Pain Management
Disusun Oleh : Viva Vianadi 030.08.254
Fakultas Kedokteran Trisakti Tugas Referat Bagian Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo 2013
Pendahuluan
Nyeri merupakan problem yang sering terjadi pada orang yang selalu melakukan aktivitas. Contohnya pada pekerja industri, pekerja yang melakukan gerakan tubuh, seperti tangan, kaki, dan yang lainnya secara berulang tanpa istirahat. Nyeri dapat juga terjadi pada penyakit yang timbul akibat proses penuaan atau degenerasi. Nyeri sangat menggangu aktivitas seseorang yang melibatkan gerakan tersebut, sehingga mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Nyeri tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensai, tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi, dan perilaku, sehingga dalam penanganannya pun memerlukan perhatian yang serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan.
Definisi Nyeri Pengertian nyeri menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
merupakan
pengalaman
sensoris
subyektif
dan
emosional
yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata, atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subjektif, dimana individu mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung berhubungan dengan luka (injury) yang dimulai dari awal masa kehidupannya. Kerusakan jaringan nyata misalnya terjadi pada nyeri akibat luka operasi. Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena penyakit jantung (angina pectoris) dimana timbul nyeri sebagai pertanda akan terjadi kerusakan atau berpotensi rusak pada otot-otot jantung bila tidak ditangani secara benar.
Rangsang Nyeri Rangsangan diterima oleh reseptor nyeri, diubah dalam bentuk impuls yang dihantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah diproses di pusat nyeri, impuls dikembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri. Rangsangan yang diterima oleh reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai faktor dan dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu: -
Rangsang mekanik : nyeri yang disebabkan oleh pengaruh mekanik seperti tekanan, tusukan jarum, irisan pisau, dan lain-lain.
-
Rangsangan termal : nyeri yang disebabkan oleh pengaruh suhu, rata-rata manusia akan merasakan nyeri jika menerima panas di atas 45o , di mana mulai pada suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan.
-
Rangsangan kimia : jaringan yang mengalami kerusakan akan membebaskan zat yang disebut mediator yang dapat berikatan dengan reseptor nyeri, antara lain : bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin, dan prostaglandin. Bradikinin merupakan zat yang paling berperan dalam menimbulkan nyeri karena kerusakan jaringan. Zat kimia lain yang berperan dalam menimbulkan nyeri adalah asam, enzim proteolitik, zat P dan ion K+.
Tipe Nyeri Berdasarkan letaknya, nociceptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatic dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. 1. Berdasarkan sumbernya: a. Cutaneous/superficial Yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar) Ex: terkena ujung pisau atau gunting. b. Deep somatic/nyeri dalam Yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh darah,tendon, dan syaraf. Nyeri menyebar dan lebih lama daripada cutaneous Ex : spain sendi. c. Visceral (pada organ dalam) Stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium, dan thorax. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, atau regangan jaringan. 2. Berdasarkan lokalisasi/letak a. Radiating pain Nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya (ex: cardiac pain). b. Referred pain Nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang diperkirakan berasal dari jaringan penyebab.
c. Interactable pain Nyeri yang sangat susah dihilangkan (ex: nyeri kanker maligna). d. Phantom pain Sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang hilang (contoh: bagian tubuh yang diamputasi) atau bagian tubuh yang lumpuh akibat cedera medulla spinalis. 3.
Berdasarkan penyebab
a. Fisik Bisa karena stimulus fisik (contoh: fraktur femur) b. Psychogenic Terjadi karena sebab yang kurang jelas atau sulit diidentifikasi. Bersumber dari emosi/ psikis dan biasanya tidak disadari (contoh:orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya. Biasanya nyeri terjadi karena perpaduan 2 penyebab tersebut. 4. Menurut serangannya a. Nyeri Akut Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cedera, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Fungsi nyeri ini adalah sebagai peringatan akan adanya cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini kadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut dapat mengancam proses penyembuhan pasien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan.
b. Nyeri Kronis Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri ini biasanya disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut, atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Pasien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat pasien menjadi frustasi dan seringkali mengarah kepada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan tidak aman, karena ia tidak tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik
Nyeri akut 1. Lamanya dalam hitungan menit 2. Ditandai peningkatan tekanan darah, nadi, dan pernapasan. 3. Respon pasien: fokus pada nyeri, bisa sampai menangis dan mengerang
Nyeri kronik 1. Lamanya sampai hitungan bulan, > 6 bulan 2. Fungsi fisiologi bersifat normal. 3. Tidak ada keluhan nyeri. 4. Tidak ada aktivitas fisik sebagai respon terhadap nyeri.
4. Pasien seringkali memegang bagian yang sakit. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk menilai nyeri, yaitu Simple Descriptive Pain Distress Scale, Visual Analog Scale (VAS), Pain Relief Visual Analog Scale, Percent Relief Scale, serta 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale. Di antara kelima metode tersebut, 0 – 10 Numeric Pain Distress scale adalah yang paling sering digunakan. Skala keterangan nyeri 0 : tidak ada nyeri 1 s/d 3 : tipe nyeri ringan 4 s/d 6 : tipe nyeri sedang 7 s/d 9 : tipe nyeri berat 10 : tipe nyeri sangat berat
Reseptor Nyeri Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociceptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociceptor) ada yang bermielin, dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf bebas yang ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke sistem saraf pusat (SSP) melalui dua sistem serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut A delta bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan kecepatan hantaran 0.5-2 m/detik. Serabut A delta berperan dalam menghantarkan “nyeri cepat” dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam, dan terlokalisir. Sedangkan serabut C menghantarkan “nyeri lambat” dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak.
Proses Terjadinya Nyeri Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. 1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri. 2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya 3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa
augmentasi (peningkatan) ataupun
inhibisi
(penghambatan). 4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga
mencapai
tingkat
kesadaran,
selanjutnya
diterjemahkan
dan
ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli akibat kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik kemudian ditransmisikan melalui serabut saraf A delta dan C ke kornu dorsalis medulla spinalis, talamus dan korteks serebri. Kerusakan jaringan akan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediatormediator nyeri. Mediator nyeri antara lain histamin, plasmakinin, prostaglandin dan ionion kalium yang akan merangsang reseptor nyeri lalu dialirkan ke susunan syaraf pusat melalui sumsum tulang belakang ke talamus.
Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak. Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan sebagai kualitas dan kuantitas nyeri setelah mengalami modulasi di sepanjang saraf perifer dan di susunan saraf pusat. Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan sistem syaraf untuk mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, dan elektris menjadi potensial aksi yang dijalarkan ke sistem syaraf pusat.
Sistem inhibisi terhadap nyeri Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi kerana adanya suatu proses modulasi di kornu dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan karena ada suatu sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti: -
Stimulasi serat afferen yang mempunyai diameter besar. Stimulasi serat afferen ini dapat menimbulkan suatu efek berupa aktivasi interneuron inhibisi di kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang dari serat A betha atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
-
Serat inhibisi descendens Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornu dorsalis medulla spinalis,yaitu: 1. Lintasan I : berawal dari nukleus raphe magnus 2. Lintasan II: berawal dari nukleus lokus seruleus 3. Lintasan III: berawal dari nukleus edinger wesphar Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron nociceptor di kolumna dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan ketiga lintasan ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin, dan cholecystokinin. Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya akan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan maka PAG akan mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stress.
-
Betha endorphin
Dihasilkan oleh hipotalamus dan dialirkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa. -
Opioid PAG kaya akan reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornu dorsalis medulla spinalis juga kaya akan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di subtansia gelatinosa.
Pain Management Manajemen rasa sakit (juga disebut obat nyeri atau algiatry) adalah cabang kedokteran
yang
mempekerjakan
pendekatan
interdisipliner
untuk
mengurangi
penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang hidup dengan rasa sakit. Tim manajemen nyeri mencakup praktisi medis, psikolog klinis, ahli fisioterapi, okupasi terapis, perawat praktisi, dan spesialis perawat klinis. Tim dapat juga termasuk spesialis mental kejiwaan lain dan pijat terapis. Rasa sakit kadang dapat diatasi dengan tuntas bila trauma yang mendasari, atau jaringan yang patologis telah sembuh, dan ditangani oleh salah satu praktisi dengan obat-obatan seperti analgesik dan kadang-kadang anxiolytics. Manajemen yang efektif untuk rasa sakit kronis (jangka panjang) memerlukan usaha terkoordinasi dari tim manajemen. Ilmu kedokteran mengobati cedera dan kelainan patologis untuk mendukung dan mempercepat penyembuhan; mengatasi gejala-gejala rasa sakit seperti nyeri untuk meringankan penderitaan selama pengobatan dan penyembuhan. Ketika rasa sakit berlanjut setelah cedera atau kelainan patologis telah diatasi, dan ketika ilmu kedokteran tidak dapat mengidentifikasi penyebab nyeri, maka diberikan obat untuk meringankan penderitaan. Pendekatan pengobatan untuk rasa sakit kronis termasuk langkah-langkah farmakologis, seperti analgesik, tricyclic antidepresan dan antikolvusan, prosedur intervensi, terapi fisik, latihan fisik, aplikasi es dan panas, dan pendekatan psikologis, seperti biofeedback dan terapi perilaku kognitif.
Selama beberapa tahun terakhir,jumlah prosedur intervensi yang tersedia untuk mengatasi rasa sakit telah berkembang. Prosedur intervensi biasanya digunakan untuk sakit punggung kronis, termasuk suntikan epidural steroid, suntikan facet joint, neurolytic blocks, stimulator saraf tulang belakang, dan intrathecal obat sistem pengiriman implan. Farmakologis Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah merekomendasikan tingkatan nyeri untuk mengelola pemberian analgesik. Ini pertama kali dipaparkan untuk digunakan dalam nyeri kanker, tetapi dapat digunakan oleh profesional medis sebagai prinsip umum pemilihan analgesik untuk semua jenis rasa sakit. Dalam pengobatan sakit kronis, apakah itu karena proses jinak maupun ganas, terdapat tiga tingkat pedoman yang tersedia untuk memilih jenis dan meningkatkan jumlah analgesik. Obat-obatan tepat yang disarankan akan bervariasi tergantung pada negara dan pusat perawatan individu. Berikut ini adalah contoh dari pendekatan WHO untuk mengobati sakit kronis dengan obat. Jika pada suatu tingkat, pengobatan gagal untuk mengurangi rasa nyeri yang memadai, maka dokter dan pasien pindah ke langkah berikutnya. 1. Nyeri ringan Paracetamol (acetaminophen) atau non steroid anti – inflamatory drug seperti ibuprofen. 2. Nyeri ringan sampai sedang Paracetamol, NSAID atau paracetamol dalam produk kombinasi dengan opioid lemah seperti xanax, dapat memberikan bantuan yang lebih besar daripada penggunaan secara terpisah. Kombinasi opioid dengan asetaminofen dapat juga digunakan seperti percocet, vicodin, atau norco.
3. Nyeri sedang sampai berat Morfin adalah gold standar untuk dari semua jenis analgesik narkotik yang digunakan. Sedangkan fentanyl memiliki keuntungan dalam mengurangi pelepasan histamin dengan demikian efek samping lebih sedikit. Obat-obatan jenis ini juga dapat diberikan secara transdermal yang nyaman untuk manajemen nyeri kronis.
Secara garis besar strategi farmakologi berdasarkan “WHO Three Step Analgesic Ladder”, yaitu: -
Tahap pertama menggunakan obat analgesik non opioid seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
-
Tahap kedua, bila pasien masih mengeluh nyeri maka diberikan obat seperti tahap pertama ditambah opioid secara intermitten.
-
Tahap ketiga, diberikan obat-obat tahap kedua, ditambah opioid yang lebih kuat.
Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada: -
Proses transduksi dapat diberikan anastesik lokal atau anti radang non steroid.
-
Pada transmisi impuls syaraf dapat diberikan anestesi lokal.
-
Pada proses modulasi diberikan kombinasi anestesi lokal, narkotik, dan atau klonidin.
-
Pada proses persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, dan paracetamol.
Mekanisme obat dalam mengurangi rasa nyeri antara lain: -
Menghalangi pembentukan rangsangan dalam reseptor nyeri perifer, dengan analgetika perifer atau anestesi lokal.
-
Menghambat penyaluran rangsang nyeri dalam syaraf-syaraf sensoris oleh anestesi lokal.
-
Blokade pusat nyeri pada sistem syaraf pusat dengan analgetika sentral (narkotika) atau anestesi umum.
Analgesik Analgesic adalah kelas obat yang dirancang untuk meringankan nyeri tanpa menyebabkan hilangnya kesadaran. Kelas – kelas yang berbeda dari obat analgesik termasuk : 1.
Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) NSAID adalah obat anti inflamasi non steroid. NSAID biasanya digunakan untuk mengurangi
nyeri
dan
peradangan,
yang
bekerja
dengan
menghambat
siklooksigenasi (COX). Enzim siklooksigenase (COX) adalah enzim yang mengkatalisa sintesa prostaglandin dari asam arakhidonat. Cox berperan dalam sistesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah memblokir pembentukan prostaglandin dengan cara menginhibisi enzim cox pada daerah yang terluka, dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri. Prostaglandin memediasi sejumlah proses ditubuh termasuk proteksi lambung dari sekresi yang dirangsang inflamasi dan nyeri, mempertahankan perfusi ginjal dan agregasi trombosit. Obat AINS menghambat produksi dari enzim COX yang selanjutnya menurunkan induksi prostaglandin. Hasilnya ada dua yaitu, positif (analgesia, antiinflamasi) dan negative (ulkus lambung, penurunan perfusi ginjal dan perdarahan).
Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut intensitas ringan sampai sedang. Bisa diberikan secara oral, IV, IM, rectal, dan topikal. Namun, pemberian diklofenak secara IV harus dihindari karena menimbulkan nyeri dan abses steril pada tempat penyuntikan. Contoh NSAID seperti aspirin, ibuprofen, naproxen, ketorolac, asam mefenamat, indometacin, ketoprofen, piroxicam, dll. Ibuprofen lebih aman dan murah. Obat- obat kerja lama, seperti piroksikam cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat COX 2, misalnya meloksikam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal. Antagonin H2 (misalnya ranitidin) yang diberikan bersama dengan AINS dapat melindungi lambung dari efek samping. Kontraindikasi AINS - tukak lambung - insufisiensi ginjal atau oligouria - hiperkalemia - transplantasi ginjal - antikoagulasi atau koagulopati lain - disungsi hati berat - dehidrasi atau hipovolemia - terapi dengan furosemid
- riwayat eksaserbasi asma dengan AINS 2.
Nakotika Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat di daerah susunan syaraf pusat. Penggunaan obat ini ditujukan terutama untuk nyeri akut dangan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, yaitu : Mu, Sigma, Kappa, Delta, dan Epsilon. Reseptor Mu (µ) memediasi efek analgesik, euforia, dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor µ 2 memediasi efek depresan pernapasan. Reseptor delta yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap µ opioid. Reseptor kappa (K) telah diketahui berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang.
Ada empat tempat yang telah diidentifikasi dimana opioid dapat bekerja untuk menghilangkan nyeri. Ketika morfin atau jenis opioid lain diberikan kepada pasien maka terjadi : 1. Aktivasi reseptor opioid di midbrain dan “turning on” sistem desending (melalui disinhibisi). 2. Aktivasi reseptor opioid pada transmisi sel second-order untuk mencegah transmisi ascending dari sinyal nyeri. 3. Aktivasi reseptor opioid di sentral terminal C-fiber di medula spinalis, mencegah pelepasan neurotransmiter nyeri 4. Aktivasi reseptor opioid di perifer untuk menghambat aktivasi dari nosiseptor yang dapat melepaskan mediator inflamasi.
Mekanisme umum dari narkotika: Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan dari terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, contohnya substansia P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat. Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi menjadi: 1. Agonis opioid menyerupai morfin (pada reseptor µ dan k), contohnya morfin dan fentanyl.
2. Antagonis opioid, contoh nalokson. 3. Opioid dengan kerja campur, contohnya: nalorfin,pentazosin, buprenorfin, malbufin, butorfanol.
Obat nyeri narkotik bekerja dengan mengalihkan pasien dari rasa sakit. Meskipun rasa sakit masih ada sensasi rasa sakit diubah oleh narkotika. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek depresi pusat napas bila diberikan dalam dosis tinggi. Efek samping yang tidak tergantung dosis antara lain mual, muntah, dan pruritus. Semua narkotik membawa resiko kecanduan, dan bila digunakan dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan gejala penarikan (withdrawal) seperti berkeringat dan kecemasan saat obat dihentikan.
Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik intravena maupun intramuskular. Pemberian intavena dapat secara bolus maupun infus. Non Farmakologik Pendekatan non farmakologik biasanya menggunakan -
Terapi perilaku (hipnotis, biofeedback),
-
Pelemas otot/relaksasi (yoga)
-
Akupuntur
-
terapi kognitif (distraksi)
-
Restrukturisasi kognisi, imajinasi, dan terapi fisik (physiotherapy).
Kesimpulan Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistik/ menyeluruh, hal ini karena nyeri mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu kita tidak boleh hanya terpaku pada satu pendekatan saja tetapi harus mengacu pada aspek kehidupan
manusia
yaitu
biopsikososialkultural
dan
spiritual.
Pendekatan
non
farmakologik dan pendekatan farmakologik tidak akan berjalan efektif bila digunakan sendiri-sendiri, keduanya harus dipadukan dan saling mengisi untuk mengatasi nyeri pada pasien.
Daftar Pustaka 1. Main, Chris J. : Pain Management: an Interdiciplinary Approach. Churcill. Livingstone. 2000. 2. Greenberg DA,et al. Clinical Neurology. The McGraw Hill Companies. 2002. 3. Thienhaus, ole; Cole, B. Eliot. The Classification of Pain. CRC Press. 2002. 4. Ganong W. F. Review of Medical physiology. Lange Medical Publications. 2000. 5. Tamsuri, Anas . 2004 . Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri . Jakarta : Buku Kedokteran EGC 6. Potter, Patricia . 2005 . Fundamental Keperawatan. Volume 2 Edisi 4 . Jakarta : Buku Kedokteran EGC 7. Katzung, G. Bertram. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10 th Ed. The McGraw-Hill Companies. New york.