaitu Balemangu dan Kadipaten Anom. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1847 sistem kolonial masuk dalam tatanan peradilan di Kasunanan yang mengakibatkan pengadilan Surambi pada masa Pakubuwana VII (1830-1858) hanya mengurusi masalah keluarga.44
Banyak tradisi lama yang diganti oleh tradisi baru. Sunan Pakubuwana IV banyak dipengaruhi para ulama yang membantu Sunan. Beberapa perubahan yang dilakukan antara lain: zz pakaian prajurit bergaya Belanda diganti dengan pakaian Jawa;
Menurut Rouffaer, pengadilan Surambi pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV (17881820) diperluas lagi menjadi pengadilan tertinggi yang menangani perkara-perkara rajapati dan rajatatu, di samping perkara-perkara perkawinan dan warisan, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut ini:
zz setiap hari Jumat Sunan selalu melakukan shalat Jumat di Masjid Besar; zz setiap hari Sabtu diadakan latihan Watangan atau perang-perangan; zz semua abdi dalem yang menghadap raja diwajibkan berpakaian santri;
“…Ananing wong apadu salaki-rabi, kaya talak, waris, wasiat, mas kawin, nifkah sapepadhane, lan rajapati miwah tatu, ingkang sepi saka sabab, iya Si Pengulu ngukumana, sarta ajakena pepeka, lan ajakena mamanising ruruba, miwah anglalawas padu, iku ingsun wangeni lawas-lawase ing telung sasi,….45
zz Abdi dalem yang dinilai tidak patuh terhadap syariat agama digeser dan dipecat serta mengangkat adiknya dengan nama “Mangkubumi” dan “Buminata”.42 Kebijakan politik Sunan pada waktu itu memang banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam, termasuk ketika Sunan Pakubuwana IV menuntut kepada Kompeni agar semua penghulu yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan daerah Pasisiran tunduk dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta.
Hal itu juga tampak dari gelar yang dipakai oleh ketua pengadilan Surambi sejak tahun 1785 sampai 1903 adalah Kanjeng Kyai Mas Pengulu Tafsir Anom Adiningrat.46
Pengadilan Agama (Surambi) Menjadi Pengadilan Tertinggi
Karena pengadilan Surambi merupakan pengadilan agama, tempat pelaksanaan persidangannya pun masih di lingkup tempat ibadah, yaitu di serambi (bagian depan) Masjid Agung. Hari persidangan pengadilan Surambi dilaksanakan pada hari Senin dan Kamis.
Semenjak tahun 1715 pengadilan formal di Kasunanan Surakarta adalah (1) pengadilan Bale Mangu, (2) pengadilan Pradata, dan (3) pengadilan Surambi. Adapun pengadilan khusus yang mengadili perkara-perkara dari golongan tertentu adalah pengadilan Kadipaten Anom. Pengadilan ini
43 44 45
42
Edisi 14 / Oktober 2016
46
Dwi Ratna Nurhajarini dan Tugas Triwahyono, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya, 1999, hlm. 133.
15
Rajiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat, Krida: Surakarta, 1984, hlm. 180. Riyanto, Hukum dan Peradilan di Praja Kejawen, Surakarta: Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret, 1996, hlm. 20. T. Roorda, Serat Angger Nawala Padata, Op. Cit., pasal 2. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 102. G.P. Rouffaer, ”Vorstenlanden” dalam Adatrechsbundel Vol. XXXIV Seri D No. 81. Terjemahan: Muh. Husodo Pringgokusumo, Surakarta: Rekso Pustaka, 1931, hlm. 86. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 92.
Laporan Khusus
SYAMINA
Hukum Kisas dan Hudud
Edisi 14 / Oktober 2016
“Prakawis kaping 41: Saupami wonten tiyang ngamuk ngantos kenging kacepeng gesang, dene anggenipun ngamuk wau sampun amejahi tetiyang punika kapatrapan paukuman ing Nagari, kawedalaken diyatipun gangsal atus reyal. Yen boten medal diyatipun, kagitika ing penjalin kaping gangsal atus lajeng kabucal sajawining Nagari.”
Dalam perkara ini dibedakan menjadi rajapati dan rajatatu. Dalam hukum Islam jenis pembunuhan dapat dibedakan menjadi tiga macam, di antaranya pembunuhan secara sengaja, yang dihukum kisas; pembunuhan yang tidak disengaja, tetapi mengakibatkan kematian, yang dihukum denda; serta pembunuhan yang terjadi karena kesalahan, yang dihukum denda (diyat mughalalah).
Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa sistem hukum di kerajaan Jawa masih mengikuti sistem hukum Islam, dengan adanya istilah cambuk, diat, real, dinar, dan sebagainya. Untuk membuat jera para pelaku kejahatan maka pemerintah memilihkan tempat pembuangan yang membuat penghuni-penghuninya merasa tidak betah, seperti di daerah Lodaya, di Blitar Selatan. Tempat-tempat pembuangan itu biasanya berupa daerah yang gersang, hutan lebat, atau tempat yang berawa. 47
“Filsun fi ikhkamil jinayat ikilah pasal, anyatakaken kukume mati. Utawi mateni iku tetelu: kang dhihin kang mahamaha sawecane, lan kapindho kaluputan sawecane, lan kaping telu maha-maha sawecane den kaluputan. Mangka kang den maha-maha sawecane iku, kaya pepadhane wong kang amateni wong kalawan borang kang den gawe mateni, mangka iku iya wajib den diyat kisas.
Hukum Islam telah berlaku pada masa Pakubuwana IV walaupun masih banyak kekurangan yang dapat ditemui. Dalam hal hukum pidana, misalnya, ada istilah kisas. Namun, istilah kisas yang diterapkan pada masa itu tidak seperti pengertian qishash menurut terminologi para ulama fikih. Hukuman untuk pencuri juga dihukum dengan hukum kisas.
Lan amung angapura ahli warise kang pinaten iku wajib diyat mugalalah. Utawi wong kang kaluputan sawecane iku, kaya lamun nedya amanah ing beburon, mangka angenani manungsa, kari-kari mati. Mangka wong iku ora kena kisas, nanging wajib diyat mupakakah belaka. Utawi kang den mahamaha sarta kaluputan iku, kaya lamun wong iku amukul ing wong sawiji, kalawan borang kang ora mateni. Kaprah-kaprahe kaya lamun den pukul ing teken kang cilik, kari-kari mati, mangka wong iku ora kisas, nanging wajib diyat mugalalah belaka lawan artane sanake kang mateni.”
“Yen ana wong memaling kalebu kisas, kisasana tugelen tangane tengen. Yen kongsi ganep pindho, tugelen tangane tengen kiwa, yen ganep ping telu tugelen sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen sukune tengen kiwa.”48 (Kalau ada pencurian termasuk kisas, kisaslah dengan memotong tangan kanannya. Kalau diulangi lagi untuk kedua kalinya, potonglah tangan yang kiri. Kalau sampai tiga kali, potonglah kaki kanannya. Kalau diulang lagi yang keempat, potonglah kakinya yang kiri.)
Hukum kisas adalah hukuman balasan yang sama dengan perbuatannya. Diyat mugalalah adalah denda 100 unta dibagi tiga, sedangkan diyat mupakakah adalah denda 100 unta dibagi lima. Bila denda tersebut tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang seharga unta tersebut. Dalam Serat Angger Sadasa dari masa Sunan Pakubuwana IV dijelaskan sebagai berikut:
47 Katno, Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada Masa Pakoe Boewono IV (Tahun 1788-1820 M) dalam Jurnal Studi Islam Profetika Vol. 16, No. 1, Juni 2015, Sukoharjo: Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 60–61. 48 Serat Sultan Surya Ngalam, Surakarta: Radya Pustaka, 1765, hlm. 15. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 116.
16
Laporan Khusus
SYAMINA
2. Sunan Pakubuwana IV mengharamkan minuman keras dan opium.51
Dalam terminologi ulama fikih, qishash hanya berlaku untuk tindak pidana pembunuhan, sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi dan menjadi bandingan pengadilan Pradata.
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula).” (AlBaqarah: 178).
4. Penerapan hukum kisas pengadilan Surambi.
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barang siapa melepaskan (hak qishash)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (Al-Maidah: 45).
di
“Anadene wong padu salaki rabi kayata wasiyat, waris sapadhane lan Raja pati miwah Raja tatu ingkang sepi saka sabab, iya si Pangulu (hakim pengadilan surambi) ingkang ngakimi.”52
“Yen ana wong memaling kalebu kisas, kisasana tugelen tangane tengen. Yen kongsi ganep pindho, tugelen tangane tengen kiwa, yen ganep ping telu tugelen sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen sukune tengen kiwa.”53
“Dene yen wong kang oleh parentah, yen kongsia tatu utawa mati, mangka ahli warise ora narima, iya mulura padune menyang Pradataningsun, banjur kaunggahena ing Surambi, mangka dadi panggugate mau, iya banjur ukumana saukume rajapati.”54
6. Adanya Abdi Dalem Singanagara bertugas memotong leher terdakwa yang dijatuhi hukuman mati dengan keris atau dapat juga memotong tangan, kaki, menyayat, dan menyiksa.55
Dari uraian di atas diketahui bahwa aturan Islam telah berusaha diterapkan di Kasunanan Surakarta, baik di peradilan maupun regulasi (kebijakan) Sunan. Secara ringkas bukti-bukti pelaksanaan hukum Islam akan diuraikan di bawah ini:49 1. Abdi dalem yang tidak patuh pada ajaran agama ditindak, digeser, dan bahkan ada yang dipecat.50
51 52
50
(hudud)
5. Pengadilan Surambi sebagai pengadilan banding yang berkuasa untuk menangani perkara pidana.
Bukti-Bukti Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa Pakubuwana IV
49
Edisi 14 / Oktober 2016
Lihat: Katno, Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada Masa Paku Buwono IV, Tesis Program Pascasarjana, Sukoharjo: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012. Dwi Ratna Nurhajarini dan Tugas Triwahyono, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya, 1999, hlm. 133. Juga dalam: Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 89–90.
53 54 55
17
Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma, hlm. 409. Nawala Pradata Pakubuwana IV, hlm. 90. Lihat: Achmad Ridwan, Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang Hukum di Kasunanan Surakarta Tahun 1893–1903, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, 2010, hlm. 60. Serat Sultan Surya Ngalam, hlm. 15. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 116. T. Roorda, Serat Angger Gunung, Op. Cit., hlm. 88. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 94. Serat Nitik Keprajan, Surakarta: Radya Pustaka,1936, hlm. 157–158. Lihat: Sugiarti, Pengadilan Surambi Pasca Palihan Nagari, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, 2004, hlm. 2.
Laporan Khusus
SYAMINA
Peristiwa Pakepung (Oktober-Desember 1790), sebagaimana diceritakan dalam Babad Pakepung,59 berawal dari pengangkatan empat kiai dan santri— Kiai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh—sebagai abdi dalem. Keempatnya menjadi Abdi Dalem Kinasih (abdi dalem terpercaya). Pengangkatan ini ditentang oleh para penasihat spiritual keraton, termasuk Yasadipura I.60
7. Adanya Abdi Dalem Mertalulut bertugas memotong leher orang yang sudah diputus dihukum kisas oleh pengadilan Surambi.56 8. Dalam memeriksa perkara-perkara, pengadilan Surambi menggunakan pedoman kitab-kitab Islam.
Dalam memutuskan perkara, pengadilan Surambi mendasarkan ketetapannya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits serta menggunakan kitab-kitab karangan AsySyafi’i yang disadur dari Al-Wajiz dan kitab-kitab karangan Al-Ghazali, juga kitabkitab lain, di antaranya Al-Muharrar karya Ar-Rafi’i, An-Nihayah karya Ar-Ramli, AtTuhfah karya Ibnu Hajar Al-Haitami, dan Fath Al-Wahhab karya Syekh Zakariyya AlAnshari.57
Pengaruh keempat abdi dalem kiai ini ternyata begitu besar pada Sunan sehingga banyak keputusan-keputusan politik didasarkan pada nasihatnya. Sunan Pakubuwana IV kemudian mulai mengadakan perubahan–perubahan, seperti: 1. Abdi dalem yang tidak patuh ajaran agama ditindak, digeser, bahkan ada yang dipecat seperti dialami Tumenggung Pringgalaya Tumenggung Mangkuyuda.
Pengepungan Keraton oleh Pasukan Belanda dan Sekutunya
3. Setiap hari Jumat, Sunan pergi ke Masjid Agung untuk melaksanakan shalat Jumat, bahkan sering bertindak sebagai khatib atau pemberi khotbah Jumat. 4. Setiap hari Sabtu diadakan latihan perang. 5. Pakaian prajurit yang semula seperti pakaian prajurit Belanda diubah dengan pakaian prajurit Jawa. 61 Istana Yogyakarta merasa cemas dengan langkah Sunan. Ini karena ada rumor yang mengisyaratkan bahwa Sunan merencanakan perang untuk menyatukan kembali Mataram, yang akan mendelegitimasi Yogyakarta. Rumor pun mulai tersebar dan terdengar oleh Mangkunegara I, yang juga mulai khawatir dengan masa depan kekuasaannya bila rumor itu benar. Tokoh-tokoh
Peristiwa Pakepung terjadi pada tahun 1790 ketika Sunan Pakubuwana IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini mempunyai latar belakang keagamaan. Adanya latar belakang semangat keagamaan yang kuat dari peristiwa ini menyebabkan banyak penulis menyebutnya sebagai peristiwa gerakan keagamaan. H.J. de Graaf, misalnya, menyebut peristiwa Pakepung memiliki beberapa kesamaan dengan gerakan Wahabiyah di Arab.58
58
pada dan yang dan
2. Sunan Pakubuwana IV juga mengharamkan minuman keras dan opium, sebagaimana ajaran Islam.
Kecintaan Sunan Pakubuwana IV dalam mencari ilmu agama telah mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kiai. Ada saatnya kiai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap Raja Surakarta sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Peristiwa Pakepung yang terjadi pada awal pemerintahannya merupakan suatu bukti adanya pengaruh kiai dan guru agama terhadap sikap politik yang dijalankannya.
56 57
Edisi 14 / Oktober 2016
59
Ibid. Pawarti Surakarta 1939, hlm. 90. Lihat juga: Zarkasji Abdul Salam, Pengadilan Surambi di Yogyakarta: Studi Historis tentang Peradilan Agama di Indonesia di Yogyakarta Tahun 1755–1882, Proyek Perguruan Tinggi Agama, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999. H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie, s-Gravenhage-Bandung: W. van Hope, 1949, hlm. 279.
60
61
18
Babad Pakepung: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Resepsi, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1990; Serat Babad Pakepung, alih aksara oleh Sri Sulistyowati, Museum Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS# 60 – Reel 101 #2. Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 90. Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma, hlm. 409.
Laporan Khusus
SYAMINA
senior yang tersisih juga merasa cemas dengan nasibnya di kemudian hari. Mereka kemudian mengajak VOC untuk melawan Pakubuwana IV secara militer.
Para pangeran dan para pejabat senior istana mendesak Pakubuwana IV supaya menyingkirkan para penasihatnya (Abdi Dalem Kinasih) serta membuang rencana-rencara mereka. Isu-isu yang dilontarkan tidak pernah terbukti. Kenyataannya tidak ada langkah-langkah militer Pakubuwana IV sebagaimana yang dikhawatirkan.64
Pihak Belanda merasa terkejut dan mulai terpengaruh, ketika pada bulan Juli 1789 ada desas-desus bahwa Pakubuwana IV dan para penasihatnya merencanakan pembunuhan besarbesaran terhadap orang-orang kafir Eropa di Jawa. VOC mulai panik karena khawatir ada pengkhianat yang telah menyusup ke bentengnya. Pada bulan September 1789 residen VOC di Surakarta menghadiri pertemuan rahasia di dalam Keraton dengan memakai pakaian Jawa.
Sunan Pakubuwana IV—yang melihat kuatnya pengepungan terhadap keratonnya—merasa bingung. Akhirnya, atas bujukan Kiai Yasadipura I, Sunan bersedia menyerahkan para Abdi Dalem Kinasih. Dengan ditangkap dan dibuangnya orangorang kepercayaan Sunan tersebut, pengepungan terhadap Keraton Surakarta dihentikan.
Akhirnya para penentang Pakubuwana IV dapat meyakinkan VOC bahwa diperlukan langkah-langkah militer untuk menghentikan rencana-rencana Pakubuwana IV. Bahaya yang mungkin timbul dari rencana-rencana Pakubuwana IV dipandang akan sangat dahsyat oleh Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I sehingga untuk pertama kalinya selama hampir 40 tahun mereka bertindak bersama.62
Keempat Abdi Dalem Kinasih adalah ulama yang dikenal anti dengan pemerintah kolonial Belanda. Mereka juga berhasil menanamkan ajaran Islam di kalangan penguasa dan pejabat tinggi Kasunanan Surakarta. Banyak kebijakan-kebijakan Raja yang didasarkan ajaran mereka dan ini dianggap sebagai ancaman bagi kolonial Belanda. Sampai-sampai di dalam Babad Mangkubumi dijelaskan doktrin-doktrin mereka adalah sihir yang menyeleweng dari hukum-hukum Rasul. Namun, tudingan ini dibantah oleh Sunan Pakubuwana IV; bahwa tidak benar ajaran mereka itu jahat karena mereka mengikuti sepenuhnya kitab Al-Qur’an.
Berbagai kebijakan Sunan di Surakarta ini menimbulkan kekhawatiran pihak Kompeni. Kompeni pun mengirim utusan yang dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s Noorden Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve.63 Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790 Jan Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan harus menyerahkan keempat orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi berbagai kebijakan itu.
Pemerintah Kolonial bersikeras untuk menangkap mereka. Melalui Pangeran Purbaya, Mangkubumi, Buminata, dan Ngabehi, pada tanggal 26 November 1790 keempat abdi kinasih tersebut dibawa ke benteng Belanda. Pembelaan yang dilakukan oleh Sunan Pakubuwana IV tidak sia-sia sehingga keempat abdi kinasih tersebut tidak sampai dihukum mati.65
Pada bulan November 1790 musuh-musuh Pakubuwana IV mulai mengepung istana. Beberapa ribu pasukan Yogyakarta dan Mangkunegaran mengambil posisi di sekitar Keraton Surakarta. VOC mengirim beberapa ratus serdadu Madura, Bugis, Melayu, dan Eropa ke bentengnya yang ada di dalam kota dan dekat dengan istana. 62 63
Edisi 14 / Oktober 2016
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Cetakan X, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011, hlm. 159. J.K.J. de Jong dan M.L. Deventer (eds.), de Opkomstvan het NederlandschGezg in Oost Indie, verzamling van Onuitgegeven Stukken uit het Oud-kolonial Archief Volume XII, s’Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1909, hlm. 209–228.
64 65
19
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Cetakan X, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011, hlm. 160. Ricklefs, M.C., Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749–1792: A History of the Division of Java, London: Oxford University Press, 1974.
Laporan Khusus
SYAMINA
Perjuangan Bersenjata Pakubuwana IV dan Kerja Sama dengan Hamengkubuwana II
dikalahkan, Pakubuwana IV merencanakan untuk merebut kembali kekuasaan atas Dinasti Kerajaan Jawa. Namun, rencana Pakubuwana IV bersama pasukan Sepoy tidak berhasil dijalankan. Selama tahap perencanaan, rencana itu bocor ke seorang perwira Inggris dan gagal dilaksanakan.
Pakubuwana IV tercatat telah beberapa kali melakukan perang melawan penjajah. Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan Pemerintah Belanda ia berperang melawan Belanda, pada tahun 1793 ketika terjadi Revolusi Prancis, tahun 1805 ketika Belanda menjadi negara di bawah Prancis, dan pada tahun 1815 ia bekerjasama dengan tentara Sepoy dari India, yaitu tentara yang dibawa Inggris ketika menduduki Jawa.66
Para pemimpin Sepoy dan beberapa bangsawan Jawa (termasuk Hamengkubuwana II) kemudian dieksekusi atau diasingkan. Pada akhirnya pejabat Inggris menganggap perlawanan bersama terhadap kolonial dari dua kelompok yang berbeda etnis dan agama sebagai sebuah “konspirasi” dan usaha pemberontakan yang gagal.
Pakubuwono IV dan Hamengkubuwana II telah beberapa kali bekerja sama memerangi Penjajah (Belanda maupun Inggris). Akhirnya kerja sama antara Pakubuwana IV dan Hamengkubuwana II terbongkar. Hamengkubuwana II kemudian diasingkan ke Srilanka pada tahun 1815.67 Pihak Inggris tidak menurunkan Pakubuwana IV dari takhta, tetapi merebut beberapa wilayah Surakarta.68
Meskipun rencana dari kedua kelompok ini tidak pernah terealisasi, hal itu tetap menggambarkan kebencian yang tumbuh dari mereka yang dianggap “inferior” oleh Inggris. Hal ini juga menggambarkan cara masyarakat yang berusaha menggunakan agama untuk memposisikan diri sebagai oposisi terhadap penjajah. Orang Sepoy dan Jawa percaya bahwa non-Muslim dan atau non-Hindu tidak seharusnya memerintah atas mereka. 69
Pada akhir tahun 1815, selama pendudukan singkat Inggris di Jawa (1811-1816), Kapten Bengali Sepoy Dhaugkul Singh dan anak buahnya merencanakan operasi untuk membunuh semua orang Inggris, Belanda, dan penduduk Cina di Jawa Tengah, dan akan mengangkat Singh sebagai gubernur Jawa. Bulan-bulan sebelumnya mereka telah mengadakan beberapa pertemuan rahasia, antara orang Sepoy Bengali dan sejumlah bangsawan Jawa untuk mengambil bagian dalam rencana serangan.
Gagal dengan Perlawanan Fisik, Beralih ke Perlawanan Pena Pengembalian kekuasaan politik penguasa dan pendidikan masyarakat yang dilakukan oleh klan raja yang merangkap pujangga adalah akibat dari ekspansi kolonial Kompeni Belanda, yang mempersempit kekuasaan politik dan ekonomi sehingga para raja Surakarta lebih menekankan pada pengembangan sektor kebudayaan.70
Di antara daftar pemimpin Jawa yang terkenal adalah Pakubuwana IV, Sunan (raja) dari Jawa dan penguasa Kasunanan Surakarta. Tetapi, tanpa sepengetahuan orang Sepoy Bengali, Pakubuwana IV punya rencana sendiri. Dia setuju untuk bergabung dengan pasukan Singh, tetapi direncanakan hanya untuk memanfaatkan kekuatan militer Sepoy dalam usahanya untuk mengusir Inggris dari Jawa. Setelah Inggris 66 67 68
Edisi 14 / Oktober 2016
Paku Buwana IV, raja dan pujangga Kasunanan Surakarta, melihat kondisi masyarakat yang terpengaruh oleh budaya Belanda yang mengakibatkan berkurangnya gerak kekuasaan Raja. Ia berusaha untuk mengembalikan kewibawaan raja dan pejabat Keraton serta mendidik masyarakat dengan cara membuat karya sastra. Sunan Pakubuwana IV (1788-1820) termasuk salah seorang pujangga yang menunjang
Lihat: Carey, Peter B.R., The Sepoy Conspiracy of 1815 in Java, Brill, 1977, hlm. 294, http://www.jstor.org/stable/ 27863129. Diakses pada 13/10/2016, 16.53. G.P.H. Djatikusumo, Sedjarah Politik Hingkang Sinuwun Kandjeng Susuhunan Pakubuwana VII. Surakarta: Panityo Kol Dalem Pakubuwana VII, 1971, hlm. 9–10. G.P.H. Djatikusumo, Sedjarah Politik Hingkang Sinuwun Kandjeng Susuhunan Pakubuwana VII. Surakarta: Panityo Kol Dalem Pakubuwana VII, 1971, hlm. 6–7.
69
70
20
---, Cross-Colonial Cooperation In Nineteenth-Century Java: Examining The Sepoy Conspiracy Of 1815 in A World History Context, The Middle Ground Journal Number 6, Spring 2013, hlm. 1–2. Linus Suryadi A.G., Dari Pujangga ke Penulis Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 7.
Laporan Khusus
SYAMINA
Edisi 14 / Oktober 2016
Kesimpulan
strategi kebudayaan yang dilancarkan sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19.71
Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV telah ada upaya penegakan syariat Islam di Keraton Surakarta, hal itu ditandai dengan berbagai upaya dari Sunan untuk menegakkan aturan-aturan Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits di kalangan abdi dalem dan lingkungan istana serta rakyat Keraton Surakarta pada umumnya. Raja menjalin hubungan dengan para ulama dengan berbagai disiplin ilmu dan memintanya untuk mendampingi Sunan memperbaiki tata kelola politik negara islami Kasunanan Surakarta. Hal itu dilakukan karena Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan atau penerus dari Mataram Islam yang merupakan negara islami yang mendasarkan diri dengan aturan dan hukum Islam.
Kemiskinan dan penderitaan mengakibatkan rakyat semakin putus asa dan merasa lemah tidak punya kekuatan untuk melawan kekejaman kaum penjajah. Hal ini menyebabkan rakyat merindukan datangnya Ratu Adil sebagai pembebas dan penegak keadilan yang diharapkan akan membalaskan sakit hati mereka terhadap kekejaman kaum penjajah dan akan membawa kepada Kerajaan Jawa yang adil dan makmur. Kehilangan kekuasaan politik dan kenegaraan, ditambah lagi semakin memudarnya kepercayaan rakyat terhadap Kerajaan, menyebabkan Keraton semakin hilang pamornya. Oleh sebab itu, para pujangga Keraton mulai mengalihkan fungsi istana; dari berbagai pusat pemerintahan menjadi pusat perkembangan rohani dan kebudayaan spiritual. Usaha tersebut dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mempertahankan wibawa Islam sebagai pusat kebudayaan Jawa.72
Dengan usaha itu, Sunan ingin mengembalikan kejayaan dan khitah sebagai negara Islam yang menjadi cita-cita pendiri Mataram pada masa lalu yang mulai pudar dengan berbagai penyelewengan yang terjadi dari waktu ke waktu. Sebagai raja muda yang baru naik tahta, Sunan Pakubuwana IV mempunyai jiwa muda dengan idealismenya yang tinggi untuk meluruskan penyelewengan yang ia amati. Ia juga berusaha mempraktikkan ilmu yang selama ini dipelajari dari para ulama dan kitabkitab yang didalami. Upaya tersebut di atas dilakukan dengan damai. Namun, tetap saja Sunan Pakubuwana IV dimusuhi oleh Belanda dan sekutunya karena khawatir kepentingan mereka terganggu. Permusuhan terutama dikobarkan oleh para pejabat yang disingkirkan oleh Sunan karena melanggar aturan yang ditetapkan. Mereka merasa bahwa kedekatan Sunan dengan para ulama serta upaya penerapan syariat Islam adalah ancaman. Para mantan pejabat ini berkolaborasi dengan penjajah dan melontarkan berbagai isu untuk menggalang dukungan dari berbagai fihak untuk melawan Sunan.
71 72
Meski demikian, setelah peristiwa Pakepung Pakubuwana IV tetap melakukan upaya perjuangan secara militer. Tercatat ia beberapa
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 317. Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Cetakan II, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1996, hlm. 150.
21
Laporan Khusus
SYAMINA
kali melakukan perang melawan penjajah. Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan Pemerintah Belanda, ia berperang melawan Belanda pada tahun 1793. Demikian pula pada tahun 1805, ketika Belanda menjadi negara bawahan Prancis. Selanjutnya pada tahun 1815, ia bekerja sama dengan tentara Sepoy dari India untuk melawan Inggris. Tentara Sepoy adalah tentara yang pernah dibawa Inggris ketika sedang berperang melawan Amerika Serikat. Sebenarnya, Sunan Pakubuwana IV sebagai raja Kasunanan Surakarta yang sah telah mengedepankan upaya damai untuk mengembalikan eksistensi Kasunanan Surakarta yang semakin pudar tersaingi oleh penjajah Belanda. Hal itu tampak dari berbagai kebijakan yang ia buat. Namun, upaya penegakan syariat Islam—dengan bagaimanapun caranya dan oleh siapapun—akan dianggap sebagai ancaman oleh orang kafir dan pembelanya yang tidak suka dengan aturan hukum (syariat) Islam. (K.Subroto)
22
Edisi 14 / Oktober 2016