BAB II LANDASAN TEORI
A. Kreativitas Kreativitas merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, yaitu kebutuhan akan perwujudan diri (aktualisasi diri) dan merupakan kebutuhan paling tinggi bagi manusia (Maslow, dalam Munandar, 2009). Pada dasarnya, setiap orang dilahirkan di dunia dengan memiliki potensi kreatif. Kreativitas dapat diidentifikasi (ditemukenali) dan dipupuk melalui pendidikan yang tepat (Munandar, 2009).
1. Definisi kreativitas Menurut NACCCE (National Advisory Committee on Creative and Cultural Education) (dalam Craft, 2005), kreativitas adalah aktivitas imaginatif yang menghasilkan hasil yang baru dan bernilai. Selanjutnya Feldman (dalam Craft, 2005) mendefinisikan kreativitas adalah: “the achievement of something remarkable and new, something which transforms and changes a field of endeavor in a significant way . . . the kinds of things that people do that change the world.” Menurut Munandar (1985), kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada. Hasil yang diciptakan tidak selalu hal-hal yang baru, tetapi juga dapat berupa gabungan (kombinasi)
dari
hal-hal
yang
sudah
ada
sebelumnya.
Selain
itu,
Csikszentmihalyi (dalam Clegg, 2008) menyatakan kreativitas sebagai suatu
Universitas Sumatera Utara
tindakan, ide, atau produk yang mengganti sesuatu yang lama menjadi sesuatu yang baru. Guilford (dalam Munandar, 2009) menyatakan kreativitas merupakan kemampuan berpikir divergen atau pemikiran menjajaki bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan, yang sama benarnya (Guilford, dalam Munandar 2009). Sedangkan menurut Rogers (dalam Zulkarnain, 2002), kreativitas
merupakan
kecenderungan-kecenderungan
manusia
untuk
mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Campbell (dalam Manguhardjana, 1986) mengemukakan kreativitas sebagai suatu kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya : a.
Baru atau novel, yang diartikan sebagai inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh dan mengejutkan.
b.
Berguna atau useful, yang diartikan sebagai lebih enak, lebih praktis, mempermudah, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil yang baik.
c.
Dapat dimengerti atau understandable, yang diartikan hasil yang sama dapat dimengerti dan dapat dibuat di lain waktu, atau sebaliknya peristiwaperistiwa yang terjadi begitu saja, tak dapat dimengerti, tak dapat diramalkan dan tak dapat diulangi. Oleh karena beragamnya pendapat para ahli akan pengertian kreativitas,
maka dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan suatu produk yang baru ataupun kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya, yang berguna, serta dapat dimengerti.
2. Ciri-ciri kreativitas Guilford (dalam Munandar, 2009) mengemukakan ciri-ciri dari kreativitas antara lain: a.
Kelancaran berpikir (fluency of thinking), yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir, yang ditekankan adalah kuantitas, dan bukan kualitas.
b.
Keluwesan berpikir (flexibility), yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah
ide,
jawaban-jawaban
atau
pertanyaan-pertanyaan
yang
bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbedabeda, mencari alternatif atau arah yang berbeda-beda, serta mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir. Mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikannya dengan cara berpikir yang baru. c.
Elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
d.
Originalitas (originality), yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas Menurut Rogers (dalam Munandar, 2009), faktor-faktor yang dapat mendorong terwujudnya kreativitas individu diantaranya: a.
Dorongan dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik) Menurut Roger (dalam Munandar, 2009) setiap individu memiliki kecenderungan atau dorongan dari dalam dirinya untuk berkreativitas, mewujudkan potensi, mengungkapkan dan mengaktifkan semua kapasitas yang dimilikinya. Dorongan ini merupakan motivasi primer untuk kreativitas ketika individu membentuk hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya dalam upaya menjadi dirinya sepenuhnya (Rogers dalam Munandar, 2009). Hal ini juga didukung oleh pendapat Munandar (2009) yang menyatakan individu harus memiliki motivasi intrinsik untuk melakukan sesuatu atas keinginan dari dirinya sendiri, selain didukung oleh perhatian, dorongan, dan pelatihan dari lingkungan. Menurut Rogers (dalam Zulkarnain, 2002), kondisi internal (interal press) yang dapat mendorong seseorang untuk berkreasi diantaranya: 1) Keterbukaan terhadap pengalaman Keterbukaan terhadap pengalaman adalah kemampuan menerima segala sumber informasi dari pengalaman hidupnya sendiri dengan menerima apa adanya, tanpa ada usaha defense, tanpa kekakuan terhadap pengalaman-pengalaman tersebut dan keterbukaan terhadap konsep secara utuh, kepercayaan, persepsi dan hipotesis. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian individu kreatif adalah individu yang mampu menerima perbedaan. 2) Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi seseorang (internal locus of evaluation) Pada dasarnya penilaian terhadap produk ciptaan seseorang terutama ditentukan oleh diri sendiri, bukan karena kritik dan pujian dari orang lain. Walaupun demikian individu tidak tertutup dari kemungkinan masukan dan kritikan dari orang lain. 3) Kemampuan untuk bereksperimen atau “bermain” dengan konsepkonsep. Merupakan kemampuan untuk membentuk kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. b.
Dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik) Munandar (2009) mengemukakan bahwa lingkungan yang dapat mempengaruhi kreativitas individu dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan kekuatan yang penting dan merupakan sumber pertama dan utama dalam pengembangan kreativitas individu. Pada lingkungan sekolah, pendidikan di setiap jenjangnya mulai dari pra sekolah hingga ke perguruan tinggi dapat berperan dalam menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas individu. Pada lingkungan masyarakat, kebudayaan-kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat juga turut mempengaruhi kreativitas individu. Rogers
Universitas Sumatera Utara
(dalam Munandar, 2009) menyatakan kondisi lingkungan yang dapat mengembangkan kreativitas ditandai dengan adanya: 1) Keamanan psikologis Keamanan psikologis dapat terbentuk melalui 3 proses yang saling berhubungan, yaitu: a) Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. b) Mengusahakan suasana yang didalamnya tidak terdapat evaluasi eksternal
(atau
sekurang-kurangnya
tidak
bersifat
atau
mempunyai efek mengancam. c) Memberikan
pengertian
secara
empatis,
ikut
menghayati
perasaan, pemikiran, tindakan individu, dan mampu melihat dari sudut pandang mereka dan menerimanya. 2) Kebebasan psikologis Lingkungan yang bebas secara psikologis, memberikan kesempatan kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Munandar (dalam Zulkarnain, 2002) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas dapat berupa kemampuan berpikir dan sifat kepribadian yang berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Faktor kemampuan berpikir terdiri dari kecerdasan (inteligensi) dan pemerkayaan bahan berpikir berupa pengalaman dan ketrampilan. Faktor kepribadian terdiri dari ingin tahu, harga diri dan
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan diri, sifat mandiri, berani mengambil resiko dan sifat asertif (Kuwato, dalam Zulkarnain, 2002). Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, terdapat berbagai faktor lainnya yang dapat menyebabkan munculnya variasi atau perbedaan kreativitas yang dimiliki individu, yang menurut Hurlock (1993) yaitu: a.
Jenis kelamin Anak laki-laki menunjukkan kreativitas yang lebih besar daripada anak perempuan, terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak. Untuk sebagian besar hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diberi kesempatan untuk mandiri, didesak oleh teman sebaya untuk lebih mengambil resiko dan didorong oleh para orangtua dan guru untuk lebih menunjukkan inisiatif dan orisinalitas.
b.
Status sosial ekonomi Anak dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung lebih kreatif daripada anak yang berasal dari sosial ekonomi kelompok yang lebih rendah. Lingkungan anak kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi memberi lebih banyak kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan bagi kreativitas.
c.
Urutan kelahiran Anak dari berbagai urutan kelahiran menunjukkan tingkat kreativitas yang berbeda. Perbedaan ini lebih menekankan lingkungan daripada bawaan. Anak yang lahir di tengah, lahir belakangan dan anak tunggal mungkin
Universitas Sumatera Utara
memiliki kreativitas yang tinggi dari pada anak pertama. Umumnya anak yang lahir pertama lebih ditekan untuk menyesuaikan diri dengan harapan orangtua, tekanan ini lebih mendorong anak untuk menjadi anak yang penurut daripada pencipta. d.
Ukuran keluarga Anak dari keluarga kecil bilamana kondisi lain sama cenderung lebih kreatif daripada anak dari keluarga besar. Dalam keluarga besar, cara mendidik anak yang otoriter dan kondisi sosioekonomi kurang menguntungkan
mungkin
lebih
mempengaruhi
dan
menghalangi
perkembangan kreativitas. e.
Lingkungan kota vs lingkungan pedesaan Anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif daripada anak lingkungan pedesaan.
f.
Inteligensi Setiap anak yang lebih pandai menunjukkan kreativitas yang lebih besar daripada anak yang kurang pandai. Mereka mempunyai lebih banyak gagasan baru untuk menangani suasana sosial dan mampu merumuskan lebih banyak penyelesaian bagi konflik tersebut.
4. Tahap-tahap perkembangan kreativitas Menurut Cropley (1999), terdapat 3 tahapan perkembangan kreativitas diantaranya: a.
Tahap prekonvensional (Preconventional phase)
Universitas Sumatera Utara
Tahap ini terjadi pada usia 6–8 tahun. Pada tahap ini, individu menunjukkan spontanitas dan emosional dalam menghasilkan suatu karya, yang kemudian mengarah kepada hasil yang aestetik dan menyenangkan. Individu menghasilkan sesuatu yang baru tanpa memperhatikan aturan dan batasan dari luar. b.
Tahap konvensional (Conventional phase) Tahap ini berlangsung pada usia 9–12 tahun. Pada tahap ini kemampuan berpikir seseorang dibatasi oleh aturan-aturan yang ada sehingga karya yang dihasilkan menjadi kaku. Selain itu, pada tahap ini kemampuan kritis dan evaluatif juga berkembang.
c.
Tahap poskonvensional (Postconventional phase) Tahap ini berlangsung pada usia 12 tahun hingga dewasa. Pada tahap ini, individu sudah mampu menghasilkan karya-karya baru yang telah disesuaikan dengan batasan-batasan eksternal dan nilai-nilai konvensional yang ada di lingkungan.
5. Tes Kreativitas Figural (TKF) Menurut Munandar, Achir, Winata, Lestari, Rosemini, Rifameutia dan Hartana (1988), Tes Kreativitas Figural (TKF) merupakan adaptasi dari Circle Test yang dibuat oleh Torrance. TKF pertama kali digunakan di Indonesia oleh Utami Munandar pada tahun 1977. Dalam hasil penelitian tersebut diperoleh norma-norma baku dari TKF untuk siswa kelas 4 SD hingga siswa kelas 3 SMA, atau mencakup usia 10 sampai dengan 18 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Kreativitas yang diukur dalam TKF memiliki pengertian sebagai kemampuan untuk membentuk kombinasi-kombinasi baru dari unsur-unsur yang diberikan yang tercermin dari kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam memberi gagasan serta kemampuan untuk mengembangkan, merinci, dan memperkaya (elaborasi) suatu gagasan. Adapun aspek-aspek yang mendasari TKF sama dengan ciri-ciri kreativitas yang dikemukakan oleh Guilford, yaitu kelancaran berpikir, keluwesan berpikir, elaborasi dan originalitas (dalam Munandar dkk., 1988).
B. Persepsi Terhadap Iklim Kelas Seperti
halnya
manusia,
lingkungan
juga
memiliki
kepribadian.
Lingkungan dapat memberikan kehangatan, semangat atau sebaliknya, kaku dan menghambat. Persepsi siswa mengenai lingkungan belajar, termasuk ruang kelas, yang merupakan tempat siswa menghabiskan sebagian besar waktunya, memberikan arti penting yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa (Moos, dalam Baek & Choi, 2002).
1. Persepsi a. Definisi persepsi Persepsi menurut Irwanto dkk. (1996) adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti. Pengertian terhadap lingkungan dapat diperoleh melalui interpretasi
terhadap
rangsang-rangsang
yang
diterima.
Robbins (1996)
Universitas Sumatera Utara
menyatakan
persepsi
merupakan
suatu
proses
di
mana
individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna kepada lingkungan. Persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian (Chaplin, 1999). Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses memahami pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dari kesan indera dimana terdapat proses pengorganisasian dan penafsiran untuk memberikan makna.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Menurut Walgito (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi diantaranya : 1)
Perhatian yang selektif Individu memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja. Dengan demikian, objek-objek atau gejala lain tidak akan tampil ke muka sebagai objek pengamat.
2)
Ciri-ciri rangsang Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil; yang kontras dengan latar belakangnya dan yang intensitas rangsangnya paling kuat.
3)
Nilai-nilai dan kebutuhan individu
Universitas Sumatera Utara
Seorang seniman mempunyai pola dan citra rasa yang berbeda dalam pengamatannya dibanding dengan orang yang bukan seniman. 4)
Pengalaman terdahulu Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi dunianya.
2. Iklim kelas a. Definisi iklim kelas Di dalam menjelaskan iklim kelas (classroom climate), beberapa peneliti memakai istilah lain seperti lingkungan belajar (learning environment), atmosfer, ekologi, dan lingkungan pertemanan (milieu). Iklim kelas merupakan keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya. Keadaan psikologis dan sosial yang terbentuk di dalam kelas dinilai lebih penting daripada lingkungan fisik (Rawnsley & Fisher, 1998). Menurut Bloom (dalam Tarmidi & Wulandari, 2005), iklim kelas dapat diartikan sebagai kondisi, pengaruh, dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial, dan intelektual yang mempengaruhi peserta didik. Wilson (dalam Khine & Chiew, 2001) menyatakan iklim kelas adalah tempat dimana siswa dan guru berinteraksi satu sama lain dengan menggunakan beberapa sumber informasi dalam usaha pencarian ilmu dalam aktifitas belajar. Iklim kelas juga dapat diartikan sebagai tempat dimana tercipta komunitas di antara siswa; tempat dimana siswa diberikan berbagai kontrol untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
berbagai aktivitas di dalam kelas; tempat yang memiliki atmosfir yang menyenangkan dan tidak terancam; tempat untuk mengkomunikasikan pesanpesan mengenai permasalahan yang dihadapi siswa di kelas; serta tempat untuk mengkomunikasikan penerimaan, penghargaan dan perhatian dari guru kepada siswanya (Omroad, 2003). Menurut Adelman dan Taylor (dalam Lee, 2005), iklim kelas merupakan kualitas lingkungan yang dirasakan, yang muncul dari adanya interaksi dari berbagai faktor seperti aspek fisik, materi, organisasi, operasional, dan sosial. Iklim kelas memegang peranan penting dalam mempengaruhi keberlangsungan kegiatan belajar dan perilaku di dalam kelas. Oleh karena beragamnya pendapat para ahli akan definisi dari iklim kelas, maka pengertian iklim kelas yang dipakai dalam penelitian ini adalah keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya. (Rawnsley & Fisher, 1998).
b. Dimensi iklim kelas Menurut Fraser, Fisher dan McRobbie (dalam Chionh & Fraser, 2009), dimensi dari iklim kelas dapat dibagi kedalam 7 bagian, diantaranya: 1)
Kekompakan siswa (Student cohesiveness) Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa saling mengenal, membantu dan supportif satu dengan yang lainnya.
2)
Dukungan guru (Teacher support)
Universitas Sumatera Utara
Dimensi ini mengukur sejauh mana guru mau membantu siswa, memperlakukan siswa sebagai teman, percaya kepada siswa serta menaruh perhatian kepada siswa. 3)
Keterlibatan dalam pembelajaran (Involvement) Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa menaruh perhatian lebih pada proses belajar di kelas, berpartisipasi di dalam diskusi, mengerjakan tugas tambahan, serta merasa nyaman berada di kelas.
4)
Investigasi (Investigation) Dimensi ini menekankan pada sejauh mana kemampuan siswa melakukan investigasi dan proses mencari tahu (inquiry) digunakan dalam mengatasi masalah serta dikembangkan di dalam kegiatan belajar di kelas.
5)
Orientasi tugas (Task orientation) Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa merasa penting untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru serta tetap berfokus kepada tugas.
6)
Kerjasama (Cooperation) Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa saling bekerja sama dan tidak saling bersaing di dalam belajar
7)
Kesetaraan (Equity) Dimensi ini mengukur sejauh mana siswa diperlakukan sama oleh guru.
Universitas Sumatera Utara
c. Menciptakan iklim kelas yang positif Menurut Adelman & Taylor (dalam Lee, 2005), untuk mengembangkan iklim kelas yang positif memerlukan perhatian yang seksama agar dapat meningkatkan kualitas kehidupan kelas bagi siswa serta guru. Sekolah juga perlu menciptakan kurikulum yang tidak hanya mendukung kemampuan akademik siswa tetapi juga kemampuan sosial dan emosional; memberikan kesempatan bagi guru untuk mengembangkan keefektivitasan dalam cara mengajar; serta meningkatkan motivasi intrinsik bagi siswa maupun guru. Peneliti lainnya juga menyarankan beberapa strategi untuk meningkatkan iklim kelas, diantaranya (Adelman & Taylor, dalam Lee, 2005): 1)
Menciptakan atmosfer yang ramah, terbuka dan memiliki harapan
2)
Mempersiapkan aturan-aturan agar dapat mencapai tujuan bersama.
3)
Meningkatkan partisipasi yang bermanfaat bagi siswa, guru, dan karyawan di dalam pengambilan keputusan
4)
Mengubah kelas yang besar menjadi suatu unit yang kecil, yang dapat memaksimalkan motivasi intrinsik dalam belajar, dan tidak didasarkan pada pengelompokkan berdasarkan kemampuan memecahkan masalah
5)
Memberikan instruksi dan respon terhadap masalah secara tepat
6)
Menggunakan
strategi
yang
bervariasi
untuk
mencegah
dan
menggolongkan masalah sesegera mungkin, setelah masalah itu muncul. 7)
Menciptakan lingkungan fisik yang sehat dan menarik, yang cocok serta kondusif bagi kegiatan belajar dan mengajar.
Universitas Sumatera Utara
3. Persepsi terhadap iklim kelas Persepsi menurut Irwanto dkk. (1996) adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti. Sedangkan iklim kelas merupakan keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya. (Rawnsley & Fisher, 1998). Persepsi terhadap iklim kelas dapat diartikan sebagai proses pengenalan dan pemahaman akan keadaan psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk di dalam kelas sebagai hasil interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya. (Rawnsley & Fisher, 1998). Persepsi positif terhadap iklim kelas ialah persepsi yang menggambarkan suasana kelas sebagai lingkungan yang positif dan nyaman. Persepsi negatif dari iklim kelas adalah persepsi yang menggambarkan suasana kelas sebagai lingkungan yang negatif dan kurang nyaman.
C. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Masa Sekolah Menengah Atas (SMA), umumnya di Indonesia dimulai dari usia 15/16 - 17/18. Pada usia tersebut, individu berada pada masa remaja. Masa remaja menurut Hurlock (1980) terbagi atas 2 bagian yaitu: 1)
Remaja awal, yang berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun
Universitas Sumatera Utara
2)
Remaja akhir, yang bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds & Feldman, 1998), masa ini ditandai
dengan berkembangnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak dengan menggunakan alasan ilmiah. Masa remaja dikarakteristikkan sebagai periode yang penting, dimana pada tahap ini perkembangan mental yang cepat menimbulkan perlunya remaja membentuk sikap, nilai dan minat yang baru. Selain itu, pada masa ini remaja mempersiapkan dirinya dalam karier dan ekonomi (Hurlock, 1980). Hal ini juga diperkuat oleh Papalia, et.al. (1998) yang menyatakan pendidikan pada masa remaja difokuskan kepada persiapan memasuki universitas atau bekerja.
D. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Iklim Kelas Dengan Kreativitas Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kreatif, namun dengan tingkat atau derajat kreativitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya kreativitas dan salah satunya adalah dorongan dari luar individu (lingkungan) (Munandar, 2009). Dalam lingkungan sekolah, iklim kelas memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kreativitas (Munandar, 2009). Menurut Ormrod (2003), iklim kelas yang menghargai cara berpikir dan perilaku kreatif; memberi kebebasan dan keamanan untuk mengambil resiko; mengembangkan penguasaan dalam pokok area tertentu; serta menyediakan waktu bagi siswa untuk berkreasi dapat meningkatkan dan mengembangkan kreativitas siswa. Persepsi siswa akan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan kelas merupakan penilaian paling tepat untuk mengetahui iklim kelas dikarenakan siswa telah menghadapi lingkungan belajar yang beraneka ragam serta menghabiskan banyak waktu di dalam kelas sehingga memiliki perasaan yang akurat terhadap kelas (Nair, 2001). Menurut Myers (dalam Sampson, 2009), persepsi siswa akan iklim kelas didasarkan pada seberapa baik guru menciptakan lingkungan yang didalamnya terdapat hubungan yang bernilai, saling mendorong dan mendukung. Guru juga memiliki pengaruh dalam mengembangkan atau menghambat kreativitas siswa dengan menerima atau menolak hasil dari siswa yang tidak biasa dihasilkan oleh siswa lainnya dan bersifat imajinatif (Woolfolk, 2004). Oleh karena itu dapat dilihat bahwa guru memegang peranan penting dalam menentukan iklim di dalam kelas serta kreativitas siswa. Amar & Strugo (2003) menyatakan perasaan senang akan muncul apabila siswa berada pada kelas yang mengikutsertakan keterlibatan mereka di dalam kelas, memiliki hubungan personal antara guru dengan murid, memakai cara belajar yang inovatif, serta memiliki aturan-aturan tingkah laku yang jelas. Hal ini berkaitan dengan faktor pengembangan kreativitas melalui pemberian kesempatan kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran dan perasaannya (Rogers, dalam Munandar, 2009). Ormrod
(2003)
menyatakan
siswa
akan
lebih
mengembangkan
kreativitasnya apabila mereka merasa nyaman dalam melakukan aktivitas dan memperoleh penghargaan dari kelas akan apa yang telah dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan dimensi involvement yang ada di dalam dimensi iklim kelas,
Universitas Sumatera Utara
yang menekankan pada perasaan nyaman yang dirasakan siswa di dalam kelas (Fraser, et al., dalam Brok 2005).
E. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap iklim kelas dengan kreativitas pada siswa SMA Kalam Kudus Medan. Makna dari adanya hubungan positif ini adalah semakin positif persepsi siswa terhadap iklim kelas maka semakin tinggi kreativitas siswa.
Universitas Sumatera Utara