“Pada Masa Itu ...”
Paul Sabon Nama Dosen Kitab Suci Profesional 1967-1977 Pengawal Pembentukan STF(T)K Ledalero 1966: Ledalero Goncang Paul Sabon Nama bercerita: Saya kembali dari Roma pada akhir 1966 dan mulai mengajar di Ledalero pada awal 1967. Anggapan rendah terhadap orang Indonesia masih sangat kuat di kalangan misionaris asing waktu itu. Tapi saya lihat tidak ada orang di Eropa yang lebih dari kami-kami ini. Dan, ya, saya merasa cukup yakin diri bahwa saya mampu membikin sesuatu, hanya suasananya tidak terlalu mendukung. Sejak awal 1960an komunitas Ledalero tergoncang oleh pertentangan antara dosen yang berasal dari Belanda dan beberapa dosen muda dari Indonesia. Orang Belanda, yang masih memegang kekuasaan di Provinsi SVD Ende dan di Seminari Ledalero, mengambil langkah memindahkan dosen Indonesia dari seminari. Tahun 1963 Mige Raya (1928-2011), dosen teologi sejak tahun 1958 dipindahkan ke Papua. Puncaknya terjadi pada tahun 1966 ketika lagi tiga dosen dipindahkan dari Ledalero: Stefanus Kopong Keda (1924-2001) dosen liturgi praktis 19641966;1 Clemens Pareira (1926-1970) dosen filsafat 1963-1966, dipindahkan ke Maumere; dan Lambert Padji Seran (1930-2007) dosen sejarah Gereja 1964-1966, dipindahkan ke Lembata.2 Dalam seketika gerakan “indonesianisasi” yang diilhami pembaruan Konsili Vatikan II (19621965) dan yang dipelopori dosen-dosen muda ini dihentikan.3 Mengutip Sabon. Di Roma kami sudah runding, kira-kira apa yang nanti kami bisa buat di Ledalero. Ada beberapa konfrater yang dianggap bermasalah. Jadi, kami bagaimana pun mau memasukkan mereka dalam mainstream. Dari Roma saya berpikir bahwa terhadap Kopong, Clemens dan Padji masalahnya salah paham saja. Mereka itu bukan orang antiEropa, bukan. Orang-orang ini mampu semua; Kopong sangat pintar, Padji sangat 1
Kemudian Kopong Keda dikeluarkan dari Tarekat Sabda Allah (SVD) dan tinggal di Jakarta. Gregorius Monteiro, svd, membantunya secara moral dan finansial hingga ia meninggal. 2 Sebelumnya sudah ada dua anggota staf asal Indonesia, yakni Mikhael Mige Raya (lih. di atas), dan Paul Sani Kleden (1926-1972), ahli hukum Gereja (Roma 1951-1954) dan dalam staf Ledalero sebagai asisten (1955) dan kemudian direktor (1958) novis hingga tahun 1961 ketika ia diangkat menjadi Uskup Denpasar. 3 Dalam sebuah wawancara (15 Februari 2014), Uskup Gerulfus Kherubim Pareira, SVD, menyesal bahwa “jalan keluar” dari konflik antar dosen, juga konflik antar pastor, karena beda pendapat dan/atau beda kepribadian, sering mengikuti pola menang-kalah, di mana pihak yang kalah dipindahkan. Menurut Uskup Kherubim seyogyianya pimpinan Gereja, termasuk SVD, mengikuti pola pendekatan, persaudaraan, dan rekonsiliasi – justru pola ini yang dirancangkan oleh Sabon Nama di Roma sebelum ke Ledalero.
pintar; Clemens tak sepintar mereka tapi kepalanya cukup keras, ya! Saya berpikir mereka harus dirangkul, bukan dikeluarkan. Dengan Kopong kita harus berargumentasi, dia orang pintar. Tapi ketika saya datang masalahnya sudah lebih jauh: Clemens Pareira dan Lambert Padji sudah dipindahkan dan Kopong Keda sudah tidak ada. Ya, rencana itu tidak jadi. Pada 1963 Mige Raya, dosen teologi di Ledalero dan formator di Ritapiret, sudah dipindahkan ke Irian Jaya. Kenang Sabon: “Dia ini satu orang yang terlalu baik, ya, satu orang pendamai dengan segala orang.”4 Tapi dipindahkan juga. Hampir bersamaan dengan kedatangan Sabon keragaman komposisi staf seminari diperluas dengan kehadiran tiga tenaga baru dari Polandia – Silvester Pajak (l. 1935) (dosen filsafat 19661979), Josef Glinka (l. 1932) (dosen antropologi 1966-1985) dan Stanis Pikor (l. 1935) (dosen teologi 1966-1978). Jadi, Sabon masuk ke dalam “komunitas pasca-pergolakan” yang kini terdiri dari enam dosen Belanda, tiga asal Polandia, satu dari Jerman selain tiga dosen pribumi yang lain. 5 Kenang Piet Nong: “Paul Sabon datang sebagai seorang Indonesia muda, Flores-Adonara, yang menambah barisan kecil dosen di Ledalero.” Dosen Ilmiah dan Bertanggungjawab Penampilan dosen Sabon di ruang kuliah cukup mengesankan. Kata Yosef Seran: “Paul Sabon memberi kuliah secara ilmiah dan bertanggungjawab. Kesan ia orang pintar dan menguasai banyak cerita Kitab Suci dan tafsirannya. Kami cukup terpengaruh oleh caranya mengajar.” Sabon adalah ekseget profesional pertama di Ledalero dan warga Indonesia kedua yang pernah
4
Pemimpin Regio SVD Ende (1963-1972), Nicolaus Apeldoorn (1913-1996), yang memindahkan Mige Raya dari Ledalero kemudian terkejut ketika Mige diangkat sebagai anggota DPR Pusat di Jakarta (wakil alim ulama dari Irian Jaya). Di kemudian hari, Pemimpin Umum Henry Heekeren mengangkat Mige sebagai Procurator General di Roma (penghubung SVD dengan Vatikan). Mige mengakhiri hidupnya sebagai rektor wilayah dan “sesepuh” kesayangan para pastor di Tambolaka, Sumba. 5 Tiga dosen asal Indonesia di samping Sabon pada 1966 adalah: 1) Dari 1958 hingga 1995 dosen filsafat Stefanus Ozias Fernandez (1922-1995), 2); Dari 1960 hingga 1971 direktor novis dan dosen Pancasila Vitalis Djebarus (1929-1998); dan 3) Dari 1965 hingga 1968 dosen pendidikan Jan Riberu (l. 1932). Dalam sengketa yang meliliti staf seminari ketiga dosen ini memilih pihak Belanda (lantas Ozias diangkat sebagai Rektor Seminari dan Vitalis sebagai Uskup Ruteng; Jan Riberu mundur dari SVD dan menikah). Ledalero harus tunggu beberapa tahun sebelum dosen baru asal Indonesia didatangkan, yakni Nikolaus Hayon (1936-2007) dosen liturgi 1971-2007; Paul Ngganggung (l.1938) dosen sosiologi 1973-1984; dan Callistus Suban Hadjon (l. 1938) direktor novis 1974-1984. Sebelum mereka tiba, barisan dosen diperkuat oleh sejumlah dosen dari luar negeri: pada tahun 1967 oleh Leo van Vliet (1914-1985) di bidang teologi pastoral dan Kees Maas (l.1938), teologi moral 1967-1976, dan pada tahun berikutnya oleh Matthias van Stiphout (1907-1970), direktor novis 1968-1970, John O’Mahony (l. 1939), teologi sistematik 1970-1974, dan Josef Pieniazek (l. 1925), filsafat 1973-2008. Selanjutnya oleh Josef Königsmann (l.1934) hukum Gereja dan Tafsiran Kitab Suci 1972-1985; Guus Cremers (1943-2013) filsafat & psikologi 19741989; Paul Klein (l. 1937) teologi moral 1974-1990; Henry Heekeren (1931-2004) tafsiran Kitab Suci 1975-1977; dan Georg Kirchberger (l.1947) teologi sistematik 1976-sekarang. Kemudian didatangkan Alex Ganggu (19402012), kateketik 1977-1987, dan selanjutnya dosen-dosen lain asal Indonesia. Alumni STFK Ledalero dalam jumlah yang memadai yang dikirim studi lanjut untuk kembali sebagai dosen direncanakan secara teratur hanya sejak Henry Heekeren diangkat sebagai Pemimpin Umum SVD di Roma (1977-1988) dan Herman Embuiru menjabat sebagai Rektor Ledalero (1978-1984). “Ordo lama” mau mempertahankan Ledalero sebagai apa yang mereka sendiri juluki “benteng akhir orang Belanda”.
tamat dari Institutum Biblicum, Roma.6 Tandas Piet Bate, “Ia sangat sempurna menguasai bidang ilmu tafsir Kitab Suci.” Henri Daros mengaku: Saya sendiri tidak punya minat istimewa terhadap kuliah eksegese itu sebagai suatu ilmu, tapi ketertarikan saya pada waktu itu lebih karena ‘pesan-pesan’ Kitab Suci yang sedikit-banyak tertangkap dan dapat dipahami ‘Sitz im Leben’-nya berkat cara atau metodenya. Sabon memberi kuliah Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, Kitab-Kitab Para Nabi dan Kitab Pengkhotbah. Karena dosen eksegese waktu itu masih kurang, maka semua kuliah tafsir Kitab Suci merupakan kuliah umum, yang dihadiri mahasiswa dari semua tingkat. Sabon sendiri bercerita: Saya mulai dengan soal-soal teknis apa itu Kitab Suci, bagaimana kita harus membaca, bagaimana kita harus mengerti. Kemudian saya coba sedikit dengan latar belakang teologinya. Saya selalu bilang kepada mahasiswa: “Kamu boleh tanya apa saja, kalau bisa saya jawab, ya, saya jawab, kalau tidak saya nanti cari di buku.” Dan memang saya membaca banyak buku dalam rupa-rupa bahasa. Sabon sangat berminat dengan bahasa dan sastra Indonesia, namun ia tidak pernah menyesal karena “disuruh” mendalami ilmu tafsir Kitab Suci: “Saya merasa kemudian bagus ketika mulai menghubungkan rupa-rupa tafsiran itu dengan teologi; ya, perlahan-lahan saya memahami Kitab Suci.” Tandas Piet Nong: Mungkin karena minatku pada hal-hal yang agak kontroversial, Nabi Yeremia menjadi menarik. Tokoh ini lebih lagi memberi inspirasi ketika saya menangani seksi drama/urusan dramaturgi di seminari. Saya mencari naskah drama Kitab Suci dan beruntung mendapat naskah drama Yeremia dari Seminari Pematang Siantar. Kemudian, dengan bekal dari kuliah Paul Sabon, saya mengolahnya lebih singkat untuk dipentaskan kurang lebih dalam dua jam. Lebih lanjut Piet katakan: Sekurang-kurangnya untuk saya pribadi, pada waktu itu Paul Sabon sudah mulai membawa sesuatu yang lebih inspiratif untuk kepedulian dan keterlibatan Gereja di masyarakat, suara kenabian yang tak boleh bungkam, ketika mulai dirasakan tekanantekanan oleh rezim Soeharto/Golkar yang berkuasa. Sayangnya, itu amat kurang terwujudkan. Sistem pembentukan pada masa itu masih jauh dari membangun dan membentuk kepedulian dan komitmen terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan.” 6
Tamatan Institutum Biblicum Roma pertama asal Indonesia adalah Francis Xavier Sudartanta Hadisumarta, O.Carm, (dosen STFT Widya Sasana Malang), yang kedua adalah Sabon, dan yang ketiga Berthold Anton Pareira, O.Carm, (dosen STFT Widya Sasana Malang). Sebelum kedatangan Sabon ke Ledalero, bidang Kitab Suci ditangani oleh Cornelis Molenaar (1904-1973): “… sebenarnya ia tidak pernah mengajar Kitab Suci sesungguhnya..” (Sabon Nama). “Molenaar mengalami kesulitan dalam berbahasa sehingga banyak mahasiswa kurang mengerti pengajarannya.” (Tarsi Djuang). Rupanya Joannes Bouma (1885-1970) pernah menangani bidang Kitab Suci di Ledalero tanpa menempuh studi khusus di bidang eksegese; Bouma sungguh menguasai bahasa Yunani dan pada masa tuanya menerjemahkan seluruh Kitab Suci Perjanjain Baru (dijuluki Injil) ke dalam bahasa Indonesia – terjemahan paling pertama di kalangan Katolik. Di Ledalero Sabon dan Bouma sering berunding bersama.
Sesudah mengikrarkan kaul pertamanya, Hendrik Dori Wuwur bersama kawan-kawan seangkatan, memulai kegiatan studi filsafat dan teologi. Hendrik sendiri bercerita: Salah satu mata kuliah adalah ‘Pengantar ke dalam Kitab Suci’, pemahaman dasar tentang Kitab Suci, sebagai persiapan untuk mempelajari ilmu ‘Tafsir Kitab Suci’. Paul Sabon Nama, pada jam kuliah pertama, sesudah menjelaskan secara singkat maksud kuliah ini, mengumumkan: “Untuk kuliah ini, kamu harus membaca ensiklik Paus Pius XII ‘Divino afflante Spiritu’ (30 September 1943).” Dan dalam kerjasama kelompok kami meringkas isi ensiklik dan membagi hasil ringkasan itu kepada kawan-kawan. Hendrik Dori menlanjutkan refleksinya: Apa yang menarik bagi kami pada waktu itu? Rasa ingin tahu yang mendorong untuk mulai belajar filsafat dan teologi, langsung ditantang dengan proses studi mandiri. Mahasiswa tidak hanya mendengar apa yang diajarkan dosen waktu kuliah, tetapi harus juga membuat penelitian pribadi dengan membaca literatur yang diwajibkan oleh dosen. Hal baru yang tidak dialami dalam pendidikan menengah waktu itu. Dan khusus untuk mata kuliah ‘Eksegese’, kami merasa bahwa Paul Sabon Nama memberi kami tantangan yang meski berat, tetapi menarik. Hendrik Dori juga terkesan dengan kuliah tafsiran Kitab Pengkhobah (Kohelet). Paul Sabon mengawali seluruh proses kuliah dengan satu kutipan yang bagi kami sangat menarik: “vanitas vanitatum, ... et omnia vanitas ...” (Kesia-siaan belaka, ... segala sesuatu adalah sia-sia) (Pkh. 1:2). Dan ‘tesis’ ini mengkarakterisasi seluruh pembahasan sepanjang semester. Kitab Pengkhotbah menunjukkan kebijaksanaan hidup di tengah pengalaman manusiawi yang konkret, sambil berkonfrontasi dengan pemikiran kritis dari jaman yang tengah berkembang. Di tengah tantangan jaman ini, Kitab Pengkhotbah menampilkan satu teori yang radikal mengenai hubungan yang erat antara dunia dan Allah. Menurut pemahaman Kohelet, tidak ada sesuatu pun, juga yang paling jahat sekalipun, yang dikecualikan dari peran Allah sebagai penyebab segala sesuatu. Dan dari perspektif Allah akhirnya semua yang ada di dunia adalah “indah”. Maka, menurut Sabon Nama, Kitab Pengkhotbah harus dinilai tinggi, karena semua yang diuraikan di dalamnya berisi Kabar Gembira mengenai tindakan Allah terhadap manusia di dalam sejarah. Penulisnya, Kohelet, ingin supaya isi kitab ini diterima sebagai sesuatu yang ‘modern’, yang kebijaksanaannya cocok untuk segala jaman. Dan kebanyakan kami merasa bahwa seluruh kuliah eksegese sepanjang semester itu menjadi renungan meditatif yang menarik dan menyenangkan. Jadi, Sabon tega menghadirkan Musa dengan Kitab Tauratnya, berani menampilkan Yeremia bersama para nabi dan pandai memamerkan kearifan hidup dari kitab-kitab kebijaksanaan. Rupanya inilah pertama kalinya para mahasiswa “jatuh cinta” dengan Kitab Suci. Sebagaimana dijelaskan oleh Tarsis Djuang: “Kesanggupannya dalam metode pengajaran membuat banyak mahasiswa, termasuk saya, mencintai Kitab Suci.” Tandas Hendrik Dori:
Paul Sabon Nama adalah dosen yang membawa kesegaran baru dalam bidang Ilmu Tafsir Kitab Suci. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh para mahasiswa yang baru mulai memasuki masa studi (Filosofen), tetapi terutama oleh para Teologan yang sudah mengalami dosen-dosen eksegese sebelumnya. Ia menawarkan hal-hal baru dan menarik, karena persiapan yang teliti. Kehadiran Sabon, seperti kehadiran Clemens Pareira sebelumnya dan Jan Riberu kemudian, turut meningkatkan mutu akademis di Ledalero. Meningkatnya mutu akademis tak berarti mesti serba abstrak nan menjenukan. Gaya Sabon terbukti menyulut semangat para mahasiswa untuk peroleh inspirasi dari Firman Allah yang “hidup dan kuat, lebih tajam dari pada pedang bermata dua.” (Ibr 4:12) Bahasa yang Baik dan Benar Selain tampil profesional dalam bidangnya, hal lain yang membedakan Sabon dari dosen-dosen sebelumnya, dan yang cukup mengesankan bagi para mahasiswa, adalah bahasanya. Tegas Henri Daros: Menyebut Paul Sabon Nama sebagai dosen Tafsir Kitab Suci langsung sekilas terbayang kembali seorang dosen berusia relative muda yang tertib berbahasa, ya bahasa Indonesia maksudnya, analitis dalam mengurai, lugas dan tuntas dalam mengulas. Atau menurut Piet Bate: “Kuliahnya disajikan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Lagi Yosef Seran: “Bahasa Indonesia yang digunakan Paul Sabon bagus sekali dan kami senang mengikuti kuliahnya”. Kata Tarsi Djuang: “Ia menggunakan bahasa yang sederhana, gampang dimengerti dan hal ini membuat mahasiswa tetap mengingatnya.” Selagi kenangan Piet Nong: Satu hal lagi yang saya ingat ialah kecermatan Paul Sabon dalam mengolah pikirannya terhadap soal atau suatu hal sebelum mengatakannya, dengan memulai, “Saya berpikiir ...”; bahasanya tidak berbunga-bunga, hemat kata dan menunjuk gagasan yang sedang dipikirkannya. Memang terasa agak “kering” dan perlu perhatian penuh untuk mendengarkannya. Hal terakhir ditegaskan pula oleh Hendrik Dori: Dalam proses kuliah, ketika dia mengajar, banyak mahasiswa merasa berat untuk mengikuti pemikiran Paul Sabon Nama karena bahan dirumuskan dalam bahasa Indonesia yang baku dan ketat, dengan isi yang padat. Dan Paul Sabon tidak pernah menampilkan humor atau lelucon; seluruh proses dari awal hingga akhir selalu bersungguh-sungguh. Orang harus sangat berkonsentrasi untuk bisa menangkap semua yang disajikan. Karena itu di antara para mahasiswa terkenal ucapan ini: “Untuk kuliah Paul Sabon Nama, siapa yang pada 10 menit pertama tidak berkonsentrasi sehingga kehilangan benang merah, berarti dia kehilangan seluruh hari itu!” Kuliah Sabon dijadikan standar intelektual mahasiswa.
Bahasanya yang tepat mencerminkan seseorang yang menyampaikan hanya apa yang ia sendiri pahami, apa yang ia yakini. Dan karena kuat percaya diri, dia tak segan mengakui keterbatasannya. Semua mahasiswa mengaku: kala itu tidak ada dosen lain yang punya bahasa Indonesia seperti Sabon; dan selalu Sabon yang diminta menyusun pidato bagi Rektor Seminari atau Ketua Sekolah tiap ada pejabat mengunjungi kampus Ledalero. Terlintas dalam ingatannya: Sejak dari seminari menengah saya punya kesukaan besar untuk bahasa dan sastra, malah pada jamannya saya menulis puisi banyak di majalah seminari. Dan sampai di Roma saya masih tetap menulis puisi. Saya senang mendengar puisi, baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa Jerman. Saya tidak tahu, rupanya saya ada rasa bahasa, dan itu sesuatu yang penting. Jarak di Ruang Kuliah, Sobat di Lapangan, Nabi di Mimbar Kalau di ruang kuliah Sabon selalu memakai jubah putih (“supaya mereka sedikit hormat saya”, kelakarnya), di luar ruang kuliah ia main badminton dan bola kaki bersama para mahasiswa SVD (“agar kurang ada jarak”). Kenang Tarsi Djuang: “Yang menarik, perannya sebagai dosen tidak menghilangkan kedekatan dan keakrabannya dengan mahasiswa sekaligus sebagai sama saudara. Ia mudah didekati dan akrab dengan para mahasiswa SVD, termasuk dalam olahraga badminton.” Kedekatan dengan mahasiswa tidak selalu berarti bahwa pernilaian Sabon terhadap mereka tidak pernah “meleset”. Mengutip Piet Nong: Saya merasa bahwa pada tingkat terakhir saya kurang mendapat simpati dari Sabon. Itu barangkali karena kami kurang saling kenal sesungguhnya. Kemudian ia mengakui bahwa ia bimbang dengan saya. Sesudah ia tidak lagi sebagai SVD ternyata hubungan kami menjadi sangat cair, dekat bersahabat. Piet Bate termenung: “Yang menarik adalah pribadinya yang lembut, namun ia bisa tegas juga. Sebuah kombinasi yang tidak setiap orang miliki.” Sifat ini nampak juga dalam tanggungjawabnya yang tinggi. Kenang Yan Djawa: Jika kami menghubungi beliau untuk tugas liturgi harus satu bulan lebih dahulu. Rupanya dia butuh waktu untuk persiapan dari jauh ditambah lagi persiapan dari dekat. Kotbah yang disiapkannya itu sungguh bermutu dari segi bahasa dan berbobot isinya. Aplikasi lebih bersifat formatif untuk para formandi. Kesan Henri Daros: Paul Sabon dalam ruang kuliah, dengan penampilan akademisnya itu, tampak selaras dengan Paul di luar ruang kuliah yang selalu terlihat rapi dan trendi, belum lagi dengan kacamata yang selalu bertengger di puncak dahinya … Di luar ruang kuliah, Paul menangani hal-hal yang berhubungan dengan tugasnya juga secara lugas dan tidak berpanjang-panjang. Sabon menjadi anggota panitia dalam Komisi Liturgi KWI (PWI-Liturgi kala itu) yang mengalihbahasakan bacaan-bacaan Kitab Suci untuk Perayaan Ekaristi Hari Minggu dan Hari Raya dari bahasa aslinya (Ibrani dan Yunani) ke dalam bahasa Indonesia yang benar lagi indah.7 7
Terbit dalam sejumlah jilid pada tahun 1971, 1972 dan 1973.
Kronik Seminari Ledalero mencatat perjalanannya pergi-pulang Yogyakarta-Ledalero untuk urusan ini. Sayang, pada tahun 1988 terjemahan yang mengesankan itu diganti dengan teks yang diambil langsung dari buku Alkitab (LAI) yang kalimatnya tidak disusun untuk dimaklumkan dari mimbar. Pengdongkrak Berdirinya STF(T)K Mulai 1969 hingga berangkat dari kampus Ledalero (1977), Sabon bekerja di sekretariat sekolah dan bersama Pancras Mariatma (1940-2010) berhasil memperoleh pengakuan bagi STFTK. Sabon menjabat sebagai sekretaris pertama STFTK Ledalero dan secara praktis “mengurus segalanya”. Tutur Yosef Seran: Sabon Nama membangun Sekretariat STFTK. Ia mengorganisasi ujian Negara yang pertama bagi semua angkatan mahasiswa yang digabungkan untuk mengikuti ujian. Bersama Ketua Sekolah, Ozias Fernandez, Paul Sabon Nama menandatangani nilainilai pada ijazah Sarjana Muda yang kami terima. Sabon bercerita: Akreditasi itu bukan soal akademis, bukan soal mutu, itu soal birokrasi, kebanyakan itu soal mengatur administrasi supaya Kopertis bisa melayani. STFK itu sebenarnya pekerjaan saya dengan Pankras Mariatma. Hampir tujuh tahun kami bekerja, sejak permulaan sampai ketika saya pergi sabatikal (1977) dan waktu itu kami sudah tuntuaskan proses “disamakan”. Malah pernah saya menyewa satu pesawat dari Kupang untuk membawa Panitia Ujian Negara dari Kopertis ke Ledalero. Dalam Kronik Seminari dapat kita baca betapa sering Sabon pergi-pulang ke Kopertis untuk mengurus akreditasi sekolah, hingga ujian negara Sarjana Muda dapat diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tgl. 4 – 12 Februari 1972 (13 peserta lulus, 12 peserta “tertunda”). Tegas Yan Djawa: “Sebagai Sekretaris STFTK Ledalero beliau bekerja keras, trampil melobby pihak terkait untuk meningkatkan pamor dan kinerja lembaga pendidikan kita. Kontribusinya besar bagi pendongkrakan.” Tetapi ada ongkos yang mesti dibayar: Paul Sabon Nama yang begitu piawai di ruang kuliah perlahan-lahan mulai berubah ketika menjabat sebagai pengurus STFTK Ledalero. Jabatan struktural ini menyita kesibukan yang luar biasa hingga mempengaruhi dia, termasuk dalam profesionaismenya sebagai seorang guru. Tentang STFK Ledalero masa kini, Sabon menitip sebuah pesan: Saya merasa kedalaman menjadi sangat kurang. Gaya ke luar hebat, tapi kenapa saya bilang isi kurang? Pertama, apa yang saya dengar dari kotbah-kotbah. Dulu saya sendiri menyiapkan kotbah biasa selama dua minggu. Saya tidak tahu mereka siap bagaimana. Saya pernah mengajak para pastor dalam pertemuan pastoralnya: Siap betul supaya kamu tahu kapan kamu mulai dan kapan kamu berhenti. Kalau tidak, kamu omong terus. Itu satu: Kedalaman kurang. Kedua, karena penguasaan bahasa asing kurang
mungkin, para pastor baca juga kurang. Ini yang saya lihat dalam sikap mereka yang sudah punya jabatan di luar, saya lihat cara membawa diri tidak matang, ya tidak punya latar belakang. Kita sudah harus belajar tidak hanya dari segi ilmu, tapi juga kematangan ilmu kita harus menyata dari situ. Pribadi yang Terbagi Selain mengawali pembentukan STF(T)K Ledalero bersama Pankras Mariatma, Sabon terpilih sebagai Rektor Seminari Ledalero (1972-1975), orang Indonesia kedua yang memimpin komunitas pembentukan dasar SVD ini sesudah Ozias Fernandez (1966-1969).8 Henri Daros menceritakan: Sebagai ‘aktivis’ kampus pada masa itu, saya mengalami sikap seorang Paul Sabon yang terbuka terhadap perkembangan zaman, mendukung aneka kegiatan kemahasiswaan yang bermanfaat tanpa mendikte ini atau itu. Saya kira Paul sudah memainkan perannya secara baik sesuai dengan zamannya. Sabon sendiri teringat: Saya tidak mau sama sekali jadi Rektor. Saya merasa terlalu muda, dan masih ada persoalan pribadi itu. Jadi, jabatan bikin kita konsentrasi di jabatan, dan lupa diri. Tapi, sedikit didesak oleh Silvester Pajak. Dalam menangani urusan sebagai Rektor saya rasa kurang bijaksana.9 Impresi Yosef Seran: Diceritakan bahwa seluruh keluarga mengharapkan ia, sebagai putra tunggal, harus bisa mempunyai keturunan. Ia menjadi pribadi yang terbagi, bimbang dan ragu terhadap keutuhan panggilannya sebagai biarawan dan imam. Dan pada akhirnya ia menjawab harapan keluarganya dengan sempurna meskipun ia sangat menderita. Hingga kini ia tetap bertanggungjawab terhadap keluarga yang telah dibentuknya. Ia mengetahui dengan pasti seluk beluk kehidupan keluarga dan tantangannya yang berat. Ia tetap menghayati Firman Allah yang menjadi Terang dan Pedoman bagi langkah hidup berkeluarga yang dipilihnya. Yan Djawa mengenang satu peristiwa kecil ketika ia mengkapteni regu sepak bola para mahasiswa dan Sabon turut main bersama mereka: “Ketika itu Paul Sabon menjaga gawang, tapi sekali kiper ini meninggalkan zona markingnya, akibatnya fatal, gawang bobol...” Insiden sederhana ini Yan ingat kembali ketika Sabon meninggalkan SVD serta imamatnya: “sekali meninggalkan zona markingnya, gawang bobol...”. Sabon sendiri bercerita lebih jauh: Leo van Vliet kan pembimbing rohani saya, dan saya selalu kontak dengan dia biar saya sudah di Roma. Saya menulis surat kepada dia sebelum berkaul kekal: “Pater, saya harus mengambil satu keputusan, sebab tidak bisa begini terus, meskipun keputusan itu 8
Di antara masa Ozias Fernandez dan Sabon Nama, Silvester Pajak menjabat sebagai rektor Ledalero (1969-1972). Salah satu tindakan Sabon selaku Rektor, yang di kemudian hari dinilai sangat bijaksana malah profetis, adalah mengundang Henry Heekeren menjadi dosen di Ledalero (1975-1977). Tentang peran Heekeren di Ledalero dan SVD Indonesia pada umumnya lih. Lukas Jua, “Henry Heekeren SVD: Peran dan Karya di Indonesia”, Jurnal Ledalero 12/2 (2012), 237-260. 9
akan saya sesali.” Kemudian sebagai imam muda, baru habis tahbisan, saya tulis surat kepada Leo van Vliet lagi: “Pater, masih ingat surat saya tempohari bahwa saya harus mengambil langkah ini, sebab saya tidak boleh bimbang terus, dan bahwa mungkin saya akan menyesali langkah ini, hanya saya tidak tahu bahwa penyesalan itu begitu cepat.” Jadi, saya selalu bergolak. Alkisah, ketika Sabon sudah duduk di kelas III Seminari Menengah Mataloko, ada perang dalam keluarga Korebima di Kiwang Ona, akibatnya Sabon tinggal satu-satunya laki-laki yang diselamatkan dari keturunan ayahnya.10 Salah seorang, anak dari saudari kandung kakek saya, datang tinggal di kampung kami. Ini keluarga terpandang (bangsawan). Ketika kakek saya dibunuh bersama beberapa anggota keluarga lain, dan saya juga dikejar untuk dibunuh, saya berlari ke rumah keluarga Korebima itu dan berlindung di sana. Malam itu saya dibawa ke Kiwang Ona, ke rumah mereka yang sudah selesai dibangun tetapi belum didiami. Saya menjadi semacam sandera, karena yang membunuh kakek saya adalah juga dari keluarga besar Korebima. Keesokan hari ratusan orang dari Witihama, Suku Tokam, Hinga dan lainlain, datang untuk membalas pembunuhan, tapi gagal karena saya masih di tangan keluarga Korebima tadi. Ada satu pasukan yang datang hendak menjemput saya ke kampung mereka tetapi tidak diberi, karena keluarga Korebima itu takut akan keselamatan mereka sendiri. Beberapa hari kemudian saya dijemput oleh Pastor Harrie van der Hulst. Untuk meluputkan Sabon, Pastor Paroki Hinga, Harrie van der Hulst, SVD, (1902-1993) menyembunyikan Sabon di belakang tempat duduk jeepnya karena harus melalui jalan yang sudah ditutup oleh segerombolan orang bersenjata. Sejak itu keluarga Sabon pegang harapan besar bahwa pada suatu saat: “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah” (Yes 11:1). Dalam perjalanan waktu Sabon Nama dan isterinya Ema Wokan dikaruniai dua orang anak, Josefin Desire Ese Doni (lahir 1991), dan Ishak Rahman Geroda Beni (lahir1997).11 Nyatanya, Sabon menjalankan tugas imamatnya dengan setia hingga saat ia menerima surat keputusan dari Roma yang membebaskan dia dari segala kewajiban imamat termasuk kaul hidup wadat. Sesudah menerima SK dari Roma itu, Sabon melapor diri ke Uskup Donatus dan pamit. Jarang kita berjumpa dengan orang yang hidup tertib, lurus dan konsekuen seperti itu, seorang pastor yang menjalankan tugas imamatnya dengan tekun sampai saat surat laicisasi tiba dari Roma; Sabon harus tunggu lima tahun baru permohonannya itu dikabulkan. Dia sendiri katakan: Waktu Uskup Donatus kembali dari India, saya sudah terima surat dari Roma. Dia menangis. Saya heran, toh kita sama-sama kenal sifat Donatus itu. Saya bilang: “Monsignur bagaimana? Surat dari Roma sudah datang dan saya harus menandatangani surat itu.” Ketika mau pulang, saya bilang: “Monsignur, Paul Klein mau saya turut konselebrasi dalam acara pengresmian gedung LK3I dan staf dosen di Ledalero sudah tahu bahwa saya mau berhenti, dan Provinsial Cletus da Cuhna di Ende sudah cerita 10
Ya, “tunggulnya tinggal berdiri pada waktu ditebang” (Yes 6:13). Dua anggota dari staf Ledalero membaptis anak-anak ini; Josefin oleh John Prior (rekan anggota KKS-KAE), dan Ishak oleh Servulus Isaak (rekan penafsir Kitab Suci). 11
kepada banyak guru.” Jawab Uskup Djagom: “Tidak apa-apa.” Jadi, saya turut konselebrasi dengan Uskup Donatus dan Paul Klein dan saya sendiri yang kotbah. Saya mau mengelakkan tugas itu, tapi Paul Klein tegaskan: “Paul Sabon, kau berkotbah, ini kotbahmu yang terakhir.” Dan memang, itulah kotbah saya yang paling akhir, di LK3I, Maumere. Tarsi Djuang cukup dekat dengan Sabon ketika Tarsi bekerja di Paroki St. Mikhael, Nita dan Sabon di STF(T)K Ledalero. Sabon sering datang ke pastoran dan mereka berdua berbagi cerita sebagai teman. Kini Tarsi kenang kembali: Paul Sabon Nama memang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, tetapi rupanya kurang diimbangi dengan kecerdasan spiritual. Tetapi kemudian dengan sangat jujur dan berani ia mengambil sebuah keputusan atas pilihan hidup yang baru. Ia meninggalkan imamatnya dan membangun hidup keluarga. Sebuah keputusan: hasil berlaga dalam diri, hasrat berbenturan yang digeluti dan menggelutinya. Kesan Gabriel Wangak Kesape (Br. Gaby): “Bagi Pak Paul keluarga adalah segala-galanya: perhatian, cinta dan pengorbanan untuk keluarga patut diteladani.” Br. Gaby memaparkan contoh sederhana: Setiap kali Pak Paul Sabon datang ke Pusat Penelitian Candraditya, Wairklau, pada waktu sebelum atau menjelang jam makan siang/malam, beliau selalu menolak untuk makan bersama dengan kami. Beliau selalu mengatakan: “Saya harus pulang makan di rumah, karena keluarga, khususnya isteri saya, sudah menunggu.” Contoh lain: Pada suatu waktu Pak Paul diundang ke Kupang untuk mengikuti pertemuan para rektor perguruan tinggi swasta (waktu itu beliau menjabat sebagai Direktur ABA). Baru tiba di Kupang istrinya menelpon bahwa putra mereka, Ishak, sakit. Beliau memutuskan untuk pulang keesokannya harinya dan tidak jadi ikut pertemuan. Ketika ditanya “hanya karena anakmu sakit biasa-biasa saja?” Pak Paul menjawab: “Saya tidak butuh pertemuan itu, saya butuh keluarga, keluarga adalah hidup saya. Ishak adalah masa depan saya.” Tarsi Djuang yakin: Ternyata sebagai bapak keluarga Pak Paul ‘menjalankan imamatnya’, bahkan lebih dari ketika ia sebagai imam. Paul Sabon Nama sungguh selaku seorang nabi yang merasul dalam pilihan hidupnya sebagai kepala keluarga. Dengan bertanggungjawab terhadap pendidikan kedua anaknya serta kesejahteraan isterinya, ia pun sungguh merasul. Melepas, Menjaring Ketika Sabon bersabatikal di Roma (1977-1978), sebuah momen untuk mengambil jarak, jarak untuk berpikir, Henry Heekeren, Pemimpin Umum SVD kala itu, mengatakan kepada Sabon: “Paul, apapun yang terjadi, saya harap kita tetap bekerja sama.” Heekeren mengharapkan supaya Sabon, kalau nanti memutuskan untuk meninggalkan SVD, kembali mengajar di STFK Ledalero.
Namun sidang dosen memutuskan lain. Kemudian Pemimpin Umum SVD mendekati Gregorius Monteiro, Uskup Kupang, supaya Sabon diundang mengajar di Universitas Widya Mandiri (yang didirikan atas inisiatif Heekeren pada 1984). Awalnya Uskup Monteiro, selaku Ketua Yayasan, setuju, dan Sabon mulai proses memindahkan buku-bukunya ke Kupang. Belakangan undangan itu dibatalkan. Nyatanya, pada masa itu Tarekat Sabda Allah di Nusa Tenggara tak tega melihat, apa lagi mampu merangkul anggotanya yang sudah berkeluarga, walau di Jakarta pada masa itu, mantan anggota SVD Jan Riberu sudah diterima di kalangan Kantor Waligereja Indonesia (sebagai Ketua DokPen) dan mengajar di Universitas Katolik Atma Jaya. Bagaimana pun, hubungan Sabon dengan anggota-anggota SVD tak pernah putus, baik di Indonesia, pun dengan konfrater-konfrater di luar negeri. Dia menjalin relasi persahabatan dengan para anggota SVD di Lembaga Penelitian Candraditya, dan selama beberapa tahun ia dengan tekun dan teliti mengalihbahaskan sejumlah karya Paul Arndt dalam Seri Etnologi.12 Pun di luar negeri jalinan persahabatan berjalan terus. Sekedar contoh saja Bill Burt bercerita: Kira-kira 10 tahun lalu Paul Sabon berada di Kota Adelaide, Australia, bersama beberapa guru dari Maumere. Mereka sedang mengikuti kursus pendidikan yang disponsori AUSAID. Pak Paul mengunjungi Erwin Schmutz, SVD [mantan misionaris di Keuskupan Ruteng], dan kebetulan saya [selaku Provinsial SVD Australia] mengunjungi Erwin pada waktu yang sama. Mengumat Tak lagi dipakai sebagai dosen tetap Kitab Suci13, Sabon melibatkan diri dalam kerasulan Kitab Suci di Keuskupan Agung Ende dan Regio Nusa Tenggara. Br. Gaby bercerita: Waktu itu, Pak Sabon, Ande Leba Atawolo, pr, Ibu Martha Agatha dan John Prior, svd, adalah anggota Komisi Kerasulan Kitab Suci Keuskupan Agung Ende (KKS-KAE) dari Kevikepan Maumere. Saya diminta mengetik brosur untuk Bulan Kitab Suci KAE yang disusun oleh Pak Sabon, antara lain: Perkenalan dengan Kitab Keluaran (1989, 41 hlm.) dan Perkenalan dengan Kitab Samuel (1990, 37 hlm.).14 Sejak terlibat dalam gerakan pastoral Kitab Suci, Sabon ditantang untuk memekarkan tafsiran akademisnya dari ruang kuliah untuk menemukan sebuah Sabda yang dapat menyentuh kehidupan umat sehari-hari. Karena itu, sebagai pendamping ahli pada KKS-KAE, Sabon mengikuti Kursus Pastoral Kitab Suci di Nemi, Roma (1990) di mana dia terpilih sebagai “ketua kelas”. Dan memang Sabon sangat aktif dalam KKS-KAE. Dia hadir dalam Pertemuan Perdana para Delegatus KKS se Nusa Tenggara (NusRa) (Seminari Ritapiret, 21-25 April 1992) selaku pendamping ahli bersama Sr. Clara Antoni dari Malaysia (Penghubung KKS Regio Asia 12
Sabon mengalihbahasakan enam karya Paul Arndt: Demon dan Paji (2002, 135 hlm.), Hubungan Kemasyarakatan di Wilayah Sikka (2002, xxii-203 hlm.), Agama Asli di Kepulauan Solor (2003, xxvii-228 hlm.), Falsafah dan Aktivitas Hidup Manusia di Kepulauan Solor (xxvii-331 hlm.), Agama Orang Ngadha: Dewa, Rohroh, Manusia dan Dunia (Jilid I, 2005, xviii-138 hlm.), Agama Orang Ngadha: Kultus, Pesta dan Persembahan (Jilid II, 2007, viii-225 hlm.), dan Masyarakat Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan dan Hukum Adat (2009, xii-723 hlm.). 13 Sabon menjadi dosen tamu di berbagai perguruan tinggi seperti STTK Fajar Timur (Abepura, Papua, 1981), IPI Malang (cabang Kupang, 1993-1994), dan STPas Ende (1994). 14 Tema Bulan Kitab Suci Keuskupan Agung Ende pada tahun 1989 adalah Kepemimpinan Suportif, dan pada tahun 1990 Berbicaralah, Ya Tuhan, sebab Hambamu Mendengar.
Tenggara) dan Ludger Feldkämper, SVD dari Frankfurt (Sekretaris pelaksana Catholic Biblical Federation). Pak Sabon sendiri kenang kembali masa itu: Saya merasa kita cukup matang ketika di KKS-KAE. Kita berbuat sesuatu yang sedikit real untuk umat. Menurut saya kita ‘punya isi’ pada tingkat nasional dan saya sangka mutu kita lebih dari pada mereka yang regio lain. Orang Jawa, yang saya kenal mulai dari Roma, mereka punya modal keberanian, dan kita orang Flores tidak punya itu. Sayang bahwa banyak orang kita juga pikir bahwa yang di Jawa itu lebih hebat. Saya merasa tidak. Kita kurang berani muncul. Sebuah Simfoni yang Tak Kunjung Akhir Paul Sabon Nama lahir di Adonara, pada tgl. 8 Juli 1936. Setamat Sekolah Rakyat (Kiwang Ona 1943-1946) ia lanjut di Sekolah Standar (Larantuka 1946-1949) dan masuk Seminari Menengah (SMP-SMA) di Mataloko (1949-1956), angkatan terakhir para siswa asal Flores Timur yang bersekolah di Todabelu.15 Novisiat (1956-1958) dan pendidikan filsafatnya (1958-1960) ia ikuti di Ledalero. Dan sebagai salah satu anggota paling cakap dari angkatannya Sabon menempuh pendidikan teologi dasarnya di Universitas Gregoriana, Roma (1960-1964) tepat pada masa berlangsungnya Konsili Vatikan II (1962-1965).16 Ditahbiskan menjadi imam di Roma pada tgl. 16 Februari 1964, Sabon melanjutkan pendidikannya dengan spesialisasi di bidang tafsiran Kitab Suci (Institutum Biblicum 1964-1966).17 Sekembali dari Roma dan setelah mengabdi di lembaga pendidikan Ledalero selama 10 tahun (1967-1977), Sabon menjalankan sabatikal di Roma (tafsiran Kitab Suci 1977-1978). Seusai sabatikalnya, Sabon menetap ke Pastoran St. Yosef, Maumere (1978-1983), dan menjabat sebagai Ketua Yayasan Bina Sari (SMA/SMEA Sint Gabriel 1980-1995). Dengan dukungan dari para pastor se Dekenat Maumere, ia diangkat oleh Uskup Agung Ende, Donatus Djagom, sebagai Deken Maumere (1982-1983). Kenang Sabon: “Uskup Donatus betul mengandalkan saya dan mengangkat saya sebagai Deken dalam satu situasi yang banyak sekali masalahnya di Maumere.” Peran Sabon sebagai pendidik tak pernah kunjung akhir: sebagai Direktor Akademi Bahasa Asing St. Maria (ABA), Maumere (1997-2005), Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Sikka (2002 hingga kini) dan Wakil Rektor bidang Akademik Universitas Nusa Nipa (Unipa), Maumere (2005-2008). Tandas Br. Gaby: Untuk menghidupi keluarganya, Pak Paul bekerja apa saja mulai dari jabatan tertinggi sampai yang paling bawah: Direktor ABA, Dekan Unipa, dosen, guru, penerjemah, pedagang hasil komoditi dan tentu sopir bagi keluarganya. Sekali pendidik, tetap pendidik. Pada usia menjelang 80 tahun, Sabon tetap tekun menerjemahkan rupa-rupa dokumen dan karya ke dalam bahasa Indonesia dari berbagai bahasa asing seperti Jerman, Belanda, Perancis, Inggris, dan Italia.
15
Pada tahun 1950 Seminari San Dominggo dibuka di Hokeng, Boru, untuk siswa SMP/SMA asal Flores Timur. Tesis licentiatnya di bidang teologi berjudul Royal Messianism in the Old Testament, (Universitas Gregoriana 1964). 17 Tesis eksegetisnya berjudul Politisches oder Eschatalogisches Heil: Untersuchung zur gesichtlichen Situation der Heilsverkündigung des Propheten Ezechiel, (Institutum Biblicum 1966). 16
Menyongsong pesta emas tahbisannya, Sabon tidak lupa menyurati teman-teman seangkatan dari Roma, baik yang masih anggota SVD, pun mereka yang sudah berkeluarga. Pada kesempatan ini pula Jurnal Ledalero tidak mau supaya jejak Paul Sabon Nama dalam STFK Ledalero pudar atau malah terhapus: Sebagai dosen Kitab Suci profesional pertama, selaku pendamping ahli Kerasulan Kitab Suci pada tingkat regional dan nasional, bagai sekretaris yang mengawali pembentukan STF(T)K, dan last but not least laksana Rektor Seminari Ledalero pribumi yang kedua. Bagi siapa saja, bagi kita semua, Tuhan mampu menulis lurus pada garis hidup yang penuh lekuk yang lentur. John Mansford Prior Kesan-kesan dari sejumlah alumni STF(T)K - Piet Nong, Yosef Seran, Piet Bate, Henri Daros, Hendrik Dori Wuwur, Tarsi Djuang, Yan Djawa, dan Bill Burt – juga dari Br. Gabriel Wangak Kesape, dipetik dari email atau surat yang menanggapi permintaan penulis. Paul Sabon Nama diwawancarai pada tgl. 29 Januari 2014.