Edisi
NewletterEdisi on 13, Religious OktoberFreedom 2011
Syahadah edisi 13 (Oktober 2011) secara eksklusif menghadirkan hasil monitoring kasus penyesatan jamaah Syi’ah di Nangkrenang, Karang Gayam, Omben, Sampang. Kasus ini sudah mencuat sejak 2004. Akibat syi’ar kebencian yang terus dikumandangkan oleh MUI, PCNU, dan para ulama di Sampang, kasus ini kemudian berubah menjadi tragedi kehidupan beragama yang diwarnai oleh pelbagai bentuk pelanggaran HAM. Syi’ar kebencian yang dikonsolidasi secara intensif, telah menjadikan kekuatan massa anti-Syi’ah semakin besar. Eskalasi tindakan kekerasan pun men ingkat tiap saat. Persekutuan negara dengan kelompok anti-toleran menambah daftar panjang angka kekerasan terhadap jamaah Syi’ah di Sampang. Akibat tekanan massa yang sangat kuat, Peme rintah Kabupaten Sampang dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur secara terang-terangan mendukung langkah MUI, Ormas-Ormas Islam, para ulama se-Madura untuk ‘mengusir’ Tajul Muluk dari tanah kelahirannya. Pemerintah juga menuruti saja desakan masyarakat untuk mengisolasi jamaah Syi’ah yang masih bertahan di Nangkrenang. Selama proses pemantauan berlangsung, Syahadah berhasil menemukan 45 pelanggaran hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) yang dilakukan secara berjamaah oleh aparatur negara. 21 pelanggaran merupakan tindakan aktif (human rights violation by commision) dan 24 pelanggaran merupakan tindakan pembiaran (human rights violation by ommision). Pilihan negara untuk bersekutu dengan kelompok anti-toleran semakin jelas menampakkan betapa negara telah gagal memberikan jaminan hak KBB. Negara tunduk dan patuh terhadap kekuatan sipil anti-toleran. Syi’ah Nangkrenang adalah cerita sempurna bagaimana negara berkolaborasi dengan kelompok anti-toleran, medzalimi kelompok minoritas sampai pada taraf menghina kemanusiaan mereka.
Syahadah Syahadah adalah newsletter bulanan yang diterbitkan berdasarkan hasil monitoring atas isu “KebebasanBeragama/ Berkeyakinan” di Jawa timur. Data-data diperoleh melalui survei media dan investigasi dengan menggunakan instrumen event-based monitoring. Semua rujukan data ada pada lembar matriks yang tersimpan di desk redaksi. Atas pertimbangan keterbatasan space dan alur narasi, semua rujukan data hasil monitoring tidak ditampilkan dalam narasi.
Serial Penyesatan dan Kekerasan terhadap Jamaah Syi’ah Sampang
Api Kebencian dalam Sekam Kasus penyesatan terhadap jamaah Syi’ah di Dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben, Sampang, seperti kisah berseri. Tuduhan bahwa Syi’ah merupakan sekte Islam yang sesat dan menyesatkan sudah mencuat sejak 2004. Saat itu, sejumlah kyai Nahdlatul Ulama (NU) di Omben ‘menghasut’ masyarakat terkait dengan aktivitas dakwah yang dilakukan oleh Ali Murtadho alias Tajul Muluk, Ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI) Sampang.
P
ada 2006, hasutan itu makin meluas. Masyarakat Omben terbakar amarahnya, dan tergerak untuk melakukan serangan di kediaman Tajul Muluk. Sekitar 7000an massa bersenjata tajam mengepung Nangkrenang saat itu. Meski demikian, konflik fisik tidak benar-benar terjadi karena massa akhirnya membubarkan diri setelah puas mengintimidasi dan mencemooh jamaah Syi’ah. Ketegangan muncul kembali pada bulan Oktober 2009. Sejak bulan Ramadhan 2009, muncul desas-desus akan ada serangan lebih besar yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri sebagai ahl al-sunnah wa al-jamaah. Situasi Nangkrenang sangat memanas pada saat itu. Tajul Muluk sendiri mengaku dipanggil para kyai NU untuk dimintai klarifikasi soal ajaran dan aktifitas dakwah yang dilakukan. Pada kesempatan wawancara dengan Syahadah pada bulan Oktober 2009, Tajul Muluk mengaku bahwa pertemuan dengan para kyai NU sebenarnya tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Hal ini karena bertemuan berlangsung searah. Para kyai menghujani pertanyaan dan tuduhan sesat terhadap Muluk. “Ada 32 tuduhan sesat yang dialamatkan pada saya,” tegas Muluk kala itu. Pertemuan inilah yang disebut-sebut sebagai kesepakatan antara Tajul Muluk dan kelompok ahl al-sunnah wa al-jamaah. Para kyai NU meyakini bahwa Muluk telah bersepakat untuk menghentikan semua aktifitas dakwahnya. Tentu saja, hal ini secara terang-terangan ditolak oleh Muluk. Dirinya merasa tidak pernah meneken kesepakatan apapun dengan kelompok mayoritas. Hasutan bahwa Muluk menyebarkan ajaran sesat tidak pernah berhenti. Api kebencian terhadap Muluk dan jamaah Syi’ah terus berkobar dan semakin meluas. KH. Bukhori Ma’sum, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang, menyatakan bahwa sejak Desember 2010 situasi di Omben mulai memanas lagi. Banyak kelompok masyarakat yang melapor pada MUI soal aktifitas dakwah Muluk.
Penerbit: CMARs Penanggung jawab: Wahyuni Widyaningsih Pimpinan Umum: Akhol Firdaus Redaksi Ahli: Ahmad Subakir, Maftukin Rasmani, Khoirul Faizin, Otman Ralibi H. Ali, Dede Oetomo, M. Faishal Aminuddin, Fawaizul Umam, Aminoto Sa’doellah Pimpinan Redaksi: Muhammad Iqbal Sidang redaksi: Wahyuni Widyaningsih, Ahmad Zainul Hamdi, Akhol Firdaus Staf Redaksi: Muhammad Iqbal, Johan Avie, Dardiri Zubaidi, Aak Abdullah al-Qudus Distribusi: Gusta Irawan, Aisyah Umaroh Lay out: Hasyim Asy’ari Alamat Redaksi: CMARs, jln. Jemursari VII No.20 Surabaya 60237 Jawa Timur-Indonesia Telp: +6231 8492188 Fax: +6231 8492188 e-mail: cmars_911@hotmail. com Website: cmars.synthasite.com Penerbitan ini hasil kerjasama: Center for Marginalized Communities Studies (CMARs) dengan TIFA Foundation. Redaksi menerima tulisan opini yang terkait dengan HAM dan kebebasan beragama/berkeyakinan. Setiap tulisan yang dimuat akan mendapat honorarium. Silahkan kirim tulisan opini anda (dilengkapi biodata) ke alamat redaksi:
[email protected]
Edisi 13, Oktober 2011
Api itu benar-benar berkobar kembali pada 4 Mei 2011. Massa ahl al-sunnah wa al-jamaah kembali bergejolak. Mereka mengepung Nangkrenang. Kali ini alasannya, mereka keberatan dengan rencana peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dilakukan oleh jamaah Syi’ah di kediaman Muluk. Hasutan, Intimidasi, dan Blokade Sedianya, peringatan Maulud Nabi itu akan dihadiri oleh jamaah Syi’ah dari berbagai tempat di daerah Omben. Acara akhirnya batal dilaksanakan karena ratusan massa menghadang rombongan yang datang hendak menghadiri acara. Ratusan orang bersenjatakan clurit, parang, pentungan dan pelbagai benda tajam lainnya tidak hanya menghadang rombongan yang hendak datang ke rumah Tajul Muluk, tetapi juga siap melakukan serangan ke Nangkrenang bila acara tersebut benar-benar dilaksanakan. Massa sudah berkumpul sejak pukul 19.00 WIB. Mereka membuat blokade di pintu masuk Dusun Nangkrenang. Mereka tidak berhenti melakukan teror terhadap jamaah Syi’ah yang datang dari luar Nangkrenang. Jamaah Syi’ah dari luar tidak bisa masuk dusun tersebut. Dalam kesempatan wawancara dengan Syahadah pada 6 April 2011 (via telepon), Tajul Muluk menjelaskan bahwa peristiwa 4 April 2011 tesebut hanyalah satu mata rantai dari rangkaian teror dan ancaman yang hampir setiap hari diterima oleh jamaah Syiah di Nangkrenang. Tidak seperti diberitakan banyak media, teror dan ancaman pada hari Senin itu, tidak terjadi secara spontan, melainkan dikonsolidasi oleh kekuatan ormas Islam dan tokoh agama di Sampang. Menurut Muluk, panasnya situasi di Omben lebih dikarenakan oleh fitnah yang disebarkan secara intensif sejak 2006. Ada usaha yang dilakukan terus menerus untuk menetapkan Syiah sebagai ajaran sesat. Muluk yakin kebencian warga sengaja dibakar oleh para tokoh masyarakat dan para kyai setempat. Pada kesempatan wawancara bulan Oktober 2009, Muluk secara terang-terangan menyebut bahwa, di balik semua teror dan intimidasi yang dilakukan oleh kelompok Ahl al-Sunnah wal Jamaah, tidak terlepas dari peran KH. Ali Karar, pengasuh Pondok Pesantren (PP) Darut Tauhid, dan H. Jamal (alumni PP Sidogiri Pasuruan), serta Abdul Malik, Bahram, dan Mukhlis. Ketiga orang yang disebut terakhir adalah mantan santri Kyai Karar. Hasutan yang tidak kunjung berakhir itu, berhasil membakar kemarahan mayoritas orang. Kini, konsolidasi kelompok antiSyiah semakin menguat, tidak hanya di Omben, tetapi juga di seluruh Sampang. Teror dan ancaman massa tidak hanya disokong oleh tokoh agama dan kyai lokal di Omben, tetapi juga didukung oleh Silaturrahmi Ulama Madura (Basra) Sampang. Ormas pimpinan KH. Kholil Halim ini menjadi kekuatan baru yang ikut melakukan teror, dan mendesak agar jamaah Syi’ah segera meninggalkan Sampang . Betapapun teror dan ancaman semakin meningkat eskalasinya, jamaah Syiah di Nangkrenang tetap bergeming dan tidak akan meninggalkan Omben meski selalu dibayang-bayangi teror dan penyerangan. Aparat Polres Sampang mengambil langkah untuk bersiaga di Nangkrenang. Di samping berjagajaga di pintu masuk dusun tersebut, Polres Sampang akhirnya juga membawa—untuk tidak menyebutnya menangkap—Tajul
2
Hasutan yang tidak kunjung berakhir itu, berhasil membakar kemarahan mayoritas orang. Kini, konsolidasi kelompok antiSyiah semakin menguat Muluk menuju Polres Sampang. Mediasi = Penghakiman Pada Selasa, 5 April 2011, Muspida Kabupaten Sampang berinisiatif untuk melakukan mediasi. Bupati dan Wakil Bupati Sampang bersama dengan jajaran pimpinan daerah ikut dalam pertemuan tersebut. Kapolda Jawa Timur saat itu, Irjen Untung S. Radjab juga ikut memediasi pertemuan antara Tajul Muluk dengan tokoh-tokoh agama di Sampang. Dari kalangan tokoh agama, hadir KH. Muhaimin Abd Bari [Ketua PCNU Sampang]; KH. Syafiduddin Abd Wahid [Rais Syuriah NU]; KH. Bukhori Ma’sum [Ketua MUI Sampang]; hadir juga KH. Zubaidi Muhammad, KH. Ghazali Muhammad dan beberapa ulama lainnya. Pertemuan berlangsung di Pendopo Kabupaten. Menurut pengakuan Tajul Muluk, alih-alih melakukan mediasi, pertemuan dengan jajaran pimpinan daerah tersebut justru menjadi arena penghakiman terhadap Tajul Muluk dan jamaah Syi’ah. Menurut Muluk, para pimpinan daerah malah ikut menghakimi keyakinan jamaah Syi’ah. Muspida ikut melakukan desakan agar Muluk menerima berbagai opsi yang ditawarkan oleh MUI, PCNU, dan Basra. Para tokoh agama yang mewakili ormas masing-masing, tidak sekadar menyesatkan ajaran dan aktifitas dakwah yang dilakukan oleh Muluk, lebih dari itu Muluk dituduh melanggar kesekapatan yang sudah ditekennya pada 2009. Merujuk pada cerita Muluk, pada tahun 2009 kelompok Ahl al-Sunnah wal Jamaah yang dipimpin KH. Ali Karar pernah berdialog deng annya. Kyai Karar dan para tokoh agama lain pada waktu itu mendesak agar Tajuk Muluk menghentikan aktifitas dakwah nya karena dianggap menyimpang. Tajul Muluk mengaku bahwa pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apapun karena yang terjadi adalah penghakiman sepihak yang dilakukan oleh kelompok Ahl al-Sunnah wal Jamaah. Kini, tokoh-tokoh MUI, PCNU, dan Basra menuduh bahwa, Tajul Muluk sudah melanggar kesepakatan yang sebenarnya tidak pernah ada. KH. Bukhori Ma’sum, misalnya, menuduh bahwa Muluk telah melanggar kesepakatan karena faktanya masih tetap melakukan dakwah Syiah kepada masyarakat sekitar. “Muluk telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani bermaterai,” jelas Bukhori Ma’sum kepada Syahadah. Tentu saja tuduhan tersebut tidak benar. Berdasarkan pengakuan Muluk kepada Syahadah, Ia tidak pernah menyepakati desakan ulama di Omben untuk menghentikan aktifitas
Edisi 13, Oktober 2011
akwahnya. Lebih penting dari itu semua, dakwah yang dilakud kan oleh Muluk hanya berlangsung di kalangan internal jamaah IJABI. Tokoh-tokoh MUI, PCNU, dan Basra memilih menutup mata dan telinga atas penjelasan Muluk. Mereka bersikukuh untuk menawarkan opsi yang sama pada Tajul Muluk—sebagaimana opsi yang berulang kali didesakan kepada Muluk. Opsi itu adalah: [1] menghentikan semua aktifitas Syi’ah di wilayah Sampang dan kembali ke paham Sunni; [2] diusir ke luar wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan/aset yang ada; [3] jika salah satu dari 2 opsi tersebut di atas tidak dipenuhi, berarti jamaah Syi’ah Sampang harus mati. Petemuan bersama Muspida dan Kapolda Jatim pada Selasa (5/4/2011) itu berakhir tanpa kesepakatan. Opsi-opsi yang ditawarkan oleh para ulama secara tegas ditolak oleh Muluk. Seperti sebelumnya, jamaah Syi’ah di Omben bergeming. “Kami tetap dengan keyakinan kami, tidak ada hak bagi kelompok manapun untuk mengusir kami dari Sampang,” tegas Muluk kepada Syahadah. Harga Mati Usai pertemuan dengan Muspida, Kapolda, dan para tokoh agama, Muluk tetap ‘mendekam’ di Polres Sampang. "Saya sekitar 12 hari telah diamankan petugas dan sampai saat ini saya masih berada di rumah dinas Kasat Intel Polres Sampang, AKP Ipal Faruq" keluh Muluk. Ketika Muluk ‘ditahan’ paksa, konspirasi untuk mengusir Muluk dari Sampang terus berlangsung. Tentu saja pemerintah dan para ulama tidak menyebutnya sebagai pengusiran, tetapi hijrah (paksa). Mobile phone Muluk sudah tidak pernah bisa dihubungi lagi oleh Syahadah sejak tanggal 10 April 2011. Baru tanggal 16 April 2011, tersebar desas-desus bahwa Muluk telah dipindah di Kelurahan Sawojajar, Malang, Jawa Timur. Kepada wartawan, Muluk mengaku bahwa desas-desus itu benar adanya. Tentu berita ini kontras dengan sikap Muluk sebelumnya. Pada tanggal 6 April 2011, Muluk masih bergeming, dan bertekad tidak akan meninggalkan Sampang. Setelah 12 hari ‘mendekam’ di Polres Sampang, tiba-tiba sikap Muluk berubah dan menerima desakan pengusiran atas dirinya. “Sementara saya dipindahkan ke Malang biar situasinya tidak menegangkan,” hanya kalimat ini yang disampaikan Muluk ketika dikonfirmasi media. Selama tinggal di Malang, Muluk mengaku didampingi salah satu anggota kepolisian dari Polres Sampang. Penundukan terhadap Muluk dan jamaah Syi’ah memang dilakukan secara berjamaah baik oleh pemerintah, ormas Islam, dan para tokoh agama. Selama Muluk di Polres Sampang, para tokoh agama dari representasi MUI, PCNU, Basra terus menggalang dukungan masyarakat untuk mengusir Muluk. MUI bahkan mengumpulkan ribuan tanda tangan masyarakat untuk menyepakati pengusiran Muluk. “Tanda tangan bahwa Syi’ah yang ada di Karang Gayam ini harus ditolak dan aktornya itu harus dikeluarkan dari sana,” seru KH. Bukhori Ma’sum, Ketua MUI Sampang, kepada Syahadah. Para tokoh agama dan ormas Islam sudah bulat. Tajul Muluk harus keluar dari Sampang. Kebulatan tekad inilah yang menciutkan nyali Polisi dan Pemerintah Daerah. Institusi negara akhirnya benar-benar gagal menjamin keselamatan Muluk, dan
memilih tunduk pada tekanan massa. KH. Syafidudin Abd Wahid, Ketua Rais Syuriah PCNU Sampang, menyampaikan bahwa rencana pengusiran Muluk sebenarnya sudah berlangsung lama, akan tetapi Pemerintah tidak berani karena takut melanggar HAM. Menurut sang kyai, faktor inilah yang menjadikan “konflik Syi’ah dan NU berlarutlarut dan tak kunjung selesai.” Meski demikin, pengusiran itu tetap tidak terelakan. Pemerintah kalah oleh tekanan massa. Muluk memang sudah meninggalkan Sampang sejak 16 April 2011, akan tetapi proses negosiasi para ulama dan pemerintah belum sepenuhnya selesai. Pada 28 Mei 2011, ulama se-Madura mengadakan pertemuan di PP Darul Ulum, pimpinan KH. Syafidudin Abd Wahid. Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari rencana pengusiran Muluk. Pertemuan membahas tentang tanda tangan dukung ribuan warga Sampang yang menolak keberadaan jamaah Syi’ah di Nangkrenang. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Muspida, Polda Jatim, Mabes POLRI, dan Slamet Effendi Yusuf yang mewakili MUI pusat. Dalam pertemuan itu, para ulama tetap mendesak Pemerintah Kabupaten Sampang untuk segera mengusir Muluk dari Nangkrenang. Usulan dan desakan MUI berdasarkan tanda tangan ribuan warga yang anti-Syi’ah dan telah dimusyawarahkan bersama dengan ulama se Madura, MUI se-Madura.
MUI bahkan mengumpulkan ribuan tanda tangan masyarakat untuk menyepakati pengusiran Muluk. “Tanda tangan bahwa Syi’ah yang ada di Karang Gayam ini harus ditolak dan aktornya itu harus dikeluarkan...” Beberapa poin desakan tersebut adalah: [1] Kami, MUI seMadura menyatakan bahwa aliran Syi’ah yang ada di Karang Gayam itu sesat dan menyesatkan; [2] Kami, MUI se-Madura meminta kepada pemerintah agar Tajul Muluk segera direlokasi. Para tokoh agama juga menyampaikan desakan ini kepada Gubernur Jawa Timur. Tanpa desakan inipun, Bupati Sampang, Nur Tjahja, sudah berkoordinasi dengan Gubernur Jawa timur, Soekarwo. Bupati menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Sampang siap untuk merelokasi jamaah Syi’ah pimpinan Tajul Muluk ke lokasi yang mereka inginkan. Bupati berdalih bahwa, relokasi tersebut dalam rangka memberikan keamanan dan kebebasan bagi mereka dalam menjalankan kepercayaannya. Koordinasi ini membuahkan hasil. Gubernur Jatim tidak hanya menyetujui, tetapi juga bersedia share alokasi dana yang dibutuhkan untuk melakukan relokasi. Kepada media Nur Tjahja mengaku sudah melapor kepada Gubernur Jawa Timur
3
Edisi 13, Oktober 2011
Pemerintah dan ulama juga menjadikan Nangkrenang tidak hanya sebagai wilayah terisolasi, tetapi juga terpantau dan terkontrol sehingga sulit diakses
Soekarwo, soal rencana relokasi tersebut. "Ia mendukung langkah relokasi tersebut," tegasnya. Pemerintah,sepertinya tidak mau ambil pusing atas desakan MUI Sampang. Melalui Asisten I Gubernur Jawa Timur, Soekarwo menyetujui rencana pengusiran tersebut. Kepada Syahadah, KH. Syafidudin Abd Wahid mengaku ditelepon sendiri oleh Asisten I Gubernur Jatim bahwa, Soekarwo sudah menyetujui rencana relokasi tersebut. “Waktu itu Asisten I Gubernur bilang ke saya (melalui telepon), kalau Gubernur sudah menyetujui rencana sharing biaya perelokasian. Rumahnya, tanahnya dibelikan. Mungkin ratusan juta itu anggarannya untuk perelokasian,” cerita Kyai Syafi, panggilan akrab KH. Syafidudin Abd Wahid, kepada Syahadah. Pada awal Ramadhan, 7 Agustus 2011, Muluk berencana pulang kampung. Seperti kebiasaan muslim di Indonesia, awal Ramadhan selalu dilalui bersama dengan keluarga. Kebiasaan ini juga yang mendorong Muluk untuk kembali ke Nangkrenang. Sayangnya, baru masuk di daerah itu, Muluk kembali ditangkap oleh Polisi. Muluk kembali mendekam di Polres Sampang. Jalan menuju kampung halaman tidak hanya terjal, tetapi hampir tertutup untuk Muluk. Ia dikirim kembali ke tempat ‘relokasi’. Polisi selalu membenarkan tindakan penangkapan paksa itu atas nama keamanan. Polisi selalu tunduk pada desakan massa, dan memilih menangkap dan mengisolasi korban. Tindakan inilah yang selalu diargumentasikan sebagai upaya meredam konflik. Kapolres Sampang, Madura, Jawa Timur, AKBP Agus Santosa, kepada media menegaskan, “kami (Polisi) terus berkoordinasi dengan semua pihak, termasuk dengan Pemkab dan TNI untuk meredam kasus ini." Panopticon Genap sudah cerita penundukan terhadap jamaah Syi’ah di Sampang. Setelah Muluk diusur dari kampung halamannya, Nangkrenang menjadi wilayah yang diisolasi dan dijaga ketat. Tidak hanya polisi, tetapi TNI juga turun tangan. Pemerintah dan ulama juga menjadikan Nangkrenang tidak hanya sebagai wilayah terisolasi, tetapi juga terpantau dan terkontrol sehingga sulit diakses. Bukan hanya akses jalan raya yang sulit menuju Nangkrenang, tetapi akses informasi juga tertutup rapat. Pada 18 September 2011, Andreas Harsono dan Tirania Has-
4
san (keduanya dari Human Rights Watch) hendak melakukan investigasi dan mengumpulkan informasi di Nangkrenang. Belum tuntas investigasi dilakukan, sekitar pukul 15.00 WIB, lima orang petugas polisi datang dengan menaiki motor. Andreas dan Tirania diminta datang ke Kantor Kecamatan, lalu ke Kapolsek dan Danramil. Setelah itu mereka juga diminta datang ke Polres Sampang. Polisi akhirnya menahan mereka untuk diinterogasi. Selama di Polres Sampang mereka diinterogasi sampai pukul 01.00 dini hari. Polisi berdalih bahwa penangkapan itu karena Tiraniasebagai warga asing tidak membawa passport. Padahal keduanya sudah meyakinkan bahwa passport ketinggalan di hotel, dan Polisi bisa mendapatkan kiriman faximile dari hotel. Sekitar pukul 03.00 WIB, polisi memutuskan untuk memindah kan Andreas dan Tirania ke Kantor Imigrasi Tanjung Perak, Jl. Darmo Indah No. 21, Surabaya. Keduanya diusir paksa oleh polisi untuk keluar dari Nangkrenang. Cerita tersebut cukup menggambarkan betapa daerah itu benar-benar dijaga untuk tidak bisa diakses oleh pihak luar. Bukan hanya Polisi yang menjaga Nangkrenang tetap steril, masyarakat juga tidak kalah paranoidnya. Sesudah Andreas dan Tirania masuk Nangkrenang, jalan menuju Dusun itu langsung dilubangi oleh warga agar keduanya tidak bisa keluar. Pada 16-17 Oktober 2011, Syahadah yang hendak melakukan investigasi juga merasakan hal sama. Tidak ada satupun orang di Omben yang tidak memberikan tatapan curiga pada orang asing yang hendak memasuki Nangkrenang. Akses informasi ditutup rapat tidak hanya oleh warga, tetapi juga Polisi. Ketika Syahadah melakukan konfirmasi kasus ini kepada Kasat Intel Polres Sampang, AKP Ipal Faruq, dengan segera petinggi Polres Sampang tersebut menutup pembica raan dengan alasan, tidak terjadi konflik apapun di Sampang. Demi menutup semua informasi, polisi berdalih bahwa Sampang kondusif dan tidak ada gejolak apapun. Betapapun kasus Syi’ah sudah menjadi isu nasional, akan tetapi Polisi tetap berusaha menutup-nutupi peristiwa-peristiwa pelanggaran yang terjadi di Nangkrenang. Sudah tujuh bulan Nangkrenang ditinggal oleh imamnya, Tajul Muluk. Meski begitu, bukan berarti situasi di sana amanaman saja. Pemerintah dan MUI masih punya agenda yang belum tuntas. Daerah itu tetap diawasi, dikontrol, dan hendak ‘diinsyafkan’. Menurut KH. Bukhori Ma’sum, Ketua MUI Sampang, sejak kepergian Muluk, jamaah Syi’ah yang berada di Nangkrenang terus diawasi dan dipantau oleh pemerintah. Pada kesempatan wawancara dengan Syahadah, Bukhori mengakui bahwa agenda pemerintah di Nangkrenang belum selesai. Rencananya, akan ada “program penyuluhan dan bimbingan agar penganut Syi’ah kembali ke jalan yang benar, sesuai dengan aqidah Ahl al-Sunnah wal al-Jamaah.” Nangkrenang adalah cerita yang sempurna tentang penundukan atas nama kebenaran mayoritas. Pemerintah, MUI dan berbagai ormas Islam, Polisi dan TNI, serta masyarakat secara berjamaah mengadili keyakinan sekelompok orang, mengusir dan meminggirkan, lalu memaksa kelompok minoritas itu untuk menanggalkan keyakinan mereka. Muhammad Iqbal
Edisi 13, Oktober 2011
Dua Aktivis HAM Ditangkap Polisi di Nangkrenang Kekerasan yang terjadi di sampang menjadi isu nasional dan menarik perhatian serta keprihatinan sejumlah aktivis pejuang HAM. Salah satunya adalah Andreas Harsono dan Tirania Hassan dari Human Rights Watch. Tirania sendiri adalah peneliti berkewarganegaraan Australia, keturunan Pakistan dan Malaysia.
P
ada Minggu, 18 September 2011, sekitar pukul 12.00 Andreas dan Tirania Hassan tiba di Nangkrenang. Mereka hendak menginvestigasi berbagai peristiwa yang terjadi di Dusun tersebut. Keduanya bertemu dengan salah satu anggota Syi’ah Sampang, Alimullah. Berdasarkan testimoni Andreas Harsono yang dilansir Radio Nederland Wereldomroep Indonesia, kedua aktifis hanya bertahan tiga jam di Nangkrenang. Sekitar pukul 15.00 WIB, datanglah lima orang petugas Polisi menanyakan maksud aktivitas keduanya di Nangkrenang. Andreas menerangkan maksud kedatangannya. Polisi menutup telinga, dan memaksa kedua aktifis datang ke Kantor Kecamatan, dilanjutkan ke Kapolsek dan Danramil untuk melapor. Setelah itu mereka juga diminta datang ke Polres. Polisi berdalih bahwa aktivitas keduanya di Nangkrenang bisa memicu konflik yang sudah berhasil diredam. Tentu saja argumentasi Polisi berlebihan. Andrea dan Tirania hanya melakukan wawancara. Tidak lebih dari itu. Berdasarkan kesaksian Alimullah, baik Andrea maupun Tirania tidak layak ditangkap dan dibawa ke Polres Sampang. “Saya sangat menyesalkan tindakan aparat kepolisian karena telah menangkap mereka,” ungkapnya. Pelbagai cara dilakukan Polisi agar keduanya bisa dibawa ke Polres. Tirania yang tampak sebagai warga asing ditanya soal passport dan visa. Andreas dan Tirania meyakinkan bahwa passport Tirania ditinggal di hotel. Kebetulan keduanya menginap di sebuah hotel di Surabaya. Polisi tidak menerima penjelasan tersebut, dan tetap ngotot untuk melihat passport Tirania. Betapapun keduanya menunjukkan electronic copy passportnya, akan tetapi menurut Polisi itu tidak cukup. Andreas dan Tirania kemudian menawarkan kepada petugas untuk pergi ke hotel di Surabaya, tempat mereka menginap, dan mem-fax-kan passport Tirania ke kantor Polres Sampang. Tawaran inipun ditolak. Andreas kembali menawarkan kepada Polisi untuk bersama-sama datang ke hotel dengan ongkos ditanggung para peneliti. Seperti mencari-cari alasan untuk menangkap, Polisi tetap menolak semua tawaran yang diajukan kedua aktifis.
Polisi akhirnya menahan mereka untuk diinterogasi. Menurut Andreas, dirinya dan Tirania tidak ditahan bermalam, tapi ditahan untuk diinterogasi, detained interrogation. Selama di Kantor Polres Sampang mereka diinterogasi sampai jam 01.00 dini hari. Setelah diambil gambar kiri, kanan, atas, bawah, dan muka untuk pembuatan Berita Acara Perkara (BAP), mereka sempat protes karena Polisi menyatakan bahwa mereka akan ditahan badan karena lupa membawa passport. Akibat protes tersebut, hanya Andrea saja yang dibebaskan pada malam itu karena dia membawa identitas diri, KTP. Sekitar pukul 03.00 WIB, polisi memutuskan untuk memindahkan Andreas dan Tirania ke Kantor Imigrasi Tanjung Perak, Jl. Darmo Indah No. 21, Surabaya. Bersama petugas Imigrasi, keduanya menuju Hotel untuk mengecek passport. Selama passport itu diverifikasi oleh pihak keimigrasian, mereka tidak ditahan di Kantor Imigrasi. Peritiwa penangkapan paksa ini menuai kecaman dari sejumlah aktivis dan lembaga HAM. Setara Institute, misalnya, mengecam tindakan aparat Polres Sampang, karena tidak ada dasar hukum bagi polisi untuk melakukan interogasi. Tidak ada bukti bahwa keduanya melakukan tindak pidana, dan karenanya Polisi tidak bisa melakukan interogasi. "Penangkapan dua peneliti itu tidak ada dasar hukumnya," tegas Hendardi, Ketua Badan Pekerja Setara Institute. Koordinator LBH Pers Surabaya, Athoillah juga menyesalkan insiden penangkapan tersebut. Di sela-sela kesibukannya sebagai pengacara, Syahadah meminta komentarnya terkait kasus yang dialami Andreas dan Tirania. Dia mengatakan, “Polisi itu hanya mencari-cari kesalahan saja untuk menghambat penelitian yang dilakukan Andreas dan Tirania.” Athoillah memastikan hal ini dengan berbagai argumentasi. Pertama, Polisi mengubah-ubah sangkaan yang ditujukan kepada Andreas dan Tirania saat interogasi berlangsung. Kedua, tidak ada unsur pidana dalam penangkapan tersebut. Ketiga, tidak ada proses hukum pada tahap kelanjutannya. Muhammad Iqbal
5
Edisi 13, Oktober 2011
Analisis Pelanggaran Hak KBB atas Kasus Syi’ah
A
nalisis ini dikembangkan dengan mengacu pada hasil monitoring kasus Syi’ah Sampang medio April-Oktober 2011. Monitoring berbasis peristiwa (event-based monitoring) ini menggunakan metode media tracking dan investigasi. Media tracking dilakukan dengan menyurvei semua pemberitaan kasus Syi’ah Sampang dari berbagai portal berita online. Semua temuan berita diarsip dalam desk redaksi Syahadah. Hasil media tracking dirujuk sebagai data awal untuk dikonfirmasi ulang, digali, dan dikembangkan melalui investigasi. Investigasi dilakukan dalam dua kali periode: 6 April dan 16 Oktober 2011. Di samping mewawancarai pelbagai sumber primer, Syahadah juga melakukan pengamatan langsung atas situasi mutakhir yang terjadi di Nangkrenang, Omben, Sampang. Data yang dihasilkan melalui dua metode tersebut kemudian ditabulasi dalam form instrumen event-based monitoring. Proses ini dilakukan untuk mengklasifikasi pelbagai tindakan (diduga pelanggaran) yang terjadi selama peristiwa berlangsung. Analisis dikembangkan dengan mengacu pada dua instrumen Hak Asasi Manusia (HAM): [1] International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, dan; [1] Deklarasi PBB 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan. Kedua instrumen HAM tersebut dijadikan sebagai parameter untuk mengi dentifikasi tindakan pelanggaran hak kebebasan beragama/ berkeyakinan (KBB). Merujuk pada dua instrumen tersebut, analisis ini secara konsisten memosisikan negara sebagai subyek hukum HAM. Hal ini berimplikasi pada identifikasi dan penghitungan angka pelanggaran. Pelanggaran selalu merujuk pada kegagalan negara (sebagai subyek hukum) menjalankan kewajiban ge neriknya dalam menghormati (to respect) dan melindungi (to protect) hak KBB. Pelanggaran Berjamaah Selama pemantauan berlangsung, Syahadah mencatat sedikitnya terjadi 45 pelanggaran hak kebebasan beragama/ berkeyakinan. Angka tersebut dibagi dalam dua kategori: 21 tindakan pelanggaran dilakukan secara aktif oleh aparatur negara (human rights violation by commision), dan; 24 tindakan pelanggaran akibat pembiaran (human rights violation by ommision). Pelanggaran by commision terjadi akibat kegagalan negara dalam melindungi (to protect) hak jamaah Syi’ah dalam menjalankan keyakinannya. Negara dianggap melanggar karena berperan aktif dalam membatasi hak dan kebebasan jamaah Syi’ah dalam menjalankan keyakinannya. Aktor-aktor negara yang terlibat dalam pelanggaran ini adalah: [1] Polisi (Polres Sampang); [2] TNI (Koramil/Kodim); [3] Pemda Sampang; [4] Muspida Sampang; [5] Pemprov Jatim; [6] Kantor Imigrasi Surabaya, dan; [7] Presiden RI.
6
Sementara itu, pelanggaran by ommision terjadi karena negara lalai dan melakukan pembiaran atas tindakan kriminal warga negara yang membatasi terpenuhinya hak dan kebebasan jamaah Syiah dalam menjalankan keyakinannya. Aparatur negara, terutama Polisi, umumnya membiarkan terjadinya tindakan kriminal warga negara tanpa melakukan inisiatif yang berarti untuk melindungi kelompok minoritas. Aktor-aktor sipil yang melakukan tindakan kriminal (human rights abuse) adalah: [1] Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang; [2] Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU); [3] Badan Silaturahmi Ulama (Basra); [4] ulama se-Madura, dan; [5] masyarakat anti-Syi’ah. Secara keseluruhan, semua tindakan pelanggaran dapat dikategorikan dalam 13 jenis tindakan, yakni: [1] penyesatan; [2] intimidasi dan teror; [3] blokade jalan; [4] pemaksaan pindah keyakinan; [5] penghentian paksa aktivitas dakwah; [6] penangkapan sewenang-wenang; [7] penahanan sewenangwenang; [8] pengusiran; [9] pengisolasian; [10] penutupan akses informasi; [11] interogasi; [12] pengrusakan fasilitas umum; [13] non-rehabilitasi. Pelanggaran Aktif Pelanggaran aktif pertama adalah penangkapan sewenangwenang yang dilakukan oleh Polisi. Dalam setiap peristiwa konflik keberagamaan, pola pengamanan yang dijalankan oleh Polisi cenderung mengabaikan hak-hak minoritas. Polisi tidak melakukan usaha yang berarti untuk menindak secara hukum kelompok (mayoritas) yang melakukan tindakan anarki, sebaliknya polisi malah menangkap dan merelokasi kelompok minoritas. Pola demikian seakan-akan sudah menjadi standart ope rating procedure dalam menangani konflik keberagamaan. Hal yang sama juga ditemukan dalam kasus Syi’ah Sampang. Polisi membiarkan tindakan anarkis masyarakat anti-Syi’ah, dan secara sewenang-wenang menangkap Tajul Muluk dalam kapasitasnya sebagai ketua IJABI Sampang. Padahal, Muluk seharusnya mendapat perlindungan maksimal dengan meredam dan menindak aksi massa yang anarkis. Selama pemantauan berlangsung, Polisi—dalam hal ini Polres Sampang, melakukan tindakan penangkapan sewenangwenang sebanyak 4 kali. 2 kali penangkapan dilakukan terhadap Tajul Muluk. Penangkapan pertama pada 4 April 2011, dan penangkapan kedua pada 7 Agustus 2011. Polres Sampang juga menangkap (1) Andreas Harsono dan (2) Tirania Hassan pada 18 September 2011. Keduanya adalah peneliti dari Human Rights Watch yang hendak melakukan investigasi di Nangkrenang. Polisi secara terang-terangan melanggar pasal 9 (1) ICCPR yang menjamin kebebasan dan keamanan pribadi, dan hak untuk tidak ditangkap secara sewenang-sewenang. Polisi tidak memberitahu ketika melakukan penangkapan, tidak menangkap berdasarkan tuduhan pidana, dan tidak memproses secara hukum. Dengan demikian Polisi juga melanggar pasal 9 (2) dan
Edisi 13, Oktober 2011
Selama pemantauan berlangsung, Syahadah mencatat sedikitnya terjadi 45 pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan: 21 tindakan pelanggaran dilakukan secara aktif oleh aparatur negara dan 24 tindakan pelanggaran akibat pembiaran (3) ICCPR. Dengan mengabaikan hak-hak kelompok minoritas di depan hukum, Polisi juga melanggar pasal 26 dan 27 ICCPR. Khusus penangkapan terhadap Tirania Hassan (sebagai WNA), Polisi melanggar pasal 12 (1) ICCPR yang menjamin seorang WNA yang secara sah berada dalam satu wilayah Negara bebas bergerak dan melakukan aktifitas. Tindakan pelanggaran penangkapan sewenang-wenang juga dilakukan oleh Kantor Imigrasi Surabaya terhadap Tirania Hassan. Kantor Imigrasi Surabaya juga mengusir Tirania Hassan dan menahan passportnya. Atas tindakan ini, Kantor Imigrasi melanggar pasal 13 ICCPR. Pelanggaran aktif kedua adalah penahanan sewenangwenang yang dilakukan oleh Polres Sampang terhadap Tajul Muluk. Tokoh ini mengaku mendekam di Polres selama 12 hari. Polisi melanggar pasal 26 ICCPR yang menjamin kesetaraan warga negara di depan hukum. Pelanggaran aktif ketiga adalah pengusiran Tajul Muluk dari Sampang. Ada tiga aktor yang terlibat langsung dalam pelanggaran ini: [1] Pemkab Sampang, [2] Polres, dan [3] Pemprov Jatim. Sebagaimana laporan di awal, dalam proses penyesatan, Tajul Muluk akhirnya diusir dari sampang. Pengusiran ini difasilitasi sepenuhnya oleh ketiga lembaga negara di atas. Ketiga lembaga negara tersebut secara sengaja melanggar pasal 12 (1) ICCPR karena mengingkari jaminan kebebasan warga negara untuk bergerak dan memilih tempat tinggalnya. Ketiga lembaga negara juga melanggar pasal 27 ICCPR karena gagal dalam menjamin kelompok minoritas untuk menikmati budaya mereka dan menjalankan/mengamalkan keyakinannya sendiri. Pelanggaran aktif keempat adalah pengisolasian jamaah Syi’ah di Nangkrenang. Setelah Tajul Muluk diusir, hampir semua aktifitas sosial jamaah Syi’ah menjadi terbatasi karena tindakan kontrol yang berlebih dilakukan oleh [1] Polisi, [2] TNI, dan [3] Pemkab Sampang. Hak atas kebebasan beraktivitas yang dijamin dalam Pasal 12 (1) ICCPR diabaikan dan dilanggar oleh ketiga institusi negara tersebut. Pelanggaran aktif kelima adalah pembatasan akses informasi. Setelah Muluk diusir dan jamaah Syi’ah diisolasi, akses informasi atas situasi Nangkrenang ditutup secara rapat oleh Polisi. Penangkapan terhadap Andreas Harsono dan Tirania Hassan adalah bukti bahwa polisi secara terang-terangan melanggar
pasar 19 (2) ICCPR yang menjamin hak dan kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi. Pelanggaran aktif keenam adalah interogasi tanpa tuduhan pidana. Tindakan ini dilakukan oleh [1] Polres Sampang, dan [2] Kantor Imigrasi terhadap Andreas Harsono dan Tirania Hassan. Polisi dan Imigrasi melanggar pasal 9 (1), (2). (3), (4), (5) ICCPR. Keseluruhan pelanggaran yang terjadi dalam kasus penyesatan dan pengusiran di Sampang, semestinya negara—dalam hal ini adalah Presiden RI—berkewajiban untuk menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi. Hal ini merujuk Pasal 2 (3a) ICCPR. Namun faktanya, upaya tersebut sama sekali tidak dilakukan oleh Presiden, dan karena itulah Presiden dianggap melanggar. Pelanggaran Pasif Penyesatan yang dilakukan oleh [1] MUI, [2] PCNU, [3] Basra, [4] ulama se-Madura, dan [5] masyarakat anti-Syi’ah dapat dianggap sebagai tindakan pidana karena secara sengaja menganjurkan kebencian atas nama agama dan keyakinan (hate speech). Secara khusus, pasal 20 (2) ICCPR mewajibkan Negara Pihak untuk melarang secara hukum tindakan tersebut. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 156 KUHP. Secara faktual, Polisi tidak melakukan tindakan hukum apapun terhadap kelompok-kelompok yang melakukan hate speech. Padahal, dalam kasus Syi’ah Sampang, semua kekerasan yang dialami oleh Muluk dan jamaahnya bermula dari anjuran kebencian yang diintensifikasi. Polisi dianggap melakukan pembiaran karena tidak menindak secara hukum kelompok-kelompok yang melakukan syi’ar kebencian. Pembiaran juga dilakukan oleh Polisi atas tindakan intimidasi dan teror yang dilakukan oleh [1] MUI, [2] PCNU, [3] Basra, [4] masyarakat anti-Syi’ah terhadap jamaah Syi’ah. Polisi kembali dianggap melanggar karena tidak menjalankan kewajiban generiknya untuk memproteksi hak keamanan dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin oleh pasal 26 ICCPR. Polisi juga membiarkan masyarakat anti-Syi’ah melakukan blokade ke pintu masuk Nangkrenang. Polisi tidak melakukan tindakan hukum apapun betapapun masyarakat juga melakukan perusakan jalan raya menuju Nangkrenang (perusakan fasilitas umum). Akibat pembiaran ini Polisi melanggar Pasal 18 (1), (2), (3) ICCPR yang menjamin hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; Pasal 21 ICCPR yang menjamin hak untuk berkumpul secara damai; dan pasal Pasal 27 ICCPR yang menjamin kelompok minoritas untuk menikmati budaya dan menjalankan/ mengamalkan agamanya sendiri. Semua pelanggaran by ommision terjadi karena polisi bertindak pasif justru pada saat berkewajiban melakukan perlindungan terhadap kelompok minoritas (Syi’ah). Polisi tidak melakukan tindakan proteksi ketika terjadi pemaksaan pindah keyakinan, penghentian aktivitas dakwah secara paksa, pengusiran Tajul Muluk, pengisolasian jamaah Syi’ah, dan penutupan akses informasi. Akhol Firdaus
7
Membincang Fenomena Penyesatan Agama Oleh: Isnatin Ulfah
Edisi 13, Oktober 2011
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat di JalanNya, dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. al-An’am: 116) Melacak Akar Penyesatan enyesatan, konflik, maupun kekerasan yang sering mengatasnamakan agama sejatinya merupakan persoalan sangat kompleks. Fenomen ini melibatkan berbagai dimensi kehidupan dan tidak selalu dapat dilekatkan dengan normatifitas agama. Obyek yang diperselisihkan pun belum tentu dapat dibenarkan menurut juridis agama. Kasus penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah berikut pengerusakan terhadap masjidnya, serta pengusiran pimpinan Syi’ah Sampang Madura dan pemaksaan kelompok minoritas itu untuk menanggalkan keyakinan mereka atas nama kebenaran mayoritas–para aktornya adalah pemerintah, MUI dan berbagai ormas Islam, Polisi dan TNI, serta masyarakat secara berjamaah-sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Allah secara tegas memperingatkan dalam QS. al-Baqarah: 114: “Dan siapakah yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjidNya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” Faktor dominan pemicu penyesatan hingga kekerasan antar pemeluk agama (baik intra maupun ekstra) di Indonesia hingga hari ini masih debatable. Betapapun begitu, secara umum viariant itu tidak jauh dari alasan-alasan berikut ini. Pertama, perbedaan menafsirkan dan mengartikulasikan ajaran agama. Artikulasi keberagamaan yang berangkat dari tafsir yang berbeda memunculkan persinggungan dengan entitas keberagamaan lain. Persinggungan keberagamaan yang tidak bisa dikelola dengan arif menimbulkan konfllik identitas dan kepentingan yang salah satunya manifest melalui kasus-kasus penyesatan. Kedua, one-sided truth claim. Klaim kebenaran sepihak penganut aliran keagamaan tertentu memiliki kecenderungan kuat untuk selalu memperangkapkan para penganutnya untuk terlibat konflik dengan penganut aliran agama yang berbeda, dan melakukan tindak kekerasan ketika ada gesekan. Ketiga, pemahaman Islam dengan pendekatan skriptual-tekstualis. Dalam memaknai teks al-Qur’an dan hadits, pendekatan ini berhenti pada pemahaman bentuk legal ordernya saja tanpa mengaitkannya dengan realitas material sekarang, sehingga tidak terungkap maknanya. Akibat dari tidak adanya dialog antara teks dengan realitas, melahirkan pandangan keagamaan yang rigid, hitam putih, serta hubungan sosial yang eksklusif. Ideologi eksklusif akan membentuk sikap antagonistik terhadap kelompok lain. Keempat, menguatnya passion politiqu, yaitu syahwat politik yang memungkinkan orang bangun dan memusuhi orang atau kelompok lain. Paradigma politik kekuasaan mengasumsikan kekuasaan sebagai hak milik, anugrah ilahi yang diberikan kepada seseorang atau kelompok tertentu dan menjadi legitimasi segala tindakan yang merugikan orang dan kelompok lain.
P
Teologi Transformatif: Sebuah Tawaran Sampai saat ini Islam masih tampil dengan dua wajah, Pada satu sisi, Islam mengajarkan solidaritas, keadilan, pembebasan.
Hadir dengan ramah, santun dan humanis. Pada sisi lain, Islam hadir dengan angkuh, intoleran, dan menjadi legitimasi terhadap penindasan dan eksploitasi baik yang dilakukan oleh negara ataupun oleh para agamawan. Oleh karena itu dapat dimengerti adanya pertanyaan apakah Islam agama yang membebaskan ataukah agama yang menindas. Untuk megembalikan wajah Islam kepada fitrah parenialnya, rahmatan lil alamin, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengaktulisasikan teologi transformatif. Teologi transformatif–yang berangkat dari paradigma transformatif, berupaya mengembalikan Islam pada watak aslinya dari berbagai upaya reduksi. Nilai-nilai universal Islam seperti keterbukaan, kemanusiaan, keadilan, dan sikap dialogis yang melampaui batas ikatan etnis, kultur, dan poltik, menjadi kabur ketika sebagian dari orang-orang Islam sendiri menampilkan Islam dalam wajah sekterian yang sempit dan tidak ramah, baik internal dalam tubuh Islam maupun eksternal terhadap umat beragama lain. Reduksi terhadap nilai-nilai universal Islam antara lain adanya pemutlakan interpretasi manusia terhadap aspek normatif Islam. Padahal Islam memberi peluang beragamnya penafsiran. Pada tahap ini harus diakui akan kenisbian manusia dalam menangkap kebenaran Tuhan. Oleh karena itu jika ada suatu golongan yang memonopoli kebenaran dan memaksakannya kepada orang lain atas nama Tuhan, maka itu adalah sejenis tirani dan awal dari kemusyrikan. Allah befirman: “Katakanlah (hai Muhammad): Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (QS.Al-Isra’: 84) Pada sisi ini pula, teologi transformatif meniscayakan pembedaan yang tegas, tapi sekaligus berkelindan antara agama sebagai sesuatu yang absolut dengan keberagamaan yang bersifat relatif yang muncul dari keterbatasan manusia. Dalam tataran praktis, teologi transformatif berarti mentransformasikan ajaran-ajaran Islam dari posisinya yang normatif menjadi sebuah ajaran yang praksis, yang mana nilai-nilai yang sifatnya normatif tersebut bisa memobilisasi umat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian kemanusian universal yang terdapat pada ajaran agama yang normatif akan tampak jelas ke permukaan dan teraktualisasi dalam kehidupan yang nyata. Teologi ini berpijak kokoh pada nilai-nilai agama yang holistik, oleh karena itu teologi ini melihat aspek akidah sebagai bagian tak terpisahkan dari akhlak yang kemudian diaktualisasaikan dalam praksis hukum yang harus ditaati dalam segala dimensi kehidupan yang kita jalani. Dengan demikian, teologi ini meniscayakan umat Islam untuk menghindari pemahaman agama secara parsial. Berikutnya, dengan teologi ini keberagamaan manusia akan dilihat sebagai proses kreatif dan penuh tanggung jawab untuk mengembangkan kehidupan yang selalu disandarkan kepada nilai-niali moralitas perennial: keadilan, kesetaraan, kedamaian, dan kesejahteraan. Penulis adalah Dosen STAIN Ponorogo