VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
PAJAK SEBAGAI SALAH SATU KONSEP KEUANGAN PUBLIK PERSPEKTIF IBN KHALDUN *Oleh : Agustri, S.H.I, M.E.Sy
Abstract : The participation of Ibn Khaldun in the economy is very big. Ibn Khaldun has been revealing his mind of the public finance policy. Very diverse contribution of thought actually delivered by Ibn Khaldun in economic problems particularly economic Islam. In terms of policy concept according to Ibn Khaldun not the power ruler can be manifested except with the syari’ah implementation. Syari’ah can not be executed unless by the authorities, the ruler could not gain strength except that came from community the community could not be sustained unless by the riches wealth cannot be obtained unless from development. Development cannot be achieved through justice. Justice constituting a standard that will be evaluated by Allah SWT for people. Ruler can not participate except that came from the community. As for the tax as one of the country's revenue, according to Ibn Khaldun does really need to be applied to the concept of Justice. Without the concept of Justice, then the tax would be difficult as one source of public finance is fair for a country. Because according to Ibn Khaldun, the relationship between Government and society in a country must be completely entwined with the good. If a State does not pay attention to the condition of the people, rather than with tax number is picked, then this system ultimately will only hurt the country itself. Its mean, according to the thought of Ibn Khaldun, the progress of a country's economy and security is inseparable from prosperity on its own people. Key Words: Public finance, Tax, and the concept of Justice. Pendahuluan Negara berkembang seperti Indonesia sangat membutuhkan dana untuk membiayai pembangunannya. Dana pembangunan tersebut berasal dari berbagai macam sumber pendapatan negara, salah satunya adalah dari pajak. Menurut Soemitro, pajak merupakan iuran wajib bagi seluruh rakyat yang harus dibayarkan kepada kas negara menurut ketentuan undang-undang yang belaku sehingga dapat dipaksakan dan tanpa adanya imbal jasa (kontraprestasi) secara langsung, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara. Oleh karena itu, semua rakyat yang menurut undangundang termasuk sebagai wajib pajak harus membayar pajak sesuai dengan kewajibannya (Rochmat Soemitro, 1992: 4). Departemen perpajakan merupakan jabatan penting dan selalu ada dalam sebuah negara ataupun kerajaan. Jabatan
ini berkenaan dengan operasi pajak dan memelihara hak-hak negara dalam masalah pendapatan dan pengeluaran, menyensus nama semua tentara, menetapkan gaji mereka, serta menyerahkan upah tepat pada waktunya. Dalam hal ini sumbernya kembali kepada ketentuan yang telah ditata oleh kepala operasi pajak, dan para aparat lainnya. Semua itu telah ditulis daalam sebuah buku yang memuat seluruh perincian mengenai pemasukan dan pengeluaran berdasarkan bagian penting yang baik dari akutansi, yang hanya dikuasai oleh orang-orang yang memiliki kemiliki kemampuan mantap dalam operasi perpajakan(Ibn Khaldun, 2013: 299). Di Indonesia sendiri, pada masa lampau pajak digunakan sebagai alat untuk memberikan macam-macam insentif kepada wajib pajak untuk mencapai tujuan tertentu, seperti menarik modal asing ke Indonesia untuk diinvestasikan dalam Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
1
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
berbagai proyek yang mendukung pembangunan di Indonesia. Pajak juga dapat digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, dan politik. Dan pada saat terjadi inflasi, pajak dapat dijadikan sebagai penghambat inflasi, atau dapat pula digunakan untuk memberikan proteksi terhadap produksi dalam negeri atau untuk mendorong orang agar lebih bersikap sosial, dan sebagainya. Sistem pemungutan pajak merupakan salah satu elemen penting yang menunjang keberhasilan pemungutan pajak suatu negara di era sekarang ini. Secara umum terdapat tiga sistem pemungutan pajak, yaitu official assessment system, self assessment system, dan withholding system (Diana Sari, 2013: 46). Seiring dengan berjalannya waktu, sejak adanya reformasi di bidang pajak tahun 1983, Indonesia mulai menerapkan self assessment system. Yang mana dalam sistem ini, wajib pajak dituntut untuk berperan aktif, mulai dari mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, mengisi SPT (Surat Pemberitahuan), menghitung besarnya pajak yang terutang, dan menyetorkan kewajibannya. Sedangkan aparatur perpajakan berperan sebagai pembina, pembimbing, dan pengawas pelaksanaan kewajiban yang dilakukan oleh wajib pajak. Oleh karena itu, sistem ini akan berjalan dengan baik apabila masyarakat memiliki tingkat kesadaran perpajakan secara sukarela (voluntary tax compliance) yang tinggi. Apabila tingkat kesadaran mereka tersebut masih rendah, tentunya hal ini akan menimbulkan berbagai masalah dalam perpajakan, diantaranya yaitu penggelapan pajak (tax evasion). Penggelapan pajak ini merupakan usaha yang digunakan oleh wajib pajak untuk mengelak dari kewajiban yang sesungguhnya, dan merupakan perbuatan yang melanggar undang-undang pajak. Misalnya wajib pajak tidak melaporkan pendapatan yang sebenarnya
ISSN : 2477 - 3131
kepada pejabat pajak yang berwenang (Marihot P. Siahaan, 2010: 25). Namun hal ini tentunya tidak hanya boleh dilihat dari kesalahan yang dilakukan oleh salah satu pihak saja. Sebab sesuatu hal terjadi pasti karena ada hal-hal yang penyebabnya. Bahkan dikatan orang-orang telah menggelapkan pajak sejak pemerintah mulai mengumpulkan pajak. Mereka melakukan hal tesebut dikarenakan bahwa pajak dipandang sebagai suatu beban yang akan mengurangi kemampuan ekonomisnya. Mereka harus menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membayar pajak. Padahal, apabila tidak ada kewajiban pajak tersebut, uang yang dibayarkan untuk pajak bisa dipergunakan untuk menambah pemenuhan keperluan hidupnya. Dan belum lagi banyaknya hal-hal yang dianggap oleh masyarakat sebagai ketidak adilan dalam pemungutan dan penggunaan dari hasil pajak itu sendiri. Dimana pajak dipungut dan dugunakan untuk pengeluaran dan pembiayaan pemerintah yang bersifat umum, artinya pengeluaran dan pembiayaan yang digunakan oleh pemerintah dari hasil pajak ini ini harus bermanfaat bagi masyarakat secara umum. Namun faktanya di lapangan, masyarakat banyak sekali melihat kecurangankecurangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang menggunakan hasil pungutan pajak untuk kepentingan pribadi. Dan tentunya hal ini secara tidak langsung berakibat malasnya masyarakat untuk membayar pajak. Dan pada akhirnya yang dirugikan bukan hanya masyarakat itu sendiri, namun juga negara terkena dampaknya. Dalam masalah perpajakan ini, sebagai bagian dari konsep keuangan publik, Ibn Khaldun memiliki kontribusi yang sangat besar di dalamnya. Dan yang paling penting adalah bagaimana konsep ini kemudian terimplementasi secara nyata dalam dunia modern yang sekarang melalui para pemikir barat yang kini dikenal dengan Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
2
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
aliran Keynesian melalui pemikiran ekonomi yang bertumpu pada kebijakan fiscal dan juga “sisi penawaran” (M. Umer Chapra, 2001: 22). Ibn Khaldun merupakan salah seorang pemikir dan cendekiawan, serta pakar sosiologi dalam sejarah perkembangan Islam. Kontribusi pemikiran yang disampaikannya diakui oleh banyak pihak meskipun dunia telah mengalami rangkaian evolusi yang sangat panjang selama berabad-abad. Sangat beragam sebenarnya kontribusi pemikiran yang disampaikan oleh Ibn Khaldun, karena berbagai pemikirannya demi kemajuan Islam merupakan konsep pemikiran yang bersifat multidisipliner. Ini tidaklah mengherankan, karena Ibn Khaldun sendiri merupakan cendekiawan Islam yang banyak belajar dalam berbagai hal semasa mudanya, sehingga ilmu yang dimilikinya juga bersifat multidisiplin. Ini dapat terlihat dari rangkaian pemikirannya yang dikenal dengan nama 8 kebijaksanaan yang terdiri dari: a. Kekuatan penguasa tidak dapat diwujudkan kecuali dengan adanya implementasi syari’ah. b. Syari’ah tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh para penguasa. c. Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali yang datang dari masyarakat. d. Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan. e. Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan. f. Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan. g. Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi oleh Allah SWT pada hambaNya. h. Penguasa dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan.
ISSN : 2477 - 3131
Dalam pandangan yang disampaikan dalam buku karyanya yang terkenal, yaitu kitab Muqaddimah, Ibn Khaldun mengatakan bahwa “pada permulaan berdirinya suatu negara, pajak banyak sekali jumlahnya dan sedikit dari pajak itu yang dibebankan kepada individu”. Kemudian dikatakan pula oleh Ibn Khaldun bahwa” pada akhir negara, pajak jumlahnya sedikit dan justru banyak sekali pembebanannya pada individu“. Alasan dari pada konsep tersebut adalah bahwa konsep perpajakan yang disampaikan oleh Ibn Khaldun merupakan konsep dimana negara mengikuti sunnah agama Islam, dan negara membebankan pajak yang hanya ditentukan dalam syariat Islam, yaitu pajak derma, sedekah, pajak tanah (kharaj), dan juga pajak pemberian suara. Semua pajak yang disebutkan sebagai contoh tersebut sudah memiliki batas yang tetap serta jumlahnya tidak bisa ditambah lagi. Hal yang berbeda justru terjadi bila konsep yang ada di dalam suatu negara tidak menganut konsep Islam, akan tetapi justru mengikuti konsep politik dan juga solidaritas sosial. Dalam sebuah negara, bila beban pajak dan kewajiban pajak kepada rakyat adalah kecil, maka mereka bersemangat dan juga senang untuk bekerja. Hal ini mengakibatkan banyak usaha yang dapat berkembang. Ini sesuai dengan konsep yang dikenal dalam ilmu ekonomi sekarang ini, yaitu ”pajak yang rendah dapat menjadi stimulus untuk kegiatan ekonomi”. Hal yang sebaliknya akan terjadi bila pajak yang dibebankan kepada masyarakat jumlahnya besar dan banyak sekali. Hal ini akan mengakibatkan kegiatan ekonomi menjadi rendah. Kegiatan ekonomi yang rendah ini akan berdampak pada kegiatan perekonomian bagi negara itu sendiri.
Dalam tulisannya Khaldun, Jean David
tentang Ibn C Boulakia
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
3
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
mengungkapkan bahwa uang yang dibelanjakan oleh pemerintah pada dasarnya berasal dari penduduk dan didapatkan melalui pajak. Belanja yang dilakukan oleh pihak negara (pemerintah) akan dapat meningkat bila pemerintah meningkatkan jumlah pajak yang harus dibayar, dengan akibat bila hal itu dilakukan akan terjadi tekanan fiskal yang demikian tinggi kepada masyarakat. Pada akhirnya, bila beban pajak demikian besar kepada masyarakat, maka kegiatan perekonomian lambat laun akan mengalami stagnasi, dan masyarakat akan malas untuk membuka kegiatan usaha yang produktif”. Apa yang disampaikan oleh Ibn Khaldun ini saat ini biasa disebut dengan siklus fiskal. Dampak dari siklus fiskal dunia ekonomi makro juga ada dan hal ini secara tersirat juga disampaikan oleh Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya. Ibn Khaldun menambahkan dalam teori produksinya, bahwa harga suatu produk terdiri dari tiga unsur yaitu gaji, laba, dan pajak. Gaji adalah imbal jasa bagi produser. Hal ini dikarenakan nilai suatu produk adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya, gaji merupakan unsur utama dari harga barang-barang. Harga tenaga kerja adalah basis harga suatu barang. Dan laba adalah imbal jasa bagi pedagang. Dan bisa dikatakan juga bahwa laba adalah selisih antara harga jual dengan harga beli yang diperoleh oleh pedagang. Namun selisih ini bergantung pada hukum permintaan dan penawaran yang menentukan harga beli melalui gaji dan menentukan harga jual melalui pasar. Sedangkan pajak adalah imbal jasa bagi pegawai negeri dan penguasa. Pajak bervariasi menurut kekayaan penguasa dan penduduknya. Karenanya, jumlah pajak ditentukan oleh permintaan dan penawaran terhadap produk, yang pada gilirannya menentukan pendapatan penduduk dan kesiapannya untuk membayar (Adiwarman A. Karim, 2004: 367).
ISSN : 2477 - 3131
Dan tentunya hal ini sangat berbeda sekali dengan kondisi yang ada. Konsep pajak yang diterapkan oleh suatu negara tidak lagi sesuai dengan tujuan awal dari dipungutnya pajak, diantaranya yaitu untuk kepentingan pembangunan bagi suatu negara yang imbasnya untuk kemakmuran negara dan masyarakatnya sendiri dengan cara menjunjung tinggi asas keadilan dalam pemungutan pajak. Begitu banyaknya pajak yang diberlakukan oleh pemerintah kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang bergerak dalam bidang ekonomi mikro dan makro mengakibatkan dampak negatif terhadap semangat berproduksinya masyarakat. Dan belum lagi tidak adanya jaminan oleh negara terhadap masyarakat yang telah membayarkan pajak ke pemerintah, yang harus mengeluarkan uang lagi kepada pemungut pajak liar. Sejarah Perpajakan dalam Islam 1) Pemerintahan Rasulullah Saw Pada masa-masa awal pemerintahan di kota Madinah, pendapatan dan pengeluaran hampir tidak ada. Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan oleh pekerja tidak dikenakan upah. Mereka tidak mendapat gaji secara tetap akan tetapi diperolehkan mengambil sebahagian dari rampasan perang. Sumber penerimaan pada zaman Rasulullah Saw dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar yaitu dari kaum Muslim, non-Muslim dan lain. Dari kaum Muslim sumber penerimaan negara, terdiri atas: kharaj (pajak tanah), zakat, ushr (bea impor), zakat fitrah, wakaf, infak dan shadaqah, amwal fadhla (harta benda kaum Muslim yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang Muslim yang meninggalkan negerinya), nawaib (pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum Muslim dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, ini pernah terjadi Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
4
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
pada saat perang Tabuk), khumus atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam. Sementra pendapat kaum nonMuslim yakni jizyah, kharraj, ushr. Sedangkan dari sumber penerimaan yang lain yakni: ghanimah (harta rampasan perang), fay (harta dari daerah taklukan), uang tebusan untuk para tawanan perang, kaffarah atau denda, hadiah, pinjaman dari kaum Muslim dan non-Muslim (Umer Chapra: 370). 2) Pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq Pada masa awal perkembangan dan kemajuan Islam di masa Rasulullah SAW, sudah ada beberapa jenis pajak yang diberlakukan kepada umat Islam dan juga kepada umat non Islam yang ada dan hidup di dalam pemerintahan Islam. Hal ini juga berlanjut di dalam masa pemerintahan khalifah pengganti Rasulullah SAW, yaitu para 4 khulafaur rasyidin. Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar ashShiddiq, langkah-langkah yang dilakukan dalam manajemen fiskalnya adalah: 1. Perhatian tehadap keakuratan perhitungan zakat. 2. Pengembangan baitulmaal dan penanggung jawab baitulmaal. 3. Menerapkan konsep balace budget pada baitulmaal, dimana seluruh pendapatan langsung didistribusikan tanpa ada cadangan. Sehingga saat beliau wafat hanya satu dirham yang tersisa dalam perbendaharaan negara. 4. Melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat dan pajak kepada pemerintah. Secara individu Abu Bakar adalah seorang praktisi akad-akad perdagangan (Umer Chapra: 373). 3) Pemerintahan Umar bin Khattab Kebijakan yang telah dilakukan Umar pada pemerintahannya adalah:
ISSN : 2477 - 3131
1. Reorganisasi baitumaal, dengan menjadikan baitulmaal sebagai lembaga negara resmi yang dikenal dengan al-divan (sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangantunjangan angkatan perang dan pensiun serta tunjangan-tunjangan lain), dimana seluruh karyawan digaji menurut standar penggajian pada masa tersebut. Serta adanya pengeluaran dana pensiun bagi mereka yang bergabung dalam kemiliteran. 2. Diberlakukannya sistem cadangan darurat, dimana dari sumber penerimaan yang ada tidak langsung didistribusikan seluruhnya. Hal ini untuk membiayai angkatan perang dan kebutuhan darurat untuk umat. 3. Pemerintah bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan minimum makanan dan pakaian kepada warga negaranya. 4. Diversifikasi terhadap objek zakat, dimana dilakukan objek yang dapat dikenakan sebagai objek zakat yang baru. Dalam bahasa fiskal saat ini biasa dikenal dengan ekstensifikasi sumbersumber penerimaan negara. 5. Pengembangan ushr (pajak) pertanian 6. Undang-undang perubahan pemilikan tanah (land reform), dimana tanahtanah yang tidak produktif dikuasai negara untuk diolah oleh masyarakat dan masyarakat membayarkan kharaj atas tanah yang diolah tersebut. Pengelompokan pendapatan negara masa Umar terbagi dalam 4 bagian, yaitu: Sumber Pendapatan Zakat dan ushr
Pengeluaran Pendistribusian untuk masyarakat setempat, jika ada surplus maka surplus tersebut disimpan.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
5
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Khums dan shadaqah Kharaj, fay, jizyah, ushr, sewa tetap Pendapatan dari semua sumber
ISSN : 2477 - 3131
Fakir miskin dan kesejahteraan Dana pensiun, dana pinjaman (allowance) Pekerja, pemelihara anak terlantar dan dana sosial
4) Pemerintahan Utsman bin Affan Kebijakan Usman yang ditempuh pada masa pemerintahaanya adalah: 1. Pembangunan irigasi pengairan. 2. Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan negara terutama perdagangan. 3. Pembangunan gedung pengadilan, guna penegakan hukum. 4. Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan dari sembilan juta dirham pada masa Umar menjadi lima puluh juta dirham pada masa Usman. 5. Meningkatkan anggaran pertahan dan kelautan serta meningkatkan dana pensiun serta dana pembangunan di wilayah taklukan baru. Membuat beberapa perubahan administrasi dan meningkatkan kharaj dan jizyah dari Mesir (Umer Chapra: 370). 5) Pemerintahan Ali bin Abi Thalib Secara umum beberapa perubahan kebijakan yang dilakukan pada masa Ali adalah: 1. Pendisribusian seluruh pendapatan yang ada pada baitulmaal sama dengan kebijakan yang dilakukan pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Tetapi berbeda dengan kebijakan Umar yang menyisihkan untuk cadangan. Hari pendisribusian adalah setiap hari Kamis pada setiap minggunya. 2. Pengeluaran angkatan laut dihilangkan, karena daerah pesisir pantai dibawah penguasa Muawiyah.
Namun pengeluaran atau anggaran untuk polisi tetap dipertahankan yang bertujuan untuk menjaga keamanan negara. 3. Adanya kebijakan pengetatan anggaran negara. Masalah wajib pajak di dalam pemerintahan Islam ini menjadi kontroversi karena dalam perkembangan selanjutnya, akibat sengketa politik pemerintahan Islam berubah menjadi kerajaan dan banyaknya penguasa yang kejam serta berkembangnya praktik korupsi di dalam pemerintahan Islam. Sebagai akibat dari itu semua, sebagian ulama di zaman dahulu lalu banyak yang melarang umat Islam untuk membayar pajak hingga adanya perbaikan secara internal di dalam tubuh pemerintahan Islam untuk kembali menjadi pemerintahan yang adil dan tidak korup (Umer Chapra: 335). Meskipun begitu, pada dasarnya pendirian ini tidak bisa diteruskan, karena dengan begitu akan ada sebuah pertanyaan mendasar yang muncul dari masalah ini, yaitu ” bagaimana pemerintah Islam bisa membangun dan melakukan pembiayaan yang sangat besar seiring dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapinya, bila mereka sama sekali tidak diizinkan untuk melakukan pemungutan pajak kepada rakyatnya”. Atas dasar itulah, mayoritas ulama Islam pada akhirnya hanya menetapkan tiga kriteria yang sangat penting dalam usaha pemungutan pajak pajak yang dipungut haruslah digunakan untuk membiayai berbagai hal yang benarbenar dianggap perlu serta untuk kepentingan masyarakat secara umum. Beban pajak yang dipungut sama sekali tidak boleh terlalu memberatkan dibandingkan dengan kemampuan orang yang ada untuk memikulnya, dan yang penting juga adalah beban pajak tersebut haruslah terdistribusi secara adil kepada semua orang yang dianggap mampu untuk Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
6
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
membayar pajak tersebut. Dan juga hasil dari pajak yang ada harus dikeluarkan dan dimanfaatkan oleh pemerintah dengan hatihati dan sesuai dengan tujuan awal dari pengumpulan pajak tersebut. Namun jabatan pengumpulan pajak ini baru terbentuk pertama kalinya di sebuah negara ketika kekuatan dan superioritas, serta kepentingan mereka dalam berbagai aspek kedaulatan dan di dalam tata administrasi yang efisien telah tegak dengan kokohnya. Orang pertama yang menciptakan diwan di negara Islam adalah Umar bin Khatab. Dikatakan bahawa sebabnya adalah kedatangan Abu Hurairah dari al-Bahrayn membawa uang. Dan uang yang dibawa tersebut sangat banyak, sehingga mereka susah untuk membagibagikannya. Mereka mencoba menghitung uang itu dan memikirkan bagaimana uang itu dibayarkan untuk upah dan tuntutantuntutan. Dalam peristiwa tersebut, Khalid bin Walid mengemukakan pendapat supaya dipergunakan diwan sebagaimana yang telah diterapkan oleh raja-raja Syria pada saat itu (Ibn Khaldun 300). Dan kemudian seiring berjalannya waktu, diwan ini pun berubah nama, dan juga kegunaan dan fungsinyapun semakin luas dan mempunyai peranan dan manfaat yang sangat besar bagi sebuah negara sampai sekarang ini. Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Konsep Pajak Pemerintahan Islam bukanlah sebuah pemerintahan yang tidak hanya memberikan pelayanan kepada masyarakat, akan tetapi juga pemerintahan yang harus memainkan peranan yang efektif dan juga sesuai dengan karakteristik yang ada di dalam masyarakat Islam, yaitu dengan adanya konsepsi moral dan spiritual. Atas dasar itulah Islam sangat memandang pentingnya peranan yang harus dijalankan oleh negara, termasuk pengaturan tentang
ISSN : 2477 - 3131
keuangan publik yang ada di dalam negara tersebut. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn Khaldun bahwa pentingnya menyatukan tujuan antara pemerintah dan masyarakatnya dari segala aspek, diantaranya adalah aspek ekonomi sebagai sarana penunjang utama dalam meningkatkan pembangunan sebuah negara. Dan lebih lanjut dikatakan juga bahwasanya pajak adalah bagian dari konsep keuangan publik yang telah diterapkan oleh sebuah negara dari dulu sampai sekarang ini (Ibn Khaldun: 47). Dalam kitab Muqaddimah, Ibn Khaldun telah menjelaskan konsepnya tentang pajak sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Yang mana menurut Ibn Khaldun, pajak pada dasarnya merupakan sumber utama dari pemasukan negara di dalam era modern sekarang ini. Karena itulah baginya pajak harus dikelola agar dapat memberikan hasil positif yang maksimal. Ibn Khaldun juga menyatakan bahwa lembaga perpajakan merupakan lembaga yang sangat penting bagi negara. Apabila pemerintah semakin besar nilai belanjanya, atau semakin banyak menggunakan anggaran yang dimilikinya untuk kepentingan pembangunan, maka dampaknya akan semakin baik bagi perekonomian negara tersebut. Dengan adanya anggaran yang cukup untuk dipergunakan oleh negara, maka negara dapat melakukan berbagai hal yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, termasuk untuk menjamin stabilitas hukum, ekonomi dan politik yang ada di negara tersebut (Euis Amalia: 195). Dari rangkaian pemikiran Ibn Khaldun dalam konsep keuangan publik dan perpajakan yang disampaikan dalam karya besarnya tersebut, secara tersirat beliau ingin menyatakan bahwa sangat perlu adanya keterlibatan dari pihak pemerintah dalam masalah pengaturan kegiatan perekonomian ini. Hal ini dalam Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
7
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
dunia ekonomi modern sekarang kemudian dikenal dengan konsep kebijakan fiskal. Adanya peranan pemerintah dalam bidang ekonomi diakui memang seringkali menjadi permasalahan dan juga pembahasan yang sering dibahas dalam berbagai pemikiran ekonomi. Dalam dunia ekonomi modern, setelah masa para pemikir ekonomi dari golongan Islam di dunia barat juga lahir berbagai konsep ekonomi, diantaranya yang pertama kali dikenal adalah konsep ekonomi klasik yang biasa dikenal dengan prinsip laissez-faire laissez-passe. Dalam konsep yang dipelopori oleh Adam Smith ini ditekankan bahwa dalam kegiatan perekonomian seyogyanya diusahakan adanya keterlibatan pemerintah yang seminimal mungkin. Konsep ini pada intinya ingin menekankan bahwa kegiatan ekonomi akan berjalan dengan lebih baik bila keterlibatan pemerintah dapat dikurangi. Selama kurang lebih 200 tahun lamanya, pemikiran ini banyak mendominasi pemikiran para ekonom dunia lainnya. Akan tetapi setelah masa depresi besar yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1930-an, ada lagi pemikiran ekonomi yang menekankan pada pentingnya peranan pemerintah dalam perekonomian. Paling tidak dengan adanya peranan pemerintah, maka kerusakan dalam perekonomian yang diakibatkan oleh konsep pasar bebas dapat diatasi, meskipun tidak akan bisa sempurna sama sekali. Akan tetapi, paling tidak dampak buruk dari kegagalan konsep ekonomi pasar bebas yang selalu diagung-agungkan oleh para penganut konsep klasik dalam perekonomian dapat diatasi secara sebagian. Landasan dari prinsip ini adalah kebijakan fiskal yang berintikan pada kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang keuangan publik dan juga pada sektor perpajakan. Disadari atau tidak bahwa konsep ini merupakan pemikiran dari Ibn Khaldun dalam bidang perekonomian.
ISSN : 2477 - 3131
Ibn Khaldun percaya bahwa pemerintah memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. Sementara pengenaan pajak dapat mengurangi produksi. Karena pemerintah merupakan pasar yang besar bagi barang dan jasa, maka pengurangan belanja pemerintah bukan saja mengakibatkan melambatnya aktivitas usaha dan penurunan laba namun juga penurunan pendapatan pajak. Makin banyak belanja pemerintah, maka makin baik dampaknya bagi ekonomi. Pembelanjaan pemerintah diperlukan untuk kepentingan rakyat, menjaga ketertiban, menegakkan aturan, dan menstabilkan politik. Tanpa keteraturan dan stabilitas politik, produsen tidak terdorong untuk berproduksi (Umer Chapra: 22). Dalam sebuah negara, bila beban pajak dan kewajiban pajak kepada rakyat adalah kecil, maka mereka bersemangat dan juga senang untuk bekerja. Hal ini mengakibatkan banyak usaha yang dapat berkembang. Ini sesuai dengan konsep yang dikenal dalam ilmu ekonomi sekarang ini, yaitu ”pajak yang rendah dapat menjadi stimulus untuk kegiatan ekonomi”. Hal yang sebaliknya akan terjadi bila pajak yang dibebankan kepada masyarakat jumlahnya besar dan banyak sekali. Hal ini akan mengakibatkan kegiatan ekonomi menjadi rendah. Kegiatan ekonomi yang rendah ini akan berdampak pada kegiatan perekonomian bagi negara itu sendiri. Ibn Khaldun juga menjelaskan bahwa faktor terpenting dalam membuat kemajuan usaha adalah meringankan sedapat mungkin beban pajak. Sehingga dapat mendorong pengusaha bekerja lebih keras. Bila beban pajak lebih ringan, orang akan mendapatkan dorongan untuk lebih aktif dalam bekerja. Dunia usaha akan berkembang, akibatnya pendapatan pajak juga akan naik karena lebih banyak orang yang memiliki kemampuan membayar Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
8
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
pajak. Dan hal tersebut dipertegas oleh Ibn Khaldun: Seandainya manusia mengetahui bahwa pendorong paling kuat bagi aktivitas kultural adalah mengadakan pengurangan sebisa mungkin atas jumlah kewajiban yang dipungut dari orang-orang yang ikut memberi andil dalam usaha kultural. Dengan demikian, secara psikologis orangorang tersebut akan benar-benar memberikan andilnya dalam usaha tersebut, karena mereka yakin akan banyaknya manfaat di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Allah SWT bahwa “ditanganNyalah kekuasaan segala sesuatu”. Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya juga menjelaskan bahwa ketika negara terus dengan kekuasaannya, dan para raja (presiden) berganti berkuasa, mereka menjadi berpengalaman dalam halhal duniawi. Sifat badawah, kesahajaan, dan sifat-sifat badawi yang berupa sikap tidak berlebihan dan tahan diri, lenyap seluruhnya. Kedaulatan dengan tirani dan budayanya yang mendorong pada sofistifikasi, muncul semuanya. Rakyat negara lalu akan mengambil sifat-sifat yang berkaitan dengan kepintaran. Kebiasaan dan kebutuhan mereka semakin beragam, karena mereka (para aparat negara) sudah tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan. Akibatnya, kewajiban dan pembebanan pajak atas rakyat meningkat. Pajak yang berat kemudian menjadi sebuah keharusan dan tradisi, sebab peningkatan itu terjadi secara gradual sedikit demi sedikit, dan tidak seorangpun secara khusus mengetahui siapa yang meningkatkan jumlah pajak tersebut. Dan hal ini seakanakan merupakan sebuah tradisi yang harus ada. Pembebanan pajak yang jauh meningkat melampaui kewajaran, mengakibatkan kepentingan rakyat dalam usaha-usaha kultural akan lenyap dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan apabila
ISSN : 2477 - 3131
mereka membandingkan antara pengeluaran dan pajak dengan pendapatan mereka, serta melihat keuntungan kecil yang mereka dapatkan, mereka kehilangan semua harapan. Oleh karena itu sebagian mereka tidak mau turut serta dalam seluruh kegiatan kultural. Akibatnya pendapatan pajak total hilang lenyap, bersama menurunnya pembebanan individu. Kadang-kadang setelah pengurangan itu diketahui, jumlah kewajiban individu mereka tambah lagi. Hal ini mereka nyatakan sebagai kompensasi bagi pengurangan itu. Hingga akhirnya, semua kewajiban dan pembebanan sampai pada puncaknya, dimana tak ada lagi ada manfaat dan faedah dibelakangnya. Dan pada saat itu, pengeluaran biaya untuk aktifitas kultural sudah besar, pajak juga semakin besar, serta keuntungan yang diharapkan tidak terwujud. Jumlah pajak masih terus berkurang, dan kadar pembebanan dan kewajiban individu bertambah, akibat dari keyakinan para pemimpin bahwa dengan cara demikian jumlah pemasukan akan tergantikan. Dan akhirnya peradaban, ‘umran, hancur atas lenyapnya perangsang untuk melakukan aktifitas ekonomi. Demikian juga negara akan menderita sebagai imbas atas situasi yang terjadi. Dalam bukunya yang terkenal tentang Ibn Khaldun, Jean David C Boulakia mengungkapkan bahwa uang yang dibelanjakan oleh pemerintah pada dasarnya berasal dari penduduk dan didapatkan melalui pajak. Belanja yang dilakukan oleh pihak negara (pemerintah) akan dapat meningkat bila pemerintah meningkatkan jumlah pajak yang harus dibayar, dengan akibat bila hal itu dilakukan akan terjadi tekanan fiskal yang demikian tinggi kepada masyarakat. Pada akhirnya, bila beban pajak demikian besar kepada masyarakat, maka kegiatan perekonomian lambat laun akan mengalami stagnasi, dan masyarakat akan malas untuk Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
9
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
membuka kegiatan usaha yang produktif (Jean David C Boulakia:1105). Apa yang disampaikan oleh Ibn Khaldun sebagaimana yang dikutip dalam bukunya David Boulakia ini, saat ini bisa disebut dengan siklus fiskal. Dampak dari siklus fiskal akan terlihat di dalam dunia ekonomi makro. Artinya sumber belanja (pendapatan) yang diperoleh oleh sebuah negara salah satunya dari pajak tersebut harus memperhatikan keadaan perekonomian masyarakatnya. Pemerintah tidak boleh sewenang-wenang menaikkan jumlah pajak terhadap masyarakatnya. Karena dengan banyaknya pembebanan pajak terhadap masyarakat tidak hanya akan berdampak negatif bagi masyarakatnya dengan matinya produksi dari masyarakat, namun juga akan berdampak kepada pemerintahannya yaitu kergian terhadap negara dalam hal pemasukan khas negara akan berkurang. Pada tahun 1978 Jude Wanniski memperkenalkan istilah laffer curve yang merupakan teori dari Arthur B. Laffer, yang menyatakan bahwa pendapatan pajak akan mencapai titik maksimum bila tarif yang dikenakan dibawah 100 persen. Bila tarif pajak sama dengan nol, maka tidak ada pendapatan pajak yang diterima oleh pemerintah. Tetapi apabila tarif pajak 100 persen, maka pendapatan pajak juga akan nihil karena tidak ada masyarakat yang mau bekerja kemudian pendapatannya semua untuk membayar pajak. Dengan demikian masyarakat mau bekerja pada tarif 0 hingga 100 persen. Laffer sendiri menyatakan bahwa kurfa Laffer bukan ditemukan olehnya sendiri. Namun ia mengutip pemikiran dari Ibn Khaldun dan John Maynard Keynes (Arthur B. Laffer, 2004). Ibn khaldun juga menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian. Dikatakannya, pengurangan pengeluaran pemerintah dapat menurunkan pendapatan pajak, yang berakibat pada berkurangnya belanja
ISSN : 2477 - 3131
pemerintah. Karena pemerintah merupakan pasar terbesar, pengurangan belanja pemerintah dapat menyebabkan menurunnya penjualan yang dilakukan oleh dunia usaha sehingga labanya berkurang. Akibat berikutnya adalah berkurangnya penerimaan pajak. Ini sejalan dengan pandangan Keynes pada awal tahun 1930an yang merekomendasikan agar perekonomian tidak diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar, sehingga pada batas tertentu peran pemerintah tetap diperlukan (Deliarnov, 1995: 151). Pemerintah merupakan pasar yang paling besar bagi dunia dan kemajuan peradaban. Oleh sebab itu, apabila pimpinan sebuah negara menahan dan menyimpan uang yang dikumpulkan dari pajak, dan mereka tidak mempunyai uang untuk dibelanjakan, maka jumlah uang yang ada di tangan para pemimpinpemimpin pemerintah tersebut dan para pegawainya akan berkurang. Hal ini dikarenakan mereka harus mengeluarkan gaji para aparatur negaranya. Dan hal tersebut akan berdampak kepada perekonomian masyarakat yang ada di bawah yang menjalankan perekonomian. Pemasukan pemerintah dari pajak yang dipungut dari para pedagang juga akan berkurang. Dan negara akan menderita dikarenakan kurangnya pendapatan dari pajak. Namun peran pemerintah tersebut tentunya harus dijalankan dengan sangat hati-hati. Sebab hal ini akan memunculkan 2 (dua) hal dampak akibat. Yang mana dampak akibat ini bisa saja berupa hal yang positif, dan bisa juga berupa hal yang negatif, sebagaimana yang ada dalam pemikiran Ibn Khaldun dan dituangkan dalam bukunya, Muqaddimah dikatakan bahwa ” kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh raja berbahaya bagi rakyat dan akan dapat merusak pendapatan dalam bidang perpajakan ”. Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
10
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Dalam bagian ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa negara dapat mengalami kesulitan dalam bidang keuangan karena adanya kebiasaan hidup mewah yang dilakukan di dalam negara tersebut, serta adanya budaya korupsi yang ada di negara tersebut. Akan tetapi, ada satu hal yang lebih berbahaya bagi perkembangan negara, yaitu bila raja juga melakukan kegiatan perdagangan dengan tujuan dan dalih untuk meningkatkan pendapatan dari dirinya. Ini dapat terjadi karena raja merasakan bahwa hal itu merupakan hal yang dapat memperkaya dan memakmurkan rakyatnya. Bila bisa dilakukan oleh rakyatnya, maka mengapa tidak bisa dilakukan untuk dirinya juga, demikian yang ingin disampaikan oleh Ibn Khaldun dalam bukunya tersebut. Artinya keinginan dan hasrat dari pimpinan seperti ini menurut Ibn Khaldun hanya akan membahayakan perekonomian pemerintahan yang dipimpinnya. Dalam konteks negara modern Ibn Khaldun dapat melihat hal ini sebagai kesalahan yang besar, dan mendatangkan kerugian tidak hanya bagi rakyat, akan tetapi juga bagi negara tersebut, yaitu diantaranya adalah bagi para pengusaha pada masa itu, yaitu para petani dan pedagang saat itu sudah mendapatkan kesukaran untuk dapat membeli ternak serta berbagai barang dagangan, karena rata-rata pada masa tersebut rakyat memiliki jumlah kekayaan yang sama, atau bahkan hampir sama. Hal itu menyebabkan diantara mereka menjadi sulit untuk berkompetisi. Akan tetapi, akan menjadi lebih sulit bagi mereka untuk berkompetisi bila raja juga menjadi pemain dalam komoditi yang sama dengan yang mereka usahakan. Dengan kata lain, Ibn Khaldun ingin menyatakan bahwa bila penguasa sudah mulai ikut berbisnis yang sama dengan yang dilakukan oleh rakyatnya, maka rakyat dalam menjalankan usahanya mulai menjadi tidak tenang, dan banyak
ISSN : 2477 - 3131
dihinggapi oleh perasaan khawatir karena bersaing dengan kepala negara mereka. Kekhawatiran ini dikarenakan bahwa kepala negara dapat melakukan bisnisnya dengan secara paksa melalui proses monopoli (trading by monopoly sistem). Dalam konteks negara modern saat ini, apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun banyak menjadi kenyataan. Yang dikhawatirkan sebagai akibat kejadian ini adalah para pengusaha, dimana dalam buku Muqaddimah karyanya disebutkan akan menjadi apatis dalam melaksanakan kegiatan perdagangan mereka. Sebagai akibat sikap apatis yang mereka lakukan, kegiatan perekonomian di dalam negara tersebut menjadi melemah, berkurang dan dampaknya akan mengakibatkan penurunan bagi sektor perpajakan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Khaldun bahwa sebagian besar pendapatan pajak datang dari para petani dan pedagang. Bila para petani berhenti bekerja, dan para pedagang tidak lagi berdagang, maka pendapatan pajak akan hilang sama sekali, atau akan mengalami kemerosotan yang menakutkan. Inilah kesalahan yang sering dilakukan oleh sebuah negara. Pemerintahan kurang memperhatikan keadaan masyarakat kelas menengah ke bawah. Seperti kelompok petani dan pedagang. Khusus untuk kelompok petani sering dirugikan dengan sistem pajak tanah, penghasilan dan pajak surat izin lainnya. Sehingga kemiskinan dan kemakmuran masyarakat yang bekerja sebagai petani terabaikan dan bahkan tertindas oleh kebijakan pajak pemerintahannya. Dan begitu juga kelompok para pedagang. Masyarakat pedagang sangat banyak dirugikan dengan pembebanan pajak yang begitu banyak. Mulai dari pajak penerangan, pajak pendapatan, pajak tempat usaha, dan lain sebagainya. Dan tentunya pembebanan pajak yang begitu banyak ini mendorong para pedagang untuk Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
11
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
menaikkan harga penjualan barangnya. Dan tak jarang diantara mereka banyak yang berbohong supaya mendapatkan keuntungan. Nah inilah dampak yang akan terjadi di lingkungan masyarakat kita akibat sistem pajak yang tidak berpihak pada masyarakatnya. Menurut Ibn Khaldun, seorang kepala negara seharusnya bisa membandingkan dan melihat tentang hal ini dengan lebih jelas, bahwa keuntungan yang diperolehnya dari praktik monopoli perdagangan yang dilakukannya tidak akan sebanding dengan penurunan dari nilai pajak untuk negara yang diperolehnya. Apabila raja membandingkan pendapatan pajak yang diperoleh dengan keuntungan yang sedikit ini, dia akan tahu bahwa keuntungan yang diperolehnya dari perdagangan dan pertanian amat kecil bila dibandingkan dengan pendapatan pajak. Meskipun dia beruntung dalam berdagang, sebenarnya dia kehilangan sejumlah besar pendapatan pajak, sejauh hubungannya dengan jual beli. Dalam hal ini, Ibn Khaldun ingin menyampaikan bahwa seorang pimpinan sebuah negara, harus benar-benar memperhatikan situasi yang ada dalam masyarakat yang dipimpinnya. Dimana perdagangan dan pertanian sebenarnya adalah ruh dari pemasukkan kas sebuah negara. Artinya keuntungan sebuah negara tidak boleh hanya dilihat dari besarnya dan banyaknya pajak yang bisa dipungut. Namun sebenarnya kemakmuran dan keadilan terhadap masyarakatlah yang akan memperbesar pemasukkan kas sebuah negara. Apabila masyarakat merasa aman dan sejahtera dalam menjalankan bisnis dan pertaniannya, maka mereka akan turut andil dalam berkontribusi menambah pemasukan kas negaranya. Dan sebaliknya, apabila mereka tidak aman dan sejahtera, maka mereka akan enggan untuk berkontribusi dalam pemasukkan kas negara. Atau mungkin juga mereka dipaksa,
ISSN : 2477 - 3131
namun mereka akan kucing-kucingan dengan aparat pemerintah yang bertugas mengumpulkan pajak. Selain itu, dalam bukunya Ibn Khaldun juga menyampaikan pemikiran yang penting mengenai kapan seharusnya seorang pemimpin negara juga merasakan kemakmuran seiring dengan berhasilnya pembangunan yang dilakukan di negaranya. Seorang pemimpin negara selayaknya juga baru merasakan kemakmuran seiring dengan semakin majunya usia sebuah negara. Ini akan terjadi seiring dengan semakin berdaulatnya negara tersebut. Dengan kata lain, Ibn Khaldun menyatakan bahwa mustahil seorang pemimpin negara akan langsung mendapatkan kemakmuran bila negara yang dipimpinnya benar-benat dari bawah dan masih harus membangun. Hanya praktik korupsi dan ketidak jujuran dalam siklus keuangan publik yang dapat menyebabkan hal itu terjadi. Dalam hal konsep pajak yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya sudah dibahas sebelumnya. Yang mana konsep ini pada dasarnya adalah bagian dari pembahasan konsep keuangan publik. Konsep ini tidak hanya berhubungan dengan persoalan ekonomi makro saja, namun juga berbicara dalam lingkup perekonomian makro. Pajak yang merupakan salah satu dari konsep keuangan publik, merupakan suatu hal yang sangat fenomenal. Bahkan dengan bahasa yang lebih ekstrimnya dikatakan bahwa dari awal berdirinya sebuah negara, pajak merupakan sumber pendapatan utama untuk meningkatkan sistem pembangunan di segala bidang pemerintahan. Artinya secara tidak langsung peran keterlibatan pemerintah dalam persoalan pajak sangat erat sekali. Menurut Ibn Khaldun, pajak yang dipungat oleh pemerintah seharusnya tidak boleh terlalu tinggi, dan juga tidak boleh terlalu banyak dalam satu objek meskipun biayanya rendah. Sebab pajak yang tinggi Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
12
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ataupun pajak yang banyak untuk satu objek meskipun rendah akan berdampak negatif terhadap sistem perekonomian yang ada di sebuah negara. Artinya akan merusak tatanan keuangan publik yang dibangun atas dasar untuk bagaimana pemerintah bisa menjalankan sistem kepemerintahannya tanpa ada kendala ekonomi dan masyarakat bisa merasakan kemakmuran dalam menajalankan kehidupan. Masyarakat akan malas untuk berproduksi karena banyaknya pajak yang harus mereka keluarkan. Apabila masyarakat malas untu berproduksi, maka akan terjadi gejolak pasar. Harga tidak akan stabil akibat kelangkaan barang, masyarakat para konsumen akan ketakutan dengan melambungnya harga barang, dan pada akhirnya pemerintah akan kewalahan dengan persoalan yang ada hanya karena persoalan pajak yang tinggi ataupun yang banyak yang diterapkan oleh mereka. Persoalan ini sesuai dengan teori asas daya beli, yaitu Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan masyarakat lebih diutamakan (Mardiasmo : 4). Persoalan keadilan dalam pajak ini benar-benar sangat penting. Keadilan merupakan pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Seperti ketika masyarakat memberikan kewajiban mereka untuk membayarkan pajak, maka sudah sewajarnya pula mereka mendapatkan hak dari pemerintah apa yang mereka tunaikan. Berdasarkan keasadaran etis, manusia dituntut untuk tidak hanya menuntut hak dan melupakan kewajibannya. Jika manusia hanya menuntut hak dan melupakan kewajibannya, maka sikap dan tintakannya
ISSN : 2477 - 3131
akan cenderung mengarah kepada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya, jika manusia hanya menjalankan kewajibannya dan lupa akan haknya, maka akan mudah diperas dan diperbudak oleh orang lain (Akhmad Mujahidin, 2014: 52). Oleh sebab itu, pemerintah harus memberikan jaminan kepada masyarakat dalam pesoalan pajak ini. Sesuai dengan teori asuransi yang berhubungan dengan persoalan pajak, yaitu negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. Dan negara merupakan faktor penting dalam produksi, artinya melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi. Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering. Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
13
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak. Dalam ranah ekonomi, posisi negara seharusnya bisa memberikan motivasi kepada individu untuk terus berusaha dalam lapangan ekonomi, dengan memberikan batasan dan norma hukum tentang apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak boleh. Negara tidak diperkenankan melakukan pembatasan terhadap usaha-usaha kultural atau swasta dengan pembebanan pajak atau bea cukai. Dalam hal ini, kita bisa melihat ril kondisi yang ada pada kebijakan pajak yang diambil oleh sebuah negara yang ada sekarang ini. Inilah yang mereka lakukan terhadap masyarakat mereka sendiri. Pemerintah membuat banyak kebijakan dalam persoalan pembayaran pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakatnya, tanpa harus mempertimbangkan apakah rakyat setuju dengan kebijakan itu atau tidak. Dan sistem-sistem serta kebijakan seperti inilah penyebab kehancuran sebuah negara menurut Ibn Khaldun. Dan hal inilah yang terjadi sekarang ini di banyak negara yang tidak pernah mempertimbangkan persetujuan dari masyarakatnya. Banyak negara yang sibuk berhutang ke negara lain tanpa tau kapan mampu untuk membayarnya. Dan parahnya lagi mereka selalu optimis dengan kegagalan mereka. Mereka beranggapan hutang mereka pasti bisa mereka bayar dengan pungutan pajak yang akan mereka dapatkan. Tapi mereka lupa, pembebanan-pembebanan pajak yang tidak memihak masyarakat pada akhirnya akan terjadi perlawanan pajak oleh masyarakat itu sendiri. Kemudian, dengan berlalunya waktu, kebutuhan-kebutuhan negara akan
ISSN : 2477 - 3131
meningkat dan nilai pajak naik untuk meningkatkan hasil. Apabila kenaikan ini berlangsung perlahan-lahan rakyat akan terbiasa, namun pada akhirnya ada akibat kurang baik terhadap insentif sehingga aktivitas usaha mengalami kelesuhan dan penurunan, demikian pula terhadap hasil perpajakannya. Perekonomian yang makmur di awal suatu pemerintahan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih tinggi dari tarif pajak yang lebih rendah, sementara perekonomian yang mengalami depresi akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih rendah dengan tarif yang lebih tinggi. Alasan terjadinya hal tersebut adalah rakyat yang mendapatkan perlakuan tidak adil dalam kemakmuran mereka akan mengurangi keinginan mereka untuk menghasilkan dan memperoleh kemakmuran. Apabila keinginan itu hilang, maka mereka akan berhenti bekerja karena semakin besar pembebanan maka akan semakin besar efek terhadap usaha mereka dalam berproduksi. Akhirnya, jika rakyat enggan menghasilkan dan bekerja, maka pasar akan mati dan kondisi rakyat akan semakin memburuk serta penerimaan pajak juga akan menurun. Dan lebih lanjut, banyak persoalan yang muncul dalam persoalan pajak ini, yang sangat mengganggu kestabilan keuangan publik, maka Ibn khaldun penawarkan konsep keadilan pajak. Dimana dalam konsep ini Ibn Khaldun membatasi agar peran pemerintah tidak terlalu jauh dalam persoalan pasar. Termasuk di dalamnya persoalan perpajakan. Pemungutan pajak harus berdasarkan keadilan. Pajak yang adil sangat berpengaruh terhadap kemakmuran suatu negara. Kemakmuran cenderung bersirkulasi antara rakyat dan pemerintah, dari pemerintah ke rakyat, dan dari rakyat ke pemerintah, sehingga pemerintah tidak dapat menjauhkan belanja negara dari rakyat karena akan mengakibatkan rakyat menjauh dari pemerintah. Tidaklah sama Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
14
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
kewajiban pajak antara satu perorangan dengan yang lainnya, apabila berbeda ruang, waktu, dan tempat. Kesimpulan Ibn Khaldun merupakan salah satu diantara banyak pemikir Islam yang telah memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang ekonomi. Meski Ibn khaldun hidup setelah masa the great gap, namun pemikirannya merupakan hasil kristalisasi dari para memikir muslim sebelumnya. Ibn Khaldun hidup pada masa kemunduran Islam. perhatiannya pada maju mundurnya peradaban bangsa-bangsa menghasilkan pemikiran yang banyak dikaji oleh para pemikir di era sekarang ini. Ia adalah seorang pengamat yang cermat mengenai fenomena-fenomena berbagai macam bidang keilmuan khususnya bidang ekonomi yang banyak berbicara tentang konsep keuangan publik, salah satunya adalah persoalan pajak. Sebelum Ibn Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum. Sedangkan Ibn Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah AshShiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibn Khaldun tentang ekonomi. Paparan di atas menunjukkan bahwa tak disangsikan lagi Ibn Khaldun adalah Bapak ekonomi yang sesungguhnya. Dia bukan hanya Bapak ekonomi Islam, tapi bapak ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih layak
ISSN : 2477 - 3131
disebut Bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim Barat sebagai Bapak ekonomi melalui buku The Wealth of Nation. Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar ummat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual ummat Islam. Tulisan ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibn Khaldun secarfa detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibn Khaldun secara detail lebih cocok jika dimuat dalam journal atau buku. Dalam kitab muqaddimah nya, Ibn Khaldun juga membahas persoalan pajak sebagai konsep keuangan publik dan pemasukan kas negara guna menjalankan roda pemerintahannya. Dalam kitab ini Ibn Khaldun mencurahkan pemikirannya. Dimana Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam pemungutan pajak, pemerintah harus mengedepankan nilai-nilai keadilan. Yang mana apabila nilai-nilai keadilan ini bisa diterapkan dalam memungut pajak terhadap masyarakatnya, maka pemerintah dan masyarakatnya akan diuntungkan. Namun sebaliknya, apabila nilai keadilan tidak ditegakkan dalam memungut pajak, maka yang dirugikan bukan hanya masyarakat, namun juga pemerintahannya. Masyarakat akan malas untuk berproduksi karena beban pajak yang tinggi. Dan ketika roda produksi tidak dijalankan, maka pasar akan bermasalah, masyarakat akan kebingungan, harga akan kacau, dan akhirnya masyarakat menderita, dan pajak tidak lagi bisa diambil oleh pemerintah.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
15
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Daftar Pustaka Ali, Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal Usul Sosiologi, Yayasan Nida, Yogyakarta, 1970. At-Tanji, Tawit, Muhammad Ibn, Autobiography Ibnu Khaldun, yang dikutip dalam bukunya At Ta‟rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan. Cairo, 1951. Bouthoul, Gaston, Teori-Teori Filsafat Sosial Ibnu Khaldun, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1998. Brotodihardjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung, 1982. Chapra, M Umar, Islam and The Economic Challenge, The Islamic Foundation and The International Institute of Islamic Though, USA, 1416H/1995 M, Edisi terj. Oleh Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani Press & Tazkia Institute, Jakarta, 2000. Devas, dkk, Keuangan Pemerintahan Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1989. Fuad, Baali dan Wardi, Ali, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikirannya, Alih Bahasa Ahmadie Thata, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989. Gazalba, Sidi, Islam dan Perubahan Sosiobudaya. Pustaka Alhusna, Jakarta, 1983. Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Judisseno, Rimsky, Pajak dan Strategi Bisnis, Gramedia, Jakarta, 1997. Karim, Adiwarman Aswar, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2004. Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, Terj. Ahmadie Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.
ISSN : 2477 - 3131
Kudairi, Zainab, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Pustaka, Bandung, 1987. Mardiasmo, Perpajakan, Andi Offset, Yogyakarta, 1987. Munawir, H.s., Pengantar Ilmu Pajak, Eresco, Bandung, 2000. Mujahidin, Akhmad, Wewenang Hisbah Dalam Transaksi Perdagangan, Pekanbaru, Suska Press, 2007. Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, Granit Jakarta, 2005. Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat Dan Negara, Bulan Bintang, Jakarta, 1965. Safi’i, Ahmad, Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan Timur, Gema Issani Press, Jakarta, 1996. Sari, Diana, Konsep Dasar Perpajakan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2013. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1993. Soemitro, Rochmat, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Refika Aditama, Cet. II, 1988. Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003. Suandi,Erly, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000. Tjokrowinoto, Moeljarto, Pembangunan Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Waluyo, dan Ilyas. B.,Wiraman, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2000. Wibawa, Samodra, Evaluasi Kebijakan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. Yustika, Ahmad Erani, Perekonomian Indonesia: Deskripsi, Preskripsi, Kebijakan, Bayumedia, Malang, 2003. Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
16
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibn Khaldun, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
17
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
18