Ciu (Semi) karena dianggap hari baik. Waktu itu Louw Cong Kong sudah menjadi raja selama 24 tahun, dan umurnya sudah 37 tahun. ** Ketika telah tiba saat pernikahan itu Raja Louw berangkat ke negeri Cee. Maka pernikahan pun dilangsungkan dengan meriah. Sesudah selesai pernikahan, Raja Louw membawa Permaisuri Kang-si pulang ke negeri Louw. Permaisuri juga disebut Permaisuri Aikiang. Sejak saat itu negeri Cee dan negeri Louw bersahabat kekal. Suatu hari...... Raja Cee menggabungkan tentaranya dengan tentara Louw, maksudnya akan melabrak bangsa Ci dan menyerang bangsa Jiong (Mongol). Kemudian dua bangsa itu semuanya berhasil mereka kalahkan. Pada tahun pemerintahan Ciu Hui Ong ke-sepuluh, bangsa Ci dan Jiong sudah tunduk benar di bawah pengaruh negeri Cee. Melihat pengaruh negeri Cee semakin besar, Raja The Bun Kong jadi semakin khawatir. Buru-buru Raja The mengirim utusan untuk minta berserikat lagi. Waktu itu semua negaranegara kecil, kecuali negeri Couw, semuanya sudah di bawah kekuasaan negeri Cee. Raja Cee Hoan Kong sangat senang. Raja Cee mengadakan pesta besar untuk menyenangkan anak buah dan tentaranya. Setelah minum arak sampai mabuk, Pao Siok Gee sambil memegang cawan arak datang ke hadapan Raja Cee Hoan Kong. Dia menuang secawan arak untuk mengucapkan selamat kepada Raja Cee. Raja Cee Hoan Kong menyambut arak itu yang terus dia minum hingga cawan itu kering. ”Hari ini aku senang sekali minum arak bersama kalian!” kata Raja Cee. ”Setahu hamba seorang Raja yang budiman dan bijaksana, baik dalam suka dan duka tidak melupakan kesusahan. Tuanku tidak lupa saat sebelum menjadi Raja; begitu juga Koan Tiong. Dia harus ingat saat dia masih dikerangkeng. Leng Cek jangan melupakan saat dia masih jadi penggembala kerbau.” kata Pao Siok Ge. Buru-buru Raja Cee Hoan Kong bangkit dari tempat duduknya sambil memberi hormat kepada Pao Siok Gee. ”Banyak terima kasih untuk nasihatmu! Jika semua menteri tidak melupakan kesengsaraan aku pun gembira.” kata Raja Cee. Pesta besar berlangsung sampai semua orang puas, akhirnya pesta pun ditutup. Para pembesar pulang ke rumahnya masing-masing. Selang beberapa hari kemudian.....
Datang orang melapor. ”Tadi baru saja tiba Siao Pek Liauw utusan Baginda Ciu Hui Ong datang berkunjung, ” kata pelapor itu. Buru-buru Raja Cee Hoan Kong menyambut dengan gembira kedatangan Siao Pek Liauw itu. Sesudah menjalankan adat istiadat, Siao Pek Liauw menyampaikan maksud kedatangannya. ”Baginda Ciu Hui Ong memberi gelar Hong Pek (Raja Muda Yang Mulia) kepada Tuanku Raja Cee. Tuanku mendapat izin untuk menghukum raja-raja pembangkang.” kata Siao Pek Liauw. ”Terima kasih,” kata Raja Cee. ”Apa perintah beliau?” ”Raja We dulu telah membantu Ong Cu Tui mengusir Baginda, Baginda sakit hati kepadanya. Baginda minta agar Raja Cee menghukumnya,” kata utusan itu. ”Hamba akan memperhatikan perintah Baginda!” kata Raja Cee. Sesudah berbasa-basi sebentar Siao Pek Liauw pamit kembali ke negeri Ciu. Pada tahun pemerintahan Ciu Hui Ong ke-sebelas, Raja Cee Hoan Kong memimpin pasukan perang menyerang ke negeri We. Waktu itu We Hui Kong sudah meninggal. Puteranya yang bernama Ci sudah menjadi raja. Raja We yang bergelar We I Kong langsung melakukan perlawanan. Tetapi sial Raja We menderita kalah besar. Buru-buru kembali ke kota dan menutup pintu kota secara ketat. Raja Cee Hoan Kong marah tentaranya terus menyerang. Dalam marahnya Raja Cee menyebut-nyebut dosa raja We. Mendengar hal itu, Raja We sadar bahwa Raja Cee hendak balas dendam kepada ayahnya. ”Oh, kalau begitu almarhum Raja We punya kesalahan besar! Tetapi aku tidak punya sangkut-paut dengan dosa ayahku itu.” pikir Raja We I Kong. Dia perintahkan putera sulungnya yang bernama Kai Hong. Dia membawa lima gerobak bingkisan berharga diserahkan pada Raja Cee. Raja We juga minta berdamai. Ketika Kai Hong sampai dia langsung menghadap. Kemudian menyerahkan hadiahhadiah dari ayahnya pada Cee Hoan Kong. ”Ayah hamba tidak berdosa, itu sebabnya dia mohon dimaafkan dan minta damai.” kata Kai Hong. ”Menurut aturan Baginda almarhum, jika ayahnya berdosa, anak cucunya tidak terlibat dosa,” kata Cee Hoan Kong. ”Jika Raja We sudah menerima salah mau menurut perintah Baginda Ciu, aku pun tidak usah memperpanjang masalah ini.” Kai Hong atas nama ayahnya mengucapkan terima kasih. Kai Hong tahu negeri Cee makmur dan kuat. Maka dia minta ikut dan ingin mengabdi pada Raja Cee. ”Kau putera sulung Raja We,” kata Cee Hoan Kong heran, ”menurut peraturan, kau kelak
bakal jadi pengganti ayahmu. Mengapa kau mau menjadi mentriku?” ”Tuanku seorang Raja yang bijaksana saat ini,” sahut Kai Hong, ”aku lebih beruntung jika bekerja di tempat Tuanku, dibanding menjadi raja di negeri We.” Mendengar jawaban Kai Hong tersebut Raja Cee Hoan Kong mengira Kai Hong sangat mencinta dirinya. Raja Cee setuju dan mengangkat Kai Hong menjadi menteri. Ketika Raja Cee pulang ke negaranya Kai Hong ikut ke negeri Cee. Di sana Kai Hong menginginkan dirinya lebih disayang oleh Raja Cee. Dia selalu memuji-muji kecantikan putri Raja We.1) 1). Yang dipuji-puji oleh Kay Hong putri Raja We yang bungsu. Dulu We Hui Kong telah memberikan putrinya untuk ikut bersama putri Kaisar Ciu menikah dengan Raja Cee. Sedang putri yang dipuji-puji oleh Kay Hong adik kandungnya sendiri. Raja Cee Hoan Kong memang sangat senang pada perempuan cantik, dia jadi girang mendengar pujian Kai Hong atas dirinya dan putri Raja We itu. Dengan tidak membuang waktu lagi, Raja Cee mengirim utusan mengantarkan barang bingkisan untuk melamar nona yang cantik itu untuk dijadikan selirnya. Permintaan Raja Cee tidak ditolak oleh We I Kong yang takut pada Raja Cee. Raja We langsung menyerahkan nona We Ki dibawa ke negeri Cee. Bukan main girangnya Raja Cee setelah melihat sendiri nona We Ki sesungguhnya sangat elok sekali. Untuk membedakan kakak nona Ki dengan adiknya, Raja Cee memberi nama We Ki Besar dan We Ki Kecil. Keduanya sangat disayang oleh Raja Cee.
Bab 6 Di kisahkan di negeri Chin ....... Raja negeri Chin yang bergelar Chin Hian Kong, ketika masih menjadi Putra Mahkota, dia telah menikah dengan putri Ke Ki. Sekalipun sudah lama menikah, tetapi belum punya turunan, dia kawin lagi dengan cucu raja bangsa Kian-jiong, Ho Ki namanya. Dari cucu raja bangsa Kian-jiong ini Raja Chin memperoleh anak lelaki yang dia beri nama Tiong Ji. Kemudian Raja Chin menikah lagi dengan putri bangsa Siao-jiong she Un. Dari nona Un dia mendapat seorang putera yang diberi nama Ie Gouw. Pada masa ayahnya yang bernama Chin Bu Kong masih menjadi raja di negeri Chin, ketika hendak meninggal, Raja Chin Bun Kong yang sudah tua itu melamar putri negeri Cee. Raja Cee Hoan Kong meluluskan lamaran Chin Bu Kong tersebut, Raja Cee menyerahkan keponakannya, yaitu Cee Kiang.
Waktu itu Chin Bu Kong sudah sangat tua, sudah tentu dia tidak bisa membahagiakan dan menyenangkan perempuan lagi. Sementara Cee Kiang yang usianya masih sangat muda, parasnya elok sekali, ditambah lagi dia sangat genit. Ketika Chin Hian Kong melihat Cee Kiang yang sangat cantik, dia sangat tertarik pada ie-nya itu. Diam-diam mereka mengadakan hubungan gelap dengan sang ibu tiri itu. Hubungan cinta antara ibu tiri dengan anak suaminya itu sangat erat sekali. Dari hubungan gelap itu maka lahirlah seorang anak. Chin Hian Kong khawatir hubungan gelapnya akan ketahuan oleh ayahnya. Maka dia kirim ”anak haram” atau ”anak dari hubungan gelapnya” itu pada seorang she Sin. Dan anak itu diberi nama Sin Seng. Ketika Chin Bu Kong sudah meninggal dunia dan Chin Hian Kong sudah menggantikan ayahnya menjadi Raja Chin, karena istri Chin Hian Kong yang bernama Ke Ki sudah lama meninggal dunia, Chin Hian Kong lalu mengangkat Cee Kiang, bekas selir ayahnya menjadi Hong-houw (Permaisuri). Ketika itu Tiong Ji sudah berumur 21 tahun; sedang Ie Gouw lebih tua umurnya dari Sin Seng. Tetapi karena Sin Seng menjadi putera permaisuri, maka menurut peraturan istri tua dan istri muda, bukan menurut aturan putera yang lebih tua dan putera yang muda. Maka Sin Seng kemudian diangkat menjadi Putra Mahkota. Untuk mendidik dan memimpin Sin Seng, Chin Hian Kong mengangkat Tay-hu Touw Goan Koan menjadi Guru Besar puteranya itu dan Li Kek menjadi guru pembantu. Kemudian Cee Kiang melahirkan lagi seorang anak perempuan; tetapi sejak melahirkan anak perempuan itu, Cee Kiang tertimpa bencana. Dia terserang penyakit hebat hingga sampai ajalnya. Chin Hian Kong kemudian menikah lagi dengan adik Ke Ki yang bernama Ke Kun. Ke Kun inilah yang diminta untuk merawat putri Cee Kiang. Tatkala Chin Hoan Kong sudah menjadi raja selama 15 tahun, pada suatu hari dia mengerahkan angkatan perangnya untuk menaklukan negeri Li Jiong. Dalam peperangan itu Raja Chin Hian Kong mendapat kemenangan besar; Raja Li Jiong minta berdamai dan dia bersedia mempersembahkan kedua putrinya, yang besar bernama Li Ki dan yang ke-dua bernama Siao Ki. Raja Chin Hian Kong girang sekali mendapat dua putri yang cantik-cantik itu, segera dia bawa pulang ke negerinya. Keelokkan Li Ki sebanding dengan Sit-kui, tetapi kejahatannya mirip dengan So Tat Ki di zaman Kaisar Tiu Ong. Dia pandai berbagai tipu-muslihat, bukan itu saja dalam hubungan sex pun dia sangat mahir. Tidak heran Raja Chin Hian Kong jadi sangat puas. Tetapi celakanya dia juga sering ikut campur dalam urusan pemerintahan. Sedang segala sarannya pada Chin Hian Kong selalu berhasil. Oleh karena Li Ki begitu pandai serta sangat cantik, sehingga Chin Hian Kong
jadi jatuh hati benar kepadanya. Setiap saat di mana pun Chin Hian Kong berada, Li Ki tidak boleh jauh dari sisinya. ** Selang setahun kemudian Li Ki melahirkan seorang anak lelaki, anak tersebut diberi nama He Ce. Lewat setahun kemudian, Siao Ki juga melahirkan seorang putera yang diberi nama Tok Cu. Waktu itu Raja Chin Hian Kong sudah sangat tergila-gila pada Li Ki, dia senang karena Li Ki melahirkan anak lelaki. Raja Cee lupa cinta-kasih Cee Kiang almarhum. Malah raja hendak mengangkat Li Ki menjadi Permaisuri. Niatnya itu dia bicarakan dengan semua menterimenterinya. ”Menurut adat-istiadat Permaisuri tidak boleh ada dua orang,” kata Su Souw. ”Maka jika Li Ki dan Siao Ki diangkat menjadi Hong-houw (Permaisuri), maka itu tidak sesuai dengan aturuan yang berlaku selama ini.” Beberapa menteri dan pejabat negara membenarkan pendapat Su Souw tersebut. Tetapi Chin Hian Kong tidak mau mengerti. Malah dia uring-uringan karena keinginannya ditentang. Dengan tidak mempedulikan nasihat menteri-menterinya, Raja Cin mengangkat Li Ki menjadi Hong-houw (Permaisuri) dan Saio Ki menjadi Ci Hui (Permaisuri ke-dua). Karena tidak sependapat diam-diam Su Souw pergi menemui Tay-hu Li Kek. ”Negeri Chin hampir musnah, apa yang harus kita lakukan?” kata Li Kek. Mendengar keterangan Su Souw tersebut Li Kek terperanjat, dengan hati berdebardebar dia bertanya, ”Siapa yang akan meruntuhkan Kerajaan Chin?” ”Pasti Li Jiong,” sahut Su Souw. Li Kek bengong terlongong-longong, dia tidak mengerti apa maksud ucapan Su Souw tersebut. ”Pada masa Raja He Kiat menyerang ke negeri Yu Si, Raja Yu Si menyerahkan putrinya yang bernama Moai Hi. Karena Baginda Kiat sangat mencintai Moai Hi, sehingga Kerajaan He musnah,” kata Su Souw. ”Begitu juga Baginda Im Tiu ketika melabrak negeri Yu Souw, Raja Yu Souw (Tiu Ong) menyerahkan anak perempuan yang bernama So Tat Ki, karena Baginda Tiu Ong sangat mencintai So Tat Ki, akhirnya Kerajaan Im musnah. Sedang bukti yang paling akhir yaitu Baginda Ciu Yu Ong yang memerangi negeri Yu Po, Raja dari negeri Yu Po menyerahkan putrinya yang bernaama Po Su, akhirnya Kerajaan See Ciu (Ciu Barat) musnah. Sekarang Raja negeri Chin, sesudah menaklukan negeri Li Jiong, Raja Chin telah
mengambil dua orang putrinya yang sekarang sangat disayang oleh beliau. Apa tidak bisa terjadi negeri Chin pun kelak akan musnah?” Li Kek menggelengkan kepalanya dia jadi berduka sekali, dan Li Kek membenarkan dugaan Su Souw tersebut. Sesudah berbincang-bincang beberapa saat, Su Souw pamit pada Li Kek. Dia kembali ke rumahnya. Selang sesaat sesudah Su Souw meningalkan rumah Li Kek, Kwee Yan juga datang berkunjung ke rumah Li Kek. Pada kawan sejawatnya ini Li Kek memberitahu apa yang tadi dikatakan oleh Su Souw kepadanya. ”Tidak, aku rasa bukan begitu,” kata Kwe Yan. ”Menurut dugaanku, di negeri Chin hanya akan terjadi huru-hara besar, jika harus musnah, itu belum saatnya.” ”Bagaimana kau bisa mengatakan begitu?” tanya Li Kek. ”Negeri Chin sebuah negara besar, pada saat ini sangat kuat dan maju. Jika terjadi huru-hara, negeri lain tidak akan bisa menghancurkannya. Karena huru-hara itu pasti bisa dipadamkan! Malah aku kira suatu saat negeri Chin akan menjadi jago di antara negeri-negeri kecil. Bahkan akan mengangkat pamor Kerajaan Ciu!” ”Menurut pendapatmu huru-hara itu akan terjadi kapan?” kata Li Kek. ”Aku rasa kurang dari sepuluh tahun lagi.” Li Kek mencatat ucapan Kwe Yan di dalam buku hariannya untuk dijadikan peringatan baginya. Setelah berbincang-bincang sekian lamanya, Kwe Yan permisi akan pulang, dia diantar oleh Li Kek sampai di depan pintu luar. ** Sejak Raja Chin Hian Kong mengangkat Li Ki menjadi Permaisuri, semakin hari cintanya semakin kekal, sehingga timbul niat Raja Chin hendak mengangkat He Ce menjadi Si-cu (Putera Mahkota). Pada suatu hari Raja Chin menyampaikan niatnya itu kepada Li Ki. Mendengar niat Raja Chin Hian Kong mengangkat putera Li Ki menjadi Putera Mahkota, Li Ki menundukan kepalanya sambil berpikir. ”Memang ini yang aku sangat harap-harapkan,” pikir Li Ki. ”Tetapi, Sin Seng sudah diangkat menjadi putera Mahkota. Jika tanpa sebab mengubah kedudukan Sin Seng, aku khawatir semua menteri tidak akan sepakat. Pasti mereka akan menolak putusan Raja Chin yang aneh itu. Apalagi Tiong Ji dan Ie Gouw sangat akrab dengan Sin Seng. Ach, sudahlah, jika ketiga Kong-cu (Pangeran) itu masih ada di sini, tidak ada gunanya masalah itu dibicarakan.
Percuma saja dan sia-sia saja. Paling benar aku harus menjalankan tipu-muslihat yang halus, supaya sekali bergerak akan berhasil.” Sesudah pikirannya tetap, Li Ki berlutut di hadapan Raja Chin Hian Kong sambil berkata dengan suara sedih. ”Jangan, Tuanku! Jangan Tuanku lakukan!” kata Li Ki. ”Jangan lupa ketika Sin Seng diangkat, semua Raja Muda mengetahuinya. Sin Seng pandai dan tidak bersalah. Jika karena Tuanku sangat mencintaku dan anakku, lalu Tuanku menyingkirkan Sin Seng, maka orang di seluruh benua ini akan mengutuk Tuanku! Dari pada aku harus menanggung malu seumur hidupku, lebih baik aku bunuh diri saja!” ”Oh, jangan! Jika kau tidak setuju ya sudah, mengapa kau harus berkata begitu?” kata Raja Chin Hian Kong. Buru-buru dia bangunkan Li Ki yang sedang berlutut di hadapannya. Raja Chin mengira ucapan ”jantung hatinya” itu sangat tulus dan ikhlas. ** Di antara menteri-menteri baginda Chin, ada dua Ta-hu (Menteri Besar) yang Chin Hian Kong paling sayang dan dia percayai. Yang seorang bernama Liang Ngo, yang satu lagi bernama Tong Koan Ngo. Dua pembesar itu menjadi mata-mata Chin Hian Kong untuk menyelidiki keadaan di luaran. Hanya sayang perangai mereka kejam dan tamak atau serakah. Lantaran sangat dipercaya mereka berani berbuat semena-mena dan sok berkuasa. Orangorang di negeri Chin menamakan mereka Ji Ngo (Dua Ngo). Selain mereka berdua ada lagi seorang yang berasal dari tanah Yu Si. Usianya masih sangat muda, parasnya cakep. Kepandaian orang ini banyak dan sangat pandai bicara. Orang ini sangat disayang oleh Chin Hian Kong, sehingga dia bebas keluar masuk istana baginda tanpa gangguan. Di luar tahu Chin Hian Kong Permaisuri Li Ki punya hubungan rahasia dengan Yu Si. Bahkan Yu Si menjadi kekasih gelap sang permaisuri ini. Tentang maksud baginda dan rencana baginda mengangkat puteranya menjadi raja, oleh Li Ki disampaikan pada Yu Si. Li Ki minta bantuan kepada Yu Si untuk menyingkirkan ke-tiga pangeran, Sin Seng, Tiong Ji, dan Ie Gouw, supaya He Ce, bisa merebut kedudukan Sin Seng. ”Untuk menyingkirkan mereka ke tempat jauh, harus ada alasan yang kuat. Misalnya mereka diminta untuk menjaga tapal batas negara,” kata Yu Si. ”Tetapi itu tidak mudah. Harus ada usulan pejabat dari luar kota. Kebetulan sekarang Dua Ong sedang sangat berluasa. Mari kita suap mereka berdua agar mereka mau mengajukan usul untuk meminta ketiga pangeran itu bertugas di perbatasan!”
Li Ki setuju pada rencana yang dibuat oleh Yu Si, bahkan dia anggap sangat sempurna. Li Ki mengambil emas dan kain sutera yang bagus, barang-barang itu diserahkan kepada Yu Si untuk diantarkan kepada Dua Ngo yang serakah itu. Yu Si membawa barang berharga itu ke rumah dua pejabat busuk tersebut. Kedatangan Yu Si disambut dengan manis oleh tuan rumah. ”Hong-houw (Permaisuri) meminta pada hamba untuk membawa hadiah ini. Hamba harap Tuan-tuan mau menerimanya,” kata Yu Si. ”O, Hong-houw begitu baik, beliau sangat meperhatikan pada kami bedua,” kata dua menteri korup itu. ”Kami rasa Hong-houw mungkin punya tugas untuk kami berdua, katakan saja! Kami berdua tidak berani menerima hadiah beliau ini.” Yu Si segera menceritakan satu persatu dengan jelas, apa yang Li Ki inginkan dari mereka berdua. Setelah mendengar penjelasan dari Yu Si, kedua menteri korup itu mengangguk. Sesudah berpikir sejenak kemudian mereka mengajukan sebuah syarat. ”Kami berdua siap melaksanakan tugas dari Hong-houw, tetapi kami harus dibantu oleh Tong Koan Ngo,” kata mereka. ”Oh, jangan takut! Semua itu sudah dipikirkan oleh Hong-houw. ” kata Yu Si. Mendengar keterangan dari Yu Si mereka sangat girang, sesudah membenahi barang hadiah dari Hong-houw, mereka langsung ikut dengan Yu Si. Mereka bersama-sama pergi ke rumah Tong Koan Ngo. Begitu mereka sampai di rumah Tong Koan Ngo, tuan rumah menyambut kedatangan mereka dengan senang hati. Sesudah mereka dipersilakan duduk, tuan rumah bertanya. ”Apa maksud kedatangan kalian semua?” tanya Tong Koan Ngo. Pertama-tama Yu Si menyerahkan barang bingkisan dari Permaisuri Li Ki kepada tuan rumah, baru kemudian dia menceritakan bagaimana rencana Permaisuri Li Ki yang sebenarnya. Dua orang menteri korup itu membantu menjelaskan keterangan Yu Si pada Tong Koan Ngo. Seperti kedua menteri korup itu Tong Koan Ngo memang orangnya tamak atau serakah. Melihat barang bingkisan yang berharga mahal itu, matanya jadi berkunang-kunang dan silau. Dia pikir jika usaha mereka bisa berhasil, mereka bakal bisa lebih berpengaruh. Dengan gembira dia lalu berjanji siap melaksanakan tugas tersebut. Sesudah mengatur siasat yang akan dijalankan, dua menteri pengkhianat dan Yu Si pulang. Esok harinya...... Ketika Raja Chin Hian Kong sedang mengadakan sidang dengan para pembesar di
istananya, dua orang menteri yang diberi gelar Ji Ngo (Dua Ngo) bangkit dari tempat duduknya dan mulai bicara. ”Kota Kiok-ah, sebuah kota yang telah ditinggalkan oleh Raja kita almarhum. ” kata menteri korup itu. ”Di tempat itu telah dibangun kelenteng Raja almarhum. Sedang tanah Po dan Kut ada di dekat tempat tinggal bangsa Jiong dan Tek. Di tempat itu batas negara kita. Kedudukan tiga tempat itu sangat penting, maka harus ditempatkan orang yang paling bisa dipercaya mengawasinya. Jika di Kiok-ah tidak ditempatkan seorang pembesar, maka rakyat di sana merasa tidak tenteram. Jangan lupa bangsa Jiong dan Tek sewaktu-waktu akan datang mengganggu penduduk.” ”Siapa orangnya yang paling pantas untuk bertugas di sana?” tanya Raja Chin Hian Kong. ”Menurut hamba Tuanku bisa memerintahkan Putera Mahkota Sin Seng menjadi pejabat di Kiok-ah, sedang Pangeran Tiong Ji dan Pangeran Ie Gouw menjadi pembesar di Po dan Kut. Dengan demikian negeri Chin akan tetap aman sentausa.” jawab menteri korup itu. ”Ucapanmu benar sekali,” kata Raja Chin Hian Kong. ”Tetapi ingat Sin Seng, Putera Mahkota. Apa pantas dia tinggal jauh dari Ibukota negara?” ”Putera Mahkota terhitung Wakil Raja. Sedang Kiok-ah terhitung kota besar yang ke dua setelah Ibukota Kerajaan. Jika bukan Putera Mahkota Sin Seng yang tinggal di sana, jelas tidak pantas,” kata Tong Koan Ngo ikut mempengaruhi raja. ”Baiklah, tempatkan Putera Mahkota Sin Seng di Kiok-ah agar diurus olehnya. Tetapi Po dan Kut tanahnya gersang. Bagaimana aku bisa memerintahkan Tiong Ji dan Ie Gouw pergi ke sana menjaganya?” kata Chin Hian Kong. ”Memang, jika di sana tidak dibangun kota jadi kosong, tetapi jika sudah dibangun kedua tempat itu akan menjadi dua kota yang ramai,” kata Tong Koan Ngo. ”Bagus,” kata dua rekan Tong Koan Ngo. ”Karena ini negeri Chin akan mempunyai dua kota yang baru. Dengan tempat-tempat itu dijaga oleh orang terpercaya, maka negara Chin akan bertambah kuat dan kokoh.” Raja Chin Hian Kong bisa diakali oleh dua menteri dorna tersebut, karena mereka pun dibanu oleh Tong Koan Ngo. Raja malah girang sekali, sehingga rencana busuk menterimenterinya dia anggap suatu keberuntungan untuk masa depan kerajaannya. Raja Chin Hian Kong memerintahkan Tio Siok untuk segera meninggikan kota Kiok-ah dan
juga memperluas daerahnya; kota tersebut kemudian diberi nama kota Sin-shia (Kota Baru). Sedang Su Kui diperintahkan membangun kota di tanah Po dan Kut. Di antara orang-orang yang menerima perintah itu, Su Kui tahu benar apa yang sedang terjadi. Dia tahu keinginan Permaisuri Li Ki yang hendak merebut posisi Sin Seng untuk puteranya. Maka dengan sengaja dia membuat kota itu sembarangan saja. Ketika ada orang yang bertanya kepadanya dia acuh tak acuh. ”Mengapa dua kota tersebut tidak dibangun dengan kuat dan bagus?” tanya orang. Sambil tertawa Su Kiu menjawab, ”Beberapa tahun lagi pun kedua tempat ini akan menjadi daerah musuh, untuk apa dibangun terlalu kuat?” kata Su Kui. Sesudah Sin Seng, Tiong Ji dan Ie Gouw tinggal di tempat yang jauh, di istana hanya tinggal Pangeran He Ce dan Tok Cu. Sejak saat itu kelakuan Li Ki jadi semakin angkuh. Waktu itu keadaan negeri Chin sedang kokoh-kokohnya, negeri ini memiliki menteri yang pandai dan tentaranya sangat kuat dan gagah. Pada suatu hari...... Raja Chin Hian Kong yang serakah telah mengajak Putera Mahkota Sin Seng, Tat-hu Tio Siok dan Pit Ban, mereka mengerahkan pasukan menyerang ke negeri Keng, negeri Hok dan negeri Gwi. Dalam peperangan itu Chin Hian Kong beruntung bisa mengalahkan ketiga negara tersebut. Dalam peperangan tersebut Sin Seng berpahala besar, sehingga Permaisuri Li Ki jadi semakin khawatir kepadanya. Maka itu dia jadi semakin giat mencari akal untuk mencelakakan Sin Seng. ** Dikisahkan di negeri Couw........ Putera Raja Couw yang bernama Him Pi dan Him Tan sekalipun sama-sama dilahirkan oleh Permaisuri Sit-kui yang cantik, tetapi Him Tan lebih pandai dari kandanya. Permaisuri Bun sangat sayang kepadanya dan rakyat negeri Couw pun suka. Tatkala Him Pi telah menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja, hati Him Pi tidak tenram. Dia selalu merasa khawatir pada sang adik yang cerdas itu. Dia juga tahu ibunya dan rakyat negeri Couw lebih suka kepada adiknya. Him Pi sangat cemas dan khawatir, karena suatu ketika nanti dia akan disingkirkan oleh adiknya itu. Tidak heran sehingga acapkali dia mencari kesalahan Him Tan dan hendak dibinasakannya. Tetapi karena banyak menteri yang menyukai Him Tan, usaha Him Pi membunuh adiknya selalu gagal. Him Pi sangat suka berburu binatang di hutan, dia tidak mau mengurus urusan pemerintahan. Sekalipun dia sudah menjadi raja tiga tahun lamanya, tidak kelihatan hasil
kerjanya untuk negara. Him Tan mengetahui kakaknya itu dengki terhadapnya dan hendak membinasakan dia. Terpaksa senantiasa dia pun berikhtiar untuk membinasakan kakakanya itu. Dia akan mendahului kakaknya sebelum dia dibunuh oleh sang kakak. Pada suatu hari..... Ketika Him Pi sedang pergi berburu, Him Tan menggunakan kesempatan yang baik itu. Dia memerintahkan orangnya untuk membunuh Him Pi, sesudah Him Pi meninggal. Him Tan memberi tahu ibunya bahwa kakaknya, Him Pi telah meninggal karena sakit. Sekalipun Sit-kui alias Permaisuri Bun merasa curiga, tetapi dia tidak mencari tahu lebih jauh tentang kematian putera sulungnya itu. Kemudian Sit-kui memerintahkan semua menterinya agar segera mengangkat Him Tan menjadi raja bergelar Couw Seng Ong. Ong-cu Sian atau yang disebut juga Chu Goan, adalah adik dari Raja Couw Bun Ong, atau paman Him Tan. Chu Goan telah diangkat menjadi Leng-i (Perdana Menteri) di negeri Couw. Chu Goan seorang yang keji dan berpikiran cupet. Sejak kandanya, Couw Bun Ong meninggal dunia, ketika itu Him Pi dan Him Tan masih sangat muda. Chu Goan yang berpangkat tinggi itu jadi angkluh. Dia melihat keelokan Sit-kui bekas isteri kandanya seperti setangkai bunga Bouw-tan (Bunga Mawar atau Ros) yang sedang mekar, atau seperti bulan purnama yang bercahaya gilang-gumilang. Maka timbul pikiran buruknya. Senantiasa dia ingin merampas tahta kerajaan dan mengambil Permaisuri Bun (Sit-kui) yang cantik menjadi isterinya. Sekalipun Chu Goan sudah lama bermaksud buruk begitu, tetapi karena takut pada Tay-hu Pek Pi yang jujur dan pandai. Chu Goan terpaksa menahan keinginannya itu. ** Pada tahun pemerintahan Ciu Hui Ong yang ke-sebelas........ Karena Touw Pek Pi terserang penysakit berbahaya, dan akhirnya dia meninggal dunia. Meninggalnya Touw Pek Pi sangat menggembirakan hati Chu Goan. Memang hal itu yang dia harap-harap setiap saat. Bahkan jika Giam Lo Ong atau Raja Akherat itu sahabatnya, sudah lama Chu Goan akan meminta bantuannya untuk membinasakan Pek Pi. Sejak kematian Touw Pek Pi tidak seorang pun yang diindahkan lagi oleh Chu Goan. Kemudian dia membangun sebuah gedung besar di samping istana bekas isteri kakaknya. Sesudah jadi, ia tinggal di sana, dan setiap hari Chu Goan memerintahkan orang memainkan musik. Nyanyian yang dipersembahkan sangat merdu. Semua itu dimaksudkan Chu Goan untuk menarik perhatian Permaisuri Bun yang dia rindukan sejak dahulu. Ketika itu permaisuri Bun belum mengetahui bahwa Chu Goan membangun gedung dan tinggal di sebelah istananya. Setiap hari siang dan malam Permaisuri Bun mendengar suara musik dan nyanyian yang merdu tidak hentinya. Dia heran lalu bertanya kepada budaknya.
”Hei, apa kau dengar suara musik yang merdu itu?” tanya Permaisuri Bun. ”Ya, Tuanku,” sahut budak itu dengan hormat. ”Kau juga mendengar suara orang menyanyi?” ”Ya, mendengar, Tuanku.” ”Siapa yang membuat pesta sepanjang hari?” ”Leng-i Chu Goan, Tuanku.” sahut sang budak. ”Di mana?” ”Di gedung Leng-i yang baru.” Permaisuri Bun menggelengkan kepalanya, sambil menghela napas ia berkata, ”Waktu Raja Couw almarhum masih hidup dan berkuasa, dia rajin sekali. Tiap hari senantiasa dia latih dan memimpin tentara, sehingga angkatan perang Couw sangat kuat. Banyak Raja-raja Muda yang takut kepadanya. Mereka datang mengantar upeti tidak berhentinya. Angkatan perang Couw sudah 10 tahun tidak pergi ke daerah Tiongkok. Chu Goan bukan berusaha untuk membangun kembali pamor negeri Couw, malah terus bersenang-senang di dekat istanaku. Sungguh kurangajar sekali dia!” Melihat Permaisuri Bun tidak senang pada Chu Goan, budak itu menyampaikan ucapan Permaisuri Bun tersebut kepada Chu Goan. Mendengar laporan budak itu Chu Goan marah dan berkata, ”O, kalau begitu Permaisuri belum melupakan Tiongkok? Aku pun tidak akan melupakannya! Baiklah, akan kulabrak negeri The. Jika aku tidak bisa menalukkannya, aku bukan seorang laki-laki!” Begitu Chu Goan sesumbar di depan budak itu. Budak Permaisuri Bun meyampaikan omongan Chu Goan kepada Permaisuri Bun. Mendengar laporan budaknya itu Permaisuri Bun sangat girang. Dia mengira Chu Goan memiliki kepandaian dan keberanian untuk itu. Chu Goan yang ingin dipuji oleh Permaisuri Bun dan dianggap gagah, dia menyiapkan angkatan perang dan memerintahkan Touw Gi Kiang dan Touw Gouw memimpin pasukan depan. Ong Sun Yu dan Ong Sun Ke memimpin pasukan belakang. Dia sendiri memimpin pasukan induk. Angkatan perang ini berangkat menuju ke negeri The. Ketika pasukan Couw sudah hampir sampai di negeri The, juru kabar dari negeri The melaporkan kedatangan tentara Couw pada rajanya. Mendengar laporan itu The Bun Kong kaget. Dia kumpulkan semua menterinya untuk diajak berunding. ”Tentara negeri Couw sangat kuat dan jumlah mereka pun besar sekali,” kata Touw Siok,
”hamba rasa pasukan perang kita tidak akan sanggup melawan mereka. Lebih baik kita minta berdamai saja.” ”Belum lama telah mengadakan perserikatan dengan negeri Cee. Aku yakin jika Raja Cee mendengar kita diserang musuh, mereka akan datang menolong kita! Lebih baik kita jaga saja kota kita dengan kuat. Kita tunggu datangnya bala-bantuan dari negeri Cee.” kata Su Siok. ”Tidak, aku tidak setuju!” kata Si Cu putera Raja The Bun Kong. ”Jika Ayah memberi izin, aku bersedia memimpin pasukan perang.” Pendapat tiga orang itu sangat berlainan itu membuat The Bun Kong kesal dan bingung. Dia tidak tahu harus mengambil putusan yang mana yang lebih baik. Melihat raja mereka bingung, Siok Ciam menyampailan pendapatnya. ”Di antara tiga usul yang disampaikan tadi, hamba setuju pada usul Su Siok. Menurut dugaan hamba jika kota kita jaga keras, tidak lama tentara Couw itu akan mundur sendiri.” kata Siok Ciam. ”Ach, masa bisa jadi begitu!” kata The Bun Kong dengan alis mengkerut. ”Angkatan perang itu dipimpin oleh Cu Goan sendiri. Bagaimana bisa semudah itu mundur?” ”Dugaan hamba sangat berdasar dan ada alasannya,” kata Siok Ciam.. ”Bagaimana menurut dugaanmu dan alasannya itu?” kata Raja The. ”Hamba mendengar khabar Chu Goan sedang tergila-gila kepada Permaisuri Bun. Dia menyerang ke sini hanya mau mencari muka saja. Dia ingin memamerkan keberaniannya pada Permaisuri Bun. Hamba punya resep untuk membuat dia mundur teratur.” kata Siok Ciam. Raja The Bun Kong diam saja seperti orang yang sedang berpikir. Saat usul sedang dipertimbangkan bagaimana akan diambil putusan, tiba-tiba seorang juru kabar datang memberi laporan. ”Tentara dari negeri Couw sudah berhasil merebut kota Kit-kwan dan kini sudah masuk dan berada di luar ibukota. Sekarang mereka sedang berusaha masuk ke pintu Sun-bun (nama pintu bagian luar halaman istana) dan hampir sampai di Kui-ci (jalan raja di dalam pekarangan istana raja).” kata si pelapor. ”Wah, celaka, tentara Couw sudah datang mendesak kita!” seru Touw Siok dengan cemas. ”Oh, jangan takut, aku akan melaksanakan tipuku ini!” kata Siok Ciam dengan mantap. Sehabis berkata begitu Siok Ciam mengeluarkan perintah pada semua tentara The supaya mereka bersembunyi di dalam kota. Semua pintu kota harus dibuka lebar seperti biasa. Begitu
juga rakyat negeri yang berjalan pulang-pergi dinasihati agar tidak boleh kelihatan gentar atau ketakutan. Ketika pasukan Couw yang dipimpin oleh Touw Gi Kiang dan Touw Gouw sudah sampai, mereka melihat di kota raja The tenang-tenang saja. Melihat hal itu mereka jadi curiga. ”Ah barangkali musuh sudah mengatur bai-hok (Pasukan sembunyi untuk menjebak mereka), kita harus hati-hati!” kata Touw Gi Kiang. Karena itu mereka tidak berani menerjang ke dalam kota. Tetapi mereka segera mundur lima li jauhnya dari kota raja The. Di sana mereka mendirikan perkemahan tentaranya. Tidak berapa lama pasukan besar yang dipimpin oleh Cu Goan telah sampai di tempat itu. Pasukan induk ini disambut oleh Touw Gi Kiang dan Touw Gouw. Mereka segera memberi tahu keadaan kota Raja The pada Chu Goan. Chu Goan memang orang berpikiran pendek dan cupet. Setelah mendengar keterangan itu dia jadi panik. Dengan jantung berdebar-debar dia naik ke tempat yang tinggi akan melakukan pemantauan ke kota raja The. Dia lihat bendera-bendera di dalam kota teratur rapih dan tentara The berbaris siap untuk berperang. Sesudah melihat hal itu Chu Goan bengong sampai seketika lamanya. Dia menarik napas seperti orang yang sangat berduka. ”Ya, memang aku sudah tahu. Di negeri The ada tiga orang menteri yang pandai dan budiman,” kata Chu Goan. ”Mereka sangat mahir mengatur siasat perang. Sekarang jika aku serang dan pasukanku rusak berat, mana aku punya muka untuk menemui Permaisuri Bun?” pikir Chu Goan. Sambil menggelengkan kepalanya Chu Goan lalu berkata. ”Akan kukirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan. Jika ini cuma sekedar sebuah tipuan, baru kita serang mereka!” kata Chu Goan pada anak buahnya. Semua panglimanya membenarkan pendapat Cu Goan tersebut. Maka dengan hati sedikit lega Chu Goan berjalan perlahan-lahan. Dia turun dari tempat yang tinggi itu akan kembali ke kemahnya, tetapi dia tidak segera menyebarkan mata-matanya untuk menyelidiki keadaan musuh. Hati Chu Goan tetap sangsi dan ragu-ragu. ** Esok harinya...... Ong Sun Yu yang memimpin pasukan bagian belakang telah melaporkan pada Cu Goan. ”Raja Cee dan Raja Song juga Raja Louw telah datang dengan pasukan besar membantu negeri The!” demikan kata utusan dari Ong Sun Yu pada Chu Goan. Mendengar laporan itu
Chu Goan terkejut, dengan sangat gugup dan khawatir dia berkata pada anak buahnya. ”Oh, ini tidak boleh dianggap enteng,” kata Chu Goan. ”Jika Raja-raja Muda menghadang jalan pulang kita, artinya kita diserang dari depan dan dari belakang. Sudah pasti angkatan perang kita akan rusak berat! Kita sudah bisa merampas kota Kui-ci, itu sudah bisa dikatakan cukup bagus!” Lebih baik sekarang kita pulang saja.” kata Chu Goan. Melihat pemimpin mereka begitu pengecut, para panglima pun ikut jerih. Mereka setuju pada rencana Chu Goan untuk pulang ke negaranya. Malam itu juga Chu Goan memerintahkan tentaranya membenahi semua barang-barang mereka. Sesudah selesai dibereskan dengan diam-diam mereka berangkat kembali ke negaranya. Chu Goan khawatir jika tentara The mengetahui mereka pulang, tentara The akan mengejar mereka. Sengaja mereka tidak membongkar perkemahan mereka. Begitu pun bendera besar mereka, dia tinggalkan tetap berkibar di tempatnya. Setelah pasukan perangnya sudah keluar dari perbatasan negeri The, Chu Goan memerintahkan tentaranya membunyikan tambur dan gembreng. Mereka juga diperintahkan supaya bernyanyi menyanyikan lagu kemenangan. Dengan demikian dia berharap Permaisuri Bun memuji keperkasaannya dan kagum kepadanya. Ketika hampir sampai di negeri Couw, Chu Goan sengaja mengirim juru kabar mendahului kedatangannya kepada Permaisuri Bun. Dikatakan oleh utusan itu bahwa Leng-i Chu Goan sesudah mendapat kemenangan besar telah pulang kembali ke negerinya. Mendengar laporan itu Permaisuri Bun tersenyum. Dia berkata kepada pesuruh Chu Goan, ”Oh, syukurlah! Jika betul begitu dan dia bisa menaklukan musuh, sungguh baik. Ini harus diumumkan ke seluruh negeri Couw untuk membuat terang pamor Kerajaan Couw!” kata Permaisuri Bun. Kemudian adakan sembahyang di kelenteng almarhum Raja Couw agar rohnya ikut senang! Untuk apa memberitahu aku, aku ini hanya seorang janda!” Pesuruh itu segera menyampaikan keterangan Permaisuri Bun kepada Chu Goan. Sindiran yang begitu pedas ini telah membuat Chu Goan jadi malu sekali. Tatkala Raja Couw Seng Ong mengetahui Chu Goan karena takut tanpa berperang telah mundur, Raja Couw jadi kurang senang kepada sang paman. Mulai saat itu dia benci sekali pada pamannya itu. ** Malam itu pada saat tentara Couw sibuk membereskan berkemas-kemas, Siok Ciam di atas kota The rajin meronda. Dia mengajak beberapa anak buahnya pergi memeriksa di sekeliling kota. Semalam-malaman dia tidak tidur barang sekejap pun. Setelah terang tanah (siang hari), dia awasi perkemahan tentara Couw seketika lamanya. Tiba-tiba Siok Ciam tertawa terbahakbahak. Jari tangannya menunjuk ke arah benteng musuh.
”Ha, ha, ha, lihatlah ke arah perkemahan itu! Kemah-kemah itu sudah kosong, tentara Couw sudah kabur semua!” kata Siok Ciam. Anak buah Siok Ciam tidak percaya ucapan atasannya. Mereka minta agar Siok Ciam menjelaskan mengapa atasannya itu mengatakan perkemahan musuh telah kosong. ”Perkemahan tentara merupakan tempat tentara dan panglima berada. Dari sana angkatan perang diatur rapi. Yang pasti di tempat itu akan terdengar suara tentara yang riuh sekali,” kata Siok Ciam. ”Tetapi sekarang, benteng itu lengang! Aku melihat sekawanan burung hinggap di atas tenda-tenda itu. Burung-burung itu berkicau sangat gembira. Jelas di kemah itu sudah tidak ada orangnya! Aku rasa pasukan negeri Cee dengan sekutunya telah datang akan membantu kita! Karena tahu tentara Cee datang, Chu Goan buru-buru kabur!” Tidak berapa lama sehabis Siok Ciam mengucapkan kata-katanya, benar saja segera datang juru kabar membawa warta. ”Raja Cee bersama sekutunya datang. Tetapi mereka baru sampai di perbatasan negeri The, tentara negeri Couw sudah ditarik mundur.” kata utusan itu. Mendengar keterangan utusan itu semua panglima negeri The kagum dan memuji kepandaian Siok Ciam. Raja The segera mengirim utusan untuk mengucapkan terima kasihnya kepada Raja Cee. Dikisahkan di negeri Couw ..... Sepulang dari negeri The dan Chu Goan tidak berhasil mengalahkan negeri tersebut. Dia kesal dan mendongkol sekali. Apalagi Chu Goan mengetahui Raja Couw Seng Ong kurang senang kepadanya. Ditambah lagi siang dan malam dia terkenang saja pada kecantikan Permaisuri Bun. Terkadang Chu Goan mendapat impian yang tidak karuan. Hal itu membuat dia tidak enak makan dan tidak enak tidur. Niatnya akan merampas tahta kerajaan jadi semakin keras. Tetapi niat itu belum juga bisa dilaksanakan. Pikiran Chu Goan maju-mundur. Dia masih takut jika hal itu dia lakukan Permaisuri Bun akan marah. Dengan demikian dia akan kehilangan ”jantung hatinya”. Maka dia putuskan akan mendapatkan si cantik dulu, baru merebut tahta. ** Pada suatu hari.... Permaisuri Bun agak kurang sehat. Mendengar kabar itu Chu Goan jadi bersemangat. Timbul harapannya yang sudah lama terpendam itu. Dengan berpura-pura hendak menanyakan kesehatan Permaisuri Bun, dia pergi ke istana Raja. Di sana dia tinggal tiga hari lamanya. Para pengikut Cu Goan yang berjumlah hampir 200 orang, diperintahkan berjaga di
luar istana. Ketika Tay-hu (Menteri Besar) Touw Liam mendengar kabar tentang kelakuan Chu Goan, buru-buru dia pergi ke istana raja. Begitu sampai di sebuah kamar yang terhias indah, dia lihat Chu Goan sedang ada di depan sebuah kaca besar. Dia sedang menyisir rambutnya dengan tingkah ceriwis. ”Hm, apa yang sedang kau kerjakan di sini, Leng-i?” Touw Liam menegur sambil menggelengkan kepalanya. ”Apa kau kira ini tempatmu berhias? Hayo, Leng-i, lekas keluar dari sini!” Chu Goan yang berharap Permaisuri Bun jatuh cinta kepadanya, itu sebabnya selama tiga hari dia selalu berhias. Sebentar-bentar dia pandang wajahnya di kaca. Dia berjalan hilir-mudik di depan kamar Permaisuri Bun. Dia harap Permaisuri Bun akan menegurnya. Ketika itu Chu Goan sedang berhias dengan pikiran bimbang. Dia jadi terperanjat mendengar teguran Touw Liam. Bahkan Touw Liam yang memergokinya langsung mengusir dia. Tentu saja kejadian ini membuat dia jadi mendongkol sekali. Dengan mata melotot dia menyahut. ”Tempat ini tempat keluarga kami, apa hubungannya denganmu?” bentak Chu Goan. ”Aturan dari mana yang kau jalankan?” balas Touw Liam. ”Tahukah kau demi kemuliaan Raja, seorang adik Raja pun dilarang melanggar adat-istiadat. Ditambah lagi tempat ini berdekatan dengan istana Ibusuri. Sekarang silakan keluar!” ”Hm, kau jangan banyak bicara di hadapanku!” kata Chu Goan.”Jangan lupa kekuasan di negeri Couw ada di tanganku! Sungguh berani kau kurangajar kepadaku!” Ketika Touw Liam mau bicara lagi, Chu Goan sudah berteriak memanggil anak buahnya. ”Prajurit, tangkap orang ini!”kata Chu Goan dengan kasar. Anak buah Chu Goan langsung menangkap Touw Liam yang segera diikat pada sebuah tiang istana. Keributan di luar kamar Permaisuri Bun telah didengar oleh Permaisuri Bun. Segera dia memerintahkan budaknya mengintai. Dia ingin tahu apa yang sedang terjadi. Tidak lama budaknya sudah kembali melapor. ”Di luar Leng-i Chu Goan sedang bertengkar dengan Menteri Touw Liam. Sekarang Menteri Touw Liam sudah ditangkap dan diikat oleh anak buah Chu Goan.” kata budak tersebut. ”Menteri Touw Liam menyebut Cu Goan tidak sopan, dia berani berada di dekat kamar Tuanku sampai tiga hari tiga malam. Entah untuk apa?” Mendengar laporan itu Permaisuri Bun kaget. Apalagi merndengar Touw Liam ditangkap. Segera dia perintahkan budaknya memanggil Touw-kok O-to. Dia minta agar menteri
ini membereskan masalah keributan di istananya. Begitu mendengar kabar itu Touw-kok O-to buru-buru menemui Raja Couw Seng Ong. Dia langsung melaporkan apa yang terjadi di istana Ibunda Raja tersebut.Raja Couw marah bukan main. Dia berkata pada Touw Gouw, Touw Gi Kiang dan Touw Pan, juga Touw-kok O-to agar pada tengah malam mereka bersama-sama menangkap Chu Goan. Tepat pada tengah malam Touw Gouw, Touw Gi Kiang dan Touw Pan mengerahkan pasukan. Mereka mengepung istana Permaisuri Bun. Anak buah Cu Goan mencoba menghalanghalangi mereka, tetapi pasukan ini langsung melabraknya sehingga mereka bubar semua. Ketika itu Chu Goan sedang tidur dan bermimpi indah di sebuah kamar. Ketika mendengar suara ribut-rubut Chu Goan bangun dari tidurnya. Dia sadar dengan kaget dan tahu istana sudah dikepung oleh pasukan istana. Buru-buru Chu Goan mengambil pedangnya. Dia berjalan keluar akan melawan. Kebetulan Chu Goan berpapasan dengan Touw Pan yang juga memegang sebilah pedang. Touw Pan hendak masuk ke dalam istana. Chu Goan mengenali Touw Pan yaitu putera Touw Kok O-to. ”Astaga, kiranya kau yang membuat gaduh itu, hai bocah!” bentak Chu Goan. ”Bukan aku yang membuat gaduh, tetapi aku ingin menumpas biang kerusuhan!” sahut Touw Pan dengan gagah. Touw Pan langsung mengangkat pedangnya menyerang Chu Goan. Buru-buru Chu Goan menangkis serangan Touw Pan dengan pedangnya. Chu Goan pun membalas menyerang. Di tempat itu mereka berdua bertarung dengan hebat. Baru bertarung beberapa jurus, Touw Gi dan Touw Gouw tiba-tiba muncul di tempat itu. Mereka beramairamai membantu Touw Pan mengepung Chu Goan. Bab 7 Karena dikepung oleh tiga orang famili Touw yang gagah perkasa, Chu Goan tidak mampu menghadapi mereka. Terpaksa Chu Goan mundur ke arah pintu dengan maksud hendak melarikan diri dari istana. Tetapi sebelum tercapai maksudnya, pedang Touw Pan sudah keburu menyamber ke kepalanya. Pada saat itu juga Chu Goan tersungkur jatuh ke lantai dan tewas. Ketika Touw Kok O-to melihat Touw Liam terikat di tiang istana, buru-buru dia membukakan ikatan pada tubuh Touw Liam. Sesudah kekacauan dipadamkan mereka berlutut di depan pintu kamar Permaisuri Bun. Dengan sikap menghormat mereka menanyakan kesehatan Sang Ratu juga menjelaskan apa yang telah terjadi di depan kamarnya. Mereka menjelaskan bahwa Chu Goan telah binasa. ”Terima kasih atas cape-lelah kalian semua!” kata Permaisuri Bun. Sesudah semua menteri memberi hormat, kemudian mereka meninggalkan istana Sang Ratu.
Esok harinya, ketika Raja Couw Seng Ong Him Tan ada di istana, sesudah semua menteri menjalankan kehormatan, Raja Couw memerintahkan anak buahnya untuk membunuh habis sanak keluarga Chu Goan. Raja memerintahkan menempelkan maklumat di jalan-jalan yang penting. Memberitahukan pada rakyat bahwa Chu Goan berdosa besar hingga dihukum mati. Raja memberi hadiah pada famili Touw yang berjasa itu. Di antara kaum Touw, Touw-kok Oto yang paling pandai mengatur pemerintahan. Dialah menteri negeri Couw yang paling utama. Dia putera dari Touw Pek Pi. Kakek Touw-kok O-to bernama Touw Jiak Go, ibunya seorang putri Raja In. Ketika meninggal usia Touw Pek Pi masih sangat muda. Terpaksa Touw Pek Pi ikut dengan ibunya tinggal di negeri In. Ketika Touw Pek Pi sudah dewasa, dia mengadakan hubungan gelap dengan putri Raja In. Ketika putri Raja In itu hamil dan ketahuan oleh ibunya, si nyonya melarang orang buka rahasia. Kemudian putrinya dilarang berhubungan lagi dengan Touw Pek Pi. Touw Pek Pi karena malu pergi ke negeri Couw dan bekerja di negerii Couw. Putri In melahirkan seorang anak lelaki, Nyonya Raja In takut suaminya mengetahui rahasia itu. Dia memerintahkan budaknya membungkus bayi tersebut dengan baju dan membuangnya di suatu tempat dalam sebuah rimba. Pada suatu hari Bong Tek, Raja In melihat ada seekor harimau sedang menyusui bayi. Ketika pulang ke istana dia memberitahu isterinya. Nyonya Raja terpaksa berterus terang. Bahwa putri mereka telah mengadakan hubungan gelap dengan Touw Pek Pi. Hubungan itu sampai melahirkan seorang anak lelaki. Karena takut dimarahi oleh sang raja, maka anak itu dibuang ke tengah rimba. ”Mungkin anak yang sedang disusui oleh harimau itu, anak putri kita Tuanku?” kata Ratu. Mendengar keterangan itu bukan main girangnya Raja In. Dia tidak gusar, malah girang sekali. Dia perintahkan anak buahnya mengambil anak bayi yang disusui oleh harimau itu. Kemudian dia memerintahkan menterinya mengantarkan putri dan bayinya itu ke tempat Touw Pek Pi di negeri Couw. Tentu saja Touw Pek Pi girang bukan main. Dia menghaturkan terima kasih atas budi baik Raja In tersebut. Karena menurut ucapan orang Couw kata susu itu disebut Kok, dan kata harimau disebut O-to, maka dengan mengambil maksud kata susu macan, bayi itu dia beri nama Touw-kok O-to alias Cu Bun. Sesudah Touw-kok O-to dewasa, dia belajar ilmu pemerintahan dan kemiliteranm. Touw Pek Pi sudah menjadi menteri di negeri Couw dia meninggal dunia. Maka Touw-kok O-tolah
yang meneruskan jabatan ayahnya. Sesudah Chu Goan meninggal posisi Leng-i di negeri Couw telah lowong. Raja Couw berniat mengangkat Touw Liam menjadi Leng-i untuk menggantikan Cu Goan. ”Tuanku hamba tidak punya kepandaian untuk menjadi seorang Leng-i,” kata Touw Liam menolak kedudukan itu. ”Saat ini negeri Cee bermusuhan dengan negeri Couw. Raja Cee memakai Koan Tiong dan Leng Cek sebagai penasihatnya. Kepandaian mereka sangat tinggi. Tidak heran jika negerinya jadi kaya-raya dan tentaranya sangat kuat. Kepandaian hamba mana bisa dibandingkan dengan mereka berdua. Apabila Tuanku hendak memperkuat pertahanan negara Couw juga untuk menjadi jago di Tiong-goan (Tiongkok). Hamba rasa Tuanku harus memakai Touw-kok O-to. Jika bukan dia hamba tidak yakin akan berhasil!” kata Touw Liam. Baginda sadar Touw-kok O-to sangat dihormati oleh semua menteri di negeri Couw. Sesudah mendengar dukungan dari Touw Liam pada Touw-kok O-to, Baginda pun setuju sekali mengangkat Touw-kok O-to menjadi Perdana Menterinya. Raja Couw Seng Ong segera mengangkat Touw-kok O-to menjadi Leng-i di negeri Couw. Orang-orang di negeri Couw dilarang memanggil namanya dengan Touw-kok O-to, melainkan memanggilnya dengan sebutan Chu Bun saja. Ketika itu jatuh pada tahun pemerintahan Raja Ciu Hui Kong yang ke-13. Sejak Touw-kok Oto alias Chu Bun menerima jabatan menjadi Leng-i, dia senantiasa berusaha untuk memajukan negeri Couw. Chu Bun sadar negeri Couw sangat lemah. Kekayaan terbesar berada di tangan para menteri baginda. Karena itu dia bermaksud mengatur kekayaan negeri Couw dengan baik. Lalu dia membuat undang-undang dengan tujuan agar semua menteri di negara Couw mengembalikan harta mereka; separuh saja kepada negara. Tetapi Chu Bun bukan sekedar memberi gagasan saja. Dia malah menjadi pelopor pertama yang mengembalikan separuh dari harta miliknya kepada negara. Pelaksanaan pengembalian kekayaan ini terutama dimulai dari marga Touw dulu. Karena tindakan Chu Bun ini tidak seorang pun menteri di negeri Couw yang membangkang. Mereka dengan sukarela mengembalikan sawah, tanah dan usaha mereka separuhnya kepada negara. Melihat posisi, kota Teng-shia sangat bagus. Di bagian selatan kota Teng-shia terlindung oleh sungai Siang-tam-hoo, sedang di bagian utaranya terlindung oleh sungai Han-kanghoo. Menurut pendapat Chu Bun di tempat itu sangat baik untuk sebuah Ibukota negara. Kemudian Chu Bun mengajukan gagasan itu pada Raja Couw. Dengan senang hati Raja Couw pun menyetujuinya. Sesudah istana itu selesai dibangun, Raja Couw pun pindah dari kota Tam-yang ke kota Tengshia, nama kota itu diganti dengan nama yang baru disebut Teng-
touw. Selain itu, Chu Bun dengan giat melatih angkatan perang negeri Couw. Dia juga menempatkan orang-orang yang pandai mengurus tentara maupun negara. Dia mendapatkan seorang bernama Kut Goan dan Touw Ciang untuk membantu mengurus pemerintahan di negeri Couw dengan baik. Karena kepandaian Chu Bun dalam mengurus pemerintahan di negeri Couw, ditambah lagi dia dibantu oleh orang-orang yang pandai, maka dalam waktu singkat negeri Couw menjadi sangat makmur, aman dan tentram sekali. ** Ketika Raja Cee Hoan Kong mendengar tentang kemajuan di negeri Couw, dia kaget. Tetapi segera dia mengetahui mengapa negeri Couw bisa begitu maju dan makmur. Rupanya Raja Couw pandai menempatkan orang-orang yang luar biasa kemampuannya. Raja Cee Hoan Kong menjadi agak gentar pada negeri Couw ini. Dia khawatir suatu saat kemajuan dan kekuatan tentara negeri Couw itu akan menjadi bahaya bagi negaranya. Karena itu dia berniat hendak mengajak semua Raja Muda di Tiongkok mengerahkan tentara mereka untuk menyerang lebih dahulu pada negeri Couw; sebelum mereka didahului oleh negeri Couw tersebut. Tetapi sebelum melaksanakan niatnya itu Cee Hoan Kong menyampaikan maksudnya itu kepada Koan Tiong. ”Raja Couw telah mengangkat dirinya menjadi Kaisar di bagian selatan Tiongkok. Daerah mereka sangat luas dan angkatan perangnya pun sangat kuat. Aku rasa sekalipun Kaisar Ciu yang kuat tidak akan bisa menaklukannya,” kata Koan Tiong. ”Apalagi sekarang Raja Couw sangat mengandalkan Chu Bun untuk mengurus pemerintahan. Sehingga keadaan negerinya demikian aman. Karena itu tidak mudah kita kalahkan dengan kekuatan angkatan perang kita! Sedang Tuanku baru mampu menggabungkan semua Raja Muda, tetapi belum bisa menyenangkan semua orang. Bahkan belum mampu menaklukkan setiap hati Raja Muda yang bergabung dengan kita. Maka hamba khawatir angkatan perang semua Raja Muda pun tidak bisa kita gunakan dengan leluasa. Maka Tuanku harus melakukan berbagai kebajikan supaya semua Raja Muda takluk hatinya. Untuk menaklukan negeri Couw, kita harus menundanya dulu dan menunggu saat yang baik, baru kita bergerak. Dengan demikian usaha kita baru bisa berhasil dengan baik!” Mendengar nasihat Koan Tiong tersebut, Raja Cee mengangguk. Dia sadar akan kelemahannya itu. Tetapi kemudian Raja Cee berkata lagi. ”Selama ini negeri Ciang masih berdaulat, mereka belum takluk kepada kita, apa tidak lebih baik kita serang saja mereka?” kata Raja Cee Hoan Kong. ”Sekalipun negeri Ciang sangat kecil, tetapi leluhur mereka berasal dari turunan Kiang Tay Kong,*) mereka satu She (Marga) dengan Raja Cee. Jika kita menghancurkan sesama satu
She, hal ini menjadi kurang pantas. Lebih baik Tuanku perintahkan Ong-cu Seng Hu memimpin pasukan perang pergi meronda di kota Ki, seolah-olah Tuanku mau menyerang negeri Ciang. Dengan berbuat demikian pasti Raja Ciang jadi ketakutan dan datang menakluk, sehingga tidak usah mendapat nama buruk kita bisa mendapatkan daerahnya.” kata Koan Tiong. Raja Cee Hoan Kong setuju pada pendapat Koan Tiong, begitulah dia langsung menjalankan siasat tersebut. Benar saja Raja Ciang jadi ketakutan ketika melihat gerakan tentara Cee yang hendak menyerang ke wilayahnya. Dia segera menyatakan ketaatnya. Raja Cee Hoan Kong memuji kepandaian Koan Tiong. ”Hai, sesungguhnya harus kuakui, Tiong-hu memang seorang yang pandai!” kata Raja Cee Hoan Kong. ** Pada suatu hari, saat Raja Cee sedang berunding dengan para menterinya. Tibatiba ada anak buahnya yang melapor. ”Tuanku dari negeri Yan telah datang seorang utusan. Dia mengatakan negerinya kedatangan tentara bangsa San-jiong. Raja Yan minta bantuan pada Tuanku.” kata pelapor itu. Mendengar khabar itu Koan Tiong berkata pada Raja Cee Hoan Kong. ”Jika Tuanku hendak menyerang negeri Couw, Tuanku harus menundukkan dulu bangsa Jiong, jika bahaya dari bangsa Jiong sudah lenyap, baru Tuanku akan berhasil menaklukan negeri Couw!” kata Koan Tiong. *) Kiang Tay Kong adalah nama Kiang Cu Gee. Tokoh terkenal dalam Roman klasik Tiongkok berjudul ”Hong Sin”. Letak negeri San-jiong di tanah Leng-ci. Negara itu di bagian barat berbatasan dengan negeri Yan, di sebelah timur dan selatan dekat dengan negeri Cee dan Couw. Bangsa Sanjiong dinilai sangat jahat oleh orang Tiongkok. Mereka mengandalkan daerahnya yang dilindungi gunung yang tinggi-tinggi, hutan yang lebat dan angkatan perang yang kuat. Karena itu mereka tidak mau tunduk kepada negara lain. Mereka juga sering masuk ke wilayah Tiongkok untuk melakukan kerusuhan dan perampokan secara semena-mena. Mendengar khabar Raja Cee hendak menjadi jago di benua Tiongkok, dengan sengaja Raja bangsa San-jiong mengerahkan angkatan perang mereka yang besar, datang mengacau di negeri Yan. Maksud mereka hendak merenggangkan hubungan antara negeri Yan dan negeri Cee. Raja negeri Yan, Yan Cong Kong, karena merasa tidak sanggup menangkis serangan bangsa San-jiong, dia perintahkan seorang utusan untuk minta pertolongan ke negeri Cee. Mendengar khabar negeri Yan diserang oleh bangsa San-jiong, Koan Tiong langsung
memberi saran pada Raja Cee Hoan Kong. ”Kita harus segera mengirim bala-bantuan ke negeri Yan.” kata Koan Tiong. Tetapi Cee Hoan Kong sangsi. Melihat Raja Cee Hoan Kong ragu-ragu Koan Tiong berkata dengan sabar. ”Pada saat ini negeri yang berbahaya bagi kita, di selatan adalah negeri Couw. Di bagian Utara bangsa San-jiong, dan di bagian barat bangsa Tek. Mereka mirip duri dalam daging! Maka itu menjadi tugas Tuanku untuk melenyapkan mereka. Sekalipun bangsa Jiong tidak mengusik negeri Yan, tetapi kita tetap harus berusaha menaklukkan mereka. Apalagi negeri Yan sudah mereka serang dan raja negeri Yan datang minta pertolongan kepada kita. Mau tidak mau kita harus menyapu bersih bangsa San-jiong itu sampai tuntas!” kata Koan Tiong. Mendengar keterangan Koan Tiong tersebut Raja Cee Hoan Kong setuju juga pada saran dari Koan Tiong tersebut. Selang beberapa hari Raja Cee sudah menyiapkan pasukan perangnya, kemudian berangkat ke negeri Yan. ** Raja bangsa San-jiong bernama Bit Louw. Sudah dua bulan dia mengacau di negeri Yan. Mereka telah berhasil merampas harta-benda dan anak-isteri rakyat biasa. Mereka juga melakukan bermacam-macam kejahatan. Tetapi setelah mereka mendengar pasukan Cee sudah hampir tiba, mereka merasa jerih juga. Raja San-jiong mengajak tentaranya pulang dengan membawa barang rampasan ke negaranya. Ketika pasukan Cee sampai di San-bun-kwan (tanah negara Yan), mereka telah disambut oleh Raja Yan yang menghaturkan terima kasih kepada Raja Cee atas kesediaannya membantu mereka. Karena dengan tidak menghiraukan perjalanan yang jauh, Raja Cee datang menolong. Karena ketakutan bangsa San-jiong pulang ke negaranya. Dengan sikap yang hormat dan merendah Raja Cee membalasnya. ”Ini sudah menjadi kewajiban kami membantu sesama Raja Muda,” kata Raja Cee Hoan Kong. ”Tetapi bangsa San-jiong yang kabur berhasil membawa hasil jarahan mereka,” kata Koan Tiong kurang puas, ”pasti mereka akan datang lagi karena mereka belum jera. Mereka belum merasakan hajaran yang hebat dari kita. Jika tentara kita sudah mundur, orang San-jiong akan datang kembali. Sebaiknya kita gunakan saat yang baik ini untuk melabrak mereka sekarang juga! Dengan demikian kita bisa menyingkirkan bahaya di kemudian hari.” ”Aku sependapat dengan Tiong-hu,” kata Raja Cee Hoan Kong. Raja Yan sangat girang, ia ingin bangsa San-jiong itu musnah sama sekali dari muka bumi.
”Dari sini ke arah timur sekitar 10 li ada sebuah negeri bernama Bu Ciong, sekalipun raja di Bu Ciong bangsa Jiong juga, tetapi mereka tidak tunduk pada pengaruh bangsa Sanjiong. Maka itu kita bisa minta bantuan pada mereka untuk menjadi penunjuk jalan.” kata Raja Yan. Raja Cee Hoan Kong girang, dia sediakan emas dan perak sebanyak-banyaknya. Kemudian memerintahkan Sek Peng mengantarkan bingkisan itu kepada Raja di Bu Ciong. Tatkala Sek Peng sudah sampai di Bu Ciong, dia serahkan bingkisan itu kepada Raja Bun Ciong. Sesudah bingkisan diterima dan setelah berbincang sesaat Sek Peng menjelaskan maksud kunjungannya. ”Raja kami ingin minta bantuan dari tuanku untuk menjadi penunjuk jalan ke tempat bangsa San-jiong. Jika tuanku tidak keberatan bantuan itu sangat kami harapkan.” kata Sek Peng. Karena Raja Bu Ciong sudah mendapat bingkisan, dia langsung setuju saja. ”Baik karena mereka juga musuh kami,” kata Raja Bu Ciong. Dia memerintahkan panglima bernama Houw Ji Pan memimpin 2000 tentara Bu Ciong membantu Raja Cee berperang melawan bangsa San-jiong.
Bab 8 Berangkatlah angkatan perang gabungan ini. Sesudah 200 li jauhmya, Raja Cee Hoan Kong melihat jalan di pegunungan itu sangat sempit dan berbahaya. Kemudian dia bertanya kepada Raja Yan. ”Tuanku, apa nama tempat ini?” kata Raja Cee. ”Tempat ini disebut Kui-cu,” sahut Raja Yan Cong Kong, dari sini kaum Pak Ji Ong berjalan keluar masuk.” Koan Tiong mengusulkan agar Cee Hoan Kong membagi kereta perangnya. Separuh perbekalan mereka ditinggalkan di tempat itu. Dia juga memerintahkan tentaranya menebang pohon besar untuk tempat berkemah. Tempat itu juga dijadikan tempat menyimpan perbekalan mereka. Pao Siok Gee bertugas menjaga di tempat itu. Dialah yang mengurus pengangkutan ransum dan lain-lain keperluan tentara gabungan itu. Apabila pasukan makanan kurang, Pao Siok Gee harus mengambilnya di negeri Yan atau negeri Cee. Sesudah itu Cee Hoan Kong memerintahkan tentaranya istirahat selama tiga hari. Bagi tentara yang sakit mereka sengaja ditinggalkan karena Raja Cee hanya akan membawa yang sehat dan segar, sehingga tidak menghambat perjalanan mereka. ** Sejak pulang dari Tiongkok, setiap hari Raja bangsa San-jiong itu bersenangsenang saja. Mereka berhasil membawa pulang hasil jarahannya cukup banyak. Ketika Raja San-
jiong sedang bersenang-senang, tiba-tiba juru kabarnya datang memberi laporan. ”Tuanku tentara negeri Cee datang menyerang!” kata si pelapor itu. Mendengar laporan itu Bit Louw kaget bukan alang-kepalang. Dengan sangat tergesa-gesa dia memanggil panglima perangnya yang bernama Sok Moai untuk diajak berdamai. ”Sok Moai, musuh datang. Bagaimana kita harus menghadapinya?” tanya Bit Louw. ”Menurut dugaan hamba musuh sekarang pasti masih kelelahan. Mereka baru saja melakukan perjalanan yang sangat jauh. Saat mereka sedang membangun kemah-kemah mereka, kita boleh menyerang mereka dengan mendadak. Hamba rasa kita akan mendapat kemenangan besar!” kata Sok Moai. Raja Bit Louw setuju pada pendapat Sok Moai. Kemudian Sok Moai diperintahkan membawa 3000 prajurit maju ke medan perang. Sok Moai memimpin tentaranya; tetapi sebagian dia suruh bersembunyi di sela-sela gunung. Jika musuh masuk perangkap mereka maka mereka harus mengepung tentara Cee yang sedang kelelahan itu. Pasukan yang sebagian lagi langsung menantang perang. Houw Ji Pan bersama pasukannya berpapasan dengan panglima Sok Moai. Dengan tidak banyak bicara lagi mereka langsung bertempur. Serangan Houw Ji Pan ditangkis oleh Sok Moai. Tidak lama pertempuran hebat pun terjadi. Sok Moai yang sudah menyiapkan jebakan, setelah bertarung beberapa jurus, pura-pura kalah dan kabur ke dalam rimba. Mengira musuh sungguh-sungguh sudah kalah, Houw Ji Pan memberi tanda agar anak buahnya mengejar musuh. Ketika Sok Moai sampai di hutan dan mengetahui musuh mengejarnya, Sok Moai girang. Dia berteriak memberi tanda pada tentaranya yang bersembunyi. Teriakan itu disambut oleh sorak-sorai yang riuh sekali, dan dari sela-sela gunung segera keluar tentara Jiong menerjang barisan Houw Ji Pan. Serangan ini mengacaukan pasukan Houw Ji Pan, sehingga terpecah menjadi dua bagian, karena tengahnya diserang hebat oleh tentara Sok Moai. Houw Ji Pan baru sadar bahwa dia telah terjebak ke dalam tipu-muslihat musuh. Dia kaget dan buru-buru memberi perintah mundur. ”Mundur! Mundur!” teriak Houw Ji Pan. Tetapi komando dari Houw Ji Pan tidak banyak artinya, karena sudah terlambat. Tentara Sanjiong sudah mengepung mereka dengan rapat sekali. Sekalipun Houw Ji Pan sudah bertarung mati-matian, dia tidak bisa menembus kepungan musuh. Malah lebih celaka lagi, kuda Houw Ji Pan binasa. Houw Ji Pan jadi bertambah susah. Saat Houw Ji Pan sedang terancam bahaya, beruntung angkatan perang Raja Cee sampai. Ong-cu Seng Hu datang melabrak kepungan bangsa San-jiong untuk menolong Houw Ji Pan.
Semula harapan Sok Moai bisa menangkap Houw Ji Pan, tetapi tidak diduga pasukan Cee datang. Harapan Sok Moai pun gagal, malah tentaranya sendiri rusak berat dan terpaksa dia harus melarikan diri. Melihat tentaranya banyak yang binasa, Houw Ji Pan menyesali dirinya. Ketika Houw Ji Pan bertemu dengan Raja Cee Hoan Kong dia merasa malu sekali. Melihat Houw Ji Pan sangat berduka, Raja Cee Hoan Kong segera mengerti bagaimana perasaan panglima itu karena kalah perang. Dia mencoba menghibur panglima itu. ”Dalam perang menang dan kalah sudah biasa,” kata Raja Cee Hoan Kong. ”Harap Jenderal jangan bersusah hati.” Untuk menghibur Houw Ji Pan dan menyatakan bahwa dia tidak menyesali kekalahan Houw Ji Pan itu, Raja Cee menghadiahkan seekor kuda yang bagus pada Houw Ji Pan. Houw Ji Pan mengucapkan terima kasih kepada Raja Cee. Dia girang sekali, Cee Hoan Kong sangat baik budi. Maka sebisanya dia hendak mengorbankan seluruh tenaga dan jiwanya untuk membalas kebaikan Raja Cee tersebut. Pasukan besar negeri Cee bergerak menuju ke arah timur. Sesudah 30 li jauhnya, mereka sampai di sebuah gunung bernama Hok-liong-san. Tempat itu sangat penting. Cee Hoan Kong bersama Yan Cong Kong membangun kemah mereka di tempat itu. Ong-cu Seng Hu dan Pin Si Bu mendirikan dua benteng di kaki gunung tersebut. Mereka melindungi markasnya dengan cara menggandeng-gandengkan kereta perang mereka. Mereka juga melakukan penjagaan yang ketat. ** Esok harinya.... Bit Louw mengajak Sok Moai dan 10.000 tentaranya menantang. Tetapi tantangan itu tidak diladeni oleh tentara Cee. Bit Louw jadi sangat gusar. Berkali-kali dia maju untuk menerjang, tetapi selalu gagal dan harus mundur kembali. Mereka terhalang oleh keretakereta perang negeri Cee. Demikian kokohnya pertahanan negeri Cee, tidak ubahnya seperti sebuah tembok kota saja. Dari balik kereta-kereta perang tentara Cee tidak hentinya ribuan anak panah menyambar ke arah tentara San-jiong. Sampai lohor Koan Tiong yang berada di atas gunung menyaksikan tentara Jiong jumlahnya makin berkurang. Semua tentara itu telah turun dari kuda mereka dan mereka berbaring di tanah. Mulut mereka kelihatan tidak henti-hentinya mengomel. Koan Tiong menepuknepuk bahu Houw Ji Pan sambil berkata. ”Jenderal, sekarang sudah tiba saatnya anda membalas dendam.” kata Koan Tiong.
”Baiklah,” kata Houw Ji Pan dengan girang. Houw Ji Pan langsung memimpin tentaranya keluar dari benteng kereta perang. Pasukan Houw Ji Pan bergerak menyerang musuh. Melihat suasana saat itu mencurigakan Sek Peng berkata pada Koan Tiong, ”Menurut penglihatanku, aku rasa Raja San-jiong sudah mengatur tipu-muslihat.” kata Sek Peng. ”Harap Tiong-hu berhati-hati.” ”Benar, aku pun menduga begitu,” sahut Koan Tiong. Koan Tiong memerintahkan Ongcu Seng Hu memimpin pasukan keluar dari bagian kiri, Pin Si Bu memimpin pasukan sebelah kanan. Mereka diperintahan melabrak tentara musuh yang diperkirakan sedang bersembunyi. Dugaan Sek Peng dan Koan Tiong memang benar. Melihat tentara Cee hanya berjaga di markasnya saja dan tidak mau berperang. Raja San-jiong lalu mencari akal. Kemudian dia bagi tentaranya menjadi dua bagian; pasukan pertama diperintahkan bersembunyi di sela-sela gunung. Sedang yang sebagian lagi sengaja diperintahkan turun dari kuda-kuda merela. Mereka juga diperintah mencaci-maki tidak hentinya. Semua itu maksudnya untuk memancing tentara Cee supaya mau berperang dengan mereka. Ketika pasukan Houw Ji Pan keluar menyerang, tentara San-jiong berpura-pura ketakutan. Mereka sengaja meninggalkan kuda mereka dan lari terbirit-birit ke suatu tempat. Tetapi baru saja Houw Ji Pan mengejar mereka, justru pada saat itu Houw Ji Pan mendengar suara gembreng dari bentengnya. Maka terpaksa dia urungkan niatnya dan kembali ke bentengnya. Melihat Houw Ji Pan tidak mengejar pasukan San-jiong, Bit Louw segera berteriak memanggil tentaranya yang bersembunyi di sela-sela gunung. Kemudian dengan berbareng mereka menerjang musuh. Tapi Bit Louw tidak menyangka Ong-cu Seng Hu dan Pin Si Bu bersama pasukannya datang membokong mereka dari belakang. Dengan demikian tentara San-jiong jadi kalang-kabut. Di tempat itu segera terjadi pertempuran yang hebat. Ong-cu Seng Hu bertempur melawan Bit Louw. Pin Si Bu bertarung melawan Sok Moai. Tentara Cee bertanding dengan tentara Sanjiong secara mati-matian. Bit Louw dan Sok Moai merasa tidak tahan menghadapi kehebatan musuh. Mereka membalikkan kuda mereka dan buru-buru kabur. Tentaranya sebagian besar telah binasa oleh tentara Cee. Sesudah berhasil membunuh tentara Jiong, Ong-cu Seng Hu dan Pi Sin Bu pun berhasil merampas persenjataan dan ransum musuh. Sesudah itu baru mereka kumpulkan tentaranya dan pulang ke markas mereka dengan kemenangan besar. Sementara Bit Louw yang melarikan diri sudah sampai di markasnya. Ketika dia memeriksa sisa tentaranya, dia kaget. Sekarang sisa tentaranya tinggal sedikit.
”Harap Tuanku jangan putus asa,” kata Sok Moai. ”Hamba punya siasat untuk mengusir musuh!” ”Apa rencanamu?” tanya Bit Louw. ”Hamba duga, jika mereka maju terus, mereka pasti harus lewat di selat Hong-taysan. Tempatkan pertahanan yang tangguh di mulut jalan. Tutup dengan balok dan batubatu besar. Di bagian depannya kita gali parit untuk pertahanan. Dengan cara demikian hamba rasa kita akan menang!” kata Sok Moai. Bit Louw mengangguk. Kemudian Sok Moai melanjutkan bicaranya. ”Di gunung Hok-liong-san sejauh 20 li tidak terdapat mata air. Untuk air minum dan masak mereka harus mengambilnya dari sungai Ti-sui. Jika sungai itu kita bendung, niscaya tentara musuh akan kekurangan air minum. Pada saat mereka panik dan kebingungan, kita serang mereka! Hamba rasa kita akan memperoleh kemenangan. Kita kirim utusan ke negara Khotiok untuk minta bala-bantuan. Bagaimana pendapat Tuanku?” kata Sok Moai. ”Ya, bagus, bagus! Aku setuju pada rencanamu!” kata Bit Louw sambil tersenyum girang. Mereka segera bersiap-siap melaksanakan rencana yang telah dirancang oleh Sok Moai itu. ** Di markas tentara Cee...... Ketika itu Koan Tiong sedang keheranan, karena tentara San-jiong yang mendapat labrakan hebat secara beruntun tidak bergerak. Koan Tiong jadi curiga, dia menduga musuh sedang mengatur siasat. Buru-buru Koan Tiong menyebarkan mata-mata ke berbagai tempat. Mereka sengaja disebar untuk mencari keterangan di mana saat itu posisi musuh. Tidak berapa lama mata-mata Koan Tiong sudah datang melapor. ”Musuh telah menutup jalan besar di mulut gunung Hong-tay-san dengan balok dan batu-batu besar.” kata mata-mata itu. Mendengar laporan tersebut Koan Tiong terkejut, dia bertanya kepada Houw Ji Pan. ”Ciang Kun (Jenderal), selain jalan yang ditutup oleh musuh, apakah masih ada jalan yang lainnya atau tidak?” kata Koan Tiong. Mendengar pertanyaan Koan Tiong Jenderal Houw Ji Pan pun bengong. Dia berpikir sebentar, kemudian baru dia menjawab. ”Jika kita mengambil jalan dari Hong-tay-san, sejauh 15 li dari sini kita akan sampai di sarang bangsa San-jiong. Jika mau mengambil jalan lain, bisa juga. Tetapi harus dari arah jalan menuju ke Tay-kwan. Dari sana belok ke arah bukit Ci-moa-nia. Sesudah itu kita keluar dari mulut gunung Ceng-san. Tidak lama lagi kita akan sampai di sarang mereka. Di
tempat ini gunungnya sangat tinggi dan jalannya pun sangat berbahaya. Kereta perang dan kuda sulit bergerak.” kata Houw Ji Pan. Mendengar penjelasan itu Koan Tiong duduk diam seperti orang yang sedang berpikir keras. Sebelum Koan Tiong mengambil keputusan, tiba-tiba datang panglima bernama Lian Ci menghadap. ”Tuanku, celaka kita! Raja Jiong telah menutup sungai, sehingga tentara kita tidak punya air untuk masak dan minum!” kata Lian Ci. ”Bagaimana sekarang?” ”Oh, sungguh celaka!” kata Houw Ji Pan terperanjat. ”Di bukit Ci-moa-nia kita harus berjalan beberapa hari lamanya, baru bisa sampai ke tempat tujuan. Jika tidak ada air untuk masak dan minum kuda-kuda kita, sungguh sangat berbahaya sekali!” ”Mengapa kita harus putus asa?” kata Cee Hoan Kong. ”Jika mereka bendung sungai itu, toh kita bisa menggali sumur untuk mendapatkan air!” ”Ya, Tuanku benar,” kata Sek Peng, ”setahu hamba, di tempat yang ada lubang semutnya, di situ pasti kita bisa mendapatkan mata air. Maka kita harus mencari dulu tempat tinggal semut. Dengan demikian pekerjaan menggali sumur tidak akan gagal.” Raja Cee Hoan Kong setuju dengan pendapat Sek Peng. Ketika pasukan itu benarbenar bergerak ke bukit Ci-moa-nia; Raja Cee Hoan Kong mengeluarkan perintah. ”Barangsiapa yang bisa lebih dahulu mendapatkan lubang semut, atau air maka mereka akan diberi hadiah.” kata Raja Cee. Maka dikerahkannya tentara Cee untuk mencari lubang semut, karena dia yikin bakal menemukan mata air di lubang semut itu. Terpaksa mereka kembali dengan tangan hampa, dan melaporkan bahwa usaha mereka telah gagal. Sebelum Raja Cee Hoan Kong bicara, Sek Peng sudah mendahuluinya berkata. ”Sifat semut, di musim dingin dia mendekati hawa yang hangat, dan pasti mereka tinggal di tempat yang terang. Sebaliknya di musim panas, mereka mencari udara sejuk, dan pasti semut-semut itu tinggal di tempat yang teduh! Bulan ini jatuh pada musim dingin, maka kita harus menggali sumur di tempat yang terang, hamba yakin kita bisa menemukan mata air itu! Jika sembarangan gali saja, hal itu hanya membuang tenaga percuma saja!” kata Sek Peng. Tentara Cee menuruti nasihat Sek Peng tersebut. Mereka menuruni tebing gunung, di tempat yang terang itulah mereka mulai menggali lubang. Memang benar mereka beruntung menemukan mata air yang jernih dan enak diminum. Keberhasilan anak buahnya menemukan mata air atas jasa Sek Peng yang
berpengetahuan banyak itu, membuat Raja Cee Hoan Kong sangat kagum. ”Aku kagum pada Sek Peng, kepandaiannya mirip seorang nabi!” kata Cee Hoan Kong. Sesudah itu Raja Cee Hoan Kong memberi nama mata air tersebut dengan sebutan ”Seng Cun” (Mata air dari Nabi), dan gunung Hok-liong-san pun diubah namanya menjadi Liongcoan-san. Seluruh bala-tentara Cee mendapat air, dan mereka bersorak-sorak gembira sekali. ** Tatkala Bit Louw mendapat kabar tentara Cee tidak kehabisan air minim. Raja Bit Louw jadi khawatir dan cemas. Dia berkata kepada Sok Moai: ”Barangkali mereka dibantu oleh malaikat, apa saja yang kita rencanakan pada mereka, selalu gagal!” kata Bit Louw. ”Harap Tuanku tidak khawatir,” kata Sok Moai. ”Sekalipun tentara Cee tidak kekurangan air, tetapi mereka datang dari tempat yang jauh. Sudah pasti mereka tidak boleh kehabisan makanan. Jika kita terus bertahan di benteng, dan mereka tidak bisa maju. Lama kelamaan mereka akan kehabisan bahan makanan. Terpaksa mereka mundur sendiri!” Bit Louw yang tadinya murung mendengar n