43
3. KERANGKA TEORI Teori Keuangan Publik Konsep Keuangan Publik Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas keuangan pemerintah serta proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Setiap keputusan yang diambil akan berpengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumahtangga, dan swasta. Keuangan publik mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah serta menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pemerintah pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi. Musgrave (1959) menyatakan fungsi keuangan pemerintah adalah menetapkan anggaran keuangan publik meliputi: (1) keputusan alokasi (layanan apa yang akan disediakan); (2) keputusan distribusi (siapa yang mendapat manfaat dan menanggung bebannya); dan (3) keputusan stabilisasi (berapa tingkat pendapatan dan harga-harga yang dapat diterima). Keputusan alokasi terkait erat dengan kewenangan utama pemerintah menyangkut alokasi sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat terutama barang publik yang nilainya relatif besar tetapi tidak disediakan oleh swasta. Keputusan distribusi adalah peran pemerintah dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi (pendapatan) kepada seluruh masyarakat untuk menjamin bahwa seluruh golongan masyarakat dapat mengakses sumber ekonomi dan mendapatkan penghasilan yang layak. Oleh karena itu, keputusan distribusi terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat secara proporsional dalam rangka mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi yang optimal. Keputusan stabilisasi merupakan peran pemerintah untuk menjamin dan menjaga stabilitas perekonomian secara makro misalnya mengendalikan laju inflasi, keseimbangan neraca pembayaran, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, fungsi ini terkait erat dengan variabel-variabel ekonomi makro dan berbagai instrumen kebijakan fiskal dan moneter. Dalam konteks pembangunan desentralisasi, pemerintah daerah lebih berperan pada keputusan alokasi dan keputusan distribusi. Menurut Rosen (1999), keuangan publik adalah aktivitas pemerintah terkait perpajakan dan belanja pemerintah yang membahas: 1. Government expenditure atau pengeluaran pemerintah 2. Government revenues and taxes atau sumber-sumber penerimaan pemerintah dengan pajak sebagai sumber penerimaan terpenting 3. Government borrowing and indebtedness atau pinjaman pemerintah dan perlunasannya 4. Fiscal administration and fiscal technique atau administrasi fiskal dan teknis fiskal yang membahas hukum dan tata usaha keuangan negara 5. Intergovernment fiscal relationship atau perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah 6. Fiscal policy atau kebijakan fiskal yang mempelajari peran dan pengaruh keuangan pemerintah pada pendapatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, harga-harga, dan efisiensi alokasi sumber daya.
44
Sebagai suatu studi ilmu, keuangan publik dibedakan menjadi keuangan publik positif (positive public finance) dan keuangan publik normatif (normative public finance) (Stiglitz, 2000). Positive public finance adalah studi tentang fakta, keadaan, dan hubungan antar variabel yang berkenaan dengan usaha pemerintah dalam mencari dana dan menggunakan dana tersebut misalnya bagaimana sistem perpajakan dan struktur perpajakan dewasa ini, menelaah keadaan dan sistem anggaran, dan sebagainya. Dengan demikian, studi positive public finance adalah studi yang menggambarkan, menjelaskan, dan meramalkan tentang apa yang terjadi dalam keuangan publik. Sedangkan, normative public finance adalah studi keuangan publik mengenai etika dan nilai pandang (value judgment) yaitu bagaimana kegiatan keuangan negara, perpajakan, pengeluaran, dan pinjaman pemerintah dapat menciptakan efisiensi alokasi sumber daya, stabilisasi ekonomi makro, pemerataan distribusi pendapatan, dan sebagainya. Dengan demikian, studi normative public finance lebih fokus pada permasalahan kebijakan keuangan negara (fiscal policy) (Kadmasasmita, 2014). Manajemen Keuangan Publik Manajemen keuangan publik adalah semua kegiatan/upaya/aktivitas yang dilakukan pemerintah dalam mengelola semua urusan pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas finansial pemerintahan mulai dari pengelolaan penerimaan, pengeluaran, dan kebijakan mengadakan pembiayaan. Manajemen keuangan publik dituangkan dalam bentuk anggaran keuangan publik. Menurut Mardiasmo (2002), anggaran keuangan publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan dana publik. Anggaran keuangan publik berisi rencana kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter (Bastian, 2006). Anggaran keuangan publik dapat didefinisikan dalam dua pengertian, yaitu: (1) perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan pada periode yang akan datang; dan (2) rencana penjatahan sumber daya yang dinyatakan dalam angka (biasanya satuan uang). Dengan demikian, penganggaran keuangan publik adalah proses pelaksanaan program-program dalam bentuk pendapatan dan belanja dalam satuan moneter yang didanai dengan uang masyarakat. Artinya, anggaran keuangan publik dibuat untuk menentukan tingkat kebutuhan masyarakat yang menjamin kesejahteraan masyarakat. Ada dua jenis anggaran keuangan publik sesuai tingkat pemerintahan yaitu: (1) anggaran negara (APBN) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR; dan (2) anggaran daerah (APBD) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh DPRD. Menurut Mardiasmo (2002), anggaran keuangan publik berfungsi sebagai: 1. Alat perencana (planning tool) Bertujuan untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut. 2. Alat pengendali (control tool) Bertujuan untuk menyusun rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
45
3.
Alat kebijakan fiskal (fiscal tool) Bertujuan menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran publik dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah sehingga dapat ekonomi dapat diprediksi dan diestimasi dengan mendorong, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. 4. Alat politik (political tool) Bertujuan untuk memutuskan prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Pada sektor publik, anggaran keuangan publik merupakan dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. 5. Alat koordinasi dan komunikasi (coordination and communication tool) Merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan karena setiap unit kerja dalam pemerintahan terlibat dalam proses penyusunan anggaran 6. Alat penilaian kinerja (performance measurement tool) Merupakan wujud komitmen dari budget holder (eksekutif) kepada pemberi wewenang (legislatif). 7. Alat motivasi (motivation tool) Digunakan untuk para manajer dan stafnya agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. 8. Alat menciptakan ruang publik (public sphere) Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan secara bersama-sama terlibat dalam proses penganggaran publik. Pada dasarnya, anggaran keuangan publik terdiri dari anggaran operasional dan anggaran modal. Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan. Pengeluaran pemerintah yang dapat dikategorikan anggaran operasional adalah belanja rutin (recurrent expenditure). Belanja rutin adalah pengeluran pemerintah yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi pemerintah. Secara umum, pengeluaran pemerintah yang termasuk anggaran operasional antara lain: belanja administrasi umum serta belanja operasi dan pemeliharaan. Sedangkan, anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Pengeluaran modal yang besar biasanya dilakukan menggunakan pinjaman. Belanja investasi atau modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah yang selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Penyusunan anggaran keuangan publik meliputi empat tahap, yaitu: 1. Tahap persiapan anggaran Menentukan estimasi pengeluaran berdasarkan estimasi pendapatan yang tersedia. Oleh karena itu, sebelum menyetujui estimasi pengeluaran hendaknya terlebih dahulu dilakukan estimasi pendapatan secara akurat. 2. Tahap ratifikasi Melibatkan proses politik yang cukup rumit dan berat karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan
46
memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan dan bantahan dari pihak legislatif. Oleh karena itu, pimpinan eksekutif harus mempunyai political skill, salesmanship, dan coalition building yang memadai. 3. Tahap implementasi Pelaksanaan anggaran setelah anggaran tersebut disetujui oleh legislatif. Pada tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah ketersediaan sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. 4. Tahap pelaporan dan evaluasi. Tterkait dengan aspek akuntabilitas. Tahap ini akan berjalan dengan baik dan tidak menemui banyak masalah apabila tahap implementasi didukung sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik. Dalam PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajibah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Dengan demikian, pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Keuangan daerah dituangkan dalam APBD yaitu rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Ruang lingkup keuangan daerah meliputi: 1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman 2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga 3. Penerimaan daerah 4. Pengeluaran daerah 5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah 6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum. Teori Kebijakan Fiskal Dampak Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang bertujuan mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dalam jangka pendek, pengaruh kebijakan fiskal dapat terjadi pada sisi permintaan agregat yang dikenal dengan istilah Keynesian shortrun effect. Dalam jangka panjang, pengaruh kebjiakan fiskal dapat terjadi pada sisi penawaran agregat melalui peningkatan kapasitas perekonomian yang dikenal dengan istilah classical long-run effect. Secara umum, aliran Keynesian dianggap valid pada jangka pendek dimana harga-harga bersifat tetap (given) serta output dan tenaga kerja tergantung pada permintaan. Para pendukung aliran ini percaya bahwa pajak yang rendah dan pengeluran pemerintah yang tinggi akan memberi
47
dampak positif pada perekonomian. Sebaliknya, aliran klasik berpendapat pada jangka panjang hal tersebut tidak akan berkelanjutan karena harga-harga akan menyesuaikan serta output dan tenaga kerja berada pada tingkat potensialnya. Pendekatan Keynesian dilakukan dengan analisis teoritis, sedangkan pendekatan klasik dilakukan dengan analisis empiris jangka panjang. Analisis teoritis dalam menjelaskan dampak kebijakan fiskal jangka pendek dengan pendekatan Keynesian mengacu pada neraca nasional yang menunjukkan bahwa komponen PDB yaitu konsumsi, investasi, dan ekspor neto dapat dibagi menjadi beberapa sub komponen yang umumnya merupakan indikator kebijakan fiskal. Indikator-indikator fiskal tersebut saling terkait dan berdampak langsung pada indikator-indikator makroekonomi, seperti konsumsi swasta, keseimbangan transaksi berjalan (current account balance), dan PDB. Sedangkan pada jangka panjang ada banyak faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi antara lain kualitas modal manusia, tingkat harga, posisi perekonomian awal, dan perkembangan teknologi (Kukk, 2008). Hal ini didasari pada kenyataan peristiwa di satu periode akan memberi konsekuensi pada periode berikutnya sehingga semakin panjang periode maka semakin rumit analisis hubungan antar kejadian di satu periode jangka pendek. Karena tidak ada model teoritis yang secara sempurna menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi maka untuk mengetahui peran kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang digunakan pendekatan empiris. Kebijakan fiskal meliputi pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak. Teori peran kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek menunjukkan bahwa pengaruh perubahan kedua instrumen tersebut pada output tergantung masing-masing efek pengganda (multiplier effect). Analisis dengan pendekatan Keynesian dalam model IS-LM yang diilustrasikan pada Gambar 22 menunjukkan berkurangnya pajak ΔT menggeser kurva IS ke kanan sehingga titik ekuilibrium bergerak dari A ke B dan output naik dari Y 1 ke Y 2 dimana perubahannya tergantung efek pengganda pajak (tax multiplier effect) yaitu: (3.1) dimana, ΔY : perubahan output ΔT : perubahan pajak MPC : Marginal Propensity to Consume; 0 < MPC < 1 -MPC/(1-MPC) : tax multiplier effect
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 22. Dampak Penurunan Pajak terhadap Output
48
Persamaan (3.1) memberi implikasi peningkatan pajak akan menurunkan output karena tax multiplier effect bernilai negatif, sebaliknya penurunan pajak akan meningkatkan output. Di sisi lain, peningkatan pajak akan menambah sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai belanja pemerintah. Gambar 23 menunjukkan kenaikan belanja pemerintah sebesar ΔG akan menggeser kurva IS ke kanan sebesar jumlah tersebut sehingga titik ekuilibrium bergerak dari A ke B dan output naik dari Y 1 ke Y 2 . Besar kecilnya perubahan output aktual tersebut tergantung pada efek pengganda pengeluaran pemerintah (government spending multiplier effect) yaitu: (3.2) dimana, ΔY : perubahan output ΔG : perubahan belanja pemerintah MPC : Marginal Propensity to Consume; 0 < MPC < 1 1/(1-MPC) : government spending multiplier effect Persamaan (3.2) memberi implikasi bahwa peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan output karena government spending multiplier effect bernilai positif. Sebaliknya, penurunan pengeluaran pemerintah akan menurunkan output.
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 23. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Output Kedua persamaan di atas menunjukkan pengganda pajak (tax multiplier) merupakan hasil kali MPC dengan pengganda pengeluaran (government spending multiplier). Namun, karena MPC positif dan keruang dari satu maka pengganda pajak lebih kecil daripada pengganda pengeluaran. Menurut Samuelson dan Nordhaus (1997) hal ini disebabkan sebagian dari pajak yang berkurang tersebut ditabung. Artinya, jika pemerintah menurunkan pajak 1 US$ maka hanya sebagian dari 1 US$ tersebut dibelanjakan oleh rumahtangga. Sedangkan, jika pemerintah membelanjakan 1 US$ maka seluruhnya dibelanjakan langsung untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Ini berarati, meskipun keduanya meningkatkan output tetapi peningkatan karena kenaikan belanja pemerintah akan lebih besar daripada peningkatan karena turunnya pajak. Dengan demikian, jika tambahan penerimaan pemerintah dari kenaikan pajak seluruhnya digunakan untuk belanja pemerintah maka output akan meningkat lebih besar dibandingkan turunnya output karena kenaikan pajak tersebut. Artinya, jika tambahan penerimaan dari pajak digunakan untuk membiayai belanja pemerintah secara efektif maka output akan meningkat.
49
Dalam jangka panjang, ada banyak faktor yang saling terkait dan bervariasi dari waktu ke waktu yang harus diperhitungkan dalam menjelaskan perubahan ekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak hanya faktor-faktor ekonomi tetapi juga faktor-faktor sosial, budaya, lingkungan, geografis, dan sebagainya. Semakin panjang periode semakin rumit analisis hubungan antara peristiwa-peristiwa ekonomi di suatu periode dengan periode-periode sebelum dan sesudahnya. Karena tidak ada model teoritis yang secara sempurna dapat menjelaskan hal itu maka diperlukan pendekatan empiris untuk mengetahui pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hasil penelitian Kukk (2008) terhadap data panel 52 negara meliputi negara maju, negara transisi, dan negara berkembang justru menunjukkan penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak langsung, pajak tidak langsung, dan hibah berpengaruh positif pada pertumbuhan PDB riil. Hal ini berbeda dengan pendapat Keynesian dimana pajak yang lebih rendah berdampak positif pada perekonomian jangka pendek. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah untuk pegawai, konsumsi, dan bantuan-bantuan sosial berpengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi, kecuali pengeluaran untuk investasi memberi pengaruh positif. Hal ini juga bertentangan dengan pendapat Keynesian dimana pengeluaran pemerintah yang lebih besar berdampak positif pada perekonomian jangka pendek. Selain itu, faktor-faktor lain seperti investasi swasta juga memberi pengaruh positif pada pertumbuhan. Dengan demikian, temuan dari penelitian tersebut adalah pada jangka panjang pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan bukan pajak, pengeluaran pemerintah untuk investasi, dan investasi swasta. Jika dikaitkan dengan fokus penelitian ini mengenai peran kapasitas fiskal dalam mengentaskan kemiskinan melalui efek pertumbuhan, maka cukup beralasan jika pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas fiskal terutama dari sumber-sumber pajak daerah dan bagi hasil pajak untuk memperoleh efek positif pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Terkait fungsi anggaran keuangan publik sebagai alat kebijakan fiskal, anggaran keuangan publik bertujuan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana peran kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran keuangan publik. Menurut Tanzi (2004), para pembuat kebijakan diasumsikan hanya mengatur anggaran keuangan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial atau kepentingan umum masyarakat. Tingkat kesejahteraan sosial dapat diindikasikan oleh beberapa indikator ekonomi dan sosial. Indikator ekonomi tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan tenaga kerja, pertumbuhan produktivitas, tingkat inflasi, distribusi pendapatan, dan tingkat pengangguran. Sedangkan, indikator sosial antara lain angka harapan hidup, insiden kriminalitas, angka melek huruf, kualitas lingkungan fisik, dan insiden kesakitan. Para pembuat kebijakan yang bertanggung jawab terhadap kebijakan ekonomi akan fokus pada indikator-indikator ekonomi, sehingga mereka memiliki persepsi bahwa indikator-indikator ekonomi tersebut mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dapat dinyatakan sebagai berikut: W = f(y 1 , y2 , …, y n ) dimana, W : tingkat kesejahteraan y i : indikator ekonomi ke-i
(3.3)
50
Para pembuat kebijakan meyakini bahwa indikator-indikator ekonomi dipengaruhi oleh perubahan instrumen-instrumen kebijakan tertentu. Dengan demikian, masing-masing indikator ekonomi merupakan fungsi dari berbagai instrumen kebijakan, yang dapat dinyatakan sebagai berikut: yi = f(x 1 , x 2 , …, x j )
(3.4)
dimana, y i : indikator ekonomi ke-i x j : kebijakan ekonomi ke-j Seringkali, suatu instrumen x j sangat efisien dalam mempengaruhi suatu indikator spesifik yi . Dalam konteks ini, efisiensi adalah perubahan suatu instrumen sebesar ∆x diperlukan untuk mengubah suatu indikator sebesar ∆y. Jika perubahan instrumen yang kecil dapat menghasilkan perubahan indikator yang signifikan maka instrumen tersebut dipandang efisien terhadap indikator tersebut. Dengan demikian, jika instrumen-instrumen yang efisien tersebut ada maka kebijakan untuk mendorong tujuan-tujuan ekonomi akan menjadi lebih mudah. Contoh-contoh instrumen kebijakan antara lain: (1) berbagai jenis pajak; (2) corak pajak seperti pemotongan pajak dan tingkat pajak; (3) berbagai jenis pengeluaran; dan (4) corak pengeluaran. Sedangkan, instrumen-instrumen ekonomi non-fiskal yang juga mempengaruhi indikator-indikator sosial ekonomi antara lain: (1) nilai tukar; (2) suku bunga; dan (3) regulasi. Desentralisasi Fiskal Peran penting keuangan daerah muncul dalam konteks desentralisasi fiskal. Oates (1972) dalam teori desentralisasi berpendapat barang publik seharusnya disediakan oleh yurisdiksi geografis – dalam hal ini pemerintah daerah - yang menginternalisasi persediaan barang publik serta mencakup kebutuhan konsumsi seluruh penduduk. Dua faktor utama yang mendukung desentralisasi adalah: (1) umumnya pemerintah pusat lebih fokus pada manajemen kebijakan-kebijakan makro ekonomi dan mempertahankan stabilitas politik nasional sehingga kurang memperhatikan persediaan kebutuhan layanan sipil kecuali jika melibatkan investasi padat modal dalam skala besar (Rondinelli, 1990) ; (2) Desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah akan meningkatkan efisiensi persediaan berbagai layanan publik karena tingkat pemerintahan yang lebih rendah lebih fokus pada hal tersebut. Cheema dan Rondinelli (1983) mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan dan/atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi pusat di daerah, unit administrasi lokal, organisasi semi otonomi dan perusahaan, pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah. Perbedaan konsep desentralisasi terutama ditentukan berdasarkan tingkat kewenangan perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang ditransfer oleh pemerintah pusat, dan besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Ada empat dimensi desentralisasi, yaitu: (1) desentralisasi politik; (2) desentralisasi administrasi; (3) desentralisasi fiskal; dan (4) desentralisasi ekonomi dan pasar. Desentralisasi politik adalah suatu mekanisme dimana pemerintah pusat memberi kekuasaannya kepada pemerintah
51
daerah yang dikenal dengan istilah otonomi daerah yang bertujuan meningkatkan kekuasaan kepada penduduk dan perwakilan politik mereka dalam membuat keputusan publik. Desentralisasi administratif adalah penyerahan wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bertujuan untuk memperbaiki efisiensi manajemen dalam menyediakan layanan publik. Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah yang bertujuan memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan penerimaan dan pengeluaran yang rasional. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diterapkan melalui pengaturan kembali terhadap instrumen-instrumen pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah, dan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan. Desentralisasi ekonomi dan pasar bertujuan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi dunia usaha dan menyediakan barang dan jasa sesuai respon terhadap kebutuhan lokal dan mekanisme pasar. Sebagai bagian dari desentralisasi, desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai devolusi (pengalihan) kekuasaan perpajakan dan pengeluaran pemerintah kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (Fukasaku dan de Mello Jr., 1999). Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional atau pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan (revenue assignments), dan perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas, desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan yang lebih rendah. Berbagai kajian dampak desentralisasi terhadap perekonomian dijelaskan dengan teori federalisme fiskal yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya untuk barang dan jasa publik tertentu seperti barang publik daerah karena: (1) pemerintah daerah dapat lebih baik jika dikelola menurut daerah dan letak geografisnya; (2) pemerintah daerah memiliki posisi lebih baik untuk mengenali preferensi dan kebutuhan daerah; dan (3) tekanan dari persaingan yurisdiksi yang mendorong pemerintah daerah untuk menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga dan penduduknya (Oates, 1972). Teori federalisme fiskal Musgrave (1959) dan Oates (1972) tersebut lebih menekankan pentingnya pengalihan tugas penerimaan dan pengeluaran melalui revenue assignments dan expenditure assignments antar tingkat pemerintahan sehingga desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah berwenang membuat peraturan ekonomi lokal maka campur tangan pemerintah pusat harus dibatasi. Untuk menyelaraskan kepentingan pemerintah daerah dan kemakmuran ekonomi daerah, teori federalisme fiskal mengacu pada dua mekanisme yaitu interaksi horizontal antar pemerintah daerah dan interaksi vertikal antar tingkat pemerintahan. Interaksi horizontal terjadi melalui mekanisme persaingan antar pemerintah daerah dalam menyediakan permintaan pasar yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Interaksi vertikal terjadi melalui mekanisme keterkaitan penerimaan dan pengeluaran daerah yang erat dimana transfer yang besar dari pemerintah pusat akan menimbulkan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dengan demikian, menurut teori ini keterkaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi pasar.
52
Pengaruh Transfer Fiskal dan Flypaper Effect Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah transfer fiskal antar tingkatan pemerintah (intergovenmental fiscal tranfers). Pengaruh transfer fiskal pada kinerja fiskal pemerintah dareah dapat dijelaskan dengan teori perilaku konsumen menggunakan format kendala anggaran dan kurva indeferens yang dipelopori oleh Wilde (1968). Pada Gambar 24 kurva indeferens U 0 , U 1 , dan U 2 menggambarkan preferensi masyarakat dengan kendala anggaran pendapatan yang digambarkan dengan garis “Y” dan “Y+Grant” dimana masyarakat dianggap berperilaku rasional memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Transfer bersyarat (conditional transfer) sebesar “Grant” akan memutar garis anggaran ke atas dari “Y” menjadi “Y+Grant” sehingga garis anggaran yang baru lebih datar. Konsekuensinya adalah konsumsi barang publik meningkat dari Z 0 menjadi Z 1 . Sementara, pengaruh transfer bersyarat pada konsumsi barang publik tergantung pada elastisitas silangnya. Harga barang publik yang lebih rendah akan meningkatkan konsumsi barang privat jika pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak, sehingga konsumsi barang privat meningkat dari X 1 menjadi X 2 . Dengan demikian, kenaikan transfer sebagian mengakibatkan kenaikan konsumsi barang publik dan sebagian lagi mengakibatkan kenaikan konsumsi barang privat secara tidak langsung melalui turunnya tarif pajak.
Sumber: Kuncoro (2004)
Gambar 24. Pengaruh Transfer Bersyarat (Conditional Transfer) Dengan pendekatan yang sama, bantuan tidak bersyarat (unconditional transfer) sebesar “Grant” akan menggeser garis anggaran ke atas dari “Y” ke “Y+Grant” (Gambar 25). Dengan asumsi barang publik adalah barang normal, transfer fiskal yang bersifat umum (lump-sum) akan meningkatkan keseimbangan konsumen dari E 0 pada kurva indiferens U 0 menjadi E M pada kurva indiferens U 1 . Pada titik keseimbangan baru, konsumsi barang publik meningkat dari Z 0 ke Z 1 dan konsumsi barang privat meningkat dari X 0 ke X 1 . Dengan sifatnya yang tidak bersyarat, tekanan fiskal pada basis pajak lokal menurun sehingga penerimaan pajak turun sebesar -∆TR. Sementara pengeluaran untuk konsumsi barang publik tetap meningkat akibat meningkatnya pendapatan pemerintah dari unconditional transfer tersebut. Hal ini berarti transfer fiskal mengurangi beban
53
pajak masyarakat sehingga pemerintah daerah tidak perlu meningkatkan pajak untuk menyediakan barang publik. Dengan perkataan lain, anggaran transfer dari pemerintah pusat merupakan substitusi pajak daerah. Namun, banyak ahli ekonomi mengamati munculnya anomali transfer fiskal tidak bersyarat dimana transfer tidak menjadi substituti pajak daerah (Gramlich, 1977). Pada Gambar ditunjukkan keseimbangan masyarakat setelah menerima transfer bukan di titik E M melainkan di titik E FP dimana konsumsi barang publik meningkat dari Z 0 ke Z 2 dan konsumsi barang privat berkurang dari X 0 ke X 2 . Artinya, belanja publik meningkat lebih besar dari titik keseimbangan awal sedangkan belanja privat lebih rendah. Berkurangnya konsumsi barang privat disebabkan naiknya pajak daerah sebesar ΔTR. Dengan perkataan lain, transfer tidak bersyarat akan meningkatkan belanja publik tetapi tidak menjadi substitusi bagi pajak daerah. Dalam berbagai literatur, kondisi ini disebut flypaper effect. Fenomena flypaper effect akan berimplikasi pada meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang melebihi penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull, 1998).
Sumber: Kuncoro (2004)
Gambar 25. Pengaruh Transfer Tidak Bersyarat (Unconditional Transfer) Istilah flypaper effect muncul dari pemikiran Arthur Okun yaitu “money sticks where it hits” (Hines dan Thaler, 1995). Hal ini terjadi karena transfer fiskal ke sektor publik tetap berada di sektor tersebut dan tidak didistribusikan ke sektor swasta dalam bentuk pajak yang lebih rendah. Sampai saat ini, belum ada padanan kata flypaper effect dalam bahasa Indonesia sehingga studi-studi terkait flypaper effect di Indonesia menggunakan istilah ini apa adanya tanpa diterjemahkan. Ada dua teori utama yang mendasari kajian-kajian mengenai penyebab flypaper effect, yaitu ilusi fiskal (fiscal illusion) dan model birokratik (bureaucratic model) (Saruc dan Sagbas, 2008). Teori ilusi fiskal didasari pada pemikiran bahwa masyarakat memiliki keterbatasan informasi mengenai anggaran pemerintah daerahnya. Teori ilusi fiskal yang dikemukakan Oates (1999) menjelaskan flypaper effect terjadi karena masyarakat tidak memahami bahwa biaya penyediaan barang publik yang turun adalah biaya rata-rata atau biaya marjinal. Namun, masyarakat hanya tahu bahwa harga barang publik akan turun jika pemerintah daerah menerima transfer fiskal. Jika permintaan barang publik tidak elastis maka transfer menyebabkan
54
kenaikan pajak. Artinya, flypaper effect terjadi karena ketidaktahuan masyarakat terhadap anggaran pemerintah daerah. Sedangkan model birokratik didasari pada pemikiran bahwa birokrat memiliki kekuasaan penuh dalam mengambil keputusan publik. Pada model birokratik yang dipelopori Niskanen (1968) flypaper effect terjadi akibat perilaku memaksimalkan anggaran oleh birokrat daerah atau politisi lokal yang lebih mudah dengan cara menghabiskan transfer dari pada menaikkan pajak. Hal ini disebabkan birokrat memaksimalkan anggaran untuk menyediakan barang publik sehingga biaya rata-rata barang publik sama dengan harganya. Tetapi, ketika biaya marjinalnya lebih tinggi dari harganya maka kuantitas barang publik menjadi terlalu banyak. Dengan demikian, transfer akan menurunkan harga barang publik sehingga memicu birokrat untuk membelanjakan lebih banyak anggaran. Dengan perkataan lain, pada model birokratik, flypaper effect terjadi karena perilaku birokrat yang lebih leluasa membelanjakan transfer dari pada menaikkan pajak. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang meningkatkan produksi barang dan jasa sebagai akibat meningkatnya faktor-faktor produksi dalam kuantitas dan kualitas. Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari perubahan sisi penawaran atau aggregate supply (AS) dan perubahan sisi permintaan atau aggregate demand (AD). Penelitian ini menggunakan pendekatan produksi sektoral sehingga kajian teori hanya dibatasi pada pertumbuhan ekonomi sisi penawaran. Untuk itu, perlu diketahui faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan penawaran sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi. Menurut Dornbusch, et al. (2008), pertumbuhan ekonomi terkait dengan pertumbuhan input (tenaga kerja dan modal) dan perbaikan teknologi yang dapat melekat pada tenaga kerja dan modal. Output dapat tumbuh karena kenaikan input dan produktivitas yang disebabkan oleh perbaikan teknologi. Dengan demikian, teori pertumbuhan ekonomi adalah penjelasan logis mengenai proses terjadinya pertumbuhan yang melibatkan dua hal, yaitu: (1) faktor-faktor yang menentukan kenaikan output; dan (2) bagaimana interaksi antar faktor tersebut sehingga terjadi pertumbuhan. Ada dua periode dimana studi tentang teori pertumbuhan dilakukan secara intensif, yaitu tahun 1950an–1960an dan tahun 1980an–1990an. Periode pertama menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik yang dipelopori Robert Solow yang fokus pada akumulasi modal dan peran teknologi. Sedangkan, periode kedua menghasilkan teori pertumbuhan endogen yang fokus pada determinan teknologi. Model Pertumbuhan Solow Model pertumbuhan Solow adalah model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang sangat populer. Model ini menekankan proses pertumbuhan ekonomi pada sisi penawaran yang merupakan proses peningkatan output per kapita dalam jangka panjang sebagai hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan fungsi produksi agregat yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Dornbusch, et al., 2008): Y = A.F(K, N) dimana,
(3.5)
55
Y : output K : modal N : tenaga kerja A : teknologi Model pertumbuhan Solow diawali dengan asumsi sederhana yaitu tidak ada perbaikan teknologi sehingga perekonomian akan mencapai tingkat output dan modal jangka panjang yang disebut steady-state equilibrium (keseimbangan yang mapan). Kondisi steady-state equilibrium tercapai ketika pendapatan per kapita (Y/N = y) dan modal per kapita (K/N = k) stabil atau konstan yaitu tidak ada lagi variabel ekonomi per kapita yang berubah (Δy = 0 dan Δk = 0). Ilustrasi pada Gambar 26 menunjukkan kondisi steady-state equilibrium yang dilambangkan oleh y* dan k*. Kondisi steady-state equilibrium dapat dicapai ketika tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang. Artinya, investasi yang dibutuhkan untuk menambah modal bagi tenaga kerja baru dan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah usang sama dengan jumlah tabungan. Implikasinya adalah : (1) jika tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan ouput per kapita (y) meningkat; (2) jika tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan output per kapita (y) berkurang.
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 26. Model Pertumbuhan Solow: Output dan Investasi Asumsi lainnya adalah fungsi produksi Constant Returns to Scale (CRS) yaitu y = f(k) dimana k adalah modal per kapita. Asumsi CRS berimplikasi pada produk marjinal modal (MPK) yang berkurang (diminishing positive marginal product of capital). Ini berarti penambahan modal per kapita akan meningkatkan output per kapita dengan laju yang menurun. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan contoh sederhana yang memenuhi asumsi ini, yaitu: Y = AKθN1-θ
(3.6)
Fungsi produksi per kapitanya adalah: y = Y/N = AKθN1-θ/N = AKθN-θ/N = A(K/N)θ = Akθ
(3.7)
56
Investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita (k) pada tingkat tertentu tergantung pada pertumbuhan populasi n (= ΔN/N) dan tingkat depresiasi d. Dengan asumsi n dan d konstan,investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita sebesar k adalah I = (n+d)k. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa tidak ada sektor pemerintahan dan perdagangan luar negeri atau arus modal dan tabungan adalah bagian konstan dari pendapatan (s) maka tabungan per kapita adalah sy. Karena pendapatan sama dengan produksi maka: sy = sf(k)
(3.8)
Perubahan modal per kapita (Δk) adalah kelebihan tabungan yang melebihi investasi yang dibutuhkan yaitu: Δk = sy – (n+d)k
(3.9)
Selanjutnya, kondisi steady-state (Δk = 0) terjadi pada y* dan k* yang memenuhi: sy* = sf(k*) = (n+d)k*
(3.10)
Solusi steady-state pada Gambar 26 menunjukkan bahwa kurva sy adalah tingkat tabungan di setiap rasio modal per tenaga kerja. Garis lurus (n+d)k adalah investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan rasio modal per tenaga kerja (k) agar konstan dengan memasok mesin-mesin sebagai pengganti mesin yang usang atau sebagai tambahan modal bagi tenaga kerja baru. Perpotongan kurva dan garis tersebut di titik C menunjukkan tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang dengan steady-state modal sebesar k*. Sementara steady-state pendapatan terletak pada fungsi produksi di titik D. Pada gambar tersebut ditunjukkan ketika sy melebihi investasi yang dibutuhkan (sy > (n+d)k) maka k akan meningkat dan perekonomian bergerak ke kanan. Sebagai contoh, ketika perekonomian diawali pada k 0
Namun, model Solow menunjukkan bahwa pada jangka panjang tabungan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan yang terjadi karena jika pendapatan per kapita (y) konstan maka pendapatan agregat (Y) akan tumbuh pada tingkat yang sama dengan tingkat pertumbuhan penduduk (n). Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 27 menunjukkan bahwa pada jangka pendek kenaikan tingkat tabungan menyebabkan kenaikan tingkat pertumbuhan output. Pada jangka panjang kenaikan tingkat tabungan menyebabkan kenaikan tingkat modal per kapita dan output perkapita sehingga tingkat pertumbuhan tidak berubah. Perekonomian diawali pada steady-state equilibrium di titik C yaitu tabungan sama dengan investasi yang dibutuhkan (sy = (n+d)k). Ketika tabungan naik dari sy ke s maka tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan sehingga modal per kapita naik dari k* ke k** dan output per kapita naik dari y* ke y** yang ditunjukkan pada titik C .
57
Pada titik tersebut kenaikan jumlah tabungan mampu menambah stok modal per kapita sehingga modal per kapita dan output per kapita meningkat. Tetapi, pada titik C perekonomian telah kembali pada tingkat pertumbuhan n dari steady-state nya. Dengan demikian, dengan fungsi produksi CRS kenaikan tingkat tabungan hanya akan menaikkan tingkat output per kapita (y) dan modal per kapita (k) dalam jangka panjang, sementara tingkat pertumbuhan output per kapita tetap.
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 27. Model Pertumbuhan Solow: Peran Tabungan
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 28. Model Pertumbuhan Solow: Peran Teknologi Model pertumbuhan Solow juga menunjukkan peran teknologi sebagai variabel eksogen yang diilustrasikan pada Gambar 28. Pada ulasan sebelumnya, teknologi diasumsikan konstan (ΔA/A = 0). Akan tetapi, teknologi diperlukan untuk menjelaskan teori pertumbuhan jangka panjang. Jika laju pertumbuhan teknologi sebesar g atau ΔA/A = g, maka fungsi produksi y = Af(k) naik sebesar g persen per tahun dan fungsi tabungan sy akan tumbuh secara paralel. Sehingga,
58
pada kondisi seimbang y dan k akan tumbuh sepanjang waktu. Parameter teknologi A dapat masuk ke dalam fungsi produksi melalui dua cara, yaitu: 1. Secara labour augmenting. Dengan cara ini teknologi baru dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, melalui fungsi produksi Y = F(K, AN). Sehingga Δy/y = (θ x Δk/k) + [(1-θ) x ΔA/A] atau g = ΔA/A = [Δy/y – (θ x Δk/k)] / (1-θ). Pada keseimbangan, output per kapita (y) dan modal per kapita (k) tumbuh pada tingkat pertumbuhan teknologi g dimana Y dan K tumbuh pada tingkat pertumbuhan teknologi ditambah tingkat pertumbuhan populasi (g+n). Dalam model ini upah riil juga tumbuh pada tingkat g. 2. Teknologi melipatkgandakan semua faktor melalui fungsi produksi Y = AF(K, N). Komponen A disebut Total Factor Productivity (TFP) karena melipatgandakan semua faktor tidak hanya tenaga kerja. Dengan fungsi produksi tersebut maka g = Δy/y – θΔk/k, yang dikenal juga sebagai Solow Residual. Dengan demikian, esensi model pertumbuhan Solow adalah : 1. Pertumbuhan output adalah fungsi pertumbuhan input terutama modal dan tenaga kerja dimana pengaruhnya tergantung pada proporsi setiap faktor 2. Tenaga kerja adalah input paling penting 3. Tabungan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan jangka panjang 4. Pertumbuhan jangka panjang dihasilkan dari perbaikan teknologi 5. Jika tidak ada perbaikan teknologi maka output per kapita akan konvergen ke nilai steady-state yang secara positif bergantung pada tingkat tabungan dan secara negatif bergantung pada laju pertumbuhan populasi. Model Pertumbuhan Endogen Model pertumbuhan dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas dengan tabungan endogen (A) lebihyang besar dari investasi yang dibutuhkan untuk (1988) dikembangkan untuk pertentangan model pertumbuhan Solow menjaga supaya k konstan (B)menjawab maka modal akan diakumulasi untuk mencapai k* baik secara teoritis maupun empiris yang tidak menjelaskan determinan teknologi yang berhenti pada titik C dimana tabungan sama dengan investasi yang sebagai faktor menentukan pertumbuhan jangka panjang. itu, yang teori dibutuhkan (syyang = (n+d)k). Pada saat investasi aktual dan Selain investasi pertumbuhantersebut Solow telah yangseimbang memprediksikan bahwa ekonomi dan dibutuhkan maka modal per pertumbuhan tenaga kerja (k) tidak naik tingkat tabungan tidak berkorelasi pada kondisi steady-state tidak terbukti karena dan tidak turun yang berarti perekonomian telah mencapai kondisi steady-state. studi-studi empiris dari di beberapa negara menunjukkan adanyanegara-negara korelasi positifdengan antara Implikasi penting model pertumbuhan Solow adalah tingkat tabungan dan pertumbuhan (Dornbusch, et al., 2008). tabungan, tingkat pertumbuhan populasi, dan teknologi yang sama (atau Model pertumbuhan endogen yang menjelaskan determinan pertumbuhan dengan perkataan lain memiliki fungsi produksi yang sama) akan konvergen pada ekonomi jangka panjang berawal dari pendapat bahwa pertumbuhan ekonomi pendapatan yang sama meskipun prosesnya lambat. merupakan hasil sistem ekonomi yang endogen, bukan kekuatan-kekuatan yang datang dari luar atau eksogen. Teori pertumbuhan endogen menekankan pada peluang pertumbuhan yang berbeda dari modal fisik (physical capital) dan modal pengetahuan (knowledge capital). Dengan demikian, model pertumbuhan endogen merupakan perluasan model pertumbuhan Solow dengan menambahkan variabel modal manusia (human capital). Kenaikan investasi pengetahuan merupakan kunci yang menghubungkan tingkat tabungan yang tinggi dengan tingkat pertumbuhan keseimbangan yang tinggi. Teori pertumbuhan endogen bertumpu pada konsep external returns to capital yang besar terutama dari modal manusia khususnya investasi pengetahuan. Karena pengetahuan dapat tumbuh tanpa batas maka investasi modal manusia serta penelitian dan pengembangan merupakan kunci pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
59
Pada model pertumbuhan endogen, perubahan teknologi, suku bunga, dan perubahan jumlah penduduk merupakan variabel-variabel endogen. Sementara, modal berperan lebih besar jika tidak hanya dalam bentuk modal fisik (physical capital) tetapi juga modal pengetahuan (knowledge capital). Secara sederhana, model pertumbuhan endogen dinyatakan dalam fungsi produksi agregat: Y = A.F(K, H, N)
(3.11)
dimana, Y : output K : modal fisik H : modal manusia (akumulasi pendidikan dan kesehatan) N : tenaga kerja A : teknologi
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 29. Model Pertumbuhan Endogen Mekanisme model pertumbuhan endogen pada Gambar 29 menunjukkan fungsi produksi diasumsikan memiliki MPK konstan atau berbentuk garis lurus sehingga kurva tabungan sy secara paralel juga berbentuk garis lurus. Namun, karena tidak ada kecenderungan kurva tabungan menurun maka tingkat tabungan selalu melebihi investasi yang dibutuhkan (sy > (n+d)k). Proses perekonomian yang membawa ke pertumbuhan endogen dapat dijelaskan secara aljabar sederhana yaitu dengan asumsi fungsi produksi constant MPK dan modal adalah satu-satunya faktor produksi maka secara spesifik output proporsional terhadap stok modal atau: Y = aK
(3.12)
Secara sederhana, MPK adalah konstanta a. Dengan asumsi tingkat tabungan konstan (s) dan tidak ada pertumbuhan penduduk maupun depresiasi modal (n = d = 0) maka seluruh tabungan digunakan untuk meningkatkan modal, sehingga: sY = saK
(3.13)
ΔK/K = sa
(3.14)
atau
60
Persamaan (3.14) menunjukkan tingkat pertumbuhan modal (ΔK/K) proporsional terhadap tingkat tabungan (s). Selanjutnya, karena output proporsional terhadap modal maka tingkat pertumbuhan output adalah: ΔY/Y = sa (3.15) Persamaan (3.15) mengindikasikan semakin tinggi tingkat tabungan (s) semakin tinggi tingkat pertumbuhan output (ΔY/Y). Dengan demikian, esensi model pertumbuhan endogen adalah: 1. Pertumbuhan output bergantung pada tingkat perkembangan teknologi 2. Perkembangan teknologi bergantung pada tingkat tabungan khususnya yang diarahkan untuk pengembangan modal manusia (human capital) 3. Tingkat tabungan yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang rendah, orientasi outward looking, dan lingkungan perekonomian yang dapat diprediksi merupakan faktor-faktor penting yang mendukung pertumbuhan. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran disusun berdasarkan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka teori. Kerangka pemikiran penelitian yang disajikan pada Gambar 30 menggambarkan dampak meningkatnya kapasitas fiskal terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Sesuai konsep-konsep keuangan daerah, kapasitas fiskal dapat ditingkatkan melalui sumber-sumber PAD dan bagi hasil pajak. Meningkatnya penerimaan pajak daerah akan meningkatkan PAD, sementara peningkatan penerimaan pajak nasional khususnya dari pajak-pajak penghasilan dan pajak-pajak properti tertentu akan meningkatan penerimaan bagi hasil pajak. Sesuai pendapat aliran klasik, pada jangka panjang peningkatan pajak berdampak positif pada perekonomian. Sementara aliran Keynesian berpendapat bahwa pada jangka pendek peningkatan pengeluaran pemerintah akan berdampak positif pada perekonomian. Kedua pendapat tersebut selanjutnya menjadi dasar kerangka pemikiran penelitian ini. Peningkatan penerimaan daerah dari kapasitas fiskal menambah kemampuan daerah untuk membiayai belanja-belanja daerah. Di sisi lain, kenaikan penerimaan pajak nasional akan meningkatkan penerimaan daerah dari DAU sehingga menambah sumber keuangan daerah. Namun, studi-studi empiris terdahulu menunjukkan adanya fenomena flypaper effect pada DAU dimana belanja daerah lebih responsif terhadap kenaikan DAU dari pada kenaikan pendapatan lokal atau dalam hal ini kapasitas fiskal. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terindikasi tidak pro-poor menjadi alasan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang pelaksanaannya mengutamakan instrumen DAU tidak mengacu pada strategi pertumbuhan propoor. Hal ini menjadi dasar pemikiran penelitian ini yaitu strategi pertumbuhan pro-poor lebih mengandalkan penerimaan daerah dari sumber-sumber lokal yaitu kapasitas fiskal. Belanja daerah yang lebih besar meningkatkan output sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah dalam ukuran perubahan PDRB riil. Output yang lebih besar akan meningkatkan upah riil tenaga kerja sehingga meningkatkan pendapatan rumahtangga. Penggunaan indikator upah riil karena lebih mampu menggambarkan daya beli penduduk sehingga lebih mencermikan tingkat pendapatan penduduk. Pendapatan penduduk yang lebih besar akan meningkatkan daya beli sehingga pengeluaran untuk konsumsi meningkat. Dengan konsep kemiskinan pendapatan (income poverty), pengeluaran per kapita
61
yang lebih besar akan mengurangi jumlah penduduk miskin sehingga tingkat kemiskinan berkurang. Selain itu, pertumbuhan pro-poor memperbaiki distribusi pendapatan sehingga menambah pengaruh meningkatnya pengeluaran per kapita dalam menurunkan kemiskinan. Di sisi lain, meningkatnya PDRB per kapita akan meningkatkan penerimaan negara dari pajak sehingga kemampuan negara untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya ke daerah dalam bentuk DAU meningkat. Tetapi, sesuai formula alokasi DAU dimana PDRB yang lebih besar akan mengurangi DAU sehingga PDRB yang terus meningkat secara bertahap akan menurunkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU. Pajak nasional
Pajak daerah
Bagi hasil pajak
Pendapatan Asli Daerah Kapasitas fiskal
Dana Alokasi Umum Belanja daerah
Flypaper effect
Pro-poor growth strategy
PDRB
Upah Riil Indeks Gini
Pengeluaran perkapita
Kemiskinan Keterangan
Pengaruh langsung Asumsi
Gambar 30. Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis Penelitian 1. 2. 3. 4.
5.
Hipotesis umum yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: Pertumbuhan ekonomi daerah adalah faktor penting dalam meningkatkan kapasitas fiskal. Ada perbedaan perilaku pemerintah daerah dalam mengalokasikan DAU dan kapasitas fiskal untuk membiayai belanja-belanja sektoral. Ketimpangan pendapatan yang lebih rendah menambah peran pertumbuhan ekonomi daerah dalam mengentaskan kemiskinan. Kapasitas fiskal berdampak positif pada pertumbuhan pro-poor daerah yaitu pertumbuhan ekonomi daerah diikuti turunnya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan serta memihak kelompok penduduk miskin pertanian. Kapasitas fiskal dapat mengurangi ketergantungan daerah pada DAU.
62
Halaman ini sengaja dikosongkan