KORELASI KONSENTRASI HARA N, P, K, Ca DAN Fe PADA JARINGAN TANAMAN DENGAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI METABOLIT TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour.) SECARA ORGANIK
ERIK MULYANA A252124051
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Korelasi Konsentrasi Hara N, P, K, Ca dan Fe pada Jaringan Tanaman dengan Pertumbuhan dan Produksi Metabolit Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) secara Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Erik Mulyana NIM A252124051
RINGKASAN ERIK MULYANA. Korelasi Konsentrasi Hara N, P, K, Ca dan Fe pada Jaringan Tanaman dengan Pertumbuhan dan Produksi Metabolit Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) secara Organik. Dibimbing oleh SANDRA ARIFIN AZIZ, SYARIFAH IIS AISYAH dan M RIZAL MARTUA DAMANIK. Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis termasuk dalam famili Lamiaceae yang daunnya memiliki aroma yang khas dan sebagai pangan fungsional dari sayuran yang mempunyai khasiat obat. Masyarakat etnis Batak di Sumatera Utara, Indonesia khususnya para wanita yang menyusui, mengkonsumsi daun torbangun setelah melahirkan untuk meningkatkan produksi ASI (Lactagogue), anti fungal dan/atau anti bakterial, analgesik, mengurangi kolesterol, dan membersihkan daerah rahim. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi konsentrasi N, P, K, Ca dan Fe daun dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun serta mengetahui pengaruh pupuk organik dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Percobaan di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan, Desa Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat dengan pemberian paranet intensitas naungan 55% dan terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Maret 2014, sedangkan percobaan ke-dua dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Mei 2014. Percobaan pertama untuk mengetahui korelasi konsentrasi N, P, K, Ca dan Fe dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Percobaan pertama menggunakan tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t-student dan uji korelasi linier sederhana. Percobaan ke-dua untuk mengetahui pengaruh pupuk organik dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Percobaan ke-dua menggunakan rancangan penelitian yaitu Rancangan Acak kelompok (RAK) satu faktor dengan empat perlakuan. Setiap perlakuan diulang empat kali sehingga terdapat 16 satuan percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan pada pengaruh yang berbeda nyata, dilakukan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf nyata 5%. Perlakuan pada percobaan ke-dua menggunakan tiga jenis pupuk organik yaitu pupuk kandang ayam (PK), pupuk guano (PG), dan abu sekam (AS) (dosis per hektar masing-masing untuk perlakuan: 15 ton PK; 15 ton PK + 2 ton PG; 15 ton PK + 5.5 ton AS; 15 ton PK + 2 ton PG + 5.5 ton AS). Hasil percobaan menunjukkan (1) Jaringan tanaman yang terbaik untuk dijadikan sampel penetapan kebutuhan hara N, P, K, Ca dan Fe adalah posisi daun ke-3 umur 5 bulan. Terdapat korelasi positif antara konsentrasi hara K dengan bobot kering daun, Ca dengan aktivitas PAL, dan Fe dengan total saponin pada posisi daun ke-3 umur 5 bulan, (2) Secara umum, pemberian kombinasi pemupukan organik tidak mempengaruhi rata-rata laju tumbuh relatif (LTR) dan laju asimilasi bersih (LAB), komponen pertumbuhan, komponen biomassa, dan komponen produksi pucuk. Pemberian kombinasi pupuk (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 5.5 ton ha-1 abu sekam) menghasilkan konsentrasi hara pucuk yang paling baik. Pemberian kombinasi pupuk (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) menghasilkan konsentrasi dan produksi metabolit sekunder saponin yang paling baik pada torbangun. Kata kunci: Coleus amboinicus Lour., hara daun, metabolit sekunder, pemupukan organik, torbangun
SUMMARY ERIK MULYANA. Correlation of N, P, K, Ca and Fe Nutrient Concentrations in Plant Tissue with Growth and Metabolite Production on Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) of Organically. Supervised by SANDRA ARIFIN AZIZ, SYARIFAH IIS AISYAH and M RIZAL MARTUA DAMANIK. Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) is a tropical plant from the Lamiaceae family, with leaves that have a distinctive aroma and as a functional food from vegetable are used more as a medicinal plant. Bataknese lactating women in North Sumatra, Indonesia traditionally consumed torbangun leaves after giving birth with beliefs it could increase their breast milk production (a lactagogue), antifungal and/or anti-bacterial, analgesic, to reduce cholesterol, and to clean the uterus. The purpose of this study was to determine the correlation of N, P, K, Ca, and Fe leaf nutrient with growth and metabolite production torbangun and determine the effect of organic fertilizer with growth and metabolites production on torbangun. The trials were conducted at the experimental field, in Mulyaharja Village, South Bogor District, Bogor, West Java by using paranet with shade intensity of 55% and consists of two trials. First trial were conducted from January to March 2014, while the second trials were conducted from March to May 2014. The first trials to determine the correlation of N, P, K, Ca and Fe leaf nutrient with growth and metabolites production on torbangun. It had three replication. The data were analyzed using t-test and simple linear correlation test. The second trials were to determine the effect of organic fertilizer with growth and metabolites production on torbangun. This research used group randomized design one factor with four treatments. Each treatment was repeated four times so that there were 16 units of the experiment. The data were analyzed using analysis of variance and the significantly different effect using Duncan Multiple Range Test at 5% significance level. The trials was using three kinds of organic fertilizer i.e. chicken manure, guano fertilizer, and rice-hull ash (dose per hectare respectively for the treatment: 15 tons ha-1 chicken manure; 15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer; 15 tons ha-1 chicken manure + 5.5 tons ha-1 rice-hull ash; 15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer + 5.5 tons ha-1 rice-hull ash). The results showed that: (1) the best leaf position and leaf age to determine of the need of N, P, K, Ca and Fe nutrients are on the 3rd leaf position of 5 monthsold plant. There is positive correlation between nutrient concentrations of K with shoot dry weight, Ca with PAL activity, and Fe with total saponins on the 3rd leaf position of 5 months-old plant; (2) In general, the combination of organic fertilization were not affected the average of relative growth rate and net assimilation rate, the growth components, the biomass components and crop production components torbangun. The combination of (15 tons ha-1 chicken manure + 5.5 tons ha-1 rice-hull ash) increased leaf nutrient concentrations. The combination of (15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer + 5.5 tons ha-1 rice-hull ash) increased concentrations and metabolite production torbangun especially in saponins on torbangun.
Keywords: Coleus amboinicus Lour., leaf nutrients, secondary metabolites, organic fertilization, torbangun
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KORELASI KONSENTRASI HARA N, P, K, Ca DAN Fe PADA JARINGAN TANAMAN DENGAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI METABOLIT TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour.) SECARA ORGANIK
ERIK MULYANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc.
Judul Tesis : Korelasi Konsentrasi Hara N, P, K, Ca dan Fe pada Jaringan Tanaman dengan Pertumbuhan dan Produksi Metabolit Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) secara Organik Nama : Erik Mulyana NIM : A252124051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS Ketua
Dr Ir Syarifah Iis Aisyah, MScAgr Anggota
Prof Drh M Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah konsentrasi hara, metabolit sekunder dan pemupukan organik, dengan judul Korelasi Konsentrasi Hara N, P, K, Ca dan Fe pada Jaringan Tanaman dengan Pertumbuhan dan Produksi Metabolit Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) secara Organik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS., Dr Ir Syarifah Iis Aisyah, MScAgr., dan Prof Drh M Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD. selaku komisi pembimbing yang telah berkenan memberikan arahan dan bimbingan, dosen penguji luar komisi Dr Ir Maya Melati, MS, MSc. yang telah memberikan banyak saran dan masukannya serta Dr Dewi Sukma, SP, MSi yang telah berkenan menjadi wakil dari Program Studi Agronomi dan Hortikultura. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua pihak dari berbagai institusi yang telah membantu terutama kepada Yayasan Bakrie Center (Bakrie Centre Foundation) melalui program beasiswa Bakrie Graduate Fellowship periode 2014/2015. Selain itu, kepada Yayasan Uni Eropa (Erasmus Mundus Scholarship) melalui program EXPERTS III 2nd-Cohort yang telah memberikan pengalaman belajar di Spanyol selama 10 bulan. Serta kepada Managing Editor Journal of Tropical Crop Science yaitu Dr Ir Krisantini, MSc. yang telah memberikan masukan dan arahan terkait penerbitan jurnal penelitian Vol. 2 No 2 Tahun 2015. Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada petinggi dan staff Fakultas Pertanian IPB yaitu Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr., Prof Dr Ir Dadang, M.Sc., Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc., dan Dr Ir Ahmad Junaedi, Msi atas atensinya selama ini. Selain itu, terima kasih yang tulus kepada mereka yang telah memberikan pertemanan, pengertian, dan kesabaran selama ini: Wahyu Fikrinda, Annisa Hasanah, Aria Muslim, Lily Handayani, Lutfia Nursetya Fuadina, Indri Hapsari, Eka Novita Sari, Hafith Furqoni, Titistyas Gusti, Moch. Rifqi Wijaya, Rifky Hatta Ghani, Dina Silvia Dewi serta Rina Ekawati, Bayuanggara Cahya, Eny Tagotrop dan Dia Hasanudin atas konsultasi dan sharing penelitian selama ini. To my USC´s Lectures and staff, International Friends Kataryna Dreval, Jascha Lackner, Fabrizio Gentilcore, Spanish and Mexican Students, My roommate in 207 4B thanks for everything. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada penanggung jawab Laboratorium Terpadu Departemen Agronomi dan Hortikultura (Pak Bambang Hermawan, Pak Yudi, dan Mbak Ismi) yang telah mengizinkan penulis untuk bekerja di laboratorium tersebut dan kepada staff Komisi Pendidikan Program Studi Agronomi dan Hortikultura (Bu Neng, Bu Mimin dan Pak Udin) yang telah memberikan kemudahan dalam proses administrasi selama ini. Atas dukungan dari teman-teman Sekolah Pascasarjana Program Studi Agronomi dan Hortikultura angkatan 2012 dan 2013, PPI Spanyol, Awardee Erasmus angkatan 2014, AGH 44 Bersatu, IAAS Alumni, dan lainnya penulis ucapkan terima kasih. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, Kakak serta seluruh Keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya yang tulus dan tiada hentinya memberikan dukungan siang dan malam agar penulis dapat mewujudkan mimpi menjadi lulusan yang rendah hati dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2015 Erik Mulyana
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Hipotesis Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 Ruang Lingkup Penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA 5 Identifikasi Tanaman Torbangun 5 Pupuk Organik 9 Pupuk Kandang 9 Pupuk Guano 10 Abu Sekam 11 KORELASI KONSENTRASI N, P, K, Ca DAN Fe DAUN DENGAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI METABOLIT TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour.) Pendahuluan 13 Bahan dan Metode 14 Hasil dan Pembahasan 18 Simpulan 34 PENGARUH PEMUPUKAN ORGANIK DENGAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI METABOLIT TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour.) Pendahuluan 37 Bahan dan Metode 38 Hasil dan Pembahasan 42 Simpulan 58 PEMBAHASAN UMUM 59 SIMPULAN DAN SARAN 63 Simpulan 63 Saran 63 DAFTAR PUSTAKA 64 LAMPIRAN 71 RIWAYAT HIDUP 77
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Komposisi zat gizi daun torbangun dan katuk Kandungan unsur hara dari pupuk kandang ayam dan pupuk kandang lain Curah hujan bulanan (mm) Rata-rata laju tumbuh relatif dan laju asimilasi bersih tanaman torbangun pada umur 2.5-5 bulan Rata-rata umur tanaman terhadap pertumbuhan tanaman torbangun pada umur 2.5-5 bulan Rata-rata umur tanaman terhadap biomassa tanaman torbangun pada umur 2.5-5 bulan Pengaruh jumlah daun pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh bobot basah daun pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 35 bulan tanaman torbangun Pengaruh bobot kering daun pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 35 bulan tanaman torbangun Korelasi (r) antar konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun dengan bobot kering daun, dan produksi metabolit pada umur 3-5 bulan Korelasi (r) antar konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun posisi ke-1, 3, 5 dengan bobot kering daun, dan produksi metabolit tanaman torbangun umur 5 bulan Kombinasi perlakuan pupuk organik Kadar hara tanah tanaman torbangun dengan pemupukan organik pH dan C-organik tanah tanaman torbangun dengan pemupukan organik Laju tumbuh relatif tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Laju asimilasi bersih tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Tinggi dan pertambahan tinggi tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Jumlah dan pertambahan jumlah cabang tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Lebar tajuk dan pertambahan lebar tajuk tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Luas daun tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Bobot basah tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Bobot kering tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Jumlah pucuk torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Bobot basah pucuk torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Bobot kering pucuk torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Produksi pucuk total torbangun dengan pemupukan organik Konsentrasi N torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi P torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan
7 9 18 19 19 20 20 21 21 27 28
39 42 43 43 44 44 45 45 46 46 47 47 48 48 49 49 50
vii 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Konsentrasi K torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi Ca torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi Fe torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Aktivitas PAL torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik umur 6 bulan Konsentrasi total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik umur 7 bulan Produksi total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik umur 6 bulan Produksi total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik umur 7 bulan Produksi aktivitas PAL, total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik Informasi nilai gizi daun torbangun, katuk dan tomat per takaran saji
50 51 51 52 52 53 53 54 54 62
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Bagan alir penelitian korelasi konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe pada jaringan tanaman, pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun dengan pemupukan organik Morfologi torbangun; a. Tangkai, b. Batang, c. Daun, d. Bunga Posisi Daun ke-1, ke-3 dan ke-5 Pengaruh konsentrasi N pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh konsentrasi P pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh konsentrasi K pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh konsentrasi Ca pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh konsentrasi Fe pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh aktivitas PAL pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh antosianin pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh flavonoid pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Pengaruh saponin pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Kaitan aktivitas PAL pada pemanenan umur 3-5 bulan Kaitan antosianin pada pemanenan umur 3-5 bulan Kaitan flavonoid pada pemanenan umur 3-5 bulan Kaitan saponin pada pemanenan umur 3-5 bulan Skema sederhana lintasan biosintesis metabolit primer dan sekunder pada tumbuhan. (Modifikasi dari Cseke et al. 2006)
4
5 15 22 23 23 24 24 25 25 26 26 29 29 30 30 34
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Persiapan contoh untuk analisis protein dan aktivitas enzim (Dangcham et al. 2008) 2. Analisis protein (metode Waterborg 2002) 3. Analisis aktivitas PAL (Dangcham et al. 2008) 4. Analisis konsentrasi antosianin (Sims & Gamon 2002) 5. Persiapan contoh untuk analisis konsentrasi total flavonoid 6. Analisis konsentrasi total flavonoid (metode aluminium chloride colorimetric, Chang et al. (2002) dengan sedikit modifikasi) 7. Analisis konsentrasi total saponin menurut metode Fathonah & Sugiyarto (2009) yang telah dimodifikasi 8 Analisis konsentrasi N-tot menurut metode Kjehdal 9 Analisis konsentrasi P dan K menurut metode pengabuan kering 10. Analisis konsentrasi kalsium (Ca) menurut metode Atomic Absorbsion Spectrophotometry (AAS) (Apriyantono et al. 1989) 11. Analisis konsentrasi zat besi (Fe) menurut metode Atomic Absorbsion Spectrophotometry (AAS) (Apriyantono et al. 1989)
72 72 72 72 72 73 73 74 75 76 76
PENDAHULUAN Latar Belakang Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis termasuk dalam famili Lamiaceae yang daunnya memiliki aroma yang khas dan sebagai pangan fungsional dari sayuran yang mempunyai khasiat obat (Ekawati et al. 2013). Saat ini, torbangun terbatas baru dikelola oleh masyarakat etnis Batak di Sumatera Utara, Indonesia khususnya para wanita yang menyusui, mengkonsumsi daun torbangun setelah melahirkan untuk meningkatkan produksi ASI (Lactagogue) (Damanik et al. 2001; Damanik et al. 2004; Damanik et al. 2006; Damanik 2009). Selain itu fungsi daun torbangun yang sudah dilaporkan termasuk sebagai anti-fungal dan/atau anti-bakterial (Khattak et al. 2013; Khattak et al. 2013a), analgesik (Devi et al. 2010; Pramadya et al. 2010), mengurangi kolesterol (Andriani et al. 2012), dan membersihkan daerah rahim (Damanik et al. 2001; Damanik et al. 2004; Damanik 2009). Potensi sebagai laktagogum ditunjukkan oleh daun torbangun yang mengandung saponin, flavonoid, polifenol serta dapat meningkatkan hormon-hormon menyusui, seperti prolaktin dan oksitosin. Ditemukan pula bahwa konsumsi daun torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan konsentrasi beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam air susu ibu (ASI) (Damanik 2005; Damanik et al. 2006). Mengingat khasiatnya sebagai lactagogue sudah dibuktikan secara ilmiah maka tanaman ini perlu diproduksi dan disebarkan tidak hanya dikalangan masyarakat etnis Batak, akan tetapi perlu disebarluaskan dikalangan masyarakat seluruh etnis di Indonesia. Bagian tanaman torbangun yang paling banyak dimanfaatkan adalah daunnya (Damanik 2009). Menurut Mahmud et al. (1990), dalam 100 g daun torbangun mengandung 279 mg kalsium, 13.6 mg besi dan 13.288 mkg karotin total. Kalsium dan zat besi sangat diperlukan untuk tubuh manusia. Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat didalam tubuh, yaitu 1.5 – 2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1.3 kg. Fungsi kalsium di dalam tubuh antara lain berperan dalam pembentukan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator reaksi biologik dan berperan dalam kontraksi otot (Almatsier 2001). Kalsium juga berperan dalam pembentukan trombin dan proses penggumpalan darah dan diperlukan dalam proses penyerapan vitamin B serta bermanfaat dalam struktur dan fungsi membran (Winarno 1997). Zat besi di dalam tubuh mempunyai jumlah yang sedikit (3-5 g) namun mempunyai peranan yang sangat besar. Peran penting zat besi didalam tubuh adalah untuk membentuk hemoglobin dan membantu berbagai proses metabolisme tubuh. Metabolisme tersebut di antaranya mengubah pro-vitamin A menjadi vitamin A aktif, transpor oksigen, pembentukan DNA/RNA, sintesis karnitin untuk transportasi asam lemak, sintesa kolagen, dan sintesis neurotransmiter (Agus 2005; Beard et al. 2006). Daun merupakan jaringan tanaman yang umum digunakan untuk analisis. Hal ini karena daun merupakan tempat terjadinya fotosintesis dan metabolisme lainnya yang sangat aktif. Hara yang ada pada daun menggambarkan status hara yang aktual dalam tanaman dan daun adalah jaringan yang selalu ada untuk dianalisis (Mooney 1992). Analisis daun digunakan untuk pedoman mendiagnosis
2 status hara optimasi. Uji korelasi konsentrasi hara daun bertujuan untuk mendapatkan hubungan yang paling baik dari konsentrasi suatu unsur dalam daun pada umur tertentu (Marschner 1995). Beberapa unsur hara makro (seperti N, P, dan K) secara fisiologis merupakan unsur hara yang memiliki fungsi dalam tumbuhan yakni fungsi elektro kimia, fungsi struktur dan fungsi katalik, sedangkan unsur hara mikro hanya berperan dalam fungsi katalik (Anggorowati et al. 2001). Untuk memenuhi kebutuhan unsur hara makro dan mikro tanaman torbangun yang optimal untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman salah satunya dapat ditentukan oleh ketersediaan hara di dalam tanah dengan cara pemupukan. Pemupukan bertujuan untuk memberikan tambahan hara yang tidak tersedia di dalam tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik (Hardjowigeno 2003). Pupuk organik merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisik, kimia, biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh pupuk organik terhadap tanaman obat. Hasil penelitian Urnemi (2002) menunjukkan bahwa pemupukan mulai berpengaruh positif terhadap bobot kering basah dan bobot kering tanaman daun jinten pada naungan 50% dengan dosis pupuk P 50 kg ha-1 dan 0.03 kg m-2. Hasil penelitian Susanti et al. (2008), yaitu pupuk kandang ayam dengan dosis 15 ton ha-1 merupakan dosis terbaik yang menghasilkan produksi biomassa tertinggi yaitu 10.73 g bobot kering daun dan 6.36 g bobot kering umbi per tanaman kolesom. Hasil penelitian Farchany (2011) menunjukkan bahwa pemberian kombinasi pupuk organik 5.3 ton ha-1 pupuk kandang sapi + 138.1 kg ha-1 guano + 8.2 ton ha-1 abu sekam dapat meningkatkan bobot pucuk layak jual kolesom sampai dengan 25.67% dari pemberian pupuk anorganik. Mualim (2012) menyatakan bahwa kolesom dengan pupuk organik di musim kemarau memberikan produksi pucuk 37% lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk inorganik. Hasil penelitian Ekawati et al. (2013) menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik meningkatkan konsentrasi hara jaringan tanaman torbangun yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk. Pemberian kombinasi pupuk lengkap (12.3 ton ha-1 pupuk kandang sapi + 1.5 ton ha-1 rock phosphate + 5.5 ton ha-1 abu sekam) menghasilkan produksi bobot kering ha-1 (57.33%) sampai dengan umur 5 bulan dan menghasilkan produksi metabolit ha-1 (Total fenolik 12.06%, antosianin 41.73%) yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk. Selanjutnya, Munawaroh (2013) menambahkan bahwa pemupukan organik (12.3 ton ha-1 pupuk kandang sapi + 1.5 ton ha-1 rock phosphate + 5.5 ton ha-1 abu sekam) sampai dengan umur 5 bulan dapat meningkatkan bobot basah pucuk 125.21% dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemupukan. Penelitian tentang korelasi konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe pada jaringan tanaman dan pemupukan organik torbangun perlu dilakukan karena sejauh ini belum banyak informasi pengaruhnya dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Oleh karena itu penelitian perlu dirancang untuk menghasilkan suatu standard operating procedure (SOP) yang dapat diterapkan di lapang.
3 Perumusan Masalah Torbangun merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis, namun banyak dikembangkan di daerah sub tropis dan dimanfaatkan untuk berbagai macam tujuan. Saat ini, torbangun terbatas baru dikelola oleh masyarakat etnis Batak di Sumatera Utara, Indonesia khususnya para wanita yang menyusui, mengkonsumsi daun torbangun setelah melahirkan untuk meningkatkan produksi ASI (Lactagogue) (Damanik et al. 2001; Damanik et al. 2004; Damanik et al. 2006; Damanik 2009). Selain itu fungsi daun torbangun yang sudah dilaporkan termasuk sebagai anti-fungal dan/atau anti-bakterial (Khattak et al. 2013; Khattak et al. 2013a), analgesik (Devi et al. 2010; Pramadya et al. 2010), mengurangi kolesterol (Andriani et al. 2012), dan membersihkan daerah rahim (Damanik et al. 2001; Damanik et al. 2004; Damanik 2009). Potensi sebagai laktagogum ditunjukkan oleh daun torbangun yang mengandung saponin, flavonoid, polifenol serta dapat meningkatkan hormon-hormon menyusui, seperti prolaktin dan oksitosin. Ditemukan pula bahwa konsumsi daun torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan konsentrasi beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam air susu ibu (ASI) (Damanik 2005; Damanik et al. 2006). Mengingat khasiatnya sebagai lactagogue sudah dibuktikan secara ilmiah maka tanaman ini perlu diproduksi dan disebarkan tidak hanya dikalangan masyarakat etnis Batak, akan tetapi perlu disebarluaskan dikalangan masyarakat etnis di seluruh Indonesia. Torbangun termasuk tanaman pangan fungsional dari sayuran yang mempunyai khasiat obat. Tanaman berkhasiat obat karena mengandung senyawa metabolit primer dan sekunder. Pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun dapat ditingkatkan melalui kegiatan percobaan mengenai korelasi konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe pada jaringan tanaman dan pemupukan organik. Korelasi konsentrasi hara jaringan tanaman pada berbagai posisi daun dilakukan untuk mendapatkan rekomendasi pemilihan posisi daun yang tepat sedangkan pemupukan secara organik dalam kegiatan budidaya tanaman obat sangat diperlukan. Pupuk organik dapat meningkatkan ketersediaan hara didalam tanah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Belum banyak sumber penelitian yang memberikan informasi mengenai korelasi konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe pada jaringan tanaman dan pemupukan organik dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun.
Tujuan Penelitian 1. 2.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Mengetahui korelasi konsentrasi N, P, K, Ca dan Fe daun dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Mengetahui pengaruh pupuk organik dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun.
4
Hipotesis Penelitian 1. 2.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Terdapat korelasi antara konsentrasi N, P, K, Ca dan Fe daun dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Terdapat perlakuan pemupukan organik terbaik yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan informasi awal dalam penyusunan standard operating procedure (SOP) budidaya tanaman torbangun melalui penelitian korelasi antara konsentrasi N, P, K, Ca dan Fe daun dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Selain itu, juga memberikan informasi tentang pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun dengan pemupukan organik.
Ruang Lingkup Penelitian Tujuan penelitian dan hipotesis dapat dijawab dengan melakukan kegiatan percobaan (Gambar 1). Percobaan pertama untuk mengetahui korelasi konsentrasi N, P, K, Ca dan Fe daun dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Percobaan ke-dua untuk mengetahui pengaruh pupuk organik dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun.
Gambar 1 Bagan alir penelitian korelasi konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe pada jaringan tanaman dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun secara organik.
5
TINJAUAN PUSTAKA Identifikasi Tanaman Torbangun
Botani Klasifikasi taksonomi torbangun adalah sebagai berikut: Plantae (Kingdom), Phanerogamae (Divisi), Spermatophyta (Subdivisi), Angiospermae (Kelas), Tubiflorae (Order), Lamiaceae (Famili), Oscimoidae (Sub Famili), Coleus (Genus), Coleus amboinicus Lour. (Spesies). Tanaman torbangun adalah terna sekuler tahunan atau agak menyerupai semak, tidak berumbi, percabangan agak berbentuk galah, berbulu halus pada saat muda, dan lokos jika tua. Daun berhadapan, tunggal, tebal, berdaging, bundar telur melebar, agak bundar atau berbentuk seperti jantung, dengan luas 5-7 cm x 4-6 cm, permukaan atas berbulu halus tersebar dan pada bagian pertulangan daunnya berambut panjang, tepi daun beringgit kasat sampai bergigi kecuali pada bagian pangkal. Panjang tangkai daun 2-4.5 cm dan berbulu halus (Siagian & Rahayu 2000). Helaian daun pada keadaan segar tebal, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol sehingga membentuk bangunan menyerupai jala, permukaan atas berbingkul-bingkul, berwarna hijau muda, 3.5 cm permukaan atas dan bawah berambut halus berwarna putih. Helaian daun pada keadaan kering tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat sampai coklat tua, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang daun kurang menonjol pada kedua permukaan terdapat rambut halus berwarna putih (Burkill 1935; Quisumbing 1951; Heyne 1987).
a
b
c
d
Gambar 2 Morfologi torbangun; a. Tangkai, b. Batang, c. Daun, d. Bunga Rangkaian bunga terdiri atas 10-20 bunga yang tersusun rapat dalam suatu gelungan menyerupai bulir, panjang rakis 10-20 cm, berdaging, dan berbulu halus. Daun pelindung bundar telur melebar, panjang 3-4 cm dan ujung meruncing. Daun kelopak berbentuk lonceng, panjang 2-4 mm, berbulu panjang dan berkelenjar, berukuran tidak sama, bergigi 5; gigi atas bundar telur melebar, tumpul; gigi lateral dan bawah meruncing. Daun mahkota biru, melengkung, panjang 8-12 mm, panjang tabung 3-4 mm, menyerupai terompet; labium atas pendek, tegak, berbulu sangat halus; labium bawah panjang dan cekung. Tangkai sari bersatu di bagian bawah membentuk tabung dan mengelilingi putik. Berbiji satu coklat pucat,
6 permukaannya licin, agak bulat, pipih dan berukuran 0.7 x 0.5 mm (Siagian & Rahayu 2000). Morfologi torbangun ditunjukkan pada Gambar 2. Tanaman torbangun dikenal sebagai terna tahunan daerah tropis, dengan batang-batang yang pada kakinya seringkali agak seperti kayu, penyebarannya di jawa dari dataran rendah hingga mencapai 1.100 m di atas permukaan laut, tinggi terna mencapai 30-90 cm, daun tebal berdaging, mudah pecah, bunga lembayung muda sampai putih. Merupakan terna yang ditanam di taman-taman dan juga tumbuh menjadi liar, jarang berbunga, namun mudah sekali dapat dibiakkan dengan stek, cepat berakar di dalam tanah. Daunnya berbentuk jantung, sangat berdaging dan harum baunya (De Padua et al. 1999).
Penyebaran di Indonesia Coleus amboinicus Lour. merupakan nama universal tanaman torbangun. Tanaman ini biasanya diramu menjadi bahan pembuat obat tradisional atau dikonsumsi oleh ibu yang sedang hamil dan menyusui sebagai sayuran yang dimasak maupun lalapan. Tanaman ini dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai nama. Masyarakat di daerah Sumatera, Torbangun dikenal dengan nama Bangun-bangun atau Tarbangun (Damanik et al. 2001; Damanik et al. 2004; Damanik 2009), sedangkan di daerah Jawa atau daerah lainnya, daun Torbangun dikenal dengan nama Ajeran, Acerang, daun Kucing, daun Kambing, dan Majha Nereng (Madura). Masyarakat di daerah sekitar Nusa Tenggara, dikenal dengan nama Iwak dan Kumu Etu (Gembong 2004). Fitokimia Komposisi kandungan kimia secara ilmiah belum banyak diketahui pada tanaman torbangun. Menurut Mardisiswojo & Rajakmangunsudarso (1985) ditemukan bahwa dalam daun torbangun banyak mengandung kalium (6.46% dari berat kering pada K2O) dan minyak atsiri (0.043% pada daun yang segar atau 0.2% pada daun kering). Heyne (1987) dan Wijayakusuma et al. (1998) mendapatkan bahwa dari 120 kg terna segar kira-kira terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung carvacrol, phenol (isopropyl-o-kresol), fenol dan sineol dan atas dasar tersebut menyatakan sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Menurut Vasquez et al. (2000), minyak atsiri dari daun torbangun juga mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing. Selain itu menurut Mardisiswojo & Rajakmangunsudarso (1985) daun dan buahnya mengandung zat lemak dan protein. Daun bangun-bangun mengandung saponin, flavonoida, polifenol dan minyak atsiri (Depkes RI 2000). Fitonutrien Menurut (Mahmud et al. 1990), komposisi zat gizi daun torbangun yang terdaftar dalam Daftar komposisi bahan makanan adalah dalam 100 g daun torbangun mengandung lebih banyak kalsium, besi dan karotin total dibandingkan dengan katuk (Sauropus androgynus). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun torbangun dan katuk tercantum dalam Tabel 1.
7 Tabel 1 Komposisi zat gizi daun torbangun dan katuk Komposisi Zat Gizi per 100 g Daun Torbangun Energi (kal) 27 Protein (g) 1.3 Lemak (g) 0.6 Karbohidrat (g) 4.0 Serat (g) 1.0 Abu (g) 1.6 Kalsium (mg) 279 Fosfor (mg) 40 Besi (mg) 13.6 Karotin Total (mkg) 13288 Vitamin A 0 Vitamin B1 0.16 Vitamin C 5.1 Air 92.5 Berat dapat dimakan (%) 66
Katuk 59 6.4 1.0 9.9 1.5 1.7 233 98 3.5 10020 0 0 164 81 42
Pemanfaatan Daun Torbangun Daun torbangun biasa diolah oleh masyarakat etnis Batak dalam bentuk sayur sop. Sayur sop ini diberikan kepada ibu yang baru melahirkan. Mereka percaya bahwa sayur sop daun torbangun dapat meningkatkan produksi air susu ibu (ASI) (Damanik et al. 2001 dan 2004). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Damanik et al. (2006), pada saat minggu ke-dua (hari ke-14 hingga ke-28 setelah suplementasi sayur sop daun torbangun), wanita yang telah mengkonsumsi daun sop torbangun tetap mengalami peningkatan kuantitas dan kualitas ASI. Daun torbangun mampu meningkatkan kesehatan wanita pasca melahirkan, berperan sebagai uterus cleansing agent, dan dalam bentuk sop, daun torbangun dapat menggantikan energi yang hilang selama proses melahirkan. Damanik (2005) dan Warsiki et al. (2009) menyatakan bahwa dengan mengkonsumsi daun torbangun dapat meningkatkan mineral dalam air susu, seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium serta meningkatkan berat badan bayi. Tanaman tersebut mengandung unsur mineral mikro antara lain Cu dan Zn yang berperan penting dalam penyusunan struktur tubuh dan dalam proses fisiologis ternak, baik untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan kesehatan. Selain itu fungsi daun torbangun yang sudah dilaporkan termasuk sebagai anti-fungal dan/atau anti-bakterial (Khattak et al. 2013; Khattak et al. 2013a), analgesik (Devi et al. 2010; Pramadya et al. 2010), mengurangi kolesterol (Andriani et al. 2012), dan membersihkan daerah rahim (Damanik et al. 2001; Damanik et al. 2004; Damanik 2009). Potensi sebagai laktagogum ditunjukkan oleh daun torbangun yang mengandung saponin, flavonoid, polifenol serta dapat meningkatkan hormon-hormon menyusui, seperti prolaktin dan oksitosin. Ditemukan pula bahwa konsumsi daun torbangun berpengaruh nyata terhadap peningkatan konsentrasi beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam air susu ibu (ASI) (Damanik 2005; Damanik et al. 2006).
8 Manfaat lain dari daun torbangun selain dimasak sebagai sayur juga kadangkadang untuk lalapan. Oleh masyarakat di pulau Jawa, daun dipakai untuk memberi aroma tajam masakan daging kambing. Selain itu menurut Heyne (1987) terna ini bermanfaat sebagai penyembuh luka dengan cara digerus kemudian ditempelkan pada daerah luka atau dibuat jamu penurun panas atau langsung dikunyah untuk obat sariawan. Torbangun digunakan sebagai obat: difteria, sembelit, stomakikum, reumatik, tetanus, trakoma, penawar racun ular, penawar racun serangga, dan penawar racun makanan. Selain itu juga digunakan untuk mengobati penyakit telinga, batuk, kejang perut, demam, dan lain-lain. Sedangkan buah dan bijinya digunakan untuk obat : cacar, anti-emetik, liver, ayan, sipilis (raja singa), radang selaput lendir hidung, batuk rejan, panu, influenza dan lain-lain (PT. Eisai 1995). Daun torbangun mengandung kalium yang dapat membersihkan darah, mencegah infeksi, mengurangi rasa nyeri, menimbulkan rasa tenang, dan dapat menciutkan selaput lendir. Rasa tenang yang dihasilkan oleh daun ini dapat mengurangi stres yang timbul akibat cuaca panas. Cuaca panas dapat menimbulkan stres sehingga menurunkan nafsu makan, sekresi air susu, dan bobot badan (Mepham 1987). Daun torbangun juga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan dan pertumbuhan bayi yang ibunya mengkonsumsi daun torbangun karena daun ini dapat meningkatkan sekresi air susu ibu. Peningkatan volume air susu terjadi karena adanya peningkatan aktivitas sel epitel yang ditandai dengan meningkatnya DNA dan RNA kelenjar mammae (Damanik et al. 2006). Oleh masyarakat di daerah China Peninsula juice daun torbangun diberikan untuk obat batuk anak-anak dengan ditambah gula. Oleh masyarakat di Indo China dipakai sebagai obat asthma dan bronkitis (Burkill 1935; Jain & Lata 1996). Oleh masyarakat di Malaysia daun torbangun juga dimanfaatkan untuk jamu-jamuan yang direbus dan diberikan setelah melahirkan (Burkill 1935). Mengingat kekayaan alam dan ragam budaya/etnik di Indonesia, termasuk kebiasaan etnis batak mengkonsumsi sayur torbangun untuk memperlancar dan meningkatkan produksi ASI, maka kebiasaan tersebut perlu digali dan dikembangkan lebih lanjut untuk diwariskan ke generasi selanjutnya. Dengan demikian turut serta dalam program pemerintah untuk menggali, meneliti, menguji, mengembangkan, memanfaatkan dan melestarikan salah satu kekayaan alam Indonesia. Salah satu program pelestarian kekayaan alam yang perlu dilakukan yaitu dengan melakukan berbagai penelitian ilmiah. Salah satu upaya penelitian ini untuk meningkatkan nilai ekonomi dari tanaman torbangun dan telah dilakukan yaitu dengan peningkatan keragaman varietas. Varietas baru dengan fenotipe baru yang lebih beragam dapat diciptakan melalui teknik pemuliaan konvensional atau dengan induksi mutasi (Marthin 2013). Hasil penelitian Aisyah et al. (2015) menunjukkan bahwa aplikasi beberapa taraf dosis iradiasi sinar gamma pada coleus berpengaruh nyata pada karakter tinggi, jumlah daun, dan jumlah ruas tanaman. Peningkatan taraf dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan cenderung menghambat pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil penelitian, nilai LD50 untuk tanaman torbangun yakni 37.62 Gy. Torbangun yang diradiasi pada taraf dosis 45 Gy memperlihatkan keragaan bentuk daun baru yang berbeda dengan kontrol. Perubahan fisiologi torbangun ini memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk melihat kestabilan mutasi pada generasi berikutnya.
9 Pupuk Organik Pemupukan organik bertujuan untuk memberikan tambahan hara yang tidak tersedia di dalam tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik (Hardjowigeno 2003). Pupuk organik merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisik, kimia, biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Senyawa atau unsur-unsur organik yang merupakan kandungan utama pupuk organik dapat dimanfaatkan oleh tanaman setelah melalui proses dekomposisi di dalam tanah, sehingga cara aplikasi yang efektif pupuk organik adalah dengan memasukkannya ke dalam tanah (Marsono & Sigit 2001). Hanya saja penggunaan pupuk organik memerlukan jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dari suatu pertanaman, bersifat ruah baik dalam pengangkutan dan penggunaannya di lapangan serta kemungkinan akan menimbulkan kekahatan unsur hara apabila bahan organik yang diberikan belum cukup matang (Sutanto 2002). Pupuk organik mampu menggemburkan lapisan permukaan tanah, meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air yang menyebabkan kesuburan tanah meningkat (Yuliarti 2009).
Pupuk Kandang Pupuk kandang adalah sisa proses pencernaan makanan dalam tubuh hewan bersama dengan sampah kandang yang terutama berasal dari sisa ransum yang tidak termakan yang di digunakan kembali, dengan cara dikembalikan ke dalam tanah (Bockman & Kaarstad 1999). Peranan pupuk kandang terhadap tanah adalah: (1). Memperbaiki kemampuan tanah menyimpan air, (2). Mempengaruhi kemantapan agregat tanah, (3) memperbaiki struktur tanah, (4). Mempertinggi nilai tukar kation, (5) menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman, (6) menghasilkan banyak CO2 dan asam-asam organik yang membantu mineralisasi, (7) menaikkan suhu tanah. Pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi atau ayam merupakan pupuk organik yang umum digunakan dan merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya dalam pemupukan organik, tetapi hanya mampu memberikan unsur hara dalam jumlah terbatas (Sutanto 2002). Kandungan unsur hara dari berbagai jenis pupuk kandang dilihat di Tabel 2. Tabel 2 Kandungan unsur hara dari pupuk kandang ayam dan pupuk kandang lain Kandungan hara Jenis hewan N P K Mg -------------------------------(%)------------------------------Sapi 2-8 0.2-1 0.7-3 0.6-1.5 Ayam 5-8 1-2 1-2 0.6-3 Babi 3-5 0.2-1.1 0.5-1.1 0.98 Domba 3-5 0.4-0.8 2-3 0.2 Sumber : Donahue (1961)
10 Penelitian pada kolesom didapatkan bahwa dengan pemberian pupuk kandang ayam sebanyak 7.5-10 ton ha-1 menghasilkan jumlah daun yang tertinggi (Ibeawuchi et al. 2006). Pemberian pupuk kandang ayam sebanyak 15 ton ha-1 memberikan produksi biomassa tertinggi (10.73 g bobot kering daun dan 6.36 g bobot kering umbi per tanaman). Akan tetapi, kandungan senyawa bioaktif daun dan umbi menurun oleh peningkatan dosis pupuk kandang ayam. Oleh karena itu, dosis pupuk kandang ayam yang disarankan adalah 5 ton/ha sebagai pupuk dasar (Susanti et al. 2008). Hal ini juga untuk menghindari terjadinya serangan Pseudomonas sp. yang menyebabkan penyakit layu bakteri pada kolesom akibat kondisi media sekitar perakaran yang lebih lembab (Mualim et al. 2009). Hasil penelitian Ekawati et al. (2013) menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik meningkatkan konsentrasi hara jaringan tanaman torbangun yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk. Pemberian kombinasi pupuk lengkap (12.3 ton ha-1 pupuk kandang sapi + 1.5 ton ha-1 rock phosphate + 5.5 ton ha-1 abu sekam) menghasilkan produksi bobot kering ha-1 (57.33%) sampai dengan umur 5 bulan dan menghasilkan produksi metabolit ha-1 (Total fenolik 12.06%, antosianin 41.73%) yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk. Selanjutnya, Munawaroh (2013) menambahkan bahwa pemupukan organik (12.3 ton ha-1 pupuk kandang sapi + 1.5 ton ha-1 rock phosphate + 5.5 ton ha-1 abu sekam) sampai dengan umur 5 bulan dapat meningkatkan bobot basah pucuk 125.21% dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemupukan. Pupuk Guano Pupuk guano adalah pupuk yang berasal dari kotoran kelelawar dan sudah mengendap lama di dalam gua dan telah bercampur dengan tanah dan bakteri pengurai. Fosfat guano merupakan hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan sekresi kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batu gamping karena pengaruh air hujan dan air tanah. Berdasarkan tempatnya, endapan fosfat guano terdiri dari endapan permukaan dan bawah gua (Yusuf 2010). Guano yang berasal dari kotoran kelelawar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan rasio NPK, yaitu (1) guano dengan kandungan fosfor tinggi (3:13:44:30:4) yang berasal dari frugivorous bat dan (2) guano dengan kandungan nitrogen tinggi (8:4:1-13:3:3) yang berasal dari insectivorous bat (Sridhar et al. 2006). Berdasarkan proses pembentukannya fosfat alam dapat dibagi menjadi tiga jenis (Kasno et al. 2006): (1) Guano, terbentuk dari hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batu gamping akibat pengaruh air hujan dan air tanah; (2) Fosfat primer, terbentuk dari pembekuan magma alkali yang mengandung mineral fosfat apatit, terutama fluor apatite [Ca5(PO4)3F]. Apatit dapat dibedakan atas chlorapatite [3Ca3(PO4)2CaCl2] dan fluor apatite [3Ca3(PO4)2CaF2]; (3) Fosfat sedimenter (marin), merupakan endapan fosfat sedimen yang terendapkan di laut dalam, pada lingkungan alkali dan tenang. Fosfat alam ini terbentuk di laut dalam bentuk kalsium fosfat yang disebut fosforit. Kandungan utama dari guano yakni unsur N dan P, namun ada pula guano yang mengandung unsur K (Yuliarti 2009). Lebih tepatnya guano mengandung unsur N 2.09%, P 10.43%, K 0.07%, Ca 26.72%, Mg 0.98%, dan S 0.02%. Selain
11 mengandung banyak nutrisi, guano juga berperan sebagai sumber dari berbagai bakteri yang berperan sebagai agen hayati untuk menekan terjadinya hama dan penyakit pada tanaman. Pupuk organik guano lama berada dalam tanah, meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan unsur hara bagi tanaman lebih lama daripada pupuk kimia buatan (Endrizal & Bobihoe 2000). Sekitar 1.000 gua di Indonesia diprediksi berpotensi sebagai tempat deposit guano, sehingga guano menjadi salah satu solusi atas masalah kelangkaan pupuk (Kristanto et al. 2009). Penelitian Rahadi (2008) menunjukkan pemberian guano sebanyak 216 kg ha-1 yang dikombinasikan dengan pupuk kandang sapi 1.5 ton ha-1 menghasilkan produksi kedelai tertinggi sebesar 5.90 kg 10-1 m2 (5.90 ton ha-1). Pemberian guano pada tanaman sebagai pupuk organik telah banyak dilakukan. Namun, publikasi yang terkait dengan pengaruh guano dengan pertumbuhan dan produksi tanaman masih jarang ditemukan. Pengaruh guano terhadap kandungan fitokimia dan antioksidan torbangun juga belum banyak diteliti.
Abu Sekam Menurut Harsono (2002) sekam padi adalah bagian terluar dari bulir padi, yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20% dari bobot padi adalah sekam padi dan kurang lebih 15% dari komposisi sekam adalah abu sekam yang selalu dihasilkan setiap kali sekam dibakar. Sutanto (2002) menambahkan bahwa sekam padi secara nyata mempengaruhi sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Abu sekam yang berasal dari sekam padi merupakan bahan berlignoselulosa seperti biomassa lainnya namun mengandung silika yang tinggi. Kandungan kimia sekam padi terdiri atas 50 % selulosa, 25-30 % lignin, dan 15-20 % silika (Bakri 2009). Sekam padi saat ini telah dikembangkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan abu yang dikenal sebagai RHA (rice-hull ash). Abu sekam padi yang dihasilkan dari pembakaran sekam padi pada suhu 400-500 °C akan menjadi silika amorphous dan pada suhu yang lebih besar dari 1000 °C akan menjadi silika kristalin. Penggunaan abu sekam pada lahan pertanian selain sebagai sumber silikat juga merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi pencemaran lingkungan oleh limbah pertanian di sekitar lokasi penggilingan padi dan sekaligus sebagai upaya pengembalian sisa panen ke areal pertanian. Pemberian abu sekam sebagai sumber silikat pada tanah Andisol dan Oxisol dapat melepaskan fosfor terjerap (Ilyas et al. 2000). Penelitian menunjukkan pemberian abu sekam dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman (Priyadharshini & Seran 2009; Sitio et al. 2007), serta menurunkan intensitas serangan hama (Melati et al. 2008). Pemberian 4.5 ton ha-1 abu sekam menghasilkan produksi tertinggi (1.44 ton ha-1) pada tanaman Vigna unguiculata L. (Priyadharshini & Seran 2009). Selanjutnya, abu sekam dengan dosis 1-3 ton ha-1 dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi dan memberikan pengaruh nyata terhadap peubah jumlah anakan maksimum dan luas daun (Sitio et al. 2007). Melati et al. (2008) menambahkan bahwa sebaiknya abu sekam tidak diberikan secara tunggal melainkan dikombinasikan dengan pupuk organik lain.
12 KORELASI KONSENTRASI N, P, K, Ca DAN Fe DAUN DENGAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI METABOLIT TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour.) ABSTRAK Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis termasuk ke dalam famili Lamiaceae yang daunnya memiliki aroma yang khas dan sebagai pangan fungsional dari sayuran yang mempunyai khasiat obat. Saat ini belum banyak informasi mengenai studi ekologi dan terbatasnya bukti ilmiah pada uji korelasi konsentrasi hara daun dengan pertumbuhan dan produksi metabolit tanaman torbangun. Penelitian ini dilakukan untuk: (1) menentukan hara N, P, K, Ca dan Fe daun pada bagian jaringan daun dan umur daun yang tepat sebagai alat diagnosa kandungan metabolit sekunder torbangun, dan (2) menentukan hubungan konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun dengan produksi metabolit sekunder torbangun. Penelitian di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan, Desa Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat dengan pemberian paranet intensitas naungan 55%. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Maret 2014. Penelitian ini menggunakan tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t-student dan uji korelasi linier sederhana. Hasil penelitian menunjukkan (1) Jaringan tanaman yang terbaik untuk dijadikan sampel penetapan kebutuhan hara N, P, K, Ca dan Fe adalah daun posisi ke-3 umur 5 bulan, (2) Terdapat korelasi positif antara konsentrasi hara K dengan bobot kering pucuk, Ca dengan aktivitas PAL, dan Fe dengan total saponin pada daun posisi ke-3 umur 5 bulan. Kata kunci: Coleus amboinicus Lour., torbangun, hara, uji korelasi, metabolit sekunder
CORRELATION OF LEAF N, P, K, Ca AND Fe LEAF WITH THE GROWTH AND METABOLITE PRODUCTION OF TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour.) ABSTRACT Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) is a tropical plant from the Lamiaceae family, with leaves that have a distinctive aroma and as a functional food from vegetable are used more as a medicinal plant. However, the ecological study of torbangun is not well documented and its scientific evidence is limited. This research was conducted to: (1) determine the leaf N, P, K, Ca and Fe in different positions and leaf ages as a means to diagnose the secondary metabolites of torbangun, and (2) determine the relationship between N, P, K, Ca and Fe leaf concentrations with metabolite production of torbangun. The trials were conducted at the experimental field, in Mulyaharja Village, South Bogor District, Bogor, West Java by using paranet with shade intensity of 55%. First trial were conducted from January to March 2014. It had three replication. The data were analyzed using t-test and simple linear correlation test. The results collected from the study show that:
13 (1) the best leaf position and leaf ages to determine of the need of N, P, K, Ca and Fe nutrients are on the 3rd leaf positions of 5 months-old plant (2) There is positive correlation between nutrient concentrations of K with shoot dry weight, Ca with PAL activity, and Fe with total saponins on the 3rd leaf positions of 5 months-old plant. Keywords: Coleus amboinicus Lour., torbangun, nutrient, correlation test, secondary metabolites.
PENDAHULUAN Status hara dalam tanaman merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor yang terjadi selama pertumbuhan tanaman dengan tingkat kesuburan tanah dan lingkungan tumbuh, hal ini menyangkut efisiensi serapan dan translokasi. Oleh karena itu, beberapa hal perlu diperhatikan dalam pemupukan tanaman torbangun seperti pemilihan jenis pupuk, dosis, cara dan waktu aplikasi. Kondisi hara yang diperlukan oleh tanah juga perlu diketahui. Dosis pemupukan dapat diketahui dengan berbagai cara antara lain menganalisis tanah, memperhatikan tanda-tanda yang diperlihatkan oleh tanaman, analisis tanaman dan melakukan percobaan pemupukan (Hermanto 2012). Metabolit sekunder merupakan proses sintesis yang menghasilkan senyawa yang digolongkan menjadi lima kelompok yaitu glikosida, terpenoid, fenol, flavonoid dan alkaloid. Kandungan metabolit torbangun terbagi menjadi beberapa golongan yakni flavonoid, terpenoid khususnya saponin, polifenol dan minyak atsiri (Depkes RI 2000). Flavonoid merupakan salah satu kelompok dari kelompok senyawa fenolik (Mualim 2012). Saponin merupakan salah satu kelompok dari kelompok senyawa terpene dengan lemak disintesis dari metabolit primer Acetyl CoA melalui jalur lintasan Asam Mevalonat (MAP) atau intermediet dasar glikolisis melalui lintasan Methylerythritol Phosphate (MEP). Tiga molekul Acetyl CoA digabung untuk membentuk asam mevalonat. Senyawa intermediet 6 karbon ini kemudian mengalami pyrophosphorilasi, karboxylasi dan dehidrasi membentuk Isopentenyl pyrophosphate (IPP). IPP adalah senyawa pembentuk (prekusor) blok 5 C terpene. IPP juga dapat dibentuk dari intermediet glikolisis atau siklus reduksi karbon pada proses fotosintesis (Taiz & Zeiger 2002). Saponin ialah senyawa glikosida yang berfungsi sebagai detergen alami. Secara kimia, saponin merupakan steroid (C-27) atau triterpena glikosida (C-30). Biasanya saponin memiliki satu atau lebih monosakarida dan banyak terdistribusi dalam tanaman dan hewan laut (Rao 1996). Jaringan tanaman yang digunakan untuk analisis hara adalah daun. Optimasi uji korelasi konsentrasi hara pada daun dengan produksi bertujuan untuk mendapatkan hubungan yang paling baik dari konsentrasi suatu unsur hara dalam daun sampel pada umur tertentu. Tujuan penelitian adalah untuk: (1) menentukan hara N, P, K, Ca dan Fe daun pada bagian jaringan daun dan umur daun yang tepat sebagai alat diagnosa kandungan metabolit sekunder torbangun, dan (2) menentukan hubungan konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun dengan produksi metabolit sekunder torbangun.
14
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Januari hingga Maret 2014 bertempat di kebun percobaan, Desa Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat dengan pemberian paranet intensitas naungan 55%. Analisis konsentrasi metabolit dan hara daun dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography, Spectrophotometry, Post-Harvest, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Analisis kimia tanah dan analisis pupuk dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan Fakultas Pertanian IPB. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain adalah tanaman torbangun aksesi RD berumur 2 bulan, pupuk kandang ayam 15 ton ha-1, dan bahan untuk analisis kimia yang digunakan adalah metanol, pereaksi folin-ciocalteu, kalium asetat, asam asetat, asam sulfat, buffer protein, aquades dan saponin produksi Merck Co. (Jerman). Semua bahan kimia yang digunakan dalam analisis kimia memiliki kualitas pro analysis (analytical grade). Alat Peralatan yang digunakan antara lain adalah timbangan, oven, sprayer, kamera, alat-alat laboratorium untuk analisis kimia meliputi Shimadzu UV-1800 Spectrophotometer (Japan) yang dihubungkan dengan UV probe 2.34 untuk analisis spektofotometer, Centrifuge heraeus labofuge-400R, Eyela waterbath SB-24 untuk inkubasi larutan campuran ekstrak, dan alat penunjang lainnya.
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan tiga ulangan. Banyaknya tanaman yang digunakan 78 tanaman yang seragam. Data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan uji t-student. Analisis statistik yang diperoleh menggunakan perangkat lunak SAS Windows 9.1 System. Pengamatan meliputi komponen pertumbuhan, biomassa, dan konsentrasi metabolit tanaman. Pengamatan komponen pertumbuhan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh tanpa panen dalam setiap ulangan dan dilakukan dua minggu sekali. Pengamatan komponen biomassa dilakukan terhadap 1 tanaman destruktif (dipilih dari tanaman pinggir) dalam setiap ulangan dan dilakukan dua minggu sekali. Pengamatan komponen konsentrasi metabolit dan hara daun dilakukan terhadap 10 tanaman contoh (dipilih secara berselang dari tanaman pinggir) yang dipanen 5 buku daun yang membuka sempurna pada posisi daun ke-1, ke-3, dan ke-5 dalam setiap ulangan dan dilakukan 4 minggu sekali (Gambar 3). Sebagai data penunjang dilakukan analisis tanah dan
15 pupuk dilakukan pada saat sebelum perlakuan. Sampel tanah yang digunakan adalah komposit dari tiga ulangan. Perhitungan produksi metabolit sekunder dilakukan dengan cara sebagai berikut: Produksi metabolit = bobot kering daun (g tan-1) x konsentrasi metabolit (%) Uji korelasi sederhana dilakukan masing-masing antar peubah pengamatan pada (a) konsentrasi hara (N, P, K, Ca dan Fe) di daun pada umur tanaman 3, 4, dan 5 bulan dengan produksi metabolit sekunder; (b) konsentrasi hara (N, P, K, Ca dan Fe) pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 dengan produksi metabolit sekunder. Model korelasi linear sederhana yang digunakan adalah: Y = a + bX Sebagai contoh penerapan uji korelasi antara konsentrasi hara K posisi daun ke-3 dengan produksi metabolit sekunder, sebagai berikut : Y = Produksi metabolit sekunder yang dihasilkan dari torbangun (produksi) pada konsentrasi hara K posisi daun ke-3. a = harga Y ketika harga X = 0 (intercept). b = angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen (Y) yang didasarkan pada perubahan variabel independen (X). Jika positip (+) arah garis naik, dan bila negatip (-) maka arah garis turun. X = konsentrasi hara K posisi daun ke-3.
Gambar 3 Posisi daun ke-1, ke-3, dan ke-5 Korelasi konsentrasi hara (N, P, K, Ca dan Fe) daun dengan bobot kering daun dan produksi metabolit sekunder (aktivitas PAL, antosianin, total flavonoid dan total saponin), bertujuan untuk mendapatkan hubungan yang paling baik dari konsentrasi suatu unsur hara dalam daun pada umur tertentu dengan hasil yang dapat dijual. Korelasi konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun yang terekstrak
16 dengan produksi metabolit torbangun dilakukan dengan analisis korelasi linier sederhana. Berdasarkan uji korelasi, maka konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun yang mempunyai nilai korelasi positif tinggi dan paling konsisten diposisi daun pada umur yang sama akan ditetapkan sebagai daun sampel untuk tanaman torbangun. Analisis korelasi linier sederhana adalah sebagai berikut:
rxy =
n∑Xi Yi – (∑Xi)( ∑Y)i -------------------------------------------√[n∑ Xi2- (∑2][ n∑Y] i2- ( Yi)2
Nilai korelasi (r) menunjukkan kekuatan hubungan linear yang berada pada interval -1≤ r ≤ 1. Tanda – dan + menunjukkan tanda arah hubungan positif dan negatif.
Pengamatan Komponen Pertumbuhan Tinggi tanaman (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal sampai titik tumbuh yang terletak di ujung batang utama. Jumlah cabang. Perhitungan jumlah cabang dilakukan dengan cara menghitung jumlah cabang yang keluar dari batang. Lebar tajuk (cm). Pengukuran lebar tajuk dilakukan dengan cara mengukur lebar tajuk tanaman yang terlebar. Komponen Biomassa Luas daun. Pengamatan menentukan luas daun menggunakan metode gravimetri, yaitu menggambar daun di kertas kemudian dihitung dengan rumus Luas daun = bobot replika kertas (g) x luas kertas total (cm2) bobot kertas total (g) Bobot basah tanaman (g). Pengukuran bobot basah tanaman dilakukan dengan cara menimbang hasil pangkasan yang dipanen berupa akar, batang, dan daun dengan menggunakan timbangan. Bobot kering tanaman (g). Pengukuran bobot kering tanaman dilakukan dengan cara menimbang bobot kering hasil pangkasan yang dipanen berupa akar, batang, dan daun yang telah dioven pada suhu 105oC selama 2 hari. Rata-rata laju tumbuh relatif (LTR), menunjukkan peningkatan bobot kering dalam suatu interval waktu, dalam hubungannya dengan bobot asal. Perhitungan rata-rata laju tumbuh relatif dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
LTR =
ln W2 – ln W1 t2 - t1 (g hari-1)
W1 dan W2 = masing-masing bobot kering tanaman pada waktu t1 dan t2 yang diamati secara periodik (Sitompul & Guritno 1995).
17
Rata-rata laju asimilasi bersih (LAB), menunjukkan hasil bersih dari hasil asimilasi per satuan luas daun dan waktu. Perhitungan Rata-rata laju asimilasi bersih dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
LAB
=
W2 – W1 A2 – A1
X
ln A2 - ln A1 t2 – t1 (g cm-2 hari-1)
W1 dan W2 = masing-masing bobot kering tanaman pada waktu t1 dan t2 , dan A1 dan A2 = masing-masing luas daun total pada waktu t1 dan t2 yang diamati secara periodik (Sitompul & Guritno 1995). Komponen Konsentrasi Metabolit dan Hara Daun ke-1, ke-3, dan ke-5 Jumlah daun. Penghitungan jumlah daun dilakukan dengan cara menghitung masing-masing banyaknya daun yang dipanen pada daun ke-1, ke-3, dan ke-5 per pucuk tanaman yang dihasilkan. Bobot basah daun (g). Pengukuran bobot basah daun dilakukan dengan cara menimbang masing-masing bobot basah daun yang dipanen pada daun ke-1, ke-3, dan ke-5 per pucuk tanaman yang di hasilkan. Bobot kering daun (g). Pengukuran bobot kering daun dilakukan dengan cara menimbang masing-masing bobot kering daun yang dipanen pada daun ke-1, ke-3, dan ke-5 per pucuk tanaman yang di hasilkan yang telah dioven pada suhu 60oC selama 3 hari. Analisis konsentrasi metabolit yang dilakukan merupakan analisis kuantitatif. Analisis konsentrasi metabolit seperti aktivitas phenylalanine ammonia lyase (PAL) menurut metode Dangcham et al. (2008) (Lampiran 1, 2, dan 3), antosianin (Sims & Gamon 2002) (Lampiran 4), total flavonoid menurut metode Chang et al. (2002) (Lampiran 5 dan 6), dan total saponin menurut metode Fathonah & Sugiyarto (2009) yang telah dimodifikasi (Lampiran 7). Analisis hara daun yang dilakukan meliputi konsentrasi N menurut metode Kjeldahl (Lampiran 8), P menurut metode spektrofotometer (Lampiran 9), dan K (Lampiran 9), Ca dan Fe menurut metode Atomic Absorbtion Spectrophotometry (AAS) (Apriyantono et al. 1989) (Lampiran 10 dan 11). Bahan untuk analisis aktivitas PAL dan antosianin menggunakan daun torbangun segar sesuai dengan metode diatas, total flavonoid menggunakan daun torbangun kering hasil oven pada suhu 60oC yang diekstrak menggunakan methanol sedangkan total saponin diekstrak menggunakan larutan etanol 70%, analisis N, P, K, Ca dan Fe menggunakan daun torbangun kering hasil oven pada suhu 60oC. Analisis konsentrasi metabolit dan hara daun yang dianalisis adalah daun torbangun posisi daun ke-1, ke-3, dan ke-5 pada setiap tanaman yang sudah dipanen. Semua peubah diamati dan dianalisis pada umur 3, 4, dan 5 bulan.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi umum Curah hujan Data curah hujan selama percobaan pertama berlangsung (bulan Januari hingga Maret 2014) menunjukkan bahwa percobaan pertama berada pada kondisi musim hujan (Tabel 3). Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari yang menyebabkan kelembaban meningkat. Kondisi curah hujan pada bulan Februari dan Maret juga masih tergolong tinggi dan kondisi langit yang mendung sehingga penyinaran berlangsung sangat singkat. Tabel 3 Curah hujan bulanan (mm) Bulan Satuan curah hujan (mm) Januari 843 Februari 527 Maret 419 Data diambil dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor khusus untuk wilayah Empang, Bogor (2014). Pertumbuhan dan biomassa tanaman Rata-rata laju tumbuh relatif (LTR) dan laju asimilasi bersih (LAB) Rata-rata laju tumbuh relatif tanaman torbangun mengalami fluktuasi dari interval umur ke- 2.5-3 hingga 4.5-5 bulan. Laju tumbuh relatif memiliki nilai tertinggi pada periode umur 2.5-3 bulan (50.5 g hari-1) kemudian menurun pada periode umur 3-3.5 bulan (-12.6 g hari-1) (Tabel 4). Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh adanya serangan hama dengan banyaknya daun yang rusak akibat hama ulat dan belalang sehingga mengakibatkan pertumbuhan menjadi terhambat. Rata-rata laju asimilasi bersih tanaman torbangun mengalami fluktuasi dari interval umur ke- 2.5-3 hingga 4.5-5 bulan. Laju asimilasi bersih memiliki nilai tertinggi pada periode umur 4-4.5 bulan (0.38 g cm-2 hari-1) kemudian sebelumnya menurun pada periode 3-3.5 bulan (-0.08 g cm-2 hari-1) (Tabel 4). Penurunan ini kemungkinan juga disebabkan oleh adanya serangan hama dengan banyaknya daun yang rusak akibat hama ulat dan belalang sehingga mengurangi jumlah daun dan mengakibatkan fotosintesis tanaman menjadi terhambat.
19 Tabel 4 Rata-rata laju tumbuh relatif dan laju asimilasi bersih tanaman torbangun pada umur 2.5-5 bulan Interval umur keLaju tumbuh relatif Laju asimilasi bersih (bulan) (g hari-1) (g cm-2 hari-1) 2.5-3 50.51 0.29 3-3.5 -12.59 -0.08 3.5-4 31.57 0.22 4-4.5 47.13 0.38 4.5-5 6.06 0.04 Pertumbuhan vegetatif Rata-rata pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah cabang dan lebar tajuk) semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur tanaman hingga umur 5 bulan (Tabel 5). Kondisi ini sejalan dengan pola pertumbuhan vegetatif tanaman torbangun yang membentuk cabang dalam jumlah yang banyak. Pada setiap cabang dapat membentuk tumbuhan baru hingga sangat rimbun sehingga seperti tanaman perdu. Tabel 5 Rata-rata umur tanaman terhadap pertumbuhan tanaman torbangun pada umur 2.5-5 bulan Pertumbuhan tanaman Umur tanaman Tinggi tanaman Jumlah cabang Lebar tajuk (bulan) (cm) (cm) 2.5 32.9 4 33.7 3 45.0 8 47.2 3.5 53.2 10 53.6 4 61.6 19 55.9 4.5 64.6 23 57.2 5 70.3 32 61.0 Luas daun dan biomassa tanaman Rata-rata luas daun dan biomassa tanaman (bobot basah dan bobot kering) semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman hingga 5 bulan. Luas daun dan biomassa tanaman yakni bobot basah dan bobot kering tertinggi terjadi pada umur 5 bulan. Namun sebelumnya terjadi penurunan hasil luas daun pada umur 3.5 dan 4 bulan dan penurunan hasil pada biomassa tanaman yakni bobot basah dan bobot kering pada umur 3.5 bulan (Tabel 6). Penurunan ini kemungkinan disebabkan adanya serangan hama ulat dan belalang yang memakan bagian daun sehingga mengurangi penghitungan luas daun dan bobot biomassa tanaman.
20 Tabel 6 Rata-rata umur tanaman terhadap biomassa tanaman torbangun pada umur 2.5-5 bulan Biomassa tanaman Umur tanaman Luas daun Bobot basah Bobot kering (bulan) (cm2) -1 (g tanaman ) (g tanaman-1) 2.5 1368.2 84.9 8.5 3 2995.4 187.7 16.5 3.5 2336.4 165.9 13.9 4 2751.5 204.4 21.6 4.5 5660.6 391.4 43.8 5 4850.0 392.0 46.2 Produksi daun torbangun pada posisi daun ke-1, ke-3 atau ke-5 setiap umur tanaman Jumlah daun Jumlah daun mempengaruhi posisi daun pada umur 3 hingga 5 bulan. Pada umur 3 hingga 5 bulan, jumlah daun per pucuk tanaman menunjukkan posisi daun ke-1 memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi daun ke-3 dan ke-5. Jumlah daun tertinggi pada posisi daun ke-1 terdapat pada umur 5 bulan yakni 14 dan nyata lebih tinggi dengan daun ke-3 dan ke-5 yakni secara berurutan 8 dan 4. Jumlah daun posisi daun ke-1 nyata lebih tinggi dengan daun ke-3 dan ke-5 pada umur 3 dan 4 bulan (Tabel 7). Tabel 7 Pengaruh jumlah daun pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Jumlah daun per pucuk tanaman Umur tanaman (bulan) Daun ke-1 Daun ke-3 Daun ke-5 Pr > |t| 3 5 3 ** 5 2 ** 3 2 tn 4 12 8 * 12 4 * 8 4 ** 5 14 8 * 14 4 * 8 4 ** Keterangan: *,**=terdapat hubungan yang nyata, tn=terdapat hubungan yang tidak nyata menurut uji t-student pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05). Bobot basah daun Bobot basah daun mempengaruhi posisi daun pada umur 3 bulan. Pada umur 3 bulan, bobot basah daun menunjukkan posisi daun ke-3 memiliki jumlah yang nyata lebih tinggi dengan posisi daun ke-1 dan ke-5. Bobot basah daun tertinggi pada posisi daun ke-1 terdapat pada umur 4 bulan yakni 15.43 g tanaman-1,
21 meskipun tidak berbeda nyata dengan daun ke-3 dan ke-5 yakni secara berurutan 14.25 dan 10.86 g tanaman-1 (Tabel 8). Tabel 8 Pengaruh bobot basah daun pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 35 bulan tanaman torbangun Bobot basah daun (g tanaman-1) Umur tanaman (bulan) Daun ke-1 Daun ke-3 Daun ke-5 Pr > |t| 3 5.49 8.04 ** 5.49 5.97 tn 8.04 5.97 ** 4 15.43 14.25 tn 15.43 10.86 tn 14.25 10.86 tn 5 12.62 13.05 tn 12.62 9.21 tn 13.05 9.21 tn Keterangan: *,**=terdapat hubungan yang nyata, tn=terdapat hubungan yang tidak nyata menurut uji t-student pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05). Bobot kering daun Bobot kering daun mempengaruhi posisi daun pada umur 3 dan 5 bulan. Pada umur 3 bulan, bobot kering daun menunjukkan posisi daun ke-3 memiliki jumlah yang nyata lebih tinggi dengan posisi daun ke-1 dan ke-5. Bobot kering daun tertinggi pada posisi daun ke-1 terdapat pada umur 4 bulan yakni 1.13 g tanaman-1, meskipun tidak berbeda nyata dengan daun ke-3 dan ke-5 yakni secara berurutan 1.03 dan 0.85 g tanaman-1 (Tabel 9). Tabel 9 Pengaruh bobot kering daun pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 35 bulan tanaman torbangun Bobot kering daun (g tanaman-1) Umur tanaman (bulan) Daun ke-1 Daun ke-3 Daun ke-5 Pr > |t| 3 0.33 0.48 ** 0.33 0.36 tn 0.48 0.36 ** 4 1.13 1.03 tn 1.13 0.85 tn 1.03 0.85 tn 5 1.00 1.00 tn 1.00 0.80 tn 1.00 0.80 * Keterangan: *,**=terdapat hubungan yang nyata, tn=terdapat hubungan yang tidak nyata menurut uji t-student pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05).
22 Konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe pada posisi daun ke-1, ke-3 atau ke-5 setiap umur tanaman Posisi daun dan umur tanaman merupakan dua komponen utama dalam menentukan status hara tanaman pada daun. Secara berurutan daun pada posisi ke5 lebih tua umurnya dari daun pada posisi ke-3 dan ke-1. Pada tanaman torbangun konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe menunjukkan perbedaan posisi daun ke-1, ke3 dan ke-5 yang nyata seperti terlihat pada (Gambar 4, 5, 6, 7 dan 8). Umur daun perlu diperhatikan untuk daun sampel, karena hal ini terkait dengan perubahan fungsi daun sebagai sink atau source. Daun-daun muda berfungsi sebagai sink, sehingga harus mengimpor hara-hara mineral dan fotosintat dari organ lain yang berfungsi sebagai source untuk pertumbuhan dan perkembangan dalam jumlah yang banyak. Daun dewasa berfungsi sebagai source sehingga dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan mengekspor hara-hara mineral dan fotosintat ke organ-organ lain yang membutuhkan sink (Marschner 1995). Nitrogen (N) Konsentrasi kandungan N daun mempengaruhi posisi daun pada umur 3 hingga 5 bulan (Gambar 4). Pada umur 3 hingga 5 bulan, nilai kandungan N daun menunjukkan posisi daun ke-1 memiliki konsentrasi N yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi daun ke-3 dan ke-5. Konsentrasi N tertinggi pada posisi daun ke-1 terdapat pada umur 3-5 bulan dan nyata lebih tinggi dengan konsentrasi N daun ke-5 yakni 0.50, 0.79, dan 1.04% N. Konsentrasi N daun ke-1 nyata lebih tinggi dengan daun ke-3 yakni 0.54% pada umur 4 bulan. Konsentrasi N daun ke-3 nyata lebih tinggi dengan daun ke-5 yakni 0.50 dan 0.78% pada umur 3 dan 5 bulan.
Gambar 4 Pengaruh konsentrasi N pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Fosfor (P) Konsentrasi kandungan P daun mempengaruhi posisi daun pada umur 3 hingga 5 bulan (Gambar 5). Pada umur 3 hingga 5 bulan, nilai kandungan P daun menunjukkan posisi daun ke-1 memiliki konsentrasi P yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi daun ke-3 dan ke-5. Konsentrasi P tertinggi pada posisi daun ke-1 terdapat pada umur 3-5 bulan dan nyata lebih tinggi dengan konsentrasi
23 P daun ke-5 yakni 0.10, 0.15, dan 0.18% P. Konsentrasi P daun ke-1 nyata lebih tinggi dengan daun ke-3 yakni 0.15 dan 0.08% pada umur 4 dan 5 bulan. Konsentrasi P daun ke-3 nyata lebih tinggi dengan daun ke-5 yakni 0.10% pada umur 5 bulan.
Gambar 5 Pengaruh konsentrasi P pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Kalium (K) Konsentrasi kandungan K daun mempengaruhi posisi daun pada umur 3 bulan (Gambar 6). Pada umur 3 bulan, konsentrasi K daun menunjukkan posisi daun ke-1 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan posisi daun ke-5 yakni 0.97% K.
Gambar 6 Pengaruh konsentrasi K pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Kalsium (Ca) Konsentrasi kandungan Ca daun mempengaruhi posisi daun pada umur 3 dan 5 bulan (Gambar 7). Pada umur 3 dan 5 bulan, nilai kandungan Ca daun menunjukkan posisi daun ke-5 memiliki konsentrasi Ca yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi daun ke-1 dan ke-3. Konsentrasi Ca daun ke-5 nyata
24 lebih tinggi dengan daun ke-1 yakni 22.66 dan 47.57 ppm pada umur 3 dan 5 bulan. Konsentrasi Ca daun ke-3 nyata lebih tinggi dengan daun ke-1 yakni 11.8 dan 40.31 ppm pada umur 3 dan 5 bulan. Konsentrasi Ca daun ke-5 nyata lebih tinggi dengan daun ke-3 yakni 10.86 ppm pada umur 3 bulan.
Gambar 7 Pengaruh konsentrasi Ca pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 35 bulan tanaman torbangun Besi (Fe) Konsentrasi kandungan Fe daun tidak mempengaruhi posisi daun pada umur 3 hingga 5 bulan (Gambar 8). Pada umur 3-5 bulan, konsentrasi Fe tertinggi pada posisi daun ke-5 dibandingkan dengan posisi daun ke-1 dan ke-3.
Gambar 8 Pengaruh konsentrasi Fe pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 35 bulan tanaman torbangun
25 Konsentrasi metabolit sekunder pada posisi daun ke-1, ke-3 atau ke-5 setiap umur tanaman Aktivitas PAL Aktivitas PAL mempengaruhi posisi daun pada umur 5 bulan (Gambar 9). Pada umur 5 bulan, nilai aktivitas PAL menunjukkan posisi daun ke-5 lebih tinggi dibandingkan dengan posisi daun ke-3 yakni 0.45 mg SAS g-1 protein.
Gambar 9 Pengaruh aktivitas PAL pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Antosianin Antosianin tidak mempengaruhi posisi daun pada umur 3 hingga 5 bulan (Gambar 10). Konsentrasi antosianin pada umur 3-5 bulan meningkatkan posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5. Konsentrasi antosianin tertinggi pada posisi daun ke-3 terdapat pada umur 5 bulan yakni 0.49 μmol 100 g-1 BB, meskipun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi antosianin daun ke-1 dan ke-5 yakni secara berurutan 0.02 dan 0.09 μmol 100 g-1 BB.
Gambar 10 Pengaruh antosianin pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun
26 Flavonoid Flavonoid tidak mempengaruhi posisi daun pada umur 3 hingga 5 bulan (Gambar 11). Konsentrasi total flavonoid pada umur 3-5 bulan meningkatkan posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5. Konsentrasi total flavonoid tertinggi pada posisi daun ke3 terdapat pada umur 5 bulan, meskipun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi total flavonoid daun ke-1 dan ke-5 yakni secara berurutan 0.57 dan 4.94 mg SK g-1 BK.
Gambar 11 Pengaruh flavonoid pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun Saponin Saponin tidak mempengaruhi posisi daun pada umur 3 hingga 5 bulan (Gambar 12). Konsentrasi total saponin pada umur 3-5 bulan meningkatkan posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5. Konsentrasi total saponin tertinggi pada posisi daun ke-1 terdapat pada umur 4 bulan, meskipun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi total saponin daun ke-3 dan ke-5 yakni secara berurutan 14.23 dan 12.52 mg saponin g1 BK.
Gambar 12 Pengaruh saponin pada posisi daun ke-1, ke-3, atau ke-5 umur 3-5 bulan tanaman torbangun
27 Korelasi konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun dengan bobot kering daun dan produksi metabolit sekunder umur 3-5 bulan Dalam penentuan sampel daun dengan posisi yang tepat untuk analisis tanaman perlu memperhatikan nilai koefisien korelasi (r) antar konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun dengan bobot kering daun dan produksi metabolit sekunder. Saat tanaman berumur 4 bulan terdapat hubungan r yang nyata dan negatif antara konsentrasi P dan K dengan aktivitas PAL, konsentrasi Ca dengan bobot kering daun. Saat tanaman berumur 5 bulan terdapat hubungan r yang nyata dan positif antara konsentrasi K dan bobot kering daun (Tabel 10). Posisi daun yang memberikan nilai korelasi positif secara konsisten antara konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun terhadap bobot kering daun dan produksi metabolit sekunder terdapat pada umur 5 bulan. Tabel 10 Korelasi (r) antar konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun dengan bobot kering daun, dan produksi metabolit pada umur 3-5 bulan Umur tanaman (Bulan)
Konsentrasi hara
Bobot kering daun
Aktivitas Antosianin PAL
Total flavonoid
Total saponin
N 0.33 0.10 0.03 0.03 -0.38 P -0.29 0.43 0.26 -0.31 -0.21 3 K 0.04 0.20 0.56 -0.36 -0.09 Ca 0.18 -0.65 -0.44 0.44 0.41 Fe -0.32 -0.27 -0.20 0.09 0.49 N 0.51 -0.53 0.08 -0.26 0.09 P 0.28 -0.72* -0.07 -0.34 0.40 4 K 0.27 -0.76* 0.36 -0.62 0.63 Ca -0.92* 0.37 -0.30 0.35 -0.09 Fe -0.26 -0.15 0.34 -0.31 0.36 N 0.47 -0.61 0.06 0.64 -0.32 P 0.48 -0.45 0.21 0.53 -0.42 5 K 0.80* -0.30 0.01 0.55 -0.04 Ca -0.34 0.15 -0.25 -0.29 0.46 Fe -0.36 0.55 -0.30 -0.39 0.28 Keterangan: * = terdapat hubungan yang nyata, +/- = tanda arah hubungan positif dan negatif. Posisi daun ke-1 terdapat hubungan r yang nyata dan positif antara konsentrasi P dengan antosianin, posisi daun ke-3 terdapat hubungan r yang nyata dan positif antara konsentrasi K dengan bobot kering daun, Ca dengan aktivitas PAL, dan Fe dengan total saponin, sedangkan untuk posisi daun ke-5 terdapat hubungan yang nyata dan positif antara konsentrasi N dengan antosianin (Tabel 11).
28 Tabel 11 Korelasi (r) antar konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun posisi ke -1, 3, 5 dengan bobot kering daun, dan produksi metabolit tanaman torbangun umur 5 bulan Posisi daun
Konsentrasi hara
Bobot kering daun
Aktivitas Antosianin PAL
Total flavonoid
Total saponin
N -0.81 -0.81 0.42 0.46 -0.68 P -0.85 0.22 0.99* -0.64 0.41 1 K 0.97 0.55 -0.71 -0.11 0.38 Ca -0.41 -0.17 -0.09 0.84 -0.95 Fe -0.99 -0.17 0.93 -0.30 0.02 N 0.34 0.69 -0.98 0.09 0.94 P -0.85 -0.57 -0.36 -0.96 -0.14 3 K 0.99* 0.91 -0.16 0.97 0.62 Ca 0.91 0.99* -0.58 0.77 0.90 Fe 0.63 0.89 -0.88 0.41 0.99* N -0.67 -0.41 0.99* 0.91 -0.68 P -0.39 -0.09 0.94 0.72 -0.88 5 K -0.04 0.26 0.76 0.44 -0.99 Ca 0.14 -0.16 -0.82 -0.52 0.97 Fe 0.45 0.70 0.35 -0.05 -0.93 Keterangan: * = terdapat hubungan yang nyata, +/- = tanda arah hubungan positif dan negatif Secara umum melihat konsistensi dan keeratan korelasi antar status hara N, P, K, Ca dan Fe daun dengan bobot kering pucuk dan produksi metabolit sekunder serta pertimbangan efisiensi aplikasinya, maka jaringan tanaman yang terbaik untuk dijadikan bahan diagnostik penetapan sampel adalah pada posisi daun ke-3 umur 5 bulan. Kaitan pertambahan umur tanaman dengan aktivitas PAL, antosianin, flavonoid dan saponin Data curah hujan menunjukkan bahwa selama percobaan berada pada kondisi musim hujan (Gambar 13, 14, 15 dan 16). Curah hujan tertinggi terjadi pada saat panen pertama umur 3 bulan yakni 843 mm bulan-1 yang menyebabkan kelembaban meningkat. Kondisi langit yang sering mendung menyebabkan penyinaran berlangsung singkat. Curah hujan menurun pada saat panen ke-dua dan ke-tiga umur 4 dan 5 bulan dengan curah hujan secara berurutan 527 dan 419 bulan1 . Pada saat panen ke-dua dan ke-tiga beberapa kali turun hujan cukup deras. Pertambahan umur tanaman berhubungan dengan konsentrasi metabolit sekunder seperti aktivitas PAL, antosianin, flavonoid dan saponin.
29 Aktivitas PAL Aktivitas PAL meningkat pada pemanenan umur 4 dan 5 bulan (Gambar 13). Bertambahnya umur tanaman mengakibatkan peningkatan aktivitas PAL pada daun ke-3 yakni 1.51 mg SAS g-1 protein umur 4 bulan dan daun ke-5 yakni 1.81 mg SAS g-1 protein umur 5 bulan.
Gambar 13 Kaitan aktivitas PAL pada pemanenan umur 3-5 bulan tanaman torbangun. Antosianin Antosianin meningkat pada pemanenan umur 4 dan 5 bulan (Gambar 14). Bertambahnya umur tanaman mengakibatkan peningkatan antosianin pada daun ke5 yakni 0.12 µmol 100 g-1 BB umur 4 bulan dan daun ke-3 0.49 µmol 100 g-1 BB umur 5 bulan.
Gambar 14 Kaitan antosianin pada pemanenan umur 3-5 bulan tanaman torbangun.
30 Flavonoid Flavonoid meningkat pada pemanenan umur 4 dan 5 bulan (Gambar 15). Bertambahnya umur tanaman mengakibatkan peningkatan flavonoid pada daun ke5 yakni 19.95 mg SK g-1 BK umur 4 bulan dan daun ke-3 yakni 21.69 mg SK g-1 BK umur 5 bulan.
Gambar 15 Kaitan flavonoid pada pemanenan umur 3-5 bulan tanaman torbangun Saponin Saponin meningkat pada pemanenan umur 4 dan 5 bulan (Gambar 16). Bertambahnya umur tanaman mengakibatkan peningkatan saponin pada daun ke-1 yakni 55.72 mg saponin g-1 BK umur 4 bulan dan daun ke-5 yakni 53.14 mg saponin g-1 BK umur 5 bulan.
Gambar 16 Kaitan saponin pada pemanenan umur umur 3-5 bulan tanaman torbangun
31 Pembahasan
Konsentrasi hara pada posisi daun ke-1, ke-3 atau ke-5 setiap umur tanaman Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsentrasi hara daun pada setiap posisi daun umur 3 hingga 5 bulan. Konsentrasi hara N, P, dan K nyata tinggi pada posisi daun ke-1 (Gambar 4, 5, dan 6), sedangkan Ca dan Fe pada posisi daun ke-5 (Gambar 7 dan 8). Liferdi et al. (1995) menyatakan bahwa perubahan hara pada daun tanaman disebabkan oleh perubahan fase pertumbuhan. Hara daun mengalami penurunan pada fase trubus atau fase generatif. Pada fase tersebut hara daun mengalami translokasi dari daun tua ke bagian organ yang lebih muda atau untuk pembentukan buah, akibatnya konsentrasi hara pada daun tua berkurang. Nitrogen (N) merupakan unsur hara terpenting untuk pertumbuhan tanaman dan bersifat mobil dalam tanaman sehingga gejala kekurangan N pertama kali tampak pada daun tua. Fosfor (P) merupakan unsur yang sifatnya mobil dalam tanaman, mudah dipindahkan dari bagian daun yang tua ke titik tumbuh. Kandungan P di dalam tanaman sekitar 0.15-1.00% bobot kering dengan nilai kecukupan dari 0.20-0.40% pada jaringan daun yang baru. Kalium (K) juga merupakan unsur yang hara yang bersifat mobil dalam tanaman. Kandungan K tertinggi pada daun baru, tangkai daun dan batang tanaman, kandungan pada daun berkurang seiring dengan bertambahnya umur. Pada daun ke-5 atau daun tua mulai berwarna hijau pucat dan nekrotik berkembang pada pinggir daun (Jones 1998). Secara umum, konsentrasi metabolit sekunder (aktivitas PAL, antosianin, flavonoid dan saponin) meningkatkan posisi daun pada umur 3 hingga 5 bulan (Gambar 9, 10, 11, dan 12). Akan tetapi, terdapat perubahan pola grafik posisi daun pada umur 4 bulan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh perbedaan distribusi curah hujan yang berlangsung selama periode percobaan. Penurunan curah hujan meningkatkan konsentrasi metabolit sekunder. Total curah hujan pada umur 3 hingga 5 bulan secara berurutan yakni 843, 527, 419 mm bulan-1. Korelasi konsentrasi hara dengan bobot kering daun dan produksi metabolit Hasil uji korelasi (r) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara konsentrasi K dengan bobot kering daun pada sampel daun yaitu posisi daun ke-3 umur 5 bulan (r = 0.99, P <0.05, Tabel 11). Hal ini sejalan dengan penelitian Karimuna et al. (2015) bahwa terdapat korelasi positif antara K dengan bobot kering daun kemuning pada semua posisi daun termasuk posisi daun ke-3 pada umur 34 BST. Selanjutnya, Mardisiswojo & Rajakmangunsudarso (1985) menyatakan bahwa daun torbangun banyak mengandung kalium yaitu sebesar (6.46% dari bobot kering pada K2O) dan minyak atsiri (0.043% pada daun yang segar atau 0.2% pada daun kering). Shabala dan Pottosin (2014) menambahkan bahwa kalium merupakan salah satu unsur makro esensial untuk semua organisme dan menghasilkan bobot kering sebesar 2-10% serta berperan penting dalam proses polarisasi membran plasma, pembukaan stomata, dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Mepham (1987) menyatakan bahwa kalium pada daun torbangun dapat membersihkan darah, mencegah infeksi, mengurangi rasa nyeri, menimbulkan rasa tenang, dan dapat menciutkan selaput lendir. Rasa tenang yang dihasilkan oleh daun torbangun dapat mengurangi tekanan yang timbul akibat cuaca panas. Tekanan cuaca panas dapat menurunkan nafsu makan, sekresi air susu, dan bobot badan. Hal
32 ini dapat membuktikan bahwa daun torbangun berperan untuk meningkatkan sekresi air susu ibu (ASI) dan mengatasi Pra Menstruation Syndrome (PMS) pada wanita. Hasil uji korelasi (r) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara konsentrasi Ca dengan aktivitas PAL pada sampel daun yaitu posisi daun ke-3 umur 5 bulan (r = 0.99, P < 0.05, Tabel 11). Phenylalanine ammonia-lyase (PAL, EC 4.3.1.24) merupakan enzim pengatalis reaksi dari fenilalanin sebagai prekursor utama pada lintasan fenilpropanoid. PAL akan mengatalisis deaminasi Lfenilalanin menjadi trans-asam sinamat yang merupakan senyawa intermediat utama biosintesis senyawa fenolik (Cheng & Breen 1991; Rivero et al. 2001). Belum banyak dilaporkan kaitan antara hara Ca dengan aktivitas PAL. Hasil uji korelasi (r) selanjutnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara konsentrasi Fe dengan saponin pada sampel daun yaitu daun ke-3 umur 5 bulan (r = 0.99, P <0.05, Tabel 11). Torbangun mempengaruhi peningkatan konsentrasi beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam air susu ibu (ASI) serta mengakibatkan peningkatan berat badan bayi secara nyata (Damanik 2005). Peran penting zat besi di dalam tubuh adalah untuk membentuk hemoglobin dan membantu berbagai proses metabolisme tubuh. Metabolisme tersebut di antaranya merubah pro-vitamin A menjadi vitamin A aktif, transpor oksigen, pembentukan DNA/RNA, sintesis karnitin untuk transportasi asam lemak, sintesis kolagen, dan sintesis neurotransmiter (Agus 2005; Beard et al. 2006). Saponin merupakan senyawa utama dalam zat laktagogum yang termasuk dalam golongan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan didapatkan gula dan satu fraksi non gula yang disebut sapogenin. Sapogenin ini dibagi menjadi dua yaitu triterpenida dan steroida (Sunaryadi 1999), steroida inilah yang mempunyai peranan untuk meningkatkan produksi air susu ibu (ASI) secara hormonal, karena beberapa tanaman yang mengandung steroida bersifat estrogenik. Tanaman estrogenik adalah tanaman yang dapat menggertak produksi estrogen tubuh sehingga terjadi peningkatan konsentrasinya dalam darah (Prajonggo et al. 1983). Menurut Suprayogi (2000) yang melakukan penelitian pada daun katuk yaitu terdapat mekanisme senyawa aktif dalam mensintesis susu di kelenjar sekretori melalui dua jalur (1) Aksi hormonal, yaitu memodulasi hormon-hormon laktogenesis secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui aksi prostaglandin dan hormon steroid, sedangkan secara tidak langsung melalui stimulasi sel-sel kelenjar pituitari untuk melepaskan hormon prolaktin dan oksitosin, (2) Aksi metabolik, yaitu melalui proses hidrolisis senyawa-senyawa aktif daun katuk yang kemudian dapat ikut serta dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Peranan antara konsentrasi hara Fe dengan saponin telah jelas dilaporkan oleh banyak peneliti. Adanya korelasi positif antara Fe dengan saponin membuktikan bahwa terdapat peran yang sangat penting dalam peningkatan produksi air susu ibu (ASI) sehingga meningkatkan berat badan bayi secara nyata. Kaitan pertambahan umur tanaman dengan konsentrasi metabolit sekunder Secara umum, bertambahnya umur tanaman berpengaruh terhadap konsentrasi metabolit torbangun (Gambar 13, 14, 15, dan 16). Aktivitas PAL meningkat pada posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5 pada pemanenan umur 4 dan 5 bulan. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan seperti penurunan curah hujan. Kondisi curah hujan selama percobaan menunjukkan bahwa pada umur 3
33 bulan curah hujan bulanan sangat tinggi sehingga menyebabkan kondisi penyinaran menjadi berkurang. Kondisi curah hujan yang menurun pada umur 4 dan 5 bulan meningkatkan aktivitas PAL, karena walaupun curah hujan menurun tetapi beberapa kali turun hujan cukup deras namun singkat waktunya. Menurut Tan (1980), faktor lingkungan seperti rendahnya hara dan cahaya dapat meningkatkan aktivitas PAL. Selanjutnya, Ekawati (2013) menyatakan bahwa pemberian pupuk organik tanpa atau dengan pemangkasan meningkatkan aktivitas PAL pada umur 8 dan 12 MST serta 17 dan 20 MST pada tanaman torbangun seiring dengan menurunnya curah hujan. Pertambahan umur tanaman meningkatkan konsentrasi antosianin pada posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5. Adanya peningkatan konsentrasi antosianin dari umur 3 hingga 5 bulan diduga karena terdapat keterkaitan antara biosintesis antosianin dengan aktivitas PAL. Menurut Boo et al. (2011) antosianin berkorelasi positif dengan aktivitas PAL pada tanaman selada (r = 0.61, P <0.05). Selanjutnya, Ekawati (2013) menambahkan bahwa pemberian pupuk organik meningkatkan konsentrasi antosianin pada umur 8 dan 12 MST seiring dengan menurunnya curah hujan. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan antosianin akan diikuti dengan peningkatan aktivitas PAL. Hal yang sama terjadi pada total flavonoid. Pertambahan umur tanaman meningkatkan konsentrasi total flavonoid pada posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5. Adanya peningkatan konsentrasi total flavonoid dari umur 3 ke 4 dan 5 bulan diduga karena keterkaitan antara konsentrasi total flavonoid dengan aktivitas PAL. Peningkatan senyawa fenolik (konsentrasi total flavonoid dan konsentrasi total fenolik) berhubungan dengan aktivitas PAL dan lebih dipengaruhi oleh curah hujan. Aktivitas PAL berkorelasi positif dengan senyawa fenolik (konsentrasi total flavonoid dan konsentrasi total fenolik) pada tanaman torbangun (r = 0.62, P <0.05) (Ekawati 2013), pada tanaman pistachio (Pistacia vera L.) (r = 0.942, P <0.01) (Nadernejad et al. 2012), dan pada kolesom (Mualim 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa prekursor senyawa fenolik berupa fenilalanin dan pembentukan senyawa fenolik disintesis melalui lintasan fenilpropanoid dengan prekursornya berasal dari lintasan shikimat. Kaitan antara peningkatan aktivitas PAL dengan senyawa fenolik yang terbentuk telah banyak dilaporkan, seperti pada Olea europaea (Tovar et al. 2002; Garcia et al. 2009), kolesom (Mualim et al. 2012), corn (Gholizadeh 2011), strawberry (Cheng & Breen 1991), dan tomat (Rivero et al. 2001). Pertambahan umur tanaman meningkatkan konsentrasi total saponin pada posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5. Saponin merupakan salah satu kelompok dari kelompok senyawa terpene yaitu lemak yang disintesis dari metabolit primer Acetyl CoA melalui lintasan Asam Mevalonat (MAP) atau intermediet dasar glikolisis lewat lintasan Methylerythritol Phosphate (MEP). Tiga molekul Acetyl CoA digabung untuk membentuk asam mevalonat. Senyawa intermediet 6 karbon ini kemudian mengalami pyrophosphorilasi, karboxylasi dan dehidrasi membentuk Isopentenyl pyrophosphate (IPP). IPP adalah senyawa pembentuk (prekusor) blok 5 C terpene. IPP juga dapat dibentuk dari intermediet glikolisis atau siklus reduksi karbon pada proses fotosintesa (Taiz dan Zeiger 2002). Pada penelitian ini tidak adanya hubungan aktivitas PAL dengan konsentrasi total saponin. Secara umum, skema dari lintasan biosintesis metabolit sekunder (flavonoid, antosianin, saponin) pada tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 17.
34
Gambar 17 Skema sederhana lintasan biosintesis metabolit primer dan sekunder pada tumbuhan. (Modifikasi dari Cseke et al. 2006).
SIMPULAN 1. Jaringan tanaman yang terbaik untuk dijadikan sampel penetapan kebutuhan hara N, P, K, Ca dan Fe daun adalah posisi daun ke-3 umur 5 bulan. 2. Terdapat korelasi positif antara konsentrasi hara K dengan bobot kering daun, Ca dengan aktivitas PAL, dan Fe dengan total saponin pada posisi daun ke-3 umur 5 bulan.
35 PENGARUH PEMUPUKAN ORGANIK DENGAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI METABOLIT TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour.) ABSTRAK Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis termasuk dalam famili Lamiaceae yang daunnya memiliki aroma yang khas dan sebagai pangan fungsional dari sayuran yang mempunyai khasiat obat. Masyarakat etnis Batak di Sumatera Utara, Indonesia khususnya para wanita yang menyusui, mengkonsumsi daun torbangun setelah melahirkan untuk meningkatkan produksi ASI (Lactagogue). Saat ini belum banyak informasi mengenai studi ekologi dan terbatasnya bukti ilmiah pada pengaruh pemupukan dengan pertumbuhan dan produksi metabolit sekunder. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun. Percobaan di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan, Desa Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat dengan pemberian paranet intensitas naungan 55%. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Mei 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) satu faktor dengan empat perlakuan. Setiap perlakuan diulang empat kali sehingga terdapat 16 satuan percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan pada pengaruh yang berbeda nyata, dilakukan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf nyata 5%. Perlakuan pada percobaan ke-dua menggunakan tiga jenis pupuk organik yaitu pupuk kandang ayam (PK), pupuk guano (PG), dan abu sekam (AS) (dosis per hektar masingmasing untuk perlakuan: 15 ton PK; 15 ton PK + 2 ton PG; 15 ton PK + 5.5 ton AS; 15 ton PK + 2 ton PG + 5.5 ton AS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Pada umur 6 bulan, pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano) meningkatkan produksi bobot basah tanaman (34.8%) dan bobot kering pucuk (31.3%); (2) Pemberian kombinasi pemupukan organik nyata meningkatkan konsentrasi hara pucuk torbangun. Pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara N (3.52%); sedangkan, pemberian (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam) meningkatkan konsentrasi hara K (2.8%) dan Ca (1.2%) pada umur 6 bulan. Pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara N (3.16%), P (0.21%), K (2.35%), dan Ca (0.97%); sedangkan pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara Fe (321.5 ppm) pada umur 7 bulan; (3) Pada umur 6 bulan, pemberian kombinasi (15 ton ha1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan total saponin (499.4 mg saponin g-1 BK) sedangkan pada umur 7 bulan, (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano) meningkatkan total saponin (583.69 mg saponin g-1 BK); (4) Pada umur 6 bulan, pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano) dan (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan produksi total saponin masing-masing sebesar (24.41 g m-2 dan 23.76 g m-2 ). Kata kunci: metabolit, organik, pemupukan, pertumbuhan, torbangun
36 EFFECT OF ORGANIC FERTILIZATION WITH THE GROWTH AND METABOLITE PRODUCTION ON TORBANGUN (Coleus amboinicus Lour.) ABSTRACT Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) is a tropical plant from the Lamiaceae family, with leaves have a distinctive aroma and as a functional food from vegetable are used more as a medicinal plant. Bataknese lactating women in North Sumatra, Indonesia traditionally consume torbangun leaves after birth with beliefs that it could increase their breast milk production (a lactagogue). However, the ecological study of torbangun is not well documented and its scientific evidence is limited. This research was conducted to determine the effect of organic fertilizer to the growth and metabolites production of torbangun. The trials were conducted at the experimental field, in Mulyaharja Village, South Bogor District, Bogor, West Java by using paranet with shade intensity of 55%. The second trials were conducted from March to May 2014. This research used Group Randomized Design one factor with four treatments. Each treatment was repeated four times so that there were 16 units of the experiment. The data were analyzed using analysis of variance and the significantly different effect using Duncan Multiple Range Test at 5% significance level. The trials was using three kinds of organic fertilizer i.e. chicken manure, guano fertilizer, and rice-hull ash (dose per hectare respectively for the treatment: 15 tons ha-1 chicken manure; 15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer; 15 tons ha-1 chicken manure + 5.5 tons ha-1 rice-hull ash; 15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer + 5.5 tons ha-1 rice-hull ash). The results showed that: (1) At 6 months-old, the combination of organic fertilizer (15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer) increase production of shoots fresh weight (34.8%) and shoots dry weight (31.3%); (2) The combination of organic fertilizer increased nutrient concentrations of torbangun shoots. the combination of organic fertilizer (15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer + 5.5 tons ha-1 husk ash) increase N concentration (3.52%); the combination of organic fertilizer (15 ton ha-1 chicken manure) increase K concentrations (2.8%) and Ca (1.2%) at 6 months-old. the combination of organic fertilizer (15 tons ha-1 chicken manure + 5.5 tons ha-1 husk ash) increases N concentration (3.16%), P (0.21%), K (2.35%), and Ca (0.97%); while the combination of organic fertilizer (15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer + 5.5 tons ha-1 husk ash) increases Fe concentrations (321.5 ppm) at 7 months-old; (3) At 6 months-old, the combination of organic fertilizer (15 tons ha1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer + 5.5 tons ha-1 husk ash) increase the total saponins (499.4 mg saponins g-1 DM), while at 7 months-old, (15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer) increase the total saponins (583.69 mg saponins g-1 DM); (4) At 6 months-old, the combination of organic fertilizer (15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer) and (15 tons ha-1 chicken manure + 2 tons ha-1 guano fertilizer + 5.5 tons ha-1 rice-hull ash) increase the total saponins 24.41 g m-2 and 23.76 g m-2, respectively . Keywords: metabolites, organic, fertilization, growth, torbangun
37
PENDAHULUAN Salah satu faktor yang menunjang tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal adalah ketersediaan hara yang cukup di dalam tanah (Hermanto 2012). Umumnya unsur hara telah tersedia di dalam tanah, tetapi karena secara terus menerus diserap dan digunakan oleh tanaman maka kandungannya akan berkurang. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan, unsur hara terdiri dari unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak atau unsur makro (N, P, K, S, Ca, dan Mg) dan unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit atau unsur mikro (Cl, Mn, Fe, Cu, Zn, B, dan Mo) (Mualim 2012). Jika tanah tidak dapat menyediakan unsur hara yang cukup bagi tanaman, maka pemupukan perlu dilakukan untuk memenuhi kekurangan hara tersebut seperti pemupukan organik. Pupuk organik merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisik, kimia, biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh pupuk organik terhadap tanaman obat. Hasil penelitian Susanti et al. (2008) adalah pupuk kandang ayam dengan dosis 15 ton ha-1 merupakan dosis terbaik yang menghasilkan produksi biomassa tertinggi yaitu 10.73 g bobot kering daun dan 6.36 g bobot kering umbi per tanaman kolesom. Hasil penelitian Farchany (2011) menyatakan bahwa pemberian kombinasi pupuk organik 5.3 ton ha-1 pupuk kandang sapi + 138.1 kg ha-1 guano + 8.2 ton ha-1 abu sekam dapat meningkatkan bobot pucuk layak jual kolesom sampai dengan 25.67% dari pemberian pupuk anorganik. Ekawati (2013) menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik meningkatkan konsentrasi hara jaringan tanaman torbangun yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk. Pemberian kombinasi pupuk lengkap (12.3 ton ha-1 pupuk kandang sapi + 1.5 ton ha-1 rock phosphate + 5.5 ton ha-1 abu sekam) sampai dengan umur 5 bulan menghasilkan produksi metabolit yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk. Penelitian yang dilakukan menggunakan tiga jenis pupuk organik yaitu pupuk kandang ayam sebagai sumber N, pupuk guano sebagai sumber P, dan abu sekam sebagai sumber K. Pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam merupakan pupuk organik yang umum digunakan dan merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya dalam pemupukan organik (Sutanto 2002). Pada penelitian ini digunakan pupuk kandang ayam dikarenakan ketersediaannya yang cukup banyak. Menurut Mualim (2012) ketersediaan fosfor di alam cukup banyak, namun hanya sedikit yang dapat diserap oleh tanaman. Pupuk guano mengandung fosfor yang cukup tinggi dan memiliki sifat yang mudah larut air. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pupuk guano sebagai sumber fosfor organik. Secara umum kandungan Si dan K ditemukan tinggi pada abu sekam. Abu sekam berpotensi untuk dijadikan sebagai pupuk organik, terutama sebagai pupuk sumber K. Menurut Priyadharshini & Seran (2009) abu sekam dapat digunakan sebagai pengganti pupuk K inorganik. Oleh karena itu, abu sekam dipilih sebagai sumber K organik pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik dengan pertumbuhan dan produksi metabolit torbangun.
38
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Maret hingga Mei 2014 bertempat di Kebun Percobaan, Desa Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat dengan pemberian paranet intensitas naungan 55%. Analisis hara daun dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Cimanggu, Bogor. Analisis konsentrasi metabolit dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography, Spectrophotometry, Post-Harvest, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Analisis hara tanah dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan Fakultas Pertanian IPB.
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain adalah tanaman torbangun aksesi RD berumur 5 bulan, pupuk kandang ayam, pupuk guano, abu sekam, dan bahan untuk analisis kimia yang digunakan adalah metanol, pereaksi folin-ciocalteu, kalium asetat, asam asetat, asam sulfat, buffer protein, aquades dan saponin produksi Merck Co. (Jerman). Semua bahan kimia yang digunakan dalam analisis kimia memiliki kualitas pro analysis (analytical grade).
Alat Peralatan yang digunakan antara lain adalah timbangan, oven, sprayer, kamera, alat-alat laboratorium untuk analisis kimia meliputi Shimadzu UV-1800 Spectrophotometer (Japan) yang dihubungkan dengan UV probe 2.34 untuk analisis spektofotometer, Centrifuge heraeus labofuge-400R, Eyela waterbath SB-24 untuk inkubasi larutan campuran ekstrak, dan dan alat penunjang lainnya.
Metodologi Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) satu faktor yaitu pemupukan organik sebagai perlakuan dengan 4 kombinasi perlakuan pupuk organik (Tabel 12). Setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga didapatkan 16 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 5 tanaman contoh. Rekomendasi dosis yang digunakan untuk pupuk kandang ayam 15 ton ha-1 (Susanti 2006), pupuk guano 2 ton ha-1, abu sekam 5.5 ton ha-1 (Ekawati 2013).
39 Tabel 12 Kombinasi perlakuan pupuk organik Perlakuan Pupuk organik Jumlah hara dari pupuk organik (ton ha-1) (kg ha-1) Pupuk Pupuk Abu kandang guano sekam N P2O5 K2O 1 2 1 ayam (PK) (PG) (AS) PK 15 0 0 225.0 43.5 111.0 PK+PG 15 2 0 227.0 249.9 112.4 PK+AS 15 0 5.5 239.3 74.9 292.0 PK+PG+AS 15 2 5.5 241.3 281.3 293.4 1 konsentrasi N 1.5%, konsentrasi K2O 3.29% (Laboratorium Dep. ITSL 2014) 2 konsentrasi P2O5 10.32% (Balai Penelitian Tanah 2014) Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan pada pengaruh yang berbeda nyata, dilakukan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf nyata 5%. Analisis statistik yang diperoleh menggunakan perangkat lunak SAS Windows 9.1 System. Perhitungan produksi metabolit sekunder dilakukan dengan cara sebagai berikut: Produksi metabolit = bobot kering daun (g tan-1) x konsentrasi metabolit (%)
Pelaksanaan Penelitian Penanaman. Tanaman torbangun di lapang diberikan perlakuan dasar berupa pemberian pupuk kandang ayam 15 ton ha-1. Bibit torbangun yang telah berumur dua bulan kemudian ditanam pada bedengan dengan ukuran 8 m x 1 m (8 m2 bedengan-1) dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm (populasi 111.111 tanaman ha1 , 89 tanaman 8 m-2). Bibit torbangun yang sudah ditanam kemudian dibiarkan selama satu minggu sebelum diberikan perlakuan pupuk organik. Pemupukan. Perlakuan pupuk organik diberikan dua minggu setelah penanaman ulang. Pupuk kandang ayam dan abu sekam diberikan dengan cara dilarik per baris tanaman, sedangkan pupuk guano diberikan mengelilingi tanaman. Pemeliharaan. Penyiraman dilakukan dua kali sehari, yaitu setiap pagi dan sore hari. Penyulaman paling lambat satu minggu setelah penanaman ulang. Penyiangan dilakukan terhadap gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memberikan Furadan 3G dengan dosis 2 g lubang-1. Panen dan Pascapanen. Kriteria panen torbangun adalah ketika pucuk telah memiliki 3 pasang daun yang membuka sempurna. Panen pertama dilakukan pada saat umur 6 bulan, sedangkan panen ke-dua dilakukan pada saat umur 7 bulan. Umur panen dihitung sejak perlakuan dimulai pada Percobaan 1.
Pengamatan Pengamatan meliputi komponen pertumbuhan, biomassa, dan konsentrasi metabolit tanaman. Pengamatan komponen pertumbuhan dan konsentrasi metabolit dilakukan terhadap 5 tanaman contoh dalam setiap satuan percobaan. Pengamatan
40 komponen pertumbuhan dilakukan dua minggu sekali dan komponen konsentrasi metabolit dilakukan 4 minggu sekali. Pengamatan komponen biomassa dilakukan terhadap 1 tanaman destruktif (dipilih dari tanaman pinggir) dalam setiap ulangan dan dilakukan dua minggu sekali. Sebagai data penunjang dilakukan analisis media tanam dilakukan pada saat setelah perlakuan. Sampel tanah yang digunakan adalah komposit dari tiga ulangan. Komponen Pertumbuhan Tinggi tanaman (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal sampai titik tumbuh yang terletak di ujung batang utama. Jumlah cabang. Perhitungan jumlah cabang dilakukan dengan cara menghitung jumlah cabang yang keluar dari batang. Lebar tajuk (cm). Pengukuran lebar tajuk dilakukan dengan cara mengukur lebar tajuk tanaman yang terlebar. Komponen Biomassa Luas daun. Pengamatan menentukan luas daun menggunakan metode gravimetri, yaitu menggambar daun di kertas kemudian dihitung dengan rumus Luas daun = bobot replika kertas (g) x luas kertas total (cm2) bobot kertas total (g) Bobot basah tanaman (g). Pengukuran bobot basah tanaman dilakukan dengan cara menimbang hasil pangkasan yang dipanen berupa akar, batang, dan daun dengan menggunakan timbangan. Bobot kering tanaman (g). Pengukuran bobot kering tanaman dilakukan dengan cara menimbang bobot kering hasil pangkasan yang dipanen berupa akar, batang, dan daun yang telah dioven pada suhu 105oC selama 2 hari. Rata-rata laju tumbuh relatif (LTR), menunjukkan peningkatan bobot kering dalam suatu interval waktu, dalam hubungannya dengan bobot asal. Perhitungan rata-rata laju tumbuh relatif dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ln W2 – ln W1 LTR = t2 - t1 (g hari-1) W1 dan W2 = masing-masing bobot kering tanaman pada waktu t1 dan t2 yang diamati secara periodik (Sitompul & Guritno 1995).
41 Rata-rata laju asimilasi bersih (LAB), menunjukkan hasil bersih dari hasil asimilasi per satuan luas daun dan waktu. Perhitungan Rata-rata laju asimilasi bersih dengan menggunakan rumus sebagai berikut: W2 – W1
ln A2 - ln A1
LAB = A2 – A1
X
t2 – t1
(g cm-2 hari-1)
W1 dan W2 = masing-masing bobot kering tanaman pada waktu t1 dan t2 , dan A1 dan A2 = masing-masing luas daun total pada waktu t1 dan t2 yang diamati secara periodik (Sitompul & Guritno 1995). Komponen Konsentrasi Hara, Metabolit dan Produksi Metabolit Pucuk Jumlah pucuk per tanaman. Penghitungan jumlah pucuk dilakukan dengan cara menghitung masing-masing banyaknya pucuk yang dipanen per satuan tanaman yang dihasilkan. Bobot basah pucuk (g). Pengukuran bobot basah pucuk dilakukan dengan cara menimbang masing-masing bobot basah pucuk yang dipanen per satuan tanaman yang di hasilkan. Bobot kering pucuk (g). Pengukuran bobot kering pucuk dilakukan dengan cara menimbang masing-masing bobot kering pucuk yang dipanen per satuan tanaman yang di hasilkan yang telah dioven pada suhu 60oC selama 3 hari. Analisis konsentrasi dan produksi metabolit yang dilakukan merupakan analisis kuantitatif. Analisis konsentrasi metabolit seperti aktivitas phenylalanine ammonia lyase (PAL) menurut metode Dangcham et al. (2008) (Lampiran 1, 2, dan 3), antosianin (Sims & Gamon 2002) (Lampiran 4), total flavonoid menurut metode Chang et al. (2002) (Lampiran 5 dan 6), dan total saponin menurut metode Fathonah & Sugiyarto (2009) yang telah dimodifikasi (Lampiran 7). Analisis hara daun yang dilakukan meliputi konsentrasi N menurut metode Kjeldahl (Lampiran 8), P menurut metode spektrofotometer (Lampiran 9), dan K (Lampiran 9), Ca dan Fe menurut metode Atomic Absorbtion Spectrophotometry (AAS) (Apriyantono et al. 1989) (Lampiran 10 dan 11). Bahan untuk analisis aktivitas PAL dan antosianin menggunakan daun torbangun segar sesuai dengan metode diatas, total flavonoid menggunakan daun torbangun kering hasil oven pada suhu 60oC yang diekstrak menggunakan methanol sedangkan total saponin diekstrak menggunakan larutan etanol 70%, analisis N, P, K, Ca dan Fe menggunakan daun torbangun kering hasil oven pada suhu 60oC. Analisis konsentrasi metabolit dan hara daun yang dianalisis adalah pucuk daun torbangun pada setiap tanaman yang sudah dipanen. Semua peubah diamati dan dianalisis pada umur 6 dan 7 bulan.
42
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi umum Curah hujan Data curah hujan diambil dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor khusus untuk wilayah Empang, Bogor tahun 2014. Data curah hujan selama percobaan dua ini berlangsung pada bulan April dan Mei dengan masing-masing besaran curah hujan yaitu 449 dan 388 mm bulan-1. Selama penelitian berlangsung, curah hujan tetap tinggi di bulan April tetapi kemudian curah hujan menurun di Bulan Mei. Kondisi curah hujan masih tergolong tinggi dan beberapa kali hujan cukup deras namun singkat waktunya. Kondisi langit cerah dengan tingkat keawanan rendah. Kadar hara tanah Kadar hara tanah sebelum aplikasi pemupukan organik dilakukan pada awal penelitian, sedangkan setelah aplikasi pemupukan organik dilakukan pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Kadar hara tanah sebelum aplikasi pemupukan organik dihitung berdasarkan hasil penjumlahan antara analisis tanah awal sebelum pemupukan organik dengan jumlah hara yang diperoleh dari pupuk organik, sedangkan kadar hara tanah setelah pemupukan organik menunjukkan kadar hara total tanah. Data analisis tanah di Kebun Percobaan, Desa Mulyaharja dapat dikategorikan sebagai tanah andisol. Karakteristik tanah andisol diantaranya memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, pH 4.5-6, bobot isi rendah, mempunyai konsistensi gembur, kurang plastis dan tidak lengket. Tabel 14 menunjukkan bahwa pH tanah tergolong agak masam (6-6.87), unsur hara makro N yang sedang yaitu N-tot (0.35-0.53), kadar C-organik yang tergolong sedang (2.92-4.73), dan C/N rasio yang tergolong rendah juga. Kadar C-organik dan C/N rasio merupakan parameter pendukung pertumbuhan tanaman torbangun. Tabel 13 Kadar hara tanah tanaman torbangun dengan pemupukan organik N (%) P (%) K (%) Perlakuan 1 1 1 Sb Sd sb sd sb sd1 PK 0.17 0.36 0.04 0.09 0.06 0.04 PK+PG 0.18 0.35 0.90 0.11 0.07 0.05 PK+AS 0.19 0.36 0.09 0.09 0.34 0.05 PK+PG+AS 0.20 0.42 0.95 0.11 0.12 0.05 Keterangan: PK= pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS= abu sekam, sb= sebelum pemupukan organik, sd= sesudah pemupukan organik, sb1 sd1= P dan K Bray 1
43 Tabel 14 pH dan C-organik tanah tanaman torbangun dengan pemupukan organik Peubah kimia Tanah Akhir tanah Awal PK PK+PG PK+AS PK+PG+AS pH-H2O 6.87 6.20 6.20 6.00 6.20 C-org* (%) 2.92 3.55 3.47 4.02 4.73 N-tot 0.53 0.36 0.35 0.36 0.42 C/N rasio 5.51 9.86 9.91 11.17 11.26 Keterangan: PK= pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS= abu sekam, *metode Walkley and Black, pH H2O: sangat masam (< 4.5), masam (4.5 – 5.50); C-organik: sangat rendah (< 1), rendah (1-2), sedang (23); N-total: sangat rendah (< 0.10), rendah (0.10-0.20), sedang (0.210.50); C/N rasio: sangat rendah (< 5), rendah (5-10), sedang (11-15). Pertumbuhan dan biomassa torbangun Laju tumbuh relatif (LTR) dan laju asimilasi bersih (LAB) Laju tumbuh relatif menunjukkan peningkatan bobot kering dalam suatu interval waktu, dalam hubungannya dengan bobot awal, sedangkan laju asimilasi bersih menunjukkan hasil bersih dari hasil asimilasi per satuan luas daun dan waktu. Laju tumbuh relatif tanaman torbangun tidak dipengaruhi secara nyata (P > 0.05) oleh pemupukan organik pada umur 5.5-7 bulan (Tabel 15). Laju tumbuh relatif pada pemupukan organik mengalami penurunan pada umur 5.5-6 dan 6.5-7 bulan kecuali perlakuan pukan ayam + pupuk guano. Pemberian pupuk organik menghasilkan respon nilai rata-rata LTR yang sama pada umur 6-6.5 bulan (P > 0.05). Laju asimilasi bersih tanaman torbangun tidak dipengaruhi secara nyata (P > 0.05) oleh pemupukan organik pada umur 5.5-7 bulan (Tabel 16). Pemberian pupuk organik menghasilkan respon yang nilai rata-rata LAB sama pada umur 66.5 bulan dan mengalami penurunan pada umur 6.5-7 bulan (P > 0.05). Tabel 15 Laju tumbuh relatif tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Laju tumbuh relatif bulan kePerlakuan 5.5-6 6-6.5 6.5-7 -1 ----------------------(g hari )--------------------PK -1.7a 42.5a -24.2a PK+PG 14.5a 8.0a 0.2a PK+AS -17.7a 27.5a -15.2a PK+PG+AS -3.5a 28.2a -14.0a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Tanda negatif menunjukkan penurunan
44 Tabel 16 Laju asimilasi bersih tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Laju asimilasi bersih bulan kePerlakuan 5.5-6 6-6.5 6.5-7 -2 -1 --------------------(g cm hari )-------------------PK -0.47a 2.00a -1.16a PK+PG 0.57a 0.56a -0.25a PK+AS -1.07a 1.60a -0.85a PK+PG+AS 0.36a 0.33a -0.59a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Tanda negatif menunjukkan penurunan
Tinggi dan pertambahan tinggi tanaman
Perlakuan pemupukan organik nyata lebih tinggi terhadap pertambahan tinggi tanaman pada umur 6 dan 6.5 bulan (P < 0.05), namun pertambahan tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh pemupukan organik pada umur 5.5 dan 7 bulan (P > 0.05) (Tabel 17). Perlakuan pukan ayam + abu sekam menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + pupuk guano menghasilkan tinggi tanaman yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam pada umur 6 bulan. Perlakuan pukan ayam + pupuk guano menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + abu sekam menghasilkan tinggi tanaman yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam pada umur 6.5 bulan. Tabel 17 Tinggi dan pertambahan tinggi tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Pertambahan tinggi tanaman bulan keTinggi tanaman Perlakuan umur 7 bulan 5.5 6 6.5 7 -------------------------- (cm) ----------------------------PK 2.85a -5.72ab 3.60ab -0.57a 52.55a PK+PG 3.75a -14.55b 11.25a -0.67a 55.80a PK+AS 2.10a 4.85a -7.50b -0.87a 51.35a PK+PG+AS 2.25a -6.55ab 2.55ab -2.10a 55.67a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Tanda negatif menunjukkan penurunan
45
Jumlah dan pertambahan jumlah cabang
Pertambahan jumlah cabang dan jumlah cabang pada umur 7 bulan secara umum tidak dipengaruhi secara nyata oleh pemupukan organik (P > 0.05) (Tabel 18). Pemupukan organik memberikan respon pertambahan jumlah cabang dan jumlah cabang pada umur 7 bulan yang sama. Tabel 18 Jumlah dan pertambahan jumlah cabang tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Pertambahan jumlah cabang bulan keJumlah cabang Perlakuan umur 7 bulan 5.5 6 6.5 7 PK 5.0a 3.2a 2.7a -1.2a 27.0a PK+PG 7.5a -4.0a 6.2a -7.0a 31.5a PK+AS 4.2a 10.0a -4.7a -1.0a 25.2a PK+PG+AS 5.0a 4.0a -0.7a -6.0a 27.2a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Tanda negatif menunjukkan penurunan
Lebar dan pertambahan lebar tajuk
Pertambahan lebar tajuk dan lebar tajuk pada umur 7 bulan secara umum tidak dipengaruhi secara nyata oleh pemupukan organik (P > 0.05) (Tabel 19). Pemupukan organik memberikan respon pertambahan lebar tajuk dan lebar tajuk pada umur 7 bulan yang sama. Tabel 19 Lebar tajuk dan pertambahan lebar tajuk tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Pertambahan lebar tajuk bulan keLebar tajuk Perlakuan umur 7 bulan 5.5 6 6.5 7 ----------------------------- (cm) --------------------------------PK 2.30a -5.95a -0.95a -2.60a 52.55a PK+PG 3.15a -12.12a -1.72a 0.17a 55.80a PK+AS 0.62a -2.37a 0.05a -3.87a 51.35a PK+PG+AS -0.07a -8.05a -0.55a -4.42a 55.67a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Tanda negatif menunjukkan penurunan
46
Luas daun
Luas daun pada umur 7 bulan secara umum tidak dipengaruhi secara nyata oleh pemupukan organik (P > 0.05) (Tabel 20). Pemupukan organik memberikan respon luas daun pada umur 7 bulan yang sama. Tabel 20 Luas daun tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Luas daun bulan ke-1 Perlakuan 5.5 6 6.5 7 -------------------------------(cm2)----------------------------PK 624.7a 773.8a 928.5a 761.4a PK+PG 781.7a 772.4a 938.0a 739.4a PK+AS 538.3a 497.5a 492.3a 542.3a PK+PG+AS 504.3a 445.9a 667.7a 371.1a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05),1hasil transformasi √𝑥 , PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Bobot basah tanaman
Perlakuan pemupukan organik nyata lebih tinggi terhadap bobot basah tanaman pada umur 6 bulan (P < 0.05), namun bobot basah tanaman tidak dipengaruhi oleh pemupukan organik pada umur 5.5, 6.5 dan 7 bulan (P > 0.05). Perlakuan pukan ayam + pupuk guano menghasilkan bobot basah tanaman yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + abu sekam menghasilkan bobot basah tanaman yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam pada umur 6 bulan (Tabel 21). Tabel 21 Bobot basah tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Bobot basah bulan kePerlakuan 5.5 6 6.51 7 -1 ----------------------------(g tanaman )------------------------PK 182.64a 168.49ab 357.42a 215.39a PK+PG 248.99a 251.81a 315.96a 256.15a PK+AS 208.11a 137.27b 224.45a 177.34a PK+PG+AS 200.62a 165.84ab 251.01a 193.17a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), 1 hasil transformasi √𝑥 , PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
47
Bobot kering tanaman
Bobot kering tanaman pada umur 7 bulan secara umum tidak dipengaruhi secara nyata oleh pemupukan organik (P > 0.05) (Tabel 22). Pemupukan organik memberikan respon bobot kering tanaman pada umur 7 bulan yang sama. Tabel 22 Bobot kering tanaman torbangun dengan pemupukan organik umur 5.5-7 bulan Bobot kering bulan kePerlakuan 5.5 61 6.51 7 ---------------------------(g tanaman-1)----------------------PK 20.49a 21.15a 38.80a 28.09a PK+PG 27.95a 33.08a 38.22a 37.39a PK+AS 23.54a 18.26a 28.11a 21.75a PK+PG+AS 21.62a 22.27a 32.05a 26.06a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), 1 hasil transformasi √𝑥 , PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Produksi pucuk torbangun
Jumlah pucuk per tanaman
Uji Duncan pada Tabel 23 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan jumlah pucuk per tanaman yang tidak berbeda nyata pada umur 6 dan 7 bulan (P > 0.05). Pemupukan organik memberikan respon jumlah pucuk per tanaman pada umur 7 bulan yang sama. Tabel 23 Jumlah pucuk torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Jumlah pucuk bulan kePerlakuan 6 71 PK 12.8a 11.1a PK+PG 14.9a 8.1a PK+AS 9.7a 8.1a PK+PG+AS 13.5a 9.3a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), 1 hasil transformasi √𝑥 , PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Bobot basah pucuk
Uji Duncan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan bobot basah pucuk yang tidak berbeda nyata pada umur 6 dan 7 bulan (P > 0.05). Pemupukan organik memberikan respon bobot basah pucuk pada umur 7 bulan yang sama.
48 Tabel 24 Bobot basah pucuk torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Bobot basah pucuk bulan kePerlakuan 6 71 -1 --------------(g tanaman )-------------PK 38.19a 23.59a PK+PG 54.69a 14.35a PK+AS 32.28a 20.45a PK+PG+AS 47.48a 17.92a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), 1 hasil transformasi √𝑥 , PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Bobot kering pucuk
Uji Duncan pada Tabel 25 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan bobot kering pucuk nyata lebih tinggi pada umur 6 bulan (P < 0.05), namun bobot kering pucuk tidak dipengaruhi oleh pemupukan organik pada umur 7 bulan (P > 0.05). Perlakuan pukan ayam + pupuk guano menghasilkan bobot kering pucuk yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + abu sekam menghasilkan bobot kering pucuk yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam pada umur 6 bulan. Tabel 25 Bobot kering pucuk torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Bobot kering pucuk bulan kePerlakuan 6 71 -1 ------------- (g tanaman )-------------PK 3.21ab 4.21a PK+PG 4.80a 1.52a PK+AS 2.98b 1.41a PK+PG+AS 4.37ab 1.65a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), 1 hasil transformasi √𝑥 + 1 , PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Produksi pucuk total
Uji Duncan pada Tabel 26 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan bobot basah pucuk total tanaman-1 dan bobot kering pucuk total tanaman-1 yang tidak berbeda nyata (P > 0.05). Pemupukan organik memberikan respon bobot basah pucuk total tanaman-1 dan bobot kering pucuk total tanaman-1 yang sama.
49 Tabel 26 Produksi pucuk total torbangun dengan pemupukan organik Bobot basah pucuk total Bobot kering pucuk total1 Perlakuan -1 (g BB tanaman ) (g BK tanaman-1) PK 61.78a 7.42a PK+PG 69.04a 6.33a PK+AS 52.73a 4.40a PK+PG+AS 65.40a 6.03a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), 1 hasil transformasi √𝑥 , PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Konsentrasi hara daun torbangun
Nitrogen (N)
Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi N nyata lebih tinggi pada umur 6 dan 7 bulan (P < 0.05). Pada umur 6 bulan, perlakuan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam memberikan konsentrasi N yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + pupuk guano memberikan konsentrasi N yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam. Pada umur 7 bulan, perlakuan pukan ayam + abu sekam memberikan konsentrasi N yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano. Perlakuan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam memberikan konsentrasi N yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam (Tabel 27). Tabel 27 Konsentrasi N torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi N (%) bulan kePerlakuan 6 7 PK 2.60b 2.70b PK+PG 2.44b 3.13a PK+AS 3.31a 3.16a PK+PG+AS 3.52a 2.52b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Fosfor (P)
Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi P tidak berbeda nyata pada umur 6 bulan (P > 0.05), namun berbeda nyata pada 7 bulan (P < 0.05). Pada umur 7 bulan, perlakuan pukan ayam + abu sekam memberikan konsentrasi P yang tertinggi, dan berbeda nyata dengan pukan ayam, pukan ayam + pupuk guano, dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam memberikan konsentrasi P yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam, dan pukan ayam + pupuk guano (Tabel 28).
50 Tabel 28 Konsentrasi P torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi P (%) bulan kePerlakuan 6 7 PK 0.17a 0.16b PK+PG 0.17a 0.16b PK+AS 0.19a 0.21a PK+PG+AS 0.16a 0.15b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Kalium (K)
Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi K nyata lebih tinggi pada umur 6 dan 7 bulan (P < 0.05). Pada umur 6 bulan, perlakuan pukan ayam memberikan konsentrasi K yang tertinggi, dan berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano, pukan ayam + abu sekam, dan dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam memberikan konsentrasi K yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano. Pada umur 7 bulan, perlakuan pukan ayam + abu sekam memberikan konsentrasi K yang tertinggi, dan berbeda nyata dengan pukan ayam, pukan ayam + pupuk guano, dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam memberikan konsentrasi K yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam, pukan ayam + pupuk guano (Tabel 29). Tabel 29 Konsentrasi K torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi K (%) bulan kePerlakuan 6 7 PK 2.80a 1.87b PK+PG 2.04bc 1.61b PK+AS 2.29b 2.35a PK+PG+AS 1.78c 1.50b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Kalsium (Ca)
Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi Ca nyata lebih tinggi pada umur 6 dan 7 bulan (P < 0.05). Pada umur 6 bulan, perlakuan pukan ayam memberikan konsentrasi Ca yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano dan pukan ayam + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam memberikan konsentrasi Ca yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano dan pukan ayam + abu sekam. Pada umur 7 bulan, perlakuan pukan ayam + abu sekam memberikan konsentrasi Ca yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano dan pukan ayam + pupuk guano + abu
51 sekam. Perlakuan pukan ayam memberikan konsentrasi Ca yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam (Tabel 30). Tabel 30 Konsentrasi Ca torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi Ca (%) bulan kePerlakuan 6 7 PK 1.20a 0.74b PK+PG 1.03ab 0.90ab PK+AS 1.08ab 0.97a PK+PG+AS 0.89b 0.91ab Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Besi (Fe)
Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi Fe tidak berbeda nyata pada umur 6 bulan (P > 0.05), namun berbeda nyata pada umur 7 bulan (P < 0.05). Pada umur 7 bulan, perlakuan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam memberikan konsentrasi Fe yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano dan pukan ayam + abu sekam. Perlakuan pukan ayam memberikan konsentrasi Fe yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano dan pukan ayam + abu sekam (Tabel 31). Tabel 31 Konsentrasi Fe torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Konsentrasi Fe (ppm) bulan kePerlakuan 6 7 PK 295.50a 223.25b PK+PG 291.75a 302.75ab PK+AS 207.50a 268.75ab PK+PG+AS 194.00a 321.50a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Konsentrasi metabolit sekunder torbangun
Aktivitas PAL
Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan aktivitas PAL yang tidak berbeda nyata pada umur 6 dan 7 bulan (Tabel 32). Pemberian pupuk organik memberikan aktivitas PAL yang sama (P > 0.05).
52
Tabel 32 Aktivitas PAL torbangun dengan pemupukan organik umur 6 dan 7 bulan Aktivitas PAL (mg SAS g-1 protein) bulan kePerlakuan 6 7 PK 1.24a 0.55a PK+PG 1.71a 0.54a PK+AS 1.18a 0.51a PK+PG+AS 1.23a 0.53a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Konsentrasi total flavonoid, antosianin dan total saponin
Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi total flavonoid dan antosianin yang tidak berbeda nyata pada umur 6 bulan (P > 0.05), namun nyata lebih tinggi pada konsentrasi total saponin (P < 0.05). Perlakuan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam memberikan konsentrasi total saponin yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano. Perlakuan pukan ayam + abu sekam memberikan konsentrasi total saponin yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam. Pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi total flavonoid dan antosianin yang sama (Tabel 33). Tabel 33 Konsentrasi total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik umur 6 bulan Total flavonoid Antosianin Total saponin Perlakuan (mg SK g-1 BK) (µmol 100 g-1 BB) (mg saponin g-1 BK) PK 12.60a 0.30a 422.56ab PK+PG 12.71a 0.21a 465.41a PK+AS 14.39a 0.21a 351.20b PK+PG+AS 14.49a 0.29a 499.40a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi total flavonoid dan antosianin yang tidak berbeda nyata pada umur 7 bulan (P > 0.05), namun nyata lebih tinggi pada konsentrasi total saponin (P < 0.05). Perlakuan pukan ayam + pupuk guano memberikan konsentrasi total saponin yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + abu sekam memberikan konsentrasi total saponin yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam dan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Pemberian pupuk organik memberikan konsentrasi total flavonoid dan antosianin yang sama (Tabel 34).
53
Tabel 34 Konsentrasi total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik umur 7 bulan Total flavonoid Antosianin Total saponin Perlakuan -1 -1 (mg SK g BK) (µmol 100 g BB) (mg saponin g-1 BK) PK 12.21a 0.31a 400.20b PK+PG 9.90a 0.30a 583.69a PK+AS 11.83a 0.33a 364.57b PK+PG+AS 9.31a 0.32a 456.91ab Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Produksi metabolit sekunder torbangun
Produksi total flavonoid, antosianin dan total saponin
Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan produksi total flavonoid dan antosianin yang tidak berbeda nyata pada umur 6 bulan (P > 0.05), namun nyata lebih tinggi pada konsentrasi total saponin (P < 0.05). Perlakuan pukan ayam + pupuk guano memberikan produksi total saponin yang tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam + pupuk guano + abu sekam. Perlakuan pukan ayam + abu sekam memberikan produksi total saponin yang terendah, namun tidak berbeda nyata dengan pukan ayam. Pemberian pupuk organik memberikan produksi total flavonoid dan antosianin yang sama (Tabel 35). Tabel 35 Produksi total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik umur 6 bulan Produksi total Produksi Produksi total Perlakuan flavonoid antosianin saponin (g m-2) (µmol m-2) (g m-2) PK 0.44a 1.31a 15.49b PK+PG 0.68a 1.27a 24.41a PK+AS 0.47a 0.69a 11.78b PK+PG+AS 0.70a 1.63a 23.76a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan produksi total flavonoid, antosianin dan total saponin yang tidak berbeda nyata pada umur 7 bulan (P > 0.05). Pemberian pupuk organik memberikan produksi total flavonoid, antosianin dan total saponin yang sama (Tabel 36).
54 Tabel 36 Produksi total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik umur 7 bulan Produksi total Produksi Produksi total Perlakuan flavonoid antosianin saponin -2 -2 (g m ) (µmol m ) (g m-2) PK 0.60a 0.73a 16.45a PK+PG 0.20a 0.51a 7.79a PK+AS 0.18a 0.79a 5.71a PK+PG+AS 0.18a 0.69a 8.42a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam. Uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik memberikan produksi aktivitas PAL, total flavonoid, antosianin dan total saponin yang tidak berbeda nyata (P > 0.05). Pemberian pupuk organik memberikan produksi aktivitas PAL, total flavonoid, antosianin dan total saponin yang sama (Tabel 37). Tabel 37 Produksi aktivitas PAL, total flavonoid, antosianin, total saponin torbangun dengan pemupukan organik Produksi Produksi total Produksi Produksi total Perlakuan Aktivitas PAL flavonoid antosianin saponin (g m-2) (g m-2) (µmol m-2) (g m-2) PK 1.20a 2.13a 4.09a 64.74a PK+PG 1.56a 1.63a 3.97a 68.85a PK+AS 0.98a 1.26a 3.12a 35.45a PK+PG+AS 1.28a 1.60a 4.58a 64.28a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata (α) 5% (P > 0.05), PK = pupuk kandang ayam, PG = pupuk guano, AS = abu sekam.
Pembahasan
Kondisi lahan dan kadar hara tanah Hasil analisis tanah dari Kebun Percobaan yang terletak di Desa Mulyaharja, Bogor dapat dikategorikan sebagai tanah andisol. Hal ini didasarkan pada Tabel 14 yang menunjukkan bahwa pH tanah tergolong agak masam (6-6.87), unsur hara makro N yang sedang yaitu N-tot (0.35-0.53), kadar C-organik yang tergolong sedang (2.92-4.73), dan C/N rasio yang tergolong rendah. Tanah Andisol merupakan tanah yang berwarna hitam kelam sangat porous, mengandung bahan organik dan liat amorf terutama alofan. Karakteristik tanah andisol diantaranya adalah memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, pH 4.5 - 6, bobot isi rendah, mempunyai konsistensi gembur, kurang plastis dan tidak lengket. Tanah Andisol memiliki kejenuhan basa sekitar 20-40 %, kapasitas tukar kation dan kapasitas tukar anion tinggi, serta konsentrasi fosfor rendah karena terfiksasi (Rachim & Suwandi 1999).
55 Pertumbuhan dan biomassa torbangun Pertumbuhan tanaman torbangun meliputi laju tumbuh relatif (LTR) dan laju asimilasi bersih (LAB). Pemberian pupuk organik menurunkan nilai LTR pada interval umur 5.5-6 bulan, namun meningkat pada interval umur 6-6.5 bulan (Tabel 15). Hal ini diduga penurunan pada interval umur 5.5-6 bulan disebabkan oleh adanya pengambilan sampel tanaman secara destruktif pada setiap perlakuan dari lokasi yang sama setiap umur tanaman memicu munculnya serangan hama dengan banyaknya daun yang rusak akibat hama ulat dan belalang sehingga pertumbuhan menjadi terhambat. Selain itu, hara dari pemberian pupuk organik belum tersedia bagi tanaman karena adanya proses mineralisasi N. Hal ini dapat dilihat dari kadar hara tanah yang menunjukkan status hara P dan K yang rendah setelah pemberian pupuk organik. Salah satu sifat dari pupuk organik memiliki ketersediaan hara yang lambat sehingga hara belum tersedia bagi tanaman yang menyebabkan pertumbuhan tanaman lambat (Ekawati 2013). Seiring dengan bertambahnya umur tanaman, pemberian pupuk organik meningkatkan nilai LTR pada umur 6-6.5 bulan. Hal ini diduga karena pemberian pupuk organik telah dapat menyediakan hara yang tersedia bagi tanaman. Selain itu juga karena pada periode umur tersebut tanaman torbangun telah memasuki fase dewasa ditandai dengan munculnya bunga pada perlakuan pemupukan organik sehingga memiliki hormon pengatur pertumbuhan yang tinggi. Hormon ini antara lain auksin menginduksi perpanjangan akar dan dominansi aplikal, sitokinin menginduksi pembelahan sel, dan giberelin menstimulasi pembelahan sel dan perpanjangan sel (Hartmann et al. 1990). Pemberian pupuk organik menurunkan nilai LAB pada interval umur 5.5-6 bulan, namun meningkat pada interval umur 6-6.5 bulan (Tabel 16). Hal ini diduga penurunan pada interval umur 5.5-6 bulan disebabkan oleh adanya pengambilan sampel tanaman secara destruktif pada setiap perlakuan dari lokasi yang sama setiap umur tanaman memicu munculnya serangan hama dengan banyaknya daun yang rusak akibat hama ulat dan belalang sehingga mengurangi jumlah daun dan mengakibatkan fotosintesis tanaman menjadi terhambat. Sedangkan peningkatan pada interval umur 6-6.5 bulan diduga karena ketersediaan hara dari pupuk organik sudah tersedia. Hara makro dan esensial untuk tanaman diantaranya hara N, P, dan K. Nitrogen merupakan unsur hara makro yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang banyak dan berperan sebagai komponen utama dalam pembentukan asam amino dan asam nukleat (Taiz & Zeiger 2002). N berperan penting dalam pembentukan protein, N merupakan bagian integral dari klorofil yang menjadi penangkap energi cahaya utama yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Fungsi hara P yang utama yaitu sebagai sumber dan transfer energi. P juga merupakan struktur komponen penting dari asam nukleat, koenzim, nukloetida, fosfoprotein, fosfolipid, dan gula fosfat. K berperan penting dalam tekanan osmotik, keseimbangan ion, dan terlibat dalam sintesis serta transport hasil fotosintesis untuk produksi dan penyimpanan pada tanaman (biji, buah, dan umbi) (Havlin et al. 2005). Secara umum, pemberian pupuk organik menghasilkan respon pertumbuhan dengan pemanenan yang sama untuk tinggi tanaman (Tabel 17), jumlah cabang (Tabel 18), lebar tajuk (Tabel 19), luas daun (Tabel 20), bobot basah tanaman-1 (Tabel 21), bobot kering tanaman-1 (Tabel 22). Hal ini diduga pupuk organik dapat meningkatkan ketersediaan hara dan memberikan lingkungan tumbuh yang sama disekitar perakaran sehingga mendapatkan respon pertumbuhan tanaman yang sama. Pemupukan organik yang diberikan seperti pupuk kandang ayam
56 menyediakan unsur hara dan memiliki nisbah C/N lebih rendah. Pemberian pupuk kandang ayam akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu daya tumbuh, vigor bibit serta komponen hasil (Susanti 2006). Pupuk kandang ayam mengandung unsur nitrogen (5-8%), fosfor (1-2 %), dan kalium (1-2%) cukup tinggi (Donahue 1961). Pupuk guano mengandung sekitar 20% P2O dan sekitar 13% N (Tisdale et al. 1990). Kandungan yang lebih tinggi ditemukan pada penelitian Rahadi (2008) dengan kandungan P2O5 dan CaO berturut-turut sebesar 26.07 dan 36.07%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa abu sekam mengandung Si, P, K, Mg, Ca, dan unsur-unsur mikro lainnya. Secara umum kandungan Si dan K ditemukan tinggi pada abu sekam. Abu sekam berpotensi untuk dijadikan sebagai pupuk organik, terutama sebagai pupuk sumber K. Menurut Priyadharshini & Seran (2009) abu sekam dapat digunakan sebagai pengganti pupuk K inorganik. Produksi pucuk torbangun Pemberian pupuk organik juga menghasilkan respon produksi pucuk yang sama dengan jumlah pucuk tanaman-1 (Tabel 23), bobot basah pucuk (Tabel 24), bobot kering pucuk (Tabel 25) dan produksi pucuk total (bobot basah dan kering total (Tabel 26). Hal ini diduga bahwa pemberian pupuk organik menyebabkan produksi pucuk torbangun yang tinggi, karena pemberian bahan organik menyebabkan tanah dapat menyimpan air lebih banyak dan meningkatkan kapasitas memegang air sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Ekawati (2013), pemberian pupuk organik dan tanpa disertai dengan pemangkasan meningkatkan produksi pucuk torbangun dari umur 12 MST hingga akhir pemanenan pucuk (20 MST). Pertumbuhan pucuk yang lebih banyak terjadi karena adanya curah hujan yang tinggi pada tanaman torbangun. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pemberian pupuk organik menyebabkan akar berkembang dengan baik dan mampu memberikan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan akar. Akar yang tumbuh dengan baik akan mendukung pertumbuhan tajuk sehingga produksi pucuk meningkat. Pengaruh bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah terhadap pertumbuhan akar, volume akar, dan struktur tanah telah banyak dilaporkan (Lado et al. 2004, Watson & Kelsey 2006, Hakl et al. 2007, Mari & Changying 2008, Grzesiak 2009, Ahmad et al. 2009, Mualim et al. 2012). Konsentrasi hara daun torbangun Secara umum, pemberian pupuk kandang ayam + abu sekam secara konsisten meningkatkan konsentrasi hara N (Tabel 27), P (Tabel 28), K (Tabel 29), Ca (Tabel 30) dan pemberian pupuk kandang ayam + pupuk guano + abu sekam meningkatkan Fe (Tabel 31) pucuk pada umur 7 bulan. Konsentrasi hara N, P dan K tanah sebelum aplikasi pupuk organik tergolong sedang (Tabel 13). Pemberian pupuk organik menurunkan konsentrasi hara N tanah di akhir percobaan menjadi rendah dan meningkatkan konsentrasi hara N daun diduga karena ketersediaan hara N yang rendah di dalam tanah menyebabkan karbohidrat yang dihasilkan akan lebih diarahkan pada pertumbuhan sel vegetatif (Havlin et al. 2005). Konsentrasi hara P tanah yang rendah diduga karena pH tanah agak masam. Nilai pH tanah di awal dan akhir percobaan tergolong masam (Tabel 14). Nilai pH tanah yang masam menyebabkan P difiksasi oleh Fe/Al oksida dan terjadi presipitasi AlPO4 dan FePO4. Selain itu, kemasaman tanah diduga karena bahan organik tanah
57 mengandung asam-asam karboksilat dan senyawa asam-asam fenolik sebagai asam kuat yang melepaskan H+ (Havlin et al. 2005). Pemberian pupuk organik menurunkan konsentrasi hara K tanah di akhir percobaan menjadi sangat rendah (Tabel 13). Hal tersebut diduga karena serapan K+ dipengaruhi oleh kation-kation lain seperti Ca2+ dan Mg2+ (Havlin et al. 2005). Pemberian pupuk kandang ayam + abu sekam menunjukkan persentase konsentrasi hara N pucuk tertinggi (3.16%), persentase konsentrasi hara P tertinggi (0.21%), persentase konsentrasi hara K tertinggi (2.35%), persentase konsentrasi hara Ca tertinggi (0.97%), tetapi pupuk kandang ayam + pupuk guano + abu sekam menghasilkan persentase konsentrasi hara Fe tertinggi (321.50 ppm) pada umur 7 bulan. Persentase konsentrasi hara N, P, dan K pucuk tertinggi pada umur 7 bulan tersebut masih dalam batas kecukupan hara N daun sampel tanaman torbangun, hal ini sejalan dengan pernyataan Brady (1990) bahwa kebanyakan tanaman mengandung N 1.50 sampai 6.00% dari bobot kering tanaman dengan nilai kecukupan 2.50 sampai 3.50% dalam jaringan daun. Menurut pendapat Havlin et al. (2005) Nilai kecukupan hara P di bawah 0.20% dan lebih tinggi dari 1.00% dianggap berlebihan. Selanjutnya Jones (1998) menyatakan bahwa kandungan K pada tanaman berkisar 1–5% dari bobot kering jaringan daun dengan nilai kecukupan 1.5–3% pada jaringan dewasa yang baru terbentuk. Aplikasi pemupukan N, P, dan K hanya diberikan pada tanaman dengan status hara daun tergolong rendah. Konsentrasi hara N jaringan tanaman pada pemberian pupuk kandang ayam + abu sekam lebih tinggi dibandingkan pupuk organik yang lain. Hal tersebut diduga karena tanaman menyerap N dari tanah dalam bentuk ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Ammonium dan nitrat di dalam tanah dihasilkan dari dekomposisi aerob bahan organik tanah atau dari penambahan pupuk N. Konsentrasi N tanah berada dalam bentuk N inorganik dan organik. N inorganik meliputi NH4+, NO2-, NO3-, N2O, NO, dan N2 , sedangkan N organik meliputi protein, asam amino, gula amino, dan senyawa N kompleks lainnya. Ketersediaan NH2 tergantung dari jumlah mineralisasi N dari N organik tanah. Mineralisasi N merupakan konversi N organik menjadi NH4+ melalui dua tahapan yaitu aminisasi dan amonifikasi. Aminisasi mengubah protein menjadi asam amino, amina, dan urea, sedangkan amonifikasi mengubah N organik menjadi NH4+ inorganik yang selanjutnya NH4+ dapat diubah menjadi NO2- dan NO3- melalui proses nitrifikasi dan diserap langsung oleh tanaman (N uptake) (Havlin et al. 2005). N berperan penting dalam pembentukan protein, N merupakan bagian integral dari klorofil yang menjadi penangkap energi cahaya utama yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Fungsi hara P yang utama yaitu sebagai sumber dan transfer energi. P juga merupakan struktur komponen penting dari asam nukleat, koenzim, nukloetida, fosfoprotein, fosfolipid, dan gula fosfat. Kalium merupakan unsur yang mobil, sehingga akan terjadi translokasi bagian tanaman yang tua ke bagian yang muda (Reddy et al. 2000). Unsur K esensial dalam fotosintesis terutama dalam hal sintesis ATP, penyerapan CO2 melalui mulut daun, menjaga keseimbangan listrik selama fosforilasi di dalam kloroplas, mengangkut hasil fotosintesis dari daun melalui floem ke jaringan organ reproduktif serta produksi dalam aktivitas enzim-enzim fotosintesis seperti RuBP karboksilase (Havlin et al. 2005).
58 Konsentrasi dan produksi metabolit sekunder torbangun Pemberian pupuk organik tidak mempengaruhi aktivitas PAL (Tabel 32), antosianin, dan total flavonoid (P > 0.05) (Tabel 33 dan 34) pada umur 6 dan 7 bulan. Pemberian pupuk kandang ayam + pupuk guano + abu sekam menghasilkan total saponin yang lebih tinggi dari pupuk organik yang lain pada umur 6 bulan (Tabel 33), sedangkan pada umur 7 bulan pada pupuk kandang ayam + pupuk guano (Tabel 34). Pemberian pupuk organik tidak mempengaruhi produksi total flavonoid dan antosianin (P > 0.05) (Tabel 35 dan 36) pada umur 6 dan 7 bulan. Pemberian pupuk kandang ayam + pupuk guano menghasilkan produksi total saponin yang lebih tinggi dari pupuk organik yang lain pada umur 6 bulan, namun memiliki pengaruh yang sama dengan pupuk kandang ayam + pupuk guano + abu sekam. Pemberian perlakukan dua atau kombinasi lengkap pupuk organik secara konsisten memiliki bobot kering pucuk dan konsentrasi total saponin yang tinggi sehingga menghasilkan produksi total saponin yang tinggi pula. Produksi metabolit torbangun ini didapat dari hasil perkalian antara bobot kering pucuk dengan konsentrasi metabolit sekunder. Pemberian pupuk organik pada tanaman torbangun ini menunjukkan bahwa pupuk kandang ayam (sumber N), pupuk guano (sumber P), dan abu sekam (sumber K) berperan dalam menghasilkan produksi metabolit torbangun yang lebih besar.
SIMPULAN Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) Pada umur 6 bulan, pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano) meningkatkan produksi bobot basah tanaman (34.8%) dan bobot kering pucuk (31.3%). (2) Pemberian kombinasi pemupukan organik nyata meningkatkan konsentrasi hara pucuk torbangun. Pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara N (3.52%); sedangkan, pemberian (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam) meningkatkan konsentrasi hara K (2.8%) dan Ca (1.2%) pada umur 6 bulan. Pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara N (3.16%), P (0.21%), K (2.35%), dan Ca (0.97%); sedangkan pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara Fe (321.5 ppm) pada umur 7 bulan. (3) Pada umur 6 bulan, pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan total saponin (499.4 mg saponin g-1 BK) sedangkan pada umur 7 bulan, (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano) meningkatkan total saponin (583.69 mg saponin g-1 BK). (4) Pada umur 6 bulan, pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano) dan (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan produksi total saponin masingmasing sebesar (24.41 g m-2 dan 23.76 g m-2 ).
59
PEMBAHASAN UMUM Analisis tanaman untuk menentukan konsentrasi hara umumnya menggunakan jaringan daun yang menggambarkan status hara dari tanaman (Heckman 2001). Penentuan jaringan daun yang tepat merupakan hal yang harus diketahui agar dapat mendiagnosis status hara optimasi. Penelitian korelasi konsentrasi hara daun merupakan salah satu tujuan untuk mendapatkan hubungan paling baik dari konsentrasi suatu unsur dalam daun pada umur tertentu (Hermanto 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi daun yang dijadikan sampel daun adalah posisi daun ke-3 umur 5 bulan yang diambil dari tanaman torbangun dengan kriteria 5 buku daun yang membuka sempurna yaitu daun yang mempunyai koefisien korelasi (r) terbaik antara konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe daun dengan hasil bobot kering daun dan produksi metabolit sekunder (aktivitas PAL, antosianin, total flavonoid dan total saponin). Hal ini disebabkan karena posisi daun ke-3 umur 5 bulan merupakan bentuk daun sempurna, daun ke-3 ini umumnya termasuk daun baru dengan kriteria layak panen dan konsumsi, sehingga kandungan hara N, P, K, Ca dan Fe yang dikandung relatif stabil. Nitrogen (N) merupakan unsur hara terpenting untuk pertumbuhan tanaman dan bersifat mobil dalam tanaman sehingga gejala kekurangan N pertama kali tampak pada daun tua. Kandungan P di dalam tanaman sekitar 0.15-1.00% bobot kering dengan nilai kecukupan dari 0.20-0.40% pada jaringan daun yang baru. Kandungan K tertinggi pada daun baru, tangkai daun dan batang tanaman, kandungan pada daun berkurang seiring dengan bertambahnya umur (Jones 1998). Produksi daun torbangun (jumlah daun, bobot basah dan bobot kering daun) mempengaruhi posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5 pada umur 3 hingga 5 bulan. Produksi daun torbangun diperlukan sebagai bahan untuk analisis hara dan metabolit sekunder tanaman torbangun. Selain itu, untuk mengetahui produktivitas yang dihasilkan dari tanaman torbangun sehingga hasil produksi yang didapat digunakan untuk produksi metabolit sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi bobot kering daun tertinggi sebesar 40.6% dari posisi daun ke-1. Pada tanaman torbangun, daun merupakan jaringan tanaman yang penting karena terkandung beberapa senyawa metabolit sekunder yang penting seperti flavonoid dan saponin (Damanik 2005; Damanik et al. 2006), sehingga tingginya produktivitas dalam budidaya tanaman torbangun ditentukan oleh tingkat produksi daun torbangun dikalikan dengan kandungan senyawa metabolit sekunder. Posisi daun dan umur tanaman merupakan dua komponen utama dalam menentukan status hara tanaman pada daun. Secara berurutan daun pada posisi ke5 lebih tua umurnya dari daun pada posisi ke-3 dan ke-1. Pada tanaman torbangun posisi daun ke-1, ke-3 dan ke-5 menunjukkan perbedaan konsentrasi hara N, P, K, Ca dan Fe seperti terlihat pada (Gambar 4, 5, 6, 7 dan 8). Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi daun mempengaruhi konsentrasi hara daun pada umur 3 hingga 5 bulan. Konsentrasi hara N, P, dan K nyata tinggi pada posisi daun ke-1 masing-masing sebesar 3.9, 0.42, dan 2.80% (Gambar 4, 5, dan 6), sedangkan Ca dan Fe pada posisi daun ke-5 secara berurutan yakni 187.21 dan 711.28 ppm (Gambar 7 dan 8). Posisi daun perlu diperhatikan untuk daun sampel, karena hal ini terkait dengan perubahan fungsi daun sebagai sink atau source. Daun-daun muda berfungsi sebagai sink, sehingga harus mengimpor hara-hara mineral dan fotosintat
60 dari organ lain yang berfungsi sebagai source untuk pertumbuhan dan perkembangan dalam jumlah yang banyak. Daun dewasa berfungsi sebagai source sehingga dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan mengekspor hara-hara mineral dan fotosintat ke organ-organ lain yang membutuhkan sink (Marschner 1995). Secara umum, posisi daun meningkatkan konsentrasi metabolit sekunder (aktivitas PAL, antosianin, total flavonoid dan total saponin) pada umur 3 hingga 5 bulan (Gambar 9, 10, 11, dan 12). Akan tetapi, terdapat perubahan pola grafik posisi daun pada umur 4 bulan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh perbedaan distribusi curah hujan yang berlangsung selama periode percobaan. Penurunan curah hujan meningkatkan konsentrasi metabolit sekunder. Total curah hujan pada umur 3 hingga 5 bulan secara berurutan yakni 843, 527, 419 mm bulan-1. Analisis jaringan tanaman lebih praktis dilakukan untuk mengetahui status hara pada tanaman, karena status hara pada jaringan tanaman merupakan gambaran status hara dalam tanah. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa konsentrasi suatu unsur hara merupakan hasil interaksi dari semua faktor yang mempengaruhi penyerapan unsur tersebut dari dalam tanah (Wijaya 2008). Hasil uji korelasi jaringan daun yang paling tepat sebagai bahan diagnosis status hara N, P, K, Ca dan Fe bagi produksi bobot kering dan konsentrasi metabolit sekunder pada tanaman torbangun yaitu posisi daun ke-3 umur 5 bulan, karena status hara pada daun tersebut menunjukkan hubungan yang paling baik dan secara konsisten berpengaruh terhadap produksi bobot kering daun maupun produksi metabolit sekunder. Penetapan sampel daun dari posisi daun dan pada umur tertentu pada setiap jenis tanaman yaitu lebih praktis dan ekonomis dalam aplikasinya, karena hal ini dapat menghindari kesalahan dalam pengambilan sampel daun serta dapat menekan ongkos analisis daun sampel di laboratorium (Hermanto 2012). Penelitian ini terkait pengaruh pemupukan organik terhadap pertumbuhan dan produksi metabolit tanaman torbangun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi pupuk organik dan dosis yang diberikan terhadap pertumbuhan dan produksi metabolit tanaman torbangun. Pemberian pupuk organik mampu memberikan kondisi yang lebih kondusif di daerah perakaran tanaman sehingga pertumbuhan torbangun baik. Pertumbuhan yang baik menyebabkan produksi pucuk meningkat. Data menunjukkan bobot basah dan kering pucuk pada umur 6 bulan, pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano) meningkatkan produksi bobot basah dan kering pucuk yakni secara berurutan sebesar 54.69 dan 4.8 g tanaman-1 (P <0.05). Pemberian pupuk organik menyebabkan akar berkembang dengan baik dan mampu memberikan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan akar. Akar yang tumbuh dengan baik akan mendukung pertumbuhan tajuk sehingga produksi pucuk meningkat. Pengaruh bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah terhadap pertumbuhan akar, volume akar, dan struktur tanah telah banyak dilaporkan (Lado et al. 2004, Watson & Kelsey 2006, Hakl et al. 2007, Mari & Changying 2008, Grzesiak 2009, Ahmad et al. 2009, Mualim et al. 2012). Peran utama dari pupuk organik antara lain sebagai sumber bahan organik tanah. Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah menyebabkan terjadinya granulasi agregat tanah sehingga struktur tanah menjadi stabil (Lado et al. 2004). Produksi pucuk tertinggi pada penelitian ini terjadi pada umur 6 bulan, sehingga dengan data tersebut dapat dihitung produktivitas torbangun per hektar. Telah diketahui jarak tanam yang digunakan adalah 30 cm x 30 cm, maka didapatkan populasi tanaman per hektar adalah 111.111 tanaman. Dengan
61 demikian, produktivitas torbangun adalah 6 ton pucuk segar ha-1 atau 0.53 ton pucuk kering ha-1. Pemberian kombinasi pemupukan organik nyata meningkatkan konsentrasi hara pucuk torbangun (Tabel 27, 28, 29, 30 dan 31). Pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara N (3.52%); sedangkan, pemberian (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam) meningkatkan konsentrasi hara K (2.8%) dan Ca (1.2%) pada umur 6 bulan. Pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 5.5 ton ha1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara N (3.16%), P (0.21%), K (2.35%), dan Ca (0.97%); sedangkan pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan konsentrasi hara Fe (321.5 ppm) pada umur 7 bulan. Pemberian pupuk organik tidak mempengaruhi aktivitas PAL, antosianin dan total flavonoid kecuali total saponin pada umur 6 dan 7 bulan (Tabel 32, 33, dan 34). Pada umur 6 bulan, pemberian kombinasi (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha-1 abu sekam) meningkatkan total saponin (499.4 mg saponin g-1 BK) sedangkan pada umur 7 bulan, (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano) meningkatkan total saponin (583.69 mg saponin g-1 BK). Tabel 37 menunjukkan total produksi metabolit torbangun dengan pemupukan organik. Pemberian pupuk kandang ayam memberikan produksi total flavonoid lebih tinggi 24% jika dibandingkan dengan pemberian pupuk organik yang lain. Pemberian pupuk kandang ayam + pupuk guano + abu sekam menghasilkan produksi antosianin yang lebih tinggi 29% dibandingkan dengan pemberian pupuk organik yang lain. Walaupun demikian pemberian pupuk organik memberikan produksi total flavonoid, dan antosianin yang sama. Pemberian pupuk kandang ayam + pupuk guano menghasilkan produksi aktivitas PAL dan total saponin lebih tinggi masing-masing 31 dan 29% lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemberian pupuk organik yang lain. Pemberian pupuk kandang ayam + abu sekam konsisten memberikan produksi aktivitas PAL, total flavonoid, antosianin, dan total saponin torbangun yang terendah. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk kandang ayam (sumber N), rock phosphate (sumber P), dan abu sekam (sumber K) berperan dalam menghasilkan produksi metabolit torbangun yang lebih besar. Dalam budidaya tanaman biofarmaka, peranan pupuk sangat berpengaruh terhadap kualitas tanaman obat yang akan dipanen. Efek farmakologis yang dikandung tanaman menjadi hilang atau menjadi buruk akibat pemupukan yang salah. Suplai N mempengaruhi pertumbuhan tanaman, penampilan, dan hasil tanaman. Penambahan suplai N diikuti oleh meningkatnya kandungan senyawa yang mengandung N seperti asam amino, protein dan vitamin B. Hara P dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan akar yang baik sehingga tanaman lebih tahan terhadap kekeringan dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyerap unsur hara yang menunjang pertumbuhan lebih lanjut. Unsur K mengendalikan aktivitas lebih dari 50 macam enzim di dalam tubuh tanaman akan mempengaruhi proses metabolisme tanaman sehingga dapat dipastikan akan berpengaruh pada mutu tanaman dan hasil panen (Hermanto 2012). Studi literatur dari beberapa penelitian dan pustaka menunjukkan bahwa pupuk kandang dapat digunakan sebagai sumber N, guano sebagai sumber P, dan abu sekam sebagai sumber K (Susanti et al. 2008; Mualim et al. 2009; Ekawati 2013).
62 Berikut ini disajikan data informasi nilai gizi daun torbangun dengan katuk dan tomat (Tabel 38). Berdasarkan peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.11.11.09909 (2011), suatu produk pangan dikatakan tinggi protein jika kandungan proteinnya tidak kurang dari 35% acuan label gizi per 100 g jika produk pangan tersebut berbentuk padat, dan dikatakan sebagai sumber protein jika kandungan protein tidak kurang dari 20% acuan label gizi per 100 g jika produk tersebut berbentuk padat. Produk pangan dikatakan sumber atau mengandung vitamin dan mineral apabila kandungan vitamin dan mineralnya lebih dari 15%. Dari informasi nilai gizi pada Tabel 38 dapat dikatakan bahwa nilai gizi daun torbangun untuk konsumsi pria maupun wanita memiliki fosfor, kalsium dan besi yang memenuhi kriteria sebagai produk pangan sumber mineral. Lebih lanjut lagi, berdasarkan pedoman nutrient content claim yang dikeluarkan oleh Food and Drug Administration USA (www.fda.gov), untuk menyatakan bahwa torbangun memiliki sifat antioksidan maka torbangun harus mengandung senyawa bersifat antioksidan yang telah dibuktikan secara ilmiah dan senyawa tersebut memenuhi kriteria high, good source atau more. Dengan demikian, berdasarkan kriteria yang telah dikeluarkan oleh FDA maka torbangun merupakan pangan fungsional yang high in antioxidant saponin. Oleh karena itu, berdasarkan peraturan dan kriteria yang telah dimiliki maka torbangun memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sayuran bergizi berkhasiat obat atau pangan fungsional yang lebih baik dari katuk dan tomat. Ketika dikonsumsi secara teratur maka diharapkan torbangun dapat memberikan fungsi kesehatan bagi masyarakat. Tabel 38 Informasi nilai gizi daun torbangun, katuk dan tomat per takaran saji 1 5 Kandungan per takaran saji %AKG Komposisi nilai gizi 2 2 3 Torbangun Katuk Tomat Pria Wanita Energi (kkal) 27 59 20 2625 2150 Berat dapat dimakan (%) 66 42 95 Metabolit Primer (g): Protein 1.3 6.4 1 2 2.3 Karbohidrat 4 9.9 4.2 1 1.3 Vitamin C 5.1 164 40 5.7 6.8 4 Metabolit sekunder (mg): Flavonoid 1218 Antosianin 28.4 Saponin 44299.3 4 Unsur Mineral (mg): Fosfor 170 98 27 24.3 24.3 Kalium 203 4.3 4.3 Kalsium 279 233 5 27.9 27.9 Besi 26.31 3.5 0 202.4 101.2 1 kandungan per takaran saji dalam 100 g bahan; 2Hasil penelitian Mahmud et al. (1990); 3Data Bahan Komposisi Makanan 2005; 4Hasil penelitian ini; 5AKG = angka kecukupan gizi, % AKG merujuk kepada pedoman AKG 2013 bagi orang Indonesia (www.depkes.go.id); - = tidak dirujuk dalam pedoman AKG.
63
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan: 1. Jaringan tanaman yang terbaik untuk dijadikan sampel penetapan kebutuhan hara N, P, K, Ca dan Fe adalah posisi daun ke-3 umur 5 bulan. Terdapat korelasi positif antara konsentrasi hara K dengan bobot kering daun, Ca dengan aktivitas PAL, dan Fe dengan total saponin pada posisi daun ke-3 umur 5 bulan. 2. Secara umum, pemberian kombinasi pemupukan organik tidak mempengaruhi rata-rata laju tumbuh relatif (LTR) dan laju asimilasi bersih (LAB), komponen pertumbuhan, komponen biomassa, dan komponen produksi pucuk. Pemberian kombinasi pupuk (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 5.5 ton ha-1 abu sekam) menghasilkan konsentrasi hara pucuk yang paling baik. Pemberian kombinasi pupuk (15 ton ha-1 pupuk kandang ayam + 2 ton ha-1 pupuk guano + 5.5 ton ha1 abu sekam) menghasilkan konsentrasi dan produksi metabolit sekunder saponin yang paling baik pada torbangun. Saran 1.
2.
3.
4.
5.
Sampel posisi daun dan umur tanaman yang diperoleh melalui uji korelasi dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan uji kalibrasi serta validasi pemupukan tanaman torbangun. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melaksanakan uji kalibrasi tersebut agar proses penyusunan rekomendasi pemupukan rasional yang berimbang dengan takaran optimum dapat tercapai pada tanaman torbangun. Produksi pucuk torbangun yang tinggi dapat dilakukan pemberian pupuk organik. Khusus untuk tanah jenis andisol pemberian pupuk kandang ayam + abu sekam dapat meningkatkan konsentrasi hara torbangun. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait pemberian kombinasi pupuk organik (pupuk kandang ayam + pupuk guano + abu sekam) untuk sampel daun pada posisi daun ke-3 dengan pemanenan secara berulang pada umur lebih dari 5 bulan tanaman torbangun. Penanaman torbangun dengan umur tanaman lebih dari 5 bulan serta curah hujan yang tinggi memerlukan pemeliharaan yang baik terutama sistem drainase dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Perlu dilakukan pemanenan torbangun pada musim kemarau agar dapat diperoleh perbandingan hasil dengan musim hujan.
64
DAFTAR PUSTAKA Agus
Z.
2005. Anemia gizi pada perempuan pekerja dan program penanggulangannya. Medika 31:266-268 Ahmad N, Hassan FU, Belford RK. 2009. Effect of soil compaction in the subhumid environment in Pakistan on uptake of NPK and grain yield in wheat (Triticum aestivum): I. Compaction. Field Crop Res 110:54-60. Aisyah SI, Marthin Y, Damanik MRM. 2015. Improvement of Coleus performance through mutation induction using gamma ray irradiation. J. Trop. Crop Sci. 2(1): 26-32. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Andriani E, Damanik R, Ekayanti I. 2012. Correlation of Torbangun leaves (Coleus amboinicus Lour.) powder capsules suplementation on blood pressure and cholesterol. J. Tek. Ind. Boga. 3(1):14-22. Anggorowati S, Hardiyati T, Proklamasiningsih E, Kamsiah, Dwiati M, Rochmatino, Prayoga L. 2001. Fisiologi Tumbuhan. Jakarta (ID): Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor (ID): IPB Press. Aswal BS, Goel GK. 1996. Screening of Indian plants for biological activities. Indian. Exp. Biol 34(5): 444-467. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No HK.03.1.23.11.11.09909 tentang Pengawasan Klaim dalam label dan Iklan Pangan Olahan. Jakarta (ID): BPOM RI Bakri. 2009. Komponen kimia dan fisik abu sekam padi sebagai SCM untuk pembuatan komposit semen. Jurnal Perennial 5 (1): 9-14. Beard JL. 2006. Interpretation of serum ferritin concentrations as indicators of totalbody iron stores in survey population: the role of biomarkers for acute phase response. Am J Clin Nutr 84:1498-505 Bockman OC, Kaarstad O. 1999. Agriculture Fertilizers and The Environment. Cambridge (GB): The University Press. 294. Boo H, Heo B, Gorinstein S, Chon S. 2011. Positive effects of temperature and growth conditions on enzymatic and antioxidant status in lettuce plants. Plant Sci. 181: 479-484. Brady NC. 1990. The Nature and Properties of Soils. 10th . Ed. New York (USA): Macmillan. Burkill IH. 1935. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula Crown Agents for the Colonies. London (END): Milibank. Chang CC, Yang MH, Wen HM, Chern JC. 2002. Estimation of total flavonoid content in propolis by two complementary colorimetric methods. J Food Drug Anal 10:178-182. Cheng GW, Breen PJ. 1991. Activity of phenylalanine ammonia-lyase (PAL) and concentrations of anthocyanins and phenolics in developing strawberry fruit.J. Amer. Soc. Hort. Sci. 116 (5): 865-869.
65 Crowder LV. 2006. Genetika Tumbuhan. Lilik K, penerjemah; Soetarso, editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Genetics. Cseke LJ, Lu CR, Kornfeld A, Kaufman PB, Kirakosyan A. 2006. How and what these compounds are synthesized by plants. Di dalam: Cseke LJ Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber S, Duke JA, Brielmann HL, editor Natural Products from Plants. Ed ke-2. (USA): CRC Press. p 51-100. Damanik R, Damanik N, Daulay Z, Saragih S, Premier R, Wattanapenpaiboon N, Wahlqvist ML. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus amboinicus Lour.) to increase breast milk production among Bataknese women in North Sumatera Island, Indonesia. Asia Pacific J. of Clinic. Nutr. 10 (4): S67. Damanik R, Wattanapenpaiboon N, Wahlqvist ML. 2004. The use of a putative lactagogue plant on breast milk production in Simalungun, North Sumatra, Indonesia. Asia Pacific J. of Clinic. Nutr. 16 (4): S87. Damanik R. 2005. Effect of consumption of Torbangun soup (Coleus amboinicus Lour.) on micronutrient intake of the Bataknese lactating women. Med. Gizi 29 (1): 68-75. Damanik R, Wahlqvist ML, Wattanapenpaiboon N. 2006. Lactagogue effects of Torbangun, a Bataknese traditional cuisine. Asia Pacific J. of Clinic. Nutr. 15 (2): 267-274. Damanik R. 2009. Torbangun (Coleus amboinicus Lour.): a Bataknese traditioal cuisine perceived as lactagogue by Bataknese lactating women in Simalungun, North Sumatera, Indonesia. J. of Hum. Lact. 25(1): 64-72. Dangcham S, Bowen J, Ferguson BI, Ketsa S. 2008. Effect of temperature and low oxygen on pericarp hardening of mangosten fruit stored at low temperature. Postharvest Biol Technol (50): 37-44. Devi M, Syarief H, Damanik R, Sulaeman A, Setiawan B, Dewi R. 2010. Supplementation of Torbangun leaves (Coleus amboinicus Lour.) in reducing the complainst of pre-menstrual syndrome (PMS) among teenage girls. The J. of Food and Nutr. Research, 33(2): 180-194. De Padua LS, Bunyapraphatsara N, Lemens RHMJ. 1999. Medicinal and poisonous plants 1. Plant Resources of South-East Asia: 1(12):407-408. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM). Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Bahan Obat Alam. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM). Jakarta. Donahue WG. 1961. Dur Soils and Their Management. Illonois (USA): The interstate Printed and Publication. Ekawati R. 2013. Produksi Pucuk dan Kadar Metabolit Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) dengan Pemupukan Organik dan Pemangkasan [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ekawati R, Aziz SA, Andarwulan N. 2013. Shoot, total phenolic, and anthocyanin production of Plectranthus amboinicus with organic fertilizing. Bul. Littro, 24(2): 93-100.
66 Endrizal dan Bobihoe J. 2000. Efisiensi Penggunaan Pupuk Nitrogen dengan Penggunaan Pupuk Organik pada Tanaman Padi Sawah. http://bp2tp.litbang.deptan.go.id. [23 November 2013]. Farchany SA. 2011. Pemberian Kombinasi Pupuk Organik Sebagai Pengganti Penggunaan Pupuk Anorganik pada Pertumbuhan dan Produksi Kolesom [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fathonah D, Sugiyarto. 2009. Biomassa, kadar klorofil dan nitrogen daun dua varietas cabai (Capsicum annum) pada berbagai perlakuan pemupukan. Bioteknologi. 6 (1):21-28. Garcia FO, Blanco S, Peinado MA, Peragon J. 2009. Phenylalanine ammonialyase and phenolic compounds in leaves and fruits of Olea europaea L. cv. Picual during ripening. J. the Sci. Food and Agric. 89 (3): 398-406. Gembong T. 2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Gholizadeh A. 2011. Effect of drought on the activity of phenylalanine ammonia lyase in the leaves and roots of maize inbreds. Australian J Basic Appl Sci 5:952-956. Grzesiak MT. 2009. Impact soil compaction on root architecture, leaf water status, gas exchange, and growth of maize and triticale seedlings. Plant Root 3:10-16. Hakl J, Santrucek J, Kocourkova D, Fuksa P. 2007. The effect of the soil compaction on the contents of alfalfa root reserve nutrients in relation to the stand density and the amount of root biomass. Soil & Water Res. 2 (2): 5458. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo Harsono H. 2002. Pembuatan silika amorf dari limbah sekam padi. Jurnal Ilmu Dasar 3 (2):98-103. Hartmann HT, Kester D, Davies FT. 1990. Plant Propagation : Principles and Practices Fifth Edition. New Jersey (USA): Prentice Hall. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 2005. Soil Fertility and Fertilizers : An Introduction to Nutrient Management. 7th edition. New Jersey (USA): Pearson Education, Inc.515 p. Heckman J. 2001. Leaf analysis for fruit tress. Rutgers Cooperative Research dan Extension N.J. Agricultural Experiment Station. Rutgers, The state University of New Jersey, New Brunswick. Hermanto. 2012. Diagnosis Status Hara dan Senyawa Bioaktif Asiatikosida Menggunakan Analisis Jaringan Tanaman Untuk Menyusun Rekomendasi Pemupukan serta Sistem Panen Pegagan (Centella asiatica) [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 1. Jakarta (ID). Penerjemah: Badan Litbang Kehutanan. Ibeawuchi II, Onweremadu EU, Oti NN. 2006. Effect of poultry manure on green (Amarranthus cruentus) and water leaf (Talinum triangulare) on degraded ultisols of Owerri southeastern Nigeria. J Anim Vet Adv JAVA 5:53-56. Ilyas S. dan Sugeng P. 2000. Analisis pemberian limbah pertanian abu sekam sebagai sumber silikat pada andisol dan oxisol terhadap pelepasan
67 fosfor terjerap dengan teknik perunut 32 p. Risalah Pertemuan Ilmiah Penulisan dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. Jain SK, Lata S. 1996. Unique Indigenous Amazonian Uses of Some Plants Geowing in India. IK Monitor 4(3). http: www.nuffic.nl/ciran/ikdm. [10 Oktober 2013] Jones, JB. 1998. Plant Nutrition Manual. New York (USA): CRC Press. Kaliappan ND, Viswanathan PK. 2008. Pharmacognostical studies on the leaves of Plectranthus amboinicus (Lour.) spreng. Int J Green Pharm. Vol 2(3): 182-184. Karimuna SR, Aziz SA, Melati M. 2015. Correlations between leaf nutrient content and production of metabolites in Orange Jessamine ( L. Jack) Murraya paniculata fertilized with chicken manure. J. Trop. Crop Sci. 2(1): 1625. Kasno A, Rochayati S, Prasetyo BH. 2006. Deposit, penyebaran, dan karakteristik fosfat alam. Di dalam: Kasno A, Hartatik W, editor. Fosfat Alam. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 1-21. Kasno A, Rochayati S dan Prasetyo BH. 2011. Deposit, Penyebaran dan Karakteristik Fosfat Alam. http://balittanah.litbang.deptan.go.id. [18 Juni 2014]. Kristanto BA, Kurniantono R, Widjajanto DW. 2009. Karakteristik Fotosintesis Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Aplikasi Pupuk Organik Guano. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Khattak MMAK, Taher M, Abdulrahman S, Bakar IA, Damanik R, Yahaya A. 2013. Anti-bacterial and anti-fungal activity of coleus leaves consumed as breast-milk stimulant. Nutr. & Food Scie. 43(6): 582 – 590. Khattak MMAK, Taher M, Damanik R, Abdulrahman S, Bakar IA, Yahaya A. 2013a. Torbangun (Coleus amboinicus Lour.) extracts affect microbial and fungus activities. J. of Nutr. Therapeutics. 2(4), 194-200.Kristanto B.A., R. Kurniantono, dan D.W. Widjajanto. 2009. Karakteristik Fotosintesis Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Aplikasi Pupuk Organik Guano. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Lado M, Paz A, Ben-Hur M. 2004. Organic matter and aggregate size interactions in infiltration, seal formation, and soil loss. Soil Sci. Soc. Am. J. 68: 935-942. Liferdi, Poerwanto R, Darusman LK. 2005. Perubahan Karbohidrat dan Nitrogen Empat Varietas Rambutan. J. Hort. 16(2):134-141. Mahmud, Mien K, Slamet DS, Apriyantono RR, Hermana. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. DepKes RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta. Mardisiswojo S, Rajakmangunsudarso H. 1985. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang Cetakan 1. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Mari GR, Changying J. 2008. Influence of agricultural machinery traffic on soil compaction patterns, root development, and plant growth, overview. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 3 (1): 49-62. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition in Higher Plants. New York (USA): Academic Press. 889 p. Marsono, Sigit P. 2001. Pupuk Akar, Jenis dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. 96 hal.
68 Marthin Y. 2013. Peningkatan Keragaan Coleus (Coleus sp.) Melalui Induksi Mutasi Fisik dengan Iradiasi Sinar Gamma [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Melati M, Asiah A, Rianawati D. 2008. Aplikasi pupuk organik dan residunya untuk produksi kedelai panen muda. Bul Agron 37:204-213. Mepham TB. 1987. Physiology of Lactation. Melton Keynes, Philadelphia (USA): Open University Press. Mooney PA. 1992. Citrus Nutrition-Leaf Nutrient Analysis. New Zealand (NZ): Hort research. pp.241-251. Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam pada produksi antosianin daun kolesom. J. Agron. Indonesia. 37 (1): 55-61. Mualim L, Aziz SA, Susanto S, Melati M. 2012. Aplikasi pupuk inorganik meningkatkan produksi dan kualitas pucuk kolesom pada musim hujan. J.Agron. Indonesia. 40 (2): 160-166. Mualim L. 2012. Produksi dan kualitas kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Munawaroh N. 2013. Pertumbuhan dan Produksi Daun Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) dengan Pemupukan Organik dan Pemangkasan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nadernejad N, Ahmadimoghadam A, Hosseinifard J, Pourseyedi S. 2012. Phenylalanin ammonia-lyase activity, total phenolic and flavonoid content in flowers, leaves, hulls and kernels of three pistachio (Pistacia vera L.) cultivars. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 12 (6): 807-814. Poespadarsono S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor (ID): PAU IPB. Prajonggo TS, Djatmoko W, Soenarno T, Lunardi JL. 1983. Pengaruh Sauropus androgynus (L.) Merr terhadap gambaran histologi kelenjar susu mencit betina yang menyusui. Prosiding Kongres Nasional XIISFI. Jakarta. hlm 735-739. Pramadya A, Setiawan B, Damanik R. 2010. Supplement drink formulation from Torbangun leaves (Coleus amboinicus Lour.) for premenstrual syndrome woman). Indonesia J. of Nutr. and Food. 5(2): 95 – 102. Priyadharshini J, Seran TH. 2009. Paddy husk ash as a source of potassium for growth and yield of cowpea (Vigna unguiculata L.). J Agri Sci 4:67-75. PT. Eisai. 1995. Indeks Tumbuh-tumbuhan Obat di Indonesia. PT. Eisai Indonesia. Quisumbing E. 1951. Medicinal Plants of Philipines. Manila (PH): Manila Burea of Printing. Rachim DA, Suwardi. 1999. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Bogor (ID): IPB Press. Rahadi VP. 2008. Pengaruh pupuk kandang sapi dan pupuk guano terhadap produksi kedelai (Glycine max (L.) Merr) organik panen muda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rao AV. 1996. Anticarcinogenic Properties of Plant Saponin. Second International symposium on Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease. September 1996, Brussels, Belgium
69 Reddy KR, Hodges HP, Varco J. 2000. Potassium Nutrition of Cotton. Buletin 1094. Mississippi Agricultural and Forestry Experiment Station, Mississippi State, Mississippi. Rivero RM, Ruiz JM, Garcia PC, Lopez-Lefebre LR, Sanchez E, Romero L. 2001.Resistance to cold and heat stress: accumulation of phenolic compounds in tomato and watermelon plants. Plant Sci. 160: 315-321. Rochayati S, Sutriadi MT dan Kasno A. 2011. Pemanfaatan Fosfat Alam untuk Lahan Kering Masam. http://balittanah.litbang.deptan.go.id. [18 November 2013]. Shabala S. and Pottosin, I. (2014). Regulation of potassium transport in plants under hostile conditions: implications for abiotic and biotic stress tolerance. Physiologia Plantarum, 257–279. Shamsa F, Monsef H, Ghamooshi R, Verdian-rizi M. 2008. Spectrophotometric determination of total alkaloids in some rian medicinal plants. Thai J. Pharm. Sci. 32:17-20. Siagian MH, Rahayu M. 2000. Laporan penelitian etnobotani Plecantrus ambonicus L. Spreng di daerah Batak Toba, Sumut. Makalah. Disajikan pada Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia, Surabaya. Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationship between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures and development stages. Remote Sensing Environt. 81: 337-354 Sitio J, Widodo, Barchia F. 2007. Pemanfaatan EM4 dan abu sekam padi untuk peningkatan pertumbuhan dan hasil padi surya di tanah gambut. J Akta Agrosia Ed khusus 1:36-40. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Sridhar KR, Ashwini Km, Seena S, Sreepada KS. 2006. Manure qualities of guano of insectivorous cave bat Hipposideros speoris. Tropic Subtropic Agroecosyst 6:103-110. Sunaryadi. 1999. Ekstraksi dan Isolasi Saponin Buah Lerak (Sapindus rarak) serta Pengujian Daya Defaunasinya. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Suprayogi A. 2000. Studies on The Biological Effect of Sauropus androgynus (L) Merr: Effect on Milk Production and The Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. Cuviller Verlag, Gottingen. Suriadikarta DA, Simanungkalit RDM. 2006 Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Susanti H. 2006. Produksi Biomassa dan Bahan Bioaktif Kolesom (Talinum triangulare) Pada Berbagai Asal Bibit, Dosis Pupuk Kandang Ayam, dan Komposisi Media Tanam [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Susanti H, Aziz SA, dan Melati M. 2008. Produksi biomassa dan bahan aktif kolesom (Talinum triangulare (jacq) Willd) dari berbagai asal bibit dan dosis pupuk kandang ayam. Bul. Agron. 36(1):48-55. Sutanto R. 2002. Penerapan pertanian organik: pemasyarakatan dan pengembangannya. Yogyakarta (ID): Kanisius. 219 hal.
70 Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Massachusetts (USA): Sinauer Associates, Inc, Publisher Sunderland. 690 p. Tan SC. 1980. Phenylalanine ammonia-lyase and the phenylalanine ammonialyase inactivating system: Effects of light, temperature and mineral deficiencies. Aust. J. Plant. Physiol. 7 (2): 159-167. Tisdale SL, Nelson WL. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Ed ke-3. New York (USA): Mc Millan Publishing Co., Inc. Tovar MJ, Romero MP, Girona J, Motilva MJ. 2002. L-Phenylalanine ammonialyase activity and concentration of phenolics in developing olive (Oleaeuropaea L cv Arbequina) fruit grown under different irrigation regimes. Jthe Sci. Food and Agric. 82 (8): 892-898. Urnemi. 2002. Pengaruh Pupuk Fosfor dan Pupuk Herbal Pada Tiga Taraf Naungan terhadap Pertumbuhan dan Kadar Metabolit Sekunder Tanaman Daun Jinten (Coleus amboinicus Lour.) [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Vasquez EA, Kraus W, Solsoloy AD, Rejesus BM. 2000. The use of Spices and Medicinal: Antifungal, Antibacterial, Anthelminctic, and Molluscicidal Constituents of Philipines Plants. http://www.faoorg/docrep/x2230e8. htm [10/10/2013]. Warsiki E, Damayanthy E, Damanik R. 2009. Karakteristik mutu sop daun tor bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam kemasan kaleng dan perhitungan total migrasi bahan kemasan. J. Tek. Ind. Pert. 18: 21 Waterborg JH, Matthews HR. 2002. The Lowry method for protein quantitation. p. 7-9. In J.M. Walker (Eds .). The Protein Protocols Handbook 2 Ed. New Jersey (USA): Humana Press Inc. Watson GW, Kelsey P. 2006. The impact of soil compaction on soil aeration and fine root density of Quercus palustris. Urban Forestry & Urban Greening. 4: 69-74. Wijaya KA. 2008. Nutrisi Tanaman Sebagai Penentu Kualitas Hasil dan Resistensi Alami Tanaman. Jakarta (ID): Prestasi Pustaka Publisher Wijayakusuma MH, Dalimartha S dan Wirian AS. 1998. Tanaman Berkasiat Obat di Indonesia Vol 4. Jakarta (ID): Pustaka Kartini. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Yuliarti N. 2009. 1001 Cara Menghasilkan Pupuk Organik. Yogyakarta (ID): Lily Publisher. 70 hal. Yusuf A.F. 2010. Potensi guano phosphate Madura. http://guanophospat.blogspot.com/2010/10/potensiguanophosphatema dura.html#more. [14 Desember 2013].
71
LAMPIRAN
72 Lampiran 1 Persiapan contoh untuk analisis protein dan aktivitas enzim (Dangcham et al. 2008) Pucuk torbangun (0.25 g) ditambahkan buffer ekstrak (2.5 ml; 100 mmol/L Tris-HCl, pH 7.5; 1 mmol/L EDTA; 5 mmol/L MgCl, 0.05% Triton X100;2.5 mmol/L dithiothreitol) dan dihaluskan menggunakan mortar. Selanjutnya, campuran disentrifugasi dua kali masing-masing dengan kecepatan 4500 x g (10 menit) dan 15 000 x g (4 °C, 15 menit) untuk mendapatkan supernatan. Lampiran 2 Analisis protein (metode Waterborg 2002) Supernatan (0.1 ml) alikuot ditambahkan air destilata sampai 1 ml. Selanjutnya, campuran tersebut ditambahkan 0.9 ml pereaksi A (7 mM K-Na Tartrate.4H2O (Garam Rochelle); 0.81M Na2CO3 dalam 500 ml NaOH 1 N; HOsampai 1 L bisa tahan 2-3 bulan); kocok dengan vortex kemudian inkubasi (50 °C,10 menit). Campuran kemudian didinginkan pada suhu ruang, kemudiantambahkan pereaksi B (0.1 ml; 70 mM K-Na Tartrate.4H2O; 40 mM CuSOO dalam 10 ml NaOH 1 N; H2O sampai 100 ml); kocok dan inkubasi pada suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan pereaksi C (3 ml; 1 ml Folin-Ciocalteau dilarutkan dengan 15 ml HO); kocok dan inkubasi (50 °C, 10 menit). Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 650 nm. Protein (µg/g = A x (B/Wt) x fp; A = protein dalam ekstrak (µg/ml), B = volume ekstrak (ml), Wt = bobot contoh (g), fp = faktor pengenceran). Standar Bouvine Serum Albumin (BSA) 0200 mg/l (Sigma Aldrich). Persamaan kurva standar yang digunakan adalah y = 293.0 x – 9.96 (R2 = 0.99). Lampiran 3 Analisis aktivitas PAL (Dangcham et al. 2008) Supernatan (0.1 ml) ditambahkan larutan L-Phe [2.4 ml; 0.5 M Tris-HCl buffer (pH 8.5) yang mengandung 6 µM L-Phenylalanine]; kemudian diinkubasi (37 °C, 60 menit). Hasil inkubasi ditambahkan HCl (0.5 ml; 5 M). Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 290 nm. Persamaan kurva standar yang digunakan adalah y = 8.38 x + 1.69 (R2 = 0.99). Lampiran 4 Analisis konsentrasi antosianin (Sims dan Gamon 2002) Contoh daun segar torbangun (0.02 g) lalu ditambahkan dengan asetris (2 ml), dan disentrifus (14000 rpm, 10 menit). Selanjutnya, supernatant (1 ml) ditambahkan dengan asetris (3 ml) dan dicampur rata. Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 663, 647, dan 537 nm. Konsentrasi total antosianin (µmol/g) = [(0.08173 x Abs 537) - (0.00697 x Abs 647) – (0.002228 x Abs 663) x fp x v)]/bobot basah daun x100. Abs=nilai absorban pada panjang gelombang λ, fp = faktor pengenceran, v= volume. Lampiran 5 Persiapan contoh untuk analisis konsentrasi total flavonoid Daun torbangun yang telah dipanen dicuci bersih dengan air mengalir lalu ditiriskan, kemudian segera disimpan dalam freeze (-20oC, 1x24 jam. Selanjutnya,
73 daun torbangun beku dikeringkan menggunakan oven ( ± 2x24 jam, (60oC). Daun torbangun yang telah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk halus. Ekstraksi dilakukan dengan menimbang serbuk torbangun sebanyak 0.1 g yang diekstrak dalam 5 ml metanol dan dipanaskan (60oC, 60 menit). Selanjutnya, campuran tersebut dipisahkan fase cair dan padat menggunakan sentrifus (4500 x g, 10 menit). Hasil berupa supernatan (ekstrak cair) kemudian digunakan untuk analisis konsentrasi total flavonoid. Lampiran 6 Analisis kandungan total flavonoid (metode aluminium chloride colorimetric, Chang et al. (2002) dengan sedikit modifikasi) Prosedur analisis dilakukan dengan mengambil ekstrak cair torbangun (0.1 ml) kemudian secara terpisah berturut-turut ditambahkan etanol (1.9 ml), aluminium klorida (0.1 ml, 10 %), potasium asetat (0.1 ml, 1 M), air destilata (2.8 ml), dan divorteks. Setelah inkubasi pada suhu ruang (27°C) selama 30 menit, absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 415 nm menggunakan spektrofotometer. Blanko menggunakan aluminium klorida 10 % yang disubstitusi dengan air destilata dalam jumlah yang sama. Kurva standar dibuat menggunakan 0-400 mg/l kuersetin dalam metanol (y = 679.2 x + 21.49, R = 0.99) . Hasilnya dinyatakan sebagai miligram ekuivalen kuersetin per gram bobot kering (mg kuersetin/g BK). Lampiran 7 Analisis konsentrasi total saponin menurut metode Fathonah dan Sugiyarto (2009) yang telah dimodifikasi Analisis konsentrasi saponin dengan metode spektrofotometer-UV dengan langkah sebagai berikut: 0.1 g contoh serbuk halus dari hasil pengeringan freeze dryer dilarutkan dalam etanol (10 ml, 70%) dalam tabung reaksi. Serbuk tersebut diekstraksi di atas penangas air (80oC, 15 menit). Selanjutnya, dipisahkan fase cair dan padat menggunakan sentrifus (4500 x g, 10 menit). Hasil berupa supernatan (ekstrak cair) kemudian digunakan untuk analisis konsentrasi total saponin. Supernatan (1 ml) ditambahkan asam asetat (CH3COOH, 3 ml) dan asam sulfat (H2SO4, 2 ml), kemudian didinginkan pada suhu ruang selama 5 menit, lalu divorteks. Tahap pembuatan kurva standar yaitu dengan cara membuat larutan standar Saponin Merck dengan konsentrasi 2.5;5.0;7.5 dan 10 ppm dalam etanol. Absorbansi dari hasil ekstraksi diukur dengan spektrofotometer-UV pada panjang gelombang 365 nm sehingga diperoleh kurva standar saponin.
74 Lampiran 8 Analisis konsentrasi N-tot menurut metode Kjehdal
500 g tanah atau 0.2 g tanaman labu kjeldahl 25 ml
+ 1.9 g campuran Se, CuSO4 dan NaSO4 + 5 ml H2SO4 pekat + 5 tetes parafin cair
0
Pemanasan ± 200 C dalam ruang asam hingga diperoleh cairan yang berwarna terang (hijau-biru) selama 15 menit
Pindahkan ke dalam labu distalasi. Sambil dibilas dengan air 100-150 ml, goyangkan sebentar kemudian + 5 ml NaOH 50%
Distalasi tampung dalam Erlenmeyer 125 ml yang telah berisi campuran 10 ml H3BO3 4% dan 5 tetes indikator Conway. Distalasi berlangsung hingga kira-kira mencapai 100 ml.
Hasil distalasi dititrasi dengan HCl 0.0474 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau ke merah muda
75 Lampiran 9 Analisis konsentrasi P dan K menurut metode pengabuan kering
1 g contoh diabukan pada suhu 0 50 C selama 2 jam, dinginkan
Kemudian + 5 tetes HCl (37%) 3x 0 diatas hot plate (70 C) + 10 ml HCl 1 N aduk dan saring
Hasil saringan pipet 1 ml tera labu ukur 50 ml
Kalium
Fosfor
1 ml contoh encerkan jadi 10 ml
1 ml contoh encerkan jadi 5 ml + 5 ml PB + 5 tetes PC
Flame fotometer Spektrofotometer λ 660 nm
Penentuan konsentrasi P dan K menggunakan metode pengabuan kering. Konsentrasi P diukur dengan Spectrophotometer UV-VIS dan K diukur dengan Flamephotometer.
76 Lampiran 10 Analisis konsentrasi kalsium (Ca) menurut metode Atomic Absorbsion Spectrophotometry (AAS) (Apriyantono et al 1989) Preparasi sampel torbangun untuk konsentrasi kalsium dilakukan dengan menggunakan pengabuan basah. Sampel yang mengandung 5-10 gram padatan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal. Lalu ditambahkan larutan H2SO4 sebanyak 10 ml dan HNO3 10 ml. Larutan kemudian dipanaskan sampai tidak berwarna gelap dan ditambahkan 10 ml aquades sampai larutan tidak berwarna atau berwarna kuning jernih, lalu panaskan kembali sampai berasap. Larutan dibiarkan sampai dingin kembali dan tambahkan 5 ml aquades, didihkan sampai berasap. Larutan disaring dengan kertas whatman 42 kemudian dibaca dengan menggunakan AAS. Konsentrasi Ca = (a-b) x v 10 x W Keterangan: a = Konsentrasi larutan Blanko (mg/ml) b = Konsentrasi larutan Sampel (mg/ml) v = Volume Ekstrak w = Berat Sampel Lampiran 11 Analisis konsentrasi Zat Besi (Fe) menurut metode Atomic Absorbsion Spectrophotometry (AAS) (Apriyantono et al 1989) Preparasi sampel torbangun untuk penetapan konsentrasi zat besi dilakukan dengan pengabuan basah. Sampel ditambahkan sebanyak ± 0,2 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 dan 10 ml HNI3, dipanaskan perlahan-lahan sampai larutan tidak berwarna gelap lagi (semua zat organik telah teroksidasi), kemudian ditambahkan aquades hingga tidak berwarna atau menjadi berwarna kuning jernih, dan didihkan sampai berasap. Setelah itu didinginkan dan diencerkan dalam labu takar 100 ml sampai tanda tera, blanko dipersiapkan seperti proses diatas dan juga larutan stadart zat besi. Zat besi =(abs sampel-abs blanko) x fp x 100% x 1000 ppm Mg sampel
77
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 26 Maret 1989 sebagai anak kedua dari pasangan Sujana dan Ninih Hernih. Penulis menamatkan jenjang pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri Pasawahan VI pada tahun 2001, kemudian menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 11 Bandung tahun 2004. Kemudian, penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 11 Bandung pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menempuh pendidikan sarjana melalui jalur USMI (Ujian Saringan Masuk IPB) di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 2011. Pada 2012, penulis mendapatkan kesempatan magang selama satu tahun di perusahaan Sakata Seed America, Inc., Florida, Amerika Serikat. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Agronomi dan Hortikultura pada Program Pascasarjana IPB dan pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan magang selama satu tahun di Fakultas Pertanian IPB. Pada tahun 2014, penulis mengikuti berbagai program kegiatan internasional diantaranya Summer Course Ibaraki University, Jepang dan IPB selama satu minggu di Indonesia, kemudian program pertukaran pelajar beasiswa Erasmus Mundus program EXPERTS III 2nd-Cohort selama 10 bulan di Universidad De Santiago De Compostela (USC), Spanyol dan pada tahun yang sama penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan Bakrie Center Foundation melalui program Bakrie Graduate Fellowship. Penulis menamatkan program pascasarjana pada tahun 2015.