1 HAM DALAM DUA TRADISI
( Refleksi Perbandingan HAM Barat dan Islam ) Dedy Sumardi 1
Abstrak Pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia sebagai hak paling kodrati melahirkan dua pandangan berbeda dalam menilai kapasitas hak kodrati, yaitu antrophosentris dan theosentris. Paham antrophosentris dianut oleh dunia Barat lebih mengagungkan otoritas manusia sebagai pemilik hak dan menafikan dimensi ketuhanan. Menurut pahaman hak kodrati sebagai refleksi identitas kemanusiaan lahir melalui proses alamiah sejak manusia dilahirkan kedunia. Sedangkan paham theosentris berasal dari dunia Islam, menilai hak kodrati sebagai anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia. Paham ini mengakui dimensi ketuhanan sebagai Pencipta memiliki otoritas mutlak dalam pemberian hak kodrati kepada setiap manusia. Hak asasi manusia merupakan ajaran universal menunut setiap orang baik kapasitasnya sebagai penguasa maupun masyarakat sipil berhak memberi perlakuan dan perlindungan terhadap hak asasi tanpa ada upaya diskriminasi atas dasar agama, jenis kelamin, suku bangsa, ras dan warna kulit.
Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Maqasid al-Syari'ah Pendahuluan Pada dasarnya manusia memiliki hak paling mendasar –lazimnya– disebut sebagai hak asasi manusia, yaitu hak yang melekat pada diri masing-masing manusia melalui proses alamiah sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri. 2 Hak-hak kodrati ini haruslah mendapat perlindungan secara utuh tanpa ada seorang pun dapat melanggarnya. Hak asasi 1
Penulis adalah alumni Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
2
Beragam definisi hak asasi manusia yang dikemukakan oleh para ahli –pada dasarnya– memiliki makna yang sama. Seperti definisi yang dikemukakan oleh Jan Materson dari Komisi HAM PBB menyatakan bahwa hak asasi adalah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Rumusan definisi hak asasi manusia ini tercantum dalam ABC, Teaching Human Rights, United Nations, hlm. 5 adalah Human rights ould be generally defined as those rights which are inherent ini our nature and without which we can not lives as human being. Menurut Baharuddin Lopa kalimat we can not lives as human being (mustahil kita dapat hidup sebagai manusia) lebih tepat diartikan "mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab." Penambahan kata "bertanggung jawab" menunjukkan bahwa manusia selain memiliki hak, ia juga dapat mempertanggungjawabkan atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Baharuddin Lopa, Al-Qur'an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 1. Selanjutnya kalimat hak-hak asasi manusia disingkat menjadi HAM.
2 ini adalah refleksi dari identitas kemanusiaan, tanpa hak asasi ini akan menjadi tidak berarti bahkan mustahil terwujudnya kesempurnaan hidup manusia. Terkait dengan hak kodrati yang ada pada setiap manusia telah menimbulkan polemik di era sekarang ini terutama di seputar "otoritas pemberian hak-hak kodrati." Pertanyaan yang sering diajukan adalah siapakah yang memberi hak kodrati tersebut. Menanggapi persoalan ini –secara umum– terdapat dua pandangan pemikiran yang membicarakan masalah ini. Pertama, merupakan pandangan yang mewakili dunia Islam mengatakan bahwa hak asasi telah ada sejak manusia dilahirkan hingga meninggal dunia. Hak kodrati merupakan anugerah Tuhan yang diberikan-Nya kepada semua umat manusia bersifat universal. Di satu sisi keuniversalan hak asasi ini menganut ajaran bahwa semua manusia diciptakan Allah dengan dilengkapi seperangkat kapasitas berupa potensi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. 3 Di samping itu juga manusia sebagai hamba Allah mempunyai beban tanggung jawab dalam mengembankan tugas-tugas yang telah diamanahkan kepadanya selaku khalifah Allah di muka bumi. 4 Sebagai konsekuensi logis dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa manusia dihadapkan kepada dua tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjalankan amanah Allah selaku hamba-Nya dan sekaligus bertanggung jawab sebagai penentu kebijakan dan pengatur kehidupan. Bahkan al-Qur'an dan Sunnah berfungsi sebagai transformasi dari kualitas kesadaran manusia mengarahkan manusia untuk dapat mewujudkan keshalehan
Ibid., hlm. 17.
3 4
Sayyid Abu al-A‘la al-Maududi “Syari’ah dan Hak Asasi Manusia” dalam Harun Nasution dan Bachtiar Effendi (peny.), Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 171.
3 individual dan kesalehan sosial sesuai dengan kesadaran dan kepatuhan kepada Allah. Pandangan seperti ini –dalam istilah ilmu-ilmu sosial– disebut paham theosentris. 5 Manusia dituntut untuk hidup dan bekerja keras dengan penuh kesadaran bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada kehendak Allah dan mengakui hak-hak yang dimilikinya sebagai sebuah kewajiban dalam rangka kepatuhan kepada-Nya. 6 Penolakan terhadap HAM sama halnya dengan penafian terhadap nilai fitri yang merupakan anugerah sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an. Dalam konteks ini mengamalkan ajaran agama baik dalam bentuk aspek ibadah maupun aspek moral termasuk salah satu dari implementasi menjunjung tinggi nilai-nilai fitri sekaligus menegakkan HAM. Kedua pandangan yang menyatakan bahwa hak yang melekat pada diri manusia bukan berasal dari Sang Pencipta melainkan ditentukan oleh aturan-aturan publik demi tercapainya perdamaian dan keamanan semesta alam. Bagi dunia Barat, penghargaan terhadap individu lebih dikedepankan dimana ia menjadi bagian dari proses pembentukan watak manusia sehingga dapat diselaraskan dengan keberadaan manusia itu sendiri yang relatif dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. 7 Dalam literatur Barat pertumbuhan ide HAM tidak lain adalah hasil perjuangan kelas sosail tertentu dalam masyarakat Barat yang menuntut tegaknya nilai-nlai dasar
Theosentris adalah paham yang menganut pandangan segala aktivitas manusia mengandung aspek ketuhanan dan manusia hidup semata-mata adalah untuk mengabdi kepada-nya. Eggi Sujana, HAM dalam Pespektif Islam: Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), hlm. 9. 5
Wahyu M. S., Wawasan Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1986), hlm. 106.
6 7
Jean Claude Vatin “Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam” dalam Harun Nasution dan Bachtiar Effendi (peny.), Hak Asasi Manusia Dalam Islam…, hlm. 110.
4 kebebasan dan persamaan dalam sistem soaial dan untuk mencapai itu paham kedaulatan rakyat harus menjadi pegangan dalam sistem perpolitikan dunia Barat. Itulah sebabnya sebagaimana dikatakan James W. Nickel, sisi universalitas HAM lebih ditekankan pada fungsinya untuk mencegah warga negara menjadi objek penindasan. 8 Mereka tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa memiliki hak yang dapat dituntut. Pemahaman kedua ini disebut aliran yang menganut paham antroposentris, 9 di mana manusia dijadikan ukuran terhadap gejala sesuatu dan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan HAM. Oleh karena itu nilai-nilai utama dari kebudayaan Barat seperti demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat pendukung tegaknya HAM lebih berorientasi kepada penghargaan terhadap manusia. Manyadari akan hal tersebut, gagasan tentang HAM –diakui atau tidak– ia terkait dengan persoalan hak-hak tertentu yang dimiliki setiap manusia tanpa melihat perbedaan suku bangsa, agama, jenis kelamin, status sosial, pekerjaan, kekayaan atau karakteristik etnis, budaya dan perbedaan sosial lainnya. 10 Asumsi seperti ini berawal dari ditemukannya teori hukum alam yang dalam perkembangan selanjutnya diperluas menjadi hak-hak alamiah manusia.
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 35. 8
Antroposentris berasal dari bahasa Yunani; anthropikos dari anthropos berarti manusia. Dalam kajian filsafat antroposentris memiliki beberapa arti yaitu: pertama pandangan yang mempertahankan bahwa manusia merupakan pusat dan tujuan akhir dari alam semesta. Kedua, nilai-nilai manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam semsta dan alam semesta mempengaruhi secara tahap demi tahap mendukung nilainilai itu. Ketiga, keyakinan bahwa relaitas dapat dijadikan secara tepat hanya atas dasar bentuk-bentuk pengalaman subjektif manusia. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 60-61. 9
10
A.J.M. Milne, Human Rights and Human Diversity, (London: Macmillan, 1986), hlm.1.
5 Pemaknaan konsep HAM seperti dirumuskan oleh dunia Barat ini –dalam pandangan Alwi Shihab– menunjukkan HAM yang berkembang di Barat semata-mata hanya menempatkan manusia dalam suatu setting yang terpisah dengan Tuhan (devided God) dimana hubungannya tidak disebutkan sama sekali. 11 Hak asasi manusia dinilai sebagai perolehan alamiah sejak lahir. Sedangkan dalam ajaran Islam HAM merupakan anugerah yang diberikan Tuhan sehingga setiap individu merasa bertanggung jawab kepada Tuhan. 12 Perbedaan pandangan tentang eksistensi manusia, hak-haknya, hingga tugas dan fungsi manusia hidup di bumi inilah penyebab utama memicu konflik antara dunia Barat dengan dunia Islam. Di dunia Barat konsep HAM dituangkan dalam bentuk pasal-pasal Deklarasi Universal HAM (DUHAM, Universal Declaration of Human Right/UDHR) yang diproklamirkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 217A (111) pada tanggal 10 Desember 1948 berserta berbagai konvonen dan perjanian yang disepakati oleh semua bangsa dannegara di dunia sebagai dasar pelaksanaan umum HAM yang relevan dengan berbagai hak dan substansi HAM. Sebagai penyeimbang konsep HAM Barat, dunia Islam juga merumuskan konsep HAM-nya yang dideklarasikan di Kairo pada tanggal 5 Agustus 1990 dengan sebutan Deklarasi Kairo (The Cairo Declaration on Human Right in Islam) oleh negara-negara yang tergabung dalam
OKI, Organisasi Konferensi Islam
(Organization of the Islamic Conference).
11
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998),
hlm. 179. Eggi Sudjana, HAM Dalam Perspektif Islam: Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), hlm. 4. 12
6 Fenomena di atas melahirkan problem krusial yang terjadi di bidang hukum publik terutama masalah HAM. Kesulitan ini terletak pada bagaimana mempertemukan konsep HAM Barat yang notabene sekuler telah tumbuh dan berkembang di negara bangsa modern dengan konsep HAM Islam. Ironisnya masing-masing konsep HAM tersebut mempunyai dasar legitimasi yang kuat. Di pihak Barat dasarnya adalah konsensus masyarakat dunia melalui Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB, dan di pihak Islam dasarnya adalah kitab suci dan sunnah Nabi. Untuk mencari penyesuaian dari ketimpangan di atas, an-Na'im mencoba menawarkan solusi alternatif penyesuaian problem krusial tersebut dengan mengajukan konsep HAM-nya sehingga dapat menetralisir perbedaan pandangan antara dunia Barat dan Islam.
HAM Perspektif Barat Satu hal yang harus dipertegas dalam kajian hak-hak asasi manusia di dunia Barat adalah persoalan universalitas, dalam arti menyeluruh bagi umat manusia, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, atau kaya dan miskin. Semua itu menjadi hak otoritas bagi manusia tanpa mempertimbangkan segi-segi lainnya. Keyakinan seperti ini menempatkan HAM sebagai bagian terpenting dalam kehidupan dimana hubungan antara penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dengan perdamaian bangsa-bangsa relatif sangat erat. Itulah sebabnya James W Nickel mengatakan bahwa aspek universalitas HAM lebih terletak pada fungsinya untuk mencegah warga negara menjadi objek penindasan. Mereka tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa memiliki hak
7 yang dapat dituntut. 13 Bahkan menurut Forsythe, sisi universalitas ini menjadi tolak ukur terutama jika diimplementasi dalam relaitas kehidupan demi terwujudnya keadilan, kemerdekaan dan perdamaian dunia. 14 Pandangan seperti di atas berawal dari sebuah teori kodrati manusia bahwa bagi dunia Barat walau bagaimanapun, mereka berkeyakinan pola tingkah laku manusia hanya ditentukan oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas yang mencukupi untuk tercapainya aturan-aturan publik yang aman dan perdamaian semesta. 15 David Weissbrodt mengatakan sifat kodrati hak-hak asasi manusia terkait dengan teori sekuler tentang filsafat hukum alam (kodrati) diterima para filosof Masa Pencerahan. Melalui teori ini diperluas cakupannya hingga mencapai kesepakatan luas tentang hak-hak alamiah manusia, dimana setiap individu manusia sejak lahir membawa hak-hak asasi tertentu dalam dirinya sendiri yang tidak dapat dihilangkan oleh siapa pun. 16 Hak asasi manusia dinilai sebagai perolehan alamiah sejak kelahiran, dimana manusia merupakan pemilik hak-hak dasar sepenuhnya. ukuran terhadap gejala sesuatu. Pandangan seperti ini disebut dengan istilah anthroposentris. Dalam realitas sejarahnya, pertumbuhan ide HAM adalah hasil dari perjuangan kelas sosial tertentu dalam masyarakat Barat yang menuntut tegaknya nilai dasar kebebasan dan persamaan dalam sistem sosial dan untuk mencapai nilai dasar tersebut paham
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 7. 13
14
Forsythe , 1993, hlm. 331
M.I. Patwaridalam Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law, (New Delhi: Jamia Nagar, 1993), hlm. 62. 15
16
David Weissbrodt "Hak-Hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Perspektif Kesejarahan" dalam Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, terj. Kholiq Imron, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 2.
8 kedaulatan rakyat menjadi pegangan dalam sistem politik. Secara kronologis, perjuangan untuk me-legal-formal-kan konsep hak-hak alami ini ke dalam sebuah aturan dituangkan dalam beberapa piagam penghargaan. David Weissbrodt membagi sejarah pertumbuhan ke dalam lima periode. 17 Periode pertama yaitu sebelum terjadi perang dunia II. Periode ini adalah awal lahirnya embrio tuntutan menuju terbentuknya formulasi HAM universal yang berlaku secara internasional. Norma-norma HAM masih terbatas pada beberapa aspek dan masih "bersifat lokal" dalam arti hanya berlaku pada wilayah negara tertentu sebagaimana tercermin dalam beberapa aturan tertulis sepert Piagam Agung (Magna Charta, 1215) berisi beberapa hak yang diberikan Raja Inggris kepada para bangsawan sekaligus mengurangi kekuasaannya sebagai raja. Melalui piagam ini melahirkan doktrin bahwa raja tidak kebal hukum dan harus mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahan kepada parlemennya. Kemudian melalui revolusi hak berdarah atas pemerintahan Raja James II, parlemen Inggris melahirkan Undang-Undang Hak tahun 1689. Undang-Undang ini berisi tentang persamaan hak manusia di depan hukum (equality before the law) memberi dorongan kuat munculnya supremasi negara hukum dan demokrasi. Di samping itu juga di Amerika dideklarasikan The American Deklaration of Independence yang dirumuskan oleh rakyat Amerika pada tahun 1769. Deklarasi ini menegaskan bahwa manusia merdeka sejak dalam perut ibunya dan tidak wajarlah jika ia dibelenggu. Dua puluh tahun berikutnya hal yang sama juga terjadi di Perancis dengan terbentuknya Declaration of The Rights of Man and of The Citizen atau The French Declaration pada tahun 1789 mengenai hak-hak kewarganegaraan bagi rakyat Perancis. Di 17
Ibid., hlm. 1-30.
9 sini berisi larangan penangkapan dan penahanan semena-mena tanpa alasan yang sah yang dikelurkan oleh pejabat berwenang. Selanjutnya kurun abad ke-19 Presiden Amerika Serikat Roosevelt mengeluarkan The Four Freedom (Empat Kebebasan) pada tanggal 6 Januari 1941 berisi tentang kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama pemeluknya, kebebasan dari kemiskinan dan ketakutan. Periode kedua adalah periode kelahiran HAM yang bersifat universal dan dinyatakan berlaku secara internasional (setidaknya meliputi 50 negara yang menyepakati deklarasi HAM). Pada masa ini ditandai oleh lahirnya Universal Declaration of Human Rights setelah Perang Dunia II tepatnya tanggal 10 Desember 1948. Formulasi HAM pada masa awal kelahirannya ini lebih diwarnai oleh hak-hak hukum dan politik, seperti hak untuk hidup, untuk tidak menjadi budak atau diperbudak, tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaan di hadapan hukum, dan hak praduga tak bersalah. Hal ini dapat dipahami sebagai akibat dari kehidupan kenegaraan yang totaliter dan fasis pada tahun-tahun menjelang Perang Dunia II, selain dipengaruhi juga oleh adanya tuntutan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan tertib hukum. Perode ketiga adalah periode perkembangan HAM universal tahap kedua yang berkehendak memperluas cakupan HAM dari sekedar melliputi hak hukum dan politik. Periode ini ditandai oleh lahirnya dua perjanjian (covenant), yaitu International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International on Civil and Political Rights pada tahun 1966. Lahirnya dua kovenan ini sebagai tuntutan masyarakat dunia terutama negara dunia ketiga untuk memberi perhatian pada masalah sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Karena itu konsep HAM secara eksplisit merumuskan hak-hak tersebut.
10 Setelah kelahiran dua kovenan di atas, perhatian HAM lebih terfokus pada masalah sosial, ekonomi dan budaya. Sedangkan masalah hukum dan politik menjadi terabaikan. Akibatnya timbul ketidakseimbangan dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, seperti merosotnya kehidupan hukum dan pengekangan politik secara berlebihan. Periode keempat adalah periode perkembangan HAM universal tahap ketiga yang ingin berusaha menutupi kelemahan-kelemahan yang ada pada fase sebelumnya. Pada periode ini formula HAM dimaknai secara lebih utuh dan komprehensif dibanding sebelumnya.
Hal
ini
dilakukan
setelah
menyadari
berbagai
kesenjangan
dan
ketidakseimbangan perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya karena terpisah atau kurang perhatian pada bidang hukum, dengan segala dampak yang ditimbulkannya. Paradigma baru yang mewarnai konsep dan implementasi HAM pada fase ini adalah mengintegrasikan berbagai hak tersebut dengan pembangunan (The Rights of Development), yang diajukan oleh Komisi Keadilan Internasional (International Comission of Justice). Perlu pula dikemukakan bahwa HAM pada fase ini mengalami perkembangan yang pesat. Namun sejalan dengan itu, paradigma pembangunan dengan ekonomi sebagai prioritas utamanya telah menimbulkan dampak negatif berupa pelanggaran hak-hak rakyat, pengabaian kesejahteraan dan kebutuhan rakyat sebagai akibat terlalu kuatnya sektor negara (top-down approach). Periode kelima merupakan periode yang menghendaki adanya "kewajiban asasi" menyertai "hak asasi" yang telah berkembang sebelumnya. Periode ini ditandai oleh lahirnya Declaration of The Basic Duties of Asia People and Government yang dipelopori oleh negara-negara dikawasan Asia pada 1983. Deklarasi ini lebih menekankan pada kewajiban asasi daripada sekadar hak asasi manusia, yang berarti adanya penekanan yang
11 kuat pada keharusan dan melindungi dan memperjuangkan HAM, bukan sebatas tuntutan pemenuhan dan perolehan hak. Kehadiran deklarasi ini diharapkan dapat mendorong kesadaran imperatif dari negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak rakyatnya, sehingga HAM bukan sekadar urusan orang perorangan melainkan sekaligus tugas dan kewajiban negara untuk menegakkannya. Uraian di atas terutama di periode pertama menunjukkan kelima deklarasi yang dicetuskan pada periode ini dapat dikatakan masih bersifat lokal dan berlaku khusus pada wilayah dimana aturan tersebut dibuat dan dideklarasikan. Demikian pula dengan beberapa hak-hak asasi masih terbatas pada masalah seperti yang diutarakan di atas. Baru pada periode ketiga tejadi perkembangan ruang lingkup nilai-nilai universal HAM meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum. Meluasnya cakupan nilai-nilai universal HAM tidak berarti dapat meredam berbagai ketimpangan. Ketimpangan ini masih dirasakan oleh masyarkat dunia terkait dengan keseriusan pelaksanaan kewajiban. Pertimbangan demikian sangat beralasan mengingat setelah terpenuhinya tuntutan hak maka perlu dirumuskan pula kewajiban asasi manusia yang menjadi wewenang dan tanggung jawab negara. Hubungan keduanya antara hak dan kewajiban ibarat dua sisi dari satu mata uang dimana satu sama lainnya merupakan satu kesatuan utuh yang menjadi sulit dan bahkan mustahil untuk dipisahkan. Berbagai produk yang dihasilkan dari konsep HAM di atas adalah bagian dari perjalanan panjang umat manusia, yang masih dan akan terus berlangsung untuk mencari rumusan –apa yang diistilahkan– Partha Chatterjee yaitu universalitas baru (new
12 universality). 18 Kendatipun kekuatannya tidak mengikat secara hukum, Deklarasi HAM PBB di atas jelas merupakan standar HAM paling penting yang diterima oleh sebuah organisasi internasional. Dewasa ini pemahaman terhadap konsep HAM lebih diilhami dari deklarasi HAM yang ditetapkan oleh PBB dan dua perjanjian setelahnya yaitu International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International on Civil and Political Rights pada tahun 1966. Padahal konsep HAM PBB ini jika dirunut sejarah kelahirannya baru dapat dikatakan menjadi tonggak penting di saat kegelisahan umat manusia menjadi traumatik terhadap perang Dunia I dan II. Keseluruhan wacana HAM seperti mengenai bagaimana memperlakukan para pengungsi, kelompok minoritas, para tawanan perang, kaum buruh, anak-anak dan kaum perempuan tergolong dalam bingkai paham sekularisme yang memisahkan agama dan negara. Keterlibatan agama dalam persoalan ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai universalitas HAM. Sebagai contoh dalam pasal 18 atas dasar kehendak bebas seseorang, agama tidak memiliki kewenangan untuk melarang memaksa seseorang terhadap hukum, melainkan otoritas negara. Sebab hukum harus ditegakkan secara merata tanpa mempedulikan agama yang dianut seseorang. Persoalan lain yang masih menyisakan "perdebatan tak kunjung usai" dan tergolong ke dalam pelanggaran HAM seperti masalah perbudakan, hak-hak perempuan dan non muslim dibanding dengan laki-laki muslim, hukuman fisik (hudud, qisas)–cenderung dianggap menghina dan merendahkan martabat manusia. Uraian lebih lanjut bagaimana 18
Dikutip dalam Edward W. Said "Nationalism, Human Rights, and Interpretation" dalam Barbara Johnson (ed.), Freedom and Interpretation: The Oxford Amnesty Lectures 1992, (New York: Basic School, 1993), hal. 261-341. Lihat juga Ihsan Ali Fauzi "Ketika Dalil Menjadi Dalih; Islam dan Masalah Universalitas HAM" dalam Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 421.
13 sesungguhnya pandangan syari'ah terhadap persoalan ini akan dijelaskan ketika membahas implikasi hudud dalam norma-norma HAM bersamaan dengan contoh-contoh kasus yang akan dikemukakan.
HAM Perspektif Islam Dalam Islam kesadaran akan hak yang melekat pada diri manusia adalah anugerah Allah yang diberikan kepada umat manusia tanpa membedakan stratifikasi sosial seperti jenis kelamain, ras, suku bangsa, warna kulit dan agama. 19 Manusia diberi tempat terhormat dalam kedudukan sebagai makhluk mulia di sisi-Nya. Ini dapat dijumpai dalam sejumlah ayat al-Qur'an maupun hadith Nabi yang membicarakan mengenai masalah HAM. Al-Qur'an telah menjelaskan prinsip-prinsip tentang hak yang melekat pada diri manusia dalam sejumlah ayat di beberapa tempat. Dalam tataran praktis, HAM sebagaimana di pahami pada masa sekarang telah ada dan pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw. selaku pemimpin negara Madinah. Pada masa awal Islam hak-hak ini belum diberi nama HAM, karena sebagaimana ditegaskan Abid al-Jabiri HAM termasuk ke dalam wilayah yang tak terpikirkan. 20 Atau apa yang diistilahkan M. Arkoun adalah bidang kajian unthought. 21 Kesadaran ini harus dibangun karena pengembangan konsep HAM
19
Lihat misalnya Q.S. al-Hujarat ayat 13.
20
Pertimbangan seperti ini mengingat pada kondisi perkembangan pemikiran Arab Islam belum mampu mengimbangi konsep "penggembala dan gembala" sebagai faktor utama terbentuknya piramida sosial dalam mengatur pola hubungan antara penguasa dan yang dikuasai. M. Abid al-Jabiri, Syura: Tradisi Partikularitas…, hlm. 197. Unthought (tidak terpikirkan), thinkable (yang dapat dipikirkan), dan unthinkable (belum dapat dipikirkan) adalah istilah-istilah yang digunakan oleh Mohammed Arkoun untuk menggambarkan kondisi pemikiran Islam dewasa ini, ketika ia mengkritik epistemologi bangunan keilmuan agama. Unthought 21
14 tidak berangkat dari ruang kosong mengingat banyaknya khazanah yang ada (turāth) dan praktik hukum terkini pun tidak dapat dipisahkan dari masa lalu. Pada hakikatnya hak yang dimiliki pada diri setiap manusia dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. 22 Kedua macam hak fundamental ini melahirkan hak-hak lainnya seperti hak hidup, hak berpendapat, hak beragama, hak penghidupan yang layak, hak persamaan dihadapan hukum, hak memperoleh pendidikan yang layak, dan hak-hak lainnya. Kesemua hak-hak disebutkan di atas adalah hak turunan. 23 Hak-hak ini bersifat universal harus dipelihara dan dijaga sedemikian rupa demi mempertahankan kehormatan dan martabat manusia yang melekat sepanjang sejarah kemanusiaan. Kehormatan manusia baru akan menjadi berarti bahkan menempati posisi yang sempurna selama manusia memeliharanya dengan iman dan amal shaleh. 24 Karena itulah Islam telah memuliakan manusia dengan cara memberikan perlindungan untuk hiduip secara terhormat dan bermartabat. Bahkan nyawa sekalipun tidak boleh dianiaya tanpa ada alasan yang dibenarkan secara hukum. Jaminan perlindungan terhadap HAM, para fuqaha berusaha merumuskan sebuah teori yang dikenal dengan maqasid syari'ah. Bagi al-Syatibi tujuan disyari'atkan atau
merujuk kepada wilayah pemikiran yang dianggap telah menjadi ‘sakral’ sehingga tidak dapat dan tidak boleh diutak-atik kebenarannya, seperti kaidah fiqhiyyah dan usuliyyah. Thinkable adalah wilayah kajian yang dapat disentuh oleh pemikiran dan unthinkable adalah wilayah pemikiran yang selama ini belum disentuh oleh pemikiran hukum Islam karena dianggap tidak menjadi lahan kajian, seperti persoalan politik, dan persoalan-persoalan keduniaan lainnya. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 13-14. 22
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 120.
23
Eggi Sudjana, HAM Dalam Perspektif Islam…, hlm. 4.
24
QS. At-Tin ayat 5-6.
15 diundangkan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akahirat. 25 Konsep maqasid syari'ah bagi kebanyakan pendukung teori adaptabilitas hukum Islam seperti Linant de Bellefonds dan Subhi Mahmassani dianggap sebagai nilai fundamental sehingga sangat memungkinkan terpeliharanya hak-hak asasi dalam konteks perubahan sosial demi terwujudnya kemaslahatan. 26 Artikulasi dari konsep maqasid syari'ah ditinjau dari sudut pandang HAM baru akan terlihat peran dan fungsinya ketika terpeliharanya lima aspek sebagai jaminan hidup umat manusia, yaitu memelihara agama, akal, jiwa, keturunan dan memelihara harta. 27 1. Memeliharara Agama berarti hak untuk beragama dan berkepercayaan serta mengamalkan ajaran sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Selain itu, berarti pula bahwa setiap orang berkewajiban memelihara dan melindungi hak orang lain untuk beragama dan berkepercayaan sesuai dengan pilihannya. 2. Memelihara akal berarti hak untuk memelihara dan mengembangkan akal pemikiran. Termasuk dalam pengertian ini adalah hak memperoleh pendidikan, hak mengeluarkan pendapat (ber-argumen) dan mengekspresikan hasil pendidikan serta hak mendapatkan perlindungan atas berbagai hasil karya dan kreativitas intelektual lainnya. 3. Memelihara jiwa adalah hak mendapatkan perlindungan keselamatan jiwa. Ini berarti bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan memperoleh kehidupan yang layak, mendapatkan jaminan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan.
25
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam…, Juz II, hlm. 751.
Dikutip dari Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj. Yudian W. Asmin, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), hlm. 23-24. 26
Al-Syatibi, al-Muiwafaqat fi Usul al-Ahkam…, hlm. 14; al-Ghazali, al-Mustasyfa fi‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), hlm. 287. 27
16 4. Memelihara keturunan berarti hak untuk berkeluarga, hak memperoleh keturunan (reproduksi), hak bertempat memperoleh tempat tinggal yang layak serta hak memperoleh perlindungan kehormatan. 5. Memelihara harta adalah hak untuk memperoleh usaha dan upah yang layak, memperoleh
perlindungan
atas
seluruh
hak
miliknya
dan
kebebasan
mempergunakannya untuk keperluan dan kesejahteraan hidupnya. Kelima aspek tujuan syari'ah di atas bukan berarti dapat diterima begitu saja tanpa ada kajian-kritis yang memadai dengan memperhatikan kebutuhan zaman. Lebih dari itu aspek ini menuai kritik dari kalangan Islam dirasa belum memadai jika hanya berkutat pada mempertahankan kelima aspek di atas cenderung memelihara kehidupan manusia sebagai individu. Sedangkan aspek kehidupana manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi belum tersentuh –untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali– dalam konsep maqasid syari‘ah sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para ulama. Jika asumsi ini diterima maka tidak akan tertutup kemungkinan akan lahirnya aspek-aspek lainnya seperti memelihara ekosistem, lingkungan hidup (hifz al-bi'ah) dan memelihara keutuhan masyarakat (hifz al-ummah). 28 Tawaran kedua aspek ini adalah bagian dari upaya kreativitas kritik-intern bagi keuniversalan HAM dalam ajaran Islam. Memelihara ekosistem dirasa perlu untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan antara makhluk hidup dan alam sekitarnya sebagai tempat manusia meneruskan dan membangun kehidupannya.29 Ia merupakan hak-hak untuk
Chozin Nasuha "Pengembangan Fiqh di Pondok Pesantren" dalam Lektur, (Cirebon: STAIN Cirebon Press, 2001), hlm. 192; Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994). 29 Abdul Munir Mulkhan "Spiritualitas Lingkungan dan Moral Kenabian" dalam Mohtar Mas'oed (peng.), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Jakarta: UI-Press, 1999), hlm. 307. 28
17 mendapatkan perlindungan dari berbagai pencemaran lingkungan, serta hak atas kelestarian alam secara berkelanjutan. Tanpa keadaan lingkungan alam yang kondusif maka tidak akan dapat terwujud kesejahteraan kehidupan manusia. Akibatnya kerusakan alam sangat berpotensi terjadi yang dapat menyebabkan bencana alam. Fenomena demikian akan bertolak belakang dengan tujuan maqasid syari‘ah. Demikian pula dengan aspek kedua yang terakhir yaitu memelihara keutuhan masyarakat. Termasuk di dalamnya di samping hak berkumpul dan berserikat, juga menyangkut hak sosial politik sebagai warga negara dan warga dunia. Tanpa hak ini realitas kehidupan manusia sering dilanda kerusuhan karena tidak te-rekomendasinya hakhak sosial politik masyarakat. 30 Tujuan akhir dari pemeliharaan aspek ini adalah mewujudkan kehidupan masyarakat yang kondusif dan memberikan kontribusi positif bagi kehidupan manusia baik pada tataran individual maupun komunal dalam lingkup lokal dan global. Berangkat dari rumusan hak-hak asasi ini para fuqaha’ memandang bahwa sesungguhnya HAM telah menduduki posisi yang sangat urgen sesuai dengan tujuan syari'ah. Syari'ah dijadikan sebagai alat kontrol dalam perumusan hukum dan perundangundangan supaya terhindar dari pelanggaran HAM. Dengan kata lain suatu aturan atau perundang-undangan baru mendapat legitimasi apabila sejalan dengan HAM. Sebaliknya jika aturan tersebut berlawanan dengan HAM maka aturan-aturan itu harus dipandang gugur dan batal demi hukum. Untuk memperkuat argumen di atas, dalam naskah Deklarasi Kairo tentang HAM versi Islam yang terdiri dari 25 pasal, khususnya pasal 24 ditegaskan bahwa segala unsur 30
Chozin Nasuha, Pengembangan Fiqh di Pondok…, hlm. 192.
18 HAM sangat dijunjung tinggi, ia harus tunduk di bawah naungan syari'at dan yang dijadikan acuannya adalah syari'at Islam. 31 Demikian pula dalam pasal 22 dinyatakan bahwa hak politik, seperti hak untuk mengutarakan pendapat secara bebas, dibatasi oleh ketentuan bahwa hal itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan asas-asas syari'ah. 32 Harus diakui –sebagaimana ungkapan Ihsan Ali Fauzi– bahwa warna apologetik dari deklarasi ini kelihatan mencolok dari batang tubuh dan materi penjelasannya yang tampak meniru Deklarasi HAM PBB, dengan modifikasi di sana sini. Di samping itu tampak dari berbagai ambiguitas yang terlihat di dalamnya. Seperti dalam pernyataan bahwa segala hak akan mendapat jaminan jikalau hak-hak itu dilindungi oleh hukum Islam. Pernyataan ini mengandung ambiguitas yang nyata karena di satu sisi, ia memperlihatkan kemiripan secara formal dengan isi Deklarasi HAM PBB, tetapi pada saat yang sama memasukkan hukum Islam sebagai standar yang mengontrol segalanya. 33
Penutup Persoalan hak asasi manusia telah pernah dibicarakan di dua tradisi, yaitu tradisi Barat maupun tradisi Islam. Di Barat hak asasi manusia berawal dari perjuangan kelas tertentu, masih bersifat partikular, hingga mencapai puncaknya dengan lahirnya deklarasi HAM PBB. Sementara di dunia Islam ajaran tentang hak asasi manusia telah ada sejak
31
Lihat pasala 24 Deklarasi Kairo mengenai HAM pasal 24 dan pasal 25.
32
Budiardjo, Hak Asasi Manusia…, hlm. 50.
33
Ihsan Ali Fauzi "Ketika Dalil Menjadi Dalih: Islam dan Masalah Universalisasi HAM" dalam Jamal D. Rahman, et al., Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 218. Pernyataan serupa dikemukakan oleh A.K. Brohi "Islam dan Hak-hak Asasi Manusia" dalam Altar Gauhar (ed.), Tantangan Islam, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 198-219.
19 masa Nabi Muhammad saw. mendirikan negara Madinah. Sebagai sebuah disiplin ilmu, hak asasi manusia baru menjadi perhatian fuqaha' ditandai dengan lahirnya teori maqasid al-syari'ah-yang kemudian menjadi pedoman pembentukan deklarasi Kairo. Perbedaan pandangan antara Barat dan Islam dalam memandang HAM yaitu, pertama lebih bersifat sekuler semata-mata berorientasi hanya kepada manusia dan dipertanggungjawabkan oleh manusia juga. Padangan seperti ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran filosof Barat yang memusatkan perhatiannya kepada otortias kebebasan manusia dalam
menilai
eksitensi
manusia
itu
sendiri,
bahkan
dalam
kondisi
tertentu
mengenyampingkan ajaran moralitas kemanusiaan. Sedangkan yang kedua lebih bersifat religius (bersifat ketuhanan). HAM dalam Islam selain pertanggungjawabannya dimiliki manusia juga diserahkan kepada Tuhan. Oleh karenanya penegakan HAM dalam Islam tidak hanya didasarkan kepada aturan-aturan yang bersifat legal-formal saja, melainkan juga kepada hukum-hukum moral dan akhlaq al-karimah sebagai ajaran noramtif sesuai dengan tujuan pensyari'atan hukum-hukumnya untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat.
Wa Allah A'lam bi al-Sawab.
20 DAFTAR KEPUSTAKAAN
A.J.M. Milne, Human Rights and Human Diversity, London: Macmillan, 1986. Mohtar Mas'oed (peng.), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, Jakarta: UI-Press, 1999. al-Ghazali, al-Mustasyfa fi‘Ilm al-Usul, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993. Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994. Altar Gauhar (ed.), Tantangan Islam, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983. Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1998. Baharuddin Lopa, Al-Qur'an dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996. Barbara Johnson (ed.), Freedom and Interpretation: The Oxford Amnesty Lectures 1992, New York: Basic School, 1993. Chozin Nasuha "Pengembangan Fiqh di Pondok Pesantren" dalam Lektur, (Cirebon: STAIN Cirebon Press, 2001. Eggi Sujana, HAM dalam Pespektif Islam: Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki, Jakarta: Nuansa Madani, 2002. Ihsan Ali Fauzi "Ketika Dalil Menjadi Dalih: Islam dan Masalah Universalisasi HAM" dalam Jamal D. Rahman, et al., Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, Bandung: Mizan, 1997. Ihsan Ali Fauzi "Ketika Dalil Menjadi Dalih; Islam dan Masalah Universalitas HAM" dalam Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, Bandung: Mizan, 1997. James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
21 M.I. Patwaridalam Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law, New Delhi: Jamia Nagar, 1993. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1977. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj. Yudian W. Asmin, Surabaya: al-Ikhlas, 1995. Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, terj. Kholiq Imron, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Harun Nasution dan Bachtiar Effendi (peny.), Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987. Wahyu M. S., Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1986.