ng hanya menitahkan orang untuk mengawasi dan tidak mengusik kedua orang pemuda yang asal-usulnya tak jelas tapi memiliki kungfu hebat itu, sebab dia tahu, kecuali benar-benar menghadapi musuh tangguh, alangkah baiknya bila dapat menghindari perkelahian. Ada sementara orang, asal kau tidak menggubrisnya maka beberapa saat kemudian dia akan lenyap dengan sendirinya, bahkan tak perlu mengganggu atau menggunakan kekerasan, cara seperti ini bukan saja merupakan cara yang cerdik, bahkan tak usah membuang tenaga. "Sungguh tak disangka, begitu mereka menampilkan diri, ternyata sudah bergabung dengan So-kongcu dan bersama-sama menjebol Ku-swi-po dan menyerbu Po-pan-bun," kata Lui Sun. Setiap kali menyinggung soal So Bong-seng, dia selalu menyebut So-kongcu, peduli di sana ada atau tidak orang luar, dia selalu bersikap sungkan, menaruh hormat dan hati-hati. Kenapa begitu? Apakah dia sedang mempersiapkan sebuah jalan mundur untuk berjaga-jaga terhadap segala sesuatu? Apakah dia tak ingin hubungannya dengan So Bong-seng menjadi retak hingga tak mungkin bisa diobati? Tentu saja tak ada orang yang berani mengajukan pertanyaan ini, tapi setiap orang tahu, berada di depan orang atau tidak, So Bong-seng selalu menyebut Lui Sun langsung dengan namanya, sikapnya dengan Lui Sun yang selalu menghormatinya sebagai So-kongcu sama sekali bertolak belakang. "Tampaknya kita benar-benar telah melupakan kedua orang yang tak terkenal itu," kata Ti Hui-keng. "Orang ternama mana pun selalu dimulai dari seorang yang tidak terkenal." "Tapi sejak hari ini, kedua orang tak ternama itu akan menggetarkan kotaraja." Perlahan-lahan Lui Sun menarik keluar tangan kirinya dari dalam saku bajunya. Tangan itu sangat kurus bahkan kering kerontang. Yang lebih mengerikan lagi adalah jari tangan yang tersisa hanya jari tengah dan ibu jari. Sebuah cincin zamrud hijau dikenakan pada ibu jarinya itu. Tampaknya jari telunjuk, jari manis dan kelingkingnya telah dipapas kutung seseorang dengan menggunakan senjata tajam, bahkan masih meninggalkan bekas luka yang sangat kentara kendatipun kejadiannya sudah berlangsung lama. Dapat diduga betapa sengit dan ngerinya pertempuran itu. Banyak jago tangguh dalam dunia persilatan yang mulai menancapkan kaki setelah melalui berbagai pertempuran sengit, tidak terkecuali Lui Sun. Ti Hui-keng tahu bila Lui Sun sudah mengeluarkan tangan itu, berarti dia sudah menurunkan perintah membunuh, jika Lui Sun menggerakkan tangan kanannya yang utuh, berarti dia akan berkenalan dan bersahabat dengan orang itu, tapi sekarang dia telah mengeluarkan tangan kirinya yang penuh bekas luka, berarti dia sudah siap membasmi lawan. Oleh karena itu segera ujarnya, "Walaupun kedua orang itu berjalan bersama So Bong-seng, bukan berarti mereka adalah anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau." "Maksudmu?" Lui Sun menghentikan tangannya di tengah jalan. "Mereka bisa menjadi pembantu andal bagi So Bong-seng, tapi juga bisa menjadi
ancaman serius baginya." Dia tidak seperti Lui Sun, menyebut So Bong-seng sebagai So-kongcu, tapi dia pun tidak meniru Lui Kun dengan memaki So Bong-seng sebagai setan penyakitan. Sebenarnya apakah dia segan menyebut So Bong-seng sebagai So-kongcu karena posisi Lui Sun sedang bermusuhan dengannya, sehingga dia merasa kurang leluasa untuk menyebutnya begitu? Kadang kala Lui Sun pun pernah memikirkan persoalan ini, namun tak pernah memperoleh jawaban. Selama ini memang hanya Ti Hui-keng yang memahami orang lain, jarang ada orang lain bisa memahami dirinya.. Perlahan-lahan Lui Sun memasukkan kembali tangan kirinya ke dalam saku, senyuman mulai muncul di balik sorot matanya, "Kalau mereka bisa menjadi musuh kita, sama saja mereka pun bisa menjadi sahabat kita," katanya. "Antara musuh dan teman, sebenarnya hanya dibatasi sebuah benang yang tipis, mereka bertemu lebih dulu dengan So Bong-seng, maka bergaul dengannya, kita pun dapat pergi mencari mereka." Mendadak Lui Sun mengalihkan pokok pembicaraan, ta¬nyanya, "Tadi mengapa kau tidak menyinggung soal perkawinan?" "So Bong-seng diserang duluan di Ku-swi-po kemudian baru melancarkan serangan balasan ke Po-pan-bun, kedatangannya sangat garang dan buas, hanya dalam waktu singkat dia telah mendatangkan pasukan 'Berbuat keonaran semau sendiri' pimpinan Mo Pak-sin dan pasukan angin puyuh pimpinan To Lam-sin untuk mengepung sekeliling tempat itu, posisinya waktu itu sangat kuat karena sudah memegang tujuh puluh persen kemungkinan menang," kata Ti Hui-keng, "jika dalam situasi semacam itu kita tawarkan soal perkawinan, mungkin dia malah memandang enteng kita. Tujuannya kemari kan untuk berunding." "Bagus sekali," Lui Sun tertawa, "mau jadi jingke (besan) atau musuh besar, biar dia sendiri yang memutuskan." Sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Ti Hui-keng. "Bila kedatangan So Bong-seng tidak segarang hari ini, urusan perkawinan mungkin sudah beres sejak tadi." Perkataan itu tampaknya amat cocok dengan selera semua orang, Lui Sun segera tertawa terbahak-bahak. Ti Hui-keng ikut tertawa, kecuali satu orang yang baru saja menaiki anak tangga, sekilas perasaan murung yang sangat tebal melintas dari balik sorot matanya. Di mulut tangga muncul seseorang, dia adalah Lui Heng. "Cu-tayjin dari kantor kejaksaan kotaraja mohon bertemu Congtongcu," lapor Lui Heng. Lui Sun segera mengerling sekejap ke arah Ti Hui-keng. Ti Hui-keng sendiri;tetap duduk santai, matanya tetap bening dan wajahnya tanpa perubahan. Melihat itu Lui Sun segera berseru, "Persilakan masuk."
Lui Heng menyahut dan segera berlalu. Sambil tertawa Ti Hui-keng berkata, "Cepat betul pihak kejaksaan memperoleh laporan." "Cu Gwe-beng memang selalu muncul tepat pada waktunya," kata Lui Sun tertawa, "di saat harus datang, ia segera datang, di saat harus pergi dia segera pergi." "Tak heran kalau belakangan pangkatnya cepat sekali naiknya." Sementara pembicaraan masih berlangsung, Cu Gwe-beng sudah muncul di mulut tangga. Cu Gwe-beng adalah seorang lelaki gemuk, ramah dan berwajah penuh senyuman, bukan saja tidak nampak cekatan atau cerdas, malah sedikit kelihatan bebal dan kedodoran. Tentu saja dia bukan datang seorang diri. Dengan posisinya sebagai kepala kantor kejaksaan, bukan satu kejadian aneh bila kemana pun dia pergi, selalu dikawal tiga empat ratusan oang pengawal, tapi kali ini dia hanya mengajak tiga orang. Seorang lelaki setengah umur berkulit hitam, sekilas pan¬dang tangannya seakan sedang menggenggam senjata tajam. Padahal orang itu datang dengan tangan kosong. Tak pernah ada yang berani membawa senjata atau menggembol senjata rahasia sewaktu datang bertemu Lui Sun. Tapi sepasang tangan milik orang itu tidak mirip sepasang lengan, tapi lebih mirip sepasang senjata tajam. Sepasang senjata tajam yang dalam waktu singkat dapat mencabik-cabik tubuh manusia hingga hancur. Yang seorang lagi adalah seorang kakek yang alis mata serta jenggotnya sudah putih, tak berbeda dengan orang tua biasa, hanya saja sewaktu berjalan dan naik anak tangga, jenggot maupun air matanya seolah kawat baja, sama sekali tidak bergerak barang sedikitpun. Yang seorang lagi adalah seorang anak muda yang sedikit agak kemalu-maluan, dia nyaris menempel terus di samping lengan Cu Gwe-beng. Kalau dilihat dari tingkah lakunya, dia seakan senang sekali berdiri di bawah bayang-bayang orang lain. Bagi orang yang tak tahu, mereka pasti akan mengira orang itu adalah seorang bocah idiot atau seorang kacung. Begitu bersua dengan Lui Sun dan Ti Hui-keng, Cu Gwe-beng segera menjura dan berseru dengan penuh kegembiraan, "Lui-congtongcu, Ti-lotoa, kelihatannya kalian bertambah makmur saja belakangan ini!" Nada suaranya mirip dengan lagak seorang saudagar, sama sekali tak terkesan kejam dan angkernya seorang kepala kejaksaan. "Cu-tayjin, selamat bersua," sahut Lui Sun sambil tertawa, "berkat anugerahmu, meski suasana dalam kota makin lama makin bertambah kalut, namun untuk hidup pas-pasan sih masih cukup." "Hahaha, kalau aku, mana punya anugerah, justru karena Sri Baginda Sinbeng, maka kami semua ikut kecipratan hok-kinya, tapi yang pasti damai melahirkan kehormatan, aman menimbulkan rejeki, bukankah begitu Congtongcu?"
"Ah, akhirnya dia singgung juga masalah ini," pikir Lui Sun dalam hati, buruburu sahutnya, "Lohu hanya tahu Tayjin bukan cuma sukses di bidang kejaksaan, dalam perdagangan pun makin lama semakin bertambah kaya. Ucapan Cu-tayjin ibarat emas dan kemala, sungguh bikin kagum orang yang mendengarnya." Cu Gwe-beng mengerdipkan mata, lalu tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, padahal kalau menyinggung soal dagang, selama ini aku hanya mendompleng perlindungan Congtongcu, sehingga tak perlu kelewat menyerempet bahaya." "Cu-tayjin terlalu memuji, antara sahabat memang seharusnya saling membantu," Lui Sun tertawa hambar. "Ah, benar," sela Ti Hui-keng tiba-tiba, "darimana Cu-tayjin tahu kalau kami berada di loteng Sam-hap-lau? Atau mungkin Tayjin pun sedang mencari kesenangan, hingga khusus kemari untuk menikmati pemandangan alam?" Paras muka Cu Gwe-beng segera berubah jadi serius, dengan merendahkan suaranya ia berkata, "Terus terang, pertemuan dan perundingan yang diadakan Congtongcu serta Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan Locu perkumpulan Kim-hongsi-yu-lau sudah tersebar di seantero ko¬ta, bukan saja semua orang sedang membicarakan kejadian ini, bahkan atasan kami pun sudah mengalihkan perhatian kemari, malah sang Baginda ... hehehe ... beliau pun sudah mendengar kabar ini!" Lui Sun tersenyum. "Padahal kejadian ini hanya urusan kecil, sungguh memalukan kalau sampai Koan-ya sekalian turut menaruh perhatian." Cu Gwe-beng melangkah maju, kemudian katanya lagi sambil tertawa, "Kalian berdua pasti tahu bukan, kalau aku bertugas di bagian kejaksaan, banyak urusan dan kejadian mau tak mau harus dibuatkan laporan, ah, betul, dalam pertemuan di Samhap-lau tadi, siapa yang keluar sebagai pemenang?" Lui Sun dan Ti Hui-keng saling bertukar pandang sekejap kemudian tertawa, mereka bisa menduga, siapa menang siapa kalah di antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sudah menjadi urusan yang paling diperhatikan seluruh penduduk kota, meski Cu Gwe-beng datang dengan alasan dinas, padahal dia pun hanya ingin mencari tahu kabar berita terakhir tentang peristiwa itu. Bicara sejujurnya, Cu Gwe-beng sebenarnya termasuk salah seorang yang selama ini menunjang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, alasannya, jika perkumpulan Lak-hunpoan-tong tidak menunjang Cu Gwe-beng, maka baginya tidak segampang sekarang dalam memecahkan setiap kasus besar yang terjadi, dan lagi meski dia punya kekuasaan, bukan berarti dia gampang dapat duit. Bila seseorang sudah memperoleh kekuasaan, otomatis dia akan senang duit, bila duit dan kekuasaan sudah didapat, maka dia mulai memburu nama, jika nama pun sudah diperoleh, maka dia akan mulai mencari benda mestika yang memungkinkan dia panjang umur, pokoknya napsu manusia untuk memperoleh sesuatu yang lebih, tak pernah akan puas. Lui Sun dan Ti Hui-keng sama sekali tidak menjawab, akan tetapi wajahnya penuh senyuman, mereka merasa sangat bangga. Cu Gwe-beng mulai panik, paling tidak ada dua tiga orang atasannya yang ingin mengetahui situasi di situ, tentu saja ia tak boleh pulang dengan tangan hampa. Maka kembali desaknya, "Sobat berdua, kita kan sahabat lama, tolong tanya siapa di antara kalian yang berhasil menempati posisi di atas angin? Siapa menang dan siapa kalah?"
"Masa kau tidak melihat kalau w ajah kami penuh senyuman?" tanya Ti Hui-keng sambil tertawa. "Kenapa kau tidak menanyakan langsung kepada So-kongcu?" sambung Lui Sun. Dalam hati Cu Gwe-beng tahu, sejak awal sudah ada orang lain yang pergi mencari So Bong-seng, tentu saja dia tak ingin ketinggalan dari rekannya itu, paling tidak dia pun harus mendapat berita. Biarpun sampai sekarang ia belum tahu keadaan yang sebenarnya, paling tidak ia sudah memperoleh sedikit masukan. Walaupun ia belum jelas bagaimana hasil perundingan antara So Bong-seng dan Lui Sun, tapi setelah perundingan itu, dia masih menyaksikan wajah Lui Sun dan Ti Hui-keng penuh senyuman. Jika seseorang masih bisa menampilkan wajah penuh senyuman, paling tidak hasil yang diperoleh tidak kelewat jelek. Memandang senyuman yang menghias wajah Lui Sun, pada hakikatnya dia mirip seekor musang yang baru saja berhasil menemukan sarang anak ayam. Maka sekembalinya dari loteng Sam-hap-lau, Cu Gwe-beng pun segera memberi laporan kepada atasannya. "Kelihatannya perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah berhasil menempati posisi di atas angin." "Kenapa?" tanya atasannya. "Karena wajah Lui Sun dan Ti Hui-keng penuh dengan senyuman, senyuman yang amat cerah." Sekalipun atasannya merasa agak sangsi, namun dia terpaksa harus menerima kesimpulan itu. ooOOoo
19. Saudara Baru saja So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui turun dari loteng Sam-haplau, segera ada orang memanggilnya, "So-kongcu!" Menyusul kemudian orang itu bertanya, "Bagaimana hasil pertarunganmu melawan perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Si penanya masih berada di dalam kereta kuda. Kereta kuda itu sangat mewah dan megah, saisnya ada tiga orang, semuanya mengenakan baju halus yang mahal harganya, sekilas pandang mereka mirip pejabat tinggi dari kerajaan, mirip juga pengurus kelenteng besar. Tapi sekarang, mereka hanya menjadi sais, sais orang lain. Di luar kereta berdiri delapan orang pengawal bergolok, kedelapan orang itu berdiri mematung bagaikan patung baja. Sekilas Pek Jau-hui segera tahu bahwa paling tidak ada dua orang di antaranya merupakan jago golok kenamaan, tiga orang yang lain merupakan Ciangbunjin partai besar, satu di antaranya malah merupakan ahli waris Ngo-hou-toan-hun-to (lima harimau golok pemutus sukma)
Phang Thian-pa yang bernama Phang Jian, selain itu hadir juga Ciangbunjin angkatan ketujuh Keng-hun-to (golok pengejut sukma) Tiau Lian-thian serta ahli waris Siang-kian-po-to (golok mestika perjumpaan) Beng Khong-khong. Ilmu golok lima harimau pemutus sukma tak pernah diwariskan kepada orang lain, selain sadis, enam puluh empat jurus serangannya khusus diciptakan untuk menyerang pertahanan bawah musuh, oleh karena itu anak murid keluarga Phang yang sudah dihajar sampai terjatuh ke tanah pun, kemampuannya tak boleh dipandang enteng. Ngo-hou-phang-bun atau perguruan keluarga Phang ini sama seperti keluarga Tong di wilayah Siok-tiong, Bi-lek-tong dari wilayah Kanglam, perkumpulan gagang golok, perguruan kaisar hijau dan perkampungan ikan terbang, merupakan sebuah perguruan dengan segala peraturan yang sangat ketat. Ada orang berkata, bila sudah menjadi ketua dari beberapa perguruan itu maka posisinya jauh lebih stabil ketimbang menjadi seorang kaisar. Ciangbunjin keluarga Phang yang bernama Phang Jian sudah termashur di kolong langit dengan ilmu golok andalannya sejak berusia dua puluh lima tahun, tapi sejak berusia tiga puluh lima tahun ia meninggalkan perguruan keluarga Phang untuk menjadi pengawal orang. Golok pengejut sukma Tiau Lian-thian terhitung juga keturunan orang kaya, ilmu goloknya merupakan aliran yang luar biasa, sudah banyak jagoan tangguh yang lahir dalam perguruan ini. Tiau Lian-thian sendiri pun termasuk seorang jago berbakat alam, dia sanggup mengubah ilmu golok pengejut sukma menjadi ilmu golok pengejut impian, kehebatannya luar biasa, tapi sekarang dia hanya seorang pelindung kereta mewah. Siang-kian-po-to (golok mestika perjumpaan) didirikan oleh keluarga Beng, ketika diwariskan ke tangan Beng Khong-khong, nama besar dan pamornya sudah amat tersohor di kolong langit, sepak terjangnya selama ini mengutamakan kejujuran dan kebenaran. Tapi kini Beng-kongcu yang amat termashur itu hanya menjadi salah satu pelindung orang dalam kereta. Lalu siapakah orang yang berada di dalam kereta? Selama ini Pek Jau-hui selalu santai, acuh tak acuh dan tak pernah serius, tapi sekarang dia celingukan ke sana kemari. Setelah orang di dalam kereta mengucapkan perkataan tadi, dua orang berbaju putih segera maju ke depan dan dengan sangat hati-hati mulai menyingkap tirai yang menutupi kereta mewah itu. Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki Ong Siau-sik tidak seluas Pek Jau-hui, namun setelah menyaksikan tangan kedua orang yang sedang menyingkap tirai kereta itu, diam-diam ia terkesiap. Ternyata bentuk tangan kedua orang itu sangat aneh, telapak tangan yang sebelah tebal lagi kasar, ibu jari tangannya pendek, kasar lagi gemuk sementara keempat jari lainnya nyaris menyusut dan layu di dalam telapak tangan, bentuk telapak tangannya persis seperti sebuah palu besi. Sebaliknya telapak tangan yang lain lembek seakan tak bertulang, kelima jari tangannya panjang dan ramping mirip ranting pohon yang-liu, ujung jarinya ramping dan runcing mirip sebatang lidi, tapi sayang tidak kelihatan ada kuku yang menempel di situ. Sekilas pandang saja Ong Siau-sik segera tahu kalau telapak tangan yang kasar dan kaku bagai palu besi itu paling tidak sudah terlatih tenaga pukulan Bu-ci-
ciang (telapak tanpa jari) hampir enam puluh tahun lamanya, sementara telapak tangan yang lembek bagai kapas itu paling tidak sudah melatih ilmu lembek Sohsim-ci (ilmu jari hati suci) selama tiga puluh tahun dan tenaga yin-kang Lokhong-jiau (cakar perontok angin) selama tiga puluh tahun. Ilmu cakar perontok angin adalah ilmu andalan Kiu-yu Sin-kun, sedang ilmu jari hati suci merupakan ilmu jari aliran sesat, kedua macam ilmu itu sesungguhnya mustahil bisa dilatih bersama, selama ini hanya satu orang saja yang berhasil menguasai kedua ilmu itu sekaligus, orang itu adalah Lam-hoajiu si tangan bunga anggrek Thio Liat-sim. Jika orang ini adalah Thio Liat-sim, berarti orang yang satunya adalah si telapak tanpa jari Thio Thiat-su. Bila kedua orang itu bergabung menjadi satu, mereka berjuluk Thiat-su-kay-hoa atau pohon besi mulai berbunga. Biasanya pohon besi mulai berbunga merupakan gejala yang sangat menguntungkan. Tapi bagi Thio Liat-sim dan Thio Thiat-su, bukan begitu arti yang dimaksud. Arti dari 'berbunga' adalah bunga kaca yang mulai mekar atau tegasnya berarti retak, jadi dimana telapak tangan mereka lewat maka baik tulang atau daging tubuh lawan, semuanya tetap akan 'berbunga', bahkan pasti akan 'berbunga'. Jangankan orang biasa, sepasang tangan milik Liu Tiong-mo, seorang guru besar Thiat-sah-ciang pun pernah dibikin 'berbunga' oleh serangan mereka. 'Berbunga' masih mengandung sebuah arti lagi. Pekerjaan yang tak mungkin diselesaikan orang lain, asal jatuh ke tangan mereka, maka semuanya tetap akan lancar dan berhasil, seperti juga 'pohon besi yang berbunga', rejeki seolah jatuh dari langit, apa pun yang diinginkan selalu terkabulkan. Ilmu jari dan ilmu telapak semacam ini biasanya butuh latihan puluhan tahun lamanya untuk bisa mencapai tingkatan tertentu, bahkan mereka harus melakukan pengorbanan yang sangat menakutkan, tapi kalau dilihat usia kedua bersaudara Thio ini, sekalipun usia mereka digabungkan menjadi satu juga belum mencapai enam puluhan tahun, semestinya ilmu Bu-ci-ciang yang mereka miliki belum mencapai tingkat kesempurnaan. Itulah sebabnya jarang ada orang yang mau berlatih ilmu telapak tanpa jari ini, sebab walau sudah menguasainya, belum tentu bisa mencapai puncak kesempurnaan di usia senja mereka. Dalam pada itu ilmu jari hati suci Soh-sim-ci dan ilmu cakar perontok angin merupakan dua ilmu yang bertolak belakang, satu dari aliran lurus sedang yang lain berasal dari aliran sesat, kedua macam ilmu itu mustahil bisa dilatih bersamaan waktu. Tapi hal itu terkecuali bagi si pohon besi berbunga ini. Dan kenyataannya sekarang, biarpun mereka memiliki kepandaian yang luar biasa, tugasnya sekarang hanya membukakan tirai di atas kereta orang. Lalu siapakah orang di dalam kereta itu? Ong Siau-sik adalah pemuda yang besar rasa ingin tahunya, kini bukan saja dia ingin tahu, pada hakikatnya sudah terangsang untuk mencari tahu persoalan ini. Begitu tirai kereta tersingkap, ketiga orang sais, ke delapan pengawal dan kedua
orang pembuka tirai itu serentak menunjukkan sikap yang sangat menaruh hormat. Tampak seseorang menongolkan dulu kepalanya dari balik kereta, kemudian baru perlahan-lahan turun dari keretanya. Jelas orang yang ada di dalam kereta itu mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, namun terhadap So Bong-seng ternyata dia tak berani ayal. Orang itu berwajah sangat tampan, meskipun pakaian yang dikenakan sangat bersahaja, namun sikap maupun penampilannya tetap anggun dan penuh wibawa. So Bong-seng segera menghentikan langkahnya, senyuman yang sangat jarang mampir di wajahnya tiba-tiba menghiasi ujung bibirnya, sembari menjura sapanya, "Siau Hou-ya!" Dengan cermat Siau Hou-ya memeriksa raut mukanya, kemudian baru berkata, "Aku lihat kalian belum turun tangan." "Betul, kami hanya bersilat lidah," sahut So Bong-seng tertawa, "kecuali memang dibutuhkan, kalau tidak, bisa tidak bertempur lebih baik janganlah bertarung." "Ah, setelah mendengar penjelasanmu itu, aku pun bisa berlega hati." "Tentu saja kami pun tidak berharap kejadian ini menyusahkan Siau Hou-ya." Siau Hou-ya tertawa getir. "Nama besar Kongcu dan Lui-tongcu sudah menggetarkan seluruh jagad, ditambah masing-masing pihak memiliki kekuatan hingga ratusan ribu jiwa, seandainya sampai terjadi pertempuran terbuka, mungkin aku pun susah untuk bertanggung jawab." "Kami pasti tak akan menyusahkan Siau Hou-ya." "Bagus," Siau Hou-ya tertawa lebar, "setelah mendengar perkataanmu ini, aku pun bisa berlega hati sekarang." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya, "Bagaimana hasil perundingan tadi?" "Sangat bagus." "Sangat bagus?" sela Siau Hou-ya ragu. "Memang sangat bagus." Siau Hou-ya termenung sesaat dengan wajah penuh tanda tanya, mendadak sambil tertawa tergelak katanya, "Hahaha, kelihatannya isi pembicaraan itu merupakan rahasia perkumpulan Kimhong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" "Ketika masalah ini sudah boleh dibuka untuk umum, Siau Hou-ya pasti akan menjadi orang pertama yang mengetahuinya." "Bagus, bagus sekali," sambil mengelus jenggotnya Siau Hou-ya manggut-manggut dan tertawa, perlahan pandangan matanya dialihkan ke wajah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, kemudian tanyanya lagi, "Apakah mereka berdua adalah jenderal utama dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" "Bukan, mereka bukan anak buahku." "Oya?" Siau Hou-ya mengangkat alis matanya, "jadi mereka adalah sahabatmu?" "Juga bukan," sahut So Bong-seng sambil tertawa, kemu¬dian sepatah demi sepatah lanjutnya, "Mereka adalah saudaraku!" Begitu perkataan itu diucapkan, yang terperanjat justru Pek Jau-hui dan Ong
Siau-sik, kedua orang pemuda ini benar-benar kaget bercampur terperangah. Bukan anak buahnya, bukan sahabatnya, tapi saudaranya?! "Saudara", sebutan ini bagi banyak orang gagah dalam dunia persilatan merupakan daya tarik yang luar biasa besarnya, merupakan rayuan yang luar biasa, banyak orang mau berkorban dan melelehkan darah demi sebutan itu. Saudara! Persaudaraan! "Saudara", banyak orang telah menyia-nyiakan sebutan ini, banyak orang berjuang mati hidup demi sebutan itu, banyak orang punya banyak saudara tapi belum pernah memiliki sau¬dara sejati, banyak orang meski tak bersaudara namun memiliki saudara yang tak terhingga di kolong langit, banyak orang saling menyebut saudara namun perbuatannya justru tidak mencerminkan persaudaraan, banyak orang tak punya saudara tapi empat arah delapan penjuru justru dipenuhi persaudaraan. Saudara! Bagaimana kita harus 'susah sama dijinjing senang sama dinikmati' sehingga pantas disebut saudara? Apakah dengan berjabat tangan, bahu membahu, darah panas menggerakkan darah panas, perasaan saling bertautan dengan perasaan, keadaan semacam ini baru disebut saudara? Tampaknya Siau Hou-ya ikut melengak dibuatnya, tapi cepat dia berseru, "Kionghi! Kionghi! Walaupun selama ini So-kongcu malang melintang dalam dunia persilatan, namun selalu hidup sebatang kara, dan kini menjelang hari perkawinanmu, ternyata kau pun mendapat dua saudara sejati! Aku orang she Pui betul-betul ikut merasa gembira dan senang." "Perkataan Siau Hou-ya kelewat serius, siapa yang tidak kenal Sin-jiang-hiatkiam Siau Hou-ya (Tombak sakti pedang darah) yang nama besarnya tersohor di seantero kotaraja? Kami sebagai rakyat kecil mana berani mendapat sanjungan seperti ini!" "Sudahlah, kita tak usah berkata sungkan lagi," tukas Siau Hou-ya sambil tertawa, "setelah menyaksikan keadaan Kongcu, aku pun bisa segera pulang untuk memberi laporan kepada perdana menteri." "Merepotkan Siau Hou-ya." "So-kongcu, semoga tak lama kemudian kau sudah mendirikan lagi beberapa buah kantor cabang, dengan begitu keamanan di kotaraja tentu akan bertambah stabil." Selesai berkata ia segera masuk kembali ke dalam ruang keretanya, kereta pun bergerak meninggalkan tempat itu, masih seperti tadi, tiga orang bertindak sebagai sais kuda, dua orang berjaga di depan tirai dan delapan orang mengawal dari kiri, kanan, depan dan belakang. Tak lama kemudian kereta pun lenyap di ujung jalan. Kecuali kereta kuda yang ditumpangi Siau Hou-ya, sejak So Bong-seng memasuki wilayah 'pasar', tak pernah ada seorang pun yang bisa memasuki daerah itu. Tentu saja terkecuali Cu Gwe-beng. Dia pun termasuk manusia istimewa. Sama seperti Siau Hou-ya, dia bertugas mencari tahu hasil perundingan antara ketua perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong.
Lalu berita apa yang berhasil mereka peroleh? ooOOoo "Menurut kau, Siau Hou-ya akan memberikan jawaban macam apa kepada perdana menteri," ujar So Bong-seng kepada Mo Pak-sin yang berada di sampingnya, "semua orang ingin tahu kuat lemah, menang kalah antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-huri-poan-tong, siapa mempunyai keyakinan enam puluh persen maka dialah yang akan berhasil merebut peluang utama, sayang jawaban itu susah untuk dijawab, jangan lagi mereka, bahkan aku dan Lui Sun sendiri pun tidak tahu. Kami hanya tahu banyak orang menaruh perhatian kepada kita, padahal kenyataan mereka ingin sekali kami cepat mampus atau mampus salah satu di antaranya!" Dengan susah payah Mo Pak-sin mengangkat kelopak matanya yang bengkak besar seakan ditonjok orang, kemudian sahutnya, "Selama ini Kpngcu tertawa terus, barang siapa yang selalu tersenyum sehabis perundingan dilakukan, biasanya orang akan mengira dialah pemenangnya, padahal bagaimana keadaan selama perundingan, siapa pun tak bisa menebaknya." Dia memang bebal dalam cara berbicara, sehingga perkataannya itu terasa amat telanjang tanpa tedeng aling-aling. "Terkadang tertawa memang jauh lebih berguna ketimbang kepalan!" So Bong-seng manggut-manggut, "aku rasa sewaktu Cu-tayjin yang diutus bagian kejaksaan dan bagian sekretariat negara mengunjungi Lui Sun, dia pun pasti sedang tertawa." "Bolehkah aku mengajukan tiga pertanyaan kepadamu?" tiba-tiba Pek Jau-hui menyela. "Katakan." Mereka berbicang sambil berjalan, sepanjang jalan Mo Pak-sin selalu melindungi mereka dengan pasukan dan barisannya. "Pertama, orang yang muncul tadi apa benar orang paling top dari kantor perdana menteri yang berjuluk Sin Thong-hou, si Bangsawan serba bisa Pui Ing-gan?" "Di kolong langit dewasa ini, kecuali Pui Siau Hou-ya yang sanggup mengajak delapan raja golok sebagai pelindungnya, si pohon besi berbunga sebagai penyingkap tirainya dan kusir paling top dari negeri Cidan, Mongol dan Li-tin sebagai saisnya dalam satu kali perondaan, siapa lagi yang bisa berbuat begitu?" Pek Jau-hui segera manggut-manggut, kembali tanyanya, "Tadi sebetulnya gampang saja bagimu untuk turun tangan membunuh Ti Hui-keng sehingga pihak lawan akan kehilangan salah satu tenaga andalannya, mengapa tidak kau lakukan itu?" "Pertanyaanmu ini tidak jujur," dengan sorot mata yang dingin So Bong-seng menatap pemuda itu, "padahal kau sudah tahu jawabannya, buat apa mesti ditanyakan kepadaku." "Jadi kau sudah tahu kalau di atas atap rumah telah bersembunyi seorang jago tangguh, maka kau tidak membunuhnya?" kata Pek Jau-hui sambil menarik napas panjang. "Mungkin saja aku memang tak berniat untuk membunuh Ti Hui-keng aku rasa kau sudah mengajukan tiga pertanyaan." "Semua pertanyaan sudah kau mentahkan kembali, hingga kini belum satu pun yang kau jawab." "Bertanya adalah urusanmu, sedang mau menjawab atau tidak adalah urusanku," tukas So Bong-seng cepat.
"Kalau aku hanya ada satu pertanyaan," tiba-tiba Ong Siau-sik menimbrung. Mendengar perkataan itu So Bong-seng segera memperlambat langkahnya sambil berpaling ke arah pemuda itu. Dengan suara lantang Ong Siau-sik segera bertanya, "Tadi kau ... kau berkata pada Siau Hou-ya bahwa kita ... kita adalah saudara?" "Memangnya kau tuli?" So Bong-seng tertawa lebar, "masa inipun kau anggap sebagai pertanyaan?" Ong Siau-sik tertegun, katanya agak ragu, "Tapi kita baru kenal belum setengah hari lamanya." "Tapi kita pernah mati hidup bersama." "Memangnya kau tahu siapa karai?" tanya Pek Jau-hui. "Aku tak peduli siapa kalian!" "Kalau siapa kami saja tidak kau ketahui, bagaimana mungkin bisa mengangkat saudara dengan kami?" "Siapa yang membuat peraturan semacam itu?" seru So Bong-seng sambil melotot besar, "siapa bilang kalau ingin mengangkat saudara kita mesti menyelidiki dulu asal-usul keluarga, nenek moyang, perguruan dan asal daerahnya?" "Kau Pek Jau-hui melengak. "Kenapa kau ingin mengangkat saudara dengan kami?" ujar Ong Siau-sik pula. So Bong-seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak. "Angkat saudara ya angkat saudara, buat apa mesti tanya alasannya? Memangnya kita harus seia sekata, ada rejeki dinikmati bersama ada bencana dihadapi berbareng dan peduli apa segala tetek bengek omongan yang memuakkan itu?" "Sebetulnya kau punya berapa saudara angkat sih?" tanya Pek Jau-hui. "Dua orang." "Siapa mereka?" "Kau dan kau!" tuding So Bong-seng ke arah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Seketika itu juga Ong Siau-sik merasakan hawa darah yang amat panas menerjang naik ke atas kepalanya. Sementara Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, mendadak katanya dingin, "Aku tahu." Kemudian sambil menatap wajah So Bong-seng, katanya lagi, "Apakah kau ingin mengundang kami masuk menjadi anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" So Bong-seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak. Setelah tertawa, dia pun mulai terbatuk-batuk, sambil terbatuk sambil tertawa.... "Biasanya ketika orang mengira dia sudah tahu, sesungguhnya ia sama sekali tidak tahu, ungkapan ini memang tepat," kata So Bong-seng, "kalian anggap dirimu adalah manusia macam apa? Buat apa aku mesti menggunakan cara begini untuk
memaksa kalian masuk perkumpulan? Kalian anggap kemampuanmu sudah cukup untuk memangku jabatan besar? Kenapa tidak terpikir mungkin aku yang sedang memberi peluang kepada kalian? Manusia berbakat di dunia ini sangat banyak, kenapa aku justru harus menggaet kalian berdua?" Bicara sampai di situ, dengan nada dingin tambahnya, "Jika kalian merasa tak senang, sekarang juga boleh pergi, biarpun mulai detik ini hingga selamanya kita tak pernah bersua kembali, kalian masih tetap adalah saudaraku." Setelah terbatuk beberapa saat, katanya lagi, "Sekalipun kalian tidak menganggap aku adalah saudaramu, tidak masalah, aku tak peduli." Ong Siau-sik tak kuasa menahan diri lagi, mendadak ia berlutut sambil menyembah, serunya, "Toako!" ooOOoo
20. Bukan hanya nomor satu "Kau jadi Lotoa?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya sambil menghela napas panjang. "Manusia macam aku kalau tidak jadi Lotoa, siapa yang jadi Lotoa?" So Bong-seng balik bertanya sambi! mendelik. Sambil menggendong tangan memandang langit Pek Jau-hui termenung beberapa saat lamanya, sampai lama kemudian ia baru menghembuskan napas panjang dan berkata, "Ada scpatah kata akan kusampaikan dulu." "Katakan." Mendadak Pek Jau-hui maju ke depan, menggerakkan sepasang tangannya, dan memegang bahu So Bong-seng. Tangan Su Bu-kui yang menggenggam golok pembabat seketika nampak mengejang keras hingga otot-otot hijaunya kelihatan nyata. Sorot mata Mo Pak-sin yang tersembunyi di balik kelopak matanya yang bengkak pun tiba-tiba memancarkan cahaya setajam sembilu. Bila sepasang tangan itu dibiarkan memegang bahu So Bong-seng, maka paling tidak ada tujuh delapan macam cara untuk menguasainya dan tujuh delapan belas jalan darah ke-matian akan terancam. Apalagi tangan yang menggenggam itu milik Pek Jau-hui. So Bong-seng sama sekali tak bergerak, mengedipkan mata pun tidak. Dengan cepat sepasang tangan Pek Jau-hui sudah menempel di atas sepasang bahu So Bong-seng. Tanpa perintah dari So Bong-seng, siapa pun tak berani turun tangan secara sembarangan. Begitu tangannya memegang bahu So Bong-seng, dengan suara lantang Pek Jau-hui berseru,
"Toako!" So Bong-seng tertawa. Ia memandang Ong Siau-sik sekejap, kemudian memandang pula Pek Jau-hui sekejap, sinar mata penuh senyuman terpancar dari balik matanya. Begitu ia tertawa, semua kebekuan pun sirna, seakan bukit salju yang tiba-tiba mencair dan airnya mengalir masuk ke dalam sungai. "Tahukah kalian apa bedanya senyumanku sekarang dengan senyumanku tadi?" ia bertanya. "Tadi palsu, senyuman palsu!" seru Ong Siau-sik tertawa geli. "Dan sekarang asli, tertawa asli!" sambung Pek Jau-hui pula sambil tertawa, suara tawanya ibarat hembusan angin musim semi yang menggoyangkan permukaan air. "Hahaha, tepat sekali jawaban kalian!" So Bong-seng tertawa tergelak. Ketiga orang itu segera tertawa keras, tertawa penuh kegembiraan. Mo Pak-sin segera maju ke depan, serunya cepat, "Kionghi Locu, hari ini kita benar-benar telah menaikkan bendera kemenangan, bukan saja dalam perundingan berhasil meraih di atas angin, bahkan bisa berkenalan dengan dua saudara yang baik!" "Kau jangan merasa iri dulu," kata So Bong-seng sambil tertawa, "persaudaraan kami tidak terjadi dengan gampang, tugas pertama yang harus mereka kerjakan selain ganas juga luar biasa susahnya. Sementara kau adalah anak buah andalanku, kau bersama si To tua, A Si, Siau-kwik semuanya merupakan malaikat penunggu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, tanpa kehadiran kalian, mungkin sejak awal perkumpulan kita sudah ambruk, sudah runtuh dan bubar!" Sekilas perubahan terpancar dari wajah Mo Pak-sin, perasaan terharu yang amat sangat. Gejolak emosi itu meski menyelimuti hatinya, namun dia berupaya untuk menahannya. Tapi dia tak sanggup menahan diri. Gejolak emosi yang didorong perasaan terharu itu datang semakin menggelora, bagaikan hantaman ombak besar di atas batu karang menimbulkan gelombang besar dalam hatinya. Tiba-tiba So Bong-seng bertanya, "Mana To Lam-sin? Apakah pasukan angin puyuhnya sudah ditarik mundur?" Sesaat kemudian setelah berhasil mengendalikan gejolak perasaannya, Mo Pak-sin baru menjawab, suaranya tenang, "Sudah ditarik mundur, katanya dia akan menarik pasukannya kembali ke markas, mungkin malam nanti baru akan datang ke loteng untuk memberi laporan." So Bong-seng manggut-manggut, kepada Su Bu-kui tanyanya, "Kau tahu, kau adalah apaku?" "Aku adalah pasukan berani mati dari Kongcu," jawab Su Bu-kui tanpa berpikir lagi, "jika Kongcu menginginkan aku mati, aku segera akan pergi mati!" "Kau keliru besar," tukas So Bong-seng serius, "bila seseorang benar-benar sangat baik terhadap orang lain, dia pasti tak akan berharap dia mati demi dirinya, kau harus ingat terus perkataanku ini." "Tapi aku rela mati demi Kongcu, mati tanpa penyesalan."
"Hal itu hanya menunjukkan kesetiaanmu terhadapku, tapi aku lebih suka kau hidup demi aku." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kau adalah orang kepercayaanku, bukan pasukan berani matiku." Sekilas cahaya mata yang tak terlukiskan dengan kata memancar keluar dari balik mata Su Bu-kui. Terharu? Gejolak emosi yang meluap? Rasa terima kasih yang berlebihan? Mungkin satu di antaranya, mungkin juga meliputi keseluruhannya. So Bong-seng menghela napas panjang, katanya lagi, "Sayang Wo Hu-cu, Hoa Buciok, si Barang antik dan Te Hoa sudah pergi jauh ... coba kalau mereka masih ada dan menyaksikan aku berhasil mengangkat saudara dengan dua adik yang setia ka¬wan, mereka pasti akan ikut gembira." Cahaya air mata terbias di balik mata Su Bu-kui. Dia tahu, So-kongcu selalu meluangkan banyak waktu hanya untuk mengenang dan memikirkan orang kepercayaannya, sayang mereka semua tak mungkin bisa berkumpul jadi satu. Bedanya, dalam kenangannya kali ini Hoa Bu-ciok dan si Barang antik telah mati karena pengkhianatannya, Wo Hu-cu dan Te Hoa tewas karena dibokong musuh, yang tersisa sekarang tinggal Yo Bu-shia dan dirinya, tapi terlepas apakah dia telah berkhianat atau tetap setia, So Bong-seng tetap sama saja akan mengenangnya. Tak kuasa lagi Pek Jau-hui menghela napas panjang. Mengapa dia menghela napas? Apakah dia pun mempunyai pengalaman yang tak diketahui orang, pengalaman sedih yang selalu terpendam di dasar hatinya? Seorang jago berilmu tinggi yang sudah berusia mendekati tiga puluh tahun tapi masih belum ada orang yang mengetahui kehadirannya, sebetulnya pengalaman luar biasa apa yang pernah dialaminya? Sekilas perasaan simpati bercampur rasa ingin tahu melintas secara tiba-tiba dari balik mata Ong Siau-sik, tentu saja ia tak berani memperlihatkan perasaan simpatinya. Dia tahu beberapa orang yang kini berjalan bersama di tengah jalan raya ini merupakan jago-jago sangat tangguh, siapa pun di antara mereka, asal menggerakkan sebuah jari tangannya saja, pasti akan menimbulkan gelombang besar dalam dunia persilatan, manusia semacam ini apa mau menerima rasa simpati orang? Walaupun sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang membutuhkan rasa simpati dari orang lain. Bagi seorang lelaki sejati yang hidup dalam dunia persilatan, mereka lebih suka mengucurkan darah ketimbang melelehkan air mata, sejarah pedih yang ada dalam sepenggal kehidupan masa lalunya ibarat luka yang menyayat di tubuh hingga merasuk ke tulang. Dalam keheningan malam yang sunyi, hanya bisa dirasakan kepedihannya seorang diri, tapi mereka tak nanti memohon simpati orang lain. Jika kau memperlihatkan rasa simpatimu kepadanya, itu berarti kau memandang rendah dirinya. Seorang lelaki sejati mungkin akan merentangkan tangannya untuk memeluk dan menyambut kau untuk minum arak bersama, membunuh musuh bersama, dengan penuh kehangatan mengajak kau mengayun tinju menyambut datangnya hembusan angin topan, memutar golok menghancurkan impian indah, tapi mereka tak akan membiarkan kau menyampaikan rasa simpati. Hanya si lemah, si pecundang yang suka menerima simpati orang lain.
Rasa simpati Ong Siau-sik hanya muncul di dasar hatinya yang paling dalam, dia tahu apa yang mesti diperbuatnya, mengubah rasa simpati menjadi sebuah kenangan. Sementara rasa ingin tahu memang merupakan ciri khas seorang anak muda. Pemuda mana yang tak punya rasa ingin tahu? Sementara semua orang masih termenung dengan perasaan masing-masing, mendadak So Bong-seng menghentikan langkahnya. Ternyata mereka telah tiba di suatu tempat... Kim-hong-si-yu-lau! Begitu melihat bangunan itu, tak tahan Ong Siau-sik segera berseru, "Itu sih bukan loteng, tapi sebuah pagoda!" "Tempat manakah ini?" tanya So Bong-seng sambil tertawa. "Sebuah bukit" "Bukit apa?" "Bukit Thian-swan-san," jawab Ong Siau-sik setelah berpikir sejenak. "Di atas bukit sumber langit ini terdapat tempat terkenal apa saja?" Kali ini Ong Siau-sik tak perlu berpikir lagi, segera jawabnya, "Tentu saja terdapat pagoda Giok-hong-tha yang tersohor di seantero jagad serta mata air nomor wahid di bawah pagoda itu." "Kali ini kau keliru besar!" kata So Bong-seng sambil tertawa, "ketika perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau mendirikan partai dan markasnya, kalau tidak dibangun di tempat seperti ini, tempat mana lagi yang jauh lebih pantas?" Ong Siau-sik agak melengak, sahutnya kemudian, "Benar juga perkataanmu!" "Bukan hanya nomor satu di kolong langit," tiba-tiba Pek Jau-hui menyela. Berkilat sepasang mata So Bong-seng sesudah mendengar perkataan itu, sekujur badannya nampak agak bergetar, tegurnya kemudian, "Apa maksud perkataanmu itu?" "Kalau cuma ingin menjadi kekuatan paling berpengaruh di kotaraja, bahkan menjadi perkumpulan nomor satu di kolong langit, perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sudah mampu melakukannya sejak dulu," Pek Jau-hui berpaling ke arah Ong Siausik, kemudian tanyanya, "Kau pernah mendengar cerita seputar pagoda mestika yang ada di bukit Thian-swan-san?" "Pernah," sahut Ong Siau-sik, "konon dulunya tempat ini adalah sebuah telaga, banyak orang bercocok tanam di tanah ini, setiap menjelang musim panas, dari tengah telaga akan memancar keluar mata air yang menyemburkan air setinggi ratusan kaki, karena itu semua orang menyebut tempat ini sebagai mata samudra." Pek Jau-hui memandang sekejap pemandangan sekeliling tempat itu, lalu katanya, "Tapi sekarang, tempat ini sudah berubah menjadi sebuah tempat dengan pemandangan alam yang sangat indah." "Konon ada seorang pembesar setempat yang kemudian berniat meratakan mata samudra itu, dia perintahkan orang untuk menggali tanah membongkar batu cadas, namun sudah lima tahun mereka bekerja, mata samudra belum berhasil juga diratakan. Setelah itu datang tujuh orang, mereka adalah tujuh saudara angkat, sang Lotoa pun berkata, 'Biar kami yang menyelesaikan persoalan ini.', kemudian dia kerahkan tujuh puluh ribu orang untuk bekerja di situ, dia membangun sebuah tanah perbukitan batu di puncak utara mata samudra dengan menggunakan jutaan mantau." "Benar, di antara ketujuh bersaudara itu, Lotoa mereka yang bermarga Li merupakan seorang pemimpin yang bernyali, setelah dia mengusulkan begitu, maka saudara yang lain pun segera mendukung usulannya. Saudara kedua Tauw-ji bertugas
memasak baja menjadi cairan, Kiong-sam memerintahkan orang menuang cairan baja itu ke atas bukit mantau, Hong-si pandai ilmu perkayuan, dia bertugas mengukur kekuatan air tanah., Che-lak pandai mengatur keuangan, untuk membiayai proyek besar ini dibutuhkan dana besar, dialah yang bertanggung jawab mencari sokongan dan sumbangan, Siang-jit bertugas mengurusi segala transportasi peralatan, selama tiga bulan mereka bekerja siang malam. Dan otak arsitek yang merencanakan proyek besar ini adalah Liu-ngo, selama ini Liu-ngo merupakan pembantu paling andal dari Li-lotoa." "Benar, selanjutnya mereka menuang cairan bnja itu di atas bukit mantau dan menggugurkannya ke bawah bukit sehingga persis menyumbat mata samudra, karena mata air tersumbat, tanah di sekelilingnya pun mengering dan berubah jadi sawah, sawah menghasilkan padi, dari padi berubahlah jadi beras yang wangi lagi pulen." "Kedengarannya macam cerita dongeng saja," komentar So Bong-seng. "Dulunya aku pun menganggap cerita itu hanya isapan jempol, tapi kemudian aku dengar dari cerita para Cianpwe, katanya tujuh bersaudara itu tak lain adalah cikal bakal pendiri perkumpulan kolong langit Thiari-he-pang. Jadi aku pikir, mungkin saja cerita itu merupakan sebuah kejadian yang nyata." Pek Jau-hui manggut-manggut, katanya, "Tampaknya cerita dongeng hanya merupakan sebuah impian, impian adalah satu langkah lebih awal dari khayalan, bila sebuah khayalan diwujudkan menjadi kenyataan, maka khayalan itu akan muncul sebagai sebuah karya dan kejadian seperti ini bukannya tak mungkin terjadi." Sorot matanya dialihkan untuk memandang sekejap bangunan pagoda tujuh tingkat itu, kemudian lanjutnya, "Seperti pendirian perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, sebetulnya merupakan saru kejadian yang tak mungkin bisa diwujudkan." "Dan kebetulan kita sekarang berada di tengah kejadian yang kau katakan tak mungkin bisa diwujudkan itu," sambung Ong Siau-sik dengan sorot mata seterang lampu lentera. "Cuma sayang kau sudah ketinggalan satu hal dalam ceritamu itu." "Seingatku, semua yang kuketahui sudah kuceritakan," sahut Ong Siau-sik setelah berpikir. "Ini disebabkan kau belum pernah mendengar sebelumnya," kata Pek Jau-hui, "di dalam kolam mata air di bawah pagoda Giok-hong-tha masih terdapat sebuah pagoda lagi, pagoda itu hanya separuh yang muncul di permukaan air, orang menyebutnya Tin-hay-tha atau pagoda penenang samudra." "Apa? Di bawah pagoda masih ada pagoda? Pagoda di dalam air?" "Coba kau tengok ke arah sana, bukankah lamat-lamat masih terlihat," kata Pek Jau-hui sambil menuding ke arah depan. Mengikuti arah yang ditunjuk, Ong Siau-sik berpaling, benar juga terlihat sebuah pagoda berwarna putih yang runcing, atasnya mencuat keluar dari permukaan air. "Kau jangan memandang enteng separuh pagoda itu," ujar Pek Jau-hui lebih jauh, "orang menyebutnya 'mata batu pene¬nang samudra', dikarenakan setiap permukaan air naik maka pagoda itupun ikut naik, setiap permukaan air turun maka pagoda itupun ikut turun. Konon di bawahnya terdapat seekor naga emas yang menjaga benteng itu. Oleh karena masuk keluarnya air terkendali maka air yang mengalir keluar dari mata air itu tak pernah bisa menenggelamkan kotaraja." "Hahaha, benar-benar cerita dongeng yang menarik" Ong Siau-sik tertawa tergelak. "Cerita dongengnya bukan cuma sampai di situ, konon setelah permukaan air menyusut, di situ hanya tertinggal sebuah mata air kecil yang menyemburkan air bersih, air itu bening bagai mutiara, manis bagai madu, orang menyebutnya Thian
Swan, mata air langit. Suatu saat ada seorang kaisar yang tertarik dengan cerita mata air itu sempat menginap selama beberapa hari di sana, ketika mendengar cerita tentang naga emas yang menjaga kota air, dia pun memerintahkan tiga puluh ribu orang pekerja untuk menyumbat mata air itu dan kemudian menggali ke bawah. Konon para pekerja berhasil menggali keluar sebuah pagoda batu setinggi tujuh tingkat, ketika sang kaisar memeriksa dinding pagoda itu, ditemukan ada dua bait syair terukir di sana, syair itu berbunyi, 'Di bawah mata air langit ada sebuah mata air, pagoda menampilkan wujud, kekuasaan pun ambruk', membaca syair itu Sri baginda terperanjat, lekas dia memerintahkan orang untuk menutup kembali bekas galian itu dan membiarkan air tetap menggenangi pagoda agar kerajaaannya tidak ikut ambruk." Bicara sampai di situ, sorot matanya segera dialihkan ke wajah So Bong-seng, tanyanya, "Kau mendirikan Kim-hong-si-yu-lau di atas bukit Thian-swan-san, sebenarnya dikarenakan mata air kemala itu atau demi pagoda batu, atau mungkin dikarenakan bait syair yang tertera di bawah pagoda itu?" So Bong-seng sama sekali tidak memperlihatkan perubahan apa pun, sorot matanya masih sedingin salju. Senyuman yang selalu menghiasi wajahnya semenjak mengangkat saudara tadi, kini secara tiba-tiba berubah jadi dingin membeku lagi. Mendadak Ong Siau-sik merasakan hatinya ikut membeku. Dipandang oleh sorot mata sedingin ini, dia merasa tubuhnya seolah terkubur dalam longsoran salju. Setelah termenung sejenak, cepat pemuda itu menimbrung, "Aku lihat Kim-hong-siyu-lau bukan dibangun di tengah air, peduli amat dalam air ada naga atau ada pagoda, aku rasa justru bangunan loteng persegi empat itulah baru merupakan tempat yang utama." "Kenapa?" tanya Pek Jau-hui. "Coba kau lihat, warna keempat bangunan loteng itu kuning, hijau, merah dan putih, seandainya ada musuh datang menyerang, sudah pasti mereka tak akan bisa memastikan di-manakah letak markas besar yang sebenarnya, padahal di balik setiap bangunan loteng itu justru sudah dilengkapi dengan berbagai alat jebakan!" "Kalian semua keliru besar," mendadak So Bong-seng berkata, "akulah Kim-hong-siyu-lau, Kimhong-si-yu-lau adalah aku! Kim-hong-si-yu-lau hidup dalam hatiku, hidup dalam hati setiap anggota, tak seorang pun sanggup memusnahkannya, orang lain hanya tahu apa yang pernah ia lakukan, tapi tak akan tahu apa yang hendak dilakukan." Kemudian ia berjalan lebih dulu meninggalkan tempat itu, lalu ajaknya, "Ayo, kita beristirahat dulu di loteng merah." Loteng merah dibangun sangat megah dan mewah, tiang bangunan terbuat dari batu kemala, tampaknya tempat ini memang khusus disiapkan untuk menerima tamu, menjamu tamu dan mengadakan perjamuan kehormatan. Lalu apa kegunaan ketiga bangunan loteng yang lain? (bersambung jilid 2)
21. Bersedia
Di saat Pek Jau-hui masih memikirkan persoalan itu, mendadak ia merasa Ong Siausik secara diam-diam sedang menarik ujung bajunya dari belakang. Terpaksa dia pun memperlambat langkahnya. Dengan suara setengah berbisik Ong Siau-sik berkata, "Aku merasa berterima kasih karena tadi kau telah melakukan penambahan dalam cerita dongengku." Pek Jau-hui tertawa. "Aku selamanya paling suka ada orang tahu berterima kasih, aku memang orang yang gila hormat." "Aku bicara serius. Pernah kau dengar, dari dulu hingga sekarang, banyak pejabat setia justru berakhir dalam kondisi yang mengenaskan?" Pek Jau-hui berpikir sejenak, lalu sahutnya sambil tertawa, "Ini disebabkan para pejabat setia itu kelewat polos, kelewat jujur, biasanya tak suka mendengar nasehat orang, bahkan ada kalanya senang menampar mulut orang yang suka memberi nasehat kepadanya, tapi aku? Memangnya aku mirip dengan orang yang jujur dan polos?" "Kau memang tidak mirip," Ong Siau-sik menghela napas, “aku rasa selain kelewat polos dan jujur, para pejabat setia percaya diri, mereka anggap bicara pakai aturan sudah dapat menyelesaikan segala urusan, padahal tak ada manusia di dunia ini yang senang ditunjuk kesalahannya di hadapan orang lain, memangnya dianggap kalau bicara blak-blakan lantas semua uang mau menerimanya? Kalau seseorang tidak mempertimbangkan hal semacam ini, sering akibatnya menjadi runyam. " Pek Jau-hui terbungkam tanpa menjawab. Kembali Ong Siau-sik berkata, "Ada satu cerita lagi, dulu cho-cho berulang kali menyerang sebuah kota, tapi tak pernah berhasil merebutnya, ketika kegagalan demi kegagalan dialaminya, ia pun berniat menarik mundur pasukannya, ketika berjalan mondar-mandir sambil berpikir itulah dia berseru, sayap ayam, sayap ayam!'. Anak buahnya kebingungan karena tak paham apa yang dimaksud, kemudian ada seorang yang merasa pintar berkata, 'Mari kita bebenah, perdana menteri memerintahkan untuk menarik pasukan, rekannya pun bertanya kenapa ia berkesimpulan begitu? Si pintar menjawab, sayap ayam adalah bagian yang paling hambar, maksudnya dibuang sayang, ini berarti niatnya untuk mundur sudah bulat. Merasa perkataannya masuk akal maka semua orang bersiap untuk mundur. Ketika Cho-cho mengetahui kejadian ini, ia menjadi terperanjat, dia pikir, kenapa si pintar bisa membaca jalan pikirannya." Berbicara sampai di situ Ong Siau-sik berhenti sejenak, lalu tanyanya lagi, "Menurut dugaanmu, apa yang dilakukan Cho-Cho terhadap orang pintar itu?" "Membunuhnya!" jawab Pek Jau-hui tanpa berkedip. "Menurut pendapatmu, benarkah tindakan yang dilakukan Cho-cho?" "Tidak bagus, tapi tindakan yang tepat. Ketika dua pasukan sedang berhadapan di medan laga, sebelum jenderal menurunkan perintah, orang pintar yang berlagak pintar hanya akan menggoyahkan pikiran pasukan, menurunkan semangat tempur dan menggoncangkan rasa percaya diri. Sudah tentu orang semacam ini harus dibunuh." Ong Siau-sik menghela napas panjang. "Jika kau adalah seorang yang amat cerdas, tapi tak mampu mengendalikan diri hingga memperlihatkan kecerdasannya, dan akibat perbuatan itu justru mengundang datangnya bencana kematian, apakah hal semacam ini tidak terlalu sayang?"
Pek Jau-hui memiringkan wajahnya mengerling ke arah Ong Siau-sik sekejap, lalu serunya, "Apa yang barusan kau katakan bukan cerita dongeng tapi sejarah." "Sesungguhnya bukan hanya cerita sejarah saja, tapi juga serupa peringatan. Kalau sejarah hanya menceritakan kembali apa yang pernah terjadi dulu, sedang peringatan lebih mempertegas agar orang jangan meniru cara yang pernah dilakukan orang dulu." "Kau bukan sedang membicarakan sejarah, tapi sedang membicarakan aku," tukas Pek Jau-hui sambil menggendong tangan memandang ke angkasa, ia menarik napas panjang, "Aku sangat memahami maksudmu, tapi ... aku tetap akan menjadi diriku sendiri." Pada saat itulah terlihat seseorang berjalan masuk ke dalam ruang loteng merah. Orang itu masih muda dan tampan, di atas jidatnya terlihat sebuah tahi lalat hitam yang besar, tingkah lakunya lembut, sopan dan sangat terpelajar, perawakan tubuhnya tinggi kurus, jauh lebih tinggi dari orang kebanyakan. Sambil tersenyum dia manggut-manggut, tampaknya sedang menyapa Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Baik Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui sama sekali tidak kenal siapakah orang itu. Dengan sikap yang sangat menghormat orang itu masuk sambll menjinjing dua jilid buku yang sangat tebal, kemudian dilaporkan ke hadapan So Bong-seng. Dengan cepat So Bong-seng menyambut buku itu, lalu membnlok balik beberapa halaman dan keningnya pun berkerut. Tak ada yang tahu apa yang telah dilihatnya dan apa yang lelah dibaca dari buku itu. Kecuali So Bong-seng dan orang itu, siapa pun tidak tahu kenapa sebelum memasuki ruang utama loteng merah itu, So Bong-seng berhenti dulu di atas anak tangga dan membolak-balik beberapa halaman buku besar itu. Apakah selanjutnya So Bong-seng akan mempelajari dulu Isi kitab itu kemudian baru melanjutkan pekerjaannya? Dalam pada itu Mo Pak-sin berkata secara tiba-tiba, "Saudara berdua, dia adalah Yo-congkoan, Yo Bu-shia." "Pek-tayhiap, Ong-siauhiap," pemuda itu segera menjura. "Darimana kau tahu kalau aku dari marga Pek?" tanya Ong Siau-sik. "Ya, darimana kau bisa tahu kalau aku bermarga Ong?" sambung Pek Jau-hui. "Ah, kalian berdua memang senang bergurau," seru Yo Bu-shia tersenyum, kepada Ong Siau-sik terusnya, "Kau adalah Ong-siauhiap". Kemudian sambil berpaling ke arah Pek Jau-hui terusnya, "Dan kaulah Pek-tayhiap." "Kita belum pernah berjumpa," sela Pek Jau-hui. "Tapi kami mempunyai semua bahan, keterangan serta kasus yang pernah kalian berdua lakukan," sambung So Bong-Seng tiba-tiba. Dia serahkan salah satu kitab tebal itu ke tangan Yo Bu-shia.
Dengan suara lantang Yo Bu-shia segera membaca, "Pek Jau-hui, dua puluh delapan tahun, berwatak angkuh lagi juma-wa, senang menggendong tangan sambil memandang angkasa, jejak tidak menentu, kalau turun tangan selalu telengas dan tidak membiarkan musuhnya hidup, di bawah puting susu kirinya terdapat sebuah bisul daging, besarnya lebih kurang sekuku jari "Hmmm, rupanya ada orang senang mengintip orang lain sedang mandi!" sindir Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. So Bong-seng tidak menanggapi, dia hanya berdiri tanpa reaksi. Terdengar Yo Bu-shia membaca lebih lanjut, "... pernah memakai nama samaran Pek Yu-bong dan menyanyi di kebun Sim-cun-wan kota Lok-yang, memakai nama samaran Pek Ing-yang, bekerja sebagai piausu di perusahaan ekspedisi Kim-hoa-piau-kiok, memakai nama samaran Pek Yu-kin, menjadi penulis dan pelukis di kota-kota besar, memakai nama samaran Pek Ko-tang, berhasil merebut juara pertama dalam pertandingan silat di kota Sam-siang wilayah tiga sungai besar Mendengar sampai di situ, timbul perasaan kagum dan hormat di wajah Ong Siau-sik. Semakin banyak nama samaran yang digunakan Pek Jau-hui, semakin mencerminkan betapa sengsara dan menderitanya masa lalu pemuda itu, juga mencerminkan betapa tersiksanya dia karena tak pernah orang mengagumi kebolehannya. Dalam pada itu paras muka Pek Jau-hui makin lama berubah semakin hebat. Ia menarik napas dalam-dalam, sepasang tangannya diletakkan di belakang punggung, tapi baru sebentar sudah bergeser ke samping kaki, kemudian dimasukkan lagi ke dalam saku. Semua kejadian sebenarnya hanya dia seorang yang tahu. Kecuali dia sendiri, tak mungkin di kolong langit ada orang kedua yang mengetahui rahasia ini. Tapi kini, bukan saja pihak lawan mengetahui dengan mhgnl jelas bahkan seakan jauh lebih jelas daripada dia pribadi, malah semua sudah tercatat di dalam buku catatan besar. Yo Bu-shia membacakan lagi, "... pernah mengalami masa jaya ketika berusia dua puluh tiga tahun dan dua puluh enam tahun, ketika berusia dua puluh tiga tahun, dengan memakai nama samaran Pek Beng melakukan pembantaian terhadap enam belas orang panglima bangsa Kim di tebing Boan-liong-po, oleh kalangan militer ia disebut Naga sakti dari luar angkasa dan pernah memimpin tiga puluh laksa prajurit, tapi tak lama kemudian ia buron karena dicari pihak militer. Kemudian pada usia dua puluh enam tahun.........” Pek Jau-hui mulai terbatuk-batuk ringan, ia nampak mulai jengah dan kelabakan sendiri, persis seperti semut di atas kuali panas. "Kemudian pernah menjadi sasaran yang diincar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, hampir saja dia diangkat menjadi Tongcu untuk tiga belas kantor cabang .............” Mendadak So Bong-seng menukas, "Coba dibacakan saja kehebatan kungfu serta asal usulnya." "Baik. Asal usul perguruan Pek Jau-hui tidak jelas, perguruan tidak tercatat, orangtua tak jelas, istri tak ada, senjata tak menentu." Sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Pek Jau-hui. Terdengar Yo Bu-shia membacakan lagi, "Ilmu silat andalannya mirip ilmu andalan
Lui Cian, ilmu jari Sin-sin-ci dari Lui-bun-ngo-hou-jiang, salah satu aliran Bilek-tong dari wilayah Kinglain. Cuma kalau Lui Cian menggunakan ibu jari maka Pek Jau-hui menggunakan jari tengah, ilmu jarinya pun sedikit berbeda, ada orang bilang dia telah melebur semua jurus ilmu pedang yang dimiliki tujuh jago pedang kenamaan di dalam ilmu jarinya............." "Cukup," mendadak Pek Jau-hui berseru. So Bong-seng segera mengangguk. Yo Bu-shia pun seketika berhenti membaca. Sesudah membasahi bibirnya dengan air ludah, Pek Jau-hui baru bertanya, "Ada berapa orang dalam Kim-hong-si-yu-lau yang pernah membaca buku catatan itu?" "Termasuk aku ada tiga orang!" jawab So Bong-seng tetap dingin, namun lamatlamat terlihat jidatnya mulai dibasahi keringat. "Bagus," Pek Jau-hui menarik napas panjang, "aku berharap tak akan ada orang keempat yang mendengarnya." "Baik." Tampaknya Pek Jau-hui merasa agak lega, dia segera menghembuskan napas panjang. "Benar-benar mengerikan," bisik Ong Siau-sik, "baru saja kita berkenalan di tengah jalan, semua bahan dan keterangan tentang identitas kita sudah tercatat di dalam buku." "Oleh sebab itu akulah yang diutus datang ke Po-pan-bun untuk melindungi pertemuan di loteng Sam-hap-lau, dan bukan Yo-congkoan," sambung Mo Pak-sin sambil tertawa. "Kau keliru," tiba-tiba So Bong-seng berkata kepada Ong Siau-sik sambil tertawa. "Aku salah bicara?" "Bukan cuma dia, bahkan semua keterangan dan identitasmu pun sudah tercatat di dalam buku." Ketika ia memberi tanda, Yo Bu-shia pun mulai membaca, "Ong Siau-sik, ahli waris Thian-gi Kisu. Menurut penyelidikan besar kemungkinan Thian-gi Kisu adalah ............" Ketika ia memberi tanda, Yo Bu-shia pun mulai membaca, "Ong Siau-sik, ahli waris Thian-gi Kisu. Menurut penyelidikan besar kemungkinan Thian-gi Kisu adalah ............" "Bagian yang ini jangan dibaca!" hampir serentak So Bong-seng, dan Ong Siau-sik berteriak. Yo Bu-shia segera menghentikan pembacaannya. Setelah menghembuskan napas panjang, So Bong-seng berkata lagi, "Baca lebih lanjut!" "Senjata andalan Ong Siau-sik adalah sebilah pedang. Gagang pedangnya bengkok setengah lingkaran bulan. Tak disangkal pedang itu pasti pedang sakti Wan-liukiam yang sejajar namanya dengan golok merah 'Ang-siu' milik So-kongcu, golok iblis 'Put-ing milik Lui Sun serta pedang sakti 'Hiat-ho' milik Pui Ing-gan."
"Ah, rupanya pedang Wan-liu-kiam! Sangat sesuai dengan syairnya, 'Hiat-ho-angsiu, Put-ing-wan-liu" (baju merah sungai darah, tidak sepantasnya ditahan)!" kata Pek Jau-hui sambil berseru tertahan. Ong Siau-sik mengangkat bahu. Setelah berhenti sejenak, Yo Bu-shia baru melanjutkan pembacaannya, "Ong Siausik sensitip dan penuh perasaan, sejak berusia tujuh tahun sudah mulai berpacaran, hingga usianya yang kedua puluh tiga, ia sudah lima belas kali putus cinta, setiap kali selalu dia sendiri yang mulai bercinta, tapi akhirnya hanya kesedihan dan kehampaan yang diperoleh." "Waduuh ...." jerit Ong Siau-sik. "Kenapa?" tanya Pek Jau-hui sambil menyengir mengejek. "Masa urusan macam begini pun dicatat di buku? Aku .......... " "Apa salahnya? Kau mulai berpacaran pada usia tujuh tlhun, hingga usia dua puluh tiga tahun putus cinta sebanyak lima belas kali, berarti setiap tahun tak sampai satu kali, belum terhitung banyak." "Tapi.......... ini................" Terdengar Yo Bu-shia membaca lagi, "Ong Siau-sik gemar berteman, ia tak pernah membedakan mana kaya mana miskin, suka mencampuri urusan orang, tapi bila berkelahi melawan orang yang tak pandai bersilat, ia tak pernah mengandalkan kungfunya untuk mencelakai lawan, maka ia pernah dihajar habis-habisan oleh tujuh orang bandit muda hingga mesti melarikan diri, kejadian ini.........." "Tolong ............. tolong jangan dilanjutkan, boleh?" mendadak Ong Siau-sik berseru kepada So Bong-seng. "Minta tolong apa?" tanya So Bong-seng sambil mengerling ke arahnya sekejap. "Semua itu adalah urusan pribadiku, boleh tidak, jangan dilanjutkan pembacaannya?" "Boleh." Yo Bu-shia segera menghentikan pembacaannya sambil memberi tanda, empat orang segera muncul, dua orang membawa kain pembungkus buku yang tebal dan dua orang berjaga-jaga di sampingnya, kemudian serentak mereka berjalan menuju ke loteng berwarna putih. Apakah loteng berwarna putih itu merupakan tempat untuk menyimpan bahan serta catatan berharga, seperti halnya loteng penyimpan kitab dalam kuil Siau-lim-si? Sambil tersenyum So Bong-seng menjelaskan, "Semua arsip catatanku merupakan hasil karya Yo Bu-shia, sebetulnya bahan mengenai kalian berdua masih belum cukup lengkap." Tampaknya dia merasa amat bangga dan puas terhadap cara kerja anak buahnya ini. "Aku mengerti sekarang," gumam Ong Siau-sik, "terhadap dua orang tak ternama macam kami pun kalian berhasil membuat catatan secermat itu, apalagi terhadap Lui Sun musuh tangguh kalian, bahan keterangannya tentu sudah teramat banyak." "Lagi-lagi kau keliru besar." "Keliru?" anak muda itu tertawa getir, "kelihatannya pikiranku memang agak terganggu hari ini, masa segalanya keliru?"
"Kami memiliki tujuh puluh tiga bundel catatan mengenai Lui Sun, tapi setelah diperiksa Yo Bu-shia, hanya sekitar empat bundel yang sedikit bisa dipercaya keterangannya, dari keempat bundel itupun masih terdapat banyak bahan yang mencurigakan, kemungkinan besar Lui Sun sengaja menyebarkan berita salah itu untuk mengelabui orang." Kembali sorot mata kagum dan memuji memancar keluar dari mata So Bong-seng, terusnya, "Yo Bu-shia punya julukan Tong-siu-bu-khi (bocah ajaib yang sukar dibohongi), ketajaman mata serta kemampuannya untuk menganalisa sesuatu mungkin masih jauh di bawah kemampuan Ti Hui-keng, tapi dalam ketelitiannya mengumpulkan bahan keterangan serta kesabarannya mencari keterangan jelas jauh di atas kemampuan Ti Hui-keng." Yo Bu-shia sama sekali tidak sombong karena itu, tapi dia pun tidak merendah, hanya ujarnya lirih, "Kongcu, Su-tayhu sudah datang, luka di kakimu............” "Suruh dia menunggu sebentar," kata So Bong-seng. Tampaknya wibawa dan kekuasaan Locu Kim-hong-si-yu-lau ini bukan saja dapat mengundang tabib kerajaan untuk mengobati penyakitnya, bahkan bisa menyuruh tabib kenamaan itu menunggunya. Dengan kening berkerut So Bong-seng menghela napas panjang, katanya lagi, "Sewaktu di loteng Sam-hap-lau tadi, berulang kali Ti Hui-keng memanfaatkan kesempatan sewaktu menundukkan kepala untuk memeriksa luka di kakiku, jika dia menganggap ada kesempatan untuk digunakan, Lui Sun pasti sudah melompat turun dari atap rumah dan menantangku bertarung, sayang ketika dia memeriksa luka di kakiku, dijumpai lukanya tidak separah apa yang diinginkan, aaai ......... Wo Hu-cu dan Te Hoa telah menolong aku, tapi mereka...........” Bicara sampai di sini, suaranya jadi sesenggukan, untuk sesaat tak mampu dilanjutkan lagi. Tiba-tiba Ong Siau-sik menyela, "Toako, dari luka di kakimu sudah mengucur banyak darah, kau seharusnya istirahat sejenak." "Ada satu hal, aku tak memberitahu kalian karena kalian berdua belum memanggil aku Toako, tapi sekarang, setelah kalian memanggilku begitu, aku pun perlu memberitahukan kepada kalian." Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera pasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama. "Pui Siau Hou-ya yang berbincang denganku tadi adalah orang yang menunjang Kimhong-si-yu-lau selama ini, tapi orang ini tak boleh dipandang enteng, sebab setiap perkataannya cukup berbobot di kalangan pembesar kerajaan, kedudukannya dalam dunia persilatan pun sangat terhormat." "Kenapa?" tanya Ong Siau-sik tak tahan. "Alasannya kelewat banyak, salah satu di antaranya adalah dia mempunyai seorang ayah yang hebat." "Jangan-jangan ayahnya adalah Pek Jau-hui berseru tertahan. So Bong-seng membenarkan. "Siapa?" tanya Ong Siau-sik tak habis mengerti. "Masa kau tidak memperhatikan apa yang dikatakan saudara Yo tadi, Pedang sakti sungai darah berada di tangan Pui Ing-gan?" "Jadi ayahnya adalah..." "Betul, ayahnya adalah Pui Ing-gan, jagoan hebat yang sudah diakui sebagai pendekar besar dalam dunia persilatan sejak tiga puluh tahun lalu."
"Hmm, kalau sudah mempunyai ayah sehebat itu, yang jadi anaknya masih menguatirkan apa," jengek Pek Jau-hui «ambil tertawa dingin. "Pui Siau Hou-ya sendiri pun terhitung seorang lelaki berbakat yang sangat hebat. Ayahnya Pui Ing-gan tak berminat menjabat sebagai pembesar negara, untuk menghormati jasanya, pihak kerajaan menganugerahkan gelar Ongya atau raja muda kepadanya. Tapi selama ini dia anggap pangkat bagaikan sampah, dia lebih suka mengandalkan pedang berkelana ke empat penjuru. Akan tetapi Pui Ing-gan juga tahu, bila ingin berhasil dalam suatu pekerjaan besar, maka dia harus meminjam kekuatan pemerintah, maka Siau Hou-ya pun menjadi orang paling dekat dengan Baginda Raja. Padahal Pui Ing-gan sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti apa yang berhasil dicapai anaknya." Pek Jau-hui berpikir sebentar, kemudian baru berkata, "Benar juga perkataanmu itu. Orang itu masih muda tapi berhasil mencapai jenjang karier yang luar biasa, manusia semacam ini memang tak boleh dipandang remeh." "Ada satu hal kau belum pernah menyampaikan kepada kami," mendadak Ong Siau-sik menyela lagi. "Oya?" So Bong-seng agak melengak. "Bukankah tadi kau mengatakan akan menyerahkan sebuah tugas kepada kami?" "Haah, benar," So Bong-seng tertawa, "sebetulnya bukan satu tugas, tapi dua tugas, seorang satu tugas." "Tugas macam apakah itu?" "Kau ingin tahu?" "Sekarang kami sudah bersaudara, aku tak ingin menumpang makan secara gratis." "Bagus. Menurut pandanganmu, mungkinkah Lui Sun akan membatalkan janjinya untuk bertemu pada pertemuan tiga hari mendatang?" "Asal menguntungkan, Lui Sun pasti datang." "Tapi akulah yang mengajukan tawaran untuk pertemuan ini." "Bila posisi ini tidak menguntungkan bagi pihak Kim-hong-si-yu-lau, tak nanti kau ajukan penawaran semacam itu." "Kalau memang tidak menguntungkan bagi pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong, menurut kau apa yang akan dilakukan Lui Sun?" "Dia tak akan memenuhi undangan." "Tapi dia adalah seorang jago tersohor, seorang pemimpin perkumpulan besar, mana mungkin dia tak hadir dalam pertemuan semacam ini?" "Dia pasti akan berusaha mencari alasan, bahkan pasti akan memperketat penjagaan di sekelilingnya." "Kali ini ucapanmu tepat sekali, salah satu alasan yang digunakan pasti menyangkut soal putrinya." "Putrinya?" "Satu bulan lagi putrinya akan menjadi biniku," kata So Bong-seng hambar, "aku
percaya kalian pasti pernah mendengar tentang kawin perdamaian bukan?" "Jadi kau setuju dengan perkawinan semacam ini?" "Aku setuju." "Dan kau bersedia?" "Aku bersedia." So Bong-seng mengangguk, "sebetulnya perkawinan ini sudah dirembuk ayahku semenjak delapan belas tahun berselang." Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Delapan belas tahun lalu, perkumpulan Lakhun-poan-tong sudah menancapkan kaki di kotaraja, bahkan kian hari pengaruh perkumpulan ini makin meluas dan kuat. Waktu itu ayahku baru saja mendirikan Kim-hong Si yu lau, jangan lagi memperluas pengaruh, markas besar kami belum didirikan, waktu itu perkumpulan kami hanya sebuah organisasi kecil di bawah bayang-bayang perkumpulan Lak-hun poan-tong. Saat itulah Lui Sun sempat bertemu aku satu kali dan dia pun menetapkan tali perkawinan ini." So Bong-seng menghela napas panjang, terusnya, "Dua puluh sembilan hari lagi adalah hari perkawinanku." "Kau menyesal?" sindir Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Aku tak ingin menyesal." "Bila kau kuatir menjadi bahan pembicaraan orang di kemudian hari, cari saja sebuah alasan untuk membatalkan perkawinan ini." "Aku tak ingin membatalkan perkawinan ini." "Kenapa?" "Karena aku mencintainya!" ooOOoo
22. Nama dan jabatan Tatkala seseorang menyatakan kesulitannya adalah masalah cinta, maka ada banyak perkataan yang tak perlu dibicarakan lagi. Alasannya sudah lebih dari cukup. Tapi ketika So Bong-seng yang menyinggung soal cinta, paras muka Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui segera menampilkan perasaan tercengang. Manusia angkuh, dingin, serius, seorang pemimpin yang memegang kekuasaan besar tiba-tiba berbicara soal cinta, kejadian ini sungguh aneh dan di luar dugaan siapa pun. Padahal banyak orang lupa, seorang pemimpin pun tetap manusia biasa, bukan dewa, mungkin saja mereka berdiri di tempat yang tinggi, semakin jarang orang memahaminya, dia merasa semakin kesepian. Biasanya gunung yang tinggi, anginnya pasti lebih dingin. Seorang pemimpin pun butuh teman, butuh orang dekat, dia pun butuh cinta. Maka ketika So Bong-seng mengungkap perasaannya, mimik muka maupun sorot matanya tak beda jauh dengan mimik muka serta sorot mata muda-mudi yang sedang dimabuk cinta.
Selama manusia masih mengerti akan pacaran, hal ini sudah merupakan sebuah kebahagiaan, terlepas adakah orang yang mau membalas cintanya. Pek Jau-hui sadar kalau ia sudah kelev/at banyak bertanya, maka lekas serunya sambil berdehem, "Ooh, ini .......... makanya aku rasa ........." So Bong-seng tersenyum, selanya, "Oleh sebab itu aku merasa perlu untuk menyelesaikan dulu pertikaian antara Kim-Hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hunpoan-tong sebelum berlangsungnya perkawinanku dengan nona Lui." Begitu nona Lui dinikahi, maka kedua organisasi besar ini akan berbosanan .............. urusan dengan besan memang gampang untuk diselesaikan, tapi juga paling susah diselesaikan, sebab sekali sudah menjadi besan, maka hubungan perbesanan mesti lebih ditonjolkan, banyak persoalan malah semakin susah diselesaikan secara baik. Apalagi di dalam perkawinan perdamaian ini, apakah So Bong-seng yang bakal tergaet atau nona Lui yang justru digaet, baik So Bong-seng maupun Lui Sun samasama tak punya pegangan. "Aku dengar nona Lui sudah berangkat dari kota Hangciu menuju kemari," ujar So Bong-seng lagi sambil menerawang jauh ke depan sana, "bahkan sudah tiba di kotaraja, entah seka¬rang dia masih gemar bernyanyi sambil memetik harpa atau tidak?" Tak ada yang bisa memberi tanggapan atas perkataannya itu. Untung So Bong-seng segera mengalihkan pokok pembi¬caraan ke soal lain, katanya lagi, "Oleh sebab itu kita harus menciptakan satu kondisi yang lebih matang, kita paksa Lui Sun mau tak mau harus maju ke meja perundingan dan tak bisa tidak harus berunding." Sorot matanya mendadak berubah aneh, terusnya, "Sekalipun hasil perundingan itu gagal, kita harus sudah siap untuk bertempur mati-matian." Kemudian dengan sepatah demi sepatah tambahnya, "Bertempur hingga titik darah penghabisan tampaknya merupakan kondisi yang tak bisa dihindari, baik oleh Kimhong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong." Bagaimana akhir dari peristiwa ini? Tak seorang pun tahu, tapi bisa dipastikan perjalanannya pasti amat menakutkan. Setiap akhir yang harus dilalui dengan air mata dan darah, sebagus dan sesempurna apa pun akhir kejadian itu, seberuntung apa pun akhir pertarungan itu, bagi si pemenang maupun si pecundang sama-sama akan merasakan kesedihan yang luar biasa. Selama perselisihan Kim-hong-si-yu-lau dengan perkum¬pulan Lak-hun-poan